Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Gas Produser dari Gasifikasi Biomassa Gasifikasi merupakan proses konversi bahan bakar padat (misal biomassa, batubara) menjadi produk gas dengan menggunakan udara/O2/H2O/CO2, atau campurannya dengan nisbah reaktan antara 20–70% dari kebutuhan stokiometrinya. Produk gas tersebut dikenal sebagai gas produser yang terdiri dari gas-gas mempan bakar (CO, H2, dan CH4) dan gas-gas tidak mempan bakar (CO2 dan N2). Gas-gas tersebut dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi. Komposisi gas ini sangat tergantung pada komposisi unsur dalam bahan bakar padat, bentuk dan partikel bahan bakar padat, serta kondisi operasi proses gasifikasi. Selain gasgas tersebut, gas produser juga mengandung tar dan kontaminan yang lain. Pemanfaatan lebih lanjut gas produser mensyaratkan batasan kadar tar. Hampir semua permasalahan yang menyebabkan kesulitan di dalam penggunaan gas produser dari hasil gasifikasi biomassa disebabkan adanya tar dalam gas produk. Keberadaan tar akan membatasi penggunaan gas produser secara signifikan karena dapat menyebabkan kerusakan pada peralatan proses, pengausan engine, dan menyebabkan biaya perawatan cukup tinggi. Sebagai contoh, jika gas produser tersebut digunakan dalam motor bensin/diesel, maka kandungan tar maksimum yang diperbolehkan adalah 100-500 mg/Nm3. Penggunaan gas produser dalam proses-proses katalitik memerlukan persyaratan kadar tar yang lebih ketat karena tar dalam gas produser dapat mengalami kondensasi yang dapat menutupi permukaan katalis. Hal ini tentunya sangat merugikan dalam konversi atau selektivitas proses. Selain itu, tar dapat menimbulkan penyumbatan reaktor dan meningkatkan hilang tekan dalam reaktor. Pemisahan tar secara fisik belum bisa mengatasi permasalahan secara tepat karena hanya memindahkan tar dari satu sistem/unit proses ke sistem/unit proses lain. Sistem/unit proses lain dapat berupa proses penanggulangan limbah (waste treatment), sedangkan konversi tar merupakan proses pencegahan pencemaran pada sumber (source reduction) dengan mengubah tar menjadi zat lain yang tidak -6- berbahaya, bahkan bisa bernilai guna (produktif). Oleh karena itu, teknologi penghilangan tar perlu dikembangkan secara efektif dan preventif (source reduction), yaitu konversi tar (Fjellerup dkk., 2005). Perbandingan pemisahan fisik dan kimia dapat dilihat pada Tabel II.1. Tabel II.1. Perbandingan pemisahan fisik dan kimia. Konversi tar (Kimia) Pemisahan tar (Fisika) - Penguraian berkatalis - Siklon - Penguraian termal - Penyaring (baffle, fabric, - Reaktor Plasma (Pyroarc, corona, glidarc) ceramic, granular beds ) - Precipitator (electable rowostatic precipitatos, Scrubber) II.2 Tar Tar merupakan campuran kompleks hidrokarbon yang mudah terkondensasi, termasuk aromatik bercincin tunggal dan jamak yang terikat dengan oksigen lain. Tar dapat dikelompokkan berdasarkan struktur molekul maupun sifat tar. Penggolongan tar menurut Milne dan Evans (1998) dapat dilihat pada Gambar II.1. Milne dan Evans menggolongkan tar menjadi 3 bagian pada rezim reaksi. Produk primer merupakan turunan selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Produk sekunder merupakan senyawa phenol dan olefin. Produk tersier merupakan metil turunan senyawa aromatik. Sedangkan menurut Perez dan Corella (2002), tar digolongkan menjadi 2, yaitu reaktif ”mudah dihancurkan” dan nonreaktif ”sulit dihancurkan”. -7- Gambar II.1. Klasifikasi tar (Milne dan Evans, 1998). Tar diartikan sebagai kontaminan organik berberat molekul lebih besar dari benzen. Sistem klasifikasi dikembangkan oleh oleh Energy Research Centre of the Netherlands (ECN), Toegepast Natuurwetenschappelijk Onderzoek (TNO), dan University of Twente (UT)2. Tar diklasifikasikan berdasarkan kelarutan, kemudahan terkondensasi, dan reaktivitas komponen seperti yang ditampilkan dalam Tabel II.2. Tar dapat menyebabkan masalah dalam sistem gasifikasi biomassa karena sifatsifatnya sebagai berikut: a. Kemudahan terkondensasi, kondensasi senyawa tar berat pada permukaan dingin atau aerosol tar ketika temperatur gas gasifikasi menurun. Aerosol tar menyebabkan kabut berupa tetesan berdiameter lebih kecil dari 1 μm. b. Pembakaran tar menimbulkan jelaga yang menyebabkan permasalahan seperti kerusakan dan korosi. 2 Proyek “Primary measures for the inhibition/reduction of tars in biomass fuelled fluidized-bed gasifier” -8- c. Reaksi polimerisasi senyawa tar berlangsung pada fasa gas (900 – 1250 oC). Hidrokarbon direduksi menjadi jelaga pada reaksi ini. Pada temperatur antara 200 – 900 oC, reaksi polimerisasi berlangsung lebih lambat. Pada fasa cairan, tar cenderung berpolimerisasi pada temperatur 100 – 200 oC. Pembentukan ampas terjadi pada temperatur kamar meskipun pada laju rendah. Berdasarkan informasi tentang polimerisasi, hal ini berasal dari minyak pirolisis. d. Interaksi dengan kontaminan yang lain seperti adsorpsi pada partikel abu batubara menyebabkan kerugian. Tabel II.2. Klasifikasi Tar. Tar Class Name Property Class 1 2 Representative compouds GC – Very heavy tars, cannot be None Undetectable detected by GC Heterocyclic Tars containing hetero Pyridine, Phenols, atoms, highly water Cresol, etc solubility 3 Light Aromatic Light hydrocarbon with Toluene, single ring Ethylbenzene, Xylenes, etc 4 Light Two and three ring Indene, Polyaromatic compouds Naphthalene, Phenanthrene, anthracene. 5 Larger than three Fluoranthene, pyrene rings -9- II.3 Reaktor Unggun Tetap Reaktor unggun tetap biasanya merupakan reaktor pipa berisi katalis yang ditempatkan pada posisi tertentu. Tujuan penempatan katalis adalah mendapatkan luas permukaan kontak umpan untuk melangsungkan reaksi dan menghindari katalis yang terbawa oleh aliran. Reaktor unggun tetap banyak digunakan untuk reaksi-reaksi fasa gas dengan katalis berupa padatan. Kontak katalis-umpan dalam reaktor unggun tetap lebih efisien dibandingkan dengan penggunaan unggun terfluidisasi (fluidised bed) untuk sejumlah katalis yang sama. Namun dalam beberapa kasus, temperatur reaktor ini sulit dikendalikan, terutama pada reaktor berukuran besar. Selain itu, penggunaan reaktor dibatasi oleh ukuran katalis. Ukuran katalis yang terlalu kecil dapat meningkatkan hilang tekan sepanjang reaktor. Pada reaksi eksotermik, katalis lebih mudah rusak akibat adanya titik panas (hot spot) (Levenspiel, 1999). II.4 Reaktor Tak Tunak II.4.1 Reaktor Tak Tunak dan Keunggulannya Reaktor tak tunak merupakan reaktor yang memiliki variabel proses bervariasi terhadap waktu. Berdasarkan kajian Silveston dkk. (1995) dan Silveston (1998) telah dibuktikan bahwa distribusi produk yang dihasilkan pada suatu reaktor, untuk kasus-kasus tertentu, lebih baik pada kondisi tak tunak. Ketidaktunakan ini dapat diimplementasikan pada variabel proses reaktor utama berupa temperatur, tekanan, laju alir, dan konsentrasi. Kondisi tak tunak dapat diperoleh dengan cara modulasi komposisi, pembalikan umpan, dan pengaturan posisi unggun secara spasial. (Reshetnikov dkk. 2003). Di samping itu, kombinasi operasi RABB dan modulasi komposisi atau reaktor bolak-balik dan umpan samping dapat digunakan sebagai piranti teknik (”engineering tool”) untuk mengendalikan distribusi produk dan memperbaiki produktivitas (Budhi, 2005). Reaktor tak tunak digunakan untuk meningkatkan selektivitas produk yang diinginkan untuk kasus-kasus tertentu. Perubahan variabel proses (terutama temperatur) terhadap waktu memberikan kesempatan untuk mempertahankan laju reaksi di permukaan katalis pada laju yang optimal. Reaktor tak tunak telah dapat - 10 - dimanfaatkan dalam beberapa proses sintesis, di antaranya oksidasi parsial metan menjadi syngas; oksidasi zat aromatik seperti o-xylen dan toluen; oksidasi CO; reduksi VOC (volatile organic compound) dalam gas buang; serta konversi NOx pada proses SCR (selective catalytic reduction). Peningkatan konversi atau selektivitas berawal dari perubahan secara temporer pada luas permukaan katalis yang aktif (Silveston, 1998). Pada reaksi multiproduk, luas permukaan ini mempengaruhi distribusi produk yang dihasilkan. Situsasi yang sangat diharapkan adalah luas permukaan katalis yang aktif sesuai dengan stoikiometri reaksi yang diinginkan terjadi ketika reaksi berlangsung (Budhi dkk., 2005). Pada percobaan reduksi katalitik NOx oleh Lietti dan Forzatti (1994), pada kondisi tak tunak, konversi NO yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan pada saat dilakukan pada kondisi tunak. Gangguan proses di pabrik kimia merupakan masalah yang serius. Reaktor tak tunak dapat meningkatkan unjuk kerja reaktor dan distribusi produk. Pada kondisi tak tunak, selektivitas reaktor tak tunak hasil reaksi lokal lebih baik dibandingkan reaktor tunak. Pada reaksi gas berkatalis heterogen dalam unggun diam, kelakuan transien memberikan kesempatan untuk menimbulkan perubahan dinamis di permukaan katalis, sehingga mempengaruhi laju reaksi katalitik. Prinsip ini telah dikembangkan melalui penggunaan siklus umpan (feed cycling) untuk meningkatkan konversi atau selektivitas reaktor (Silveston, 1998). Pengubahan secara periodik beberapa parameter operasi reaktor, seperti temperatur dan konsentrasi umpan, bisa mengatasi keterbatasan operasional reaktor dari segi termodinamika dan kinetika reaksi (Baressi, 1999). Proses eksotermik yang dilangsungkan dalam reaktor tunak tidak dapat mencapai konversi yang tinggi jika dilangsungkan dalam satu unggun katalis saja. Hal ini disebabkan oleh batasan kesetimbangan reaksi. Jika menggunakan reaktor tak tunak, konversi yang diperoleh lebih tinggi (Matros dan Bunimovich, 1996). - 11 - II.4.2 Kendala dan Keterbatasan Reaktor Tak Tunak Penggunaan reaktor tak tunak mulai dipertimbangkan dalam proses-proses yang melibatkan reaksi eksotermik karena mendorong efiesinsi proses. Perubahan variabel proses selama reaksi berlangsung mempengaruhi variabel proses keluaran reaktor. Hal ini mengakibatkan gangguan untuk unit proses lain, misalnya untuk unit pemisahan produk. Oleh karena itu, unit pengendalian diperlukan untuk menstabilkan variabel proses sebelum diumpankan ke unit proses lain. Selain itu, penggunaan reaktor tak tunak khususnya operasi aliran bolak-balik, terbatas untuk melangsungkan reaksi eksotermik. Jika reaksi endotermik dilangsungkan pada reaktor tak tunak, maka suatu reaksi eksotermik pasangan dibutuhkan untuk memasok kebutuhan panas reaksi endotermik (Annaland dkk., 2000). Pengoperasian reaktor tak tunak lebih rumit dan mahal dibandingkan reaktor tunak. Jika biaya yang dikeluarkan untuk meningkatkan konversi dan selektivitas lebih murah dengan jalan memperbesar ukuran reaktor, maka pengoperasian reaktor tak tunak tidak lagi menjadi pilihan yang ekonomis. Dalam kondisi seperti ini, reaktor tak tunak hanya dapat dijadikan pilihan jika aktivitas katalis dapat ditingkatkan secara signifikan, bahkan lebih dari 100 % (Silveston dkk., 1995) II.4.3 Daerah Operasi Proses Tak Tunak Salah satu cara untuk mencapai kondisi tak tunak adalah dengan memberikan gangguan secara sengaja. Berdasarkan skala waktu gangguan (td) yang diberikan dan skala waktu sistem untuk merespon gangguan (tr), rezim (daerah) operasi tak tunak dibagi menjadi 3, yaitu: 1. Quasy-steady state regime, skala waktu tak tunak lebih besar dibandingkan skala waktu reaksi/reaktor. Hal ini menyebabkan sistem dapat merespon gangguan secara mudah seperti ditunjukkan dalam Gambar II.2(a). 2. Dynamic regime, skala waktu tak tunak hampir sama dengan skala waktu sistem reaksi/reaktor. Hal ini menyebabkan sistem belum merespon gangguan dengan baik. Gangguan yang diberikan dapat memberikan efek resonansi terhadap sistem seperti ditunjukkan dalam Gambar II.2(b). - 12 - 3. Sliding regime, gangguan diberikan dalam skala waktu yang sangat kecil. Hal ini menyebabkan sistem tidak dapat merespon gangguan karena dinamika proses sangat lambat. Kondisi ini hampir sama dengan kondisi tunak seperti ditunjukkan dalam Gambar II.2(c). (a) (b) (c) Gambar II.2 Profil dinamika variabel proses pada daerah operasi reaktor aliran bolak-balik.(a) quasy steady-state regime, (b) dynamic regime, (c) sliding regime. Ntavg = Nilai rata-rata, Ns = Nilai pada kondisi steady, Ndym = Nilai pada dynamic regime, Nqss = Nilai pada quasy steady-state regime, Nsli = Nilai pada sliding regime (Hoebink dkk., 1995). - 13 - II.5 Reaktor Aliran Bolak-Balik II.5.1 Definisi dan Prinsip Reaktor Aliran Bolak-Balik Salah satu alternatif pengoperasian reaktor tak tunak adalah dengan cara mengubah arah aliran yang melalui reaktor secara periodik. Konsep ini dikenal dengan nama Reverse Flow Reactor atau Reaktor Aliran Bolak-balik (RABB) (Budhi, 2004a). RABB dapat didefinisikan sebagai reaktor unggun diam yang arah alirannya diubah secara periodik dalam selang waktu tertentu,selang waktu ini disebut waktu ubah (switching time) (Budhi, 2005). Secara sederhana, konsep RABB dapat dilihat pada Gambar II.3. Proses dibagi menjadi 2 siklus. Selama silkus pertama, aliran proses berlangasung dengan urutan 1-2-R-3-4, dan pada siklus berikutnya aliran melewati 1-2’-R-3’-4 (Budhi dkk., 2004b). Gambar II.3 Skema RABB (a) normal dan (b) umpan samping (Budhi dkk., 2004b). Konsep novel menganalisis tentang RABB umpan samping pada oksidasi selektif NH3 untuk memproduksi N2, N2O, atau NO. Berdasarkan konsep novel mengenai operasi RABB, reaktor dengan umpan samping diusulkan untuk mencegah penurunan konversi. Laju produksi produk yang diinginkan dapat dipertahankan pada tingkat yang tinggi (Budhi dkk., 2004b). Reaktor aliran bolak-balik aliran samping memudahkan memanipulasi konversi dan selektifitas. - 14 - II.5.2 Manfaat Reaktor Aliran Bolak-Balik Katalis yang berada di dalam reaktor, selain berperan untuk mempercepat laju reaksi, dapat juga berfungsi sebagai penyimpan panas hasil reaksi eksotermik, karena kapasitas panasnya lebih besar dibandingkan dengan gas yang diumpankan maupun yang dihasilkan. Jika aliran dibalik arahnya secara periodik, maka aliran umpan tidak lagi memerlukan pemanas awal untuk mencapai temperatur mula reaksi (reaction ignition temperature). RABB berperan dalam menurunkan kebutuhan panas serta efisiensi energi. Unjuk kerja RABB bergantung pada parameter desain, seperti panjang reaktor, porositas unggun, dan juga parameter operasi seperti konsentrasi umpan, laju alir gas, dan frekuensi ubah aliran (Salinger dan Eigenberger, 1996). Konsep RABB berkatalis ditemukan oleh Frank dan Kamenetski (1955) pada reaksi eksotermik heterogen dan telah diaplikasikan pada proses oksidasi sulfur oleh Boreskov dan Matros (1983), karbon monoksida oleh Boreskov dkk. (1984), oksidasi komponen organik mudah menguap oleh Froment (1990), Thullie dan Bughardt (1990), Neophytides-Froment (1992), dan oksidasi amoniak oleh Matros (1985), Budhi (2005). II.5.3 Keunggulan Reaktor Aliran Bolak-balik Konsep RABB merupakan salah satu cara untuk mempengaruhi luas permukaan katalis yang terlibat dalam reaksi. Katalis dapat dioperasikan pada temperatur dan komposisi umpan dimana konversi dan selektivitas maksimum diperoleh. Dibandingkan dengan reaktor aliran sekali lewat (once through flow reactor), RABB memberikan selektivitas dan konversi yang lebih baik (Boreskov dan Matros, 1983). Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan oleh Boreskov dan Matros (1983), pada percobaan oksidasi SO2, konversi yang diperoleh 5% lebih tinggi dibandingkan dengan yang diperoleh menggunakan reaktor unggun diam biasa. Ferreira dkk. (1999) mengajukan RABB sebagai salah satu cara untuk menurunkan titik panas (hot spot) pada katalis dan mendapatkan distribusi temperatur yang diinginkan di sepanjang bed. Penurunan titik panas disebabkan oleh temperatur rata-rata pada unggun katalis lebih rendah (Matros, 1990). - 15 - II.5.4 Kendala Reaktor Aliran Bolak-balik RABB beroperasi pada dinamika beda temperatur yang besar sepanjang unggun katalis karena adanya pertukaran panas antara unggun katalis dan gas yang bereaksi. Pergerakan beda temperatur ini harus dipantau terus menerus, karena hal ini dapat menyebabkan gradien temperatur yang besar dan dapat merusak unggun katalis. Sistem kontrol operasi RABB adalah salah satu hambatan penerapan teknologi ini di industri (Baressi dkk., 1999). Pengoperasian sistem monitor dan kontrol diperlukan untuk menghindari pemadaman reaksi (extinction) serta kelebihan panas (overheating) pada unggun katalis (Dufour dkk., 2003). Selain itu, peralatan seperti kerangan yang dapat beroperasi pada frekuensi ubah (switching frequency) yang tinggi belum memadai, serta membutuhkan investasi yang mahal. II.6 Teknik Penghematan Energi di Reaktor Kimia Konsumsi energi merupakan salah satu faktor biaya produksi yang sangat diperhitungkan dalam industri. Reaktor adalah salah satu unit operasi yang konsumsi energinya tinggi, terutama jika beroperasi pada suhu tinggi dan reaksi bersifat endotermik. Berbagai upaya penghematan energi dilakukan untuk mengurangi konsumsi energi reaktor. Di antara upaya-upaya tersebut diantaranya reaktor dengan penukar panas eksternal, reaktor penukar panas terpadu (Heat Exchanger Reactor), serta RABB. II.6.1 Reaktor Autotermal dengan Penukar Panas Eksternal Reaktor autotermal dengan penukar panas ekternal berupa reaktor yang dilengkapi dengan pendingin pada bagian dalam reaktor. Hal ini bertujuan untuk menjaga temperatur di dalam reaktor konstan. Reaktor ini juga dilengkapi dengan suatu penukar panas. Konfigurasi reaktor seperti ini menurunkan kebutuhan energi untuk pemanas awal umpan. Panas reaksi yang terbawa oleh aliran keluaran reaktor diberikan kepada aliran umpan melalui sebuah penukar panas. Konfigurasi reaktor seperti ini memliki kelemahan. Jika kenaikan temperatur adiabatik di bawah 150°C, luas - 16 - permukaan pertukaran panas yang dibutuhkan sangat besar (Nieken, 1994). Konfigurasi rekator ini dapat dilihat pada Gambar II.4. Gambar II.4 Skema Reaktor autotermal dengan penukar panas eksternal (Berezowski dkk. 2000). II.6.2 Reaktor Aliran Bolak-Balik (RABB) Prinsip serta keunggulan RABB telah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Katalis yang digunakan dalam reaksi juga berfungsi sebagai medium penyimpan panas. Reaksi umumnya berlangsung pada suhu yang tinggi. Untuk mencapai suhu awal reaksi mulai berjalan (reaction ignition temperature), pada proses konvensional diperlukan suatu penukar panas diluar reaktor yang berperan sebagai pemanas awal (preheater). Selain itu, peran pendingin reaktor (cooler) dapat digantikan oleh aliran umpan segar. Aliran umpan segar pada saat siklus diubah memasuki bagian reaktor yang bersuhu tertinggi terlebih dahulu. II.7 Intensifikasi Proses Intensifikasi proses merupakan bahasan yang relatif baru dalam bidang keteknikkimiaan. Istilah “intensifikasi proses” diperkenalkan pada tahun 1980-an yang merujuk pada upaya-upaya yang dilakukan pada masa itu untuk meningkatkan unjuk kerja unit-unit operasi terutama dalam bidang perpindahan masa pada sistem gas-cair. Metode-metode yang dikembangkan mendorong untuk menciptakan pabrik kimia yang lebih kecil dalam segi ukuran, lebih murah dalam segi biaya, dan lebih aman bagi para operator. - 17 - Martins dkk. (2003) mendefinisikan intensifikasi proses sebagai strategi untuk meningkatkan efisiensi unit proses, misalnya dengan cara mengurangi bahan baku atau mengurangi konsumsi energi. Tujuan ini hanya dapat tercapai dengan memodifikasi proses yang telah ada atau mengembangkan suatu teknologi yang benar-benar baru. Dalam industri kimia, intensifikasi proses dapat diterapkan pada setiap tahap dari proses, antara lain: penyimpanan material, reaksi, proses pemisahan, hingga ke pengepakan produk (Jones, 1996). Intensifikasi proses dapat diimplementasikan dalam beberapa cara yaitu (Martins dkk., 2003): 1. Menggunakan unit operasi tertentu, contohnya penggunaan membran 2. Mengembangkan dan menemukan jalur-jalur reaksi baru yang menguntungkan 3. Memadukan proses, misal antara pengadukan dengan transfer panas RABB merupakan salah satu metode dalam intensifikasi proses. Konsep pengubahan arah aliran menjadi salah satu terobosan untuk menjaga kondisi permukaan katalis tetap aktif dan mencapai konversi dan distribusi produk yang lebih tinggi. Struktur intensifikasi proses3 ditunjukkan pada Gambar II.5. Gambar II.5 Struktur Intensifikasi Proses (Andrzej Stankiewicz, 2007). 3 dipaparkan di European Process Intensification Conference tahun 2007 - 18 - II.8 Pemodelan dan Simulasi Pemodelan adalah proses menerjemahkan masalah dalam bahasa umum ke dalam bahasa atau persamaan matematika, sehingga kaidah-kaidah matematika dapat diterapkan dalam menyelasaikan masalah dimaksud. Simulasi adalah suatu peniruan sesuatu yang nyata atau proses. Aksi melakukan simulasi sesuatu secara umum mewakilkan suatu karakteristik kunci atau kelakuan dari sistem-sistem fisik atau abstrak. Pemodelan RABB merupakan langkah awal dalam bagian simulasi komputer. Untuk menyederhanakan perhitungan dalam komputasi, neraca massa dimodelkan dalam bentuk tunak semu (pseudo steady-state) karena ketransienan massa terutama hanya terjadi sesaat ketika arah aliran dalam reaktor dibalik, sedangkan neraca energi dimodelkan dalam bentuk tak tunak penuh. Perbedaan bentuk model neraca massa dan energi tersebut juga didasarkan atas alasan bahwa keduanya memiliki skala waktu yang berbeda dalam merespon gangguan akibat pembalikan arah aliran. Dalam kasus ini, neraca momentum tidak dilibatkan dalam pemodelan karena hilang tekan untuk reaktor berskala laboratorium dirancang sekecil mungkin. Pada pemodelan dan simulasi, beberapa besaran yang diperlukan dalam perancangan reaktor akan dikaji seperti diameter reaktor, panjang katalis, panjang material inert, konfigurasi katalis-inert, skala waktu ”switching time”, temperatur umpan, dan waktu tinggal. Hasil-hasil simulasi ini akan divalidasi dengan datadata percobaan. Model homogen-semu (pseudohomogeneous model) merupakan salah satu model reaktor unggun diam yang dikembangkan dengan asumsi aliran berupa aliran sumbat dan kondisi isotermal. Dispersi aksial merupakan hal yang ditekankan pada keadaan ini. Koefisien dispersi diatur pada 10-7 m2/s, dan ini diperbolehkan karena tidak memberikan dampak terhadap hasil simulasi (Budhi dkk., 2004a). Bentuk model-model matematika untuk berbagai pendekatan disajikan dalam Tabel II.3. - 19 - Tabel II.3 Model persamaan satu dimensi pada RABB. Model homogen-semu (pseudohomogeneous model) ∂T ∂ 2T ∂T (ε g ρ g c g + ε s ρ s cs ) = λef 2 − ρ go c gU + (−ΔH )r ( x, T ) ∂t ∂l ∂l 0 = −Uρ go ∂x + r ( x, T ) ∂l (II.1) (II.2) Model perpindahan panas plug-flow dua fasa ((1 − ε ).ε g ρ g c g + ε s ρ s cs ) ε .ρ g c g ∂T g ∂t ∂Ts = α 0 .av .(Tg − Ts ) + (− ΔH )r ( x, Ts ) ∂t = − ρ go c g U 0 = −Uρ go ∂Tg ∂l − α 0 .a v .(T g − Ts ) ∂x + r ( x, T ) ∂l (II.3) (II.4) (II.5) Model perpindahan panas dan massa plug-flow dua fasa ∂Ts ∂ 2Ts ((1 − ε ).ε g ρ g c g + ε s ρ s cs ) = λs ,ef . 2 + α 0 .av .(Tg − Ts ) + η .(− ΔH )r ( xs , Ts ) ∂t ∂l ε .ρ g c g ∂T g ∂t = − ρ go c g U ∂Tg ∂l − α 0 .a v .(T g − Ts ) 0 = β 0 .av .ρ g .( x g − x s ) + η .r ( xs , Ts ) 0 = −Uρ go ∂x + β 0 .a v .ρ g .( x s − x g ) ∂l U (t ) = κ (t )u ( κ bernilai {+1} untuk arah kanan dan (II.6) (II.7) (II.8) (II.9) (II.10) {–1} untuk arah ke kiri) Boundary Conditions x= 1 − κ (t ) ∂T 1 + κ (t ) x dan λef = uc g ρ go (T − Tin ) untuk l = 0 2 ∂l 2 (II.11) ∂T 1 − κ (t ) =− uc g ρ go (T − Tin ) untuk l = L ∂l 2 (II.12) λef Catatan : arti simbol lihat di Daftar Notasi. - 20 -