BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang dan Permasalahan Indonesia merupakan Negara agraris, dengan luas lahan persawahan 13.835.252 Ha (Anonim, 2014). Lahan yang luas tersebut dapat menjadikan Indonesia sebagai negara mandiri pangan bahkan dapat mengekspor hasil pertanian. Produktivitas bahan pangan di Indonesia masih terbilang rendah, sebagai contoh produktivitas padi tahun 2013 hanya mencapai 5,152 ton/Ha dengan total produksi 71.279.709 ton (Anonim, 2014). Menurut Dobermann dan Fairhaust (2000) nilai tersebut masih kurang dari hasil yang dapat dicapai oleh varietas padi modern, nilai produktivitas padi varietas modern dapat mencapai 10 ton/Ha. Sejarah perjalanan kebijakan pemerintah di bidang pertanian, negara Indonesia pada orde baru pernah melakukan kebijakan dalam bidang pertanian yang disebut revolusi hijau, revolusi ini dijadikan agenda besar pemerintah dalam memenuhi kebutuhan pangan sehingga dapat terlepas dari krisis pangan. Indonesia pada saat itu dapat menjadi bangsa yang memenuhi kebutuhan pangan nya sendiri, dan menjadi negara eksportir beras (Esje dan Daniel, 1998). Pemerintah melalui UU no. 18 tahun 2012 menjelaskan bahwa penyelenggaraan pangan dilakukan dengan berdasarkan kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan. Pemerintah baru melaksanakan kebijakan ketahanan pangan, namun kebijakan kedaulatan dan kemandirian pangan belum terlaksana. Hal ini dapat dilihat dari beberapa kebijakan pemerintah terkait pangan, salah satunya adalah terkait impor bahan pangan. Indonesia menjadi salah satu negara dengan jumlah impor bahan pangan terbesar di dunia, pada tahun 2014 nilai impor pangan Indonesia sekitar 9 milyar dolar AS, atau setara Rp. 100 triliun setiap tahun dan angka ini terus membesar dari tahun ke tahun. Indonesia akan terus mengalami defisit neraca perdagangan pangan apabila tidak mampu meningkatkan produksi pangan (Husodo, 2014). Pada pelaksanaan kebijakan kedaulatan pangan pemerintah harus berusaha untuk meningkatkan kesuburan tanah, khususnya tanah persawahan, karena tanah persawahan di Indonesia sudah mengalami levelling off, atau tanah yang lapar pupuk, pemberian 1 2 pupuk yang terlalu banyak tidak akan memberikan hasil yang maksimal, tetapi akan menambah kerusakan tanah. Kerusakan lahan pertanian dapat mengakibatkan hasil panen yang menurun, kondisi ini berdampak pada naiknya break event point (BEP) atau nilai produksi suatu produk. Naiknya BEP menjadikan petani merugi besar, karena harga jual dari petani tidak mampu bersaing di pasar. Kerugian ini ditambah dengan adanya politik dumping oleh beberapa negara pengekspor bahan pangan ke Indonesia, karena harganya yang murah dan kualitas yang lebih tinggi daripada produk lokal yang mengakibatkan pasar lebih memilih produk impor. Tanah levelling off disebabkan karena adanya penggunaan pupuk kimia secara berlebihan dalam jangka waktu yang lama. Bahan yang terkandung dalam pupuk tersebut tidak 100% digunakan oleh tanaman, karena sebagian besar pelepasan baik melalui air atau udara, dan dapat juga mengalami mineralisasi dengan tanah. Menurut Land dan Liu (2008) pupuk yang diberikan akan hilang sebesar 40-70% N (nitrogen), 80-90% P (fosfor) dan 50-70% K (kalium) melalui penguapan, pelindian, imobilisasi mikrobia dan fiksasi mineral tanah. Untuk itu agen slow releaser (pelepasan lambat) diperlukan untuk memaksimalkan penggunaan fosfat dan kalium oleh tanaman. Pemberian pupuk organik belum dapat dirasakan langsung hasilnya, karena kebanyakan kandungan C organik pada pupuk organik akan segera terlepas ke udara dalam bentuk CO2, N2O, CH4 (Chandra dkk., 2006), karena tidak adanya penjerap dalam sistem pupuk tersebut. Tanah dapat dikatakan subur apabila memiliki kandungan C organik minimal 2.5% dari bahan organik tanah (BOT). Menurut Las dan Setyorini (2010), tanah di Indonesia dengan luas total lahan mencapai sekitar 73% memiliki kandungan C organik kurang dari 2%. Tanah dengan kandungan C organik kurang dari 2% merupakan tanah rusak atau tanah kurang pupuk. Berbagai hasil penelitian menujukkan bahwa penggunaan pupuk oleh petani cenderung berlebihan, terutama pada tanaman padi. Kisaran penggunaan pupuk urea (N) adalah 100-800 kg/ha, serta pupuk P dan K masing-masing 0-300 kg dan 0-250 kg/ha (Las dkk., 2006). 3 Proses humifikasi dapat mengembalikan kesuburan tanah, terutama dapat mengembalikan kandungan C organik yang hilang, dan mengubah fosfat termineralisasi menjadi fosfat tersedia bagi tanaman. Humifikasi merupakan proses perombakan bahan organik menjadi asam fulvat, asam humat dan humin yang stabil dan tidak terdekomposisi oleh tanah yang disebut sebagai humus (Tan, 2003). Proses pembentukan humus dapat dilakukan dengan proses kimia, sehingga dapat dihasilkan humus sintetis yang secara komposisi sama dengan humus yang dihasilkan dari proses biologi melalui mikroba tanah. Humifikasi mikrobiologi terjadi diawali melalui metabolisme lignin, fenol, asam amino, dll., kemudian membentuk senyawa makromolekul yang sering dikenal dengan pengomposan. Pengomposan ini kurang efisien karena hilangnya biomassa melalui emisi CO2, air dan nitrogen oksida sangat tinggi sehingga tidak ramah lingkungan (Kuncaka, 2013; Ziechmann dkk., 2000). Tanah levelling off dapat kembali menjadi subur dengan adanya penambahan C organik dalam tanah, sehingga kadar humus dalam tanah meningkat. Humus merupakan hasil dari proses kimia dan biologi bahan organik dalam tanah yang disebut humifikasi (Hayes dan Swift, 1978). Humifikasi membutuhkan waktu yang lama sementara sekarang ini eksplorasi lahan yang intensif, sehingga perlu proses yang lebih cepat untuk menyuburkan tanah. Humus memiliki 2 definisi, yang pertama humus menurut definisi tradisional adalah suatu makromolekul yang terbentuk dari transformasi tumbuhan dan hewan mati (Stevenson, 1994), sedangkan humus menurut pandangan modern (Hayes dkk., 2010) humus adalah bukan merupakan struktur makromolekul melainkan supramolekul yang interaksinya merupakan asosiasi. Komponen penyusun utamanya adalah senyawa aromatik, polisakarida, polipeptida, lemak dan lignin. Humus adalah bagian dari humic substances (HS) mengandung tiga komponen, penggolongan penyusun HS didasarkan kelarutannya pada harga pH, ketiga penyusun HS tersebut adalah humin, asam humat dan asam fulvat. Humin merupakan fraksi yang paling stabil karena tidak larut pada semua harga pH. Asam humat adalah fraksi HS yang tidak larut pada pH ≤ 1, sedangkan asam fulvat adalah fraksi HS yang larut pada semua harga pH, hal ini berdasarkan hasil 4 analisis 13C NMR padat. Hasil analisis 13C NMR humus dari berbagai jenis tanah oleh Hayes (2008) menunjukan adanya kemiripan struktur dari humus dengan Tanah Terra Preta de Indios, sehingga dapat disimpulkan bahwa Tanah Terra Preta de Indios merupakan humus sintetis yang dihasilkan dari proses kimiawi. Tanah terra preta de Indios adalah tanah di Amazon Basin yang sistem pertaniannya berpindah-pindah dan sisa hasil pertanian dibakar (Sombroek dkk., 2003). Berdasarkan konsep humus menurut Hayes (2008), Kuncaka (2013) membuat New Road of Synthetic Humification, yaitu humus sintetis yang dihasilkan dari proses kimiawi yang stabil dan dapat meningkatkan kadar C organik dalam tanah. Humin sintetis ini diperoleh dengan cara melakukan penggabungan molekul-molekul dari biochar dan hidrochar yang mengandung polisakarida, polipeptida, asam amino dan lemak agar menjadi humus stabil. Biochar diperoleh dari hasil proses pirolisis biomassa pertanian yang berlignin dan bersilika, sedangkan hidrochar yang mengandung polisakarida, polipeptida, asam amino dan lemak berasal dari Partial Hydrothermal Carbonization (PHTC) poultry manure (kotoran ternak) (Kuncaka, 2013). Hasil percobaan di lahan pertanian, terbukti bahwa humus sintetis ini mampu memberikan kontribusi terhadap kesuburan tanah, dapat dilihat dari kenaikan kandungan C organik yang ditandai dengan naiknya hasil panen. Humin sintetis dapat dihasilkan dari ekstraksi humus sintetis dengan NaOH, dan belum diketahui secara pasti kandungan fosfat dan kaliumnya, serta aktivitas desorpsinya secara lambat, sehingga penggunaan fosfat dan kalium oleh tanaman dapat dimaksimalkan. Oleh karena itu perlu adanya penelitian tentang jumlah fosfat dan kalium dalam humin sintetis dari proses humifikasi kimia, aktivitas desorpsinya secara lambat, dan aktivitas adsorpsi desorpsi fosfat dan kalium. I.2 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang sudah dijelaskan, penelitian ini bertujuan untuk: 5 1. Menentukan konsentrasi fosfat dan kalium yang terkandung dalam humin sintetis 2. Menentukan laju desorpsi fosfat dan kalium dari humin sintetis I.3 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat: 1. Memberikan kontribusi bagi kemajuan pertanian Indonesia 2. Mengetahui konsentrasi fosfat dan kalium yang terkandung dalam humin sintetis 3. Mengetahui laju desorpsi fosfat dan kalium dalam humin