BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Kehidupan

advertisement
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kehidupan masyarakat Jawa di Dusun Jatirejo tidak dapat dilepaskan
dari serangkaian kegiatan upacara yang berkaitan dengan siklus daur hidup,
dimana dalam siklus daur hidup tersebut terdapat acara seremonial seperti
selamatan dan hajatan. Dalam pelaksanaan hajatan dan selamatan tersebut
terdapat tradisi yang melekat kuat dalam proses kegiatannya yakni tradisi
nyumbang.Tradisi ini merupakan suatu kebiasaan masyarakat yang memberi
sumbangan uang maupun barang kepada penduduk yang menyelenggarakan
suatu perhelatan. Sebagai penyelenggara acara selamatan, masyarakat yang
nduwe gawe biasanya membagi-bagikan makanan kepada seluruh warga desa.
Warga yang telah menerima kiriman makanan ini kemudian membalasnya
dengan memberi sumbangan sejumlah uang atau barang kepada sang
penyelenggara hajatan. Jika ada tetangga, saudara dan teman yang
mengadakan hajatan maka para tetangga beramai-ramai membantu dengan
memberikan bantuan berupa bahan kebutuhan untuk menggelar hajatan
tersebut. Bantuan yang diberikan biasanya berupa barang kebutuhan pokok
dan atau uang. Bantuan berupa barang kebutuhan pokok diharapkan dapat
membantu ‗nyengkuyung‘ lancarnya prosesi hajatan yang digelar. Bantuanbantuan yang diberikan oleh warga masyarakat disekitar lingkungan tinggal
228
mempunyai maksud agar apa yang sudah mereka upayakan dan lestarikan
selama ini dapat terjaga.
Seiring dengan perkembangan jaman,
tradisi nyumbang
juga
mengalami berbagai pergeseran. Jaman dahulu, bentuk sumbangan yang
umum diberikan kepada warga yang menggelar hajatan adalah sumbangan
dalam bentuk barang. Masyarakat menyumbangkan barang-barang kebutuhan
pokok yang berasal dari hasil pertanian atau perkebunan mereka sendiri. Pada
jaman itu masyarakat tidak memiliki aturan khusus mengenai beberapa
banyak barang yang disumbangkan. Warga juga tidak menentukan secara
khusus jenis barang seperti apa yang boleh disumbangkan. Sifat nyumbang
adalah sukarela, sehingga masyarakat bebas memberi apa saja dan berapa
banyak barang yang diberikan. Bahkan jika warga tidak bisa menyumbangkan
barang, sumbangan tenaga juga masih bisa dikategorikan sebagai salah satu
bentuk nyumbang.
Pergeseran bentuk nyumbang dapat dilihat melalui dua kacamata.
Yang pertama adalah sumbangan yang diberikan kepada manten (anak yang
menikah) maupun sumbangan yang diberikan kepada orangtua (penyelenggara
hajatan). Ketika ada salah seorang warga yang menikah, sumbangan tidak
hanya diberikan kepada orangtua sebagai penyelenggara hajatan saja, tetapi
juga kepada kedua pengantin atau anak yang menikah. Sumbangan kepada
manten atau anak yang menikah pada jaman dahulu berbentuk kado.
229
Umumnya berisi barang-barang kebutuhan rumah tangga seperti sprei, panci,
termos, gelas, piring, alat pecah belah, maupun peralatan dapur lainnya.
Seiring dengan perkembangan jaman, sumbangan untuk manten berupa kado
mulai ditinggalkan dan digantikan dengan uang karena alasan kepraktisan dan
keefektifan. Masyarakat menilai sumbangan berbentuk kado kurang praktis
dan repot. Bentuk sumbangan untuk orangtua juga mengalami pergeseran.
Sumbangan yang semula berbentuk barang yang berasal dari hasil pertanian
atau perkebunan mereka sendiri seiring perubahan jaman, sumbangan berupa
barang juga berubah menjadi sumbangan dalam bentuk uang.
Pada jaman dahulu, prosesi-prosesi pernikahan dilakukan secara
lengkap dan membutuhkan waktu yang lama. Masyarakat menjalankan prosesi
pernikahan dari upacara nontoni hingga upacara panggih dan ngundhuh
mantu. Waktunyumbang pun tidak hanya dilakukan pada saat resepsi atau hari
pernikahan saja, tetapi dilakukan sejak dimulainya rangkaian pernikahan.
Prosesi pernikahan tidak hanya terjadi dalam kurun waktu sehari sehingga
sumbangan tidak hanya diberikan sekali. Seiring dengan perkembangan
jaman, masyarakat modern menilai rangkaian acara yang harus dijalani
pengantin laki- laki dan perempuan dalam prosesi pernikahan sangatlah
panjang dan merepotkan. Penyelenggaraan hajatan yang terlampau lama dirasa
masyarakat Dusun Jatirejo tidak efektif dan efisien sehingga banyak prosesi
pernikahan yang dihilangkan atau digabungkan.
230
Masyarakat Dusun Jatirejo dalam melaksanakan tradisi memiliki caracara tersendiri. Ketika masih menggunakan cara lama (tradisional),
masyarakat Jatirejo datang ke rumah penyelenggara hajatan lalu memberikan
bantuan sumbangan kepada nyonya rumah yang juga bertugas sebagai
penerima tamu. Sumbangan tersebut langsung diberikan ke dapur untuk diolah
menjadi ater-ater. Warga yang menyumbang juga tidak lantas pulang
melainkan ikut rewang di dapur, membantu mempersiapkan suguhan.
Bergesernya sumbangan barang menjadi uang membuat masyarakat
Dusun Jatirejo menyadari pentingnya sumbangan da lam hajatan pernikahan.
Masyarakat Dusun Jatirejo kemudian membuat sebuah acara baru yang
menjadi bagian dari acara ewuh atau hajatan pernikahan. Kegiatan nyumbang
bagi masyarakat Dusun Jatirejo diposisikan sejajar dengan ijab ataupun
resepsi pernikahan. Nyumbang dibuat layaknya pesta, lengkap dengan tenda,
musik organ tunggal, dan berbagai jenis makanan enak yang disajikan. Acara
nyumbang berlangsung selama dua atau tiga hari dan dilakukan sebelum
resepsi berlangsung.
Masyarakat Dusun Jatirejo mengenal stratifikasi dalam pembagian
ater-ater.
Masyarakat yang menyumbang sejumlah sepuluh ribu rupiah
mendapatkan ater-ater berisi lauk telur rebus dan cakar ayam. Masyarakat
yang menyumbang sejumlah dua puluh ribu rupiah mendapatkan ater-ater
berisi lauk ikan bandeng. Masyarakat yang menyumbang sejumlah lima puluh
231
ribu rupiah mendapatkan ater-ater berisi dada ayam utuh. Semakin besar
nominal uang yang diberikan dalam nyumbang, maka semakin bervariasi pula
ater-ater yang didapatkan. Begitu pula sebaliknya, semakin kecil nominal
uang yang disumbangkan, semakin sedikit pula ater-ater yang didapatkan.
Pemberian ater-ater era sekarang berbeda sekali dengan ater-ater era
tradisional yang diberikan kepada semua penyumbang tanpa standart minimal.
Jaman dahulu semua penyumbang diberi ater-ater yang sama meskipun
jumlah sumbangan yang diberikan berbeda.
Semula nyumbang merupakan sesuatu yang memiliki nilai sosial yang
tinggi. Nyumbang merupakan wujud solidaritas sosial masyarakat guna
mengurangi beban warga yang sedang menggelar hajatan. Nyumbang yang
awalnya kental dengan nuansa solidaritas organis yang merupakan solidaritas
berdasarkan ketulusan, telah berubah menuju solidaritas mekanis yang
didasarkan atas untung rugi. Dewasa ini, masyarakat melakukan nyumbang
karena mengharapkan adanya pertukaran. Masyarakat Jatirejo menerapkan
prinsip ‗saya memberi supaya nantinya saya juga diberi‘. Nyumbang menjadi
sebuah bentuk pertukaran (resiprositas) sederhana yang berlangsung dalam
hajatan pernikahan.
Perubahan tradisi nyumbang tersebut terjadi karena beberapa alasan,
antara lain: alasan kepraktisan, alasan keefektifan, dan mengikuti trend.
Masyarakat Dusun Jatirejo mulai meninggalkan tradisi nyumbang barang dan
232
tenaga, lalu menggantinya dengan sumbangan berbentuk uang karena
sumbangan uang dirasa lebih praktis dan fleksibel. Uang bisa langsung
digunakan untuk membeli barang-barang kebutuhan hajatan.
Masyarakat modern menilai rangkaian acara yang harus dijalani
pengantin laki- laki dan perempuan dalam prosesi pernikahan sangatlah
panjang dan merepotkan. Selain membutuhkan waktu yang lama, prosesi
pernikahan yang dilakukan secara lengkap juga membuat penyelenggara
hajatan harus menyediakan dana yang tidak sedikit. Dewasa ini nilai- nilai
kepraktisan dan keefektifan mulai muncul dan menyebabkan bergesernya
prosesi pernikahan. Singkatnya prosesi pernikahan membuat dana yang
dikeluarkan masyarakat berkurang, tidak sebanyak jika prosesi pernikahan
dilakukan secara lengkap. Masyarakat juga bisa menghemat waktu karena
penggabungan atau penghilangan prosesi pernikahan membuat prosesi-prosesi
tersebut bisa dilakukan dengan lebih efektif. Makna dari prosesi tersebut juga
tidak hilang.
Tradisi nyumbang mengalami perubahan ketika para pendatang
menetap di Dusun Jatirejo. Masyarakat pendatang yang umumnya berasal dari
daerah perkotaan datang dan menetap di Dusun Jatirejo dan membawa serta
adat atau kebiasaan mereka selama di kota, tak terkecuali dalam hal nyumbang
atau menyelenggarakan hajatan. Masyarakat kota, yang sudah jarang
menyumbang dalam bentuk barang dan juga melakukan rewang, mulai
233
memperkenalkan trend catering dan sumbangan dalam bentuk uang kepada
masyarakat Dusun Jatirejo.
Tradisi
nyumbang
sampai
sekarang
masih
dilakukan
untuk
mempertahankan tradisi. Masyarakat Jatirejo berkeyakinan bahwa tradisi
nyumbang tersebut merupakan warisan dari nenek moyang yang harus
dilestarikan dan diwariskan kepada anak-cucu mereka. Nyumbang juga
merupakan perwujudan dari nilai gotong ro yong yang menjadi dasar hidup
masyarakat Dusun Jatirejo. Secara sosial, tradisi nyumbang dimaknai sebagai
bentuk solidaritas. Namun di sisi lain, nyumbang juga digunakan sebagai alat
untuk memperoleh kekuasaan. Dengan menyumbang, seseorang dapat
menaikkan status sosialnya di mata masyarakat melalui jumlah sumbangan
yang diberikan. Dalam hal ini nyumbang mengandung nilai balas budi atau
timbal balik. Masyarakat Jatirejo merupakan masyarakat yang tidak mau
memiliki hutang budi sehingga sumbangan apapun yang pernah diberikan
harus dikembalikan sebagai bentuk timbal balik. Masyarakat yang terlibat
dalam tradisi ini menginginkan apa yang diberikannya dibalas sebanding
dengan orang yang telah menerimanya, jika resiprositas ini tidak terpenuhi
maka ada sanksi sosial seperti cibiran atau gunjingan dalam masyarakat.
Orang yang melakukan kerjasama ini tidak mau dirugikan satu sama lainnya.
Resiprositas yang ada juga mengarah negatif karena orang yang terlibat
membantu hajatan bukan lagi atas dasar keikhlasan untuk membantu, tetapi
lebih kepada adanya timbal balik dari kerjasama yang mereka sepakati, tenaga
234
dan jasa yang dibantukan mulai di hargai dengan uang serta kadangkala orang
yang melakukan hajatan juga lebih mencari keuntungan semata dan
merugikan orang lain, artinya mencari keuntungan dengan menggelar hajatan.
Dalam melakukan nyumbang, masyarakat menginginkan kerjasama
resiprositas yang seimbang antara mereka yang terlibat dalam tradisi ini.
Masyarakat tidak ingin rugi dan tidak ingin merugikan orang lain. Walaupun
terdapat berbagai motif dan kepentingan masing- masing individu untuk
melakukan kerjasama ini namun keseimbangan dalam melakukan kerjasama
ini tetap harus dilakukan karena jika tidak maka orang tidak percaya lagi
untuk melakukan kerjasama yang serupa ini dikemudian hari.
Tradisi nyumbang yang semula dilakukan dan dimaknai sebagai
bentuk solidaritas dan kepedulian sosial, kini dilakukan atas dasar timbal balik
atau resiprositas. Masyarakat melakukan nyumbang tidak lagi sebagai wujud
kepedulian mereka terhadap warga yang sedang menggelar hajatan, tetapi
dilakukan
atas
dasar
kepentingan-kepentingan
tertentu.
Pemaknaan
masyarakat akan tradisi nyumbang juga turut bergeser. Masyarakat yang
terlibat membantu hajatan bukan lagi atas dasar keikhlasan untuk membantu,
tetapi lebih kepada adanya timbal balik dari kerjasama yang mereka sepakati.
235
B. Saran
Tradisi
sumbang-menyumbang
masyarakat terhadap
merupakan
bentuk
kepedulian
sesama demi meringankan beban warga yang
menyelenggarakan hajatan. Tradisi ini sampai sekarang masih dipertahankan
dan dilakukan oleh masyarakat Dusun Jatirejo dalam memperingati peristiwa
penting yang terjadi dalam hidup mereka.
Tradisi nyumbang di satu sisi memiliki nilai positif, karena beban
masyarakat yang menyelenggarakan hajatan menjadi berkurang. Namun di sisi
lain tradisi ini juga memberatkan masyarakat karena warga memiliki
kewajiban untuk membalas sumbangan. Tak jarang masyarakat harus rela
berhutang
atau
menjual barang
kepemilikannya
hanya
untuk
bisa
menyumbang. Tradisi ini tidak bisa diputus atau dihentikan karena masyarakat
memiliki ketergantungan satu sama lain dan mereka tid ak akan rela jika tradisi
ini dihilangkan.
Tradisi nyumbang yang semula memiliki nilai sosial yang tinggi kini
berubah menjadi sebuah tradisi yang dilakukan atas dasar kepentingankepentingan sosial dan finansial. Makna tradisi nyumbang mulai berubah dan
bergeser.
236
Tradisi ini seharusnya dilakukan murni karena solidaritas, tanpa ada
tujuan lain atau kepentingan-kepentingan lain. Masyarakat seharusnya
menyumbang karena ingin membantu meringankan beban tetangga atau warga
yang menggelar hajatan, bukan karena ingin mendapatkan keuntungankeuntungan lain.
237
Download