PENETAPAN KEPALA NEGARA OLEH KOMISI

advertisement
PENETAPAN KEPALA NEGARA OLEH KOMISI PEMILIHAN UMUM (KPU)
DALAM PELAKSANAAN PEMILU DI INDONESIA
(Tinjauan Ketatanegaraan Islam)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syari’ah (S.sy)
Disusun Oleh :
Ahmad Rizki Alvian
NIM. 1110045200023
KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H/2015
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan
untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata-1 (S1) di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan
skripsi ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. 3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan hasil plagiat dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sangsi yang berlaku
di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta,29 Mei 2015.
Ahmad Rizki Alvian
ABSTRAK
Ahmad RizkiAlvian. NIM 1110045200023. Penetapan Kepala negara
Oleh Komisi Pemilhan Umum (KPU) dalam Pelaksanaan Pemilu di Indonesia
(Studi Kajian Ketatanegaraan Islam) Konsentrasi Ketatanegaraan Islam, Program
Studi Jinayah Siyasah, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah, Jakarta, Tahun 1437 H/2015 M.iv + 62 halaman
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mekanisme penetapan kepala
negara oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam pelaksanaan pemilu di
Indonesia yang dikaitkan dengan nilai ketatanegaraan Islam.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang berarti penulis tidak
menggunakan sample. Pengumpulan data dilakukan dengan metode kepustakaan
di mana penulis melakukan pengidentifikasian secara sistemis dari sumber yang
berkaitan dengan objek kajian.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa apa yang diterapkan oleh KPU
sudah senada dengan ahl Hall wa al Aqd diantaranya ialah nilai musyawarah, nilai
keadilan, dan nilai keterbukaan. Serta menjadi lembaga yang menampung aspirasi
rakyat pada saat itu
Kata Kunci: KPU,
Musyawarah
ahl hall wa al aqd, Pemilu, Wilayatulahdi, Orba, MPR,
Pembimbing : Dr.H. Mujar Ibnu Syarif, M.Ag
DaftarPustaka : Tahun1984 s.d.Tahun 2014
i
KATA PENGANTAR
Segala puji serta syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan segala nikmat dan anugerah-Nya kepada penulis, sehingga penulis
diberi kekuatan untuk menyelesaikan skirpsi yang berjudul “PENETAPAN
KEPALA NEGARA OLEH KOMISI PEMILIHAN UMUM (KPU) DALAM
PELAKSANAAN PEMILU DI INDONESIA” (Tinjauan Ketatanegaraan Islam).
Penyusunan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi sebagian syaratsyarat guna mencapai gelar sarjana Syariah di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan
pengharapan sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu dalam
penyusunan skripsi ini kepada :
1. Bapak Prof. Dede Rosyada, MA Rektor Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, Ph.D Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Dra. Hj. Maskufa, M.Ag dan Ibu Hj. Rosdiana MA Kajur dan Sekjur
Program Studi Jinayah Siyasah.
4. Bapak Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, M. Ag Dosen pembimbing Skripsi yang telah
bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan dan pengarahan
dalam penyusunan skripsi ini.
5. Seluruh staf pengajar dan karyawan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu serta bantuannya kepada
penulis selama berlangsungnya perkuliahaan.
ii
6. Kedua orang tua saya yang selalu mendoakan, member semangat, dan
membantu saya dalam segala hal baik yang bersifat materil maupun non
materil.
7. Untuk semua saudara kandung saya yang selalu mendorong saya untuk
melangkah lebih baik lagi dari hari ke hari
8. Nelis Nazziatus sa’diah S.Pd sang aktifis serta motivator yang selalu ada
untuk memberikan semangat baik secara langsung maupun tidak langsung,
membantu dalam banyak hal termasuk penyusunan skripsi.
9. Keluarga Afiqu, Kahfi Motivator School, Sabilussalam, HMI Komfaksy,
KKN Beta, INADA Ciputat yang selalu ada dan selalu memberikan ilmu
tentang arti sebuah persahabatan.
10. Ari Hidayat, al-Muzani, Amuk, Fakhrurozi, Chombro, Fajar terima kasih telah
terus mengingatkan untuk menyelesaikan skripsi ini.
11. Teman-teman seperjuangan angkatan 2010 UIN Jakarta dan khususnya temanteman di jurusan Siyasah Syariah 2010 (Rois, Daud, Fai, Ipin, Taslim, Hafidz,
Juki, Udin, Fani, Imas, Ika, Vicky, Eli, Ela, Ikul, Sholiyah, Anita, Lulu, Ihda,
Ilal, Ade) terim kasih telah saling memberikan semangat dan membantu dalam
selama perkuliahan di UIN Jakarta.
Semoga penulisan skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca.
Jakarta, 29 Mei 2015
(Ahmad Rizki Alvian)
iii
KATA PENGANTAR
Segala puji serta syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
segala nikmat dan anugerah-Nya kepada penulis, sehingga penulis diberi kekuatan untuk
menyelesaikan skirpsi yang berjudul “PENETAPAN KEPALA NEGARA OLEH KOMISI
PEMILIHAN UMUM (KPU) DALAM PELAKSANAAN PEMILU DI INDONESIA” (Tinjauan
Ketatanegaraan Islam).
Penyusunan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi sebagian syarat-syarat guna
mencapai gelar sarjana Syariah di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan pengharapan
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu dalam penyusunan skripsi ini kepada :
1. Bapak Prof. Dede Rosyada, MA Rektor Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, Ph.D Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Dra. Hj. Maskufa, M.Ag dan Ibu Hj. Rosdiana MA Kajur dan Sekjur Program
Studi Jinayah Siyasah.
4. Bapak Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, M. Ag Dosen pembimbing Skripsi yang telah
bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan dan pengarahan
dalam penyusunan skripsi ini.
5. Seluruh staf pengajar dan karyawan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu serta bantuannya kepada
penulis selama berlangsungnya perkuliahaan.
6. Kedua orang tua saya yang selalu mendoakan, member semangat, dan membantu
saya dalam segala hal baik yang bersifat materil maupun non materil.
7. Untuk semua saudara kandung saya yang selalu mendorong saya untuk
melangkah lebih baik lagi dari hari ke hari
8. Nelis Nazziatus sa’diah S.Pd sang aktifis serta motivator yang selalu ada untuk
memberikan semangat baik secara langsung maupun tidak langsung, membantu
dalam banyak hal termasuk penyusunan skripsi.
9. Keluarga Afiqu, Kahfi Motivator School, Sabilussalam, HMI Komfaksy, KKN
Beta, INADA Ciputat yang selalu ada dan selalu memberikan ilmu tentang arti
sebuah persahabatan.
10. Ari Hidayat, al-Muzani, Amuk, Fakhrurozi, Chombro, Fajar terima kasih telah
terus mengingatkan untuk menyelesaikan skripsi ini.
11. Teman-teman seperjuangan angkatan 2010 UIN Jakarta dan khususnya temanteman di jurusan Siyasah Syariah 2010 (Rois, Daud, Fai, Ipin, Taslim, Hafidz,
Juki, Udin, Fani, Imas, Ika, Vicky, Eli, Ela, Ikul, Sholiyah, Anita, Lulu, Ihda, Ilal,
Ade) terim kasih telah saling memberikan semangat dan membantu dalam selama
perkuliahan di UIN Jakarta.
Semoga penulisan skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca.
Jakarta, 29 Mei 2015
(Ahmad Rizki Alvian)
DAFTAR ISI
ABSTRAK
i
KATA PENGANTAR
ii
DAFTAR ISI
iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
7
D. Tinjauan Pustaka
8
E. Metode Penelitian
9
F. Sistematika Penulisan
10
BAB II
KONSEP ISLAM TENTANG INSTITUSI
PENYELENGGARA PEMILU
A. Sejarah Kelahiran Institusi Pemilu dalam Ahl al Hall wa al Aqd
12
B. Pandangan Ketatanegaraan Islam dalam Penetapan Kepala
Negara
19
iv
BAB III
Profile Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Indonesia
A. Sejarah Pemilu di Indonesia
22
B. Visi dan Misi Komisi Pemilihan Umum (KPU)
30
C. Pelaksanaan Pemilu di Indonesia Oleh Komisi Pemilihan
Umum (KPU)
32
BAB IV
Analisis Ketatanegaraan Islam dalam Penetapan Kepala
Negara di Indonesia
A. Kesesuaian Nilai ketatanegaraan Islam dalam Pemilu di
Indonesia
38
B. Perbandingan Penetapan Kepala Negara dalam Islam Dengan
Penetapan Kepala Negara Oleh KPU di Indonesia
45
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
59
B. Saran
60
DAFTAR PUSTAKA
61
v
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Berakhirnya rezim Orde Baru tahun 1998 dan berawalnya apa yang
disebut era reformasi telah menandai semangat baru dan tekad yang kuat
untuk mewujudkan kehidupan politik yang benar-benar demokratis serta
reformasi di bidang-bidang lain. Ini berarti, demokrasi bagi bangsa Indonesia
bukan lagi menjadi konsep yang perlu dikaji secara ilmiah di lingkungan
terbatas, tetapi sudah menjadi kebutuhan praktis dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara ke depan.1
Presiden terpilih BJ Habibie mendapat tugas berat untuk
menakhodai Indonesia di masa transisi. Langkah-langkah yang mengarah
kepada proses demokratisasi pun diambil. Kebebasan pers dijamin,
pemberantasan korupsi dilakukan, para pejabat yang diangkat melalui
nepotisme diberhentikan, kabinet dirombak, dan adapun yang paling menarik
adalah dibukanya keran regulasi politik yang membolehkan didirikannya
partai politik.2
Konsep demokrasi bukanlah konsep yang mudah dipahami, sebab ia
memiliki banyak konotasi makna, variatif, evolutif, dan dinamis. Tidaklah
mudah membuat suatu definisi yang jelas mengenai demokrasi.Demokrasi
bermakna variatif karena sangat bersifat interpretatif.Setiap penguasa negara
1
Zulkifli Sulaiman, Demokrasi Untuk Indonesia Pemikiran Politik Bung Hatta, ( Jakarta:
PT Kompas Media Nusantara 2010), hal. 2.
2
Didin Saefudin Buchori, Sejarah Politik Islam, (Jakarta: Pustaka Intermasa 2009), hal.
322.
1
2
berhak mengklaim negaranya sebagai demokratis, meskipun nilai yang dianut
atau praktik politik kekuasaannya amat jauh dari prinsip-prinsip dasar
demokrasi. Karena sifatnya yang interpretative itu, kita mengenal dengan
berbagai tipologi demokrasi seperti demokrasi liberal, demokrasi rakyat,
demokrasi proletar, demokrasi komunis, demokrasi terpimpin, demokrasi
pancasila, dan lain-lainnya.3
Menurut
Josefh
A.
Schemeter,
Demokrasi
merupakan
suatu
perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik dimana individuindividu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan dengan cara perjuangan
kompetitif atas suara rakyat. Sementara itu menurut Sidney Hook demokrasi
diartikan sebagai bentuk pemerinatahan di mana keputusan-keputusan
pemerintahan yang penting baik secara langsung maupun tidak langsung
didasarkan pada kesepakatan, mayoritas yang diberikan secara bebas dari
rakyat dewasa.4
Dari pendapat diatas Moh. Mahfud MD, mengambil keputusan bahwa
negara yang menganut sistem demokrasi mengandung tiga hal penting.
Pertama Pemerintahan dari rakyat. Kedua, pemerintahan oleh rakyat. Ketiga,
pemerintahan untuk rakyat.5
Sistem pemerintahan demokrasi berbeda dengan sistem pemerintahan
diktator.Ia berbeda dari segi cara untuk mendapatkan kekuasaan pemerintah.
Bagi sistem pemerintahan demokrasi, kekuasaan ini ditentukan melalui
3
Ahmad Suhaemi, Pemikiran Politik Barat,(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama), 2001,
hal. 297.
4
Moh. Mufid, Politik Dalam Persepektif Islam, (Jakarta: UIN Press, 2004), hal. 68.
Tim Penyusun Puslit IAIN Syarif Hidayatullah (Jakarta, Pendidikan Kewarganegaraan
Demokrasi, Ham dan Masyarakat Madani, Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000), hal. 163.
5
3
pemilihan umum (pemilu).Melalui pemilihan umum ini, rakyat diberi hak
untuk memilih pemimpin mereka sendiri. Ini berarti pemerintah demokrasi
ialah pemerintahan yang mendapat mandat dan persetujuan rakyat untuk
melaksanakan tugas-tugasnya. Sebaliknya pemerintahan diktator tidak
membenarkan pemilu diadakan.6
Pemilihan umum atau pemilu, merupakan salah satu dari parameter
demokrasi. Dalam sebuah negara demokrasi, pemilu dilaksanakan secara
teratur, terbuka bagi setiap warga negara yang mempunyai hak memilih dan
dipilih, rakyat bebas dalam menggunakan hak pilihnya sesuai dengan
perhitungan kepentingannya secara rasional, tanpa ada paksaan dan rasa takut,
bebas dalam mengambil bagian pada setiap tahap penyelenggaraan pemilu7.
Bagi setiap warga negara yang memenuhi syarat untuk mendapatkan hak pilih,
perlindungan bagi setiap individu terhadap pengaruh-pengaruh luar yang tak
diinginkan saat ia memberikan suara, dan perhitungan yang jujur dan terbuka
terhadap hasil pemungutan suara. Pemilihan umum tidak wajib atau tidak
mesti diikuti oleh seluruh warganegara, namun oleh sebagian warga yang
berhak dan secara sukarela mengikuti pemilihan umum. Sebagai tambahan,
dengan adanya pemilu barulah sebuah negara demokrasi akan tahu siapa yang
terpilih yang akan menjadi kepala Negara.
Pendapat ini senada dengan bunyi BAB 1 pasal 1 ayat 1 UndangUndang Republik Indonesia No 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
6
Tun Moh Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia, cet III,
(Ampang: Dawarna Sdn, Bhd, 2006), hal. 169.
7
Syukron Kamil, Islam dan Demokrasi: Telaah Konseptual dan Histori, (Jakarta:Gaya
Media Pratama, 2002), hal. 34.
4
Anggota DPR, DPD, DPRD yang berbunyi, Pemilihan Umum, selanjutnya
disebut Pemilu, adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang
dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam
negara kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar negara Republik Indonesia Tahun 1945.8
Pemilu membawa pengaruh besar terhadap sistem politik suatu
Negara.Melalui pemilu masyarakat berkesempatan berpartisipasi dengan
memunculkan para calon pemimpin dan penyaringan calon-calon tersebut.9
Pada hakikatnya pemilu, di negara manapun mempunyai esensi yang
sama. Pemilu, berarti rakyat melakukan kegiataan memilih orang atau
sekelompok orang menjadi pemimpin rakyat atau pemimpin Negara.
Pemimpin yang dipilih itu akan menjalankan kehendak rakyat yang
memilihnya.
Sebagai sarana pelaksanaan asas kedaulatan rakyat berdasarkan
Pancasila dalam negara Republik Indonesia, maka pemilu bertujuan antara
lain :
1. Memungkinkan terjadinya peralihan pemerintahan secara aman dan tertib.
2. Untuk melaksanakan kedaulatan rakyat.
3. Dalam rangka melakukan hak-hak asasi warga Negara.10
Sesuai dengan apa yang dicantumkan dalam pembukaan dan pasal 1
UUD 1945 bahwa Indonesia menganut asas kedaulatan rakyat, yang
8
Undang-Undang Pemilu dan Partai Politik 2008, (Jakarta: Gradien Mediatama, 2008),
hal. 11.
9
Titik Tri Wulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata negara Indonesia Pasca Amandemen
UUD 1945,(Jakarta: Kencana, Cet ke II, 2001), hal. 332.
10
Titik Tri Wulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata negara Indonesia Pasca Amandemen
UUD 1945,(Jakarta: Kencana, Cet ke II, 2001), hal. 333.
5
dimaksudkan di sini adalah kedaulatan yang dipunyai oleh rakyat itu antara
lain tercermin di laksanakan pemilu dalam waktu tertentu. Karenanya pemilu
adalah dalam rangka untuk memberi kesempatan kepada warga negara untuk
melaksanakan haknya, dengan tujuan :
1. Untuk memilih wakil-wakilnya yang akan menjalankan kedaulatan yang
dipunyai.
2. Terbuka kemungkinan baginya untuk duduk dalam badan perwakilan
rakyat sebagai wakil yang dipercayakan oleh para pemilihnya.
Dengan demikian, maka pada dasarnya pemilu sangat penting artinya
bagi setiap warga Negara, partai politik, dan pemerintahan.Bagi pemerintahan
yang di hasilkan dari pemilu yang jujur, berarti pemerintahan itu mendapat
dukungan yang sebenarnya dari rakyat, tetapi jika pemilu dilaksanakan tidak
dengan jujur, maka dukungan rakyat tersebut bersifat semu.
Jauh sebelum sistem demokrasi diterapkan oleh mayoritas negara di
seluruh dunia, Islam sudah menerapkan sistem yang sama seperti demokrasi
dewasa ini, pada zaman khalifah sudah ada lembaga penyelenggara pemilu
yang diberi nama ahl Al-hall wa al-Aqdi lembaga ini memiliki kewenangan
untuk : (1) menetapkan siapa saja kandidat khalifah yang memenuhi syarat
untuk merebutkan tahta khalifah dalam pemilu, (2) mengumumkan namanama kandidat khalifah tersebut kepada masyarakat sehingga sebelum masuk
ke bilik suara setiap pemilih telah mengetahui dengan pasti siapa calon yang
akan ddipilihnya dan (3) menentukan hari, tanggal dan jam pemilihan kepala
Negara. Tapi bila kepala negara dipilih oleh ahl Al hall wa al-Aqd maka dalam
6
konteks Indonesia, fungsi institusi tersebut sama seperti MPR di masa lalu,
sebelum amandemen 1945, yang antara lain mempunyai kewenangan untuk
memilih presiden dan wakil presiden.11
Penjelasan di atas merupakan gambaran, bahwa sistem pemilihan
umum memang sangat pas untuk sistem sebuah negara dewasa ini, pemilu pun
merupakan sebuah media demokrasi tersendiri untuk mendapatkan atau untuk
memilih kepala negara dan wakil kepala negara bahkan untuk menentukan
wakil rakyat yang akan mewakili segala aspirasi mereka.
Berdasarkan uraian tersebut, penulis merasa tertarik untuk meneliti dan
mengkaji lebih dalam mengenai masalah yang berkaitan dengan kinerja
pelaksanaan Pemilihan Umum (pemilu) yang diselenggarakan oleh Komisi
Pemilihan Umum (KPU) di Indonesia dalam penyelenggaraan pemilu yang
dalam pelaksanaannya terdapat beberapa permasalahan sehingga penulis
mengambil judul skirpsi :
“Penetapan Kepala negara OlehKomisi Pemilihan Umum (KPU)
Dalam Pelaksanaan Pemilu di Indonesia” (Studi Kajian Ketatanegaraan
Islam)
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Berdasarkan paparan pada latar belakang masalah di atas, maka
permasalahan
11
yang terdapat dalam penelitian ini
yang dibatasi
Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik
Islam, (Jakarta: Erlangga, 2008), hal. 165.
7
adalahmengenai
kinerja
Komisi
Pemiihan
Umum
(KPU)
dalam
menyelenggarakan pemilihan kepala negara yang dilaksanakan di
Indonesia.
2. Perumusan Masalah
Adapun masalah yang dikaji dalam skirpsi ini ialah sebagai berikut :
a. Bagaimana kepala negara yang terpilih dari hasil pemilihan umum
Republik Indonesia ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) ?
b. Bagaimana konsep Pemilihan Umum kepala negara Republik
Indonesia ditinjau dari presepektif ketatanegaraan Islam ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Dalam penelitian ini ada beberapa tujuan yang ingin dicapai di antaranya :
1. Untuk mengetahui proses penetapan Kepala negara oleh Komisi Pemilihan
Umum (KPU) dalam penyelenggaraan pemilihan kepala negara di
Indonesia.
2. Untuk
mengetahui
peranan
KPU
dalam
menerapkan
konsep
ketatanegaraan Islam dalam pengangkatan kepala Negara.
Adapun manfaat yang bisa diambil dari hasil penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Kajian keilmuan tentang Komisi Pemilihan Umum, Dewan Perwakilan
Rakyat dan Partai Politik
2. Menambah wawasan bagi para civitas akademik dalam seputar kinerja
Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Indonesia dan ketatanegaraan Islam.
8
D. Tinjauan Pustaka
Sejumlah penelitian dengan bahasan tentang politik Islam telah dilakukan,
baik mengkaji secara spesifik topik tersebut ataupun yang mengkaji secara
umum yang sejalan dengan bahasan penelitian ini. Berikut merupakan paparan
tinjauan umum atas sebagian karya-karya penelitian tersebut baik yang berupa
buku maupun skripsi, di antaranya :
1. Judul : ‘Nilai-nilai Ketatanegaraan Islam dalam pelaksanaan pemilu di
Malaysia’, Penulis : Abdul Iladi Bin Ripin/SS/SJS/2008
Skripsi
ini
menguraikan
serta
menjelaskan
mengenai
nilai-nilai
ketatanegaraan Islam dalam pelaksanaan pemilihan umum di Malaysia
2. Judul : ‘Dinamika Partai Amanat Nasional Dalam Pemilu 1999 dan 2004
di Indonesia’. Penulis : Edi Mulyadi/IP/SA/2009
Skripsi ini menjelaskan mengenai eksistensi Partai Amanat Nasional dan
integritas dalam percaturan Pemilihan Umum di Indonesia pada Tahun
1999 dan 2004.
3. Judul : ‘Pola Komunikasi Politik PKS Studi Komparatif Pada Pemilu 2004
dan
Pemilu
2009
di
Kota
Depok’.
Penulis
:
Yudhi
Dwi
Pradana/IP/SPII/2009
Skripsi ini berisi tentang pola komunikasi yang diterapkan dalam suksesi
pemenangan Pemilu pada tahun 2004 di Kota Depok dengan cara
pendekatan terhadap masyarakat dan membentuk lembaga-lembaga
kemanusian yang mampu menampung aspirasi masyarakat tersebut.
4. Judul : ‘Islam dan Tata Negara’ (Ajaran, Sejarah, Pemikiran)
9
Penulis : Munawir Sjadzali
Yang menjelaskan tentang proses pengangkatan kepala negara (khilafah),
dalam pelaksanaannya Islam mengajarkan beberapa metode pengangkatan
kepala Negara, namun tidak terlepas dari konsep keadilan.
Sementara itu dari studi terdahulu di atas, maka penulis pun akan
memaparkan bahwa yang menjadi pembeda dari judul di atas ialah, penulis
menjelaskan mengenai bagaimana kepala negara yang terpilih dalam
pemilihan umum di Republik Indonesia ditetapkan oleh komisi pemilihan
umum (KPU), serta pentingnya sebuah lembaga yang mengurusi terkait
pemilihan umum. Serta tinjauan ketatangeraan Islam dalam pengangkatan
kepala negara oleh KPU di Indonesia.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Ditinjau dari segi data yang diperoleh, penelitian ini menggunakan tipe
penelitian kualitatif yaitu penelitian yang menghasilkan data deskriftif.
Diawali dengan menyusun asumsi dasar dan aturan berpikir yang
digunakan dalam penelitian. Asumsi dan aturan berpikir tersebut
selanjutnya diterapkan secara sistematis dalam pengumpulan dan
pengolahaan data yang diperoleh dari informasi untuk memberikan
penjelasan dan argumentasi12. Dalam penelitian kualitatif menurut Noeng
Muhadjir diterapkan model logika reflektif, yang di dalamnya proses
12
Soerjono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UII-Press, 2006), hal. 32.
10
berfikir membuat abtraksi dan proses berfikir membuat penjabaran
berlangsung cepat.13
2. Objek Penelitian
Dalam penelitian ini objek yang terkait adalah kinerja Komisi pemilihan
Umum (KPU) dalam penetapan kepala negara .Penelitian ini sangat
menarik karena dalam pelaksanaan pemilu semenjak Era Reformasi
terdapat banyak sekali permasalahan.
3. Teknik Pengumpulan Data
Sumber data yang diperoleh dalam penulisan skripsi ini, yaitu :
a. Data Primer
Data Primer antara lain : data yang diperoleh dari hasil wawancara
kepada Fungsionalis Komisi Pemilihan Umum, serta dokumendokumen yang terkait dengan Komisi Pemilihan Umum.
b. Data Sekunder
Data Sekunder antara lain : data yang diperoleh melalui data-data yang
telah diteliti dan dikumpulkan oleh pihak lain yang berkaitan dengan
permasalahan penelitian ini baik berupa buku, majalah ataupun media
internet.
4. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan penulis dalam penelitian ini ialah
analisi kualitatif dan setelah memperoleh data, maka penulis akan
mengolah data dengan menggunakan metode deskriftif dan komperatif.
13
Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif : Pendekatan Positivistik,
Fenomenologik, dan Realisme Metafisik, Telaah Studi Teks dan Penelitian Agama,(Yogyakarta:
Raka Sarasin, 1996), hal. 6.
11
Yaitu analisis perbandingan antara pelaksanaan pemilu di Indonesia dan
ketatanegaraan Islam.
F. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah dan memperoleh gambaran yang utuh serta
menyeluruh, maka penelitian skripsi ini ditulis dengan menggunakan
sistematika pembahasan sebagai berikut :
BAB I
Berupa pendahuluan yang mencakup latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika
penulisan.
BAB II
Konsep
Islam
mengenai
institusi
penyelenggara
pemilu,
Membahas tentang, Prinsip Islam dalam Pemilihan Umum di
Indonesia dan pandangan ketatanegaraan Islam dalam penetapan
kepala negara
BAB III
Profile Komisi Pemilhan Umum di Indonesia yang meliputi;
sejarah pemilu di Indonesia dan ketatanegaraan Islam, Visi dan
Misi KPU di Indonesia, pelaksanaan pemilu di Indonesia oleh
KPU
BAB IV
Analisis ketatanegaraan Islam dalam penetapan kepala negara di
Indonesia, memuat; kesesuaian nilai ketatanegaraan Islam
terhadap kinerja KPU dan perbandingan penetapan kepala negara
dalam Islam dengan penetapan kepala negara oleh KPU di
Indonesia
BAB V
Merupakan penutup yang berisi tentang kesimpulan dan saran.
BAB II
KONSEP ISLAM TENTANG INSTITUSI PENYELENGGARA PEMILU
A. Sejarah Kelahiran Institusi Pemilu Dalam Ahl al Hall Wa al Aqd
Sebagaimana yang telah kita ketahui, sudah lebih dari 1400 tahun yang
lalu batu sendi pembentukan masyarakat Islam telah diletakkan di kota
Makkah di bawah situasi dan kondisi yang sangat tidak bersahabat dan
memusuhi. Memulai dan kemudian secara bertahap mengembangkan suatu
masyarakat Islami, di dalam sistem yang sangat bertolak belakang inilah yang
merupakan tujuan seumur hidup Rasulullah saw. Ketika masyarakat Islam
mencapai kemerdekaan politiknya, juga setelah organisasi-organisasi dalam
negerinya maju selangkah dalam rangka membentuk tahap suatu negara
regular, Rasulullah Muhammad saw. Menjadi dan diakui sebagai kepala
negara pertamanya. Beliau sama sekali tidak dipilih oleh siapa pu. Beliau telah
dipilih untuk tugas ini oleh Allah yang maha kuasa sendiri.
Selama berpuluh-puluh tahun beliau mengemban tugas sebagai kepala
negara tersebut sampai wafatnya. Beliau wafat tanpa sama sekali
meninggalkan perintah-perintah yang jelas ataupun calon-calon pengganti atau
penunjukan pengganti beliau. Karena tidak adanya isyarat-isyarat yang jelas
ini, dan dengan mengambil dasar pada perintah Al-Qur’an agar segala urusan
umat diputuskan secara musyawarah, para sahabat dengan tepat telah
menyimpulkan bahwa sepeninggal Rasul, seleksi dan penunjukan kepala
negara Islam telah diserahkan kepada kehendak pemilihan dari kaum Muslim
yang harus dilaksanakan sejalan dengan jiwa perintah Al-Qur’an tersebut.1
1
. Abu A’la Al-Maududi, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, (Bandung: Mizan,
1995), hal. 255-256.
12
13
Setelah Nabi Muhammad saw wafat, kaum muslim di Madinah
membentuk kelompok-kelompok politik yang berbeda seperti Anshar,
Muhajirin dan Bani Hasyim. Masing-masing kelompok ini memiliki
pemimpin tersendiri. Anshar dipimpin oleh Sa’ad ibn Ubadah, Muhajirin
mendukung Abu Bakar dan Umar, sedangkan Bani Hasyim memberikan
dukungan kuat kepada Ali.
Sumber-sumber sejarah hidup Nabi (sirah Nabawiyah) memberikan
gambaran mengenai pemilihan khalifah pertama, Abu Bakar. Kaum Anshar
mengklaim kekuasaan dengan alasan bahwa mereka merupakan bagian
terbesar dari angkatan bersenjata muslim. Mereka menyarankan sebagai
alternative agar kedaulatan dibagi di kalangan umat. Kaum Muhajirin
mempertahankan kesatuan umat Islam dan mengklaim kekuasaan dengan alas
an bahwa semua orang Arab hanya mau menerima kepemimpinan dari suku
Quraisy. Klaim Bani Hasyim, berkumpul di balairung Bani Saadah dan
mengadakan perdebatan politik. Peristiwa ini disebut pula peristiwa Saqifah.
Disitu, Umar mengusulkan Abu Bakar sebagai khalifah, dan mayoritas
menerima usulan tersebut. Setelah itu, kaum Muhajirin dan Anshar
memberikan bay’ah kepada Abu Bakar.2
Pengangkatan Umar sebagai khalifah dilakukan melalui penunjukan oleh
Abu Bakar. Terdapat sebuah pandangan yang menyatakan bahwa ditunjuknya
Umar oleh Abu Bakar merupakan hasil konspirasi mereka setelah Nabi
Muhammad meninggal. Konspirasi itu dilakukan untuk mengalahkan calon
2
. Nur Mufid dan A. Nur Fuad, Bedah Al-Ahkamus Sulthaniyah Al-Mawardi,(Jakarta:
Pustaka Progresif, 2000), hal. 58-59.
14
yang diajukan baik oleh kaum Anshar maupun oleh keluarga Bani Hasyim.
Bahkan Bernard Lewis menyebut pemilihan Abu Bakar sebagai sebuah bentuk
coup d’etat. Menyadari bahwa potensi konflik di kalangan umat Islam sangat
tinggi, Umar mempersiapkan penggantinya dengan membentuk sebuah dewan
formatur atau komite yang terdiri dari tujuh orang untuk melakukan
musyawarah dalam rangka memilih khalifah ketiga.
Tujuh tokoh tersebut ialah, Ustman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Sa’ad
bin Waqqas, Thalhah, Zubair ibn Awwam, Abdruhman bin Auf dan Abdullah
bin Umar. Ketujuh tokoh inilah yang disebut sebagai anggota ahl al-hall wa
al-aqddalam masalah suksesi. Secara harfiyah, ahl al-hall wa al-aqd berarti
orang yang dapat memutuskan dan mengikat. Para ahli fiqih siyasah
merumuskan pengertian, ahl al-hall wa al-aqd sebagai orang yang memiliki
kewenangan untuk memutuskan dan menentukan sesuatu atas nama umat
(warga Negara). Menurut M. Iqbal , ahl al-hall wa al-aqd adalah lembaga
perwakilan yang menampung dan meyalurkan aspirasi atau suara masyarakat.3
Dalam hal menentukan kepala Negara, sejarah Islam tidak menjelaskan
keterlibatan langsung masyarakat untuk member suara. ahl al-hall wa al aqd
berfungsi menentukan berdasarkan musyawarah.
Berangkat dari parktik yang dilakukan al-khulafa’ al-Rasyidun inilah para
ulama siyasah merumuskan pandangannya tentang ahl al-hall wa al-aqd.
Menurut mereka, para khalifah tersebut, dengan empat cara pemilihan yang
berbeda-beda, dipilih oleh pemuka umat Islam untuk menjadi kepala Negara.
3
. Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasahkontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2007), hal. 137-138.
15
Selanjutnya pemilihan ini diikuti dengan sumpah setia (bay’ah) umat Islam
secara umum terhadap khalifah terpilih. Berdasarkan cara-cara tersebut, alMawardi menguraikan perbedaan pendapat ulama tentang berapa jumlah ahl
al-hall wa al-aqd yang dapat dikatakan sebagai representasi pilihan rakyat
untuk mengangkat kepala negara.
Dalam sejarah Islam, pembentukan lembaga ahl al-hall wa alaqdberkembang dan dilakukan oleh pemerintahan Bani Umaiyah di Spanyol.
Khalifah al-Hakam II (961-976 M) membentuk Majelis Syura yang
beranggotakan pembesar-pembesar negara dan sebagian lagi pemuka
masyarakat. Kedudukan anggota Majelis Syura ini setingkat dengan
pemerintah. Khalifah sendiri bertindak langsung menjadi ketua lembaga
tersebut. Majelis inilah yang melakukan musyawarah dalam masalah-masalah
hukum dan membantu khalifah melaksanakan pemerintahan negara.
Adapun tugas dari ahl al-hall wa al-aqd ialah memilih khalifah atau
kepala negara. Ini menunjukan bahwa sistem pemilihan khalifah dalam
persepektif pemikiran ulama fikih, dan kecenderungan umat Islam generasi
pertama dalam sejarah, adalah secara tidak langsung atau melalui perwakilan.
Ini, dari segi fungsionalnya, sama seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) di Indonesia sebagai lembaga tertinggi negara dan perwakilan yang
personal-personalnya merupakan wakil-wakil rakyat yang dipilih oleh rakyat
dalam pemilu, dan salah satu tugasnya adalah melantik presiden (sebagai
kepala negara dan kepala pemerintahan).4
4
. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran,( Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada,2002), hal.67-68.
16
Sebagai disebut diatas, ahl al-hall wa al-aqd adalah orang-orang yang
mendapat kepercayaan sebagai wakil rakyat. Tapi pernyataan di atas masih
abstrak. Belum disebut secara konkrit kelompok-kelompok sosial yang mana
saja yang dapat dikategorikan sebagai ahl al-hall wa al-aqd apa
kualifikasinya, bagaimana hubungannya dengan rakyat dan mekanisme apa
yang digunakan untuk memperoleh kedudukan terhormat itu.
Selanjutnya al-Mawardi menentukan bahwa syarat yang mutlak dipenuhi
oleh anggota ahl al-hall wa al-aqd adalah adil dengan segala syarat-syarat.
Ilmu yang membuatnya mampu mengetahui siapa yang berhak menjadi
khalifah sesuai dengan kriteria-kriteria yang legal. Lalu wawasan dan sikap
bijaksana yang membuatnya mampu memilih siapa yang paling tepat menjadi
khalifah, dan paling efektif, serta paling ahli dalam mengelola semua
kepentingan.5
Sayangnya, al-Mawardi tidak menjelaskan secara memadai mengenai
prosedur pemilihan ahl al-hall wa al-aqd dan hubungan lebih jauh antara ahl
al-hall wa al-aqd dengan khalifah. Dalam hal ini, al-Mawardi hanya
menjelaskan proses pemilihan kepala negara yang diawali dengan meneliti
persyaratan kandidat. Lalu kandidat yang dianggap paling memenuhi
kualifikasi untuk menjadi kepala negara diminta kesediannya tanpa terpaksa.
Bila ia bersedia menjadi kepala negara, maka dimulailah kontrak sosial antara
kepala negara dan rakyat yang diwakili oleh ahl al-hall wa al-aqd.
Selanjutnya rakyat secara umum menyatakan kesetiaan mereka kepada kepala
negara.
5
. Imam al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyah Hukum-Hukum Penyelenggaraan negara
dalam Syariat Islam,( Jakarta: Darul Falah, 2007), hal. 3.
17
Sementara itu al-Anshari berpendapat bahwa adapun mekanisme
pemilihan ahl al-hall wa al-aqd dapat dilakukan melalui beberapa cara:
1. Pemilihan umum yang dilaksanakan secara berkala. Dalam pemilu ini,
anggota masyarakat yang sudah memenuhi persyaratan memilih anggota
ahl al-hall wa al-aqd sesuai dengan pilihannya.
2. Pemilihan anggota ahl al-hall wa al-aqd melalui seleksi dalam
masyarakat. Dalam hal ini, masyarakat akan melihat orang-orang yang
terpandang dan mempunyai integritas pribadi serta memiliki perhatian
yang besar untuk kepentingan umat. Merekalah yang kemudian dipilih
untuk menjadi anggota ahl al-hall wa al-aqd
3. Disamping itu, ada juga anggota ahl al-hall wa al-aqd yang diangkat oleh
kepala negara6.
Di antara ketiga cara demikian, cara yang pertamalah yang lebih kecil
kelemahannya, karena cara ini mencerminkan kehendak rakyat secara bebas.
Mereka tidak perlu merasa takut untuk memilih siapa calon anggota ahl alhall wa al-aqd yang akan mewakilinya, sesuai dengan pilihan terbaiknya.
Sedangkan cara kedua sangat subyektif sehingga bisa menimbulkan
penyimpangan. Sementara cara yang ketiga tidak kondusif bagi independensi
anggota ahl al-hall wa al-aqd untuk bersikap kritis terhadap penguasa, karena
ia diangkat oleh kepala negara. Dengan demikian posisinya tersubordinasi
oleh kepala negara. Dalam konteks ini, pengalaman bangsa Indonesia yang
menggunakan sistem pengangkatan di samping pemilihan dalam menentukan
6
. Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasahkontekstualisasi Doktrin Politik Islam,( Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2007), hal. 143.
18
anggota ahl al-hall wa al-aqd selama Orde Baru, mungkin dapat dijadikan
contoh, betapa mereka tidak mampu bersikap kritis terhadap berbagai
kebijaksanaan penguasa yang tidak mencerminkan aspirasi rakyat.
Pembentukan lembaga ahl al-hall wa al-aqd dirasa perlu dalam
pemerintahan Islam, mengingat banyaknya permaslahan kenegaraan yang
harus diputuskan secara bijak dan pandangan yang tajam, sehingga mampu
menciptakan kemaslahatan umat Islam. Para ahli fiqih siyasah menyebutkan
beberapa alasan pentingnya pelembagaan majelis syura ini, yaitu: pertama,
rakyat secara keseluruhan tidak mungkin dilibatkan untuk dimintai
pendapatnya tentang masalah kenegaraan dan pembentukan undang-undang.
Oleh karena itu, harus ada kelompok masyarakat yang bisa diajak musywarah
dalam menentukan kebijaksanaan pemerintahan dan pembentukan perundangundangan. Kedua, rakyat secara individual tidak mungkin dikumpulkan untuk
melakukan musyawarah di suatu tempat, apalagi di antara mereka pasti ada
yang tidak mempunyai pandangan yang tajam dan tidak mampu berpikir
kritis. Mereka tentu tidak mampu mengemukakan pendapat dalam
musywarah. Hal ini dapat mengganggu berbagai aktivitas kehidupan
masyarakat. Ketiga, musywarah hanya bisa dilakukan apabila jumlah
pesertanya terbatas. Keempat, ajaran Islam sendiri yang menekankan perlunya
pembentukan lembaga musywarah, sebagaimana dalam surat al-Syura ayat 38
dan surat ali Imran ayat 159. Disamping itu, Nabi sendiri menekankan dan
melaksanakan musyawarah dengan para sahabat untuk menentukan suatu
kebijaksanaan pemerintahan.
19
B. Pandangan ketatanegaraan Islam dalam penetapan kepala Negara
Jika hukum keberadaannya wajib merupakan karakter pemerintahan Islam
atau Imamah, maka masalah pertama yang mendapat perhatian para ulama
yang membahas ilmu ini untuk diuraiakan adalah masalah wajibnya
pemerintahan ini ditegakkan. Eksistensi pemerintahan sangat penting,
menegakkannya adalah keharusan atau fardhu bagi masyarakat atau umat
dalam komunitasnya. Jika tidak ditegakkan, masyarakat atau umat tersebut
telah melakukan suatu kesalahan fatal. Para ulama memberikan hujjah-hujjah
dan dalil-dalil untuk membuktikan dasar kewajiban ini.
Pendapat
pertama
yang
mengatakan
wajibnya
imamah
dan
menegakkannya adalah fardhu serta kewajiban umat meralisasikannya adalah
pendapat Ahlus Sunnah dan Murji’ah secara umum, juga pendapat Mu'tazilah
kecuali segelintir kecil dari mereka, dan Kwaharij kecuali kelompok anNajdaat.
Dalil pertama yang berupa Ijma, mereka mengatakan telah terbukti bahwa
para sahabat, ketika mereka mendengar berita wafatnya Rasulullah saw.
Langsung berinisatif mengadakan pertemuan di Saqifah Bani Sa’idah menurut
riwayat yang masyhur. Turut serta dalam pertemuan itu para pembesar Anshar
dan Muhajirin. Mereka mereka meninggalkan perkara-perkara yang paling
penting menurut mereka, di antaranya mempersiapkan makam Rasul dan pergi
membicarakan masalah pengganti beliau. Mereka, sekalipun berbeda pendapat
mengenai pribadi orang yang sepantasnya untuk di bai’at atau mengenai sifatsifat dan karakter yang semestinya dimiliki oleh orang yang terpilih, sepakat
20
(ijma) dalam hal wajibnya ada imam atau pemimpin.
Ibnu Khaldun mengatakan dalam masalah ini, “kemudian bahwa melantik
imam adalah wajib yang kewajibannya diketahui dari agama dengan ijma para
sahabat dan tabi’in karena para sahabat Rasulullah saw, ketika beliau wafat,
segera membaiat Abu Bakar r.a dan menyerahkan kepadanya untuk mengatur
urusan mereka. Demikian pula dalam setiap era setelah itu, manusia atau umat
tidak boleh ditinggalkan dalam keadaan kacau dalam suatu masa dari berbagai
masa.
Sebagaimana diperkuat dalam ayat al-Qur’an surat an-Nisa ayat 59 yang
artinya sebagai berikut. “wahai orang-orang yang beriman Taatilah Allah dan
Rasul-Nya dan para pemimpin diantara kalian”.
Allah telah mewajibkan kita untuk menaati ulil amri dan mereka adalah
para imam yang menjadi pemerintah kita. Ibnu Hisyam bin Arwah
meriwayatkan dari Abi Shaleh, dari Abi Hurairah, bahwa Rasulullah saw,
bersabda, “kalian akan dipimpin setelahku oleh wali-wali (orang-orang yang
diangkat jadi pemimpin), maka yang baik akan memimpin kalian dengan
kebaikanny, dan yang jahat dengan kejahatannya. Maka dengarkanlah mereka
dan taatilah segala hal yang sesuai dengan kebenaran. Jika mereka berbuat
baik, kalian mendapat pahala dan mereka juga. Jika mereka berlaku jahat,
kalian mendapat pahala dan mereka mendapat dosa.”
BAB III
PROFILE KOMISI PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA
A. SEJARAH PEMILU DI INDONESIA
Pemilu pertama diselenggarakan pada tahun 1955, atau sepuluh tahun
setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, pemilu 1955
diselenggarakan di bawah sistem demokrasi parlamanter dengan payung
utamanya Undang-undang Dasar Seementara (UUDS) tahun 1950, konstitusi
dasar pengganti UUD 1945, yang sangat mengedepankan hak-hak sipil dan
demokrasi pengelolaan kekuasaan negara. Pasal 34 UUDS 1950 itu
menyatakan “tiada suatu ketentuan dalam bagian ini boleh ditafsirkan dengen
pengertian, sehingga penguasa, golongan atau orang dapat memetik hak
daripadanya untuk mengusahakan sesuatu atau melakukan sesuatu perbuatan
berupa apapun yang bermaksud menghapsukan hak-hak atas kebebasan yang
diterangkan di dalamnya”. Dan kemudian dalam pasal 35 UUDS 1950
ditegaskan kaitan antara kemauan rakyat dengan pemilu, yang berbunyi,
“kemauan rakyat adalah dasar kekuasaan, kemauan itu dinyatakan dalam
pmilihan berkala dan berkesamaan, serta dengan pemungutan suara yang
rahasia atau menurut cara yang juga menjamin kebebasan mengeluarkannya”.1
Ketika perang kemerdekaan berakhir pada tahun 1949, wakil presiden
Mohammad Hatta mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden No. X/1949 yang
1
. Biro Humas Komisi Pemilihan Umum, Pemilu Indonesia Dalam Angka dan Fakta Tahun
1955-1999.
21
22
bertujuan meliberalisasikan sistem politik. UUDS 1950 pun menggantikan
UUD 1945 yang berlaku sebelumnya. Berbeda dari UUD 1945 yang
menekankan sistem presidensiil yang kuat, konstitusi baru ini menetapakan
presiden sebagai kepala negara dan perdana menteri sebagai kepala
pemerintahan. Namun, sistem baru itu kemudian dianggap gagal, karena
kabinet terus menerus dalam situasi yang tidak stabil. Kabinet yang paling
kuat secara politisi hanya mampu bertahan selama dua tahun. Legitimasi
sistem konstitusional juga terancam oleh sejumlah gerakan pemberontakan.
Pemilu untuk memilih para anggota majelis konstitusioanl (konstituante)
dianggap sebagai jawaban bagi instabilitas politik. Akhirnya, UU pemilu 1953
memberi jawaban pertama ke arah penyelenggaraan pemilu legislatif yang
perwakilan proporsional dalam konstituensi beranggota banyak. Meskipun
proses pemilunya berlangsung adil dan demokratis, hasilnya mengecewakan
mereka yang berharap bahwa pemilu akan meningkatkan stabilitas demokrasi
parlamenter.2
Tidak satu pun partai peserta pemilu yang mampu meraih lebih dari
seperempat jumlah suara yang sah. Partai Nasional Indonesia (PNI) meraih
suara tertinggi dengan 22,3 persen, disusul oleh partai Majelis Syuro
Muslimin Indonesia (MASYUMI) dengan 20,9 persen, partai Nahdatul Ulama
(NU) dengan 18,4 persen dan Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan 19
persen.
2
. Aurel Croissant dan Gabriele Bruns, Politik Pemilu di Asia Tenggara dan Asia Timur,
(Jakarta: Pensil-324), hal. 102.
23
Meskipun pemilu 1955, yang disusul oleh pemilu sela 1957, umumnya
dianggap berlangsung secara demokratis, tetapi tidak berhasil mengatasi krisis
politik yang telah kronis. Pertarungan berbagai kubu ideologi, pertentangan
antara parlamen dan kabinet, serta konflik antar kelompok masyarakat, telah
menciptakan situasi politik yang sangat tidak stabil. Jadi, pemilu dianggap
tidak menyelesaikan masalah instabilitas politik yang berlangsung bertahuntahun di bawah sistem demokrasi parlamenter (liberal) sebelumnya.
Menjelang tahun 1967, Mayjen Soeharto telah melucuti kekuasaan
Presiden Soekarno. Sebuah rejim otoriter baru yang disbeut “Orde Baru”
dibentuk. Soeharto terpilih sebagai pejabat Presiden RI oleh parlamen.
Dengan didukung oleh Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya,
yang memuji Soeharto karena keberhasilnnya dalam menumpas PKI, orde
baru mulai mempersiapkan pemilunya yang pertama, yang dijadwalkan
berlangsung pada tahun 1971.
Tanpa partisipasi dua partai sebelumnya, yaitu Masyumi yang telah
dilarang oleh Bung Karno dan PKI yang telah dibubarkan oleh Soeharto, maka
pemilu 1971 menjadi alat legitimasi yang efektif bagi rejim Orde Baru.
Sepuluh partai politik bertarung dalam pemilu tersebut. Satu di antaranya ialah
Golongan Karya (Golkar). Golkar dibentuk pada awal 1960’an sebagai front
bersama untuk melawan PKI. Golkar merupakan organisasi yang terdiri dari
sekumpulan kelompok dengan latar belakang sosial yang berbeda-beda.
24
Meskipun secara hukum (legal), Golkar bukan partai politik, ia muncul
sebagai partai rejim Orde Baru-nya Soeharto.3
Sebagaimana diperkirakan, Golkar menang mutlak dalam pemilihan
umum 1971. Partai ini meraih 62,8 persen suara sah dan memenangkan 236
dari 360 kursi di parlamen, jumlah yang cukup untuk mengontrol parlamen
(DPR). DPR ini adalah bagian dari MPR, yang anggotanya berjumlah dua kali
lipat anggota DPR (720) dan yang setengah dari jumlah ini merupakan hasil
pengangkatan.
Dalam rangka mengkonsolidasikan lebih jauh kekuasaannya, Presiden
Soeharto memprakarsai sistem kepartaian pada tahun 1974, semua partai dan
kelompok politik, kecuali Golkar, dibubarkan dan digantikan oleh dua partai
baru, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi
Indonesia (PDI). Meskipun dari segi hukum ketiga partai ini merupakan
organisasi politik yang terpisah dan bersifat independen, tetapi sistem
kepartaian sesungguhnya merupakan “sistem hegemonik” karena Golkar
merupakan partai politik yang dominan, dengan kedua partai lainnya sebagai
“partai satelit”
Dibawah kerangka sistem kepartaian yang difabrikasi seperti ini, rejim
Orde Baru berhasil menyelenggrakan pemilu secara teratur untuk memilih
sebagai anggota DPR. Pemilu-pemilu tersebut diselenggrakan pada tahun
3
. Aurel Croissant dan Gabriele Bruns, Politik Pemilu di Asia Tenggara dan Asia Timur,
(Jakarta: Pensil-324), hal. 103.
25
1977, 1982, 1987, 1992 dan 1998. Namun, tidak satu pun pemilu tersebut
yang berlangsung kompetitif atau bebas dan adil, karena seluruh aparatur
negara, tentara dan masyarakat dimobilisasikan untuk mendukung rejim Orde
Baru dan Golkar.
Mei 1998, presiden Soeharto terpaksa mundur dari kekuasaan yang
dijalankannya sendirian (one man show). Ia digantikan oleh suatu
pemerintahan transisi yang dipimpin oleh Wakil Presiden B.J. Habibie,
seorang Insinyur yang beralih profesi menjadi politisi. Dengan pengambilan
alih kekuasaan maka dilmulailah apa yang disebut sebagai Era Reformasi.
Era reformasi merupakan era kebebasan dan keterbukaan yang secara luas
diberikan kepada seluruh lapisan masyarakat untuk secara bebas menyalurkan
aspirasinya, era kebebasan ini menjadi sebuah momentum bagi seluruh
masyarakat Indonesia untuk mewujudkan keinginanya dalam berbagai hal,
salah satunya dalam bidang politik hal ini ditandai dengan lahirnya partaipartai politik dalam jumlah besar, sehingga mencapi 181 partai yang resmi
terdaftar pada Departemen Kehakiman setelah melalui penyeleksian yang
dilakukan “tim sebelas”4. Diantara 181 partai tersebut hanya 48 partai yang
lolos dan layak mengikuti pemilu 1999 termasuk didalamnya terdapat sekitar
20 partai Islam5. Lahirnya banyak partai-partai politik tak terkecuali partai
4
. Azyumardi Azra (pengantar), dalam A.M. Fatwa, Satu Islam Multipartai: Membangun
Integritas di Tengah Pluralitas, (Bandung: Mizan Media Utama, 2000), hal. 12.
5
. Sudirman Tebba, Islam Menuju Era Reformasi, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya,
2001), hal. Xix.
26
Islam pada era reformasi ini menunjuk sebuah relaksasi politik yang hadir
setelah Orde Baru runtuh.
Dari sekian banyak partai politik yang ikut serta dalam percaturan
perpolitikan di Indonesia bisa diklasifikasikan kedalam beberapa aliran
diantaranya: Nasionalis, Sekuler dan Islamis (partai Islam). Parati politik
peserta pemilu 1999 dapat dibagi dalam dua kelompok. Pertama, kelompok
partai Islam tradisionalis yang diwakili kalangan nahdiyin yang ditambah Perti
dan al-washiliyah, yang terdiri dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai
Solidaritas Uni Nasional Indonesia (Partai SUNI), Partai Kebangkitan Umat
(PKU), Partai Nahdatul Ummah (PNU). Kedua, kelompok partai Islam
Modernis, yang kemudian terbagi menjadi dua faksi terpisah: Konservatif dan
Liberal.
Kelompok
Islam
Konservatif
terdiri
dari
Partai
Persatuan
Pembangunan (PPP), Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Keadilan (PK).
Kelompok Modernis liberal adalah orang-orang yang berasal dari kalangan
Muhammadiyah yang tergabung dalam partai Amanat Nasional (PAN).
Himpunan Mahasiswa Islam yang tergabung dalam Golkar, diluar ini adanya
juga beberapa yang dianggap sebagai partai gurem seperti Partai Abu Yatama
(PAY), Partai Islam Demokrat (PID), Partai Kebangkitan Muslimin Indonesia
(KAMI), dan Partai Umat Muslimin Indonesia (PUMI).6
Sementara itu pada pemilihan umum selanjutnya yang dilaskanakan pada
5 April 2004, semakin semarak dan bahkan tanda-tanda akan lahirnya budaya
6
. Idris Thaha, Demokrasi Religius, Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan M. Amien
Rais, (Jakarta: Teraju, 2005), 203-204.
27
kekerasan semakin kental. Salah satu isu yang ditenggarai akan menorehkan
budaya kekerasan adalah adanya pembatasan secara limitatif Parpol peserta
Pemilu tahun 2004.
Pola pembatasan secara ketat Parpol peserta 2004 adalah amat unik dalam
mekanisme Pemilu di Indonesia. Karena selama ini pola pembatasan Parpol
peserta Pemilu tidak seketat pemilu 2004.
Dalam suasana itu, sulit membayangkan bila parpol peserta pemilu tidak
dibatasi. Katakanlah Pemilu 2004 akan diikuti oleh ratusan parpol, pastilah
akan menyulitkan praktek pengaturan dan pengawasannya dilapangan baik
oleh Panwaslu, KPU maupun lembaga-lembaga lainnya.
Kesulitan ini dapat dirasakan misalnya saat kampanye dan pencoblosan,
bisa dibayangkan bila kampanye dan pencoblosan diikuti oleh ratusan parpol,
ditengah ratusan ribu konsistuen politik yang belum dewasa secara politik,
kita dapat bersyukur dari data yang ada, parpol yang mendaftarkan diri ke
Depkeh HAM ada 237 Parpol, namun yang berhasil lolos verifikasi hanyalah
50 Parpol. Dari 50 Parpol inilah yang akan diverifikasi oleh KPU pusat.7
Pengawasan pelaksanaan pemilu dilakukan untuk menampung dan
menindaklanjuti pengaduan atas pelanggaran dan sengketa. Pengawasan ini
dilakukan oleh Panitia Pengawas Pemilu, Panitia Pengawas Pemilu Provinsi,
7
. Agust Riewanto, Ensiklopedi Pemilu Analisis Kritis Intropektif Pemilu 2004 Menuju
Agenda Pemilum 2009, (Yogyakarta: El-Sab), hal. 11.
28
Panitia pengawas Pemilu Kabupaten/Kota dan Panitia Pengawas Pemilu
Kecamatan.8
Tugas dan wewenang Panwaslu sebagaimana disebutkan dalam pasal 122
ayat (1) yaitu:
a. Mengawasi semua tahapan penyelenggara pemilu
b. Menerima laporan pelanggaran peraturan perundang-undangan
Pemilu
c. Menyelesaiakan sengketa Pemilu yang timbul
d. Meneruskan temuan dan laporan yang tidak dapat diselesaikan
kepada instansi yang berwenang.
Setelah melakukan pemungutan suara lalu KPU mengumumkan penetapan
hasil pemilu Presiden di Hotel Borubudur, Jakarta pada tanggal 10 bulan
April. Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Muhammad Jusuf Kalla
resmi dinyatakan sebagai pemenang dalam pemilu presiden dan wakil
presiden 2004. Dari hasil rekapitulasi yang dilakukan sejak 2 Oktober malam
hingga 4 Oktober siang, jumlah suara sah seluruhnya 114.257.054 dan suara
tidak sah 2.405.651 (2,05%)9.
Pemilihan umum 2009 diikuti oleh 38 parpol, sebanyak 18 peserta adalah
parpol baru, sementara itu, dua parpol baru Hati Nurani Rakyat (HANURA)
8
. Lily Zakiyah Munir dan Sudarpo Said, Perempuan, Politik dan Pemilu 2004 Buku
Panduan Untuk Pendidikan Mmeilih, (Jakarta: Center for Pesantren and Democracy Studies,
2004), hal. 36-37.
9
. Komisi Pemilihan Umum, Pemilu Presiden 2004, hal. 159.
29
Yng dipimpin Oleh Wiranto dan Gerakan Indonesia Raya (GERINDRA) yang
dipimpin oleh Prabowo Subianto, lolos parlamentary threshold dan meraih
kursi DPR.
Fenomena yang paling menarik dalam pemilu 2009 ini adalah
munculnmya partai Demokrat sebagai pemenang. Pada pemilu 2004, partai ini
mencatat sejarah sebagai parpol baru yang langsung menggebrak peta
perpolitikan nasional dengan keberhasilannya meraup 8,46 juta suara (7,5
persen) dan berhasil mendudukan kadernya di Senayan. Fenomena
kemenangan partai Demokrat dalam pemilu 2009 ini telah mendudukannya
sebagai partai “papan atas” dengan menggeser kedudukan PDI-P dan Golkar,
yang telah lama mendominasi pemilu di Indonesia.
Fenomena Demokrat ini sangat menarik perhatian mengingat Partai
Demokrat adalah salah satu Partai yang pola alirannya samar-samar10.
Keberhasilan partai Demokrat dalam dua pemilu tak terpisahkan dari
popularitas tokoh Susilo Bambang Yudhoyono.
Kuskridho Ambardi bahkan telah mensinyalir bahwa ideologi partai-partai
di Indonesia telah lama pudar. Dengan berkesimpulan bahwa partai-partai
politik telah mengembangkan suatu pola kerja sama yang serupa sistem
kepartaian yang terkartelisasi. Faktor penyebab kartelisasi ini adalah
kepentingan kolektif partai-partai dalam menjaga sumber-sumber rente di
10
. R. William Liddle, Revolusi dari Luar, Demokrasi di Indonesia, hal. 106
30
lembaga eksekutif dan legislatif demi kelangsungan hidup mereka sebagai
suatu kelompok.
B.VISI DAN MISI KOMISI PEMILIHAN UMUM (KPU)
VISI
Terwujudnya Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelenggara Pemilihan
Umum yang memiliki integritas, profesional, mandiri, transparan dan akuntabel,
demi terciptanya demokrasi Indonesia yang berkualitas berdasarkan Pancasila dan
UUD
1945
dalam
wadah
Negara
Kesatuan
Republik
Indonesia.
MISI
1. Membangun lembaga penyelenggara Pemilihan Umum yang memiliki
kompetensi, kredibilitas dan kapabilitas dalam menyelenggarakan
Pemilihan Umum;
2. Menyelenggarakan Pemilihan Umum untuk memilih Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, Presiden dan Wakil Presiden serta Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil,
akuntabel, edukatif dan beradab;
3. Meningkatkan kualitas penyelenggaraan Pemilihan Umum yang bersih,
efisien dan efektif;
4. Melayani dan memperlakukan setiap peserta Pemilihan Umum secara adil
dan setara, serta menegakkan peraturan Pemilihan Umum secara konsisten
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
31
5. Meningkatkan kesadaran politik rakyat untuk berpartisipasi aktif dalam
Pemilihan Umum demi terwujudnya cita-cita masyarakat Indonesia yang
demokratis.
Dalam Pasal 10 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum
dan Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1999 tentang Pembentukan
Komisi Pemilihan Umum dan Penetapan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat
Umum Komisi Pemilihan Umum, dijelaskan bahwa untuk melaksanakan
Pemilihan Umum, KPU mempunyai tugas kewenangan sebagai berikut :
1. merencanakan dan mempersiapkan pelaksanaan Pemilihan Umum;
2. menerima, meneliti dan menetapkan Partai-partai Politik yang berhak
sebagai peserta Pemilihan Umum;
3. membentuk Panitia Pemilihan Indonesia yang selanjutnya disebut PPI dan
mengkoordinasikan kegiatan Pemilihan Umum mulai dari tingkat pusat
sampai di Tempat Pemungutan Suara yang selanjutnya disebut TPS;
4. menetapkan jumlah kursi anggota DPR, DPRD I dan DPRD II untuk
setiap daerah pemilihan;
5. menetapkan keseluruhan hasil Pemilihan Umum di semua daerah
pemilihan untuk DPR, DPRD I dan DPRD II;
6. mengumpulkan dan mensistemasikan bahan-bahan serta data hasil
Pemilihan Umum;
7. memimpin tahapan kegiatan Pemilihan Umum.
32
Dalam Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1999 terdapat tambahan
huruf:
1. tugas dan kewenangan lainnya yang ditetapkan dalam Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum.
Sedangkan dalam Pasal 11 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 tersebut juga
ditambahkan, bahwa selain tugas dan kewenangan KPU sebagai dimaksud dalam
Pasal 10, selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun setelah Pemilihan Umum
dilaksanakan, KPU mengevaluasi sistem Pemilihan Umum
C.PELAKSANAAN PEMILU DI INDONESIA OLEH KPU
Memang sama sekali tidak ada jaminan pemilu yang ‘luber’ dan ‘jurdil’
akan menghasilkan pemerintahan yang demokratis11. Pemerintahan hasil pemilu
yang paling bermutu sekalipun bisa Saja inefisien, korup, tidak bertanggung
jawab dan tak sanggup menerima kebijakan yang dituntut kepentingan umum.
Contoh paling menonjol bisa dilihat pada pemerintahan hasil pemilu 1955 di
Indonesia.
Pemilu pertama tersebut dianggap berlangsung ‘luber’ dan ‘jurdil’, namun
ternyata tidak dapat menjamin kelanjutan sistem demokrasi parlamenter, sebuah
sistem yang dinilai paling ideal untuk menegakkan kedaulatan rakyat. Ketiadaan
konsensus politik serta makin sengitnya konflik antar partai, khususnya antara
PNI dengan Masjumi, menyebabkan Kabinet Ali Sastroamindjojo Kedua tak
11
. Pax Benedanto, Ignatius Haryanto, Pemilihan Umum 1999: Demokrasi atau Rebutan
Kursi, (Jakarta: Lembaga Studi Pers dan Pengembangan, 1999), hal. 5.
33
dapat menjalankan tugas-tugas pokok mereka. Sebab itu, Presiden Soekarno
mengajukan usul untuk mengubah sistem politik menjadi ‘demokrasi terpimpin’
Pada Oktober 1956. Tiga tahun kemudian , pada 5 Juli 1959, Soekarno
mengeluarkan dekrit untuk kembali kepada UUD 1945. Begitu dekrit itu
dikeluarkan, sistem demokrasi parlamenter resmi terkubur. Cengkraman penguasa
pun makin kuat tertancap.
Meskipun gagal membentuk pemerintahan yang demokratis, Pemilu 1955
tetap layak dipakai sebagain tolak ukur untuk menilai pelaksanaan Pemilu 1999.
Pemilu pertama tersebut boleh jadi merupakan satu-satunya pemilu yang bermutu
selama 54 tahun Indonesai merdeka. Pemilu-pemilu lainnya, yang berturut-turut
berlangsung pada 1971, 1977, 1982, 1992, dan 1997, dianggap melulu
menegakkan ‘kedaulatan penguasa’, bukannya kedaulatan rakyat. Demikian buruk
enam pemilu Orde Baru tersebut sehingga sering diejek sebagai ‘pemilu semu’
karena prkatis hasilnya sudah diketahui sebelumnya.12
Pemilu 1955 dianggap bermutu terutama karena menjunjung tinggi
semangat
kerakyatan.
Pemerintahan
Burhanuddin
Harahap
memberikan
kesempatan yang luas kepada masyarakat untuk ikut menentukan jalannya pemilu.
Partai-partai politik dan berbagai unsur masyarakat lainnya terlibat sejak
penyusunan undang-undang, pendaftaran calon pemilih, kampanye, hingga proses
12
. Pax Benedanto, Ignatius Haryanto, Pemilihan Umum 1999: Demokrasi atau Rebutan
Kursi, (Jakarta: Lembaga Studi Pers dan Pengembangan, 1999), hal. 6.
34
penghitungan suara13. Dengan demikian tidak heran bila segala bentuk
penyelewangan dan kecurangan dapat ditekan. Hebatnya lagi, kendati berlangsung
dalam suasan konflik antar golongan dan partai politik yang amat tinggi serta
sarana yang sangat minim pemilu dapat berjalan dengan lancar, aman, dan damai.
Pemilu 1999 bisa jadi merupakan episode puncak dari gerakan reformasi
yang terjadi sejak awal 1998. gerakan ini telah berhasil mendesak Soeharto untuk
meletakkan jabatannya sebagai presiden pada 21 Mei 1998. Sejak itu saluran
aspirasi masyarakat terbuka lebar, antara lain berupa bermunculnya partai-partai
politik baru, tumbuh pesatnya media massa, dan juga maraknya unjuk rasa.
Pemilu di era reformasi ini memposisikan Komisi Pemilihan Umum
sebagai lembaga penyelenggara yang bebas dan mandiri yang keanggotaannya
terdiri dari wakil-wakil partai peserta pemilu dan wakil pemerintahan (pasal 8 ayat
2 UU N0. 3 Taahun 1999). Ketika keanggotaan lembaga itu diresmikan oleh
presiden, di dalamnya ada 48 wakil partai dan 5 wakil pemerintah. Khusus wakil
pemerintah, hanya 1 orang yang dapat dikatakan berstatus pejabat tinggi
departemen, selebihnya kalangan cendikiawan dan tokoh masyarakat yang diberi
mandat oleh pemerintah.14
Antusiasme atau euforia masyakarat memang nampak jelas dalam
pelaksanaan Pemilu 1999, terlebih pada masa kampanye dan pemungutan suara.
Gelombang kerusuhan berbau SARA (suku, ras, agama dan antar golongan )
13
. Herbert Feith, Pemilu 1965 di Indonesia, (Jakarta:Kepustakaan Populer Gramedia,
1999), hal. 15.
14
. Biro Humas Komisi Pemilihan Umum, Pemilu Indonesia Dalam Angka dan Fakta
Tahun 1955-1999.
35
yang melanda beberapa daerah, termasuk yang terjadi menjelang masa kampanye,
tidak menyurutkan semangat sebagian besar masyarakat untuk meriahkan pesta
demokrasi kedelapan ini. Kendati jumlah peserta membludak dan persaingan antar
pendukung partai tinggi, namun kampanye dan pemungutan suara berjalan dengan
aman dan lancar.
Mulusnya kampanye dan pemungutan suara ternyata tidak diikuti dengan
lancarnya proses penghitungan dan penetapan hasil perolehan sauara. Walau
menggunkan berbagai perangkat canggih dan sistem yang rapi, proses
penghitungan suara berjalan amat lambat sehingga penetapan hasil pemilu 1999
harus ditunda berkali-kali. Padahal, hasil pemilu 1999 itu begitu dinanti-nanti
masyakarat karena dianggap sebagai salah satuy pintu utama untuk keluar dari
kemelut krisis yang berkepanjangan.
Semula orang mengira proses penghitungan suara yang lambat tersebut
disebabkan oleh sikap hati-hati para pelaksana atau paling tidak berbagai
persoalan teknis. Pengalaman buruk selama enam pemilu mendorong wakil-wakil
partai dan unsur-unsur masyarakat lainnya, yang dilibatkan di setiap tingkat
proses penghitungan suara, bekerja lebih cermat dan awas terhadap berbagai
kecurangan yang mungkin timbul.
Demikinlah, hasil pemilu 1999 baru diputuskan oleh KPU pada 26 Juli
1999, atau hampir sebulan lebih lambat dari jadwal. Semula ditetapkan hasil
pemilu akan diperoleh pada 8 Juli 1999. Memang terdapat banyak kelemahan dan
kesalahan, tetapi karena Pemilu 1999 dipersiapkan dalam waktu terbatas dan
36
merupakan pengalaman pertama melaksanakan pemilu yang bersandikan pada
prinsip-prinsip demokrasi, maka kelemahan tersebut dapat dipahami dan diterima
oleh masyarakat.15
Rakyat kemudian terlibat menjadi saksi dinamika politik Pasca Pemilu
1999. Moral dan Kinerja sebagian pimpinan politik yang duduk di legislatif
maupun eksekutif, jauh dari harapan, fakta ini tak saja menimbulkan kecewa,
tetapi juga memunculkan sikap skeptis terhadap pemilu berikutnya. Inilah yang
menyebabkan kenapa pemilu 2004 menjadi titik krusia dalam proses reformasi
politik di Indonesia ke depan.
Lalu pada tanggal 6 Mei 2003 Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah
melantik para anggota Panitia Pengawas Pemilu (Panwas Pemilu) di tingkat pusat.
Panwas Pemilu ini kemudian telah membentuk di tingkat Pusat. Panwas Pemilu
ini kemudian telah membentuk Pnawas Pemilu Provinsi pada tanggal 12 Juni
2003. Selanjutnya berturut-turut dibentuk Panwas Pemilu Kabupaten/Kota dan
Panwas Pemilu Kecamatan. Pada awalnya (bahkan pada draf RUU pemilihan
umum), panitia Pengawas Pemilu ini tidak dirancang untuk ada. Pemikiran
awalnya, pengawasan akan dilakukan secara terintegrasi di berbagai bidang.
Dengan demikian pengawasan akan dilakukan sesuai kewenangan dari lembagalembaga negara yang sudah ada (termasuk oleh KPU sendiri) serta juga dilakukan
oleh masyarakat melalui para pemantau pemilu.
15
. Topo Santoso dan Didik Supriyanto, Mengawasi Pemilu Mengawal Demokrasi,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 25.
37
Sepanjang pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia, Panitia Pengawas
Pemilihan Umum sudah mulai dikenal pada pemilu-pemilu Orde Baru (khususnya
sejak pemilu tahun 1982). Panitia pengawas yang dulu dikenal dengan Panwaslak
itu diketuai oleh Jaksa Agung dan beranggota banyak unsur pemerintahan serta
unsur peserta pemilu.16
Pada pemilu 2004, ada tiga pelanggaran yang ditindak Panwaslu. Pertama,
pelanggrana administratif. Kedua, pelanggaran pidana. Ketiga, penyelesaian
sengketa. Dan pada Pemilu 2009, masalah penyelesaian sengketa tidak ditangani
lagi oleh panwaslu, tetapi masih tetap ada tiga pelanggaran yang harus ditangani
dengan menambahkan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu. UU
No.22/2007 tentang penyelenggara Pemilu, dan UU No 10/20008 tentang Pemilu
Legislatif menetapkan: model penanganan tiga pelanggaran ini sebagai berikut:
Pertama,
pelanggaran
administratif
diserahkan
ke
KPU.
Kedua,
pelanggaran pidana ke penyidik (polisi). Ketiga, kode etik penyelenggara pemilu
yang dilakukan anggota KPU/KPU PROVINSI/KABUPATEN/KOTA dibentuk
Dewan kehormatan bersifat ad hoc. Pada prakteknya, penyelesaian berbagai
macam pelanggaran Pemilu tidak menunjukan harapan sebagaiamana yang diikat
UU.17
Dalam Pasal 10 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan
Umum dan Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1999 tentang
16
. Topo Santoso dan Didik Supriyanto, Mengawasi Pemilu Mengawal Demokrasi,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 64.
17
. Ramdansyah, Sisi Gelap Pemilu 2009 Potret Aksesori Demokrasi Indonesia,
(Jakarta:Rumah Demokrasi, 2010), hal. 8.
38
Pembentukan Komisi Pemilihan Umum dan Penetapan Organisasi dan Tata Kerja
Sekretariat
Umum
Komisi
Pemilihan Umum, dijelaskan bahwa
untuk
melaksanakan Pemilihan Umum, KPU mempunyai tugas kewenangan sebagai
berikut :

Merencanakan dan mempersiapkan pelaksanaan Pemilihan Umum;

Menerima, meneliti dan menetapkan Partai-partai Politik yang berhak
sebagai peserta Pemilihan Umum;

Membentuk Panitia Pemilihan Indonesia yang selanjutnya disebut PPI dan
mengkoordinasikan kegiatan Pemilihan Umum mulai dari tingkat pusat
sampai di Tempat Pemungutan Suara yang selanjutnya disebut TPS;

Menetapkan jumlah kursi anggota DPR, DPRD I dan DPRD II untuk
setiap daerah pemilihan;

Menetapkan keseluruhan hasil Pemilihan Umum di semua daerah
pemilihan untuk DPR, DPRD I dan DPRD II;

Mengumpulkan dan mensistemasikan bahan-bahan serta data hasil
Pemilihan Umum;

Memimpin tahapan kegiatan Pemilihan Umum.
Dalam Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1999 terdapat tambahan
huruf:
1. Tugas dan kewenangan lainnya yang ditetapkan dalam Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum.
39
Sedangkan dalam Pasal 11 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 tersebut
juga ditambahkan, bahwa selain tugas dan kewenangan KPU sebagai dimaksud
dalam Pasal 10, selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun setelah Pemilihan Umum
dilaksanakan, KPU mengevaluasi sistem Pemilihan Umum.18
18
http://id.wikipedia.org/wiki/Komisi_Pemilihan_Umum (diakses pada tanggal 9 April
2015 pkl. 00.21.
BAB IV
ANALISIS KETATANEGARAAN ISLAM DALAM PENETAPAN
KEPALA NEGARA DI INDONESIA
A. Kesesuaian Nilai Ketatanegaraan Islam dalam Pemilihan Umum di
Indonesia
Sebagaimana agama yang paripurna , Islam tidak hanya mengatur dimensi
hubungan antara manusia dengan Khaliknya, tetapi juga antara sesama
manusia. Islam adalah agama yang universal artinya semua nilai-nilai yang
diajarkan dapat dipraktekan dalam kehidupan social bermasyarakat dan
bernegara. Diantara nilai-nilai yang dapat dijadikan sandaran perpijak adalah
nilai musyawarah, nilai keadilan, nilai persamaan, nilai amanah, dan masih
banyak lagi nilai-nilai yang terkandung yang bisa diterapkan dalam sistem
pemerintahan. Lalu apakah nilai-nilai Islam tersebut dapat diterapkan di
Negara-negara demokrasi diantaranya ialah Indonesia, didalam konstitusinya
dijelaskan Indonesia merupakan negara republik yang menganut serta
mengamalkan sistem demokrasi umumnya negara demokrasi mencantumkan
adanya hak asasi manusia dimana dalam melaksanakan hak asasi manusia
harus ada nilai-nilai persamaan, keadilan serta pemilihan umum agar
terpeliaharanya negara yang demokratis.
Seiring dengan menguatnya kesadaran global akan arti penting HAM
dewasa ini, persoalan tentang Universalitas HAM dan hubungannya dengan
berbagai sistem nilai atau tradisi agama terus menjadi pusat perhatian dalam
dalam perbincangan wacana HAM kontemporer. Harus diauki bahwa agama
berperan memberikan landasan etik kehidupan manusia.
38
39
Penting pula dicermati bahwa dengan menyadari sejarah panjang
kemanusian sejagat dengan segala dinamikanya memberikan pengaruh bagi
perkembangan
pemikiran,
khususnya
dalam
wilayah
ketatanegaraan
Indonesia. Jika kita melirik hal ihwal ketatanegaraan Indonesia, maka hal
pertama dan terpenting dilakukan adalah menoleh ke dalam seluk beluk
konstitusi Indonesia, yang diakui sebagai dasar hukum bagi ketatanegaraan
Indonesia.1
Dalam sejarah UUD 1945, perubahan UUD merupakan sejarah baru
bagi masa depan konstitusi Indonesia. Perubahan UUD 1945 dilakukan
sebagai buah dari amanat reformasi pembangunan nasional sejak turunnya
rezim Soeharto (1967-1998). Terdapat empat kali amandemen atau perubahan
yang berturut-turut telah dilakukan sejak tahun 1999 sampai dengan 2002.
Khusus mengenai peraturan HAM, dapat dilihat pada perubahan
Kedua UUD 1945 tahun 2000. Perubahan dan kemajuan signifikan adalah
dengan dicantumkannya persoalan HAM secara tegas dalam sebuah bab
sendiri, yakni Bab XA (Hak Asasi Manusia) dari mulai Pasal 28A sampai 28J.
penegasan HAM kelihatannya menjadi semakin eksplisit, sebagaimana
ditegaskan pada pasal 28A yang berbunyi, (setiap orang berhak untuk hidup
serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya). Kemajuan lain dapat
juga dilihat pada pasal 28I yang berbunyi : ( hak hidup, hak untuk tidak
dipaksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk
tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak
1
. Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia,( Jakarta: Kencana,
2005), hal. 60.
40
untuk dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia
yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun).
Berdasarkan ketentuan dari seluruh konstitusi yang berlaku di Indonesia
dapat dikatakan bahwa konseptualisasi HAM di Indonesia telah mengalami
proses dialektika yang serius dan panjang. Pentingnya pengaturan HAM
dalam konstitusi menggambarkan komitmen atas upaya penegakan hukum dan
HAM. Selain itu, beragamnya muatan HAM dalam konstitusi secara maksimal
telah diupayakan untuk mengakomodasi hajat dan kebutuhan perlindungan
HAM, baik dalam konteks pribadi, keluarga, masyarakat dan sebagai warga
negara Indonesia.
1. Nilai Keadilan
Kalangan ahli hukum dan pemerhati masalah kenegaraan/politik tidak
sesering ulama hukum Islam dalam membicarakan makna keadilan,
berikut urgensitas komitmen para penguasa untuk berpegang teguh dan
menerapkannya, termasuk juga para aparat negara yang berhubungan
dengan kepentingan umum. Perintah melaksanakan keadilan itu sebagi
tujuan dari pemerintahan.2
Rasulullah saw. Bersabda, “Umat ini akan baik selama mereka
mengatakan benar, menghukum dengan adil, memberi kasih apabila
diminta kasih. Juga, makhluk yang paling dicintai oleh Tuhan adalah
pemimpin yang adil dan yang paling dibenci adalah seorang pemimpin
yang berlaku lalim, juga. Pada hari akhir nanti aka nada yang memanggil
2
. Dhiaudin Rais, Teori Politik Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2001), hal. 265.
41
mana kezhaliman? Mana orang-orang yang membantu kezhaliman ?
meraka semua akan berkumpul sampai ada yang mencacat dosa-dosa
mereka lalu meraka semua masuk neraka”
Secara umum, keadilan sebagaimana yang didefinisikan oleh para ulama
fiqih dan para muffasir adalah melaksanakan hukum Tuhan, manusia
menghukum sesuai dengan syariat agama sebagaimana telah diwahyukan
Allah
kepada
nabi-nabiNya
dan
rasul.
Syariat
Islam
adalah
penyempurnaan syariat-syariat yang telah ada sebelumnya.
Allah berfirman di dalam surat An-Nisa ayat 58






Artinya : sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada
yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara
manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah
sebaik-baik yang member pengajaran kepadamu. Sungguh Allah maha
mendengar, maha melihat. (QS An-Nissa ayat 58).
2. Nilai musyawarah
Konklusi
bai’ah
mengandung
suatu
proses
seleksi.
Di
situlah
syura,sebagaimana diketahui, memainkan peranana penting untuk
menentukan pilihan ummah tentang orang yang dipandang paling tepat
menduduki jabatan sebagai pemimpin. Jika pemilihan itu ditentukan
melalui bai’ah, maka focus musyawarah bergeser kepada kawasan lain,
yakni kepentingan masyarakat. Jadi, andaikata bai’ah berarti akhir sebua
transaksi atau keputusan dalam kaitannya dengan masalah kepemimpinan,
42
maka. Musyawarah merupakan penjajagan penelitian dan perkiraan
dengan tujuan meraih cita-cita atau keputusan paling baik yang berkaitan
dengan semua persoalan, termasuk masalah kepemimpinan.3
Al-Qur’an banyak menjelaskan sisi penting musyawarah atau konsultasi.
Ayat-ayat tersebut membuktikan bahwa Islam tidak hanya memandang
konsultasi sebagai suatu prosedur yang direkomendasikan, tetapi
merupakan sebuah tugas keagamaan. Al-Qur’an 42-38 .





Artinya : dan bagi orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan
dan melaksanakan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan
musyawarah antara mereka, dan menginfakan sebagian dari rezeki yang
kami berikan kepada mereka. (QS Asy-syura ayat 38).
Konsep Ibnu Taimiyah tentang musyawarah atau konsultasi sama luasnya
dengan konsep yang ia kemukakan tentang
bai’ah. Ia mengehendaki
adanya musyawarah yang lebih efektif dan umum. Seorang pemimpin
seharusnya tidak hanya menimba (meminta) pertimbangan dari ulama,
tetapi semua kelas dalam masyarakat dan siapa saja yang mampu
memberikan suatu pendapat yang dinamis. Hanya saja, ada batasan yang
melingkari berlakunya konsultasi secara wajar.
Dalam prinsip syariat Islam tidak meemberikan konsepsi yang tetap atau
ketetapan yang mengikat. Inilah salah satu rahasia kekenyalan syariat
3
. Khalid Ibrahim Jindan, Teori Politik Islam Telaah Kritis Ibnu Taimiyah tentang
Pemerintah Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), hal. 82.
43
Islam yang tetap up to date kini dan esok maka sehubungan dengan situasi
dan kondisi yang berubah dan berbeda-beda, Islam menawarkan metode
paling baik, yaitu menyerahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan otak
manusia untuk mengelolanya, mengatur dan memikirkannya sesuai dengan
situasi dan kondisi yang berkaitan dengan topik masalah yang akan di
musyawarahkan.
Sementara itu dalam negara Indonesia Mohammad Yamin melihat tiga
dampak positif suatu musyawarah. Pertama, dengan musyawarah manusia
memperluas perjuangannya, kedua, dengan musyawarah suatu masalah
tidak hanya dipikirkan oleh perorangan, ketiga, permusyawaratan
menghilangkan misunderstanding atau salah pengertian4. Di samping itu,
musyawarah itu sendiri adalah suatu kewajiban dapat ditingkatkan. Dalam
struktur
masyarakat
Indonesia
yang
asli,
kepala
desa
selalu
bermusyawarah langsung dengan warga, apabila ada suatu hal yang akan
diputuskan yang menyangkut kepentingan seluruh warga desa. Akan
tetapi, apabila jumlah warga desa sudah sedemikian besarnya, maka
musyawarah langsung seperti itu tidak dapat dilaksanakan lagi. Dalam hal
yang demikian, permusyawaratan dilakukan melalui perwakilan. Ini sesuai
dengan pengertian MPR dalam perubahan UUD 1945 yang berbunyi MPR
adalah lembaga permusyawaratan rakyat yang berkedudukan sebagai
lembaga negara, adapun tugas dan wewenang MPR sesudah amandemen
atau perubahan UUD 1945 ialah, pertama, mengubah dan menetapkan
4
. S. Silalahi, Dasar-dasar Indonesia Merdeka Persi Para Pendiri negara,(Jakarta:PT
Gramedia Utama, 2001), hal. 270.
44
UUD,
kedua,
melantik
presiden
dan
wakil
presiden,
ketiga,
memberhentikan Presiden dan wakil Presiden dalam masa jabatannya
menurut UUD, keempat, melantik Wapres menjadi Presiden apabila
Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melaksanakan
kewajibannya, kelima, memilih dan melantik Presiden dan Wapres apabila
keduanya berhenti secara bersamaan.5
3. Nilai Persamaan
Persamaan dalam Islam adalah prinsip dasar dan agung nilainya bagi
kehidupan manusia. Ia merupakan salah satu mutiara Qur’ani yang
diturunkan bagi seluruh lapisan masyarakat sebagai landasan berpijak di
dalam mengerjakan amal kebaiakan6 Allah berfirman :






Artinya: wahai manusia sesungguhnya kami telah menciptakan kamu
sekalian dari laki-laki dan perempuan, dan menjadikan kalian bersukusuku dan berbangsa-bangsa supaya kalian saling kenal-mengenal antara
satu dengan lainnya. Sesungguhnya orang yang paling mulia di anatara
kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. (QS al-Hujarat:13).
Walhasil manusia itu sama. Allah menjadikan mereka bersuku-suku dan
berbangsa-bangsa, agar mereka saling mengenal dan tolong menolong.
Bukan malah sebaliknya, untuk saling menyombongkan diri menurut ras
dan diskriminasi bangsa. Hal antar sesama. Dan tidak pula untuk
berbangga diri atas dasar perbedaan warna, pangkat dan juga golongan.
5
. Bahan Tayangan Materi Sosialisasi Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan ketetapan MPR RI, (Jakarta:Sekretariat Jendral MPR RI, 2011), hal. 47-48.
6
. Hamidullah dkk, Politik Islam Konsepsi dan Dokumentasi, (Surabaya: PT Bina Ilmu,
1987), hal. 171-172.
45
Untuk itulah Islam menganjurkan untuk mengikis habis akar-akar
fanatisme dan golongan, serta membuang jauh-jauh kebanggan atas
keturunan dan warna kulit. Kemudian Islam menyatakan standar
kemuliaan seorang adalah kebaiakan perilaku dan budi perkerti serta kadar
takwanya kepada Allah Yang Mahakuasa.
B. Perbandingan Penetapan Kepala Negara dalam Islam Dengan Penetapan
Kepala Negara oleh KPU di Indonesia
Dasar yang disepakati, ialah: tidak boleh ada dua orang kepala negara
dalam suatu benua, atau daerah, karena membawa kepada perceraian dan
permusuhan. Tetapi, jika benua-benua itu berlain-lainan dan jauh pula jarak
antara satu daerah dengan yang lain, maka ada ulama yang tidak
membolehkan dan ada yang membolehkan.7
Al-Baghdadi berkata: “tidak boleh ada dalam suatu waktu(masa), dua
kepala negara yang kedua-duanya wajib ditaati, terkecuali kalau diantara dua
negeri ada laut yang luas yang menghalangi sampainya pertolongan atau
bantuan dari suatu negeri ke negeri yang lain. Kalau demikian keadaanya,
maka boleh masing-masing negeri mengangkat kepala Negaranya sendiri.
Baik al-Qur’an maupun sunnah tidak pernah menetapkan suatu cara atau
mekanisme tertentu dalam memilih seorang kepala Negara/presiden. Karena
itu, dalam pentas sejarah ketatanegaraan Islam muncul berbagai model atau
cara pengangkatan kepala negara Islam, mulai dari yang dianggap demokratis
dan damai sampai kepada cara yang dianggap tidak demokratis dan didahului
7
. Hasbi Ash Shiddieqy, Ilmu Kenegaraan Dalam Fiqih Islam, (Jakarta: PT Bulan
Bintang, 1991), cet. Kedua, hal, 71.
46
sebuah peperangan atau revolusi berdarah.8
Model yang pertama, yaitu pemilihan langsung oleh Allah, di negara baru
Madinah bagi umat Islam Nabi Muhammad adalah segala-galanya. Beliau
adalah Rasul Allah dengan otoritas yang berlandaskan kenabian sekaligus
pemimpin masyarakat dan kepala negara. Dalam kehidupan sehari-hari sukar
dibedakan antara petunjuk-petunjuk mana yang belaiu sampaikan sebagai
utusan Tuhan dan mana yang beliau berikan sebagai pemimpin masyarakat
atau kepala negara. Demikian pula dalam hal perilaku beliau. Hubungan
antara umat Islam dengan beliau adalah hubungan antara pemeluk agama yang
beriman dengan ketaatan serta loyalitas yang utuh dan seorang pemimpin
pembawa kebenaran yang mutlak dengan wahyu Illahi sebagai sumber dan
rujukan, dan yang bertanggung jawab hanya kepada Tuhan. Oleh karenanya
selain ungkapan-ungkapan dan perilaku Nabi yang merupakan penjabaran atau
peragaan dari ajaran-ajaran yang telah digariskan oleh Al-Qur’an, tidak
banyak yang dapat digali dari periode itu untuk menemukan unsure-unsur bagi
pola kehidupan bernegara.9
Sementara itu menurut Al-Maududi, sewaktu Nabi Muhammad saw
berada di Makkah, Nabi Muhammad hanya berkedudukan sebagai kepala
agama saja. Setelah hijrah ke Madinah beliau tidak hanya di akui sebagai
pemimpin agama, melainkan juga menjadi dan diauki sebagai kepala negara
Madinah, menurut al-Maududi, Nabi sama sekali tidak dipilih oleh siapa pun,
8
. Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik
Islam, (Jakarta: Erlangga,2008), hal. 124.
9
. Munawir Sjadzali, Islam dan Tatanegara Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI
PRESS, 2003), hal. 16.
47
tetapi ia dipilih langsung oleh Allah Yang Maha Kuasa.
Metode yang kedua, adalah melalui lembaga ahl al-Hall wa al-Aqd,
setelah wafat nyah Nabi maka tampuk kepemimpin pun akan terus berputar
dan melalui lembaga inilah masyarakat diwakili dalam urusan menetapkan
kepala negara, pengertian dari ahl al-Hall wa al-Aqd adalah sebagai orang
yang memiliki kewenangan untuk memutuskan dan menentukan sesuatu atas
nama umat (warga negara). Dengan kata lain lembaga ini lah yang
menampung dan menyalurkan aspirasi atau suara masyarakat. Anggota ahl alHall wa al-Aqd ini terdiri dari orang-orang yang berasal dari berbagai
kalangan dan profesi. Merekalah yang antara lain bertugas menetapkan dan
mengangkat kepala negara sebagai pemimpin pemerintahan sebagaimana yang
diutarakan diatas.
Adapun syarat yang harus dimiliki oleh seorang anggota ahl al-Hall wa alAqd adalah adil, mengetahui dengan baik kandidat kepala negara yang akan
dipilih dan mempunyai kebijakan serta wawasan yang luas sehingga tidak
salah dalam memilih kepala negara, sayangnya, al-Mawardi tidak menjelaskan
secara memadai mengenai prosedur pemilihan anggota ahl al-Hall wa al-Aqd
dan hubungan lebih jauh antara lembaga tersebut dengan khalifah. Dalam hal
ini, al-Mawardi hanya menjelaskan proses pemilihan kepala negara yang
diawali dengan meneliti persyaratan kandidat. Lalu kandidat yang dianggap
paling memenuhi kualifikasi untuk menjadi kepala negara diminta
kesediannya tanpa terpaksa. Bila ia bersedia menjadi kepala negara, maka
dimulailah kontrak social antara kepala negara dan rakyat yang diwakili oleh
48
lembaga ahl al-Hall wa al-Aqd. Selanjutnya barulah rakyat secara umum
menyatakan kesetian mereka kepada kepala negara.10
Tidak ada dalam syarat-syarat yang dikemukakan itu, satupun syarat yang
mengharsukan ahl al-Hall wa al-Aqd itu, orang yang kaya, mempunyai jumlah
tertentu dari harta-harta kekayaannya, dan Al-Mawardi tidak mengharuskan
orang yang diangkat menjadi ahl al-Hall wa al-Aqd, seorang dari penduduk
kota.
Metode yang ketiga, adalah melalui cara musyawarah, meskipun
kepada Nabi Muhammad saw diberi kewenangan untuk membuat undangundang, mengesahkan peraturan maupun undang-undang dasar bagi negara
Islam yang mencakup bagian dari risalah belaiu, walaupun demikian istimewa
wewenang yang telah diberikan kepada Rasulullah saw, tetapi beliau tidak
menggunakannya dalam dunia politik dan kepemimpinannya atas manusia.
Beliau dikelilingi oleh para nasihat, selalu bermusyawarah dan mengambil
pendapat mereka di dalam menghadapi masalah-masalah yang pelik, terutama
mengenai bermacam masalah yang tidak tercantum nasnya atau isyarat.11
Dalam
pemilihan
kepala
Negara/khalifah
haruslah
dengan
musyawarah, seperti firman Allah yang artiNya, : “ Urusan negara haruslah
dimusyawarahkan sesama mereka” (As-Shura:38). Syariat Islam tidak
menetapkan organisasi dan cara pemilihan kepala negara, karena hal itu adalah
suatu cara yang bisa berubah-ubah dengan perubahan zaman dan tempat untuk
10
. Muhammad Iqbal, Fiqih Siyasah Kontektualisasi Doktrin Politik Islam,(Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2001), hal. 139-140.
11
. Abdul Ghafar Aziz, Islam Politik Pro dan Kontra, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989),
hal. 168.
49
mengatur organisasi dan cara pemilihan yang sesuai dengan zaman dan tempat
mereka.
Metode yang ke empat, adalah melalui keturunan atau waliyatul ahdi,
sistem wilayatul ahdi adalah penunjukan pasti yang tidak boleh ditolak, rakyat
atau wakil-wakilnya tidak diberi hak memilih hanya mereka harus menerima,
kalau perlu dengan paksaan. Jadi, sistem ini telah memperkosa hak asasi
rakyat yang diakui Islam yaitu shura.12
Ibnu Khaldun sebagai seorang sarjana sosiologi, yang pembahasannya
dalam berbagai masalah lebih ditekankan kepada perkembangan masyrakat,
dalam soal wilayatul ahdi ini ditulis satu pasal khusus dalam kitabnya
“Muqadimmah Ibnu Khaldun”.
Selanjutnya Ibnu Khaldun mengemukakan beberapa alas an berdasarkan
ilmu sosilogi untuk membela politik khalifah Mu’awiyah yang menyerahkan
“wilayatul ahdi” itu kepada puteranya Yazid, yang terkenal dengan bejat
moralnya. Nampaknya Ibnu Khaldun menganggap bahwa Mu’awiyah benar
dalam tindakannya itu, tetapi dinyatakan bahwa Yazid yang bejat moralnya itu
adalah di luar tanggung jawab Mu’awiyah.
Dengan adanya “wilayatul ahdi” untuk mempusakai terus-menerus
khilafah kepada putera-putera dan keturunannya, itu bukanlah ajaran agama,
karena negara adalah haknya Allah yang akan diberikan kepada hamba yang
disukaiNya, dalam hal ini tersebut haruslah berniat baik, supaya terhindar dari
mempermainkan jabatan-jabatan agama. Kerajaan adalah kepunyaan Allah,
yang akan diserahkan kepada yang disukai-Nya.
12
A Hasjmy, Dimana Letaknya negara Islam,(Surabaya: PT Bina Ilmu, 1984), hal. 191.
50
Kalau sekiranya “putera makhota” itu adalah hak anak atau bapaknya,
maka terhadap boleh atau tidaknya Imam melakaukan ba’aiat sendirian,
pendapat ahli hukum terpecah menjadi tiga :
1. Imam tidak boleh sendirian melakukan akad ba’iat untuk anak dan
bapaknya, sebelum mengadakan musyawarah dengan para pemilih,
sehingga mereka menyatakan bahwa “putera mahkota” itu patut menjabat
jabatan Imamah/kepala negara. Maka sah lah ketika itu akada ba’iat.
2. Imam boleh sendirian melakukan akad ba’iat terhadap anak dan bapaknya,
karena imam adalah amirnya umat, yang perintahnya berlaku untuk dan
atas mereka. Maka hukum jabatan mengalahkan hukum turunan, dan tidak
ada jalan untuk menentang kebijaksanaannya. Penyerahan wilayatul ahdi
kepada anak atau bapaknya, sama seperti penyerahan kepada orang lain.
3. Imam boleh sendirian melakukan akad ba’ait kepada bapaknya dan tidak
boleh kepada anaknya, karena tabiat yang mendorong cinta anak lebih dari
tabiat yang mendorong cinta ayah.
Sistem putera mahkota merupakan sistem yang munkar dalam pandangan
sistem Islam, serta amat bertentangan dengan sistem Islam. Karena kekuasaan
adalah milik umat, bukan milik khalifah. kalau Khaifah hanya merupakan
wakil umat untuk memegang kekuasaan sementara statusnya tetap sebagai
wakil, maka bagaimana mungkin khalifah bisa menghadiahkan kekuasaannya
kepada orang lain.13
13
. Taqiyuddin An-Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam Doktrin Sejarah dan Realitas
Empirik, Bangil: Al Izzah, hal. 110.
51
Oleh karena itu apa yang dilakukan oleh Abu Bakar kepada Umar bukan
merupakan wilayatul ahdi (pewaris kepada putra mahkota), karena ia
melakukan pemilihan berdasarkan aspirasi umat Islam semasa hidupnya. Lalu
Umar di bai’at setelah beliau wafat.
Setelah cukup segala syarat yang difardukan, pada yang mengangkat,
maupun pada wilayatul ahdi, namun haruslah penyerahan itu menggambarkan
kemauan umat dan diterima baik oleh kebanyakan mereka, baik kemauan itu
diketahui olehnya dengan jalan musyawarah, ataupun dengan jalan yang lain.
Pokok pangkalnya, dalam hal ini ialaha benar-benar adanya kerelaan umat.14
Dalil yang menunjukan kepada hal yang demikian ini, ialah: sahnya
khalifah atau kepala negara yang dibaiatkan oleh orang seorang, adalah
disyaratkan bahwa yang demikian itu dapat menggambarkan keinginan
masyarakat. Umar bin Khatab pernah berkata:
“barang siapa membaiatkan seseorang tanpa musyawarah, maka baiatnya
dipandang tidak ada dan tidak puka dipandang sah”.
Umar yang ditunjuk oleh Abu Bakar menjadi khalifah, sah menjadi
khalifah lantaran para sahabat membaiatnya dan mentaatinya, andaikata para
sahabat tidak menerima penunjukan Abbu Bakar tentulah Umar tidak menjadi
kepala negara.
Apabila sayarat-syarat dan sifat-sifat ini terdapat pada seorang yang ditunjuk
menjadi wilayatul ahdi, maka penunjukan itu merupakan kebaikan bagi umat
dan keberkatan yang dengan demikian terhindarlah umat dari perpecahan.
14
. Hasbi Ash Shiddieqy, Ilmu Kenegaraan Dalam Fiqih Islam, (Jakarta: PT Bulan
Bintang, 1991), cet. Kedua, hal, 69.
52
Berbeda dengan sistem putra mahkota yang telah dilakukan oleh Mu’awiyah
karena dalam prakteknya memang jelas bertentangan dengan sistem Islam.
Sedangkan yang menyebabkan Mu’awiyah melakukan bid’ah yang jelas
munkar tersebut (yaitu melakukan wilayatul ahdi) adalah :
1. Mu’awiyah memaham, bahwa sistem kepemimpinan daulah Islam adalah
sistem kerajaan, bukan sistem khilafah. Hal ini senada dengan khutbah
yang disampaikannya di hadapan para penduduk kufah setelah terjadinya
perdamaian (pasca perang shiffin).
2. Mu’awiyah telah memperalat nash-nash syara lalu mena’wilkannya
(memberikan arti tidak sesuai dengan maksud nash itu sendiri). Islam telah
memberikan hak pemilihan Khalifah kepada umat, dan hal itu pun
dilakukan oleh Rasulullah saw. Bahkan beliau memberikan kebebasan
kepada kaum musllimin memilih orang yang lebih layak untuk memimpin
urusan mereka. Namun, Mu’awiyah justru terpengaruh (untuk memahami
Islam) dengan sistem yang sedang berlangsung ketika itu, yaitu yang ada
pada dua Negara: Bizantium dan Sasaniyah, dimana pada kedua negara
tersebut pemerintahannya mempergunakan sistem waris. Karena itu,
Mu’awiyah menjadikan Yazid sebagai putera mahkotanya, lalu di siasati
dengan mengambil bai’at untuk Yazid semasa hidupnya.
3. Metode ijtihad Mu’awiyah dalam masalah politik dibangun di atas asas
manfaat. Karena itu dia menjadikan hukum-hukum syara’ mengikuti
problem yang ada, bukan hukum-hukum tersebut dipergunakan untuk
memecahkan masalah-masalah yang ada.
53
Sesungguhnya para fukaha ketika menetapkan bahwasanya khalifah atau
kepala negara sah dengan wilayatul ahdi, hanya mengehendaki bahwa kepala
negara yang menjadi dasar pembicaraan hukum dan yang diberikan hak
melakukan ahdi, ialah kepala negara yang dipilih dan dibaiatkan oleh umat
dengan baiat yang benar yang harus memenuhi syarat, harus orang yang
dipercaya, yang warai, yang iklhas, yang jujur kepada rakyatnya. Kepala
negara seperti ini, apabial diserahkan hak menunjuk ganti, tentulah dia selalu
mewujudkan maslahat umum. Dia mengetahui bahwa ia akan bertanggung
jawab di hadapan Allah tentang pemilihannya dan tentulah memilih yang
paling tepat dan yang paling mashlahat.
Dalam undang-undang nomor 10 tahun 2008 tentang pemilu, pemilu
merupakan sarana pelaksanaan atas kedaulatan rakyat dalam negara Republik
Indonesia.
Pemilu
dilaksanakan
berdasarkan
asas
pancasila
dengan
mengadakan pemungutan suara secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur,
dan adil dalam negara Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar negara Republik Indonesia Tahun 1945.15
Dalam standar demokrasi universal, pemilu pastilah secara efektif dan
konsisten dimanfaatkan sebagai wahana sirkulasi atau pergantian elit
penguasa. Pemilihan sebagai konsep politik sudah memastikan adanya
keharusan untuk menseleksi elit secara terbuka dalam membentuk golongan
penguasa. Dan konsep umum dari pemilu memastikan bahwa setiap orang
15
. Mekka Mukarromah, “Sistem Pemilu di Indonesia Menurut Undang-Undang Nomor
10 Tahun 2008 (suatu kajian fiqh siyasah)”. (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidyatullah Jakarta, 2010), hal. 1.
54
yang berpotensi dan berkeinginan diberi kesempatan untuk menapaki
pertarungan menjadi elit penguasa melalui penggunaan hak untuk dipilih.
Sesungguhnya perkembangan hubungan pemilu dengan sirkualasi elit
penguasa di Indonesia mengalami kemerosotan secara linear, sekalipun
hubungan itu sudah mempunyai akar sejarah yang panjang sejak masa
colonial. Di masa itu, proses hubungan itu sederhana dan terbatas. Tapi telah
berlangsung. Dimana demokrasi konstitusionallah hubungan itu paling intensif
dan sekaligus ekstensif. Sejak demokarasi terpimpin, hubungan itu mulai
mandul untuk berubah menjadi simbolik dewasa ini.
Bertumpuk bukti dari pemilu-pemilu Orba yang menunjukan bahwa
pemilu bukan merupakan fungsi sirkulasi elit secara keseluruhan. Proses
pemilu seperti pencalonan, kampanye dan kegiatan lanjutan pemilu yaitu
pengangkatan, recall, penyusunan cabinet dan pemilihan presiden dan wakil
presiden tidak dimanfaatkan sebagai alas an sirkulasi elit, apalagi
menjadikannya sebagai mekanismenya. Memang didalam aktivitas pemilu dan
pasca pemilu itu berlangsung pergantian orang, akan tetapi tidak dibolehkan
membawa implikasi kepada tatanan kekuasaan dan kebijaksanaan politik
secara mendasar. Pergantian personal tanpa perubahan sistem.
Penggunaan pemilu sebagai formalitas politik agaknya amat disayangkan.
Sebab di samping biaya dan pengorbanan semua pihak yang sia-sia, kehidupan
politik yang terpecah belah diantara ide (cita-cita) dengan kenyataan, amatlah
ganjil dan membuka peluang bagi berbagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan
sebab tidak ada standar politik yang jelas. Karena itu sudah saatnya Orde Baru
55
mengurangi skala formalism politik dengan menerapkan konstitusi dan hukum
secara konsekuen. Langkah itu adalah salah satu janji Orde Baru yang harus
ditepati.16
Sejak 2004 bangsa Indonesia memasuki era baru dalam penentuan jabatan
Presiden dan Wakil Presiden, yakni dipilih secara langsung oleh rakyat
melalui pemilihan umum. Sesuai amanat konstitusi hasil perubahan ketiga atas
UUD 1945, presiden dan wapres dipilih secara langsung oleh rakyat untuk
masa jabatan lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali untuk masa
jabatan lima tahun kedua. Selama tiga decade sistem politik Orde Baru,
Presiden dan Wapres dipilih oleh siding Umum MPR lembaga tertinggi
terbanyak. Pasal 7 konstitusi sebelum diubah menyatakan “Presiden dan
Wapres memegang jabatannya selama lima tahun, dan sesudahnya dapat
dipilih kembali”. Namun, amanat konstitusi yang berbunyi “dan sesudahnya
dapat dipilih kembali” tersebut tak pernah ditafsirkan tunggal. Akibatnya,
Soeharto tak hanya berkesempatan turut merekayasa keterpilihan dirinya
secara terus-menerus selama tujuh periode, melainkan juga menjadi satusatunya Presiden Indonesia sepanjang sejarah lebih dari tiga decade Orde
Baru.17
Karena itu, pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat di satu pihak
dan pembatasan masa jabatan presiden di pihak lain merupakan dua perubahan
penting di antara sejumlah perubahan lain atas UUD 1945 setelah
16
. Mochtar Pabotingi, Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru,( Jakarta: Yayasan Obor
Indoensia, 1998), hal. 150.
17
. Syamsuddin Haris, Partai Pemilu dan Parlamen Era Reformasi,( Jakarta: Pustaka
Obor Indonesia, 2014), hal. 147.
56
diamandemen oleh MPR hasil pemilu 1999. Dua perubahan itu bahkan sangat
mendasar jika dihubungkan dengan salah satu kesepakatan politik MPR untuk
memperkuat sistem demokrasi presidensial melalui amandemen konstitusi
yang dilakukannya. Menurut Arend Lijpart, sebenarnya hanya tiga cirri yang
menjadi elemen esensial dari sistem presidensial, yakni 1) presiden atau
kepala pemerintahan dipilih untuk masa jabatan yang bersifat tetap, 2)
presiden dipilih secara langsung oleh rakyat ataupun melalui dewan pemilih
seperti di Amerika Serikat, 3) presiden merupakan kepala eksekutif yang
bersifat tunggal. Dengan demikian, pemilihan langsung presiden oleh rakyat
melalui pemilu, dan pembatasan masa jabatan presiden hanya untuk dua
periode, tidak hanya membuka peluang melembaganya sistem demokrasi
presidensial, melainkan juga menjadi salah satu momentum penting
berakhirnya rezim otoriter.
Realitas regulasi UU Pilpres yang tidak mewajibkan parpol melembagakan
proses seleksi yang transparan, partisipatif, demokratis, dan terbuka ini
berdampak pada tidak tumbuhnya kompetisi internal parpol dalam
memperebutkan jabatan presiden. Jajaran pengurus parpol dari tingkat pusat
hingga kabupaten/kota seolah-olah “mengamini” kesepakatan tidak tertulis
bahwa tiket sebagai capres adalah hak istimewa sang ketua umum atau
sebutan lain bagi para pemimpin parpol.
Konsekuensi logis dari proses seleksi capres secara internal parpol yang
cenderung tertutup dan oligarkis ini adalah kurang munculnya aspek
kompetensi dan kapabilitas kandidat dalam persaingan para capres. Pada
57
akhirnya yang lebih menonjol adalah faktor popularitas public tokoh atau
figure yang memanfaatkan berbagai media yang tersedia dalam “pasar”
demokrasi. Masing-masing parpol berusaha meningkatkan popularitas public
pemimpin mereka dan pada saat yang sama tawaran gagasan tentang
Indonesia yang lebih baik kurang mengemuka.
Sementara itu mekanisme pemberentihan seorang Presiden dan Wakil
Presiden sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Keputusan MPR Nomor 1
Tahun 2010 pasal 102 sampai 103 yang berbunyi.
a) MPR menyelenggarakan siding untuk mengambil putusan tentang usul
pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden pada masa jabatannya yang
diajukan DPR setelah adanya putusan MK paling lambat 30 hari setelah
MPR menerima usul tersebut.
b) Pimpinan MPR mengundang Anggota MPR untuk mengadakan Rapat
Paripurna
c) Pimpinan MPR mengundang Presiden dan atau Wakil Presiden untuk
menyampaikan penjelasan yang berkaitan dengan usul pemberhentiannya
kepada Rapat Paripurna MPR.
d) Presiden dan atau Wakil Presiden wajib hadir untuk memberikan
penjelasan atas usul pemberhentiannya tersebut.
e) Apabila Presiden dan atau Wakil Presiden tidak hadir untuk
menyampaikan penjelasan, maka MPR tetap mengambil keputusan.
Dari penjelasan keputusan MPR tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa
Indonesia selalu mengedapankan nilai-nilai musyawarah melalui para wakil
rakyat, entah itu terkait kebijakan ekonomi, politik dan hukum.
BAB V
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Setelah menguraikan serta menjelaskan mengenai penetapan kepala
negara oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam melaksanakan pemilu di
Indonesia yang dikaitkan dengan nilai ketatanegaraan Islam, maka di akhir
uraian penulis dapat menyimpulkan beberapa hal yang berkaitan dengan tema
tersebut :
1. Bahwa pemilihan umum merupakan wadah demokrasi bagi Indonesia oleh
karenanya sistem yang digunakan harus mampu menjawab dari setiap
permasalahan dalam penyelenggaraan pemilu itu sendiri, banyak hal yang
perlu diperhatikan untuk menjadikan pemilu berjalan dengan jujur, adil,
dan transparan sesuai dengan visi dan misi lembaga KPU itu sendiri.
Mulai dari menyiapkan data-data para calon pemilih, pendistribusian
logistic, sampai waktu pencoblosan tiba, dan setelah dilakukan
pencoblosan maka pihak KPU akan melakukan penghitungan dari hasil
pemilihan umum yang telah dilaksanakan guna menentukan siapa yang
keluar menjadi pemenang untuk menduduki kursi pemerintahan.
2. Dengan menjunjung tinggi nilai demokrasi maka masyarakat Indonesia
pun dapat dilibatkan untuk memilih kepala negara beserta wakil kepala
negara dalam pemilihan umum, hal ini pun dapat dilihat dalam
ketatanegaraan Islam terutama yang dilaksanakan oleh para Khulafaur
Rasyidun, di mana mereka diangkat menjadi kepala negara atau khalifah
58
59
dengan menggunakan jalan pemilihan mulai darai Khalifah Abu Bakar,
Umar bin Khattab, Ustman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Inilah yang
sudah diterapkan oleh lembaga KPU berdasarkan aturan Undang Undang
dan UUD 1945 dimana lembaga tersebut pun tetap memasukkan nilai-nilai
ketatanegaraan Islam yang pada prakteknya sudah lama terjadi, mulai dari
nilai musyawarah, keterbukaan, kesamaan dan kejujuran. Hal ini pulalah
yang menjadi pembeda antara pemilihan kepala negara pada masa khalifah
atau dalam ketatanegaraan Islam mengenai lembaga yang mengatur serta
mengontrol langsung dalam proses pemilihan kepala negara, serta lembaga
tersebutpun lebih terstruktur dan sistematis
.
B. Saran-saran
Ada beberapa hal yang mesti diperhatikan mengenai pelaksanaan pemilihan
umum di Indonesia yang merupakan salah satu penganut demokrasi terbesar di
dunia. Di bawah ini merupakan saran dari penulis sebagai warga negara
Indonesia dalam usaha untuk perubahan Indonesia kea rah yang lebih baik
lagi:
1. KPU selaku lembaga yang independen harus mendengarkan aspirasi
masyarakat bukan lagi mendengarkan partai politik terlebih mendukung
salah satu partai politik untuk bisa memenangkan pemilihan umum hal ini
untuk menegakan demokrasi Indonesia.
2. Membenahi kembali kinerja para orang yang terlibat langsung dalam
lembaga KPU, baik itu KPU pusat, KPU provinsi, ataupun KPU
60
kota/kabupaten agar pemilihan umum dapat berjalan dengan secara
maksimal.
3. Harus ada pembenahan dalam pendataan para calon pemilih agar tidak
terjadi kecurangan seperti pemilihan umum yang sudah berlangsung.
4. Teruntuk partai politik yang menjadi peserta pemilu agar lebih
menghormati dengan segala aturan yang telah di buat oleh para anggota
DPR dan KPU demi terlaksananya pemilu yang damai, jujur dan
transparan.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Tun Moh Salleh. Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia,
cet. III, Ampang:Dawarna Sdn. Bhd, 2006.
Abu, A’la Al-Maududi. Penerjamah Drs. Asep Hikmat. Hukum dan Konstitusi
Sistem Politik Islam, Bandung: Mizan, 1995.
Al-Mawardi. Penerjamah Fadli Bahri. al-Ahkam as-Sulthaniyah Hukum-hukum
Penyelenggaraan Negara Dalam Syariat Islam, Jakarta: Darul Falah,
2007.
An-Nabhani Taqiyuddin, Sistem Pemerintahan Islam Doktrin Sejarah dan
Realitas Empirik, Bangil: Al Izzah.
Ash-shiddieqy Hasbi, Ilmu Kenegeraan Dalam Fiqih Islam, Jakarta: PT Bulan
Bintang, 1991, cet. II.
Aziz , Abdul Ghofar. Islam Politik Pro dan Kontra, Jakarat: Pustaka Firdaus,
1989.
Azra, Azyumardi. (Pengantar) dalam A.M . Fatwa, Satu Islam Multi Partai:
Membangun Integritas di Tengah Pluralitas, Bandung: Mizan Media
Utama, 2000.
Bahan Tayangan Materi Sosialisasi Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan MPR RI, Jakarta: Sekretariat
Jendral MPR RI, 2011.
Benedanto,Pax dan Haryanto Ignatius. Pemilihan Umum 1999: Demokrasi atau
Rebutan Kursi, Jakarta: Lembaga Studi Pers dan Pengembangan.
Biro Humas Komisi Pemilihan Umum, Pemilu Indonesia Dalam Angka dan Fakta
Tahun 1955-1999.
Buchori, Didin Saefudin. Sejarah Politik Islam, Jakarta: Pustaka Intermasa, 2009.
Croissant, Aurel dan Gabriele Bruns. Politik Pemilu di Asia Tenggara dan Asia
Timur, Jakarta: Darul Fallah, 2007.
El- Muhtaj, Majda. Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1998.
60
61
Feith, Herbert. Pemilu 1995 di Indonesia, Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia, 1999.
Hasjmy, Ahmad.
1984.
Dimana Letaknya Negara Islam, Surabaya: PT Bina Ilmu,
Hamidullah, dkk. Politik Islam Konsepsi dan Dokumentasi, Surabaya: PT Bina
Ilmu, 1987.
Haris, Syamsuddin. Partai Pemilu dan Parlamen Era Reformasi, Jakarta: Pustaka
Obor Indonesia, 2014.
Iqbal, Muhammad. Fiqih Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2001.
Jindan, Khalid Ibrahim. Teori Politik Islam Telaah Kritis Ibnu Taimiyah Tentang
Pemerintah Islam, Surabaya: Risalah Gusti, 2004.
Kamil, Syukron. Islam dan Demokrasi Telaah Konseptual dan Histori, Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2002.
Komisi Pemilihan Umum, Pemilu Presiden 2004.
Liddle, R William. Revolusi dari Luar, Demokrasi di Indonesia.
Mufid, Mohammad. Politik Dalam Persepektif Islam, Jakarta: UIN Jakarta Press,
2004.
Mufid, Nur dan Fuad Nur Ahmad. Bedah al-Ahkamus Sulthaniyah al-Mawardi,
Jakarta: Pustaka Progresif, 2000.
Muhadjir, Noeng. Metedologi Penelitian Kualitatif: Pendekatan Positivistik,
Fenomenologik, dan Realisme Metafisik, Telaah Studi Teks dan
Penelitian Agama, Yogyakarta: Raka Sarasin, 1996.
Munir, Lily Zakiyah dan Siad Sudarpo. Perempuan Politik dan Pemilu 2004
Buku Panduan Untuk Pendidikan Memilih, Jakarta: Center For Pesantren
and Democracy Studies, 2004.
Pabotingi, Mochtar. Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru, Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 1998.
Pulungan, Suyuthi. Fiqih Siyasah Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2002.
62
Ramdansyah. Sisi Gelap Pemilu 2009 Potret Aksesori Demokrasi Indonesia,
Jakarta: Rumah Demokrasi, 2010.
Rais, Dhiaudin. Teori Politik Islam, Jakarta: Gema Insani, 2001.
Riewanto, Agust. Ensiklopedi Pemilu Analisis Kritis Intropektif Pemilu 2004
Menuju Agenda Pemilu 2009, Yogyakarta: el-Shab.
Santoso, Topo dan Supriyanto Didik. Mengawasi Pemilu Mengawal Demokrasi,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.
Silalahi, S. Dasar-dasar Indonesia Merdeka Persi Para Pendiri Negarai, Jakarta:
PT Gramedia Utama, 2001.
Sjadzali, Munawir. Islam dan Tatanegara Ajaran, Sejarah dan Pemikiran,
Jakarta: UI Press, 2003.
Soekamto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 2006.
Sulaiman, Zulfikri. Demokrasi Untuk Indonesia Pemikiran Politik Indonesia,
Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2010.
Syarif, Ibnu Mujar dan Khamami Zada. Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran
Politik Islam, Jakarta: Erlangga, 2008.
Tebba, Sudirman. Islam Menuju Era Reformasi, Yogyakarta: Tiara Wacana
Yogya, 2001.
Thaha, Idris. Demokrasi Religius, Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan M.
Amien Rais, Jakarta: Teraju, 2005.
Tutik, Titik Triwulan. Konstruksi Hukum Tatanegara Indonesia Pasca
Amandemen UUD 1945, Jakarta: Kencana, cet ke II, 2001.
Tim
Penyusun Puslit IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pendidikan
Kewarganegaraan Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, Jakarta:
IAIN.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 2008 Tentang Pemilu dan
Partai Politik, Jakarta: Gradien Pratama, 2008 Jakarta Press.
http://id.wikipedia.org/wiki/Komisi_Pemilihan_Umum
Download