BAB II TINJAUAN PUSTAKA M. Perdarahan Pasca Salin 3

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
M. Perdarahan Pasca Salin
3. Pengertian Perdarahan Pasca salin
Secara tradisional, perdarahan pasca salin didefenisikan sebagai
kehilangan 500 mL atau lebih setelah selesainya kala 3 persalinan
(Cunningham, 2013 hal. 704).
Perdarahan adalah kehilangan darah secara abnormal. Rata-rata
kehilangan darah selama pelahiran pervaginam yang ditolong dokter
obstetrik tanpa komplikasi lebih dari 500 ml; kehilangan darah rata-rata
selama seksio sesaria sekitar 500 ml. Kehilangan darah rata-rata pelahiran
pervaginam yang ditolong bidan diobservasi kurang dari 500 ml, tapi belum
dipelajari dan diuji. Alasan yang mungkin untuk perbedaan ini adalah
kenyataan bahwa bidan tidak secara rutin melakukan episiotomi dan telah
menguasai seni pelahiran per vaginam yang ditolong dokter obstetrik tanpa
komplikasi merefleksikan kehilangan darah akibat insiden episiotomi dan
laserasi yang lebih tinggi (Varney, 2008 hal. 841).
4. Klasifikasi Perdarahan Pasca Salin
Perdarahan pasca salin sekarang dapat dibagi menjadi:
a.
Perdarahan pasca salin primer ialah perdarahan≥ 500 cc pada 24 jam
pertama setelah persalinan.
Universitas Sumatera Utara
b.
Perdarahan pasca salin sekunder ialah perdarahan ≥ 500 cc setelah 24
jam persalinan (Sastrawinata, 2005 hal. 171).
Hal-hal yang menyebabkan perdarahan pasca salin ialah 1) atonia
uteri: 2) Perlukaan jalan lahir: 3) terlepasnya bagian plasenta dari uterus: 4)
tertinggalnya sebagian dari plasenta umpamanya kotiledon atau plasenta
suksenturiata. Kadang-kadang perdarahan disebabkan kelainan proses
pembekuan darah akibat dari hipofibrinogene (Prawirohardjo, 2005 hal.
653)
N. Anatomi dan Fisiologis Uterus
Uterus berbentuk seperti buah advokat atau buah peer yang sedikit
gepeng ke arah muka belakang: ukurannya sebesar telur ayam dan
mempunyai rongga. Dindingnya terdiri atas otot-otot polos. Ukuran panjang
uterus adalah 7-7,5 cm, lebar di atas 5,25 cm, tebal 2,5 cm, dan tebal
dinding 1,25 cm. Letak uterus dalam keadaan fisiologis adalah
anteversiofleksio (serviks ke depan dan membentuk sudut dengan vagina,
demikian pula korpus uteri ke depan dan membentuk sudut dengan serviks
uteri) (Prawirohardjo, 2005 hal. 36).
Uterus terdiri atas fundus uteri, korpus uteri, serviks uteri. Fundus
uteri adalah bagian uterus proximal, disitu kedua tuba fallopii masuk ke
uterus. Di dalam klinik perlu diketahui sampai di mana fundus uteri berada,
oleh karena tuanya kehamilan dapat diperkirakan dengan perabaan pada
fundus uteri. Korpus uteri adalah bagian uterus yang terbesar. Pada
kehamilan bagian ini mempunyai fungsi utama sebagai tempat janin
berkembang. Rongga yang terdapat di korvus uteri disebut kavum uteri
Universitas Sumatera Utara
(rongga rahim). Serviks uteri atas: 1) pars vaginalis servisis uteri yang
dinamakan porsio, 2) pars supravaginalis servisis uteri yaitu bagian serviks
yang berada diatas vagina (Prawirohardjo, 2009)
Uterus selama kehamilan mengalami pertumbuhan yang luar biasa
akibat hipertrofi serabut otot. Beratnya bertambah mulai dari 70 g saat tidak
hamil menjadi sekitar 1100 g saat hamil aterm. Rata-rata volume totalnya
adalah 5 L. Seiring dengan berlangsungnya perkembangan, fundus uteri
yang sebelumnya berbentuk cembung memipih diantara kedua insersi tuba,
kini berbentuk kubah. Ligamentum rotundum tampaknya sekarang melekat
pada pertautan sepertiga tengah dan sepertiga atas uterus. Tuba fallopi
memanjang, tapi ovarium tidak banyak berubah (Cunningham, 2013 hal.
42).
O. Epidemiologi
2. Insiden
Penyebab langsung kematian ibu di Indonesia, 80 % karena
komplikasi obstetri dan 20 % oleh sebab lainnya (Depkes, 2010). Pola
penyebab kematian maternal yang menunjukkan adanya peningkatan dari
Studi
Mortalitas
dan
Riskerdas
2007
adalah
perdarahan
post
partum/hemorrhagi postpartum, abortus dan long (Sarimawar, 2011).
Universitas Sumatera Utara
P. Perdarahan Pasca Salin Primer
1. Pengertian Perdarahan Pasca Salin Primer
Perdarahan pasca salin primer ialah perdarahan≥ 500 cc pada 24 jam
pertama setelah persalinan (Sastrawinata,2005 hal.171).
Q. Gambaran Klinis Perdarahan Pasca Salin Primer
Gambaran klinisnya berupa perdarahan terus-menerus dan keadaan
pasien secara berangsur-angsur menjadi semakin jelek. Denyut nadi menjadi
cepat dan lemah; tekanan darah menurun; pasien berubah pucat dan dingin;
dan nafasnya menjadi sesak, terengah-engah, berkeringat dan akhirnya coma
serta meninngal dunia. Situasi yang berbahaya adalah kalau denyut nadi dan
tekanan darah hanya memperlihatkan sedikit perubahan untuk beberapa saat
karena adanya mekanisme kompensasi vaskuler. Kemudian fungsi
kompensasi ini tidak bisa dipertahankan lagi, denyut nadi meningkat dengan
cepat, tekanan darah tiba-tiba turun, dan pasien dalam keadaan shoek.
Uterus dapat terisi darah dalam jumlah yang cukup banyak sekalipun dari
luar hanya terlihat sedikit (Oxorn, 2010 hal. 412).
R.
Diagnosis Perdarahan Pasca Salin Primer
Menurut Prawirohardjo (2005 hal 654), diagnosis biasanya tidak sulit,
terutama apabila timbul perdarahan banyak dalam waktu pendek. Tetapi
bila perdarahan sedikit dalam waktu lama, tanpa disadari penderita telah
kehilangan banyak darah sebelum ia tampak pucat. Nadi serta pernapasan
menjadi lebih cepat dan tekanan darah menurun. Seorang wanita hamil yang
sehat dapat kehilangan darah sebanyak 10% dari volume total tanpa
Universitas Sumatera Utara
mengalami gejala-gejala klinik, gejala-gejala baru tampak pada kehilangan
darah 20%. Jika perdarahan berlangsung terus, dapat timbul syok. Diagnosis
perdarahan pasca persalinan dipermudah apabila pada tiap-tiap persalinan –
setelah anak lahir – secara rutin diukur pengeluaran darah dalam kala III dan
satu jam sesudahnya.
Apabila terjadi perdarahan pasca salin dan plasenta belum lahir, perlu
diusahakan untuk melahirkan plasenta dengan segera. Jikalau plasenta sudah
lahir, perlu dibedakan antara perdarahan akibat atonia uteri atau perdarahan
akibat perlukaan jalan lahir. Pada perdarahan akibat atonia, uterus
membesar dan lembek pada palpasi, sedang pada perdarahan karena
perlukaan, uterus berkontraksi dengan baik. Dalam hal uterus berkontraksi
dengan baik perlu diperiksa lebih lanjut tentang adanya dan dimana letaknya
perlukaan dalam jalan lahir. Pada persalinan di rumah sakit, dengan fasilitas
yang baik untuk melakukan transfusi darah, seharusnya kematian karena
perdarahan pasca persalinan dapat dicegah. Tetapi kematian tidak selalu
dapat dihindarkan, terutama apabila penderita masuk rumah sakit dalam
keadaan syok karena sudah kehilangan darah banyak. Karena persalinan di
Indonesia sebagian terjadi diluar rumah sakit, perdarahan pasca salin
merupakan sebab utama (terpenting) kematian dalam persalinan.
S. Etiologi
Banyak faktor potensial yang mnyebabkan perdarahan pasca
salin,faktor-faktor yang menyebab kan perdarahan pasca salin primer antara
lain:
Universitas Sumatera Utara
1.
Tone Dimished : Atonia Uteri
Perdarahan pasca salin bisa dikendalikan melalui kontraksi dan
retraksi serat-serat myometrium. Kontraksi dan retraksi ini menyebabkan
terlipatnya pembuluh-pembuluh darah sehingga
aliran darah ketempat
placenta menjadi terhenti. Kegagalan mekanisme akibat gangguan fungsi
myometrium dinamakan atonia uteri dan keadaan ini menjadi penyebab
utama perdarahan pasca salin. Sekalipun pada kasus perdarahan pasca salin
kadang-kadang sama sekali tidak disangka atonia uteri sebagai penyebabnya,
namun adanya faktor predisposisi dalam banyak hal harus menimbulkan
kewaspadaan dokter terhadap kemungkinan gangguan tersebut (Oxorn, 2010
hal 413).
Menurut (Varney, 2008 hal. 842), atonia uteri dan kemungkinan
perdarahan pasca salin primer pada wanita normal sebenarnya dapat di
antisipasi segera sebelum pelahiran terjadi. Kondisi ini harus diwaspadai
bidan mengingat potensi perdarahan pasca salin primer berhubungan dengan
atonia uteri:
a. Distensi berlebihan pada uterus (kehamilan kembar, polihidramnion, atau
bayi kembar)
b. Induksi oksitosin atau augmentasi
c. Persalinan dan pelahiran cepat atau presipitatus
d. Kala satu dan dua persalinan yang memanjang
e. Grand multiparitas
f. Riwayat atonia uteri/perdarahan pasca salin pada saat melahirkan anak
sebelumnya
Universitas Sumatera Utara
g. Penggunaan agens relaksan uterus, seperti magnesium sulfat dan
terbutalin.
2.
Tissue
d. Retensio Plasenta
Apabila plasenta belum lahir setengah jam setelah janin lahir, hal itu
dinamakan retensio plasenta. Sebab-sebabnya ialah: a) plasenta belum lepas
dari dinding uterus, atau b) plasenta sudah lepas tapi belum dilahirkan
(Prawirohardjo,2005 hal 656).
Retensio plasenta atau seluruh plasenta dalam rahim akan
mengganggu kontraksi dan retraksi, menyebabkan sinus-sinus darah tetap
terbuka, dan menimbulkan perdarahan pasca salin. Begitu bagian plasenta
terlepas dari dinding uterus, perdarahan terjadi didaerah itu. Bagian plasenta
yang masih melekat merintangi retraksi myometrium dan perdarahan
berlangsung terus sampai sisa organ tersebut terlepas serta dikeluarkan
(Oxorn, 2010 hal 415).
Retensio plasenta, seluruh atau sebagian, lobus succenturiata, sebuah
kotiledon, atau suatu fragmen plasenta dapat menyebabkan perdarahan
pasca salin. Tidak ada korelasi antara banyaknya plasenta yang masih
melekat dan banyaknya perdarahan. Hal yang perlu dipertimbangkan adalah
derajat perlekatannya (Oxorn, 2010 hal 415).
Plasenta yang sukar lepas karena his kurang kuat, tempatnya (insersi di
sudut tuba), bentuknya (plasenta membranesa, plaenta anularis), dan
ukurannya (plasenta sangat kecil) disebut plasenta adhesiva. Pada plasenta
akreta vili korialis menanamkan diri lebih dalam ke dinding rahim. Vili
korialis yang sampai masuk ke dalam lapisan otot rahim disebut plasenta
Universitas Sumatera Utara
inkreta, sedangkan vili korialis yang menembus lapisan otot dan mencapai
serosa atau menembusnya plasenta tersebut dinamakan plasenta perkreta (
Sastrawinata, 2005 hal 176).
Menurut Prawirohardjo (2005 hal. 657) penanganan retensio plasenta
yaitu apabila plasenta belum lahir ½ jam setelah anak lahir, harus
diusahakan untuk mengeluarkannya. Dapat dicoba dahulu perasat menurut
Crade.
Tindakan
ini
sekarang
tidak
banyak
dianjurkan
karena
memungkinkan terjadinya inversio uteri, tekanan yang keras pada uterus
dapat pula menyebabkan perlukaan pada otot uterus dan rasa nyeri keras
dengan kemungkinan syok. Akan tetapi dengan teknik yang sempurna halhal yang dapat dihindarkan. Salah satu cara lain untuk membantu
pengeluaran plasenta adalah cara Brandt. Dengan salah satu tangan,
penolong memegang tali pusat dekat vulva.
e.
Sisa Plasenta
Menurut Faisal (2008) Sewaktu suatu bagian dari sisa plasenta
tertinggal maka uterus tidak bisa berkontraksi secara efektif dan ini dapat
menimbulkan perdarahan. Perdarahan pasca salin yang terjadi segera jarang
disebabkan oleh retensi potongan-potongan kecil plasenta. Inspeksi segera
plasenta setelah persalinan bayi harus menjadi tindakan rutin. Jika ada
bagian plasenta yang hilang, uterus harus dieksplorasi dan harus
dikeluarkan.
f.
Plasenta Akreta dan Variasinya
Pada plasenta akreta vili korialis menanamkan diri lebih dalam ke
dinding rahim. Vili korialis yang sampai masuk ke dala lapisan otot rahim
disebut plasenta inkreta, sedangkan vili korialis yang menembus lapisan otot
Universitas Sumatera Utara
dan mencapai serosa atau menembusnya plasenta tersebut dinamakan
plasenta perkreta. Plasenta akreta da yang kompleta, yaitu jika seluruh
permukaannya melekat dengan erat di dinding rahim. Plasenta akreta
persialis, yaitu jika hanya beberapa bagian dari permukaannya lebih erat
berhubungan dengan dinding rahim dari biasa. Plasenta akreta yang
kompleta, inkreta, dan perkreta jarang terjadi. Penyebab plasenta akreta
adalah kelainan desidua yang menyebabkan retensio plasenta ( Sastrawinata,
2005 hal. 176).
3. Trauma
c.
Robekan Jalan Lahir
Menurut (Oxorn, 2010 hal. 414) Perdarahan yang cukup banyak dapat
terjadi dari robekan yang dialami selam proses melahirkan baik yang normal
maupun dengan tindakan. Jalan lahir harus diinspeksi sesudah tiap kelahiran
selesai sehingga sumber perdarahan dapat dikendalikan.
Tempat-tempat perdarahan yang mencakup:
1) Episiotomi, kehilangan darah dapat mencapai 200 ml. Kalau arteriole
atau vena verikosa yang besar turut terpotong atau robek, darah yang
keluar darah dapat berjumlah lebih banyak lagi. Karena itu pembuluh
darah yang putus harus segera dijepit dengan klem untuk mencegah
keholangan darah.
2) Vulva, vagina, dan servikx.
3) Uterus yang ruptur.
4) Inversio Uteri
5) Hematoma pada masa nifas.
Universitas Sumatera Utara
Disamping itu, ada faktor-faktor lain yang turut menyebabkan kehilangan
darah secara berlebihan kalau terdapat trauma pada jalan lahir.
Faktor-faktor ini mencakup:
1)
Interval yang lama antara dilakukannya episiotomi dan kelahiran anak.
2)
Perbaikan episiotomi setelah bayi dilahirkan tanpa semestinya ditunggu
terlampau lama.
3)
Pembuluh darah yang putus pada puncak episiotomi tidak berhasil
dijahit.
4)
Pemeriksaan inspeksi lupa dikerjakan pada cervix dan vagina bagian
atas
5)
Kemungkinan terdapatnya beberapa tempat cedera tidak terpikirkan.
6)
Ketergantungan pada obat-obat oxytocic yang disertai penundaan
terlampau lama dalam mengeksplorasi uterus.
d.
Inversio Uteri
Menurut (Sastrawinata, 2005 hal. 176) Pada inversio uteri, uterus
berputar balik sehingga fundus uteri terdapat dalam vagina dengan selaput
lendirnya sebelah luar. Keadaan ini disebut inversio uteri komplet. Jika
hanya fundus menekuk ke dalam dan tidak keluar ostium uteri, disebut
inversio uteri inkomplet. Jika uterus yang berputar balik itu keluar dari
vulva, disebut inversio prolaps. Inversio jarang terjadi, tetapi jika terjadi
dapat menimbulkan syok yang berat.
Tiga faktor diperlukan untuk terjadinya inversio uteri:
1)
Tonus otot rahim yang lemah.
2)
Tekanan atau tarikan pada fundus (tekanan intraabdominal, tekanan
dengan tangan, dan tarikan pada tali pusat).
Universitas Sumatera Utara
3)
Kanalis servikalis yang longgar.
Menurut Cunningham (2013 hal. 712) tertundanya penanganan akan
sangat meningkatkan angka kematian . Sejumlah langkah perlu dilakukan
segera dan secara simultan:
1)
Asisten, termasuk ahli anestesiologi, segera dipanggil
2)
Uterus yang baru mengalami inversi dengan plasenta yang sudah terlepas
mungkin dengan mudah dapat dikembalikan dengan cara mendorong
fundus dengan telapak tangan dan jari tangan mengarah ke sumbu
panjang vagina.
3)
Sebaiknya di pasang dua sistem infus intravena, dan pasien diberi larutan
ringer laktat serta darah untuk mengatasi hipovelemia.
4)
Apabila masih melekat, plasenta jangan dilepas sampai sistem infus
terpasang, cairan dialirkan, dan anestesia, sebaiknya halotan atau
enfluran telah dibeikan. Obat tokolitik, misalnya berbutalin, ritodrin, atau
magnesium sulfat, dilaporkan berhasil digunakan untuk relaksasi uterus
dan reposisi (Catanzarite dkk.,1986). Sementara itu, uterus megalami
inversio, apabila prolapsnya melebihi vagina, dimasukkandalam vagina.
5)
Setelah plasenta dikeluarkan, telapak tangan diletakkan di bagian tengah
fundus dengan jari terekstensi untuk mengidentifikasi tepi-tepi serviks.
Kemudian dilakukan tekanan dengan tangan sehingga fundus terdorong
ke atas melalui serviks.
6)
Segera setelah uterus dikembalikan ke posisi normalnya, obat yang
digunakan untuk relaksasi dihentikan dan secara bersamaan pasien diberi
oksitosin agar uterus berkontraksi sementara operator mempertahankan
fundus dalam posisi normal.
Universitas Sumatera Utara
4. Trombin
b. Kelainan Perdarahan
Setiap penyakit hemorrhagik (blood dyscrasias) dapat diderita oleh
wanita hamil dan kadang-kadang menyebabkan perdarahan pasca salin.
Afibrinogenemia atau hipofibrinogemia dapat terjadi setelah abruptio
plasenta, retensio janin-mati yang lama di dalam rahim, dan pada emboli
cairan air ketuban. Salah satu teori etiologik mempostulasikan bahwa bahan
thrompoblastik yang timbul dari degenerasi dan autologis decidua serta
plasenta dapat memasuki sirkulasi maternal dan dapat menimbulkan
koagulasi intravaskuler serta penurunan fibrinogen yang beredar. Keadaan
tersebut, yaitu suatu kegagalan pada mekanisme pembekuan, menyebabkan
perdarahan yang tidak dapat dihentikan dengan tindakan yang biasanya
dipakai untuk mengendalikan perdarahan (Oxorn, 2010 hal. 415).
T. Faktor resiko
Menurut Cunningham dalam penelitian Ismail (2011), Riwayat perdarahan pasca
salin pada persalinan sebelumnya mempunyai faktor resiko yang paling besar
sehingga segala upaya harus dilakukan untuk menentukan tingkat keparahan
dan penyebabnya. Beberapa faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya
perdarahan pasca salin meliputi penggunaan anestesi umum, rahim yang
distensi berlebihan terutama dari kehamilan multipel, janin besar, atau
polihidramnion, persalinan lama, persalinan yang terlalu cepat, penggunaan
oksitosin untuk induksi persalinan, paritas tinggi terutamanya grande
multiparitas,
chorioamnionitis
atau
riwayat
atoni
pada
kehamilan
sebelumnya.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Winkjosastro dalam penelitian Ismail (2011), Dalam kurun
reproduksi sehat dikenal bahwa usia aman untuk kehamilan dan persalinan
adalah 20-30 tahun. Kematian maternal pada wanita hamil dan melahirkan 25 kali lebih tinggi dari pada kematian maternal yang terjadi pada kematian
maternal yang terjadi pada usia 20-29 tahun. Kematian maternal meningkat
kembali setelah usia 30-35 tahun.
Menurut penelitian Siswanto (2011), Jarak persalinan yang kurang
dari 2 tahun mengakibatkan kelemahan dan kelelahan otot rahim, sehingga
cenderung akan terjadi perdarahan postpartum. Bila jarak kelahiran dengan
anak sebelumya kurang dari 2 tahun, kondisi rahim dan kesehatan ibu belum
pulih dengan baik, sehingga cenderung mengalami partus lama, atau
perdarahan pasca salin. Disamping itu persalinan yang berturut-turut dalam
jarak waktu singkat mengakibatkan uterus menjadi fibrotik, sehingga
mengurangi daya kontraksi dan retraksi uterus. Kondisi seperti ini berakibat
terjadinya perdarahan pasca salin.
Menurut
Wiknjosastro
didalam
penelitian
Sunarto
(2010),
Kekurangan kadar haemoglobin dalam darah mengakibatkan kurangnya
oksigen yang di bawa / ditransfer ke sel tubuh maupun sel otak dan uterus.
Jumlah oksigen dalam darah yang kurang menyebabkan otot-otot uterus tidak
dapat berkontraksi dengan adekuat sehingga timbul atonia uteri yang
mengakibatkan perdarahan banyak. Pada wanita hamil, anemia meningkatkan
frekuensi komplikasi pada kehamilan persalinan dan nifas. Pengaruh anemia
saat kehamilan dapat berupa abortus, persalinan prematur, perdarahan
antepartum dan ketuban pecah dini. Pengaruh anemia saat persalinan dapat
berupa gangguan his, partus lama dan perdarahan karena atonia uteri.
Universitas Sumatera Utara
Pengaruh anemia saat masa nifas adalah subinvolusi uterus, infeksi
puerpureal, air susu ibu (ASI) berkurang, dan decompensasi cordis.
Disamping menyebabkan kematian, perdarahan post partum memperbesar
kemungkinan infeksi puerpureal dan anemia yang berkelanjutan.
U.
Penanganan Perdarahan Pasca Salin Primer
Menurut Prawirohardjo (2005 hal 654-655), terapi terbaik ialah
pencegahan. Anaemia dalam kehamilan harus diobati karena perdarahan
dalam batas-batas normal dapat membahayakan penderita yang sudah
menderita anemia. Apabila sebelumnya penderita sudah pernah mengalami
perdarahan pascasalin, persalinan harus berlangsung di rumah sakit. Kadar
fibrinogen perlu diperiksa pada perdarahan banyak, kematian janin dalam
uterus dan solusio plasenta.
Dalam kala III uterus jangan dipijat dan didorong ke bawah sebelum
plasenta lepas dari dindingnya. Penggunaan oksitosin sangat penting untuk
mencegah perdarahan pasca salin. 10 IU oksitosin diberikan intramuskulus
segera setelah anak lahir untuk mempercepat pelepasan plasenta. Sesudah
plasenta lahir hendaknya diberikan 0,2 mg ergometrin, intramuskulus.
Kadang-kadang pemberian ergometrin, setelah bahu depan bayi lahir pada
persentasi kepala, menyebabkan plasenta terlepas segera setelah bayi
seluruhnya lahir, dengan tekanan pada fundus uteri plasenta dapat
dikeluarkan dengan segera tanpa banyak perdarahan. Namun salah satu
kerugian dari pemberian ergometrin (trepping) terhadap bayi kedua pada
persalinan gamelli yang tidak diketahui sebelumnya. Pada perdarahan yang
timbul setelah lahir dua hal yang harus dilakukan, yakni menghentikan
Universitas Sumatera Utara
perdarahan secepat mungkin dan mengatasi akibat perdarahan. Jika plasenta
belum lahir, segera lakukan tindakan untuk mngeluarkannya.
Bahaya perdarahan pasca salin ada dua. Pertama, anemia yang
diakibatkan perdarahan tersebut memperlemah keadaan pasien, menurunkan
daya tahannya dan menjadi faktor predisposisi terjadinya infeksi nifas.
Kedua, jika kehilangan darah ini tidak dihentikan, akibat akhir tentu saja
kematian (Oxorn, 2010 hal. 413).
V.
Manajemen Aktif Kala III
Manajemen aktif kala tiga terdiri dari tiga langkah utama di dalam APN (2008
hal 101-106):
1. Pemberian Suntikan Oksitosin
a. Letakkan bayi baru lahir diatas kain yang telah disiapkan di perut
bawah ibu dan minta ibu atau pendampingnya untuk membantu
memegang bayi tersebut
b. Pastikan tidak ada bayi lain di dalam uterus
c. Beritahu ibu bahwa ia akan disuntik
d. Segera (dalam 1 menit pertama setelah bayi lahir) suntikkan oksitosin
10 unit IM pada 1/3 bagian atas paha bagian luar
e. Dengan mengerjakan semua prosedur tersebut terlebih dahulu maka
akan memeberi cukup waktu pada bayi untuk memperoleh sejumlah
darah kaya zat besi dan setelah itu (setelah 2 menit) baru dilakukan
tindakan penjepitan dan pemotongan tali pusat
f. Serahkan bayi yang telah terbungkus kain pada ibu untuk inisiasi
menyusui dini dan kontak kulit-kulit dengan ibu
Universitas Sumatera Utara
g. Tutup kembali perut bawah ibu dengan kain bersih
2. Penegangan Tali Pusat Terkendali
a. Berdiri di samping ibu
b. Pindahkan klem (penjepit untuk memotong tali pusat saat kala dua)
pada tali pusat sekitar 5-10 cm dari vulva
c. Letakkan tangan yang lain pada abdomen ibu (beralaskan kain) tepat
diatas simfisis pubis. Gunakan tangan ini untuk meraba kontraksi
uterus dan menahan uterus pada saat melakukan penegangan pada tali
pusat. Setelah terjadi kontraksi yang kuat, tegangkan tali pusat dengan
satu tangan dan tangan yang lain (pada dinding abdomen) menekan
uterus ke arah lumbal dan kepala ibu (dorso kranial). Lakukan secara
hati-hati untuk mencegah terjadinya inversio uteri
d. Bila plasenta belum lepas, tunngu hingga uterus berkontarksi kembali
(sekitar 2-3 menit berselang) untuk mengulangi kembali penanganan
tali pusat terkendali
e. Saat mulai kontraksi (uterus menjadi bulat dan tali pusat menjulur)
tegangkan tali pusat ke arah bawah, lakukan tekanan dorso-kranial
hingga tali pusat makn menjulur dan korpus uteri bergerak keatas
yang menandakan plasenta telah lepas dan dapat dilahirkan.
f. Tetapi jika langkah (e) diatas tidak berjaln sebagaimana mestinya dan
plasenta tidak turun setelah 30-40 detik dimulainya penegangan tali
pusat dan tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan lepasnya plasenta,
jangan teruskan penegangan tali pusat.
1) Pegang klem dan tali pusat dengan lembut dan tunggu sampai
kontraksi berikutnya. Jika perlu, pindahkan klem lebih dekat ke
Universitas Sumatera Utara
perineum pada saat tali pusat memanjang. Pertahankan
kesabaran pada saat melahirkan plasenta.
2) Pada saat kontraksi berikutnya terjadi, ulangi penegangan tali
pusat terkendali dan tekanan dorso-kranial pada korpus uteri
secara serentak. Ikuti langkah-langkah tersbut pada setiap
kontraksi hingga terasa plasenta terlepas dari dinding uterus.
g. Setelah plasenta terlepas, anjurkan ibu untuk meneran agar plasenta
terdorong keluar melalui introitus vagina. Tetap tegangkan tali pusat
dengan arah sejajar lantai (mengikuti poros jalan lahir).
h. Pada saat plasenta terihat pada introitus vagina, lahirkan plasenta
dengan mengangkat tali pusat ke atas dan menopang plasenta dengan
tangan lainnya untuk meletakkan dalam wadah penampung. Karena
selaput ketuban mudah robek; pegang plasenta degan kedua tangan
dan secara lembut putar plasenta hingga selaput ketuban terpilin
menjadi satu.
i. Lakukan penarikan secara lembut dan perlahan-lahan untuk
melahirkan selaput ketuban.
j. Jika selaput ketuban robek dan tertinggal di jalan lahir saat melahirkan
plasenta, dengan hati-hati periksa vagina dan serviks dengan seksama.
Gunakan jari-jari tangan anda atau klem DTT atau steril atau forsep
untuk keluarkan selaput ketuban yang teraba.
3. Rangsangan Taktil (Masase) Fundus Uteri
a. Letakkan telapak tangan pada fundus uteri
Universitas Sumatera Utara
b. Jelaskan tindakan kepada ibu, katakan bahwa ibu mungkin merasa
agak tidak nyaman karena tindakan yang di berikan. Anjurkan ibu
untuk menarik napas dan perlahan serta rileks.
c. Dengan lembut tapi mantap gerakkan tangan dengan arah memutar
pada fundus uteri supaya uterus berkontraksi. Jika uterus tidak
berkontraksi dalam waktu 15 detik, lakukan penatalaksanaan atonia
ueteri.
d. Periksa plasenta dan selaputmya untuk memastikan keduanya lengkap
dan utuh
e. Periksa uterus setelah satu hingga dua menit untuk memastikan uterus
berkontraksi, jika uterus masih tidak belum berkontraksi baik, ulangi
masase fundus teri. Ajarkan ibu dan keluarganya cara melakukan
masase uterus sehingga mampu untuk segera mengetahui jika uterus
tidak berkontraksi dengan baik.
f. Periksa kontraksi uterus setiap 15 menit salama satu jam pertama
pasca persalinan dan setiap 30 menit salama satu jam kedua pasca
persalinan.
W. Paritas
1. Pengertian Paritas
Para atau paritas adalah seorang wanita yang pernah melahirkan bayi
yang dapat hidup (Prawirohardjo, 2006 hal 180).
Menurut Prawirohardjo (2005) paritas dapat dibagi menjadi:
a.
Primipara
Primipara adalah seseorang yang hamil pertama sekali.
Universitas Sumatera Utara
b. Nullipara
Nullipara adalah seseorang yang belum pernah melahirkan bayi yang
viable (dapat hidup) untuk pertama sekali.
c.
Multipara atau pleuripara
Multipara atau pleuripara adalah seorang wanita yang pernah melahirkan
bayi yang viable untuk beberapa kali.
d. Grandemultipara
Grandemultipara adalah seorang wanita yang telah melahirkan 5 orang anak
tau lebih.
X. Mekanisme
Terjadinya
Perdarahan
Postpartum
Primer
Yang
Berhubungan Dengan Paritas
Perdarahan pasca salin sering disebabkan oleh kegagalan uterus untuk
berkontaraksi secara memadai setelah pelahiran. Pada banyak kasus,
perdarahan pasca salin dapat diperkirakan sebelum pelahiran (Cunningham,
2006).
Menurut Winkjosastro (2005), Paritas 2-3 merupakan paritas paling
aman ditinjau dari sudut perdarahan pasca persalinan yang dapat
mengakibatkan kematian maternal. Paritas satu dan paritas tinggi (lebih dari
3) mempunyai angka kejadian tinggi. Lebih tinggi paritas, maka lebih tinggi
kematian maternal. Risiko pada paritas satu dapat dilayani dengan asuhan
obstetrik yang lebih baik, sedangkan risiko pada paritas tinggi dapat
dikurangi atau dicegah dengan keluarga berencana. Sebagian kehamilan
pada paritas tinggi adalah tidak direncanakan (Ying, 2011)
Universitas Sumatera Utara
Paritas tinggi merupakan faktor risiko atonia uteri. Fuchs dkk. (1985)
menguraikan keluaran pada hampir 5800 wanita para 7 atau lebih. Mereka
melaporkan bahwa insiden perdarahan pasca salin 2,7 persen adalah
meningkat empat kali lipat dibandingkan dengan populasi obstetri umum.
Babinszki dkk. (1999) melaporkan insiden perdarahan pasca salin sebesar
0,3 persen pada wanita dengan paritas rendah , tetapi 1,9 persen pada
mereka dengan para 4 atau lebih (Cunningham, 2013 hal. 814).
Pada multiparitas, uterus yang telah melahirkan banyak anak
cenderung bekerja tidak efesien dalam semua kala persalinan (Oxorn, 2010
hal. 414)
Universitas Sumatera Utara
Download