BAB II TINJAUAN PUSTAKA M. Perdarahan Pasca Salin 3. Pengertian Perdarahan Pasca salin Secara tradisional, perdarahan pasca salin didefenisikan sebagai kehilangan 500 mL atau lebih setelah selesainya kala 3 persalinan (Cunningham, 2013 hal. 704). Perdarahan adalah kehilangan darah secara abnormal. Rata-rata kehilangan darah selama pelahiran pervaginam yang ditolong dokter obstetrik tanpa komplikasi lebih dari 500 ml; kehilangan darah rata-rata selama seksio sesaria sekitar 500 ml. Kehilangan darah rata-rata pelahiran pervaginam yang ditolong bidan diobservasi kurang dari 500 ml, tapi belum dipelajari dan diuji. Alasan yang mungkin untuk perbedaan ini adalah kenyataan bahwa bidan tidak secara rutin melakukan episiotomi dan telah menguasai seni pelahiran per vaginam yang ditolong dokter obstetrik tanpa komplikasi merefleksikan kehilangan darah akibat insiden episiotomi dan laserasi yang lebih tinggi (Varney, 2008 hal. 841). 4. Klasifikasi Perdarahan Pasca Salin Perdarahan pasca salin sekarang dapat dibagi menjadi: a. Perdarahan pasca salin primer ialah perdarahan≥ 500 cc pada 24 jam pertama setelah persalinan. Universitas Sumatera Utara b. Perdarahan pasca salin sekunder ialah perdarahan ≥ 500 cc setelah 24 jam persalinan (Sastrawinata, 2005 hal. 171). Hal-hal yang menyebabkan perdarahan pasca salin ialah 1) atonia uteri: 2) Perlukaan jalan lahir: 3) terlepasnya bagian plasenta dari uterus: 4) tertinggalnya sebagian dari plasenta umpamanya kotiledon atau plasenta suksenturiata. Kadang-kadang perdarahan disebabkan kelainan proses pembekuan darah akibat dari hipofibrinogene (Prawirohardjo, 2005 hal. 653) N. Anatomi dan Fisiologis Uterus Uterus berbentuk seperti buah advokat atau buah peer yang sedikit gepeng ke arah muka belakang: ukurannya sebesar telur ayam dan mempunyai rongga. Dindingnya terdiri atas otot-otot polos. Ukuran panjang uterus adalah 7-7,5 cm, lebar di atas 5,25 cm, tebal 2,5 cm, dan tebal dinding 1,25 cm. Letak uterus dalam keadaan fisiologis adalah anteversiofleksio (serviks ke depan dan membentuk sudut dengan vagina, demikian pula korpus uteri ke depan dan membentuk sudut dengan serviks uteri) (Prawirohardjo, 2005 hal. 36). Uterus terdiri atas fundus uteri, korpus uteri, serviks uteri. Fundus uteri adalah bagian uterus proximal, disitu kedua tuba fallopii masuk ke uterus. Di dalam klinik perlu diketahui sampai di mana fundus uteri berada, oleh karena tuanya kehamilan dapat diperkirakan dengan perabaan pada fundus uteri. Korpus uteri adalah bagian uterus yang terbesar. Pada kehamilan bagian ini mempunyai fungsi utama sebagai tempat janin berkembang. Rongga yang terdapat di korvus uteri disebut kavum uteri Universitas Sumatera Utara (rongga rahim). Serviks uteri atas: 1) pars vaginalis servisis uteri yang dinamakan porsio, 2) pars supravaginalis servisis uteri yaitu bagian serviks yang berada diatas vagina (Prawirohardjo, 2009) Uterus selama kehamilan mengalami pertumbuhan yang luar biasa akibat hipertrofi serabut otot. Beratnya bertambah mulai dari 70 g saat tidak hamil menjadi sekitar 1100 g saat hamil aterm. Rata-rata volume totalnya adalah 5 L. Seiring dengan berlangsungnya perkembangan, fundus uteri yang sebelumnya berbentuk cembung memipih diantara kedua insersi tuba, kini berbentuk kubah. Ligamentum rotundum tampaknya sekarang melekat pada pertautan sepertiga tengah dan sepertiga atas uterus. Tuba fallopi memanjang, tapi ovarium tidak banyak berubah (Cunningham, 2013 hal. 42). O. Epidemiologi 2. Insiden Penyebab langsung kematian ibu di Indonesia, 80 % karena komplikasi obstetri dan 20 % oleh sebab lainnya (Depkes, 2010). Pola penyebab kematian maternal yang menunjukkan adanya peningkatan dari Studi Mortalitas dan Riskerdas 2007 adalah perdarahan post partum/hemorrhagi postpartum, abortus dan long (Sarimawar, 2011). Universitas Sumatera Utara P. Perdarahan Pasca Salin Primer 1. Pengertian Perdarahan Pasca Salin Primer Perdarahan pasca salin primer ialah perdarahan≥ 500 cc pada 24 jam pertama setelah persalinan (Sastrawinata,2005 hal.171). Q. Gambaran Klinis Perdarahan Pasca Salin Primer Gambaran klinisnya berupa perdarahan terus-menerus dan keadaan pasien secara berangsur-angsur menjadi semakin jelek. Denyut nadi menjadi cepat dan lemah; tekanan darah menurun; pasien berubah pucat dan dingin; dan nafasnya menjadi sesak, terengah-engah, berkeringat dan akhirnya coma serta meninngal dunia. Situasi yang berbahaya adalah kalau denyut nadi dan tekanan darah hanya memperlihatkan sedikit perubahan untuk beberapa saat karena adanya mekanisme kompensasi vaskuler. Kemudian fungsi kompensasi ini tidak bisa dipertahankan lagi, denyut nadi meningkat dengan cepat, tekanan darah tiba-tiba turun, dan pasien dalam keadaan shoek. Uterus dapat terisi darah dalam jumlah yang cukup banyak sekalipun dari luar hanya terlihat sedikit (Oxorn, 2010 hal. 412). R. Diagnosis Perdarahan Pasca Salin Primer Menurut Prawirohardjo (2005 hal 654), diagnosis biasanya tidak sulit, terutama apabila timbul perdarahan banyak dalam waktu pendek. Tetapi bila perdarahan sedikit dalam waktu lama, tanpa disadari penderita telah kehilangan banyak darah sebelum ia tampak pucat. Nadi serta pernapasan menjadi lebih cepat dan tekanan darah menurun. Seorang wanita hamil yang sehat dapat kehilangan darah sebanyak 10% dari volume total tanpa Universitas Sumatera Utara mengalami gejala-gejala klinik, gejala-gejala baru tampak pada kehilangan darah 20%. Jika perdarahan berlangsung terus, dapat timbul syok. Diagnosis perdarahan pasca persalinan dipermudah apabila pada tiap-tiap persalinan – setelah anak lahir – secara rutin diukur pengeluaran darah dalam kala III dan satu jam sesudahnya. Apabila terjadi perdarahan pasca salin dan plasenta belum lahir, perlu diusahakan untuk melahirkan plasenta dengan segera. Jikalau plasenta sudah lahir, perlu dibedakan antara perdarahan akibat atonia uteri atau perdarahan akibat perlukaan jalan lahir. Pada perdarahan akibat atonia, uterus membesar dan lembek pada palpasi, sedang pada perdarahan karena perlukaan, uterus berkontraksi dengan baik. Dalam hal uterus berkontraksi dengan baik perlu diperiksa lebih lanjut tentang adanya dan dimana letaknya perlukaan dalam jalan lahir. Pada persalinan di rumah sakit, dengan fasilitas yang baik untuk melakukan transfusi darah, seharusnya kematian karena perdarahan pasca persalinan dapat dicegah. Tetapi kematian tidak selalu dapat dihindarkan, terutama apabila penderita masuk rumah sakit dalam keadaan syok karena sudah kehilangan darah banyak. Karena persalinan di Indonesia sebagian terjadi diluar rumah sakit, perdarahan pasca salin merupakan sebab utama (terpenting) kematian dalam persalinan. S. Etiologi Banyak faktor potensial yang mnyebabkan perdarahan pasca salin,faktor-faktor yang menyebab kan perdarahan pasca salin primer antara lain: Universitas Sumatera Utara 1. Tone Dimished : Atonia Uteri Perdarahan pasca salin bisa dikendalikan melalui kontraksi dan retraksi serat-serat myometrium. Kontraksi dan retraksi ini menyebabkan terlipatnya pembuluh-pembuluh darah sehingga aliran darah ketempat placenta menjadi terhenti. Kegagalan mekanisme akibat gangguan fungsi myometrium dinamakan atonia uteri dan keadaan ini menjadi penyebab utama perdarahan pasca salin. Sekalipun pada kasus perdarahan pasca salin kadang-kadang sama sekali tidak disangka atonia uteri sebagai penyebabnya, namun adanya faktor predisposisi dalam banyak hal harus menimbulkan kewaspadaan dokter terhadap kemungkinan gangguan tersebut (Oxorn, 2010 hal 413). Menurut (Varney, 2008 hal. 842), atonia uteri dan kemungkinan perdarahan pasca salin primer pada wanita normal sebenarnya dapat di antisipasi segera sebelum pelahiran terjadi. Kondisi ini harus diwaspadai bidan mengingat potensi perdarahan pasca salin primer berhubungan dengan atonia uteri: a. Distensi berlebihan pada uterus (kehamilan kembar, polihidramnion, atau bayi kembar) b. Induksi oksitosin atau augmentasi c. Persalinan dan pelahiran cepat atau presipitatus d. Kala satu dan dua persalinan yang memanjang e. Grand multiparitas f. Riwayat atonia uteri/perdarahan pasca salin pada saat melahirkan anak sebelumnya Universitas Sumatera Utara g. Penggunaan agens relaksan uterus, seperti magnesium sulfat dan terbutalin. 2. Tissue d. Retensio Plasenta Apabila plasenta belum lahir setengah jam setelah janin lahir, hal itu dinamakan retensio plasenta. Sebab-sebabnya ialah: a) plasenta belum lepas dari dinding uterus, atau b) plasenta sudah lepas tapi belum dilahirkan (Prawirohardjo,2005 hal 656). Retensio plasenta atau seluruh plasenta dalam rahim akan mengganggu kontraksi dan retraksi, menyebabkan sinus-sinus darah tetap terbuka, dan menimbulkan perdarahan pasca salin. Begitu bagian plasenta terlepas dari dinding uterus, perdarahan terjadi didaerah itu. Bagian plasenta yang masih melekat merintangi retraksi myometrium dan perdarahan berlangsung terus sampai sisa organ tersebut terlepas serta dikeluarkan (Oxorn, 2010 hal 415). Retensio plasenta, seluruh atau sebagian, lobus succenturiata, sebuah kotiledon, atau suatu fragmen plasenta dapat menyebabkan perdarahan pasca salin. Tidak ada korelasi antara banyaknya plasenta yang masih melekat dan banyaknya perdarahan. Hal yang perlu dipertimbangkan adalah derajat perlekatannya (Oxorn, 2010 hal 415). Plasenta yang sukar lepas karena his kurang kuat, tempatnya (insersi di sudut tuba), bentuknya (plasenta membranesa, plaenta anularis), dan ukurannya (plasenta sangat kecil) disebut plasenta adhesiva. Pada plasenta akreta vili korialis menanamkan diri lebih dalam ke dinding rahim. Vili korialis yang sampai masuk ke dalam lapisan otot rahim disebut plasenta Universitas Sumatera Utara inkreta, sedangkan vili korialis yang menembus lapisan otot dan mencapai serosa atau menembusnya plasenta tersebut dinamakan plasenta perkreta ( Sastrawinata, 2005 hal 176). Menurut Prawirohardjo (2005 hal. 657) penanganan retensio plasenta yaitu apabila plasenta belum lahir ½ jam setelah anak lahir, harus diusahakan untuk mengeluarkannya. Dapat dicoba dahulu perasat menurut Crade. Tindakan ini sekarang tidak banyak dianjurkan karena memungkinkan terjadinya inversio uteri, tekanan yang keras pada uterus dapat pula menyebabkan perlukaan pada otot uterus dan rasa nyeri keras dengan kemungkinan syok. Akan tetapi dengan teknik yang sempurna halhal yang dapat dihindarkan. Salah satu cara lain untuk membantu pengeluaran plasenta adalah cara Brandt. Dengan salah satu tangan, penolong memegang tali pusat dekat vulva. e. Sisa Plasenta Menurut Faisal (2008) Sewaktu suatu bagian dari sisa plasenta tertinggal maka uterus tidak bisa berkontraksi secara efektif dan ini dapat menimbulkan perdarahan. Perdarahan pasca salin yang terjadi segera jarang disebabkan oleh retensi potongan-potongan kecil plasenta. Inspeksi segera plasenta setelah persalinan bayi harus menjadi tindakan rutin. Jika ada bagian plasenta yang hilang, uterus harus dieksplorasi dan harus dikeluarkan. f. Plasenta Akreta dan Variasinya Pada plasenta akreta vili korialis menanamkan diri lebih dalam ke dinding rahim. Vili korialis yang sampai masuk ke dala lapisan otot rahim disebut plasenta inkreta, sedangkan vili korialis yang menembus lapisan otot Universitas Sumatera Utara dan mencapai serosa atau menembusnya plasenta tersebut dinamakan plasenta perkreta. Plasenta akreta da yang kompleta, yaitu jika seluruh permukaannya melekat dengan erat di dinding rahim. Plasenta akreta persialis, yaitu jika hanya beberapa bagian dari permukaannya lebih erat berhubungan dengan dinding rahim dari biasa. Plasenta akreta yang kompleta, inkreta, dan perkreta jarang terjadi. Penyebab plasenta akreta adalah kelainan desidua yang menyebabkan retensio plasenta ( Sastrawinata, 2005 hal. 176). 3. Trauma c. Robekan Jalan Lahir Menurut (Oxorn, 2010 hal. 414) Perdarahan yang cukup banyak dapat terjadi dari robekan yang dialami selam proses melahirkan baik yang normal maupun dengan tindakan. Jalan lahir harus diinspeksi sesudah tiap kelahiran selesai sehingga sumber perdarahan dapat dikendalikan. Tempat-tempat perdarahan yang mencakup: 1) Episiotomi, kehilangan darah dapat mencapai 200 ml. Kalau arteriole atau vena verikosa yang besar turut terpotong atau robek, darah yang keluar darah dapat berjumlah lebih banyak lagi. Karena itu pembuluh darah yang putus harus segera dijepit dengan klem untuk mencegah keholangan darah. 2) Vulva, vagina, dan servikx. 3) Uterus yang ruptur. 4) Inversio Uteri 5) Hematoma pada masa nifas. Universitas Sumatera Utara Disamping itu, ada faktor-faktor lain yang turut menyebabkan kehilangan darah secara berlebihan kalau terdapat trauma pada jalan lahir. Faktor-faktor ini mencakup: 1) Interval yang lama antara dilakukannya episiotomi dan kelahiran anak. 2) Perbaikan episiotomi setelah bayi dilahirkan tanpa semestinya ditunggu terlampau lama. 3) Pembuluh darah yang putus pada puncak episiotomi tidak berhasil dijahit. 4) Pemeriksaan inspeksi lupa dikerjakan pada cervix dan vagina bagian atas 5) Kemungkinan terdapatnya beberapa tempat cedera tidak terpikirkan. 6) Ketergantungan pada obat-obat oxytocic yang disertai penundaan terlampau lama dalam mengeksplorasi uterus. d. Inversio Uteri Menurut (Sastrawinata, 2005 hal. 176) Pada inversio uteri, uterus berputar balik sehingga fundus uteri terdapat dalam vagina dengan selaput lendirnya sebelah luar. Keadaan ini disebut inversio uteri komplet. Jika hanya fundus menekuk ke dalam dan tidak keluar ostium uteri, disebut inversio uteri inkomplet. Jika uterus yang berputar balik itu keluar dari vulva, disebut inversio prolaps. Inversio jarang terjadi, tetapi jika terjadi dapat menimbulkan syok yang berat. Tiga faktor diperlukan untuk terjadinya inversio uteri: 1) Tonus otot rahim yang lemah. 2) Tekanan atau tarikan pada fundus (tekanan intraabdominal, tekanan dengan tangan, dan tarikan pada tali pusat). Universitas Sumatera Utara 3) Kanalis servikalis yang longgar. Menurut Cunningham (2013 hal. 712) tertundanya penanganan akan sangat meningkatkan angka kematian . Sejumlah langkah perlu dilakukan segera dan secara simultan: 1) Asisten, termasuk ahli anestesiologi, segera dipanggil 2) Uterus yang baru mengalami inversi dengan plasenta yang sudah terlepas mungkin dengan mudah dapat dikembalikan dengan cara mendorong fundus dengan telapak tangan dan jari tangan mengarah ke sumbu panjang vagina. 3) Sebaiknya di pasang dua sistem infus intravena, dan pasien diberi larutan ringer laktat serta darah untuk mengatasi hipovelemia. 4) Apabila masih melekat, plasenta jangan dilepas sampai sistem infus terpasang, cairan dialirkan, dan anestesia, sebaiknya halotan atau enfluran telah dibeikan. Obat tokolitik, misalnya berbutalin, ritodrin, atau magnesium sulfat, dilaporkan berhasil digunakan untuk relaksasi uterus dan reposisi (Catanzarite dkk.,1986). Sementara itu, uterus megalami inversio, apabila prolapsnya melebihi vagina, dimasukkandalam vagina. 5) Setelah plasenta dikeluarkan, telapak tangan diletakkan di bagian tengah fundus dengan jari terekstensi untuk mengidentifikasi tepi-tepi serviks. Kemudian dilakukan tekanan dengan tangan sehingga fundus terdorong ke atas melalui serviks. 6) Segera setelah uterus dikembalikan ke posisi normalnya, obat yang digunakan untuk relaksasi dihentikan dan secara bersamaan pasien diberi oksitosin agar uterus berkontraksi sementara operator mempertahankan fundus dalam posisi normal. Universitas Sumatera Utara 4. Trombin b. Kelainan Perdarahan Setiap penyakit hemorrhagik (blood dyscrasias) dapat diderita oleh wanita hamil dan kadang-kadang menyebabkan perdarahan pasca salin. Afibrinogenemia atau hipofibrinogemia dapat terjadi setelah abruptio plasenta, retensio janin-mati yang lama di dalam rahim, dan pada emboli cairan air ketuban. Salah satu teori etiologik mempostulasikan bahwa bahan thrompoblastik yang timbul dari degenerasi dan autologis decidua serta plasenta dapat memasuki sirkulasi maternal dan dapat menimbulkan koagulasi intravaskuler serta penurunan fibrinogen yang beredar. Keadaan tersebut, yaitu suatu kegagalan pada mekanisme pembekuan, menyebabkan perdarahan yang tidak dapat dihentikan dengan tindakan yang biasanya dipakai untuk mengendalikan perdarahan (Oxorn, 2010 hal. 415). T. Faktor resiko Menurut Cunningham dalam penelitian Ismail (2011), Riwayat perdarahan pasca salin pada persalinan sebelumnya mempunyai faktor resiko yang paling besar sehingga segala upaya harus dilakukan untuk menentukan tingkat keparahan dan penyebabnya. Beberapa faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya perdarahan pasca salin meliputi penggunaan anestesi umum, rahim yang distensi berlebihan terutama dari kehamilan multipel, janin besar, atau polihidramnion, persalinan lama, persalinan yang terlalu cepat, penggunaan oksitosin untuk induksi persalinan, paritas tinggi terutamanya grande multiparitas, chorioamnionitis atau riwayat atoni pada kehamilan sebelumnya. Universitas Sumatera Utara Menurut Winkjosastro dalam penelitian Ismail (2011), Dalam kurun reproduksi sehat dikenal bahwa usia aman untuk kehamilan dan persalinan adalah 20-30 tahun. Kematian maternal pada wanita hamil dan melahirkan 25 kali lebih tinggi dari pada kematian maternal yang terjadi pada kematian maternal yang terjadi pada usia 20-29 tahun. Kematian maternal meningkat kembali setelah usia 30-35 tahun. Menurut penelitian Siswanto (2011), Jarak persalinan yang kurang dari 2 tahun mengakibatkan kelemahan dan kelelahan otot rahim, sehingga cenderung akan terjadi perdarahan postpartum. Bila jarak kelahiran dengan anak sebelumya kurang dari 2 tahun, kondisi rahim dan kesehatan ibu belum pulih dengan baik, sehingga cenderung mengalami partus lama, atau perdarahan pasca salin. Disamping itu persalinan yang berturut-turut dalam jarak waktu singkat mengakibatkan uterus menjadi fibrotik, sehingga mengurangi daya kontraksi dan retraksi uterus. Kondisi seperti ini berakibat terjadinya perdarahan pasca salin. Menurut Wiknjosastro didalam penelitian Sunarto (2010), Kekurangan kadar haemoglobin dalam darah mengakibatkan kurangnya oksigen yang di bawa / ditransfer ke sel tubuh maupun sel otak dan uterus. Jumlah oksigen dalam darah yang kurang menyebabkan otot-otot uterus tidak dapat berkontraksi dengan adekuat sehingga timbul atonia uteri yang mengakibatkan perdarahan banyak. Pada wanita hamil, anemia meningkatkan frekuensi komplikasi pada kehamilan persalinan dan nifas. Pengaruh anemia saat kehamilan dapat berupa abortus, persalinan prematur, perdarahan antepartum dan ketuban pecah dini. Pengaruh anemia saat persalinan dapat berupa gangguan his, partus lama dan perdarahan karena atonia uteri. Universitas Sumatera Utara Pengaruh anemia saat masa nifas adalah subinvolusi uterus, infeksi puerpureal, air susu ibu (ASI) berkurang, dan decompensasi cordis. Disamping menyebabkan kematian, perdarahan post partum memperbesar kemungkinan infeksi puerpureal dan anemia yang berkelanjutan. U. Penanganan Perdarahan Pasca Salin Primer Menurut Prawirohardjo (2005 hal 654-655), terapi terbaik ialah pencegahan. Anaemia dalam kehamilan harus diobati karena perdarahan dalam batas-batas normal dapat membahayakan penderita yang sudah menderita anemia. Apabila sebelumnya penderita sudah pernah mengalami perdarahan pascasalin, persalinan harus berlangsung di rumah sakit. Kadar fibrinogen perlu diperiksa pada perdarahan banyak, kematian janin dalam uterus dan solusio plasenta. Dalam kala III uterus jangan dipijat dan didorong ke bawah sebelum plasenta lepas dari dindingnya. Penggunaan oksitosin sangat penting untuk mencegah perdarahan pasca salin. 10 IU oksitosin diberikan intramuskulus segera setelah anak lahir untuk mempercepat pelepasan plasenta. Sesudah plasenta lahir hendaknya diberikan 0,2 mg ergometrin, intramuskulus. Kadang-kadang pemberian ergometrin, setelah bahu depan bayi lahir pada persentasi kepala, menyebabkan plasenta terlepas segera setelah bayi seluruhnya lahir, dengan tekanan pada fundus uteri plasenta dapat dikeluarkan dengan segera tanpa banyak perdarahan. Namun salah satu kerugian dari pemberian ergometrin (trepping) terhadap bayi kedua pada persalinan gamelli yang tidak diketahui sebelumnya. Pada perdarahan yang timbul setelah lahir dua hal yang harus dilakukan, yakni menghentikan Universitas Sumatera Utara perdarahan secepat mungkin dan mengatasi akibat perdarahan. Jika plasenta belum lahir, segera lakukan tindakan untuk mngeluarkannya. Bahaya perdarahan pasca salin ada dua. Pertama, anemia yang diakibatkan perdarahan tersebut memperlemah keadaan pasien, menurunkan daya tahannya dan menjadi faktor predisposisi terjadinya infeksi nifas. Kedua, jika kehilangan darah ini tidak dihentikan, akibat akhir tentu saja kematian (Oxorn, 2010 hal. 413). V. Manajemen Aktif Kala III Manajemen aktif kala tiga terdiri dari tiga langkah utama di dalam APN (2008 hal 101-106): 1. Pemberian Suntikan Oksitosin a. Letakkan bayi baru lahir diatas kain yang telah disiapkan di perut bawah ibu dan minta ibu atau pendampingnya untuk membantu memegang bayi tersebut b. Pastikan tidak ada bayi lain di dalam uterus c. Beritahu ibu bahwa ia akan disuntik d. Segera (dalam 1 menit pertama setelah bayi lahir) suntikkan oksitosin 10 unit IM pada 1/3 bagian atas paha bagian luar e. Dengan mengerjakan semua prosedur tersebut terlebih dahulu maka akan memeberi cukup waktu pada bayi untuk memperoleh sejumlah darah kaya zat besi dan setelah itu (setelah 2 menit) baru dilakukan tindakan penjepitan dan pemotongan tali pusat f. Serahkan bayi yang telah terbungkus kain pada ibu untuk inisiasi menyusui dini dan kontak kulit-kulit dengan ibu Universitas Sumatera Utara g. Tutup kembali perut bawah ibu dengan kain bersih 2. Penegangan Tali Pusat Terkendali a. Berdiri di samping ibu b. Pindahkan klem (penjepit untuk memotong tali pusat saat kala dua) pada tali pusat sekitar 5-10 cm dari vulva c. Letakkan tangan yang lain pada abdomen ibu (beralaskan kain) tepat diatas simfisis pubis. Gunakan tangan ini untuk meraba kontraksi uterus dan menahan uterus pada saat melakukan penegangan pada tali pusat. Setelah terjadi kontraksi yang kuat, tegangkan tali pusat dengan satu tangan dan tangan yang lain (pada dinding abdomen) menekan uterus ke arah lumbal dan kepala ibu (dorso kranial). Lakukan secara hati-hati untuk mencegah terjadinya inversio uteri d. Bila plasenta belum lepas, tunngu hingga uterus berkontarksi kembali (sekitar 2-3 menit berselang) untuk mengulangi kembali penanganan tali pusat terkendali e. Saat mulai kontraksi (uterus menjadi bulat dan tali pusat menjulur) tegangkan tali pusat ke arah bawah, lakukan tekanan dorso-kranial hingga tali pusat makn menjulur dan korpus uteri bergerak keatas yang menandakan plasenta telah lepas dan dapat dilahirkan. f. Tetapi jika langkah (e) diatas tidak berjaln sebagaimana mestinya dan plasenta tidak turun setelah 30-40 detik dimulainya penegangan tali pusat dan tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan lepasnya plasenta, jangan teruskan penegangan tali pusat. 1) Pegang klem dan tali pusat dengan lembut dan tunggu sampai kontraksi berikutnya. Jika perlu, pindahkan klem lebih dekat ke Universitas Sumatera Utara perineum pada saat tali pusat memanjang. Pertahankan kesabaran pada saat melahirkan plasenta. 2) Pada saat kontraksi berikutnya terjadi, ulangi penegangan tali pusat terkendali dan tekanan dorso-kranial pada korpus uteri secara serentak. Ikuti langkah-langkah tersbut pada setiap kontraksi hingga terasa plasenta terlepas dari dinding uterus. g. Setelah plasenta terlepas, anjurkan ibu untuk meneran agar plasenta terdorong keluar melalui introitus vagina. Tetap tegangkan tali pusat dengan arah sejajar lantai (mengikuti poros jalan lahir). h. Pada saat plasenta terihat pada introitus vagina, lahirkan plasenta dengan mengangkat tali pusat ke atas dan menopang plasenta dengan tangan lainnya untuk meletakkan dalam wadah penampung. Karena selaput ketuban mudah robek; pegang plasenta degan kedua tangan dan secara lembut putar plasenta hingga selaput ketuban terpilin menjadi satu. i. Lakukan penarikan secara lembut dan perlahan-lahan untuk melahirkan selaput ketuban. j. Jika selaput ketuban robek dan tertinggal di jalan lahir saat melahirkan plasenta, dengan hati-hati periksa vagina dan serviks dengan seksama. Gunakan jari-jari tangan anda atau klem DTT atau steril atau forsep untuk keluarkan selaput ketuban yang teraba. 3. Rangsangan Taktil (Masase) Fundus Uteri a. Letakkan telapak tangan pada fundus uteri Universitas Sumatera Utara b. Jelaskan tindakan kepada ibu, katakan bahwa ibu mungkin merasa agak tidak nyaman karena tindakan yang di berikan. Anjurkan ibu untuk menarik napas dan perlahan serta rileks. c. Dengan lembut tapi mantap gerakkan tangan dengan arah memutar pada fundus uteri supaya uterus berkontraksi. Jika uterus tidak berkontraksi dalam waktu 15 detik, lakukan penatalaksanaan atonia ueteri. d. Periksa plasenta dan selaputmya untuk memastikan keduanya lengkap dan utuh e. Periksa uterus setelah satu hingga dua menit untuk memastikan uterus berkontraksi, jika uterus masih tidak belum berkontraksi baik, ulangi masase fundus teri. Ajarkan ibu dan keluarganya cara melakukan masase uterus sehingga mampu untuk segera mengetahui jika uterus tidak berkontraksi dengan baik. f. Periksa kontraksi uterus setiap 15 menit salama satu jam pertama pasca persalinan dan setiap 30 menit salama satu jam kedua pasca persalinan. W. Paritas 1. Pengertian Paritas Para atau paritas adalah seorang wanita yang pernah melahirkan bayi yang dapat hidup (Prawirohardjo, 2006 hal 180). Menurut Prawirohardjo (2005) paritas dapat dibagi menjadi: a. Primipara Primipara adalah seseorang yang hamil pertama sekali. Universitas Sumatera Utara b. Nullipara Nullipara adalah seseorang yang belum pernah melahirkan bayi yang viable (dapat hidup) untuk pertama sekali. c. Multipara atau pleuripara Multipara atau pleuripara adalah seorang wanita yang pernah melahirkan bayi yang viable untuk beberapa kali. d. Grandemultipara Grandemultipara adalah seorang wanita yang telah melahirkan 5 orang anak tau lebih. X. Mekanisme Terjadinya Perdarahan Postpartum Primer Yang Berhubungan Dengan Paritas Perdarahan pasca salin sering disebabkan oleh kegagalan uterus untuk berkontaraksi secara memadai setelah pelahiran. Pada banyak kasus, perdarahan pasca salin dapat diperkirakan sebelum pelahiran (Cunningham, 2006). Menurut Winkjosastro (2005), Paritas 2-3 merupakan paritas paling aman ditinjau dari sudut perdarahan pasca persalinan yang dapat mengakibatkan kematian maternal. Paritas satu dan paritas tinggi (lebih dari 3) mempunyai angka kejadian tinggi. Lebih tinggi paritas, maka lebih tinggi kematian maternal. Risiko pada paritas satu dapat dilayani dengan asuhan obstetrik yang lebih baik, sedangkan risiko pada paritas tinggi dapat dikurangi atau dicegah dengan keluarga berencana. Sebagian kehamilan pada paritas tinggi adalah tidak direncanakan (Ying, 2011) Universitas Sumatera Utara Paritas tinggi merupakan faktor risiko atonia uteri. Fuchs dkk. (1985) menguraikan keluaran pada hampir 5800 wanita para 7 atau lebih. Mereka melaporkan bahwa insiden perdarahan pasca salin 2,7 persen adalah meningkat empat kali lipat dibandingkan dengan populasi obstetri umum. Babinszki dkk. (1999) melaporkan insiden perdarahan pasca salin sebesar 0,3 persen pada wanita dengan paritas rendah , tetapi 1,9 persen pada mereka dengan para 4 atau lebih (Cunningham, 2013 hal. 814). Pada multiparitas, uterus yang telah melahirkan banyak anak cenderung bekerja tidak efesien dalam semua kala persalinan (Oxorn, 2010 hal. 414) Universitas Sumatera Utara