7 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Pulau Weh dengan Ibukota Sabang merupakan pulau yang terletak di ujung Pulau Sumatra yang termasuk ke dalam Pemerintahan Aceh. Sebelah Utara Pulau Weh berbatasan langsung dengan wilayah negara India (Kepulauan Nicobar) sedangkan bagian Barat Daya berbatasan dengan Samudera Hindia dan Kepulauan Aceh. Kotamadya Sabang memiliki empat pulau kecil lainnya yang mengelilingi Pulau Weh antara lain yaitu Pulau Klah, Pulau Seulako, Pulau Rubiah dan Pulau Rondo. Pulau Rondo ini merupakan pulau yang terluar dibagian Barat Indonesia yang berbatasan langsung dengan Kepulauan Nicobar (India). Topografi Pulau Weh didominasi oleh daratan berbukit sampai pergunungan (52%), perbukitan (35%), daratan bergelomnang (10%) dan daratan rendah/rata (3%). Pulau weh juga merupakan tipe pulau vulkanik dengan tingkat kesuburan tanah yang rendah dan pada umumnya hanya cocok untuk ditanami tanaman keras (tahunan) seperti kelapa, cengkeh, dan kakao. Berdasarkan tipe geologis batuan penyusunnya Pulau Weh terdiri dari 70% batuan vulkanis, 17% batuan sedimen dan 13 % sisanya merupakan daerah alluvial (Yulianto 2007). Kondisi terumbu karang di sekitar Pulau Weh, merupakan salah satu kawasan terumbu karang yang masih terjaga kondisinya dengan baik di kawasan Indonesis bagian barat. Hanya sedikit dari luasan terumbu karang tersebut yang telah dikelola dengan baik (WCS 2005 ; 2006), yaitu di kawasan wisata di ujung Pulau Weh dan di beberapa daerah yang memiliki peraturan data setempat (bagian perairan timur Pulau Weh), dimana pada daerah- daerah ini terdapat aturan yang tidak memperbolehkan penggunaan jaring untuk menangkap ikan di wilayah laut tersebut berdasarkan kesepakatan lokal. Luas wilayah laut yang di jadikan daerah perlindungan laut (kawasan wisata), hanya sekitar 15% dari total keseluruhan luas terumbu karang di Pulau Weh (Ardiwijaya 2007). 2.2 Ekosistem Terumbu Karang 2.2.1 Biologi Karang Karang merupakan penyusun utama terumbu karang, khususnya spesies yang memiliki rangka yang terbuat dari kalsium karbonat. Karang ini juga 8 merupakan penamaan umum untuk spesies dari kelompok Cnidaria. Spesies yang memiliki kerangka kersa dikenal dengan nama karang batu (hard coral) yang merupakan anggota dari kelas Anthozoa. Kelas Anthozoa ini terbagi menjadi dua sub kelas yaitu Zoantharia yang merupakan kelompok karang keras dapat dicirikan dengan enam buah tentakel, sedangkan Alcynaria yang merupakan kelompok karang lunak yang dicirikan dengan delapan buah tentakel (Veron 1993). Terumbu karang juga merupakan ekosistem yang mempunyai produktivitas organik yang sangat tinggi sehingga kadang-kadang ekosistem terumbu karang diandaikan seperti “oase” ditengah gurun pasir yang gersang (Nontji 1993). Veron (1995) mengatakan bahwa hewan karang sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan perairan, terutama suhu, salinitas, sedimentasi, dan eutrofikasi serta memerlukan kualitas perairan yang alami. Karang terdiri dari satu jenis polip atau lebih yang menutupi permukaan kerangka luar dari kapur yang dihasilkan oleh epidermis. Kerangka itu akan terus menerus bertambah karena tumbuh menurut tinggi dan diameternya. Kerangka karang (skeleton) tersusun atas karbonat (CaCO3) yang disekresikan oleh epidermis pada bagian tengah di bawah polip. Proses sekresi menghasilkan rangka kapur berbentuk cawan tempat polip karang menetap. Cawan tersebut dikenal dengan calyx, dinding yang mengelilingi disebut epitheca, sedangkan dasar cawan disebut lempeng basal. Lempeng ini juga sebagai pondasi dari septa, keseluruhan skeleton yang terbentuk oleh keseluruhan corralite, sedangkan keseluruhan skeleton yang dibentuk oleh keseluruhan corralite disebut corralum. Septa yang tumbuh sampai dinding terluar disebut costae, pada bagian dalam septa tertentu sering dilanjutkan suatu struktur yang dinamakan pali. Sedangkan columella merupakan struktur yang berada di dasar dan tengah koralit yang sering merupakan kelanjutan dari septa (Mapstone 1990; Suharsono 1996). Mulut karang terletak di bagian atas yang sekaligus berfungsi sebagai anus. Makanan dicerna oleh filamen mesenterial dan sisa makanan dikeluarkan melalui mulut. Masing-masing polip yang hidup dalam satu kerangka dihubungkan oleh jaringan tipis yang disebut cenosark. Namun pada jenis karang yang bersifat hermatipik, pembentukan kerangka dibantu oleh simbion yang hidup di dalam 9 jaringan karang yang dikenal dengan Zooxanthella yang merupakan kelompok mikroalga (Veron 1993). Karang terdiri atas polip-polip yang dapat hidup berkoloni, muapun soliter. Ukuran diameter polip karang yang berbentuk koloni umumnya adalah 1-3 mm, sedangkan diameter polip karang yang menyendiri atau soliter jauh lebih panjang dan bias mencapai 25 cm (Goreau et al. 1982 ; Barnes 1980). Goreau et al. (1982) mengatakan bahwa ukuran polip karang soliter sangatlah bervariasi mulai dari ukuran 0,1 sampai lebih dari 20 cm. Gambar 2 Anatomi hewan karang.1) Air laut di rongga gastrovaskular; (2) Gastrodermis; (3) Zooxanthellae pada gastrodermis; (4) Mesoglea; (5) Epidemis; (6) Matriks dengan endapan kalsium karbonat; (7) Skeleton (Birkeland 1997). Pada hampir semua spesies, polip berada sebagai suatu individu dalam mangkuk kerangka. Beberapa diantaranya mengembangkan tentakel untuk menangkap makanannya pada malam hari (Goreau et al. 1982). Proses sekresi dari zoxanthella menghasilkan rangka cawam (skeletal cup), dimana polip karang menetap. Disamping memberikan tempat hidup bagi polip karang, cangkang (terutama sklerosepta/septa) juga memberikan perlindungan. Bila predator akan 10 memangsanya maka polip ini akan mengecil dan berada dalam cangkang (Barnes 1980). Menurut sumich dsn Burke et al. (2002) karang dapat menghasilkan komponen senyawa inorganic yang berupa nitrat, fosfat dan karbon dioksida yang diperlukan untuk keperluan hidup zooxanthella, sedangkan zooxanthella dalam simbiosis dengan hewan karang menghasilkan oksigen dan senyawa organic melalui fotosintesis yang akan dimanfaatkan oleh hewan karang. Bentuk simbiosis yang terjadi antara hewan karang dengan zooxanthella adalah simbiosis multualisme dimana zooxanthella membantu dalam pembentukan kerangka. Asosiasi simbiotik antara zooxanthella dengan hewan karang sangat erat, zoxanthella merupakan penentu utama untuk proses metabolisme, dan juga untuk membentuk kerangka dan sebaran vertical hewan karang tersebut. Selain itu zooxanthella juga terdapat dalam berbagi jenis invertebrate di daerah terumbu karang sehingga memberi petunjuk bahwa peranan alga tersebut sangat penting dalam ekosistem terumbu karang (Nyabakken 1992 dan Nontji 1987). 2.2.2 Reproduksi Karang Reproduksi hewan karang dapat terjadi secara seksual maupun non seksual. Reproduksi Aseksual karang dilakukan dengan cara membentuk tunas. Tunas ini biasanya akan tumbuh di permukaan bagian bawah atau pada bagian pinggir koloni karang. Tunas baru akan tetap melekat hingga ukuran tertentu sampai dapat melepaskan diri dan menjadi individu baru. Pembentukan tunas ini dapat terjadi dilakukan dengan cara pertunasan intretentakular, yaitu pembentukan individu baru dalam individu lama, sedangkan pertunasan ekstrakurikuler merupakan pembentukan individu lama (Suharsono 1996). Setiap polip memiliki kemampuan memperbanyak koloni dengan cara reproduksi seksual yang menghasilkan larva yang mampu berenang bebas, menetap dan membentuk koloni baru. Sedangkan reproduksi seksual dilakukan dengan pembentukan tunas (cabang). Kebanyakan spesies karang melakukan reproduksi secara seksual yaitu melalui pemijahan massal. Dalam kurun waktu 24 jam, seluruh karang dari satu spesies atau kandang-kadang dari satu genus melepaskan telur dan spermanya pada saat yang bersamaan. Ini terjadi pada 11 spesies-spesies dari genus Montastraea, dan juga pada genera lain seperti Montipora, Platygra, Favia dan Favites (Harrison dan Wallace 1990). Dalam beberapa spesies Montipora dan Acropora, telur dan sperma di lepaskan dalam suatu kantung, kemudian mereka mengapung di permukaan air dimana mereka terpisah dan fertilisasi akan berlangsung. Beberapa saat kemudian, zigot akan berkembang menjadi larva yang disebut planula. Hasil kajian Rani (2004) melaporkan bahwa karang Acropora nobilis dan Pocillopora verrucosa memiliki tingkah laku pemijahan yang hermafrodit simultan (broadcast spawning simultaneous hermaphrodite), namun kedua karang ini memiliki tipe tingkah laku berpijah yang berbeda. Karang A. nobilis melepaskan gametnya dalam satu paket buntelan telur-sperma (egg-sperm bundles) dengan warna putih dan pada umumnya berwarna putih kekuningkuningan, sedangkan karang P. verrucosa melepaskan gametnya secara bebas dan terpisah antara telur dan sperma dengan dengan 3 tipe tingkah laku polip dalam pelepasan gamet (telur saja, sperma saja dan telur dan sperma). Gambar 3 Siklus reproduksi seksual karang (Timotius 2003) Ket: Telur & sperma dilepaskan ke kolom air (a) fertilisasi menjadi zigot terjadi di permukaan air (b) zygot berkembang menjadi larva planula yang kemudian mengikuti pergerakan air . Bila menemukan dasaran yang sesuai, maka planula akan menempel di dasar (c) planula akan tumbuh menjadi polip (d) terjadi kalsifikasi (e) membentuk koloni karang (f) namun karang soliter tidak akan membentuk koloni Larva planula dari tipe brooding memiliki kemampuan yang cepat untuk penempelan di substrat dan proses metamorfosis. Larva planula ini mempunyai ukuran yang lebih besar dari larva yang dihasilkan tipe Spawning. Larva ini juga 12 dibekali zooxanthellae oleh induknya sehingga memiliki energi yang cukup untuk melakukan penyebaran lebih jauh (Birkeland 1997). Reproduksi karang umumnya terjadi ketika bulan purnama atau di saat suhu air laut hangat. Pada saat bereproduksi, sebagian besar karang melepaskan sel-sel telur dan sperma secara bersamaan ke kolom perairan, sehingga perairan terlihat keruh, dan pembuahan terjadi di kolom perairan. Setelah di buahi oleh sperma selsel telur akan menjadi larva polip karang yang berkembang di kolom perairan, yang disebut planula. Planula akan mencari substrat keras dengan air laut bersih dan jernih untuk untuk kemudian menempelkan dirinya dan tumbuh menjadi polip. Seiring pertumbuhan polip, zooxanthellae pun tumbuh dalam jaringan polip. Lalu, polip kembali membelah atau bertunas dan menghasilkan polip-polip baru secara bertahap, hingga akhirnya membentuk koloni karang yang utuh (Razak 2005). 2.2.3 Faktor-Faktor Pembatas Pertumbuhan Karang Terumbu karang memiliki factor-faktor pembatas dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Faktor-faktor itu antara lain adalah kecerahan, cahaya, suhu, salinitas, pergerakan air dan substrat. Menurut Nybakken (1992) faktor lingkungan mempunyai pengaruh cukup besar terhadap pertumbuhan karang. Diantara faktor-faktor lingkungan itu, menurut Nybakken (1992) suhu merupakan faktor lingkungan yang paling besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan organisme laut termasuk karang itu sendiri. Pernyataan ini juga di perkuat oleh Levinton (1977) yang mengatakan bahwa beberapa pengaruhnya dapat dilihat pada kecepatan metabolisme, pertumbuhan dan reproduksi, dan perombakkan bentuk luar dari karang. Secara rinci kondisi lingkungan yang dapat mendukung pertumbuhan karang adalah suhu air lebih dari 18oC, pada kedalaman 50 m dengan kandungan kadar garam 30-36 ‰, pengendapan yang rendah, air yang bebas dari polusi, harus ada lebih dahulu substrat yang keras untuk menempel (Suharsono 1996 dan Nyabakken 1992). Pengaruh sedimen terhadap terumbu karang telah disimpulkan oleh berbagai peneliti antara lain: (1) menyebabkan kematian karang apabila menutupi 13 permukaan karang, (2) menghambat pertumbuhan karang secara langsung, (3) menghambat planula karang untuk meletakkan diri dan berkembang di substrat, serta (4) meningkatkan kemampuan karang terhadap sedimen. Menurut Paonganan (2008) mengatakan bahwa konsentrasi nutrient terutama posfat sangat mempengaruhi tinggi rendahnya invasi makroalga. Sedangkan parameter lainya yang juga berpengaruh adalah suhu dan salinitas. Intensitas cahaya, pH, dan laju sedimentasi dapat mempengaruhi invasi makroalga ke koloni karang hidup pada level rendah dan sedang. Kondisiini menunjukkan bahwa laju sedimen tasi, pH dan intensitas cahaya tidak lagi menjadi faktor pembatas pada laju invasi makroalga pada level yang tinggi. 2.2.4 Bentuk-Bentuk Pertumbuhan Karang Suatu jenis karang dari genus yang sama dapat mempunyai bentuk pertumbuhan yang berbeda pada lokasi pertumbuhan. Menurut Maduppa (2006) habitat memiliki efek yang besar terhadap sifat dan laju pertumbuhan. Sifat habitat memiliki pengaruh besar terhadap tipe pertumbuhan dan jenis karang. Menurut English et al. (1994) bentuk pertumbuhan karang keras terbagi atas karang Acropora dan karang non-Acropora. Karang non-Acropora terdiri atas: 1) Coral Branching (CB), memiliki cabang lebih panjang daripada diameter yang dimiliki. 2) Coral massive (CM), berbentuk seperti bola dengan ukuran yang bervariasi, permukaan karang halus dan padat. Dapat mencapai ukuran tinggi dan lebar sampai beberapa meter. 3) Coral encrusting (CE), tumbuh menyerupai dasar terumbu dengan permukaan yang kasar dan keras serta berlubang-lubang kecil. 4) Coral submassive (CS), cenderung untuk membentuk kolom kecil, wedge-like. 5) Coral foliose (CF), tumbuh dalam bentuk lembaran-lembaran yang menonjol yang pada dasar terumbu, berukuran kecil dan membentuk lipatan atau melingkar. 6) Coral Mushroom (CMR), berbentuk oval dan tampak seperti jamur, memiliki banyak tonjolan seperti punggung bukit beralur dari tepi hingga pusat mulut. 7) Coral millepora, (CME), yaitu karang api. 14 8) Coral heliopora (CHL), yaitu karang biru. Untuk karang jenis Acropora English et al. (1994) menggolongkan karang sebagai berikut: 1) Acropora branching (ACB), berbentuk bercabang seperti ranting pohon. 2) Acropora encrusting (ACE), bentuk mengerak, biasanya terjadi pada Acropora yang belum sempurna. 3) Acropora tabulate (ACT), bentuk bercabang dengan arah mendatar dan rata seperti meja. 4) Acropora submassive (ACS), percabangan bentuk gada/lempeng dan kokoh. 5) Acropora digitate, (ACD), bentuk percabangan rapat dengan cabang seperti jari-jari tangan. 2.3 Pemutihan Karang (Coral Bleaching) Suharsono (1996) mengatakan terumbu karang terbentuk dari kalsium karbonat (CaCO3) yang disekresikan selama jutaan tahun oleh hewan karang (polip coral). Hewan karang bersimbiosis dengan alga zooxanthellae yang hidup di dalam jaringan karang. Simbiosis yang berlangsung antara hewan karang dengan alga zooxanthella merupakan simbiosis multualisme, dimana zoxanthella mensuplai nutrisi dan hasil fotosintesisinya kepada hewan karang. Sedangkan karang memberi tempat tinggal yang aman dan mensuplai karbondioksida bagi alga zooxanthella. Suhu air laut di daerah tropis mengalami peningkatan hampir 1oC selama 100 tahun terakhir dan tingakat pertambahannya diperkirakan mendekati 1oC-2oC setiap abad. Bagian utama dari karang pembentuk terumbu yang sehat (reef building corals) sekarang ini hidupnya sudah hampir melampaui batas suhu maksimum. Pertambahan suhu air yang sangat sedikit saja akan membuat terumbu karang mengalami stress/tekanan dan mengalami pemutihan. Bleaching merupakan suatu reaksi binatang karang terhadap tekanan dari lingkungan. Bleaching dapat terjadi bila pigmen zooxznthellae dalam jaringan karang hilang atau berkurang, konsentrasi zooxanthellae dalam sel berkurang atau gabungan dari kedua kondisi di atas (Glynn 1990). Karang akan cenderung untuk 15 mati dengan cepat dalam jumlah besar setelah terjadi peristiwa Bleaching, yang dapat meluas di laut ribuan kilometer persegi. Karang sangat sensitive terhadap perubahan lingkungan, seperti suhu permukaan laut, salinitas, Ph, dan radiasi UV. Coral bleaching dapat di sebabkan salah satunya oleh naiknya suhu permukaan laut sebesar 1-2oC diatas suhu ratarata. Bleaching merupakan hilangnya pigmen fotosintetik akibat hilangnya zooxanthella dari jaringan karang, sehingga menyebabkan karang berwarna putih pucat (Van Open et al. 2005). Hewan karang bisa pulih kembali dengan menrekrut kembali zooxanthella dari lingkungan perairan ketika kondisi membaik, atau karang bisa mati jika tetap terekspos kondisi ekstrim dalam jangka waktu yang cukup lama. Bleaching tidak hanya terjadi pada karang saja, akan tetapi dapat terjadi pada semua hewan yang bersimbiosis dengan zooxanthella. Perubahan suhu air laut saat ini telah mengalami perubahan yang cukup mencolok di seluruh dunia, termasuk di Indonesia yang paling parah tercatat pada tahun 1998. Hal ini diduga erat kaitannya dengan terjadinya gejala El Nino yang parah, dimana kolam air hangat yang pada keadaan normal hanya berada di bagian barat Samudera Pasifik, bergeser dan meluas ke timur sampai ke pantai Barat Amerika. Hal ini menyebabkan trend suhu permukaan laut di perairan tersebut termasuk di Indonesia berubah menjadi lebih rendah, karena suhu massa air Airlindo yang melalui perairan Indonesia juga lebih rendah (Wyrtki 1961). Perubahan suhu yang cukup drastis dalam waktu yang relatif singkat ini mengakibatkan banyak terjadi perubahan factor ekologi di perairan diseluruh dunia. Salah satu akibat yang paling mencolok adalah terjadinya fenomena bleaching pada ekosistem terumbu karang di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Pada tahun 1998 telah tercatat oleh para peniliti bahwa pada tahun ini merupakan tahun yang sangat berat bagi terumbu karang diseluruh dunia, terutama pada perairan tropis (Marshall and Baird 2000; McClanahan 2000; Loya et al. 2001 dan Baird and Marshall 2002). Kenaikan suhu permukaan laut yang tidak normal dan mengakibatkan coral bleaching terparah yang pernah tercatat terjadi akibat adanya peristiwa Elnino (McClanahan 2004). Lebih dari 16 % terumbu karang dunia hilang dalam waktu setahun. Bahkan beberapa daerah, sepeti Singapura & Andaman Island untuk pertama kalinya dalam sejarah 16 mengalami bleaching dengan skala besar. Daerah dengan kondisi bleaching terparah adalah Samudera Pasifik, Samudera Hindia, Laut Merah, Teluk Persian, Mediterania, dan Karibia. Warwick dan Suharsono (1990) mengatakan El-nino awalnya adalah istilah untuk arus laut hangat yang muncul setiap tahun pada bulan Desember disepanjang pantai Ekuador dan Peru, dan biasanya bertahan selama beberapa minggu sampai sebulan atau lebih. Namun setiap tiga atau tujuh tahun, gejala Elnino dapat bertahan selama beberapa bulan. El-nino dapat terjadi karena pemanasan di ekuator Samudera Pasifik atau karena pemanasan global (global warming). Banyak ahli yang menyatakan penyebab karang bleaching karena berbagai macam factor seperti tinggi dan rendahnya suhu, tingginya radiasi ultra violet, lamanya area karang yang terkena cahaya matahari secara langsung, tinggi rendahnya kadar salinitas, pemasukan air tawar, tingginya sedimen, polusi dan pengurangan nutrient (Coffort 1990; Glynn 1990; McClanahan 2002 dan Van Open et al. 2005). Penyebab terjadinya bleaching menurut Zamani (1995) adalah akibat interaksi yang sinergis antara gangguan alam dan aktivitas manusia. Gangguangangguan tersebut antara lain adalah tereksposnya hewan karang di udara, herbisida, perubahan salinitas, penambahan konsentrasi logam-logam, penyakit, penjenuhan atau penipisan suplai nutrient, peningkatan suhu, pengerukan, terpapar dengan lumpur hasil pemboran minyak, terlindung dari matahari dan sebagainya. Sebagi tambahan, Brown dan Suharsono (1990) menyatakan beberapa kegiatan manusia seperti pelepasan panas kelaut, pengerukan, pembukaan areal untuk menggali lumpur, alkalin dan minyak yang dapat menyebabkan hilangnya zooxanthellae. Bleaching juga tercatat Pada tahun 2005 di daerah Karabia, air hangat yang tidak normal mempengaruhi terumbu karang diperairan dangkal dan dalam. Sebanyak 80% terumbu karang mengalami bleaching dan sekitar 40% terumbu karang di bagian timur Karibia mati. Pada tahun itu, di Virgin Island misalnya, suhu air laut naik 3°C diatas rata-rata normal (pada Agustus-November). Dan saat ini, temperature maps mengindikasikan bahwa air laut mengalami durasi 17 panas lebih panjang dibanding tahun 2005 dan menyebar ke area yang lebih luas (WWF 2010). Pada periode 2005, daerah yang terpengaruh adalah Lesser Antilles di bagian timur Karibia hingga jauh ke selatan di Guadeloupe. Tahun ini 2010, bleaching dan suhu panas telah merusakkan terumbu karang di Dutch Antilles, termasuk terumbu karang di Panama dan pulau Curacao dekat Venezuela. Tercatat, suhu permukaan air laut pada bulan September 2010 naik menjadi 30,2°C, dari suhu rata-rata perbulannya. Gambar 4 Peristiwa coral bleaching didunia. (a) Lokasi dan tahun terjadinya bleaching (dari beberapa sumber: Brown 1987 sources; Brown 1987; Glynn 1993, 1996; Coles and Brown 2003;Wilkinson and Souter 2008) dalam Baker et al 2008. (b) Laporan lokasi terjadinya bleaching: 1, Arabian Gulf (United Arab Emirates, Qatar, Iran); 2, Red Sea; 3, east Africa; 4, Africa Selatan (Mozambique, Africa Selatan); 5, Madagascar; 6, Mauritius, Reunion; 7, Seychelles; 8, Chagos; 9, Maldives; 10, Sri Lanka/India Selatan; 11, Laut Andaman (Andaman, Thailand, Malaysia); 12, Laut China Selatan (Vietnam, Paracel Islands); 13, Philippines; 14, Indonesia; 15, Barat Australia; 16, Great Barrier Reef; 17, Ryukyu Islands; 18, Mariana Islands; 19, Palau; 20, Papua New Guinea, Vanuatu; 21, Fiji; 22, Samoa; 23, French Polynesia (Mencakup Moorea); 24, Pulau Hawai; 25, Timur Island; 26, Pulau Gala ´pagos; 27, equatorial Pacific Timur (Costa Rica, Pulau Cocos, Panama, Colombia, Ecuador); 28, subtropis Pacific Timur (Me ´xico); 29, Sistem Terumbu Mesoamerican (Me ´xico, Belize, Honduras, Nicaragua); 30, Greater Antilles (Cuba, Haiti, Republik Dominican, Puerto Rico, Pulau Virgin); 31, Bahamas, Florida; 32, Bermuda; 33, Lesser Antilles; 34, Curaçao, Aruba, Bonaire, Los Roques; 35, Brazil (Baker et al. 2008). 18 Menurut NASA (2010) merupakan tahun terpanas dalam 131 tahun terakhir. Suhu laut naik diatas rata-rata suhu perairan normal akibat perubahan iklim, peristwa ini terjadi karena adanya peristiwa El Nino (yang ditandai dengan adanya air hangat di pasifik khatulistiwa). Peristiwa ini sangat berbahaya bagi terumbu karang yang dapat menyebabkan pemutihan yang luas. Sebahagian besar pemutihan yang terjadi selama pertengahan tahun ini terkonsentrasi di wilayah Asia Tenggara dan Samudera Hindia bagian timur. Wilayah yang terkena paling keras adalah Thailand (hingga 100% karang menggalami bleaching di semenanjung Thailand), Malaysia, Filipina (diseluruh kepulauan Visayan dan palwan terutama bagian utara), Indonesia (terutama provinsi Aceh dimana 80% dari beberapa spesies mengalamai pemutihan sejak Mei) dan Maladewa (50-70% mengalami pemutihan karang). 2.4 Ikan Pemakan Karang (Koralivor) Spesies ikan koralivor merupakan sekelompok ikan yang sangat tergantung pada jaringan hidup karang sebagai sumber makanan dan sangat tergantung pada jenis karang yang dimakan. Keberadaan ikan koralivor sangat erat kaitannya dengan kesehatan karang dan menjadi sebagai salah satu indikator perubahan kondisi terumbu karang (Allen 2009). Maddupa (2008) mengatakan bahwa Ikan Chetodontidae memiliki desain gigi yang mirip sisir. Umumnya memiliki mulut yang lancip dan rahang yang dilengkapi dengan gigi-gigi yang kecil dan tajam untuk mencari makan dicelahcelah batu. Beberapa spesies hidup berpasangan dan mempunyai wilayah teritorial tertentu yang sesuai dengan pewarnaanya yang berguna untuk menyamar dari pemangsaan. Pewarnaan juga sangat penting untuk melindungi diri dari predator dan merupakan jenis ikan diurnal atau aktif pada siang hari serta mencari mengunakan habitat terumbu karang untuk perlindingan pada malam hari. Ikan Chaetodontidae merupakan salah satu famili ikan pemakan karang yang memiliki warna cemerlang dengan tubuh pipih, sirip yang melebar dan komunitas dengan spesies terbanyak dari ikan koralivor lainnya. Ikan koralivor ini (Chaetodontidae) memiliki mulut yang lancip dan berfungsi untuk mematok karang, serta beberapa jenis berbintik hitam pada bagian belakang sirip 19 punggungnya, sedangkan jenis lain memiliki garis hitam vertikal (Masuda et al. 1984). Ikan koralivor menghabiskan masa hidupnya dekat dengan substrat. Terdapat lima kategori pemangsaan ikan koralivor yaitu pemangsa karang batu (hard coral), invertebrata sesil termasuk polip karang (invertebrata sesile feeder), invertebrata bentik, omnivor, dan plantonktivor (umumnya zooplankton). Ikan koralivor sangat mungkin digunakan untuk menjadi indikator suatu lingkungan terumbu karang karena hubungannya yang sangat erat dengan substrat karang hidup (Hourigan et al. 1981). Choat dan Bellwood (1991) membahas interaksi antara ikan koralivor dengan terumbu karang dan menyimpulkan ada tiga bentuk umum interaksi yang diperlihatkan, yaitu : a. Interaksi langsung, sebagai tempat berlindung dari predator terutama bagi ikanikan muda. b. Interkasi dalam mencari makan, meliputi antara ikan karang dan biota yang hidup pada karang termasuk alga. c. Interaksi tidak langsung akibat struktur karang dan kondisi hidrologi dan sedimen. Banyaknya spesies dari kelompok ikan koralivor yang memiliki hubungan yang sangat erat dan kuat dengan karang serta spesies ini banyak bersifat obligate corralivore (pemangsa karang)(Reese 1981; Harmelin-Vivien & Bouchon-Navora 1983 dalam Maddupa 2008). Selain itu, dalam penelitian Maddupa (2008) tingkat pemangsaan ikan ini ditentukan oleh ketersediaan karang sebagai makanannya berdasarkan dari analisa makanan dan kebiasaan makan pada spesies Chaetodon octofasciatus dimana yang menjadi makanan utama dari ikan ini adalah karang yang diidentifikasikan kandungan nematokis sebesar 99,41% dan sebagai makaanan tambahan (insidentil) adalah alga perifitik sebesar 0,59%. Pemangsaan terhadap karang juga dipengaruhi oleh fenomena alam seperti El-nino. Ukuran populasi dan pemangsaan biota koralivor menjadi berkurang saat terjadinya El-nino pada tahun 1982-1983 di Panama. Dampak penurunan populasi ikan ini yang di sebabkan oleh dari peristiwa El-nino banyak koloni karang yang 20 menjadi memutih dan akhirnya mati akibat suhu yang tinggi (30-31oC) (Glynn 1985). 2.5 Ikan Pemakan Alga (Herbivora) Terumbu karang merupakan ekosistem laut yang paling komplek dan memiliki taksonomi struktural yang beragam. Ikan herbivora merupakan suatu komunitas terpenting dalam ketahanan terumbu karang. Cinner et al. (2009) mengatakan perubahan yang mendasar pada struktur habitat terumbu karang akan mempengaruhi berbagai populasi spesies dalam waktu jangka panjang. Hal ini dikarenakan penurunan ketersediaan makanan. Kematian karang akan memberi peluang besar untuk tumbuhnya alga-alga pada substrat dan kelimpahan ikan pemakan alga (herbivora) meningkat. Ikan herbivora sangat beragam didalam perairan dan bukan merupakan kelompok ekologis yang seragam. Ikan herbivora terdiri dari beberapa kelompok fungsional yang berbeda pada cara makan, apa yang dimakan dan substrat yang mereka sukai. Green dan Bellwood (2009) membagi empat kelompok fungsional ikan herbivora yang berbeda-beda dan masing-masing memiliki peran dalam ketahanan terumbu karang antara lain; Pencakar/ penggali kecil (Scrapers/small excavators): pada katagori ini terdiri dari jenis Parrotfishes (Scaridae) yang menunjukkan dua kelompok yang memilki dua perbedaan yaitu morfologi rahang dan perilaku makan. Mayoritas Parrotfishes (spesies Hipposcarus dan Scarus) ini adalah pencakar dan mengali denagn gigitan untuk mengahilangkan alga, sedimen dan bahan lain yang tertanam dipermukaan karang sehingga meninggalkan bekas gigitan kecil pada substrat karang. Sederet nama ikan menurut taksonominya sering ditabulasikan sebagai tanda bahwa ikan dengan nama tersebut merupakan plasma nutfah. Tetapi tabulasi seperti ini kurang memberi makna untuk kepentingan pengelolaannya. Untuk lebih memberi arti dalam kepentingan pemanfaatannya, ikan-ikan karang ini kemudian dikelompokkan diluar pengertian taksonominya. Kelompok itu adalah (1) ikan mayor yang selalu berasosiasi dengan karang dan sebagian besar ditangkap untuk dijual sebagai ikan hias; (2) ikan target atau ikan yang biasa dikonsumsi oleh nelayan setempat, dan (3) ikan indikator yang kebanyakan dari 21 kelas Chaetodontidae dan juga sering digunakan sebagai petunjuk kesehatan dan keanekaragaman karang batu (Subhan 2010). Menurut (Dartnal dan Jones 1986 dalam Subhan 2010), komposisi normal untuk ketiga kelompok ini dalam area karang yang sehat adalah dengan rasio 60:30:10, akan tetapi variasi komposisi selalu terjadi dimana-mana setiap perairan karang.