15 BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1
Kajian Pustaka
2.1.1
Experiential Marketing
Experiential marketing merupakan sebuah pendekatan pemasaran dengan
melihat konsumen sebagai manusia rasional dan emosional yang menginginkan
suatu pencapaian pengalaman yang menyenangkan (Schmitt, 1999). Experiential
marketing adalah cara baru menciptakan pengalaman hidup pelanggan melalui
penciptaan emosi (Snakers & Zajdman, 2010). Experiential marketing pada
dasarnya berkaitan dengan enam indra, yaitu bau, penglihatan, rasa, pendengaran,
sentuhan dan keseimbangan (Obonyo, 2006).
Smilansky (2009:5) mendefinisikan experiential marketing sebagai suatu
proses mengidentifikasi dan memuaskan kebutuhan dan aspirasi pelanggan secara
menguntungkan dengan melibatkan mereka dalam komunikasi dua arah yang
membawa kepribadian merek menjadi nyata dan menambah nilai bagi target
audiens. Lee et al. (2011) dalam Maghnati et al. (2012) mendefinisikan
experiential marketing sebagai kenangan atau pengalaman yang masuk ke dalam
benak pelanggan.
Experiential marketing adalah tentang bagaimana menemukan wawasan
passion dari masyarakat melalui hubungan yang diciptakan secara alami dan unik
antara mereka dan ekuitas merek (Srivastava, 2008). Kusuma (2013)
mendefinisikan experiential marketing sebagai peristiwa atau pengalaman yang
15
memberikan sasaran untuk menjelajahi produk dan pengalaman untuk
menciptakan pembelian di masa mendatang. Schmitt (1999) dalam Purwaningrum
(2008) menyatakan experiential marketing merupakan pemasaran produk atau
jasa dengan merangsang unsurā€unsur emosi konsumen yang akan menghasilkan
berbagai pengalaman bagi konsumen, seperti pengalaman panca indera,
pengalaman perasaan, pengalaman dalam berpikir, pengalaman kegiatan fisik,
perilaku, dan gaya hidup, serta pengalaman dalam mengasosiasikan identitas
sosial ke dalam hubungan terhadap suatu reference group dan budaya.
Tujuan utama dari experiential marketing adalah untuk menciptakan
holistic experience, yaitu pengalaman-pengalaman yang unik, positif dan
mengesankan
bagi
konsumen
(Farisya,
2012).
Pengalaman
ini
dapat
menggantikan nilai fungsional suatu barang atau jasa karena adanya perubahan
dalam persepsi yang disebabkan oleh emosi, sensorik, dan nilai-nilai hubungan
kognitif (Srivastava, 2008). Yang (2009) juga menyebutkan pengalaman termasuk
dalam keseluruhan elemen kehidupan dan biasanya disebabkan oleh pengamatan
dan partisipiasi langsung dalam suatu peristiwa, tidak peduli apakah peristiwa
yang nyata, seperti mimpi atau dalam bentuk virtual.
Experiential marketing merupakan sebuah pendekatan untuk memberikan
informasi yang lebih dari sekedar informasi mengenai sebuah produk atau jasa
(Andreani, 2007). Pendekatan ini dinilai sangat efektif karena sejalan dengan
perkembangan jaman dan teknologi, di mana para pemasar lebih menekankan
diferensiasi produk untuk membedakan produknya dengan produk kompetitor
(Kusuma, 2013).
16
Berdasarkan pada Strategic Experience Modules (SEMs), Schmitt (1999)
membagi jenis experiential marketing menjadi lima dimensi, yaitu pengalaman
sensorik (sense); pengalaman afektif (feel); pengalaman kognitif kreatif (think);
pengalaman fisik, perilaku dan gaya hidup (act); dan pengalaman sosial-identitas
yang dihasilkan dari adanya hubungan dengan kelompok acuan atau budaya
(relate). SEMs merupakan sebuah kerangka kerja yang terdiri dari berbagi jenis
pengalaman yang membangun experiential marketing dengan struktur dan prinsip
yang berbeda satu sama lain (Farisya, 2012).
(1) Sense
Sense berkaitan dengan rasa yang bertujuan untuk menciptakan pengalaman
melalui penglihatan (sight), suara (sound), sentuhan (touch), rasa (taste), dan
bau (smell). Sense berusaha menyentuh sensory experience dari diri
konsumen melalui kelima panca indera konsumen dan konsumen merasakan
pengalaman yang berkesan dari kelima panca indera mereka. Sense berfungsi
mendiferensiasikan suatu produk dari produk lain yang dapat memotivasi
pembeli untuk bertindak dan membentuk nilai pada produk atau jasa dalam
benak konsumen. Sebagai contoh, desain interior yang unik dengan
kombinasi warna menarik pada rumah makan yang memberikan pengalaman
yang tersendiri bagi konsumennya.
(2) Feel
Feel bertujuan untuk menciptakan pengalaman afektif bagi konsumen dengan
melibatkan batin, perasaan, dan emosi pelanggan. Jika pemasar ingin
menggunakan affective experience sebagai bagian dari strategi pemasaran,
17
maka yang harus diperhatikan dan dipahami adalah suasana hati (moods) dan
emosi (emotion). Pemasar harus dapat memahami lebih jauh mengenai apa
dan bagaimana cara memenuhi keinginan konsumen sehingga mereka
memiliki pengalaman yang menyenangkan. Sebagai contoh pengalaman
afektif adalah pelayanan yang baik dan ramah.
(3) Think
Think mendorong konsumen untuk lebih peduli dan kreatif, merangsang
mereka untuk mengevaluasi dengan cara mengajak konsumen untuk dapat
mengartikan makna dari logo produk atau jasa perusahaan. Perusahaan
berusaha untuk menantang konsumen dengan cara memberikan problem
solving experinces dan mendorong pelanggan untuk berinteraksi secara
kognitif dan kreatif. Think hadir melalui kejutan, kepentingan, dan
merangsang konsumen untuk berpikir dan berkonsentrasi sehingga dapat
menciptakan pengalaman kognitif-kreatif konsumen. Pengalaman ini akan
memberikan kesan emosional mendalam yang dapat membekas di benak
konsumen dalam jangka waktu lama serta membangkitkan rasa ingin tahu
konsumen.
(4) Act
Act dirancang untuk menciptakan pengalaman konsumen terkait dengan
tubuh fisik, pola perilaku jangka panjang dan gaya hidup, serta pengalaman
yang terkait dengan interaksi dengan orang lain (Schmitt, 1999 dalam
Farisya, 2012). Perusahaan harus lebih sensitive untuk mengetahui trend gaya
18
hidup sehingga dapat menciptakan merek gaya hidup (lifestyle brand) yang
terasosiasi dengan bagian dari gaya hidup konsumen.
(5) Relate
Relate menghubungkan konsumen secara individu dengan masyarakat atau
budaya. Relate menjadi daya tarik keinginan yang paling dalam bagi
pelanggan untuk pembentukan self-improvement, status socio-economic, dan
image. Esensi dari relate adalah untuk dapat membuat individu terhubung
dengan individu lainnya melalui sebuah merek.
2.1.2
Experiential Value
Menurut Lee & Overby (2004) dalam Maghnati et al. (2012), nilai
dipandang sebagai sesuatu yang subjektif dan dibuat berdasarkan pertukaran
pengalaman yang terjadi dalam proses transaksi persepsi atau individu. Prahalad
& Ramaswamy (2004) percaya bahwa peluang untuk penciptaan nilai yang
ditingkatkan secara signifikan bagi perusahaan yang menerapkan konsep
personalisasi pengalaman co-creation dapat menjadi sumber nilai yang unik bagi
perusahaan.
Gentile et al. (2007) menyatakan sebagaimana juga dikutip dari Maghnati
et al. (2012) bahwa experiential value dapat diciptakan melalui pengalaman
konsumsi. Persepsi experiential value didasarkan pada interaksi yang ada
mencakup penggunaan langsung atau tingkat apresiasi terhadap produk dan jasa
yang digunakan oleh konsumen (Mathwick et al., 2001; Datta & Vasantha, 2013;
dan Rosanti et al., 2014).
19
Hoffman & Novak (1996) dalam Kusuma (2013) menyatakan bahwa
experiential value relevan untuk memperoleh stimulasi sosial, yang meningkatkan
pengalaman belanja konsumen. Ketatnya persaingan memaksa perusahaan untuk
berinovasi dan merancang strategi dalam menanamkan experiential value yang
positif di dalam benak konsumen (Gowinda & Suprapti, 2014).
Pengalaman aktual bersifat sesaat dan hanya dirasakan pada saat
konsumsi, sedangkan experiential value yang dimiliki konsumen akan melekat
dalam memori mereka (Larasati & Suprapto, 2013). Holbrook (1994) dalam
Nigam (2012) mengungkapkan bahwa experiential value menawarkan manfaat
ekstrinsik dan intrinsik yang dapat memberikan dampak jangka panjang di benak
kosnumen. Menurut Nigam (2012), nilai ekstrinsik dan instrinsik dari experiential
value meliputi empat dimensi, yaitu:
1) Consumer Return on Investment
Ini terdiri dari investasi aktif dalam sumber daya keuangan, temporal,
perilaku dan psikologis yang berpotensi menghasilkan keuntungan.
Konsumen mungkin mengalami kembali ini dalam hal utilitas ekonomi dan
persepsi kualitas yang terjangkau (Holbrook, 1994 dalam Nigam, 2012).
2) Service Excellence
Pelayanan prima menggambarkan respon reaktif inheren di mana konsumen
mengkonsumsi suatu produk atau jasa dengan tingkat pelayanan yang dapat
menyenangkan hati konsumen, sehingga konsumen merasa dihargai
sebagaimana mereka mengaktualisasi diri mereka.
20
3) Aesthetic
Estetika berupa daya tarik visual dan hiburan yang menawarkan respon
kesenangan langsung untuk kepentingan sendiri. Estetika memberikan kesan
positif pada konsumen karena adanya kesesuaian antara desain dan kegunaan
yang menciptakan keindahan.
4) Playfulness
Playful menunjukkan kenikmatan intrinsik dan rasa senang serta nyaman
sebagai hasil dari usaha yang dilakukan oleh pemasar atau perusahaan.
Konsumen merasakan kesenangan melebihi yang ia harapkan dari kegiatan
mengkonsumsi produk atau jasa, sehingga konsumen dapat melupakan
permasalahannya sejenak.
2.1.3
Repurchase Intention
Repurchase intention merupakan perilaku konsumen pasca pembelian
dengan didahului oleh proses evaluasi dari produk atau jasa tersebut. Repurchase
intention merupakan suatu penilaian individu tentang pembelian ulang dari
layanan yang ditunjuk dari perusahaan yang sama, dengan mempertimbangkan
situasi saat ini dan yang mungkin terjadi (Heiller et al., 2003; Lacey & Morgan,
2007). Hendarsono & Sugiharto (2013) dan Kusuma (2013) mendefinisikan minat
sebagai salah satu aspek psikologis yang mempunyai pengaruh cukup besar
terhadap sikap perilaku dan minat juga merupakan sumber motivasi yang akan
mengarahkan seseorang dalam melakukan apa yang mereka lakukan.
21
Farisya (2012) menyatakan bahwa setelah mengkonsumsi suatu barang
atau jasa, konsumen akan dihadapkan oleh suatu pemikiran apakah mereka akan
memiliki minat (intention) untuk melakukan pembelian ulang (repurchase
intention). Menutrut Assael (1998) yang juga dikutip dari Farisya (2012)
repurchase intention diartikan sebagai hasil dari proses evaluasi terhadap suatu
produk atau jasa.
Heiller (2003) menyatakan bahwa repurchase intention terjadi ketika
konsumen melakukan kegiatan pembelian kembali untuk kedua kali atau lebih,
dimana alasan pembelian kembali terutama dipicu oleh pengalaman konsumen
terhadap produk atau jasa.
2.2
Hipotesis Penelitian
2.2.1
Pengaruh Experiential Marketing terhadap Experiential Value
Dalam penelitiannya, Kusuma (2013) menemukan bahwa experiential
marketing berpengaruh positif pada experiential value. Senada dengan penelitian
Kusuma, Gowinda & Suprapti (2014) di dalam penelitiannya juga memperoleh
temuan adanya pengaruh experiential marketing terhadap experiential value
secara positif dan signifikan pada pengguna Smartphone di Kota Denpasar.
Maghnati et al. (2012) dalam penelitiannya juga menemukan hubungan
yang positif antara experiential marketing dan experiential value pada industri
smartphone. Selain itu, Utarie & Prabowo (2013) menemukan adanya hubungan
positif antara experiential marketing dan experiential value dalam studi kasus di
Nanny’s Pavillion Terrace – Central Park Mall.
22
Berdasarkan kajian empiris sebelumnya, maka dapat disusun hipotesis
sebagai berikut.
H1 :
Experiential marketing berpengaruh positif dan signifikan terhadap
experiential value.
2.2.2
Pengaruh Experiential Value terhadap Repurchase Intention
Nigam (2012) dalam penelitiannya menemukan adanya hubungan yang
positif mengenai pengaruh experiential value pada repurchase intention. Selain
itu, Kusuma (2013) dalam penelitiannya pada konsumen Garuda Indonesia di
Surabaya juga menemukan adanya pengaruh positif experiential value pada
repurchase intention.
Wong & Mei (2010) memperoleh hasil analisis dari experiential value
yang menunjukkan bahwa feel, act, dan relate (bagian dari experiential
marketing) memiliki dampak pada pembelian.
Berdasarkan kajian empiris tersebut, maka dapat disusun hipotesis sebagai
berikut.
H2 :
Experiential value berpengaruh positif dan signifikan terhadap
repurchase intention.
2.2.3
Pengaruh Experiential Marketing terhadap Repurchase Intention
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Kusuma (2013)
experiential marketing berpengaruh positif terhadap repurchase intention pada
konsumen Garuda Indonesia di Surabaya. Hendarsono & Sugiharto (2013) dalam
penelitiannya pada konsumen Café Buntos 99 Sidoarjo juga memperoleh hasil
23
bahwa experiential marketing berpengaruh positif pada minat beli ulang pada 100
sampel penelitian yang digunakan.
Selain itu, dalam penelitian yang pernah dilakukan oleh Farisya (2012)
diperoleh temuan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara variabel
experiential marketing terhadap variabel repurchase intention.
Berdasarkan kajian empiris tersebut, maka dapat disusun hipotesis sebagai
berikut.
H3 :
Experiential marketing berpengaruh positif dan signifikan terhadap
repurchase intention.
2.2.4
Peran Experiential Value dalam Memediasi Variabel Experiential
Marketing terhadap Repurchase Intention
Nigam (2012) menemukan adanya peran experiential value dalam
memediasi variabel experiential marketing terhadap purchase intention pada
restoran cepat saji di India. Kusuma (2013) juga memperoleh hasil penelitian
bahwa experiential value dapat menjadi mediator bagi hubungan experiential
marketing terhadap repurchase intention pada konsumen Garuda Indonesia di
Surabaya.
Berdasarkan kajian empiris tersebut, maka dapat disusun hipotesis sebagai
berikut.
H4 :
Experiential value berperan signifikan dalam memediasi variabel
experiential marketing terhadap repurchase intention
24
2.3
Model Penelitian
Berdasarkan penelusuran pada kajian pustaka tentang variabel penelitian
dan hipotesis yang diajukan, maka model penelitian yang dibangun dalam
penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.1
Gambar 2.1 Model Penelitian
Experiential
Value (Y1)
H1
Experiential
Marketing (X)
H4
H3
25
H2
Repurchase
Intention (Y2)
Download