Halaman Judul

advertisement
5
BAB II
TEORI DASAR
2.1 Elastisitas
2.1.1 Stress
Stress didefinisikan sebagai gaya per satuan luas. Jadi, ketika sebuah benda diberi
gaya, maka stress adalah perbandingan antara gaya dengan luas area dimana gaya
tersebut bekerja. Jika gaya bervariasi dari titik ke titik, maka stress juga bervariasi
dari titik ke titik, dan besarnya stress di setiap titik ditentukan dengan mengambil
elemen kecil infinit dari suatu titik tersebut dan membagi gaya yang bekerja pada
area tersebut. Jika gaya yang bekerja pada permukaan memiliki arah yang tegak
lurus dengan permukaan tersebut, maka stress yang dihasilkan oleh gaya tersebut
disebut stress normal (normal stress). Ketika gaya yang bekerja pada permukaan
memiliki arah yang sejajar dengan permukaan tersebut, maka stress yang
dihasilkan oleh gaya tersebut disebut stress geser (shear stress). Jika gaya yang
bekerja pada suatu permukaan tidak sejajar maupun tidak tegak lurus, maka gaya
tersebut dapat diuraikan menjadi komponen-komponen gaya yang sejajar dan
tegak lurus terhadap permukaan tersebut.
Jika kita pertimbangkan elemen kecil kubus di dalam suatu benda yang tertekan,
seluruh stress bekerja pada enam sisi elemen kubus kecil tersebut, dan stress yang
bekerja pada setiap elemen tersebut dapat diuraikan menjadi beberapa komponen
(x, y, z). Hal tersebut seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.1.
Gambar 2.1 Komponen stress pada permukaan yang tegak terhadap sumbu-x
(After Exploration Seismology, 2d ed., by Robert E.Sheriff and
Lloyd P.Geldart)
Index -x, -y, dan –z melambangkan sumbu kartesian dan σyx melambangkan stress
yang memiliki arah sejajar dengan sumbu-y dan bekerja pada permukaan yang
tegak sumbu-x. Stress ini disebut sebagai stress geser. Ketika kedua index sama,
maka stress tersebut disebut stress normal (misal σxx). Ketika kedua index berbeda,
maka stress tersebut disebut stress geser (misal σyx).
Ketika suatu medium berada dalam keadaan setimbang, maka stress total yang
bekerja pada medium tersebut harus sama dengan nol. Hal ini berarti bahwa σxx ,
σyx dan σzx yang bekerja pada bidang OABC harus sama dan berlawanan arah
6
terhadap stress yang bekerja pada bidang DEFG. Prinsip ini berlaku untuk empat
bidang yang lain pada kubus tersebut.
Pada dasarnya pasangan stress geser, seperti σyx, merupakan sebuah pasangan
stress yang memiliki kecenderungan untuk memutar elemen kubus tersebut
terhadap sumbu sumbu-z, dan besar moment yang dihasilkan oleh stress geser
tersebut (misal σyx) adalah
F.l = (σyx.dy.dz).dx
(2.1)
Apabila kita meninjau pasangan stress geser yang bekerja pada empat bidang yang
lain maka kita akan melihat bahwa pasangan stress geser tersebut akan memiliki
besar yang sama dan arah yang berlawanan seperti yang dialami oleh pasangan
stress σyx dan σxy. Ketika elemen tersebut dalam keadaan setimbang, maka stress
total harus sama dengan nol. Maka secara umum, akan kita peroleh hubungan
σij = σji
(2.2)
2.1.2 Strain
Ketika stress bekerja pada sebuah benda elastis, maka benda tersebut akan
mengalami perubahan bentuk dan ukuran. Perubahan ini disebut sebagai strain,
dan dapat diselesaikan dengan tipe tertentu.
7
Perhatikan sebuah segi empat PQRS yang terletak pada bidang-xy (lihat gambar
2.2). Pada stress bekerja pada bidang tersebut, maka P berpindah menuju P’, PP’
memiliki komponen-komponen u dan v. Asumsi bahwa u = u(x,y), v = v(x,y).
Kemudian koordinat PQRS dan P’Q’R’S’ masing-masing adalah
Gambar 2.2 Analisis strain dua dimensi strain (After Exploration Seismology, 2d
ed., by Robert E.Sheriff and Lloyd P.Geldart)
P ( x, y ) : P ' ( x + u , y + v ) ;
∂u
∂v 

Q ( x + dx, y ) : Q '  x + dx + u + dx, y + v + dx  ;
∂x
∂x 


∂u
∂v 
S ( x, y + dy ) : S '  x + u + dy, y + dy + v + dy  ;
∂y
∂y 


∂u
∂u
∂v
∂v 
R( x + dx, y + dy ) : R '  x + dx + u + dx + dy, y + dy + v + dx + dy 
∂x
∂y
∂x
∂y 

8
Pada umumnya u dan v sangat kecil bila dibandingkan dengan dx dan dy.
Sehingga kita dapat mengabaikannya. Dengan asumsi ini, maka dapat kita lihat
bahwa
(1) Panjang PQ bertambah sebesar
karenanya
∂u
dx dan panjang PS bertambah sebesar ∂v dy ;
∂x
∂y
∂u / ∂x dan ∂v / ∂y adalah fraksi pertamabahan panjang sejajar
masing-masing sumbu.
(2) Sudut infinitesimal δ1 dan δ2 sama dengan ∂v / ∂x dan ∂u / ∂y
(3) Sudut apit pada titik P berkurang sebesar ( δ1 + δ2 ) = ( ∂v / ∂x + ∂u / ∂y )
(4) Persegi panjang secara keseluruhan berotasi berlawanan arah jarum jam
sebesar ( δ1 - δ2 ) = ( ∂v / ∂x - ∂u / ∂y )
Strain didefinisikan sebagai perubahan relatif (fraksi perubahan) dimensi atau
bentuk suatu benda. Besaran ∂u / ∂x dan ∂v / ∂y adalah pertambahan panjang
relatif pada arah x dan y dan sering disebut sebagai strain normal (normal strain).
Besaran ( ∂v / ∂x + ∂u / ∂y ) jumlah pengurangan sudut apit ketika stress
diaplikasikan dan sering disebut sebagai strain geser (shearing strain). Besaran
( ∂v / ∂x - ∂u / ∂y ) bukan dikenal sebagai strain. Besaran tersebut merepresentasikan
rotasi dari benda elastis terhadap sumbu-z. Maka besaran tersebut kita notasikan
θz .
9
Dengan memperluas analisis di atas pada ruang tiga dimensi, kita dapat
menuliskan (u,v,w) sebagai komponen-komponen perpindahan titik P(x,y,z).
Maka kita akan peroleh strain-strain dasar sebagai berikut
Strain normal :
∂u
,
∂x
∂v
ε yy = ,
∂y
∂w
ε zz =
,
∂z
ε xx =
(2.3)
Strain geser :
∂v ∂u
+ ,
∂x ∂y
∂w ∂v
+ ,
ε yz = ε zy =
∂y ∂z
∂u ∂w
ε xy = ε yx = + ,
∂z ∂x
ε xy = ε yx =
(2.4)
Kemudian, besar sudut rotasi benda terhadap sumbu-sumbu rotasi (sumbu-x,-y,-z)
dalam koordinat tiga dimensi adalah
10
∂w ∂v
− ,
∂y ∂z
∂u ∂w
θy = − ,
∂z ∂x
∂v ∂u
θx = − ,
∂x ∂y
θx =
(2.5)
Persamaan (2.5) dapat dituliskan dalam bentuk vektor
Θ = θ xiˆ + θ y ˆj + θ z kˆ = ∇xζ
(2.6)
dimana ζ = uiˆ + vjˆ + wkˆ = vektor perpindahan titik P(x,y,z)
Perubahan dalam hal dimensi diberikan oleh strain normal yang merupakan
perubahan volume ketika benda diberi stress. Perubahan volume per satuan
volume disebut sebagai dilatasi dan direpresentasikan oleh ∆. Jika kita misalkan
suatu balok dengan panjang sisi-sisinya sebelum diberi stress adalah dx, dy, dan
dz, dan setelah diberi stress sisi-sisinya bertambah menjadi dx(1+εxx), dy(1+εyy),
dan
dz(1+εzz),
maka
pertambahan
volume
dapat
didekati
dengan
(εxx+εyy+εzz)dxdydz. Ketika volume awal adalah dxdydz, maka dilatasi adalah
∆= εxx+εyy+εzz=
∂u ∂v ∂w
+ +
= ∇ •ζ
∂x ∂y ∂z
(2.7)
2.1.3 Hukum Hooke
Untuk menentukan strain suatu benda elastis dari stress yang diketahui, maka kita
harus mengetahui hubungan antara strain dan stress. Ketika strain yang terjadi
11
sangat kecil, maka hubungan ini diberikan oleh hukum Hooke. Hukum Hooke ini
memiliki hubungan yang sangat rumit, tetapi ketika mediumnya bersifat isotropis,
maka hukum Hooke dapat diekspresikan sebagai berikut
σ ii = λ.∆ + 2.µ.ε jj , i = x, y, z
(2.8)
σ ij = µ.ε ij , i,j = x,y,z i ≠ j,
(2.9)
Konstanta λ dan µ adalah konstanta Lame. Jika kita menuliskan εij = (σij /µ), maka
kita dapat lihat bahwa ketika εij menjadi lebih kecil, maka µ menjadi lebih besar.
Di sini µ adalah suatu ukuran tingkat kesulitan suatu benda untuk mengalami
perubahan bentuk (pergeseran) ketika suatu stress geser bekerja pada benda
tersebut. Hukum Hooke memberikan hubungan yang linear antara stress dan strain.
2.1.4 Konstanta Elastik
Berdasarkan persamaan-persamaan di atas maka kita dapat menetukan beberapa
konstanta elastis untuk mendeskripsikan karakter elastis dari suatu medium.
Beberapa konstanta elastis tersebut adalah E (modulus young), Poisson’s ratio (σ),
dan modulus bulk (k).
Untuk
mendefinisikan
konstanta-konstanta
elastis
tersebut
maka
kita
pertimbangkan bahwa seluruh stress yang bekerja pada medium adalah nol,
kecuali σxx. Asumsikan σxx bernilai positif. Maka dimensi yang sejajar dengan σxx
akan bertambah dan dimensi yang tegak lurus terhadap σxx akan berkurang. Hal
12
ini berarti bahwa εxx bernilai positif ketika εyy dan εzz bernilai negatif. Perlu
diketahui bahwa εyy = εzz. Sekarang kita definisikan E dan σ dengan hubungan
E = σxx /εxx ,
(2.10)
σ = -εyy / εxx = - εzz / εxx
(2.11)
Tanda minus dimasukkan untuk membuat E dan σ menjadi positif. Untuk
mendifinisikan k, kita pertimbangkan suatu elemen volume benda berada dalam
tekanan hidrostatis. Hal tersebut equivalen dengan
σxx = σyy = σzz = -P ; σxy = σyz = σzx = 0,
Kemudian, k didefinisikan sebagai perbandingan antara stress dengan dilatasi,
k = -P / ∆
(2.12)
Dengan mensubstitusikan persamaan di atas ke dalam hukum Hooke, maka kita
akan mendapatkan hubungan antara E, k, σ, dan konstanta lame (µ, λ) sebagai
berikut
E=
µ ( 3λ + 2 µ )
,
(λ + µ )
(2.13)
σ=
λ
,
2 (λ + µ )
(2.14)
13
k=
1
( 3λ + 2µ )
3
(2.15)
Dengan melakukan eliminasi dan substitusi dari beberapa persamaan di atas, kita
akan memperoleh satu konstanta sebagai fungsi dari dua konstanta yang lain.
2.1.5 Energi Strain
Ketika sebuah medium elastik mengalami deformasi, maka usaha akan dilakukan
untuk melakukan deformasi tersebut, dan hal ini equivalen dengan sejumlah
energi akan disimpan pada medium tersebut. Energi tersebut berhubungan dengan
propagasi gelombang elastik pada medium tersebut.
Jika stress σxx menghasilkan perpindahan (strain) εxx, kita asumsikan bahwa stress
tersebut bertambah secara linear dari nol sampai σxx dan rata-rata stress adalah
(½)σxx. Jadi
E = usaha yang dilakukan per satuan volume
= energi per satuan volume
= (½)σxx. εxx
Jumlahkan seluruh usaha yang dilakukan oleh semua stress pada setiap
permukaan medium dan dengan menggunakan persamaan (2.8) dan (2.9)
E=
1
∑∑ σ ijε ij
2 i j
14
=
=
1
(σ xxε xx + σ yyε yy + σ zzε zz ) + σ xyε xy + σ yzε yz + σ zxε zx
2
1
{∑ ( λ∆ + 2µε ii ) ε ii } + µ ∑ ε ij2
2
(2.16)
15
2.2 Gelombang Seismik
2.2.1 Persamaan Gelombang Elastik
Sampai saat ini kita hanya mempertimbangkan sebuah medium dalam keadaan
statik. Sekarang kita akan mencoba menghilangkan batasan ini dan melihat kasus
yang lebih umum, yaitu stress yang bekerja pada setiap permukaan medium tidak
berada dalam keadaan setimbang. Pada gambar 2.1 sekarang kita asumsikan stress
yang bekerja pada permukaan belakang adalah seperti yang ditunjukkan pada
gambar, tetapi stress yang bekerja pada permukaan belakang adalah
σ xx +
∂σ yx
∂σ xx
∂σ
dx, σ yx +
dx, σ zx + zx dx
∂x
∂x
∂x
Stress yang bekerja pada permukaan belakang dan permukaan depan memiliki
arah yang saling berlawanan arah. Sehingga stress total yang dihasilkan adalah
∂σ yx
∂σ xx
∂σ
dx,
dx, zx dx
∂x
∂x
∂x
Stress tersebut bekerja pada suatu area dengan luas dydz dan volume dxdydz.
Maka kita dapat memperoleh gaya persatuan volume pada elemen medium
tersebut pada arah sumbu-x,-y, dan –z yang dapat diekspresikan dengan
∂σ xx ∂σ yx ∂σ zx
,
,
∂x
∂x
∂x
16
Hukum Newton II tentang gerak menyatakan bahwa jika gaya bekerja pada suatu
benda bermassa, maka benda tersebut akan mengalami percepatan. Gaya tersebut
adalah massa benda tersebut dikali dengan percepatannya. Jadi kita akan
mendapatkan persamaan gerak sepanjang sumbu-x elemen medium tersebut
adalah
ρ
∂ 2u ∂σ xx ∂σ xy ∂σ xz
=total gaya per satuan volume arah sumbu-x
=
+
+
∂t 2
∂x
∂y
∂z
pada
elemen
medium
(2.17)
dimana ρ adalah densitas (diasumsikan konstan). Persamaan yang sama dapat
diturunkan untuk gerak sepanjang sumbu-y dan –z.
Persamaan
(2.17)
menghubungkan
perpindahan
dengan
stress.
Dengan
menggunakan hukum Hooke yang menghubungkan antara stress dan strain, maka
kita akan peroleh hubungan antara perpindahan dan strain. Kemudian untuk
mengekspresikan hubungan antara perpindahan dengan strain, maka kita gunakan
persamaan (2.3), (2.4), (2.7), (2.8), dan (2.9). Jadi
ρ
∂ 2u
∂∆
= (λ + µ )
+ µ∇ 2u
2
∂t
∂x
(2.18)
17
Dengan mengunakan analogi, kita dapat menurunkan bentuk persamaan yang
sama untuk v dan w sebagai berikut
∂ 2v
∂∆
ρ 2 = ( λ + µ ) + µ∇ 2v
∂t
∂x
(2.19)
∂2w
∂∆
ρ 2 = ( λ + µ ) + µ∇ 2 w
∂t
∂x
(2.20)
Untuk mendapatkan persamaan gelombang, kita differensialkan persamaan (2.18),
(2.19), dan (2.20) terhadap x, y, dan z. Kemudian jumlahkan hasil yang diperoleh
dari ketiga persamaan tersebut.
ρ
 ∂2∆ ∂ 2∆ ∂2∆ 
∂ 2  ∂u ∂v ∂w 
∂v ∂w 
2  ∂u
+
+
=
λ
+
µ
(
)
 2 + 2 + 2  + µ∇  + +


2 
∂t  ∂x ∂y ∂z 
∂y
∂z 
 ∂x ∂y ∂z 
 ∂x
ρ
∂2∆
= ( λ + 2µ ) ∇ 2 ∆
∂t 2
maka
atau
1 ∂2∆
= ∇2∆
α 2 ∂t 2
(2.21)
18
Dimana
α2 =
( λ + 2µ )
ρ
(2.22)
Dengan mensubstrak turunan persamaan (2.19) terhadap z kemudian dikurangi
dengan turunan dari persamaan (2.20) terhadap y, maka akan kita peroleh
ρ
 ∂w ∂v 
∂ 2  ∂w ∂v 
−  = µ∇ 2 
− 
2 
∂t  ∂y ∂z 
 ∂y ∂z 
jadi
1 ∂ 2θ x
= µ∇ 2θ x
β 2 ∂t 2
Dengan menggunakan analogi yang sama, maka kita akan memperoleh bentuk
persamaan yang sama untuk θy dan θz.
2
1 ∂ θy
= µ∇ 2θ y
2
2
β ∂t
1 ∂ 2θ z
= µ∇ 2θ z
β 2 ∂t 2
19
Jika Θ = θ xiˆ + θ y ˆj + θ z kˆ , maka akan kita peroleh
1 ∂ 2Θ
= ∇2Θ
2
2
β ∂t
β2 =
µ
ρ
(2.23)
(2.24)
Persamaan gelombang tersebut juga dapat diperoleh dengan metoda vektor.
ρ
∂ 2ζ
= ( λ + µ ) ∇∆ + µ∇ 2ζ
2
∂t
(2.25)
Jika kita ambil curl dari persamaan (2.25), maka kita akan memperoleh persamaan
(2.24). Jika ambil divergensi dari persamaan (2.25) dan menggunakan persamaan
(2.7) untuk mendefinisikan ∆, maka kita akan memperoleh persamaan (2.21). α
adalah simbol untuk kecepatan gelombang-P dan β adalah simbol untuk kecepatan
gelombang-S.
2.2.2 Sifat dan Jenis Gelombang Seismik
Pulsa seismik merambat melewati batuan dalam bentuk gelombang elastis yang
mentransfer energi menjadi pergerakan partikel batuan. Gelombang elastik dapat
dibagi dua yaitu gelombang tubuh (body wave) dan gelombang permukaan
(surface wave).
20
a. Gelombang tubuh (body wave)
Gelombang tubuh merupakan gelombang yang energinya ditransfer melalui
medium di dalam bumi. Berdasarkan sifat gerakan partikel mediumnya,
gelombang tubuh dibagi menjadi dua, yaitu gelombang P dan gelombang S.
Gelombang Pressure (P) disebut juga gelombang kompresi. Gerakan partikel
pada gelombang ini searah dengan arah penjalaran gelombang. Gelombang
shear dikenal juga sebagai gelombang sekunder yang kecepatannya lebih
rendah dari gelombang P. Gelombang ini disebut juga gelombang S atau
transversal yang memiliki gerakan partikel yang berarah tegak lurus terhadap
arah penjalaran gelombang. Jika arah gerakan partikel merupakan bidang
horizontal, maka gelombang tersebut adalah gelombang S Horizontal (SH)
dan jika pergerakan partikelnya vertikal, maka gelombang tersebut adalah
gelombang S Vertikal (SV).
(a)
(b)
Gambar 2.3 Gerakan gelombang body (After Exploration Seismology, 2d ed., by
Robert E.Sheriff and Lloyd P.Geldart) (a) gelombang pressure
(gelombang longitudinal), (b) gelombang transversal.
21
b. Gelombang permukaan (surface wave)
Gelombang permukaan merupakan gelombang yang memiliki amplitudo besar
dan frekuensi rendah yang menjalar pada permukaan bebas (free surface).
Berdasarkan sifat gerakan partikel mediumnya, maka gelombang permukaan
di bagi menjadi 2 yaitu gelombang Rayleigh dan gelombang love.
Gambar 2.4 Ilustrasi gelombang permukaan (After Exploration Seismology, 2d
ed., by Robert E.Sheriff and Lloyd P.Geldart) (a) gelombang
Rayleigh, (b) gelombang Love.
Gelombang Rayleigh atau dikenal juga dengan nama Ground roll merupakan
gelombang permukaan yang gerakan partikelnya merupakan kombinasi
gerakan partikel gelombang P dan S, yaitu berbentuk ellips. Sumbu mayor
elips tegak lurus dengan permukaan dan sumbu minor sejajar dengan arah
penjalaran gelombang. Kecepatan gelombang Rayleigh bergantung pada
konstanta elastik dekat permukaaan dan nilainya selalu lebih kecil dari
gelombang S (Vs).
22
Gelombang love merupakan gelombang permukaan yang menjalar dalam
bentuk gelombang transversal. Gerakan partikelnya mirip dengan gelombang
S. Kecepatan penjalarannya bergantung pada panjang gelombangnya dan
bervariasi di sepanjang permukaan.
Gambar 2.5 Ilustrasi trayektori gerakan partikel gelombang permukaan (After
Exploration Seismology, 2d ed., by Robert E.Sheriff and Lloyd
P.Geldart) (a)gelombang Rayleigh, (b) gelombang Love.
2.2.3 Kecepatan Gelombang Seismik
Sifat elastis batuan di bumi sangat bervariasi. Pada jenis batuan yang samapun
dapat memiliki sifat elastis yang berbeda, misalnya disebabkan oleh tingkat
kekompakan dari batuan tersebut. Pengukuran di lapangan menunjukkan bahwa
faktor geologi sangat berpengaruh terhadap kecepatan penjalaran gelombang
seismik.
23
Faktor-faktor penting yang berpengaruh terhadap penjalaran gelombang seismik
antara lain adalah sebagai berikut :
1. Sifat elastis dan densitas batuan
2. Porositas
3. Tekanan, baik akibat dari tekanan luar (efek over burden) atau tekanan
pori
4. Temperatur
5. Sejarah terjadinya, seperti pengaruh tektonik, pengaruh kimiawi atau
termal yang menyebabkan batuan berubah, pengaruh pelapukan,
transportasi dan sedimentasi.
6. Umur batuan. Batuan yang berumur tua umumnya sangat kompak,
porositas kecil, densitas besar dan umumnya mempunyai kecepatan lebih
besar dibandingkan batuan sejenis yang lebih muda.
2.2.4 Hukum Perambatan Gelombang Seismik
Untuk penghitungan waktu tempuh dan lintasan yang dilewati sinar gelombang,
kita dapat memanfaatkan beberapa hukum dasar perambatan gelombang. Dengan
mengetahui besarnya waktu tempuh dan lintasan yang dilewati sinar gelombang
secara akurat, kita bisa mengidentifikasi keadaan bawah permukaan bumi dengan
benar.
a) Prinsip Fermat
Pernyataan dari prinsip Fermat adalah “ Gelombang merambat melewati
lintasan tercepat” . Hukum Snell dan hukum pemantulan mengikuti
24
pernyataan ini. Pada medium dua, kecepatan gelombangnya dapat dihitung
dengan menggunakan persamaan Snellius, yaitu :
sin θ1 sin θ 2
=
= p
V1
V2
(2.26)
Sudut θ2 merupakan sudut bias pada medium dua dan p adalah parameter
raypath. Jika sin θ1 = V1/V2, maka sin θ2 sama dengan 1, karena θ2
membentuk sudut 90o.
Sudut θ1 dinamakan sudut kritis. Pada kasus ini
gelombang bias tidak menjalar pada medium tetapi pada bidang batas. Prinsip
Fermat dapat diaplikasikan untuk menentukan lintasan sinar dari satu titik ke
titik yang lainnya yaitu lintasan yang bernilai minimum. Oleh karena itu,
lintasan yang lainnya tidak perlu diperhatikan. Konsep praktis ini dapat
digunakan untuk menunjukkan perhitungan-perhitungan waktu tempuh untuk
prestack depth migration (Meshley et al,1993: Vesnaver, 1996). Oleh karena
itu, prinsip ini juga dapat diaplikasikan untuk menentukan jarak tempuh dan
lintasan gelombang. Garis yang tegak lurus dengan muka gelombang tersebut
di sebut wave path atau rays.
Untuk kasus sudut datan normal (i = 0), perbandingan dari energi pantul
dalam gelombang longitudinal dapat dituliskan sebagai :
Er ( ρ 2V2 − ρ1V1 ) 2
=
= RC 2
Ei ( ρ 2V2 + ρ1V1 ) 2
(2.27)
25
akar dari persamaan diatas merupakan koefisien refleksi. Dari hubungan di
atas dapat terlihat energi pantul bergantung pada kontras dari densitas dan
kecepatan pada batas medium. Energinya berkurang sejalan dengan
pertambahan sudut i mencapai minimum, dan bertambah perlahan pada sudut
kritis.
b) Prinsip Huygen
Dalam media homogen, gelombang terhambur dari titik sumber. Saat
merambat, gelombang akan membuat muka gelombang. Prinsip Huygen
menjelaskan bahwa muka gelombang akan menjadi sumber gelombang baru
jika menemukan media yang berbeda.
2.2.5 Faktor – faktor yang Mempengaruhi Amplitudo Seismik
Banyak faktor yang mempengaruhi amplitudo seismik yang terekam di
permukaan. Faktor yang biasa diperhitungkan adalah koefisien refleksi yang berisi
informasi sifat fisika batuan. Disamping itu, banyak karakteristik yang bisa
diprediksi, diantaranya: efek penyebaran sferis, atenuasi, efek tuning, noise
(bising), dan filter bumi.
26
noise
Kepekaan geophone
& kopling
faktor instrumen
interferensi
Kekuatan
sumber &
Kopling
hamburan
divergensi bola
absorbsi
kelengkungan
reflektor
Koefisisen
Refleksi
variasi koefisien refleksi
dengan sudut datang
Gambar 2.6 Faktor-faktor yang mempengaruhi amplitudo gelombang seismik.
(O’Doherty dan Anstey, 1971)
2.2.6 Efek Penyebaran Sferis
Penyebaran gelombang dari suatu sumber gelombang, merambat membentuk
muka gelombang berupa bola. Jika energi pada suatu muka gelombang berharga
konstan (tidak terjadi penyerapan energi selama merambat), maka energi
persatuan luas atau intensitas gelombang akan turun sebanding dengan naiknya
luas permukaan gelombang, atau dengan kata lain sebanding dengan 1/r2 dengan r
adalah jarak dari sumber gelombang. Secara matematis hubungan tersebut dapat
dinyatakan dalam persamaan :
I=
E
4πr 2
(2.28)
27
Karena besarnya energi sebanding dengan kuadrat dari amplitudo, maka
amplitudo juga sebanding dengan 1/r .
2.2.7 Efek Serapan Energi
Selain pelemahan amplitudo akibat efek penyebaran sferis, energi gelombang
mengalami disipasi akibat pelepasan panas. Disipasi ini bervariasi secara
eksponensial terhadap jarak dari sumber. Besarnya pelemahan energi akibat kedua
efek perambatan sferis dan serapan pada jarak r dihitung menggunakan persamaan
berikut ini:
A = A0
r0 −α ( r − r0 )
e
r
(2.29)
dengan A adalah Amplitudo pada jarak r, A0 adalah amplitudo pada jarak r0 dan α
adalah faktor serapan. Faktor serapan α bukan hanya bergantung pada sifat batuan,
tetapi juga pada panjang gelombang. Sejumlah energi mengalami disipasi setiap
osilasi atau panjang gelombang berjalan.
Oleh karenanya perlu didefinisikan faktor kualitas Q yang hanya bergantung pada
sifat batuan untuk memisahkan pengaruh disipasi keluar dari pelemahan
sebelumnya. Besarnya faktor kualitas dinyatakan dalam persamaan :
Q=
π
αλ
(2.30)
28
Dari perumusan tersebut terlihat bahwa untuk panjang gelombang yang besar
(frekuensi rendah) dapat merambat lebih dalam. Itulah sebabnya meskipun
digunakan frekuensi sumber yang besar untuk meningkatkan resolusi, gelombang
sulit menembus lebih dalam.
2.2.8 Impedansi Akustik
Salah satu sifat akustik yang khas pada batuan adalah Impedansi Akustik (IA)
yang merupakan perkalian antara kecepatan (v) dan densitas (ρ)
IA = ρ x v
(2.31)
Dalam mengontrol harga IA, kecepatan mempunyai arti lebih penting daripada
densitas. Sebagai contoh, material pengisi pori batuan (air, gas, minyak) lebih
mempengaruhi harga kecepatan dari pada densitas. Anstey (1977) menganalogikan
IA dengan kekerasan. Batuan yang keras dan sukar dimampatkan seperti batu
gamping dan granit mempunyai IA tinggi, sedangkan batuan yang lunak seperti
lempung mempunyai IA rendah.
Koefisien refleksi bergantung pada harga impedansi akustik antara dua lapisan
batuan. Jika impedansi akustik lapisan batuan atas lebih kecil dari impedansi
akustik bawah maka harga koefisien refleksi positif dan negatif apabila sebaliknya.
29
2.2.9 Noise (bising)
Bising adalah segala sesuatu pada data seismik yang tidak sesuai dengan model
data secara konsep. Bising dapat dikategorikan pada penampang seismik sebagai
bising acak dan bising koheren. Bising acak polanya tidak terlihat dari tras ke tras
dan amplitudonya tidak dapat diprediksi, sumbernya dari instrumen, kabel, gerak
gelombang, dan angin. Bising koheren sebaliknya, menampilkan keteraturan dari
tras ke tras yang mempunyai kontinuitas untuk sejumlah besar tras seismik, bising
ini berhubungan dengan sumber gelombang. Bising koheren ini terdiri dari:
gelombang permukaan (Ground roll) berisi frekuensi rendah, amplitudo kuat dan
kecepatan group rendah.
30
2.3 Substitusi Fluida: Persamaan Gassmann
2.3.1 Sifat Elastis Batuan
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa sifat elastis batuan dapat
diekspresikan dengan konstanta-konstanta elastisnya yang diturunkan dengan
persamaan Hooke. Konstanta tersebut meliputi k (modulus bulk), µ (modulus
geser), σ (poisson’s ratio), λ, dan E (modulus young). Konstanta-konstanta elastis
tersebut dapat saling berhubungan melalui persamaan (2.13), (2.14), dan (2.15).
Konstanta-konstanta elastis tersebut mempengaruhi laju gelombang seismik, baik
gelombang kompresional (pressure wave), maupun gelombang geser (shear wave).
Hal tersebut telah dinyatakan pada persamaan (2.22) dan (2.24). Pada setiap
medium memiliki nilai kelajuan gelombang-S dan gelombang-P yang berbeda, hal
ini disebabkan karena pada medium tersebut memiliki nilai konstanta elastis yang
berbeda-beda. Peerbedaan nilai konstanta elastik ini karena dipengaruhi oleh
substitusi fluida pada medium (batuan) tersebut, baik jenis fluidanya maupun
kandungan fluida tersebut dalam batuan.
2.3.2 Persamaan Gassmann
Persamaan Gassmann (1951) telah digunakan untuk menghitung efek dari
substitusi fluida pada properti seismik.
31
Gambar 2.7 Pada teori Biot-Gassmann sebuah batuan kubus dikarakterisasi
dengan empat komponen : matrik batuan, sistem pori/fluida,
rangka dry rock, batuan tersaturasi (Brian H. Russell, Ken Hedlin,
Fred J. Hilterman, and Lawrence R. Lines, 2003).
Persamaan tersebut menghitung modulus bulk dari medium berpori yang
tersaturasi oleh fluida dengan menggunakan modulus bulk yang telah diketahui
dari matrik solid, frame, dan fluida yang mengisi pori batuan. Untuk sebuah
batuan, matrik solid terdiri dari mineral yang membentuk batuan, frame
merupakan kerangka dari batuan contoh, dan fluida pori dapat berupa gas, air
(water), oil, atau campuran dari ketiganya.
k * = kd +
(1 − kd / km )
φ
2
1 − φ kd
+
− 2
kf
km
km
(2.32)
32
Dimana k* adalah modulus bulk dari batuan yang tersaturasi dengan fluida yang
memiliki modulus bulk kf . kd adalah modulus bulk kerangka batuan, km adalah
modulus bulk matrik (grain) batuan, dan φ adalah porositas batuan. Modulus
geser µ* tidak mengalami perubahan yang disebabkan oleh saturasi fluida, maka
dari itu
µ* = µd
(2.33)
Dimana µd adalah modulus geser dari kerangka batuan. Densitas ρ* dari batuan
yang tersaturasi dapat dituliskan secara sederhana,
ρ * = ρ d + φρ f
(2.34)
Dimana ρ* dan ρd adalah densitas dari batuan yang tersaturasi fluida dan batuan
kering, dan ρf adalah densitas fluida pori. Perlu dicatat bahwa ρd =(1- φ ).ρm,
dimana ρm adalah densitas densitas matrik (grain).
Modulus bulk dan modulus geser dari kerangka batuan dapat dihitung dari
kecepatan yang diukur pada batuan kerangka (the frame rock) :
3 

kd = ρ d  V p2 − Vs2 
4 

(2.35)
µ d = ρ dVs2
(2.36)
33
Hal tersebut penting untuk menunjukan bahwa modulus batuan kerangka tidak
sama dengan modulus batuan kering. Dalam penggunaan persamaan Gassmann
yang benar, modulus batuan kerangka harus diukur pada kondisi saturasi
minimum (irreducible saturation condition). Fluida pada kondisi saturasi
minimum (irreducible saturation) merupakan bagian dari kerangka batuan, bukan
yang mengisi ruang pori. Pengeringan yang berlebihan dari batuan di laboratrium
akan memberikan hasil Gassmann yang keliru.
Modulus bulk dari campuran fluida yang mengisi batuan Kf
dapat dihitung
dengan mengguanakan persamaan Wood (Wood, 1941)
1 S w So S g
=
+ +
k f k w ko k g
(2.37)
Dimana kw, ko, dan kg adalah modulus bulk dari air, oil, dan gas. Sw, So, dan Sg
adalah saturasi dari air, oil, dan gas, yang diekspresikan sebagai fraksi volume
dari ruang pori, dan Sw + So + Sg = 1. Persamaan di atas menyatakan bahwa fluida
terdistribusi merata di dalam pori batuan.
Densitas dari fluida campuran yang mengisi batuan ρf dapat dihitung dengan
(2.38)
34
Dimana ρw, ρo, dan ρg adalah densitas dari air, oil, dan gas.
2.3.3 Asumsi Persamaan Gassmann
Asumsi persamaan Gassmann adalah sebagai berikut
1. Batuan (keduanya, matrik dan kerangka) secara makroskopik bersifat
homogen.
2. Seluruh pori batuan terhubung.
3. Pori tersebut terisi oleh fluida yang frictionless (cairan, gas, atau campuran
keduanya).
4. Sistem batuan-fluida bersifat tertutup (undrained).
5. Fluida pori tidak berinteraksi dengan bagian padat dari batuan.
Asumsi (1) sering muncul pada banyak teori propagasi gelombang frekuensi pada
medium berpori. Hal tersebut menyatakan bahwa panjang gelombang memiliki
nilai yang lebih besar bila dibandingkan dengan ukuran pori dan grain. Asumsi (2)
menyatakan bahwa porositas dan permeabilitas memiliki nilai yang besar. Selain
itu, asumsi (2) ini menjamin adanya keseimbangan penuh dari aliran fluida pori.
Asumsi (3) menyatakan bahwa vikositas fluida yang tersaturasi adalah nol. Hal
tersebut juga untuk menjamin adanya keseimbangan penuh dari aliran fluida. Tapi
pada umumnya fluida pori memiliki viskositas dan panjang gelombang yang
terbatas, sehingga untuk perhitungan menggunakan persamaan Gassmann asumsi
ini sering dilanggar.
35
Asumsi (2) dan (3) adalah kunci penting dari persamaan Gassmann dan
merupakan esensi persamaan Gassmann. Asumsi (2) dan (3) menyatakan bahwa
frekuensi gelombang adalah nol. Hal ini mungkin adalah suatu alasan mengapa
pengukuran laboratrium dan logging dari modulus bulk biasanya memiliki nilai
yang lebih besar dibandingkan dengan apa yang diperoleh dengan persamaan
Gassmann. Pada frekuensi yang terbatas, gerak relatif antara solid matrik dan
fluida pori akan terjadi, maka gelombang akan terdispersi. Gerak relatif yang
terjadi antara fluida pori dan solid matrik disebabkan panjang gelombang yang
terbatas dan perbedaan yang kontras dari modulus geser dan bulk antara fluida
pori dan matrik batuan.
Asumsi (4) berarti bahwa untuk sampel batuan laboratrium, sistem batuan-fluida
dibatasi oleh suatu pembatas sedemikian sehingga tidak ada fluida yang mengalir
keluar maupun ke dalam dari permukaan batuan. Ini merupakan kunci dalam
perhitungan menggunakan persamaan Gassmann, karena jika sistem ini terbuka,
maka perubahan properti-properti seismik hanya dipengaruhi oleh perubahan
densitas fluida pori. Asumsi (5) mengeliminasi beberapa efek interaksi
kimia/fisika antara fluida pori dan matrik batuan.
2.3.4 Properti Matrik
Untuk menghitung modulus bulk atau modulus geser dari matrik (grain), km atau
µm, informasi dekomposisi dari batuan harus diketahui terlebih dahulu. Jika
36
sampel dari core tersedia, kelimpahan mineral dapat ditentukan dengan teknik
laboratrium konvensional (misalnya, difraksi X-ray, analisis infrared transformasi
fourier, perhitungan titik pada penampang tipis). Maka km atau µm dapat dihitung
dengan mengaplikasi persamaan rata-rata Voigt-Reuss-Hill (VRH). Apabila
matrik mineral terletak pada grain, hal tersebut lebih tepat untuk menggunakan
hubungan sederhana rata-rata Reuss pada saat menghitung km atau µm.
n
M v = ∑ ci M i
(2.39)
i =1
n
c
1
=∑ i
M R i =1 M i
M=
1
(Mv + MR )
2
(2.40)
(2.41)
Dimana ci adalah fraksi volume dari komponen i dari matrik batuan (mineral atau
grain) dan Mi adalah modulus bulk dari komponen tersebut.
Hal utama untuk mengaplikasikan persamaan Gassmann, terlebih dahulu kita
menentukan modulus bulk dari matrik kerangka (frame matrix). Km dapat
diturunkan dari salah satu cara, (1) pengukuran kecepatan seismik dengan
mengontrol kelembapan dan pengeringan core batuan, (2) mengaplikasikan
persamaan hubungan empiris atau teori medium efektif (Budiansky dan
O’Connell, 1976 ; Gregory, 1976 ; Murphy et al., 1993 ; Spencer et al., 1994 ;
37
Vernik, 1998 ; Wang, 2000, 2001), atau (3) pengukuran langsung dari data log
(Zhu dan McMechan, 1990).
Ketika bekerja dengan log data, seseorang biasanya melakukan pendekatan untuk
menentukan kd, dan menuliskan kembali invers persamaan Gassmann sebagai
berikut.
 φk

k *  m + 1 − φ  − km
 kf



kd =
φ km k *
+
−1 − φ
kf
km
(2.42)
Jadi, modulus bulk dari batuan yang tersaturasi, k*, dapat ditentukan sebagai
berikut
4 

k * = ρb  V p2 − Vs2 
3 

(2.43)
Wang (2000a) juga pernah membandingkan hasil dari persamaan Gassmann
dengan yang diperoleh dari pengukuran laboratrium mengenai efek substitusi
fluida pada properti seismik. Efek dari substitusi fluida pada kelajuan seismik
yang diperoleh dari pengukuran di laboratrium sesuai dengan apa yang diprediksi
oleh persamaan Gassmann. Gambar di bawah ini menunjukkan efek substitusi
fluida (waterflood dan CO2 flood) terhadap kelajuan kompresional pada pasir
38
(sand), sandstone, dan dolomit. Perhitungan perubahan Vp karena efek substitusi
fluida dengan persamaan Gassmann hampir sesuai dengan apa yang diperoleh dari
pengukuran di laboratrium. Pada gambar berikutnya, untuk kelajuan geser, hasil
yang diperoleh dari persamaan Gassmann memiliki nilai yang agak lebih besar
bila dibandingkan dengan pengukuran di laboratrium.
(a)
(b)
Gambar 2.8 Perhitungan dengan persamaan Gassmann versus pengukuran
laboratrium efek dari perpindahan fluida (air dan aliran CO2) (a)
kelajuan kompresional (Vp) (b) kelajuan geser pada sands,
sandstones, dan dolomites (Zhijing (Zee) Wang, 2001).
39
2.4 Viskositas (hukum Stokes)
Setiap benda yang bergerak relatif terhadap benda lain selalu mengalami gesekan
(gaya gesek). Sebuah benda yang bergerak di dalam fluida juga mengalami
gesekan. Hal ini disebabkan oleh sifat kekentalan (viskositas) fluida tersebut.
Koefisien kekentalan suatu fluida (cairan) dapat diperoleh dengan menggunakan
percobaaan bola jatuh di dalam fluida tersebut. Gaya gesek yang bekerja pada
suatu benda yang bergerak relatif terhadap suatu fluida akan sebanding dengan
kecepatan relatif benda terhadap fluida
F = - b.v
(2.44)
Dimana F adalah gaya gesek yang dialami oleh benda, b adalah konstanta gesekan,
dan v adalah kecepatan benda. Khusus untuk benda yang berbentuk bola dan
bergerak dalam fluida yang sifat-sifatnya tetap, gaya gesek tersebut memenuhi
hukum Stokes sbb
F = -6.π.η.r.v
(2.45)
Dimana η adalah viskositas suatu fluida dan r adalah jari-jari bola yang
dicelupkan ke dalam fluida tersebut. Viskositas adalah sifat fisis suatu fluida yang
mendeskripsikan tingkat kekentalan fluida tersebut. Hukum Stokes di atas berlaku
bila :
40
1. Fluida tidak berolak (tidak terjadi turbulensi).
2. Luas penampang tabung tempat fluida cukup besar dibanding ukuran bola.
Gambar 2.9 Sebuah bola mengalami dua jenis gaya penghambat dalam suatu
fluida.
Bila sebuah benda padat berbentuk bola dengan jari-jari r dimasukkan ke dalam
zat cair tanpa kecepatan awal bola tersebut akan begerak ke bawah mula-mula
dengan percepatan sehingga kecepatannya bertambah. Dengan bertambahnya
kecepatan maka gaya gesek fluida akan membesar, sehingga suatu saat bola akan
bergerak dengan kecepatan tetap. Kecepatan tetap ini disebut kecepatan terminal
yang terjadi pada saat gaya berat bola sama dengan jumlahan antara gaya angkat
ke atas (Archimedes) dan gaya gesek Stokes seperti tampak pada gambar.
Besarnya kecepatan terminal adalah
2 r2
vT = . ( ρ − ρo )
9 η
(2.46)
41
Dimana ρ adalah massa jenis bola dan ρo adalah massa jenis fluida.
Bila jarak yang ditempuh bola dengan kecepatan terminal tersebut dalam selang
waktu T adalah s maka berlaku persamaan gerak lurus beraturan
vT =
s
T
(2.47)
42
2.5 Resistivitas
2.5.1 Hambatan (hukum Ohm)
Jika kita beri beda potensial di antara ujung tongkat tembaga dan ujung tongkat
kayu yang mempunyai geometri yang serupa, maka arus yang mengalir pada
keduamedium tersebut memiliki nilai yang berbeda. Karakteristik (sifat)
penghantar yang menyebabkan hal ini adalah hambatan (resistance). Kita
mendefinisikan hambatan dari sebuah penghantar di antara dua titik dengan
menggunakan sebuah beda potensial V di antara dua titik tersebut, dan dengan
mengukur i, dan kemudian melakukan pembagian. Secara matematis hal tersebut
dapat diekspresikan sebagai berikut.
R=
V
i
(2.48)
Persamaan di atas disebut juga sebagai hukum Ohm. Sebuah resistor sering
disebut werstan, tahanan atau penghambat, adalah suatu komponen elektronik
yang dapat menghambat gerak lajunya arus listrik. Resistor disingkat dengan
huruf "R" (huruf R besar). Satuan resistor adalah Ohm, yang menemukan adalah
George Ohm (1787-1854), seorang ahli fisika bangsa Jerman. Tahanan bagian
dalam ini dinamai konduktansi. Satuan konduktansi ditulis dengan kebalikan dari
Ohm yaitu mho.
Kemampuan resistor untuk menghambat disebut juga resistensi atau hambatan
listrik. Besarnya diekspresikan dalam satuan Ohm. Suatu resistor dikatakan
43
memiliki hambatan 1 Ohm apabila resistor tersebut menjembatani beda tegangan
sebesar 1 Volt dan arus listrik yang timbul akibat tegangan tersebut adalah sebesar
1 ampere, atau sama dengan sebanyak 6.241506 × 1018 elektron per detik
mengalir menghadap arah yang berlawanan dari arus.
Aliran muatan melalui sebuah penghantar sering dianalogikan seperti aliran air
pada sebuah pipa, yang terjadi akibat adanya perbedaan tekanan antara kedua
ujung pipa. Perbedaan tekanan ini dapat dianalogikan sebagai perbedaan potensial
(beda potensial) yang dihasilkan oleh sumber potensial di antara ujung-ujung dari
sebuah tahanan (resistor). Aliran air (katakanlah dinyatakan dalam liter/detik)
dapat dianalogikan sebagai arus listrik atau aliran muatan ( dinyatakan dalam
coulomb/detik). Banyaknya air yang mengalir per satuan waktu untuk suatu
perbedaan tekanan yang diberikan ditentukan oleh oleh sifat pipa. Apakah pipa
tersebut panjang atau pendek? Apakah penampang pipa tersebut lebar atau
sempit? Sifat-sifat (karakteristik) pipa ini adalah analog dengan hambatan sebuah
penghantar.
2.5.2 Resistivitas (Hambat Jenis)
Sesuatu yang dihubungkan dengan hambatan adalah resistivitas ρ, dimana nilai
tersebut tidak bergantung pada bentuk geometris maupun dimensi bahan atau
medium, tetapi hanya bergantung pada jenis bahan itu sendiri. Resistivitas untuk
medium isotropis dapat didefinisikan sebagai berikut
44
ρ=
E
j
(2.49)
Dimana E adalah medan listrik pada bahan (yang dinyatakan dalam
Newton/coulomb) dan j adalah rapat arus (yang dinyatakan dalam Ampere/m2).
Sering kali kita lebih suka berbicara mengenai konduktivitas, σ, dari suatu bahan
dari pada berbicara mengenai resistivitasnya. Definisi konduktivitas adalah
kebalikan dari resistivitas, yaitu ukuran kemudahan suatu bahan untuk
menghantarkan arus listrik. Maka secara matematis dapat kita tuliskan
σ=
1
ρ
(2.50)
Tinjaulah sebuah penghantar silinder, yang luas penampangnya A dan panjangnya
l, yang dialiri arus yang nilainya konstan. Hal ini ditunjukan oleh gambar 2.10.
Misalkan beda potensial pada ujung-ujung penghantar tersebut adalah V. Jika
penampang-penampang silinder pada setiap ujung adalah merupakan permukaan
ekuipotensial, maka medan listrik dan rapat arus akan konstan untuk semua titik
di dalam silinder dan akan mempunyai nilai-nilai
E=
V
i
(2.51)
45
dan
i
A
j=
L
A
i
V
Gambar 2.10 Silinder dengan panjang L dan luas penampang A, diberi beda
potensial A, maka mengalir arus listrik sebesar i
Maka kita dapat menuliskan resistivitasnya sebagai berikut.
ρ=
E V /i
=
j i/ A
Tetapi karena V/i adalah R, maka R pada persamaan hukum Ohm dapat dituliskan
sebagai berikut
46
R=ρ
L
A
(2.52)
V, i, dan R adalah kuantitas makroskopik, yang untuk sebuah benda khas atau
daerah yang diperluas. Kuantias-kuantitas mikroskopik yang bersangkutan adalah
E, j, dan ρ. Kuantitas-kuantitas mikroskopik ini memiliki nilai di setiap titik di
dalam
sebuah
benda.
Kuantitas-kuantitas
makroskopik
tersebut
saling
dihubungkan satu dengan yang lain dengan menggunakan persamaan (2.48) dan
kuantitas-kuantitas mikroskopik dihubungkan satu dengan yang lain dengan
menggunakan persamaan (2.51), yang dapat dituliskan dalam bentuk vektor
sebagai E = ρ.j.
Kuantitas-kuantitas makroskopik tersebut dapat dicari dengan mengintegralkan
terhadap kuantitas-kuantitas mikroskopik, dengan menggunakan hubungan yang
telah diberikan, yakni
r r
i = ∫ j • dS
(2.53)
dan
b
r r
Vab = − ∫ E • dL
(2.54)
a
Integral pada persamaan (2.53) adalah integral permukaan, yang dilakukan pada
setiap penampang penghantar. Integral pada persamaan (2.54) adalah integral
garis, yang dilakukan pada sebuah garis sembarang yang ditarik sepanjang
47
penghantar tersebut, dan menghubungkan kedua permukaan ekipotensial yang
didefinisikan oleh a dan b. Untuk sebuah medium panjang yang dihubungkan ke
sebuah permukaan ekipotensial baterai, a dapat dipilih sebagai sebuah penampang
baterai di dekat terminal baterai yang lebih positif dan b dapat dipilih sebagai
sebuah penampang yang lebih negatif.
Kita dapat menyatakan hambatan sebuah penghantar di antara a dan b di dalam
suku-suku mikroskopik dengan membagi persamaan (2.54) dengan persamaan
(2.53).
b
r r
− ∫ E • dL
V
R = ab = a r r
i
∫ j • dS
Jika penghantar tersebut adalah sebuah silinder dengan luas penampang A dan
panjangnya adalah L, dan jika titik a dan b adalah ujung-ujungnya, maka
persamaan di atas akan kembali seperti persamaan (2.52)
Kuantitas V, i, dan R adalah sangat penting apabila kita sedang melakukan
pengukuran-pengukuran listrik pada medium-medium penghantar yang real.
Kuantitas-kuantitas tersebutlah yang kita baca pada alat-alat pengukur. Kuantitaskuantitas mikroskopik, E, j, dan ρ terutama sangat penting apabila kita membahas
sifat fundamental bahan. Kuantitas-kuantitas mikroskopik tersebut adalah sangat
48
penting juga bila kita berminat mempelajari sifat bagian dalam dari benda-benda
penghantar yang bentuknya tidak teratur.
49
2.6 Diffraksi Sinar-X dan Scanning Electron Monograph
2.6.1 Diffraksi Sinar-X
Pada tahun 1912, belum ada penjelasan langsung mengenai struktur kristal,
walaupun ada beberapa alasan untuk meyakini bahwa kristal memiliki susunan
atom-atom yang periodik dengan jarak antar atom-atomnya berada pada orde 1
Angstrom. Max Von Laue, di Universitas Munich, Jerman, menyatakan bahwa
struktur periodik dari kristal dapat mendefraksikan sinar-X sebagai ganguan untuk
mengetahui pola difraksi yang terjadi. Usulan ini didasarkan pada tiga asumsi : (1)
struktur kristal adalah periodik, (2) sinar-X adalah gelombang, dan (3) panjang
gelombang sinar-X memiliki orde yang sama dengan jarak antar atom di dalam
kristal.
Fisikawan Inggris Sir W.H. Bragg dan anaknya Sir W.L. Bragg mengembangkan
sebuah hubungan untuk menjelaskan mengapa belahan muka kristal yang muncul
dapat memantulkan sinar-X pada sudut datang tertentu (θ). Hubungan ini dikenal
sebagai hukum Bragg.
nλ = 2d sin θ
(2.55)
dimana d adalah jarak antar lapisan atom di dalam kristal, variabel lamda λ adalah
panjang gelombang sinar-X datang, dan n adalah bilangan bulat. Observasi ini
adalah sebuah contoh dari interferensi hamburan sinar-X datang, dan biasanya
disebut sebagai difraksi sinar-X, dan merupakan penjelasan langsung untuk
struktur periodik atom dari sebuah kristal yang telah dipostulatkan selama
50
beberapa abad yang lalu. Persamaan Bragg di atas hanya untuk kondisi pada saat
intensitas mengalami maksimum lokal (interferensi konstruktif)
Gambar 2.11 Pantulan Bragg dari beberapa bidang lattice, yang dipisahkan
dengan jarak d. Beda panjang lintasan adalah 2d.sinθ.
Walaupun hukum Bragg digunakan untuk menjelaskan pola interferensi dari
sinar-X yang dihamburkan oleh kristal, difraksi telah dikembangkan untuk
mempelajari struktur seluruh materi dengan menggunakan ion, elektron, netron,
dan proton dengan sebuah panjang gelombang yang sama dengan jarak antar atom
(struktur atom) penyusun material yang kita teliti.
Sinar-X adalah radiasi elektromagnetik dengan panjang gelombang sekitar 1
Angstrom (10-10meter), dimana sama dengan ukuran sebuah atom. Sinar-X
dipancarkan dengan rentang frekuensi antara sianr gamma dengan sinar ultraviolet.
Difraksi sinar-X telah digunakan pada dua area, untuk karakterisasi material
kristal dan menentukan struktur kristal tersebut. Setiap padatan kristal memiliki
51
karakter yang unik dari pola difraksi sinar-X untuk bentuk bubuknya (powder)
dimana digunakan untuk mengkarakterisasi jenis material kristal tersebut. Setelah
material kristalnya dapat diketahui, maka langkah berikutnya adalah menentukan
struktur dari kristal tersebut, yaitu bagaimana keadaan atom-atom dalam kristal
tersebut dan berapa jarak dan sudut antar atom dalam kristal tersebut. Difraksi
sinar-X adalah tools yang sangat penting untuk karakterisasi bahan, terutama
dalam bidang kimia, material, dan mineralogi. Untuk menentukan bentuk dan
ukuran dari setiap sel paling mudah dengan menggunakan metode difraksi sinar-X.
Ketika sebuah hamburan sinar-X menumbuk atom, elektron-elektron di sekitar
atom mulai untuk berosilasi dengan frekuensi yang sama dengan frekuensi sinarX datang. Hampir di seluruh arah hamburan kita akan menemukan interferensi
destruktif, dimana kombinasi dari dua gelombang memiliki fasa yang berlawanan,
dan tidak terdapat resultan energi yang meninggalkan sampel padatan.
Bagaimanapun struktur atom di dalam tersusun secara teratur, dan hanya beberapa
kita temukan interferensi konstruktif.
(a)
52
(b)
Gambar 2.12 Pengukuran intensitas hasil difraksi sinar X (a) Peralatan difraksi
sinar-X (b) Percobaan konfigurasi hamburan sinar-X menggunakan
target Cu.
Gelombang sinar-X akan bergantung pada fase dan sinar-X yang didifraksikan
akan dihamburkan ke segala arah. Di sini, sinar yang didifraksikan dapat
digambarkan sebagai sinar yang disusun dari sejumlah besar sinar yang saling
menguatkan satu dengan yang lain.
2.6.2 Perluasan Sinar yang Didifraksikan
Pada tahun 1918, P. Scherrer menunjukkan bahwa, ketika radiasi sinar
monokromatik sejajar jatuh pada sebuah massa orientasi random dari sebuah
kristal, sinar yang didifraksikan akan diperluas ketika partikel sangat kecil.
53
B≈
1
( 2θ1 − 2θ 2 ) = θ1 − θ2
2
Gambar 2.13 Kurva intensitas sinar X hasil difraksi sebagai fungsi dari sudut
hamburan
(en.wikipedia.org/wiki/Scanning_electron_microscope.htm#Xray_microanalysis)
Berdasarkan gambar 2.13 kita bias lihat ada tiga kondisi (1) untuk sudut θB
intensitas yang didifraksikan adalah maksimum, (2) untuk θ1 dan θ2 , intensitasnya
adalah nol, dan (3) untuk sudut θ1 > θ > θ2 intensitasnya tidak nol, oleh karena itu
2t sin θ1 = ( m + 1) λ
2t sin θ 2 = ( m − 1) λ
(2.56)
Maka kita dapat peroleh
t ( sin θ1 − sin θ 2 ) = λ
(2.57)
54
 θ +θ   θ −θ 
2t cos  1 2  sin  1 2  = λ
 2   2 
(2.58)
θ1 dan θ2 memiliki hubungan dengan θB, maka kita peroleh
θ1 + θ 2 ≈ 2θ B
(2.59)
 θ −θ   θ −θ 
sin  1 2  ≈  1 2 
 2   2 
(2.60)
jadi,
 θ −θ 
2t  1 2  cos θ B = λ
 2 
t=
λ
B cos θ B
(2.61)
(2.62)
Dimana t adalah jarak antar atom di dalam kristal, dan B adalah θ1 – θ2
2.6.3 Scanning Electron Micrograph
SEM (Scanning Electron Micrograph) adalah digunakan untuk mengetahui
morfologi dari suatu material. Ini juga merupakan suatu teknik untuk mempelajari
topografi suatu permukaan. Sebuah elektron berenergi tinggi ditembakkan menuju
ke suatu permukaan material tersebut. Elektron datang yang menumbuk atom
menyebabkan elektron pada atom tersebut terlepas dari permukaan dengan energi
rendah. Elektron yang terlepas dari permukaan (yang diemisikan dari sampel)
55
dideteksi oleh layar fosfor. Layar fosfor tersebut akan bersinar dan intensitas
cahaya yang ditimbulkan diukur dengan photomultiplier.
Instrumen tersebut (SEM) dapat dijumpai laboratrium Pusat Penelitian Geologi
Lingkungan, Bandung.
Gambar 2.14 Alat Scanning Electron Micrograph equipment yang digabungkan
dengan Energy Dispersive X-Ray Analysis equipment (laboratrium
Pusat Penelitian Geologi Lingkungan, Bandung).
Metoda SEM dan difraksi sinar-X sering digunakan dalam bidang mineralogi
untuk menentukan jenis matrik kerangka dari suatu batuan.
56
2.7 Teori AVO
2.7.1 Pendahuluan
Dari pemanfaatan konvensional metoda seismik refleksi, secara tradisional hal
tersebut dapat dilihat sebagai pita terbatas dari deret koefisien refleksi sudut
datang normal dengan menggunakan waktu tempuh dan variasi amplitudo dari
propagasi
gelombang
seismik
selama
overburden.
Ostrander
(1982)
mendemonstrasikan bahwa koefisien refleksi gas sand memiliki anomali dalam
variasinya
dengan
bertambahnya
offset
dan
menunjukkan
bagaimana
memanfaatkan kelakuan anomali ini sebagai indikator langsung hidrokarbon pada
data real. Kemudian pekerjaan tersebut dipopulerkan dengan nama “amplitude
variation with offset analysis (AVO)”. Dalam perkembangannya sebagai tool
seismik batuan, AVO menyediakan model yang dikembangkan dari seismogram
refleksi yang memperbolehkan kita untuk mengestimasi koefisien refleksi dengan
sudut datang normal dan “latar belakang” kelajuan gelombang seismik.
AVO (Amplitude Variation with Offset) sering juga disebut sebagai AVA
(Amplitude Versus with Angle of incidence) merupakan suatu konsep baru untuk
mengidentifikasi hidrokarbon secara langsung, setelah konsep bright spot banyak
mengalami kegagalan. Karena ternyata banyak pantulan lokal yang kuat (bright
spot) tidak selalu menandakan adanya gas bumi. Banyak bright spot tersebut
kosong atau berasal dari pantulan lapisan tipis batubara.
57
Secara prinsip konsep AVO berdasar kepada suatu anomali bertambahnya
amplitudo sinyal terpantul dengan bertambahnya jarak sumber gelombang ke
penerima (offset), apabila gelombang seismik tersebut terpantul oleh lapisan yang
berisi gas hidrokarbon. Jarak sumber ke penerima (offset) berhubungan langsung
dengan sudut datang sinar seismik (angle of incidence) terhadap lapisan pemantul.
Pada kondisi normal semakin besar offset, semakin besar sudut datangnya dan
semakin kecil amplitudonya, namun pada kasus anomali AVO, akan semakin
besar pula amplitudonya.
2.7.2 Teori Persamaan Zoeppritz-Knott
Bright spot dianggap sebagai salah satu indikator langsung mengenai keberadaan
akumulasi gas hidrokarbon di dalam seksi seismic. Anomali bright spot
diakibatkan oleh turunnya nilai koefisien refleksi gelombang seismik secara
drastic dari puncak lapisan yang mengandung gas terhadap nilai koefisien refleksi
dari lapisan-lapisan di sekitarnya. Gejala ini disertai dengan adanya pembalikan
polaritas dan penurunan frekuensi sinyal tepat di bawah reservoar gas tersebut.
Di dalam praktek, tidak semua bright spot mengandung gas, banyak kondisikondisi di bawah permukaan yang lain dapat memberikan efek bright spot, misal
sisipan tipis batubara, batuan berpori atau rekah-rekah, lapisan garam,
konglomerat, turbidit, dan tubing efek dari lapisan tipis. Analisis AVO
dikembangkan untuk menutupi kelemahan diagnosa tersebut yang bekerja
berdasarkan pada adanya peningkatan amplitudo (koefisien refleksi) terhadap
58
bertambahnya jarak offset bila gelombang seismik tersebut melalui reservoar gas.
Anomali tersebut sangat kecil sehingga diperlukan pra kondisi data seismik agar
konsep AVO dapat diterapkan dengan baik.
Walaupun analisis AVO bertumpu pada bertambahnya amplitudo sinyal terpantul
terhadap offset, akan tetapi ada batas maksimum dari offset ini yang tidak boleh
dilewati. Batas maksimum ini adalah sudut kritis. Di atas sudut kritis tingkah laku
amplitudo sinyal terpantul tidak sebagaimana yang dijadikan pegangan dalam
analisis AVO. Untuk jelasnya, amati kurva teoritis dari refleksi pada satu bidang
batas. Kurva tersebut dihitung dengan menggunakan persamaan yang diturunkan
oleh Knott dan Zoepprit. Hasil perhitungan untuk dua model yang kondisi
geloginya berkebalikan dapat dilihat dari gambar 2.15
Gambar 2.15 tersebut menerangkan peristiwa refleksi, transmisi, dan konversi
sebuah gelombang seismic yang mengenai bidang batas antara dua lapisan. Absis
menyatakan sudut datang, sedangkan ordinat menyatakan harga mutlak dari
perbandingan energi antara gelombang-gelombang terpantul, terbias dan yang
mengalami konversi dibandingkan terhadap energi gelombang yang datang.
59
(a)
(b)
Gambar 2.15 Hubungan antara offset dan sudut datang (a) Sudut datang diukur
dari garis normal ke garis sinar-sinar seismik yang menuju ke
lapisan pemantul. Semakin besar offset, semakin besar pula sudut
datangnya (b) Fenomena refleksi, transmisi dan konversi
gelombang seismic pada bidang batas antara dua lapisan (After
Exploration Seismology, 2d ed., by Robert E.Sheriff and Lloyd
P.Geldart).
60
Persamaan ini menentukan amplitudo gelombang terpantul dan terbiaskan pada
bidang batas untuk gelombang P yang datang. Knott (1899) adalah orang yang
pertama kali melakukan hal tersebut melalui fungsi pergeseran potensial dan
syarat batasnya. Di sini akan diturunkan maksud tersebut di atas berdasarkan
langkah-langkah Zoepprit. Ambil notasi Ao,A1,A2,B1, dan B2 menyatakan
masing-masing amplitudo gelombang P datang, gelombang P pantul, gelombang
S pantul, dan gelombang S bias seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.16.
z
ρ1, µ 1, λ1, α1, β1
x
ρ2, µ 2, λ2, α2, β2
Gambar 2.16 Gelombang P datang dari medium 1 menuju medium 2
mengalami pembiasan dan pemantulan menjadi dua mode
gelombang (gelombang P dan S) (John P.Castagna and Milo
M.Backus, 1999)
61
Misal terdapat gelombang yang merambat dalam bidang xz, dan bidang batas
perlapisan adalah xy, maka persamaan gelombang datangnya adalah
ψ 0 = A0 .e jω (lx + nz ) / α
1
ψ 0 = A0. e jω ( x. sin θ 1− z. cos θ 1) / α = A0 .e jω ( x − z. cot θ 1)
(2.63)
1
l dan n adalah vektor satuan dan p adalah parameter gelombang = (sin θ1) / α1, dan
α1 adalah kecepatan gelombang P. Faktor exp(-jω) telah dikeluarkan karena
pendeferensialan akan dilakukan bukan terhadap waktu t dan faktor tersebut akan
hilang pada saat memasukkan syarat batas. Variasi gelombang yang muncul
menurut gambar 2.16 adalah :
ψ o = Ao e jωξ ,ψ 1 = A1e jωξ ,ψ 2 = A2 e jωξ ,
o
1
2
(2.64)
ψ 1 = B1e jωξ ,ψ 2 = B2 e jωξ ,
1
1
1
2
Dimana
ξ o = p ( x − z cot θ1 ),
ξ1 = p( x + z cot θ1 ), ξ 2 = p( x − z cot θ 2 ),
ξ 11 = p ( x + z cot Φ 1 ), ξ 21 = p ( x − z cot Φ 2 ),
(2.65)
Selanjutnya persamaan pergeseran gelombang ψ dalam komponennya, sepanjang
x dan z memberikan
62
u1 = Ao sin θ 1e jωξo + A1 sin θ 1e jωξo + B1 cos Φ 1e jωξ1 ,
1
u 2 = Ao sin θ1e jωξo + A2 sin θ 2 e jωξ 2 − B2 cos Φ 2 e jωξ2 ,
1
w1 = − Ao sin θ 1e jωξo + A1 sin θ1e jωξo − B1 cos Φ 1e jωξ1 ,
1
w2 = Ao sin θ1e jωξo − A2 sin θ 2 e jωξ 2 − B2 cos Φ 2 e jωξ 2 ,
1
Selain persamaan di atas, kita juga dapat menuliskan hukum Snellius
p=
Sinθ1
α1
=
Sinθ 2
α2
=
SinΦ 1
β1
=
SinΦ 2
β2
dan kecepatan gelombang P dan S
1
1
 λ + 2µ  2
 µ 2
 danβ =  
α = 
 ρ 
ρ
dan dengan memasukkan syarat batas pada z = 0 untuk simpangan gelombang P
dan S dan dengan menggunakan hubungan stress-strain, maka kita dapatkan
empat persamaan Zoepprit, yaitu
( − Ao + A1 ) cos θ1 − B1 sin Φ 1 = − A2 cos θ 2 − B2 sin Φ 2 ,
( Ao + A1 ) cos θ1 + B1 sin Φ 1 = − A2 cos θ 2 − B2 sin Φ 2 ,
( Ao + A1 ) cos 2θ 1 − B1W1 sin 2Φ 1 = A2 Z 2 cos θ 2 + B2W2 sin 2Φ 2 ,
63
( − Ao + A1 )( β 1 / α 1 ) cos 2θ 1 + B1W1 sin 2Φ 1 = − A2 ( β 2 / α 2 )W2 cos θ 2 + B2W2 sin 2Φ 2
,
Dimana Zi = ρi αi dan Wi = ρi βi sering disebut sebagai impedansi akustik.
Akhirnya dapat disimpulkan dari uraian di atas, bahwa untuk gelombang datang P
dengan amplitudo Ao pada sudut θ1 ke bidang batas yang memisahkan dua
medium dengan parameter media (ρ, µ, α, dan β), dengan hukum Snellius dapat
ditentukan sudut-sudut θ1 dan Ф1. Sedangkan persamaan Zoeppritz dapat
menetapkan amplitudo gelombang yang terpantul Ai dan Bi. Dengan cara yang
sama dapat pula diturunkan persamaan serupa untuk gelombang S. Gelombang S
pada medium cair nilai amplitudo B1 = 0, karena hanya gelombang P saja yang
dapat merambat.
Setelah kita menurunkan persamaan untuk gelombang S maka kita dapat
menyusun kembali persamaan Zoeppritz dalam bentuk matrik (Aki dan Richard,
1980).
Q = P-1.R
 `PP′

 `PS ′
Q=
`P`P

 `P`S

(2.66)
`SP′ P′P′ S ′P′ 

`SS ′ P′S ′ S ′S ′ 
`S`P P′`P S ′`P 

`S`S P′`S S ′`S 
64
Dimana matrik P adalah
− sin θ1
− cos Φ 1
sin θ 2


cos θ 1
− sin Φ 1
cos θ 2

2
 2 ρ β sin Φ cos θ
ρ1 β 1 (1 − 2 sin Φ 1 ) 2 ρ 2 β 2 sin Φ 2 cos θ 2
1 1
1
1

 − ρ α (1 − 2 sin 2 Φ )
ρ1 β1 sin 2Φ 1
ρ 2 β 2 (1 − 2 sin 2 Φ 2 )
1
 1 1
cos Φ 2


− sin Φ 2

2
ρ 2 β 2 (1 − 2 sin Φ 2 ) 

− ρ 2 β 2 sin 2Φ 2 
dan matrik R adalah
sin θ 1
cos Φ 1
− sin θ 2
− cos Φ 2




cos θ 1
− sin Φ 1
cos θ 2
− sin Φ 2


2
 2 ρ β sin Φ cos θ ρ β (1 − 2 sin 2 Φ ) 2 ρ β sin Φ cos θ
ρ 2 β 2 (1 − 2 sin Φ 2 ) 
1
1
1 1
1
2 2
2
2
 1 1

 ρ α (1 − 2 sin 2 Φ )
− ρ1 β1 sin 2Φ 1
− ρ 2α 2 (1 − 2 sin 2 Φ 2 )
ρ 2 β 2 sin 2Φ 2 
1
 1 1
2.7.3 Pembagian Energi di Bidang Batas pada Sudut Datang Normal
Persamaan Zoeppritz dapat disederhanakan untuk kasus sudut datang normal (0˚)
atau mendekati normal (sekitar < 15˚), karena perubahan kurva amplitudo
terhadap sudut datang <15˚ relatif kecil. Dengan demikian untuk gelombang P
datang dengan sudut tidak akan menimbulkan efek stress (tekanan) tangensial dan
pergeserannya, sehingga amplitudo B1 = B2 = 0, dan keempat persamaan
Zoeppritz menjadi,
A1+A2 = A0
Z1A1 – Z2A2 = -Z1A0,
65
Penyelesaian persamaan tersebut adalah,
RP =
A1 α 2 ρ 2 − α 1 ρ1 Z 2 − Z1 ∆Z 1
=
=
≈
≈ ∆(ln Z )
A0 α 2 ρ 2 + α 1 ρ1 Z 2 + Z1 2Z 2
TP =
A2
2α 1 ρ1
2Z1
=
=
A0 α 2 ρ 2 + α 1 ρ1 Z 1 + Z 2
(2.67)
dengan Rp adalah koefisien refleksi untuk sudut datang normal dan Tp adalah
koefisien transmisi untuk sudut datang normal. Bagian energi yang hilang
terpantul (ER) dan tertransmisikan (ET) dinyatakan oleh,
2
α ρ ω 2 A 2  Z − Z1 
 = R 2 ,
E R = 1 1 2 1 2 =  2
+
Z
Z
α 1 ρ1ω A0
 2
1 
2
2
4Z 2 Z1
Z
α ρω A
E R = 2 2 2 22 =
= 2 T 2,
2
Z1
( Z 2 + Z1 )
α 1 ρ1ω A0
(2.68)
tampak jelas bahwa ER+ET = 1, dan jika Z1 ditukar dengan Z2 persamaan (2.67)
tidak berubah. Hal ini menunjukkan bahwa pembagian energi tidak bergantung
pada medium mana yang mengandung gelombang datang.
Pada saat Z1/Z2 = 1, maka R = ER = 0, dan semua energi tertrnsmisi (diteruskan)
semua. Hal ini dapat terjadi tidak memerlukan ρ1 = ρ2 dan α1 = α2, karena kontras
impedansi mendekati nol atau tidak berhingga, T mendekati nol dan R mendekati
nilai tertentu (unity), sehingga semakin besar kontrasnya, semakin kuat energi
66
yang terpantul. Berikutnya akan dipaparkan beberapa aproksimasi (pendekatan)
persamaan Zoeppritz-Knott dengan asumsi-asumsi dasar, yaitu untuk sudut datang
kurang dari 30˚ dan perbedaan properti elastik (seismic) antar medium sangat
kecil.
2.7.4 Aproksimasi Persamaan Zoeppritz oleh Bortfeld (1961)
Bortfeld menghasilkan aproksimasi persamaan Zoeppritz-Knott sebagai berikut
ini dengan asumsi bahwa perubahan properti elastik antar medium sangat kecil :
R (θ1 ) =
1  VP 2 ρ 2 cos θ1  sin θ1 2
ln 
VS1 − VS22
+
2  VP1 ρ1 cos θ 2 
VP1
2
(
)


ρ 
ln  2 


 ρ1 
2 +
 (2.69)

 VP 2VS 1  
 VP 2 
ln 


 − ln 

 VP1 
 VP1VS 2  
2.7.5 Aproksimasi Persamaan Zoepprit oleh Aki, Frasier, dan Richard (1976)
Sebelumnya persamaan amplitude gelombang seismik refleksi dipengaruhi oleh
offset telah diselidiki oleh beberapa geofisikawan untuk menemukan aproksimasi
dari persamaan Zoepprit (Ostrander, 1984; Sherwood, 1983; Gassaway dan
Richgels, 1983; Aki dan Richard, 1980). Beberapa geofisikawan tersebut
menemukan aproksimasi persamaan Zoepprit dengan memasukkan konstantakonstanta elastis dari medium yang dilewati oleh gelombang seismik. Asumsi
dasar yang digunakan pada aproksimasi persamaan Zoepprit adalah perubahan
properti elastis antara medium sangat kecil.
67
Salah satu aproksimasi yang paling terkenal adalah aproksimasi yang dilakukan
oleh Aki dan Richard. Aki dan Richard memasukkan tiga suku perubahan properti
elastis dari medium, yaitu ∆ρ, ∆Vp, dan ∆Vs, pada persamaan koefisien refleksi
amplitude gelombang-P. Persamaan koefisien refleksi gelombang-P Aki dan
Richard adalah sebagai berikut
 ∆ρ sec 2 θ ∆VP −4Vs 2
V2
∆Vs
1
R(θ ) ≈ 1 − 4 S2 sin 2θ 
+
sin 2 θ
2
VP
Vs
2
2 VP VP
 ρ
(2.70)
Pada persamaan (2.69) hubungan antara konstanta elastis antara dua medium pada
lapisan antara medium (interface) adalah sebagai berikut
∆VP = (VP 2 − VP1 )
VP = (VP 2 + VP1 ) / 2
∆VS = (VS 2 − VS1 )
VS = (VS 2 + VS1 ) / 2
ρ = ( ρ 2 − ρ1 )
ρ = ( ρ 2 + ρ1 ) / 2
(2.71)
(2.72)
(2.73)
Dimana gelombang datang dan gelombang pantul ditunjukkan dengan indeks 1
dan gelombang transmisi ditunjukkan dengan indeks 2. Sudut θ adalah rata-rata
sudut datang dan sudut pantul.
68
θ = (θ1 + θ 2 ) / 2
(2.74)
Sudut datang dan sudut pantul dapat dihubungkan dengan hukumSnell
p=
sin θ1 sin θ 2
=
V1
V2
(2.75)
2.7.6 Aproksimasi Persamaan Zoeppritz oleh Hilterman (1984)
Hilterman menyederhanakan pendekatan Bortfeld dengan memisahkan koefisien
refleksi menjadi bentuk akustik dan elastik yaitu :
R(θ1 ) =

2(VS 2 ρ1 − VS 1ρ 2 
VP 2 ρ 2 cos θ1 − VP1ρ1 cos θ 2  sin θ1 
+
 (VS1 + VS 2 ) 3 (VS 1 − VS 2 ) +

ρ 2 + ρ1
VP 2 ρ 2 cos θ1 + VP1 ρ1 cos θ 2  VP1 


(2.76)
2.7.7 Aproksimai Persamaan Zoepprit oleh R. T. Shuey (1985)
Shuey melakukan aproksimasi dengan memodifikasi persamaan (2.69) dengan
mengganti properti VS, ∆VS dengan σ, ∆σ. σ dan ∆σ didefinisikan sebagai berikut.
VS2 = VP2
1 − 2σ
2(1 − σ )
(2.77)
VS, ∆VS dengan σ, ∆σ memiliki hubungan sebagai berikut
69
VS2 = VP2
1 − 2σ
2(1 − σ )
(2.78)
Setelah melakukan substitusi persamaan (2.75) dan (2.76) ke dalam persamaan
(2.69), maka kita akan peroleh persamaan koefisien refleksi sebagai berikut

1 ∆VP
∆σ  2
R(θ ) ≈ R0 +  A0 R0 +
tan 2 θ − sin 2 θ
 sin θ +
2
2 VP

(1 + σ ) 
(
)
(2.79)
R0 adalah koefisien refleksi untuk sudut datang normal (θ1=0˚). Asumsi yang
digunakan pada aproksimasi Shuey adalah sama seperti asumsi pada aproksimasi
Aki dan Richard, yaitu perbedaan properti seismik antar medium kecil. Persamaan
di atas dapat disederhanakan kembali sebagai berikut.
R(θ ) / R0 ≈ 1 + A sin 2 θ + B ( tan 2 θ − sin 2 θ )
(2.80)
Dimana
1  ∆V
∆ρ 
R0 ≈  P +

ρ 
2  VP
A = A0 +
1
(1 − σ )
2
∆σ
R0
(2.81)
(2.82)
70
A0 = B − 2 (1 + B )
B=
1 − 2σ
1−σ
∆VP / VP
∆VP / VP + ∆ρ / ρ
(2.83)
(2.84)
Untuk sudut yang kecil maka sin2θ=tan2θ, sehingga persamaan di atas dapat
ditulis kembali menjadi :
R(θ ) = R0 + G sin 2 θ
(2.85)
Dengan
G=
V 2  ∆V ∆ρ 
∆VP
− 2 S2  2 S +

VP  VS
2VP
ρ 
(2.86)
yang dikenal sebagai Gradient AVO atau slope.
Wiggin et.al. (1984) menunjukkan bahwa VP/VS kira-kira bernilai 2. Untuk sudut
kecil, gradient AVO diberikan oleh :
B = R0 − 2 RS
(2.87)
dengan RS adalah koefisien refleksi gelombang S pada sudut normal.
71
Smith dan Gidlow (1987) menyusun kembali persamaan Aki Richard menjadi:
1  ∆V
∆ρ  VS2  ∆VS ∆ρ  2
1 ∆VP
+
R(θ ) =  P +
tan 2 θ
 sin θ +
−2 2 2
2  VP
ρ  VP  VS
ρ 
2 VP
(2.88)
atau dalam bentuk sederhana dapat juga dituliskan dalam bentuk :
R(θ ) = A − B sin 2 θ + C tan 2 θ
(2.89)
Ketergantungan terhadap densitas dihilangkan dengan menggunakan persamaan
Gardner :
1
ρ = cVP
4
(2.90)
Dengan mensubstitusikan persamaan-persamaan di atas, maka persamaan Aki dan
Richard dapat dituliskan kembali menjadi persamaan jumlah terbobotkan dari
variasi kecepatan P dan S
R(θ ) = a
∆VP
∆V
+b S
VP
VS
(2.91)
dengan :
72
a=
5 VS2
1
− 2 sin 2 θ + tan 2 θ
8 VP
2
V2
b = −4 S2 sin 2 θ
VP
(2.92)
Apabila rasio VP/VS telah ditentukan maka koefisien a dan b dapat dihitung (nilai
sudut dapat dihitung dengan ray tracing), dan digunakan untuk mengetahui nilai
∆VP / VP dan ∆VS / VS menggunakan amplitudo gather seismik.
Begitu kecepatan P dan S diketahui, maka dapat digunakan untuk berbagai
keperluan. Yang pertama adalah untuk mendapatkan nilai Poisson semu yang
didefinisikan sebagai berikut.
∆σ
σ
=
∆VP ∆VS
−
VP
VS
(2.93)
Kegunaan berikutnya adalah untuk memperhitungkan faktor fluida yang
didasarkan persamaan mudrock oleh castagna:
VP = 1460 + 1,16VS
(2.94)
Turunan persamaan di atas adalah ∆VP=1,16∆VS yang dapat diekspresikan dalam
bentuk rasio menjadi:
∆VP
V ∆VS
= 1,16 S
VP
VP VS
(2.95)
73
Persamaan tersebut hanya berlaku untuk reservoir yang tidak produktif. Untuk
reservoir beranomali didefinisikan besar kesalahan faktor fluida sebagai berikut:
∆F =
∆VP
V ∆VS
− 1,16 S
VP
VP VS
(2.96)
Dengan kata lain, bila ∆F=0 maka reservoirnya tidak produktif, tapi bila
∆F ≠ 0 reservoirnya prospektif.
Hilterman (1989) melakukan pendekatan lain dari pendekatan Shuey untuk sudut
kecil dengan asumsi perubahan properti elastik antar medium kecil dan VP/VS = 2
menjadi persamaan berikut:
R(θ ) = R0 cos 2 θ + 2, 25∆σ sin 2 θ
(2.97)
2.7.8 Prediksi dari Respon AVO
Seperti bahasan sebelumnya bahwa untuk sudut yang kurang dari 30˚, maka
persamaan Zoeppritz bisa disederhanakan sebagai berikut
R(θ ) = R0 + G sin 2 θ
(2.98)
dari persamaan di atas terlihat bahwa reflektivitas sangat bergantung pada tanda
rasio Poisson, yaitu kurva naik untuk perubahan rasio Poisson yang positif, dan
74
turun untuk sebaliknya. Pernyataan tersebut sesuai dengan apa yang dinyatakan
oleh Koefoed, yang kemudian disebut sebagai Koefoed’s rules.
Aturan I
Jika Poisson rasio untuk lapisan terbawah (underlying medium) bertambah, maka
hal tersebut akan menyebabkan bertambahnya koefisien refleksi pada sudut
datang yang besar.
Aturan II
Jika Poisson ratio untuk lapisan atas ( overlying medium) bertambah, maka hal
tersebut akan menyebabkan berkurangnya (semakin negatif) koefisien refleksi
pada sudut datang yang besar.
Klasifikasi AVO :
1. Kelas I : High Impedance Gas-Sandstone
Sandstone kelas I memiliki impedansi yang lebih tinggi dari pada penutupnya
(shale). Interface antara shale dan sandstone jenis ini akan menghasilkan
koefisien refleksi yang tinggi dan positif pada zero offset, namun memiliki
amplitudo yang berkurang terhadap offset. Magnitudo amplitude berubah
terhadap offset pada sandstone kelas I memiliki gradient lebih besar dari pada
gradient kelas II dan kelas III. Pada sandstone kelas I terjadi perubahan
polaritas pada sudut tertentu, kemudian amplitude akan meningkat terhadap
bertambahnya offset.
75
2. Kelas II : Near zero impedance contrast gas sandstone
Sandstone kelas II memiliki impedansi akustik yang hampir sama dengan
penutupnya (seal rock) dan amplitude yang meningkat terhadap bertambahnya
offset. Sandstone kelas ini terbagi atas 2 jenis yaitu kelas II dan kelas IIp.
Sandstone kelas II memiliki koefisien refleksi negatif pada zero offset
sedangkan kelas IIp positif pada zero offsetnya.
3. Kelas III : Low Impedance Gas-Sandstone.
Sandstone kelas III memiliki impedansi akustik yang lebih rendah dari lapisan
penutupnya.
4. Kelas IV : koefisien refleksi negatif pada zero offset dan memiliki amplitude
yang berkurang terhadap offset. Pada sudut tertentu terjadi perubahan polaritas
kemudian terjadi peningkatan amplitude terhadap offset.
76
Gambar 2.17 Crossplot intercept (A) versus gradient (B) AVO pada
kemungkinan empat kuadran (John P.Castagna, Herbert W.Swan,
and Douglas J.Foster, 1998).
Gambar 2.18 Koefisien refleksi gelombang bidang pada lapisan atas untuk setiap
klasifikasi gas sand Rutherford dan Williams (1989) (John
P.Castagna, Herbert W.Swan, and Douglas J.Foster, 1998).
77
Tabel 1. Kemungkinan tingkah laku AVO untuk berbagai tipe gas sand (John
P.Castagna, Herbert W.Swan, and Douglas J.Foster, 1998).
2.7.9 Atribut AVO
Attribut AVO sangat berguna untuk interpretasi, evaluasi reservoir, mengetahui
hubungan antara batuan dan fluida, serta berperan besar dalam delineasi
hydrocarbon. Atribut AVO digunakan untuk menganalisa perubahan amplitude
dengan offset atau sudut datang gelombang seismik. Sebelum analisa atribut AVO
dilakukan, data input harus berbentuk angle gather agar memenuhi persamaan
Shuey. Oleh karena itu data CDP gather terlebih dahulu diproses dengan
menggunakan analisa AVO gather melalui metode pelacakan sinar (ray tracing)
sehingga diperoleh data angle gather.
Atribut AVO antara lain sebagai berikut:
1.
Normal Incident P-wave (A)
Dikenal juga dengan nama ‘Intercept’, atribut ini merupakan fungsi
impedansi akustik dan didapatkan pada saat zero offset atau pada saat
sudutnya sama dengan nol. Intercept adalah digit pertama pada persamaan
Shuey.
78

∆γ  2
R ( θ ) = R P + R P A o +
sin θ + .........
(1 − γ )2 

(2.99)
Normal Incident P-wave
2.
Gradient (B)
Penampang ini dihasilkan dengan menggunakan persamaan inversi AVO.
Gradient merupakan bagian kedua dari persamaan Shuey.

∆γ  2
R ( θ ) = R P + R P A o +
sin θ + ........
(1 − γ )2 

(2.100)
Gradient
3.
Product Gradient (A*B)
Merupakan perkalian antara Normal Incidence dan Gradient. Product
Gradient ini digunakan untuk identifikasi bright spot pada anomaly AVO
kelas III dan melihat anomaly pada dim out kelas II. Jika nilai positif pada
product gradien maka menunjukkan nilai positif AVO.
79
Gambar 2.19 krosplot AVO (John P.Castagna, Herbert W.Swan, and Douglas
J.Foster, 1998)
80
Download