TINJAUAN PUSTAKA Defenisi Hutan Mangrove Definisi mangrove menurut Macnae (1968) dalam Noor, et al. (1999) merupakan kombinasi antara bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove. Dalam bahasa Inggris kata mangrove digunakan baik untuk komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan pasang surut maupun untuk individu-individu spesies tumbuhan yang menyusun kominitas tersebut. Dalam bahasa Portugis kata mangrove digunakan untuk menyatakan individu spesies tumbuhan, sedangkan kata mangal untuk menyatakan komunitas tumbuhan tersebut. Macnae (1968) dalam (FAO, 1994) menggunakan kata mangrove untuk jenis pohon-pohon atau semak belukar yang tumbuh diantara pasang surut air laut, dan kata mangal digunakan bila berhubungan dengan komunitas hutan. Kata mangrove sebaiknya digunakan baik untuk individu jenis tumbuhanmaupun komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah pasang surut. Menurut Istomo (1992), kata mangrove mempunyai dua pengertian, yaitu suatu kelompok ekologi dari jenis-jenis yang menempati tanah pasang surut di daerah tropis dan secara khusus mengandung arti komunitas tumbuhan dari jenis-jenis tersebut. Secara ringkas hutan mangrove dapat didefinisikan sebagai suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut (terutama di pantai yang terlindung, laguna, muara sungai) yang tergenang pasang dan bebas dari genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam. Ekosistem mangrove merupakan suatu sistem yang terdiri atas organisme (tumbuhan dan Universitas Sumatera Utara hewan) yang berinteraksi dengan faktor lingkungannya di dalam suatu habitat mangrove (Kusmana, et al. 2004 ). Hutan mangrove dikenal dengan istilah tidal forest, coastal woodland, vloedbosschen, dan hutan payau (bahasa Indonesia). Selain itu, hutan mangrove oleh masyarakat Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Penggunaan istilah hutan bakau untuk sebutan hutan mangrove sebenarnya kurang tepat dan rancu, karena bakau hanyalah nama lokal dari Rhizophora, sementara hutan mangrove disusun dan ditumbuhi oleh banyak marga dan spesies tumbuhan lainnya. Dengan demikian, penggunaan istilah hutan mangove hanya tepat manakala hutan tersebut hanya disusun oleh jenis-jenis dari marga Rhizophora, sedangkan apabila hutan tersebut juga disusun bersamaan dengan jenis dari marga lain, maka istilah tersebut tidak tepat lagi untuk digunakan (Onrizal dan Kusmana, 2004). Zonasi Hutan Mangrove Flora mangrove umumnya tumbuh membentuk zonasi mulai dari pinggir sampai pedalaman daratan. Zonasi di hutan mangrove mencerminkan tanggapan ekofisiologis tumbuhan mangrove terhadap gradasi lingkungan. Zonasi yang terbentuk bisa berupa zonasi yang sederhana (satu zonasi, zonasi campuran) dan zonasi yang kompleks (beberapa zonasi) tergantung pada kondisi mangrove yang bersangkutan (Onrizal dan Kusmana, 2004). Berdasarkan spesies-spesies yang dominan, komunitas mangrove di Indonesia dapat berupa konsosiasi atau asosiasi (tegakan campuran) ada sekitar Universitas Sumatera Utara lima konsosiasi yang ditemukan di hutan mangrove di Indonesia, yaitu konsosiasi Avicennia, konsosiasi Rhizophora, konsosiasi Sonneratia, konsosiasi Bruguiera dan konsosiasi Nypah. Dalam hal asosiasi hutan mangrove di Indonesia, asosiasi antara Bruguiera spp dan Rhizophora spp sering ditemukan terutama di zona terdalam. Dari segi keanekaragaman spesies, zona transisi (peralihan antara hutan mangrove dan hutan rawa) merupakan zona dengan spesies yang beragam yang terdiri atas spesies-spesies mangrove yang khas dan tidak khas habitat mangrove (Noor, et al. 1999). Hutan mangrove yang masih alami pada umumnya membentuk zonasi yaitu mulai dari arah laut ke daratan berturut-turut sebagai berikut : 1. Zonasi Avicennia spp dan Sonneratia spp tumbuh pada garis depan pantai. 2. Zonasi Rhizopora spp dijumpai di belakang zona Avicennia spp. 3. Zonasi Bruguiera spp dijumpai pada arah lebih ke daratan di belakang zona Rhizopora spp (Hadipornomo, 1995). Menurut Noor, et al. (1999) mangrove pada umumnya tumbuh pada 4 (empat) zona yaitu : 1. Mangrove terbuka Mangrove berada pada bagian yang langsung berhadapan dengan laut. Umumnya dijumpai jenis Sonneratia spp dan Avicennia spp. 2. Mangrove tengah Mangrove pada zona ini terletak di belakang mangrove zona terbuka. Di zona ini biasanya didominasi oleh jenis Rhizophora spp. Universitas Sumatera Utara 3. Mangrove payau Mangrove berada di sepanjang sungai berair payau hingga hampir tawar. Di zona ini biasanya didominasi oleh komunitas Nypa fruticans. Namun ke arah pantai campuran Sonneratia – Nypah lebih sering ditemukan. 4. Mangrove daratan Mangrove berada di zona perairan payau atau hampir tawar di belakang jalur hijau mangrove yang sebenarnya. Jenis-jenis yang umum ditemukan pada zona ini termasuk Ficus microcarpus, Nypa fruticans, Lumnitzera rucemasa, Pandanus sp dan Xylocarpus moluccensis. Manfaat Hutan Mangrove Hutan mangrove adalah vegetasi hutan yang hanya dapat tumbuh dan berkembang baik di daerah tropis, seperti Indonesia. Mangrove sangat penting artinya dalam pengelolaan sumberdaya di sebagaian besar wilayah Indonesia. Fungsi mangrove yang terpenting bagi daerah pantai adalah menjadi penyambung darat dan laut. Tumbuhan, hewan, benda-benda lainnya dan nutrisi tumbuhan ditransfer ke arah darat atau ke arah laut melalui mangrove. Hutan mangrove memiliki fungsi ekologis dan ekonomi yang sangat bermanfaat bagi umat manusia (Gunarto, 2005). Secara ekologis, hutan mangrove berfungsi sebagai daerah pemijahan (spawning grounds) dan daerah pembesaran (nursery grunds) berbagai jenis ikan, udang, kerang-kerangan dan spesies lainnya. Selain itu, serasah mangrove (berupa Universitas Sumatera Utara daun, ranting dan biomassa lainnya) yang jatuh di perairan menjadi sumber pakan biota perairan dan unsur hara yang sangat menentukan produktivitas perikanan laut di depannya. Lebih jauh, hutan mangrove juga merupakan habitat (rumah) bagi berbagai jenis burung, reptilia, mamalia dan jenis-jenis kehidupan lainnya, sehingga hutan mangrove menyediakan keanekaragaman (biodiversity) dan plasma nutfah (genetic pool) yang tinggi serta berfungsi sebagai sistem penunjang kehidupan. Dengan sistem perakaran dan canopy yang rapat serta kokoh, hutan mangrove juga berfungsi sebagai pelindung daratan dan gempuran tsunami, angin topan, perembesan air laut ke daratan (Noor, et al. 1999). Fauna Mangrove Fauna mangrove menggambarkan pertemuan dua lingkungan, yaitu (a) habitat lumpur pasang surut yang terlindung, dan (b) hutan daratan. Fauna daratan (teresterian) umumnya terbatas pada tajuk hutan atau batang pohon dan kadangkadang dijumpai di lantai hutan pada saat pasang rendah atau saat lantai hutan bebas dari genangan air pasang (Onrizal dan Kusmana, 2004). Berdasarkan habitatnya fauna laut di mangrove terdiri atas dua tipe yaitu: infauna yang hidup di kolom air, terutama berbagai jenis ikan dan udang, dan epifauna yang menempati substrat, baik yang keras (akar dan batang pohon mangrove) maupun yang lunak (lumpur), terutama kepiting, kerang dan berbagai jenis invertebrata lainnya. Fauna laut di ekosistem mangrove memperlihatkan dua pola penyebaran, yaitu: Universitas Sumatera Utara 1. Fauna yang menyebar secara vertikal (hidup di batang, cabang dan ranting, serta daun pohon), yakni berbagai jenis Moluska, terutama keong-keongan, misalnya Littorina scraba, L. undulata, Cerithidia spp, Nerita birmanica, 2. Fauna yang menyebar secara horizontal (hidup di atas atau di dalam substratum) yang menempati berbagai tipe habitat sebagai berikut: a. Mintakat pedalaman (Birgus latro, Cardisoma carnifex, Thalassina anomala, Sesarma spp, Uca lactea, U. bellator, dan lain-lain). b. Hutan Brugeira dan semak Ceriops (Sarmatium spp, Helice spp, Ilyoggrapsus spp, Sesarma spp, Metopograpsus fontalis, M. thukuhar, M. messor, Cleistosma spp, Tylodiplax spp, Ilyoplax spp, dan lain-lain). c. Hutan Rhizopora (Metopograpsus latifrons, Alpeid prawn, Macrophtalmus spp, Telescopium telescopium, dan lain-lain). d. Mintakat pinggir pantai dan saluran (Scartelaos viridus, Macropthalmus latrillei, Boleophthalmus chrysospilos, Rachypleus gigas, Cerberus rhysospilos, Tacchypleus gigas, Syncera brevicula, Telescopium telescopium, Epixanthus dentatus, Eurycarcinus integrifrons, dan lain-lain. (Kusmana, et al. 2003). Makrozoobentos Zoobentos merupakan hewan yang sebagian atau seluruh siklus hidupnya berada di dasar perairan, baik yang menempel, merayap maupun menggali lubang. Hewan ini memegang beberapa peran penting dalam perairan seperti dalam proses dekomposisi dan mineralisasi material organik yang memasuki Universitas Sumatera Utara perairan, serta menduduki beberapa tingkatan trofik dalam rantai makanan (Romimohtarto dan Sri, 2001). Zoobentos membantu mempercepat proses dekomposisi materi organik. Hewan bentos, terutama yang bersifat herbivor dan detritivor, dapat menghancurkan makrofit akuatik yang hidup maupun yang mati dan serasah yang masuk ke dalam perairan menjadi potongan-potongan yang lebih kecil, sehingga mempermudah mikroba untuk menguraikannya menjadi nutrien bagi produsen perairan. Berbagai jenis zoobentos ada pula yang berperan sebagai konsumen primer dan ada pula yang berperan sebagai konsumen sekunder atau konsumen yang menempati tempat yang lebih tinggi. Pada umumnya, zoobentos merupakan makanan alami bagi ikan-ikan pemakan di dasar/bottom feeder (Arief, 2003). Berdasarkan ukuran tubuhnya, bentos dapat dibagi menjadi makrobentos (> 2 mm), meiobentos (0,2-2 mm), dan mikrobentos (< 0,2 mm)(Barus, 2004). Makrozoobentos dapat mencapai ukuran tubuh sekurang-kurangnya 3-5 mm pada saat pertumbuhan maksimum. APHA (1992) menyatakan bahwa makrozoobentos dapat ditahan dengan saringan No. 30 Standar Amerika. Selanjutnya Slack et al. (1973) dalam Rosenberg and Resh (1993) menyatakan bahwa makrozoobentos merupakan organisme yang tertahan pada saringan yang berukuran besar dan sama dengan 200 sampai 500 mikrometer (Ardi, 2002). Organisme yang termasuk makrozoobentos diantaranya adalah: Crustacea, Isopoda, Decapoda, Oligochaeta, Mollusca, Nematoda dan Annelida. Taksa-taksa tersebut mempunyai fungsi yang sangat penting di dalam komunitas perairan karena sebagian dari padanya menempati tingkatan trofik kedua ataupun ketiga. Universitas Sumatera Utara Sedangkan sebagian yang lain mempunyai peranan yang penting di dalam proses mineralisasi dan pendaur-ulangan bahan-bahan organik, baik yang berasal dari perairan maupun dari daratan (Arief, 2003). Sebagai organisme dasar perairan, bentos mempunyai habitat yang relatif tetap. Dengan sifatnya yang demikian, perubahan-perubahan kualitas air dan substrat tempat hidupnya sangat mempengaruhi komposisi maupun kelimpahannya. Komposisi maupun kelimpahan makrozoobentos bergantung pada toleransi atau sensitivitasnya terhadap perubahan lingkungan. Setiap komunitas memberikan respon terhadap perubahan kualitas habitat dengan cara penyesuaian diri pada struktur komunitas. Dalam lingkungan yang relatif stabil, komposisi dan kelimpahan makrozoobentos relatif tetap (Ardi, 2002). Makrozoobentos dapat bersifat toleran maupun bersifat sensitif terhadap perubahan lingkungan. Organisme yang memiliki kisaran toleransi yang luas akan memiliki penyebaran yang luas juga. Sebaliknya organisme yang kisaran toleransinya sempit (sensitif) maka penyebarannya juga sempit (Odum, 1993). Faktor yang Mempengaruhi Makrozoobentos di Perairan Pesisir Struktur komunitas zoobentos dipengaruhi berbagai faktor lingkungan abiotik dan biotik. Secara abiotik, faktor lingkungan yang mempengaruhi keberadaan makrozoobentos adalah faktor fisika-kimia lingkungan perairan, diantaranya: penetrasi cahaya yang berpengaruh terhadap suhu air, substrat dasar, kandungan unsur kimia seperti oksigen terlarut dan kandungan ion hidrogen (pH), dan nutrien. Sedangkan secara biologis, diantaranya interaksi spesies serta pola Universitas Sumatera Utara siklus hidup dari masing-masing spesies dalam komunitas (Tudorancea et al; 1979 dalam Ardi, 2002). Cahaya matahari merupakan sumber panas yang utama di perairan, karena cahaya matahari yang diserap oleh badan air akan menghasilkan panas di perairan (Odum, 1993). Di perairan yang dalam, penetrasi cahaya matahari tidak sampai ke dasar, karena itu suhu air di dasar perairan yang dalam lebih rendah dibandingkan dengan suhu air di dasar perairan dangkal. Suhu air merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi aktifitas serta memacu atau menghambat perkembangbiakan organisme perairan. Pada umumnya peningkatan suhu air sampai skala tertentu akan mempercepat perkembangbiakan organisme perairan. Oksigen terlarut sangat penting bagi pernafasan zoobentos dan organismeorganisme akuatik lainnya (Odum, 1993). Kelarutan oksigen dipengaruhi oleh faktor suhu, pada suhu tinggi kelarutan oksigen rendah dan pada suhu rendah kelarutan oksigen tinggi. Tiap-tiap spesies biota akuatik mempunyai kisaran toleransi yang berbeda-beda terhadap konsentrasi oksigen terlarut di suatu perairan. Spesies yang mempunyai kisaran toleransi lebar terhadap oksigen penyebarannya luas dan spesies yang mempunyai kisaran toleransi sempit hanya terdapat di tempat-tempat tertentu saja. Faktor lain, misalnya pH tanah dikawasan mangrove ikut berpengaruh terhadap keberadaan makrobentos. Nilai pH menunjukkan derajat keasaman atau kebasaan suatu perairan. Pescod (1973) menyatakan bahwa toleransi organisme Universitas Sumatera Utara air terhadap pH bervariasi. Hal ini tergantung pada suhu air, oksigen terlarut dan adanya berbagai anion dan kation serta jenis dan stadium organisme (Arief, 2003). Kehadiran spesies dalam suatu komunitas zoobentos didukung oleh kandungan organik yang tinggi, akan tetapi belum tentu menjamin kelimpahan zoobentos tersebut, karena tipe substratpun ikut menentukan (Arief, 2003). Tipe substrat dasar perairan pesisir ditentukan oleh arus dan gelombang. Disamping itu juga oleh kelandaian (slope) pantai. Menurut Sumich (1992), Nybakken (1997) dan Barnes and Hughes (1999) dalam Ardi (2002) substrat daerah pesisir terdiri dari bermacam-macam tipe, antara lain: lumpur, lumpur berpasir, pasir, dan berbatu. Pada daerah pesisir dengan kecepatan arus dan gelombang yang lemah, subtrat cenderung berlumpur. Daerah ini biasa terdapat di daerah muara sungai, teluk atau pantai terbuka dengan kelandaian yang rendah. Sedangkan pada daerah pesisir yang mempunyai arus dan gelombang yang kuat disertai dengan pantai yang curam, maka substrat cenderung berpasir sampai berbatu. Substrat lumpur, merupakan ciri dari estuaria dan rawa asin. Perbedaan utama dengan wilayah pesisir dengan substrat berpasir adalah pantai berlumpur tidak dapat berkembang dengan hadirnya gerakan gelombang. Oleh karena itu, daerah pesisir dengan pantai berlumpur hanya terbatas pada daerah intertidal yang benar-benar terlindung dari aktivitas gelombang laut terbuka. Pantai berlumpur cenderung untuk mengakumulasi bahan organik, sehingga cukup banyak makanan yang potensial bagi bentos pantai ini. Namun, berlimpahnya partikel organik Universitas Sumatera Utara yang halus yang mengendap di dataran lumpur juga mempunyai kemampuan untuk menyumbat permukaan alat pernafasan (Ardi, 2002). Bentos yang dominan hidup di daerah substrat berlumpur tergolong dalam “suspended feeder”. Diantara yang umum ditemukan adalah kelompok Polychaeta, Bivalva, Crustaceae, Echinodermata dan Bakteri. Disamping itu juga ditemukan gastropoda dengan indeks keanekaragaman yang rendah serta lamun yang berperan meningkatkan kehadiran bentos (Ardi, 2002). Kedalaman air mempengaruhi kelimpahan dan distribusi zoobentos. Dasar perairan yang kedalaman airnya berbeda akan dihuni oleh makrozoobentos yang berbeda pula, sehingga terjadi stratifikasi komunitas menurut kedalaman. Pada perairan yang lebih dalam makrozoobentos mendapat tekanan fisiologis dan hidrostatis yang lebih besar. Karena itu makrozoobentos yang hidup di perairan yang dalam ini tidak banyak. Berdasarkan kedalaman laut Wright (1984) dalam Ardi (2002), mengelompokkan keberadaan hewan bentos dibagi atas tiga zone yaitu (1) zona intertidal (intertidal zone), (2) zona paparan benua (continental shelf) dan (3) zona laut dalam (deep sea). Faktor fisika kimia lain yang sangat besar pengaruhnya terhadap keberadaan makrozoobentos di perairan pesisir adalah salinitas dan keterbukaan wilayah pesisir selama pasang surut serta buangan limbah, baik yang mengandung senyawa-senyawa beracun (toksik) maupun logam berat (Arief, 2003). Universitas Sumatera Utara KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Letak Geografis dan Topografi Desa Kayu Besar terletak di Kecamatan Bandar Khalipah, Kabupaten Serdang Bedagai. Luas kecamatan Bandar Khalipah sekitar 11.600 Ha (116 Km2) dan berada pada ketinggian 0-10 mdpl, serta memiliki batas-batas geografis sebagai berikut: - Selatan berbatasan dengan Kecamatan Tebing Tinggi - Utara berbatasan dengan Selat Malaka - Timur berbatasan dengan Kabupaten Asahan - Barat berbatasan dengan Kecamatan Tanjung Beringin dan Kecamatan Sei Rampah (Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai, 2006). Desa Kayu Besar memiliki luas wilayah lebih kurang 1.650 Ha (16,85 Km2) atau 0,14% dari luas kecamatan Bandar Khalipah. Desa ini berada pada ketinggian 0-2 mdpl dengan batas geografis sebagai berikut: - Utara berbatasan dengan Selat Malaka - Selatan berbatasan dengan Desa Juhar - Timur berbatasan dengan Pangkalan Dosek (Asahan) - Barat berbatasan dengan Desa Pekan Bandar Khalipah (Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai, 2006). Universitas Sumatera Utara Komposisi penggunaan lahan di Desa Kayu Besar sebagai berikut: - Hutan mangrove : 250 ha - Tambak : 200 ha - Lahan pertanian : 500 ha (Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai, 2006). Kawasan hutan mangrove yang ada didominasi oleh jenis vegetasi seperti, Ceriops, Avicenia, Bruguiera, Rhizopora, Xylocarpus, Excoecaria, jenis nipah dan palem-paleman (Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai, 2006). Penduduk Jumlah penduduk Desa Kayu Besar berkisar 3.238 jiwa yang terdiri dari laki-laki 1.635 orang dan perempuan 1.603 orang. Jumlah kepala keluarga sebanyak 704 kepala keluarga yang tersebar di 13 dusun dengan kepadatan penduduk 192 orang/Km2. Penduduk asli adalah Suku Melayu, sedangkan suku dominan yang ada adalah Suku Batak dan Suku Jawa. Tingkat pendidikan masyarakatnya masih sangat rendah dimana 60% hanya sampai pendidikan dasar, 30% pendidikan menengah dan sekitar 10% tidak bersekolah (Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai, 2006). Mata Pencaharian Mayoritas mata pencaharian penduduknya adalah nelayan dan petani tradisonal yang mengelola sawah tadah hujan. Hasil utama penduduknya adalah padi, ikan dan hasil laut lainnya sedangkan dari hutan mangrovenya sendiri berupa pemanfaatan kayu dan nipah (Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai, 2006). Universitas Sumatera Utara