PENETAPAN KEPALA NEGARA OLEH KOMISI PEMILIHAN UMUM (KPU) DALAM PELAKSANAAN PEMILU DI INDONESIA (Tinjauan Ketatanegaraan Islam) SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syari’ah (S.sy) Disusun Oleh : Ahmad Rizki Alvian NIM. 1110045200023 KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H/2015 LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata-1 (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan skripsi ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau merupakan hasil plagiat dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sangsi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta,29 Mei 2015. Ahmad Rizki Alvian ABSTRAK Ahmad RizkiAlvian. NIM 1110045200023. Penetapan Kepala negara Oleh Komisi Pemilhan Umum (KPU) dalam Pelaksanaan Pemilu di Indonesia (Studi Kajian Ketatanegaraan Islam) Konsentrasi Ketatanegaraan Islam, Program Studi Jinayah Siyasah, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Tahun 1437 H/2015 M.iv + 62 halaman Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mekanisme penetapan kepala negara oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam pelaksanaan pemilu di Indonesia yang dikaitkan dengan nilai ketatanegaraan Islam. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang berarti penulis tidak menggunakan sample. Pengumpulan data dilakukan dengan metode kepustakaan di mana penulis melakukan pengidentifikasian secara sistemis dari sumber yang berkaitan dengan objek kajian. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa apa yang diterapkan oleh KPU sudah senada dengan ahl Hall wa al Aqd diantaranya ialah nilai musyawarah, nilai keadilan, dan nilai keterbukaan. Serta menjadi lembaga yang menampung aspirasi rakyat pada saat itu Kata Kunci: KPU, Musyawarah ahl hall wa al aqd, Pemilu, Wilayatulahdi, Orba, MPR, Pembimbing : Dr.H. Mujar Ibnu Syarif, M.Ag DaftarPustaka : Tahun1984 s.d.Tahun 2014 i KATA PENGANTAR Segala puji serta syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan segala nikmat dan anugerah-Nya kepada penulis, sehingga penulis diberi kekuatan untuk menyelesaikan skirpsi yang berjudul “PENETAPAN KEPALA NEGARA OLEH KOMISI PEMILIHAN UMUM (KPU) DALAM PELAKSANAAN PEMILU DI INDONESIA” (Tinjauan Ketatanegaraan Islam). Penyusunan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi sebagian syaratsyarat guna mencapai gelar sarjana Syariah di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan pengharapan sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu dalam penyusunan skripsi ini kepada : 1. Bapak Prof. Dede Rosyada, MA Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, Ph.D Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Ibu Dra. Hj. Maskufa, M.Ag dan Ibu Hj. Rosdiana MA Kajur dan Sekjur Program Studi Jinayah Siyasah. 4. Bapak Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, M. Ag Dosen pembimbing Skripsi yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini. 5. Seluruh staf pengajar dan karyawan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu serta bantuannya kepada penulis selama berlangsungnya perkuliahaan. ii 6. Kedua orang tua saya yang selalu mendoakan, member semangat, dan membantu saya dalam segala hal baik yang bersifat materil maupun non materil. 7. Untuk semua saudara kandung saya yang selalu mendorong saya untuk melangkah lebih baik lagi dari hari ke hari 8. Nelis Nazziatus sa’diah S.Pd sang aktifis serta motivator yang selalu ada untuk memberikan semangat baik secara langsung maupun tidak langsung, membantu dalam banyak hal termasuk penyusunan skripsi. 9. Keluarga Afiqu, Kahfi Motivator School, Sabilussalam, HMI Komfaksy, KKN Beta, INADA Ciputat yang selalu ada dan selalu memberikan ilmu tentang arti sebuah persahabatan. 10. Ari Hidayat, al-Muzani, Amuk, Fakhrurozi, Chombro, Fajar terima kasih telah terus mengingatkan untuk menyelesaikan skripsi ini. 11. Teman-teman seperjuangan angkatan 2010 UIN Jakarta dan khususnya temanteman di jurusan Siyasah Syariah 2010 (Rois, Daud, Fai, Ipin, Taslim, Hafidz, Juki, Udin, Fani, Imas, Ika, Vicky, Eli, Ela, Ikul, Sholiyah, Anita, Lulu, Ihda, Ilal, Ade) terim kasih telah saling memberikan semangat dan membantu dalam selama perkuliahan di UIN Jakarta. Semoga penulisan skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca. Jakarta, 29 Mei 2015 (Ahmad Rizki Alvian) iii KATA PENGANTAR Segala puji serta syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan segala nikmat dan anugerah-Nya kepada penulis, sehingga penulis diberi kekuatan untuk menyelesaikan skirpsi yang berjudul “PENETAPAN KEPALA NEGARA OLEH KOMISI PEMILIHAN UMUM (KPU) DALAM PELAKSANAAN PEMILU DI INDONESIA” (Tinjauan Ketatanegaraan Islam). Penyusunan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi sebagian syarat-syarat guna mencapai gelar sarjana Syariah di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan pengharapan sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu dalam penyusunan skripsi ini kepada : 1. Bapak Prof. Dede Rosyada, MA Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, Ph.D Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Ibu Dra. Hj. Maskufa, M.Ag dan Ibu Hj. Rosdiana MA Kajur dan Sekjur Program Studi Jinayah Siyasah. 4. Bapak Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, M. Ag Dosen pembimbing Skripsi yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini. 5. Seluruh staf pengajar dan karyawan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu serta bantuannya kepada penulis selama berlangsungnya perkuliahaan. 6. Kedua orang tua saya yang selalu mendoakan, member semangat, dan membantu saya dalam segala hal baik yang bersifat materil maupun non materil. 7. Untuk semua saudara kandung saya yang selalu mendorong saya untuk melangkah lebih baik lagi dari hari ke hari 8. Nelis Nazziatus sa’diah S.Pd sang aktifis serta motivator yang selalu ada untuk memberikan semangat baik secara langsung maupun tidak langsung, membantu dalam banyak hal termasuk penyusunan skripsi. 9. Keluarga Afiqu, Kahfi Motivator School, Sabilussalam, HMI Komfaksy, KKN Beta, INADA Ciputat yang selalu ada dan selalu memberikan ilmu tentang arti sebuah persahabatan. 10. Ari Hidayat, al-Muzani, Amuk, Fakhrurozi, Chombro, Fajar terima kasih telah terus mengingatkan untuk menyelesaikan skripsi ini. 11. Teman-teman seperjuangan angkatan 2010 UIN Jakarta dan khususnya temanteman di jurusan Siyasah Syariah 2010 (Rois, Daud, Fai, Ipin, Taslim, Hafidz, Juki, Udin, Fani, Imas, Ika, Vicky, Eli, Ela, Ikul, Sholiyah, Anita, Lulu, Ihda, Ilal, Ade) terim kasih telah saling memberikan semangat dan membantu dalam selama perkuliahan di UIN Jakarta. Semoga penulisan skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca. Jakarta, 29 Mei 2015 (Ahmad Rizki Alvian) DAFTAR ISI ABSTRAK i KATA PENGANTAR ii DAFTAR ISI iv BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 6 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 7 D. Tinjauan Pustaka 8 E. Metode Penelitian 9 F. Sistematika Penulisan 10 BAB II KONSEP ISLAM TENTANG INSTITUSI PENYELENGGARA PEMILU A. Sejarah Kelahiran Institusi Pemilu dalam Ahl al Hall wa al Aqd 12 B. Pandangan Ketatanegaraan Islam dalam Penetapan Kepala Negara 19 iv BAB III Profile Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Indonesia A. Sejarah Pemilu di Indonesia 22 B. Visi dan Misi Komisi Pemilihan Umum (KPU) 30 C. Pelaksanaan Pemilu di Indonesia Oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) 32 BAB IV Analisis Ketatanegaraan Islam dalam Penetapan Kepala Negara di Indonesia A. Kesesuaian Nilai ketatanegaraan Islam dalam Pemilu di Indonesia 38 B. Perbandingan Penetapan Kepala Negara dalam Islam Dengan Penetapan Kepala Negara Oleh KPU di Indonesia 45 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 59 B. Saran 60 DAFTAR PUSTAKA 61 v BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berakhirnya rezim Orde Baru tahun 1998 dan berawalnya apa yang disebut era reformasi telah menandai semangat baru dan tekad yang kuat untuk mewujudkan kehidupan politik yang benar-benar demokratis serta reformasi di bidang-bidang lain. Ini berarti, demokrasi bagi bangsa Indonesia bukan lagi menjadi konsep yang perlu dikaji secara ilmiah di lingkungan terbatas, tetapi sudah menjadi kebutuhan praktis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ke depan.1 Presiden terpilih BJ Habibie mendapat tugas berat untuk menakhodai Indonesia di masa transisi. Langkah-langkah yang mengarah kepada proses demokratisasi pun diambil. Kebebasan pers dijamin, pemberantasan korupsi dilakukan, para pejabat yang diangkat melalui nepotisme diberhentikan, kabinet dirombak, dan adapun yang paling menarik adalah dibukanya keran regulasi politik yang membolehkan didirikannya partai politik.2 Konsep demokrasi bukanlah konsep yang mudah dipahami, sebab ia memiliki banyak konotasi makna, variatif, evolutif, dan dinamis. Tidaklah mudah membuat suatu definisi yang jelas mengenai demokrasi.Demokrasi bermakna variatif karena sangat bersifat interpretatif.Setiap penguasa negara 1 Zulkifli Sulaiman, Demokrasi Untuk Indonesia Pemikiran Politik Bung Hatta, ( Jakarta: PT Kompas Media Nusantara 2010), hal. 2. 2 Didin Saefudin Buchori, Sejarah Politik Islam, (Jakarta: Pustaka Intermasa 2009), hal. 322. 1 2 berhak mengklaim negaranya sebagai demokratis, meskipun nilai yang dianut atau praktik politik kekuasaannya amat jauh dari prinsip-prinsip dasar demokrasi. Karena sifatnya yang interpretative itu, kita mengenal dengan berbagai tipologi demokrasi seperti demokrasi liberal, demokrasi rakyat, demokrasi proletar, demokrasi komunis, demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila, dan lain-lainnya.3 Menurut Josefh A. Schemeter, Demokrasi merupakan suatu perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik dimana individuindividu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan dengan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat. Sementara itu menurut Sidney Hook demokrasi diartikan sebagai bentuk pemerinatahan di mana keputusan-keputusan pemerintahan yang penting baik secara langsung maupun tidak langsung didasarkan pada kesepakatan, mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa.4 Dari pendapat diatas Moh. Mahfud MD, mengambil keputusan bahwa negara yang menganut sistem demokrasi mengandung tiga hal penting. Pertama Pemerintahan dari rakyat. Kedua, pemerintahan oleh rakyat. Ketiga, pemerintahan untuk rakyat.5 Sistem pemerintahan demokrasi berbeda dengan sistem pemerintahan diktator.Ia berbeda dari segi cara untuk mendapatkan kekuasaan pemerintah. Bagi sistem pemerintahan demokrasi, kekuasaan ini ditentukan melalui 3 Ahmad Suhaemi, Pemikiran Politik Barat,(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama), 2001, hal. 297. 4 Moh. Mufid, Politik Dalam Persepektif Islam, (Jakarta: UIN Press, 2004), hal. 68. Tim Penyusun Puslit IAIN Syarif Hidayatullah (Jakarta, Pendidikan Kewarganegaraan Demokrasi, Ham dan Masyarakat Madani, Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000), hal. 163. 5 3 pemilihan umum (pemilu).Melalui pemilihan umum ini, rakyat diberi hak untuk memilih pemimpin mereka sendiri. Ini berarti pemerintah demokrasi ialah pemerintahan yang mendapat mandat dan persetujuan rakyat untuk melaksanakan tugas-tugasnya. Sebaliknya pemerintahan diktator tidak membenarkan pemilu diadakan.6 Pemilihan umum atau pemilu, merupakan salah satu dari parameter demokrasi. Dalam sebuah negara demokrasi, pemilu dilaksanakan secara teratur, terbuka bagi setiap warga negara yang mempunyai hak memilih dan dipilih, rakyat bebas dalam menggunakan hak pilihnya sesuai dengan perhitungan kepentingannya secara rasional, tanpa ada paksaan dan rasa takut, bebas dalam mengambil bagian pada setiap tahap penyelenggaraan pemilu7. Bagi setiap warga negara yang memenuhi syarat untuk mendapatkan hak pilih, perlindungan bagi setiap individu terhadap pengaruh-pengaruh luar yang tak diinginkan saat ia memberikan suara, dan perhitungan yang jujur dan terbuka terhadap hasil pemungutan suara. Pemilihan umum tidak wajib atau tidak mesti diikuti oleh seluruh warganegara, namun oleh sebagian warga yang berhak dan secara sukarela mengikuti pemilihan umum. Sebagai tambahan, dengan adanya pemilu barulah sebuah negara demokrasi akan tahu siapa yang terpilih yang akan menjadi kepala Negara. Pendapat ini senada dengan bunyi BAB 1 pasal 1 ayat 1 UndangUndang Republik Indonesia No 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum 6 Tun Moh Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia, cet III, (Ampang: Dawarna Sdn, Bhd, 2006), hal. 169. 7 Syukron Kamil, Islam dan Demokrasi: Telaah Konseptual dan Histori, (Jakarta:Gaya Media Pratama, 2002), hal. 34. 4 Anggota DPR, DPD, DPRD yang berbunyi, Pemilihan Umum, selanjutnya disebut Pemilu, adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam negara kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar negara Republik Indonesia Tahun 1945.8 Pemilu membawa pengaruh besar terhadap sistem politik suatu Negara.Melalui pemilu masyarakat berkesempatan berpartisipasi dengan memunculkan para calon pemimpin dan penyaringan calon-calon tersebut.9 Pada hakikatnya pemilu, di negara manapun mempunyai esensi yang sama. Pemilu, berarti rakyat melakukan kegiataan memilih orang atau sekelompok orang menjadi pemimpin rakyat atau pemimpin Negara. Pemimpin yang dipilih itu akan menjalankan kehendak rakyat yang memilihnya. Sebagai sarana pelaksanaan asas kedaulatan rakyat berdasarkan Pancasila dalam negara Republik Indonesia, maka pemilu bertujuan antara lain : 1. Memungkinkan terjadinya peralihan pemerintahan secara aman dan tertib. 2. Untuk melaksanakan kedaulatan rakyat. 3. Dalam rangka melakukan hak-hak asasi warga Negara.10 Sesuai dengan apa yang dicantumkan dalam pembukaan dan pasal 1 UUD 1945 bahwa Indonesia menganut asas kedaulatan rakyat, yang 8 Undang-Undang Pemilu dan Partai Politik 2008, (Jakarta: Gradien Mediatama, 2008), hal. 11. 9 Titik Tri Wulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945,(Jakarta: Kencana, Cet ke II, 2001), hal. 332. 10 Titik Tri Wulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945,(Jakarta: Kencana, Cet ke II, 2001), hal. 333. 5 dimaksudkan di sini adalah kedaulatan yang dipunyai oleh rakyat itu antara lain tercermin di laksanakan pemilu dalam waktu tertentu. Karenanya pemilu adalah dalam rangka untuk memberi kesempatan kepada warga negara untuk melaksanakan haknya, dengan tujuan : 1. Untuk memilih wakil-wakilnya yang akan menjalankan kedaulatan yang dipunyai. 2. Terbuka kemungkinan baginya untuk duduk dalam badan perwakilan rakyat sebagai wakil yang dipercayakan oleh para pemilihnya. Dengan demikian, maka pada dasarnya pemilu sangat penting artinya bagi setiap warga Negara, partai politik, dan pemerintahan.Bagi pemerintahan yang di hasilkan dari pemilu yang jujur, berarti pemerintahan itu mendapat dukungan yang sebenarnya dari rakyat, tetapi jika pemilu dilaksanakan tidak dengan jujur, maka dukungan rakyat tersebut bersifat semu. Jauh sebelum sistem demokrasi diterapkan oleh mayoritas negara di seluruh dunia, Islam sudah menerapkan sistem yang sama seperti demokrasi dewasa ini, pada zaman khalifah sudah ada lembaga penyelenggara pemilu yang diberi nama ahl Al-hall wa al-Aqdi lembaga ini memiliki kewenangan untuk : (1) menetapkan siapa saja kandidat khalifah yang memenuhi syarat untuk merebutkan tahta khalifah dalam pemilu, (2) mengumumkan namanama kandidat khalifah tersebut kepada masyarakat sehingga sebelum masuk ke bilik suara setiap pemilih telah mengetahui dengan pasti siapa calon yang akan ddipilihnya dan (3) menentukan hari, tanggal dan jam pemilihan kepala Negara. Tapi bila kepala negara dipilih oleh ahl Al hall wa al-Aqd maka dalam 6 konteks Indonesia, fungsi institusi tersebut sama seperti MPR di masa lalu, sebelum amandemen 1945, yang antara lain mempunyai kewenangan untuk memilih presiden dan wakil presiden.11 Penjelasan di atas merupakan gambaran, bahwa sistem pemilihan umum memang sangat pas untuk sistem sebuah negara dewasa ini, pemilu pun merupakan sebuah media demokrasi tersendiri untuk mendapatkan atau untuk memilih kepala negara dan wakil kepala negara bahkan untuk menentukan wakil rakyat yang akan mewakili segala aspirasi mereka. Berdasarkan uraian tersebut, penulis merasa tertarik untuk meneliti dan mengkaji lebih dalam mengenai masalah yang berkaitan dengan kinerja pelaksanaan Pemilihan Umum (pemilu) yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Indonesia dalam penyelenggaraan pemilu yang dalam pelaksanaannya terdapat beberapa permasalahan sehingga penulis mengambil judul skirpsi : “Penetapan Kepala negara OlehKomisi Pemilihan Umum (KPU) Dalam Pelaksanaan Pemilu di Indonesia” (Studi Kajian Ketatanegaraan Islam) B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Berdasarkan paparan pada latar belakang masalah di atas, maka permasalahan 11 yang terdapat dalam penelitian ini yang dibatasi Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, (Jakarta: Erlangga, 2008), hal. 165. 7 adalahmengenai kinerja Komisi Pemiihan Umum (KPU) dalam menyelenggarakan pemilihan kepala negara yang dilaksanakan di Indonesia. 2. Perumusan Masalah Adapun masalah yang dikaji dalam skirpsi ini ialah sebagai berikut : a. Bagaimana kepala negara yang terpilih dari hasil pemilihan umum Republik Indonesia ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) ? b. Bagaimana konsep Pemilihan Umum kepala negara Republik Indonesia ditinjau dari presepektif ketatanegaraan Islam ? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Dalam penelitian ini ada beberapa tujuan yang ingin dicapai di antaranya : 1. Untuk mengetahui proses penetapan Kepala negara oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam penyelenggaraan pemilihan kepala negara di Indonesia. 2. Untuk mengetahui peranan KPU dalam menerapkan konsep ketatanegaraan Islam dalam pengangkatan kepala Negara. Adapun manfaat yang bisa diambil dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Kajian keilmuan tentang Komisi Pemilihan Umum, Dewan Perwakilan Rakyat dan Partai Politik 2. Menambah wawasan bagi para civitas akademik dalam seputar kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Indonesia dan ketatanegaraan Islam. 8 D. Tinjauan Pustaka Sejumlah penelitian dengan bahasan tentang politik Islam telah dilakukan, baik mengkaji secara spesifik topik tersebut ataupun yang mengkaji secara umum yang sejalan dengan bahasan penelitian ini. Berikut merupakan paparan tinjauan umum atas sebagian karya-karya penelitian tersebut baik yang berupa buku maupun skripsi, di antaranya : 1. Judul : ‘Nilai-nilai Ketatanegaraan Islam dalam pelaksanaan pemilu di Malaysia’, Penulis : Abdul Iladi Bin Ripin/SS/SJS/2008 Skripsi ini menguraikan serta menjelaskan mengenai nilai-nilai ketatanegaraan Islam dalam pelaksanaan pemilihan umum di Malaysia 2. Judul : ‘Dinamika Partai Amanat Nasional Dalam Pemilu 1999 dan 2004 di Indonesia’. Penulis : Edi Mulyadi/IP/SA/2009 Skripsi ini menjelaskan mengenai eksistensi Partai Amanat Nasional dan integritas dalam percaturan Pemilihan Umum di Indonesia pada Tahun 1999 dan 2004. 3. Judul : ‘Pola Komunikasi Politik PKS Studi Komparatif Pada Pemilu 2004 dan Pemilu 2009 di Kota Depok’. Penulis : Yudhi Dwi Pradana/IP/SPII/2009 Skripsi ini berisi tentang pola komunikasi yang diterapkan dalam suksesi pemenangan Pemilu pada tahun 2004 di Kota Depok dengan cara pendekatan terhadap masyarakat dan membentuk lembaga-lembaga kemanusian yang mampu menampung aspirasi masyarakat tersebut. 4. Judul : ‘Islam dan Tata Negara’ (Ajaran, Sejarah, Pemikiran) 9 Penulis : Munawir Sjadzali Yang menjelaskan tentang proses pengangkatan kepala negara (khilafah), dalam pelaksanaannya Islam mengajarkan beberapa metode pengangkatan kepala Negara, namun tidak terlepas dari konsep keadilan. Sementara itu dari studi terdahulu di atas, maka penulis pun akan memaparkan bahwa yang menjadi pembeda dari judul di atas ialah, penulis menjelaskan mengenai bagaimana kepala negara yang terpilih dalam pemilihan umum di Republik Indonesia ditetapkan oleh komisi pemilihan umum (KPU), serta pentingnya sebuah lembaga yang mengurusi terkait pemilihan umum. Serta tinjauan ketatangeraan Islam dalam pengangkatan kepala negara oleh KPU di Indonesia. E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Ditinjau dari segi data yang diperoleh, penelitian ini menggunakan tipe penelitian kualitatif yaitu penelitian yang menghasilkan data deskriftif. Diawali dengan menyusun asumsi dasar dan aturan berpikir yang digunakan dalam penelitian. Asumsi dan aturan berpikir tersebut selanjutnya diterapkan secara sistematis dalam pengumpulan dan pengolahaan data yang diperoleh dari informasi untuk memberikan penjelasan dan argumentasi12. Dalam penelitian kualitatif menurut Noeng Muhadjir diterapkan model logika reflektif, yang di dalamnya proses 12 Soerjono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UII-Press, 2006), hal. 32. 10 berfikir membuat abtraksi dan proses berfikir membuat penjabaran berlangsung cepat.13 2. Objek Penelitian Dalam penelitian ini objek yang terkait adalah kinerja Komisi pemilihan Umum (KPU) dalam penetapan kepala negara .Penelitian ini sangat menarik karena dalam pelaksanaan pemilu semenjak Era Reformasi terdapat banyak sekali permasalahan. 3. Teknik Pengumpulan Data Sumber data yang diperoleh dalam penulisan skripsi ini, yaitu : a. Data Primer Data Primer antara lain : data yang diperoleh dari hasil wawancara kepada Fungsionalis Komisi Pemilihan Umum, serta dokumendokumen yang terkait dengan Komisi Pemilihan Umum. b. Data Sekunder Data Sekunder antara lain : data yang diperoleh melalui data-data yang telah diteliti dan dikumpulkan oleh pihak lain yang berkaitan dengan permasalahan penelitian ini baik berupa buku, majalah ataupun media internet. 4. Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan penulis dalam penelitian ini ialah analisi kualitatif dan setelah memperoleh data, maka penulis akan mengolah data dengan menggunakan metode deskriftif dan komperatif. 13 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif : Pendekatan Positivistik, Fenomenologik, dan Realisme Metafisik, Telaah Studi Teks dan Penelitian Agama,(Yogyakarta: Raka Sarasin, 1996), hal. 6. 11 Yaitu analisis perbandingan antara pelaksanaan pemilu di Indonesia dan ketatanegaraan Islam. F. Sistematika Penulisan Untuk mempermudah dan memperoleh gambaran yang utuh serta menyeluruh, maka penelitian skripsi ini ditulis dengan menggunakan sistematika pembahasan sebagai berikut : BAB I Berupa pendahuluan yang mencakup latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan. BAB II Konsep Islam mengenai institusi penyelenggara pemilu, Membahas tentang, Prinsip Islam dalam Pemilihan Umum di Indonesia dan pandangan ketatanegaraan Islam dalam penetapan kepala negara BAB III Profile Komisi Pemilhan Umum di Indonesia yang meliputi; sejarah pemilu di Indonesia dan ketatanegaraan Islam, Visi dan Misi KPU di Indonesia, pelaksanaan pemilu di Indonesia oleh KPU BAB IV Analisis ketatanegaraan Islam dalam penetapan kepala negara di Indonesia, memuat; kesesuaian nilai ketatanegaraan Islam terhadap kinerja KPU dan perbandingan penetapan kepala negara dalam Islam dengan penetapan kepala negara oleh KPU di Indonesia BAB V Merupakan penutup yang berisi tentang kesimpulan dan saran. BAB II KONSEP ISLAM TENTANG INSTITUSI PENYELENGGARA PEMILU A. Sejarah Kelahiran Institusi Pemilu Dalam Ahl al Hall Wa al Aqd Sebagaimana yang telah kita ketahui, sudah lebih dari 1400 tahun yang lalu batu sendi pembentukan masyarakat Islam telah diletakkan di kota Makkah di bawah situasi dan kondisi yang sangat tidak bersahabat dan memusuhi. Memulai dan kemudian secara bertahap mengembangkan suatu masyarakat Islami, di dalam sistem yang sangat bertolak belakang inilah yang merupakan tujuan seumur hidup Rasulullah saw. Ketika masyarakat Islam mencapai kemerdekaan politiknya, juga setelah organisasi-organisasi dalam negerinya maju selangkah dalam rangka membentuk tahap suatu negara regular, Rasulullah Muhammad saw. Menjadi dan diakui sebagai kepala negara pertamanya. Beliau sama sekali tidak dipilih oleh siapa pu. Beliau telah dipilih untuk tugas ini oleh Allah yang maha kuasa sendiri. Selama berpuluh-puluh tahun beliau mengemban tugas sebagai kepala negara tersebut sampai wafatnya. Beliau wafat tanpa sama sekali meninggalkan perintah-perintah yang jelas ataupun calon-calon pengganti atau penunjukan pengganti beliau. Karena tidak adanya isyarat-isyarat yang jelas ini, dan dengan mengambil dasar pada perintah Al-Qur’an agar segala urusan umat diputuskan secara musyawarah, para sahabat dengan tepat telah menyimpulkan bahwa sepeninggal Rasul, seleksi dan penunjukan kepala negara Islam telah diserahkan kepada kehendak pemilihan dari kaum Muslim yang harus dilaksanakan sejalan dengan jiwa perintah Al-Qur’an tersebut.1 1 . Abu A’la Al-Maududi, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, (Bandung: Mizan, 1995), hal. 255-256. 12 13 Setelah Nabi Muhammad saw wafat, kaum muslim di Madinah membentuk kelompok-kelompok politik yang berbeda seperti Anshar, Muhajirin dan Bani Hasyim. Masing-masing kelompok ini memiliki pemimpin tersendiri. Anshar dipimpin oleh Sa’ad ibn Ubadah, Muhajirin mendukung Abu Bakar dan Umar, sedangkan Bani Hasyim memberikan dukungan kuat kepada Ali. Sumber-sumber sejarah hidup Nabi (sirah Nabawiyah) memberikan gambaran mengenai pemilihan khalifah pertama, Abu Bakar. Kaum Anshar mengklaim kekuasaan dengan alasan bahwa mereka merupakan bagian terbesar dari angkatan bersenjata muslim. Mereka menyarankan sebagai alternative agar kedaulatan dibagi di kalangan umat. Kaum Muhajirin mempertahankan kesatuan umat Islam dan mengklaim kekuasaan dengan alas an bahwa semua orang Arab hanya mau menerima kepemimpinan dari suku Quraisy. Klaim Bani Hasyim, berkumpul di balairung Bani Saadah dan mengadakan perdebatan politik. Peristiwa ini disebut pula peristiwa Saqifah. Disitu, Umar mengusulkan Abu Bakar sebagai khalifah, dan mayoritas menerima usulan tersebut. Setelah itu, kaum Muhajirin dan Anshar memberikan bay’ah kepada Abu Bakar.2 Pengangkatan Umar sebagai khalifah dilakukan melalui penunjukan oleh Abu Bakar. Terdapat sebuah pandangan yang menyatakan bahwa ditunjuknya Umar oleh Abu Bakar merupakan hasil konspirasi mereka setelah Nabi Muhammad meninggal. Konspirasi itu dilakukan untuk mengalahkan calon 2 . Nur Mufid dan A. Nur Fuad, Bedah Al-Ahkamus Sulthaniyah Al-Mawardi,(Jakarta: Pustaka Progresif, 2000), hal. 58-59. 14 yang diajukan baik oleh kaum Anshar maupun oleh keluarga Bani Hasyim. Bahkan Bernard Lewis menyebut pemilihan Abu Bakar sebagai sebuah bentuk coup d’etat. Menyadari bahwa potensi konflik di kalangan umat Islam sangat tinggi, Umar mempersiapkan penggantinya dengan membentuk sebuah dewan formatur atau komite yang terdiri dari tujuh orang untuk melakukan musyawarah dalam rangka memilih khalifah ketiga. Tujuh tokoh tersebut ialah, Ustman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Sa’ad bin Waqqas, Thalhah, Zubair ibn Awwam, Abdruhman bin Auf dan Abdullah bin Umar. Ketujuh tokoh inilah yang disebut sebagai anggota ahl al-hall wa al-aqddalam masalah suksesi. Secara harfiyah, ahl al-hall wa al-aqd berarti orang yang dapat memutuskan dan mengikat. Para ahli fiqih siyasah merumuskan pengertian, ahl al-hall wa al-aqd sebagai orang yang memiliki kewenangan untuk memutuskan dan menentukan sesuatu atas nama umat (warga Negara). Menurut M. Iqbal , ahl al-hall wa al-aqd adalah lembaga perwakilan yang menampung dan meyalurkan aspirasi atau suara masyarakat.3 Dalam hal menentukan kepala Negara, sejarah Islam tidak menjelaskan keterlibatan langsung masyarakat untuk member suara. ahl al-hall wa al aqd berfungsi menentukan berdasarkan musyawarah. Berangkat dari parktik yang dilakukan al-khulafa’ al-Rasyidun inilah para ulama siyasah merumuskan pandangannya tentang ahl al-hall wa al-aqd. Menurut mereka, para khalifah tersebut, dengan empat cara pemilihan yang berbeda-beda, dipilih oleh pemuka umat Islam untuk menjadi kepala Negara. 3 . Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasahkontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), hal. 137-138. 15 Selanjutnya pemilihan ini diikuti dengan sumpah setia (bay’ah) umat Islam secara umum terhadap khalifah terpilih. Berdasarkan cara-cara tersebut, alMawardi menguraikan perbedaan pendapat ulama tentang berapa jumlah ahl al-hall wa al-aqd yang dapat dikatakan sebagai representasi pilihan rakyat untuk mengangkat kepala negara. Dalam sejarah Islam, pembentukan lembaga ahl al-hall wa alaqdberkembang dan dilakukan oleh pemerintahan Bani Umaiyah di Spanyol. Khalifah al-Hakam II (961-976 M) membentuk Majelis Syura yang beranggotakan pembesar-pembesar negara dan sebagian lagi pemuka masyarakat. Kedudukan anggota Majelis Syura ini setingkat dengan pemerintah. Khalifah sendiri bertindak langsung menjadi ketua lembaga tersebut. Majelis inilah yang melakukan musyawarah dalam masalah-masalah hukum dan membantu khalifah melaksanakan pemerintahan negara. Adapun tugas dari ahl al-hall wa al-aqd ialah memilih khalifah atau kepala negara. Ini menunjukan bahwa sistem pemilihan khalifah dalam persepektif pemikiran ulama fikih, dan kecenderungan umat Islam generasi pertama dalam sejarah, adalah secara tidak langsung atau melalui perwakilan. Ini, dari segi fungsionalnya, sama seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) di Indonesia sebagai lembaga tertinggi negara dan perwakilan yang personal-personalnya merupakan wakil-wakil rakyat yang dipilih oleh rakyat dalam pemilu, dan salah satu tugasnya adalah melantik presiden (sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan).4 4 . Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran,( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2002), hal.67-68. 16 Sebagai disebut diatas, ahl al-hall wa al-aqd adalah orang-orang yang mendapat kepercayaan sebagai wakil rakyat. Tapi pernyataan di atas masih abstrak. Belum disebut secara konkrit kelompok-kelompok sosial yang mana saja yang dapat dikategorikan sebagai ahl al-hall wa al-aqd apa kualifikasinya, bagaimana hubungannya dengan rakyat dan mekanisme apa yang digunakan untuk memperoleh kedudukan terhormat itu. Selanjutnya al-Mawardi menentukan bahwa syarat yang mutlak dipenuhi oleh anggota ahl al-hall wa al-aqd adalah adil dengan segala syarat-syarat. Ilmu yang membuatnya mampu mengetahui siapa yang berhak menjadi khalifah sesuai dengan kriteria-kriteria yang legal. Lalu wawasan dan sikap bijaksana yang membuatnya mampu memilih siapa yang paling tepat menjadi khalifah, dan paling efektif, serta paling ahli dalam mengelola semua kepentingan.5 Sayangnya, al-Mawardi tidak menjelaskan secara memadai mengenai prosedur pemilihan ahl al-hall wa al-aqd dan hubungan lebih jauh antara ahl al-hall wa al-aqd dengan khalifah. Dalam hal ini, al-Mawardi hanya menjelaskan proses pemilihan kepala negara yang diawali dengan meneliti persyaratan kandidat. Lalu kandidat yang dianggap paling memenuhi kualifikasi untuk menjadi kepala negara diminta kesediannya tanpa terpaksa. Bila ia bersedia menjadi kepala negara, maka dimulailah kontrak sosial antara kepala negara dan rakyat yang diwakili oleh ahl al-hall wa al-aqd. Selanjutnya rakyat secara umum menyatakan kesetiaan mereka kepada kepala negara. 5 . Imam al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyah Hukum-Hukum Penyelenggaraan negara dalam Syariat Islam,( Jakarta: Darul Falah, 2007), hal. 3. 17 Sementara itu al-Anshari berpendapat bahwa adapun mekanisme pemilihan ahl al-hall wa al-aqd dapat dilakukan melalui beberapa cara: 1. Pemilihan umum yang dilaksanakan secara berkala. Dalam pemilu ini, anggota masyarakat yang sudah memenuhi persyaratan memilih anggota ahl al-hall wa al-aqd sesuai dengan pilihannya. 2. Pemilihan anggota ahl al-hall wa al-aqd melalui seleksi dalam masyarakat. Dalam hal ini, masyarakat akan melihat orang-orang yang terpandang dan mempunyai integritas pribadi serta memiliki perhatian yang besar untuk kepentingan umat. Merekalah yang kemudian dipilih untuk menjadi anggota ahl al-hall wa al-aqd 3. Disamping itu, ada juga anggota ahl al-hall wa al-aqd yang diangkat oleh kepala negara6. Di antara ketiga cara demikian, cara yang pertamalah yang lebih kecil kelemahannya, karena cara ini mencerminkan kehendak rakyat secara bebas. Mereka tidak perlu merasa takut untuk memilih siapa calon anggota ahl alhall wa al-aqd yang akan mewakilinya, sesuai dengan pilihan terbaiknya. Sedangkan cara kedua sangat subyektif sehingga bisa menimbulkan penyimpangan. Sementara cara yang ketiga tidak kondusif bagi independensi anggota ahl al-hall wa al-aqd untuk bersikap kritis terhadap penguasa, karena ia diangkat oleh kepala negara. Dengan demikian posisinya tersubordinasi oleh kepala negara. Dalam konteks ini, pengalaman bangsa Indonesia yang menggunakan sistem pengangkatan di samping pemilihan dalam menentukan 6 . Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasahkontekstualisasi Doktrin Politik Islam,( Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), hal. 143. 18 anggota ahl al-hall wa al-aqd selama Orde Baru, mungkin dapat dijadikan contoh, betapa mereka tidak mampu bersikap kritis terhadap berbagai kebijaksanaan penguasa yang tidak mencerminkan aspirasi rakyat. Pembentukan lembaga ahl al-hall wa al-aqd dirasa perlu dalam pemerintahan Islam, mengingat banyaknya permaslahan kenegaraan yang harus diputuskan secara bijak dan pandangan yang tajam, sehingga mampu menciptakan kemaslahatan umat Islam. Para ahli fiqih siyasah menyebutkan beberapa alasan pentingnya pelembagaan majelis syura ini, yaitu: pertama, rakyat secara keseluruhan tidak mungkin dilibatkan untuk dimintai pendapatnya tentang masalah kenegaraan dan pembentukan undang-undang. Oleh karena itu, harus ada kelompok masyarakat yang bisa diajak musywarah dalam menentukan kebijaksanaan pemerintahan dan pembentukan perundangundangan. Kedua, rakyat secara individual tidak mungkin dikumpulkan untuk melakukan musyawarah di suatu tempat, apalagi di antara mereka pasti ada yang tidak mempunyai pandangan yang tajam dan tidak mampu berpikir kritis. Mereka tentu tidak mampu mengemukakan pendapat dalam musywarah. Hal ini dapat mengganggu berbagai aktivitas kehidupan masyarakat. Ketiga, musywarah hanya bisa dilakukan apabila jumlah pesertanya terbatas. Keempat, ajaran Islam sendiri yang menekankan perlunya pembentukan lembaga musywarah, sebagaimana dalam surat al-Syura ayat 38 dan surat ali Imran ayat 159. Disamping itu, Nabi sendiri menekankan dan melaksanakan musyawarah dengan para sahabat untuk menentukan suatu kebijaksanaan pemerintahan. 19 B. Pandangan ketatanegaraan Islam dalam penetapan kepala Negara Jika hukum keberadaannya wajib merupakan karakter pemerintahan Islam atau Imamah, maka masalah pertama yang mendapat perhatian para ulama yang membahas ilmu ini untuk diuraiakan adalah masalah wajibnya pemerintahan ini ditegakkan. Eksistensi pemerintahan sangat penting, menegakkannya adalah keharusan atau fardhu bagi masyarakat atau umat dalam komunitasnya. Jika tidak ditegakkan, masyarakat atau umat tersebut telah melakukan suatu kesalahan fatal. Para ulama memberikan hujjah-hujjah dan dalil-dalil untuk membuktikan dasar kewajiban ini. Pendapat pertama yang mengatakan wajibnya imamah dan menegakkannya adalah fardhu serta kewajiban umat meralisasikannya adalah pendapat Ahlus Sunnah dan Murji’ah secara umum, juga pendapat Mu'tazilah kecuali segelintir kecil dari mereka, dan Kwaharij kecuali kelompok anNajdaat. Dalil pertama yang berupa Ijma, mereka mengatakan telah terbukti bahwa para sahabat, ketika mereka mendengar berita wafatnya Rasulullah saw. Langsung berinisatif mengadakan pertemuan di Saqifah Bani Sa’idah menurut riwayat yang masyhur. Turut serta dalam pertemuan itu para pembesar Anshar dan Muhajirin. Mereka mereka meninggalkan perkara-perkara yang paling penting menurut mereka, di antaranya mempersiapkan makam Rasul dan pergi membicarakan masalah pengganti beliau. Mereka, sekalipun berbeda pendapat mengenai pribadi orang yang sepantasnya untuk di bai’at atau mengenai sifatsifat dan karakter yang semestinya dimiliki oleh orang yang terpilih, sepakat 20 (ijma) dalam hal wajibnya ada imam atau pemimpin. Ibnu Khaldun mengatakan dalam masalah ini, “kemudian bahwa melantik imam adalah wajib yang kewajibannya diketahui dari agama dengan ijma para sahabat dan tabi’in karena para sahabat Rasulullah saw, ketika beliau wafat, segera membaiat Abu Bakar r.a dan menyerahkan kepadanya untuk mengatur urusan mereka. Demikian pula dalam setiap era setelah itu, manusia atau umat tidak boleh ditinggalkan dalam keadaan kacau dalam suatu masa dari berbagai masa. Sebagaimana diperkuat dalam ayat al-Qur’an surat an-Nisa ayat 59 yang artinya sebagai berikut. “wahai orang-orang yang beriman Taatilah Allah dan Rasul-Nya dan para pemimpin diantara kalian”. Allah telah mewajibkan kita untuk menaati ulil amri dan mereka adalah para imam yang menjadi pemerintah kita. Ibnu Hisyam bin Arwah meriwayatkan dari Abi Shaleh, dari Abi Hurairah, bahwa Rasulullah saw, bersabda, “kalian akan dipimpin setelahku oleh wali-wali (orang-orang yang diangkat jadi pemimpin), maka yang baik akan memimpin kalian dengan kebaikanny, dan yang jahat dengan kejahatannya. Maka dengarkanlah mereka dan taatilah segala hal yang sesuai dengan kebenaran. Jika mereka berbuat baik, kalian mendapat pahala dan mereka juga. Jika mereka berlaku jahat, kalian mendapat pahala dan mereka mendapat dosa.” BAB III PROFILE KOMISI PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA A. SEJARAH PEMILU DI INDONESIA Pemilu pertama diselenggarakan pada tahun 1955, atau sepuluh tahun setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, pemilu 1955 diselenggarakan di bawah sistem demokrasi parlamanter dengan payung utamanya Undang-undang Dasar Seementara (UUDS) tahun 1950, konstitusi dasar pengganti UUD 1945, yang sangat mengedepankan hak-hak sipil dan demokrasi pengelolaan kekuasaan negara. Pasal 34 UUDS 1950 itu menyatakan “tiada suatu ketentuan dalam bagian ini boleh ditafsirkan dengen pengertian, sehingga penguasa, golongan atau orang dapat memetik hak daripadanya untuk mengusahakan sesuatu atau melakukan sesuatu perbuatan berupa apapun yang bermaksud menghapsukan hak-hak atas kebebasan yang diterangkan di dalamnya”. Dan kemudian dalam pasal 35 UUDS 1950 ditegaskan kaitan antara kemauan rakyat dengan pemilu, yang berbunyi, “kemauan rakyat adalah dasar kekuasaan, kemauan itu dinyatakan dalam pmilihan berkala dan berkesamaan, serta dengan pemungutan suara yang rahasia atau menurut cara yang juga menjamin kebebasan mengeluarkannya”.1 Ketika perang kemerdekaan berakhir pada tahun 1949, wakil presiden Mohammad Hatta mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden No. X/1949 yang 1 . Biro Humas Komisi Pemilihan Umum, Pemilu Indonesia Dalam Angka dan Fakta Tahun 1955-1999. 21 22 bertujuan meliberalisasikan sistem politik. UUDS 1950 pun menggantikan UUD 1945 yang berlaku sebelumnya. Berbeda dari UUD 1945 yang menekankan sistem presidensiil yang kuat, konstitusi baru ini menetapakan presiden sebagai kepala negara dan perdana menteri sebagai kepala pemerintahan. Namun, sistem baru itu kemudian dianggap gagal, karena kabinet terus menerus dalam situasi yang tidak stabil. Kabinet yang paling kuat secara politisi hanya mampu bertahan selama dua tahun. Legitimasi sistem konstitusional juga terancam oleh sejumlah gerakan pemberontakan. Pemilu untuk memilih para anggota majelis konstitusioanl (konstituante) dianggap sebagai jawaban bagi instabilitas politik. Akhirnya, UU pemilu 1953 memberi jawaban pertama ke arah penyelenggaraan pemilu legislatif yang perwakilan proporsional dalam konstituensi beranggota banyak. Meskipun proses pemilunya berlangsung adil dan demokratis, hasilnya mengecewakan mereka yang berharap bahwa pemilu akan meningkatkan stabilitas demokrasi parlamenter.2 Tidak satu pun partai peserta pemilu yang mampu meraih lebih dari seperempat jumlah suara yang sah. Partai Nasional Indonesia (PNI) meraih suara tertinggi dengan 22,3 persen, disusul oleh partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (MASYUMI) dengan 20,9 persen, partai Nahdatul Ulama (NU) dengan 18,4 persen dan Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan 19 persen. 2 . Aurel Croissant dan Gabriele Bruns, Politik Pemilu di Asia Tenggara dan Asia Timur, (Jakarta: Pensil-324), hal. 102. 23 Meskipun pemilu 1955, yang disusul oleh pemilu sela 1957, umumnya dianggap berlangsung secara demokratis, tetapi tidak berhasil mengatasi krisis politik yang telah kronis. Pertarungan berbagai kubu ideologi, pertentangan antara parlamen dan kabinet, serta konflik antar kelompok masyarakat, telah menciptakan situasi politik yang sangat tidak stabil. Jadi, pemilu dianggap tidak menyelesaikan masalah instabilitas politik yang berlangsung bertahuntahun di bawah sistem demokrasi parlamenter (liberal) sebelumnya. Menjelang tahun 1967, Mayjen Soeharto telah melucuti kekuasaan Presiden Soekarno. Sebuah rejim otoriter baru yang disbeut “Orde Baru” dibentuk. Soeharto terpilih sebagai pejabat Presiden RI oleh parlamen. Dengan didukung oleh Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya, yang memuji Soeharto karena keberhasilnnya dalam menumpas PKI, orde baru mulai mempersiapkan pemilunya yang pertama, yang dijadwalkan berlangsung pada tahun 1971. Tanpa partisipasi dua partai sebelumnya, yaitu Masyumi yang telah dilarang oleh Bung Karno dan PKI yang telah dibubarkan oleh Soeharto, maka pemilu 1971 menjadi alat legitimasi yang efektif bagi rejim Orde Baru. Sepuluh partai politik bertarung dalam pemilu tersebut. Satu di antaranya ialah Golongan Karya (Golkar). Golkar dibentuk pada awal 1960’an sebagai front bersama untuk melawan PKI. Golkar merupakan organisasi yang terdiri dari sekumpulan kelompok dengan latar belakang sosial yang berbeda-beda. 24 Meskipun secara hukum (legal), Golkar bukan partai politik, ia muncul sebagai partai rejim Orde Baru-nya Soeharto.3 Sebagaimana diperkirakan, Golkar menang mutlak dalam pemilihan umum 1971. Partai ini meraih 62,8 persen suara sah dan memenangkan 236 dari 360 kursi di parlamen, jumlah yang cukup untuk mengontrol parlamen (DPR). DPR ini adalah bagian dari MPR, yang anggotanya berjumlah dua kali lipat anggota DPR (720) dan yang setengah dari jumlah ini merupakan hasil pengangkatan. Dalam rangka mengkonsolidasikan lebih jauh kekuasaannya, Presiden Soeharto memprakarsai sistem kepartaian pada tahun 1974, semua partai dan kelompok politik, kecuali Golkar, dibubarkan dan digantikan oleh dua partai baru, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Meskipun dari segi hukum ketiga partai ini merupakan organisasi politik yang terpisah dan bersifat independen, tetapi sistem kepartaian sesungguhnya merupakan “sistem hegemonik” karena Golkar merupakan partai politik yang dominan, dengan kedua partai lainnya sebagai “partai satelit” Dibawah kerangka sistem kepartaian yang difabrikasi seperti ini, rejim Orde Baru berhasil menyelenggrakan pemilu secara teratur untuk memilih sebagai anggota DPR. Pemilu-pemilu tersebut diselenggrakan pada tahun 3 . Aurel Croissant dan Gabriele Bruns, Politik Pemilu di Asia Tenggara dan Asia Timur, (Jakarta: Pensil-324), hal. 103. 25 1977, 1982, 1987, 1992 dan 1998. Namun, tidak satu pun pemilu tersebut yang berlangsung kompetitif atau bebas dan adil, karena seluruh aparatur negara, tentara dan masyarakat dimobilisasikan untuk mendukung rejim Orde Baru dan Golkar. Mei 1998, presiden Soeharto terpaksa mundur dari kekuasaan yang dijalankannya sendirian (one man show). Ia digantikan oleh suatu pemerintahan transisi yang dipimpin oleh Wakil Presiden B.J. Habibie, seorang Insinyur yang beralih profesi menjadi politisi. Dengan pengambilan alih kekuasaan maka dilmulailah apa yang disebut sebagai Era Reformasi. Era reformasi merupakan era kebebasan dan keterbukaan yang secara luas diberikan kepada seluruh lapisan masyarakat untuk secara bebas menyalurkan aspirasinya, era kebebasan ini menjadi sebuah momentum bagi seluruh masyarakat Indonesia untuk mewujudkan keinginanya dalam berbagai hal, salah satunya dalam bidang politik hal ini ditandai dengan lahirnya partaipartai politik dalam jumlah besar, sehingga mencapi 181 partai yang resmi terdaftar pada Departemen Kehakiman setelah melalui penyeleksian yang dilakukan “tim sebelas”4. Diantara 181 partai tersebut hanya 48 partai yang lolos dan layak mengikuti pemilu 1999 termasuk didalamnya terdapat sekitar 20 partai Islam5. Lahirnya banyak partai-partai politik tak terkecuali partai 4 . Azyumardi Azra (pengantar), dalam A.M. Fatwa, Satu Islam Multipartai: Membangun Integritas di Tengah Pluralitas, (Bandung: Mizan Media Utama, 2000), hal. 12. 5 . Sudirman Tebba, Islam Menuju Era Reformasi, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2001), hal. Xix. 26 Islam pada era reformasi ini menunjuk sebuah relaksasi politik yang hadir setelah Orde Baru runtuh. Dari sekian banyak partai politik yang ikut serta dalam percaturan perpolitikan di Indonesia bisa diklasifikasikan kedalam beberapa aliran diantaranya: Nasionalis, Sekuler dan Islamis (partai Islam). Parati politik peserta pemilu 1999 dapat dibagi dalam dua kelompok. Pertama, kelompok partai Islam tradisionalis yang diwakili kalangan nahdiyin yang ditambah Perti dan al-washiliyah, yang terdiri dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Solidaritas Uni Nasional Indonesia (Partai SUNI), Partai Kebangkitan Umat (PKU), Partai Nahdatul Ummah (PNU). Kedua, kelompok partai Islam Modernis, yang kemudian terbagi menjadi dua faksi terpisah: Konservatif dan Liberal. Kelompok Islam Konservatif terdiri dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Keadilan (PK). Kelompok Modernis liberal adalah orang-orang yang berasal dari kalangan Muhammadiyah yang tergabung dalam partai Amanat Nasional (PAN). Himpunan Mahasiswa Islam yang tergabung dalam Golkar, diluar ini adanya juga beberapa yang dianggap sebagai partai gurem seperti Partai Abu Yatama (PAY), Partai Islam Demokrat (PID), Partai Kebangkitan Muslimin Indonesia (KAMI), dan Partai Umat Muslimin Indonesia (PUMI).6 Sementara itu pada pemilihan umum selanjutnya yang dilaskanakan pada 5 April 2004, semakin semarak dan bahkan tanda-tanda akan lahirnya budaya 6 . Idris Thaha, Demokrasi Religius, Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais, (Jakarta: Teraju, 2005), 203-204. 27 kekerasan semakin kental. Salah satu isu yang ditenggarai akan menorehkan budaya kekerasan adalah adanya pembatasan secara limitatif Parpol peserta Pemilu tahun 2004. Pola pembatasan secara ketat Parpol peserta 2004 adalah amat unik dalam mekanisme Pemilu di Indonesia. Karena selama ini pola pembatasan Parpol peserta Pemilu tidak seketat pemilu 2004. Dalam suasana itu, sulit membayangkan bila parpol peserta pemilu tidak dibatasi. Katakanlah Pemilu 2004 akan diikuti oleh ratusan parpol, pastilah akan menyulitkan praktek pengaturan dan pengawasannya dilapangan baik oleh Panwaslu, KPU maupun lembaga-lembaga lainnya. Kesulitan ini dapat dirasakan misalnya saat kampanye dan pencoblosan, bisa dibayangkan bila kampanye dan pencoblosan diikuti oleh ratusan parpol, ditengah ratusan ribu konsistuen politik yang belum dewasa secara politik, kita dapat bersyukur dari data yang ada, parpol yang mendaftarkan diri ke Depkeh HAM ada 237 Parpol, namun yang berhasil lolos verifikasi hanyalah 50 Parpol. Dari 50 Parpol inilah yang akan diverifikasi oleh KPU pusat.7 Pengawasan pelaksanaan pemilu dilakukan untuk menampung dan menindaklanjuti pengaduan atas pelanggaran dan sengketa. Pengawasan ini dilakukan oleh Panitia Pengawas Pemilu, Panitia Pengawas Pemilu Provinsi, 7 . Agust Riewanto, Ensiklopedi Pemilu Analisis Kritis Intropektif Pemilu 2004 Menuju Agenda Pemilum 2009, (Yogyakarta: El-Sab), hal. 11. 28 Panitia pengawas Pemilu Kabupaten/Kota dan Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan.8 Tugas dan wewenang Panwaslu sebagaimana disebutkan dalam pasal 122 ayat (1) yaitu: a. Mengawasi semua tahapan penyelenggara pemilu b. Menerima laporan pelanggaran peraturan perundang-undangan Pemilu c. Menyelesaiakan sengketa Pemilu yang timbul d. Meneruskan temuan dan laporan yang tidak dapat diselesaikan kepada instansi yang berwenang. Setelah melakukan pemungutan suara lalu KPU mengumumkan penetapan hasil pemilu Presiden di Hotel Borubudur, Jakarta pada tanggal 10 bulan April. Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Muhammad Jusuf Kalla resmi dinyatakan sebagai pemenang dalam pemilu presiden dan wakil presiden 2004. Dari hasil rekapitulasi yang dilakukan sejak 2 Oktober malam hingga 4 Oktober siang, jumlah suara sah seluruhnya 114.257.054 dan suara tidak sah 2.405.651 (2,05%)9. Pemilihan umum 2009 diikuti oleh 38 parpol, sebanyak 18 peserta adalah parpol baru, sementara itu, dua parpol baru Hati Nurani Rakyat (HANURA) 8 . Lily Zakiyah Munir dan Sudarpo Said, Perempuan, Politik dan Pemilu 2004 Buku Panduan Untuk Pendidikan Mmeilih, (Jakarta: Center for Pesantren and Democracy Studies, 2004), hal. 36-37. 9 . Komisi Pemilihan Umum, Pemilu Presiden 2004, hal. 159. 29 Yng dipimpin Oleh Wiranto dan Gerakan Indonesia Raya (GERINDRA) yang dipimpin oleh Prabowo Subianto, lolos parlamentary threshold dan meraih kursi DPR. Fenomena yang paling menarik dalam pemilu 2009 ini adalah munculnmya partai Demokrat sebagai pemenang. Pada pemilu 2004, partai ini mencatat sejarah sebagai parpol baru yang langsung menggebrak peta perpolitikan nasional dengan keberhasilannya meraup 8,46 juta suara (7,5 persen) dan berhasil mendudukan kadernya di Senayan. Fenomena kemenangan partai Demokrat dalam pemilu 2009 ini telah mendudukannya sebagai partai “papan atas” dengan menggeser kedudukan PDI-P dan Golkar, yang telah lama mendominasi pemilu di Indonesia. Fenomena Demokrat ini sangat menarik perhatian mengingat Partai Demokrat adalah salah satu Partai yang pola alirannya samar-samar10. Keberhasilan partai Demokrat dalam dua pemilu tak terpisahkan dari popularitas tokoh Susilo Bambang Yudhoyono. Kuskridho Ambardi bahkan telah mensinyalir bahwa ideologi partai-partai di Indonesia telah lama pudar. Dengan berkesimpulan bahwa partai-partai politik telah mengembangkan suatu pola kerja sama yang serupa sistem kepartaian yang terkartelisasi. Faktor penyebab kartelisasi ini adalah kepentingan kolektif partai-partai dalam menjaga sumber-sumber rente di 10 . R. William Liddle, Revolusi dari Luar, Demokrasi di Indonesia, hal. 106 30 lembaga eksekutif dan legislatif demi kelangsungan hidup mereka sebagai suatu kelompok. B.VISI DAN MISI KOMISI PEMILIHAN UMUM (KPU) VISI Terwujudnya Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelenggara Pemilihan Umum yang memiliki integritas, profesional, mandiri, transparan dan akuntabel, demi terciptanya demokrasi Indonesia yang berkualitas berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. MISI 1. Membangun lembaga penyelenggara Pemilihan Umum yang memiliki kompetensi, kredibilitas dan kapabilitas dalam menyelenggarakan Pemilihan Umum; 2. Menyelenggarakan Pemilihan Umum untuk memilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Presiden dan Wakil Presiden serta Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, akuntabel, edukatif dan beradab; 3. Meningkatkan kualitas penyelenggaraan Pemilihan Umum yang bersih, efisien dan efektif; 4. Melayani dan memperlakukan setiap peserta Pemilihan Umum secara adil dan setara, serta menegakkan peraturan Pemilihan Umum secara konsisten sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 31 5. Meningkatkan kesadaran politik rakyat untuk berpartisipasi aktif dalam Pemilihan Umum demi terwujudnya cita-cita masyarakat Indonesia yang demokratis. Dalam Pasal 10 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum dan Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1999 tentang Pembentukan Komisi Pemilihan Umum dan Penetapan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Umum Komisi Pemilihan Umum, dijelaskan bahwa untuk melaksanakan Pemilihan Umum, KPU mempunyai tugas kewenangan sebagai berikut : 1. merencanakan dan mempersiapkan pelaksanaan Pemilihan Umum; 2. menerima, meneliti dan menetapkan Partai-partai Politik yang berhak sebagai peserta Pemilihan Umum; 3. membentuk Panitia Pemilihan Indonesia yang selanjutnya disebut PPI dan mengkoordinasikan kegiatan Pemilihan Umum mulai dari tingkat pusat sampai di Tempat Pemungutan Suara yang selanjutnya disebut TPS; 4. menetapkan jumlah kursi anggota DPR, DPRD I dan DPRD II untuk setiap daerah pemilihan; 5. menetapkan keseluruhan hasil Pemilihan Umum di semua daerah pemilihan untuk DPR, DPRD I dan DPRD II; 6. mengumpulkan dan mensistemasikan bahan-bahan serta data hasil Pemilihan Umum; 7. memimpin tahapan kegiatan Pemilihan Umum. 32 Dalam Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1999 terdapat tambahan huruf: 1. tugas dan kewenangan lainnya yang ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum. Sedangkan dalam Pasal 11 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 tersebut juga ditambahkan, bahwa selain tugas dan kewenangan KPU sebagai dimaksud dalam Pasal 10, selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun setelah Pemilihan Umum dilaksanakan, KPU mengevaluasi sistem Pemilihan Umum C.PELAKSANAAN PEMILU DI INDONESIA OLEH KPU Memang sama sekali tidak ada jaminan pemilu yang ‘luber’ dan ‘jurdil’ akan menghasilkan pemerintahan yang demokratis11. Pemerintahan hasil pemilu yang paling bermutu sekalipun bisa Saja inefisien, korup, tidak bertanggung jawab dan tak sanggup menerima kebijakan yang dituntut kepentingan umum. Contoh paling menonjol bisa dilihat pada pemerintahan hasil pemilu 1955 di Indonesia. Pemilu pertama tersebut dianggap berlangsung ‘luber’ dan ‘jurdil’, namun ternyata tidak dapat menjamin kelanjutan sistem demokrasi parlamenter, sebuah sistem yang dinilai paling ideal untuk menegakkan kedaulatan rakyat. Ketiadaan konsensus politik serta makin sengitnya konflik antar partai, khususnya antara PNI dengan Masjumi, menyebabkan Kabinet Ali Sastroamindjojo Kedua tak 11 . Pax Benedanto, Ignatius Haryanto, Pemilihan Umum 1999: Demokrasi atau Rebutan Kursi, (Jakarta: Lembaga Studi Pers dan Pengembangan, 1999), hal. 5. 33 dapat menjalankan tugas-tugas pokok mereka. Sebab itu, Presiden Soekarno mengajukan usul untuk mengubah sistem politik menjadi ‘demokrasi terpimpin’ Pada Oktober 1956. Tiga tahun kemudian , pada 5 Juli 1959, Soekarno mengeluarkan dekrit untuk kembali kepada UUD 1945. Begitu dekrit itu dikeluarkan, sistem demokrasi parlamenter resmi terkubur. Cengkraman penguasa pun makin kuat tertancap. Meskipun gagal membentuk pemerintahan yang demokratis, Pemilu 1955 tetap layak dipakai sebagain tolak ukur untuk menilai pelaksanaan Pemilu 1999. Pemilu pertama tersebut boleh jadi merupakan satu-satunya pemilu yang bermutu selama 54 tahun Indonesai merdeka. Pemilu-pemilu lainnya, yang berturut-turut berlangsung pada 1971, 1977, 1982, 1992, dan 1997, dianggap melulu menegakkan ‘kedaulatan penguasa’, bukannya kedaulatan rakyat. Demikian buruk enam pemilu Orde Baru tersebut sehingga sering diejek sebagai ‘pemilu semu’ karena prkatis hasilnya sudah diketahui sebelumnya.12 Pemilu 1955 dianggap bermutu terutama karena menjunjung tinggi semangat kerakyatan. Pemerintahan Burhanuddin Harahap memberikan kesempatan yang luas kepada masyarakat untuk ikut menentukan jalannya pemilu. Partai-partai politik dan berbagai unsur masyarakat lainnya terlibat sejak penyusunan undang-undang, pendaftaran calon pemilih, kampanye, hingga proses 12 . Pax Benedanto, Ignatius Haryanto, Pemilihan Umum 1999: Demokrasi atau Rebutan Kursi, (Jakarta: Lembaga Studi Pers dan Pengembangan, 1999), hal. 6. 34 penghitungan suara13. Dengan demikian tidak heran bila segala bentuk penyelewangan dan kecurangan dapat ditekan. Hebatnya lagi, kendati berlangsung dalam suasan konflik antar golongan dan partai politik yang amat tinggi serta sarana yang sangat minim pemilu dapat berjalan dengan lancar, aman, dan damai. Pemilu 1999 bisa jadi merupakan episode puncak dari gerakan reformasi yang terjadi sejak awal 1998. gerakan ini telah berhasil mendesak Soeharto untuk meletakkan jabatannya sebagai presiden pada 21 Mei 1998. Sejak itu saluran aspirasi masyarakat terbuka lebar, antara lain berupa bermunculnya partai-partai politik baru, tumbuh pesatnya media massa, dan juga maraknya unjuk rasa. Pemilu di era reformasi ini memposisikan Komisi Pemilihan Umum sebagai lembaga penyelenggara yang bebas dan mandiri yang keanggotaannya terdiri dari wakil-wakil partai peserta pemilu dan wakil pemerintahan (pasal 8 ayat 2 UU N0. 3 Taahun 1999). Ketika keanggotaan lembaga itu diresmikan oleh presiden, di dalamnya ada 48 wakil partai dan 5 wakil pemerintah. Khusus wakil pemerintah, hanya 1 orang yang dapat dikatakan berstatus pejabat tinggi departemen, selebihnya kalangan cendikiawan dan tokoh masyarakat yang diberi mandat oleh pemerintah.14 Antusiasme atau euforia masyakarat memang nampak jelas dalam pelaksanaan Pemilu 1999, terlebih pada masa kampanye dan pemungutan suara. Gelombang kerusuhan berbau SARA (suku, ras, agama dan antar golongan ) 13 . Herbert Feith, Pemilu 1965 di Indonesia, (Jakarta:Kepustakaan Populer Gramedia, 1999), hal. 15. 14 . Biro Humas Komisi Pemilihan Umum, Pemilu Indonesia Dalam Angka dan Fakta Tahun 1955-1999. 35 yang melanda beberapa daerah, termasuk yang terjadi menjelang masa kampanye, tidak menyurutkan semangat sebagian besar masyarakat untuk meriahkan pesta demokrasi kedelapan ini. Kendati jumlah peserta membludak dan persaingan antar pendukung partai tinggi, namun kampanye dan pemungutan suara berjalan dengan aman dan lancar. Mulusnya kampanye dan pemungutan suara ternyata tidak diikuti dengan lancarnya proses penghitungan dan penetapan hasil perolehan sauara. Walau menggunkan berbagai perangkat canggih dan sistem yang rapi, proses penghitungan suara berjalan amat lambat sehingga penetapan hasil pemilu 1999 harus ditunda berkali-kali. Padahal, hasil pemilu 1999 itu begitu dinanti-nanti masyakarat karena dianggap sebagai salah satuy pintu utama untuk keluar dari kemelut krisis yang berkepanjangan. Semula orang mengira proses penghitungan suara yang lambat tersebut disebabkan oleh sikap hati-hati para pelaksana atau paling tidak berbagai persoalan teknis. Pengalaman buruk selama enam pemilu mendorong wakil-wakil partai dan unsur-unsur masyarakat lainnya, yang dilibatkan di setiap tingkat proses penghitungan suara, bekerja lebih cermat dan awas terhadap berbagai kecurangan yang mungkin timbul. Demikinlah, hasil pemilu 1999 baru diputuskan oleh KPU pada 26 Juli 1999, atau hampir sebulan lebih lambat dari jadwal. Semula ditetapkan hasil pemilu akan diperoleh pada 8 Juli 1999. Memang terdapat banyak kelemahan dan kesalahan, tetapi karena Pemilu 1999 dipersiapkan dalam waktu terbatas dan 36 merupakan pengalaman pertama melaksanakan pemilu yang bersandikan pada prinsip-prinsip demokrasi, maka kelemahan tersebut dapat dipahami dan diterima oleh masyarakat.15 Rakyat kemudian terlibat menjadi saksi dinamika politik Pasca Pemilu 1999. Moral dan Kinerja sebagian pimpinan politik yang duduk di legislatif maupun eksekutif, jauh dari harapan, fakta ini tak saja menimbulkan kecewa, tetapi juga memunculkan sikap skeptis terhadap pemilu berikutnya. Inilah yang menyebabkan kenapa pemilu 2004 menjadi titik krusia dalam proses reformasi politik di Indonesia ke depan. Lalu pada tanggal 6 Mei 2003 Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah melantik para anggota Panitia Pengawas Pemilu (Panwas Pemilu) di tingkat pusat. Panwas Pemilu ini kemudian telah membentuk di tingkat Pusat. Panwas Pemilu ini kemudian telah membentuk Pnawas Pemilu Provinsi pada tanggal 12 Juni 2003. Selanjutnya berturut-turut dibentuk Panwas Pemilu Kabupaten/Kota dan Panwas Pemilu Kecamatan. Pada awalnya (bahkan pada draf RUU pemilihan umum), panitia Pengawas Pemilu ini tidak dirancang untuk ada. Pemikiran awalnya, pengawasan akan dilakukan secara terintegrasi di berbagai bidang. Dengan demikian pengawasan akan dilakukan sesuai kewenangan dari lembagalembaga negara yang sudah ada (termasuk oleh KPU sendiri) serta juga dilakukan oleh masyarakat melalui para pemantau pemilu. 15 . Topo Santoso dan Didik Supriyanto, Mengawasi Pemilu Mengawal Demokrasi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 25. 37 Sepanjang pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia, Panitia Pengawas Pemilihan Umum sudah mulai dikenal pada pemilu-pemilu Orde Baru (khususnya sejak pemilu tahun 1982). Panitia pengawas yang dulu dikenal dengan Panwaslak itu diketuai oleh Jaksa Agung dan beranggota banyak unsur pemerintahan serta unsur peserta pemilu.16 Pada pemilu 2004, ada tiga pelanggaran yang ditindak Panwaslu. Pertama, pelanggrana administratif. Kedua, pelanggaran pidana. Ketiga, penyelesaian sengketa. Dan pada Pemilu 2009, masalah penyelesaian sengketa tidak ditangani lagi oleh panwaslu, tetapi masih tetap ada tiga pelanggaran yang harus ditangani dengan menambahkan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu. UU No.22/2007 tentang penyelenggara Pemilu, dan UU No 10/20008 tentang Pemilu Legislatif menetapkan: model penanganan tiga pelanggaran ini sebagai berikut: Pertama, pelanggaran administratif diserahkan ke KPU. Kedua, pelanggaran pidana ke penyidik (polisi). Ketiga, kode etik penyelenggara pemilu yang dilakukan anggota KPU/KPU PROVINSI/KABUPATEN/KOTA dibentuk Dewan kehormatan bersifat ad hoc. Pada prakteknya, penyelesaian berbagai macam pelanggaran Pemilu tidak menunjukan harapan sebagaiamana yang diikat UU.17 Dalam Pasal 10 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum dan Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1999 tentang 16 . Topo Santoso dan Didik Supriyanto, Mengawasi Pemilu Mengawal Demokrasi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 64. 17 . Ramdansyah, Sisi Gelap Pemilu 2009 Potret Aksesori Demokrasi Indonesia, (Jakarta:Rumah Demokrasi, 2010), hal. 8. 38 Pembentukan Komisi Pemilihan Umum dan Penetapan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Umum Komisi Pemilihan Umum, dijelaskan bahwa untuk melaksanakan Pemilihan Umum, KPU mempunyai tugas kewenangan sebagai berikut : Merencanakan dan mempersiapkan pelaksanaan Pemilihan Umum; Menerima, meneliti dan menetapkan Partai-partai Politik yang berhak sebagai peserta Pemilihan Umum; Membentuk Panitia Pemilihan Indonesia yang selanjutnya disebut PPI dan mengkoordinasikan kegiatan Pemilihan Umum mulai dari tingkat pusat sampai di Tempat Pemungutan Suara yang selanjutnya disebut TPS; Menetapkan jumlah kursi anggota DPR, DPRD I dan DPRD II untuk setiap daerah pemilihan; Menetapkan keseluruhan hasil Pemilihan Umum di semua daerah pemilihan untuk DPR, DPRD I dan DPRD II; Mengumpulkan dan mensistemasikan bahan-bahan serta data hasil Pemilihan Umum; Memimpin tahapan kegiatan Pemilihan Umum. Dalam Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1999 terdapat tambahan huruf: 1. Tugas dan kewenangan lainnya yang ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum. 39 Sedangkan dalam Pasal 11 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 tersebut juga ditambahkan, bahwa selain tugas dan kewenangan KPU sebagai dimaksud dalam Pasal 10, selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun setelah Pemilihan Umum dilaksanakan, KPU mengevaluasi sistem Pemilihan Umum.18 18 http://id.wikipedia.org/wiki/Komisi_Pemilihan_Umum (diakses pada tanggal 9 April 2015 pkl. 00.21. BAB IV ANALISIS KETATANEGARAAN ISLAM DALAM PENETAPAN KEPALA NEGARA DI INDONESIA A. Kesesuaian Nilai Ketatanegaraan Islam dalam Pemilihan Umum di Indonesia Sebagaimana agama yang paripurna , Islam tidak hanya mengatur dimensi hubungan antara manusia dengan Khaliknya, tetapi juga antara sesama manusia. Islam adalah agama yang universal artinya semua nilai-nilai yang diajarkan dapat dipraktekan dalam kehidupan social bermasyarakat dan bernegara. Diantara nilai-nilai yang dapat dijadikan sandaran perpijak adalah nilai musyawarah, nilai keadilan, nilai persamaan, nilai amanah, dan masih banyak lagi nilai-nilai yang terkandung yang bisa diterapkan dalam sistem pemerintahan. Lalu apakah nilai-nilai Islam tersebut dapat diterapkan di Negara-negara demokrasi diantaranya ialah Indonesia, didalam konstitusinya dijelaskan Indonesia merupakan negara republik yang menganut serta mengamalkan sistem demokrasi umumnya negara demokrasi mencantumkan adanya hak asasi manusia dimana dalam melaksanakan hak asasi manusia harus ada nilai-nilai persamaan, keadilan serta pemilihan umum agar terpeliaharanya negara yang demokratis. Seiring dengan menguatnya kesadaran global akan arti penting HAM dewasa ini, persoalan tentang Universalitas HAM dan hubungannya dengan berbagai sistem nilai atau tradisi agama terus menjadi pusat perhatian dalam dalam perbincangan wacana HAM kontemporer. Harus diauki bahwa agama berperan memberikan landasan etik kehidupan manusia. 38 39 Penting pula dicermati bahwa dengan menyadari sejarah panjang kemanusian sejagat dengan segala dinamikanya memberikan pengaruh bagi perkembangan pemikiran, khususnya dalam wilayah ketatanegaraan Indonesia. Jika kita melirik hal ihwal ketatanegaraan Indonesia, maka hal pertama dan terpenting dilakukan adalah menoleh ke dalam seluk beluk konstitusi Indonesia, yang diakui sebagai dasar hukum bagi ketatanegaraan Indonesia.1 Dalam sejarah UUD 1945, perubahan UUD merupakan sejarah baru bagi masa depan konstitusi Indonesia. Perubahan UUD 1945 dilakukan sebagai buah dari amanat reformasi pembangunan nasional sejak turunnya rezim Soeharto (1967-1998). Terdapat empat kali amandemen atau perubahan yang berturut-turut telah dilakukan sejak tahun 1999 sampai dengan 2002. Khusus mengenai peraturan HAM, dapat dilihat pada perubahan Kedua UUD 1945 tahun 2000. Perubahan dan kemajuan signifikan adalah dengan dicantumkannya persoalan HAM secara tegas dalam sebuah bab sendiri, yakni Bab XA (Hak Asasi Manusia) dari mulai Pasal 28A sampai 28J. penegasan HAM kelihatannya menjadi semakin eksplisit, sebagaimana ditegaskan pada pasal 28A yang berbunyi, (setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya). Kemajuan lain dapat juga dilihat pada pasal 28I yang berbunyi : ( hak hidup, hak untuk tidak dipaksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak 1 . Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia,( Jakarta: Kencana, 2005), hal. 60. 40 untuk dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun). Berdasarkan ketentuan dari seluruh konstitusi yang berlaku di Indonesia dapat dikatakan bahwa konseptualisasi HAM di Indonesia telah mengalami proses dialektika yang serius dan panjang. Pentingnya pengaturan HAM dalam konstitusi menggambarkan komitmen atas upaya penegakan hukum dan HAM. Selain itu, beragamnya muatan HAM dalam konstitusi secara maksimal telah diupayakan untuk mengakomodasi hajat dan kebutuhan perlindungan HAM, baik dalam konteks pribadi, keluarga, masyarakat dan sebagai warga negara Indonesia. 1. Nilai Keadilan Kalangan ahli hukum dan pemerhati masalah kenegaraan/politik tidak sesering ulama hukum Islam dalam membicarakan makna keadilan, berikut urgensitas komitmen para penguasa untuk berpegang teguh dan menerapkannya, termasuk juga para aparat negara yang berhubungan dengan kepentingan umum. Perintah melaksanakan keadilan itu sebagi tujuan dari pemerintahan.2 Rasulullah saw. Bersabda, “Umat ini akan baik selama mereka mengatakan benar, menghukum dengan adil, memberi kasih apabila diminta kasih. Juga, makhluk yang paling dicintai oleh Tuhan adalah pemimpin yang adil dan yang paling dibenci adalah seorang pemimpin yang berlaku lalim, juga. Pada hari akhir nanti aka nada yang memanggil 2 . Dhiaudin Rais, Teori Politik Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2001), hal. 265. 41 mana kezhaliman? Mana orang-orang yang membantu kezhaliman ? meraka semua akan berkumpul sampai ada yang mencacat dosa-dosa mereka lalu meraka semua masuk neraka” Secara umum, keadilan sebagaimana yang didefinisikan oleh para ulama fiqih dan para muffasir adalah melaksanakan hukum Tuhan, manusia menghukum sesuai dengan syariat agama sebagaimana telah diwahyukan Allah kepada nabi-nabiNya dan rasul. Syariat Islam adalah penyempurnaan syariat-syariat yang telah ada sebelumnya. Allah berfirman di dalam surat An-Nisa ayat 58 Artinya : sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah sebaik-baik yang member pengajaran kepadamu. Sungguh Allah maha mendengar, maha melihat. (QS An-Nissa ayat 58). 2. Nilai musyawarah Konklusi bai’ah mengandung suatu proses seleksi. Di situlah syura,sebagaimana diketahui, memainkan peranana penting untuk menentukan pilihan ummah tentang orang yang dipandang paling tepat menduduki jabatan sebagai pemimpin. Jika pemilihan itu ditentukan melalui bai’ah, maka focus musyawarah bergeser kepada kawasan lain, yakni kepentingan masyarakat. Jadi, andaikata bai’ah berarti akhir sebua transaksi atau keputusan dalam kaitannya dengan masalah kepemimpinan, 42 maka. Musyawarah merupakan penjajagan penelitian dan perkiraan dengan tujuan meraih cita-cita atau keputusan paling baik yang berkaitan dengan semua persoalan, termasuk masalah kepemimpinan.3 Al-Qur’an banyak menjelaskan sisi penting musyawarah atau konsultasi. Ayat-ayat tersebut membuktikan bahwa Islam tidak hanya memandang konsultasi sebagai suatu prosedur yang direkomendasikan, tetapi merupakan sebuah tugas keagamaan. Al-Qur’an 42-38 . Artinya : dan bagi orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan dan melaksanakan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka, dan menginfakan sebagian dari rezeki yang kami berikan kepada mereka. (QS Asy-syura ayat 38). Konsep Ibnu Taimiyah tentang musyawarah atau konsultasi sama luasnya dengan konsep yang ia kemukakan tentang bai’ah. Ia mengehendaki adanya musyawarah yang lebih efektif dan umum. Seorang pemimpin seharusnya tidak hanya menimba (meminta) pertimbangan dari ulama, tetapi semua kelas dalam masyarakat dan siapa saja yang mampu memberikan suatu pendapat yang dinamis. Hanya saja, ada batasan yang melingkari berlakunya konsultasi secara wajar. Dalam prinsip syariat Islam tidak meemberikan konsepsi yang tetap atau ketetapan yang mengikat. Inilah salah satu rahasia kekenyalan syariat 3 . Khalid Ibrahim Jindan, Teori Politik Islam Telaah Kritis Ibnu Taimiyah tentang Pemerintah Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), hal. 82. 43 Islam yang tetap up to date kini dan esok maka sehubungan dengan situasi dan kondisi yang berubah dan berbeda-beda, Islam menawarkan metode paling baik, yaitu menyerahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan otak manusia untuk mengelolanya, mengatur dan memikirkannya sesuai dengan situasi dan kondisi yang berkaitan dengan topik masalah yang akan di musyawarahkan. Sementara itu dalam negara Indonesia Mohammad Yamin melihat tiga dampak positif suatu musyawarah. Pertama, dengan musyawarah manusia memperluas perjuangannya, kedua, dengan musyawarah suatu masalah tidak hanya dipikirkan oleh perorangan, ketiga, permusyawaratan menghilangkan misunderstanding atau salah pengertian4. Di samping itu, musyawarah itu sendiri adalah suatu kewajiban dapat ditingkatkan. Dalam struktur masyarakat Indonesia yang asli, kepala desa selalu bermusyawarah langsung dengan warga, apabila ada suatu hal yang akan diputuskan yang menyangkut kepentingan seluruh warga desa. Akan tetapi, apabila jumlah warga desa sudah sedemikian besarnya, maka musyawarah langsung seperti itu tidak dapat dilaksanakan lagi. Dalam hal yang demikian, permusyawaratan dilakukan melalui perwakilan. Ini sesuai dengan pengertian MPR dalam perubahan UUD 1945 yang berbunyi MPR adalah lembaga permusyawaratan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara, adapun tugas dan wewenang MPR sesudah amandemen atau perubahan UUD 1945 ialah, pertama, mengubah dan menetapkan 4 . S. Silalahi, Dasar-dasar Indonesia Merdeka Persi Para Pendiri negara,(Jakarta:PT Gramedia Utama, 2001), hal. 270. 44 UUD, kedua, melantik presiden dan wakil presiden, ketiga, memberhentikan Presiden dan wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD, keempat, melantik Wapres menjadi Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya, kelima, memilih dan melantik Presiden dan Wapres apabila keduanya berhenti secara bersamaan.5 3. Nilai Persamaan Persamaan dalam Islam adalah prinsip dasar dan agung nilainya bagi kehidupan manusia. Ia merupakan salah satu mutiara Qur’ani yang diturunkan bagi seluruh lapisan masyarakat sebagai landasan berpijak di dalam mengerjakan amal kebaiakan6 Allah berfirman : Artinya: wahai manusia sesungguhnya kami telah menciptakan kamu sekalian dari laki-laki dan perempuan, dan menjadikan kalian bersukusuku dan berbangsa-bangsa supaya kalian saling kenal-mengenal antara satu dengan lainnya. Sesungguhnya orang yang paling mulia di anatara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. (QS al-Hujarat:13). Walhasil manusia itu sama. Allah menjadikan mereka bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, agar mereka saling mengenal dan tolong menolong. Bukan malah sebaliknya, untuk saling menyombongkan diri menurut ras dan diskriminasi bangsa. Hal antar sesama. Dan tidak pula untuk berbangga diri atas dasar perbedaan warna, pangkat dan juga golongan. 5 . Bahan Tayangan Materi Sosialisasi Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan ketetapan MPR RI, (Jakarta:Sekretariat Jendral MPR RI, 2011), hal. 47-48. 6 . Hamidullah dkk, Politik Islam Konsepsi dan Dokumentasi, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1987), hal. 171-172. 45 Untuk itulah Islam menganjurkan untuk mengikis habis akar-akar fanatisme dan golongan, serta membuang jauh-jauh kebanggan atas keturunan dan warna kulit. Kemudian Islam menyatakan standar kemuliaan seorang adalah kebaiakan perilaku dan budi perkerti serta kadar takwanya kepada Allah Yang Mahakuasa. B. Perbandingan Penetapan Kepala Negara dalam Islam Dengan Penetapan Kepala Negara oleh KPU di Indonesia Dasar yang disepakati, ialah: tidak boleh ada dua orang kepala negara dalam suatu benua, atau daerah, karena membawa kepada perceraian dan permusuhan. Tetapi, jika benua-benua itu berlain-lainan dan jauh pula jarak antara satu daerah dengan yang lain, maka ada ulama yang tidak membolehkan dan ada yang membolehkan.7 Al-Baghdadi berkata: “tidak boleh ada dalam suatu waktu(masa), dua kepala negara yang kedua-duanya wajib ditaati, terkecuali kalau diantara dua negeri ada laut yang luas yang menghalangi sampainya pertolongan atau bantuan dari suatu negeri ke negeri yang lain. Kalau demikian keadaanya, maka boleh masing-masing negeri mengangkat kepala Negaranya sendiri. Baik al-Qur’an maupun sunnah tidak pernah menetapkan suatu cara atau mekanisme tertentu dalam memilih seorang kepala Negara/presiden. Karena itu, dalam pentas sejarah ketatanegaraan Islam muncul berbagai model atau cara pengangkatan kepala negara Islam, mulai dari yang dianggap demokratis dan damai sampai kepada cara yang dianggap tidak demokratis dan didahului 7 . Hasbi Ash Shiddieqy, Ilmu Kenegaraan Dalam Fiqih Islam, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1991), cet. Kedua, hal, 71. 46 sebuah peperangan atau revolusi berdarah.8 Model yang pertama, yaitu pemilihan langsung oleh Allah, di negara baru Madinah bagi umat Islam Nabi Muhammad adalah segala-galanya. Beliau adalah Rasul Allah dengan otoritas yang berlandaskan kenabian sekaligus pemimpin masyarakat dan kepala negara. Dalam kehidupan sehari-hari sukar dibedakan antara petunjuk-petunjuk mana yang belaiu sampaikan sebagai utusan Tuhan dan mana yang beliau berikan sebagai pemimpin masyarakat atau kepala negara. Demikian pula dalam hal perilaku beliau. Hubungan antara umat Islam dengan beliau adalah hubungan antara pemeluk agama yang beriman dengan ketaatan serta loyalitas yang utuh dan seorang pemimpin pembawa kebenaran yang mutlak dengan wahyu Illahi sebagai sumber dan rujukan, dan yang bertanggung jawab hanya kepada Tuhan. Oleh karenanya selain ungkapan-ungkapan dan perilaku Nabi yang merupakan penjabaran atau peragaan dari ajaran-ajaran yang telah digariskan oleh Al-Qur’an, tidak banyak yang dapat digali dari periode itu untuk menemukan unsure-unsur bagi pola kehidupan bernegara.9 Sementara itu menurut Al-Maududi, sewaktu Nabi Muhammad saw berada di Makkah, Nabi Muhammad hanya berkedudukan sebagai kepala agama saja. Setelah hijrah ke Madinah beliau tidak hanya di akui sebagai pemimpin agama, melainkan juga menjadi dan diauki sebagai kepala negara Madinah, menurut al-Maududi, Nabi sama sekali tidak dipilih oleh siapa pun, 8 . Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, (Jakarta: Erlangga,2008), hal. 124. 9 . Munawir Sjadzali, Islam dan Tatanegara Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI PRESS, 2003), hal. 16. 47 tetapi ia dipilih langsung oleh Allah Yang Maha Kuasa. Metode yang kedua, adalah melalui lembaga ahl al-Hall wa al-Aqd, setelah wafat nyah Nabi maka tampuk kepemimpin pun akan terus berputar dan melalui lembaga inilah masyarakat diwakili dalam urusan menetapkan kepala negara, pengertian dari ahl al-Hall wa al-Aqd adalah sebagai orang yang memiliki kewenangan untuk memutuskan dan menentukan sesuatu atas nama umat (warga negara). Dengan kata lain lembaga ini lah yang menampung dan menyalurkan aspirasi atau suara masyarakat. Anggota ahl alHall wa al-Aqd ini terdiri dari orang-orang yang berasal dari berbagai kalangan dan profesi. Merekalah yang antara lain bertugas menetapkan dan mengangkat kepala negara sebagai pemimpin pemerintahan sebagaimana yang diutarakan diatas. Adapun syarat yang harus dimiliki oleh seorang anggota ahl al-Hall wa alAqd adalah adil, mengetahui dengan baik kandidat kepala negara yang akan dipilih dan mempunyai kebijakan serta wawasan yang luas sehingga tidak salah dalam memilih kepala negara, sayangnya, al-Mawardi tidak menjelaskan secara memadai mengenai prosedur pemilihan anggota ahl al-Hall wa al-Aqd dan hubungan lebih jauh antara lembaga tersebut dengan khalifah. Dalam hal ini, al-Mawardi hanya menjelaskan proses pemilihan kepala negara yang diawali dengan meneliti persyaratan kandidat. Lalu kandidat yang dianggap paling memenuhi kualifikasi untuk menjadi kepala negara diminta kesediannya tanpa terpaksa. Bila ia bersedia menjadi kepala negara, maka dimulailah kontrak social antara kepala negara dan rakyat yang diwakili oleh 48 lembaga ahl al-Hall wa al-Aqd. Selanjutnya barulah rakyat secara umum menyatakan kesetian mereka kepada kepala negara.10 Tidak ada dalam syarat-syarat yang dikemukakan itu, satupun syarat yang mengharsukan ahl al-Hall wa al-Aqd itu, orang yang kaya, mempunyai jumlah tertentu dari harta-harta kekayaannya, dan Al-Mawardi tidak mengharuskan orang yang diangkat menjadi ahl al-Hall wa al-Aqd, seorang dari penduduk kota. Metode yang ketiga, adalah melalui cara musyawarah, meskipun kepada Nabi Muhammad saw diberi kewenangan untuk membuat undangundang, mengesahkan peraturan maupun undang-undang dasar bagi negara Islam yang mencakup bagian dari risalah belaiu, walaupun demikian istimewa wewenang yang telah diberikan kepada Rasulullah saw, tetapi beliau tidak menggunakannya dalam dunia politik dan kepemimpinannya atas manusia. Beliau dikelilingi oleh para nasihat, selalu bermusyawarah dan mengambil pendapat mereka di dalam menghadapi masalah-masalah yang pelik, terutama mengenai bermacam masalah yang tidak tercantum nasnya atau isyarat.11 Dalam pemilihan kepala Negara/khalifah haruslah dengan musyawarah, seperti firman Allah yang artiNya, : “ Urusan negara haruslah dimusyawarahkan sesama mereka” (As-Shura:38). Syariat Islam tidak menetapkan organisasi dan cara pemilihan kepala negara, karena hal itu adalah suatu cara yang bisa berubah-ubah dengan perubahan zaman dan tempat untuk 10 . Muhammad Iqbal, Fiqih Siyasah Kontektualisasi Doktrin Politik Islam,(Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), hal. 139-140. 11 . Abdul Ghafar Aziz, Islam Politik Pro dan Kontra, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989), hal. 168. 49 mengatur organisasi dan cara pemilihan yang sesuai dengan zaman dan tempat mereka. Metode yang ke empat, adalah melalui keturunan atau waliyatul ahdi, sistem wilayatul ahdi adalah penunjukan pasti yang tidak boleh ditolak, rakyat atau wakil-wakilnya tidak diberi hak memilih hanya mereka harus menerima, kalau perlu dengan paksaan. Jadi, sistem ini telah memperkosa hak asasi rakyat yang diakui Islam yaitu shura.12 Ibnu Khaldun sebagai seorang sarjana sosiologi, yang pembahasannya dalam berbagai masalah lebih ditekankan kepada perkembangan masyrakat, dalam soal wilayatul ahdi ini ditulis satu pasal khusus dalam kitabnya “Muqadimmah Ibnu Khaldun”. Selanjutnya Ibnu Khaldun mengemukakan beberapa alas an berdasarkan ilmu sosilogi untuk membela politik khalifah Mu’awiyah yang menyerahkan “wilayatul ahdi” itu kepada puteranya Yazid, yang terkenal dengan bejat moralnya. Nampaknya Ibnu Khaldun menganggap bahwa Mu’awiyah benar dalam tindakannya itu, tetapi dinyatakan bahwa Yazid yang bejat moralnya itu adalah di luar tanggung jawab Mu’awiyah. Dengan adanya “wilayatul ahdi” untuk mempusakai terus-menerus khilafah kepada putera-putera dan keturunannya, itu bukanlah ajaran agama, karena negara adalah haknya Allah yang akan diberikan kepada hamba yang disukaiNya, dalam hal ini tersebut haruslah berniat baik, supaya terhindar dari mempermainkan jabatan-jabatan agama. Kerajaan adalah kepunyaan Allah, yang akan diserahkan kepada yang disukai-Nya. 12 A Hasjmy, Dimana Letaknya negara Islam,(Surabaya: PT Bina Ilmu, 1984), hal. 191. 50 Kalau sekiranya “putera makhota” itu adalah hak anak atau bapaknya, maka terhadap boleh atau tidaknya Imam melakaukan ba’aiat sendirian, pendapat ahli hukum terpecah menjadi tiga : 1. Imam tidak boleh sendirian melakukan akad ba’iat untuk anak dan bapaknya, sebelum mengadakan musyawarah dengan para pemilih, sehingga mereka menyatakan bahwa “putera mahkota” itu patut menjabat jabatan Imamah/kepala negara. Maka sah lah ketika itu akada ba’iat. 2. Imam boleh sendirian melakukan akad ba’iat terhadap anak dan bapaknya, karena imam adalah amirnya umat, yang perintahnya berlaku untuk dan atas mereka. Maka hukum jabatan mengalahkan hukum turunan, dan tidak ada jalan untuk menentang kebijaksanaannya. Penyerahan wilayatul ahdi kepada anak atau bapaknya, sama seperti penyerahan kepada orang lain. 3. Imam boleh sendirian melakukan akad ba’ait kepada bapaknya dan tidak boleh kepada anaknya, karena tabiat yang mendorong cinta anak lebih dari tabiat yang mendorong cinta ayah. Sistem putera mahkota merupakan sistem yang munkar dalam pandangan sistem Islam, serta amat bertentangan dengan sistem Islam. Karena kekuasaan adalah milik umat, bukan milik khalifah. kalau Khaifah hanya merupakan wakil umat untuk memegang kekuasaan sementara statusnya tetap sebagai wakil, maka bagaimana mungkin khalifah bisa menghadiahkan kekuasaannya kepada orang lain.13 13 . Taqiyuddin An-Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam Doktrin Sejarah dan Realitas Empirik, Bangil: Al Izzah, hal. 110. 51 Oleh karena itu apa yang dilakukan oleh Abu Bakar kepada Umar bukan merupakan wilayatul ahdi (pewaris kepada putra mahkota), karena ia melakukan pemilihan berdasarkan aspirasi umat Islam semasa hidupnya. Lalu Umar di bai’at setelah beliau wafat. Setelah cukup segala syarat yang difardukan, pada yang mengangkat, maupun pada wilayatul ahdi, namun haruslah penyerahan itu menggambarkan kemauan umat dan diterima baik oleh kebanyakan mereka, baik kemauan itu diketahui olehnya dengan jalan musyawarah, ataupun dengan jalan yang lain. Pokok pangkalnya, dalam hal ini ialaha benar-benar adanya kerelaan umat.14 Dalil yang menunjukan kepada hal yang demikian ini, ialah: sahnya khalifah atau kepala negara yang dibaiatkan oleh orang seorang, adalah disyaratkan bahwa yang demikian itu dapat menggambarkan keinginan masyarakat. Umar bin Khatab pernah berkata: “barang siapa membaiatkan seseorang tanpa musyawarah, maka baiatnya dipandang tidak ada dan tidak puka dipandang sah”. Umar yang ditunjuk oleh Abu Bakar menjadi khalifah, sah menjadi khalifah lantaran para sahabat membaiatnya dan mentaatinya, andaikata para sahabat tidak menerima penunjukan Abbu Bakar tentulah Umar tidak menjadi kepala negara. Apabila sayarat-syarat dan sifat-sifat ini terdapat pada seorang yang ditunjuk menjadi wilayatul ahdi, maka penunjukan itu merupakan kebaikan bagi umat dan keberkatan yang dengan demikian terhindarlah umat dari perpecahan. 14 . Hasbi Ash Shiddieqy, Ilmu Kenegaraan Dalam Fiqih Islam, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1991), cet. Kedua, hal, 69. 52 Berbeda dengan sistem putra mahkota yang telah dilakukan oleh Mu’awiyah karena dalam prakteknya memang jelas bertentangan dengan sistem Islam. Sedangkan yang menyebabkan Mu’awiyah melakukan bid’ah yang jelas munkar tersebut (yaitu melakukan wilayatul ahdi) adalah : 1. Mu’awiyah memaham, bahwa sistem kepemimpinan daulah Islam adalah sistem kerajaan, bukan sistem khilafah. Hal ini senada dengan khutbah yang disampaikannya di hadapan para penduduk kufah setelah terjadinya perdamaian (pasca perang shiffin). 2. Mu’awiyah telah memperalat nash-nash syara lalu mena’wilkannya (memberikan arti tidak sesuai dengan maksud nash itu sendiri). Islam telah memberikan hak pemilihan Khalifah kepada umat, dan hal itu pun dilakukan oleh Rasulullah saw. Bahkan beliau memberikan kebebasan kepada kaum musllimin memilih orang yang lebih layak untuk memimpin urusan mereka. Namun, Mu’awiyah justru terpengaruh (untuk memahami Islam) dengan sistem yang sedang berlangsung ketika itu, yaitu yang ada pada dua Negara: Bizantium dan Sasaniyah, dimana pada kedua negara tersebut pemerintahannya mempergunakan sistem waris. Karena itu, Mu’awiyah menjadikan Yazid sebagai putera mahkotanya, lalu di siasati dengan mengambil bai’at untuk Yazid semasa hidupnya. 3. Metode ijtihad Mu’awiyah dalam masalah politik dibangun di atas asas manfaat. Karena itu dia menjadikan hukum-hukum syara’ mengikuti problem yang ada, bukan hukum-hukum tersebut dipergunakan untuk memecahkan masalah-masalah yang ada. 53 Sesungguhnya para fukaha ketika menetapkan bahwasanya khalifah atau kepala negara sah dengan wilayatul ahdi, hanya mengehendaki bahwa kepala negara yang menjadi dasar pembicaraan hukum dan yang diberikan hak melakukan ahdi, ialah kepala negara yang dipilih dan dibaiatkan oleh umat dengan baiat yang benar yang harus memenuhi syarat, harus orang yang dipercaya, yang warai, yang iklhas, yang jujur kepada rakyatnya. Kepala negara seperti ini, apabial diserahkan hak menunjuk ganti, tentulah dia selalu mewujudkan maslahat umum. Dia mengetahui bahwa ia akan bertanggung jawab di hadapan Allah tentang pemilihannya dan tentulah memilih yang paling tepat dan yang paling mashlahat. Dalam undang-undang nomor 10 tahun 2008 tentang pemilu, pemilu merupakan sarana pelaksanaan atas kedaulatan rakyat dalam negara Republik Indonesia. Pemilu dilaksanakan berdasarkan asas pancasila dengan mengadakan pemungutan suara secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam negara Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar negara Republik Indonesia Tahun 1945.15 Dalam standar demokrasi universal, pemilu pastilah secara efektif dan konsisten dimanfaatkan sebagai wahana sirkulasi atau pergantian elit penguasa. Pemilihan sebagai konsep politik sudah memastikan adanya keharusan untuk menseleksi elit secara terbuka dalam membentuk golongan penguasa. Dan konsep umum dari pemilu memastikan bahwa setiap orang 15 . Mekka Mukarromah, “Sistem Pemilu di Indonesia Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 (suatu kajian fiqh siyasah)”. (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidyatullah Jakarta, 2010), hal. 1. 54 yang berpotensi dan berkeinginan diberi kesempatan untuk menapaki pertarungan menjadi elit penguasa melalui penggunaan hak untuk dipilih. Sesungguhnya perkembangan hubungan pemilu dengan sirkualasi elit penguasa di Indonesia mengalami kemerosotan secara linear, sekalipun hubungan itu sudah mempunyai akar sejarah yang panjang sejak masa colonial. Di masa itu, proses hubungan itu sederhana dan terbatas. Tapi telah berlangsung. Dimana demokrasi konstitusionallah hubungan itu paling intensif dan sekaligus ekstensif. Sejak demokarasi terpimpin, hubungan itu mulai mandul untuk berubah menjadi simbolik dewasa ini. Bertumpuk bukti dari pemilu-pemilu Orba yang menunjukan bahwa pemilu bukan merupakan fungsi sirkulasi elit secara keseluruhan. Proses pemilu seperti pencalonan, kampanye dan kegiatan lanjutan pemilu yaitu pengangkatan, recall, penyusunan cabinet dan pemilihan presiden dan wakil presiden tidak dimanfaatkan sebagai alas an sirkulasi elit, apalagi menjadikannya sebagai mekanismenya. Memang didalam aktivitas pemilu dan pasca pemilu itu berlangsung pergantian orang, akan tetapi tidak dibolehkan membawa implikasi kepada tatanan kekuasaan dan kebijaksanaan politik secara mendasar. Pergantian personal tanpa perubahan sistem. Penggunaan pemilu sebagai formalitas politik agaknya amat disayangkan. Sebab di samping biaya dan pengorbanan semua pihak yang sia-sia, kehidupan politik yang terpecah belah diantara ide (cita-cita) dengan kenyataan, amatlah ganjil dan membuka peluang bagi berbagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan sebab tidak ada standar politik yang jelas. Karena itu sudah saatnya Orde Baru 55 mengurangi skala formalism politik dengan menerapkan konstitusi dan hukum secara konsekuen. Langkah itu adalah salah satu janji Orde Baru yang harus ditepati.16 Sejak 2004 bangsa Indonesia memasuki era baru dalam penentuan jabatan Presiden dan Wakil Presiden, yakni dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Sesuai amanat konstitusi hasil perubahan ketiga atas UUD 1945, presiden dan wapres dipilih secara langsung oleh rakyat untuk masa jabatan lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali untuk masa jabatan lima tahun kedua. Selama tiga decade sistem politik Orde Baru, Presiden dan Wapres dipilih oleh siding Umum MPR lembaga tertinggi terbanyak. Pasal 7 konstitusi sebelum diubah menyatakan “Presiden dan Wapres memegang jabatannya selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali”. Namun, amanat konstitusi yang berbunyi “dan sesudahnya dapat dipilih kembali” tersebut tak pernah ditafsirkan tunggal. Akibatnya, Soeharto tak hanya berkesempatan turut merekayasa keterpilihan dirinya secara terus-menerus selama tujuh periode, melainkan juga menjadi satusatunya Presiden Indonesia sepanjang sejarah lebih dari tiga decade Orde Baru.17 Karena itu, pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat di satu pihak dan pembatasan masa jabatan presiden di pihak lain merupakan dua perubahan penting di antara sejumlah perubahan lain atas UUD 1945 setelah 16 . Mochtar Pabotingi, Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru,( Jakarta: Yayasan Obor Indoensia, 1998), hal. 150. 17 . Syamsuddin Haris, Partai Pemilu dan Parlamen Era Reformasi,( Jakarta: Pustaka Obor Indonesia, 2014), hal. 147. 56 diamandemen oleh MPR hasil pemilu 1999. Dua perubahan itu bahkan sangat mendasar jika dihubungkan dengan salah satu kesepakatan politik MPR untuk memperkuat sistem demokrasi presidensial melalui amandemen konstitusi yang dilakukannya. Menurut Arend Lijpart, sebenarnya hanya tiga cirri yang menjadi elemen esensial dari sistem presidensial, yakni 1) presiden atau kepala pemerintahan dipilih untuk masa jabatan yang bersifat tetap, 2) presiden dipilih secara langsung oleh rakyat ataupun melalui dewan pemilih seperti di Amerika Serikat, 3) presiden merupakan kepala eksekutif yang bersifat tunggal. Dengan demikian, pemilihan langsung presiden oleh rakyat melalui pemilu, dan pembatasan masa jabatan presiden hanya untuk dua periode, tidak hanya membuka peluang melembaganya sistem demokrasi presidensial, melainkan juga menjadi salah satu momentum penting berakhirnya rezim otoriter. Realitas regulasi UU Pilpres yang tidak mewajibkan parpol melembagakan proses seleksi yang transparan, partisipatif, demokratis, dan terbuka ini berdampak pada tidak tumbuhnya kompetisi internal parpol dalam memperebutkan jabatan presiden. Jajaran pengurus parpol dari tingkat pusat hingga kabupaten/kota seolah-olah “mengamini” kesepakatan tidak tertulis bahwa tiket sebagai capres adalah hak istimewa sang ketua umum atau sebutan lain bagi para pemimpin parpol. Konsekuensi logis dari proses seleksi capres secara internal parpol yang cenderung tertutup dan oligarkis ini adalah kurang munculnya aspek kompetensi dan kapabilitas kandidat dalam persaingan para capres. Pada 57 akhirnya yang lebih menonjol adalah faktor popularitas public tokoh atau figure yang memanfaatkan berbagai media yang tersedia dalam “pasar” demokrasi. Masing-masing parpol berusaha meningkatkan popularitas public pemimpin mereka dan pada saat yang sama tawaran gagasan tentang Indonesia yang lebih baik kurang mengemuka. Sementara itu mekanisme pemberentihan seorang Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Keputusan MPR Nomor 1 Tahun 2010 pasal 102 sampai 103 yang berbunyi. a) MPR menyelenggarakan siding untuk mengambil putusan tentang usul pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden pada masa jabatannya yang diajukan DPR setelah adanya putusan MK paling lambat 30 hari setelah MPR menerima usul tersebut. b) Pimpinan MPR mengundang Anggota MPR untuk mengadakan Rapat Paripurna c) Pimpinan MPR mengundang Presiden dan atau Wakil Presiden untuk menyampaikan penjelasan yang berkaitan dengan usul pemberhentiannya kepada Rapat Paripurna MPR. d) Presiden dan atau Wakil Presiden wajib hadir untuk memberikan penjelasan atas usul pemberhentiannya tersebut. e) Apabila Presiden dan atau Wakil Presiden tidak hadir untuk menyampaikan penjelasan, maka MPR tetap mengambil keputusan. Dari penjelasan keputusan MPR tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa Indonesia selalu mengedapankan nilai-nilai musyawarah melalui para wakil rakyat, entah itu terkait kebijakan ekonomi, politik dan hukum. BAB V KESIMPULAN A. Kesimpulan Setelah menguraikan serta menjelaskan mengenai penetapan kepala negara oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam melaksanakan pemilu di Indonesia yang dikaitkan dengan nilai ketatanegaraan Islam, maka di akhir uraian penulis dapat menyimpulkan beberapa hal yang berkaitan dengan tema tersebut : 1. Bahwa pemilihan umum merupakan wadah demokrasi bagi Indonesia oleh karenanya sistem yang digunakan harus mampu menjawab dari setiap permasalahan dalam penyelenggaraan pemilu itu sendiri, banyak hal yang perlu diperhatikan untuk menjadikan pemilu berjalan dengan jujur, adil, dan transparan sesuai dengan visi dan misi lembaga KPU itu sendiri. Mulai dari menyiapkan data-data para calon pemilih, pendistribusian logistic, sampai waktu pencoblosan tiba, dan setelah dilakukan pencoblosan maka pihak KPU akan melakukan penghitungan dari hasil pemilihan umum yang telah dilaksanakan guna menentukan siapa yang keluar menjadi pemenang untuk menduduki kursi pemerintahan. 2. Dengan menjunjung tinggi nilai demokrasi maka masyarakat Indonesia pun dapat dilibatkan untuk memilih kepala negara beserta wakil kepala negara dalam pemilihan umum, hal ini pun dapat dilihat dalam ketatanegaraan Islam terutama yang dilaksanakan oleh para Khulafaur Rasyidun, di mana mereka diangkat menjadi kepala negara atau khalifah 58 59 dengan menggunakan jalan pemilihan mulai darai Khalifah Abu Bakar, Umar bin Khattab, Ustman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Inilah yang sudah diterapkan oleh lembaga KPU berdasarkan aturan Undang Undang dan UUD 1945 dimana lembaga tersebut pun tetap memasukkan nilai-nilai ketatanegaraan Islam yang pada prakteknya sudah lama terjadi, mulai dari nilai musyawarah, keterbukaan, kesamaan dan kejujuran. Hal ini pulalah yang menjadi pembeda antara pemilihan kepala negara pada masa khalifah atau dalam ketatanegaraan Islam mengenai lembaga yang mengatur serta mengontrol langsung dalam proses pemilihan kepala negara, serta lembaga tersebutpun lebih terstruktur dan sistematis . B. Saran-saran Ada beberapa hal yang mesti diperhatikan mengenai pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia yang merupakan salah satu penganut demokrasi terbesar di dunia. Di bawah ini merupakan saran dari penulis sebagai warga negara Indonesia dalam usaha untuk perubahan Indonesia kea rah yang lebih baik lagi: 1. KPU selaku lembaga yang independen harus mendengarkan aspirasi masyarakat bukan lagi mendengarkan partai politik terlebih mendukung salah satu partai politik untuk bisa memenangkan pemilihan umum hal ini untuk menegakan demokrasi Indonesia. 2. Membenahi kembali kinerja para orang yang terlibat langsung dalam lembaga KPU, baik itu KPU pusat, KPU provinsi, ataupun KPU 60 kota/kabupaten agar pemilihan umum dapat berjalan dengan secara maksimal. 3. Harus ada pembenahan dalam pendataan para calon pemilih agar tidak terjadi kecurangan seperti pemilihan umum yang sudah berlangsung. 4. Teruntuk partai politik yang menjadi peserta pemilu agar lebih menghormati dengan segala aturan yang telah di buat oleh para anggota DPR dan KPU demi terlaksananya pemilu yang damai, jujur dan transparan. DAFTAR PUSTAKA Abbas, Tun Moh Salleh. Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia, cet. III, Ampang:Dawarna Sdn. Bhd, 2006. Abu, A’la Al-Maududi. Penerjamah Drs. Asep Hikmat. Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, Bandung: Mizan, 1995. Al-Mawardi. Penerjamah Fadli Bahri. al-Ahkam as-Sulthaniyah Hukum-hukum Penyelenggaraan Negara Dalam Syariat Islam, Jakarta: Darul Falah, 2007. An-Nabhani Taqiyuddin, Sistem Pemerintahan Islam Doktrin Sejarah dan Realitas Empirik, Bangil: Al Izzah. Ash-shiddieqy Hasbi, Ilmu Kenegeraan Dalam Fiqih Islam, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1991, cet. II. Aziz , Abdul Ghofar. Islam Politik Pro dan Kontra, Jakarat: Pustaka Firdaus, 1989. Azra, Azyumardi. (Pengantar) dalam A.M . Fatwa, Satu Islam Multi Partai: Membangun Integritas di Tengah Pluralitas, Bandung: Mizan Media Utama, 2000. Bahan Tayangan Materi Sosialisasi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan MPR RI, Jakarta: Sekretariat Jendral MPR RI, 2011. Benedanto,Pax dan Haryanto Ignatius. Pemilihan Umum 1999: Demokrasi atau Rebutan Kursi, Jakarta: Lembaga Studi Pers dan Pengembangan. Biro Humas Komisi Pemilihan Umum, Pemilu Indonesia Dalam Angka dan Fakta Tahun 1955-1999. Buchori, Didin Saefudin. Sejarah Politik Islam, Jakarta: Pustaka Intermasa, 2009. Croissant, Aurel dan Gabriele Bruns. Politik Pemilu di Asia Tenggara dan Asia Timur, Jakarta: Darul Fallah, 2007. El- Muhtaj, Majda. Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998. 60 61 Feith, Herbert. Pemilu 1995 di Indonesia, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 1999. Hasjmy, Ahmad. 1984. Dimana Letaknya Negara Islam, Surabaya: PT Bina Ilmu, Hamidullah, dkk. Politik Islam Konsepsi dan Dokumentasi, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1987. Haris, Syamsuddin. Partai Pemilu dan Parlamen Era Reformasi, Jakarta: Pustaka Obor Indonesia, 2014. Iqbal, Muhammad. Fiqih Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001. Jindan, Khalid Ibrahim. Teori Politik Islam Telaah Kritis Ibnu Taimiyah Tentang Pemerintah Islam, Surabaya: Risalah Gusti, 2004. Kamil, Syukron. Islam dan Demokrasi Telaah Konseptual dan Histori, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002. Komisi Pemilihan Umum, Pemilu Presiden 2004. Liddle, R William. Revolusi dari Luar, Demokrasi di Indonesia. Mufid, Mohammad. Politik Dalam Persepektif Islam, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2004. Mufid, Nur dan Fuad Nur Ahmad. Bedah al-Ahkamus Sulthaniyah al-Mawardi, Jakarta: Pustaka Progresif, 2000. Muhadjir, Noeng. Metedologi Penelitian Kualitatif: Pendekatan Positivistik, Fenomenologik, dan Realisme Metafisik, Telaah Studi Teks dan Penelitian Agama, Yogyakarta: Raka Sarasin, 1996. Munir, Lily Zakiyah dan Siad Sudarpo. Perempuan Politik dan Pemilu 2004 Buku Panduan Untuk Pendidikan Memilih, Jakarta: Center For Pesantren and Democracy Studies, 2004. Pabotingi, Mochtar. Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998. Pulungan, Suyuthi. Fiqih Siyasah Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002. 62 Ramdansyah. Sisi Gelap Pemilu 2009 Potret Aksesori Demokrasi Indonesia, Jakarta: Rumah Demokrasi, 2010. Rais, Dhiaudin. Teori Politik Islam, Jakarta: Gema Insani, 2001. Riewanto, Agust. Ensiklopedi Pemilu Analisis Kritis Intropektif Pemilu 2004 Menuju Agenda Pemilu 2009, Yogyakarta: el-Shab. Santoso, Topo dan Supriyanto Didik. Mengawasi Pemilu Mengawal Demokrasi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004. Silalahi, S. Dasar-dasar Indonesia Merdeka Persi Para Pendiri Negarai, Jakarta: PT Gramedia Utama, 2001. Sjadzali, Munawir. Islam dan Tatanegara Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: UI Press, 2003. Soekamto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 2006. Sulaiman, Zulfikri. Demokrasi Untuk Indonesia Pemikiran Politik Indonesia, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2010. Syarif, Ibnu Mujar dan Khamami Zada. Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, Jakarta: Erlangga, 2008. Tebba, Sudirman. Islam Menuju Era Reformasi, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2001. Thaha, Idris. Demokrasi Religius, Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais, Jakarta: Teraju, 2005. Tutik, Titik Triwulan. Konstruksi Hukum Tatanegara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, Jakarta: Kencana, cet ke II, 2001. Tim Penyusun Puslit IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pendidikan Kewarganegaraan Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, Jakarta: IAIN. Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 2008 Tentang Pemilu dan Partai Politik, Jakarta: Gradien Pratama, 2008 Jakarta Press. http://id.wikipedia.org/wiki/Komisi_Pemilihan_Umum