bab iv kesimpulan

advertisement
BAB IV
KESIMPULAN
Jepang merupakan negara yang menganut sistem patriarki, yaitu sebuah
sistem yang melanggengkan dominasi laki-laki terhadap perempuan. Ini
merupakan sebuah konstruksi sosial dan ideologi yang menganggap laki-laki
(yang berperan sebagai patriarchs / kepala keluarga) lebih superior dari
perempuan. Kultur budaya Jepang yang memposisikan laki-laki berada di atas
perempuan, pada prakteknya dapat menyebabkan terjadinya ketidakadilan gender.
Konsep ketidakadilan gender ini muncul atas dasar perbedaan gender yang
dialami baik oleh laki-laki maupun perempuan di Jepang yang kemudian menjadi
salah satu faktor yang melatarbelakangi seseorang untuk melakukan hikikomori.
Menurut Mansour Fakih, ketidakadilan gender merupakan suatu sistem dan
struktur di mana kaum laki-laki dan perempuan menjadi korban dari sistem
tersebut. Artinya, suatu hal dapat dikatakan sebagai ketidakadilan gender jika
terdapat pihak yang dirugikan baik laki-laki, perempuan, maupun keduanya.
Ketidakadilan gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan,
salah satunya adalah adanya stereotip atau pelabelan terhadap jenis kelamin
tertentu.
Contoh sistem patriarki yang menjadi sebuah ketidakadilan gender
tercermin dalam perbedaan ekspektasi antara laki-laki dan perempuan dalam
masyarakat Jepang. Anak laki-laki dalam masyarakat Jepang dituntut untuk
menjadi pribadi yang sukses dalam pendidikan, agar di masa mendatang
54
55
mendapatkan karir yang gemilang. Mereka diproyeksikan untuk mengambil peran
sebagai kepala keluarga dalam rumah tangga menggantikan sang ayah jika
nantinya telah tiada. Sedangkan anak perempuan kelak diharapkan untuk
secepatnya menikah, berpindah menuju rumah suaminya dan kemudian menjadi
ibu yang sempurna untuk merawat dan membesarkan anak-anaknya. Perbedaan
ekspektasi yang disematkan baik untuk laki-laki maupun perempuan, dalam kasus
hikikomori mempunyai implikasi berbeda bagi keduanya. Bagi remaja laki-laki,
harapan yang terlalu tinggi cenderung dapat menyebabkan semakin bertambahnya
beban tekanan yang dirasakan. Sebaliknya, ekspektasi yang diterima oleh remaja
perempuan menyebabkan kurangnya perhatian dari orang tua jika anaknya
mengalami gejala tahap awal menuju hikikomori.
Faktor ketidakadilan gender yang kedua adalah amae atau hubungan saling
ketergantungan antara ibu dan anak dalam masyarakat Jepang. Hubungan
ketergantungan amae sering ditemui pada ibu dan anak laki-lakinya. Anak lakilaki terutama anak tertua dianggap sebagai tumpuan hidup perekonomian keluarga
di masa depan. Hal inilah yang menyebabkan para ibu di Jepang rela menjaga
anak laki-lakinya bahkan saat sang anak telah berumur 40 tahun sekalipun.
Sedangkan untuk sang anak, harapan dan tekanan besar yang disematkan
menjadikan mereka selalu bergantung dengan fasilitas yang diberikan orang tua,
agar nantinya dapat mewujudkan ekspektasi tersebut. Untuk membalas jasa dan
kasih sayang yang telah diberikan ibunya, jika telah sukses pun sang anak akan
tetap rela merawat ibunya yang berusia senja. Sederhananya seperti itulah bentuk
saling ketergantungan antara ibu dengan anak laki-laki di Jepang.
56
Fakta-fakta yang telah disebutkan di atas dapat menjawab pertanyaan
mengenai adanya keterikatan antara hikikomori dengan ketidakadilan gender.
Keterikatan tersebut yaitu bahwa ketidakadilan gender merupakan salah satu
faktor penyebab terjadinya hikikomori. Bentuk ketidakadilan yang dimaksud di
sini adalah adanya stereotip atau pelabelan terhadap jenis kelamin tertentu, dalam
hal ini adalah remaja laki-laki. Sebagai tumpuan hidup keluarga di masa depan,
laki-laki di Jepang dituntut untuk harus menjadi orang yang sukses dalam
pendidikan agar nantinya mendapatkan karir yang gemilang. Stereotip tersebut
adalah sebuah keharusan, dan mereka akan dianggap gagal jika tak mampu lulus
ujian atau tidak berada di perusahaan besar. Stereotip tersebut pada akhirnya akan
berkembang menjadi tekanan yang besar bagi remaja laki-laki bila mereka tak
mampu mewujudkannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Mansour Fakih yang
menyebutkan bahwa stereotip yang dilekatkan terhadap salah satu jenis kelamin
merupakan sumber dari ketidakadilan. Tekanan besar dari stereotip yang diterima
remaja laki-laki nantinya dapat menyebabkan mereka memilih hikikomori sebagai
jalan keluar.
Ketidakadilan gender yang terjadi di Jepang dalam bentuk perbedaan
ekspektasi dan amae, dalam prakteknya dapat menyebabkan seseorang melakukan
hikikomori sekaligus menjelaskan penyebab lebih banyaknya pelaku hikikomori
laki-laki dibandingkan dengan pelaku perempuan. Perbedaan ekspektasi
menyebabkan perbedaan tindakan yang dilakukan pihak keluarga untuk orang tua
Orang tua pelaku hikikomori laki-laki secara konsisten mencari bantuan untuk
anak mereka ke pihak luar baik ke pemerintah setempat maupun lembaga bantuan
57
swasta. Hal ini membuat jumlah data pelaku hikikomori laki-laki lebih banyak
dibandingkan perempuan karena pihak keluarga segera melaporkan kondisi anak
laki-laki mereka. Sebaliknya, hal tersebut tidak terjadi jika pelaku adalah
perempuan karena masyarakat Jepang lebih menganggap pilihan hidup dalam
pengasingan yang dilakukan oleh remaja perempuan bukanlah sesuatu yang
mengkhawatirkan. Sementara itu dalam kasus amae, sikap sang ibu untuk
menjaga agar anak laki-lakinya tak semakin terisolasi, malah menjadikan anak
seolah-olah dipelihara untuk terus menerus berada dalam kondisi penarikan diri.
Pada intinya, karena subjek amae adalah anak laki-laki, hal tersebut menyebabkan
hikikomori yang dilakukan menjadi lebih lama dan hal tersebut berdampak pada
jumlah pelaku hikikomori yang lebih banyak dibandingkan pelaku perempuan.
Perlakuan khusus terhadap anak laki-laki inilah yang menjadi salah satu penyebab
banyaknya pelaku hikikomori laki-laki di Jepang.
Download