BAB I PENDAHULUAN A.LATAR BELAKANG Pewarisan merupakan suatu halyang sangat penting dalam kehidupan manusia, karena untuk menyatakan perbuatan meneruskan harta kekayaan yang ditinggalkan oleh pewaris untuk melakukan pembagian harta warisan kepada ahli warisnya. Ketika ahli waris masih hidup maka warisannya berarti penujukkan, tetapi setelah pewaris wafat berarti terdapat pembagian warisannya. 1Didalam hukum waris dikenal istilah-istilah seperti pewaris, ahli waris, harta waris, boedel, testament, legaat, dan legitieme portie. 2 Yang dimaksud Pewarisadalah orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta benda kepada orang lain. Ahli waris ialah orang yang menggantikan pewaris didalam kedudukannnya terhadap warisan. Harta waris atau disingkat warisan ialah segala harta kekayaan yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia yang berupa semua harta kekayaan dari yang meninggal dunia setelah dikurangi semua utangnya. Boedel ialah warisan berupa kekayaan saja. Testament atau wasiat ialah suatu akta yang memuat ketentuan mengenai harta peninggalannnya, apabila seorang meninggal dunia. Legaat atau hibah wasiat adalah suatu testament dimana ditunjuk orang tertentu yang akan menerima suatu barang tertentu apabila pewaris 1 Mitchon Purba, wawancara, Kabanjahe 10 November 2016 Ali Afandi, “Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian,Jakarta:Rineka Cipta ,2000,”. Hal.7 2 Universitas Sumatera Utara meninggal, orang yang ditunjuk ini disebut legataris. Legitieme portie adalah bagian dari harta peninggalan yang tidak dapat dikurangi dengan testament atau pemberian lainnya oleh pewaris. Dalam hal pewarisan seringkali menimbulkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Masalah ini sering kali muncul karena adanya salah satu ahli waris yang merasa tidak puas dengan pembagian warisan yang diterimanya. Hal ini timbul dari sifat serakah manusia yang berkeinginan untuk selalu mendapatkan yang lebih dari apa yang telah diperolehnya. Untuk mendapatkan harta warisan sesuai dengan jumlah yang diinginkannya, para ahli waris menempuh segala cara yang dapat dilakukan guna mencapai tujuannya, baik melalui jalan hukum maupun dengan jalan melawan hukum. Jika perolehan harta warisan dilakukan dengan jalan melawan hukum, sudah tentu ada sanksi hukum yang menanti para pihak yang melakukan perbuatan itu. Akan tetapi jika perolehan harta warisan dilakukan dengan jalan sesuai dengan hukum, maka tidak akan ada sanksi hukum yang diberikan. Masalah yang timbul adalah apakah jalan hukum yang ditempuh tersebut memenuhi prinsip keadilan bagi semua pihak yang berperkara. Terutama di dalam masalah warisan, sering kali putusan yang adil bagi salah satu pihak belum tentu dianggap adil oleh pihak yang lain. Universitas Sumatera Utara Hak opsi diperbolehkan dalam masalah pembagian warisan, sebab ada dua sistem hukum yang dapat dipilih oleh para pihak dalam menentukan pembagian warisan, yaitu hukum Islam dan hukum adat. Dua sistem hukum itu mempunyai perbedaan yang prinsip, oleh karena itu ada dua lembaga yang berwenang untuk memutus apabila terjadi sengketa waris. Untuk hukum Islam yang berwenang adalah Pengadilan Agama, sedang untuk hukum adat yang berwenang adalah Pengadilan Negeri. Ketentuan pembagian warisan dari dua sistem hukum tersebut seringkali mempunyai perbedaan, maka terjadi pilihan hukum yang bisa digunakan sebagai dasar penyelesaian masalah pembagian warisan. Masalah hak opsi ini bisa menjadi masalah baru dalam pembagian harta warisan, sebab para pihak cenderung memilih hukum sesuai dengan kepentingannya sendiri, yaitu hukum yang bisa memberikan peluang untuk mendapatkan pembagian warisan yang lebih menguntungkan dirinya. Jika para pihak berpendapat dengan sadar, nilai-nilai hukum Eropa lebih adil, itulah yang akan diterapkan dalam menyelesaikan pembagian warisan. Jika hukum waris Islam yang dipandang lebih adil, undang-undang tidak melarang. Sepenuhnya terserah kepada mereka untuk menentukan pilihan. Hakim tidak berwenang untuk memaksakan pilihan hukum tertentu. Pemaksaan dari pihak hakim adalah tindakan yang melampui batas kewenangan dan dianggap bertentangan dengan “ketertiban umum” dan undang-undang. Pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan keberatan serta meminta agar pembagian dinyatakan batal dan tidak mengikat. Universitas Sumatera Utara Di Indonesia, masalah kewarisan masih memberlakukan tiga sistem Hukum yaitu: 1) KUH Perdata Hukum waris (erfecht) ialah hukum yang mengatur kedudukan antara kekayaan seseorang apabila orang tersebut meninggal dunia. Prof. Wirjono Prododikoro menuturkan bahwa hukum waris sebagai soal apakah dan bagaimanakah berbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seorang ketika meninggal dunia akan beralih kepada orang yang masih hidup. Dalam kata lain hukum waris dapat dirumuskan sebagai salah satu peraturan hukum yang mengatur tentang beralihnya harta warisan dari pewaris karena kematian kepada ahli waris atau orang ditunjuk . Hak-hak dan kewajiban tersebut sepanjang termasuk dalam lapangan hukum harta kekayaan atau hanya hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, sebagaimana tertera dalam pasal 830 KUHPerdata yaitu, pewarisan hanya berlangsung karena kematian. Sistem hukum menurut KUH Perdata meliputi seluruh harta benda beserta hak-hak dan kewajiban-kewajiban pewaris dalam lapangan hukum harta kekayaan yang dapat dinilai dengan uang. akan tetapi terhadap ketentuan tersebut ada beberapa pengecualian, dimana hak-hak dan kewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan ada juga yang tidak dapat beralih kepada ahli waris , yaitu: Universitas Sumatera Utara Hak memungut hasil (vruchtgebruik) a) Perjanjian pemburuhan, dengan pekerjaan yang harus dilakukan bersifat pribadi. b) Perjanjian perkongsian dagang, baik yang berbentuk maatschap menurut BW maupun Firma menurut WVK, sebab perkongsian ini berakhir dengan meninggalnya salah seorang anggota persero. Beberapa hak yang walaupun hak itu terletak dalam lapangan hukum keluarga, akan tetapi dapat diwariskan kepada ahli waris pemilik hak tersebut, yaitu: a.) Hak seorang ayah untuk menyangkal sahnya seorang anak b.) Hak seorang anak untuk menuntut supaya ia dinyatakan sebagai anak yang sah dari bapak atau ibunya. Berdasarkan pasal 528 KUHPerdata, hak waris diidentikan dengan hak kebendaan, sedangkan ketentuan pasal 584 KUHPerdata menyebutkan hak waris sebagai salah satu cara untuk memperoleh hak kebendaan. Oleh karenanya dalam BW, penempatannya dimasukan dalam buku II BW tentang Benda (pasal 830 s/d 1130) .3 Sistem waris BW tidak mengenal istilah “harta asal maupun harta gonogini” atau harta yang diperoleh bersama dalam perkawinan, sebab harta warisan dalam BW dari siapa pun juga, merupakan kesatuan yang secara bulat dan 3 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Universitas Sumatera Utara utuh dalam keseluruhan akan beralih tangan peninggal warisan/pewaris ke ahli warisnya. Artinya, dalam BW tidak dikenal perbedaan pengaturan atas dasar macam atau asla barang-barang yang ditinggalkan pewaris. Seperti yang ditegaskan dalam pasal 849 BW yaitu, undang-undang tidak memandang sifat atau asal barang-barang dalam suatu peninggalan untuk mengatur pewarisan terhadapnya. Sistem hukum BW menyebutkan harta asal yang dibawa masing-masing ketika menikah, maupun harta yang diperoleh selama perkawinan digabungkan menjadi satu kesatuan yang bulat yang akan beralih dan diwarisi oleh seluruh ahli warisnya. Siapa yang berhak mewaris harta peninggalan seseorang diatur oleh undang-undang dan terbagi atas beberapa golongan. Mengenai keluarga sedarah dan isteri (suami) yang hidup paling lama, dapat diadakan 4 penggolongan yaitu 4: 1. Golongan 1, temasuk anak-anak beserta turunan-turunan dalam garis keturunan ke bawah, dengan tidak membedakan laki-laki atau perempuan dan dengan tidak membedakan urutan kelahiran. 2. Golongan 2, termasuk bapak, ibu, dan saudara-saudara si meninggal 3. Golongan 3, keluarga sedarah dalam garis bapak lurus keatas dan keluarga sedarah dalam garis ibu.lurus keatas (ps.858 ayat 1) 4. Golongan 4, seorang waris yang terdekat pada tiap garis (pasal 853 dan 858 ayat 2) 4 Ali Afandi, op.cit., hal 35 Universitas Sumatera Utara 2) Hukum Islam Warisan atau kewarisan yang sudah populer dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab yaitu: warasa yang berarti pindahnya harta si Fulan. Waris dalam bahasa Indonesia berarti peninggalan-peninggalan yang ditinggalkan oleh seseorang yang telah meninggal dunia. Hukum waris di dalam hukum Islam lazim juga disebut dengan istilah “Faraid” yang berarti pembagian tertentu.5 Menurut pendapat Hasby al-Siddieqy telah mendefinisikan mawaris sebagai jama’ dari kata atau lafaz Mirast, demikian juga irs, Wars, Wirasah dan turas diartikan dengan maurus yaitu harta pusaka peninggalan orang yang meninggal yang diwarisi oleh para pewarisnya sedangkan lafaz waris adalah orang yang berhak menerima pusaka. Kemudian lafadz tarikah/tirkah menurut beliau ialah apa yang ditinggalkan seseorang yang telah meninggal dunia, baik berupa harta maupun berupa hak yang bersifat harta atau hak yang lebih kuat unsur hartanya terhadap seseorang tanpa melihat siapa yang berhak menerimanya. 6 Asas berlakunya Hukum Waris dalam Islam yaitu : 1. Asasberlaku dengan sendiri (ijbari) Dalam Hukum Kewarisan Islam mengandung arti bahwa peralihan harta seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan 5 Ali, Mohammad Daud, 1998, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hal10 6 Ibid, hal 15 Universitas Sumatera Utara sendirinya menurut ketetapan Allah tanpa digantungkan kepada kehendak pewaris atau ahli warisnya. Unsur “memaksa” (ijbari) ini terlihat, terutama dari kewajiban ahli waris untuk menerima perpindahan harta peninggalan pewaris kepadanya sesuai dengan jumlah yang ditentukan oleh Allah di luar kehendaknya sendiri. Oleh karena itu, calon pewaris yaitu orang yang akan meninggal dunia pada suatu ketika, tidak perlu merencanakan penggunaan hartanya setelah ia meninggal dunia kelak, karena dengan kematiannya, secara otomatis hartanya akan beralih kepada ahli warisnya dengan perolehan yang sudah dipastikan. 2. Azas Bilateral Istilah bilateral apabila dikaitkan dengan sistem kekerabatan berarti kesatuan kekeluargaan yang didasarkan atas garis keturunan pihak bapak dan ibu. Oleh sebab itu, asas bilateral dalam hukum kewarisan berarti seorang ahli waris dapat menerima bagian harta pusaka, baik dari pihak ayah maupun pihak ibu. Pengertian ini mempunyai makna bahwa harta pusaka dari pewaris dapat dimiliki secara perorangan oleh ahli waris bukandimiliki secara berkelompok. Praktek pelaksanaan dalam asas tersebut dilakukan dengan mengumpulkan seluruh harta waris yang dinyatakan dalam nilai tertentu kemudian dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak menerima berdasarkan kadar bagian masingmasing. Dalam hal ini, pewaris berhak sepenuhnya terhadap bagian yang diperoleh tanpa terikat oleh ahli waris yang lain. Universitas Sumatera Utara 3. Azas Persamaan Hak dan perbedaan bagian Hukum waris Islam tidak membedakan perbedaan antara laki-laki dan perempuan, baik berstatus masih kecil dan mereka yang sudah dewasa semua memiliki hak untuk mendapatkan warisan. Jadi persamaan hak ini dapat dilihat dari segi usia dan jenis kelamin. Perbedaannya hanya terletakpada bagian yang akan didapat setiap ahli waris. Hal ini disesuaikan dengan perbedaan proporsi beban kewajiban yang harus ditunaikan dalam keluarga. 4. Azas keadilan Berimbang Perkataan adil terdapat banyak dalam al-Qur’an. Oleh karena itu, kedudukannya sangat penting dalam sistem hukum Islam, termasuk hukum kewarisan di dalamnya. Oleh karena itu, dalam sistem ajaran Islam, keadilan itu adalah titik tolak, proses dan tujuan segala tindakan manusia. Asas yang menyatakan bahwa kewarisan ada kalau ada yang meninggal dunia. Ini berarti bahwa kewarisan semata-mata sebagai akibat dari kematian seseorang. Menurut hukum kewarisan Islam, peralihan harta seseorang kepada orang lain yang disebut dengan nama kewarisan, terjadi setelah orang yang mempunyai harta itu meninggal dunia. Ini berarti bahwa harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain dan disebut sebagai harta warisan, selama orang yang mempunyai harta itu masih hidup. 7 7 Ibid, hal 20 Universitas Sumatera Utara Berarti bahwa segala bentuk peralihan harta seseorang yang masih hidup kepada orang lain baik secara langsung maupun yang akan dilaksanakan kemudian sesudah kematiannya, tidak termasuk ke dalam kategori kewarisan menurut hukum Islam. Oleh karena itu hukum kewarisan islam hanya mengenal satu bentuk kewarisan saja, yaitu kewarisan sebagai akibat dari kematian seseorang. 8 Dalam literatur fiqh dijelaskan mengenai penghalang untuk mendapatkan hak waris yaitu ada tiga, di antaranya: 1. Membunuh seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan an Nasai dari Qutaibah bahwa Rasulullah bersabda, orang yang membunuh tidak mewarisi. 2. Karena berbeda agama sebagaimana dikemukakan dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim bahwa Rosulullah bersabda, “tidak mewarisi orang muslim terhadap orang kafir dan orang kafir terhadap orang muslim”. Dalam fiqh konvensional, pembahasan mengenai perbedaan agama menjadi penghalang menerima waris, selain ditinjau dari faktor geografi dan wilayah politik yang tidak kondusif hubungan ismah dan perwalian juga menjadi alasan para ulama dalam membahas perbedaan agama. 3. Perbudakan, meskipun pembahasannya sudah dianggap usang, namun dalam kitab fiqh masih membahasnya. Hal ini didasarkan pada Firman Allah dalam surat an Nahl ayat 7521. Ayat ini menegaskan bahwa seorang 8 Lubis, Suhrawardi K. dan Komis Simanjutak, (Jakarta: Sinar Grafika.1995), Hukum Waris Islam Lengkap dan Praktis, hal 8 Universitas Sumatera Utara hamba tidak mempunyai kekuasaan apapun, sehingga kalaupun ia diberi hak waris maka pemiliknya lah yang akan menguasainya. Dalam Kompilasi Hukum Islam tidak dikenal mengenai penghalang waris akibat perbedaan Negara dan perbudakaan, akan tetapi memperluas mengenai makna membunuh yang menjadi penghalang menerima waris menurut KHI kepada beberapa hal seperti pada Pasal 173 KHI yaitu seseorang yang telah dipersalahkan : 1. telah membunuh 2. mencoba membunuh 3. menganiaya berat para pewaris; 4. memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat. Istilah Hukum Adat merupakan terjemahan dari istilah Belanda: “AdatRecht” yang pertama kali dikemukakan oleh Snouck Hurgronje yang kemudian dipakai oleh Van Vollen Hoven. Menurut Van Vollen Hoven sendiri hukum adat adalah keseluruhan tingkah laku positif yang disatu pihak mempunyai sanksi dan pihak lain dalam keadaan tidak dikodifikasikan. 9 9 Imam Hidayat, Azas-azas Hukum Adat Bekal Pengantar,Yogyakarta:Liberty, Hal 1 Universitas Sumatera Utara 3) Hukum Adat Hukum waris adat merupakan suatu peraturan yang mengatur masalah pewarisan adat. Sebagaimana dinyatakan oleh Soepomo. Hukum adat waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak terwujud benda (immateriele goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada turunannya. 10 Hukum adat waris di Indonesia sangat dipengaruhi oleh prinsip garis keturunan yang berlaku pada masyarakat yang bersangkutan, baik itu patrilinial, matrilinial ataupun bilateral. Prinsip-prinsip garis keturunan terutama berpengaruh terhadap penetapan ahli waris maupun bagian harta peninggalan yang diwariskan. Hukum adat waris mengenal adanya tiga sistem kewarisan, 11 yaitu : 1) Sistem kewarisan individual Sistem pewarisan dimana setiap ahli waris mendapatkan pembagian untuk dapat menguasai dan atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masingmasing secara individual atau perorangan. Setelah harta warisan itu diadakan pembagian, maka masing-masing ahli waris dapat menguasai dan memiliki bagian harta warisannya untuk digunakan dan dinikmati. Sistem hukum adat seperti ini biasanya dapat kita temui di wilayah Jawa, Batak, Sulawesi. 2) Sistem kewarisan kolektif 10 http://jawaposting.blogspot.co.id/2011/02/pengertian-dan-istilah-hukum-waris-adat.html, Diakses tanggal 4 Januari 2017 11 Soekanto, Soejono, Hukum Adat Indonesia, Jakarta: CV. Rajawali, 1986,hal 10 Universitas Sumatera Utara Sistem ini merupakan pengalihan kepemilikan harta peninggalan dari pewaris kepada ahli waris sebagai kesatuan yang tidak terbagi-bagi penguasaan dan pemilikannya, melainkan setiap ahli waris berhak untuk mengusahakan, menggunakan, atau mendapat hasil dari harta peninggalan itu. Sedangkan cara pemakaiannya diatur bersama atas dasar musyawarah dan mufakat oleh semua anggota kerabat yang berhak atas harta peninggalan dibawah bimbingan kepala kerabat. Sistem pewarisan adat yang seperti ini biasanya digunakan masyarakat adat Minangkabau. 3) Sistem kewarisan mayorat Sebenarnya sistem pewarisan mayorat hampir sama dengan sistem kewarisan kolektif, hanya saja pengalihan harta yang tidak terbagi itu dilimpaahkan kepada anak tertua yang bertugas sebagai pemimpin keluarga, menggantikan kedudukan ayah atau ibu sebagai kepala keluarga, yakni mengurus dan memelihara adik-adiknya sampai mereka dapat berdiri sendiri. 12 Jadi disini, yang paling berhak mendapatkan dan menguasai harta pewaris adalah anak tertua dari pewaris tersebut. Berdasarkan pengaruh dari prinsip garis keturunan yang berlaku pada masyarakat itu sendiri, maka yang menjadi ahli waris tiap daerah akan berbeda. Masyarakat yang menganut prinsip patrilineal seperti Batak, yang merupakan ahli waris hanyalah anak laki-laki, demikian juga di Bali. 12 Ibid, hal 15 Universitas Sumatera Utara Berbeda dengan masyarakat di Sumatera Selatan yang menganut matrilineal, golongan ahli waris adalah anak perempuan. Masyarakat Jawa yang menganut sistem bilateral, baik anak laki-laki maupun perempuan mempunyai hak sama atas harta peninggalan orang tuanya. Pada masyarakat Adat terdapat proses peralihan harta waris sering disebut dengan proses pewarisan. Pengertian dari pewarisan itu sendiri adalah cara bagaimana pewaris berbuat untuk meneruskan harta kekayaan yang akan ditinggal kepada ahli waris ketika pewaris masih hidup dan bagaimana harta warisan itu dibagikan kepada ahli waris ketika pewaris telah wafat. Pewarisan pada masyarakat adat mungkin saja dialihkan saat pewaris masih hidup, hal ini dapat dibuktikan misalnya saat orang tua mengalihkan barang harta keluarga kepada anak-anak saat masih hidup. Sebagai contoh, terdapat keluarga yang terdiri dari dua anak laki-laki, serta anak perempuan. Anak laki-laki tertua telah dewasa dan cakap bekerja, maka ayahnya memberikan sebidang sawah yang dilakukan di hadapan kepala desa. Pemberian tersebut bersifat mutlak dan merupakan pewarisan atautoescheiding, sebab perbuatan tersebut bukan merupakan jual beli tetapi pengalihan harta benda dalam lingkungan keluarga sendiri. Universitas Sumatera Utara Van Den Berg datang dengan teori yaitu Receptio In Complexu, menurut beliau adat istiadat dan hukum merupakan suatu golongan(hukum) masyarakat yaitu resepsi dan seluruhnya dari agama yang dianut golongan masyarakat itu. 13 Pendapat van den berg dibantah oleh Snouck Hurgronje dan van Vollen Hoven. Menurut pendapat Snocuk Hurgronje tidak semua bagian hukum dapat diterima dalam hukum adat. Bagian yang dapat diterima hukum sebagai hukum adat yaitu hukum perkawinan dan hukum waris,pendapat demikian perlandaskan atas tanggapan bahwa suatu kepercayaan dan kehidupan batiniah, jadi suatu ketentuan yang bersifat mutlak dan selayaknya pada tiga sisi hukum adat dapat dipengaruhi dan dapat dimasuki paham yang ada dalam hukum agama. 14 Tetapi Pendapat Snocuk Hurgronje mendapat bantahan dari TerHaar, menurut pendapat Ter Haar yaitu hukum waris tidak dipengaruhi oleh hukum agama melainkan tetap asli . Sebagai contoh terdapat di Minangkabau hukum waris adalah tetap asli yaitu himpunan norma-norma yang cocok dengan susunan dan struktur masyarakat dan alam Minangkabau. 15 Dari sekian pertentangan dan susahnya memberi pengertian hukum adat, bahwa hanya dipakai sebagai suatu pegangan sementara saja. Pengertian Hukum adat yaitu keseluruhan peraturan yang ditetapkan dalam keputusan-keputusan dengan penuh wibawa dan yang didalam pelaksanaannya diterapkan tanpa adanya 13 Bushar Muhammad,Azas-Azas Hukum Adat, Jakarta,1998,Hal 4 Ibid,hal 5 15 Ibid,hal 6 14 Universitas Sumatera Utara keseluruhan peraturan, yang didalam kelahirannya dinyatakan mengikat sama sekali. Pengertian adat itu sendiri ialah pencerminan dari pada kepribadian suatu bangsa yang mana dilakukan secara berulang ulangatau suatu kebiasaan dan telah ada sebelum mapun sesudah suatu kumpulan orang orang (masyarakat) itu ada yang mana suatu adat tidaklah sama dengan suatu adat yang lain sehingga inilah unsur yang terpenting yang memberikan identitas kepada bangsa tersebut.16 Menurut Kedudukan Hukum Adat di Indonesia yaitu untuk menghindarkan terjadinya kebinggungan tentang pengertian hukum adat yang dipakai sebagai sinonim dari Hukum Adat yang tidak tertulis dari peraturan yang tidak tertulis dari dalam peraturan legislatif dan hukum yang hidup dari badanbadan Negara(Parlement dan Dewan Provinsi) dan hukum yang timbul karena ada putusan hakim dan sebagai peraturan kebiasaan yang tetap dipertahankan. 17 Dasar berlakunya Hukum Adat yaitu : 1. Undang-Undang Dasar 1945 Didalam UUD 1945 yang dinyatakan berlaku kembali dengan Dekrit Presiden tangga 5 Juli 1959, tidak terdapat satu pasal pun memuat dasar berlakunya Hukum Adat. Menurut Aturan Peralihan terdapat dalam Pasal II UUD yaitu “ Segala 16 17 Ibid,hal 7 Ibid,hal 8 Universitas Sumatera Utara Badan Negara dan Peraturan yang ada,dan masih berlangsung dan berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UUD 1945.18 2. Undang-Undang Dasar 1950 Sebelum berlakunya UUDS 1950(5-7-1959) terdapat didalam pasal 104 ayat 1 yang berbunyi: “ Segala keputusan pengadilan harus sesuai dan berisi alasan dan didala, perkara hukuman menyebut aturan undang-undang hukum Adat yang dijadikan dasar hukuman. 3. L.S Pasal 131 jis R.R pasal 75 Baru dan Lama Terdapat dalam I.S pasal 131 ayat 2 sub b yaitu berlaku bagi golongan Hukum Indonesia Asli dan Gologan Timur Asing berlaku hukum adat mereka dan apa bila mempunyai kepentingan sosial yang membutuhkannya Mengenai I.S pasal 131 yaitu dikemukakan 2 hal : a) Ketentuan yang memuat suatu tugas untuk mengadakan suatu kodifikasi hukum privat bagi golongan Hukum Indonesia Asli dan golongan Timur Asing. b) Memuat tugas bagi pembuat undang-undang tidak ditunjukan kepada hakim.Yang menjadi Pegangan bagi Hakim yang bertugas menyelesaikan perkara privat orang indonesia asli yaitu dalam I.S Pasal 131 ayat 6. 4. I.S Pasal 134 18 Imam Hidayat, Azas-Azas Hukum Adat,Yogyakarta :Liberty,1978, Hal 23 Universitas Sumatera Utara Berlakunya Hukum Adat yaitu pasal 134 ayat 2, menurut ketentuan maka dalam hal timbul perkara hukum Perdata antara orang Muslim dan Hukum Adat mereka meminta penyelesaian perkara diselenggarakan oleh hakim Agama. 5. Undang-undang No 19/ 1964 dan Undang-undang No 14/1970. Yang merupakan sebagai dasar penting landasan berlakunya hukum adat yaitu: a) Pasal 27 ayat 1 UU No 19 tahyun 1964 yang berbunyi Hakim sebagai penegak Hukum dan keadilan, wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai hukum yang berlaku dalam masyarakat. b) Pasal 23 ayat 1 sama dengan pasal 17 UU NO 19 tahun 1964. Pembagian warisan untuk adat batak karo terdapat pertentangan dari anak perempuan karena dinilai tidak terdapat rasa ketidakadilan terhadap pembagian.warisan adat batak karo, sebagai alasannya karena anak perempuan hanya membawa marga dari ayahnya sebanyak 1 keturunan saja dan setelah menikah maka marga dari sang anak perempuan akan hilang. 19. Didalam Hukum Adat masyarakat Karo dalam hal pewarisan banyak sekali mengalami kontroversi yang mana banyak sekali masyarakat adat batak karo mengajukan gugatan kepada pengadilan terutama pada pihak perempuan karena mereka tidak merasa puas dengan pembagian warisan sehingga mereka mencoba merubah hukum adat masyarakat batak karo dalam hal pewarisan ini sehingga lama kelamaan pewarisan dalam hukum adat masyarakat batak karo ini sudah mulai pudar karena adanya hukum positif atau keputusan dari para pihak 19 Darwin Prinst, Pengertian Hukum Adat, hal 10 Universitas Sumatera Utara hukum yang berwenang seperti putusan Mahkamah Agung yang merubah hukum adat masyarakat batak karo ini, putusan- putusannya, yaitu: 20 1. Putusan Mahkamah Agung tanggal 1-11-1961 nomor 179/SIP/1961 Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung tanah milik Langtewas Sitepu dan Ngadu Sitepu harus diwarisi oleh penggugat-penggugat sebagai anak laki-laki dari saudara kandung almarhum Rolak Sitepu,berdasarkan putusan Balai Kerapatan (Raja Berempat) Kabanjahe tanggal 1 Maret 1929 No 69 bahwa anak perempuan dari almarhum Rolak Sitepu hanya mempunyai hak untuk memakai tanah itu selama mereka masih hidup, bahwa setelah Rumbane yakni salah satu anak perempuan almarhum Rolak Sitepu meninggal dunia tanah tersebut dikuasai oleh tergugat yakni anak lai-laki dari almarhum Rumbane 21. Berdasarkan alasan diatas Penggugat-penggugat menuntut supaya Pengadilan Negri Kabanjahe memberi putusanya yaitu 1. Mengakui dalam Hukum, bahwa ladang perkara pusaka mendiang Rolak Sitepu yang menurut adat Indonesia Karo diwarisi oeh penggugatpenggugat ,karena mendiang Rolak Sitepu adalah saudara kandung dari Tindik Sitepu ayah kandung dari penggugat-penggugat, karena Rolak Sitepu telah mati masap(tidak ada keturunan laki-laki selain dari kedua penggugat. 20 R.Subekti, Hukum Adat Indonesia dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung,:Bandung:2006, hal 15 21 Ibid, hal 20 Universitas Sumatera Utara 2. Menentukan dalam hukum untuk memutuskan pemakaian tergugat atas ladang terpekara dan menyerahkan kepada penggugat-penggugat. Pengadilan Negeri Kabanjahe dalam putusannya tertanggal 8 September 1958 No 3/S/1957 yakni mengabulkan gugatan dan menghukum tergugat untuk menyerahkan ladang”Jumpa Pasar” kepada penggugat. Dalam tingkat banding dengan putusan tertanggal 29 Desember 1959 No 204/1959 membatalkan putusan Pengadilan Negeri Medan dan kembali menolak gugatan dari para penggugat. Keberatan –keberatan yang diajukan dalam tingkat kasasi yaitu bahwa menurut hukum adat karo bahwa anak Perempuan bukan ahli waris ayahnya dan berdasarkan kasasi penggugat menurut Hukum Adat Batak Karo ahli waris dari Rolak Sitepu berhak atas tanah sengketa setelah Rolak Sitepu Meninggal dunia. Keberatan tersebut ditolak oleh Mahkamah Agung karena berdasarkan pada rasa perikemanusiaan dan keadilan umum juga atas hakekat persamaan hak antara wanita dan pria, dalam beberapa keputusan mengambil sikap dan menganggap bahwa anak perempuan dan anak laki-laki dari seorang yang telah meninggal, berhak atas segala harta warisan dengan arti bahwa bagian yang didapat oleh anak laki-laki sama dengan apa yang didapat oleh anak perempuan. 22 2.Putusan M.A. Tanggal 10-3-1971 No.182 K/Sip/1970 22 Ibid, hal 25 Universitas Sumatera Utara Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung pelaksanaan pembagian harta warisan yang belum terbagi,hukum adat harus diperlakukan adalah hukum adat (Yurisprudensi) yang berlaku pada saat pembagian dilaksanakan . Pengadilan Tinggi Medan dalam tingkat banding , dengan putusannya tertanggal 28 Mei 1970 No 444/1969 dalam tingkat kasasi yang berbunyi yaitu bahwa keputusan Mahkamah Agung tanggal 1 Novembert 1961 tentang persamaan hak antara ahli waris laki-laki dan ahli waris perempuan terhadapa harta warisan, belum dapat dilaksanakan di Tanah Karo sewaktu Elak Meliala meninggal dunia pada tahun 1947, jadi pada tahun 1957 itu menurut hukum adat Karo hanya ahliwaris laki-laki yang berhak mewaris” Keberatan tersebut ditolak oleh Mahkamah Agung karena tidak dapat dibenarkan, yang dimaksud oleh penggugat untuk kasasi telah dipertimbangkan oleh Judex facti yakni pelaksanaan pembagian harta warisan yang belum terbagi harus berdasarkan pada hukum adat(yurisprudensi) yang berlaku pada pembagian warisan dilaksanakan. Dari Putusan diatas bahwa menurut hukum adat masyarakat batak Karo dalam hal warisan tidak hanya diberikan kepada anak laki-laki tetapi anak perempuan ,karena anak perempuan juga mempunyai hak dalam segala hal macam harta benda yang dimiliki oleh ayahnya. Universitas Sumatera Utara Selain anak Perempuan, janda juga mendapatkan harta bagian warisan dari peninggalan sang suami dan juga berhak mendapatkan bagian asalkan digunakan untuk keperluan utama untuk kemajuan sang anak 23. Pembagian warisan menurut Hukum Adat Batak Karo dilakukan dengan cara musyawarah atau runggu dan hasil dari Musyawarah adat Karo yaitu 1/3 dari warisan anak perempuan dan 2/3 dar anak laki-laki dan anak perempuan tidak mendapatkan warisan, walaupun anak perempuan mendapatkan warisan hanya sebagai penghormatan saja. Berdasarkan penguraian diatas dengan judul skripsi TINJAUAN YURIDIS TERHADAP IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO 179/SIP/1961 TENTANG PEMBAGIAN HARTA WARISAN PADA ANAK PEREMPUAN MENURUT HUKUM ADAT BATAK KARO. B. Rumusan Masalah Berdasarkan Latar Belakang masalah yang diuraikan , maka penulis mengangkat permasalahan berikut ini: 1. Bagaimana Pembagian Warisan pada anak Perempuan Menurut Hukum Adat Batak Karo? 2. Bagaimana Implementasi Putusan Mahakamah Agung Republik Indonesia NO 179/SIP/1961 pada masyarakat Karo di Kecamatan Kabanjahe Kota Kelurahan Rumah Kabanjahe? 23 Sempa Sitepu, Bujur Sitepu A.G, Pliar Budaya Karo, Medan:, 1996), hal 10 Universitas Sumatera Utara 3. Bagaimana cara penyelesaian sengketa terhadap pembagian harta warisan pada anak perempuan menurut Hukum Adat Batak Karo? 3. Tujuan Penulisan Menurut Soerjono Soekanto, tujuan penulisan ini dibuat secara deklaratif dan merupakan pernyataan-pernyataan tentang apa yang hendak dicapai dengan penulisan tersebut 24. Berdasarkan permasalahan diatas maka tujuan penelitian ini adalah : 1. Untuk menganalisa pembagian warisan pada anak perempuan menurut hukum Adat Batak Karo 2. Untuk mengetahui impementasi Putusan Mahkamah Agung No 179/SIP/1961 . 3. Untuk mengetahui cara penyelesaian sengketa terhadap pembagian hukum waris Batak Karo D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penulisan mempunyai manfaat teoritis dan Praktis.Kegunaan dari kedua teori ini sebagai berikut: 1. Secara Teoritis Penulisan ini dijadikan bahan kajian untuk menambah pengetahuan guna menamba wawasan ilmiah bagi perkembangan hukum di Indonesia dalam masalah Pembagian Warisan. 24 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum,Jakarta: UI Press,1986, hal 9 Universitas Sumatera Utara 2. Secara PraktisMemberikan sumbangan pemikiran dan pemahaman kepada para mahasiswa,akademisi dan masyarakat umum yang berminat untuk mengetahui lebih dalam tentang pembagian warisan menurut Adat Batak Karo. E.Metode Penelitian a. Jenis Penelitian Jenis Penelitian yang dilakukan dalam penelitian skripsi ini adalah deskriptif yaitu suatu bentuk penelitian yang ditujukan untuk medeskripsikan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena alamiah maupun fenomena buatan manusia.Fenomena ini juga berupa bentuk,aktifitas,karakteristik, perubahan,hubungan antara fenomena yang satu dengan fenomena yang lain 25. b. Metode Pendekatan Metode yang digunakan dalam melakukan penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis normatif yaitu metode penelitian yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder. 26 F.Jenis Data 1. Data yang digunakan dalam menyelesaikan dalam menyelesaikan skripsi ini adalah bahan hukum primer,bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier 25 26 Ibid, hal 10 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum,Jakarta,Kencana,2010, hal 94 Universitas Sumatera Utara 2. Bahan Hukum Primer Bahan Hukum Primer adalah salah satu sumber hukum paling penting dari penelitian hukum yang bersifat yuridis normatif, karena meliputi bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat bagi landasan utama yang difokuskan oleh peneliti. 3. Bahan Hukum Sekunder Bahan Hukum Sekunder adalah bahan hukum yang didapat untuk memberikan penjelasan dan memerkuat bahan hukum primer.Dengan menggunakan buku bacaan hukum,Jurnal-jurnal hukum yang terkait 4. Bahan Hukum Tersier Bahan Hukum Tersier adalah bahan hukum penunjang yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum Primer, bahan hukum Sekunder seperti kamus hukum dan sumber data elektronik dari internet yang berkaitan dengan penelitian ini. c. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpuan data yang digunakan adalah studi kepustakaan. Pada tahapan ini peneliti mencari landasan teori dari permasalahan- permasalahan penelitian sehingga penelitian yang dilakukan bukan yang bersifat “trial and error”. Tujuan dari studo kepustakaan ini untuk menunjukkan jalan pemecahan permasalahan penelitian. d. Analisis Data Data yang didapat dari studi kepustakaan akan dihubungkan secara logis dan disusun dengan menggunakan metode kualitatif yaitu yang didapat Universitas Sumatera Utara dari informan secara langsung dan dipelajari dan dianalisis secara deskriptif agar dapat ditarik kesimpulan untuk dapat dicapai kejelasan mengenai permasalahan yang akan diteliti yang tersusun dalam kalimat yang sistematis. G. Keaslian Penulisan Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukanoleh peneliti diPerpustakan Universitas Sumatera Utara diketahui bahwa skripsi dengan judul TINJAUAN YURIDIS TERHADAP IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHMAKAMAH AGUNG NO 179/SIP/1961 TENTANG PEMBAGIAN HARTA WARISAN PADA ANAK PEREMPUAN MENURUT HUKUM ADAT BATAK KARO, belum pernah ditulis dan belum pernah ada pembahasan sebelumnya . Skripsi ini adalah hasil dari Ide gagasan, pemikiran dan usaha penulis tanpa ada unsur penjiplakan yang dapat merugikan Orang Lain. Untuk itu penulis dapat bertanggung jawab atas keaslian penulisan ini. H. Sistematika Penulisan Adapun Sistematika Penulisan skripsi ini dibagi dalam beberapa Bagian yaitu yang disebut dengan Bab, dimana masing-masing bab diuraikan masaahnya secara tersendiri. Secara sistematis penulisan skripsi ini terbagi atas 5 bab yang terdiri dari sub Bab, sehingga dapat dimengerti dan mudah dipahami dan sampai pada suatu kesimpulan yang benar. Universitas Sumatera Utara Adapun isi dari skripsi ini sebagai berikut: Bab I : Pendahuluan. Pada bab ini diuraikan pokok permasalahan yang mencakup mengapa penulis tertarik menarik judul ini dan menguraikan latar belakang Masalah,Permasalahan, Tujuan Penulisan , Manfaat Penulisan, Metode Penelitian,Keaslian Penulisan, Sistematika Penulisan yang bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadappembagian warisan anak perempuan diliat dari Adat Batak Karo. Bab II : Tinjauan Umum tentang Hukum Waris Adat menurut PUTUSAN MAHMAKAMAH AGUNG NO 179/SIP/1961 TENTANG PEMBAGIAN HARTA WARISAN PADA ANAK PEREMPUAN MENURUT HUKUM ADAT BATAK KARO. Bab III : Tinjauan umum tentang Hukum Waris Adat Karo,dan pada bab ini diuraikan bahwa Sejarah Waris Adat Karo, Perkembangan Hukum Waris Adat Karo, Sistem Waris Adat Karo, sifat waris adat karo. Bab IV : Implementasi Putusan Mahkamah Agung No 179/SIP/1961 Tentang pembagian warisan pada anak perempuan menurut hukum adat batak karo. BAB V: Kesimpulan dan saran. Dalam bab ini dirumuskan kesimpulan yang diambil dari pembahasan –pembahasan dalam skripsi ini dan diakhiri dengan beberapa saran untuk penyelesaian skripsi ini. Universitas Sumatera Utara