1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Epidemiologi 2.1.1. Splenektomi Dalam beberapa dekade terakhir, preservasi lien telah menjadi suatu prinsip yang diterima secara luas dan banyak dilaporkan dalam penanganan trauma. Penelitian yang dilakukan oleh Rose, et al. (2000), tentang epidemiologi splenektomi yang dilakukan 10 tahun antara bulan Januari 1986 sampai Desember 1995. Didapatkan 896 pasien yang menjalani operasi splenektomi. Indikasi splenektomi diklasifikasikan menjadi : 1) trauma, tumpul ataupun tajam; 2) Keganasan hematologis, misalnya untuk terapi ataupun staging leukemia, Hodgkin's lymphoma, atau non-Hodgkin's lymphoma; 3) sitopenia, yaitu untuk pengobatan trombositopenia, anemia, atau leukopenia; 4) iatrogenik, oleh karena trauma sewaktu dilakukan prosedur lainnya; 5) insidental, sewaktu dilakukan reseksi organ-organ yang berdekatan; 6) hipertensi portal ; 7) diagnostik, misalnya pada kasus untuk menyingkirkan keganasan hematologi. Dalam periode ini, didapatkan traumatik splenektomi sebagai penyebab terbanyak dari semua kasus splenektomi sebesar 41,5 persen, splenektomi karena keganasan hematologis menyumbang 15,4 persen, sitopenia 15,6 persen, insidental 12,3 persen, iatrogenik 8,1 persen, portal hipertensi 2,3 persen, diagnostik 2 persen, dan lainnya 2,7 persen. Dengan membandingkan periode 5 6 2 tahun pertama dan kedua didapatkan adanya penurunan tahunan rata-rata insiden splenektomi untuk semua sebab sebesar 36,9 persen; splenektomi karena trauma sendiri menurun 32,9 persen. Ruptur lien oleh karena trauma masih menjadi indikasi terbanyak dilakukannya splenektomi, namun angka insidennya telah menurun secara dramatis dalam periode 10 tahun belakangan ini. Begitupun angka insiden splenektomi untuk terapi keganasan hematologis dan sitopenia (Rose, et al. 2000). Frekuensi splenektomi juga berbeda untuk tingkatan rumah sakit. Pusat rujukan tersier memiliki frekuensi splenektomi oleh karena penyakit hematologis, immunologis, atau onkologis lebih tinggi daripada splenektomi karena trauma, yakni 54% vs 16%. Rasio ini mungkin berbeda pada rumah sakit non-pendidikan (Di Sabbatino, 2011). 2.1.2. Overwhelming Post Splenectomy Infection (OPSI) Bakterial sepsis pasca splenektomi pada bayi dan anak, pertama kali di jelaskan oleh temuan King dan Schumacher pada tahun 1952. Kondisi yang sama muncul pada orang dewasa yang asplenia beberapa tahun setelahnya. Istilah OPSI dipakai untuk mendefinisikan sepsis fulminan, meningitis, atau pneumonia yang disebabkan terutama oleh organisme S. Pneumoniae, N. Meningitidis, dan H. influenzae tipe B pada individu yang displenektomi maupun hiposplenik (Okabayashi, 2008). Insiden OPSI bervariasi tergantung organisme penyebab, dan insiden infeksi bakteri yang serius didapatkan sekitar 0,23% per tahun. Dengan risiko 3 seumur hidup pasien asplenia menderita OPSI adalah 5%. Angka mortalitas yang paling impresif dari literatur disebutkan antara 38-70% meskipun dengan terapi adekuat. Durasi antara splenektomi dan onset OPSI berkisar antara kurang dari 1 minggu sampai lebih dari 20 tahun. Mortalitas saat ini dapat dikurangi dengan vaksinasi dan edukasi yang tepat serta pemberian segera antibiotika spektrum luas. Prevalensi antara anak dan dewasa didapatkan tidak berbeda (3,2 vs 3,3%), namun angka kematian pada anak lebih tinggi dibandingkan pasien dewasa (1,7 vs 1,3%) (Sinwar, 2014). Risiko terjadinya sepsis dan kematian sangat berhubungan dengan alasan dilakukannya splenektomi. Indikasi splenektomi yang paling sering dikaitkan dengan risiko infeksi dan kematian adalah thalassemia major (8,2 % & 5,1%), anemia sickle-cell (7,3% dan 4,8%), Limfoma Hodgkin (4,1% dan 1,9%), spherocytosis (3,1 dan 1,3%), dan idiopathic thrombocytopenic purpura (2,1 dan 1,2%). Prevalensi OPSI dan angka kematian untuk kasus splenektomi karena trauma adalah 2,3% dan 1,1%. Hasil penelitian ini mungkin lebih rendah dari yang sebenarnya terjadi oleh karena durasi follow up yang singkat pada kebanyakan studi. Pendapat bahwa OPSI terjadi beberapa tahun setelah operasi tidak secara universal diterima. Risiko terjadinya sepsis pada kondisi asplenia merupakan kondisi permanen. Beberapa kasus OPSI ditemukan terjadi 20-40 tahun setelah pengangkatan lien (Katz dan Pachter, 2006). 4 2.2. Pathogenesis OPSI Di luar sirkulasi lien, antigen yang terdiri dari polisakarida sangat lemah dalam membangkitkan respon imun, dibandingkan antigen protein. Ini menyebabkan bakteri yang dilapisi polisakarida dapat menghindari respon imun dan fagositosis. Untuk jenis bakteri semacam ini, maka mekanisme pertahanan tubuh melawan bakteri sangat tergantung terhadap kekebalan humoral dan produksi antibodi type-specific. Sementara organ liver dapat menghilangkan sebagian besar bakteri yang teropsonisasi, organisme yang berkapsul dapat menghindari ikatan dengan antibodi, dan oleh karenanya hanya dapat dihilangkan dalam lien (Okabayashi dan Hanazaki, 2008). Sepsis yang terjadi pada pasien asplenia dapat disebabkan oleh berbagai macam organisme baik berupa bakteri, jamur, virus, atau protozoa. Meski demikian, organisme berkapsul paling sering dikaitkan sebagai penyebab terjadinya sepsis pada pasien yang displenektomi. Gejala klinis yang muncul pada awalnya adalah ringan dan tidak spesifik. Pasien dapat menderita kelemahan, penurunan berat badan, nyeri perut, diare, konstipasi mual dan sakit kepala. Keluhan prodromal dapat diikuti dengan gejala pneumonia dan meningitis, dan perjalanan klinis dapat dengan cepat berlanjut menjadi koma dan kematian dalam 24-48 jam, yang disebabkan oleh adanya syok, hipoglikemia, asidosis berat, gangguan elektrolit, distress pernafasan, dan koagulasi intravaskular disseminata. Angka kematian dapat mencapai 50-70% meskipun dengan terapi aggresif. Perjalanan klinis berikutnya sering menyerupai sindroma Waterhouse- Friderichsen, dan pada autopsy dapat ditemukan perdarahan adrenal bilateral. 5 Kemungkinan mekanisme penyebab pada OPSI pada pasien yang displenektomi adalah hilangnya fungsi fagositik lien, penurunan kadar immunoglobulin serum, supresi dari sensitivitas limfosit, atau adanya perubahan dalam system opsonin (Brigden, et al. 1999; Shatz, 2005) Organisme berkapsul seperti Streptococcus pneumoniae khususnya sangat resisten terhadap fagositosis, namun dapat dengan cepat diatasi oleh adanya antibodi type-specific, bahkan dalam jumlah kecil. Tanpa adanya lien, produksi antibodi yang tepat dan cepat untuk melawan antigen yang baru menjadi terganggu sehingga bakteri dapat dengan cepat berproliferasi. Oleh karenanya, risiko untuk menderita penyakit infeksi karena pneumokokus menjadi 12-25 kali lebih tinggi pada pasien yang displenektomi dibandingkan populasi pada umumnya. Penyakit infeksi pada pasien asplenia yang disebabkan bakteri berkapsul seperti Streptococcus pneumonia (50-90%), Neisseria meningitides, Haemophilus influenzae, dan Streptococcus pyogens (25%), berujung pada overgrowth bakteri yang tidak dapat dikontrol, disfungsi dan kegagalan organ serta kematian (Davidson, et al. 2001). 2.3. Fungsi Immunologis Lien Lien terdiri dari tiga kompartemen yang saling berhubungan, pulpa merah, pulpa putih, dan zona marginal. Pulpa merah merupakan suatu struktur seperti spon yang terisi oleh darah yang mengalir melalui sinus dan kordae. Pulpa putih terdistribusi sepanjang arteriol sentral yang merupakan percabangan dari arteri lienalis. Sel-sel limfosit T membentuk lapisan tipis di sekeliling arteriol sentral, 6 dan juga mengelilingi folikel sel limfosit B. Lapisan tipis ini dibentuk oleh zone gelap di bagian luar, disebut zona mantle, yang mengandung sebagian besar limfosit B, dan bagian tengah yang berwarna lebih cerah, zona germinal yang merupakan daerah seleksi sel limfosit B. Zona marginal, yang mengandung sel limfosit B memori, adalah daerah paling tepi dari pulpa putih yang berbatasan langsung dengan daerah perifollicular, dimana makrofag dan fibroblas yang memiliki molekul adhesi sel adressin mukosa tipe 1 berada (Mebius dan Kraal, 2005). Gambar 2.1. Struktur, fungsi dan populasi sel dari tiga kompartemen fungsional (Di Sabbatino et al., 2011) Lien berfungsi sebagai filter fagositik, yang menghilangkan sel-sel yang sudah tua dan rusak, partikel-partikel padat dari sitoplasma eritrosit (pitting), dan mikroorganisme yang terbawa oleh darah, dan juga memproduksi antibodi. Saat darah memasuki korda pulpa merah lien dan melewati epitel dengan fenestrasi 7 menuju sinus vena, aliran darah melambat, yang membantu menghilangkan eritrosit yang rusak dan bakteri oleh makrofag lien (Di Sabbatino, et al. 2011). Pulpa putih lien merupakan suatu akumulasi terbesar dari jaringan limfoid pada tubuh dan berfungsi sebagai tempat produksi dan aktivasi limfosit, dimana kemudian sel limfosit akan bermigrasi menuju pulpa merah untuk mecapai lumen sinusoid-sinusoid lien. Sel-sel dendritic dan makrofag yang ada di zona marginal, terlibat dalam proses penangkapan, pengolahan dan presentasi dari antigen. Makrofag lien khususnya, beradaptasi untuk dapat mengenali dan menghancurkan bakteri yang telah teropsonisasi. Kedua sel dendritic dan limfosit T di dalam lien menunjukkan aktivitas immunologis yang kuat (Katz et al., 2006). Berdasarkan studi eksperimental, lokalisasi antigen di organ limfoid tergantung dari beberapa faktor, contohnya adalah port d’ entry dari antigen, menentukan lokalisasi dari antigen di jaringan limfoid, khususnya untuk partikelpartikel asing, protein dan makromolekul seperti lipopolisakarida (LPS). Lebih jauh lagi, pemberian antigen secara intravena, berakibat terkumpulnya antigen ini di lien, yang oleh karenanya disebutkan sebagai organ utama yang berespon terhadap antigen yang terbawa darah (Jirillo, et al., 2003). Antigen memasuki lien melalui arteriol sentral, yang berakhir di zona marginal dan dari sini darah akan mengalir di dalam sinusoid vascular dari pulpa merah. Di zona marginal dan pulpa merah, antigen akan diproses oleh makrofag, dan fraksi dari antigen dapat ditemukan pada periarteriolar lymphoid sheath (PALS), yang kaya akan sel-sel dendritic, dan limfosit T. Pada kasus antigen polisakarida, pertama kali mereka akan difagositosis oleh makrofag zona 8 marginal, kemudian dibawa menuju folikel-folikel limfoid dimana disini terjadi produksi antibody. Di dalam folikel limfoid ini, antigen disimpan oleh sel dendritic folikular selama berminggu-minggu sampai berbulan-bulan. Depot antigen ini menghasilkan stimulus jangka panjang untuk sel limfosit B memori. Pada individu yang telah terpapar antigen, reinokulasi dengan antigen yang sama akan mengalami pembentukan kompleks imun yang lebih cepat, untuk kemudian segera difagositosis dan dihancurkan (Katz, et al. 2006). Beberapa bakteri dikenali secara langsung oleh makrofag, namun kebanyakan terlebih dahulu memerlukan opsonisasi. Selama opsonisasi ini, permukaan bakteri diliputi oleh komplemen atau molekul opsonisasi lien lainnya seperti properdin dan tuftsin, yang kemudian berinteraksi dengan reseptor pada fagosit. Bakteri-bakteri yang telah mengalami opsonisasi dapat secara efisien dihilangkan oleh makrofag yang ada pada lien maupun hepar. Meski demikian, bakteri yang sulit untuk diopsonisasi, seperti bakteri berkapsul, khususnya Streptococcus pneumonia, memiliki kemampuan untuk mencegah terikatnya komplemen atau menghambat komplemen yang ada pada kapsul untuk berinteraksi dengan reseptor makrofag. Bakteri semacam ini hanya dapat dihilangkan pada lien yang normal. Untuk menghancurkan bakteri berkapsul ini pada saat infeksi awal, dibutuhkan antibodi alamiah berupa pentamerik immunoglobulin M yang mampu memfasilitasi fagositosis baik secara langsung ataupun melalui deposisi komplemen pada kapsul bakteri. Antibodi ini diproduksi oleh suatu populasi sel B memori yang ada di zona marginal lien (Weller, et al. 2004). 9 Antigen yang memasuki aliran darah akan ditangkap oleh sel dendritic yang bertindak sebagai antigen presenting cell (APC). Sel ini akan mengaktivasi limfosit T yang ada di dalam PALS. Limfosit T yang telah aktif akan bermigrasi ke zona marginal dan membentuk suatu kluster, dan dibuktikan dengan adanya kluster sel limfosit yang memproduksi sitokin yang berdekatan dengan sel B. sel limfosit B kemudian berespon terhadap antigen atas bantuan limfosit T helper yang aktif di PALS. Pada langkah berikutnya, sel B yang telah diaktifkan akan bermigrasi ke folikel-folikel limfoid dan mulai untuk berproliferasi dan membentuk suatu struktur yang disebut dengan germinal centre (Di Sabatino et al., 2006). Setelah respon antibodi terbetuk, sel limfosit B akan mengekspresikan reseptor immnuglobulin dengan afinitas yang lebih tinggi secara progresif terhadap antigen. Sel B yang tidak mampu mengenali antigen akan mengalami apoptosis. Akhirnya sel-sel limfosit ini akan meninggalkan germinal centre dan menjadi sel-sel yang memproduksi antibody dengan kecepatan tinggi di lokasi ekstra folikel, seperti misalnya di pulpa merah lien dan pada medulla dari limfonodi. Di pusat germinal pula, ada beberapa sel limfosit B yang tidak mensekresikan antibodi, namun dapat bertahan hidup untuk jangka waktu yang lama walau tanpa stimulus dari antigen. Sel-sel ini akan bersirkulasi secara bebas antara darah dan jaringan limfoid dan berespon secara cepat jika terjadi reinokulasi dengan antigen yang sama. Sel ini adalah sel-sel memori, yang dipertahankan oleh suatu antigenic stimulasi oleh sel dendritic folikular selama berbulan-bulan bahkan tahunan (Shaw, et al. 1996). 10 Makrofag lien memainkan peran penting dalam proses penghancuran bakteri dari darah. Contohnya polisakarida pneumokokal yang dapat dihilangkan dengan cara yang sangat efektif di dalam lien, namun dalam keadaan telah mengalami spenektomi, berakibat terakumulasinya polisakarida di limfonodi pada percobaan terhadap tikus. Terdapat bukti bahwa makrofag zona germinal dapat berperan sebagai APC terhadap polisakarida, dan mempresentasikannya kepada sel limfosit B untuk menginduksi antibody Ig M spesifik anti polisakarida. Yang cukup mengejutkan adalah, pada tikus yang displenektomi dan diberikan immunisasi dengan polisakarida, sel yang mengandung antibody Ig A didapatkan pada limfonodi mesenterika. Ini sangat mungkin menunjukkan sel klon limfosit B yang diaktifkan oleh eksposur sebelumnya atau polisakarida kapsul alami atau reaksi silang antigen, memproduksi IgA (Jirillo, et al. 2003). Studi eksperimental lainnya menunjukkan bahwa tikus yang asplenia, memiliki aktivitas bakterisidal dan fagositik dari makrofag alveolar yang menurun, yang juga didukung dengan adanya bukti dari limfonodi pulmonal yang terisi oleh bakteri hidup. Temuan ini menunjukkan bahwa lien dapat memproduksi sitokin, mis. Interleukin (IL)-1 dan granulocyte colony stimulating factor, yang dapat meningkatkan fungsi makrofag alveolar (Hebert, et al. 1994). Peran kunci lien dalam memulai respon imun terhadap bakteri berkapsul, diindikasikan oleh berkurangnya secara signifikan jumlah sel B memori IgM ini setelah pengangkatan lien (Di Sabatino, 2011). Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya penurunan kadar interferon (IFN)- gamma dan IL-4 pada pasien-pasien yang displenektomi. Ketidakseimbangan antara sitokin tipe Th1 dan Th2 dapat 11 berbahaya bagi host oleh karena baik respon imun seluler dan humoral menurun. Faktanya, ketiadaan dari produksi IFN gamma dapat membantu masuknya bakteri intrasel dan/atau virus oleh karena defisiensi aktivasi dari makrofag dan/atau sel T sitotoksik. Di lain pihak, berkurangnya pembentukan IL-4 dapat mempengaruhi produksi antibody dalam hal pertukaran kelas isotipe dan survival limfosit B pada lien, yang ditunjukkan pada berbagai eksperimen pada murine (Erb, 2007). Sel limfosit B memori IgM ini memerlukan organ lien untuk kelangsungan hidup dan regenerasinya. Jaringan limfoid perifer termasuk lien, bekerja dengan prinsip yang sama, menangkap antigen dari lokasi infeksi dan membawanya untuk ditunjukkan kepada limfosit, sehingga menginduksi respon imun adaptif. Lien juga mengeleluarkan sinyal kepada limfosit yang tidak bertemu dengan antigen spesifiknya. Hal ini penting untuk mempertahankan jumlah limfosit T dan B yang cukup dan memastikan hanya limfosit dengan potensi untuk berespon terhadap antigen asing, yang dipertahankan. Sel limfosit B ini memiliki kemampuan unik yang dapat memproduksi antibodi alamiah yang diperlukan untuk menghadapi S. pneumoniae, Neisseria meningitidis, dan Haemophilus influenzae type B, dan dapat mengawali respon imun independen sel T terhadap adanya infeksi ataupun vaksinasi dengan antigen kapsul polisakarida. Penurunan jumlah sel B memori IgM ini telah dilaporkan pada anak-anak berusia kurang dari 2 tahun oleh karena immaturitas zona marginal, pasien dengan immunodefisiensi, pasca splenektomi dan individu dengan asplenia kongenital atau hiposplenisme, dan pasien usia lanjut (Di Sabatino, et al. 2011). 12 2.4. Respon Imun Humoral Berbagai macam bakteri penyebab infeksi pada manusia berkembang biak pada ruang ekstraseluler dari tubuh, dan kebanyakan pathogen intrasel menyebar dengan bergerak dari sel ke sel melalui cairan ekstrasel. Ruang ekstrasel dilindungi oleh respon imun seluler, dimana antibodi yang diproduksi oleh sel limfosit B menyebabkan penghancuran mikroorganisme ekstrasel dan mencegah penyebaran infeksi intraselular. Aktivasi sel limfosit B dan differensiasinya menjadi sel plasma yang menseksresikan antibodi, dipicu oleh antigen dan biasanya memerlukan sel T helper. istilah sel T helper sering digunakan untuk sel T CD4 kelas TH2, namun suatu subset sel CD4 TH1 juga membantu aktivasi sel limfosit B (Janeway, 2001). Limfosit T dan B yang telah mengalami maturasi di sumsum tulang dan thymus namun belum bertemu dengan antigen, dinamakan sebagai limfosit naïve. Sel-sel ini bersirkulasi secara kontinyu dari darah menuju jaringan limfoid perifer dengan cara melewati celah diantara sel-sel dinding kapiler. Sel-sel ini kemudian kembali masuk ke aliran darah melalui pembuluh limfe, atau pada lien secara langsung masuk pembuluh darah. Jika terjadi suatu infeksi di organ perifer, sejumlah besar antigen akan dibawa oleh sel-sel dendritic yang kemudian berjalan dari tempat infeksi menuju pembuluh limfa afferent ke limfonodi. Di limfonodi, sel dendritic ini akan menunjukkan antigen pada sel limfosit T, dan sekaligus mengaktifkannya. Sel limfosit B yang bertemu dengan antigen ketika sedang bermigrasi melalui limfonodi juga ditahan dan mengalami aktivasi, dengan bantuan dari beberapa limfosit T. Limfosit yang mengenali agen infeksi ini akan 13 tertahan di lien, dimana kemudian mereka berproliferasi dan berdifferensiasi, Limfosit T akan berproliferasi menjadi sel-sel efektor antigen spesifik yang mampu untuk melawan infeksi, sedangkan limfosit B akan berproliferasi dan berdifferensiasi menjadi sel penghasil antibody (Janeway, 2001). Pengikatan antigen-reseptor dan ko-stimulasi sel T Pengikatan antigen-reseptor dan stimulasi sel B oleh T Proliferasi dan differensiasi Proliferasi dan differensiasi Gambar 2.2. Aktivasi limfosit (Janeway, 2001) Antibodi adalah produk spesifik pertama dari respon imun adaptive yang dapat ditemui. Antibody ditemukan pada komponen cairan dari darah, atau plasma, dan cairan ekstrasel. Oleh karena cairan tubuh dahulu dikenal dengan nama humors, maka immunitas yang diperantarai oleh antibody dikenal sebagai immunitas humoral. Mekanisme yang paling sederhana dan langsung bagi antibody untuk melindungi tubuh dari pathogen atau produk toksiknya adalah dengan cara berikatan dengan mereka, dan oleh karenanya menghambat akses pathogen untuk menyerang sel-sel tubuh. Cara seperti ini disebut dengan neutralisasi, dan penting untuk perlindungan terhadap toxin-toxin bakteri dan melawan pathogen seperti virus, yang kemudian dapat dicegah memasuki sel dan berreplikasi. Pengikatan 14 pathogen oleh antibody ini, tidak cukup untuk menahan replikasi dari bakteri yang berkembang di luar sel. Untuk kasus seperti ini, peran antibody adalah untuk memungkinkan sel fagosit untuk mencerna dan menghancurkan bakteri. Mekanisme seperti ini penting bagi berbagai bakteri yang memiliki kemampuan untuk menghindari pengenalan langsung oleh fagosit, dimana fagosit mengenali daerah konstan dari antibody yang telah berikatan dengan bakteri. Proses penyelimutan pathogen dan partikel asing seperti ini dikenal dengan nama opsonisasi (Janeway, 2001). Aktivasi sel B Sekresi antibodi Neutralisasi Opsonisasi Aktifasi komplemen Gambar 2.3. Respon immune humoral diperantarai oleh molekul antibody yang disekresikan oleh sel plasma (Janeway, 2001). 15 2.5. Produksi Immunoglobulin Antibodi merupakan suatu bentuk dari reseptor antigen yang disekresikan sel limfosit B. Antibody ini diproduksi dalam jumlah yang sangat besar dalam respon terhadap antigen. Struktur antibodi yang dikenal saat ini terdiri dari dua region yang berbeda. Satu bagian adalah daerah yang konstan yang hanya dapat menerima satu dari empat atau lima bentuk yang dapat dibedakan secara biokimiawi, satu bagian lagi adalah daerah variabel yang dapat menerima berbagai bentuk sehingga memungkinkan berikatan secara spesifik terhadap berbagai jenis antigen berbeda. Antibodi merupakan molekul berbentuk Y, memiliki daerah variable (V region) yang identik pada satu molekul antibodi, dan menentukan spesifitas pengikatan antigen dari antibodi ini, dan daerah konstan (C region) menentukan bagaimana antibodi mengatur pathogen setelah berikatan (Liu, 1991). Gambar 2.4. Struktur skematik dari molekul antibody (Janeway, 2001) 16 Setiap molekul antibody memiliki dua rangkap aksis simetris dan terdiri dari dua rantai berat dan dua rantai ringan yang identic. Rantai ringan dan berat , keduanya memiliki daerah variable dan konstan. Lengan variable dari rantai ringan dan berat, bersatu untuk membentuk tempat pengikatan antigen, sehingga kedua rantai berkontribusi terhadap spesifitas pengikatan antigen dari molekul antibody. Batang dari molekul Y ini, akan menentukan kelas (isotype) dari antibody dan menentukan sifat-sifat fungsionalnya, mengambil satu dari lima bentuk utama atau isotype yakni immunoglobulin G, A, M, D, dan E. Tiap-tiap kelas dari antibody, menentukan mekanisme efektor yang berbeda untuk menghilangkan antigen setelah dikenali (Liu, 1991). Antibodi diproduksi oleh limfosit B yang telah teraktivasi. Limfosit B naïve yang mengenali antigen spesifiknya, akan berhenti untuk bermigrasi dan kemudian membesar. Kromatin dalam nukleus menjadi kurang padat, nucleoli muncul, terjadi peningkatan volume nucleus dan sitoplasma, dan terjadi sintesis RNA dan protein baru. Dalam beberapa jam, sel akan terlihat sangat berbeda dan dikenal sebagai limfoblast. Limfoblast kemudian mulai membelah diri, secara normal menduplikasi dirinya 2-4 kali tiap 24 jam selama 3-5 hari, sehingga sebuah limfosit naive akan menghasilkan sekitar 1000 sel klon dengan spesifitas yang identik. Sel-sel klon ini akan berdifferensiasi menjadi sel plasma yang mensekresikan antibody. Sel limfosit B hasil klon ini hanya memiliki usia yang terbatas, dan setelah antigen dihilangkan, sebagian besar sel-sel yang dihasilkan dari ekspansi klonal ini mengalami apoptosis. Meski demikian, beberapa dari sel klon ini tetap bertahan setelah antigen dieliminasi. Sel-sel yang bertahan ini 17 dikenal dengan nama sel memori, yang menjadi dasar memori immunologi yang memastikan respon yang lebih cepat dan efektif pada saat antigen yang sama dari pathogen memasuki tubuh dan oleh karenanya memberikan kekebalan yang bertahan lama (Janeway, 2001). Jaringan limfoid perifer termasuk lien, merupakan jaringan yang khusus tidak hanya untuk menangkap sel fagosit yang membawa antigen, namun juga untuk meningkatkan interaksinya dengan limfosit yang dibutuhkan untuk memulai respon imun adaptif. Lien dan limfonodi adalah organ yang sangat terorganisir untuk fungsi ini. Semua limfosit yang merespon antigen, tidak hanya memerlukan sinyal yang dihasilkan pengikatan antigen terhadap reseptornya, namun juga memerlukan sinyal kedua yang diberikan oleh sel lainnya. Sel limfosit B yang menghasilkan antibody, memperoleh sinyal dari sel efektor limfosit T (Rajewsky, 1996). Pathogen paling sering memasuki tubuh melalui barrier mukosa yang melapisi traktus respirasi, digestif, dan urogenital, atau melalui kulit yang rusak, sehingga menyebabkan terjadinya infeksi pada jaringan tersebut. Cara lain yang lebih jarang adalah melalui luka tusukan atau gigitan binatang yang membawa mikroorganisme langsung ke aliran darah. Seluruh permukaan mukosa dari tubuh, jaringan dan darah dilindungi oleh antibody dari infeksi seperti ini. Antibody ini berperan untuk menetralisir pathogen atau mempromosikan eliminasinya. Antibody dari isotipe yang berbeda beradaptasi untuk berfungsi pada kompartemen berbeda dari tubuh. Karena daerah variable dari suatu antibody dapat berhubungan dengan berbagai macam daerah konstan melalui pengalihan 18 isotipe, maka seluruh turunan dari sel limfosit B tunggal dapat memproduksi antibody, yang seluruhnya spesifik terhadap antigen pencetus yang sama, sehingga menyediakan seluruh fungsi perlindungan yang sesuai untuk tiap-tiap kompartemen tubuh (Janeway, 2001). IgM adalah antibody pertama yang dihasilkan dari respon imun humoral dan selalu menjadi yang pertama karena IgM dapat diekspresikan langsung tanpa melalui pengalihan isotipe. IgM awal yang dihasilkan ini diproduksi sebelum sel B mengalami hipermutasi somatic dan karenanya memiliki afinitas rendah. Molekul IgM, bagaimanapun juga dapat membentuk pentamer dimana 10 lokasi pengikatan antigennya dapat berikatan secara simultan dengan antigen multivalent seperti misalnya polisakarida dari kapsul bakteri. Hal ini mengkompensasi rendahnya secara relative, afinitas IgM monomer. Sebagai akibat dari ukuran pentamer yang besar, IgM terutama ditemukan di darah dan sebagian pada cairan limfe. Struktur pentamer dari IgM membuatnya secara khusus efektif dalam mengaktifkan system komplemen. Infeksi pada aliran darah memiliki konsekuensi serius, kecuali dapat dikontrol dengan cepat, dan produksi yang cepat dari IgM dan aktivasi komplemen yang efisien merupakan hal yang sangat penting dalam infeksi semacam ini. Beberapa IgM juga dihasilkan pada respon sekunder dan lanjutan, dan setelah hipermutasi somatic, meski isotipe lain mendominasi fase berikutnya dari respon antibody (Janeway, 2001). Antibodi dari isotipe lainnya, IgG dan IgA memiliki ukuran yang lebih kecil dan dapat berdifusi dengan mudah keluar dari aliran darah menuju jaringan. IgA dapat membentuk dimer, sedangkan IgG selalu dalam bentuk monomer. 19 Affinitas dari tiap-tiap lokasi pengikatan antigen oleh karenanya lebih tinggi dari antibody tipe ini, dan kebanyakan dari sel limfosit B penghasil antibody ini mengekspresikan isotipe yang telah dipilih untuk memiliki daya ikat yang lebih tinggi untuk antigen yang spesifik di pusat germinal. IgG merupakan isotipe utama pada darah dan cairan ekstrasel. IgG secara efisien dapat mengopsonisasi pathogen untuk dapat dicerna oleh fagosit dan mengaktivasi system komplemen. IgA sendiri paling banyak ditemukan di sekresi tubuh, dimana yang paling penting adalah dari epitel saluran cerna dan pernafasan. Daya aktivasi komplemen dan opsonisasi IgA lebih rendah dibandingkan IgG, karena memang tempat kerja IgA terutama pada permukaan epitel dimana komplemen dan sel fagosit normalnya tidak ada, dan oleh karenanya fungsi utamanya adalah sebagai antibody penetral (neutralizing antibody) (Janeway, 2001). Tabel 2.1. Karakteristik tiap immunoglobulin dan rata-rata kadar dalam serum (Janeway, 2001) Aktifitas fungsional Netralisasi Aktifitas fungsional Opsonisasi Sensitisasi oleh NK Sensitisasi oleh sel Mast Aktifasi komplemen Distribusi Transpor epitel Melewati plasenta Difusi ekstravaskular Mean serum mg/ml