5 TINJAUAN PUSTAKA Bruselosis Bruselosis

advertisement
5
TINJAUAN PUSTAKA
Bruselosis
Bruselosis merupakan salah satu penyakit zoonosis utama yang bisa
berdampak negatif pada kesehatan masyarakat dan perekonomian di banyak bagian
dunia (Agasthya et al. 2007). Agen patogen utama pada sapi adalah genus Brucella
abortus (Crawford et al. 1990). Penyakit ini pada manusia dikenal dengan Malta
fever, Mediterranean fever dan Gilbaltar fever sesuai dengan nama daerah tempat
pertama kali penyakit ini ditemukan. Juga dikenal sebagai nama undulant fever
karena gejala demam dengan suhu yang bervariasi dan berulang pada orang yang
terinfeksi (Megid et al. 2010). Infeksi penyakit ini ditularkan secara langsung
maupun tidak langsung melalui kontak dengan hewan atau produk hewan yang
terinfeksi (WHO 2006). Oleh karena itu alat-alat yang telah tercemar bakteri
brucella sebaiknya tak bersentuhan langsung dengan manusia. Bruselosis adalah
penyakit zoonosis serius yang menyebabkan aborsi, infertilitas, retensi plasenta,
kelahiran mati dan kerugian ekonomi yang sangat besar (Dhand et al. 2004). Sapi
dapat terinfeksi oleh Brucella melitensis dan Brucella suis ketika merumput atau
menggunakan secara bersama-sama peralatan kambing, domba atau babi yang
terinfeksi (PAHO 2003).
Etiologi
Bruselosis disebabkan oleh infeksi dari berbagai spesies dari genus brucella,
termasuk pada bakteri gram negatif, coccobacillus fakultatif intraseluler atau
berbatang pendek (Bret et al. 2007). Organisme ini biasanya aerobik tetapi pada
beberapa jenis memerlukan lingkungan yang mengandung karbondioksida 5-10%.
Pertumbuhan Brucella sp lambat, kadang-kadang memakan waktu 2-3 hari dengan
memerlukan media enriched dengan suhu 370 C (Puto et al. 2010).
Kestabilitan Brucella sp dapat bertahan dalam beberapa kondisi lingkungan
tertentu. Beberapa kondisi pada kestabilan bakteri terlihat seperti pada Tabel 1.
6
Tabel 1 Stabilitas Brucella sp dalam beberapa kondisi lingkungan
LINGKUNGAN
KONDISI
STABILITAS
Sinar matahari
Air
Air laboratorium
Tanah
<310C
40C
200C
Kering dalam laboratorium
180C dengan kelembaban
370C
80C
25-370C
80C
17-240C
50C
Gudang
250C
Dibawah sinar matahari
Terlindung sinar matahari
-
4.5 jam
4 bulan
2.5 bulan
<4 hari
69-72 hari ¸7 hari
16 jam
6 hari
24 jam
48 jam
<5 hari
>6 hari
5 bulan
1 bulan
Hari-bulanan
3-4 hari
<5 hari
>6 hari
3-4 hari
Urin
Susu mentah
Whey
Wol
Manure
Jerami
Debu
Padang rumput
Kayu, dinding dan lantai
(Sumber: Puto et al. 2010)
Beberapa spesies yang dapat menginfeksi hewan antara lain: Brucella
abortus, B. Melitensis, B. Suis, B. Ovis, B. canis dan B. Neotomae (CFSPH 2007).
Setiap spesies brucella mempunyai sifat karakteristik yang khas tetapi tidak mutlak,
predileksi untuk menginfeksi hewan maupun manusia dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Jenis species Brucella sp pada inang
Brucella sp
B. suis
B. melitensis
B. abortus
B. canis
Marine species
B. ovis
B. neotama
(Sumber: Bret et al. 2007)
Inang (host)
Babi
Kambing, domba
Sapi, bison
Anjing
Mamalia laut
Domba
Rodensia
Patogenitas Pada Manusia
Tinggi
Tinggi
Menengah
Menengah
Jarang
Tidak ada
Tidak ada
B. melitensis, B. suis, B. abortus dan B. canis merupakan agen yang sering
menyebabkan infeksi pada manusia. Infeksi strain Brucella sp yang dapat
menginfeksi hewan laut juga pernah dilaporkan dapat menginfeksi manusia (Bret et
al. 2007). Bruselosis
pada manusia sering
B. melitensis dan B. suis biovars 1-4, jarang
disebabkan oleh B. abortus,
disebabkan oleh B. canis ataupun
brucella yang menginfeksi mamalia laut. Telah terbukti secara genetik dan
imunologi menunjukan bahwa semua anggota genus Brucella terkait erat. Beberapa
ahli mikrobiologi telah mengusulkan bahwa genus ini dikelompokan dalam spesies
7
tunggal (B. melitensis) yang mempunyai banyak biovars. Tetapi usulan ini masih
kontroversial dan kedua taksonomi saat ini masih digunakan (CFSPH 2007).
Epidemiologi
Bruselosis pada hewan adalah penyakit populasi ternak atau disebut herd or
flock Problem. Penyebaran penyakit antar ternak dalam populasi biasanya tidak
menyebabkan gejala yang jelas dan terjadi secara kronis atau menahun. Penyebaran
penyakit
dalam
suatu
populasi
terutama
disebabkan
oleh
pakan
yang
terkontaminasi. Infeksi melalui kontak perkawinan juga biasa terjadi terutama pada
infeksi B.suis. Infeksi secara kongenital (in utero) atau infeksi perinatal juga bisa
terjadi dengan perkembangan infeksi yang laten (FAO 2003). Penularan dari
manusia ke manusia jarang terjadi, kejadian penyakit pada manusia erat kaitannya
dengan prevalensi bruselosis pada hewan, praktek-praktek atau kontak langsung
dengan hewan yang berpotensi penyakit dan produk hewan itu sendiri. Penularan
bruselosis pada manusia melalui kontak langsung biasa terjadi pada dokter hewan,
penggembala, peternak atau pekerja rumah potong hewan. Di beberapa negara lain
banyak manusia yang terinfeksi bruselosis melalui produk hewan yaitu dengan
adanya kebiasaan meminum susu tanpa pasteurisasi atau memakan keju yang
berasal dari susu yang tidak dipasteurisasi (Bret et al. 2007).
Bruselosis adalah salah satu penyakit zoonosis penting yang pernah tersebar
diseluruh dunia. Penyakit ini walaupun telah berhasil dikendalikan di beberapa
negara maju tetapi masih menjadi masalah di beberapa negara di Afrika,
Mediteranian, Timur tengah, sebagian Asia dan Amerika latin (Gul dan Khan
2007). Negara negara seperti Jepang, Kanada, beberapa negara Eropa, Australia,
Selandia Baru dan Israel telah berhasil memberantas bruselosis (CFSPH 2007).
Semua hewan domestik dapat menderita bruselosis. Bruselosis pada kerbau telah
dilaporkan di Egypt (10.0%) dan pakistan (5.05%). Pada unta bruselosis dilaporkan
di negara negara Arab dan Afrika (0.0-17.20%), pada saat itu juga dilaporkan kasus
yang terjadi pada kerbau, kuda dan babi (Gul dan Khan 2007). Pada sapi, domba,
kambing dan babi yang telah mengalami dewasa kelamin rentan terhadap
bruselosis. Pada hewan yang muda biasanya terjadi resisten walaupun dapat terjadi
infeksi laten pada saat hewan tersebut telah dewasa (WHO 2006).
8
Di Indonesia, bruselosis secara serologis diketahui pertama kali pada tahun
1953, ditemukan pada sapi perah di Grati, kabupaten pasuruan, Jaawa Timur. B.
abortus berhasil diisolasi pada tahun 1938. Pada tahun 1940 penyakit bruselosis
juga dilaporkan di Sumatera Utara dan Aceh, dikenal dengan nama sebutan sakit
sane (radang sendi) atau sakit burut (radang testis). Dilihat dalam daftar penyakit
hewan menular yang diatur oleh Pemerintah Hindia Belanda yang tertuang
staatsblaad 1912 No.432 dan 435, penyakit ini belum terdaftar dalam staatsblaad
tersebut. Lebih lanjut dalam catatan Roza tahun 1958 bahwa sampai tahun 1957
bruselosis belum dimasukan ke dalam daftar penyakit menular di Indonesia
sedangkan penyakit ini diidentifikasi sudah bersifat endemis pada banyak
peternakan sapi perah di Jakarta, Bandung, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pada
tahun 1958 roza mengusulkan agar bruselosis segera diklasifikasikan sebagai
penyakit hewan menular dan pada tahun 1959 terbit surat keputusan menteri
pertanian No5494 C/SK/M tertanggal 4 Juli 1959 tentang Peraturan pengawasan
dan tindakan-tindakan terhadap hewan bruselosis (Putra et al. 2002).
Beberapa daerah telah bebas bruselosis yaitu Pulau Lombok di Prop NTB
(SK Mentan No. 444/Kpts/TN.540/7/2002), Pulau Bali (SK Mentan No.
443/Kpts/TN.540/7/2002), Pulau Sumbawa di Prop NTB (SK Mentan No.
97/Kpts/PO.660/2/2006), Provinsi Sumatera Barat, Riau, Jambi dan Kep. Riau (SK
Mentan No. 2541/Kpts/PD.610/6/2009), dan Pulau Kalimantan (SK Mentan No.
2540/Kpts/PD.610/6/2009). Namun seperti yang terlihat pada Gambar 1, selama
tahun 2010 kasus Brucellosis telah ditemukan di 16 provinsi di Indonesia yaitu
Sumatera Utara, Aceh, Bengkulu, Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI
Yogyakarta, DKI Jakarta, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Kalimantan
Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Maluku, Maluku Utara, dan Papua.
9
Gambar 1 Peta distribusi bruselsosis secara serologis.
Perkembangan penyakit brucellosis sangat cepat, pada awal tahun 2010
brucellosis hanya terdeteksi di 5 provinsi tetapi pada akhir tahun 2010 kasus
brucellosis telah terdeteksi di 10 provinsi walaupun hewan yang terjangkit penyakit
tersebut langsung dipotong (Ditjennakeswan 2010).
Kondisi di Kalimantan dapat dideskripsikan setelah dilakukan surveilans awal
tahun 1998-2002 diketahui ada 3 kabupaten di Kalimantan yang merupakan daerah
reaktor bruselosis, yaitu Kotabaru, Tanah Bumbu dan Tanah Laut. Surveilans
lanjutan tahun 2003-2008 dikonsentrasikan juga pada ketiga kabupaten ini. Secara
komulatif pada tahun 1998-2008 surveilans dilakukan di 41 kabupaten, 180
kecamatan dan 385 desa. Total sampel yang terambil dan diuji bruselosis pada
tahun 1998-2008 tersebut sebanyak 45 462 sampel dengan jumlah reaktor yang
ditemukan sebanyak 72 ekor atau 0.17%. Nilai prevalensi sebesar 0.17% ini lebih
kecil dari ketentuan OIE untuk persyaratan yaitu sebesar 2%. Dengan demikian
secara keseluruhan dengan pendekatan zona per-pulau, Pulau Kalimantan dapat
dinyatakan sebagai zona bebas bruselosis (BBPV 2008).
Patogenesa
Sumber utama infeksi adalah cairan leleran dari sapi betina abortus yang
mencemari lingkungan via fetus, litter dan peralatan yang terkontaminasi. Ingesti
pakan/makanan yang terkontaminasi merupakan rute utama penularan bruselosis.
Penularan juga dapat terjadi melalui inhalasi debu yang mengandung kuman
10
Brucella sp atau melalui kontak langsung. Brucella abortus paling sering
ditemukan pada kelompok ternak yang bebas bruselosis melalui pemasukan sapi
betina dan dara yang terinfeksi secara laten. Infeksi dapat juga berasal dari hewan
lain yang telah terinfeksi (kuda, babi, kambing, domba, anjing) dan manusia yang
terpapar (Blaha 1989). Bruselosis dapat menginfeksi hewan melalui luka pada kulit,
konjunktivita mata, saluran pernafasan dan saluran pencernaan. Dalam saluran
pencernaan, organisme akan difagosit oleh sel dari epitel usus yang terkait dengan
jaringan limfoid lalu akan terus masuk ke submukosa. Organisme dengan cepat
dicerna oleh leukosit polimorfnuklear tapi pada umumnya gagal dieleminasi
kemudian difagositosis oleh makrofag. Bakteri kemudian diangkut oleh makrofag
ke jaringan limfoid dan akhirnya melokalisasi di beberapa organseperti kelenjar
getah bening, hati, limpa, kelenjar susu, sendi, ginjal dan sumsum tulang. Pada
ruminansia, organisme Brucella dapat melewati pertahanan tubuh inang yang
paling efektif dengan menargetkan jaringan embrio dan trofoblas. Pada sel dari
jaringan, bakteri tidak hanya tumbuh di phagosome tetapi juga dalam sitoplasma
dan retikulum endoplasma kasar. Dengan tidak adanya mekanisme mikrobisidal
intraseluler maka akan menyebabkan kemungkinan pertumbuhan bakteri, sehingga
menyebabkan kematian janin dan aborsi. Pada saat kelahiran eritriol yang
meningkatkan pertumbuhan brucella berkumpul di plasenta. Pada organ plasenta
saat aborsi kemungkinan berisi 1010 bakteri per-gram jaringan. Ketika aborsi septik
terjadi konsentrasi bakteri dari cairan plasenta sering mengakibatkan infeksi hewan
lain dan manusia (Bret et al. 2007).
Gejala Klinis
Bruselosis adalah penyakit sub-akut atau kronis yang dapat mempengaruhi
banyak spesies hewan yaitu pada sapi, domba, kambing, ruminansia lainnya dan
babi, fase awal setelah infeksi seringkali tidak jelas. Pada hewan seksual dewasa
infeksi melokalisasi pada sistem reproduksi dan biasanya menghasilkan placentitis
yang diikuti dengan aborsi pada hewan betina bunting, biasanya selama sepertiga
terakhir kehamilan, dan epididimitis dan orchitis pada hewan jantan. Klinis tandatanda tidak patognomonik dan diagnosis tergantung pada jenis Brucella spp. baik
oleh isolasi bakteri atau deteksi dari antigen atau materi genetik, atau dengan
11
demonstrasi antibodi spesifik atau kekebalan tanggapan sel-dimediasi (WHO
2006). Ada kejadian pada beberapa anak sapi dapat lahir secara normal namun
kondisi tubuhnya sangat lemah (OIE 2009).
Diagnosa
Semua kejadian aborsi pada sapi pada masa kebuntingan mulai dari bulan ke5 harus dicurigai sebagai infeksi bruselosis dan harus diinvestigasi. Gambaran
klinis bruselosis biasanya tidak begitu jelas, meskipun dibantu oleh sejarah
penyakit
sehingga
dibutuhkan
peneguhan
diagnosa.
Peneguhan
diagnosa
seharusnya harus dengan isolasi dan identifikasi organismenya sendiri, tetapi dalam
situasi tertentu dimana isolasi dan identifikasi tidak praktis dilakukan maka
diagnosa dilakukan dengan pemeriksaan secara serologis (OIE 2009).
Pada sapi, kambing dan domba pengujian serologis biasa dilaksanakan.
Pengujian yang sering dilaksanakan disetiap individu ataupun kumpulan hewan
adalah Rose Bengal Test (RBT), Complement Fixation test (CFT) dan Elisa
(CPFSH 2007). Evaluasi uji serologis bruselosis sangat penting dilakukan untuk
menunjang keberhasilan program pengendalian dan pemberantasan. Idealnya uji
serologis harus mampu mendeteksi hewan yang terinfeksi dengan serum hewan
sehat. Secara epidemiologi ada 2 faktor penting yang berhubungan dengan uji
serologis yaitu sensitifitas dan spesifisitas (Dirkeswan 2000). Sensitivisitas dan
spesifisitas macam-macam pengujian serologis dapat terlihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Sensitivitas dan spesifisitas beberapa pengujian bruselosis
Test
Sensitivitas
(%)
Spesifisitas
(%)
Literatur
Serological test
RBT
88
84
CFT
84
98
ELISA
90 - 91.8
93
99.7 - 99.9
87
Sulaiman (1998)
dalam Dirkeswan
(2000)
Sulaiman (1998)
dalam Dirkeswan
(2000)
Godfroid (2010)
Sulaiman (1998)
dalam Dirkeswan
(2000)
MILK TEST
88.5
99.8
Godfroid (2010)
MRT
RBT : Rose bengal test; CFT : Complement fixation test; Elisa : Enzym linked imunosorbent assay;
MRT : milk ring test
12
• Rose Bengal Test (RBT)
Rose Bengal Test (RBT)
adalah salah satu dari kelompok pengujian yang
menggunakan antigen Brucella, pengujian ini mengandalkan prinsip dari
kemampuan antibodi IgM dalam mengikat antigen dalam serum. RBT
merupakan pengujian dengan menggunakan cara aglutinasi dengan cara
mereaksikan antigen dan antibodi, setiap aglutinasi yang dihasilkan mendakan
positip reaksi. Pengujian ini merupakan screening test yang sangat baik tetapi
juga sangat sensitif untuk diagnosa hewan individu terutama hewan yang
divaksinasi (WHO 2006). Pengujian ini merupakan uji cepat aglutinasi yang
hanya dalam waktu kira-kira 4 menit bisa dilihat hasilnya. Pengujian ini telah
dikenalkan di banyak negara sebagai screening test yang standar karena sangat
sederhana dan bahkan lebih sensitif dari Slow Agglutination TestSlow
Agglutination Test (SAT) (Godfroid 2010) Reaksi positif nterhadap pasca
vaksinasi S19 akan berjalan cukup lama (Dirkeswan 2000).
• Complement Fixation Test (CFT)
Sensitivitas dan spesifisitas CFT sangat baik, tetapi metode pengujiannya
komplek dan tidak sesederhana RBT, dibutuhkan suatu fasilitas laboratorium
dan SDM yang terlatih. Jika fasilitas tersebut tersedia dan dilakukan secara
teratur maka hasilnya akan baik (WHO 2006).
CFT
memungkinkan
mendetekasi
antibodi
yang
dapat
mengaktifkan
komplemen. Imunoglobulin pada sapi yang dapat diaktifkan oleh komplemen ini
adalah IgM dan IgG. Menurut beberapa literatur CFT ini tidak menunjukan
sensitivitas yang tinggi tetapi menunjukan spesifisitas yang tinggi (Godfroid
2010). Reaksi positif tidak dapat membedakan antara hewan yang divaksin dan
infeksi alam (Dirkeswan 2000).
• Enzym Linked Imunnosorbent Assay (ELISA)
Pengujian ELISA mempunyai sensitivitas dan spesitifitas yang tinggi dan
metode pengujiannya sederhana dengan minimal peralatan dan juga tersedia juga
secara komersil dalam bentuk kit (WHO 2006).
Ada 2 kelemahan yang seringkali terjadi pada uji serologis bruselosis yang
disebut negatif palsu dan positif palsu. Kelemahan ini dapat terjadi karena beberapa
alasan. Pada negatif palsu dapat terjadi antara lain karena pengambilan darah pada
13
masa inkubasi penyakit, infeksi laten pada anak sapi, sapi dara dan sapi bunting,
setelah melahirkan atau keguguran, infeksi kronis ataupun karena kesalahan
petugas pada saat pemberian label. Sedangkan pada positif palsu dapat terjadi
dikarenakan adanya titer antibodi yang persisten setelah vaksinasi, adanya reaksi
silang dengan bakteri lain seperti Yersinia enterolitica, ada beberapa hewan yang
menghasilkan abnormal serum globulin yang dapat menimbulkan reaksi aglutinasi
(Dirkeswan 2000).
Kebijakan Publik Dalam Pengendalian Penyakit Hewan
Terminologi kebijakan publik itu ternyata banyak sekali, tergantung dari
sudut mana kita mengartikannya. Harold Laswel dan Abraham kaplan dalam
Nugroho (2011) mendefinisikannya sebagai suatu program yang diproyeksikan
dengan tujuan tujuan tertentu, dan praktik-praktik tertentu sedangkan David Easton
Nugroho (2011) mendefinisikannya sebagai akibat dari aktifitas pemerintah.
Definisi lainnya dari R.S Parker
dalam Wahab (2008) menjelaskan bahwa
kebijakan publik adalah Suatu tujuan tertentu, atau serangkaian asas tertentu atau
tindakan yang dilaksanakan pemerintah pada suatu waktu tertentu dalam kaitannya
dengan subyek atau sebagai respon terhadap suatu krisis. Pada dasarnya kebijakan
publik terdiri dari 2 kata: kebijakan dan publik. Kebijakan berasal dari kata bijak
yang artinya kepandaian atau kemahiran. Kebijakan dalam kamus besar bahasa
Indonesia adalah rangkaian konsep dan asas yg menjadi garis besar dan dasar
rencana pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak sedangkan
publik adalah sekelompok orang. Sehingga secara sederhana dapat dikatakan bahwa
kebijakan publik adalah setiap keputusan yang dibuat oleh negara, sebagai strategi
untuk merealisasikan tujuan dari negara. Kebijakan publik adalah strategi untuk
mengantar masyarakat pada masa transisi, untuk menuju masyarakat yang dicitacitakan (Nugroho 2011).
Kebijakan menurut Nugroho (2011) adalah teori yang berasal dari
pengalaman terbaik dan bukan diawali oleh temuan. Dengan demikian
pengembangan teori analisis kebijakan di masa mendatang akan semakin
ditentukan akan semakin ditentukan baik oleh keberhasilan ataupun kegagalan.
14
Menurut Dunn (2011) Analisis kebijakan dapat diletakkan pada konteks sistem
kebijakan yang dapat digambarkan sebagai berikut :
Pelaku
kebijakan
Kebijakan
Publik
lingkungan
kebijakan
Gambar 2 Skema analisa kebijakan publik.
Analisa kebijakan adalah satu diantara sejumlah banyak faktor lainnya dalam
sistem kebijakan (policy system) atau seluruh pola institusional dimana didalamnya
kebijakan dibuat. Analisa mencakup hubungan timbal balik diantara tiga unsur,
yaitu: kebijakan publik, pelaku kebijakan dan lingkungan kebijakan seperti pada
gambar 1 diatas.
Suatu kebijakan di suatu institusi dapat dikatakan berjalan dengan baik
apabila ada keselarasan dari ketiga unsur tersebut. Institusi yang terkait dalam
kebijakan strategi pencegahan dan pengendalian penyakit hewan adalah karantina
hewan, direktorat jendral peternakan dan pemerintah daerah. Dalam hal tersebut
diatas seluruh institusi yang terkait harus mempunyai keselarasan antara kebijakan
publik, pelaku kebijakan dan lingkungan kebijakan. Menurut OIE (2011) Seluruh
institusi yang terkait harus mempunyai kompetensi, integritas dan kepercayaan
sebagai kunci dari good governance.
Standar Internasional Strategi Pencegahan dan Pengendalian Bruselosis
Pencegahan, pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan termasuk
bruselosis merupakan tujuan utama dari pelayanan kesehan hewan. Pemilihan
strategi dalam pencegahan, pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan
menjadi sangat penting dan sering menjadi penyebab kontroversi diantara
pengambil keputusan. Strategi yang akan dilaksanakan harus sesuai dengan kualitas
instansi pelayanan kesehatan hewan, sumber daya ekonomi yang tersedia dan
15
prevalensi penyakit. Kerjasama dengan petani menjadi sangat penting sebagai dasar
untuk melaksanakan program strategi ini (Blasco 2010).
Strategi Pencegahan
Menurut WHO (2006) Pencegahan penyakit akan selalu lebih ekonomis dan
praktis daripada pengendalian dan pemberantasan. Strategi pencegahan bruselosis
meliputi :
• Seleksi pada hewan ternak pengganti. Ternak harus bebas bruselosis dan harus
berasal dari peternakan yang bebas bruselosis pula.
• Isolasi ternak pengganti setidaknya selama 30 hari dan dilakukan pemeriksaan
secara serologis.
• Pencegahan kontak dengan ternak lain
• Pengawasan secara periodik pada sapi (setidaknya empat kali per tahun) dan
pemotongan bersyarat pada hewan dengan prosedur skrining serologis sederhana
seperti RBT dan CFT.
• Melakukan disposal pada material bekas aborsi (fetus, plasenta dan organ
lainnya) dengan cara penguburan atau pembakaran serta desinfeksi daerah yang
terkontaminasi secara menyeluruh.
Strategi Pengendalian
Menurut WHO (2006) Tujuan dari program pengendalian hewan adalah
untuk mengurangi dampak dari penyakit dan konsekuensi ekonomi. Eliminasi
penyakit dari populasi bukanlah tujuan dari program kontrol, kejadian penyakit
masih ada dalam populasi dengan prevalensi yang dapat diterima.
Program
pengendalian memiliki durasi yang tidak terbatas dan perlu dipertahankan bahkan
setelah "tingkat yang dapat diterima" infeksi telah tercapai, sehingga penyakit tidak
muncul kembali. Di banyak negara, metode untuk pengendalian bruselosis
didukung oleh peraturan pemerintah/perundang-undangan tetapi ada di sebagian
negara yang tidak. Oleh karena itu, prosedur untuk pengelolaan populasi ternak
yang terinfeksi sangat bervariasi. Namun demikian, ada beberapa prinsip yang
berlaku, yaitu: 1) Pengurangan paparan Brucella sp. dan 2) Meningkatkan
perlawanan terhadap infeksi hewan dalam populasi. Prosedur Ini selanjutnya dapat
16
diklasifikasikan pada kategori umum yaitu test and Isolation/slaughter, higiene
lingkungan, pengendalian lalulintas hewan, vaksinasi serta surveilans untuk
menentukan status daerah yang diperlukan dalam menentukan kebijakan.
Penentuan Strategi Dalam Pencegahan dan Pengendalian Bruselosis
Berbagai negara atau daerah yang berbeda dalam suatu negara mungkin
memerlukan strategi yang berbeda dalam melaksanakan program pencegahan dan
pengendalian brucellosis. Strategi bisa tergantung pada epidemiologi dan kondisi
sosial ekonomi. Keputusan mengenai strategi yang tepat untuk pengendalian
dan/atau pemberantasan brucellosis biasanya tanggung jawab pemerintah pusat
meskipun ada beberapa negara yang mendelegasikan kepada daerah atau provinsi
serta dibuat berlaku untuk individu atau masyarakat pulau.
Dalam
memutuskan
suatu
strategi,
banyak
faktor
yang
harus
dipertimbangkan yaitu jenis peternakan, geografi daerah, pola perdagangan,
keuangan, teknis dan personil sumber daya yang tersedia dan yang paling penting,
prevalensi penyakit dan penerimaan strategi oleh ternak pemilik (WHO / MZCP
1988 dalam Abellan 2002) Hal utama yang harus dipertimbangkan untuk pemilihan
strategi yang tepat untuk kontrol brucellosis diilustrasikan dalam Gambar 3.
Gambar 3 Alur Strategi Kebijakan untuk pengendalian bruselosis.
(Sumber : Abellan 2002)
17
Pembebasan Suatu Wilayah
Menurut OIE (2011) suatu negara atau daerah dapat dianggap bebas
bruselosis setelah memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1.
Wajib melaporkan apabila ditemukan adanya hewan tersangka bruselosis
2.
Surveilans dilakukan diseluruh wilayah oleh instansi berwenang. Tingkat
infeksi atau prevalensi di wilayah tersebut tidak boleh lebih dari 0.2%
3.
Dilakukan pengujian diagnostik pada populasi hewan secara periodik
4.
Tidak dilakukan vaksinasi paling tidak selama tiga tahun terakhir
5.
Dilakukan kebijakan pemotongan pada semua hewan reaktor.
6.
Pemasukan hewan rentan bruselosis ke daerah bebas bruselosis harus berasal
dari daerah yang bebas bruselosis juga. Kondisi ini bisa diperbolehkan apabila
hewan tersebut tidak divaksinasi dan dilakukan pengujian serologi dengan hasil
negatif yang dilakukan dua kali (duplo) dengan jarak waktu 30 hari diantara
kedua
pengujian.
Pengujian
kedua
dilaksanakan
15
hari
sebelum
keberangkatan. Kondisi ini dianggap tidak sah pada sapi yang baru melahirkan
selama 14 hari.
Pada daerah bebas bruselosis yang telah dinyatakan bebas dan tidak
ditemukan reaktor selama 5 tahun terakhir, sistem pengendalian diserahkan pada
daerah yang bersangkutan.
Strategi Pengendalian Penyakit Di Negara Yang Berhasil Memberantas
Bruselosis
Menurut AHA (2005) bruselosis telah berhasil diberantas di Australia setelah
beberapa tahun melaksanakan pengendalian dan usaha pemberantasan, banyak
negara yang lain juga yang telah berhasil memberantas penyakit ini. Strategi
vaksinasi dalam periode yang panjang diperlukan dalam mengendalikan bruselosis
dalam setiap kasus infeksi yang sangat meluas untuk mengurangi kejadian namun
vaksinasi saja tidak pernah dapat dipakai untuk mencapai pemusahan bruselosis
sehingga diperlukan strategi lain yaitu test and slaughter. Bruselosis dapat
diberantas dengan 2 prinsip yaitu melakukan stamping out pada populasi yang
terkena bruselosis dan yang kedua adalah melakukan test and slaughter. Kedua
kebijakan ini memang dikenal tepat untuk melakukan pemberantasan bruselosis.
18
Strategi kebijakan untuk pengendalian dan pemberantasan yang dilaksanakan oleh
Australia dalam beberapa metode berikut ini, meliputi:
1. Depopulasi hewan reaktor (hewan terinfeksi bruselosis)
2. Karantina dan pengawasan lalu lintas hewan
3. Sistem ketertelusuran (traceability) dan surveilans
4. Vaksinasi
5. Perlakuan hewan terinfeksi
6. Perlakuan produk pangan dan non pangan asal hewan
7. Disposal produk pangan dan non pangan asal hewan
8. Dekontaminasi
9. Pengendalian hewan liar
10. Pengendalian vektor
11. Kesadaran masyarakat dan media masa
12. Implikasi kesehatan masyarakat
Strategi yang utama dalam pengendalian dan pemberantasan adalah penentuan
prevalensi dan distribusi penyakit. Setelah diketahui prevalensi dan distribusi
penyakit maka dapat ditentukan strategi mana yang akan dilaksanakan.
Program Pencegahan Dan Pengendalian Bruselosis Di Kalimantan
Pada prinsipnya, tujuan dan sasaran program pemberantasan bruselosis pada
sapi adalah memperbaiki lingkungan budi daya peternakan sehingga bebas dari
bruselosis, meningkatkan produktifitas dan reproduktifitas ternak sapi dan pada
akhirnya untuk meningkatkan pendapatan petani peternak (Rompis 2002). Konsep
untuk melaksanakan program pemberantasan bruselosis secara nasional di
Indonesia tercetus sejak tahun 1995/1996, setelah melihat situasi penyebaran
penyakit yang semakin meluas dan dari kajian ekonomi di lapangan tahun 1994
kerugian ekonomi yang ditimbulkan pada daerah daerah tertular sangat besar
(Ditjennak 1998). Strategi pemberantasan bruselosis harus disesuaikan dengan
kondisi sistem peternakan setempat. Di Indonesia, usaha peternakan sapi
kebanyakan dalam skala kecil dan bersifat tradisional atau peternakan rakyat.
Sistem manajemen peternakan seperti ini sangat mempengaruhi pola penularan
penyakit (Rompis 2002). Menurut Ditjennak (1998), Untuk menentukan strategi
19
dan sistim pemberantasan bruselosis maka terlebih dahulu ditetapkan peta status
penyakit daerah bebas, daerah tersangka ataupun daerah tertular. Strategi pada
daerah bebas dan tersangka adalah mempertahankan statusnya sedangkan Sistem
Pemberantasan pada daerah tertular ringan dengan angka prevalensi dibawah 2%
dilakukan test and slaughter sampai dicapai status bebas. Pada daerah tertular berat
dengan angka prevalensi diatas 2% dilakukan vaksinasi masal secara serentak untuk
semua polulasi terancam sampai menekan angka prevalensi dibawah 2% setelah itu
dilakukan test and slaughter secara bertahap sampai dicapai status bebas. Strategi
test and slaughter untuk daerah tertular ringan ini dianggap tepat dan menurut Noor
(2008) mengatakan bahwa pemberantasan bruselosis dengan potong bersyarat dapat
memberikan hasil yang sangat nyata apabila prevalensi penyakit rendah. Potong
bersyarat harus dilakukan secara ketat untuk menghindarkan reinfeksi. Adapun
negara yang menerapkan sistem ini dan berhasil adalah Cekoslovakia dan Swis.
Selain itu program vaksinasi secara masal sangat efektif untuk menurunkan angka
prevalensi.
Menurut Hadi (2009) Kalimantan merupakan areal potensial untuk
pengembangan sapi potong bagi Indonesia. Pulau yang sangat besar ini baru
memiliki populasi sapi 522 381 ekor, 2008 atau 4.4% dari populasi sapi potong di
Indonesia atau kurang 1/5 populasi sapi potong Jawa Timur. Namun demikian,
sebagai daerah pengembangan sapi, Kalimantan sudah layak dinyatakan sebagai
pulau atau zona yang bebas dari bruselosis, sesuai dengan kaidah yang diatur dalam
terrestrial animal health code OIE, chapter 2.3.1., article 2.3.1.2. Kondisi bebas
dari bruselosis ini tentunya tidak mudah, melalui upaya panjang selama lebih
kurang 10 tahun. Tindak penolakan telah dilakukan oleh pengawas pintu masuk ke
Kalimantan, pihak Karantina Pertanian (Karantina Hewan) terhadap sapi bibit yang
datang dari NTB, Sulawesi Selatan, Jawa Timur dan daerah lain melalui kebijakan
test and slaughter. Melalui beberapa rapat koordinasi regional di Kalimantan telah
diputuskan bahwa terhadap sapi bibit yang masuk ke Kalimantan, harus di test
ulang bruselosis 100%. Terjadi komitmen dengan pemasok, dinas peternakan dan
karantina hewan, sapi yang positif RBT pun segera dipotong tanpa menunggu uji
konfirmatif dengan CFT. Test ulang 100% dilakukan untuk lebih meningkatkan
jaminan bahwa sapi bibit yang masuk dan akan disebarkan ke peternak memang
20
benar-benar bebas bruselosis, dan tidak ada tersembunyi sapi karier yang false
negatif uji. Kegiatan yang tidak kalah penting adalah surveilans dan pengujian di
lokasi penyebaran dan daerah padat ternak, yang dilakukan oleh BPPV regional V
Banjarbaru selama 10 tahun lebih dari tahun 1998-2008. Melalui metodologi
sampling, multistage sampling dan targeted sampling, dengan memperhatikan
sensitifitas dan spesifitas seri uji RBT dan CFT sebesar 73.9% dan 99.6%, telah
dilakukan surveilans di 41 kabupaten/kota, 180 kecamatan, 385 desa/kelurahan dan
telah diuji 45 462 ekor sapi terhadap bruselosis. Karena apparent prevalence
bruselosis di Kalimantan sangat kecil, jauh dari 2%, kebijakan yang diambil adalah
test and slaughter, semua reaktor bruselosis dipotong dengan pengawasan petugas
dinas peternakan setempat. Targeted sampling, sensus dan resampling dilakukan di
kabupaten tempat reaktor dengan menempatkan beberapa petugas BPPV yang
terlatih untuk menyisir, menguji RBT di tempat dan menandai sapi-sapi reaktor.
Data sampling, sensus dan resampling serta pengujian bruselosis di Kalimantan
telah dianalisis dengan pisau analitik
BPPV regional V Banjarbaru dan pemerintah daerah telah melaksanakan
surveilans bruselosis di Kalimantan selama 10 tahun berjalan pada 53
kabupaten/kota dalam 4 propinsi. Tindakan yang telah dilakukan oleh dinas
peternakan atau instansi terkait dalam pengendalian bruselosis adalah dengan
memotong segera reaktor bruselosis, sehingga jumlah reaktor menurun setiap
tahunnya hingga dalam taraf serendah mungkin.
Evaluasi hasil surveilans Bruselosis Kalimantan telah dilakukan oleh komisi
ahli kesehatan hewan Direktorat Jenderal Peternakan pada tanggal 22 Desember
2008 di Jakarta dan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No.
2540/Kpts/PD.610/6/2009 tanggal 15 Juni 2009 dinyatakan bahwa pulau
Kalimantan bebas dari penyakit keluron menular brucelosis pada sapi dan kerbau.
Download