Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 NOTA KEUANGAN DAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 1998/1999 REPUBLIK INDONESIA Departemen Keuangan Republik Indonesia 1 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 BAB I UMUM 1.1 Pendahuluan Sesuai dengan amanat Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XlMPRl1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional Sebagai Haluan Negara, maka Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun anggaran 19991/2000 disusun dengan misi utama untuk mempercepat proses pemulihan ekonomi nasional, yang sekarang ini berada dalam keadaan yang cukup memprihatinkan. Sejak pertengahan tahun 1997 kinerja ekonomi nasional mulai mengalami kemunduran dan dalam tahun 1998 kemunduran masih terus berlanjut dalam skala yang lebih luas dan intensitas yang lebih tinggi, walaupun kemudian pada penghujung tahun mulai menampakkan perkembangan tanda-tanda pemulihan. Ekonomi nasional pada masa ini berada dalam keadaan yang tidak stabil (disequilibrium) yang ditunjukkan oleh pergerakan harga-harga (inflasi) yang meningkat sangat tajam, posisi neraca pembayaran yang cenderung melemah serta kontraksi ekonomi yang sangat tajam. Penyebab utama terjadinya krisis ekonomi tersebut adalah krisis nilai tukar rupiah yang berkepanjangan, krisis perbankan nasional, krisis tiffing luar negeri swasta, serta berbagai peristiwa politik dan sosial yang kurang menguntungkan. Beberapa dampak yang dirasakan masyarakat luas oleh karena memburuknya kinerja ekonomi tersebut adalah meningkatnya jumlah pengangguran karena banyaknya perusahaan yang mengurangi bahkan sebagian telah menghentikan aktivitasnya, menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat karena penurunan daya beli yang cukup tajam, serta meningkatnya keresahan sosial. Dalam upaya mengatasi krisis ekonomi tersebut, Pemerintah dengan bantuan teknis dan dukungan keuangan Dari beberapa lembaga internasional dan negara-negara sahabat yang dikoordinasikan oleh lnternational Monetary Fund (IMP) telah melaksanakan program stabilisasi dan reformasi perekonomian. Dalam rangka pelaksanaan program ini, dalam tahun anggaran 1998/1999 telah diambil berbagai langkah kebijakan di biuang fiskal, moneter, perbankan, neraca pembayaran, serta sektor riil. Dalam tahun anggaran 1999/2000 langkahIangkah tersebut akan terus dilanjutkan dan ditingkatkan, sehingga dalam tahun anggaran tersebut ekonomi nasional diharapkan telah memulai proses pemulihannya. Sasaran utama Departemen Keuangan Republik Indonesia 2 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 semua langkah-Iangkah yang ditempuh adalah untuk menggerakkan kembali roda perekonomian tanpa menciptakan tekanan terhadap inflasi dan neraca pembayaran. Untuk dapat mencapai hal tersebut koordinasi kebijakan fiskal, moneter, neraca pembayaran serta sektor riil sangat diperlukan. Dalam rangka reformasi pembangunan sesuai dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor X/MPR/1998, dalam tahun anggaran 199912000 Pemerintah akan melaksanakan berbagai agenda di biuang ekonomi, di antaranya (i) mewujudkan nilai tukar rupiah yang wajar dan stabil, (ii) mengendalikan tingkat suku bunga dan menekan laju inflasi, (iii) melanjutkan restrukturisasi dan penyehatan perbankan, (iv) melanjutkan upaya penyelesaian utang luar negeri swasta, (v) mengupayakan ketersediaan sembilan bahan pokok dan obat-obatan yang cukup dan terjangkau oleh rakyat, dan (vi) menghidupkan kembali kegiatan produksi, terutama kegiatan-kegiatan yang berbasis pada ekonomi rakyat dan berorientasi ekspor. Selain itu, juga akan dilaksanakan berbagai agenda yang berkaitan dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional Yang Berkeadilan; Serta Perimbangan Keuangan Pusat Dan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi. Seuangkan di biuang politik, agenda besar bangsa Indonesia adalah pemilihan umum yang direncanakan akan diselenggarakan pada bulan Juni 1999 dan Siuang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat pada bulan Agustus 1999. Berbagai langkah kebijakan yang dilaksanakan dalam era reformasi telah memperlihatkan tanda-tanda yang menggembirakan, seperti yang ditunjukkan oleh berbagai indikator makro ekonomi dalam kuartal keempat tahun 1998. Dalam bulan Oktober, November, dan Desember 1998 inflasi telah menurun secara berarti menjadi masing-masing minus 0,27 persen, 0,08 persen, dan 1,42 persen. Selain itu, nilai kurs rupiah telah mengalami penguatan dan relatif, stabil pada kisaran Rp7.000-an, posisi neraca pembayaran cenderung menguat dan posisi cauangan devisa tetap dalam batas aman, suku bunga telah mulai menurun, serta indeks harga saham gabungan telah menunjukkan tanda kebangkitan, walaupun masih berfluktuasi. Dengan melihat perkembangan Dari beberapa indikator tersebut, ekonomi nasional dalam tahun anggaran 199912000 diperkirakan akan mulai pulih dengan tingkat pertumbuhan sekitar 0 (nol) persen, suatu kemajuan yang cukup berarti bila dibandingkan dengan tingkat kontraksi dalam tahun anggaran 1998/1999 yang diperkirakan Departemen Keuangan Republik Indonesia 3 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 sekitar 12,0 persen, seuangkan inflasi diperkirakan akan dapat dikendalikan pada tingkat sekitar 17,0 persen, menurun dibandingkan perkiraannya dalam APBN 1998/1999 sekitar 66,0 persen. Sebagai salah satu bagian dari tatanan ekonomi global, keberhasilan pemulihan ekonomi nasional mempunyai arti sangat penting bagi bangsa Indonesia. Dewasa ini semua bangsa seuang berlomba untuk meningkatkan daya saingnya dalam rangka meraih manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyatnya dari kebebasan ekonomi dan makin derasnya arus investasi dunia. Kontraksi ekonomi dalam tahun 1998 yang diperkirakan sekitar 13 persen mempunyai dampak negatif yang sangat mendalam, tidak saja bagi tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia tapi juga bagi upaya peningkatan daya saing. Sebagai anggota kerjasama ekonomi multilateral Organisasi Perdagangan Dunia (The World Trade Organization/WTO), kerjasama ekonomi regional Asia Posifik (Asia Posific Economic Cooperation! APEC), serta kerjasama ekonomi sub regional wilayah perdagangan bebas ASEAN (ASEAN Free Trade Area / AFTA), yang direncanakan akan mulai memberlakukan liberalisasi perdagangan mulai tahun 2003, bangsa Indonesia sudah harus mengantisiposi dan mempersiapkan diri untuk menghadapi persaingan yang sangat ketat. Tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia memang berat. Tapi bila semua komponen bangsa -masyarakat, pemerintah, dan dunia usaha bersatu padu, tantangan tersebut akan dapat diatasi. Walaupun di satu pihak bangsa Indonesia terhambat kemajuannya oleh karena krisis ekonomi yang terjadi, di lain pihak bangsa Indonesia telah mencapai kemajuan yang sangat besar di biuang kehidupan demokrasi. Demokrasi yang sesuai dengan aspirasi rakyat di segala biuang baik politik, ekonomi dan sosial merupakan kekuatan luar biasa yang akan mengantarkan bangsa Indonesia untuk mencapai cita-citanya, yaitu masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. 1.2 Krisis Nilai Tukar Rupiah dam Dampaknya Bagi Ekonomi Nasional Kinerja ekonomi Indonesia selama 20 tahun terakhir sampai dengan tahun 1996 cukup menggembirakan. Produk domestik bruto (PDB) riil tumbuh rata-rata sekitar 7 persen pertahun dan inflasi dapat dikendalikan pada tingkat satu digit. Pendapatan per kapita meningkat secara berarti, dari sekitar di bawah US$I00 dalam tahun 1970 menjadi sekitar US$ 1. 155 dalam tahun 1996 dan penduduk miskin menurun Dari sekitar 60 persen Dari jumlah penduduk dalam tahun 1970 menjadi sekitar 11 persen dalam tahun 1996. Departemen Keuangan Republik Indonesia 4 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Dalam tahun 1996 PDB riil masih tumbuh dengan tingkat 7,98 persen. Namun sejak pertengahan tahun 1997 pertumbuhan PDB riil mulai mengalarni perlambatan dan untuk seluruh tahun PDB riil hanya tumbuh dengan tingkat 4,65 persen. Pertumbuhan PDB riil diperkirakan akan menurun tajam dalam tahun 1998 menjadi sekitar minus 13,06 persen (Tabel 1.1). Perlambatan pertumbuhan PDB riil dalam tahun 1997 terutama disebabkan oleh musim kemarau yang berkepanjangan dan krisis nilai tukar rupiah yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997, sedangkan kinerja ekonomi yang memburuk dalam tahun 1998 terutama disebabkan oleh dampak krisis nilai tukar rupiah yang telah mengganggu hampir semua sendi-sendi perekonomian nasional. Dalam tahun 1998 semua lapangan usaha diperkirakan akan mengalarni pertumbuhan negatif, kecuali lapangan usaha pertanian yang masih dapat tumbuh positif dengan tingkat cukup lemah. Dari semua lapangan usaha, lapangan usaha yang paling terpukul adalah lapangan usaha bangunan, yang mengalarni penurunan 35,44 Persen disusul lapangan usaha perdagangan, hotel dan restoran yang menurun 21,42 persen. Departemen Keuangan Republik Indonesia 5 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel 1.1 LAJU PERTUMBUHAN PDB ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 MENURUT LAPANGAN USAHA, 1996 - 1998 Lapangan Usaha 1996*) 1997**) 1998e) 3 ,()() 0,64 0,26 2. Pertambangan dan Penggalian 5,82 1,63 - 6,87 3. Industri Pengolahan 11,59 6,23 - 12,00 4. Listrik, Gas dan Air Bersih 12,78 11,85 - 2,19 5. Bangunan 12,76 6,42 - 35,44 6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 8, ()() 5,46 - 21,42 7. Pengangkutan dan Komunikasi 8,68 8,43 - 11,56 8. Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 9, ()() 4,77 - 18,58 9. Jasa-jasa 3,40 3,04 - 5,17 PDB 7,98 4,65 - 13,06 PDB Tanpa Migas 8,34 5,26 - 14,12 1. Pertanian, Petemakan, Kehutanan dan Perikanan _: *) AngkaSementara **) Angka Sangat Sementara e) AngkaPerkiraan Krisis nilai tukar yang dialami Indonesia merupakan salah satu konsekuensi Dari terintegrasinya secara finansial ekonomi Indonesia dengan ekonomi global, yang ditandai oleh hampir tidak adanya hambatan atau batasan aliran uang modal antara Indonesia dengan dunia luar. Kinerja ekonomi Indonesia yang cukup baik, stabilitas politik yang mantap, serta kecenderungan penurunan suku bunga di negara-negara maju telah mengakibatkan Indonesia mengalami aliran masuk modal swasta yang cukup besar sejak awal tahun 1990-an. Aliran masuk modal swasta tersebut telah memberikan manfaat bagi ekonomi Indonesia, antara lain memberikan kesempatan meningkatkan investasi dengan tabungan luar negeri, perbaikan Departemen Keuangan Republik Indonesia 6 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 alokasi sumber daya dan memperkuat pasar keuangan domestik. Namun di samping manfaat tersebut, aliran modal masuk swasta, terutama yang berjangka pendek, juga membawa bahaya bagi ekonomi Indonesia, yaitu bila terjadi penarikan modal keluar (capital outflows) dalam jumlah besar secara tiba-tiba, yang umumnya dapat terjadi bila para investor asing kehilangan kepercayaan akan mata uang dan perekonomian Indonesia. Hilangnya kepercayaan para investor asing dapat disebabkan atau dipicu oleh faktor domestik atau kejadian di negara lain (contagion effect). Krisis nilai tukar yang terjadi di beberapa negara Asia merupakan suatu garnbaran yang nyata, bagaimana suatu kejadian (shock) di suatu negara dapat ditularkan ke negara-negara lain. Krisis nilai tukar di Asia bermula dari krisis mata uang Thailand, kemudian merambat ke Philipina, Malaysia, Indonesia dan Korea Selatan. Nilai mata uang kelima negara ini telah mengalami depresiasi yang cukup besar terhadap dolar Amerika Serikat dan diantara kelima negara tersebut rupiah mengalami depresiasi yang paling berat (Grafik 1.1). Pada bulan Juni 1997 kurs rata-rata rupiah terhadap dolar Amerika Serikat masih berada pada tingkat Rp2.44 7 tapi pada bulan Juli 1998 telah mencapai Rp14.622 atau rupiah mengalami depresiasi sekitar 83 persen (US$ apresiasi sekitar 498 persen) bahkan kurs rupiah terendah pernah terjadi pada pertengahan Juli 1998, yaitu sebesar Rp I4.700. Departemen Keuangan Republik Indonesia 7 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Faktor utama penyebab krisis nilai tukar rupiah adalah jumlah tiffing luar negeri swasta yang cukup besar yang dikelola atau dialokasikan secara kurang tepat. Sektor swasta terlalu agresif melakukan investasi dengan dana pinjarnan luar negeri yang sebagian besar berjangka pendek, narnun diinvestasikan untuk jangka panjang (maturity mismatching), dan berisiko tinggi, seperti properti, serta tidak dilindungi Dari fisiko pergerakan kurs (currency mismatching). Dengan terjadinya krisis mata uang bath Thailand, telah menyebabkan para investor (kreditor) asing berpendapat bahwa krisis yang sama dapat terjadi di Indonesia, mengingat kedua negara mempunyai permasalahan yang sama di sektor ekstenal. Hal ini telah mendorong para investor asing harnpir secara bersamaan menarik dana mereka ke luar Dari Indonesia, yang pada gilirannya telah memberikan tekanan yang sangat berat terhadap nilai tukar rupiah di pasar valuta asing. Nilai tukar rupiah yang terdepresiasi berat dan berfluktuasi telah menggoyahkan rasa kepercayaan para investor asing akan hilang uang rupiah dan perekonomian Indonesia, sehingga para investor keluar Dari investasi porto folio (pasar modal) dengan melepos saharn-saham yang mereka pegang. Mengingat peranan investor asing yang cukup besar dalarn pasar modal, maka dengan keluamya mereka Dari pasar modal telah memberi tekanan yang luar biasa terhadap harga-harga saham di pasar modal, seperti yang ditunjukkan oleh pergerakan indeks harga saham gabungan (IHSG). Sebelum terjadi krisis, kinerja pasar modal cukup mantap dengan IHSG mencapai 721,27 pada bulan Juli 1997, tapi setelah krisis terjadi IHSG menurun menjadi 493,96 pada bulanAgustus 1997 dan mencapai titik terendah pada September 1998 pada tingkat 276,15 (Grafik 1.2) . Depresiasi rupiah yang cukup besar selain telah menciptakan ketidakstabilan di pasar uang, pasar valuta asing dan pasar modal, juga telah menciptakan ketidakstabilan di pasar barang dan jasa yang ditunjukkan oleh pergerakan harga barang dan jasa (inflasi) yang cukup tajarn. Sebelum krisis nilai tukar terjadi, harga barang dan jasa cukup stabil seperti ditunjukkan oleh tingkat inflasi periode Januari-Juni 1997 yang sebesar 2,54 persen, tapi sejak Juli 1997 tekanan inflasi mulai terasa, di mana inflasi meningkat Dari minus 0,17 persen pada bulan Juni 1997 menjadi 0,66 persen pada bulan Juli 1997. Departemen Keuangan Republik Indonesia 8 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Bulan-bulan berikutnya tekanan inflasi semakin berat, karena selain tekanan dari depresiasi rupiah juga diperberat oleh musim kemarau yang berkepanjangan, yang mengakibatkan terganggunya posokan dan sistem distribusi. Tekanan inflasi mencapai puncaknya pada bulan Februari 1998, yaitu 12,76 persen (Grafik l.3). Dengan demikian, apabila inflasi pada semester pertama tahun 1997 hanya 2,54 persen, maka dalam semester kedua tahun 1997 telah mencapai 8,51 persen, sehingga untuk seluruh tahun 1997 mencapai 11,05 persen, suatu kenaikan yang cukup besar hila dibandingkan dengan inflasi tahun 1996 yang hanya 6,47 persen. Dalam tahun 1998 inflasi mencapai 77,63 persen. Gejolak nilai tukar rupiah juga telah mempengaruhi kinerja neraca pembayaran Indonesia. Defisit transaksi berjalan yang merupakan selisih negatif antara ekspor barang dan jasa dengan impor barang dan jasa mengalami penurunan Dari minus US$8.069,0 juta (3,4 persen PDB) dalam tahun anggaran 1996/1997 menjadi minus US$1.699,0 juta (1,2 persen rOB) dalam tahun anggaran 1997/1998 (Tabel 1.2). Penurunan defisit terjadi terutama karena penurunan nilai impor barang sebagai akibat depresiasi rupiah yang cukup besar, serta peningkatan nilai ekspor barang yang cukup tinggi sebagai dampak positif depresiasi rupiah. Departemen Keuangan Republik Indonesia 9 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Departemen Keuangan Republik Indonesia 10 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel 1.2 NERACA PEMBAYARAN, 1996/1997 - 1998/1999 (dalam juta US $) 1996/1997 1997/1998 1998/1999 Rincian (realisasi) (realisasi) (perkiraan realisasi) I.Barang-barang dan Jasa-jasa 1. Ekspor 52.038 56.162 50.688 a.Minyak bumi dan gas alam 12.771 10.238 7.123 b.Bukan minyak bumi dan gas alam 39.267 45.924 43.565 2. Impor II. - 45.819 - 42.704 - 30.888 a.Minyak bumi dan gas alam - 4.693 - 4.085 - b.Bukan minyak bumi dan gas alam - 41.126 - 38.619 - 28.051 3. Jasa-jasa - 14.288 - 15.157 - 15.313 4. Transaksi berjalan - 8.069 - 1.699 4.487 SDR s III.Pemasukan modal pemerintah IV. Pembayaran pokok utang luar negeri pemerintah V.Lalu lintas modallainnya, bersih VI.Jumlah I s.d. V VB.Selisih yang belum dapat diperhitungkan VIII.Lalu lintas moneter 2.837 - - - 5.298 8.293 18.273 - 6.118 - 4.095 - 3.067 13.488 - 11.827 - 10.769 4.599 - 9.328 8.924 - 701 - 694 - 3.898 10.022 26.612 16.509 979 - 9.903 Memo: Posisi Cauangan Devisa Kotor 26.412 Tidak seperti transaksi berjalan, transaksi modal justru mengalami tekanan berat, yang terutama disebabkan oleh kuatnya arus modal keluar sektor swasta. Bila dalam tahun anggaran 1996/1997 aliran masuk modal bersih sektor swasta mencapai US$13.488, juta, maka dalam tahun anggaran 1997/1998 keadaan berbalik menjadi aliran keluar modal bersih sebesar Departemen Keuangan Republik Indonesia 11 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 US$11.827, juta. Aliran modal keluar ini terjadi terutama karena merosotnya kepercayaan asing terhadap prospek perekonomian nasional, meningkatnya pembayaran utang luar negeri swasta yang jatuh tempo, serta akibat ditundanya realisasi penanaman modal asing (PMA) yang telah disetujui. Dengan adanya defisit lain lintas modal bersih swasta, surplus lain lintas modal bersih pemerintah, dan defisit transaksi berjalan serta selisih yang belum dapat diperhitungkan yang mencapai negatif US$694, juta, maka neraca pembayaran secara keseluruhan dalam tahun anggaran 1997/1998 mengalami defisit sebesar US$10.022, juta. Dengan demikian cauangan devisa kotor mengalami penurunan menjadi US$16.509, juta dalam tahun anggaran 1997/ 1998 atau setara dengan 4,6 bulan impor nonmigas. Sementara itu, dalam tahun anggaran 1998/1999 transaksi berjalan diperkirakan akan mengalami surplus US$4.487, juta (4,2 persen PDB). Hal ini dapat terjadi, karena nilai total impor barang yang diperkirakan akan menurun lebih cepat Dari pada penurunan total ekspor barang, dengan perkembangan jasa-jasa bersih yang diperkirakan stabil, dibandingkan dengan keadaannya dalam tahun anggaran 1997/1998. Lalu lintas modal swasta bersih diperkirakan masih tetap minus, yaitu US$10.769, juta, seuangkan lalu lintas modal bersih pemerintah akan surplus US$15.206, juta. Dengan demikian, neraca pembayaran secara keseluruhan diperkirakan akan mengalami surplus US$9.903, juta, yang berarti cauangan devisa kotor akan naik dari US$16.509, juta menjadi US$26.412, juta atau setara dengan 10,2 bulan impor nonmigas. Sektor perbankan yang mempunyai fungsi sangat strategis dalam perekonomian nasional, yaitu sebagai lembaga intermediasi dana dan sebagai elemen utama dari sistem pembayaran, juga tidak terlepos Dari pengaruh negatif gejolak nilai tukar rupiah. Sampai dengan pertengahan tahun 1997, kinerja perbankan nasional masih cukup meyakinkan, yang ditunjukkan oleh mobilisasi dana masyarakat yang meningkat pesat, sementara ekspansi kredit tetap kuat, terutama ke sektor properti. Namun, gejolak nilai tukar rupiah telah menyebabkan kinerja perbankan memburuk. Rentannya perbankan nasional terhadap gejolak nilai tukar rupiah disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut. Pertama, terbukanya perbank;an nasional terhadap resiko pergerakan kurs yang dikarenakan besarnya kewajiban perbankan nasional dalam valuta asing. Dalam tiga tahun terakhir (1995-1997) kewajiban perbankan nasional dalam valuta asing meningkat tajam, yang tercermin Dari memburuknya posisi devisa neto dan semakin besarnya Departemen Keuangan Republik Indonesia 12 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 rekening administratif dalarn valuta asing. Kedua, kredit bermasalah pada beberapa bank nasional cenderung meningkat, sementara efisiensi usaha memburuk. Ketiga, kondisi internal perbankan yang lemah, yang ditandai oleh lemahnya manajemen,. konsentrasi kredit yang berlebihan, terbatas dan kurang transparannya informasi kondisi keuangan bank, dan belum efektifnya pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Dengan kondisi perbankan nasional tersebut, gejolak nilai tukar rupiah telah menyebabkan beberapa bank mengalami kesulitan likuiditas yang sangat besar, yang pada akhirnya telah memicu terjadinya krisis perbankan nasional. Dalam perkembangannya krisis IX:rbankan semakin dalam dan berat, karena diperburuk oleh merosotnya kepercayaan masyarakat, baik dalam maupun luar negeri terhadap perbankan nasional, yang ditandai dengan penarikan tunai dana perbankan dan pemindahan dana secara besar-besaran Dari bank-bank yang dianggap lemah ke bank -bank yang dinilai kuat. Untuk membantu perbankan nasional, bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang disalurkan kepada perbankan meningkat tajam sejak bulan Maret 1998, yakni dari Rp87,04 triliun menjadi Rp135,94 triliun pada akhir November 1998. Dalam kaitan ini, dalam rangka mempercepat proses penyehatan perbankan nasional, Bank Indonesia pada bulan April 1998 telah mengalihkan pengawasan 54 bank (4 bank persero, 23 Bank Umum Swasta Nasional (BUSN) devisa, 14 BUSN bukan devisa, 11 Bank Pembangunan Daerah (BPD) dan 2 bank carnpuran eks Lembaga Keuangan Bukan Bank) yang dinilai bermasalah kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Status ke 54 bank tersebut adalah 7 bank beku operasi (BBO), 7 bank take over (BTO), dan 40 bank dalam perawatan, yang merupakan bank-bank yang telah menggunakan fasilitas BLBI lebih Dari 200 persen Dari modalnya dan "capital adequacy ratio" (CAR) kurang Dari 5 persen. Seperti halnya dengan perbankan nasional, perusahaan-perusahaan swasta bukan bank yang mempunyai kewajiban utang luar negeri juga mengalami pukulan berat akibat gejolak nilai tukar rupiah. Sarnpai dengan akhir September 1998, jumlah utang luar negeri perusahaanperusahaan swasta bukan bank diperkirakan mencapai US$62,0 miliar, dimana sejumlah relatif besar adalah utang jangka pendek. Depresiasi rupiah yang cukup besar telah menyebabkan kewajiban utang dalarn rupiah meningkat tajarn, sehingga sejumlah besar perusahaan tersebut tidak marnpu lagi membayar utangnya. Kesulitan likuiditas yang dihadapi perusahaan tersebut telah mengakibatkan sebagian perusahaan mengurangi bahkan menghentikan aktivitasnya. Departemen Keuangan Republik Indonesia 13 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Selain itu, krisis utang luar negeri swasta ini telah berpengaruh buruk terhadap kepercayaan luar negeri, yang selanjutnya akan dapat menutup akses dunia usaha terhadap pasar uang dan modal luar negeri. Gejolak nilai tukar rupiah juga mempengaruhi besaran-besaran moneter. Dalarn rangka menciptakan iklim yang mendukung upaya menurunkan laju inflasi dan memungkinkan terjadinya apresiasi dan stabilitas nilai tukar rupiah, telah dilaksanakan kebijakan pengetatan likuiditas melalui instrumen operasi pasar terbuka. Hasil Dari pelaksanaan kebijakan tersebut tercermin pada menurunnya pertumbuhan uang beredar (Ml) yaitu Dari 6,0 persen dalam periode April-Oktober 1997 menjadi 1,4 persen dalarn periode yang sama tahun 1998. Sementara itu, dalarn April-Oktober 1998 pertumbuhan likuiditas IW-rekonomian (M2) mencapai 18,3 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan pada periode yang sama tahun 1997 yang mencapai 15,7 persen. Pertumbuhan likuiditas perekonomian tersebut dipicu oleh melonjaknya posisi uang kuasi (tabungan dan deposito berjangka) yang mencapai 23,0 persen. Melonjaknya uang kuasi tersebut, telah meningkalkan pertumbuhan dana perbankan, hingga mencapai 16,5 persen selarna periode April-Oktober 1998, seuangkan alokasi kredit perbankan mengalami penurunan sebesar 1,1 persen. Pertumbuhan dana perbankan tersebut dipengaruhi oleh tingginya tingkat bunga simpanan, khususnya suku bunga deposito berjangka. Seuangkan penurunan pertumbuhan kredit perbankan antara lain dipengaruhi oleh lemahnya permintaaan kredit karena tingginya suku bunga kredit dan lesunya kegiatan sektor riil, serta menurunnya nilai rupiah posisi kredit dalarn valuta asing sehubungan dengan menguatnya nilai tukar rupiah dalam bulan Oktober 1998. Departemen Keuangan Republik Indonesia 14 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel I.3 INDIKATOR MONETER (dalam triliun rupiah) 1997/1998 % 1998/1999 % (realisasi) perubahan (perkiraan) perubahan Base Money 61,8 70,7 72,7 17,6 Uang Beredar (Ml) 98,3 54,6 105,4 7,2 449,8 52,7 491,3 9,2 476,8 55,8 403,5 -15,4 Likuiditas Perekonomian (M2) Kredit Perbankan Catatan: base money danetinisikan sebagai uang primer ditambah kekurangan giro wajib minimum (GWM) Sampai dengan akhir tahun anggaran 1998/1999 pertumbuhan base money diperkirakan sebesar 17,6 persen, uang beredar 7,2 persen, likuiditas perekonomian 9,2 persen, dan kredit perbankan minus 15,4 persen (Tabel 1.3). Pelaksanaan kebijakan moneter ketat tersebut telah mendorong naiknya suku bunga secara tajam. Pada bulan Juni 1997 (sebelum krisis nilai tukar) tingkat suku bunga masih dalam keadaan normal, dimana suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI), 1 bulan sebesar 10,50 persen, deposito bank pemerintah 1 bulan sebesar 13,36 persen, suku bunga kredit modal kerja sebesar 18,56 persen dan suku bunga kredit investasi sebesar 16,19 persen, namun pada bulan Agustus 1998 masing-masing suku bunga telah meningkat tajam, menjadi 70,44 persen, 60,71 persen, 34,95 persen dan 24,23 persen (Tabel 1.4) Departemen Keuangan Republik Indonesia 15 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel 1.4 SUKU BUNGA, 1997 - 1998 (persen per tahun) Periode SBI Deposito Bank 1 Bulan Pemerintah Kredit Modal Kerja Kredit Investasi 1 Bulan ... 1997Juni 10,50 13,36 18,56 16,19 September 21,00 23,86 26,41 20,34 Desember 20,00 19,00 25,40 18,94 20,00 19,00 25,57 18,96 Februari 22,00 25,00 25,63 19,18 Maret 45,00 47,50 27,80 20,16 April 50,00 52,86 29,47 21,64 Mei 58.00 60,50 33,21 22,84 Juni 5!S,00 51,00 33,79 22,70 Juli 65,16 52,86 34,12 23,38 Agustus 70,44 60,71 34,95 24,23 September 64,74 63,29 35,72 24,88 Oktober 56,18 59,86 35,68 25,80 1998Januari Naiknya suku bunga secara tajam telah menambah pukulan terhadap sektor perbankan, karena perbankan mengalami spread negatif, yaitu biaya dana (suku bunga simpanan) jauh lebih besar Dari pendapatan (suku bunga pinjaman). Selain itu, kenaikan suku bunga ini juga telah memukul berat sektor usaha, karena biaya dana yang meningkat tajam dan penyaluran kredit yang tidak lancar Dari sektor perbankan. . 1.3 Langkah Kebijakan Yang Ditempuh Untuk Mengatasi Krisis Tingginya keterbukaan dan ketergantungan ekonomi Indonesia terhadap dunia luar telah mengakibatkan ekonomi Indonesia sangat rentan terhadap perubahan-perubahan (shocks) yang terjadi di dunia loaf. Krisis nilai tukar yang terjadi di Thailand secara perlahan merambat ke Indonesia dan pada awal luti 1997 rupiah mulai mengalami tekanan. Dengan pertimbangan bahwa tekanan terhadap rupiahhanya bersifat sementara, Pemerintah mencoba mengatasi Departemen Keuangan Republik Indonesia 16 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 tekanan dengan mengandalkan kebijakan moneter, yaitu melebarkan rentang kendali nilai tukar dari 8 persen menjadi 12 persen dengan disertai intervensi Bank Indonesia baik di pasar spot maupun forward. Namun, kebijakan ini tidak berhasil meredam tekanan bahkan tekanan justru makin kuat. Dengan melihat pengalaman Thailand dan untuk menghindari terkurasnya cauangan devisa, pada tanggal14 Agustus 1997 Pemerintah telah mengambil kebijakan untuk merubah sistem nilai tukar dari mengambang terkendali menjadi mengambang bebas. Selain itu, dalam rangka mengurangi tekanan terhadap rupiah, Pemerintah melaksanakan pengetatan uang beredar melalui pemberhentian lelang Surat Berharga Pasar Uang (SBPU), peniadaan pembelian Sertifikat Bank Indonesia (SBI) , menaikkan tingkat suku bunga SBI serta pernindahan deposito Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dari bank-bank swasta ke bank-bank pemerintah. Untuk sementara hasil kebijakan tersebut cukup menggembirakan, yang tercerrnin dari stabilnya nilai tukar rupiah antar bank pada kisaran terendah Rp2.975 dan tertinggi Rp3.025. Namun kebijakan ini membawa konsekuensi naiknya suku bunga pasar uang antar bank secara tajam, yang pada gilirannya, telah mendorong naiknya suku bunga simpanan dan suku bunga pinjaman. Meningkatnya suku bunga secara tajam telah mempengaruhi kinerja sektor perbankan dan sektor riil. Ekspansi kredit perbankan terhambat dan kualitas aktiva produktif memburuk, sementara di sektor riil terjadi penurunan perrnintaan domestik. Keadaan ini telah memperburuk ekonomi nasionaldimana pertumbuhan sektor riil, menurun dari 6,8 persen pada triwulan kedua menjadi 2,5 persen pada triwulan ketiga tahun 1997. Dalam rangka mengatasi kinerja perekonornian yang semakin memburuk serta untuk mengembalikan stabilitas makro ekonorni yang terganggu, pada tanggal 3 September 1997 Pemerintah mengambil langkah-langkah selan di bidang moneter, juga mencakup bidang fiskal, perbankan, dan pasar modal. Langkah-Iangkah tersebut mencakup pelonggaran moneter secara berhati-hati, penghematan anggaran, penyehatan sistem perbankan, dan penghapusan batasan 49 persen pembelian saham oleh investor asing di pasar modal. Namun, kebijakan tersebut belum memberikan hasil seperti yang diharapkan, rnisalnya penurunan suku bunga yang dilakukan justru telah memberikan tekanan berat terhadap rupiah, yang pada awal Oktober 1997 mengalami depresiasi menjadi sekitar Rp 3.600. Depresiasi rupiah yang terus berlanjut ternyata semakin berpengaruh buruk terhadap kinerja ekonomi nasional. Menyadari kenyataan tersebut dan kelemahan mendasar yang terdapat di sektor riil dan keuangan, Pemerintah kemudian menempuh kebijakan yang lebih Departemen Keuangan Republik Indonesia 17 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 komprehensif melalui program stabilisasi makro ekonomi dan reformasi di biuang keuangan dan sektor riil. Program stabilisasi dan reformasi tersebut dilaksanakan dengan dukungan keuangan dan teknis Dari lembaga keuangan internasional, seperti International Monetary Fund (IMF), the World Bank (WB), the Asian Development Bank (ADB) dan beberapa negara sahabat, seperti Jepang, Amerika Serikat, Singapura, Malaysia, Australia, Cina, Hongkong dan Brunei Darussalam, yang dituangkan dalam nota kesepakatan antara Pemerintah dengan IMF tanggal l5 November 1997. Lebih lanjut untuk mengkoordinasikan pelaksanaan langkah-Iangkah reformasi tersebut, pemerintah membentuk Dewan Pemantapan Ketahanan Ekonomi dan Keuangan (DPKEK). Program stabilisasi dan reformasi dalam jangka pendek dimaksudkan untuk memulihkan stabilitas makro ekonorni, terutama melalui pengetatan di biuang moneter dan fiskal, sedangkan dalam jangka panjang dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi perekonomian nasional yang dicapai terutama melalui penyehatan fundamental dan struktur perekonomian melalui penghapusan berbagai distorsi dalam perekonomian serta memperbaiki pengelolaan pemerintahan. Dalam rangka memperkuat rupiah, pemerintah juga meIakukan intervensi bersama dengan Bank of Japan dan Monetary Authority of SingaPDRB. Selain itu untuk maksud meningkatkan efektivitas kebijakan moneter melalui Keppres Nomor 23/1998 Pemerintah telah memberikan Bank Indonesia kebebasan penuh dalam melaksanakan kebijakan moneter. Berbagai kebijakan tersebut memberikan hasil positif, seperti diperlihatkan oleh penguatan nilai rupiah menjadi Rp3.200 pada akhir November 1997. Sementara itu, sebagai tahap awal reformasi di biuang perbankan, pada tanggal 1 November 1997 telah dilakukan pencabutan izin 16 bank yang insolven. Tindakan ini dimaksudkan selain untuk menyehatkan sektor perbankan itu sendiri, juga sekaligus untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat akan perbankan nasional. Namun demikian, pencabutan izin tersebut telah membawa dampak negatif yang tidak diharapkan, yaitu terjadinya penarikan dana secara besar-besaran oleh masyarakat dari perbankan, yang danorong oleh kekhawatiran masyarakat akan terjadinya pencabutan izin bank lainnya, sementara tidak adaj aminan atau perlindungan terhadap dana deposito masyarakat. I Penarikan dana secara besar-besaran tersebut telah mengakibatkan sebagian besar bank-bank umum mengalami kesulitan likuiditas. Untuk mengatasi kesulitan likuiditas tersebut dan sekaligus mencegah penarikan dana yang lebih besar oleh masyarakat Dari perbankan, Bank Departemen Keuangan Republik Indonesia 18 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Indonesia sebagai lender of last resort telah menyalurkan bantuan likuiditas (BLBI) kepada bank-bank umum. Penyaluran BLBI yang cukup besar jumlahnya tersebut telah mengakibatkan meningkatnya jumlah uang beredar, yang pada gilirannya, telah mendorong naiknya harga-harga dan tindakan spekulasi di pasar valuta asing. Kondisi perbankan yang lemah tersebut telah diperburuk oleh penurunan rating perbankan nasional dengan akibat banyak bank-bank luar negeri tidak bersedia menerima Letter of Credit (LC) yang diterbitkan oleh bank-bank nasional. Memasuki tahun 1998 tekanan terhadap rupiah terus berlanjut. Tekanan terhadap rupiah diperburuk oleh penurunan rating Indonesia oleh S&P 500 dan Moodys menjadi non investment rating, serta tindakan spekulasi di pasar valuta asing yang danorong oleh informasi spekulatif mengenai utang luar negeri swasta yang jatuh tempo. Berbagai kejadian tersebut telah semakin menekan nilai rupiah yang pada akhir Januari 1998 terpuruk menjadi Rp9.500. Kurs rupiah yang semakin melemah, kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional yang semakin menurun serta tibanya hari raya telah mendorong masyarakat menarik dana secara besar-besaran Dari perbankan. Meningkatnya dana yang dipegang masyarakat, di satu pihak, dan meningkatnya ekspektasi masyarakat akan inflasi, yang disebabkan oleh isu-isu tentang kelangkaan posokan barang-barang kebutuhan pokok, di lain pihak, telah mendorong masyarakat membeli barang-barang secara berlebihan (panic buying), yang pada akhirnya telah mendorong naiknya harga-harga. Selain itu, kegiatan spekulasi akan valuta asing juga meningkat, yang berakibat semakin jatuhnya nilai rupiah. Melihat kenyataan bahwa krisis ekonomi yang terjadi semakin dalam dan telah menyentuh semua sendi-sendi perekonomian nasional, Pemerintah berusaha untuk mempercepat proses stabilisasi dan memperluas reformasi ekonomi serta merevisi target-target makro ekonomi. Dalam kaitan ini, Pemerintah telah menandatangani nota kesepakatan (letter of intent) dengan IMF pada tanggal 15 Januari 1998 yang berisi 50 butir kesepakatan yang meliputi sektor fiskal, moneter, neraca pembayaran, perbankan, dan sektor riil. Di bidang fiskal, ditentukan langkah-Iangkah yang perlu dilakukan antara lain merevisi RAPBN 1998/1999, pengurangan subsidi bahan bakar minyak (BBM), pencabutan keringanan perpajakan untuk proyek mobil nasional, dann penghentian bantuan anggaran dan perlakuan khusus bagi proyek- proyek Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN). Di biuang moneter, antara lain mencakup pemberian otonomi kepada Bank Indonesia dalam menjalankan kebijakan moneter, melakukan perubahan struktur dan kenaikan suku bunga SBI secara tajam, Departemen Keuangan Republik Indonesia 19 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 restrukturisasi perbankan, pembentukan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), dan program pemberian jaminan pemerintah atas simpanan masyarakat dan kewajiban lainnya pada bank-bank berbadan hukum Indonesia. Di sektor riil, antara lain meliputi percepatan proses privatisasi BUMN, pengurangan wewenang distribusi Badan Urusan Logistik (Bulog) menjadi hanya untuk menangani beras, dan penghapusan hak monopoli dalam tara niaga berbagai komoditi lainnya , seperti cengkeh, semen, kertas, dan kayu. Dalam kaitan kesepakatan tersebut, dalam bulan Januari 1998 telah dilakukan revisi RAPBN 1998/1999 Dari semula Rp133.491,9 miliar menjadi RpI47.220,8 mlliar. Sementara itu telah terjadi ketidakpostian yang berkepanjangan dalam mencari sistem untuk mengatasi gejolak nilai tukar telah menimbulkan semakin tingginya ketidakpostian dalam ekonomi nasional, dan ketidakpostian ini semakin diperburuk oleh kondisi biuang politik yang makin memanas menjelang Siuang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada bulan Maret 1998. Berbagai kejadian tersebut di atas telah menimbulkan keraguan masyarakat baik asing maupun Indonesia mengenai prospek ekonomi Indonesia. Hingga Maret 1998 kinerja ekonomi nasi onal semakin memburuk, sektor riil mengalami kemunduran, sektor perbankan tetap rapuh, inflasi r:neningkat tajam dan nilai tukar rupiah tetap melemah. PDB riil dalam triwulan pertama tahun 1998 mengalami kontraksi 6;20 persen, suatu penurunan yang cukup tajam dibandingkan dengan triwulan pertama tahun 1997 yang mencapai pertumbuhan 8,46 persen. Sehubungan dengan berbagai perubahan yang terjadi dan dalam rangka mempercepat proses pemulihan ekonomi.nasional, pada bulan April 1998 Pemerintah telah menandatangani memorandum tambahan yang berisi kesepakatan-kesepakatan tambahan (baru) dengan IMF mengenai kebijaksanaan ekonomi dan keuangan, yang sekaligus juga merupakan kelanjutan, pelengkap, dan modifikasi dari memorandum tanggal15 Januari 1998. Dalam garis besarnya, kesepakatan ini bertujuan antara lain untuk (i) menstabilkan nilai tukar rupiah pada tingkat yang mencerminkan fundamental perekonomian Indonesia, (ii) memperkuat dan mempercepat restrukturisasi sistem perbankan, (iii) memperkuat pelaksanaan reformasi struktural yang akan menciptakan landasan bagi ekonomi yang.efisien dan lebih berdaya saing, (iv) menyiapkan strategi penyelesaian utang swasta secara kompfehensif, dan (v) menyiapkan bantuan bagi pengembangan usaha kecil, menengah dan koperasi dan bagi kelompok masyarakat miskin untuk meringankan beban karena dampak krisis moneter. Berbagai peristiwa kerusuhan pada bulan Mei 1998 dan perubahan politik yang sangat Departemen Keuangan Republik Indonesia 20 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 cepat yang mencapai puncaknya pada pergantian kepemimpinan nasional pada tanggal 21 Mei 1998 telah mengakibatkan kinerja ekonomi dan prospeknya semakin memburuk. Jaringan distribusi barang mengalami rusak berat, kegiatan ekonomi termasuk ekspor terganggu, kepercayaan dunia usaha menurun, nilai kurs rupiah mengalami depresiasi tajam dan inflasi meningkat cepat, sementara keadaan politik tidak menentu. Sebagai akibatnya, ekonomi berada dalam keadaan krisis yang sangat serius. Dengan pertimbangan tersebut, pada bulan Juni 1998 Pemerintah dengan IMF telah melakukan lagi penandatanganan memorandum tambahan yang antara lain menekankan mengenai pentingnya penyediaan jaring pengaman sosial (social safety net), perlunya dilakukan revisi APBN 1998/1999 mengingat asumsi yang digunakan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan yang terbaru, serta penekanan kembali percepatan restrukturisasi sistem perbankan. Sementara itu, mengingat perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam perekonomian nasional, yang berakibat asumsi-asumsi dasar yang digunakan dalam penyusunan APBN 1998/1999, seperti pertumbuhan ekonomi, laju inflasi, harga minyak mentah, serta nilai kurs tidak sesuai lagi, maka Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat pada bulan Juli 1998 telah melakukan revisi kembali atas APBN 1998/1999, yang semula berimbang pada tingkat Rp147.220,8 miliar menjadi Rp263.888,1 miliar atau meningkat 79,25 persen. Peningkatan APBN ini terutama karena penambahan asumsi nilai kurs rupiah Dari Rp5.000 menjadi Rpl0.600, yang mempengarnhi secara berarti penerimaan migas dan pembangunan serta pembayaran utang luar negeri. Selain itu, dalam revisi APBN dilakukan peninjauan kembali program dan kegiatan.pembangunan, antara lain dengan: (i) menunda proyek-proyek dan kegiatan pembangunan yang belum mendesak, seperti pengadaan kendaraan bermotor dan pembangunan gedung kantor baru, pengadaan tanah bagi kegiatan yang tidak tersedia dana untuk kegiatan konstruksinya, melakukan penghematan terhadap biaya perjalanan dinas, studi, kajian, penelitian, seminar, rapat kerja, lokakarya, rapat dinas dan kegiatan sejenis, serta kegiatan-kegiatan lainnya yang tidak menjadi prioritas; dan (ii) melakukan realokasi dan menyediakan tambahan anggaran untuk memperkuat jaring pengaman sosial di biuang pendidikan dan kesehatan melalui penyediaan beasiswa dan bantuan biaya operasional bagi sekolah, penyediaan biaya untuk program pelayanan kesehatan dasar bagi penduduk yang kurang mampu, memperluas penciptaan lapangan kerja dan kesempatan berusaha bagi mereka yang kehilangan pekerjaan karena terjadinya berbagai krisis, peningkatan produksi pangan, serta Departemen Keuangan Republik Indonesia 21 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 meningkatkan peranan pengusaha kecil, menengah dan koperasi. Mengingat strategisnya peran fiskal dalam program stabilisasi dan reformasi ekonomi, Pemerintah senantiasa melakukan kaji ulang kebijakan fiskal dengan fokus kepada upaya untuk melakukan stimulasi fiskal, melalui jaring pengaman sosial, pemantapan kerangka kelembagaan pengeluairan pembangunan, dan program privatisasi BUMN. Karena pengeluaran pembangunan mengalami perlambatan pada semester pertama tahun anggaran 1998/1999, maka pada semester kedua pengeluaran pembangunan akan dipercepat, sehingga dapat mendorong meningkatnya permintaan agregat dan penguatan jaring pengaman sosial. Pengeluaran pembangunan yang mengalami kelambatan tersebut dan penguatan nilai tukar rupiah yang terjadi diperkirakan akan menghasilkan defisit anggaran 1998/1999 sebesar 6 persen Dari PDB, lebih rendah dari yang direncanakan sebesar 8,5 persen dari PDB. Program privatisasi akan terus berjalan sebagaimana yang telah direncanakan. Masterplan restrukturisasi dan privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam jangka menengah telah pula diselesaikan dan diterbitkan. Efisiensi perusahaan BUMN akan dilakukan antara lain melalui otonomi manajemen yang lebih besar, meningkatkan persaingan, pengetatan anggaran, penghapusan secara bertahap kemudahan memperoleh kredit. Untuk menciptakan transparansi,melalui bantuan teknik Dari IMF dan Bank Dunia serta auditor internasional, pemerintah akan melakukan audit terhadap Bulog, Pertamina, PLN dan perusahaan-perusahaan lain yang exposure-nya terhadap pasar dan orang cukup besar. Pelaksanaan program pemulihan ekonomi Indonesia telah menunjukkan tanda-tanda yang menggembirakan. Melalui koordinasi kebijakan moneter dan fiskal yang berhati-hati dengan berbagai kebijakan di sektor riil, maka stabilitas makro ekonomi telah dapat dicapai. Nilai rupiah telah menguat dan bergerak dalam kisaran yang cukup realistis. Hingga November 1998 nilai tukar rupiah telah mengalami penguatan lebih Dari 7.000 poin sejak titik terendah Rp 14.700 pada pertengahan bulan luli 1998 dan bergerak stabil pada level Rp7.000-an. Penguatan nilai rupiah pada level Rp7.000-an diperkirakan tidak membahayakan daya saing ekonomi Indonesia di pasar internasional. Seiring dengan menguatnya nilai tukar rupiah dan meningkatnya ketersediaan pangan, inflasi telah menurun tajam, yaitu pada bulan Oktober sebesar minus 0,27 persen, bulan November sebesar 0,08 persen, dan bulan Desember 1998 sebesar 1,42 persen, sehingga inflasi dalam 1 tahun 1998 mencapai 77,63 persen. Penguatan nilai tukar rupiah dan penurunan inflasi juga telah menghasilkan penurunan suku bunga SBI dari Departemen Keuangan Republik Indonesia 22 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 level tertinggi 70,6 persen pada lelang tanggal2 September 1998 menjadi 42,4 persen pada lelang terakhir bulan November 1998. Suku bunga bank-bank umum juga menunjukkan kecenderungan menurun dan spread antara bunga deposito dan bunga pinjaman telah mulai bergerak ke arah normal kembali. Stabilitas makro ekonomi yang mulai mantap telah memungkinkan untuk mempercepat proses pemulihan ekonomi nasional. Namun, untuk dapat mencapai pertumbuhan ekonomi yang memadai dan berkelanjutan, dua persoalan pokok yang mendesak untuk dituntaskan, yaitu masalah restrukturisasi perbankan dan penyelesaian utang luar negeri perusahaan swasta. Kedua persoalan ini apabila tidak segera diatasi akan sangat menghambat serta merugikan perkembangan ekonomi nasional. Dalam rangka restrukturisasi perbankan, Pemerintah menempuh strategi, yaitu (i) mendorong dilakukannya rekapitalisasi terhadap bank-bank yang layak hidup, (ii) menyelesaikan kelanjutan status bank Bank Take Over dan Bank Beku Operasi, (iii) menyepakati dengan pemilik bank atas langkah yang ditempuh untuk menyelesaikan kewajibannya kepada pemerintah, (iv) memantapkan penggabungan 4 bank pemerintah (Bank Bumi Daya, Bank Pembangunan Indonesia, Bank Dagang Negara dan Bank Ekspor Impor Indonesia) ke dalam Bank Mandiri, dan (v) meluncurkan berbagai peraturan yang menjamin kehati-hatian. Kekurangan modal yang dialami perbankan nasional telah mengakibatkan perbankan nasional tidak dapat melaksanakan fungsinya sebagai sumber pembiayaan bagi perekonomian. Kondisi perbankan yang tidak sehat ini akan menghambat pemulihan perekonomian nasional, yang pada gilirannya, akan membuat kondisi perbankan akan semakin parah, karena kegiatan perekonomian yang terhambat akan meningkatkan kredit macet. Oleh karena itu, agar perekonomian dapat berputar kembali, fungsi perbankan nasional harus dinormalkan melalui penyehatan permodalan bank, yang dapat dilakukan melalui dua pilihan, yaitu (i) tidak dilakukan rekapitalisasi, sehingga bank-bank yang modalnya tidak cukup harus ditutup dan (ii) dilakukan rekapitalisasi pada bank-bank yang memenuhi syarat. Setelah melakukan evaluasi secara cermat dengan memperhitungkan yang terbaik bagi perekonomian nasional, Pemerintah telah memutuskan untuk melaksanakan strategi kedua, yaitu merekapitalisasi bank-bank yang memenuhi syarat. Pilihan ini mempunyai konsekuensi yaitu, (i) Pemerintah perlu menyediakan pendanaan untuk rekapitalisasi, (ii) perbankan nasional akan Departemen Keuangan Republik Indonesia 23 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 dapat disehatkan sehingga dapat segera mendorong kegiatan ekonomi, dan (iii) dana rekapitalisasi dapat diperoleh kembali pada saat Pemerintah meleposkan kepemilikan bank-bank bersangkutan. Program rekapitalisasi dilaksanakan dengan mewajibkan bank-bank menyusun rencana kerja yang jelas dan disetujui Bank Indonesia, serta menyetor sekurang-kurangnya 20 persen Dari jumlah kebutuhan rekapitalisasi, seuangkan pemerintah menyediakan 80 persen. Sifat pendanaan pemerintah tersebut adalah penyertaan modal, yang dapat dilepos kembali pada harga yang memberikan peluang untuk memperoleh nilai tambah. Penyertaan dilakukan dengan konversi BLBI menjadi penyertaan (equity) pemerintah serta dengan obligasi, sehingga yang dibebankan adalah bunganya. Pada waktu bersamaan pemerintah akan memperoleh penerimaan Dari penjualan asset (yang dikuasai BPPN) para pemilik lama bank-bank Bank Take Over (BTO) dan Bank Beku Operasi (BBO), yang dapat digunakan untuk mendukung pembayaran beban bunga. Dari 166 bank nasional sebanyak 150 telah selesai dilakukan proses "due diligence" dengan hasil (i) 54 bank mempunyai "capital adequcy ratio" (CAR) 4 persen atau lebih (kategori A), (ii) 56 bank mempunyai CAR antara minus 25 persen sampai plus 4 persen (kategori B), dan (iii) 40 bank mempunyai CAR kurang Dari minus 25 persen (kategon C). Bank yang dapat dipertimbangkan ikut seleksi dalam program rekapitalisasi adalah bank dalam kelompok kategori B. Seuangkan bank-bank kategori C diberi kesempatan untuk segera (dalam waktu 30 hari sejak panggilan Bank Indonesia) menambah modal sendiri, agar dapat masuk kategori B. Adapun ketentuan yan,g wajib dipenuhi oleh bank-bank kategori B untuk dapat turut dalam program rekapitalisasi, antara lain (i) menyusun suatu rencana kerja yang berisi langkahlangkah yang akan diambil sampai dengan akhir tahun 2001, yang menunjukkan bahwa akan mampu beroperasi dengan baik. Langkah-Iangkah ini mencakup jadwal penyelesaian semua kredit bermasalah dan pinjaman kepada grup untuk properti di luar kredit pemilikan rumah sederhana KPRS) dan rumah sangat sederhana (KPRSS) danj adwal untuk mencapai CAR 8 persen dalam waktu selambat-Iambatnya 3 tahun, (ii) menyelesaikan kredit kepada kelompok sendiri yang melebihi ketentuan batas maksimum pemberian kredit (BMPK), dan (iii) menyerahkan 20 persen Dari kekurangan modal dalam waktu 4 (empat) minggu setelah rencana kerjanya disetujui Bank Indonesia. Departemen Keuangan Republik Indonesia 24 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Pemerintah telah memutuskan akan membantu rekapitalisasi 15 Bank Pembangunan Daerah (BPD) yang CAR menjadi di bawah 4 persen, sehingga bank-bank tersebut akan dapat lebih mendorong peningkatan kegiatan ekonomi di daerah khususnya usaha kecil, menengah dan koperasi. Demikian juga Bank Rakyat Indonesia (BRI) akan direkapitalisasi, sehingga bank ini berperan maksimal dalam melayani usaha kecil, menengah dan koperasi. Empat bank BUMN (Bank Bumi Daya, Bank Dagang Negara, Bank Ekspor Impor Indonesia, Bank Pembangunan Indonesia) yang akan digabung ke dalam Bank Mandiri, rencana rekapitalisasinya disiapkan oleh Bank Mandiri, seuangkan rekapitalisasi Bank Negara Indonesia (BNI) dilakukan dengan mekanisme "right issue" melalui pasar modal. Sementara itu, kebijakan pemerintah dalam rangka mempercepat penyelesaian utang luar negeri swasta bukan bank berpedoman pada prinsip bahwa Pemerintah tidak akan mengambil alih utang debitor, tapi hanya menyediakan jasa baik untuk mempercepat penyelesaian utang tersebut dengan prinsip "win-win solutions" bagi debitor dan kreditor. Penyelesaian utang swasta luar negeri ini mempunyai dampak ganda bagi perekonomian nasional, yaitu di satu pihak akan dapat mengurangi tekanan terhadap nilai tukar rupiah dan di lain pihak akan membantu perusahaan-perusahaan Indonesia untuk dapat bangkit kembali, sehingga akan dapat berkontribusi bagi pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, serta sumber penerimaan pajak. Dalam kaitan ini melalui Kepres No 95/1998 Pemerintah tanggal l2 Juli 1998 telah membentuk Badan Restrukturisasi Utang Luar Negeri Perusahaan Swasta Indonesia atau Indonesian. Debt Restructuring Agency (INDRA), yang bertugas mengusahakan restrukturisasi utang luar negeri perusahaan swasta Indonesia sesuai dengan skim yang disepakati oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan kreditor luar negeri. Pokok -pokok skim INDRA, antara lain (i) mengkonversikan pinjaman debitor dalam valuta asing menjadi pinjaman dalam rupiah, (ii) utang direstrukturisasi sehingga mempunyai jangka waktu minimal 8 tahun dengan masa tenggang minimal 3 tahun, (iii) debitor membayar rupiah tiap bulan kepada INDRA, baik pokok dan bunga, secara konstan dan riil selama 8 rabun, dan (iv) INDRA membayar dalam dolar Amerika Serikat tiap 3 bulan kepada kreditor, yaitu 3 tahun pertama membayar bunga dan tahun ke-4 sampai ke8 membayar pokok dan bunga. Mengingat salah satu kunci keberhasilan skim INDRA adalah adanya kesepakatan atau negosiasi antara debitor dengan kreditor luar negeri, maka Pemerintah melalui Prakarsa Jakarta (Jakarta Initiative) telah menyediakan diri sebagai fasilitator dalam proses negosiasi tersebut. Departemen Keuangan Republik Indonesia 25 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Di samping itu, Pemerintah telah melakukan penyempurnaan terhadap beberapa ketentuan dalam Undang-undang tentang Kepailitan melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1998. Perubahan ini dilakukan mengingat ketentuan lama sudah tidak akomoDarif lagi dengan perubahan-perubahan yang terjadi dewasa ini. Dengan perubahan-perubahan tersebut diharapkan akan memberikan kesempatan kepada pihak kreditor dan perusahaan sebagai debitor untuk mengupayakan penyelesaian yang adil, cepat, terbuka dan efektif. Selain itu, perubahan tersebut akan dapat meningkatkan kredibilitas Indonesia di lihat dunia internasional. 1.4 Prospek Perkembangan Ekonomi Global Salah satu sektor penting yang dapat mempercepat proses pemulihan perekonomian nasional adalah sektor ekspor, mengingat peranannya yang sangat penting sebagai sumber penerimaan devisa dan penciptaan lapangan kerja. Peranan ekspor barang dan jasa dalam kegiatan perekonomian nasional cukup penting, yaitu senilai Rp175.310,2 miliar atau 28,97 persen Dari PDB (data tahun 1997), seuangkan impor bemilai Rp182.428,7 miliar atau 30,14 persen Dari PDB. Ni1ai ekspor Indonesia, terutama nonmigas sering ditentukan oleh tingkat harga, juga sangat ditentukan oleh perkembangan perekonomian global, khususnya perkembangan perekonomian negara-negara mitra dagang utama Indonesia. Lingkungan ekonomi global yang akan dihadapi Indonesia dalam tahun 1999 diperkirakan akan sedikit lebih kondusif dibandingkan dengan kondisi da1am tahun 1998, yang ditandai dengan terjadinya krisis keuangan di beberapa negara ASEAN, Jepang, Korea Se1atan, Rusia dan beberapa negara Amerika Latin. Pertumbuhan ekonomi dunia da1am tahun 1999 diperkirakan akan sedikit menguat yaitu sebesar 2,5 persen meningkat Dari tahun 1998 yang diperkirakan sebesar 2,0 persen. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi dunia tersebut, pertumbuhan volume ekspor dunia (barang dan jasa) akan meningkat Dari yang diperkirakan 3,6 persen dalam tahun 1998 menjadi 4,2 persen dalam tahun 1999 seuangkan impor (barang dan jasa) diperkirakan akan tumbuh sedikit lebih kuat, Dari perkiraan sebesar 4,5 persen dalam tahun 1998 menjadi 4,7 persen dalam tahun 1999. Dalam skala mikro, perkembangan negara-negara mitra dagang utama Indonesia, secara umum diperkirakan akan mengalami perbaikan walaupun masih relatif lemah. Jepang Departemen Keuangan Republik Indonesia 26 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 sebagai mitra dagang utama Indonesia, perekonomiannya dalam tahun 1999 diperkirakan akan lebih baik dibandingkan tahun 1998, yang mengalami pertumbuhan negatif sebesar minus 2,5 persen. Kebijakan moneter yang diambil dengan menurunkan beberapa kali tingkat suku bunga dan kebijakan fiskal yang 1ebih ekspansif melalui penurunan tingkat pajak dan peningkatan belanja pemerintah dalam tahun 1998 diharapkan akan dapat mendorong perekonomian Jepang dalam tahun 1999, yang diperkirakan akan dapat tumbuh dengan tingkat 0,5 persen. Kinerja perekonomian Jepang ini akan mempunyai arti yang positif bagi perekonomian Indonesia karena sekitar 18,0 persen ekspor nonmigas Indonesia ditujukan ke Jepang. Ekspansi ekonomi Amerika Serikat yang cukup mengesankan da1am beberapa tahun lalu antara lain danorong oleh konsolidasi fiskal yang memungkinkan surplus anggaran belanja pemerintah, kebijakan moneter yang berhasil mendorong ekspansi perekonomian namun dapat mempertahankan inflasi yang rendah, serta pasar barang dan pasar tenaga kerja yang fleksibel, te1ah dapat meningkatkan kesempatan kerja dengan cepat. Namun krisis keuangan yang terjadi di Asia te1ah mempengaruhi kinerja ekonomi Amerika Serikat me1a1ui penurunan ekspor, terutama ke negara-negara yang, dilanda krisis keuangan. O1eh karena itu, kinerja ekonomi Amerika Serikat yang merupakan negara tujuan sekitar 16 persen ekspor nonmigas Indonesia, da1am tahun 1998 diperkirakan akan me1emah menjadi 3,5 persen dibandingkan dengan tahun 1997 (sebesar 3,9 persen), dan 1ebih 1anjut diperkirakan menjadi 2,0 persen da1am tahun 1999, yang dianggap mendekati tingkat pertumbuhan potensial. Penurunan ini terjadi terutama karena me1emahnya perrmintaan domestik yang disebabkan menurunnya harga-harga saham (equity) dan permintaan luar negeri. Kinerja ekonomi Amerika Serikat dalam tahun 1999 cenderung akan memburuk bila kondisi perekonomian di Asia dan kekacauan keuangan dunia terus berlanjut, serta penurunan 1ebih 1anjut harga-harga saham. Perekonomian Singapura yang se1ama beberapa tahun dapat tumbuh dengan kuat mu1ai menga1arni penurunan, terutama karena krisis ekonomi yang terjadi di kawasan ASEAN. Da1am tahun 1997 ekonomi Singapura, yang merupakan negara tujuan sekitar 11,0 persen ekspor nonmigas Indonesia masih tumbuh dengan tingkat 7,8 persen, namun da1am tahun 1998 hanya tumbuh dengan tingkat 0 (nol) persen. Kebijakan paket fiska1 sebesar 1,5 persen Dari PDB yang diumumkan pada akhir Juni 1998 diperkirakan tidak akan mempengaruhi perekonomian Singapura da1am tahun 1999 secara berarti, sehingga pertumbuhan diperkirakan hanya akan mencapai 0,2 persen. Departemen Keuangan Republik Indonesia 27 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Sementara itu, pertumbuhan ekonomi masyarakat Eropa dalam tahun 1999 tidak jauh beda dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi da1am tahun 1998. Dampak kontraksi Dari krisis ekonomi Asia terhadap ekspor dapat diimbangi dengan dampak ekspansif Dari perbaikan nilai tukar perdagangan (terms of trade), suku bunga yang 1ebih rendah, dan pertumbuhan ekonomi yang kuat dan berkelanjutan di negara-negara bukan Asia. Bi1a perturnbuhan ekonomi masyarakat Eropa da1am tahun 1998 diperkirakan sebesar 2,9 persen, maka da1am tahun 1999 diperkirakan akan menurun sedikit menjadi 2,5 persen, sehingga hal ini diperkirakan tidak akan banyak mempengaruhi ekspor nonmigas Indonesia ke negara-negara tersebut yang porsinya sekitar 19,0 persen. 1.5 Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 1998/1999 Anggaran Pendapatan Belanja Negara 1998/1999 sebagai instrumen utama kebijakan fiska1 pemerintah mempunyai misi utama untuk mendukung program stabi1isasi dan pemulihan ekonorni nasional. Berbagai peristiwa baik dalam negeri maupun luar negeri, seperti ke1esuan ekonomi, depresiasi niai tukar rupiah, harga minyak intenasiona1 yang cenderung menurun, suku bunga dan inflasi yang meningkat tajam telah turut mewarnai pelaksanaan APBN tersebut. Se1ama semester I tahun 1998/1999 realisasi penerimaan negara mencapai Rp 1 04.184,5 mi1iar atau 39,5 persen Dari sasaran yang ditetapkan dalam APBN, seuangkan pengeluaran negara mencapai Rp90.049,8 miliar atau 34,1 persen Dari sasaran yang ditetapkan da1am APBN, sehingga dalam semester I APBN, mencapai surplus sebesar Rp14.134,7 mi1iar. (Tabel 1.5). Departemen Keuangan Republik Indonesia 28 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel 1.5 REALISASI SEMESTER 1 APBN 1998/1999 (dalam miliar rupiah) Uraian APBN Semester I % thd APBN I. Penerimaan Negara 263.888,1 104.184,5 39,5 A. Penerimaan Dalam Negeri 149.302,5 75.152,5 50,3 1. Migas 49.711,4 22.145,1 44,5 2. Bukan migas 99.591,1 53.007,4 53,2 B. Penerimaan Pembangnnan 114.585,6 29.032,1 25,3 II. Pengeluaran Negara 263.888,1 90.049,8 34,1 A. Pengeluaran Rutin 171.205,1 70.948,0 41,4 B. Pengeluaran Pembangnnan 92.683,0 19.101,8 20,6 Selama semester I, beberapa hal penting telah mewarnai pelaksanaan penerimaan negara. Pertama, kecenderungan menurunnya harga rninyak di pasar internasional yang disebabkan oleh lemahnya permintaan terutama karena krisis ekonorni Asia telah mempengaruhi penerimaan dalam negeri yang berasal Dari rninyak. Dalam APBN harga minyak diasumsikan US$13 per barel, namun selama Maret-Agustus 1998 rata-rata harga rninyak mentah Indonesia hanya mencapai US$12,49 per barel, sehingga penerimaan minyak bumi dan gas alam hanya mencapai 44,5 persen Dari sasaran APBN. Kedua, penerimaan pajak penghasilan telah mencapai Rp25.186,3 miliar atau 97,4 persen Dari sasaran APBN. Peningkatan ini terjadi terutama karena peningkatan PPh deposito yang disebabkan tingginya suku bunga dan peningkatan PPh yang berasal Dari wajib pajak luar negeri dan wajib pajak yang memperoleh penghasilan dalam valuta asing yang disebabkan depresiasi rupiah. Ketiga, realisasi pungutan pajak ekspor mencapai Rp2.302,4 rniliar atau sekitar 244,2 persen Dari yang direncanakan dalam APBN. Besarnya peningkatan penerimaan pajak ekspor tersebut disebabkan oleh meningkatnya ekspor crude palm oil (CPO), tingginya harga CPO dan produk turunannya di pasar internasional, depresiasi rupiah, serta peningkatan tarif pajak ekspor CPO Dari 40 persen menjadi 60 persen yang berlaku sejak Juli 1998. Keempat, realisasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) baru mencapai Rp5.446,9 miliar atau 20,4 persen Dari yang direncanakan dalam APBN. Rendahnya realisasi PNBP tersebut terutama disebabkan belum terealisasinya Departemen Keuangan Republik Indonesia 29 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 penerimaan Dari privatisasi BUMN yang dalam APBN direncanakan Rp 15 triliun. Perkembangan ekonorni nasional dalam semester II 1998/1999, diperkirakan belum banyak mengalarni perubahan meskipun menunjukkan prospek yang menjanjikan. Perkembangan tersebut akan membawa pengaruh pada prognosa penerimaan dalam negeri, terutama penerimaan di luar migas. Penerimaan migas dalam semester II diperkirakan lebih rendah dibandingkan dengan realisasi semester I, sehubungan dengan harga minyak mentah yang diperkirakan masih relatif rendah. Dengan demikian, realisasi penerimaan migas dalam tahun anggaran 1998/1999 diperkirakan lebih rendah Dari APBN-nya. Sementara itu, penerimaan PPh dalam semester II 1998/1999 diperkirakan lebih rendah Dari semester I berkaitan dengan menurunnya penerimaan PPh atas bunga deposito, PPh atas pesangon, dan kemungkinan adanya restitusi pajak. Seuangkan penerimaan PPN dan PPnBM, cukai dan bea masuk diperkirakan akan lebih baik Dari semester I. Selanjutnya, dengan melihat kepada berbagai upaya pemulihan perekonomian nasional serta pelaksanaan privatisasi BUMN, penerimaan negara bukan pajak dalam semester II diperkirakan lebih tinggi dibandingkan dengan realisasi semester I. Namun demikian, secara keseluruhan realisasi penerimaan di luar migas dalam tahun anggaran 1998/1999 diperkirakan masih lebih tinggi Dari APBN-nya. Realisasi penerimaan pembangunan dalam semester II 1998/1999 diperkirakan akan lebih tinggi dibandingkan dengan realisasinya dalam semester I mengingat rencana pencairan berbagai bantuan luar negeri baru akan direalisasikan pada paruh kedua tahun anggaran 1998/ 1999. Sekalipun demikian, dengan memperhitungkan kemungkinan lebih rendahnya nilai lawan (rupiah), realisasi bantuan program dan proyek akibat menguatnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika, realisasi penerimaan pembangunan dalam tahun anggaran 1998/1999 diperkirakan lebih rendah Dari APBN-nya. Berdasarkan berbagai perkembangan tersebut di atas, maka penerimaan negara secara keseluruhan dalam tahun anggaran 1998/1999 diperkirakan lebih rendah Daripada yang direncanakan dalam APBN-nya. . Sementara itu, realisasi anggaran belanja rutin dalam semester I 1998/1999 mencapai Rp70.948,0 miliar atau 41,4 persen Dari anggaran yang ditetapkan dalam APBN. Berdasarkan perkembangan realisasi anggaran belanja rutin dalam semester I 1998/1999, serta memperhitungkan berbagai faktor dan kebutuhan pembiayaan yang diperkirkan dalam enam Departemen Keuangan Republik Indonesia 30 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 bulan berikutnya, maka alokasi anggaran be1anja rutin dalam semester II 1998/1999 diperkirakan lebih tinggi Dari realisasinya dalam semester 11998/1999. Lebih tingginya perkiraan tersebut terutama berkaitan dengan tingginya perkiraan kebutuhan pembiayaan operasional dan pemeliharaan, dan pembiayaan subsidi non-BBM, di samping direalisasikannya pembayaran utang dalam negeri. Atas dasar perkiraaan realisasi semester I dan prognosa semester II, realiasasi anggaran belanja rutin dalam tahun anggaran 1998/1999 diperkirakan lebih rendah Daripada anggaran yang ditetapkan dalam APBN-nya. Pelaksanaan anggaran belanja pembangunan dalam semester I 1998/1999 dipengaruhi oleh berbagai langkah penyesuaian yang dilakukan dalam rangka meningkatkan efisiensi penggunaan anggaran dan memperkuat jaring pengaman sosial untuk menanggulangi dampak meningkatnya pengangguran, setengah pengangguran dan jumlah penduduk miskin akibat krisis ekonomi. Penyesuaian dimaksud dilakukan melalui peninjauan kembali seluruh program dan proyek pembangunan yang belum mendesak serta realokasi dan penyediaan tambahan anggaran bagi program perlindungan masyarakat di biuang kesejahteraan sosial, pendidikan dan pelayanan kesehatan dasar bagi penduduk kurang mampu, penciptaan lapangan kerja dan kesempatan berusaha, peningkatan ketahanan pangan dan gizi, serta pemberdayaan usaha kecil, menengah dan koperasi. Sebagai dampak berlangsungnya proses penyesuaian tersebut, terutama penjadwalan dan mekanisme revisi daftar isian proyek (DIP) yang memerlukan waktu, realisasi anggaran belanja pembangunan dalam semester I 1998/1999 baru mencapai RpI9.101,8 miliar atau menyerap sekitar 20,6 persen Dari alokasi anggaran yang direncanakan. Berdasarkan perkembangan realisasi anggaran belanja pembangunan dalam semester 1998/1999, serta memperhatikan kecenderungan perkembangan penerimaan pembangunan, terutama kemungkinan pencairan (disbursement) bantuan program dan bantuan proyek, serta perkembangan daya serap proyek pembangunan, baik pembiayaan rupiah maupun bantuan proyek dalam semester II 1998/1999 diperkirakan lebih tinggi Daripada realisasi semester I. Sekalipun demikian, dengan pengendalian dan penghematan yang dilakukan terhadap beberapa pos anggaran pembangunan rupiah, serta memperhitungkan kemungkinan lebih rendahnya nilai lawan (rupiah) realisasi bantuan proyek akibat menguatnya nilai tukar rupiah, realisasi anggaran belanja pembangunan dalam tahun anggaran 1998/1999 diperkirakan sedikit Departemen Keuangan Republik Indonesia 31 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 lebih rendah Daripada alokasi yang ditetapkan dalam APBN-nya. 1.6 Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 1999/2000 Sebagai kelanjutan kebijakan fiskal tahun anggaran 1998/1999, kebijakan fiskal dalam tahun anggaran 1999/2000 dilaksanakan dengan misi utama untuk memberikan perlindungan dan pemulihan kondisi sosial ekonomi kelompok masyarakat yang rentan akibat krisis ekonomi, yang dilakukan melalui jaring pengaman sosial, serta untuk menstabilkan dan menggerakkan perekonomian nasional, yang dilakukan melalui berbagai pengeluaran yang benar-benar efektif dapat memberdayakan dan menstimulir kegiatan ekonomi, khususnya usaha kecil, menengah dan koperasi. Perencanaan besaran-besaran penerimaan dan pengeluaran negara dalam APBN 1999/2000 dilakukan dengan berpedoman pada prinsip kehati-hatian dan serealistis mungkin. Beberapa faktor penting yang menentukan besaran-besaran tersebut mencakup kondisi terakhir perekonomian dalam negeri dan global, harga minyak di pasar intenasional, nilai tukar (kurs) rupiah, sasaran-sasaran program stabilisasi dan pemulihan ekonomi, serta kemampuan sumbersumber pembiayaan yang diperkirakan akan dapat dihimpun, baik Dari dalam negeri maupun Dari luar negeri. Kondisi ekonomi dalam negeri yang secara umum telah mulai menunjukkan perkembangan yang membaik merupakan faktor yang cukup positif dalam penyusunan RAPBN 1999/2000. Perkembangan tersebut antara lain meliputi nilai tukar rupiah yang makin stabil kearah keseimbangan bam yang lebih realistis, tingkat inflasi yang mulai terkendali dan tingkat suku bunga yang mulai bergerak turun. Sementara itu perkembangan harga minyak di pasar internasional cenderung menurun karena kelebihan posokan dan lemahnya permintaan. Dengan mempertimbangkan berbagai faktor tersebut dengan seksama, maka asumsi dasar yang digunakan dalam penyusunan APBN 1999/2000 adalah sebagai berikut (Tabel 1.6). Departemen Keuangan Republik Indonesia 32 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel 1.6 ASUMSI DASAR APBN APBN 1999/2000 1998/1999 1.Pertumbuhan ekonomi (%) 0,0 - 12,0 2.Laju inflasi (%) 17,0 66,0 3.Harga minyak mentah (US$/barel) 10,5 13,0 4.Produksi minyak (ribu barel/hari) 1.520,0 1.520,0 5.Kurs (Rp/US$) 7.500,0 10.600,0 Dengan asumsi dasar tersebut dan dengan memperhatikan faktor - faktor yang berkaitan dengan sisi penerimaan dan pengeluaran, maka APBN 1999/2000 direncanakan pada tingkat Rp219.603,8 miliar atau 83,2 persen dari jumlah yang dianggarkan dalam tahun 1998/1999 (Tabel 1.7). Di sisi penerimaan, perbaikan kondisi ekonomi dan tingkat inflasi akan berpengaruh positif terhadap sasaran penerimaan pajak, terutama pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai barang dan jasa, dan pajak penjualan atas barang mewah (PPN dan PPn-BM), serta penerimaan cukai. Penurunan tingkat suku bunga diperkirakan akan berpengaruh negatif terhadap penerimaan PPh khususnya yang berasal dari bunga deposito, namun diharapkan hal ini dapat diimbangi dengan penerimaan PPh dari sektor lainnya akibat perbaikan kondisi ekonomi. Sementara itu, penguatan nilai tukar rupiah berpengaruh negatif terhadap sasaran penerimaan minyak bumi dan gas alam (migas), penerimaan bea masuk, pajak ekspor, serta penerimaan luar negeri. Di lain pihak, rencana penerimaan negara bukan pajak (PNBP) juga akan sangat dipengaruhi oleh keberhasilan pelaksanaan strategi kebijakan program privatisasi BUMN, mengingat sasaran penerimaan yang diharapkan berasal Dari hasil divestasi saham pemerintah pada BUMN relatif cukup besar. Departemen Keuangan Republik Indonesia 33 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel 1.7 IKHTISAR APBN SECARA GARIS BESAR (dalam miliar rupiah) APBN 1) APBN 1997/1998 1998/1999 2 3 Total Penerimaan Negara 132.000,8 263.888,1 Penerimaan Dalam Negeri 108.183,8 149.302,5 Migas 35.357,0 Bukan migas Penenmaan Luar Negeri Uraian 1 1999/2000 RAPBN 4 5 % (6=4:3) % (7=5:3) 219.603,8 82,7 83,2 140.803,8 142.203,8 94,3 95,2 49.711,4 20.965,0 20.965,0 42,2 42,2 72.826,8 99.591,1 119.838,8 121.238,8 120,3 23.817,0 114.585,6 77 .400,0 77.400,0 67,5 67,5 131.544,6 263.888,1 218.203,8 219.603,8 82,7. 83,2 Pengeluaran Rutin 84.606,2 171.205,1 134.555,5 137.155,5 78,6 80,1 Belanja Pegawai 19.175,1 24.781,4 32.037,1 33.569,1 129,3 Belanja Barang 9.031,9 11.425,1 11.039,0 11.039,0 96,6 Belanja Rutin Daerah 9.872,2 13.289,7 18.429,6 19.497,6 138,7 Bunga Dari Cicilan Hutang 29.697,1 66.236,4 44.810,9 44.810,9 67,7 67,7 Pengeluaran Rutin Lainnya 16.830,0 55.472,5 28.238,9 28.238,9 50,9 50,9 Pengeluaran Pembangunan 46.938,3 92.683,0 83.648,3 82.448,3 90,3 89,0 Total Pengeluaran Negara Surplus(Defisit) 218.203,8 APBN 121,7 135,5 96,6 146,7 456,2 1) Angka APBN-P Parameter kebijakan lainnya yang juga akan mempengaruhi sasaran penerimaan negara adalah kebijakan perubahan tarif pungutan (pajak) ekspor atas Crude Palm Oil (CPO) dan produk-produk turunannya, yang diperkirakan akan mengakibatkan penerimaan pajak ekspor dalam tahun anggaran mendatang tidak sebaik perkembangannya dalam tahun anggaran 1998/1999, mengingat sebagian besar penerimaan pajak ekspor berasal Dari pungutan atas ekspor komoditi CPO dan produk-produk turunannya. Di sisi pengeluaran negara, alokasi anggaran yang disediakan bagi pengeluaran rutin akan diarahkan kepada upaya-upaya meningkatkan kualitas pelayanan pemerintah kepada masyarakat, mempertahankan penghasilan riil pegawai negeri sipil dan anggota ABRI agar tidak Departemen Keuangan Republik Indonesia 34 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 merosot jauh akibat inflasi, serta membantu meringankan beban masyarakat akibat krisis melalui penyediaan subsidi bagi berbagai komoditi strategis. Sehubungan dengan itu, direncanakan untuk memberikan kenaikan gaji bagi pegawai negeri sipil, anggota ABRI dan pensiunan, serta penyesuaian besarnya uang makan lauk-pauk bagi anggota ABRI. Demikian pula, pemberian subsidi juga masih akan diberikan terutama untuk subsidi bahan bakar minyak (BBM), subsidi listrik, dan subsidi pangan (beras), yang jumlahnya diperkirakan akan lebih kecil Dari tahun sebelumnya mengingat penguatan nilai rupiah. Sementara itu, rencana penundaan (reschedulling) pembayaran cicilan pokok pinjaman luar negeri yang jatuh tempo dalam tahun anggaran 1999/2000 sesuai dengan hasil kesepakatan yang dicapai dalam pertemuan Paris (Paris Club), diperkirakan akan dapat menghemat anggaran rutin. Di bidang pengeluaran pembangunan, dalam rangka mempertahankan dan memperluas cakupan program jaring pengaman sosial, prioritas pembiayaan akan diletakkan pada (i) proyekproyek prasarana dengan kandungan lokal tinggi dan menyerap tenaga kerja besar, (ii) perlindungan sosial dasar di biuang pendidikan, kesehatan, ketahanan pangan, dan proyek sosial lainnya baik di perdesaan maupun di perkotaan, (iii) pengembangan usaha kecil dan menengah, (iv) restrukturisasi sektor perbankan, dan (v) upaya mendorong ekspor nonmigas. Di samping itu, rencana alokasi anggaran pengeluaran pembangunan juga diarahkan untuk menjabarkan secara bertahap kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah yang lebih adil dan proporsional, sebagai pelaksanaan awal Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XV /MPRl1998. Hal ini dilakukan melalui realokasi anggaran Dari proyekproyek sektoral menjadi dana pembangunan daerah, khususnya bantuan yang bersifat umum (block grant) dalam jumlah yang lebih besar. Volume anggaran belanja pembangunan direncanakan mencapai Rp82.448,3 miliar, atau 89,0 persen dari alokasi anggaran yang ditetapkan dalam APBN 1998/1999. Sebagian beban anggaran belanja pembangunan dimaksud akan diusahakan pembiayaannya dari sumbersumber dana pinjaman luar negeri (external financing), baik bantuan program maupun bantuan proyek pada pos penerimaan luar negeri dalam APBN. Pinjaman program yang diperlukan untuk membiayai program dan proyek pembangunan, termasuk program jaring pengaman sosial diharapkan berasal dari bank dunia (IBRD), bank pembangunan Asia (ADB), dan bantuan bilateral Dari pemerintah Jepang. Departemen Keuangan Republik Indonesia 35 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 1.7 Penutup Krisis ekonomi yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997 telah menimbulkan penderitaan yang cukup berat bagi bangsa Indonesia. Tingkat kesejahteraan masyarakat telah menurun drastis, karena harga barang-barang kebutuhan pokok yang meningkat tajam, banyaknya anggota masyarakat yang kehilangan pekerjaan, serta keresahan sosial yang meningkat. Langkah-langkah yang ditempuh Pemerintah dalam mengatasi krisis ekonomi tersebut mempunyai arah yang jelas. Pada akhir tahun 1998 stabilisasi ekonomi makro telah berangsurangsur dapat diciptakan, selanjutnya dalam tahun 1999 dan tahun 2000 perekonomian diperkirakan memulai proses pemulihan. Struktur dan kinerja perekonomian nasional terus diupayakan agar lebih efisien sehingga akan lebih mampu bersaing baik di pasar domestik maupun pasar global. Untuk dapat mencapai pertumbuhan ekonomi tinggi dan berkelanjutan seperti masa sebelum krisis, banyak persoalan mendesak yang harus diselesaikan, diantaranya adalah penyehatan perbankan nasional dan penyelesaian utang luar negeri swasta. Penanganan masalah tersebut secara tuntas menuntut pengertian dan kerjasama antara Pemerintah, masyarakat luas dan dunia usaha baik perbankan maupun bukan perbankan. Dalam perjalanan sejarah hidupnya, Bangsa Indonesia telah beberapa kali dihadapkan pada persoalan yang sangat berat dan selalu berhasil mengatasinya Demikian juga dalam menghadapi krisis ekonomi yang seuang terjadi, dengan penuh keyakinan akan dapat segera diatasi. Dengan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme, budaya disiplin dan kerja keras, serta semangat persatuan, kesatuan dan keadilan, masa depan Indonesia yang lebih baik akan dapat dibangun. Departemen Keuangan Republik Indonesia 36 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 BAB II ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA 2.1 Pendahuluan Sebagai salah satu piranti utama pelaksanaan kebijakan fiskal, pengelolaan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dalam dua tahun anggaran terakhir menghadapi tantangan berat. Seperti diketahui, sejak pertengahan tahun 1997 perekonomian Indonesia dihadapkan pada berbagai permasalahan dan tantangan, diawali oleh adanya krisis moneter yang dipicu oleh krisis mata uang bath Thailand pada bulan luli 1997 dan menjalar ke kawasan Asia Tenggara, dan berkembang menjadi krisis ekonomi, bahkan berlanjut menjadi krisis kepercayaan di dalam negeri. Keadaan tersebut telah menyebabkan nilai tukar (kurs) rupiah terhadap valuta asing khususnya dolar Amerika, sangat mudah goyah dan cenderung terus melemah, sehingga berdampak negatif terhadap kinerja perekonornian nasional, termasuk pelaksanaan APBN 1998/1999. Seiring dengan terjadinya krisis, gejolak dan perubahanperubahan yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir juga mewarnai dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga menjadikan tahun 1998 penuh dengan rasa keprihatinan. Dengan adanya krisis tersebut sendi-sendi kegiatan ekonomi menjadi terganggu, sehingga berdampak pada makin menurunnya taraf hidup dan tingkat kesejahteraan masyarakat. Hal ini telah berdampak pada peningkatan jumlah penduduk miskin, tingkat pengangguran dan setengah pengangguran, serta terganggunya sistem distribusi dan penyediaan bahan kebutuhan pokok masyarakat yang memuncak pada kerusuhan media Mei 1998. Keadaan tersebut mendorong perlunya dilakukan penyesuaian kembali berbagai sasaran dan program di biuang fiskal, dengan lebih mengutarnakan penyediaan anggaran bagi perluasan kesempatan kerja, pemenuhan kebutuhan dasar di biuang pendidikan dan kesehatan, serta penyediaan subsidi bahan kebutuhan pokok untuk memperkuat jaring pengaman sosial (social safety net). Di lain pihak, terjadinya krisis juga menghambat upaya pengerahan sumber dana dari dalam negeri. Menurunnya aktivitas dunia usaha, telah berdampak kepada sulitnya upaya peningkatam pendapatan negara, terutama dari sektor pajak. Sementara itu, penerimaan dari sektor rnigas dalam beberapa waktu terakhir sulit diharapkan untuk meningkat, mengingat perkembangan harga minyak dunia yang cenderung melemah. Di biuang penerimaan negara bukan pajak (PNBP), meskipun Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997 telah diberlakukan Departemen Keuangan Republik Indonesia 37 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 sehingga diharapkan pengelolaan jenis penerimaan ini dapat semakin tertib, namun merosotnya perkembangan ekonomi berpengaruh terhadap rendahnya kegiatan masyarakat yang memerlukan jasa pemerintah serta menurunnya keuntungan yang diperoleh BUMN. Kondisi tersebut semakin dipersulit, mengingat pelaksanaan privatisasi beberapa BUMN yang semula diharapkan dapat memberikan sumbangan cukup besar terhadap penerimaan negara, sampai saat ini belum memberikan hasil sebagaimana yang diharapkan. Dalam upaya mencukupi kebutuhan meningkatnya anggaran belanja rutin dan anggaran belanja pembangunan, penerimaan yang bersumber dari bantuan luar negeri, baik bantuan program maupun bantuan proyek ditingkatkan. Bantuan tersebut diharapkan diperoleh dari lembaga-lembaga keuangan multilateral seperti Bank Dunia (World Bank), dan Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank), serta Dari bantuan bilateral. Sasaran penerimaan pembangunan dimaksudkan untuk dapat membiayai kebutuhan-kebutuhan meningkatnya anggaran belanja negara. Sebagai gambaran, perkembangan kebijakan fiskal dalam Repelita V dan RepelitaVI dapat diikuti dalam Tabel 11.1. 2.2 Perkembangan Pelaksanaan APBN sampai dengan Tahun Anggaran 1998/1999 2.2.1 Kebijakan Pokok di Biuang APBN Sejak awal pelaksanaan Repelita I sampai dengan akhir Repelita VI (1969/1970 1998/1999), kebijakan keuangan negara yang tercermin dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) senantiasa danasarkan kepada prinsip anggaran berimbang yang dinamis. Prinsip anggaran berimbang mengisyaratkan bahwa jumlah seluruh belanja negara, senantiasa disesuaikan dengan besarnya, pendapatan negara yang dapat dihimpun dalam tahun anggaran bersangkutan. Seuangkan prinsip anggaran dinamis mengisyaratkan bahwa dalam hal penerimaaan negara lebih rendah dari yang direncanakan semula, pemerintah baru mengupayakan agar pengeluaran dapat disesuaikan, sehingga keseimbangan APBN tetap dapat terjaga. Namun demikian, dalam hal penerimaan negara melampaui yang direncanakan, masih memungkinkan dibentuknya dana cauangan yang pemanfaatannya dilaksanakan pada saat penerimaan negara tidak cukup untuk mendukung pembiayaan program-program yang direncanakan. Departemen Keuangan Republik Indonesia 38 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Departemen Keuangan Republik Indonesia 39 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Departemen Keuangan Republik Indonesia 40 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Sebagai pelaksanaan operasional tahun kelima Repelita VI, penyusunan APBN tahun anggaran 1998/1999 juga tetap danasarkan kepada prinsip anggaran berimbang yang dinamis. Namun dalam pelaksanaannya, APBN tahun anggaran 1998/1999 tidak terlepos dari berbagai perkembangan yang terjadi di dalam dan di luar negeri, baik di biuang politik, ekonomi maupun sosial. Dalam kaitan ini, terus memburuknya kondisi perekonomian nasional sejak pertengahan tahun 1997 berdampak negatif terhadap kinerja perekonomian nasional, sehingga memberikan tekanan yang sangat berat terhadap pelaksanaan APBN tahun anggaran 1998/1999. Berkaitan dengan hal tersebut pada bulan Juli 1998 telah dilakukan penyesuaian kebijakan fiskal yang mendasar, yaitu dengan melakukan revisi atas APBN tahun anggaran 1998/1999, yang oleh Dewan Perwakilan Rakyat telah disetujui dan selanjutnya disahkan sebagai Unuang Unuang Nomor 7 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 3 Tahun 1998 tentang APBN Tahun Anggaran 1998/1999. Kebijakan tersebut dimaksudkan agar sasaran yang ditetapkan dalam APBN tahun anggaran 1998/1999 dapat dilaksanakan secara wajar dan sejalan dengan perkembangan dan perubahan keadaan, serta dapat mendukung program reformasi dan stabilisasi di biuang ekonomi. Selain itu, langkah kebijakan dimaksud juga merupakan upaya mengembalikan kepercayaan masyarakat di dalam dan di luar negeri terhadap perekonomian nasional, sehingga upaya pemulihan kondisi perekonomian dapat dilaksanakan sesuai dengan yang direncanakan . Dengan adanya perubahan dimaksud, volume APBN tahun anggaran 1998/1999 berimbang pada tingkat Rp 263.888,1 miliar. Namun demikian apabila dikaji lebih mendalam, dalam perubahan APBN tahun anggaran 1998/1999 tersebut tabungan pemerintah menjadi negatif Rp 21.902,6 miliar. Di sisi pendapatan negara, dengan adanya kecenderungan harga minyak mentah yang melemah dalam tahun anggaran 1998/1999, sementara kondisi perekonomian nasional masih mengalami krisis, maka optimalisasi penggalian terhadap berbagai pos penerimaan negara tetap diupayakan. Di sektor migas, rata-rata harga minyak mentah Indonesia (ICP) dalam tahun anggaran 1998/1999 diperkirakan lebih rendah Dari tahun sebelumnya. Hal ini terutama disebabkan oleh adanya kecenderungan menurunnya harga minyak mentah di pasar internasional sebagai akibat kelebihan produksi minyak dunia, dan turunnya permintaan sejalan dengan krisis ekonomi dan keuangan yang dialami beberapa negara di kawasan Asia. Namun demikian, dengan melemahnya nilai tukar rupiah yang cukup tajam diharapkan penerimaan Departemen Keuangan Republik Indonesia 41 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 migas dalam bentuk rupiah masih memberikan sumbangan yang cukup besar. Di bidang perpajakan, faktor-faktor positif yang diperkirakan masih dapat mendukung penerimaan pajak yang cukup berarti, antara lain adalah adanya pencabutan fasilitas perpajakan dari beberapa sektor usaha, serta kenaikan nilai transaksi di biuang pertambangan, kenaikan nilai rupiah dari transaksi impor, pemberlakuan Undang-undang tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), serta meningkatnya coverage ratio. Sementara itu, kebijaksanaan tingkat suku bunga deposito dan SBI yang cukup tinggi, dengan maksud untuk menarik minat masyarakat agar menyimpan dananya di sektor perbankan, sekaligus sebagai upaya meredam spekulasi dalam perdagangan valuta asing, secara tidak langsung memberikan dampak yang cukup menguntungkan bagi upaya mobilisasi penerimaan pajak penghasilan (PPh). Namun demikian hat ini hanya bersifat semen tara, karena kebijaksanaan suku bunga tinggi kurang menguntungkan bagi kegiatan dunia usaha, yang justru merupakan objek pengenaan PPh. Di bidang cukai, upaya peningkatan penerimaan tersebut dilakukan melalui penyesuaian harga dasar cukai, pemberantasan peredaran pita cukai palsu, pencegahan terhadap pelanggaran penjualan hasil tembakau di atas banderol, dan pengawasan penjualan hasil tembakau yang mendapatkan pembebasan cukai. Di biuang pungutan (pajak) ekspor, upaya peningkatan sasaran penerimaan antara lain dilaksanakan melalui perubahan tarif pajak ekspor atas minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan turunannya. Sementara itu, kecenderungan semakin meningkatnya permintaan luar negeri dan membaiknya harga atas beberapa komoditi yang terkena pajak ekspor, di antaranya CPO dan produk-produk turunannya, seperti Refined Bleached Deodorized (RBD) Palm Oil, RBD Olein, dan Crude Olein, telah memberikan dampak pada peningkatan penerimaan pajak ekspor. Di bidang penerimaan negara bukan pajak, peningkatan sasaran penerimaan diupayakan melalui peningkatan disiplin dalam pengelolaan PNBP sejalan dengan pemberlakuan Undang undang Nornor 20 Tahun 1997 tentang Penerirnaan Negara Bukan Pajak. Sernentara itu, rneskipun upaya peningkatan PNBP dari bagian pernerintah atas penjualan saharn (divestasi) beberapa BUMN diperkirakan belurn dapat rnencapai sasaran, namun peningkatan penerirnaan Dari keuntungan BUMN tetap diupayakan secara rnaksirnal. Di bidang belanja negara, guna rneningkatkan efisiensi anggaran belanja negara, telah dilakukan penjadwalan berbagai proyek dan kegiatan yang kurang rnendesak atau tidak rnenjadi Departemen Keuangan Republik Indonesia 42 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 prioritas, seraya rnelakukan realokasi dan tarnbahan anggaran untuk rnernperkuat jaring pengarnan sosial (social safety net). Dalam upaya rnengurangi dampak sosial yang rnakin luas dari krisis ekonorni dan rnoneter, anggaran bagi subsidi BBM, subsidi listrik, subsidi pangan dan subsidi obat-obatan rnenjadi bertarnbah besar. Hal ini terutarna berkaitan dengan rneningkatnya harga pangan sebagai akibat rnenurunnya produksi dan kekurangan posokan karena kekeringan panjang pada rnusirn tanam tahun 1997, serta rneningkatnya harga obat sebagai akibat dari rneningkatnya biaya irnpor obat jadi dan bahan baku obat karena depresiasi rupiah. Dalam upaya rneringankan beban anggaran negara, rnelalui perternuan Paris ( Paris Club) telah diupayakan penangguhan (reschedulling) terhadap sebagian pernbayaran kewajiban cicilan pokok pinjarnan luar negeri, terutarna pinjarnan bilateral dan fasilitas kredit ekspor. Di lain pihak, guna rnenutup defisit APBN yang cukup besar akibat tambahan beban pengeluaran bagi berbagai jenis subsidi dan anggaran bagi prograrn jaring pengaman sosial, rnelalui perternuan Consultative Group on Indonesia telah berhasil diupayakan untuk rnernperoleh tarnbahan bantuan luar negeri yang segera dapat dicairkan (fast disbursing assistance/FDA). Di sisi pengeluaran pernbangunan, anggaran belanja pernbangunan diharapkan dapat berperan rnernpercepat upaya proses stabilisasi dan reforrnasi struktural, rnengingat dalarn rnasa krisis rnoneter dan ekonorni dewasa ini sektor rnasyarakat dan dunia usaha (swasta) kurang rnampu rnenjadi lokornotif kegiatan ekonorni. Berkaitan dengan itu, dilaksanakan penajarnan prioritas alokasi dan peningkatkan efisiensi penggunaan anggaran belanja pernbangunan, penundaan proyek-proyek dan kegiatan pernbangunan yang belurn rnendesak, serta penyediaan tambahan anggaran untuk rneningkatkan peranan pengusaha kecil, rnenengah dan koperasi. Dalam lingkup sektoral, prioritas alokasi anggaran belanja pernbangunan diberikan pada sektorsektor yang rnenunjang peningkatan penciptaan lapangan kerja dan kesernpatan berusaha, pernenuhan kebutuhan pokok dan pengernbangan produksi pangan dalam rangka rneningkatkan kegiatan ekonorni, pernenuhan kebutuhan dasar di biuang pendidikan dan kesehatan dalam rangka rnernperkuat jaring pengaman sosial, serta operasi dan perneliharaan proyek prasarana dan sarana dasar. 2.2.2 Penerimaan Dalam Negeri Sejalan dengan perkernbangan ekonorni saat ini, peran penerirnaan dalam negeri bagi Departemen Keuangan Republik Indonesia 43 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 APBN rnenjadi rnakin penting baik dalarn rangka pernbiayaan kegiatan pernerintah rnaupun dalam kaitannya dengan pelaksanaan kebijaksanaan fiskal. Oleh karena itu, penerirnaan dalarn negeri yang terdiri dari penerirnaan rninyak bumi dan gas alarn (rnigas), penerirnaan perpajakan, dan penerimaan bukan pajak senantiasa dikernbangkan dari waktu ke waktu. Berkaitan dengan kurang menentunya perkembangan penerimaan migas yang sangat ditentukan oleh berbagai faktor eksternal yang variatif dan sulit untuk diperkirakan, maka harapan pengembangan penerimaan dalam negeri dititikberatkan pada penerimaan perpajakan. Sehubungan dengan itu, ditempuh berbagai kebijaksanaan di biuang perpajakan yang mulai diluncurkan sejak tahun 1984 melalui paket reformasi perpajakan 1984. Di tahun-tahun selanjutnya, langkah reformasi tersebut senantiasa ditinjau dan disempumakan. Sasaran utama Dari ditempuhnya kebijaksanaan perpajakan adalah untuk meningkatkan penerimaan perpajakan melalui penyempurnaan sistem pengelolaan perpajakan, baik yang menyangkut peraturan perUndang-undangan, sistem administrasi, maupun sumber daya manusianya. Sementara itu, penerimaan negara bukan pajak yang meliputi laba BUMN dan berbagai jenis penerimaan yang berasal dari departemen/lembaga pemerintah nondepartemen terus diupayakan peningkatannya. Hal itu dilakukan melalui ditempuhnya berbagai kebijaksanaan dengan harapan agar penerimaan ini dapat memberikan kontribusi yang makin besar bagi penerimaan dalam negeri. Langkab-langkab yang ditempuh antara lain pemberlakuan Undangundang tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, serta upaya privatisasi BUMN. 2.2.2.1 Penerimaan Minyak Bumi dan Gas Alam Komoditas minyak bumidan gas alam, sampai dengan saat ini masih memegang peran yang cukup penting, baik sebagai somber pemenuhan kebutuhan energi dalam negeri maupun sebagai somber penerimaan negara. Walaupun dalam beberapa tahun terakhir ini sumbangannya terhadap penerimaan negara tidak sebesar pada periode.sebelumnya, penerimaan dari minyak bumi dan gas alam (migas) masih merupakan sumber penerimaan yang handal bagi penerimaan negara. Sejak awal Repelita VI sampai dengan tahun keempat Repelita VI (1994/19951997/1998), kontribusi penerimaan migas terhadap penerimaan negara terus meningkat yaitu dari 17,8 persen pada awal Repelita VI menjadi 26,8 persen pada tahun keempat Repelita VI. Departemen Keuangan Republik Indonesia 44 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Besarnya penerimaan minyak bumi sangat dipengaruhi oleh fluktuasi harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Oil Price/ICP) di pasar internasional, besarnya produksi minyak yang disepakati dalam siuang OPEC, serta fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika. Memasuki awal PIP II, pada tahun anggaran 1994/1995, harga rata-rata minyak mentah Indonesia (ICP) mencapai US$ 14,75 per barel. Dalam perkembangan selanjutnya harga tersebut cukup berfluktuasi. Harga rata-rata ICP tertinggi dalam tahun pertama Repelita VI mencapai US$ 17,84 per barel pada bulan Februari 1995, seuang dalam tahun kedua, ketiga dan keempat Repelita VI, masing-masing mencapai US$ 18,98 per barel pada bulan Januari 1996, US$ 23,90 per barel pada bulan J anuari 1997, dan US$ 19,50 per barel pada bulan Oktober 1997. Berfluktuasinya harga rata-rata ICP ini disebabkan oleh pergerakan permintaan dan penawaran minyak mentah di . pasar internasional. Perkembangan harga ekspor minyak mentah Indonesia sejak awal Repelita I sampai dengan November 1998 dapat diikuti dalam Tabel 11.2. Tingkat produksi minyak bumi dan kondensat di dalam Negeri selama empat tahun pelaksanaan Repelita VI menunjukkan kecenderungan yang semakin menurun. Pada tahun anggaran 1994/1995, produksi minyak bumi dan kondensat mencapai 588,6 juta barel, dan terus mengalarni penurunan hingga mencapai 571,2 juta barel dalam tahun keempat Repelita VI. Turunnya produksi minyak mentah dan kondensat ini antara lain disebabkan oleh menurunnya penandatanganan pembagian kontrak produksi CKPS) baru dan terbatasnya dana KPS, sehingga target penyelidikan seismik (penyelidikan awal, sebelum dilakukan pengeboran eksplorasi) dan pengeboran eksplorasi tidak tercapai. Di samping itu juga disebabkan oleh berkurangnya penemuan lapangan baru yang ekonomis. Sementara itu, seiring dengan pertambahan penduduk, pertumbuhan ekonomi, terutama pada sektor-sektor industri, transportasi dan pembangkit tenaga listrik, kebutuhan bahan bakar minyakpun terus meningkat. Untuk memenuhi sebagian dari kebutuhan tersebut, maka harus disediakan dari kilang dalam negeri, termasuk mengilang minyak bumi dalam negeri yang seharusnya diekspor. Kondisi ini pada gilirannya akan mempengarnhi kemampuan ekspor minyak bumi dan kondensat. Pada tahun anggaran 1996/1997, ekspor rninyak mentah dan kondensat mencapai 288,2 juta barel, namun pada tahun anggaran 1997/1998 berkurang menjadi 272,9 juta barel. Departemen Keuangan Republik Indonesia 45 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel ll.2 BARGA EKSPOR MINY AK MENT AH INDONESIA, 1969 - 1998 1) (dalam US$ per barel) Taboo Barga (1) (2) 1969 April 1,67 1970 April 1,67 Taboo 1995 1971 April 2,21 1972 April 2,96 1973 April 3,73 1974 April 11,70 1975 April Barga (3) (4) Januari 16,96 Februari 17,84 Maret 17,79 rjl 18,08 el18,23 12,60 Juni 17,24 Juli 16,02 Agustus 16,22 September 16,31 Oktober 16,05 1976 April 12,80 November 16,65 1977 April 13,55 Desember 18,02 1996 Januari 18,98 Februari 18,56 18,97 1978 April 13,55 1979 April 15,65 Maret 1980 April 29,50 rjl 1981 April 35,00 1982 April 35,00 19,21 el18,86 Juni 19,05 Juli 19,45 Agustus 19,33 1983 April 29,53 September 20,92 1984 April 29,53 Oktober 23,04 1985 April 28,53 November 22,47 Desember 22,78 1986 April 10,66 Januari 23,90 1987 April 17,57 Februari 21,21 1988 April 17,56 Maret 19,37 April 18,35 1989 April 17,93 1990 April 17,23 1991 April 17,05 1997 Mei 18,78 Juni 17,86 Juli 17,51 Agustus 18,00 September 17,78 1992 April 17,23 1993 April 18,80 Oktober 19,50 1994 Januari 14,70 November 19,19 Desember 17,24 Januari 14,52 Februari 14,91 Maret 14,18 April 14,75 Februari 13,47 Mei 15,52 Maret 12,14 Juni 16,39 rjl 1998 13,20 el12,91 Juli 17,48 Agustus 17,61 Juli 12,51 September 16,31 Agustus 12,06 Oktober 16,18 September 12,09 November 16,27 Oktober 12,94 Desember 16,11 November 11,82 Juni 12,09 1) SebelumApril1989 adalah hargaminyakjenis Minas (SLC),dan sejak April 1989 adalah haria raIa-raia minyak Indonesia (ICP). 2) Angka sementara. Departemen Keuangan Republik Indonesia 46 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Selain menghasilkan minyak bumi pengeboran eksplorasi juga menghasilkan gas alam Pada tahun anggaran 1997/1998, produksi gas alam mencapai 3.130,5 miliar kaki kubik, atau 0,97 persen lebih rendah dari tahun sebelumnya, yang mencapai 3.161,3 miliar kaki kubik. Seuangkan pemanfaatan pada tahun anggaran 1997/1998, hanya mencapai 2.940,0 rniliar kaki kubik atau 1,49 persen lebih rendah dari tahun sebelumnya. Turunnya produksi dan pemanfaatan gas alam ini sebagai akibat Dari berkurangnya perrnintaan pemakaian gas alam untuk memenuhi kebutuhan LNG Bontang Train dan ekspansi train lainnya, serta berkurangnya perrnintaan gas alam sebagai bahan baku industri dan pembangkit tenaga listrik. Sementara itu, produksi liquid natural gas (LNG) dalam tahun anggaran 1997/1998 mengalarni peningkatan menjadi 1.401,2 juta MMBTU Dari 1.354,8 juta MMBTU pada tahun sebelumnya. Peningkatan ini disebabkan oleh telah beroperasinya kilang Train F Bontang, sementara train yang lainnya dapat beroperasi secara normal. Seuangkan ekspor LNG pada tahun anggaran 1996/1997 mencapai 1.367,1 juta MMBTU dan pada tahun anggaran 1997/1998 meningkat menjadi 1.382,7 juta MMBTU. Peningkatan ekspor LNG ini antara lain disebabkan oleh adanya tambahan kontrak jangka pendek ke Jepang, Korea dan Taiwan. Berbeda dengan produksi LNG yang meningkat, produksi liquid petroleum gas (LPG) mengalami penurunan Dari 3,1 juta ton pada tahun anggaran 1996/1997 menjadi 2,7 juta ton pada tahun anggaran 1997/1998. Seuangkan ekspor LPG pada tahun anggaran 1996/1997 mencapai 2,6 juta ton, dan pada tahun anggaran 1997/1998 menurun menjadi 2,1 juta ton. Menurunnya ekspor LPG ini antara lain berkaitan dengan menurunnya permintaan LPG di luar negeri, sebagai akibat adanya resesi ekonorni. Melihat kepada perkembangan harga dan produksi rninyak mentah Indonesia di pasar internasional serta produksi dan ekspor LNG dan LPG, maka dalam empat tahun pertama pelaksanaan Repelita VI, penerimaan minyak bumi rata-rata tumbuh 36,64 persen per tahun, seuangkan penerimaan gas alam mengalarni peningkatan rata-rata 40,67 persen per tahun. Sementara itu, pada tahun anggaran 1998/1999, penerimaan minyak bumi dan gas alam diperkirakan meningkat cukup tajam yaitu 40,6 persen Dari tahun anggaran sebelumnya. Peningkatan ini lebih banyak disebabkan oleh melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika, sebagai akibat terjadinya krisis ekonomi, yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997. 2.2.2.2 Penerimaan Perpajakan Sejalan dengan berkembangnya kebutuhan pembiayaan pembangunan dan aktivitas Departemen Keuangan Republik Indonesia 47 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 pemerintahan, kebutuhan akan peningkatan penerimaan negara menjadi semakin mendesak. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, Pemerintah telah melakukan upaya-upaya ekstensifikasi dan intensifikasi pemungutan pajak. Dengan adanya program ekstensifikasi diharapkan penerimaan pajak dapat meningkat sejalan dengan perkembangan jumlah wajib pajak dan perluasan jenis objek pajaknya. Sementara itu, melalui program intensifikasi penerimaan pajak yang dilakukan melalui peningkatan kesadaran wajib pajak dalam membayar pajak, serta upaya penegakan hukum, diharapkan penerimaan pajak akan meningkat lebih besar lagi. Dsamping itu, juga telah dilakukan upaya penyempurnaan sistem administrasi perpajakan melalui kebijaksanaan penetapan Nomor Pokok Wajib Pajak tunggal yang berlaku sejak tanggal 1 Juni 1998. Dengan kebijaksanaan ini diharapkan administrasi perpajakan semakin sempurna terutama dalam rangka mendorong penerimaan pajak di masa yang akan datang. Pada masa krisis yang telah berlansung dalam satu tahun terakhir ini, penerimaan pajak tidak terlalu menggembirakan. Hal itu berkaitan dengan melemahnya pertumbuhan sektor swasta dan dunia usaha, yang pada gilirannya berpengaruh pada menurunnya kontribusi sektor tersebut pada penerimaan perpajakan. Dalam kondisi normal, penerimaan pajak berhubungan erat dengan beberapa variabel makro, seperti tingkat pertumbuhan ekonomi, perkembangan harga (inflasi), dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika. Sementara itu, khusus untuk pajak penghasilan, peningkatan suku bunga deposito yang terjadi akhir-akhir ini, telah berpengaruh positif kepada meningkatnya potensi penerimaan PPh. Namun di lain pihak kemerosotan biuang ekonomi, telah memberikan pengaruh yang kurang menguntungkan bagi hampir semua jenis pajak pada tahun anggaran 1998/1999. 2.2.2.2.1 Pajak Penghasilan (PPh) Pemungutan pajak penghasilan danasarkan pada Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991. Dalam Undangundang tersebut, tarif pajak penghasilan ditetapkan 10 persen, 15 persen dan 30 persen masingmasing untuk lapisan penghasilan kena pajak dari 0 sampai dengan Rp 25 juta, di atas Rp 25 juta sampai dengan Rp 50 juta dan lebih besar dari Rp 50 juta. Selain adanya perubahan tarif pajak penghasilan, dalam Undang-undang Nomor 10 tersebut juga dilakukan penyesuaian besarnya penghasilan tidak kena pajak (PTKP) menjadi sebesar Rp 1.728.000 untuk wajib pajak Departemen Keuangan Republik Indonesia 48 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 orang pribadi. Berbagai perubahan yang diikuti dengan penyempurnaan berbagai peraturan lainnya tersebut dimaksudkan untuk mendorong kesadaran masyarakat untuk membayar pajak, telah meningkatkan penerimaan pajak penghasilan dalam beberapa tahun terakhir. Pencapaian sasaran penerimaan pajak penghasilan selain sangat ditentukan oleh kondisi perekonomian juga ditentukan oleh intensitas upaya pemerintah untuk melakukan pemungutannya. Oleh karena itu dalam rangka meningkatkan efisiensi pemungutan pajak penghasilan telah diterbitkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor 110 Tahun 1997 tanggal 19 Juni 1997 yang mengatur tentang pelimpahan wewenang Direktur Jenderal Pajak kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak untuk menerbitkan surat persetujuan pemusatan pajak penghasilan Pasal 21 sepanjang kantor pelayanan pajak terkait berada dalarn satu wilayah kerja yang sama. Seuangkan untuk mendukung pelaksanaan peningkatan efisiensi administrasi perpajakan yang berkenaan dengan transaksi impor, telah diterbitkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 450 Tahun 1997 tentang Penunjukan Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22, Sifat dan Besarnya Pungutan, serta Tata Cara Penyetoran dan Pelaporannya. Selanjutnya, sebagai upaya untuk meningkatkan penerimaan PPh telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 tanggal 16 April 1996, tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan, yang telah ditindak lanjuti dengan diterbitkannya Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 394 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Pembayaran dan Pemotongan Pajak Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan. Dalam peraturan tersebut ditetapkan bahwa penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan sehubungan dengan persewaan tanah, rumah, apartemen, dan sejenisnya, ditetapkan terutang pajak penghasilan yang bersifat final. Selain itu juga telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1996 tanggal 8 Juli 1996 tentang Pajak Penghasilan Berupa Bunga atau Diskonto Obligasi yang dijual di Bursa Efek. Berdasarkan Peraturan Pemerintah tersebut, penghasilan berupa bunga diskonto yang berasal Dari obligasi yang dijual di bursa efek dipotong pajak penghasilan yang bersifat final. Sementara itu, dalarn rangka mendorong pemulihan kondisi perekonomian Indonesia, dipanuang perlu untuk memberikan kemudahan perpajakan bagi sektor-sektor perbankan, perdagangan, industri, dan jasa. Untuk itu, telah diterbitkan Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 130 Tahun 1998 tanggal 27 Februari 1998 tentang Penghapusan Piutang tak Tertagih, di mana pengusaha kena pajak dapat memberlakukan piutang yang tidak dapat ditagih sebagai biaya usaha sesuai biuang Departemen Keuangan Republik Indonesia 49 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 usaha Dari masing-masing wajib pajak yang bersangkutan. Dalarn rangka memperlancar pelaksanaan proyek-proyek pemerintah yang dibiayai dengan dana pinjarnan luar negeri atau hibah, telah diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1998 yang merupakan perubahan dari Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1995 tentang Bea Masuk, Bea Masuk Tarnbahan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan Pajak Penghasilan Dalarn Rangka Pelaksanaan Proyek Pemerintah yang Dibiayai dengan Hibah atau Dana Pinjaman Luar Negeri. Peraturan Pemerintah tersebut mengatur tentang pemberian fasilitas PPh ditanggung pemerintah, yang diberikan kepada karyawan asing yang bekerja pada kontraktor, konsultan, dan pemasok utama atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam rangka pelaksanaan proyek pemerintah yang dibiayai dengan hibah. Selain itu, fasilitas tersebut juga berlaku bagi penghasilan kontraktor, konsultan, dan pemasok lapisan kedua yang diperoleh dari pekerjaan yang dilakukan dalam rangka proyek pemerintah yang dibiayai dengan hibah. Dalam empat tahun pertama pelaksanaan Repelita VI, penerimaan PPh meningkat ratarata 14,9 persen per tahun. Seuangkan dalam tahun terakhir Repelita VI (1998/1999) penerimaan PPh diperkirakan 9,2 persen lebih rendah dari perkiraan realisasi tahun anggaran sebelumnya. 2.2.2.2.2 Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM) Penerimaan pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah (PPN dan PPnBM) berkaitan erat dengan kondisi ekonomi yang berlaku, seperti produksi nasional (produk domestik bruto) dan pertumbuhannya, tingkat harga umum dan perubahannya, serta nilai tukar rupiah terhadap valuta asing. Faktor-faktor tersebut menentukan penerimaan PPN dan PPnBM melalui pengaruhnya pada nilai transaksi penyerahan barang dan jasa yang merupakan objek PPN dan PPnBM. PPN dikenakan atas transaksi penyerahan barang dan jasa kena pajak dengan tarif 10 persen, seuangkan atas ekspor tarifnya 0 persen. Sementara itu, penyerahan barang yang tergolong mewah merupakan objek PPnBM yang tarifnya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1994 tanggal 28 Desember 1994 Sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1996 tanggal l9 Februari 1996. Peraturan Pemerintah tersebut mengatur bahwa tarif PPnBM adalah 20 persen, 25 persen, dan 35 persen untuk objek kendaraan Departemen Keuangan Republik Indonesia 50 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 bermotor sesuai dengan tingkat kemewahannya, sementara untuk objek bukan kendaraan bermotor adalah 10 persen, 20 persen, dan 35 persen. Selanjutnya dalam rangka meningkatkan penerimaan PPN dan PPnBM dalam tahun anggaran 1998/1999 telah dilaksanakan kebijaksanaan pengenaan PPN dan PPnBM atas mobil nasional, pengenaan PPN dan PPnBM atas jasa sertifikasi, pencabutan pemberian fasilitas impor atas barang modal dalam rangka usaha penyediaan tenaga listrik oleh swasta, pencabutan fasilitas PPN atas impor kendaraan taksi, serta pengurangan jumlah barang kena pajak yang atas penyerahannya diberikan fasilitas PPN ditanggung pemerintah. Sementara itu, dalam rangka mendorong kegiatan ekonomi dan penerimaan perpajakan antara lain telah dilakukan kebijaksanaan tidak terutangnya PPN atas penyerahan buah kelapa dan kemiri sampai dengan tahap pengeringan (dan kelapa sampai menjadi kopra). Selain itu juga telah dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 89 Tahun 1996 tentang Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET), yang mengatur tentang pemberian fasilitas kepada pengusaha yang melakukan kegiatan usaha di dalam KAPET, berupa tidak dipungutnya PPN dan PPnBM atas transaksi penyerahan barang kena pajak tertentu. Untuk efektifnya upaya peningkatan PPN dan PPnBM, di samping kebijaksanaan tersebut juga dilakukan upaya peningkatan penyuluhan dan pelayanan kepada wajib pajak, konfirmasi faktur pajak, uji silang antara data PPN dengan data PPh, pemeriksaan sederhana lapangan terhadap pengusaha yang tidak melaporkan kegiatan usahanya untuk dikukuhkan menjadi pengusaha kena pajak (PKP), serta PKP yang SPT masanya memenuhi kriteria pemeriksaan sederhana lapangan. Kebijaksanaan tersebut danukung oleh pelaksanaan pemeriksaan kantor, dengan meneliti SPT PPN dan dokumen-dokumen pendukungnya untuk mengetahui apakah wajib pajak yang bersangkutan masih memiliki kewajiban PPN. Selanjutnya, kebijaksanaan lain yang mampu meningkatkan penerimaan adalah peningkatan kerjasama dengan instansi-instansi terkait, dalam rangka melakukan pemeriksaan sederhana lapangan/kantor, untuk menguji kepatuhan PKP. Dalam perkembangannya, penerimaan PPN dan PPnBM senantiasa meningkat Dari tahun ke tahun. Dalam empat tahun pertama pelaksanaan Repelita VI, penerimaan PPN dan PPnBM mengalami pertumbuhan rata-rata 14,0 persen per tahun. Dalam tahun anggaran 1998/1999, penerimaan PPN dan PPnBM direncanakan 18,1 persen lebih tinggi bila Departemen Keuangan Republik Indonesia 51 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 dibandingkan dengan perkiraan realisasi tahun anggaran 1997/1998. Dalam tahun tersebut peran penerimaan PPN dan PPnBM terhadap penerimaan perpajakan adalah 39,7 persen. 2.2.2.2.3 Pajak Bumi dan Bangunan dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (PBB dan BPHTB) Pajak bumi dan bangunan (PBB) merupakan pungutan yang dikenakan atas tanah dan bangunan yang danirikan di atasnya. Hasil pungutan tersebut, 90 persen dikembalikan kepada daerah setempat melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) tingkat I 16,2 persen, dan APBD tingkat II 64,8 persen. Seuangkan sisanya, 9 persen digunakan sebagai upah biaya pungut. Sementara itu, bagian pemerintah pusat yang mencapai 10 persen, sejak tahun 1994 telah dialokasikan kembali kepada daerah dengan perincian 65 persen dibagikan secara merata kepada Dati II, seuangkan 35 persen dialokasikan sebagai insentif kepada Dati II yang realisasi penerimaan PBB tahun anggaran sebelumnya berhasil mencapai/melampaui rencana penerimaan yang telah ditetapkan. Peraturan yang mendasari pungutan PBB adalah Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994, tentang Perubahan alas Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan. Kebijaksanaan yang ditempuh dalam mengembangkan jenis pajak langsung ini, tidak semata-mata ditujukan untuk menghimpun penerimaan negara, namun juga diarahkan untuk mencapai sasaran pemerataan, terutama untuk membantu kelompok masyarakat yang kurang mampu. Untuk itu hingga tahun anggaran 1998/1999, ketentuan besarnya nilai jual obyek pajak tidak kena pajak (NJOP- TKP) yaitu Rp 8.000.000 untuk setiap wajib pajak, masih tetap dipertahankan. Dengan demikian, masyarakat yang memanfaatkan tanah dan bangunan yang nilainya tidak lebih Dari Rp 8.000.000, dibebaskan dari kewajiban membayar PBB. Sementara itu, berkaitan dengan upaya meningkatkan penerimaan jenis pajak ini, maka program ekstensifikasi di biuang pemungutan PBB dilakukan dengan memperluas objek pajak, yakni dengan dikenakannya pajak bumi dan bangunan atas tanah dan bangunan milik perguruan tinggi swasta, serta rumah sakit swasta yang beroperasi secara komersial. Kebijaksanaan tersebut dituangkan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 796 Tahun 1993. Di samping itu, bagi objek-objek pajak bumi dan bangunan yang mempunyai karakteristik khusus seperti bandar udara, pelabuhan laut, lapangan golf, pabrik-pabrik, dan industri-industri dilakukan penilaian secara kasus per kasus. Departemen Keuangan Republik Indonesia 52 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Selanjutnya dalam rangka memperluas objek pajak yang berkaitan dengan perolehan hak atas tanah dan bangunan, sejak 1 Juli 1998 diberlakukan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Bea tersebut merupakan jenis penerimaan pajak baru yang dikenakan atas nilai perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan yang meliputi pemindahan hak dan pemberian hak baru. Dalam Undang-undang tersebut juga diatur bahwa tarifnya adalah 5 persen dari nilai perolehan objek pajak, yang melebihi nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak (NPOPTKP) sebesar Rp 30 juta. Dalam upaya melaksanakan program intensifikasi pemungutan pajak bumi dan bangunan, telah dilakukan upaya penagihan tunggakan secara lebih aktif disertai peningkatan pelayanan kepada wajib pajak, pemantapan sistem tempat pembayaran (Sistep), pengembangan sistem manajemen informasi objek pajak (Sismiop), dan peningkatan jumlah serta kemampuan aparat pajak. Selain itu upaya intensifikasi pemungutan pajak juga dilakukan dengan meningkatkan kepatuhan dan kesadaran wajib pajak serta kerja sama dengan Pemerintah Daerah tingkat II. Realisasi penerimaan PBB dalam kurun waktu empat tahun pertama pelaksanaan Repelita VI menunjukkan pertumbuhan 17,2 persen per tahun. Sementara itu dalam APBN tahun anggaran 1998/1999 sasaran penerimaan PBB dan BPHTB dianggarkan 28,5 persen lebih tinggi dari perkiraan realisasi tahun anggaran sebelumnya. 2.2.2.2.4 Cukai Kebijaksanaan pemungutan cukai tidak semata-mata dilaksanakan untuk mengisi kas negara (fungsi budgeter) , tetapi juga bertujuan sebagai alat pengatur dalam rangka perlindungan bagi masyarakat. Pengawasan dan penerapan sanksi untuk menjamin ditaatinya ketentuan tersebut diatur dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai. Berdasarkan peraturan tersebut tarif maksimum cukai adalah 250 persen apabila harga dasarnya adalah harga jual pabrik, atau 55 persen apabila harga dasarnya adalah harga jual eceran. Dengan demikian, peranan tarif tersebut tidak saja berorientasi pada aspek penerimaan, melainkan mempertimbangkan pula aspek pembatasan produksi dan konsumsi. Seuangkan dasar perhitungan besarnya penerimaan cukai tergantung dari jumlah barang kena cukai, tarif, dan harga dasar, sehingga apabila di antara ketiga unsur tersebut ada yang berubah, maka jumlah penerimaan cukai juga akan ikut terpengaruh.. Departemen Keuangan Republik Indonesia 53 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Sementara itu, dalam rangka meningkatkan penerimaan cukai, dalam tahun anggaran 1998/1999 pemerintah telah melakukan perubahan harga jual eceran barang kena cukai. Di samping itu, Pemerintah juga memberikan pembebasan cukai atas barang-barang untuk keperluan tertentu, seperti untuk pengembangan ilmu pengetahuan, pencegahan pencemaran lingkungan, serta pengembalian cukai apabila barang tersebut diekspor. Dalam rangka mengendalikan dan membatasi jumlah konsumsi produk hasil tembakau, dalam tahun anggaran 1998/1999 telah diberlakukan ketentuan pemungutan cukai hasil tembakau melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 118 Tahun 1998 tentang Penetapan Tarif Cukai dan Harga Dasar Hasil Tembakau yang berlaku mulai 1 April 1998. Dalam pelaksanaannya, keputusan tersebut telah ditindaklanjuti dengan Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai yang terakhir melalui Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor 55 Tahun 1998 tentang Penetapan Harga Jual Eceran Hasil Tembakau yang berlaku mulai bulan Oktober 1998. Seuangkan untuk hasil tembakau jenis sigaret putih mesin (SPM), diatur berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 445 Tahun 1998 tentang Penetapan Tarif Cukai Khusus Hasil Tembakau Jenis Sigaret Putih Mesin. Dalam rangka penyesuaian terhadap perkembangan industri hasil tembakau, telah dikeluarkan Keputusan Dirjen Bea dan Cukai Nomor 55 Tahun 1998 tentang Perubahan Pasal 4 Ayat (2), Ayat (3), dan Ayat (4) serta Pasal 6 Ayat (1) dan Ayat (2) Keputusan Dirjen Bea dan Cukai Nomor 16 Tahun 1998 tentang Penetapan Harga Jual Eceran Hasil Tembakau, yang mulai berlaku sejak 1 Oktober 1998. Berdasarkan surat keputusan tersebut, telah ditetapkan harga jual eceran (HJE) minimum untuk jenis sigaret kretek yang dibuat dengan mesin (SKM), dibuat dengan tangan (SKT), rokok kelobot (KLB), dan rokok kelembak menyan (KLM). Untukjenis rokok SKM yang dibuat di dalam negeri digolongkan menjadi 4 golongan pabrik yaitu pabrik besar, menengah, menengah kecil dan pabrik kecil. Untuk golongan pabrik besar dengan total produksi satu tahun takwim lebih Dari 5 miliar batang ditetapkan harga jual eceran (HJE) minimum Rp 225 per batang dengan tacit 36 persen. Untuk pabrik menengah, dengan total produksi satu tahun takwim lebih Dari 2,5 miliar sampai dengan 5 miliar batang ditetapkan HJE minimum Rp 175 per batang tarifnya 28 persen. Kemudian pabrik menengah kecil, yaitu pabrik dengan total produksi satu tahun takwim lebih Dari 1 miliar sampai dengan 2,5 miliar batang ditetapkan HJE minimum Rp 150 per batang dengan tarif 24 persen, dan untuk pabrik kecil, yaitu pabrik dengan total produksi satu tahun takwim sampai dengan 1 miliar batang ditetapkan HJE minimum Rp 110 Departemen Keuangan Republik Indonesia 54 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 per batang tarifnya 20 persen. Selanjutnya untuk harga jual eceran (HJE) minimum jenis sigaret kretek yang dibuat dengan tangan (SKT) dan jenis rokok kelobot (KLB) yang dibuat di dalam negeri digolongkan menjadi 4 golongan pabrik yaitu pabrik besar, pabrik menengah, pabrik kecil, dan pabrik kecil sekali. Untuk jenis SKT pada golongan pabrik besar, yaitu pabrik dengan produksi total satu tahun takwim lebih Dari 5 miliar batang ditetapkan HJE miniml.m Rp 150 per batang tarifnya 16 persen. Untuk golongan pabrik menengah, yaitu pabrik dengan produksi total satu tahun takwim lebih Dari 2,5 miliar sampai dengan 5 miliar batang ditetapkan HJE minimum Rp l00 per batang dengan tarif 8 persen. Untuk golongan pabrik kecil, yaitu pabrik dengan produksi total satu tahun takwim antara 0 sampai dengan 2,5 miliar batang ditetapkan HJE minimum Rp 75 per batang dengan tarif 2 persen, dan untuk pabrik kecil sekali, yaitu pabrik dengan produksi total satu tahun takwim sampai dengan 15 juta batang, ditetapkan HJE minimum Rp 55 per batang dengan tarif 2 persen. Seuangkan untuk jenis rokok kelobot (KLB) dan kelembak menyan (KLM) dengan penggolongan sama denganj enis SKT demikian pula HJE-nya, tarifnya masing-masing adalah 8 persen, 6 persen, 2 persen, dan 1 persen. Selanjutnya, untuk cerutu tarif cukainya 10 persen, seuangkan untuk jenis tembakau iris tarif cukainya bervariasi antara 1 sampai dengan 10 persen. Seuangkan untuk sigaret putih yang dibuat dengan mesin (SPM) tarifnya antara 20 persen sampai dengan 38 persen yang ditetapkan berdasarkan harga jual eceran. Sementara itu, hasil tembakau asal impor, untuk jenis SPM dan SKM tarifnya 38 persen, untuk SKT tarifnya 16 persen, dan untuk cerutu, tembakau iris, dan hasil tembakau lainnya masing-masing 10 persen. Realisasi penerimaan cukai dalam kurun waktu empat tahun pertama pelaksanaan Repelita VI, menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan, karena dalam setiap tahunnya, mengalami peningkatan rata-rata 15,1 persen. Sementara itu, dalam APBN tahun anggaran 1998/1999 penerimaan cukai dianggarkan 61,3 persen lebih tinggi Dari perkiraan realisasi tahun anggaran sebelumnya. Rincian perkembangan penerimaan cukai dapat diikuti pada Tabel 11.3. 2.2.2.2.5 Bea Masuk Pungutan Bea Masuk dilakukan berdasar Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan yang berlaku penuh mulai 1 April 1997. Dengan adanya pungutan tersebut, maka bea masuk selain berfungsi sebagai sumber penerimaan negara juga sebagai pengatur arus Departemen Keuangan Republik Indonesia 55 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 impor, baik untuk barang konsumsi maupun barang-barang yang diperlukan industri dalam negeri. Dengan demikian, penerimaan bea masuk tidak semata-mata ditujukan sebagai penerimaan untuk mengisi kas negara, tetapi juga berfungsi sebagai alat pengaturan (fasilitator). Besarnya penerimaan bea masuk dipengaruhi oleh tiga besaran, yaitu besarnya nilai devisa bayar (dutiable import), tarif bea masuk, dan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing, sehingga apabila salah satu komponen yang mempengaruhi penerimaan bea masuk tersebut berubah, jumlah penerimaannya akan berubah juga. Dalam empat tahun pertama pelaksanaan Repelita VI, penerimaan bea masuk mengalami penurunan rata-rata 8,5 persen per taboo. Kecenderungan menurunnya penerimaan bea masuk ini disebabkan oleh makin menurunnya tarif bea masuk sebagaimana tercantum dalam Paket Deregulasi Mei 1995 dan Faket Deregulasi Januari 1996. Kebijaksanaan ini kemudian disusul dengan adanya deregulasi yang tertuang dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 378 Tahun 1996 tentang Jadwal Penurunan Tarif Bea Masuk pada bulan Juni 1996 yang antara lain berupa penurunan tarif bea masuk secara terjadwal sampai dengan tahun 2003. Di samping itu, juga adanya perjanjian antara pemerintah Indonesia dengan negara-negara ASEAN dalam rangka Common Effective Preferential Tariff/or Asean Free Trade Area (CEPT for AFTA), dilanjutkan dengan kebijaksanaan penurunan tarif bea masuk atas 1.600 pos tarif pada bulan Juli 1997 dan 153 pos tarif pada bulan September 1997. Selanjutnya, untuk mengoptimalkan penerimaan bea masuk, berbagai upaya terus dilakukan diantaranya penerapan sistem self assessment, yaitu menghitung dan membayar sendiri bea masuk yang terutang dengan tetap memperhatikan ketentuan larangan dan pembatasan impor. Dengan kebijaksanaankebijaksanaan tersebut dalam APBN 1998/1999 penerimaan bea masuk dianggarkan 83,8 persen lebih tinggi dari perkiraan realisasi tahun anggaran sebelumnya. Departemen Keuangan Republik Indonesia 56 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel II.3 PENERIMAAN CUKAI, 1989/1990 - 1998/1999 I) (dalam miliar rupiah) Cukai Tahun tembakau (1) % Cukai lainnya % Cukai A% (7) (2) (3) (4) (5) (6) 1989/1990 1.398,1 94,3 84,1 5,7 1.482,2 1990/1991 1.713,8 95,2 86,0 4,8 1.799,8 21,4 1991/1992 1.703,3 88,9 211,7 11,1 1.915,0 6,4 1992/1993 2.116,4 94,4 125,2 5,6 2.241,6 17,1 1993/1994 2.470,4 94,1 155,4 5,9 2.625,8 17,1 1994/1995 2.647,5 84,0 505,8 16,0 3.153,3 20,1 1995/1996 3.451,2 96,1 141,5 3,9 3.592,7 13,9 1996/1997 REPELIT A V REPELITA VI 4.060,5 95,3 202,3 4,7 4.262,8 18,7 1997/1998 2) 4.610,7 95,9 196,4 4,1 4.807,2 12,8 1998/1999 3) 7.290,5 94,0 465,4 6,0 7.755,9 61,3 I) Realisasi PAN 2) APBN Perubahan (APBN-P) 3) APBN Departemen Keuangan Republik Indonesia 57 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 2.2.2.2.6 Pajak Lainnya Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1995 tanggal l Mei 1995 tentang Perubahan Tarif Bea Meterai diatur bahwa bea meterai Rp 2.000 dikenakan atas surat perjanjian dan surat lainnya yang digunakan untuk alat pembuktian yang bersifat perdata, akte notaris dan salinannya, serta akte pejabat pembuat akta tanah (PPAT) dan rangkapnya. Selain itu bea meterai Rp 2.000 juga dikenakan atas dokumen dan surat lainnya yang nilai nominalnya lebih Dari Rp 1.000.000. Seuangkan apabila nilai nominalnya antara Rp 250.000 sampai dengan Rp 1.000.000, serta cek dan bilyet giro, bea meterai yang dikenakan adalah Rp 1.000. Sementara itu, untuk dokumen dan surat lainnya yang nilai nominalnya kurang Dari Rp 250.000 tidak terutang bea meterai. Sampai dengan tahun anggaran 1996/1997, penerimaan pajak lainnya bersumber dari bea lelang dan bea meterai, namun demikian sejak tahun anggaran 1997/1998 hanya bersumber Dari bea meterai, karena bea lelang dimasukkan ke dalam penerimaan bukan pajak. Dalam empat tahun pertama pelaksanaan Repelita VI, penerimaan pajak lainnya mengalami pertumbuhan rata-rata 20,6 persen per tahun. Dalam tahun anggaran 1998/1999 penerimaan pajak lainnya diperkirakan men gal ami kenaikan 1,9 persen dari perkiraan realisasi tahun anggaran sebelumnya. Untuk mencapai sasaran tersebut, kebijaksanaan yang ditempuh adalah pencegahan beredamya meterai palsu dengan cara meningkatkan kualitas meterai, dan peningkatan pengawasan atas pemakaian benda meterai, mesin teraan meterai, serta pencetakan tanda tunas bea meterai. 2.2.2.2.7 Pajak Ekspor Pengaturan tarif pajak ekspor atas beberapa komoditi tertentu ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 241 Tahun 1998 tentang Penetapan Besarnya Tarif dan Tata Cara Pembayaran Serta Penyetoran Pajak Ekspor Atas Beberapa Komoditi Tertentu. Besarnya tarif rata-rata ditetapkan sebesar 30 persen, seuangkan untuk produk kelapa sawit dan turunannya, ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 334 Tahun 1998 tentang Penetapan Besarnya Tarif Pajak Ekspor Kelapa Sawit, Minyak Sawit, Minyak Kelapa, dan Produk Turunannya ditetapkan antara 15 persen sampai dengan 60 persen yang dihitung Dari besarnya harga patokan ekspor, dan nilai tukar valuta asing. Kebijaksanaan yang ditempuh dalam pungutan atas ekspor produk kelapa sawit tersebut bertujuan untuk mengendalikan harga jual minyak goreng di dalam negeri, agar tidak terjadi peningkatan harga yang terlalu besar. Departemen Keuangan Republik Indonesia 58 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Dalam empat tahun pertama pelaksanaan Repelita VI, penerimaan pajak ekspor mengalami penurunan rata-rata 1,3 persen per tahun. Sementara itu dalam APBN tahun anggaran 1998/1999 penerimaan pajak ekspor dianggarkan 651,8 persen lebih tinggi dari perkiraan realisasi tahun anggaran sebelumnya. Perkembangan penerimaan perpajakan selengkapnya dapat diikuti pada Tabel 11.4. Tabel 11.4 PENERIMAAN PERPAJAKAN, 1989/1990 - 1998/19991) (dalam miliar rupiah) Tahun Pajak Pajak Pertambahan Bea Cukai Pajak Pajak Jumlah Penghasilan Nilai Masuk (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) 1989/1990 5.754,8 5.986, I 1.892,2 1.482,2 173,3 604,4 191, I 16.084, I 1990/1991 8.250,0 8.119,2 2.799,8 1.799,8 39,8 785,8 216,5 22.010,9 (I) Ekspor Pajak Bumi 2) dan Bangunan Lainnya 3) REPELITA V 1991/1992 9.727,0 9.145,9 2.871,1 1.915,0 17, I 944,4 298,8 24.919,3 1992/1993 12.516,3 10.742,3 3.223,3 2.241,6 8,8 1.l06,8 252,4 30.091,5 1993/1994 14.758,9 13.943,5 3.555,3 2.625,8 13,7 1.484,5 283,4 36.665, I 1994/1995 18.764,1 16.544,8 3.900,1 3.153,3 130,6 1.647,3 301,9 44.442, I 1995/1996 21.012,0 18.519,4 3.029,4 3.592,7 186,1 1.893,9 452,8 48.686,3 1996/1997 27.062, I 20.351,2 2.578,9 4.262,8 '81,0 2.413,2 590,7 57.339,9 1997/19984) 28.458,2 24.50 1,0 2.989,5 4.807,2 125,4 2.655,0 530,0 64.066,3 1998/19995) 25.846,2 28.940,0 5,494,9 7.755,9 942,8 3.411,0 540,0 72.930,8 REPELITA VI l) Realisasi PAN 2) Sejak tahun 1998/1999 termasuk BPHTB 3) Terdiri Dari penerimaan rea meterai dan rea lelang, sejak tahun 1997/1998 hanxa bea meterai 4) APBN Perubahan (APBN-P) 5) APBN Departemen Keuangan Republik Indonesia 59 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 2.2.2.3 Penerimaan Negara Bukan Pajak Sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, yang kemudian ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1997 tentang Jenis dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak, Pemerintah terus melakukan inventarisasi, penertiban, dan penetapan jenis-jenis pungutan yang dikategorikan sebagai penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Di samping im, telah pula dilakukan penyempurnaan berbagai peraturan yang berkaitan dengan penggunaan PNBP yang diselaraskan dengan mekanisme APBN. Dengan upaya tersebut, PNBP diharapkan semakin mampu memberikan sumbangan yang lebih besar dalam pembiayaan pembangunan. Upaya peningkatan PNBP yang berasal dari penerimaan departemen lembaga pemerintah non departemen ditempuh melalui penyempurnaan administrasi, intensifikasi pemungutan serta peningkatan pengawasan di dalam pelaksanaannya. Seuangkan PNBP yang berasal dari bagian pemerintah atas laba BUMN, terus dilakukan langkah-langkah untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas BUMN. Tinggi rendahnya penerimaan negara bukan pajak sangat dipengarnhi oleh perkembangan kondisi perekonomian nasional, serta upaya-upaya untuk peningkatannya. Data historis menunjukkan bahwa realisasi penerimaan negara bukan pajak senantiasa mengalami peningkatan yang cukup besar. Dalam tiga tahun pertama pelaksanaan Repelita VI, realisasi penerimaan negara bukan pajak meningkat rata-rata 25,6 persen per tahun. Seuangkan dalam tahun anggaran 1997/1998 realisasi penerimaannya mengalami penurunan 13,7 persen dibandingkan dengan realisasi tahun anggaran sebelumnya. Menurunnya realisasi PNBP tersebut antara lain disebabkan menurunnya penerimaan jasa lembaga keuangan jasa giro), pendapatan biaya pengurusan piutang negara, penerimaan jasa kantor catatan sipil, bea konsuler, dan penerimaan luran lelang. Di samping itu penurunan tersebut juga tidak terlepas dari pengaruh gejolak moneter yang dimulai sejak bulan Juli 1997. Namun demikian jika dibandingkan dengan APBN-nya, realisasi PNBP tersebut mengalami peningkatan 6,5 persen. Hal ini disebabkan oleh lebih tingginya penerimaan departemen lembaga negara non departemen dari yang direncanakan, karena adanya penyesuaian tarif pungutan, dan peningkatan pengawasan dalam hal penyetorannya ke kas negara. Seuangkan dalam APBN 1998/1999 penerimaan negara bukan pajak direncanakan meningkat 204,3 persen Dari perkiraan realisasi tahun anggaran sebelumnya berkenaan dengan adanya rencana privatisasi beberapa BUMN. Departemen Keuangan Republik Indonesia 60 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Sebelum diberlakukannya Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997, peranan penerimaan negara bukan pajak terhadap penerimaan dalam negeri dalam tahun pertama Repelita VI (1994/1995) baru mencapai sebesar 9,7 persen. Dengan diberlakukannya Undangundang Nomor 20 Tahun 1997 secara bertahap, maka peranan PNBP diharapkan akan lebih mampu memberikan sumbangan yang lebih besar dalam mendukung pembiayaan pembangunan di masa-masa yang akan datang. Selanjutnya penerimaan dalam negeri yang meliputi penerimaan minyak bumi dan gas alam, penerimaan perpajakan, dan penerimaan bukan pajak dapat dilihat pada Tabel 11.5 dan Grafik 11.1. 2.2.3 Penerimaan Pembangunan Penerimaan pembangunan merupakan nilai lawan rupiah dari pinjaman luar negeri yang diterima dan kemudian digunakan untuk melengkapi pembiayaan pengeluaran dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Penerimaan pembangunan terdiri dari bantuan program dan bantuan proyek. Bantuan program dapat berupa nilai lawan bantuan luar negeri dalam bentuk barang-barang dan devisa kredit untuk impor yang dapat menghasilkan dana rupiah untuk membiayai proyek-proyek pembangunan, sebagaimana pemah diterima sebelum tahun 1988. Setelah tahun ini bantuan program juga dapat berupa bantuan program yang segera dapat dirupiahkan (fast disbursing assistance) sebagaimana yang diterima dalam tahun anggaran 1998/1999 baik yang berasal dari lembaga multilateral maupun bilateral. Seuangkan bantuan proyek merupakan bantuan atau pinjaman yang pada umumnya terikat dengan proyek-proyek tertentu. Bantuan ini pada umumnya berupa mesin-mesin dan barang-barang modal yang berasal dari bantuan kredit loaf negeri, termasuk pula bantuan teknis dalam rangka alih teknologi serta bantuan tenaga ahli dari luar negeri. Bantuan teknis tersebut dapat dimanfaatkan pula untuk pengiriman tenaga-tenaga Indonesia ke luar negeri guna danidik dalam biuang pengetahuan dan keterampilan tertentu, seminar, studi perbandingan dan lain sebagainya. Sementara itu, apabila dilihat dari sumbenya, maka penerimaan pembangunan ini dapat berupa bantuan bilateral maupun bantuan multilateral yang berasal dari negara-negara dan badan-badan internasional bark yang tergabung dalam CGI maupun non-CGI, serta bantuan lainnya seperti fasilitas kredit ekspor (FKE), dan pinjaman komersil yang di antaranya berupa obligasi dan leasing. Departemen Keuangan Republik Indonesia 61 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel II.5 PENERIMAAN DALAM NEGERI, 1989/1990 - 1998/19991) (dalam miliar rupiah) Penerimaan Tabon minyak bomi % dan gas alam (I) Penerimaan Penerimaan % perpajakan (2) bokan % pajak Penerimaan % dalam Negeri (3) (4) (5) (6) (7) (8) REPELITA V . 1989/1990 13.381,3 42,5 16.084,1 51,0 2.038,8 6,5 31.504,2 1990/1991 17.740,0 42,0 22.010,9 52,2 2.442,1 5,8 42.193,0 33,9 1991/1992 15.069,6 35,4 24.919,3 58,5 2.593,1 6,1 42.582,0 0,9 1992/1993 15.330,8 31,4 30.091,5 61,6 3.440,3 7,0 48.862,6 14,7 1993/1994 12.503,4 22,3 36.665,1 65,3 6.944,62) 12,4 56.113,1 14,8 1994/1995 13.537,4 20,4 44.442,1 66,9 8.438,52) 12,7 66.418,0 18,4 1995/1996 16.054,7 22,0 48.686,3 66,7 8.272,92) 11,3 73.013,9 9,9 1996/1997 20.137,1 23,0 57.339,9 65,4 10.153,3 11,6 87.630,3 20,0 1997/19983) 35.357,0 32,7 64.066,3 59,2 8.760,52) 8,1 108.183,8 23,5 1998/1999 4) 49.711,4 33,3 72.930,8 48,8 26.660,32) 17,9 149.302,5 38,0 REPELITA VI 1) Realisasi PAN 2) Termasuk LBM 3) APBN Perubahan (APBN-P) 4) APBN Departemen Keuangan Republik Indonesia 62 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Departemen Keuangan Republik Indonesia 63 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Kebijaksanaan penerimaan pembangunan berpedoman kepada kebijaksanaan umum yang digariskan dalam garis-garis besar haluan negara (GBHN), yaitu pinjaman luar negeri diupayakan memiliki persyaratan selunak mungkin, tidak disertai dengan ikatan politik, disesuaikan dengan batas kemampuan untuk membayar kembali, dan tidak memberatkan perekonomian. Adapun di dalam pelaksanaannya pengelolaan dana. yang bersumber dari luar negeri tersebut, mulai dari perencanaan hingga pemantauannya berpedoman pada Keputusan Bersama antara Menteri Keuangan dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas Nomor 185/KMK.O3/1995 dan Nomor Kep.O31/Ket/5/1995 tentang Tata Cara Perencanaan, PelaksanaanIPenatausahaan, dan Pemantauan Pinjaman/Hibah Luar Negeri Dalam Rangka Pelaksanaan APBN. Realisasi penerimaan pembangunan dalam tahun terakhir Repelita V, yang sekaligus merupakan tahap terakhir PIP I, mencapai Rp 10.752,5 miliar dan membiayai sekitar 38 persen dari pembiayaan pembangunan. Selanjutnya sejalan dengan meningkatnya kemampuan pengerahan dana dalam negeri, dalam dua tahun pertama pelaksanaan Repelita VI, realisasi penerimaan pembangunan masing-masing membiayai sekitar 32 persen dan 31 persen dari pembiayaan pembangunan. Seuangkan dalam tahun anggaran 1996/1997 realisasi penerimaan pembangunan membiayai sekitar 33 persen pembiayaan pembangunan. Sementara itu, dalam tahun anggaran 1997/1998 realisasi penerimaan pembangunan diperkirakan membiayai sekitar 51 persen pembiayaan pembangunan. Peningkatan yang cukup tajam tersebut terutama dikarenakan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika. Penerimaan pembangunan dalam tahun terakhir Repelita V hingga tahun 1997/1998 ini seluruhnya berupa bantuan proyek. Selanjutnya penerimaan pembangunan dalam tahun anggaran 1998/1999 yang merupakan tahun terakhir Repelita VI dianggarkan Rp 114.585,6 miliar, terdiri dari bantuan program Rp 74.044,7 miliar dan bantuan proyek Rp 40.540,9 miliar. Bantuan program yang segera dapat dirupiahkan ini di antaranya berasal Dari IBRD berupa bantuan untuk menunjang penyempumaan berbagai kebijaksanaan (Policy Reform Support Loan l) dan dari ADB berupa bantuan program pembangunan pengelolaan sektor keuangan pemerintah (Financial Governance Reform Sector Development Program) dan bantuan untuk mendukung pembangunan sektor perlindungan sosial (Social Protection Sector Development Program). Rincian perkembangan penerimaan pembangunan sejak tahun anggaran 1989/1990 sampai dengan tahun anggaran 1998/1999 dapat Departemen Keuangan Republik Indonesia 64 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 dilihat pada Tabel 11.6. 2.2.4 Pengeluaran Rutin Kebijakan pengeluaran rutin danasarkan pada prinsip efisiensi dalam pengelolaan dan pengendalian, serta optimalisasi pengalokasian anggaran belanja negara dan selaras dengan kebutuhan pembiayaan bagi pelaksanaan kegiatan operasional pemerintah. Hal itu dimaksudkan agar pelaksanaan alokasi anggaran belanja rutin tetap mengacu pada sasaran pokoknya, yaitu penyelenggaraan kegiatan operasional pemerintahan dan pemeliharaan hasil-hasil pembangunan secara optimal. Pengalokasian pengeluaran rutin pada setiap jenis pengeluaran senantiasa diselaraskan dengan kemampuan penerimaan dalam negeri dengan tetap mengupayakan peningkatan efisiensi dan efektivitas, serta peningkatan mutu pelayanan kepada masyarakat. Untuk itu, langkah-Iangkah pengendalian dan penghematan pengeluaran rutin yang selama ini dijalankan tetap dipertahankan, tanpa mengorbankan efektivitas pelaksanaan administrasi dan roda pemerintahan. Selanjutnya terus dilakukan berbagai upaya penyempurnaan pengelolaan pengeluaran rutin yang meliputi peningkatan daya guna dan hasil guna aparatur pemerintah, pengendalian dan pemanfaatan biaya operasional dan pemeliharaan, serta pengurangan secara bertahap berbagai macam subsidi yang dipanuang dari segi prioritas pembangunan tidak diperlukan lagi. Namun demikian sejalan dengan perkembangan organisasi, tugas dan fungsi pemerintah dalam rangka melaksanakan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan, pengeluaran rutin dalam APBN senantiasa mengalami peningkatan. Dalam Repelita VI, pengeluaran rutin yang terus meningkat, erat kaitannya dengan semakin besarnya kebutuhan pembiayaan yang diperlukan bagi belanja pegawai pusat dan daerah, pembiayaan operasional dan pemeliharaan, pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri, serta kebutuhan dana subsidi dalam rangka menjaga kestabilan perekonomian nasional. Sejak tahun anggaran 1994/1995 - 1997/1998 pengeluaran rutin mengalami peningkatan ratarata 24,3 persen per tahun. Sementara itu, dalam tahun terakhir Repelita VI (1998/1999), anggaran belanja rutin meningkat 102,4 persen dari tahun anggaran sebelumnya. Peningkatan yang cukup tinggi dalam APBN 1998/1999 berkaitan dengan merosotnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, terutama dolar Amerika dan perkiraan laju inflasi yang tinggi, sehingga diperlukan penyediaan anggaran rutin yang cukup besar bagi berbagai pos pembiayaan, seperti pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri, subsidi BBM, subsidi pangan, serta berbagai pos pembiayaan baru untuk memperkuat program jaring pengaman sosial Departemen Keuangan Republik Indonesia 65 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 (social safety net). Perkembangan anggaran belanja rutin secara rinci sejak tahun anggaran 1989/1990 sampai dengan tahun anggaran 1998/1999 dapat diikuti dalam Tabel 11.7 dan Grafik 11.2. Tabel 11.6 PENERIMAAN PEMBANGUNAN, 1989/1990 - 1998/1999 (dalam miliar rupiah) Tahun Bantuan % program (1) Bantuan % proyek Penerimaan % Pembangunan (2) (3) (4) (5) (6) (7) 1989/1990 965,8 11,6 7.364,5 88,4 8.330,3 1990/1991 1.346,7 16,1 7.034,8 83,9 8.381,5 0,6 1991/1992 1.385,5 13,9 8.589,6 86,1 9.975,1 19,0 199211993 516,5 4,7 10.581,4 95,3 11.097,9 11,3 1993/1994 - - 10.752,5 100,0 10.752,5 - 3,1 1994/1995 - - 9.837,8 100,0 9.837,8 -8,5 1995/1996 - - 9.008,8 100,0 9.008,8 -8,4 1996/1997 - - 11.900,1 100,0 11.900,1 32,1 1997/19982) - - 23.817,0 100,0 23.817,0 100,1 1998/1999 3) 74.044,7 64,6 40.540,9 35,4 114.585,6 381,1 REPELITA V REPELIT A VI I) Realisasi PAN 2) APBN Perubahan (APBN-P) 3) APBN Departemen Keuangan Republik Indonesia 66 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel 11.7 PENGELUARAN RUTIN, 1989/1990 -1998/1999 I) (dalam miliar rupiah) Repelita V JeDis Pemblayaan Repelita VI 1989/1990 1991111991 1991/1992 1991/1993 1993/1994 (1) (2) (3) 1994/1995 1995/1996 199611997 1997/19982) 1998/19993) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) I.BeIanJa pegawai 6.205,5 7.088,0 8.169,7 9.554,2 11.144,8 12.595,5 13.001,4 14.455,2 19.175,1 24.781,4 I. Gajilpensiun 4.829,1 5.597,7 6.351,5 7.595,4 9.145,2 10.181,2 11.047,9 13.004,5 15.236,4 19.120,0 2. Tunjangan beras 588,8 642,9 930,0 890,9 833,9 973,2 733,5 767,7 916,0 1.872,4 3. Uang makanllauk pauk 373,3 383,6 396,5 479,2 492,8 755,6 560,1 100,7 1.199,2 1.484,4 4. Lain-lain belanja pegawai DN 242,8 264,9 280,9 315,0 417,7 368,3 369,8 479,5 792,4 1.154,6 5. Belanja pegawai LN 171,5 198,9 210,8 273,7 255,2 317,2 290,1 102,8 1.031,1 1.150,0 1.703,5 1.842,t 2.328,1 2.928,5 3.032,1 4.318,9 5.175,1 8.108,5 9.031,9 11.425,1 1.570,8 1.680,7 2.175,8 2.731,2 2.847,5 4.101,4 4.875,5 7.824,5 8.274,5 10.059,7 132,7 161,4 152,3 197,3 184,6 217,5 299,6 284,0 757,4 1.365,4 Ill. Subsidi daerah otonom 3.577,3 3.887,5 4.376,4 5.383,5 6.9Os,7 .7.272,4 8.226,6 9.357,5 9.872,2 13.289,7 I. Belanja pegawai 3.348,3 3.635,0 4.091,8 4.996,4 6.574,8 6.918,9 7.807,2 8.873,8 9.346,6 12.606,5 229,0 252,5 284,6 387,1 333,9 353,5 419,4 483,7 525,6 683,2 12.815,8 12.838,2 14.523,5 17.163,0 18.402,5 22.108,6 27.491,2 29.697,0 66.236,4 ll. BelanJa barang I. Belanja barang DN 2. Belanja barang LN 2. Belanja nonpegawai IV. Bunga dan ddlan hutang I. Hutang dalam negeri 2. Hutang luar negeri V. Pengeluaran rutin lainnya 1. Subsidi BBM 2. Subsidi nonBBM 3. Lain-lain mumi Jumlah , 11.924,2 148,6 11.775,6 275,0 120,7 104,1 1.619,6 4.589,2 1.639,7 1.940,1 12.577,1 12.598,0 14.248,5 238,7 240,2 17.042,3 18.298,4 20.489,0 22.902,0 28.057,3 64.296,3 1.923,3 3.148,7 16.830,0 55.472,5 - 1.416,1 15.866,1 27.534,0 924,7 3.487,7 1.340,6 1.215,7 2.041,3 1.479,7 707,3 3.305,7 929,9 691,8 1.279,9 686,8 - - 217,4 182,0 24.335,2 410,7 - - - 523,9 761,4 792,9 29.121,1 29.053,0 33.605,4 40.289,9 44.069,0 - - 1.923,3 1.732,6 50.435,0 62.561,1 - 25.193,3 963,9 2.745,2 84.606,2 171.205,1 1) Realisasi PAN 2) APBN Perubahan (APBN-P) 3) APBN Departemen Keuangan Republik Indonesia 67 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Departemen Keuangan Republik Indonesia 68 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 2.2.4.1 Belanja Pegawai Salah satu alokasi pengeluaran rutin yang cukup besar digunakan untuk belanja pegawai, terutama berkaitan dengan upaya peningkatan kesejahteraan pegawai negeri sipil, anggota ABRI dan para pensiunan. Namun demikian, sesuai dengan arah kebijakan pengeluaran rutin, dukungan pembiayaan tersebut tetap danasarkan kepada kemampuan keuangan negara dan ditekankan pada upaya peningkatan efisiensi dan efektivitas secara lebih optimal. Upaya peningkatan efisiensi dilaksanakan antara lain melalui perampingan organisasi dan penerapan kebijakan tanpa pertumbuhan (zero growth). Upaya perampingan organisasi antara lain dilakukan melalui penataan kembali struktur organisasi agar lebih proporsional, dan sesuai dengan misi dan tugas pokok yang diemban masing-masing departemen/lembaga pemerintah nondepartemen (LPND). Seuangkan kebijakan zero growth merupakan kebijakan pengendalian jumlah pegawai negeri dengan mengupayakan agar secara keseluruhan jumlah pegawai tidak bertambah. Penerapan kebijakan zero growth yang diikuti dengan penetapan persyaratan kualifikasi sesuai dengan kebutuhan, diharapkan dapat memperlancar proses realokasi, optimalisasi dan upaya peningkatan kualitas pegawai, sehingga tercipta komposisi pegawai yang sehat bagi pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan pembangunan. Selain itu, penerapan kebijakan tersebut juga selaras dengan upaya penciptaan organisasi/birokrasi pemerintahan yang bersih dan transparan, serta mampu menjalankan roda pemerintahan secara efisien dan efektif, dan memberi pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dengan diterapkannya berbagai kebijakan tersebut selain diharapkan dapat menghemat anggaran belanja negara, sekaligus juga untuk mendukung upaya peningkatan kesejahteraan aparatur pemerintah di masa yang akan datang. Upaya peningkatan kesejahteraan pegawai, tidak hanya dilakukan melalui kebijakan kenaikan gaji, tetapi juga dilakukan melalui penyempumaan pada aspek ketatalaksanaan yang dapat meningkatkan efisiensi pelayanan administrasi kepegawaian. Dengan demikian, kebijakan peningkatan kesejahteraan pegawai tidak hanya menyangkut aspek finansial, tetapi juga aspek nonfinansial. Peningkatan kesejahtefaan secara finansial dilakukan secara bertahap dalam bentuk peningkatan penghasilan, antara lain berupa perbaikan struktur gaji pokok, pemberian Departemen Keuangan Republik Indonesia 69 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 gaji bulan ketiga belas, pemberian tunjangan perbaikan penghasilan (TPP), penyesuaian tunjangan jabatan struktural dan tunjangan isteri/suami, serta perluasan pemberian tunjangan fungsional dan tunjangan daerah terpencil. Seuangkan peningkatan kesejahteraan secara nonfinansial dilakukan dalam bentuk pemberian kemudahan dan fasilitas yang secara langsung berkaitan dengan peningkatan kualitas kesejahteraan, seperti peningkatan pelayanan pemberian pensiun otomatis, kenaikan pangkat otomatis pada pegawai tertentu, bantuan pemeliharaan kesehatan melalui asuransi kesehatan, peningkatan penyelenggaraan pembayaran gaji melalui bank atau kantor pos terdekat, serta bantuan uang muka perumahan melalui tabungan perumahan. Perbaikan struktur gaji pokok pegawai telah dilakukan beberapa kali, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1997, yang berlaku sejak 1 April 1997. Kenaikan gaji pokok memberi arti yang luas bagi penghasilan yang diterima pegawai negeri, mengingat besarnya tunjangan dan uang pensiun dihitung berdasarkan persentase tertentu dari gaji pokok. Selain itu, dalam rangka meningkatkan penghasilan pegawai telah pula beberapa kali dilakukan penyesuaian tunjangan perbaikan penghasilan (TPP), yang terakhir sejak 1 April 1998 diberikan TPP 15 persen Dari gaji pokok ditambah tunjangan keluarga. Selain kebijakan perbaikan struktur gaji pokok Dari TPP, telah pula dilakukan penyesuaian terhadap tunjangan isteri/suami, yaitu Dari 5 persen Dari gaji pokok menjadi 10 persen terhitung sejak April 1992. Sementara itu, dalam rangka meningkatkan profesionalisme aparatur pemerintah, telah dikembangkan jabatan fungsional, sehingga memungkinkan pegawai mengembangkan potensinya sesuai dengan keahlian dan keterampilan yang dimiliki, serta tidak terhambat oleh terbatasnya jabatan struktural yang tersedia. Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1994 tentang Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil, diharapkan mutu profesionalisme pegawai negeri sipil dapat dipacu melalui pembinaan karier ymg berorientasi pada prestasi kerja. Di masa-masa mendatang, jabatan fungsional akan terus dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan. Sejalan dengan perkembangan kegiatan pemerintah, dalam Repelita VI anggaran belanja pegawai pusat juga senantiasa mengalami peningkatan. Dalam empat tahun pertama pelaksanaan Rcpelita VI (1994/1995-1997/1993), realisasi belanja pegawai pusat per tahun mengalami peningkatan rata-rata 15,0 persen. Sementara itu, dalam tahun terakhir Repelita VI (1998/1999), anggaran belanja pegawai pusat direncanakan meningkat 29,2 persen dari Departemen Keuangan Republik Indonesia 70 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 perkiraan realisasi tahun anggaran sebelumnya. Sebagian besar pembiayaan untuk belanja pegawai pusat tersebut dipergunakan untuk pembayaran gaji dan pensiun, sehingga realisasi anggaran untuk gaji dan pensiun, juga mengalami peningkatan yang cukup berarti setiap tahunnya. Dalam empat tahun pertama pelaksanaan Repelita VI, realisasi pembayaran gaji dan pensiun mengalami peningkatan rata-rata 14,4 persen setiap tahunnya. Sementara itu, dalam APBN tahun anggaran 1998/1999 pembayaran gaji dan pensiun dianggarkan meningkat 25,5 persen dart tahun anggaran sebelumnya. Perkembangan belanja pegawai dalam Repelita VI juga dipengaruhi oleh peningkatan pembiayaan untuk tunjangan beras, uang makan lauk pauk, lain-lain belanja pegawai dalam negeri, dan belanja pegawai luar negeri. Peningkatan tunjangan beras terutama terjadi karena meningkatnya harga pembelian beras oleh pemerintah melalui Bulog sesuai dengan tingkat perkembangan harga pasar. Apabila dalam tahun pertama Repelita VI, harga pembelian beras adalah Rp 708 per kilogram, maka dalam tahun anggaran 1997/1998 harga pembelian beras telah meningkat menjadi Rp 988 per kilogram. Penyesuaian harga pembelian beras juga dilakukan dalam APBN 1998/1999, yaitu Rp 1.924 per kilogram yang berarti mengalami peningkatan rata-rata 28,4 persen per tabun. Sementara itu, pembiayaan uang makan lauk pauk juga mengalami peningkatan, selain disebabkan oleh adanya penyesuaian satua.an biaya makan lauk pauk bagi anggota ABRI, juga disebabkan oleh adanya tambahan biaya uang makan bagi pelaut, petugas penjaga lampu soar, posein rumah sakit pemerintah, anak asuh dan orang jompo pada panti-panti asuhan negara, serta para narapidana. Penyesuaian satuan biaya makan lauk pauk telah diberikan melalui peningkatan satuan biaya makann lauk pauk untuk anggota ABRI, yaitu dari Rp 3.000 per orang per hari dalam tahun anggaran 1994/1995 menjadi Rp 7.500 per orang per hari sejak Juli 1998. Sementara itu, peningkatan biaya lain-lain belanja pegawai dalam negeri antara lain disebabkan oleh peningkatan honorarium dan uang lembur bagi pegawai yang karena beban tugasnya harus bekerja melebihi jam kerja yang telah ditetapkan. Seuangkan peningkatan belanja pegawai luar negeri dipengaruhi oleh jumlah pegawai yang ditempatkan pada kantor-kantor perwakilan di luar negeri, besarnya gaji pokok dan berbagai tunjangan yang danasarkan pada angka dasar tunjangan luar negeri (ADTLN) dan angka pokok tunjangan luar negeri (APTLN) , serta perubahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika. 2.2.4.2 Belanja Barang Departemen Keuangan Republik Indonesia 71 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Penga1okasian pengeluaran rutin untuk belanja barang di1aksanakan secara terkenda1i agar pemenuhan pengadaan barang dan pemeliharaan aset negara dapat sejalan dengan keterbatasan sumber-sumber pembiayaan da1am negeri dalam rangka menunjang mutu dan perluasan pelayanan kepada masyarakat. Selama Repelita VI, belanja barang mengalami peningkatan rata-rata 27,9 persen per tahun. Peningkatan belanja barang merupakan konsekuensi dari semakin beragamnya jumlah dan jenis kegiatan yang harus danukung, yang disebabkan antara lain oleh perkembangan struktur organisasi, dibukanya beberapa kantor instansi pemerintah di daerah dan kantor perwakilan pemerintah di luar negeri, serta meningkatnya pemeliharaan bagi prasarana dan sarana kerja, serta hasil pembangunan. Sebagian besar belanja barang dialokasikan untuk belanja barang dalam negeri, yang diarahkan untuk mendukung tersedianya prasarana dan sarana kerja yang memadai, baik jumlah maupun kondisinya. Selama empat tahun pertama pelaksanaan Repelita VI, realisasi be1anja barang dalam negeri mengalami peningkatan rata-rata 26,4 persen per tahun. Sementara itu, dalam APBN tahun anggaran 1998/1999 belanja barang dalam negeri dianggarkan meningkat 21 ,6 persen Dari tahun anggaran sebelumnya. Peningkatan tersebut untuk menunjang kegiatan administrasi di berbagai instansi, antara lain pembiayaan bagi pengadaan perangkat keras, perangkat lunak, serta peralatan kantor lainnya, termasuk pemeliharaannya. Peningkatan belanja barang juga dipengaruhi oleh belanja barang luar negeri, yang pembiayaannya diarahkan untuk menunjang pembiayaan operasional dan pemeliharaan berbagai kantor perwakilan pemerintah di luar negeri, serta pembiayaan yang berkaitan dengan kerja sama internasional. Dalam empat tahun pertama pelaksanaan Repelita VI, realisasi pembiayaan belanja barang luar negeri mengalami peningkatan rata-rata 51,6 persen per tahun. Sementara itu, belanja barang luar negeri dalam APBN tahun anggaran 1998/1999 dianggarkan meningkat 80,3 persen Dari perkiraan realisasi tahun anggaran sebelumnya. Dalam kurun waktu lima tahun tersebut, perubahan besarnya pembiayaan belanja barang luar negeri berkaitan erat dengan jumlah kantor perwakilan pemerintah di luar negeri, serta perubahan nilai tukar mata uang Dari negara bersangkutan terhadap rupiah. 2.2.4.3 Subsidi Daerah Otonom Seirama dengan perkembangan belanja pegawai pusat, subsidi daerah otonom (SDO) juga mengalami peningkatan setiap tahunnya, yang sebagian besar digunakan untuk belanja Departemen Keuangan Republik Indonesia 72 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 pegawai daerah. Belanja pegawai daerah, yang merupakan bantuan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah diarahkan untuk turut mewujudkan aparatur pemerintah daerah yang berdaya guna, berhasil guna, bersih, dan berwibawa, serta meningkatkan keserasian dalam pelaksanaan kewajiban dan tugas umum pemerintahan dan pembangunan daerah. Pembiayaan untuk belanja pegawai daerah pada dasarnya merupakan subsidi dari pusat yang selain digunakan untuk membiayai belanja pegawai daerah otonom, juga bagi pegawai negeri sipil yang ditempatkan di daerah, seperti guru SD Inpres, dokter dan paramedis. Sesuai dengan perkembangan kebijakan yang berkaitan dengan upaya perbaikan kesejahteraan pegawai, realisasi belanja pegawai daerahjuga terus mengalami peningkatan. Dalam empat tahun pertama pelaksanaan Repelita VI, realisasi belanja pegawai daerah mengalami peningkatan rata-rata 10,5 persen per tahun. Sementara itu, dalam APBN tahun anggaran 1998/1999, belanja pegawai daerah dianggarkan meningkat 34,9 persen Dari perkiraan realisasi tahun anggaran sebelumnya. Selain untuk belanja pegawai daerah, subsidi daerah otonom juga dialokasikan untuk belanja nonpegawai, yang penggunaannya diarahkan untuk mendukung kegiatan pemerintahan daerah. Sejak tahun anggaran 1994/1995 - 1997/1998 realisasi belanja nonpegawai daerah otonom mengalami peningkatan rata-rata 14,1 persen per tahun. Sementara itu, belanja nonpegawai daerah otonom dalam APBN tahun anggaran 1998/1999 direncanakan meningkat sekitar 30 persen dari tahun anggaran sebelumnya. Peningkatan pembiayaan tersebut terutama dipergunakan untuk subsidi bagi penyelenggaraan urusan desentralisasi, urusan dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Dalam mendukung urusan dekonsentrasi, belanja nonpegawai daerah diperlukan untuk menampung ganjaran daerah tingkat I, daerah tingkat II/kotamadyalkota administratif, kecamatan, dan desa, subsidi belanja pengembangan institusi, serta lain-lain belanja nonpegawai daerah. Sementara itu, untuk mendukung penyelenggaraan urusan desentralisasi, belanja nonpegawai daerah digunakan untuk menampung subsidil bantuan penyelenggaraan pendidikan sekolah dasar negeri (SBPPSDN), bantuan biaya operasional rumah sakit umum daerah (SBBO-RSUD), serta pengembangan pariwisata dan usaha pertambangan daerah. Dalam rangka mendukung pelaksanaan program wajib belajar 9 tahun, SBPP-SDN diberikan sebagai pengganti sumbangan pembinaan pendidikan sekolah dasar (SPPSD) yang telah dihapuskan. Seuangkan pemberian subsidil bantuan biaya operasional rumah sakit umum daerah digunakan untuk membantu pemerintah daerah dalam meningkatkan Departemen Keuangan Republik Indonesia 73 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 pelayanan di biuang kesehatan kepada masyarakat. 2.2.4.4 Pembayaran Bunga dan Cicilan Hutang Salah satu jenis pengeluaran rutin yang mendapat alokasi pembiayaan yang cukup besar adalah pembayaran bunga dan cicilan hutang negara, yang terdiri dari pembayaran hutang dalam negeri dan pembayaran bunga dan cicilan pokok hutang luar negeri. Pembayaran hutang dalam negeri pada dasarnya merupakan kewajiban pemerintah, sebagai akibat dari adanya transaksi atau hubungan kerja antara pemerintah dengan berbagai pihak di dalam negeri, serta tagihan pihak ketiga kepada pihak pemerintah berdasarkan keputusan pengadilan. Pembiayaan yang ditampung dalam hutang dalam negeri antara lain meliputi pembayaran tunggakan atas pemakaian daya dari jasa, seperti tenaga listrik, air minum, dan gas, untuk keperluan berbagai instansi pemerintah, serta pembayaran ganti rugi kepada pihak ketiga di dalam negeri. Dalam perkembangannya, hutang dalam negeri juga menampung jenis pembiayaan lain, seperti pengembalian kelebihan setor kepada Pertamina dalam penyediaan BBM di dalam negeri, serta pembayaran dana talangan Bank Indonesia sebagai konsekuensi dari kebijakan restrukturisasi perbankan nasional. Pada awal Repelita VI (1994/1995), besarnya pembiayaan hutang dalam negeri masih relatif rendah, yaitu Rp 104,1 miliar, atau 0,2 persen dari total pengeluaran rutin. Selanjutnya dalam tiga tahun anggaran berikutnya, realisasi pembayaran hutang dalam negeri masing-masing mencapai Rp 1.619,6 miliar, Rp 4.589,2 miliar, dan Rp 1.639,7 miliar. Penyediaan anggaran tersebut terutama diperlukan untuk pengembalian dana kelebihan setoran laba bersih minyak (LBM) dan hasil operasi Pertamina dalam tahun-tahun anggaran sebelumnya, sesuai dengan rekomendasi dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BEPEKA). Dalam tahun anggaran 1998/1999, anggaran yang disediakan untuk pos pembiayaan hutang dalam negeri mencapai Rp 1.940,1 miliar. Sebagian besar anggaran tersebut, yaitu Rp 1.720,1 miliar, disediakan untuk pengembalian dana talangan Bank Indonesia, sebagai pengganti dana simpanan nasabah 16 bank dalam likuidasi (BDL) pada bulan November 1997. Salah satu unsur pengeluaran yang cukup berpengaruh terhadap besarnya penyediaan anggaran belanja rutin adalah cukup tingginya anggaran yang dibutuhkan untuk memenuhi kewajiban pembayaran bunga dan cicilan pokok hutang luar negeri. Kewajiban tersebut timbul sebagai akibat dari pemanfaatan hutang luar negeri untuk membiayai proyek-proyek Departemen Keuangan Republik Indonesia 74 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 pembangunan di masa lampau, yang harus mulai dibayar dengan berakhirnya masa tenggang waktu, dan telah jatuh tempo. Besarnya kewajiban tersebut selain dipengaruhi oleh besarnya cicilan pokok dan bunga pinjaman yang telah jatuh tempo, juga dipengaruhi oleh perkembangan nilai tukar, baik antar valuta negara-negara pemberi pinjaman, maupun nilai rupiah terhadap nilai valuta negara-negara dimaksud. Menya dari besarnya manfaat hutang luar negeri bagi pencapaian sasaran-sasaran pembangunan, pemerintah terus mengupayakan agar negara-negara dan lembaga-lembaga keuangan internasional pemberi pinjaman, tetap memiliki kepercayaan yang besar terhadap Indonesia. Upaya tersebut dilaksanakan melalui pemanfaatan hutang luar negeri secara benar dan baik, terutama untuk menunjang kegiatan ekonomi dan pembangunan proyek-proyek yang berprioritas tinggi, produktif dan berorientasi ekspor. Selain itu, dilakukan upaya untuk memenuhi kewajiban pembayaran bunga dan cicilan pokok hutang luar negeri tepat pada waktunya, dan sesuai dengan nilai yang dituangkan dalam naskah perjanjian luar negeri (NPLN). Sementara itu, dalam keadaan keuangan negara memungkinkan, pemerintah telah melakukan percepatan pembayaran (prepayment) hutang luar negeri, khususnya untuk hutang yang memiliki tingkat suku bunga tinggi, antara lain dari Bank Dunia (International Bank for Reconstruction and Development/IBRD) dan Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB), y.ang pembiayaannya bersumber dari bagian pemerintah atas penjualan saham BUMN yaitu PT Indosat, PT Telkom, PT Timah, serta sisa anggaran lebih (SAL). Percepatan pembayaran hutang luar negeri yang dilaksanakan dalam Repelita VI, adalah Rp 1.716,9 miliar dalam tahun anggaran 1994/1995, Rp 1.643,8 miliar dalam tahun anggaran 1995/1996, dan Rp 4.036,2 miliar dalam tahun anggaran 1996/1997. Krisis moneter yang terjadi di dalam negeri sejak bulan Juli 1997 telah menyebabkan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing khususnya dolar Amerika cenderung terus melemah, sehingga secara langsung berpengaruh terhadap besarnya anggaran yang dibutuhkan untuk memenuhi kewajiban pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri tahun anggaran 1998/1999. Sehubungan itu, alas persetujuan sembilan belas negara-negara donor yang tergabung dalam Paris Club pada bulan September 1998, pemerintah telah melakukan rescheduling alas pembayaran cicilan pokok pinjaman luar negeri. Kebijakan ini dimaksudkan untuk mengurangi beban anggaran, sehingga dapat mempercepat stabilisasi dan pemulihan perekonomian nasional. Departemen Keuangan Republik Indonesia 75 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Pembayaran bunga dan cicilan pokok hutang luar negeri selama Repelita VI terus mengalami peningkatan. Dalam empat tahun pertama, besarnya pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri masing masing mencapai Rp 18.298,4 miliar, Rp 20.489,0 miliar, Rp 22.902,0 miliar, dan Rp 28.057,3 miliar. Namun persentasenya terhadap total pengeluaran rutin menunjukkan penurunan, yaitu masing-masing 41,5 persen, 40,6 persen, 36,6 persen, dan 33,2 persen. Selanjutnya pada tahun anggaran 1998/1999, anggaran pembayaran bunga dan cicilan pokok hutang luar negeri mengalami peningkatan yang cukup tajam, yaitu mencapai Rp 64.296,3 miliar, atau meningkat 129,2 persen dibandingkan dengan tahun anggaran sebelumnya. 2.2.4.5 Pengeluaran Rutin Lainnya Selain berbagai pembiayaan tersebut di atas, pengeluaran rutin juga menampung pembiayaan pengeluaran rutin lainnya, antara lain subsidi BBM dan lain-lain pengeluaran rutin. Kebijaksanaan pemberian subsidi pada dasarnya dimaksudkan untuk menjaga stabilitas perekonomian nasional, khususnya stabilitas harga barang-barang kebutuhan masyarakat, yang besar pengaruhnya dalam menekan laju inflasi. Selain itu kebijaksanaan tersebut dimaksudkan pula agar dapat menjamin tersedianya bahan-bahan pokok dalam jumlah yang cukup dan harga yang dapat dijangkau oleh masyarakat ekonomi lemah. Meskipun dalam kondisi tertentu kebijaksanaan pemberian subsidi dapat menimbulkan distorsi pasar yang dapat menimbulkan inefisiensi dalam perekonomian, namun pemberian subsidi diberikan secara selektif dan ditujukan kepada kelompok masyarakat yang berpendapatan rendah. Dengan berbagai pertimbangan tersebut, pemberian subsidi masih diperlukan dalam batas-batas kewajaran dan hanya untuk hal-hal yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak, serta disesuaikan dengan kemampuan keuangan negara. Namun demikian, secara bertahap pemberian subsidi akan dikurangi. Dalam Repelita VI, Pemerintah memberikan subsidi bahan bakar minyak (BBM), yang merupakan kebutuhan masyarakat yang sangat strategis. Namun disadari juga bahwa pemberian subsidi BBM yang dilakukan secara terus menerus akan mengakibatkan terhambatnya usaha konservasi dan diversifikasi energi, serta beban yang semakin berat terhadap anggaran belanja. Subsidi BBM merupakan selisih antara hasil penjualan BBM dalam negeri dengan seluruh biaya pengadaan BBM yang harus dikeluarkan. Seperti diketahui biaya pembelian minyak mentah merupakan komponen terbesar dalam pengaadaan BBM, sehingga besar kecilnya kebutuhan Departemen Keuangan Republik Indonesia 76 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 subsidi BBM sangat tergantung kepada jumlah konsumsi, fluktuasi harga rninyak mentah internasional, serta nilai tukar rupiah terhadap valuta asing, terutama dolar Amerika. Sejalan dengan upaya peningkatan efisiensi dan efektivitas pengeluaran rutin, selama Repelita VI telah diupayakan pengurangan subsidi BBM melalui penyesuaian harga jual pada tingkat yang wajar. Untuk itu pada bulan Mei 1998 telah dilakukan kenaikan harga BBM. Selain pemberian subsidi BBM, dalam Repelita VI, khususnya tahun anggaran 1998/1999 pemerintah juga memberikan subsidi nonBBM berupa subsidi pangan, listrik, dan obat-obatan. Subsidi-subsidi tersebut, diberikan antara lain berkaitan dengan upaya memperkuat jaring pengaman sosial (JPS), sebagai upaya meredam dampak sosial akibat krisis ekonomi, terutama bagi penduduk rniskin. Di samping subsidi beras, subsidi pangan diberikan melalui subsidi impor gandum, gula pasir, dan kedelai. Kebijakan tersebut selain dimaksudkan untuk menjaga agar harga komoditas pangan terjangkau oleh daya beli masyarakat, juga untuk mendukung upaya penganekaragaman bahan makanan serta mengurangi ketergantungan pada konsumsi beras, dan sekaligus untuk menjaga kelangsungan usaha industri makanan dalam negeri. Dalam perkembangannya, untuk meringankan beban anggaran negara, sejak awal bulan September 1998 telah ditempuh kebijakan penghapusan subsidi untuk gandum, gula posir, dan kedelai. Selain untuk subsidi, pengeluaran rutin lainnya juga menampung lain-lain pengeluaran rutin, seperti biaya jasa pos dan giro, pengeluaran bebas porto, serta subsidi kesehatan bagi para veteran dan perintis kesehatan, bantuan rutin kepada komite olahraga nasional Indonesia (KONI) Pusat, serta subsidi kepada Perum Kereta Api. Selain itu, lain-lain pengeluaran rutin juga menampung pembiayaan yang bersifat khusus berupa pembiayaan untuk penyelenggaraan pemilihan umum (Pemilu) dan bantuan penanggulangan bencana alam. Berdasarkan pada perkembangan tersebut, pengeluaran rutin lainnya mengalami peningkatan setiap tahunnya, terutama dalam tahun terakhir Repelita VI. Peningkatan tersebut berkaitan dengan peningkatan anggaran untuk subsidi BBM dan subsidi non-BBM. Peningkatan subsidi BBM terjadi sebagai akibat melemahnya nilai tukar rupiah terhadap valuta asing, khususnya dolar Amerika. Seuangkan, munculnya subsidi non-BBM berkaitan dengan upaya memperkuat jaring pengaman sosial. Dalam tahun anggaran 1998/1999, pengeluaran rutin lainnya diperkirakan mencapai Rp 55.472,5 miliar atau Rp 38.642,5 miliar lebih tinggi Dari tahun anggaran sebelumnya. 2.2.5 Tabungan Pemerintah Departemen Keuangan Republik Indonesia 77 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabungan pemerintah sebagai salah satu sumber pembiayaan pembangunan merupakan selisih antara penerimaan dalam negeri dengan pengeluaran rutin. Dalam penghimpunannya sumber pembiayaan pembangunan ini dipengaruhi oleh kemampuan menghimpun sumber penerimaan dalam negeri dan alokasi pengeluaran untuk pembiayaan kegiatan rutin pemerintah. Selain itu, tabungan pemerintah dalam menyediakan dana pembangunan juga dipengaruhi oleh kondisi perekonornian internal dan eksternal. Pada saat perekonornian membaik tabungan pemerintah cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya penerimaan dalam negeri. Demikian pula sebaliknya, dalam kondisi perekonomian yang menurun umumnya akan berpengaruh kepada penerimaan dalam negeri yang pada gilirannya akan berdampak terhadap tabungan pemerintah. Memasuki Repelita VI peranan tabungan pemerintah terus meningkat, keberhasilan tersebut terlihat pada besarnya tabungan pemerintah dalam tahun anggaran 1994/1995 hingga tahun anggaran 1996/1997 masing-masing Rp 22.349,0 miliar, Rp 22.578,9 miliar, dan Rp25.069,2 miliar. Namun dalam tahun anggaran 1997/1998 tabungan pemerintah diperkirakan menurun yaitu menjadi Rp 23.577,6 miliar, karena peningkatan pada pengeluaran rutin diperkirakan akan lebih besar dibandingkan peningkatan pada penerimaan dalam negeri. Keadaan ini diperkirakan berlanjut dalam tahun anggaran 1998/1999, dimana pengeluaran rutin diperkirakan jauh meningkat melampaui penerimaan dalam negeri. Pengeluaran rutin mencapai Rp 171.205,1 miliar, seuangkan penerimaan dalam negeri hanya mencapai Rp 149.302,5 miliar. Dengan demikian dalam tahun anggaran 1998/ 1999 terdapat tabungan negatif (negatif saving) minus Rp 21.902,6 miliar. Peningkatan yang tajam pada pengeluaran rutin dalam dua tahun terakhir tersebut terutama disebabkan oleh meningkatnya beban pembayaran bunga dan cicilan pokok hutang luar negeri serta meningkatnya berbagai subsidi seperti BBM, pangan, listrik, sejalan dengan makin lemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika. Perkembangan tabungan pemerintah sejak Repelita V sampai dengan Repelita VI dapat diikuti pada Tabel 11.8. 2.2.6 Pengeluaran Pembangunan Anggaran belanja pembangunan dalam APBN memberikan gambaran mengenai peranan sektor pemerintah dalam pembiayaan investasi nasional, yang sekaligus mencerminkan strategi kebijaksanaan fiskal dalam (a) mempengaruhi alokasi sumber daya ekonomi untuk Departemen Keuangan Republik Indonesia 78 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 mendorong pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, perluasan kesempatan berusaha dan berbagai program pembangunan lainnya, (b) memperbaiki pemerataan distribusi pendapatan, serta (c) menunjang program stabilisasi, termasuk program penyelamatan (rescue) dan pemulihan (recovery) kondisi sosial ekonomi masyarakat. Implementasi kebijakan tersebut pada dasamya sangat tergantung pada situasi dan permasalahan yang dihadapi dalam perekonomian, serta merupakan satu kesatuan dari arah dan strategi dasar pembangunan nasional. Dalam Repelita VI hingga tahun keempat, realisasi pengeluaran pembangunan (di luar sektor hankam dan subsidi) secara nominal mengalami peningkatan rata-rata sekitar 16 persen per tahun, namun peranannya terhadap total anggaran belanja negara (di luar pembayaran dci/an pokok pinjaman luar negeri) justru menurun dari sekitar 46 persen menjadi hanya sekitar 39 persen. Dalam periode tersebut, rasio pengeluaran pembangunan terhadap produk domestik bruto (PDB) juga menurun Dari 7,1 persen menjadi hanya 6,5 persen. Sementara itu, dalam periode yang sama, rasio anggaran belanja pembangunan (di luar sektor hankam dan subsidi) yang sebagian besar merupakan pengeluaran untuk investasi pemerintah terhadap pembentukan modal domestik bruto (gross fixed capital formation) relatif kecil, rata-rata sekitar 23 persen per tahun. Kecenderungan ini memberikan gambaran mengenai peranan yang sesungguhnya dari sektor pemerintah dalam perekonomian nasional, yang berfungsi sebagai pendukung dan penunjang berkembangnya kegiatan ekonomi masyarakat dan dunia usaha. Hal ini sejalan dengan arah dan strategi kebijakan pembangunan nasional yang lebih mengutamakan pengembangan sektor swasta sebagai penggerak roda kegiatan perekonomian nasional, dan telah sesuai dengan sasaran investasi pemerintah yang ditetapkan dalam Repelita VI (setelah revisi). Namun demikian, sebagai akibat adanya tekanan ekonomi, baik eksternal maupun internal, berkenaan dengan bertambah beratnya krisis moneter dan ekonomi yang dihadapi Indonesia hingga menyebabkan dunia usaha (sektor swasta) tidak berdaya dan tidak lagi bisa diharapkan mampu menjadi motor penggerak kegiatan ekonomi nasional, dalam tahun terakhili Repelita VI terjadi perubahan yang cukup mendasar terhadap peran dan orientasi anggaran belanja pembangunan sebagai akar kebijakan fiskal dalam konstelasi perekonomian nasional. Departemen Keuangan Republik Indonesia 79 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel 11.8 PERKEMBANGAN TABUNGAN PEMERINTAH, 1989/1990 -1998/19991) (dalam miliar rupiah) Penerimaan Pengeluaran Tahuo dalam negeri A% rutin (I) (2) (3) (4) A% (5) Tabungan Kenaikan (+)/ pemerintah penurunan(-) (6) (7) REPELITA V 1989/1990 . 31.504,2 24.335,2 7.169,0 1990/1991 42.193,0 33,9 29.121,1 19,7 13.071,9 + 5.902,9 1991/1992 42.582,0 0,9 29.053,0 -0,2 13.529,0 + 457,1 1992/1993 48.862,6 14,7 33.605,4 15,7 15.257,2 + 1.728,2 1993/1994 56.113,1 14,8 40.289,9 19,9 15.823,2 + 566,0 1994/1995 66.418,0 18,4 44.069,0 9,4 22.349,0 + 6.525,8 1995/1996 73.013,9 12,6 50.435,0 14,4 22.578,9 + 229,9 1996/1997 87.630,3 20,8 62.561,1 24,0 25.069,2 + 2.490,3 1997/19982) 108.183,8 23,5 84.606,2 35,2 23.577,6 - 1.491,6 1998/19993) 149.302,5 38,0 171.205,1 102,4 - 21.902,6 REPELITA VI - 45.480,2 1) Realisasi PAN 2) APBN Perubahan (APBN-P) 3) APBN Fungsi anggaran belanja pembangunan yang dalam empat tahun pelaksanaan Repelita VI sebagai pendorong dan pendukung berkembangnya dunia usaha, dalam tahun terakhir Repelita VI berubab menjadi unsur utama stabilisator kegiatan ekonomi, terutama dalam upaya penyelamatan dan pemulihan kondisi sosial ekonomi masyarakat agar tidak merosot lebih dalam akibat krisis yang semakin bertambah berat. Dalam hubungan ini, pengeluaran pembangunan diharapkanl mampu berperan menjadi faktor stimulus bagi peningkatan daya beli masyarakat, melalui proyek-proyek produktif yang dapat menciptakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta perlindungan sosial di biuang pendidikan dan kesehatan. Departemen Keuangan Republik Indonesia 80 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Dengan adanya perubahan orientasi kebijakan dimaksud, anggaran pembangunan bagi pembiayaan seluruh proyek-proyek dan kegiatan fisik maupun nonrisik ditinjau ulang, dan prioritas alokasinya semakin dipertajam. Proyek-proyek dan kegiatan pembangunan yang belum mendesak dan memerlukan investasi besar ditunda atau dijadwal ulang, sementara anggaran untuk biaya perjalanan dinas, rapat kerja, studi, kajian, seminar, lokakarya dan kegiatan sejenis lainnya yang tidak menjadi prioritas dikurangi. Anggaran yang dapat disisihkan dari hasil kaji ulang proyek-proyek tersebut direalokasi untuk membantu meringankan beban masyarakat akibat krisis, atau digunakan untuk kegiatan-kegiatan lebih produktif yang secara langsung maupun tidak langsung dapat memulihkan kondisi perekonomian nasional. Proyek-proyek tersebut tercakup dalam program jaring pengaman sosial (social safety net), yang kegiatannya dapat dikelompokkan ke dalam empat program atau biuang intervensi. Keempat program dimaksud meliputi (a) program ketahanan pangan (food security), (b) program padat karya dan penciptaan lapangan kerja produktif (employment creation), (c) program perlindungan sosial (social protection), dan (d) program pemberdayaan ekonomi rakyat, melalui pengembangan industri kecil dan menengah (support for small and medium enterprises). Sebagai konsekuensi dari berbagai penyesuaian di atas, volume anggaran belanja pembangunan dalam tahun terakhir Repelita VI meningkat sangat tajam, mencapai hampir dua kali lipat Dari perkiraan realisasi dalam tahun anggaran sebelumnya. Dengan peningkatan tersebut rasio pengeluaran investasi pemerintah terhadap pembiayaan investasi nasional juga meningkat cukup tajam, mencapai lebih Dari 45 persen, atau hampir dua kali lipat dari rasio rata-rata pengeluaran investasi pemerintah terhadap pembentukan modal domestik bruto selama empat tahun pertama pelaksanaan Repelita VI. Dengan peningkatan volume, dan perubahan orientasi pada strategi alokasi anggaran pembangunan untuk program-program yang sesuai dengan skala prioritas penyelamatan dan pemulihan kondisi sosial ekonomi masyarakat sebagaimana diuraikan di atas, diharapkan akan diperoleh hasil yang optimal dalam membantu memutar kembali kegiatan usaha masyarakat, hingga pada gilirannya akan dapat mempercepat upaya pemulihan kondisi perekonomian nasional. Perubahan orientasi terhadap arah dan strategi kebijakan pengeluaran pembangunan tersebut tercermin secara jelas pada pola alokasi anggaran pembangunan menurut klasifikasi ekonomi (jenis pembiayaan), dan pengelompokan berdasarkan sektor (fungsi pengeluaran). Departemen Keuangan Republik Indonesia 81 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 2.2.6.1 Perkembangan Pengeluaran Pembangunan Menurut Klasiflkasi Ekonomi Dilihat Dari klasifikasi ekonomi (jenis pengeluaran), alokasi pembiayaan pembangunan rupiah yang selama empat tahun pertama pelaksanaan Repelita VI tumbuh rata-rata 3,5 persen per tahun, dalam tahun terakhir Repelita VI meningkat sangat tajam hingga mencapai lebih dari 125 persen terhadap perkiraan realisasi dalam tahun anggaran sebelumnya. Peningkatan alokasi pembiayaan pembangunan rupiah yang sangat besar tersebut disebabkan terutama oleh timbulnya beban-beban anggaran baru akibat krisis, di antaranya untuk program jaring pengaman sosial yang mencapai sekitar 35 persen, biaya restrukturisasi perbankan sekitar 29 persen, serta pembengkakan beban subsidi pupuk dan subsidi bunga kredit program menjadi sekitar 12 persen Dari total anggaran pembangunan rupiah. Dari keseluruhan alokasi anggaran dimaksud (termasuk subsidi dan biaya restrukturisasi perbankan) sekitar 43 persen ditujukan ke daerah, seuangkan 57 persen di pusat. Di luar subsidi dan biaya restrukturisasi perbankan, alokasi anggaran pembangunan rupiah yang diarahkan ke daerah sesungguhnya mencapai lebih dari 72 persen. Khusus untuk jaring pengaman sosial, sekitar 72 persen diarahkan ke daerah, seuangkan sisanya sekitar 28 persen di pusat. Sekalipun volumenya mengalami peningkatan, akan tetapi porsi pembiayaan pembangunan rupiah terhadap total anggaran belanja pembangunan justru sedikit mengalami penurunan dari sekitar 62 persen rata-rata per tahun selama empat tahun pertama pelaksanaan Repelita VI, menjadi sekitar 56 persen dalam tahun terakhir Repelita VI. Penurunan tersebut selain disebabkan oleh membengkaknya nilai lawan bantuan proyek akibat depresiasi rupiah, juga karena adanya kebijakan penundaan atau penjadwalan terhadap proyek-proyek dan kegiatan yang belum mendesak, serta peningkatan efisiensi dan penghematan anggaran pada kegiatan-kegiatan yang kurang menjadi prioritas pada pembiayaan departemen lembaga. Perkembangan pengeluaran pembangunan berdasarkan jenis pembiayaan tahun anggaran 1989/1990-1998/1999 dapat diikuti dalam Tabel 11.9 dan Grafik 11.3. Alokasi anggaran bagi departemen lembaga untuk pernbiayaan proyek-proyek sektoral dalam tahun terakhir Repelita VI meningkat sehingga menjadi 24,4 persen. Dari jurnlah tersebut, sekitar 65 persen di antaranya dialokasikan untuk memperkuat jaring pengaman sosial, baik untuk menunjang program ketahanan pangan, memperluas lapangan kerja, pemberdayaan pengusaha kecil dan menengah maupun perlindungan masyarakat di biuang kesejahteraan sosial, pendidikan dan kesehatan. Departemen Keuangan Republik Indonesia 82 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel 11.9 PENGELUARAN PEMBANGUNAN BERDASARKAN JENIS PEMBIA Y AAN, 1989/1990 - 1998/1999 (dalam miliar rupiah) Repelita V Jeu Pembityaan Repelita VI 1989/1CHO 199011991 J991/1992 1992/1993 1993/1994 199411995 199511996 199611997 1997/1998 1998/1999 (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) I.'PEMBIAYAAN RU1'IAH 8.1;29,4 11.216,0 14.484,9 16.324,9 17.675,6 20.853,9 19.771,9 24.051,7 23.121,3 52.142,1 A. Pembiayaan Departemen:Lembaga 3.153,7 5.134,1 '1.483,7 10.032,8 10.915,7 11.239,2 10.930,3 12.159,2 11.576,9 14.397,0 I. Departemen/lembaga 2.934,3 4.856,4 7.083,0 9.560,2 10.367,5 10.567,8 10.221,3 11.l60,3 10.676,2 13.493,9 219,4 277,7 400,7 472,6 548,2 671,4 759,0 998,9 900,7 903,1 1.763,3 2.999,7 4.113,4 5.035,0 5.515,8 7.353,0 7.211,6 8.868,6 10.024,8 13.806,3 204,6 (I) 2. H a n k a m B. Pemblayaan Bagi Daerah I. Bantuan pembangunn desa tertinggal 2. Bantuan pembangunan desa 3. Bantuan pembangunan Dari II 4. Bantuan pembangunan Dari I ! . - - - - - 397,7 498,4 524,0 480,0 132,1 180,7 248,9 326,3 391,6 432,5 425,9 457,6 468,8 477,0 269,9 399,6 583,4 802,1 915,7 2.558,3 2.474,2 2.940,7 3.465,0 3.765,4 318,6 481,7 581,9 700,1 741,4 1.331,1 1.256,5 1.394,4 1.661,9 1.741,1 5. Bantuan pembangunan sekolah dasar 9'=>,6 369,2 515,2 645,4 595,4 538,1 494,4 591,5 663,2 594,9 6. Bantuan pembangunan sarana kesehatan 101,4 174,4 267,4 315,7 340,4 412,0 338,7 564,1 607,8 846,0 7,8 12,8 4,7 1,7 3,0 - I) - I) - I) - I) - I) 8. Bantuan pembangunan penghijauan dan reboisasi 16,1 32,9 74,0 96,3 Ill,l - 2) - 2) - 2) - 2) - 2) 9. Bantuan peningkatan sarana jalan dan jembatan 274,4 660,9 978,7 1.165,3 1.083,7 - 3) - 3) - 3) - 3) - 3) - - - - - - - - 262,0 414,5 543,4 687,5 859,2 983,1 1.33!,51 1.68!,2 1.723,5 2.396,3 2.416,1 3.049,04) - - - - - - - - - 2.713,8 C. Pemblayaan Lain-Lain 3.112,4 3.082,2 2.887,8 1.256,1 1.244,11 2.261,7 1.580,0 3.023,9 1.519,6 23.938,8 I. Subsidi pupuk 1.150,4 264,7. 3000 175,0 175,0 815,0 143,0 186,1 547,3 2.125,25) 887,5 644,4 987,9 137,9 380,6' 424,6 380,4 829,6 118,7 75,46) 1.074,5 2.173,1 1.599,9 943,2 688,5 1.022, I 1.056,6 2.008,2 853,6 21.738,2 II.HANTUAN PROYEK 7.364,5 7.034,11 8.589,6 10.581,4 10.752,5 9.837,8 9.008,8 11.900,1 23.817,0 ' 40.540,9 Jumlah 15.393,9 18.250,8 23.074,.5 26.906,3 28.428,1 3C.691,7 28.780,7 35.951,8 46.938,3 92.683,0 7. Bantuan pembangunan dan pemugaran pasar 10. Baatuan PMT-AS II. Banluan pembangunan derah dengan dana PBB 12. Program perluasan jaring pengaman sosial 2. Penyertaan modal pemerintah 3. Lain-lain pembangunan .. I) Dintegrasikan ke Inpres Dari 11. 2) Bantuan reboisasi diintegrasikan ke Inpres Dari 11; bantuan penghijauan diintegrasikan ke Inpres Dari I. 3) Bantuan peningkatan jalan propinsi diintegrasi\:an ke Inpres D3ti I, seuangkan bantuan peningkatan jaIan kabupaten diintegrasikan ke Inples Dari 11. 4) Termasuk BPHTB Rp 400,0 rni};ar. 5) Termasuk susidi gas untuk pabrik/produsen pupuk Rp 1.059,9 miliar 6) Termasuk proyek padat karya Rp 1.505,8 juta, penanggulangan kekeringan Irian lara Rp 288,8 juta, subsidi bunga kredit program Rp.957,8 miliar, serta program restrukrurisasi perbankan Rp 15.()()(),0 miliar. Departemen Keuangan Republik Indonesia 83 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Departemen Keuangan Republik Indonesia 84 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Pada pembiayaan pembangunan departemen/lembaga tersebut, sebagian besar, yaitu lebih dari 64 persen dari alokasi anggaran yang disediakan untuk pembiayaan proyek-proyek sektoral, lokasinya berada di daerah, di mana 37 persen di antaranya berada di kawasan barat Indonesia, dan 27 persen di kawasan 1 timor Indonesia. Dengan demikian, pada dasarnya kurang dari 36 persen dari total pembiayaan proyek-proyek sektoral yang dialokasikan melalui DIP dikelola langsung oleh instansi pusat pada masing-masing departemen/lembaga. Alokasi anggaran bagi proyek -proyek sektoral yang lokasinya berada di daerah tersebut, apabila dapat dikoordinasikan dengan baik dengan pengeluaran pembangunan daerah akan menjadi sinergi sumber dana yang sangat potensial dalam mempercepat pembangunan daerah. Pengeluaran pembangunan daerah, yang dialokasikan dalam berbagai bentuk program Inpres bagi penyediaan sarana dan prasarana dasar serta jasa pelayanan kepada masyarakat (secara langsung dalam biuang ekonomi, pendidikan, dan kesehatan), dirasakan semakin strategis sebagai mekanisme alokasi dana yang efektif, dalam mempercepat pembangunan daerah, maupun dalam mendorong peningkatan otonomi daerah, dan mempercepat terlaksananya hubungan keuangan pusat dan daerah yang lebih mencerminkan keadilan dan pemerataan. Dalam Repelita VI, transfer dana pembangunan melalui program Inpres telah mengalami berbagai penyempurnaan dan peningkatan, baik dari segi jumlah dana yang dialokasikan maupun dari segi jenis bantuan Inpres yang disalurkan. Penyempurnaan tersebut merupakan langkah penyesuaian terhadap pencapaian sasaran umum, dan langkah operasional dalam pencapaian sasaran khusus. Beberapa jenis bantuan (proyek Inpres) yang semula bersifat khusus (specific grant), seperti Inpres peningkatan jalan, serta Inpres pembangunan dan pemugaran pasar diintegrasikan ke dalam Inpres Dati I dan Inpres Dati II sebagai bantuan umum (block grant) untuk alasan efisiensi dan efektivitas pelaksanaannya. Sementara itu, beberapa jenis bantuan Inpres baru diperkenalkan, di antaranya Inpres desa tertinggal (IDT) dalam rangka mempercepat pengentasan kemiskinan, Inpres program makanan tambahan anak sekolah (PMTAS) untuk menunjang peningkatan kualitas gizi anak, serta program perluasan jaring pengaman sosial (P1PS) sebagai program khusus penanggulangan dampak krisis ekonomi. Dengan peningkatan alokasi dana pada masing-masing jenis Inpres, serta bertambahnya program Inpres baru, selama Repelita VI pengeluaran pembangunan daerah rata-rata mengalami peningkatan sekitar 17 persen per tahun. Demikian pula, proporsi pengeluaran pembangunan Departemen Keuangan Republik Indonesia 85 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 daerah juga relatif meningkat dibandingkan dengan jenis pengeluaran pembangunan lainnya, yaitu dari rata-rata sekitar 29 persen selama Repelita V menjadi rata-rata sekitar 38 persen dari total pengeluaran pembangunan rupiah selama empat tahun pertama Repelita VI. Alokasi bantuan ini, hampir seluruhnya danistribusikan ke daerah, di antaranya sekitar 54 persen ke wilayah barat Indonesia, seuangkan 28 persen lainnya ke kawasan timur Indonesia. Meskipun secara nominal dan proporsional terjadi peningkatan, namun tujuan dan sasaran yang ingin dicapai melalui program bantuan Inpres, yaitu pengurangan kemiskinan, penyediaan sarana dan prasarana dasar, pelayanan kepada masyarakat di daerah, serta ketimpangan pendapatan antar wilayah dan antar daerah masih belum teratasi sepenuhnya. Pengalokasian dana Inpres memang telah menunjukkan adanya perbaikan, namun jumlah dan pola alokasi dana untuk masing-masing jenis Inpres akan terus disempumakan mengingat pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan pendapatan masyarakat selama ini, telah membawa konsekuensi pada peningkatan kuantitas dan kualitas pelayanan kepada masyarakat. Pada beberapa jenis program Inpres tertentu, peningkatan alokasi bantuan diperlukan untuk menjaga kemampuan dana secara riil dalam membiayai kebutuhan pembangunan, karena pertumbuhan Inpres tersebut masih di bawah ratarata tingkat inflasi. Di samping itu, penetapan prioritas proyek atau kegiatan yang dilaksanakan juga masih perlu senantiasa disempurnakan agar pemanfaatan dana yang sangat terbatas dapat mencapai sasaran yang diinginkan. Dalam rangka meningkatkan efektivitas alokasi dana Inpres, penetapan formula besarnya alokasi per daerah, administrasi, serta mekanisme pelaksanaannya secara bertahap telah dan akan terus disempumakan. Distribusi alokasi dana pembangunan antar daerah yang adil dan merata hanya dapat tercapai apabila bantuan dana pembangunan kepada daerah dialokasikan dengan memperhatikan kondisi sosial ekonomi masyarakat, potensi ekonomi, dan kebutuhan investasi di masing-masing daerah. Demikian pula, distribusi anggaran melalui program Inpres ini perlu dikoordinasikan dan dikaitkan dengan alokasi dana pembangunan yang lain agar ketimpangan antar wilayah dan antar daerah dapat semakin diperkecil. Pada Inpres desa tertinggal (IDT), mengingat kondisi alam, potensi ekonomi, dan latar belakang sosial budaya masing-masing daerah dan desa berbeda satu sama lain, keberhasilan dan efektivitas dari pelaksanaan program ini sangat tergantung pada kemampuan mengidentifikasikan akar dari permasalahan yang sebenarnya, serta mernmuskan dan menerapkan solusi yang paling efektif bagi masing-masing desa. Demikian pula, mengingat Departemen Keuangan Republik Indonesia 86 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 jumlah dana yang dialokasikan untuk Inpres ini relatif terbatas, maka penetapan sasaran desa yang berhak mendapatkan bantuan, dan cakupan kegiatan harus benar-benar akurat. Di. samping itu, pelaksanaan program Inpres ini juga perlu dikoordinasikan dengan program pembangunan sektoral dan program Inpres lainnya agar penanganan kemiskinan di desa-desa tertinggal tersebut benar-benar terpadu dan efektif. Pada tahun terakhir Repelita VI, alokasi dana program IDT ini, bersama-sama dengan berbagai jenis bantuan pembangunan lainnya menjadi salah satu katup pengaman yang sangat penting dalam upaya memperkuat jaring pengaman sosial, mengingat jumlah penduduk miskin diperkirakan kembali meningkat sebagai dampak Dari krisis ekonomi yang seuang dihadapi. Di luar desa-desa tertinggal, penanganan masalah kemiskinan, dan upaya peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat di daerah pedesaan pada umumnya dapat dilakukan dengan cara menggali potensi ekonomi di sekitamya menjadi kekuatan riil melalui penyediaan prasarana dan sarana dasar. Namun, mengingat penyediaan sarana dan prasarana ekonomi dan sosial dimaksud selama ini masih mernpakan kendala yang sangat mendasar dalam mengembangkan potensi ekonomi masyarakat karena kebutuhan investasinya yang sangat besar, Inpres desa diharapkan dapat menjadi solusi bagi pengadaan sarana dan prasarana, baik fisik maupun nonfisik di biuang produksi, perhubungan, pemasaran, dan lembaga sosial masyarakat seperti LKMD. Sekalipun demikian, alokasi dana yang disalurkan melalui program Inpres desa tersebut relatif masih terbatas, dan perkembangannya juga relatif lambat. Selama empat tahun pertama Repelita VI, secara nominal total dana yang dialokasikan untuk Inpres ini hanya meningkat rata-rata 2,7 persen per tahun. Di samping itu, pola distribusi dana yang sama untuk setiap desa menyebabkan arti dan manfaat ekonomis dana Inpres ini bagi masing-masing desa menjadi relatif beragam, karena desa yang memiliki wilayah lebih luas, dan jumlah penduduk lebih banyak memperoleh bantuan yang sama dengan desa yang memiliki wilayah dan jumlah penduduk yang lebih keci!. Perkembangm Inpres desa 1989/1990-1998/1999 dapat diikuti dalam Tabel 11.10. Dalam skala yang lebih luas, upaya pembangunan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat akan lebih banyak dilakukan oleh Dati II, mengingat titik sentral Dari pengembangan otonomi daerah berada pada Dati II. Pelimpahan sebagian besar tanggungjawab penyelenggaraan tugas dan fungsi pemerintahan dan pembangunan Dari pemerintah pusat kepada Dari II dimaksud perlu diikuti dan diimbangi dengan pelimpahan kewenangan dalam Departemen Keuangan Republik Indonesia 87 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 pengelolaan sumber daya, dana, dan sarana ke Dati II. Dalam hubungan ini, peranan Inpres Dati II perIu lebih ditingkatkan agar kemampuan finansial pemerintah Dati II dalam melaksanakan tugas pembangunan menjadi semakin kuat. Itulah sebabnya, di antara seluruh jenis pembiayaan pembangunan daerah dalam empat tahun pertama Repelita VI, Inpres Dari II memperoleh alokasi anggaran terbesar, yaitu rata-rata sekitar 33 persen dari total dana pembiayaan Inpres. Dengan peningkatan rata-rata 10 persen per tahun, perkembangan alokasi anggaran Inpres ini relatif lebih baik dibandingkan dengan berbagai jenis Inpres yang lain. Namun demikian, di masa mendatang pertumbuhannya masih perIu ditingkatkan untuk menampung pembiayaan bagi peningkatan tugas dan tanggung jawab lebih besar yang dibebankan pada Dati II akibat pelimpahan urusan dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. Di samping peningkatan alokasi anggaran, kepada Dati II perIu diberikan kewenangan yang lebih besar dalam pemanfaatan, pendistribusian, dan pengelolaan dana tersebut sesuai dengan prioritas kebutuhan dan kerangka perencanaan pembangunan secara makro. Perkembangan Inpres pembangunan Dati II tahun anggaran 1989/1990-1998/1999 dapat diikuti dalam Tabel 11.11. Sejalan dengan upaya peningkatan otonomi daerah yang dititikberatkan pada Dati II, peranan Dati I juga perIu disesuaikan agar lebih mendukung pelaksanaan otonomi dimaksud, dengan mengarahkan program pembangunannya pada kegiatan-kegiatan yang bersifat menyelaraskan pembangunan sektoral dengan pembangunan regional, merangsang pertumbuhan daerah, dan mengkoordinasikan pembangunan yang bersifat lintas Dati II. Sehubungan dengan hal tersebut, alokasi dana Inpres Dati I perIu lebih diarahkan pada proyek sarana dart prasarana yang bersifat mendukung pelaksanaan proyek Dati II, dan kegiatan atau proyek akan lebih layak apabila dilaksanakan oleh Dari I, baik karena pertimbangan efisiensi (economies of scale) maupun dengan pertimbangan manfaat yang diperoleh, sekaligus :uga akan banyak dbikmati oleh beberapa Dati II (externalities). Dengan demikian, efektivitas dari pemanfaatan dana dapat dioptimalkan, karena terjadinya proyek yang tumpang tindih dan tidak terlaksananya proyek vital karena tidak jelasnya tanggungjawab pelaksanaannya dapat dihindari. Perkembangan Inpres pembangunan Dati I tahun anggaran 1989/1990-1998/1999 dapat diikuti dalam Tabel 11.12. Departemen Keuangan Republik Indonesia 88 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 . Tab e I II. 10 INPRES PEMBANGUNAN DESA, 1989/1990 - 1998/1999 I) Bantuan tiap Desa Jumlah Jumlah Tahun Desa Pem bangunan Desa (ribu Rp) (I) PKK Jumlah (ribu Rp) (ribu Rp) Bantuan (miliar Rp) (2) (3) (4) (5) (6) 1989/1990 66.979 2.000 500 2.500 132,1 1990/1991 66.979 2.000 500 2.500 180,7 1991/1992 67.033 2.800 700 3.500 248,9 1992/1993 63.721 3.600 900 4.500 326,3 1993/1994 63.721 4.500 1. 000 5.500 391,6 1994/1995 63.920 5.000 1.000 6.000 432,6 1995/1996 64.367 5.000 1.000 6.000 425,9 1996/1997 64.404 5.000 1.500 6.500 457,6 1997/19982) 64.424 5.000 1.500 6.500 468,8 1998/19993) 66.721 5.000 1.500 6.500 477,0 . REPELIT A V REPELIT A VI I) Realissasi PAN. 2) APBN Perubahan (APBN-P) 3) APBN Departemen Keuangan Republik Indonesia 89 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel 11.11 INPRES PEMBANGUNAN DARI II, 1989/1990 - 1998/1999 I) Jumlah Bantuan Bantuan minimum Jumlah penduduk tiap jiwa tiap Dari II bantuan (iota) (rupiah) (iuta rupiah) (miliar rupiah) (2) (3) (4) (5) 175,6 1.450 200 269,9 1990/1991 179,1 2.000 500 399,6 1991/1992 182,6 3.000 630 583,4 1992/1993 183,0 4.000 750 802,1 1993/1994 189,1 5.000 1.000 915,7 1994/1995 192,2 5.000 1.000 2.558,3 4) 1995/1996 195,3 5.000 1.000 2.474,24) 1996/1997 198,3 5.500 1.000 2.940,74) 1997/19982) 201,4 5.500 1.000 3.465,04) 1998/19993) 204,8 5.500 1.000 3.765,4 4) Tahun (l) REPELIT A V 1989/1990 . REPELIT A VI l) Realisasi PAN 2) APBN Perubahan (APBN-P) 3) A P B N 4) Termasuk bantuan kabupaten yang berkepulauan, bantuan pemugaran perumahan pedesaan, bantuan pemugaran pasar, bantuan rehabilitasi SD dan Madrasah Ibtidaiyah, Inpres penghijauan, dan Inpres peningkatan jalan Dati II, tambahan bantuan perencanaan, pemantauan dan pengawasan pembangunan Dati II, dan bantuan rehabilitasi Puskesmas. Departemen Keuangan Republik Indonesia 90 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 TabeI II. 12 INPRES PEMBANGUNAN DATI I 1989/1990 - 1998/1999 I) Bantuan minimum Bantuan maksimum Tahun (I) Jumlah tiap Dari I tiap Dari I bantuan (juta rupiah) (juta rupiah) (miliar rupiah) (2) (3) (4) REPELIT A V 1989/1990 12.000 12.000 318,6 1990/1991 14.000 14.000 481,7 18.000 18.000 581,9 1992/1993 22.500 22.500 700,1 1993/199.:1 25.000 25.000 741,4 1994/1995 25.000 25.000 1.331,1 4) 1995/1996 25.000 25.000 1.256,5 4) 1996/1997 25.000 25.000 1.394,4 4) 1997/19982) 25.000 25.000 1.661,94) 1998/1999 3) 25.000 25.000 1.741,14) 1991/1992 . REPELIT A VI 1) Realisasi PAN 2) APBN Perubahan (APBN-P) 3) A P B N 4) Termasuk bantuan perencanaan dan pengawasan pembangunan Dari I. serta Inpres reboisasi dan Inpres peningkatanjalan Dari I. serta tambahan bantuan operasi dan pemeliharaan jaringan pengairan. Departemen Keuangan Republik Indonesia 91 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Selain bantuan umum, kepada daerah juga disediakan alokasi bantuan khusus untuk membantu daerah dalam mengatasi berbagai permasalahan tertentu yang dihadapinya. Salah satu aspek penting yang sangat berperan dalam menunjang pembentukan watak dan pembangunan bangsa (nation and character building), namun pada umumnya selalu menjadi masalah mendasar yang dihadapi dalam pembangunan daerah adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia. Upaya dan pencapaian sasaran tersebut sangat ditentukan oleh kuantitas dan kualitas dari sarana dan prasarana pendidikan yang tersedia. Sarana dan prasarana pendidikan yang memadai akan memberikan kesempatan kepada anak (generasi muda) untuk memperoleh pendidikan yang lebih layak. Berkaitan dengan itu, dalam rangka membantu mengatasi problematika peningkatan daya tampung di biuang pendidikan dasar, kepada Dati II dialokasikan bantuan khusus pembangunan sarana pendidikan dasar berupa Inpres SD. Bantuan Inpres SD tersebut selama ini telah berhasil menunjang pelaksanaan program wajib belajar enam tahun di berbagai daerah. Sekalipun demikian, alokasi dana yang lebih besar masih dibutuhkan untuk mendukung pencapaian sasaran program wajib belajar sembilan tahun, memelihara berbagai sarana dan prasarana yang telah dibangun, serta peningkatan kualitas pendidikan dasar. Hal ini danasarkan pada kenyataan bahwa alokasi anggaran untuk Inpres SD selama empat tahun pertama Repelita VI hanya mengalami peningkatan yang relatif rendah, yaitu sekitar 7,2 persen per tahun. Perkembangan Inpres sekolah dasar tahun anggaran 1989/1990-1998/1999 dapat diikuti dalam Tabel 11.13. Di samping pendidikan, faktor lain yang berkaitan dengan upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia adalah pelayanan kesehatan, sebagai salah satu kebutuhan dasar masyarakat yang senantiasa diusahakan pemenuhannya oleh pemerintah. Salah satu langkah terobosan dalam upaya pemenuhan kebutuhan kesehatan tersebut dilakukan melalui alokasi bantuan khusus Inpres kesehatan. Bantuan ini memiliki dampak yang sangat nyata dalam peningkatan derajat kesehatan masyarakat, karena dialokasikan langsung pada peningkatan pelayanan kesehatan. Dengan demikian, perubahan dari jumlah alokasi dana akan langsung berpengaruh terhadap kualitas pelayanan kesehatan masyarakat, khususnya di daerah perdesaan. Perkembangan Inpres kesehatan selama empat tahun pertama Repelita VI yang rata-rata mencapai 13,8 persen per tahun menunjukkan kuatnya komitmen pemerintah terhadap pentingnya penyediaan pelayanan kesehatan. Namun demikian, besarnya alokasi bantuan ini masih perlu ditingkatkan, mengingat masih cukup besarnya kelompok masyarakat yang perlu Departemen Keuangan Republik Indonesia 92 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 mendapatkan akses terhadap pelayanan kesehatan yang memadai. Perkembangan Inpres kesehatan tahun anggaran 1989/1990 -1998/1999 dapat diikuti dalam Tabel 11.14. Erat kaitannya dengan upaya pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat adalah upaya pemenuhan kebutuhan gizi anak, yaitu jumlah kebutuhan kalori dan protein minimum, yang sangat diperlukan bagi perkembangan kesehatan jasmani dan rohani anak. Kerniskinan telah mengakibatkan peluang untuk meningkatkan kualitas hidup anak yang kekurangan gizi, yang pada umumnya berada di daerah tertinggal, menjadi terhambat. Dalam rangka meningkatkan ketahanan fisik anak sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) telah dikembangkan Inpres program makanan tambahan bagi anak sekolah (PMT-AS). Program tersebut adalah upaya pemerintah untuk membantu mengangkat dan mengentaskan masa depan anak yang hidup di daerah tertinggal dari jerat keterbelakangan, dan sekaligus memutus lingkaran setan kemiskinan (vicious circle). Besarnya komitmen dan perhatian pemerintah terhadap pentingnya masalah pemenuhan gizi anak tersebut dinyatakan dalam jumlah dana yang dialokasikan untuk Inpres PMT-AS dalam tahun terakhir Repelita VI yang meningkat lebih dari 50 persen. Alokasi dana Inpres ini sekaligus melengkapi bantuan Inpres lainnya dalam mendorong pembangunan masyarakat yang relatif kurang beruntung di berbagai desa dan daerah tertinggal, baik dari segi potensi ekonomi maupun sumber daya alam yang dimiliki. Selanjutnya, dalam usaha memperkecil dampak krisis ekonomi pada penurunan kesejahteraan rakyat secara umum, dan khususnya yang sangat terasa pada golongan masyarakat yang selama ini merupakan kelompok sasaran (target group) dari berbagai program pembangunan dan pengentasan kemiskinan, dalam tahun anggaran 1998/1999 dikembangkan program baru berupa perluasan jaring pengaman sosial (JPS). Walaupun maksud dan tujuan dari program khusus ini sangat baik, akan tetapi keberhasilan dan efektivitas pelaksanaanya sangat tergantung atau ditentukan oleh mekanisme yang tepat dalam pengalokasian, dan pemanfaatan dana dalam menjangkau sasaran yang diinginkan. Departemen Keuangan Republik Indonesia 93 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 TabeI II. 13 INPRES SEKOLAH DASAR, 1989/1990 - 1998/1999 I) Pembangunan Penambahan Rehabilitasi Pembangunan Rumah kepala Buku gedung ruang kelas gedung rumah penjaga sekolah dan Pelajaran sekolah guru dan bacaan guru (unit) (ruang) (unit) (unit) (unit) (juta) (orang) (miliar Rp) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) 1989/1990 185 250 6.000 110 150 4 1.000 99,6 1990/l991 400 1.000 20.000 350 1.000 6 10.000 369,2 1991/1992 692 1.200 32.535 356 2.905 14,1 14.000 515,2 1992/1993 725 1.400 37.050 350 4.000 20,6 21.000 645,4 1993/1994 699 1.600 23.875 382 1.602 22,2 10.150 595,4 1994/1995 700 2.650 - 4) 350 1.050 36 - 538,15) 1995/1996 425 2.650 - 4) 425 725 60 - 494,45) 1996/1997 375 2.892 - 4) - 1.140 80,5 - 591,55) 1997/1998 2) 375 2.892 - 4) - 1.140 80,3 - 663,25) 1998/19993) 375 2.892 - 4) - 1.140 46,7 - 594,95) Tahun (I) Penempatan Jumlah bantuan REPELIT A V REPELIT A VI 1) Rea1isasi PAN 2) APBN Perubahan (APBN-P) 3) A P B N 4) Sejak tahun 1994/1995 dialihkan kepada Inpres Dati II 5) Tidak termasuk biaya rehabilitasi SD dan Madrasah Ibdanaiyah (dialihkan ke Inpres Dati II) Departemen Keuangan Republik Indonesia 94 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tab e I II. 14 INPRES KESEHATAN, 1989/1990 -1998/19991) Obat Tahun Puskesmas Puskesmas Puskesmas per jiwa Rumah Dokter/ Pembantu Keliling paramedis Rehabilitasi Air bersih puskesmas 4) Jumlah pedesaan bantuan (Rp) (ruang) (unit) (unit) (unit) (unit) (unit) (miliar Rp) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) 1989/1990 450 100 1.000 500 500 1.800 80.000 101,4 1990/1991 475 200 1.800 600 1.000 3.000 6.238 174,4 1991/1992 530 175 1.500 600 1.000 8.493 8.772 267,4 1992/1993 600 165 1.532 600 1.100 9.856 10.200 315,7 1993/1994 625 125 1.350 720 1.200 10.549 16.750 340,4 1994/1995 725 30 500 358 690 3.515 - 412,0 1995/1996 775 30 500 ,360 480 - 5) - 338.76) 1996/1997 800 - 500 360 480 - 5) - 564,16) 1997/1998 2) 800 - 700 325 600 - 5) - 607,86) 1998/19993) 800 - 300 205 800 - 5) - 846,0 6) (I) REPELITA V ' REPELIT A VI 1) Realisasi PAN 2) APBN Perubahan (APBN-P) 3) A PB N 4) Termasuk Puskesmas pembantu, Puskesmas perawatan, dan Puskesmas keliling 5) Dialihkan ke Inpres Dati II 6) Tidak termasuk dana rehabilitasi dan pemeliharaan Puskesmas (dialihkan ke Inpres Dati II) Departemen Keuangan Republik Indonesia 95 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Di samping melalui subsidi atau bantuan pembangunan daerah (program Inpres), peluang untuk mempercepat pembangunan di daerah pada dasamya dapat ditingkatkan dengan menggali secara optimal sumber-sumber keuangan yang berasal dari daerah sendiri, yaitu berupa dana bagi hasil penerimaan pajak bumi dan bangunan, dan bea perolehan hak alas tanah dan bangunan (PBB dan BPHTB). Dana ini merupakan hasil pemungutan dari potensi pendapatan daerah sendiri yang kemudian ditransfer kembali seluruhnya ke masing-masing daerah bersangkutan sesuai dengan potensi yang dimiliki. Pola alokasi dana ini telah memberi peluang, dan akan mendorong masing-masing daerah untuk memacu usaha penggalian potensi penerimaan PBB dan BPHTB, mengingat adanya kewenangan yang besar bagi daerah dalam mengalokasikan dana tersebut sesuai dengan kebutuhan dan prioritas daerah bersangkutan. Berbeda dengan pola alokasi anggaran pembangunan bagi daerah yang cehderung semakin diperbesar, alokasi anggaran pembangurian lainnya untuk berbagai program yang bersifat lintas sektoral justru diupayakan dibatasi seminimal mungkin, hanya untuk hal-hat yang benar-benar sangat mendesak dan tidak dapat dihindari. Selama Repelita VI, alokasi pengeluaran pembangunan lainnya yang mencakup subsidi pupuk, penyertaan modal pemerintah (PMP), dan pembiayaan lain-lain pembangunan (LLP) mengalami posang surut mengikuti strategi kebijakan fiskal dan perkembangan keuangan negara. Pada subsidi pupuk, alokasi anggaran sangat dipengaruhi oleh besarnya subsidi harga, yang mencakup perbedaan antara harga jual dasar pupuk pada saat penyerahan dengan harga beli dari produsen (biaya produksi),pajak pertambahan nilai (PPN) alas pupuk, dan biaya pengangkutanJ distribusi untuk setiap volume dan jenis pupuk yang mendapat subsidi. Faktor lain yang berpengaruh dalam penyediaan subsidi pupuk di antaranya meliputi kebijaksanaan penghapusan subsidi untuk beberapa jenis pupuk tertentu, dan perlu diakomodasikannya subsidi gas yang digunakan dalam proses produksi pupuk, yang sebelumnya diperhitungkan secara langsung dalam penerimaan migas oleh Pertamina. Dengan berbagai faktor dimaksud, terntama kebijakan penghapusan subsidi untukj jenisjenis pupuk tertentu melalui penyesuaian harganya, dalam Repelita VI sampai dengan tahun keempat realisasi subsidi pupuk dapat ditekan hingga menjadi sekitar I persen dari jumlah pengeluaran pembangunan, kecuali pada tahun pertama Repelita VI yang meningkat cukup tinggi sebagai akibat adanya kebijaksanaan pelunasan atas semua beban tagihan subsidi pupuk Departemen Keuangan Republik Indonesia 96 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 dalam beberapa tahun anggaran sebelumnya. Hal ini sangat membantu upaya meningkatkan daya guna dan hasil guna pengeluaran pembangunan untuk dialokasikan kepada berbagai proyek lainnya yang berprioritas lebih tinggi. Sekalipun demikian, sebagai akibat dari kondisi perekonomian yang terus memburuk akibat krisis ekonomi, dalam tahun terakhir Repelita VI alokasi anggaran bagi subsidi pupuk .mengalami peningkatan yang cukup tajam, hingga menyerap 2,3 persen dari jumlah anggaran pembangunan rupiah. Hal ini tidak dapat dihindari, karena depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika telah mengakibatkan munculnya subsidi atas selisih kurs dalam komponen harga pupuk yang diimpor, dan membengkaknya beban subsidi gas bagi produsen pupuk mengingat strbsidi harga gas per unit diperhitungkan dengan mata.uang dolar Amerika. Selain itu, dalam rangka menopang program ketahanan pangan nasional (food security), dipanuang perlu disediakan kembali subsidi bagi jenis pupuk SP-36, ZA dan KCI yang digunakan oleh sebagian besar petani yang sebelumnya telah dihapuskan. Seperti halnya pada subsidi pupuk, alokasi anggaran pembangunan qntuk PMP juga sangat dibatasi, sebagai upaya untuk meningkatkan efisiensi penggunaan dana negara. Dengan dernikian, selama Repelita VI, jumlah anggaran yang dialokasikan untuk PMP menunjukkan tendensi yang terus menurun, kecuali dalam tahun ketiga Repelita VI realisasi PMP mengalami peningkatan yang cukup tinggi akibat adanya pengalihan pinjaman IPTN Dari dana reboisasi menjadi penyertaan modal pemerintah, dan diperlukannya tambahan modal bagi beberapa BUMN sektor perbankan dalam rangka pemenuhan rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio, CAR). Di luar kebutuhan tersebut, alokasi anggaran PMP bagi berbagai BUMN dilakukan secara hati-hati dan sangat selektif, hanya untuk BUMN strategis yang benar-benar dalam kondisi kekurangan modal, yaitu untuk perluasan skala usaha, maupun karena kondisinya yang kritis, sehingga dipanuang perlu memperoleh suntikan dana. Di samping itu, alokasi dana PMP juga digunakan untuk kontribusi pemerintah kepada berbagai lembaga internasional, seperti OPEC Funds, Asian Development Bank (ADB), International Rubber Organisation (INRO), International Finance Corporation (IFC) dan Global Environtment Facilities (GEF). Dalam tahun terakhir Repelita VI, anggaran PMP digunakan untuk tambahan modal bagi beberapa BUMN industri strategis, Perum Perumnas dalam rangka penyediaan perumahan rakyat, dan PT Bank Mandiri untuk memenuhi rasio kecukupan modal dalam rangka restrukturisasi perbankan. Sejalan dengan kebijakan pembatasan alokasi dana bagi subsidi pupuk dan PMP, Departemen Keuangan Republik Indonesia 97 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 penggunaan anggaran bagi LLP juga diupayakan seefisien dan seminimal mungkin, yaitu hanya untuk berbagai macam proyek strategis lintas sektoral dan atau interdepartemental yang karena sifat atau misi strategisnya dipanuang perlu memperoleh tambahan dana dari pemerintah di samping itu, anggaran bagi LLP juga digunakan untuk mengatasi berbagai peristiwa yang tidak dapat diprediksi sebelumnya, Namun harus diambil tindakan oleh pemerintah untuk mengatasinya, seperti adanya bencana alam gempa bumi, kekeringan, dan banjir. Dalam Repelita VI hingga tahun keempat, alokasi anggaran untuk LLP hanya sekitar 5,6 persen dari jumlah keseluruhan pembiayaan pembangunan rupiah, yang dimanfaatkan antara lain untuk mengatasi bencana alam kekeringan di Irian Jaya, pengembangan ekspor, peningkatan sarana kehidupan beragama, pembinaan dan pengembangan pemuda, serta pengembangan kawasan khusus. Dalam tahun terakhir Repelita VI, sebagai akibat krisis moneter yang berkembang menjadi krisis ekonomi yang terus memburuk hingga pertengahan tahun 1998, anggaran bagi LLP mengalami peningkatan yang sangat tajam. Hal ini disebabkan oleh perlu ditampungnya kebutuhan biaya untuk program restrukturisasi perbankan dan subsidi bunga atas berbagai jenis kredit program, seperti kredit perumahan rakyat (KPR), kredit usaha tani (KUT) dan kredit koperasi primer untuk anggota PIR- Trans (KKP A PIRTrans), yang mencapai sekitar 87 persen dari total pengeluaran LLP. Selain itu, juga diperlukan tambahan anggaran untuk memperkuat program jaring pengaman jaring sosial yang mencapai 8 persen dari jumlah anggaran LLP, di antaranya untuk proyek padat karya sektor kehutanan, penanggulangan dampak kekeringan dan masalah ketenagakerjaan, serta pembinaan usaha kecil. Di luar kedua unsur biaya yang timbul sebagai akibat krisis dimaksud, alokasi dana LLP murni hanya sekitar 5 persen dari total anggaran LLP. Anggaran belanja pembangunan yang berasal dari nilai lawan (rupiah) bantuan proyek dalam empat tahun pertama pelaksanaan Repelita VI mengalami pertumbuhan rata-rata sekitar 34 persen per tahun, atau berperan sekitar 38 persen rata-rata per tahun dari total anggaran belanja pembangunan. Dalam tahun terakhir Repelita VI, alokasi anggaran pembangunan yang berasal dari nilai lawan bantuan proyek meningkat secara tajam mencapai sekitar 70 persen dari perkiraan realisasi dalam tahun anggaran sebelumnya. Peningkatan yang sangat besar dari alokasi pengeluaran tersebut dipengarnhi oleh adanya depresiasi rupiah terhadap dolar Amerika yang menyebabkan lebih besarnya nilai lawan bantuan proyek. Demikian pula, alokasi pemanfaatan anggaran bantuan proyek tersebut juga mengalami perubahan, dari yang semula Departemen Keuangan Republik Indonesia 98 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 terkonsentrasi pada proyek-proyek fisik yang bersifat padat modal (capital intensive) untuk menunjang pertumbuhan ekonomi, ke arah proyek-proyek yang bersifat penyelamatan (rescue), padat karya agar lebih banyak menyerap tenagakerja (labor intensive) dan pemulihan (recovery) untuk memutar kembali kegiatan ekonomi masyarakat terutama pengusaha kecil dan menengah di berbagai sektor. 2.2.6.2 Perkembangan Pengeluaran Pembangunan Menurut Fungsi (Sektor) Dari dimensi fungsi pengeluaran, alokasi anggaran belanja pembangunan selama Repelita VI lebih banyak terkonsentrasi pada sektor-sektordi biuang ekonomi, di antaranya sektor transportasi dan komunikasi, pertanian dan kehutanan, transmigrasi dan pemukiman perambah hutan, pertambangan dan energi, dan jasa ekonomi lainnya seperti pengembangan usaha nasional, perdagangan dalam dan luar negeri, koperasi dan pengusaha kecil, tenaga kerja, dan pariwisata. Di luar biuang ekonomi, alokasi anggaran pembangunan lebih banyak diarahkan untuk pembangunan daerah, penyediaan fasilitas pelayanan dasar di biuang pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial, perumahan dan permukiman, serta jasa pelayanan masyarakat umum. Di biuang ekonomi, alokasi anggaran pembangunan untuk penyediaan infrastruktur transportasi dan komunikasi yang semula dalam empat tahun pelaksanaan Repelita VI naik sekitar 18 persen rata-rata per tahun, dalam tahun terakhir Repelita VI justru turun sekitar 2 persen dari perkiraan realisasi tahun anggaran sebelumnya. Dengan perkembangan tersebut, rasio anggaran pembangunan untuk penyediaan prasarana transportasi dan komunikasi dalam periode yang sama turun dari rata-rata sekitar 21 persen per tahun menjadi sekitar 14 persen. Penurunan ini disebabkan oleh adanya penghematan anggaran pembangunan pada subsektor transportasi darat, laut dan udara untuk dialokasikan guna memperkuat jaring pengaman sosial yang tersebar di berbagai sektor. Dari anggaran pembangunan rupiah yang dialokasikan untuk subsektor transportasi darat, laut dan udara dalam tahun terakhir Repelita VI, sekitar 31 persen di antaranya untuk memperkuat jaring pengaman sosial, yang pelaksanaannya dilakukan melalui pola padat karya. Di lain pihak, pengeluaran pembangunan untuk prasarana jalan tetap meningkat dari sekitar 7 persen rata-rata per tahun selama empat tahun pelaksanaan Repelita VI menjadi sekitar 16 persen dalam tahun terakhir Repelita VI. Dari anggaran pembangunan rupiah yang dialokasikan untuk penyediaan prasarana jalan dalam tahun terakhir Repelita VI, sekitar 42 persen di antaranya untuk perbaikan dan pemeliharaan jalan dan jembatan di berbagai daerah Departemen Keuangan Republik Indonesia 99 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 dalam rangka menunjang peningkatan produksi pangan, yang dilaksanakan dengan pola padat karya, sebagai upaya memperkuat jaring pengaman sosial. Semen tara itu, alokasi anggaran untuk sektor pertanian dan kehutanan mengalami peningkatan sangat tajam, yaitu dari 32 persen rata-rata per tahun selama empat tahun pertama pelaksanaan Repelita VI menjadi lebih dari 193 persen dalam tahun terakhir Repelita VI. Pada sektor ini, pengeluaran pembangunan untuk subsektor pertanian meningkat Dari sekitar 15 persen rata-rata per tahun selama empat tahun pertama pelaksanaan Repelita VI menjadi sekitar 177 persen dalam tahun terakhir Repelita VI. Dari alokasi anggaran pembangunan rupiah untuk subsektor pertanian dalam tahun terakhir Repelita VI, sekitar 23 persen di antaranya diarahkan untuk penyediaan bibit unggul, intensifikasi pertanian, dan bantuan sarana produksi lainnya dalam rangka program jaring pengaman sosial di biuang peningkatan produksi dan ketahanan pangan (food security). Demikian pula, pengeluaran pembangunan untuk subsektor kehutanan meningkat dari sekitar 77 persen rata-rata per tahun selama empat tahun pertama pelaksanaan Repelita VI, menjadi lebih dari 825 persen dalam tahun terakhir Repelita VI. Pada subsektor ini, keseluruhan anggaran pembangunan rupiah dalam tahun terakhir Repelita VI digunakan untuk proyek-proyek padat karya guna menciptakan dan memperluas kesempatan kerja yang sebanyak-banyaknya di sektor kehutanan. Selanjutnya, alokasi anggaran untuk subsektor pembangunan daerah meningkat dari sekitar 9 persen rata-rata per tahun selama empat tahun pertama pelaksanaan Repelita VI menjadi 207 persen dalam tahun terakhir Repelita VI. Dengan peningkatan tersebut, rasio anggaran untuk subsektor pembangunan daerah terhadap total anggaran pembangunan dalam periode yang sama meningkat dari sekitar 15 persen rata-rata per tahun menjadi sekitar 20 persen. Dari alokasi anggaran pembangunan rupiah pada subsektor ini dalam tahun terakhir Repelita VI, sekitar 34 persen di antaranya untuk program pengentasan kemiskinan dan program perluasan jaring pengaman sosial. Sejalan dengan itu, anggaran pernbangunan yang dialokasikan bagi penyediaan fasilitas pelayanan dasar di biuang perumahan dan perrnukirnan meningkat dari rata-rata 27 persen per tahun selama empat tahun pertama pelaksanaan Repelita VI rnenjadi sekitar 145 persen dalam tahun terakhir Repelita VI. Dengan peningkatan tersebut, rasio anggaran l'embangunan untuk sektor perumahan dan permukiman dalam periode yang sama meningkat dari rata-rata sekitar 3 persen per tahun menjadi sekitar 7 persen. Dari alokasi anggaran Departemen Keuangan Republik Indonesia 100 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 pembangunan rupiah yang diperuntukkan bagi subsektor perumahan dan permukiman dalam tahun terakhir Repelita VI, sekitar 36 persen di antaranya untuk perbaikan lingkungan permukiman di daerah kumuh perkotaan, termasuk perbaikan bangunan pasar-pasar tradisional yang rusak terbakar akibat kerusuhan sosial guna memperlancar kegiatan perdagangan, sebagai upaya memperkuat jaring pengaman sosial. Pada biuang pendidikan, anggaran pembangunan meningkat dari sekitar 16 persen ratarata per tahun selama empat tahun pertama pelaksanaan Repelita VI menjadi sekitar 79 persen dalam tahun terakhir Repelita VI. Dari alokasi anggaran pembangunan rupiah untuk biuang pendidikan dalam tahun terakhir Repelita VI, sekitar 99 persen di antaranya ditujukan untuk penyediaan beasiswa dan bantuan operasional pendidikan guna menunjang kelancaran proses belajar mengajar sebagai upaya memperkuat jaring pengaman soslal di biuang pendidikan, terutama untuk mencegah putus sekolah bagi murid dan mahasiswa yang mengalami hambatan pendanaan pendidikan. Pada biuang kesehatan, alokasi anggaran pembangunan meningkat dari sekitar 20 persen rata-rata per tahun selama empat tahun pertama pelaksanaan Repelita VI menjadi sekitar 103 persen dalam tahun terakhir Repelita VI. Dengan perkembangan tersebut, rasio anggaran pembangunan sektor kesehatan terhadap total anggaran belanja pembangunan dalam periode yang sama sedikit mengalami peningkatan, yaitu dari rata-rata 3,2 persen per tahun menjadi 4,1 persen. Keseluruhan anggaran pembangunan rupiah bagi pembangunan di biuang kesehatan dalam tahun terakhir Repelita VI digunakan untuk memperkuat jaring pengaman sosial, yang pelaksanaannya dilakukan melalui penyediaan petayanan kesehatan masyarakat, pencegahan dan pemberantasan penyakit. Dalarn periode yang sama, alokasi anggaran pembangunan di biuang kesejahteraan sosial yang selama empat tahun pertama pelaksanaan Repelita VI meningkat sekitar 60 persen rata-rata per tahun, dalam tahun terakhir Repelita VI tetap dapat dipertahankan. Dengan demikian, rasio anggaran,pembangunan yang disediakan di biuang kesejahteraan sosial terhadap total anggaran belanja pembangunan dalam periode yang sama sedikit meningkat, yaitu dari rata-rata 0,5 persen menjadi 0,8 persen per tahun. Dari alokasi anggaran pembangunan rupiah untuk kesejahteraan sosial dalam tahun terakhir Repelita VI, sekitar 74 persen di antaranya untuk memperkuatjaring pengaman sosial, yang pelaksanaannya dilakukan melalui kegiatan pelayanan sosial bagi masyarakat kurang mampu, anak-anak terlantar, maupun orang.orang Departemen Keuangan Republik Indonesia 101 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 terlantar yang diperkirakan semakin meningkat akhir-akhir ini. Perkembaagan pengeluaran pembangunan berdasarkan sektor tahun anggaran 1989/1990-1993/1994 dan 1994/19951998/1999 dapat diikuti dalam Tabel 11.15 dan Tabel 11.16. Tabel II.15 PENGELUARAN PEMBANGUNAN BERDASARKAN SEKTOR, REPELITA VI) (dalam miliar rupiah) Jenis Pembiayaan (1) 1989/1990 1990/1991 1991/1992 1992/1993 1993/1994 Jumlah (2) (3) (4) (5) (6) (7) 2.572,7 1.510,0 1.939,9 1.929,9 2.167,8 10.120,3 433,7 2.322,0 975,8 1.180,2 939,0 5.850,7 1. Pertanian dan Pengairan 2. Industri 3. Pertambangan dan Energi 1.969,0 1.546,2 2.537,0 4.703,0 4.012,9 14.768,1 4. Perhubungan dan Pariwisata 3.554,5 4.680,3 5.673,0 6.676,4 7.226,3 27.810,5 5. Perdagangan dan Koperasi 539,5 520,1 440,8 529,5 555,2 2.585,1 6 Tenaga Kerja dan Transmigrasi 214,9 497,9 688,4 883,8 896,2 3.181,2 7. Pembangunan Daerah, Desa, dan Kota 1.350,9 1.864,2 2.446,8 3.117,1 3.588,0 12.367,6 8. Agama 20,1 40,6 46,5 66,7 76,8 250,7 9. Pendidikan, Generasi Muda, Kebudayaan Nasional 961,3 1.516,6 2.190,6 2.644,8 2.761,6 10.074,9 Kependudukan dan Keluarga Berencana 369,9 601,7 777,5 1.036,1 1.159,8 3.945,0 11. Perumahan Rakyat dan Pemukiman 509,5 370,9 841,9 868,7 953,6 3.544,6 12. Hukum 22,8 33,0 51,7 75,0 78,9 261,4 13. Pertahanan dan Keamanan Nasional 615,4 408,2 758,4 798,1 972,7 3.552,8 14. Penerangan, Pees, dan Komunikasi Sosial 102,1 484,6 93,2 430,3 335,7 1.445,9 15. Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Penelitian 287,9 251,4 330,8 391,9 534,8 1.796,8 16. Aparatur Pemerintah 299,9 425,2 483,5 400,0 486,0 2.094,5 17. Pengembangan Dunia Usaha 1.173,5 619,1 2.327,1 547,1 821,1 5.487,9 18. Sumber Alam dan Lingkungan Hidup 396,3 558,8 471,6 627,7 861,7 2.916,1 15.393,9 18.250,8 23.074,5 26.906,3 28.428,1 112.053,6 dan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa 10. Kesehatan, Kesejahteraan Sosial, Peranan W anita, Jumlah I) Realisasi PAN Departemen Keuangan Republik Indonesia 102 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 2.2.6.3 Perkembangan Pembiayaan Pengeluaran Pembangunan Pembiayaan bagi seluruh pengeluran investasi pemerintah dalam anggaran belanja pembangunan bersumber dari dalam negeri berupa tabungan pemerintah (selisih antara penerimaan dalam negeri dengan pengeluaran rutin), dan pinjaman luar negeri. Dengan demikian, besarnya pengeluaran investasi pemerintah dalam anggaran belanja pembangunan sangat tergantung pada tiga faktor strategis, yaitu pertama, pengerahan sumber-sumber penerimaan dalam negeri, baik dari sektorperpajakan maupun penerimaan negara bukan pajak, kedua, efisiensi dalam pengelolaan dan pengendalian pengeluaran rutin, dan ketiga, pengerahan sumber dana luar negeri. Dalam kerangka pembiayaan operasi fiskal sektor pemerintah, terutama pengeluaran pembangunan, sumber dana luar negeri dimaksud digunakan untuk menutup defisit anggaran, mengingat kebutuhan investasi yang perlu disediakan oleh pemerintah untuk mencapai berbagai sasaran strategis dalam pembangunan, masih lebih besar dari dana yang dapat dihimpun pemerintah dari tabungan pemerintah. Dalam Repelita VI hingga tahun keempat, peranan sumber dana dalam negeri dalam pembiayaan anggaran pembangunan masih cukup dominan, mencapai lebih dari 64 persen, sementara 36 persen sisanya berasal dari pinjaman luar negeri. Hal ini terjadi karena penerimaan dalam negeri berhasil ditingkatkan dalam jumlah yang cukup memadai, sementara pengeluaran rutin dapat dikelola secara efisien dan terkendali tanpa harus mengorbankan elemen pelayanan kepada masyarakat. Kecenderungan tersebut selaras dengan arah pengelolaan ekonomi makro, tennasuk pengelolaan kebijakan fiskal yang sehat, terutama dalam upaya mendukung prinsip kemandirian pembiayaan pembangunan, dan mengurangi tekanan terhadap beban anggaran negara di masa mendatang. Namun demikian, dengan terjadinya krisis moneter dan ekonomi sejak pertengahan tahun 1997 yang bahkan terus memburuk hingga pertengahan tahun 1998, dalam tahun terakhir Repelita VI tidak dapat dihindari sumber pembiayaan bagi anggaran belanja pembangunan seluruhnya berasal dari pinjaman luar negeri, baik berupa bantuan program yang segera dapat dicairkan (fast disbursing assistance) maupun nilai lawan (rupiah) bantuan proyek. Bahkan, mengingat tabungan pemerintah (current budget balance) menjadi negatif akibat membengkaknya beban pengeluaran untuk subsidi dan pembayaran hutang luar negeri karena depresiasi rupiah, sebagian dari dana pinjaman luar negeri terpaksa juga digunakan untuk membiayai pengeluaran rutin, di antaranya subsidi pangan. Ketergantungan yang semakin besar Departemen Keuangan Republik Indonesia 103 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 pada pembiayaan luar negeri (external financing) dalam pengeluaran pembangunan dimaksud sifatnya sangat sementara untuk memperkuat program jaring pengaman sosial, sebagai upaya penyelamatan (rescue) dan pemulihan (recovery) kondisi sosial ekonomi masyarakat, agar dapat meminimalisir dampak sosial terutama terhadap sebagian besar kelompok masyarakat yang sangat rentan terhadap krisis ekonomi. Perkembangan pengeluaran pembangunan berdasarkan sumber pembiayaan tahun anggaran 1989/1990-1998/1999 dapat diikuti dalam Tabel 11.17 dan Grafik 11.4. 2.3 Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 1999/2000 2.3.1 Ringkasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun anggaran 1999/2000 disusun dalam kerangka pelaksanaan agenda reformasi di biuang ekonomi, sebagaimana dimaksud dalam Ketetapan MPR-Rl Nomor X/MPRl1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara. Sasaran utama kebijakan reformasi pembangunan di biuang ekonomi adalah menstabilkan dan memperbaiki tatanan ekonomi dan keuangan yang rusak akibat krisis moneter dan ekonomi, dan sekaligus memutar kembali roda perekonomian nasional. Krisis moneter, yang menyebar ke seluruh sektor ekonomi dan kemudian berlanjut dengan krisis kepercayaan terhadap mata uang rupiah serta kinerja dan prospek masa depan ekonomi nasional yang terjadi selama lebih dari satu tahun terakhir, telah membawa sebagian besar masyarakat, kembali merasakan kondisi kehidupan sosial ekonomi yang makin memprihatinkan. Hal ini ditandai antara lain dengan meningkatnya pengangguran, kelangkaan barang-barang kebutuhan pokok dan kenaikan harga yang tidak terjangkau daya beli masyarakat akibat tingginya inflasi, serta menurunnya output nasional dan tingkat pendapatan masyarakat, yang secara keseluruhan bermuara pada menurunnya taraf hidup dan tingkat kesejahteraan masyarakat (economic and social welfare) dengan tajam. Dalam kondisi yang demikian, peranan pemerintah melalui kebijakan anggaran negara, sangat dibutuhkan dalam memberikan perlindungan (social protection) dan memulihkan kondisi sosial ekonomi masyarakat, terutama kelompok masyarakat yang sangat rentan terhadap perubahan yang tidak menguntungkan tersebut, agar tidak makin terpuruk akibat krisis. Dalam konteks kebijakan fiskal, upaya dimaksud dilakukan melalui alokasi dana bagi program jaring Departemen Keuangan Republik Indonesia 104 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 pengaman sosial (social safety net program), serta langkah untuk menstabilkan dan menggerakkan perekonomian (economic stabilization and recovery) melalui berbagai pengeluaran yang benar benar efektif memberdayakan dan menstimulir kegiatan ekonomi rakyat, khususnya usaha kecil, menengah dan koperasi. Sekalipun demikian, kebijakan APBN dimaksud sejauh mungkin diusahakan berjalan seiring dan bersinergi dengan berbagai kebijakan di biuang-biuang lain, seperti kebijakan di biuang moneter, perdagangan luar negeri dan neraca pembayaran, nilai tukar dan lalu lintas devisa, serta kebijakan di sektor riil. Berkaitan dengan itu, perencanaan besaran-besaran penerimaan dan pengeluaran negara dalam RAPBN 199912000, dilakukan dengan berpedoman pada prinsip kehati-hatian dan serealistis mungkin. Perencanaan tersebut danasarkan pada penilaian yang seksama mengenai kondisi terakhir perekonomian dalam negeri dan berbagai faktor ekstemal, terutama harga minyak dan nilai tukar (kurs) mata uang rupiah terhadap dolar Amerika dan kurs rupiah terhadap mata uang regional, serta proyeksi perkembangannya ke depan. Selain itu, juga mempertimbangkan terakomodasikannya berbagai kebijakan dan sasaran-sasaran program stabilisasi dan pemulihan ekonomi, serta memperhitungkan kemampuan sumber-sumber pembiayaan yang diperkirakan akan dapat dihimpun, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri dalam tahun anggaran mendatang. Kondisi ekonorni dalam negeri yang secara umum, mulai menunjukkan perkembangan yang semakin baik merupakan faktor yang cukup positif dalam penyusunan RAPBN 1999/2000. Perkembangan tersebut antara lain meliputi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika yang makin stabil ke arah keseimbangan baru yang lebih realistis, tingkat inflasi yang mulai terkendali, dan tingkat bunga yang mulai bergerak turun. Departemen Keuangan Republik Indonesia 105 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel D.17 PENGELUARAN PEMBANGUNAN BERDASARKAN SUMBER PEMBIA Y AAN 1989/1990 - 1998/1999 \) (dalam mlliar rupiah) Tahun Somber Pembiayaan 4) Pengeloaran pembangunan Tabongan Penerimaan pemerintah % (2) (3) (4) REPELITA V 112.053,6 64.850,3 57,2 48.537,3 42,8 1989/1990 15.393,9 7.169,0 46,3 8.330,3 53,7 1990/1991 18.250,8 13.071,9 60,9 8.381,5 39,1 1991/1992 23.074,5 13.529,0 57,6 9.975,1 42,4 1992/1993 26.906,3 15.257,2 57,9 11.097,9 2,1 1993/1994 28.428,1 15.823,2 59,5 10.752,5 40,5 REPELITA VI 235.045,5 71.672,1 29,8 169.149,3 70,2 (I) pembangunan % (5) (6) 1994/1995 30.691,7 22.349,069,4 9.837,8 30,6 1995/196 28.780,7 22.578,971,5 9.008,8 28,5 1996/1997 35.951,8 25.069,267,8 11.900,1 32,2 1997/19982) 46.938,3 23.577,649,7 23.817,0 50,3 1998/19993) 92.683,0 114.585,6 123,6 -21.902,6 -23,6 1) Realisasi PAN 2) APBN PerubahWi (APBN-P) 3) A P B N 4) Tennasl;lk sisa anggaran lebih (SAL)/sisa anggaran kurang (SAK) Departemen Keuangan Republik Indonesia 106 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel D.17 PENGELUARAN PEMBANGUNAN BERDASARKAN SUMBER PEMBIA Y AAN, 1989/1990 . 1998/1999 I) (dalam miliar rupiah) Tahon pembangunan (I) (2) REPELITA V Somber Pembiayaan 4) Pengeloaran Penerimaan pemerintah % (3) (4) pembangunan % (5) (6) 112.053,6 64.850,3 57;2 48.537,3 42,8 1989/1990 15.393,9 7.169,0 46,3 8.330,3 53,7 1990/1991 18.250,8 13.071,9 60,9 8.381,5 39,1 1991/1992 23.074,5 13.529,0 57,6 9.975,1 42,4 1992/1993 26.906,3 15.257,2 57,9 11.097,9 2,1 1993/1994 28.428,1 15.823,2 59,5 10.752,5 40,5 235.045,5 71.672,1 29,8 169.149,3 70,2 1994/1995 30.691,7 22.349,0 69,4 9.837,8 30,6 1995/1996 28.780,7 22.578,9 71,5 9.008,8 28,5 1996/1997 35.951,8 25.069,2 67,8 11.900,1 32,2 1997/19982) 46.938,3 23.577,6 49,7 23.817,0 50,3 1998/19993) 92.683,0 -21.902,6 -23,6 114.585,6 123,6 REPELIT A VI . Tabongan . 1) Realisasi PAN 2) APBN Perubahan (APBN-P) 3) APBN 4) Tennasl,ik sisa anggaran 1ebih (SAL)/sisa anggaran kurang (SAK) Departemen Keuangan Republik Indonesia 107 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Berdasarkan penilaian terhadap perkembangan kondisi ekonomi tersebut, dalam penyusunan RAPBN tahun anggaran mendatang, nilai tukar rupiah yang dipanuang cukup realistis sebagai asumsi dasar dalam perhitungan dan penetapan sasaran penerimaan dan beban anggaran be1anja negara diperkirakan berada pada kisaran Rp 7.500,- untuk setiap dolar Amerika, atau makin menguat dibandingkan dengan asumsi kurs rata-rata Rp 10.600, - per dolar Amerika yang digunakan da1am perhitunganAPBN 1998/1999. Sementara itu, 1aju inflasi dalam tahun anggaran mendatang diproyeksikan akan dapat dikendalikan menjadi rata-rata sekitar 17,0 persen, jauh 1ebih rendah dari rata-rata sekitar 66 persen yang diperkirakan dalam tahun anggaran 1998/1999. Demikian pula, 1aju pertumbuhan ekonomi pada tahun anggaran mendatang diperkirakan sedikit mengalarni perbaikan, yaitu dari kontraksi (negatif) sekitar 12 persen dalam tahun anggaran 1998/1999, menjadi 0 persen dalam tahun anggaran 1999/2000. Di sisi ekstenal, perkembangan harga rninyak yang cenderung mengalarni penurunan pada beberapa bulan terakhir sebagai akibat adanya ke1ebihan produksi, diperkirakan masih belum akan pulih kembali menyusul kegagalap OPEC dalam menurunkan kuota produksi. Dengan kecenderungan tersebut, da1am tahun anggaran mendatang harga rata-rata minyak mentah Indonesia (ICP) diasumsikan hanya akan berada pada kisaran US$ 10,5 per barel, sedikit lebih rendah Dari asumsi rata-rata US $ 13 per barel yang ditetapkan dalam APBN 1998/1999. Berbagai perkembangan tersebut akan berpengaruh terhadap penetapan sasaran penerimaan negara dan rencana pengeluaran negara dalam tahun anggaran 199912000. Di sisi penerimaan, kecenderungan penurunan harga minyak dan perubahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika akan berpengaruh negatif terhadap sasaran penerimaan rninyak bumi dan gas a1am (rnigas). Sementara itu, perbaikan kondisi ekonomi dan tingkat inflasi akan berpengaruh positif terhadap sasaran penerimaan pajak, terutama pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilaibarang dan jasa, dan pajak penjualan atas barang mewah (PPN dan PPn- BM), serta penerimaan cukai. Sekalipun denrikian, penurunan tingkat suku bunga diperkirakan akan memperlambat laju peningkatan sasaran penerimaan PPh, khususnya pajak atas penghasilan yang berasal dari penerimaan bunga deposito. Dernikian pula, apresiasi rupiah akan berpengaruh negatif terhadap penerimaan pajak ekspor dan penerimaan luar negeri. Di lain pihak, program privatisasi BUMN akan sangat mempengaruhi sasaran penerimaan negara bukan pajak (PNBP), mengingat sasaran penerimaan yang diharapkan Departemen Keuangan Republik Indonesia 108 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 berasal dan hasil divestasi saham pemerintah pada BUMN relatif cukup besar, yaitu diperkirakan Rp 13.000,0 miliar (sekitar US$ 1,7 miliar), alan mencapai lebih dari 50 persen dari total sasaran PNBP. Parameter kebijakan lainnya yang juga akan mempengaruhi sasaran penerimaan negara adalah kebijakan perubahan tarif pungutan (pajak) ekspor alas Crude Palm Oil (CPO) dan produk-produk turunannya, yang diperkirakan akan mengakibatkan penerimaan pajak ekspor dalam tahun anggaran mendatang tidak sebaik penerimaannya dalam tahun anggaran berjalan, mengingat sebagian besar penerimaan pajak ekspor berasal dari pungutan alas ekspor komoditi CPO Dari produk-produk turunannya. Di sisi pengeluaran negara, alokasi anggaran yang disediakan bagi pengeluaran rutin akan diarahkan kepada upaya-upaya peningkatan kualitas pelayanan pemerintah kepada masyarakat, mempertahankan penghasilan riil pegawai negeri sipil dan anggota ABRl serta para pensiunan agar tidak merosot jauh akibat inflasi, serta membantu meringankan beban masyarakat akibat krisis melalui penyediaan subsidi bagi berbagai komoditi strategis. Sehubungan dengan itu, dalam tahun anggaran mendatang direncanakan untuk memberikan kenaikan kesejahteraan bagi pegawai negeri sipil, anggota ABRI dan penerima pensiunan, serta penyesuaian besarnya tunjangan lauk pauk bagi golongan anggaran tertentu. Demikian pula, pemberian subsidi juga masih akan diberikan terutama untuk subsidi bahan bakar minyak (BBM), subsidi listrik, dan subsidi pangan (beras), namun dengan perubahan kurs jumlahnya akan lebih kecil dan tahun sebelumnya. Sementara itu, rencana penundaan (rescheduling) pembayaran cicilan pokok pinjaman luar negeri yang jatuh tempo dalam tahun 1999/2000 sesuai dengan hasil kesepakatan yang dicapai dalam pertemuan Paris (Paris Club), diperkirakan akan dapat menghemat anggaran rutin dalam jumlah yang sangat berarti dalam situasi krisis. Di biuang pengeluaran pembangunan, dalam rangka mempertahankan dan memperluas cakupan program jaring pengaman sosial, prioritas pembiayaan akan diletakkan pada (i) proyekproyek prasarana dengan kandungan lokal tinggi dan menyerap tenaga kerja besar, (ii) perlindungan sosial dasar di biuang pendidikan, kesehatan, ketahanan pangan, dan proyek sosial lainnya baik di perdesaaan maupun di perkotaan, (iii) pengembangan usaha kecil dan menengah, (iv) restrukturisasi sektor perbankan, dan (v) upaya untuk mendorong ekspor. Program penyehatan dan restrukturisasi perbankan dimaksud sangat penting dalam rangka menghidupkan kembali kegiatan perekonomian nasional, mengingat perbankan dan lembaga Departemen Keuangan Republik Indonesia 109 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 keuangan lainnya mempunyai peranan sentral dalam menjalankan fungsi perantara (financial intermediary function), yaitu menghimpun dana dari sektor yang mengalami surplus (rumah tangga) dan mengalirkannya kepada sektor yang mengalami defisit (dunia usaha). Di samping itu, rencana alokasi anggaran pengeluaran pembangunan juga diarahkan untuk merefleksikan pelaksanaan awal Ketetapan MPR-Rl Nomor XV/MPRlI998 tentan.g Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional Yang Berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Hal ini dilakukan melalui realokasi anggaran (switch policy) Dari proyek -proyek sektoral menjadi dana pembangunan daerah, khususnya bantuan yang bersifat umum (block grant) dalam jumlah yang lebih besar. Dengan memperhatikan berbagai parameter, variabel, dan kebijakan sebagaimana diuraikan di alas, volume APBN 199912000 direncanakan akan berada pada tingkat Rp 219.603,8 miliar, atau sekitar 16,8 persen lebih rendah dari jumlah yang dianggarkan dalam tahun anggaran 1998/1999. Penerimaan dalam negeri direncanakan Rp 142.203,8 miliar, atau 4,8 persen lebih rendah dari sasaran yang ditetapkan dalam APBN 1998/1999. Sementara itu, pengeluaran rutin direncanakan Rp 137.155,5 miliar, atau 19,4 persen lebih rendah dari alokasi anggaran yang ditetapkan dalam tahun sebelumnya. Dengan demikian, dalam tahun anggaran mendatang diperkirakan terdapat tabungan pemerintah (public saving) Rp 5.048,3 miliar, jauh lebih baik dibandingkan dengan tabungan pemerintah negatif Rp 21.902,6 miliar yang diperkirakan dalam tahun anggaran sebelumnya. Di lain pihak, nilai anggaran belanja pembangunan diperkirakan mencapai Rp 82.448,3 miliar, atau 11,0 persen lebih rendah dari alokasi anggaran yang ditetapkan dalam APBN 1998/1999. Sebagian beban anggaran belanja pembangunan dimaksud akan diusahakan pembiayaannya dari sumber-sumber dana pinjaman luar negeri (external financing), baik pinjaman program maupun pinjaman proyek pada pos penerimaan luar negeri. Pinjaman program yang diperlukan untuk membiayai program dan prqyek pembangunan, termasuk program social safety net dalam tahun anggaran mendatang, diharapkan berasal dari Bank Dunia (IBRD), Bank Pembangunan Asia (ADB), dan bantuan bilateral dari pemerintah Jepang. Rangkaian program kebijakan fiskal sebagaimana tercermin di dalam besaran dan strategi pencapaian sasaran penerimaan dan alokasi pengeluaran negara dalam RAPBN 1999/2000 seperti diuraikan di alas, diharapkan akan membantu mempercepat proses stabilisasi dan pemulihan ekonomi nasional agar secepatnya dapat keluar dari krisis yang tengah dihadapi. Departemen Keuangan Republik Indonesia 110 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 2.3.2 Penerimaan dalam negeri Memasuki tahun anggaran 1999/2000, perekonomian nasional masih dibayangi oleh akibat buruk dari krisis yang menimpa sejak pertengahan tahun 1997. Dampak yang kurang menguntungkan tersebut terasa dari menurunnya kegiatan ekonomi, khususnya yang berkaitan dengan kegiatan produksi dan perdagangan, meningkatnya harga-harga umum yang tercermin dari tingginya angka inflasi, serta masih lemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika. Meskipun dalam bulan-bulan terakhir beberapa variabel makro tersebut telah menunjukkan kecenderungan yang semakin baik, namun beratnya pukulan krisis tersebut diperkirakan masih tetap berpengaruh terhadap kemampuan peningkatan sumber penerimaan dalam negeri, terutama dari sektor perpajakan. Dalam struktur penerimaan dalam negeri, penerimaan perpajakan masih menunjukkan pecan yang dominan. Hal tersebut tidak terlepos dari upaya pemerintah untuk meningkatkan penerimaan perpajakan melalui kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah dilaksanakan, seperti perluasan basis pengenaan pajak, intensifikasi pemungutan, dan penyuluhan kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan kesadaran membayar pajak. Sementara itu, prospek penerimaan minyak bumi dan gas alam untuk tahun anggaran 1999/2000 masih diwarnai oleh belum dicapainya kesepakatan kuota produksi baru bagi negaranegara anggota OPEC pada pertemuan yang berlangsung akhir tahun 1998. Perkembangan tersebut telah berpengaruh kepada melemahnya harga minyak mentah dunia, yang pada akhimya akan mengakibatkan rendahnya penerimaan migas dalam tahun anggaran 1999/2000. Dalam tahun anggaran 1999/2000 penerimaan dalam negeri direncanakan mencapai Rp 142.203,8 miliar, yang berarti Rp 7.098,7 miliar atau 4,8 persen lebih rendah Dari APBN tahun anggaran 1998/1999. Dari jumlah tersebut penerimaan minyak bumi dan gas alam diperkirakan mencapai Rp 20.965,0 miliar, seuangkan penerimaan bukan migas mencapai Rp 121.238,8 miliar. Sehubungan dengan rencana tersebut, telah ditempuh berbagai kebijaksanaan di biuang penerimaan migas, penerimaan perpajakan dan penerimaan negara bukan pajak. Kebijaksanaan tersebut akan terus ditingkatkan pelaksanaannya sesuai dengan pernnuang-unuangan yang berlaku seiring dengan kebijaksanaan pembangnnan nasional. Rindan peranan penerimaan migas, penerimaan perpajakan dan penerimaan negara bukan pajak terhadap penerimaan dalam negeri dapat diikuti dalam Tabel 11.18. Departemen Keuangan Republik Indonesia 111 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel 11.18 PERANAN PENERIMAAN DARI MINYAK BUMI DAN GAS ALAM, PERPAJAKAN, DAN BUKAN PAJAK, TERHADAP PENERIMAAN DALAM NEGERI, APBN 1998/1999 DAN RAPBN 1999/2000 (dalam persen) No. Jenis Penerimaan (1) (2) 1. 2. APBN RAPBN 1998/1999 1999/2000 (3) (4) Minyak bumi dan gas alam (migas) 33,3 14,7 Penerimaan bukan migas 66,7 85,3 a. Penerimaan perpajakan 48,8 66,7 b. Penerimaan bukan pajak 17,9 18,6 100,0 100,0 Jumlah Departemen Keuangan Republik Indonesia 112 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 2.3.2.1 Penerimaan Minyak Bumi dan Gas Alam Kebijakan di biuang energi pada dasarnya bertujuan untuk menjamin kelangsungan penyediaan energi di dalam negeri dan pemenuhan kebutuhan untuk ekspor. Adapun sasaran yang akan dicapai pada akhir Repelita VI adalah mengurangi pangsa minyak burn sebagai sumber energi untuk selanjutnya diganti dengan energi non-minyak bumi, dan mengembangkan energi baru yang terbarukan. Upaya-upaya yang telah dilakukan selama ini untuk mempertahankan jumlah cauangan melalui kegiatan eksplorasi yang intensif untuk mencari dan menemukan cauangan baru, enhanced oil recoverylEOR (untuk mempertahankan tingkat produksi), secondary recovery (pengurasan tahap kedua), perawatan sumur, uji coba dan studi-studi lanjut terhadap marginal field serta metoda full scale telah berjalan dengan efektif. Hal ini terlihat dari masih dapat dipertahankannya jumlah cauangan minyak bumi sebesar 9,09 miliar barel, dan cauangan gas alam sebesar 137,8 TSCF (trillion standard cubic feet). Sementara itu, penemuan lapangan minyak burn dan gas alam di kawasan Indonesia Timur sangat diharapkan dalam waktu yang tidak terlalu lama dapat segera dikembangkan dan diproduksikan. Di samping itu juga meningkatnya investasi para KPS (Kontrak Produksi Sharing), yang memungkinkan penemuan sumur baru dan penambahan cauangan. Upaya-upaya tersebut juga dibarengi dengan upaya menjaga kelestarian lingkungan hidup, sehingga sumber daya energi dapat dipelihara selama mungkin dan pemakaiannya dapat mengurangi dampak yang membahayakan masyarakat luas. Hal ini dilakukan melalui pengelolaan energi yang memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan, sejak tingkat eksplorasi, eksploitasi, pengangkutan, pengolahan, distribusi sampai penggunaannya. Di samping itu juga mulai diupayakan pemakaian energi pengganti minyak bumi, seperti penggunaan batu bara. Selanjutnya, dengan melihat kepada perkembangan yang terjadi sampai dengan tahun anggaran 1998/1999, kebijakan dan langkah-langkah di biuang minyak bumi dan gas alam yang ditempuh dalam tahun anggaran 1999/2000 antara lain meliputi pemberian kesempatan usaha bagi swasta, diterapkannya SBU (strategic business unit) di kilang-kilang Pertamina, pengurangan kandungan timbal pada bensin secara bertahap, peningkatan produksi BBM di kilang yang ada, penyelesaian pembangunan pipa gas transmisi Sumatera - Jawa, peningkatan produksi LNG dan LPG untuk ekspor dan peningkatan penggunaan LPG sebagai energi altematif pengganti BBM, serta pemberian peluang kepada pihak swasta nasional maupun asing Departemen Keuangan Republik Indonesia 113 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 untuk berperan serta dalam usaha penyediaan BBM. Adapun sasaran yang akan dicapai pada tahun anggaran 199912000 adalah produksi BBM dan Non-BBM masing-masing 289,97 juta barel dan 71,87 juta barel, produksi LNG dan LPG masing-masing 34,49 juta ton dan 2,46 juta ton, serta ekspor LNG dan LPG masing-masing 1,61 juta ton dan 28,87 juta ton. Berdasar kepada kebijakan dan sasaran di biuang minyak bumi dan gas alam tersebut, dalam tahun anggaran 199912000 penerimaan minyak bumi dan gas alam direncanakan mencapai Rp 20.965,0 miliar atau 57,8 persen lebih rendah dari rencana dalam tahun anggaran 1998/1999. Lebih rendahnya rencana penerimaan minyak bumi dan gas alam tersebut disebabkan oleh lebih rendahnya penetapan asumsi harga rata-rata minyak bumi serta telah menguatnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika. Jumlah tersebut terdiri dari penerimaan minyak bumi Rp 12.443,4 miliar dan penerimaan gas alam Rp 8.521,6 miliar. 2.3.2.2 Penerimaan Perpajakan Menyadari akan beratnya kondisi ekonomi dalam negeri, di biuang perpajakan, berbagai upaya telah dan akan dilakukan, terutama yang menyangkut langkah ekstensifikasi dan intensifikasi pemungutan pajak. Langkah tersebut antara lain ditempuh melalui dihapuskannya beberapa fasilitas pembebasan pajak pertambahan nilai, peningkatan efektivitas pengawasan dan administrasi perpajakan, serta pemeriksaan dan pengawasan terhadap wajib pajak potensial. Selain itu, di biuang pajak perdagangan internasional, prospek penerimaan pajak ekspor dan bea masuk akan dipengaruhi oleh berbagai kesepakatan perdagangan antanegara di dunia. Kesepakatan untuk secara bertahap menurunkan tarif bea masuk sebagaimana kesepakatan Organisasi Perdagangan Internasional (WTO), diperkirakan akan membawa pengaruh kepada tidak terlalu tingginya jenis penerimaan ini. 2.3.2.2.1 Pajak Penghasilan Dalam tahun anggaran 1999/2000 berbagai upaya akan tetap dilakukan untuk mempertahankan penerimaan pajak sebagai sumber pembiayaan kegiatan pemerintah. Program pokok yang masih terus dilaksanakan adalah ekstensifikasi dan intensifikasi pemungutan pajak, dan penyempumaan sistem administrasi perpajakan. Melalui program ekstensifikasi diharapkan bahwa penerimaan pajak penghasilan dapat meningkat sejalan dengan perkembangan jumlah wajib pajak dan perluasan objek pajak, seuangkan melalui intensifikasi diharapkan adanya peningkatan penerimaan pajak penghasilan sebagai akibat dari meningkatnya kesadaran wajib Departemen Keuangan Republik Indonesia 114 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 pajak. Dengan sistem administrasi yang semakin rapi diharapkan bahwa upaya penegakan hukum dalam pemungutan pajak dapat dilaksanakan sehingga penerimaan pajak dapat ditingkatkan. Variabel-variabel ekonomi makro yang berpengaruh dalam pencapaian sasaran penerimaan pajak penghasilan yaitu pertumbuhan ekonomi sebagaimana tercermin dalam produk domestik bruto, tingkat inflasi, dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Dengan semakin membaiknya kondisi ekonomi makro pada tahun anggaran 1999/2000 dapat diharapkan bahwa penerimaan pajak penghasilan akan tetap mampu berperan dalam pengumpulan penerimaan pajak. Namun sejalan dengan perkembangan nilai tukar rupiah yang belum sepenuhnya stabil, maka penerimaan pajak penghasilan khususnya yang berasal dari impor juga diperkirakan masih berfluktuasi, mengingat bahwa besarnya pajak penghasilan yang berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barang impor tersebut tergantung kepada nilai impor. Selanjutnya dalam rangka menyesuaikan berbagai perkembangan perekonomian dan dampak krisis yang melanda masyarakat luas, dalam tahun anggaran 1999/2000 dilakukan perubahan penghasilan tidak kena pajak (PTKP), yakni dari Rp 1.728.000,00 menjadi Rp 2.880.000,00 untuk diri wajib pajak. Kebijaksanaan tersebut dituangkan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 361 Tahun 1998 tanggal 27 Jull 1998 tentang Faktor Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang mulai berlaku untuk tahun pajak 1999. Seuangkan dalam upaya mencapai sasaran penerimaan pajak, kebijaksanaan pemerintah mengenai pelaksanaan pembayaran dan pemotongan pajak penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan yang merupakan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah N omor 29 Tahun 1996 tanggal 16 April 1996 masih terus dilanjutkan dalam tahun anggaran 1999/2000. Sementara itu, untuk mengatur kembali ketentuan mengenai besarnya pajak penghasilan bagi orang pribadi yang akan bertolak ke luar negeri telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1998 tentang Perubahan alas Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan bagi Orang Pribadi yang Bertolak ke Luar Negeri sebagaimana telah Diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 1996. Pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini dijabarkan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 30 Tahun 1998 dan Sural Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-02/PJ .41/1998 tanggal 2 Februari 1998, yaitu mengubah nilai fiskal luar negeri yang semula Rp 250.000,00 menjadi Rp Departemen Keuangan Republik Indonesia 115 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 1.000.000,00 bagi setiap orang untuk setiap kali bertolak ke luar negeri dengan menggunakan pesawat udara. Dalam tahun anggaran 199912000 penerimaan pajak penghasilan direncanakan akan mencapai Rp 40.626,0 miliar, yang berarti 57,2 persen lebih tinggi Dari APBN 1998/1999. Untuk mencapai rencana penerimaan pajak penghasilan tersebut dalam tahun anggaran mendatang akan dilakukan peningkatan penyuluhan dan pelayanan kepada wajib pajak, pengawasan administratif khusus kepada wajib pajak potensial, peningkatan efisiensi kerja melalui sistem informasi perpajakan, rekonsiliasi data dari pihak ketiga dengan surat pemberitahuan wajib pajak, penelitian dan pemerlksaan serta penyidikan pajak yang lebih efektif. 2.3.2.2.2 Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM) Sebagai pajak tidak langsung, yang menurut Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan alas Barang Mewah (PPN dan PPnBM), dikenakan atas konsumsi dalam negeri, penerimaan PPN dan PPnBM tergantung pada perkembangan nilai konsumsi dalam negeri, khususnya untuk barang-barang konsumsi yang atas transaksinya terutang PPN dan PPnBM. Konsekuensinya, penerimaan jenis pajak ini berkaitan erat dengan kondisi berbagai variabel ekonomi yang menentukan tingkat konsumsi dalam negeri, seperti tingkat pertumbuhan ekonomi dan tingkat inflasi yang secara bersama-sama menentukan besarnya nilai pendapatan masyarakat di dalam negeri. Di samping itu, nilai tukar rupiah terhadap valuta asing juga menentukan besarnya konsumsi dalam negeri alas berbagai barang yang diimpor Dari luar negeri. Masing-masing faktor tersebut dapat mempengaruhi penerimaan PPN dan PPnBM dengan ukuran dan arah yang berbeda-beda, baik antarwaktu, antarkegiatan ekonomi, maupun antarjenis usaha. Selanjutnya, dalam tahun anggaran 1999/2000 kondisi ekonomi diperkirakan akan menjadi lebih baik dari kondisinya dalam tahun anggaran 1998/1999 yang ditunjukkan oleh lebih rendahnya tingkat inflasi, lebih kuatnya nilai tukar rupiah, dan lebih tingginya tingkat pertumbuhan ekonomi. Perkembangan tersebut diharapkan dapat mendorong naiknya tingkat konsumsi dalam negeri, yang pada gilirannya dapat meningkatkan penerimaan PPN dan PPnBM. Selain itu, penerimaan PPN dan PPnBM berkembang sejalan dengan ditempuhnya berbagai kebijaksanaan yang diambil seperti perluasan objek pajak dan jumlah pengusaha kena Departemen Keuangan Republik Indonesia 116 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 pajak (PKP). Sejalan dengan itu, di biuang pengawasan akan diupayakan peningkatan efektivitas pengawasan administrasi dan penegakan hukum terhadap pengusaha kena pajak, dan pelaksanaan pengecekan silang antara data PPN dan data PPh. Kebijaksanaan tersebut juga danukung oleh upaya peningkatan kerjasama dengan instansi lain, dan pencabutan serta penghapusan fasilitas di biuang perpajakan atas barang kena pajak dan jasa kena pajak tertentu, seperti impor mobil untuk taksi dan impor barang modal untuk usaha listrik swasta. Di lain pihak, kebijaksanaan di biuang PPN dan PPnBM diarahkan pula untuk merangsang berkembangnya kegiatan ekonomi dalam bentuk pemberian berbagai fasilitas di biuang PPN dan PPnBM seperti untuk impor pakan ternak, impor suku cauang mobil, serta penyerahan barang/jasa yang berkaitan dengan kegiatan investasi di kawasan pengembangan ekonomi terpadu (KAPET). Berdasarkan perkembangan kondisi ekonomi serta berbagai kebijaksanaan yang akan ditempuh tersebut, penerimaan PPN dan PPnBM dalam tahun anggaran 1999/2000 direncanakan mencapai Rp 34.597,4 miliar yang berarti Rp 5.657,4 miliar lebih tinggi dari APBN 1998/1999. 2.3.2.2.3 Pajak Bumi dan Bangunan dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (PBB dan BPHTB) Sebagai sumber penerimaan pemerintah pusat yang penggunaannya langsung dialokasikan kepada daerah, pajak bumi dan bangunan telah selaras dengan salah satu agenda reformasi di biuang ekonomi, khususnya yang menyangkut penyelenggaraan otonomi daerah, pengaturan, pembagian, dan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Berdasarkan Undangundang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah dirubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 ten tang Perubahan atas Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985, ditetapkan bahwa tarif PBB adalah 0,5 persen dengan ni1ai jual kena pajak 20 persen. Sementara itu, khusus untuk sektor perkebunan dan perhutanan serta perumahan mewah yang dipakai pribadi yang bernilai lebih Dari Rp 1.000.000.000,00 diberlakukan nilai jual kena pajak 40 persen. Di samping terus dilakukan penyempurnaan berbagai kebijaksanaan di biuang pajak bumi dan bangunan, sejak 1 Iuli 1998 telah diberlakukan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). BPHTB adalah sejenis pajak yang dikenakan atas nilai perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan yang meliputi Departemen Keuangan Republik Indonesia 117 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 pemindahan hak dan pemberian hak baru. Dalam Undang-undang tersebut diatur bahwa tarifnya adalah 5 persen dari nilai perolehan objek pajak, dan atas setiap objek pajak diberikan nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak (NPOPTKP) Rp 30.000.000,00. Dalam tahun anggaran 199912000 penerimaan pajak bumi dan bangunan dan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan direncanakan mencapai Rp 3.247,0 miliar, yang berarti 4,8 persen lebih rendah dari APBN 199811999;- Penurunan tersebut berkaitan dengan masih lesunya kegiatan di sektor properti yang diperkirakan masih akan berlanjut dalam tahun anggaran 1999/2000. Dengan rencana tersebut, peranan penerimaan PBB dan BPHTB terhadap penerimaan perpajakan meneapai 3,4 persen. Sasaran penerimaan tersebut diharapkan dapat tercapai melalui upaya-upaya pemutakhiran data subjek dan objek pajak, peningkatan jumlah wajib pajak dan intensifikasi pemungutan pajak, serta peningkatan penegakan hukum. Di samping itu akan terus dilakukan peningkatan kepatuhan wajib pajak melalui kegiatan penagihan, pengembangan sistem administrasi pajak bumi dan bangunan melalui sistem informasi objek pajak, serta peningkatan kerjasama dengan pemerintah daerah, Badan Pertanahan Nasional dan notaris, serta pejabat pembuat akta tanah (PPAT). 2.3.2.2.4 Pajak Lainnya Penerimaan pajak lainnya bersumber dari bea meterai, yang pengenaannya danasarkan pada Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai atau Undang-undang Bea Meterai 1985. Dalam pelaksanaannya, sesuai dengan Peraturan Pemerintah N omor 7 Tahun 1995 tentang Tarif Bea Meterai yang berlaku sejak tanggal16 Mei 1995 diatur bahwa objek bea meterai adalah sural perjanjian dan surat lainnya yang digunakan untuk alat pembuktian yang bersifat perdata, akte notaris dan salinannya, akte PPAT dan rangkapnya, cek dan bilyet giro, serta surat dan dokumen lainnya dengan nilai nominal paling sedikit Rp 250.000,00. Dalam prakteknya, perkembangan penerimaan bea meterai tergantung pada perkembangan transaksi yang menurut Undang-undang dokumennya harus diberi meterai. Oleh karena itu, kondisi perekonomian yang dalam tahun 199912000 diharapkan lebih baik dari tahun sebelumnya, diperkirakan akan mendorong penerimaan pajak lainnya. Sehubungan dengan itu, penerimaan pajak lainnya dalam tahun anggaran 1999/2000 diperkirakan meneapai Rp 564,5 miliar, yang berarti 4,5 persen lebih tinggi dari rencananya dalam APBN 1998/1999. Untuk lebih menjamin tercapainya sasaran tersebut, ditempuh upaya Departemen Keuangan Republik Indonesia 118 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 peningkatan pengawasan alas pemakaian benda-benda meterai, mesin teraan meterai, dan peneetakan tanda lunas bea meterai. Selain itu juga diupayakan peningkatan upaya pencegahan beredarnya meterai tempel palsu. 2.3.2.2.5 Bea Masuk Dengan telah diberlakukannya Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan secara penuh pada 1 April 1997 landasan hukum biuang kepabeanan telah semakin kuat. Kuatnya landasan pelaksanaan kebijaksanaan di biuang pabean tersebut merupakan salah satu upaya untuk mengantisiposi tantangan global perdagangan dunia yang ditandai oleh semakin cepatnya arus barang dan jasa, serta hampir menghilangnya batas-batas wilayah suatu negara. Sebagai konsekuensinya, hambatan perdagangan internasional, baik berupa hambatan tarif maupun non tarif akan semakin berkurang, dan diharapkan dalam dua dasawarsa ke depan seeara bertahap dapat dihilangkan. Kecenderungan akan semakin menurunnya tarif tersebut merupakan konsekuensi dari era perdagangan bebas, yang pada gilirannya akan berpengarnh langsung kepada berkurangnya potensi penerimaan bea masuk pada tahun 1999/2000. Dalam hubungannya dengan perkembangan tersebut, maka kebijaksanaan penurunan bea masuk alas impor barang tertentu sebagaimana tertuang dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 294 Tahun 1997 akan terus di1aksanakan, kecuali untuk impor alkoho1 sulingan dari minuman mengandung alkoho1 yang tarif bea masuknya tidak diturunkan. Hal tersebut dimaksudkan untuk mencegah konsumsi barang tersebut secara berlebihan mengingat akan adanya dampak negatif bagi kesehatan masyarakat. Sementara itu, semakin besarnya tuntutan pe1ayanan di biuang kepabeanan telah me1ahirkan berbagai upaya untuk meningkatkan keterampilan dan profesionalisme aparat pelaksana. Peningkatan pelayananj uga melibatkan penggunaan teknologi mutakhir sehingga mampu mempercepat proses penyelesaian dokumen. Dalam rangka modemisasi sistem kepabeanan telah diujicobakan sistem kepabeanan baru yang dikenal dengan electronic data interchange (EDI) yaitu suatu sistem pertukaran data bisnis antaraplikasi antarinstansi secara elektronik dengan menggunakan standar yang disepakati bersama, dan pelaksanaannya secara penuh telah diterapkan di Kantor Pelayanan Bea dan Cukai Jakarta Tanjung Priok I, II, dan III, dan Kantor Pelayanan Bea dan Cukai Soekarno Hatta II. Pemilihan tempat uji coba di kantorkantor tersebut danasarkan pada besarnya volume kegiatan impor pada kantor-kantor tersebut. Dengan menggunakan sistem informasi tersebut, pelayanan kepabeanan akan semakin cepat Departemen Keuangan Republik Indonesia 119 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 tanpa menimbulkan ekonomi biaya tinggi, sehingga mampu mengatasi beban kerja yang besar sekaligus dapat meningkatkan produktivitas. Pemakaian sistem ini diperlukan mengingat perkembangan perdagangan internasional yang semakin pesat menuntut kecepatan arus lain lintas informasi data kepabeanan yang pada gilirannya diharapkan memperlancar arus barang di pelabuhan, baik untuk barang ekspor maupun impor. Dalam tahun anggaran 1999/2000 penerimaan bea masuk direncanakan akan mencapai Rp 2.950,3 miliar, berarti 46,3 persen lebih rendah dari APBN tahun anggaran sebelumnya. Meskipun demikian, upaya-upaya untuk meningkatkan penerimaan bea masuk terus dilakukan, antara lain dengan terus mengintensifkan pengawasan dalam rangka pencegahan dan pemberantasan penyelundupan. 2.3.2.2.6 Cukai Dalam tahun anggaran 1999/2000, peran penerimaan cukai bagi penerimaan dalam negeri masih sangat diperlukan. Sampai saat ini, lebih Dari 96 persen penerimaan cukai berasal dari cukai hasil tembakau, seuangkan sisanya berasal dari cukai 1ainnya. Penerimaan cukai hasil tembakau dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu tarif cukai, harga jual eceran (HJE) produk hasil tembakau dan volume produksi dari masing-masing produsen hasil tembakau. Kebijaksanaan cukai hasil tembakau diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 118 Tahun 1998 tentang Penetapan Tarif Cukai dan Harga Dasar Hasil Tembakau yang kemudian ditindaklanjuti dengan peraturan pelaksanaan berupa Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai terakhir dengan Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor 55 Tahun 1998 tentang Perubahan Pasal4 Ayat (2), Ayat (3), dan Ayat (4) serta Pasal6 Ayat (1) dan Ayat (2) Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor 16 Tahun 1998 ten tang Harga Jua1 Eceran Tembakau yang berlaku mulai 1 Oktober 1998. Selain itu juga telah dikeluarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 445 Tahun 1998 tentang Penetapan Tarif Cukai Khusus Hasil Tembakau Jenis Sigaret Putih.Mesin. Keputusan tersebut dikeluarkan sehubungan dengan adanya sistem tarif yang berlaku dan juga akibat adanya gejolak perekonomian dewasa ini, sehingga pengusaha hasil tembakau jenis sigaret putih mesin (SPM) dengan harga jual tertentu mengalami kenaikan beban tarif yang cukup besar secara mendadak. Sehubungan dengan itu, untuk menghindari terhambatnya produksi hasil tembakau dan persaingan yang kurang sehat, maka tarif SPM dinaikkan sebesar dua persen untuk setiap kenaikan satu tingkat golongan tarif cukai yang lebih tinggi. Departemen Keuangan Republik Indonesia 120 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Selanjutnya, untuk barang kena cukai yang dipergunakan sebagai bahan baku alan bahan penolong dalam pembuatan barang hasil akhir yang merupakan barang kena cukai dinyatakan tidak dipungut cukai. Pelaksanaan tersebut diatur melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 242 Tahun 1996 tentang Tidak Dipungut Cukai. Dengan ketentuan tersebut maka untuk etil alkohol, rninuman yang mengandung etil alkohol, dan hasil tembakau, yang digunakan sebagai bahan baku dan penolong tidak dipungut cukai. Pelaksanaan di lapangan dari ketentuan tersebut lebih lanjut diatur dengan Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor 32 Tahun 1998 tentang Penggunaan Etil Alkohol Sebagai Bahan Baku/Penolong Dalam Pembuatan Minuman Mengandung Etil Alkohol dan Hasil Tembakau Dengan Posilitas Tidak Dipungut Cukai. Di biuang pembebasan cukai etil alkohol telah diberlakukan surat edaran Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor 31 Tahun 1995 tentang Pelaksanaan Pemberian Pembebasan Cukai Etil Alkohol. Selain itu, dalam rangka meningkatkan penerimaan cukai, kebijaksanaan yang ditempuh adalah melakukan pemberantasan peredaran pita cukai palsu dan pemberantasan penjualan atas barang kena cukai yang dibebaskan tidak dipungut cukai dan keringanan alas barang kena cukai, dan peningkatan kegiatan pemeriksaan yang efektif dan efisien. Berdasarkan kebijaksanaan dan berbagai upaya tersebut dalam tahun anggaran 1999/2000 penerimaan cukai direncanakan mencapai Rp 10.160,0 miliar alan 31,0 persen lebih tinggi dari APBN 1998/1999. Membaiknya penerimaan cukai ini terutama berhubungan dengan adanya perubahan harga jual eceran hasil tembakau yang diperkirakan akan mampu mendorong Jenis penerimaan ini. 2.3.2.2.7 Pungutan (Pajak) Ekspor Pungutan (pajak) ekspor merupakan pungutan yang dikenakan alas produk-produk ekspor tertentu dengan tujuan untuk mendorong pertumbuhan ekspor barang jadi dan terjaminnya posokan barang di dalam negeri. Namun demikian penerimaan pungutan (pajak) ekspor juga telah memberikan sumbangan yang cukup berarti dalam penerimaan dalam negeri. Dasar pengenaan pungutan (pajak) ekspor mengacu pada Keputusan Menteri Keuangan Nomor 241 Tahun 1998 tentang Penetapan Besarnya Tarif dan Tata Cara Pembayaran Serta Penyetoran Pajak Ekspor atas Beberapa Komoditi Tertentu. Berdasarkan kebijaksanaan tersebut besarnya tarif pungutan (pajak) ekspor yang berlaku rata-rata sebesar 30 persen. Sementara itu, pungutan Departemen Keuangan Republik Indonesia 121 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 (pajak) ekspor untuk kelapa sawit dan produk turunannya, diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 334 Tahun 1998 tentang Penetapan Besarnya Tarif Pajak Ekspor Ke1apa Sawit, Minyak Sawit, Minyak Ke1apa, dan Produk Turunannya. Da1am kebijaksanaan tersebut besarnya tarif pajak ekspor untuk ke1apa sawit dan produk turunannya rata-rata mengalami peningkatan. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga stabilitas harga minyak goreng di dalam negeri. Kebijaksanaan tersebut juga dimaksudkan untuk mendorong ekspor nonmigas khususnya untuk meningkatkan ekspor barang jadi yang mempunyai nilai tambah lebih tinggi. Dalam tahun anggaran 199912000 penerimaan pungutan (pajak) ekspor direncanakan dapat mencapai Rp 2.594,5 rniliar, yang berarti 175,2 persen lebih tinggi dibandingkan dengan APBN tahun sebelumnya. 2.3.2.3 Penerimaan Negara Bukan Pajak Peluang meningkatkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dalam tahun anggaran 1999/2000 guna menghimpun dana yang diperlukan bagi pembiayaan kegiatan pemerintah masih menghadapi tantangan berat, antara lain perkembangan terakhir keadaan perekonomian nasional, seperti gejolak moneter yang belum reda, tekanan inflasi yang masih cukup berat, dan rendahnya tingkat produksi nasional menimbulkan dampak yang kurang menguntungkan bagi PNBP. Namun demikian, Pemerintah terus berupaya melakukan berbagai penyesuaian dan penyempurnaan terhadap berbagai program yang telah dilakukan dalam tahun sebelumnya, serta terus melakukan pengawasan dan pengelolaan pungutan PNBP secara intensif. Guna mendukung pelaksanaan kebijaksanaan tersebut, telah dilakukan program sosialisasi PNBP, yaitu berupa penyuluhan mengenai arti pentingnya pembayaran PNBP sesuai dengan prosedur dan biaya yang telah ditentukan, baik melalui media massa, audio visual, maupun dengan mengumumkan secara transparan besarnya biaya pada loket/tempat pembayaran. Sementara itu dengan beralihnya fungsi pembinaan BUMN ke Kantor Menteri Negara Pendayagunaan BUMN/Badan Pengelola BUMN, diharapkan BUMN di masa mendatang menjadi perusahaan yang tangguh, mandiri dan mampu meningkatkan daya saing hasil usahanya. Upaya tersebut antara lain ditempuh melalui berbagai program peningkatan efisiensi dan efektivitas, serta restrukturisasi dan privatisasi. Dengan demikian, diharapkan PNBP yang berasal dari penerimaan departemen/lembaga pemerintah nondepartemen maupun dari bagian pemerintah atas laba BUMN dapat meningkat. Melalui pemanfaatan peluang dengan berbagai upaya di tengah krisis perekonomian Departemen Keuangan Republik Indonesia 122 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 nasional seperti sekarang ini, maka penerimaan negara bukan pajak tahun anggaran 199912000 direncanakan Rp 26.499,1 rniliar atau 0,6 persen lebih rendah dari yang direncanakan dalam APBN 1998/1999. Penerimaan tersebut direncanakan akan berasal dari penerimaan departemen/lembaga pemerintah nondepartemenRp 9.499,1 miliar, dan penerimaanyangmerupakan bagian pemerintah atas laba BUMN Rp 4.000 rniliar, serta privatisasi Rp 13.000,0 miliar. Selanjutnya rincian penerimaan dalam negeri dalam APBN 1998/1999 dan RAPBN 1999/2000 dapat dilihat dalam Tabe! II.19. 2.3.3 Penerimaan Luar Negeri Untuk mendukung perkembangan ekonomi yang masih dalam situasi krisis saat ini masih tetap diperlukan pinjaman luar negeri, baik pinjaman program maupun pinjaman proyek yang pada masa sebelumnya diterima sebagai bantuan program dan bantuan proyek. Sebagaimana dalam tahun anggaran sebelumnya, pinjaman program dalam tahun anggaran 1999/2000 juga merupakan pinjaman program yang dapat segera dirupiahkan untuk membiayai berbagai program guna mengatasi dampak krisis ekonomi. Pinjaman tersebut antara lain berasal Dari Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia. Bantuan Dari Bank Dunia berupa Policy Reform Structural Adjustment Loan II guna melanjutkan dukungan terhadap program pemerintah di biuang kebijakan ekonomi dan kebijakan kelembagaan secara menyeluruh, Governance Structural Adjustment Loan guna mendukung reformasi di biuang pemerintahan, dan Social Safety Net Adjustment Loan guna memberikan bantuan finansial bagi program jaring pengaman sosial melalui pelaksanaan dan monitoring program tersebut yang lebih efisien dan terbebas dari praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sementara itu, pinjaman dari Bank Pembangunan Asia berupaPower Sector Restructuring Development Program_guna mendukung restrukturisasi sektor kelistrikan, Perusahaan Listrik Negara, Trade and Industry Program Loan guna meningkatkan struktur industri yang lebih bervariasi dan efisien melalui penerapan kebijakan yang lebih mampu bersaing secara global serta memberikan kesempatan yang lebih luas pada pengusaha-pengusaha kecil, dan Sector.Development Program Community and Local Government Support guna penanggulangan kemiskinan. Seuangkan pinjaman proyek merupakan perkiraan nilai lawan pinjaman proyek yang telah disepakati oleh pemberi pinjaman dalam tahun-tahun sebelumnya serta pinjaman proyek Departemen Keuangan Republik Indonesia 123 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 baru yang telah selesai negosiasinya dan dituangkan dalam naskah perjanjian luar negeri yang telah ditandatangani. Tabel 11.19 PENERIMAAN DALAM NEGERI, APBN 1998/1999 DAN RAPBN 1999/2000 (dalam miliar rupiah) APBN RAPBN A%thd. 1998/1999 1999/2000 APBN (2) (3) gas slam (migas) 49.711,4 20.965,0 - 57,8 (1) Minyak bumi 32.908,6 12.443,4 - 62,2 (2) Gas alam 16.802,8 8.521,6 - 49,3 II. Penerimaan bukan migas 99.591,1 121.238,8 + 21,7 (1) Pajak penghasilan 25.846,2 40.626,0 + 57,2 (2) Pajak pertambahan nilai 28.940,0 34.597,4 + 19,5 (3) Bea masuk 5.494,9 2.950,3 - 46,3 (4) Cukai 7.755,9 10.160,0 + 31,0 Jenis penerimaan (1) (4) I.Penerimaan minyak bumi daD .. (5) Pajak ekspor 942,8 2.594,5 + 175,2 3.411,0 3.247,0 - 4,8 540,0 564,5 + 4,5 (8) Penerimaan negara bukan pajak 26.660,3 26.499,1 - 0,6 Jumlah 149.302,5 142.203,8 - 4,8 (6) PBB clan BPHTB (7) Pajak lainnya Pinjaman program dan pinjaman proyek yang dicatat sebagai penerimaan luar negeri Departemen Keuangan Republik Indonesia 124 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 dalam tahun anggaran 199912000 direncanakan Rp 77 .400,0 miliar, yang berarti 32,5 persen lebih rendah dari rencana dalam APBN tahun anggaran 1998/1999. Penerimaan tersebut terdiri dari pinjaman program Rp 47.400,0 miliar dan pinjaman proyek Rp 30.000,0 miliar. 2.3.4 Pengeluaran Rutin Seperti halnya dalam tahun-tahun anggaran sebelumnya, penyusunan anggaran belanja rutin tahun anggaran 199912000 dilandasi oleh sikap cermat, hati-hati dan realistis, serta tetap mengacu kepada usaha pencapaian sasaran secara efektif. Hal ini danasarkan pertimbangan bahwa rancangan anggaran belanja rutin merupakan perwujudan dari program kerja dan rencana kegiatan pemerintah dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintahan dan pemberian pelayanan kepada masyarakat yang akan dilaksanakan dalam tahun anggaran yang bersangkutan. Berdasarkan kerangka acuan tersebut, dalam menetapkan besarnya kebutuhan anggaran belanja rutin tahun anggaran 199912000 diupayakan agar benar-benar mencerminkan prioritas nasional yang kongkrit dan realistis, di samping danukung oleh sumber-sumber pembiayaan yang riil. Sebagai bagian dari sistem penganggaran negara, penentuan besarnya anggaran belanja rutin tahun anggaran 1999/2000 tidak terlepos dari pengaruh berbagai faktor internal dan eksternal, baik yang terjadi dalam tahun anggaran sebelumnya, maupun yang diperkirakan terjadi dalam tahun anggaran selanjutnya. Dalam kaitan ini, berbagai perkembangan yang kurang menguntungkan, baik di biuang ekonomi maupun sosial politik yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir telah memberikan dampak langsung terhadap besarnya anggaran belanja rutin yang perin disediakan dalam tahun anggaran 1999/2000. Sementara itu, terjadinya krisis ekonomi yang dipicu oleh depresiasi rupiah yang sangat tajam terhadap dolar Amerika sejak pertengahan tahun 1997, telah memberikan dampak yang kurang menguntungkan bagi perekonomian nasional, dan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Hal ini tercermin Dari semakin beratnya upaya menghimpun pendapatan negara untuk membiayai anggaran belanja negara. Terjadinya depresiasi rupiah telah menyebabkan membengkaknya beban belanja rutin yang mengandung komponen valuta asing, terutama pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri dan subsidi BBM yang merupakan pos pengeluaran yang cukup besar. Selain itu, depresiasi rupiah telah memberikan tekanan terhadap harga-harga, khususnya harga berbagai bahan kebutuhan pokok masyarakat, sehingga di samping mendorong meningkatnya laju inflasi juga perlu disediakan tambahan anggaran Departemen Keuangan Republik Indonesia 125 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 untuk menampung berbagai jenis subsidi, di antaranya subsidi bahan pangan, obat-obatan, dan listrik. Dengan memperhatikan perkembangan penerimaan negara dan kondisi perekonomian nasional secara luas, serta rencana kegiatan dan berbagai kebutuhan pembiayaan rutin yang perlu disediakan dalam tahun anggaran 1999/2000, besarnya anggaran belanja rutin dalam RAPBN 1999/2000 direncanakan Rp 137.155,5 niiliar, alan 19;9 persen lebih rendah dari anggaran belanja rutin yang dianggarkan dalam tahun anggaran 1998/1999. Lebih rendahnya penyediaan anggaran tersebut terutama berkaitan dengan lebih rendahnya anggaran yang disediakan untuk pembayaran bunga dan cicilan hutang, belanja barang, serta beberapa pos pembiayaan subsidi yang ditampung dalam pengeluaran rutin lainnya. Seuangkan untuk belanja pegawai, dan be1anja rutin daerah, anggaran yang disediakan dalam tahun anggaran 1999/2000 mengalami peningkatan dibandingkan dengan anggaran yang direncanakan dalam APBN 1998/1999. 2.3.4.1 Pengeluaran Rutin Menurut Klasifikasi Ekonomi Keseluruhan anggaran belanja rutin yang disediakan dalam RAPBN 1999/2000 dialokasikan ke dalam belanja pegawai, belanja barang, belanja rutin daerah, pembayaran bunga dan cicilan hutang, serta pengeluaran rutin lainnya. Dalam RAPBN tahun anggaran 1999/2000, anggaran yang disediakan untuk belanja pegawai direncanakan Rp 33.569,1 miliar, alan 24,5 persen Dari keseluruhan pagu pengeluaran rutin yang disediakan dalam RAPBN 1999/2000. Dari rencana tersebut, Rp 26.824,9 miliar atau 79,9 persen disediakan untuk gaji dan pensiun, yang berarti meningkat Rp 7.704,9 miliar, atau 40,3 persen dibanding anggaran yang disediakan dalam APBN tahun anggaran sebelumnya. Lebih tingginya anggaran tersebut selain untuk menampung adanya rencana kenaikan gaji pegawai, kenaikan pangkat/golongan, kenaikan gaji berkala, dan tambahan tunjangan keluarga, juga berkaitan dengan rencana pengangkatan pegawai baru di beberapa departemen/lembaga pemerintah nondepartemen (LPND), termasuk di antaranya guru, tenaga medis, dan paramedis. Namun demikian, rencana pengangkatan pegawai baru tersebut tetap berdasarkan pada kebijakan zero growth, yang merupakan kebijakan pengendalianjumlah pegawai negeri, dengan mengupayakan agar jumlah pegawai seeara keseluruhan tidak bertambah. Dalam kebijakan tersebut digariskan bahwa seeara keseluruhan jumlah pegawai negeri tetap, namun alokasi Departemen Keuangan Republik Indonesia 126 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 pengadaan pegawai baru bagi tiap departemen LPND ditetapkan berdasarkan skala prioritas kebutuhan pegawai yang dikaitkan dengan prioritas pembangunan. Selain menampung kenaikan gaji dan pensiun, meningkatnya penyediaan anggaran belanja pegawai pusat dalam RAPBN 199912000 juga dipengaruhi oleh meningkatnya anggaran untuk tunjangan beras dan uang makan/lauk pauk. Anggaran untuk tunjangan beras dan uang makan lauk pauk direncanakan Rp 2.087,1 miliar dan Rp 2.106,9 miliar, atau masing-masing meningkat 11,5 persen dan 41,9 persen dibandingkan dengan anggaran yang disediakan dalam APBN 1998/1999. Dalam pos tunjangan beras, peningkatan tersebut antara lain berkaitan dengan adanya rencana penyesuaian harga pembelian beras pemerintah kepada Bulog. Seuangkan kenaikan anggaran untuk uang makan lauk pauk terutama berkaitan dengan rencana kenaikan uang makan lauk pauk bagi anggota ABRI, penyesuaian indeks uang makan lauk pauk peserta pendidikan pada lembaga pendidikan khusus yang diselenggarakan pemerintah, serta uang makan lauk posien rumah sakit, narapidana dan penghuni berbagai panti milik negara. Selain itu, dalam pos belanja pegawai pusat juga menampung lain-lain belanja pegawai dalam negeri dan belanja pegawai luar negeri. Untuk mendukung kegiatan operasional pemerintahan dan pemeliharaan aset-aset negara, dalam RAPBN 199912000 disediakan anggaran belanja barang Rp 11.039,0 miliar, atau 3,4 persen lebih rendah dibanding ,dengan anggaran yang disediakan dalam APBN 1998/1999. Lebih rendahnya penyediaan anggaran belanja tersebut terutama berkaitan dengan menurunnya anggaran belanja barang luar negeri, yang direncanakan Rp 1.032,2 miliar, atau 24,4 persen lebih rendah dibandingkan dengan anggaran yang disediakan dalam APBN 1998/1999. Lebih rendahnya penyediaan anggaran tersebut terutama berkaitan dengan menguatnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika dibandingkan asumsi nilai tukar yang digunakan dalam APBN 1998/1999, yang berpengaruh terhadap penurunan satuan biaya dalam rupiah bagi kegiatan operasional kantor perwakilan pemerintah di berbagai negara. Seuangkan untuk belanja barang dalam negeri, dalam RAPBN 199912000 disediakan anggaran Rp 10.006,8 miliar. Anggaran tersebut antara lain digunakan untuk pengadaan peralatan kantor guna memenuhi kebutuhan administrasi pada segenap departemenILPND, serta untuk memenuhi biaya pemeliharaan berbagai aset negara dan hasil-hasil pembangunan. Sementara itu, untuk belanja rutin daerah dalam RAPBN 1999/2000 disediakan anggaran belanja rutin Rp 19.497,6 miliar, atau 46,7 persen lebih tinggi dibanding anggaran Departemen Keuangan Republik Indonesia 127 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 yang disediakan dalam APBN 1998/1999. Penyediaan anggaran yang sebelumnya dikenal sebagai subsidi daerah otonom tersebut diarahkan untuk mendukung kegiatan operasional pemerintahan dan pembangunan di daerah, terutama dalam memberikan pelayanan umum dan pengembangan perekonomian daerah. Belanja rutin daerah dialokasikan untuk belanja pegawai daerah dan belanja nonpegawai daerah. Belanja pegawai daerah disediakan anggaran Rp 18.696,8 miliar, atau mengalami peningkatan 48,3 persen dari anggaran yang disediakan dalam APBN tahun anggaran sebelumnya. Peningkatan belanja pegawai daerah tersebut selaras dengan meningkatnya penyediaan anggaran belanja pegawai pusat, yaitu selain dipengaruhi oleh adanya rencana peningkatan gaji pegawai, juga digunakan untuk menampung kenaikan pangkat/ golongan, kenaikan gaji berkala, dan tambahan tunjangan keluarga. Seuangkan belanja nonpegawai daerah direncanakan Rp 800,8 miliar, atau mengalami peningkatan 17,2 persen apabila dibandingkan dengan dana yang disediakan dalam tahun anggaran 1998/1999. Anggaran untuk belanja nonpegawai daerah tersebut digunakan antara lain untuk menampung bantuan penyelenggaraan sekolah dasar negeri, subsidilbantuan biaya operasional rumah sakit umum daerah (SBBORSUD), serta pemberian ganjaran kepada propinsi, kabupaten, kotamadya, dan kecamatan. Salah satu faktor yang mempengaruhi besarnya anggaran belanja rutin dalam RAPBN 1999/2000 adalah penyediaan anggaran untuk pembayaran hutang negara, terutama untuk memenuhi kewajiban pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri. Kewajiban tersebut timbul sebagai akibat dari pemanfaatan bantuan/pinjaman luar negeri pada masa lampau, yang jatuh tempo pembayarannya terjadi dalam tahun anggaran 199912000. Besarnya anggaran yang direncanakan untuk pembayaran hutang luar negeri Rp 44.430,8 miliar, atau 30,9 persen lebih rendah apabila dibandingkan dengan anggaran yang disediakan pada tahun anggaran sebelumnya. Anggaran belanja tersebut terdiri dari pembayaran cicilan pokok Rp 23.904,8 miliar, dan pembayaran bunga Rp 20.526,0 miliar. Penurunan anggaran tersebut terutama berkaitan dengan penundaan (rescheduling) atas sebagian pembayaran kewajiban cicilan pokok pinjaman luar negeri, khususnya untuk pinjaman bilateral dan fasilitas kredit ekspor. Penundaan pembayaran cicilan pokok pinjaman tersebut dilakukan atas persetujuan negara-negara donor yang tergabung dalam Paris Club pada bulan September 1998. Kebijakan tersebut bertujuan untuk meringankan beban anggaran, dan sekaligus untuk mendukung pemulihan perekonomian nasional. Departemen Keuangan Republik Indonesia 128 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Seuangkan untuk pembayaran hutang dalam negeri, disediakan anggaran Rp 380,1 miliar, atau mengalami penurunan 80,4 persen dibandingkan dengan anggaran yang disediakan dalam APBN 1998/1999. Lebih rendahnya penyediaan anggaran tersebut, terutama karena dalam RAPBN 1999/2000 tidak lagi disediakan anggaran untuk pembayaran dana talangan pengganti dana simpanan nasabah bank-bank yang dicabut izin operasinya pada bulan November 1997. Anggaran tersebut direncanakan untuk memenuhi kewajiban-kewajiban kepada berbagai pihak di dalam negeri, yang penyelesaiannya diperkirakan baru dapat dilaksanakan dalam tahun anggaran 1999/2000. Selanjutnya, untuk pos pembiayaan pengeluaran rutin lainnya dalam tahun anggaran 1999/2000 disediakan anggaran Rp 28.238,9 miliar, atau 49,1 persen lebih rendah dibanding dengan anggaran yang disediakan dalam APBN 1998/1999. Anggaran tersebut dialokasikan untuk subsidi bahan bakar minyak (BBM), subsidi non-BBM, dan lain-lain. Lebih rendahnya penyediaan anggaran tersebut antara lain berkaitan dengan dihapuskannya subsidi BBM jenis avtur dan avigas, serta subsidi beberapa jenis bahan pangan Penyediaan anggaran subsidi BBM terutama danasarkan pertimbangan bahwa sebagai kebutuhan pokok masyarakat yang strategis, pemerintah sangat berkepentingan terhadap terpeliharanya kestabilan harga BBM di dalam negeri, mengingat berdasarkan pengalaman setiap perubahan harga BBM senantiasa berpengaruh terhadap perkembangan laju inflasi. Oleh karena itu, dalam penyesuaian harga jual BBM di dalam negeri harus senantiasa dilakukan dengan hati-hati, melalui pertimbangan aspek ekonomis dan nonekonomis, agar dampak negatifnya terhadap stabilitas ekonomi dapat diminimalkan. Dalam tahun anggaran 1999/2000, anggaran subsidi BBM direncanakan Rp 9.985,8 miliar, atau 63,7 persen lebih rendah dibanding dengan anggaran yang disediakan dalam APBN 1998/1999. Lebih rendahnya penyediaan anggaran tersebut berkaitan dengan lebih rendahnya asumsi harga rata-rata minyak mentah, dan menguatnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika, dibandingkan dengan asumsi yang digunakan dalam APBN 1998/1999. Sementara itu untuk subsidi non-BBM direncanakan Rp 14.334,0 miliar, atau 43,1 persen lebih rendah dibanding dengan anggaran yang disediakan dalam APBN 1998/1999. Anggaran tersebut antara lain digunakan untuk subsidi beras, listrik, dan obat-obatan. Seuangkan untuk pos lain-lain disediakan anggaran Rp 3.919,1 millar, atau 42,8 persen lebih tinggi dibandingkan dengan anggaran yang disediakan dalam APBN 1998/1999. Lebih Departemen Keuangan Republik Indonesia 129 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 tingginya penyediaan anggaran tersebut terutama berkaitan dengan rencana diselenggarakannya Pemilu dan Siuang Umum MPR tahun 1999. Selain itu, pos pembiayaan tersebut juga menampung pembiayaan untuk pemberian bantuan kepada Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Pusat, tunjangan bagi anggota veteran dan perintis kemerdekaan, subsidi kepada Perum Kereta Api, serta berbagai jenis pembiayaan rutin lainnya. Rincian anggaran belanja rutin dalam APBN 1998/1999 dan RAPBN 1999/2000, dapat diikuti dalam Tabel 11.20. 2.3.4.2 Pengeluaran Rutin Menurut Sektor dan Subsektor Di samping dialokasikan menurut klasifikasi ekonomi, anggaran belanja rutin dalam RAPBN 1999/2000 juga dialokasikan ke dalam sektor dan subsektor. Seperti halnya dalam tahun-tahun anggaran sebelumnya, dalam RAPBN 1999/2000 terdapat lima sektor yang menempati urutan teratas dalam penyediaan anggaran belanja rutin. Sektor-sektor tersebut meliputi sektor perdagangan, pengembangan usaha nasional, keuangan dan koperasi; sektor pembangunan daerah dan transmigrasi; sektor pertahanan dan keamanan; sektor aparatur negara dan pengawasan; serta sektor pendidikan, kebudayaan nasional, kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, pemuda dan olah raga. Sementara itu, sektor-sektor lainnya memperoleh alokasi yang lebih rendah. Hal ini berkaitan dengan luasnya kegiatan yang tercakup dalam masing-masing sektor, sehingga anggaran belanja rutin yang harus dialokasikan berbeda. Sektor perdagangan, pengembangan usaha nasional, keuangan dan koperasi dalam tahun anggaran 1999/2000 disediakan anggaran belanja rutin Rp 85.226,8 miliar, atau 35,2 persen lebih rendah dibandingkan dengan anggaran yang disediakan dalam APBN 1998/1999. Anggaran tersebut digunakan untuk empat subsektor, yaitu subsektor perdagangan dalam negeri Rp 99,3 miliar, subsektor perdagangan luar negeri Rp 80,3 miliar, subsektor keuangan Rp 84.899,7 miliar, serta subsektor koperasi dan pengusaha kecil Rp 147,5 miliar. Dalam subsektor perdagangan dalam negeri, anggaran tersebut diarahkan untuk membiayai pelaksanaan berbagai program dan kegiatan, antara lain meliputi pembinaan perdagangan dalam negeri, pembinaan usaha dan lembaga perdagangan, serta penyebarluasan informasi perdagangan. Selanjutnya, dalam upaya perlindungan konsumen, melalui pembiayaan tersebut juga dilaksanakan kegiatan penyuluhan tentang tertib niaga, termasuk pelayanan jasa kemetrologian seperti pengawasan tertib ukur dalam timbangan dan takaran, serta pengujian dan sertifikasi mutu barang. Di samping itu, pembiayaan tersebut juga digunakan untuk mendukung kegiatan pemantauan terhadap distribusi kebutuhan pokok masyarakat, serta upaya pengendalian Departemen Keuangan Republik Indonesia 130 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 laju inflasi. Tabel 11.20 ANGGARAN BELANJA RUTIN, APBN 1998/1999 DAN RAPBN 1999/2000 (dalam miliar rupiah) APBN RAPBN Jenis pengeluaran 1998/1999 1999/2000 (1) (2) (3) (4) I. Belanja pegawai 24.781,4 33.569,1 + 35,5 1. Gaji dan pensiun 19.120,0 26.824,9 + 40,3 2. Tunjangan beras 1.872,4 2.087,1 + 11,5 3. Uang makan/lauk pauk 1.484,4 2.106,9 + 41,9 4. Lain-lain belanja pegawai DN 1.154,6 1.489,9 + 29,0 5. Belanja pegawai LN 1.150,0 1.060,3 - 7,8 II. Belanja barang 11.425,1 11.039,0 - 3,4 1. Belanja barang DN 10.059,7 10.006,8 - 0,5 2. Belanja barang LN 1.365,4 1.032,2 - 24,4 ill. Belanja rutin daerah 13.289,7 19.497,6 + 46,7 1. Belanja pegawai 12.606,5 18.696,8 + 48,3 683,2 800,8 + 17,2 IV. Bunga dan cicilan hutang 66.236,4 44.810,9 - 32,3 1. Hutang dalam negeri 1.940,1 380,1 - 80,4 2. Hutang luar negeri 64.296,3 44.430,8 - 30,9 V. Pengeluaran rutin lainnya 55.472,5 28.238,9 - 49,1 1. Subsidi BBM 27.534,0 9.985,8 - 63,7 2. Belanja nonpegawai 2. Lain-lain Jumlah Departemen Keuangan Republik Indonesia A % thd. APBN 27.938,5 18.253,1 - 34,7 171.205,1 137.155,5 - 19,9 131 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Untuk subsektor perdagangan luar negeri, anggaran tersebut diarahkan untuk membiayai berbagai program dan kegiatan yang berkaitan dengan pembinaan hubungan dan kerjasama perdagangan internasional, usaha peningkatan daya saing dan promosi produk-produk ekspor, standardisasi dan peningkatan mutu komoditas ekspor, serta kegiatan pengendalian impor. Selain itu, anggaran tersebut juga untuk membiayai berbagai kegiatan yang berkaitan dengan upaya pengembangan, dan diversifikasi ekspor nonmigas, serta pembinaan dan pengendalian impor. Sebagian besar anggaran belanja rutin subsektor keuangan digunakan untuk membiayai berbagai program yang bersifat khusus dan terpusat seperti pembiayaan pensiun dan uang tunggu, pembiayaan hutang negara, dan pembiayaan lain-lain, sehingga tidak dapat dialokasikan ke dalam daftar isian kegiatan (DIK) masing-masing departemen/LPND. Pembiayaan pensiun dan uang tunggu diarahkan penggunaannya untuk menampung biaya tunjangan pensiun pejabat negara, pegawai negeri pusat, pegawai daerah, tunjangan pensiun anggota ABRI, pembayaran uang tunggu, serta pemberian tunjangan bagi veteran dan perintis kemerdekaan. Pembiayaan hutang negara dan program pembiayaan lain-lain antara lain digunakan untuk pembayaran hutang dalam negeri, pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri, biaya kerjasama teknik internasional, biaya bebas porto, biaya jasa pos dan giro sehubungan dengan tugas-tugas perbendaharaan negara, serta berbagai jenis pembiayaan rutin lainnya. Di samping itu, anggaran belanja rutin subsektor keuangan juga digunakan untuk membiayai berbagai jenis program lain, seperti program penerimaan dan pengamanan keuangan negara, program stabilisasi ekonomi dan keuangan, program pembinaan efisiensi pengeluaran negara, program pembinaan akuntansi keuangan negara, serta program pembinaan dan pengembangan badan usaha milik negara. Dalam program penerimaan dan pengamanan keuangan negara selain digunakan untuk pembiayaan kegiatan administrasi umum, juga digunakan untuk menunjang penyelenggaraan peradilan pajak, penyelenggaraan kegiatan yang menyangkut urusan piutang dan le1ang negara, penyelenggaraan kegiatan pemeriksaan, penetapan, penagihan pajak, dan pengenaan pajak bumi dan bangunan (PBB), serta pelaksanaan kegiatan penyuluhan tentang perpajakan. Selain itu, anggaran tersebut juga digunakan untuk mendukung penyelenggaraan kegiatan kepabeanan dan pengenaan cukai, pemberantasan penyelundupan dan perdagangan gelap, pembinaan lembaga keuangan, serta berbagai kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan penerimaan migas dan penerimaan negara bukan pajak Departemen Keuangan Republik Indonesia 132 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 (PNBP). Selanjutnya, dalam program stabilisasi ekonomi dan keuangan, anggaran tersebut antara lain diarahkan untuk mendukung pembiayaan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan pembinaan dan pengawasan pasar modal, kegiatan penyusunan dan analisis anggaran pendapatan dan belanja negara, analisis moneter, analisis keuangan daerah, pengkajian ekonomi dan keuangan negara, serta berbagai kegiatan yang berkaitan dengan pelayanan kemudahan ekspor dan pengolahan data keuangan negara. Dalam program pembinaan efisiensi pengeluaran negara antara lain digunakan untuk kegiatan administrasi umum, kegiatan tata laksana dan tata usaha anggaran belanja negara, serta penyelenggaraan perbendaharaan dan kas negara. Dalam program pembinaan akuntansi keuangan negara dan program pembinaan dan pengembangan badan usaha milik negara, anggaran tersebut diarahkan penggunaannya untuk pembinaan akuntansi keuangan negara dan inventarisasi kekayaan milik negara, serta pembinaan badanbadan usaha milik negara. Seuangkan anggaran belanja rutin subsektor koperasi dan pengusaha kecil, diarahkan penggunaannya untuk pelaksanaan pembinaan berbagai jenis program dan kegiatan yang berkaitan dengan usaha memperkuat struktur perkoperasian dan usaha kecil. Program tersebut antara lain meliputi pembinaan organisasi dan kelembagaan, peningkatan kemampuan sumber daya, kewirausahaan, dan kemampuan manajerial, dalam upaya meningkatkan profesionalisme dan ketangguhan dalam menjalankan usahanya, serta untuk meningkatkan kemampuan koperasi dan pengusaha kecil melakukan persaingan usaha dan perluasan pasar. Di samping itu, anggaran tersebut juga digunakan bagi pengembangan dan penyebarluasan informasi perkoperasian, serta pengembangan pola dan perangkat pembinaan koperasi. Untuk mendukung pelaksanaan kegiatan operasional pemerintahan daerah, serta menunjang pelaksanaan pembinaan berbagai program di biuang transmigrasi, dalam RAPBN 1999/2000 sektor pembangunan daerah dan transmigrasi disediakan anggaran belanja rutin Rp 19.749,0 miliar, atau 46,4 persen lebih tinggi dibandingkan dengan anggaran yang disediakan dalam APBN 1998/1999. Anggaran tersebut dialokasikan ke dalam dua subsektor, yaitu subsektor pembangunan daerah Rp 19.647,8 miliar, serta subsektor transmigrasi dan pemukiman perambah hutan Rp 101,2 miliar. Dalam subsektor pembangunan daerah, sebagian besar anggaran tersebut, yaitu Rp 18.696,8 miliar disediakan untuk mendukung pembiayaan aparatur pemerintah daerah. Departemen Keuangan Republik Indonesia 133 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Seuangkan sisanya digunakan untuk menampung beberapa jenis pembiayaan, yang antara lain meliputi bantuan pembiayaan penyelenggaraan sekolah dasar (SD) negeri, subsidi/bantuan biaya operasional rumah sakit umum daerah (SBBO-RSUD), dan subsidi/bantuan biaya operasional dan pemeliharaan objet pariwisata daerah. Bantuan pembiayaan penyelenggaraan SD negeri diarahkan untuk pengadaan berbagai kebutuhan sekolah dasar, seperti kebutuhan tata usaha sekolah, kebutuhan peralatan belajar dan mengajar, serta biaya pemeliharaan gedung sekolah. Di samping itu, anggaran tersebut juga dialokasikan untuk biaya penyelenggaraan evaluasi belajar tahap akhir (EBTA) dan biaya pengganti pungutan sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP) sekolah dasar (SD) negeri. Pembiayaan SBBO-RSUD dimanfaatkan bagi pemeliharaan operasional dan pemeliharaan rumah sakit, termasuk langganan daya dan jasa, serta pengadaan berbagai kebutuhan rumah sakit lainnya. Seuangkan biaya operasional dan pemeliharaan objek pariwisata daerah antara lain ditujukan untuk biaya pemeliharaan, pengembangan, dan penganekaragaman berbagai objek wisata daerah, sehingga diharapkan dapat mengembangkan kegiatan perekonomian daerah, perluasan kesempatan kerja dan perkembangan dunia usaha di biuang kepariwisataan. Selain itu, penyediaan anggaran subsektor pembangunan daerah juga menampung jenis pembiayaan lain, yang bertujuan membantu penyelenggaraan urusan dekonsentrasi dan tugas pembantuan Dari pemerintah pusat kepada daerah tingkat I, daerah tingkat II, kotamadya, kota administratif, serta kecamatan. Sementara itu, anggaran belanja rutin subsektor transmigrasi dan pemukiman perambah hutan diarahkan penggunaannya untuk melaksanakan berbagai program selaras dengan Unuangunuang Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian. Anggaran tersebut antara lain digunakan untuk pelaksanaan program pembinaan dan pelaksanaan koordinasi penyusunan dan pelaksanaan persiapan pemukiman transmigrasi, serta penyelenggaraan pelatihan para transmigran dan masyarakat perambah hutan. Pembiayaan tersebut juga digunakan untuk membiayai pelaksanaan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan penyiapan lahan dan sarana permukiman transmigran baru, biaya pendaftaran, seleksi, biaya pengangkutan, penempatan dan pembinaan calon transmigran, serta kegiatan pengembangan dan pemantapan usaha di lokasilokasi permukiman transmigran. Selain itu, pembiayaan tersebut juga diarahkan untuk mendukung pelaksanaan penataan pemukiman dan pembinaan perambah hutan, dalam rangka pelestarian alam dan lingkungan hidup. Terpeliharanya keamanan dan ketertiban negara merupakan faktor yang hakiki di Departemen Keuangan Republik Indonesia 134 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam kaitan ini, tugas dan fungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) memiliki arti yang sangat strategis, yaitu di samping peranannya dalam menjaga kedaulatan negara, juga memiliki peranan strategis dalam menjaga stabilitas nasional yang sehat dan dinamis. Untuk menunjang pelaksanaan tugas-tugas tersebut, sektor pertahanan dan keamanan dalam RAPBN 199972000 disediakan anggaran belanja rutin Rp 9.909,7 miliar, alan 30,1 persen lebih tinggi dibandingkan dengan anggaran yang disediakan dalam APBN 1998/1999. Anggaran tersebut dialokasikan ke dalam subsektor ABRI Rp 9.695,1 miliar, dan subsektor pendukung Rp 214,6 miliar. Pemanfaatan anggaran belanja tersebut diprioritaskan untuk pemeliharaan peralatan tempur beserta sarana pendukungnya, pengadaan sarana penunjang untuk mendukung modernisasi dan peningkatan profesionalisme prajurit ABRI, pengadaan perbekalan dan suku cauang, termasuk biaya pemeliharaan gedung, asrama, dan rumah dinas di lingkungan ABRI. Dalam subsektor ABRI, program yang dibiayai melalui anggaran tersebut antara lain meliputi program pembinaan teritorial, program bala pertahanan keamanan wilayah, program bala pertahanan keamanan pusat, program intelijen dan strategis, program dukungan administrasi, serta program survei dan pemetaan. Seuangkan anggaran subsektor pendukung diarahkan bagi pembiayaan beberapa program yang bersifat nonfisik, yang meliputi pembinaan sumber daya dan pembinaan ilmu pengetahuan dan teknologi di biuang pertahanan dan keamanan, pembinaan hukum dan perUndang-undangan, serta pembinaan kerjasama internasional. Sesuai dengan tugas dan fungsinya pada setiap lembaga kenegaraan, aparatur negara memiliki peranan yang strategis dalam setiap sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini mengingat bahwa aparatur negara tidak hanya berperan di dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan dan kenegaraan, namun juga berperan sebagai pendorong dan pemberi arah terhadap jalannya roda pemerintahan. Untuk mendukung pelaksanaan berbagai kegiatan di biuang pembinaan aparatur negara, sektor aparatur negara dan pengawasan dalam tahun anggaran 1999/2000 mendapatkan alokasi anggaran belanja rutin Rp 6.423,8 miliar, atau meningkat 22,6 persen dibandingkan dengan yang disediakan dalam APBN tahun anggaran sebelumnya. Pembiayaan tersebut akan dialokasikan ke dalam subsektor aparatur negara Rp 6,035,9 miliar, serta subsektor pendayagunaan sistem dan pelaksanaan pengawasan Rp 387,9 miliar. Departemen Keuangan Republik Indonesia 135 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Dalam subsektor aparatur negara, anggaran tersebut digunakan untuk membiayai pelaksanaan program pembinaan produk-produk legislatif, pembinaan prasarana dan sarana aparatur negara, pembinaan efisiensi aparatur negara, pendidikan dan pelatihan aparatur negara, penelitian dan pengkajian kebijakan, serta penyelenggaraan pimpinan negara dan pemerintahan. Di samping itu, anggaran tersebut juga menampung kegiatan pengolahan data, evaluasi kebijakan, kegiatan yang berkaitan dengan pemberian pertimbangan kepada pemerintah, pembinaan persandian, operasional intelijen, pelaksanaan kebijakan penanaman modal, penyelenggaraan perumusan kebij.aksanaan biuang pertahanan dan keamanan nasional, serta pelaksanaan kegiatan administrasi kepegawaian. Sementara itu, penyediaan anggaran subsektor pendayagunaan sistem dan pelaksanaan pengawasan diarahkan untuk penyelenggaraan berbagai program dan kegiatan yang berkaitan dengan pelaksanaan pemeriksaan tanggung jawab atas keuangan negara, pengawasan dan pemeriksaan keuangan negara yang berasal Dari APBN dan APBD, pengawasan dan pemeriksaan kekayaan negara yang dipisahkan, pengawasan dan pemeriksaan badan usaha perminyakan negara, serta penyelenggaraan perencanaan dan analisis hasil pemeriksaan seluruh aparat pengawasan pemerintah pusat/pemerintah daerah, dan tata kerja instansi pemerintah. Selanjutnya, pembiayaan tersebut juga digunakan untuk menampung biaya kegiatan pemeriksaan khusus atas kasus penyimpangan, pengawasan atas kelancaran pelaksanaan pembangunan, serta pendayagunaan sistem dan pelaksanaan pengawasan bagi segenap jajaran instansi pemerintah. Sebagai salah satu wahana utama dalam pengembangan sumber daya manusia, pembinaan sektor pendidikan dan kebudayaan memiliki peranan strategis, terutama di dalam usaha meningkatkan keterampilan, kecerdasan, serta pembentukan kepribadian bangsa yang tangguh dalam menghadapi berbagai tantangan di masa yang akan datang. Dalam RAPBN 1999/2000, sektor pendidikan, kebudayaan nasional, kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, pemuda dan olah raga disediakan anggaran belanja rutin Rp 6.045,2 miliar, atau 27,5persen lebih tinggi dibandingkan dengan anggaran yang disediakan dalam APBN 1998/1999. Anggaran tersebut dialokasikan masing-masing untuk subsektor pendidikan Rp 5.448,4 miliar, subsektor pendidikan luar sekolah dari kedinasan Rp 471,0 miliar, subsektor kebudayaan nasional dari kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Rp 114,1 miliar, serta subsektor pemuda dan olah raga Rp 11,7 miliar. Departemen Keuangan Republik Indonesia 136 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Dalam subsektor pendidikan, anggaran tersebut diarahkan untuk pembinaan berbagai program, yang meliputi program pembinaan pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan tinggi, serta program pendidikan luar biasa. Dalam program pembinaan pendidikan dasar, anggaran tersebut diarahkan penggunaannya untuk mendukung pelaksanaan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan peningkatan kualitas pendidikan dasar dan upaya perluasan dan pemerataan kesempatan belajar, terutama dalam rangka menunjang keberhasilan pelaksanaan program wajib belajar sembilan tahun. Selain itu, program tersebut juga diarahkan untuk menunjang kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan prasekolah Dari sekolah dasar, pendidikan sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) umum, dan SLTP keterampilan, termasuk biaya pengganti sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP) bagi seluruh SLTP negeri. Program pembinaan pendidikan menengah antara lain ditujukan untuk penyelenggaraan kegiatan dari usaha pendidikan sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA), sekolah kejuruan Dari teknologi, serta pembinaan teknis administrasi. Program pembinaan pendidikan tinggi dan program pembinaan pendidikan luar biasa diarahkan penggunaannya untuk penyelenggaraan kegiatan pendidikan tinggi, serta penyelenggaraan kegiatan pendidikan luar biasa. Selanjutnya, anggaran subsektor pendidikan juga diarahkan bagi pembiayaan berbagai sarana dari prasarana pendidikan serta pembinaan berbagai jenjang pendidikan, baik yang dilaksanakan pemerintah maupun swasta, melalui peningkatan kualitas tenaga pendanik. Anggaran subsektor pendidikan luar sekolah dari kedinasan diarahkan penggunaannya untuk mendukung pembiayaan rutin pelaksanaan program pendidikan luar sekolah dan program pendidikan kedinasan. Dalam program pendidikan luar sekolah, antara lain menampung pembiayaan guna meningkatkan kemampuan dari keterampilan masyarakat, melalui penyelenggaraan berbagai jenis pendidikan teknis. Sementara itu, program pendidikan kedinasan diarahkan penggunaannya untuk penyelenggaraan berbagai jenis pendanikdn dari latihan (diklat) kedinasan yang dilaksanakan oleh berbagai departemen dari lembaga pemerintah nondepartemen (LPND). Sementara itu, penyediaan anggaran rutin dalam subsektor kebudayaan nasional dari kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diarahkan penggunaannya untuk melaksanakan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan usaha memelihara nilai budaya bangsa, menumbuhkan sikap tanggungjawab sosial dari Departemen Keuangan Republik Indonesia disiplin nasional, yang sekaligus sebagai upaya 137 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 untukmemperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa. Berbagai program dan kegiatan yang dibiayai dengan anggaran tersebut antara lain meliputi pembinaan teknis administrasi, pembinaan kebudayaan, pembinaan museum, pembinaan bahasa nasional, upaya peningkatan kualitas dan kuantitas bahan pustaka, serta pelaksanaan kegiatan penelitian di biuang arkeologi. Seuangkan dalam subsektor pemuda dan olah raga, anggaran tersebut direncanakan untuk membiayai berbagai kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan program pembinaan kepemudaan dan kepramukaan, serta berbagai kegiatan di biuang pembinaan keolahragaan. Di samping kelima sektor tersebut, beberapa sektor lain juga direncanakan mendapatkan alokasi anggaran belanja rutin yang cukup besar. Sektor-sektor dimaksud adalah sektor politik, hubungan luar negeri, penerangan, komunikasi dan media massa; sektor agama; sektor hukum; sektor kesejahteraan sosial, kesehatan, peranan wanita, anak dan remaja; serta sektor pertanian dan kehutanan. Untuk mendukung pelaksanaan pembinaan kehidupan politik dan hubungan diplomatik, pelaksanaan program penerangan masyarakat, serta pembinaan media massa nasional, sektor politik, hubungan luar negeri, penerangan, komunikasi dan media massa dalam RAPBN 1999/2000 disediakan anggaran belanja rutin Rp 2.710,6 miliar, atau 7,1 persen lebih rendah dibanding dengan anggaran yang disediakan dalam APBN 1998/1999. Anggaran tersebut dialokasikan ke dalam subsektor politik Rp 122,7 miliar, subsektor hubungan luar negeri Rp 1.978,4 miliar, dan subsektor penerangan, komunikasi dan media massa Rp 609,5 miliar. Dalam subsektor politik, anggaran tersebut akan digunakan untuk menunjang pelaksanaan program pembinaan politik dalam negeri serta program penyelenggaraan pemerintahan umum dan otonomi daerah. Program pembinaan politik dalam negeri antara lain ditujukan untuk melaksanakan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan upaya meningkatkan kesadaran dan peran serta masyarakat dalam kehidupan politik, yang dilandasi oleh moral, sikap dan etika politik yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Selanjutnya, program penyelenggaraan pemerintahan umum dan otonomi daerah diarahkan penggunaannya untuk mendukung upaya perwujudan otonomi daerah secara nyata, dinamis, serasi, dan bertanggungjawab. Pembiayaan tersebut antara lain mencakup kegiatan perumusan kebijakan, pemberian bimbingan dan pembinaan pembangunan daerah, pelaksanaan pemantauan, analisa dan evaluasi kegiatan pembangunan daerah, pembinaan dan penataan kawasan dan pengelolaan lingkungan, pembinaan lembaga ketahanan masyarakat desa (LKMD), serta penyelenggaraan Departemen Keuangan Republik Indonesia 138 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 catatan sipil di berbagai daerah. Dalam subsektor hubungan luar negeri, penyediaan anggaran tersebut diarahkan penggunaannya untuk menunjang pelaksanaan berbagai program dan kegiatan yang berkaitan dengan pembinaan hubungan diplomatik, seperti penyelenggaraan hubungan diplomatik di biuang politik, kerjasama teknik luar negeri di biuang ekonomi, sosial budaya dan kegiatan penerangan luar Negeri, serta untuk mendukung kegiatan komunikasi di berbagai kantor perwakilan di luar Negeri. Selain itu, anggaran tersebut juga dialokasikan untuk membiayai kegiatan penyelenggaraan hubungan konsuler, serta penyelenggaraan koordinasi dalam rangka kerjasama bilateral dan multilateral. Seuangkan dalam subsektor penerangan, komunikasi, dan media massa, anggaran belanja tersebut antara lain digunakan untuk menunjang pembinaan penerangan, termasuk pengadaan berbagai sarana untuk menunjang peningkatan kuantitas dan kualitas produk-produk penerangan, serta pembinaan media massa nasional. Demikian pula dalam rangka meningkatkan bobot operasional penerangan, melalui anggaran tersebut juga dibiayai berbagai kegiatan seperti pembinaan personil juru penerang, serta peningkatan kualitas materi penerangan yang disampaikan kepada masyarakat termasuk upaya peningkatan penyebarluasannya. Selain itu, anggaran tersebut juga digunakan untuk membiayai program pengembangan operasi penerangan, program pembinaan dan pengembangan radio, televisi dan film, serta program pembinaan dan pengembangan pers dan grafika. Untuk mendukung pelaksanaan pelayanan dan kebijakan pembinaan masyarakat di biuang kerohanian, dalam RAPBN 1999/2000 disediakan anggaran belanja rutin untuk sektor agama Rp 1.741,6 miliar, atau 33,5 persen lebih tinggi dibanding anggaran yang disediakan dalam APBN 1998/1999. Penyediaan anggaran tersebut terutama diarahkan untuk mendukung pembiayaan berbagai program pembinaan yang berkaitan dengan upaya peningkatan kualitas keimanan dan ketaqwaan bagi setiap umat beragama, pemantapan kerukunan hidup antarumat beragama, serta peningkatan pengamalan nilai-nilai keagamaan bagi setiap pemeluknya, sebagai prasyarat utama dalam menciptakan kesatuan dan persatuan bangsa yang kokoh dan lestari. Anggaran belanja rutin sektor agama dialokasikan ke dalam subsektor pelayanan kehidupan beragama Rp 273,4 miliar dan subsektor pembinaan pendidikan agama Rp 1.468,2 miliar. Dalam subsektor pelayanan kehidupan beragama, anggaran tersebut antara lain diarahkan untuk menunjang kegiatan pelayanan, penerangan, bimbingan dan pembinaan agama Departemen Keuangan Republik Indonesia 139 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Islam, Kristen Protestan, Katholik, Hindu, dan Budha, termasuk pembinaan perpustakaan pada berbagai rumah ibadah. Selanjutnya, anggaran tersebut juga untuk menampung pelaksanaan pelayanan dan bimbingan kegiatan kepenghuluan, kemasjidan, zakat, wakaf, pemberian bimbingan kepada para mubaligh, khatib, dan bagi penyuluh agama lainnya, serta penyelenggaraan kegiatan penerangan agama Islam, Kristen Protestan, Katholik, Hindu, dan Budha. Seuangkan dalam subsektor pembinaan pendidikan agama, anggaran tersebut diarahkan penggunaannya bagi pelaksanaan berbagai program yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan agama, seperti penyelenggaraan perguruan tinggi agama Islam, pendidikan guru agama Kristen, dan pendidikan guru agama Hindu. Selain itu, anggaran tersebut juga digunakan untuk biaya pengganti sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) perguruan madrasah dan tsanawiyah negeri, sehubungan dengan pelaksanaan program pendidikan dasar sembilan tahun. Pembinaan sektor hukum memiliki peranan yang strategis, terutama menciptakan suasana kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis, mengingat dalam era reformasi, sektor ini sangat perin danukung oleh perangkat, sarana dan prasarana hukum, serta pranata dan kelembagaan hukum yang memadai. Selain itu, pembinaan sektor hukum juga berkaitan erat dengan upaya mewujudkan kepostian hukum, guna memberikan rasa aman dan tenteram bagi segenap lapisan masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut, sektor hukum memperoleh alokasi anggaran belanja rutin Rp 982,8 miliar, atau meningkat 29,4 persen dibandingkan dengan anggaran yang disediakan dalam tahun anggaran sebelumnya. Anggaran tersebut dialokasikan pada subsektor pembinaan hukum nasional dan subsektor pembinaan aparatur hukum, yang masing-masing mendapat alokasi pembiayaan Rp 866,5 miliar dan Rp 116,3 miliar. Dalam subsektor pembinaan hukum nasional, anggaran yang disediakan dimanfaatkan penggunaannya untuk melaksanakan berbagai program dan kegiatan, yang antara lain mencakup pembinaan hukum dan perUndang-undangan, pembinaan hukum dan peradilan, pembinaan badan peradilan umum dan peradilan tata usaha negara, pembinaan hukum dalam biuang keperdataan, penyelenggaraan peradilan tingkat banding dan peradilan tingkat pertama, serta pembinaan hak cipta, paten dan merek. Anggaran tersebut antara lain digunakan bagi pelaksanaan kegiatan penanganan perkara pidana khusus dan kegiatan operasional intelijen, yang antara lain meliputi penanganan berbagai jenis perkara pidana, perdata, lata usaha negara, Departemen Keuangan Republik Indonesia 140 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 serta perkara penyelundupan dan perkara pelanggaran wilayah. Selanjutnya, untuk memberikan perlindungan hak milik intelektual, anggaran tersebut digunakan untuk pembinaan hak cipta, merek dan paten, agar berbagai merek perusahaan dan pemegang hak paten yang telah danaftarkan, mendapatkan jarninan perlindungan hukum terhadap kemungkinan penyalahgunaan oleh pihak lain. Selain itu, pembiayaan subsektor tersebut juga digunakan untuk pelaksanaan pembinaan masyarakat, penyelenggaraan bimbingan kemasyarakatan dan pengentasan anak (Bispa), pembinaan kegiatan pemasyarakatan, serta penyelenggaraan berbagai kegiatan di biuang keirnigrasian. Dalam subsektor pembinaan aparatur hukum, anggaran tersebut diarahkan untuk pelaksanaan berbagai program dan kegiatan yang berkaitan dengan pelaksanaan hukum dan peradilan tertinggi, peradilan perkara kecelakaan dan pelanggaran peraturan transportasi laut, serta penyelenggaraan peradilan agama Islam. Dalam kegiatan pelaksanaan hukum dan peradilan tertinggi antara lain mencakup pembiayaan berbagai kegiatan pemeriksaan dan pengambilan keputusan terhadap permohonan kasasi, serta peninjauan kembali terhadap keputusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Sementara itu, guna menunjang pembinaan keselamatan pelayaran dan kesyahbandaran, serta untuk menunjang terciptanya keamanan dan keselamatan pelayaran dan lalu-lintas angkutan laut, melalui pembiayaan tersebut juga dialokasikan anggaran untuk menunjang pelaksanaan kegiatan pengusutan dan peradilan perkara-perkara kecelakaan dan pelanggaran peraturan perhubungan laut. Selanjutnya, dalam upaya penanganan berbagai bentuk sengketa yang menyangkut sendisendi hukum agama Islam, anggaran tersebut digunakan untuk menunjang pembiayaan bagi penyelenggaraan kegiatan peradilan agama Islam. Untuk mendukung pembinaan di biuang kesejahteraan dan kesehatan masyarakat, sektor kesejahteraan sosial, kesehatan, peranan wanita, anak dan remaja disediakan anggaran belanja rutin Rp 829,1 miliar, atau meningkat 17,6 persen dari anggaran yang disediakan dalam APBN 1998/1999. Anggaran tersebut dialokasikan untuk subsektor kesejahteraan sosial Rp 151,2 miliar dan subsektor kesehatan Rp 677,9 miliar. Dalam subsektor kesejahteraan sosial, penyediaan anggaran tersebut diarahkan penggunaannya untuk menunjang pembinaan dan bimbingan kesejahteraan sosial, pembinaan nilai-nilai kepeloporan dan keperintisan biuang kemasyarakatan, pembinaan di biuang rehabilitasi sosial, serta pembinaan masyarakat suku terasing dan repatriasi. Selanjutnya, Departemen Keuangan Republik Indonesia 141 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 melalui pembiayaan tersebut juga akan dilaksanakan kegiatan pembinaan dan pemberian pelayanan terhadap para tuna sosial (gelanuangan dan pengemis), korban bencana alam, penderita cacat, anak nakal dan korban penyalahgunaan narkotika, fakir miskin, dan suku terasing. Sementara itu, penyediaan anggaran rutin dalam subsektor kesehatan diarahkan penggunaannya untuk menunjang pelaksanaan berbagai program dan kegiatan yang meliputi biaya pembinaan dan penyuluhan kesehatan masyarakat, pelayanan kesehatan masyarakat, dan pelayanan kesehatan rujukan dan rumah sakit. Anggaran tersebut juga digunakan untuk kegiatan pencegahan dan pemberantasan penyakit menular dan wabah, serta penyelenggaraan kegiatan pengawasan terhadap sarana produksi dan distribusi obat, makanan, minuman, kosmetika, dan narkotika. Selanjutnya, anggaran tersebut juga digunakan untuk pengadaan bahan peraga penyuluhan, serta kegiatan pemantauan terhadap usaha pemasyarakatan obat-obat generik. Melalui penyediaan anggaran tersebut juga dilaksanakan kegiatan laboratorium klinik dan laboratorium kesehatan masyarakat, serta pelayanan rujukan berbagai rumah sakit pemerintah dan swasta. Demikian pula dalam rangka pemeliharaan, pemulihan dan peningkatan kesehatan masyarakat, anggaran yang tersedia juga akan digunakan untuk biaya pengadaan obat-obatan dan alat-alat kesehatan, serta biaya pemeliharaan alat -alat kesehatan. Upaya menciptakan stabilisasi dan upaya pemulihan kondisi perekonomian nasional, sangat membutuhkan pembinaan dan pengembangan terhadap sektor pertanian dan kehutanan secara intensif dan berkesinambungan. Seperti diketahui, pembangunan sektor pertanian dan kehutanan memiliki peranan yang strategis, baik sebagai sumber kebutuhan pokok masyarakat, maupun sebagai penyedia lapangan kerja dan lapangan usaha, serta sebagai penunjang pertumbuhan ekonomi. Dalam kaitan ini dapat dikemukakan bahwa dalam suasana krisis yang melanda perekonomian nasional, sektor pertanian dan kehutanan merupakan salah satu sektor yang mampu berkembang dengan cukup baik. Dalam RAPBN 1999/2000 sektor pertanian dan kehutanan mendapatkan alokasi anggaran belanja rutin Rp 743,9 miliar, atau meningkat 18,5 persen dibandingkan dengan anggaran yang disediakan dalam APBN 1998/1999. Anggaran tersebut direncanakan akan dialokasikan untuk subsektor pertanian Rp 265,9 miliar dan subsektor kehutanan Rp 478,0 miliar. Dalam subsektor pertanian, penggunaan anggaran diprioritaskan kepada usaha Departemen Keuangan Republik Indonesia 142 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 mengembalikan tercapainya swasembada pangan, serta upaya meningkatkan dan memperluas usaha penganekaragaman hasil pertanian. Berbagai upaya tersebut juga ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup petani, nelayan dan peternak, serta mendorong perluasan dan pemerataan kesempatan kerja dan berusaha. Anggaran belanja tersebut akan digunakan untuk pembiayaan aparatur dan pembiayaan operasional dan pemeliharaan, dalam rangka menunjang pembinaan dan pengembangan pertanian tanaman pangan dan hortikultura, pembinaan dan pengembangan agribisnis, pembinaan dan pengembangan perkebunan dan perikanan, serta penyelenggaraan karantina pertanian. Selain itu anggaran tersebut juga direncanakan untuk membiayai berbagai kegiatan yang ditujukan untuk mendukung pembinaan usaha tani dan nelayan, pembinaan pengolahan hasil perikanan, serta pembinaan dan pengembangan usahausaha peternakan. Dalam subsektor kehutanan, anggaran yang tersedia diarahkan penggunaannya untuk membiayai program pembinaan produksi kehutanan, yang antara lain meliputi pembinaan prakondisi pengelolaan hutan, pencegahan dan pemulihan kerusakan hutan, tanah dan air, peningkatan usaha konservasi di dalam dan di luar kawasan hutan, pembinaan pengusahaan hutan, serta penyelenggaraan penyuluhan di biuang kehutanan. Selain itu, anggaran tersebut juga digunakan untuk menunjang pembiayaan yaitu untuk berbagai kantor daerah, seperti balai informasi dan sertifikasi hasil hutan: balai konservasl sumber daya alam, taman-taman nasional, balai penelitian, balai teknologl reboisasi dan perbenihan, serta berbagai kantor vertikall ainnya yang berada di daerah-daerah. Di samping dialokasikan ke dalam sektor-sektor tersebut, anggaran belanja rutin yang disediakan dalam RAPBN 1999/2000 juga dialokasikan ke dalam berbagai sektor lain, yaitu meliputi sektor industri; sektor pengairan; sektor tenaga kerja; sektor transportasi, meteorologi dan geofisika; sektor pertambangan dan energi; sektor pariwisata, pos dan telekomunikasi; sektor lingkungan hidup dan tata ruang; sektor kependudukan dan keluarga sejahtera; sektor perumahan dan permukiman, serta sektor ilmu pengetahuan dan teknologi. Rincian anggaran belanja rutin berdasarkan sektor dan subsektor dalam RAPBN . 1999/2000 dapat diikuti dalam Tabel ll.21. 2.3.5 Tabungan Pemerintah Krisis ekonomi yang melanda Indonesia belum sepenuhnya mengalami pemulihan. Departemen Keuangan Republik Indonesia 143 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Krisis tersebut telah mengakibatkan berkurangnya daya beli masyarakat serta telah mengakibatkan bertambahnya jumlah penduduk miskin. Dalam kaitannya dengan upaya untuk mengurangi berbagai dampak dimaksud, terutama yang memberatkan rakyat banyak, Pemerintah mengalokasikan dana subsidi khususnya yang berkaitan dengan penyediaan beberapa barang kebutuhan masyarakat, seperti bahan bakar minyak, penyediaan pangan, listrik dan obat-obatan. Berbagai bentuk subsidi tersebut merupakan komponen yang cukup besar dari pengeluaran rutin dalatn tahun anggaran 1999/2000. Di pihak lain, upaya penjadwalan atas cicilan pokok hutang luar negeri, serta upaya efisiensi di biuang pengeluaran rutin, diharapkan akan menurunkan pengeluaran rutin. Sementara itu berbagai upaya dalam peningkatan penerimaan dalam negeri, terutama dari sektor perpajakan diharapkan akan mampu meningkatkan penerimaan dalam negeri bukan migas. Berdasar berbagai perkembangan atas kebijakan yang ditempuh di biuang penerimaan dalam negeri dan pengeluaran rutin tersebut, maka dalam tahun anggaranl999/2000 direncanakan tabungan pemerintah mencapai Rp 5.048,3 miliar. 2.3.6 Pengeluaran Pembangunan Perkembangan kondisi ekonomi dan politik akhir-akhir ini mengisyaratkan perlunya dilakukan reorientasi terhadap perencanaan pembangunan, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, dengan tujuan utama mengatasi krisis dalam waktu yang sesingkat-singkatnya guna membangun landasan ekonomi rakyat yang kokoh, serta mengembangkan perimbangan keuangan pusat-daerah yang lebih adil. Tiga hal utama yang mendasari perlunya reorientasi tersebut adalah pertama, strategi jangka pendek upaya penyelamatan dan pemulihan ekonomi sebagaimana diamanatkan dalam Ketetapan MPR-RI Nomor X/MPRl1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan DaIam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional Sebagai Haluan Negara; kedua, komitmen untuk melaksanakan secara bertahap. Ketetapan MPR-RI Nomor XV tMPRI 1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional Yang Berkeadilan; Serta Perimbangan Keuangan Pusat Departemen Keuangan Republik Indonesia 144 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel 11.21 ANGGARAN BELANJA RUTIN MENURUT SEKTOR DAN SUBSEKTOR, APBN 1998/1999 DAN RAPBN 1999/2000 (dalam miliar rupiah) Nomor SektorlSubsektor Kode (1) (2) APBN RAPBN 1998/1999 1999/2000 (3) (4) % thd. APBN (5) 01 SEKTOR INDUSTRI 83,4 108,1 29,6 01.1 Subsektor Industri 83,4 108,1 29,6 02 SEKTOR PERTANIAN DAN KEHUTANAN 627,7 743,9 18,5 02.1 Subsektor Pertanian 207,3 265,9 28,3 02.2 Subsektor Kehutanan 420,4 478,0 13,7 03 SEKTOR PENGAlRAN 38,4 50,1 30,5 03.1 Subsektor Pengembangan Sumber Daya Air 20,1 21,7 8,0 03.2 Subsektor Irigasi 18,3 28,4 55,2 04 SEKTOR TENAGA KERjA 318,1 391,6 23,1 04.1 Subsektor Tenaga Kerja 318,1 391,6 23,1 05 SEKTOR PERDAGANGAN, PENGEM131.471,7 85.226,8 - 35,2 BANGAN USAHA NASIONAL, KEUANGAN, DAN KOPERASI 05.1 Subsektor Perdagangan Dalam Negeri 79,5 99,3 24,9 05.2 Subsektor Perdagangan Luar Negeri 77,2 80,3 4,0 05.4 Subsektor Keuangan 131.214,1 84.899,7 - 35,3 05.5 Subsektor Koperasi dill Pengusaha Kecil 100,9 147,5 46,2 06 SEKTOR TRANSPORTASI, METEOROLOGI 329,7 382,7 16,1 DAN GEOFISIKA 06.1 Subsektor Prasarana Jalan 33,3 35,3 6,0 06.2 Subsektor Transportasi Darat 28,6 34,3 19,9 06.3 Subsektor Transportasi Laut 148,5 179,2 20,7 06.4 Subsektor Transportasi Udara 64,1 71,1 10,9 06.5 Subsektor Meteorologi, Geofisika, Penearian dill 55,2 62,8 13,8 Penyelamatan (SAR) 07 SEKTOR PERTAMBANGAN DAN ENERGI 318,9 341,3 7,0 07.1 Subsektor Pertambangan 313,5 335,2 6,9 07.2 Subsektor Energi 6,1 13,0 Departemen Keuangan Republik Indonesia 5,4 145 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel 11.21 (lanjutan) Nomor Sektor/Subsektor Kode (1) 08 (2) APBN RAPBN 1998/1999 1999/2000 (3) (4) ,i % thd. APBN (5) SEKTOR PARIWISATA, PS, DAN TELEKOMUNIKASI 117,2 127,6 8,9 08.1 Subsektor Pariwisata 21,5 32,1 49,3 08.2 Subsektor Pos dan Telekomunikasi 95,7 95,5 - 0,2 DAN TRANSMIGRASI 13.491,3 19.749,0 46,4 09.1 Subsektor Pembangunan Daerah 13.408,9 19.647,8 46,5 09.2 Subsektor Transmigrasi dan Pemukiman 82,4 101,2 22,8 357,9 424,8 18,7 9,5 10,9 14,7 348,4 413,9 18,8 DAN OLAH RAGA 4.740,0 6.045,2 27,5 ILl Subsektor Pendidikan 4.253,9 5.448,4 28,1 11.2 Subsektor Pendidikan Luar Sekolah dan Kedinasan 370,1 471,0 27,3 11.3 Subsektor Kebudayaan Nasional dan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Milia Esa 104,1 114,1 9,6 Subsektor Pemuda dan Olah Raga 11,9 11,7 - 1,7 KELUARGA SEJAHTERA 331,7 440,5 32,8 Subsektor Kependudukan dan Keluarga Berencana 331,7 440,5 32,8 ANAK DAN REMAJA 705,3 829,1 17,6 13.1 Subsektor Kesejahteraan Sosial 137,5 151,2 10,0 13.2 Subsektor Kesehatan 567,8 677,9 19,4 SEKTOR PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN 22,8 27,8 21,9 14.1 Subsektor Perumahan dan Permukiman 15,8 20,1 27,2 14.2 Subsektor Penataan Kota dan Bangunan 7,0 7,7 10,0 09 SEKTOR PEMBANGUNAN DAERAH Perambah Rutan 10 SEKTOR LlNGKUNGAN HIDUP DAN TATA RUANG 10.1 Subsektor Lingkungan Ridup 10.2 Subsektor Tata Ruang 11 SEKTOR PENDIDIKAN, KEBUDA Y AAN NASIONAL, KEPERCA Y AAN TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA, PEMUDA 11.4 12 12.1 13 SEKTOR KEPENDUDUKAN DAN SEKTOR KESEJAHTERAAN SOSIAL, KESEHATAN, PERANANWANITA, 14 Departemen Keuangan Republik Indonesia 146 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel 11.21 (lanjutan) Nomor SektorlSubsektor Kode (1) 15 (2) SEKTOR AGAMA APBN RAPBN 1998/1999 1999/2000 (3) (4) % thd. APBN (5) 1.304,2 1.741,6 33,5 200,9 273,4 36,1 1.103,3 1.468,2 33,1 DAN TEKNOLOGI 409,5 498,5 21,7 16.2 Subsektor I1mu Pengetahuan Terapan dan Dasar 263,9 312,2 18,3 16.3 Subsektor Kelembagaan Prasarana Dari Sarana 39,6 46,1 16,4 2,6 2,5 - 3,8 15.1 Subsektor Pelayanan Kehidupan Beragama 15.2 Subsektor Pembinaan Pendidikan Agama 16 SEKTOR ILMU PENGETAHUAN I1mu Pengetahuan Dari Teknologi 16.5 Subsektor Kedirgantaraan 16.6 Subsektor Sistem Informasi Dari Statistik 103,4 137,7 33,2 SEKTOR HUKUM 759,3 982,8 29,4 17.1 Subsektor Pembinaan Hukum Nasional 667,3 866,5 29,9 17.2 Subsektor Pembinaan Aparatur Hukum 92,0 116,3 26,4 PENGA W ASAN 5.241,3 6.423,8 22,6 18.1 Subsektor Aparatur Negara 4.919,7 6.035,9 22,7 18.2 Subsektor Pendayagunaan Sistem Dari Pelaksanaan 321,6 387,9 20,6 2.918,5 2.710,6 - 7,1 105,0 122,7 16,9 2.264,7 1.978,4 -12,6 548,8 609,5 11,1 SEKTOR PERTAHANAN DAN KEAMANAN 7.618,2 9.909,7 30,1 20.2 Subsektor Angkatan Bersenjata Republik Indonesia 7.245,3 9.695,1 33,8 20.3 Subsektor Pendukung 372,9 214,6 -42,5 171.205,1 137.155,5 -19,9 17 18 SEKTOR AP ARA TUR NEGARA DAN Pengawasan 19 SEKTOR POLITIK, HUBUNGAN LUAR NEGERI, PENERANGAN, KOMUNIKASI DAN MEDIA MASSA 19.1 Subsektor Politik 19.2 Subsektor Hubungan Luar Negeri 19.3 Subsektor Penerangan, Komunikasi Dari Media Massa 20 Jumlah Departemen Keuangan Republik Indonesia 147 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Dari Daerah Dalam Rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan ketiga perlunya keberpihakan politik ekonomi yang lebih memberikan kesempatan, dari dukungan bagi pengembangan ekonomi rakyat yang mencakup usaha kecil, menengah, dari koperasi sebagai pilar utama pembangunan ekonomi nasional seperti digariskan dalam Ketetapan MPR-RI Nomor XVIIMPRl1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi. Perubahan orientasi perencanaan pembangunan dimaksud danasarkan atas pertimbangan bahwa ketiga agenda utama kebijakan reformasi pembangunan, yaitu upaya pemulihan dari penyelamatan ekonomi, pelaksanaan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, dan pengembangan ekonomi rakyat yang sebagian besar berbasis di daerah. Oleh sebab itu, pencapaian sasaran pembangunan akan lebih efektif apabila kebijakan dari implementasi program-program pembangunan lebih berakar di daerah, melalui pemberian kewenangan dalam perencanaan dan pengelolaan proyek yang lebih besar kepada daerah. Dengan demikian, dalam melaksanakan pembangunannya, daerah akan lebih berperan baik sebagai subjek maupun objek pembangunan, yang memiliki kewenangan dalam pengambilan keputusan tentang penetapan proyek-proyek yang perlu dibangun sesuai dengan kebutuhan dan skala prioritas daerah yang bersangkutan. Peran baru daerah dimaksud akan memungkinkan pemerintah daerah, selain menjadi lebih akomodatif terhadap aspirasi yang berkembang di masyarakat, juga semakin responsif dalam memenuhi kebutuhan yang menjadi prioritas masyarakat tanpa perlu dihadapkan pada jalur birokrasi yang panjang. Di samping itu, mengingat pemerintah daerah dipanuang lebih memaharni kondisi ekonomi di daerahnya, maka identifikasi permasalahan dan penyusunan rencana pembangunan akan menjadi lebih akurat, dan pelaksanaannya dapat diselaraskan dengan pengembangan potensi ekonomi yang dimiliki oleh masing-masing daerah. Demikian pula, mengingat pemerintah daerah juga dinilai lebih memahami karakteristik sosial dari budaya masyarakat, maka cara yang digunakan dalam pendekatan pembangunan dapat lebih disesuaikan dengan kondisi masyarakat setempat, sehingga pencapaian sasaran dapat lebih efektif. Implikasi dari perubahan orientasi kebijakan pembangunan tersebut menggarisbawahi perlu adanya realokasi anggaran pembangunan (switching policy) secara bertahap ke arah perirnbangan yang lebih proporsional bagi daerah, dengan tetap berpedoman pada prinsipprinsip keadilan dan pemerataan, baik antara pusat dari daerah maupun antarwilayah, disertai pendelegasian kewenangan dalam pengelolaan, dan alokasi dana pembangunan, tanpa harus Departemen Keuangan Republik Indonesia 148 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 merubah pencapaian sasaran, dan strategi kebijakan yang telah digariskan. Berdasarkan berbagai pertimbangan dimaksud, kebijakan anggaran belanja pembangunan dalam RAPBN 1999/2000 yang merupakan kelanjutan dari pendalaman dari kebijakan yang telah ditempuh pada tahun anggaran berjalan, diarahkan untuk mendukung program stabilisasi dari pemulihan ekonomi (economic recovery), sebagai upaya penyelamatan dari pemulihan kondisi sosial ekonomi masyarakat (social protection). Hal ini mengingat dampak krisis ekonomi yang berkepanjangan telah menyebabkan membengkaknya angka pengangguran yang diperkirakan mencapai 14 juta orang; meningkatnya jurnlah penduduk miskin dengan sangat tajam, yang diperkirakan mencapai 80 juta orang atau 40 persen dari seluruh penduduk Indonesia; serta meningkatnya angka putus sekolah. Untuk mencapai sasaransasaran tersebut, strategi kebijakan alokasi anggaran belanja pembangunan akan diprioritaskan kepada kegiatan-kegiatan yang mendukung (a) program padat karya, dengan maksud untuk meneiptakan daya beli bagi mereka yang menganggur, sehingga dapat membantu memenuhi kebutuhan pokoknya; (b) program pemberdayaan ekonomi rakyat, khususnya usaha kecil, menengah dan koperasi; (c) program peningkatan ketahanan pangan dan gizi; serta (d) program perlindungan sosial dasar untuk menjamin agar pelayanan dasar di biuang kesehatan dan pendidikan tetap dapat terjangkau oleh masyarakat luas, terutama kelompok masyarakat paling bawah. Di samping keempat program strategis dimaksud, kebijakan pengeluaran pembangunan juga akan diarahkan untuk mendukung program pembenahan dan restrukturisasi perbankan, dengan tujuan untuk secepatnya memulihkan kembali sistem perbankan nasional agar dapat melaksanakan fungsinya sebagai pendukung kegiatan ekonomi. Program dan proyek-proyek di luar prioritas-prioritas dimaksud, akan dilakukan secara lebih selektif, sehingga pembiayaan dalam RAPBN 1999/2000 masih berada dalam kerangka kebijakan ekonomi makro yang aman. Dengan mempertimbangkan sasaran-sasaran program dan kebijakan yang telah ditetapkan, serta memperhitungkan secara seksama kemampuan sumber-sumber pembiayaan anggaran negara, dalam RAPBN 1999/2000, anggaran belanja pembangunan direncanakan Rp 82.448,3 miliar, atau 11,0 persen lebih rendah dari jumlah yang dianggarkan dalam APBN 1998/1999. Strategi alokasi anggaran belanja pembangunan secara lebih rinei tercermin dalam alokasi pengeluaran pembangunan menurut klasifikasi ekonomi dan menurut sektor dan subsektor. Departemen Keuangan Republik Indonesia 149 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 2.3.6.1 Pengeluaran Pembangunan Menurut Klasifikasi Ekonomi Dari volume anggaran belanja pembangunan dalam RAPBN 1999/2000 di atas, alokasi pembiayaan pembangunan rupiah dianggarkan Rp 52.448,3 miliar, atau 0,6 persen lebih tinggi dari alokasi anggaran yang ditetapkan dalam APBN 1998/1999. Peningkatan alokasi pengeluaran pembangunan rupiah tersebut diperlukan untuk tetap mempertahankan upaya memperkuat jaring pengaman sosial sebagai sarana dalam membantu meringankan beban masyarakat akibat krisis, terutama memberikan perhatian yang lebih besar pada program pemberdayaan (empowering) us aha kecil, menengah dan koperasi, sebagai andalan dalam membantu memutar kembali kegiatan ekonomi masyarakat, serta menunjang program penyehatan dan restrukturisasi perbankan agar dapat segera memulihkan fungsinya dalam mempercepat proses pemulihan kondisi perekonomian nasional. Anggaran tersebut akan dialokasikan untuk proyek-proyek sektoral yang tersebar di berbagai departemen/lembaga, proyek-proyek pembangunan daerah, serta proyek-proyek strategis atau bersifat lintas sektoral pada pembiayaan pembangunan lainnya. Alokasi pengeluaran pembangunan bagi departemen/lembaga dalam RAPBN 1999/2000 dianggarkan Rp 14.022,5 miliar, atau 4,0 persen lebih rendah dari alokasi anggaran yang disediakan dalam APBN 1998/1999. Anggaran tersebut sebagian besar akan dimanfaatkan untuk memperkuat jaring pengaman sosial, terutama menunjang program ketahanan pangan, memperluas lapangan kerja, pemberdayaan pengusaha kecil dan menengah, maupun perlindungan masyarakat di biuang kesejahteraan sosial, pendidikan, dan kesehatan. Selanjutnya, dalam upaya menjabarkan kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah, seiring dengan perubahan orientasi kebijakan pembangunan, dipanuang perIn melakukan realokasi dan pengalihan kewenangan pengelolaan anggaran pembangunan Dari proyek - proyek sektoral pada departemen/lembaga kepada daerah, disesuaikan dengan kapasitas dan kemampuan dari masing-masing daerah bersangkutan. Sejalan dengan kebijakan tersebut, proporsi alokasi anggaran pembangunan bagi daerah dalam tahun anggaran mendatang lebih diperbesar, seuangkan untuk memberikan aksentuasi kuatnya komitmen Pemerintah pusat terhadap pemberdayaan daerah dalam RAPBN 199912000 dilakukan perubahan penggunaan nomenklatur (istilah) dari "bantuan pembangunan daerah (proyek Inpres)" menjadi "dana pembangunan daerah". Selain itu, sekaligus juga dilakukan pengelompokan kembali (reklasifikasi) dana pembangunan daerah bagi proyek-proyek yang Departemen Keuangan Republik Indonesia 150 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 bersifat khusus (specific grant) menjadi dana pembangunan yang bersifat umum (block grant) atau yang bersifat specific block grant. Dalam hubungan ini, dana pembangunan desa tertinggal yang dirancang untuk mempercepat pengentasan kemiskinan, baik di desa-desa miskin maupun di luar desa miskin diintergrasikan ke dalam dana pembangunan desa. Sementara itu, sebagian dari dana pembangunan sekolah dasar (SD), dan dana pembangunan sarana kesehatan diintegrasikan ke dalam dana pembangunan propinsi dan dana pembangunan kabupaten/kota, seuangkan dana pembangunan bagi program makanan tambahan anak sekolah (PMT-AS) digabung ke dalam program peduasan jaring pengaman sosial, dengan nama baru dana jaring pengaman sosial (JPS) dari pemberdayaan masyarakat. Dengan berbagai perubahan tersebut, dalam RAPBN 1999/2000 alokasi dana pembangunan daerah, termasuk dana bagi hasil penerimaan PBB dan BPHTB direncanakan Rp 16.129,3 miliar, atau meningkat 16,8 persen dari alokasi dana yang dianggarkan dalam tahun 1998/1999. Alokasi anggaran tersebut akan danistribusikan dalam berbagai bentuk program pembangunan daerah, yang meliputi (a) dana pembangunan desa, (b) dana pembangunan kabupatenlkota, (c) dana pembangunan propinsi, (d) dana jaring pengaman sosial dan pemberdayaan masyarakat, serta (e) dana pembangunan dari bagi hasil penerimaan PBB dan BPHTB. Jumlah dana yang dialokasikan kepada pemerintah daerah tersebut mencapai sekitar 31 persen dari total keseluruhan pembiayaan pembangunan rupiah, atau sekitar 56 persen dari total anggaran rupiah murni pembangunan di luar bantam, subsidi dan restrukturisasi perbankan, serta pembiayaan lain-lain. Hal ini merupakan realisasi dari tekad pemerintah untuk secara sungguh-sungguh mengupayakan adanya perimbangan keuangan pusat dari daerah dalam pengalokasian anggaran pembangunan pada RAPBN 1999/2000. Dalam rangka mendorong pengembangan sosial ekonomi masyarakat perdesaan, terutama mendukung pelayanan umum kepada masyarakat, dalam RAPBN 1999/2000 direncanakan alokasi dana pembangunan desa Rp 810,8 miliar, atau 70,0 persen lebih besar dari alokasi dana bagi Inpres desa yang dianggarkan dalam tahun sebelumnya. Peningkatan anggaran yang cukup besar tersebut selain disebabkan oleh adanya peningkatan jumlah desa dan peningkatan alokasi dana langsung per desa, juga karena adanya tambahan dana untuk pembinaan masyarakat di desa terpencil, serta disediakannya alokasi dana pembinaan untuk kegiatan perencanaan, pengendalian, dan evaluasi. Anggaran dimaksud akan dialokasikan kepada 68.139 desa, termasuk 8.874 desa terpencil, dengan alokasi dana langsung per desa Rp Departemen Keuangan Republik Indonesia 151 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 10,0 juta, terdiri dari dana pelayanan masyarakat Rp 8,0 juta, dan dana pembinaan kesejahteraan keluarga (PKK), anak dan remaja Rp 2,0 juta. Dana pembangunan desa ditujukan untuk meningkatkan sarana pelayanan umum dalam pengembangan sosial ekonomi masyarakat perdesaan, terutama penyediaan sarana pelayanan bagi aparatur, pembinaan masyarakat, dukungan kegiatan wanita melalui PKK, serta pembinaan anak dan remaja. Sementara itu, dana pembinaan desa dialokasikan masing-masing untuk tingkat propinsi Rp 150 ribu per desa kali jumlah desa di propihsi bersangkutan, tingkat kabupaten/kota Rp 300 ribu per desa kali jumlah desa di kabupaten/kota bersangkutan, dan tingkat kecamatan Rp 1,3 juta per desa kali jumlah desa di kecamatan bersangkutan. Selain itu, untuk kecamatan yang mempunyai desa terpencil juga memperoleh alokasi tambah ulang dana pembinaan Rp 400 ribu untuk tiap desa terpencil. Untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi pemerintahan sebagai pelayanan masyarakat dan penggerak pembangunan, dibutuhkan pemerintah daerah yang kuat, baik secara administratif maupun finansial. Pelaksanaan tugas dan fungsi tersebut akan dapat tercapai dengan adanya dukungan sumber-sumber penerimaan yang memadai, khususnya yang berasal dari penerimaan daerah sendiri. Dalam kenyataannya, pendapatan asli pemerintah daerah masih sangat terbatas, dan sangat bervariasi antardaerah, tergantung pada potensi ekonomi yang tersedia. Untuk mengurangi kesenjangan kapositas membangun antarkabupaten/kota dalam melaksanakan tug as dan fungsi pemerintahan, serta mengembangkan potensi ekonomi daerah, dalam tahun anggaran 1999/2000 direncanakan alokasi dana pembangunan kabupatenlkota Rp 5.775,0 miliar, yang berarti Rp 2.009,6 miliar, atau 53,4 persen lebih tinggi dari alokasi dana yang dianggarkan bagi Inpres Dati II dalam tahun sebelumnya. Dari jumlah tersebut, Rp 2.319,3 miliar (sekitar 40,2 persen) akan dialokasikan sebagai dana umum (block grant) yang wewenang pemanfaatannya sepenuhnya diserahkan pada masing-masing kabupaten/kota bersangkutan, seuangkan Rp 3.455,7 miliar (sekitar 59,8 persen) diberikan sebagai dana khusus (specific block grant). Dari dana umum dimaksud, masing-masing kabupaten/kota akan memperoleh alokasi dan atas dasar jumlah penduduk dengan perhitungan Rp 8.850,0 per kapita (naik 60,9 persen dari alokasi dalam tahun sebelumnya), serta dana atas dasar luas wilayah dengan perhitungan Rp 45,0 ribu per kilometer persegi (naik 80,0 persen dari dasar perhitungan tahun sebelumnya). Selain itu, bagi kabupatenlkota yang mempunyai jumlah penduduk kurang dari 333 ribu jiwa, akan memperoleh alokasi dana minimum Rp 2,0 miliar (naik 100 persen dari alokasi bantuan tahun Departemen Keuangan Republik Indonesia 152 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 sebelumnya), seuangkan bagi daerah-daerah yang berkepulauan juga disediakan alokasi dana (menurut kondisi geografi) Rp 7,5 juta per pulau. Dalam rangka perimbangan keuangan yang lebih proporsional antardaerah, dalam perhitungan alokasi dana per kabupaten/kota tersebut, juga dimasukkan kriteria baru tingkat pendapatan daerah. Dalam tahun anggaran mendatang, dana yang dialokasikan menurut kriteria tingkat pendapatan daerah mencapai Rp 310,3 miliar. Dana tersebut akan diberikan kepada daerah sebagai penyeimbang untuk mencapai rata-rata maksimum pendapatan asli daerah (PAD). Sementara itu, dana khusus (specific block grant) yang dialokasikan bagi daerah meliputi (a) dana pembangunan prasarana umum Rp 1.828,6 miliar, (b) dana pelayanan sosial ekonomi Rp 997,2 miliar, (c) dana peningkatan produksi Rp 231,3 miliar, (d) dana penanganan lingkungan hidup Rp 334,6 miliar, serta (e) dana pembinaan daerah bawahan Rp 64,0 miliar. Dana yang dialokasikan bagi pembangunan prasarana umum akan dimanfaatkan untuk pembangunan prasarana perhubungan dan penanganan jalan kabupaten Rp 1.179,6 miliar, dengan sasaran pemeliharaan jalan kabupaten sepanjang 81.840 kilometer; penyediaan prasarana dasar permukiman Rp 500,0 miliar; serta penyehatan lingkungan dan air bersih Rp 149,0 miliar. Sementara itu, dana pelayanan sosial ekonomi akan dipergunakan untuk revitalisasi (pemugaran dan pembangunan) pasar kecamatan Rp 82,2 miliar, peningkatan sistem kewaspadaan pangan dan gizi (SKPG) Rp 15,7 miliar, pembangunan dan revitalisasi sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) Rp 761,3 miliar, serta pembangunan dan rehabilitasi sarana paoli sosial Rp 137,9 miliar. Dana pembangunan dan revitalisasi SD dan MI (yang di dalamnya termasuk pengalihan sebagian dari dana Inpres SD) akan dimanfaatkan untuk revitalisasi SD/MI dengan konsep yang diperluas, meliputi rehabilitasi gedung, serta refungsionalisasi dan pembangunan kembali gedung (fisik bangunan), prasarana dan sarana lingkungan, .dan pendukung lainnya. Selanjutnya, dana yang tersedia bagi peningkatan produksi akan dialokasikan untuk penyuluh pertanian lapangan (PPL) Rp97,8 miliar, paket pertanian penangkarbenih Rp 59,6 miliar, serta pengembangan industri kecil Rp 74,0 miliar. Pelaksanaan penyuluhan pertanian lapangan dimaksud diperkirakan akan melibatkan sekitar 37.625 orang tenaga PPL dan PPS, 309 balai informasi dan penyuluh pertanian (BIPP), 3.571 unit BPP, serta 3.674 tenaga honorer. Dana penangkar benih akan digunakan untuk membantu pengembangan bibitlbenih komoditas unggulan pertanian, seuangkan dana pengembangan industri kecil akan digunakan untuk penyuluhan dan pembinaan industri kecil. Dana yang tersedia bagi penanganan Departemen Keuangan Republik Indonesia 153 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 lingkungan hidup akan dialokasikan untuk dua kegiatan pokok, yaitu (a) penghijauan, termasuk pemeliharaan, pemantauan dan pembinaannya Rp 283,1 miliar; serta (b) pengendalian dampak lingkungan hidup Rp 51,5 miliar, yang akan digunakan untuk pemantauan dan evaluasi pengendalian dampak lingkungan hidup, pengendalian pencemaran limbah dalam kawasan tertentu, penyusunan perencanaan pengelolaan lingkungan hidup, rehabilitasi kerusakan lingkungan, penyuluhan dan pengelolaan lingkungan hidup, serta dana sarana dan prasarana pengendalian peneemaran. Dana pembinaan daerah bawahan akan dialokasikan untuk pembinaan kecamatan Rp 40,3 miliar, program pengembangan wilayah (PPW) Rp 15,3 miliar, serta perencanaan, pemantauan dan pengawasan pembangunan kabupaten/kota Rp 8,4 miliar. . Dalam RAPBN 199912000, alokasi dana pembangunan propinsi direncanakanRp 3.182,7 miliar, yang berarti 82,8 persen lebih tinggi dari alokasi dana bagi Inpres Dati I yang dianggarkan dalam tahun sebelumnya. Dana tersebut akan dialokasikan dalam bentuk dana umum (block grant) Rp 1.344,1 miliar (sekitar 42 persen), dan dana khusus (specific block grant) Rp 1.838,6 miliar (sekitar 58 persen). Melalui dana umum, masing-masing propinsi akan memperoleh alokasi dana dasar Rp 25,0 miliar per propinsi, dan dana yang diperhitungkan alas dasar luas wilayah daratan dengan alokasi Rp 75 ribu per kilometer persegi. Di samping itu, dalam sistem alokasi dana umum per propinsi tersebut, ditambahkan kriteria baru berupa selisih pada terhadap total pengeluaran APBD I. Sementara itu, alokasi dana khusus dimaksud meliputi : (a) Dana pengembangan prasarana dan sarana ekonomi Rp 878,9 mi1iar, terdiri dari dana peningkatan ja1an Rp 702,5 miliar, dan dana operasi pemeliharaan pengairan Rp 176,4 miliar. Dana yang tersedia ini akan dimanfaatkan untuk menunjang peningkatan ja1an propinsi sepanjang 2.766 kilometer dari penggantian jembatan sepanjang 10.660 meter untuk menjaga kemantapan ja1an dari jembatan guna mendukung perekonomian daerah, serta operasi dan pemeliharaan jaringan pengairan untuk menunjang produksi pertanian tanaman pangan sebagai bagian dari program ketahanan pangan nasiona1 pada areal se1uas 6.300 ribu hektar; (b) Dana pemeliharaan lingkungan hidup Rp 64,8 miliar, terdiri dari dana reboisasi Rp 29,1 miliar, dana pengelolaan kawasan lindung Rp 34,4 miliar, dari dana pengendalian dampak lingkungan Rp 1,3 miliar. Dana tersebut akan digunakan untuk mendukung pelaksanaan konservasi alam, khususnya melalui kegiatan reboisasi pada areal seluas 27.665 hektar, penge1olaan kawasan lindung pada areal seluas 34.437 ribu hektar, dan pengendalian dampak lingkungan. Kegiatan tersebut dilaksanakan dalam rangka mempertahankan kelestarian Departemen Keuangan Republik Indonesia 154 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 lingkungan dan menjaga daya dukung lingkungan agar pemanfaatan sumber daya alam tetap seja1an dengan prinsip pembangunan berke1anjutan; (c) Dana pengembangan sosial budaya dari pelayanan Rp 50,8 miliar, terdiri dari dana pembinaan seni budaya daerah, pembinaan dan pembibitan olah raga prestasi, serta pembinaan kerukunan hidup umat beragama Rp 26,0 miliar; dana pembangunan prasarana fisik pamong praja Rp 20,0 miliar; serta dana perencanaan, pemantauan, dan pengawasan pembangunan di propinsi Rp 4,8 miliar. (d) Dana peningkatan pendidikan dasar Rp 169,3 miliar. Dana ini menampung pengalihan sebagian dari Inpres SD, yang akan dimanfaatkan untuk pengadaan sarana SD Rp 89,0 miliar; penataran/penyetaraan guru Rp 60,0 miliar; pelatihan, prajabatan dari penempatan guru di daerah terpencil Rp 4,0 miliar; serta kegiatan pengelolaan Rp 16,3 miliar; (e) Dana pembangunan sarana kesehatan Rp 471,8 miliar, terdiri dari dana penyediaan obat Rp 295,7 miliar, operasi dari pemeliharaan rumah sakit Rp 85,8 miliar, pengembangan tenaga kesehatan Rp 75,8 miliar, pelayanan kesehatan daerah terpencil Rp 7,5 miliar, dari kegiatan pengelolaan Rp 7,0 miliar; serta (f) Dana program pengembangan wilayah (PPW) Rp 203,0 miliar, yang akan digunakan untuk menunjang program pengembangan kawasan andalan di Indonesia, sebagai implementasi dari Undang-undang Nomor 29 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang dari Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN). Di samping itu, dana tersebut juga akan dimanfaatkan untuk membiayai pengembangan kawasan pengembangan ekonomi terpadu (KAPET), melalui penyediaan prasarana dari sarana penunjang pemasaran produksi di daerah produksi pangan atau daerah potensiall ainnya. Untuk menjaga agar kualitas dari kuantitas kebutuhan dasar masyarakat tidak merosot akibat dari dampak krisis ekonomi yang me1anda Indonesia, dalam tahun anggaran 199912000 program pemberdayaan daerah untuk mengatasi dampak krisis ekonomi, yang semula disebut sebagai program perluasan jaring pengaman sosial (IPS), diperluas cakupan dari jangkauannya menjadi dana IPS dan pemberdayaan masyarakat. Dengan perluasan program tersebut, alokasi anggaran yang disediakan bagi dana IPS dan pemberdayaan masyarakat mencapai Rp 3.458,4 miliar, atau 27,4 persen lebih tinggi dari alokasi dana bagi program perluasan jaring pengaman sosial yang dianggarkan da1am tahun sebelumnya. Dana tersebut akan diarahkan secara langsung kepada kelompok masyarakat yang menghadapi kendala dalam memperoleh lapangan Departemen Keuangan Republik Indonesia 155 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 kerja dan kesempatan berusaha, menemui hambatan dalam pembiayaan pendidikan dan kesehatan, serta mengalarni kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan pangajuan dalam pelaksanaannya, dana tersebut akan dimanfaatkan untuk membiayai program prasarana perdesaan melalui program pembangunan prasarana pendukung desa tertinggal (P3DT) Rp 239,1 miliar, program pengembangan kecamatan (PPK) di perdesaan Rp 150,3 miliar dan di perkotaan Rp 75,0 miliar, program pengembangan sosial ekonomi masyarakat (PSEM) Rp 18,9 miliar, program pemberdayaan daerah dalam rangka mengatasi dampak krisis ekonomi (PDMDKE) Rp 1.025,0 miliar, program pemberian makanan tambahan anak sekolah (PMT-AS) Rp 550,0 miliar, dana operasi dan pemeliharaan SDIMI Rp 536,5 miliar, serta dana operasi dan pemeliharaan puskesmas Rp 363,6 miliar. Di luar dana pembangunan daerah, alokasi pembiayaan pembangunan daerah yang bersumber dari dana bagi hasil PBB dan BPHTB dalam tahun anggaran 199912000 diperkirakan akan sedikit mengalarni penurunan, berkaitan dengan dampak krisis ekonomi yang terjadi di sejumlah daerah. Hal ini akan cukup berpengaruh terhadap rencana kegiatan pembangunan di daerah, mengingat dana bagi hasil PBB dan BPHTB dimaksud jumlahnya cukup berarti (signifikan) dalam komposisi penerimaan daerah. Dalam tahun anggaran 199912000, alokasi pembiayaan pembangunan daerah yang bersumber dari dana bagi hasil PBB dan BPHTB dianggarkan Rp 2.902,4 miliar, yang berarti 4,8 persen lebih rendah dari alokasi dana yang tersedia dalam tahun sebelumnya. Dari jumlah tersebut, propinsi akan menerima alokasi Rp 525,0 miliar, seuangkan kabupaten/kotamadya akan memperoleh alokasi Rp 2.377,4 miliar. Dalam kondisi perekonomian dan kemampuan keuangan negara yang kurang menguntungkan, alokasi pengeluaran pembangunan lainnya dilakukan secara lebih selektif, dengan tetap memperhatikan fungsi strategisnya bagi kelangsungan pembangunan nasional. Dengan kebijakan demikian, dalam tahun anggaran 1999/2000 alokasi pembiayaan pembangunan lainnya direncanakan Rp 22.296,5 miliar, atau 6 persen lebih rendah dari alokasi anggaran yang ditetapkan dalam tahun sebelumnya. Penurunan alokasi anggaran tersebut terutama disebabkan tidak lagi perlu disediakannya anggaran bagi subsidi pupuk mengingat terhitung sejak bulan Desember 1998, Pemerintah telah menghapuskan pemberian subsidi pupuk, baik subsidi harga maupun subsidi gas bagi produsen pupuk. Dari keseluruhan alokasi anggaran tersebut, Rp 17.000,0 miliar akan dialokasikan untuk biaya restrukturisasi perbankan, Rp 3.701 miliar untuk subsidi bunga kredit program, serta Rp 1.595,5 miliar untuk program Departemen Keuangan Republik Indonesia 156 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 lain-lain pembangunan (LLP). Anggaran yang dialokasikan bagi program restrukturisasi perbankan akan dimanfaatkan untuk pembayaran beban bunga atas penerbitan obligasi dan konversi bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) menjadi equity pemerintah dalam rangka program rekapitalisasi perbankan. Sementara itu, penyediaan subsidi bunga bagi berbagai kredit program, yang kelompok sasarannya adalah para petani, transmigran, serta usaha kecil, menengah dan koperasi, pada dasarnya merupakan bagian program pemberdayaan ekonomi rakyat sebagaimana dimaksud da1am Ketetapan MPR-RI Nomor XVI/MPRl1998 tentang Politik Ekonomi Da1am Rangka Demokrasi Ekonomi. Di lain pihak, anggaran bagi lain-lain pembangunan akan dialokasikan untuk berbagai program yang pembiayaannya tidak dapat dibebankan melalui bagian anggaran departemen/lembaga alan bersifat lintas sektoral, di antaranya untuk kontribusi kepada berbagai lembaga internasional, seperti ADB, OPEC Fund, dan IDB, serta mendukung jaring pengaman sosial melalui programprogram yang mengarah pada pemberdayaan masyarakat yang sangat rentan terhadap akibat lanjutan dari krisls ekonomi. Di samping anggaran pembangunan rupiah, dalam RAPBN 1999/2000 direncanakan anggaran pembiayaan proyek yang dananya berasal dari nilai lawan pinjaman proyek Rp 30.000,0. miliar, atau turun sekitar 26 persen dari alokasi anggaran yang ditetapkan dalam tahun sebelumnya. Penurunan alokasi anggaran yang sebelumnya dikenal sebagai bantuan proyek tersebut disebabkan oleh menguatnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika yang dipakai sebagai dasar perhitungan pinjaman proyek. Di dalam jumlah tersebut, proyek-proyek yang memperoleh alokasi pembiayaan, sebagian berupa proyek-proyek perIindungan sosial (social protection projects) di berbagai sektor dan subsektor yang bersumber dari komitmen pinjaman baru dalam rangka penyelamatan dan pemulihan perekonomian akibat krisis yang berkepanjangan. Alokasi pengeluaran pembangunan menurut klasifikasi ekonomi secara rinci dapat diikuti dalam Tabel 11.22. 2.3.6.2 Pengeluaran Pembangunan Menurut Sektor dan Subsektor Dalam tahun anggaran 1999/2000, alokasi anggaran belanja pembangunan lebih diarahkan kepada upaya mempercepat terciptanya pemerataan pembangunan di seluruh wilayah tanah air melalui alokasi anggaran pembangunan kepada sektor-sektor yang paling efektif dalam upaya peningkatan lapangan kerja dan pengembangan ekonomi rakyat, peningkatan produksi Departemen Keuangan Republik Indonesia 157 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 pangan, serta pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat. Pencapaian sasaran-sasaran tersebut secara umum akan dilakukan melalui program-program jaring pengaman sosial, yang meliputi program ketahanan pangan, padat karya, serta pemberdayaan usaha kecil dan menengah pada sektor pembangunan daerah dan transmigrasi; sektor pertanian dan kehutanan; sektor transportasi, meteorologi dan geofisika; sektor pengairan; sektor perdagangan, pengembangan usaha nasional, keuangan dan koperasi; sektor pendidikan, kebudayaan nasional, kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, pemuda dan olah raga; sektor kesejahteraan sosial, kesehatan, peranan wanita, anak dan remaja; serta sektor perumahan dan permukiman. Dalam rangka mendukung upaya peningkatan otonomi daerah, seiring dengan kebijakan perimbangan keuangan pusat-daerah yang lebih adil bagi tereiptanya pemerataan pendapatan dan kesejahteraan penduduk antardaerah, antara perkotaan dan perdesaan, dan antargolongan masyarakat, serta meningkatkan penyebaran penduduk agar dapat mendukung pembangunan daerah melalui pemanfaatan potensi daerah, direncanakan alokasi anggaran pembangunan bagi sektor pembangunan daerah dan transmigrasi Rp 14.545,8 miliar. Anggaran dimaksud akan diaIokasikan untuk subsektor pembangunan daerah Rp 13.656,8 miliar, dan subsektor transmigrasi dan pemukiman perambah hutan Rp 889,0 miliar. Departemen Keuangan Republik Indonesia 158 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel 0.22 PENGELUARAN PEMBANGUNAN RUPIAH MENURUT KLASIFlKASI EKONOMI APBN 1998/1999 - DAN RAPBN 1999/2000 (dalam miliar rupiah) APBN 1998/1999 RAPBN 1999/2000 % thd. Klasifikasi Jumiah (1) . (2) I.ANGGARAN YANG DANAERAHKAN a. Dana Pembangunan Daerah Proporsi . (%) (3) Proporsi Jumlah (%) (4) (5) (6) 13.806,326,5 16.129,330,8 16,8 10.757,320,6 13.226,925,2 23,0 1. Inpres desa tertingga1 204,6 - 2. Dana pembangunan desa 477,0 810,8 3. Dana pembangunan kabupaten/kota 3.765,4 5.775,0 4. Dana pembangunan propinsi 1.741,1 3.182,7 5. Inpres seko1ah dasar 594,9 - 6. Inpres kesehatan 846,0 - 7. Inpres PMT-AS 414,5 - 2.713,8 - 8. Program perluasan jaring pengaman sosia1 (JPS) 9. Dana JPS dan pemberdayaan masyarakat APBN - 3.458,4 b. Dana pembangunan daerah Dari bagi hasil 3.049,0 5,8 2.902,4 5,5 DI TINGKAT PUSAT 17.253,0 33,1 15.618,0 29,8 9,5 a. Pembiayaan Departemen/Lembaga 14.611,0 14.022,5 2.642,0 1.595,5 39,5 1,8 PPB dan BPHTB II. - 4,8 ANGGARAN YANG DIKELOLA OLEH INSTANSI b. Lain-lain pembangunan III. ANGGARAN UNTUK SUBSIDI DAN RESTRUKTURlSASI PERBANKAN a. Subsidi pupuk 21.082,8 40,4 20.701,0 2.125,2 - 3.957,6 3.701,0 c. Restrukturisasi perbankan 15.000,0 17.000,0 Jumlah 52.142,1 b. Subsidi bunga kredit program Departemen Keuangan Republik Indonesia 100,0 52.448,3 100,0 0,6 159 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Pada subsektor pembangunan daerah, anggaran yang tersedia akan dialokasikan untuk program pembangunan desa, program pembangunan kabupaten/kota, program pembangunan propinsi, program JPS dan pemberdayaan masyarakat, serta program pengembangan kawasan khusus. Anggaran tersebut akan dialokasikan dalam bentuk dana umum dan dana khusus. Dalam hal dana pembangunan yang bersifat umum, anggaran yang tersedia akan dialokasikan antara lain untuk mendukung usaha-usaha pemantapan kemampuan aparat, kelembagaan, dan keuangan pemerintah daerah dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan, pelayanan masyarakat, dan pembangunan. Sementara itu, dana yang bersifat khusus akan digunakan untuk pembangunan, pengoperasian dan pemeliharaan prasarana dan sarana dasar serta berbagai fasilitas pelayanan sosial, pengendalian dampak lingkungan, serta penghijauan dan reboisasi. Dalam pelaksanaannya, pemanfaatan dana pembangunan tersebut lebih ditekankan pada kegiatan yang bersifat padat karya, dan penciptaan lapangan kerja, agar sekaligus berfungsi memperkuat jaring pengaman sosial. Dana bagi program pembangunan desa akan dimanfaatkan untuk membiayai kegiatankegiatan yang langsung bersentuhan dengan aktivitas sosial ekonomi masyarakat di perdesaan, seperti pembangunan dan pemeliharaan prasarana dan sarana dasar yang secara langsung dapat menunjang kegiatan produksi dan pemasaran di perdesaan, peningkatan kualitas sumberdaya manusia melalui latihan pembangunan desa terpadu, penguatan lembaga masyarakat desa (LMD) dan lembaga ketahanan masyarakat desa (LKMD), serta pengembangan lembaga dana dan perkreditan desa, seperti usaha ekonomi desa, simpan pinjam, dan kegiatan PKK. Sementara itu, alokasi anggaran pada program pembangunan kabupaten/kota diarahkan pemanfaatannya pada upaya peningkatan kapositas pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat melalui peningkatan kemampuan aparat, kelembagaan dan keuangan kabupatenJ kota, merangsang partisiposi masyarakat dalam pembangunan melalui perluasan lapangan kerja dan penanggulangan kemiskinan, serta meningkatkan taraf hidup masyarakat melalui penyediaan prasarana dan sarana dasar, dan pelayanan sosial dasar masyarakat. Dana dimaksud akan dialokasikan sebagai dana yang bersifat umum (block grant), dan pembiayaan berbagai proyek lainnya, seperti pembangunan prasarana umum pembangunan (prasarana perhubungan dan penanganan jalan kabupaten, pemeliharaan jalan kabupaten, program peningkatan jalan poros desa/kecamatan, penyediaan prasarana dasar permukiman, serta penyehatan lingkungan dan air bersih); pelayanan sosial ekonomi (yang meliputi Departemen Keuangan Republik Indonesia 160 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 revitalisasi pasar kecamatan, sistem kewaspadaan pangan dan gizi, pembangunan dan revitalisasi SD/MI, serta pembangunan dan rehabilitasi sarana panti sosial); peningkatan produksi (mencakup penyuluh pertanian lapangan, penangkar benih, dan pengembangan industri kecil), penanganan lingkungan hidup (penghijauan, pengendalian dampak lingkungan hidup, dan reboisasi), serta pembinaan daerah bawahan (pembinaan kecamatan, program pengembangan wilayah, serta perencanaan, pemantauan, dan pengawasan pembangunan kabupaten). Program pembangunan propinsi diarahkan untuk mendukung upaya peningkatan kapositas dan kemampuan dalam mengkoordinasikan dan menyelaraskan pelaksanaan pembangunan berbagai sektor, termasuk pembangunan sosial-budaya di wilayah propinsi ke dalam kerangka makro pembangunan nasional. Berkaitan dengan itu, dana yang tersedia pada program pembangunan propinsi akan dialokasikan bagi pembiayaan berbagai kegiatan di 20 sektor pembangunan daerah, di antaranya untuk peningkatan prasarana jalan dan jembatan, dan berbagai kegiatan lainnya, seperti operasi dan pemeliharaan pengairan, pengelolaan kawasan lindung, pengendalian dampak lingkungan, pembinaan kerukunan hidup umat beragama, pembinaan dan pembibit olah raga prestasi, serta penyediaan prasarana fisik pamong praja. Program JPS dan pemberdayaan masyarakat terdiri dari dua kategori, yaitu programprogram bersifat tahun jamak, dan bersifat darurat untuk mengatasi dampak krisis ekonorni terhadap kehidupan masyarakat. Program tersebut langsung diarahkan kepada kelompok masyarakat untuk meningkatkan ketersediaan sarana dan prasarana ekonorni dan sosial masyarakat, memperluas kesempatan berusaha, memberikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat, dan upaya jaring pengaman sosial lainnya. Dalam pelaksanaannya, dana tersebut akan dimanfaatkan untuk membiayai program pembangunan prasarana pendukung desa tertinggal (P3DT), program pengembangan kecamatanJ PPK di perdesaan dan di perkotaan, program pengembangan ekonorni masyarakat di daerah, program pemberdayaan daerah dalam rangka mengatasi dampak krisis ekonorni (PDM-DKE), program pemberian makanan tambahan anak sekolah (PMT-AS), dana operasi dan pemeliharaan SD/MI, dana operasi dan pemeliharaan puskesmas, serta dana peningkatan lapangan kerj a produktif. Program pembangunan kawasan khusus meliputi kawasan kerjasama dengan negara tetangga, daerah perbatasan, wilayah-wilayah kawasan berkembang pesat (KBP), serta kawasan pengembangan ekonomi terpadu (KAPET). Program pembangunan kawasan khusus ini Departemen Keuangan Republik Indonesia 161 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 dimaksudkan untuk menciptakan kawasan pengembangan ekonorni yang dapat berperan sebagai penggerak dalam memacu pertumbuhan ekonorni daerah sekitarnya, khususnya melalui pemanfaatan potensi-potensi unggulan yang tersedia pada kawasan tersebut. Pengembangan kawasan khusus juga mencakup pengembangan taman nasional di berbagai daerah, kawasan lindung, dan kawasan kepulauan terpencil. Dana yang tersedia untuk program pengembangan kawasan khusus ini akan digunakan untuk kegiatan-kegiatan yang menyangkut pengembangan produk peraturan, pembinaan teknis, pemantauan dan evaluasi, serta bantuan teknis perencanaan pengembangan kawasan khusus di 30 kawasan. . Pada subsektor transmigrasi dan pemukiman perambah hutan, alokasi anggaran pembangunan akan digunakan untuk mendukung pelaksanaan program transrnigrasi dengan sasaran penduduk sebanyak 5.808 kepala keluarga (KK) transmigran umum (TU)/transrnigran swakarsa berbantuan (TSB), dan 12.000 KK transrnigran swakarsa mandiri (TSM). Sasaran tersebut akan dicapai melalui peningkatan, rehabilitasi dan pemeliharaan sarana dan prasarana pemukiman yang sudah ada, meliputi jalan sepanjang 1.230 kilometer, jembatan sepanjang 4.250 meter, dan gorong-gorong sepanjang 13.000 meter. Selain itu, dana yang tersedia juga akan dimanfaatkan untuk menyiapkan pemukiman dan lingkungan baru bagi 4.250 KK, membangun 20 unit pelaksana teknis (UPT) dengan pembukaan areal produksi baru sekitar 5.200 hektar yang diperkirakan dapat menampung 2.850 KK TV dan 1.400 KK TSB, serta menyiapkan pemukiman TSM bagi 12.000 KK di daerah transrnigrasi. Selanjutnya, dana yang tersedia juga akan digunakan untuk kegiatan pengerahan dan penempatan transrnigran, kegiatan penyuluhan baik untuk mendorong dan merangsang perpindahan penduduk secara sukarela dan swakarsa maupun menumbuhkan partisiposi masyarakat sebagai motivator dan fasilitator dalam mewujudkan pembangunan transmigrasi sebagai gerakan masyarakat, serta kegiatan-kegiatan yang bersifat pembinaan meliputi pembinaan mental dan pemenuhan kebutuhan sosial, serta pembinaan ekonomi transmigran. Dalam rangka membantu upaya mempercepat proses pemulihan perekonomian nasional yang mengalami tekanan akibat krisis ekonomi dan moneter, dan sekaligus merangsang minat dan gairah investasi yang diperlukan bagi berputarnya kembali roda ekonomi masyarakat, perencanaan alokasi anggaran pembangunan juga diarahkan bagi penyediaan prasarana dan sarana ekonomi, seperti transportasi dan komunikasi, pertambangan dan energi, pengairan, jasa perdagangan dan lembaga keuangan, serta pengembangan berbagai sektor unggulan terutama Departemen Keuangan Republik Indonesia 162 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 pertanian dan industri. Guna mendukung kelancaran arus distribusi angkutan bahan pokok, perluasan kesempatan kerja, pengembangan berbagai kegiatan ekonomi sektor riil, serta pengembangan usaha-usaha skala menengah, kecil dan koperasi, dalam tahun anggaran mendatang sektor transportasi, meteorologl dan geofisika direncanakan alokasi anggaran pembangunan Rp 8.426,6 miliar, atau 12,6 persen lebih rendah dari alokasi anggaran yang disediakan dalam tahun sebelumnya. Jumlah tersebut akan dialokasikan masing-masing untuk subsektor prasarana jalan Rp 5.243,6 miliar, subsektor transportasi darat Rp 1.580,2 miliar, subsektor transportasi laut Rp 452,1 miliar, subsektor transportasi udara Rp 1.080,6 miliar, serta subsektor meteorologi, geofisika, pencarian dan penyelamatan (SAR) Rp 70,1 miliar. Pada subsektor prasarana jalan, sasaran alokasi anggaran pembangunan diprioritaskan untuk pemeliharaan rutin jalan arteri dan kolektor sepanjang19.999 kilometer dan pemeliharaan berkala sepanjang 897 kilometer, pemeliharaan rutinjalan lokal sepanjang 14.413 kilometer, serta pemeliharaan jembatan sepanjang 2.426 meter, yang pelaksanaannya sejauh mungkin diusahakan melalui pola padat karya agar sebanyak mungkin dapat menyerap tenaga kerja di lokasi proyek berada. Dalam rangka memperkuat struktur jalan yang mendukung sentra-sentra produksi pangan dan kelancaran distribusinya, alokasi anggararl yang tersedia juga akan digunakan untuk peningkatan jalan arteri kolektor sepanjang 1.757 kilometer, peningkatanjalan lokal sepanjang 2.766 kilometer, dan penggantianjembatan sepanjang 2.935 meter. Selanjutnya, dalam rangka memperluas jaringan jalan yang mendukung sistem transportasi nasional terutama pada kawasan pertanian, industri dan pariwisata, alokasi anggaran pembangunan akan digunakan untuk pembangunan jalan arteri kolektor sepanjang 440 kilometer, serta pembangunan jembatan baru sepanjang 2.716 meter. Anggaran subsektor transportasi darat akan digunakan untuk melaksanakan program pengembangan fasilitas lalu lintas jalan, pengembangan perkeretaapian, serta peningkatan angkutan sungai, danau dan penyeberangan. Program pengembangan fasilitas lalu lintas jalan diarahkan untuk mendukung kelancaran, ketertiban, keamanan, keselamatan dan keterjangkauan transportasi jalan Tara bagi masyarakat luas. Oleh karena itu, anggaran pembangunan dalam program tersebut diprioritaskan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan pengadaan dan pemasangan rambu-rambu lalu lintas, diantaranya rambu penunjuk jalan, delinator, pagar pengaman jalan, serta rambu kelas jalan. Dalam rangka mendukung penegakan disiplin dan Departemen Keuangan Republik Indonesia 163 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 ketertiban lalu lintas di jalan, alokasi anggaran juga akan digunakan untuk mendukung program kebijaksanaan pemerintah di antaranya penataan sistemj aringan dan kelas jalan, program bimbingan dan pelatihan kepada para pengemudi angkutan umum maupun aparat dinas lalu lintas angkutan jalan di beberapa daerah, serta pembangunan pilot project dua unit pelaksanaan penimbangan kendaraan bermotor (UPPKB) di pulau Jawa, yang akan menggunakan sistem jaringan komputer terpadu dengan sistem yang acta di pusat. Selain itu, juga diprioritaskan untuk mendukung pelayanan angkutan terutama di beberapa daerah di kawasan timur Indonesia melalui program subsidi operasi angkutan bus perintis. Untuk pemenuhan kebutuhan tingkat pelayanan angkutan penumpang dalam jumlah banyak, baik di wilayah perkotaan yang padat penduduknya (Jabotabek) maupun angkutan antar kota, dan kebutuhan pelayanan angkutan barang, alokasi anggaranpada program pengembangan perkeretaapian diarahkan untuk melaksanakan kegiatan rehabilitasi dan peningkatan prasarana jalan dan jembatan kereta api, melanjutkan pembangunan jalur ganda jalan kereta api di lintas yang padat, terutama yang dibiayai oleh dana pinjaman luar negeri, serta melanjutkan perakitan kereta rellistrik untuk mendukung kebutuhan pelayanan angkutan umum masal di wilayah Jabotabek. Pada program peningkatan angkutan sungai, danau dan penyeberangan, alokasi anggaran pembangunan diprioritaskan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan rehabilitasi dan peningkatan dermaga penyeberangan, dermaga sungai, maupun dermaga danau. Selain itu, dana yang tersedia juga akan digunakan untuk melanjutkan pembangunan beberapa dermaga yang bersifat strategis, baik bagi dukungan pembangunan daerah maupun pembangunan secara nasional, serta melanjutkan pembangunan beberapa kapal penyeberangan perintis di beberapa propinsi. Dalam mendukung kebijakan pelayanan angkutan di daerah perintis maupun di daerah yang relatif masih kurang berkembang, alokasi dana subsidi operasi angkutan penyeberangan perintis tetap akan menjadi prioritas, terutama untukmendukung kelangsungan distribusi kebutuhan sembako dan obat-obatan serta pengembangan perekonomian di beberapa pulaupulau yang terpencil. Pada subsektor transportasi laut, alokasi anggaran pembangunan akan diarahkan pemanfaatannya terutama untuk mempertahankan tingkat pelayanan transportasi laut, khususnya untuk mendukung kelancaran distribusi sembilan bahan pokok dan obat-obatan. Dalam program pengembangan fasilitas pelabuhan, alokasi anggaran akan diprioritaskan untuk kegiatan Departemen Keuangan Republik Indonesia 164 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 rehabilitasi dermaga seluas 2.270 meter persegi dan pembangunan dermaga pelabuhan rakyat sepanjang 871 meter. Seuangkan dalam program pengembangan fasilitas pelabuhan laut, akan diprioritaskan penggunaannya untuk mempertahankan kedalaman alur pelayaran, rehabilitasi dan pembangunan sarana bantu navigasi. Pada program keselamatan pelayaran akan dilakukan pengerukan 10,3 juta meter kubik. Sementara itu, alokasi anggaran pembangunan untuk program pembinaan dan pengembangan armada pelayaran diprioritaskan pemanfaatannya bagi penyediaan biaya subsidi operasi angkutan perintis laut sebanyak 37 kapal di 13 propinsi, dimana 32 kapal di antaranya dioperasikan di kawasan timur Indonesia. Di subsektor transportasi udara, alokasi anggaran pembangunan diarahkan terutama untuk rehabilitasi prasarana bandar udara (bandara), peralatan keamanan dan keselamatan penerbangan guna menunjang pengembangan sektor pariwisata, upaya pemulihan ekonorni, membuka daerah terpencil dan terisolasi, serta memperluas lapangan kerja; meningkatkan serta mempertahankan tingkat pelayanan, keselamatan dan keamanan penerbangan; dan upaya pengembangan bandara. Melalui program pengembangan fasilitas bandara, dana yang tersedia akan dimanfaatkan untuk perbaikan landasan, pelapisan landasan, pembuatan konstruksi pengerasan pada 6 bandara perintis di Irian Jaya, membangun dan merehabilitasi terminal dan bangunan penunjang operasi, serta mengembangkan bandara di Palembang, Surabaya, Bali, Ujung Panuang, Gorontalo, Manado dan Ambon. Sementara itu, melalui program keselamatan penerbangan, alokasi anggaran akan digunakan bagi pengadaan dan perbaikan 5 unit peralatan navigasi penerbangan, 33 unit peralatan telekomunikasi dan peralatan kelistrikan pada 6 lokasi, serta rehabilitasi peralatan kelistrikan pada 9 lokasi. Selanjutnya, melalui program pembinaan dan pengembangan armada udara, alokasi imggaran pembangunan akan digunakan untuk pengoperasian penerbangan perintis yang menghubungkan daerah terpencil dan membantu distribusi bahan pokok dan obat-obatan di propinsi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Irian Jaya, Maluku, Timor Timur, Kalimantan Timur, dan Nusa Tenggara Timur. Pada subsektor meteorologi, geofisika, pencarian dan penyelamatan, alokasi anggaran pembangunan di antaranya akan digunakan untuk rehabilitasi dan penggantian peralatan operasional meteorologi dan geofisika yang telah rusak atau berumur lebih dari usia teknis (lifetime )-nya, serta pengadaan peralatan SAR (search and rescue) sebagai upaya pengembangan sarana komunikasi. Sementara itu, untuk menunjang kebutuhan energi dan bahan baku bagi industri dalam Departemen Keuangan Republik Indonesia 165 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 negeri dan keperluan masyarakat, peningkatan devisa, penerimaan negara dan pendapatan daerah, serta perluasan lapangan kerja dan kesempatan berusaha, sektor pertambangan dan energi dalam tahun anggaran mendatang direncanakan alokasi anggaran pembangunan Rp 6.607,7 miliar, atau turun 6,4 persen dari alokasi yang dianggarkan dalam tahun sebelumnya. Jumlah tersebut akan dialokasikan masing-masing untuk subsektor pertambangan Rp 69,3 miliar, dan subsektor energi Rp 6.538,4 miliar. Pada subsektor pertambangan, alokasi anggaran pembangunan akan dimanfaatkan antara lain untuk melakukan pemetaan geologi dan geofisika bersistem skala 1:100.000, pemetaan geologi kelautan, pemetaan hidrogeologi skala 1: 100.000, mitigasi bencana alam di beberapa lokasi, serta peningkatan penyelidikan dan pemantauan aktivitas gunung berapi. Di samping itu, juga akan dilakukan pengembangan usaha pertambangan melalui kegiatan percontohan penambangan dan pengolahan di beberapa lokasi pertambangan skala kecil yang akan diperluas pada usaha perminyakan dan distribusinya, serta bimbingan teknis pertambangan di beberapa lokasi. Pada subsektor energi, alokasi anggaran pembangunan akan dimanfaatkan untuk melanjutkan pembangunan pembangkit tenaga listrik terutama di luar Jawa dengan kapasitas 1.410 mega watt (MW), jaringan transmisi sepanjang 5.031 kilometer sirkit (Kms), gardu induk dengan kapositas daya 8.380 mega-volt-ampere (MV A), jaringan distribusi menengah (JTM) sepanjang 11.367,5 Kms, jaringan distribusi tegangan rendah sepanjang 12.413,9 Kms, serta gardu distribusi dengan kapositas 280,8 MV A. Dalam rangka mendorong kegiatan ekonomi, serta meningkatkan kecerdasan dan kesejahteraan rakyat di perdesaan, akan dilanjutkan dan dikembangkan program listrik masuk desa untuk 2.087 desa, yang pengadaannya diupayakan untuk mendukung program jaring pengaman sosial (JPS) dengan memanfaatkan sumber energi setempat, seperti tenaga air mikro dan energi surya, dengan melibatkan koperasi dalam pengelolaan dan pelaksanaannya secara lebih efisien. Selain itu, dana yang tersedia juga akan digunakan untuk pengembangan tenaga migas dan diversifikasi pemanfaatan gas bumi untuk rumah tangga melalui perluasan pembangunan jaringan transmisi dan distribusi gas bumi di Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Jawa Timur. Guna menunjang usaha perluasan jaringan irigasi yang mendukung sektor-sektor strategis, menyediakan air baku di Sentra-sentra produksi untuk menumbuhkan industri yang berbahan baku loka!, serta meningkatkan keandalan fungsi jaringan irigasi di sentra-sentra Departemen Keuangan Republik Indonesia 166 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 produksi untuk mendukung swasembada beras, dalam tahun anggaran mendatang sektor pengairan direncanakan alokasi anggaran pembangunan Rp 3.466,2 miliar, atau sekitar 27 persen lebih rendah dari alokasi yang dianggarkan dalam tahun sebelumnya. Jurnlah tersebut akan dialokasikan untuk subsektor pengembangan sumber daya air Rp 1.521,4 miliar, dan subsektor irigasi Rp 1.944,8 miliar. Di subsektor pengembangan sumber daya air, alokasi anggaran pembangunan akan digunakan untuk melaksanakan kegiatan rehabilitasi 5 unit waduk, pembangunan 50 unit embung dan 10 unit chek dam, operasi dan pemeliharaan 35 unit waduk dan 15 unit danau, perbaikan dan pengendalian sungai sepanjang 290 kilometer, operasi dan pemeliharaan sungai sepanjang 2.700 kilometer, serta penanganan pengendalian banjir lahar gunung berapi pada daerah-daerah yang rawan terhadap banjir lahar gunung berapi. Untuk mendukung upaya peningkatan produksi pertanian serta meningkatkan peranserta petani dalam pengelolaan jaringan irigasi, alokasi anggaran pembangunan subsektor irigasi akan dimanfaatkan antara lain untuk operasi dan pemeliharaan 6,3 juta hektar jaringan irigasi, pembangunan 130 ribu hektar prasarana irigasi baru, serta perbaikan 300 ribu hektar irigasi desa. Selain itu, dana yang tersedia juga akan digunakan untuk penambahan areal cetak sawah seluas 60.000 hektar. Dalam upaya mendukung pengembangan dan pendayagunaan berbagai potensi kepariwisataan nasional yang berbasis pada kekhasan sell budaya dan keadaan alam setempat, peningkatan kesejahteraan masyarakat terutama masyarakat kecil, serta meningkatkan mutu dan memperluas jangkauan pelayanan pos dan telekomunikasi, sektor pariwisata, pos dan telekomunikasi dalam tahun anggaran mendatang direncanakan alokasi anggaran pembangunan Rp 918,1 miliar, atau 22,3 persen lebih rendah dari alokasi anggaran yang disediakan dalam tahun sebelumnya. Dari jumlah tersebut, subsektor pariwisata disediakan alokasi anggaran Rp 92,8 miliar, seuangkan subsektor pos dan telekomunikasi Rp 825,3 miliar. Di subsektor pariwisata, alokasi anggaran pembangunan akan digunakan untuk melakukan diversifikasi produk pariwisata di berbagai sektor melalui penyusunan rencana induk di beberapa propinsi; penyelenggaraan promosi pariwisata di dalam dan luar negeri secara lebih efisien dan efektif, khususnya di negara-negara asal para wisatawan, baik melalui bantuan mahasiswa maupun masyarakat Indonesia yang berada di luar negeri; serta peningkatan hubungan kerjasama bilateral, regional, dan multilateral di biuang pariwisata. Departemen Keuangan Republik Indonesia 167 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Di subsektor pos dan telekomunikasi, alokasi anggaran pembangunan akan digunakan untuk meningkatkan jangkauan, mutu, efisiensi dan pemerataan pelayanan jasa pos dan telekomunikasi, pengendalian frekuensi radio nasional, pembangunan sentral telepon, transmisi dan telekomunikasi perdesaan, serta antisiposi masalah komputer tahun 2000. Dalam tahun anggaran mendatang, sektor perdagangan, pengembangan usaha nasional, keuangan dan koperasi direncanakan alokasi anggaran Rp 19.035,6 miliar, atau naik 14,1 persen dari alokasi anggaran yang disediakan dalam tahun sebelumnya. Anggaran tersebut akan dialokasikan masing-masing untuk subsektor perdagangan dalam negeri Rp 110,1 miliar, subsektor perdagangan luar negeri Rp 65,4 miliar, subsektor pengembangan usaha nasional Rp 6,2 miliar, subsektor keuangan Rp 17.223,2 miliar, serta subsektor koperasi dan pengusaha kecil Rp 1.630,7 miliar. Dalam upaya mendapatkan mekanisme perdagangan dalam negeri dan sistem distribusi yang lebih efisien dan efektif untuk meredam gejolak inflasi, memperlancar arus barang sampai ke konsumen, serta mendukung pengembangan kemampuan usaha skala kecil dan menengah agar mampu bersaing dalam memasuki era perdagangan bebas, alokasi anggaran pembangunan subsektor perdagangan dalam negeri akan lebih diarahkan untuk menunjang peningkatan pemasaran komoditas hasil industri dan pertanian di seluruh propinsi, pengembangan perdagangan perintis dan antarpulau, penyerapan informasi perdagangan antarwilayah dan monitoring harga terhadap komoditi tertentu dalam rangka pengendalian inflasi dan kelancaran arus barang di seluruh propinsi, serta pengembangan pemasaran produk di desa tertinggal di 27 propinsi. Selain itu, anggaran yang tersedia juga akan dimanfaatkan untuk mengembangkan dan meningkatkan kemampuan lembaga dan usaha perdagangan, meningkatkan mutu dan jaringan informasi perusahaan dan perdagangan, serta mendorong terdapatnya tertib usaha dan perlindungan konsumen agar terwujud persaingan yang wajar di kalangan pengusaha. Selanjutnya, alokasi anggaran pembangunan pada subsektor tersebut juga akan dimanfaatkan untuk me!akukan pembinaan usaha dan jasa penunjang perdagangan, memberikan bantuan teknis manajemen k:epada pengusaha yang tersebar di 27 propinsi, serta pengembangan sistem kemitraan antara pedagang kecil, menengah dan pedagang besar di 27 propinsi. Pada subsektor perdagangan luar negeri, alokasi anggaran pembangunan akan dimanfaatkan untuk peningkatan pangsa dan perluasan pasar, peningkatan diversifikasi dan daya saing mata dagangan ekspor, serta peningkatan pelaku ekspor yang handal. Di samping itu, Departemen Keuangan Republik Indonesia 168 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 anggaran yang tersedia juga akan dimanfaatkan untuk penyempurnaan ketentuan perdagangan internasional, pelayanan dan penyebaran informasi perdagangan internasional di seluruh propinsi, serta pengembangan analisa dan pengamatan pasar melalui analisa profil dan potensi ekspor ke berbagai negara. Pada subsektor pengembangan usaha nasional, alokasi anggaran pembangunan akan dimanfaatkan terutama untuk menyiapkan produk pengaturan pengembangan dan pembinaan jasa usaha nasional yang meliputi 10 paket pedoman pengembangan dan pembinaan, serta pembinaan terhadap usaha kecil. Di samping itu, juga akan dilakukan promosi investasi, khususnya dalam rangka penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing, termasuk upaya pendapatan kembali iklim investasi yang menarik. Sementara itu, alokasi anggaran bagi subsektor keuangan akan diprioritaskan untuk melanjutkan reklasifikasi tanah objek pajak bumi dan bangunan (PBB) di beberapa daerah sebagai rangkaian upaya untuk meningkatkan penerimaan negara, penyempurnaan dan penyusunan perhitungan anggaran negara dan penatausahaan inventaris kekayaan negara, serta menunjang program restrukturisasi perbankan pada program pengembangan lembaga keuangan dan pembinaan kekayaan negara. Program penyehatan dan restrukturisasi perbankan dimaksud perlu segera diselesaikan sebagai salah satu agenda pokok dalam upaya memulihkan kondisi perekonomian nasional, dengan tujuan utama memulihkan kehidupan perbankan yang efisien, sehat dan tangguh, mengingat perbankan merupakanjantung kehidupan perekonomian yang dapat menjadi motor penggerak bagi berputarnya kembali kegiatan usaha sektor riil, dan menumbuhkan kegiatan usaha nasional yang berdaya saing. Di subsektor koperasi dan pengusaha kecil, sasaran alokasi anggaran pembangunan akan lebih diarahkan penggunaannya untuk meningkatkan fungsi koperasi sebagai wadah kolektif usaha ekonomi rakyat yang efisien serta dapat meningkatkan perolehan nilai tambah bagi pengusaha kecil-menengah (PKM), dan dapat memperkuat dan memperluas usaha, kewirausahaan dan profesionalisme koperasi dan PKM agar memiliki kinerja yang makin sehat dan kompetitif. Sasaran pembangunan koperasi dalam tahun anggaran 1999/2000 di antaranya meliputi peningkatan kemampuan pengelolaan serta pelayanan anggota koperasi di biuang usaha pangan pada sekitar 2.500 koperasi, peningkatan fungsi koperasi sebagai distributor dan penyalur khususnya barangbarang pokok, peningkatan usaha bagi pedagang kecil dan penyediaan barang bagi konsumen, dukungan fasilitas pembiayaan bagi pengusaha kecil dan Departemen Keuangan Republik Indonesia 169 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 pengembangan 5.600 koperasi/usaha simpan pinjam, serta pembinaan kelembagaan koperasi baru. Sementara itu, sasaran pemberdayaan usaha kecil dan menengah akan lebih difokuskan pada pengembangan jaringan peningkatan pelayanan konsultasi dan informasi bisnis melalui 113 klinik konsultasi bisnis di tingkat kabupaten, khususnya untuk pengusaha kecil dan menengah yang terkena dampak krisis ekonomi, penyelenggaraan pameran promosi dalam rangka peningkatan akses pasar produk pengusaha kecil, serta peningkatan pelayanan inkubator teknologi bisnis dalam rangka mengembangkan pengusaha kecil yang berdaya saing dan memacu tumbuhnya wirausaha baru yang berbasis teknologi. Dalam rangka menunjang upaya pengembangan industri yang efisien dan berwawasan masa depan, pendapatan iklim persaingan yang sehat dan dapat menjamin dan memelihara keseimbangan antara industri besar, menengah dan kecil, pemberdayaan industri kecil dan menengah yang memiliki daya tahan lebih fleksibel terhadap gejolak ekonomi, serta membuka peluang penyerapan tenaga kerja dan pemerataan pendapatan masyarakat, dalam tahun anggaran 1999/2000 sektor industri direncanakan alokasi anggaran pembangunan Rp 629,2 miliar, atau 20,2 persen lebih rendah dari alokasi anggaran yang disediakan dalam tahun sebelumnya. Alokasi anggaran tersebut akan diarahkan antara lain untuk menumbuh-kembangkan kegiatan usaha pada industri kecil-menengah, industri rumah tangga, dan industri kecil perdesaan di seluruh propinsi, agar menjadi industri yang tangguh, modern dan mandiri. Untuk itu, sasaran kegiatannya akan lebih difokuskan pada penumbuhan wirausaha baru industri kecil dan pemberdayaan ekonomi rakyat terutama di perdesaan melalui lembaga mandiri dan mengakar pada masyarakat yang berpotensi produktif kepada kurang lebih 100 lembaga, serta penyediaan bantuan teknis magang dalam biuang teknologi dan manajemen bagi 10.000 perajin/pengusaha industri kecil. Untuk mendukung pelaksanaan program jaring pengaman sosial, dalam tahun anggaran mendatang akan diberikan bantuan dan bimbingan teknis bagi penumbuhan dan pemulihan usaha industri melalui pembinaan intensif kepada sekitar 400 perusahaan industri kecil menengah potensial yang berbasis unggulan daerah, termasuk industri yang siap ekspor, industri kecil subkontrak, industri kerajinan, dan industri substitusi impor, sebagai upaya untuk meningkatkan kemandirian dan memperkuat struktur industri. Di samping itu, juga akan dilakukan peningkatan kemampuan usaha industri kecil melalui pendidikan dan pelatihan, serta bantuan promosi dan informasi ekspor kepada sekitar 500 perusahaan industri kecil. Untuk mendukung peningkatan kemampuan teknologi industri, khususnya bagi industri Departemen Keuangan Republik Indonesia 170 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 kecil dan menengah, baik industri logam, mesin dan kimia, aneka industri maupun industri hasil pertanian, akan dilakukan peningkatan kemampuan pelayanan teknis 25 balai litbang industri, baik sektoral maupun regional di daerah, melalui pengembangan Sarana dan prasarana balai dalarn mendukung dan menjadi bagian dunia usaha industri dalam menghadapi era perdagangan bebas, yang mencakup peningkatan kemampuan pembuatan rupa-rupa dan ujicoba terapan peralatan produksi. Selain itu, anggaran pembangunan subsektor industri juga akan dimanfaatkan untuk pengembangan produk-produk unggulan bagi komoditi yang memiliki prospek yang cerah di masa depan, penyusunan basis data komoditi industri potensial untuk meningkatkan aksesibilitas terhadap pasar dan investor, pelatihan teknis dan manajemen usaha, serta penyediaan tenaga kerja sektor industri dari 17 lembaga pendidikan industri. Dalam upaya penanggulangan dampak krisis ekonomi dan musibah kekeringan yang masih berlanjut, pembangunan pertanian dan kehutanan akan semakin dipacu agar dapat berperan menjadi sektor andalan seiring dengan arah baru pembangunan nasional yang menekankan pada pemberdayaan ekonomi rakyat, desentralisasi pembangunan melalui penguatan kelembagaan pertanian dengan peningkatan reran partisipatif petani, serta perubahan struktur pertanian menuju modernisasi. Pembangunan pertanian dan kehutanan diarahkan untuk lebih eepat menghasilkan ketersediaan pangan dengan harga terjangkau, meningkatkan pendapatan masyarakat, membuka kesempatan kerja dan menyerap tenaga kerja, serta mendukung pengembangan usaha kecil dan menengah dalam rangka penyelamatan kondisi sosial ekonomi masyarakat dan menggerakkan kembali kegiatan ekonomi nasional. Berkaitan dengan itu, dalam rangka mendukung peningkatan produksi pangan, pengembangan agrobisnis produk-produk pertanian, perkebunan dan kehutanan yang berdaya saing tinggi, dan sekaligus mendukung program pereepatan penghapusan kemiskinan, dalam tahun anggaran mendatang sektor pertanian dan kehutanan direncanakan alokasi anggaran pembangunan Rp 4.613,3 miliar, atau menurun 38,4 persen dari alokasi anggaran yang disediakan dalam tahun sebelumnya. Dari jumlah tersebut, Rp 4.389,2 miliar dialokasikan untuk subsektor pertanian, dan Rp 224,1 miliar untuk subsektor kehutanan. Pada subsektor pertanian, alokasi anggaran pembangunan akan lebih diarahkan untuk mendukung jaring pengaman sosial di biuang ketahanan pangan, pemberdayaan ekonomi rakyat dan peningkatan ekspor. Kegiatan utamanya akan dititikberatkan pada pemberdayaan petani, peningkatan daya saing produk pertanian, serta pemecahan secara simultan permasalahan Departemen Keuangan Republik Indonesia 171 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 pengangguran dan percepatan upaya penghapusan kemiskinan. Untuk memberdayakan petani, kelompok tani dan koperasi dalam mengembangkan usahanya secara mandiri, dilaksanakan upaya khusus gerakan mandiri dalam peningkatan produksi padi, kedelai dan jagung (Gema Palagung), peningkatan produksi hortikultura tropika (Gema Hortina), peningkatan produksi protein hewani (GemaProteina), peningkatan produksi perikanan, pengembangan tanaman pangan sebagai tanaman tumpang sari di areal perkebunan rakyat, serta program peningkatan ekspor hasil perikanan (Protekan). Upaya khusus tersebut dilaksanakan melalui (1) peningkatan mutu intensifikasi pertanian dengan menerapkan teknologi pertanian spesifik lokasi, meningkatkan kualitas sumber daya manusia pertanian, dan memberdayakan kelembagaan pertanian pedesaan; (2) meningkatkan kapasitas produksi melalui perluasan areal, optimasi pemanfaatan lahan terlantar, peningkatan indeks pertanaman, peningkatan populasi dan mutu genetik, serta perbaikan teknologi budindaya dan penangkapan ikan; dan (3) pengamanan hasil melalui permanfaatan teknologi panen dan pasca pallen. Sehubungan dengan itu, alokasi anggaran pembangunan pada subsektor pertanian akan diprioritaskan untuk mencapai sasaran produksi padi sebanyak 52 juta ton gabah kering giling (GKG), 11 juta ton jagung pipilan kering dan kedelai 2 juta ton biji kering melalui luas areal tanam padi, jagung dan kedelai masingmasing12,2 juta hektar, 4,1 juta hektar dan 1,7 juta hektar; produksi dasing, telur dan susu masing-masing 1,3 juta ton, 0,5 juta ton dan 0,4 juta ton; produksi perikanan laut dan darat masing-masing 3,7 juta ton dan 1,2 juta ton, serta produksi gula 2,6 juta ton. Pada subsektor kehutanan, alokasi anggaran pembangunan akan diarahkan untuk mendukung pelaksanaan jaring pengaman sosial (JPS), khususnya dalam memperkuat ketahanan pangan, penciptaan lapangan kerja produktif, serta pengembangan usaha kecil menengah dan koperasi. Kegiatan utamanya dititikberatkan pada pengembangan sistem pengelolaan hutan secara lestari melalui penerapan model kesatuan pengusahaan hutan produksi (KPHP) di 6 lokasi yang meliputi 77 unit KPHP, pengembangan pengelolaan kawasan hutan produksi besar, menengah, kecil dan koperasi serta sistem pelelangan hat pengusahaan hutan (HPH) sebanyak 6 paket, pengembangan sumber benih di Sumatera Selatan dan Kalimantan Selatan, serta pembinaan 12 unit Sentra produksi bibit yang tersebar di 8 propinsi. Di samping itu, dilaksanakan pula upaya pemanfaatan lahan kosong kehutanan di bawah tegakan hutan melalui pengembangan unit percontohan pengelolaan hutan rakyat sebanyak 8 unit dan pengembangan areal dampak seluas 2.000 hektar; pengembangan model hutan kemasyarakatan di 11 propinsi; Departemen Keuangan Republik Indonesia 172 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 serta pembinaan dan pengembangan 68 unit usaha kecil, menengah dan koperasi kehutanan. Di biuang pendidikan, sejalan dengan bergesemya paradigma pembangunan pendidikan yang menitikberatkan kepada upaya peningkatan mutu dan relevansinya terhadap pembangunan nasional, akan diupayakan pemerataan dan efisiensi di biuang pendidikan, yang sekaligus diintegrasikan dengan upaya menanggulangi kemiskinan. Untuk itu, dalam tahun anggaran mendatang, sektor pendidikan, kebudayaan nasional, kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, pemuda dan olah raga direncanakari alokasi anggaran pembangunan Rp 8.381,3 miliar atau meningkat 0,2 persen dari alokasi anggaran yang ditetapkan dalam tahun sebelumnya. Jumlah tersebut, akan dialokasikan bagi subsektor pendidikan Rp 7.Q36,7 miliar, subsektor pendidikan luar sekolah dan kedinasan Rp 316,3 miliar, subsektor kebudayaan nasional dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Rp 67,6 miliar, serta subsektor pemuda dan olah raga Rp 60,7 miliar. Di subsektor pendidikan, alokasi anggaran pembangunan akan digunakan terutarna untuk melanjutkan usaha memperkuat program jaring pengaman sosial bagi pemenuhan kebutuhan dasar di biuang pendidikan pada semua jenjang dan jenis pendidikan, yang dilaksanakan melalui penyediaan beasiswa, dan bantuan operasional pendidikan. Penyediaan beasiswa akan diperuntukkan bagi sekitar 1.800 ribu siswa SD/MI, 1.650 ribu siswa SLTP/MTs, 500 ribu siswa SLTA, serta 421 ribu bagi mahasiswa. Khusus bagi mahasiswa, bantuan biaya studi dimaksud akan diberikan dalam bentuk beasiswa prestasi bagi 50 ribu mahasiswa, beasiswa kerja bagi 150 ribu mahasiswa, bantuan penyelesaian tugas akhir bagi 25,5 ribu mahasiswa, penerapan SPP secara proporsional bagi 41 ribu mahasiswa, dan beasiswa lainnya bagi 30 ribu mahasiswa. Sementara itu, penyediaan bantuan operasional pendidikan akan diperuntukkan bagi sekitar 104 ribu SD/MI, 18 ribu SLIP! MTs, 9,4 ribu SLTA negeri dan swasta, serta 1.000 perguruan tinggi negeri dan swasta, termasuk perguruan tinggi agama (PTA). Dalam rangka menjaga kelancaran proses belajar mengajar, alokasi anggaran yang tersedia juga akan dimanfaatkan untuk menunjang program penyetaraan tenaga edukasi masingmasing bagi 195 ribu guru SD setara D-2, dan 2.000 guru SLTP setara D-3, serta pengiriman 9.319 dosen untuk mengikuti pendidikan S2 dan S3 di dalam dan di luar negeri, sebagai upaya meningkatkan kualitas tenaga pendidik, di samping pemenuhan sarana belajar berupa pengadaan 52.700 ribu buku pelajaran SLTP, dan 694 ribu eksemplar buku perpustakaan SMD. Selain itu, akan diupayakan perintisan program baru, yaitu pendidikan anak usia dini sebagai salah satu Departemen Keuangan Republik Indonesia 173 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 upaya dini untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Guna mendukung pelaksanaan program wajib belajar (wajar) pendidikan dasar (dikdas) sembilan tahun di daerah-daerah terpencil yang tidak mungkin terjangkau dengan pelaksanaan sekolah biasa, anggaran yang tersedia juga akan dimanfaatkan untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan jarak jauh melalui 3.642 SLTP terbuka yang telah ada, dan membangun unit gedung baru (UGB) dan ruang kelas baru (RKB) yang setara dengan 3.264 ruang. Sementara itu, untuk menunjang program pembinaan sekolah luar biasa, akan diupayakan pengadaan dan pendistribusian 47.485 eksemplar buku perpustakaan, pengadaan 975 perangkat talking book, penyelenggaraan penataran bagi 232 ribu orang guru SD dan SLTP, serta pengadaan 51 ribu perangkat alat peraga pendidikan. Untuk meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan nasional pada berbagai jenjang pendidikan terhadap tuntutan kebutuhan pembangunan nasional, alokasi anggaran pembangunan akan diarahkan untuk pengembangan dan penyempurnaan kurikulum, pemasyarakatan pendidikan sistem ganda (PSG), pengembangan sekolah menengah kejuruan (SMK) model, serta penataan dan pengembangan program studi dan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan. Selain itu, anggaran yang tersedia juga akan dimanfaatkan untuk mendukung pengembangan kerja sama antara perguruan tinggi dengan industri melalui kegiatan permagangan bagi 500 orang untuk memberikan pengalaman kerja bagi mahasiswa dan dosen, memanfaatkan tenaga profesional pada biuang industri untuk mengajar, serta penyelenggaraan pelatihan profesional bagi mahasiswa politeknik. Pada subsektor pendidikan luar sekolah dan kedinasan, alokasi anggaran pembangunan akan diprioritaskan untuk mengoptimalkan reran pendidikan luar sekolah sebagai katup pengaman pendidikan dalam menghadapi krisis, dengan sasaran kegiatan berupa penyelenggaraan program Kejar Paket A tidak setara SD bagi 25 ribu orang, Kejar Paket A setara SD bagi 108 ribu orang, Kejar Paket B setara SLTP bagi 215 ribu orang, pendidikan berkelanjutan melalui magang dan kursus bagi 20 ribu orang, serta perluasan kejar usaha yang berorientasi program pemberdayaan masyarakat miskin bagi 10 ribu orang. Pada subsektor kebudayaan nasional dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, alokasi anggaran pembangunan akan diarahkan untuk mendukung berbagai upaya pengkajian dan pengembahgan pendidikan budaya dan budi pekerti sebagai bahan kurikulum muatan lokal; pembinaan dan pengembangan kebudayaan daerah dan nasional; penelitian, pembinaan dan Departemen Keuangan Republik Indonesia 174 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 pengembangan bahasa Indonesia dan daerah; peningkatan pendidikan bahasa asing di sekolah; penyusunan buku pengajaran bahasa daerah; serta pembinaan penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa agar dapat dicegah adanya usaha-usaha untuk membentuk agama baru, dan mengefektifkan pengambilan langkah-langkah agar pelaksanaannya berlangsung menurut dasardasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Pada subsektor pemuda dan olah raga, alokasi anggaran pembangunan akan diprioritaskan antara lain untuk menunjang pelatihan kepemimpinan dan keterampilan pemuda, pelatihan kelompok pemuda produktif, dan pelatihan manajemen bagi pimpinan organisasi pemuda bagi 2.760 orang, serta pengerahan sarjana penggerak pembangunan di perdesaan (SP3) sebanyak 1.000 orang. Guna mendukung pemassalan dan pembinaan olahragawan berbakat, alokasi anggaran pembangunan akan digunakan untuk melakukan pembinaan terhadap 1.300 klub olah raga pelajar, kompetisi olah raga pelajar 14.400 orang, pembinaan prestasi olah raga melalui diktat olah raga berbakat SLTP/SMU negeri Ragunan sebanyak 200 orang; penyelenggaraan olah raga perbatasan sebanyak 250 orang; serta penyelenggaraan kegiatan pekan kesegaran jasmani. Untuk menunjang upaya peningkatan dan perluasan pelayanan di biuang sosial dan kesehatan secara lebih merata sebagai upaya memperkuat jaring pengaman sosial, dalam tahun , anggaran mendatang sektor kesejahteraan sosial, kesehatan, peranan wanita, anak dan remaja direncanakan alokasi anggaran pembangunan Rp 4.786,9 miliar, akan meningkat 13,8 persen dari alokasi anggaran dalam tahun sebelumnya. Dari jumlah tersebut, Rp 654,0 miliar akan dialokasikan untuk subsektor kesejahteraan sosial, Rp 3.545,7 miliar untuk subsektor kesehatan, dan Rp 587,2 rniliar untuk subsektor peranan wanita, anak dan remaja. Pada subsektor kesejahteraan sosial, alokasi anggaran pembangunan akan diarahkan untukmemperkuat programjaring pengaman sosial, terutama untuk menunjang upaya peningkatan kualitas dan efektivitas pelayanan sosial, perluasan jangkauan dan pelayanan so sial, peningkatan profesionalisme pe1ayanan sosial, serta peningkatan peranserta masyarakat dan ke1uarga dalam pembangunan kesejahteraan sosia1, dengan fokus perhatian pada fakir miskin, anak dan penduduk 1anjut usia yang terlantar, penyanuang cacat, korban penyalahgunaan obat, narkotika, psikotropika, serta anggota masyarakat yang kurang beruntung memperoleh kesempatan berusaha dan bekerja sesuai dengan kemampuan dan martabat manusia. Untuk mendukung berbagai sasaran tersebut, a10kasi anggaran pembangunan akan Departemen Keuangan Republik Indonesia 175 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 digunakan untuk pembinaan terhadap 3.324 kepala keluarga (KK) masyarakat terasing yang baru ditemukan dan pembinaan lanjutan bagi 8.670 KK, pembinaan kesejahteraan sosial bagi 42.100 KK fakir miskin di 1.141 desa, penyantunan so sial bagi 15.700 orang lanjut usia dan 37.460 orang anak terlantar, serta pemberian modal usaha bagi 3.240 keluarga muda mandiri. Guna meningkatkan kemampuan warga masyarakat dalam melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dan dapat menempuh kehidupannya sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaannya, alokasi anggaran pembangunan subsektor tersebut juga akan dimanfaatkan untuk memberikan pelayanan dan rehabilitasi so sial bagi 13.120 orang penyanuang cacat berbasis masyarakat, membangun pemukiman sosial bagi bekas penderita kusta, serta rehabi1itasi sosial bagi 3.290 orang anak nakal dan korban narkotika. Selanjutnya, dalam rangka meningkatkan kepedulian dan kepekaan masyarakat dalam kegiatan pembangunan dan kesejahteraan sosial, alokasi anggaran pembangunan juga akan dimanfaatkan untuk menyelenggarakan penyuluhan dan bimbingan sosial di 2.622 desa, pembinaan organisasi so sial (orsos) bagi 975 orsos, serta melaksanakan kegiatan kesiapsiagaan penanggulangan bencana alam (PBA) di 27 propinsi. Pada subsektor kesehatan, alokasi anggaran pembangunan akan diarahkan terutama untuk kegiatan yang benar-benar terkait dengan program perluasan jaring perlindungan sosial, serta berbagai program unggulan di biuang kesehatan, khususnya bagi masyarakat yang rentan terhadap penyakit, sebagai upaya memperkuat jaring pengaman sosial. Berkaitan dengan itu, alokasi anggaran pembangunan akan dimanfaatkan untuk penyebarluasan informasi kesehatan, peningkatan pelayanan kesehatan, terutama bagi penduduk riskin, termasuk pelayanan kebidanan berikut rujukannya secara cuma-cuma; peningkatan pelayanan ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas, anak dan remaja; serta penyediaan biaya opeiasional bagi 7.271 Puskesmas. Dalam rangka mempercepat pemberantasan penyakit, serta penurunan angka kesakitan dan kematian bayi dan anak balita dari penyakit, anggaran yang tersedia akan dimanfaatkan untuk penemuan dan pengobatan terhadap 3,7 juta penderita malaria, 5,3 juta penderita diare, 138 ribu penderita TBC (tuberculose) dan 2,8 juta penderita infeksi saluran pernafasan akut (ISPA); pemberian bantuan obat-obatan dan vaksinasi BCG (baccillus calmette guerine), DPT (difteri pertusis tetanus), polio, DT (difteri tetanus), campak terhadap bayi, TT (tetanus toxoid) terhadap 4,8 juta ibu hamil, dan 25 juta anak sekolah, serta hepatitis B pada 4,4 juta bayi. Untuk melindungi masyarakat, khususnya kelompok rentan terhadap kekurangan Departemen Keuangan Republik Indonesia 176 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 pangan dan gizi, alokasi anggaran pembangunan akan dimanfaatkan untuk penanggulangan gangguan akibat kurang yodium (GAKY) dengan mendistribusikan kapsul yodium bagi 8,3 juta wanita subtle; penanggulangan kekurangan vitamin A dosis tinggi bagi 2,2 juta bayi usia 6-12 bulan, 16,5 juta anak usia 1-5 tahun, dan 4,3 juta ibu nifas; serta penyediaan makanan tambahan khususnya bagi bayi, anak balita, ibu hamil, dan ibu nifas penderita kurang energi kronis (KEK) Dari ke1ukga miskin. Di samping itu, sistem kewaspadaan pangan dan gizi (SKPG) akan 1ebih dimanfaatkan di tingkat kabupaten. Se1anjutnya, untuk mendukung upaya peningkatan pendayagunaan obat dan cara pengobatan tradisiona1, a1okasi anggaran pembangunan akan dimanfaatkan untuk pembinaan sentra-sentra pengembangan dan penerapan pengobatan tradisional (P3T), pengembangan dan pembinaan metode pengobatan tradisional, serta pembinaan terhadap tenaga pengobatan tradisional. Pada subsektor peranan wanita, anak dan remaja, sasaran alokasi anggaran pembangunan akan lebih diarahkan untuk meningkatkan peran aktif wanita dalam berbagai kegiatan pembangunan, serta meningkatkan status gizi dan kesehatan bagi anak dan remaja sebagai upaya mempersiapkan sumber daya manusia Indonesia yang tangguh, patriotik, kreatif, dan produktif sejak dini. Guna mendukung sasaran dimaksud, alokasi anggaran pembangunan akan diprioritaskan untuk kegiatan penerangan, pendidikan, dan penyuluhan kemitrasejajaran pria dan wanita yang harmonis dalam pembangunan, kajian dan penerapan pendekatan jender di seluruh sektor pembangunan, serta program makanan tambahan anak sekolah (PMT-AS) yang mencakup 29.002 desa, 9.700 ribu round, dan 61.071 SD/MI baik negeri maupun swasta yang berlokasi di desa-desa miskin dan tertinggal, di daerah kurnub perkotaan, dan lembaga pendidikan berbasis masyarakat di seluruh Indonesia. Selanjutnya, guna mendukung upaya peningkatan kualitas penduduk, pengendalian pertumbuhan dan kuantitas penduduk, pengarahan mobilitas dan penyebaran penduduk, serta mewujudkan tatanan gerakan keluarga berencana, dalam tahun anggaran mendatang sektor kependudukan dan keluarga sejahtera direncanakan alokasi anggaran pembangunan Rp 594,3 miliar, atau naik 2,1 persen Dari anggaran yang disediakan dalam tahun sebelumnya. Anggaran dimaksud akan digunakan untuk penyuluhan keluarga berencana (KB); pelayanan KB, termasuk pemenuhan kebutuhan kontrasepsi dan peralatan pelayanan kontrasepsi kepada 5,0 juta posangan usia subur (PUS) peserta KB baru, dan 28,7 juta PUS peserta KB aktif; pembinaan keluarga prasejahtera dan keluarga sejahtera I melalui Takesra, Kukesra, dan pengembangan Departemen Keuangan Republik Indonesia 177 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 pemasaran hasil produksi usaha ekonomi; serta melakukan berbagai kajian aspek fertilitas, mortalitas, mobilitas dan persebaran penduduk. Dalam rangka mewujudkan perikehidupan beragama yang harmonis, maju dan sejahtera lahir balin, dalam RAPBN 1999/2000 sektor agama direncanakan alokasi anggaran pembangunan Rp 627,4 miliar, atau naik sekitar 32 persen Dari alokasi anggaran yang tersedia dalam tahun sebelumnya. Jumlah tersebut akan dialokasikan untuk subsektor pelayanan kehidupan beragama Rp 25,5 miliar dan subsektor pembinaan pendidikan agama Rp 601,9 miliar. Pada subsektor pelayanan kehidupan beragama, alokasi anggaran pembangunan direncanakan antara lain untuk pemberian bantuan pembangunan dan rehabilitasi terhadap 2.000 temp at peribadatan berbagai agama, pengadaan 600 ribu kitab suci berbagai agama, pembangunan 100 gedung balai nikah, penyertifikatan tanah wakaf, kegiatan penerangan dan bimbingan agama, serta pembinaan kerukunan hidup umat beragama. Selain itu, guna lebih meningkatkan pelayanan dan kelancaran pen.unaian ibadah haji bagi umat Islam, alokasi anggaran pembangunan juga akan dimanfaatkan untuk mendukung pembangunan dan rehabilitasi asrama haji, peningkatan pembinaan para petugas pelayanan haji, serta pembangunan pusat informasi haji, termasuk pengembangan sistem komputerisasi haji terpadu (SISKOHAT). Anggaran pembangunan yang dialokasikan bagi subsektor pembinaan pendidikan agama sebagian besar akan digunakan untuk mendukung program jaring pengaman sosial, yang meliputi (1) program pembinaan pendidikan agama tingkat dasar, menengah dan tinggi, dengan tujuan untuk meningkatkan cakupan dan mutu pendidikan agama tingkat dasar dan menengah, serta menyiapkan peserta didik agar menjadi anggota masyarakat yang mempunyai kemampuan akademik, profesional dan kepemimpinan bagi program pendidikan tinggi; serta (2) program bimbingan kelembagaan dan tenaga penyuluh keagamaan, yang bertujuan untuk meningkatkan reran lembaga keagamaan dalam pembangunan dan meningkatkan mutu tenaga keagamaan, antara lain meliputi pembinaan pondok pesantren dan lembaga-Iembaga kemasyarakatan berlatar belakang keagamaan. Secara keseluruhan, alokasi anggaran pembangunan tersebut akan digunakan untuk penataran guru MI dan MTs; penyetaraan D3 bagi 10.000 guru agama; pengadaan buku pelajaran untuk MI, dan 1,2 juta buah untuk MTs; rehabilitasi 40 ruang kelas MI termasuk ruang perpustakaan, ruang guru dan ruang tata usaha; pembangunan 400 ruang Departemen Keuangan Republik Indonesia 178 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 kelas dan rehabilitasi 100 ruang kelas MTs; serta pembangunan 150 ruang kelas Madrasah Aliyah. Di samping itu, anggaran yang tersedia juga akan dimanfaatkan untuk pengadaan 275 ribu eksemplar buku pelajaran dan buku pegangan dosen, peningkatan mutu tenaga akademis melalui program pendidikan posca sarjana (S-2 dan S-3) bagi 380 orang dosen dan pembibitan calon dosen, pembangunan sarana dan prasarana fisik lAIN dan STAIN, serta pemberian beasiswa bagi 30.000 mahasiswa ekonomi lemah tetapi mempunyai bakat dan kemampuan akademik yang tinggi. Sementara itu, guna meningkatkan produktivitas tenaga kerja, memperluas kesempatan kerja, serta meningkatkan perlindungan tenaga kerja, sektor tenaga kerja direncanakan alokasi anggaran pembangunan Rp 1.202,1 miliar, atau menurun sekitar 8 persen Dari alokasi anggaran yang disediakan dalam tahun sebelumnya. Upaya peningkatan kualitas tenaga kerja dilakukan dengan memberi bekal pelatihan dan peningkatan keterampilan bagi pencari kerja melalui balai latihan kerja dan pelatihan keliling, baik di perkotaan maupun perdesaan. Guna meningkatkan produktivitas, anggaran dimanfaatkan untuk pengembangan produktivitas tenaga kerja pada usaha kecil dan menengah melalui balai pengembangan produktivitas. Prioritas kegiatan ini dilakukan dengan memberi pelayanan bimbingan dan konsultasi manajemen, serta mendorong peningkatan kewirausahaan. Dalam rangka memperluas lapangan kerja produktif, akan diberikan peluang kerja bagi kelompok penganggur yang berpendidikan tinggi maupun rendah. Penganggur yang berpendidikan tinggi diberi bekal pengetahuan dan keterampilan kerja untuk menjadi wirausaha. Sementara itu, bagi penganggur yang berpendidikan rendah, khususnya di perdesaan dan perkotaan kurnub, akan diberikan peluang us aha melalui pengenalan teknologi tepat guna, baik secara perorangan maupun kelompok usaha bersama. Bagi tenaga kerja yang sudah bekerja, akan diberikan perlindungan serta upaya peningkatan kesejahteraan. Melalui kegiatan ini, akan diupayakan untuk mewujudkan ketenangan bekerja dan berusaha agar tercipta hubungan industrial yang serasi antara pekerja dan pengusaha. Guna menunjang upaya-upaya tersebut dikembangkan sistem informasi pasar kerja yang cepat dan akurat, serta memberdayakan bursa kerja yang diikuti dengan peningkatan fungsi pelayanan pengiriman tenaga kerja antardaerah dan ke luar negeri. Untuk mendukung program-program pembangunan yang berprioritas tinggi dalam upaya mengatasi dampak krisis ekonomi, dalam tahun anggaran mendatang sektor ilmu pengetahuan dan teknologi direncanakan alokasi anggaran pembangunan Rp 900,4 miliar, atau Departemen Keuangan Republik Indonesia 179 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 menurun 21,3 persen dari alokasi anggaran yang disediakan pada tahun sebelumnya. Jumlah tersebut akan dialokasikan masing-masing untuk subsektor teknik produksi dan teknologi Rp 342,9 miliar, subsektor ilmu pengetahuan terapan dan dasar Rp 61,2 miliar, subsektor kelembagaan prasarana dan sarana ilmu pengetahuan dan teknologi Rp 218,3 miliar, subsektor kelautan Rp 64,0 miliar, subsektor kedirgantaraan Rp 33,0 miliar, serta subsektor sistem informasi dan statistik Rp 181,0 miliar. Alokasi anggaran pembangunan subsektor teknik produksi dan teknologi akan diarahkan terutama untuk diseminasi dan pemanfaatan iptek dalam rangka mendorong pengembangan usaha kecil dan menengah, pengembangan bibit unggul tanaman pangan, tanaman hortikultura, tanaman perkebunan dan tanaman industri, pengembangan bibit ikan dan ternak unggul, penelitian dan pengembangan sumber daya lahan dan agroklimat, pengembangan potensi produk agrobisnis, penelitian sistem usaha tani, serta penelitian bioteknologi pertanian. Selain itu, alokasi anggaran pembangunan juga akan dimanfaatkan untuk mengembangkan teknik produksi dalam biuang mikroelektronika, komponen elektronika, dan otomotif; pengembangan indikator iptek; pengembangan instrumentasi dan otomasi; pengembangan bahan dan proses industri kimia, dan teknologi energi alternatif; penelitian biuang farmasi, biologi molekular dan bahan mineral; serta pengembangan jaringan ipteknet. Di subsektor ilmu pengetahuan terapan dan dasar, alokasi anggaran yang tersedia akan dimanfaatkan untuk penelitian dan pengembangan biota darat, penelitian dan pengembangan potensi sumber daya alam, serta penelitian potensi sumber daya energi. Alokasi tersebut juga dimanfaatkan untuk penelitian penanggulangan penyakit menular demam berdarah, serta penelitian dan pengembangan teknologi di biuang pertanian, industri, pengairan, prasarana jalan, kesehatan, perumahan dan pemukiman. Di samping itu, anggaran yang tersedia juga akan dimanfaatkan untuk pengembangan aplikasi bioteknologi dalam upaya pemuliaan tanaman produksi, inventarisasi dan penelitian potensi keanekaragaman hayati, serta program hibah bersaing dalam upaya mendorong pengembangan penelitian di perguruan tinggi. Di subsektor kelembagaan prasarana dan sarana iptek, alokasi anggaran pembangunan akan dimanfaatkan antara lain untuk peningkatan fasilitas laboratorium penelitian, seperti laboratorium bioteknologi, dan laboratorium limnologi; serta laboratorium di pusat pengembangan iptek (Puspiptek) seperti laboratorium fisika terapan, laboratorium kimia terapan, laboratorium termodinamika, laboratorium polimer, dan laboratorium sumberdaya Departemen Keuangan Republik Indonesia 180 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 energi. Selain itu, anggaran yang tersedia juga akan dimanfaatkan untuk riset unggulan terpadu dalam upaya peningkatan keterpaduan dan kualitas penelitian terapan di berbagai lembaga riset dan perguruan tinggi. Di subsektor kelautan, alokasi anggaran pembangunan di antaranya akan digunakan untuk mengembangkan dari memanfaatkan potensi kelautan, terutama di wilayah KTI melalui pendugasediaan sumberdaya perikanan laut (fisheries stock assessment), inventarisasi dan evaluasi potensi laut dan pesisir, serta pengembangan sistem informasi geografi kelautan. Di samping itu, anggaran yang tersedia juga akan dipergunakan untuk pembuatan peta wilayah Indonesia, termasuk peta alur laut kepulauan Indonesia (ALKI) dari landas kontinen Republik Indonesia (LKRl), serta batas zona ekonomi eksklusif (ZEE) dengan memanfaatkan kapal riset Baruna Jaya. Di subsektor kedirgantaraan, alokasi anggaran pembangunan akan diprioritaskan untuk memanfaatkan teknologi penginderaan jauh dengan menggunakan data satelit, baik untuk prediksi iklim dan cuaca, prediksi kekeringan, maupun prakiraan produksi pertanian, khususnya padi. Selain itu, alokasi anggaran tersebut akan dipergunakan untuk menunjang kegiatan prakiraan perubahan iklim, pemantauan perilaku atmosfir dan ionosfir, pengembangan teknologi hujan buatan dari jasa informasi kedirgantaraan, serta pengembangan pranata hukum dan strategi pembangunan kedirgantaraan. Di subsektor sistem informasi dari statistik, alokasi anggaran pembangunan akan diarahkan terutama untuk mengupayakan kesinambungan kegiatan pengumpulan data dan statistik, baik yang diperoleh melalui survei maupun melalui sensus, serta meningkatkan sarana penunjang untuk mempertinggi mutu, kelengkapan, dan kecepatan penyajian informasi dan statistik. Dalam suasana krisis ekonomi seperti ini sangat dibutuhkan informasi dan statistik yang tepat, cepat, dan akurat. Sasaran alokasi anggaran yang dimaksud antara lain meliputi pengumpulan, pengolahan dan penyajian data pendapatan nasional/regional, statistik pertanian, statistik industri dan perdagangan, serta statistik sosial dan kependudukan. Kegiatan yang relatif besar pada tahun 1999 adalah survei sosial ekonomi nasional (Susenas) dan persiapan sensus penduduk tahun 2000. Susenas pada tahun 1999 akan menggunakan modul konsumsi yang hasilnya sangat dibutuhkan oleh Pemerintah dalam melihat gambaran dampak krisis ekonomi, serta perumusan kebijakan penanggulangannya. Sementara itu, sensus penduduk tahun 2000 merupakan kegiatan yang sangat penting, dimana atas rekomendasi PBB hampir semua negara Departemen Keuangan Republik Indonesia 181 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 akan melakukannya pada tahun 2000. Dalam rangka mendukung upaya memperkuat jaring pengaman sosial dalam pemenuhan kebutuhan dasar di biuang perumahan dan permukiman yang terjangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah, serta meningkatkan kualitas permukiman dan lingkungan, dalam tahun anggaran mendatang sektor perumahan dan permukiman direncanakan alokasi anggaran pembangunan Rp 3.218,4 miliar, atau turun sekitar 43 persen dari alokasi anggaran yang disediakan pada tahun sebelumnya. Jumlah tersebut akan dialokasikan masing-masing untuk subsektor perumahan dan permukiman Rp 3.059,6 miliar, serta subsektor penataan kota dan bangunan Rp 158,8 miliar. Di subsektor perumahan dan permukiman, alokasi anggaran pembangunan ditujukan untuk penyediaan prasarana dari sarana dasar kawasan dari lingkungan siap bangun di kawasan; pembangunan kawasan terpilih pusat pengembangan desa (KTP2D); penyediaan prasarana dan sarana dasar untuk pembangunan rumah sangat sederhana (RSS) dan rumah sederhana (RS) sebanyak 100.000 unit; peremajaan prasarana dan sarana lingkungan permukiman nelayan dan pennukiman kumuh di perkotaan yang meneakup kola seuang dan kecil; pemugaran perumahan dan permukiman desa tertinggal di 13.000 desa; pengelolaan air limbah perkotaan di kola metropolitan, besar, seuang, dan kecil yang melayani kurang lebih 4,5 juta penduduk; pengelolaan air limbah perdesaan dengan pelayanan kurang lebih 2 juta jiwa; pengelolaan persampahan sistem kota di kota metropolitan dan besar; pembinaan pengelolaan persampahan sistem kota modul di kota seuang dan kecil; pelayanan drainase makro dan mikro di kota metropolitan, besar, seuang, dan kecil yang melayani areal seluas kurang lebih 13.500 ha; pengurangan tingkat kebocoran air menjadi 25 persen bagi kota metropolitan dan besar serta 30 persen bagi kota seuang dan kecil; peningkatan kapositas produksi air sebesar 6.000 liter per detik; dan peningkatan pengadaan air bersih perdesaan di 5.000 desa. Di subsektor penataan kota dan bangunan, alokasi anggaran pembangunan akan diarahkan untuk penyediaan standar teknis penataan kota, penyediaan standar teknis keselamatan bangunanbangunan negara, pembinaan teknis sistem informasi penataan kota, bantuan teknis manajemen perkotaan, bantuan teknis penyiapan rencana pengembangan perkotaan, pembinaan teknis keselamatan bangunan, serta pengawasan teknis keselamatan bangunan-bangunan negara. Dalam upaya menjaga kelestarian dan meningkatkan multi dan fungsi lingkungan Departemen Keuangan Republik Indonesia 182 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 hidup, serta mengurangi dampak negatif dari pemanfaatan ruang dan pertanahan, dalam tahun anggaran mendatang sektor lingkungan hidup dan tata ruang dialokasikan anggaran pembangunan Rp 932,7 miliar, alan 19,6 persen lebih besar dari alokasi anggaran yang tersedia dalam tahun sebelumnya. Anggaran tersebut akan dialokasikan masing-masing untuk subsektor lingkungan hidup Rp 798,9 miliar, dan subsektor tata ruang Rp 133,8 miliar. Pada subsektor lingkungan hidup, anggaran yang tersedia akan dialokasikan pada proyek-proyek inventarisasi dan evaluasi sumber daya alam, pengembangan dan peningkatan kapositas kelembagaan, peningkatan pengelolaan lingkungan hidup wilayah, pengelolaan sistem amdal, peningkatan prasarana fisik, 'pengembangan dan penataan lingkungan, pengelolaan dan pengendalian pencemaran lingkungan hidup, pemantapan pengelolaan dan pengendalian peneemaran lingkungan hidup, pemantapan dan pengelolaan kawasan konservasi alam di 36lokasi, pembuatan rencana teknis rehabilitasi dan pengelolaan di 39 daerah aliran sungai (DAS) prioritas, serta pengelolaan lingkungan kawasan pesisir dan laut. Sementara itu, pada subsektor tata ruang, dana yang tersedia akan dialokasikan bagi kegiatan-kegiatan dalam rangka memantapkan pengelolaan dan pendayagunaan rencana tata ruang wilayah nasional, rencana tala ruang wilayah propinsi, rencana tata ruang wilayah kotamadya dan kabupaten, dan rencana tata ruang wilayah kawasan tertentu, serta penyelesaian produk-produk hukum yang terkait dengan Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 dalam rangka menegakkan tertib hukum di biuang tata ruang. Di samping itu, dana yang tersedia juga akan dipergunakan untuk memperluas dan mempereepat kegiatan administrasi pertanahan khususnya bagi masyarakat berpendapatan rendah, penyiapan sistem informasi geografis dan sumber daya lahan di kawasan prioritas, penertiban dan peningkatan pengurusan hak-hak alas tanah, serta penatagunaan tanah. Selanjutnya, guna menjaga dan memantapkan stabilitas nasional dan politik dalam negeri, serta meningkatkan hubungan kerjasama ekonomi dengan negara sahabat secara lebih kondusif agar berbagai tekanan ekonomi yang terjadi akhir-akhir ini dapat diatasi, dalam tahun anggaran mendatang sektor politik, hubungan luar negeri, penerangan, komunikasi dan media massa diberikan alokasi anggaran pembangunan Rp 154,0 miliar, atau turun 63,5 persen dari alokasi anggaranyang disediakan dalam tahun sebelumnya. Anggaran tersebut akan dialokasikan masing-masing untuk subsektor politik Rp 7,1 miliar, subsektor hubungan luar negeri Rp 17,1 miliar, serta subsektor penerangan, komunikasi dari media massa Rp 129,8 miliar. Pada subsektor politik, alokasi anggaran pembangunan akan lebih diarahkan untuk Departemen Keuangan Republik Indonesia 183 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 mendukung peningkatan kualitas dari kemandirian organisasi sosial politik, peningkatan pembinaan organisasi kemasyarakatan, peningkatan peranserta lembaga kemasyarakatan termasuk lembaga swadaya masyarakat (LSM), penyelenggaraan Pemilu Dari Siuang Umum MPR 1999, serta melanjutkan kegiatan-kegiatan dalam rangka memantapkan penyelenggaraan otonomi daerah dengan titik berat pada daerah tingkat II. Di subsektor hubungan luar negeri, alokasi anggaran pembangunan akan diarahkan terutama untuk mendukung langkah-langkah kerjasama bilateral, regional dari multilateral dalam upaya meningkatkan saling pengertian antara Indonesia dengan negara sahabat, serta memulihkan citra dan kepercayaan masyarakat internasional kepada Indonesia. Langkahlangkah ini diharapkan akan mendorong masuknya kembali investasi asing, wisatawan asing, serta kelancaran arusperdagangan. Pada subsektor penerangan, komunikasi dari media massa, alokasi anggaran pembangunan akan digunakan untuk mendukung upaya peningkatan profesionalisme, idealisme dari integritas moral segenap aparatur dan pelaku penerangan, baik sebagai pelayan masyarakat yang memberikan perlindungan terhadap masyarakat dalam memperoleh informasi yang benar dari aktual maupun sebagai penampung, pengolah dari penyalur aspirasi masyarakat dalam kaitannya sebagai kontrol sosial. Alokasi anggaran juga akan dipergunakan untuk meningkatkan isi dan mutu, serta memperluas jangkauan kegiatan penerangan ke seluruh pelosok tanah air melalui media cetak, elektronik dari media tradisional melalui pelaksanaan kegiatan operasional penerangan, temasuk sebagai paket khlfsus dalam rangka program perbaikan ekonomi dari penyuksesan penyelenggaraan Pernilu 1999, Siuang Umum (SU) MPR 1999, dari penerangan program jaring pengaman sosial. Di samping itu, anggaran yang tersedia akan dimanfaatkan pula untuk menambah penyediaan sarana operasional juru penerang, seperti kendaraan roda dua (muviani darat), copy film penerangan, rehabilitasi Pusat Penerangan Masyarakat (Puspenmas), meningkatkan luas jangkauan dan kualitas siaran radio dan televisi, memantapkan isi siaran radio Dari televisi, melaksanakan pembinaan di biuang perfilman, serta meningkatkan jangkauan peredaran penerbitan. Alokasi anggaran tersebut juga akan dimanfaatkan untuk mempersiapkan penyusunan RUU tentang Media Massa yang mencakup ketentuan-ketentuan tentang pers, penyiaran dan perfilman, serta peraturan pelaksanaannya yang mendukung terwujudnya kehidupan pers nasional yang bebas dari bertanggung jawab. Departemen Keuangan Republik Indonesia 184 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Dalam rangka mewujudkan aparatur negara yang bersih dan berwibawa bagi terlaksananya pemerintahan yang bersih dan bertanggung jawab (good governance) yang dapat memberikan pelayanan optimal kepada seluruh masyarakat secara adil, efektif dan efisien, dalam tahun anggaran mendatang sektor aparatur negara dan pengawasan diberikan alokasi anggaran pembangunan Rp 900,8 miliar, alan naik 14,5 persen daii. alokasi anggaran yang disediakan dalam tahun sebelumnya. Anggaran tersebut akan dialokasikan masing-masing untuk subsektor aparatur negara Rp 890,4 miliar, dan subsektor pendayagunaan sistem dan pelaksanaan pengawasan Rp 10,4 miliar. Pada subsektor aparatur negara, alokasi anggaran pembangunan akan diarahkan terutama untuk menyelenggarakan berbagai pendidikan dan pelatihan (diklat) pegawai, seperti diklat penjenjangan, diktat fungsional, dan diktat teknis dan keterampilan sebagai upaya meningkatkan kualitas profesionalisme aparatur negara; pengkajian dan analisis kebijakan pembangunan; serta rehabilitasi dan pemeliharaan sarana dan prasarana pelayanan seperti gedung, kantor, serta sarana dari prasarana lainnya. Pada subsektor pendayagunaan sistem dan pelaksanaan pengawasan, alokasi anggaran pembangunan akan diarahkan terutama untuk mendukung penyelenggaraan berbagai program pengawasan dan pemeriksaan dalam rangka peningkatan akuntabilitas alas pengelolaan keuangan negara yang berada pada seluruh unit organisasi pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Sasaran kegiatannya meliputi peningkatan sinergi pengawasan antarAPFP (aparat pengawasan fungsional pemerintah), peningkatan pengawasan dan pengamanan terhadap pengadaan barang dari jasa pemerintah dari praktek kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN), pelaksanaan program-program pemulihan ekonomi dan jaring pengaman sosial, peningkatan pengawasan terhadap penerimaan negara, serta pemantauan pelaksanaan tindak lanjut hasil pengawasan. Untuk mendukung pelaksanaan reformasi di biuang hukum, penegakan hukum dan pelayanan hukum yang berdasarkan pada keadilan dan kebenaran, serta pemberian kepostian dan perlindungan hukum, baik dalam tingkat penyelenggaraan negara maupun masyarakat, dalam tahun anggaran mendatang sektor hukum diberikan alokasi anggaran pembangunan Rp 230,1 miliar, alan naik sekitar 38 persen dari alokasi yang disediakan dalam tahun sebelurnnya. Anggaran tersebut akan dialokasikan masing-masing untuk subsektor pembinaan hukum nasional Rp 23,7 miliar, subsektor pembinaan aparatur hukum Rp 54,6 miliar, serta subsektor Departemen Keuangan Republik Indonesia 185 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 sarana dan prasarana hukum Rp 151,8 miliar. Di subsektor pembinaan hukum nasional, alokasi anggaran pembangunan akan dipergunakan untuk menunjang kegiatan penyusunan dan pembahasan RUU sebagai upaya pembaharuan dan pembentukan hukum baru yang sesuai dengan agenda reformasi di biuang hukum, melakukan analisis dan evaluasi hukum baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, serta penyusunan naskah akademis peraturan perUndang-undangan dan pemberian anotasi yurisprudensi sebagai sumber hukum dalam rangka pembinaan sistem hukum nasional. Di subsektor aparatur hukum, anggaran yang disediakan akan dimanfaatkan antara lain untuk penataan dan penyempurnaan sistem peradilan dalam rangka terciptanya proses penyelesaian perkara yang cepat, tepat dan dengan biaya ringan; operasi yustisi khususnya dalam rangka pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN); penyuluhan hukum, pelayanan hukum, serta pemberian bantuan hukum, terutama bagi golongan masyarakat pencari keadilan yang kurang mampu. Di subsektor sarana dan prasarana hukum, alokasi anggaran pembangunan akan dipergunakan untuk mendukung penyempurnaan, rehabilitasi dan perluasan prasarana pelayanan hukum, seperti pengadilan, kejaksaan, lembaga permasyarakatan, rumah tahanan negara dari kantor pelayanan imigrasi, termasuk karantina imigrasi dan pos imigrasi terutama di daerah perbatasan, pengadaan kendaraan tahanan, peralatan fungsional pengadilan, peralatan keamanan, sarana komunikasi, serta penggantian komputerisasi imigrasi khususnya di bandara internasional. Dalam tahun anggaran mendatang, sektor pertahanan dan keamanan diberikan alokasi anggaran pembangunan Rp 2.277,4 miliar, atau naik 7,3 persen Dari alokasi anggaran yang disediakan dalam tahun sebelumnya. Jumlah tersebut akan dialokasikan untuk subsektor rakyat terlatih dan perlindungan masyarakat Rp 10,6 miliar, subsektor ABRI Rp 1.969,3 miliar, serta subsektor pendukung Rp 297,5 miliar. Alokasi anggaran dimaksud diarahkan untuk mendukung terwujudnya penataan kemampuan segenap komponen hankarnneg dalam rangka sistem pertahanan keamanan rakyat semesta, serta pembangunan ABRI yang lebih menitikberatkan pada upaya peningkatan kesejahteraan, pendidikan dan profesionalisme ABRI, serta partisipasi masyarakat dalam rangka hankamneg. Pada subsektor ABRI, alokasi anggaran pembangunan akan digunakan untuk meningkatkan kemampuan intelijen strategik, kemampuan pertahanan dan keamanan, Departemen Keuangan Republik Indonesia 186 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 pembinaan teritorial, serta kemampuan dukungan umum ABRI. Selain itu, anggaran yang tersedia juga akan dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui peningkatan kualitas pendidikan dan latihan, meningkatkan kemampuan manajemen, serta menyempurnakan sistem pemeliharaan termasuk sistem pendukungnya guna mempertahankan kemampuan operasional alat utama sistem senjata (Alutsista) yang ada. . Alokasi anggaran pembangunan pada subsektor rakyat terlatih (ratih) dan perlindungan masyarakat (linmas) akan digunakan terutama untuk memantapkan konsepsi dalam rangka ratih dan linmas, dengan memperhatikan sistem pertahanan keamanan rakyat semesta dan Unuangunuang Nomor 20 tahun 1982. Sementara itu, alokasi anggaran pembangunan di subsektor pendukung akan dimanfaatkan untuk meningkatkan kemampuan pembinaan sumber daya alam; sarana dan prasarana nasional; iptek dan tata ruang wilayah negara; serta meningkatkan pembinaan industri nasional, khususnya industri strategis yang mendukung penyelenggaraan hankarnneg. Rincian pengeluaran pembangunan berdasarkan sektor dan subsektor dalam APBN 1998/1999 dan RAPBN 1999/2000 dapat diikuti dalam Tabel D.23, seuangkan gambaran keseluruhan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun anggaran 1999/2000 dapat diikuti dalam Tabel D.24. Departemen Keuangan Republik Indonesia 187 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel 11.23 PENGELUARAN PEMBANGUNAN MENURUT SEKTOR DAN SUBSEKTOR, APBN 1998/1999 DAN RAPBN 1999/2000 (dalam miliar rupiah) Nomor Sektor/Subsektor Kode (1) (2) APBN RAPBN Ll % thd. 1998/1999 1999/2000 APBN (3) (4) (5) 01 SEKTOR INDUSTRI 788,2 629,2 -20,2 01.1 SubsektorlndusUi 788,2 629,2 -20,2 02 SEKTOR PERTANIAN DAN KEHUTANAN 7.484,6 4.613,3 -38,4 02.1 Subsektor Pertanian 6.915,6 4.389,2 - 36,5 02.2 Subsektor Kehutanan 569,0 224,1 -60,6 03 SEKTOR PENGAIRAN 4.774,7 3.466,2 -27,4 03.1 Subsektor Pengembangan Sumber Daya Air 1.857,6 1.521,4 - 18,1 03.2 Subsektor lrigasi 2.917,1 1.944,8 - 33,3 04 SEKTOR TENAGA KERJA 1.304,9 1.202,1 - 7,9 04.1 Subsektor Tenaga Kerja 1.304,9 1.202,1 - 7,9 05 SEKTOR PERDAGANGAN, PENGEM16.687,6 19.035,6 14,1 47,5 110,1 131,8 253,3 65,4 -74,2 69,9 6,2 -91,1 15.435,5 17.223,2 11,6 881,4 1.630,7 85,0 9.642,6 8.426,6 - 12,6 06.1Subsektor Prasarana Ja1an 6.235,2 5.243,6 -15,9 06.2Subsektor Transportasi Darat 1.446,4 1.580,2 9,3 06.3Subsektor Transportasi Laut 955,3 452,1 -52,7 . 06.4Subsektor Transportasi Udara 949,4 1.080,6 13,8 56,3 70,1 24,5 7.059,5 6.607,7 - 6,4 51,0 69,3 36,0 7.008,5 6.538,4 - 6,7 BANGAN USAHA NASIONAL, KEUANGAN DAN KOPERASI 05.1 Subsektor Perdagangan Dalam Negeri 05.2 Subsektor Perdagangan Luar Negeri 05.3 Subsektor Pengembanga Usaha Nasional 05.4 Subsektor Keuangan 05.5 Subsektor Koperasi Dari Pengusaha Kecil 06 SEKTOR TRANSPORTASI, METEOROLOGI DAN GEOFISIKA 06.5Subsektor Meteorologi, Geofisika, Penearian Dari Penye1amatan (SAR) 07 SEKTOR PERTAMBANGAN DAN ENERGI 07.1 Subsektor Pertambangan 07.2 Subsektor Energi Departemen Keuangan Republik Indonesia 188 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel 11.23 (lanjutan) Nomor Sektor/Subsektor Kode (1) 08 (2) APBN RAPBN 1998/1999 1999/2000 (3) (4) % thd. APBN (5) SEKTOR PARIWISATA, POS, DAN TELEKOMUNIKASI 1.181,0 918,1 -22,3 93,6 92,8 - 0,9 1.087,4 825,3 - 24,1 DAN TRANSMIGRASI 19.091,6 14.545,8 -23,8 09.1 Subsektor Pembangunan Daerah 18.186,1 13.656,8 -24,9 09.2 Subsektor Transmigrasi dan Pemukiman 905,5 889,0 - 1,8 DAN TAT A RUANG 780,0 932,7 19,6 10.1 Subsektor Lingkungan Ridup 579,7 798,9 37,8 10.2 Subsektor Tata Ruang 200,3 133,8 - 33,2 DAN OLAH RAGA 8.367,6 8.381,3 0,2 11.1 Subsektor Pendidikan 7.775,1 7.936,7 2,1 11.2 Subsektor Pendidikan Luar Sekolah dan Kedinasan 405,4 316,3 -22,0 11.3 Subsektor Kebudayaan Nasional dan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa 100,4 67,6 -32,7 Subsektor Pemuda dan Olah Raga 86,7 60,7 - 30,0 KELUARGA SEJAHTERA 582,3 594,3 2,1 Subsektor Kependudukan dan Keluarga Berencana 582,3 594,3 2,1 4.204,7 4.786,9 13,8 593,8 654,0 10,1 3.168,2 3.545,7 11,9 442,7 587,2 32,6 SEKTORPERUMAHANDANPERMUKIMAN 5.615,2 3.218,4 -42,7 14.1 Subsektor Perumahan dan Permukiman 5.403,6 3.059,6 -43,4 14.2 Subsektor Penataan Kota dan Bangunan 211,6 158,8 -24,9 08.1 Subsektor Pariwisata 08.2 Subsektor Pos dan Telekomunikasi 09 SEKTOR PEMBANGUNAN DAERAH Perambah Rutan 10 11 SEKTOR LINGKUNGAN HIDUP SEKTOR PENDIDIKAN, KEBUDA Y AAN NASIONAL, KEPERCA Y AAN TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA, PEMUDA 11.4 12 12.1 13 SEKTOR KEPENDUDUKAN DAN SEKTOR KESEJAHTERAAN SOSIAL, KESEHATAN, PERANAN WANITA, ANAK DAN REMAJA 13.1 Subsektor Kesejahteraan Sosial 13.2 Subsektor Kesehatan 13.3 Subsektor Peranan Wanita, Anak dan Remaja 14 Departemen Keuangan Republik Indonesia 189 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel 11.23 (lanjutan) Nomor Sektor/Subsektor Kode (1) 15 (2) SEKTOR AGAMA 15.1 Subsektor Pe1ayanan Kehidupan Beragama 15.2 Subsektor Pembinaan Pendidikan Agama APBN RAPBN 1998/1999 1999/2000 (3) (4) 475,9 L'. % thd. APBN (5) 627,4 31,8 26,4 25,5 - 3,6 449,5 601,9 33,9 1.144,1 900,4 - 21,3 279,7 342,9 22,6 53,8 61,2 13,7 lImu Pengetahuan Dari Tekno1ogi 364;9 218,3 -40,2 16.4 Subsektor Ke1autan 253,7 64,0 -74,8 16.5 Subsektor Kedirgantaraan 70,5 33,0 - 53,2 16.6 Subsektor Sistem Informasi dan Statistik 121,5 181,0 49,0 SEKTOR HUKUM 167,0 230,1 37,8 16 SEKTOR ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI 16.1 Subsektor Teknik Produksi Dari Tekno1ogi 16.2 Subsektor lImu Pengetahuan Terapan dan Dasar 16.3 Subsektor Ke1embagaan Prasarana Dari Sarana 17 17.1 Subsektor Pembinaan Hukum Nasional 34,8 23,7 - 31,9 17.2 Subsektor Pembinaan Aparatur Hukum 34,3 54,6 59,4 17.3 Subsektor Sarana dan Prasarana Hukum 97,9 151,8 55,0 18 SEKTOR APARATUR NEGARA DAN PENGA W ASAN 786,8 900,8 14,5 18.1 Subsektor Aparatur Negara 765,5 890,4 16,3 18.2 Subsektor Pendayagunaan Sistem Dari Pe1aksanaan 21,3 10,4 421,8 154,0 - 63,5 Pengawasan 19 - 51,2 SEKTOR POLITIK, HUBUNGAN LUAR NEGERI, PENERANGAN, KOMUNIKASI DAN MEDIA MAf.SA 19.1 Subsektor Po1itik 26,8 7,1 - 73,6 19.2 Subsektor Hubungan Luar Negeri 13,5 17,1 26,5 19.3 Subsektor Penerangan, Komunikasi 381,5 129,8 -66,0 2.122,9 2.277,4 7,3 10,6 10,6 0,0 1.854,2 1.969,3 6,2 258,1 297,5 15,3 92.683,0 82.448,3 -11,0 Dari Media Massa 20 20.1 SEKTOR PERTAHANAN DAN KEAMANAN Subsektor Rakyat Terlatih Dari Perlindungan Masyarakat 20.2 Subsektor ABRI 20.3 Subsektor Pendukung JUMLAH Departemen Keuangan Republik Indonesia 190 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel 11.24 RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA, 1999/2000 (dalam miliar rupiah) Penerimaan A. Penerimaan Dalam Negeri Jumlah Pengeluaran 142.203,8 A. Pengeluaran Rutin I. Penenmaan minyak bumi dan gas alam (migas) I. Belanja pegawai 20.965,0 1. Minyak bumi 1. Gaji/pensiun 12.443,4 . 2. Gas alam 8.521,6 1. Pajak penghasilan 2. Pajak pertambahan nilai 3. Bea masuk 4. Cukai 2.106,9 4. Lain-lain belanja peg. DN 1.489,9 5. Pungutan (pajak) ekspor 2. Belanja barang LN 2.950,3III. Belanja rutin daerah 1. Belanja pegawai 10.160,0 2. Belanja nonpegawal 2.594,5 6. Pajak bumi dan bangunan IV. Bunga dan cicilan hutang Dari bea perolehan hak atas tanah dan bangunan 7. Pajak lainnya 8. Penerimaan bukan pajak 1. Hutang dalam negeri 3.247,0 564,5. 26.499,1 9. Laba bersih minyak 2. Hutang luar negeri V. Pengeluaran rutin lainnya 1. Subsidi BBM - 26.824,9 3. Uang makan/Lauk pauk 1. Belanja barang DN 34.597,4 33.569,1 2.087,1 121.238,8II. Belanja barang 40.626,0 137.155,5 2. Tunjangan beras 5. Belanja pegawai LN II. Penenmaan bukan migas Jumlah 2. Lain-lain 1.060,3 . 11.039,0 10.006,8 1.032,2 19.497,6 18.696,8 800,8 44.810,9 380,1 44.430,8 28.238,9 9.985,8 18.253,1 B. Penerimaan Luar Negeri 77.400,0B. Pengeluaran Pembangunan 82.448,3 I. 47.400,0I. 52.448,3 Pinjaman program II. Pinjaman proyek Jumlah Pembiayaan rupiah 30.000,0II. Pembiayaan proyek 219.603,8 Departemen Keuangan Republik Indonesia Jumlah 30.000,0 219.603,8 191 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 BAB III MONETER DAN PERKREDITAN 3.1 Pendahuluan Gejolak nilai tukar rupiah yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997 telah berdampak luas pada hampir seluruh sendi perekonomian nasional. Sektor moneter dan perkreditan sebagai salah satu sendi utama perekonomian mengalami perkembangan yang kurang menggembirakan. Hal ini antara lain ditandai dengan melonjaknya laju inflasi, peningkatan likuiditas perekonomian, dan tingginya tingkat suku bunga, di samping menurunnya kinerja sistem keuangan nasional, termasuk perbankan dan pasar modal. Fenomena tingginya laju inflasi, yang mencapai 39,74 persen dalam periode April - Desember 1998, dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik yang berasal dari sisi penawaran maupun permintaan pasar. Kapasitas penawaran barang, khususnya barang-barang industri yang mengandung komponen impor dan kelompok bahan makanan yang sangat rentan akan pengaruh musim kemarau panjang, secara agregat relatif menurun. Di samping itu, kerusuhan yang terjadi di beberapa daerah dan adanya perilaku spekulasi barang oleh sebagian masyarakat, telah menyebabkan terganggunya sistem distribusi sehingga semakin mendorong naiknya harga-harga barang dari sisi penawaran. Pada saat yang bersamaan, kegiatan spekulasi barang karena pengaruh isu-isu ekonorni dan politik serta ekspektasi yang berlebihan terhadap laju inflasi, telah pula menyebabkan meningkatnya perrnintaan agregat. Perkembangan sisi penawaran dan perrnintaan yang saling bertolak belakang tersebut pada akhirnya telah menimbulkan implikasi sinergis yang sulit dikendalikan, yakni naiknya laju inflasi pada bulan-bulan Januari hingga Agustus 1998. Namun demikian, seiring dengan menguatnya rupiah dan mulai pulihnya sistem distribusi berbagai barang kebutuhan pokok, dalam bulan September, Oktober, November dan Desember 1998 laju inflasi mulai menunjukkan kecenderungan menurun dibandingkan bulan-bulan sebelumnya. Dalam rangka memberikan iklim yang mendukung untuk menurunkan laju inflasi, dan memungkinkan terjadinya apresiasi dan stabilitas nilai tukar rupiah, sejak awal tahun 1998 telah dilakukan langkah-Iangkah pengetatan likuiditas perekonomian dengan lebih mengefektifkan instrumen operasi pasar terbuka. Pelaksanaan kebijaksanaan moneter kontraktif tersebut antara lain dilakukan melalui penyempurnaan ketentuan tentang penerbitan dan perdagangan SertifIkat Bank Indonesia (SBI), perubahan suku bunga SBI secara fleksibel sesuai dengan perkembangan Departemen Keuangan Republik Indonesia 192 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 perekonomian, dan program sterilisasi likuiditas guna menyerap dampak moneter dari ekspansi fiskaI. Namun demikian kebijaksanaan likuiditas ketat itu tetap danasarkan pada prinsip kehatihatian dan dilakukan dalam kerangka reformasi ekonorni, sehingga perkembangan variabelvariabel moneter dapat diarahkan untuk mendukung pemulihan perekonornian nasional. Menjelang akhir tahun anggaran 1997/1998, jumlah uang beredar (Ml) menunjukkan pertumbuhan yang cukup tinggi. Hal ini terutarna danorong oleh meningkatnya perrnintaan uang kartaI yang digunakan untuk membiayai kegiatan konsumsi sehubungan dengan naiknya hargaharga barang, serta terjadinya penarikan dana simpanan oleh nasabah bank sehubungan dengan adanya likuidasi sejumlah bank dan pengaruh isu-isu yang menyudutkan industri perbankan. Namun demikian mulai pertengahan tahun 1998, jumlah M1 cenderung menurun sehingga selarna 7 bulan pertama tahun 1998/1999 pertumbuhannya hanya 1,4 persen. Dalam peri ode yang sama, likuiditas perekonomian tumbuh 18,3 persen, yang antara lain dipicu oleh pertumbuhan uang kuasi sebesar 23 persen. Tingginya pertumbuhan uang kuasi antara lain disebabkan oleh meningkatnya deposito berjangka. Perkembangan ekonomi dan moneter yang labil merupakan iklim yang tidak menguntungkan bagi kegiatan usaha perbankan. Akibat tingginya tingkat suku bunga dan depresiasi rupiah, telah menyebabkan meningkatnya nilai rupiah dana valuta asing (valas), sehingga selama April-Oktober 1998 dana masyarakat yang dihimpun industri perbankan naik 16,5 persen, seuangkan alokasi kreditnya justru turun sebesar 1,1 persen. Perubahan kurs rupiah ternyata cukup memberi pengaruh terhadap perkembangan posisi kredit perbankan dibandingkan dengan posisi dana, karena komponen kredit valas relatif lebih besar dibandingkan dengan komponen dana valas. Narnun demikian kapasitas pengelolaan finansial perbankan secara umum relatif tidak mengalami perubahan yang berarti karena sebagian besar bank dihadapkan pada tantangan-tantangan berat yang mempengaruhi kinerja keuangannya. Di sisi pasiva, gejolak nilai tukar telah mengakibatkan harnpir semua bank mengalami kesulitan likuiditas karena kebutuhan dana untuk memenuhi kewajiban luar negeri dan penarikan dana dari masyarakat semakin meningkat, sehingga diperlukan adanya dukungan likuiditas dari bank sentral. Di samping itu, gejolak nilai tukar rupiah, tingginya suku bunga, dan lesunya kegiatan dunia usaha, juga telah memperburuk kinerja sisi aktiva perbankan, karena resiko kegagalan kredit makin meningkat dan kualitas aktiva produktif cenderung menurun. Berbagai permasalahan yang berkaitan dengan sisi aktiva dan pasiva tersebut pada akhirnya akan Departemen Keuangan Republik Indonesia 193 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 menurunkan tingkat solvabilitas dan kinerja keuangan perbankan secara keseluruhan. Untuk itu telah dilakukan upaya reformasi perbankan yang difokuskan pada empat program, yakni restrukturisasi dan penyehatan perbankan melalui pembentukan Badan Penyehatan Perbankan Nasional, menyempurnakan lebih lanjut pelaksanaan penerapan prinsip kehati-hatian dalam upaya memperbaiki kondisi internal perbankan, memperkuat fungsi pengawasan khususnya dalam penegakan ketentuan dan Undang-undang yang berlaku, dan menyempurnakan perangkat hukum yang meliputi perubahan Undang-undang perbankan dan pendirian lembaga asuransi simpanan. Gejolak nilai tukar dan krisis ekonomi juga telah menimbulkan implikasi yang tidak menguntungkan bagi sistem keuangan nasional lainnya, yakni kegiatan pasar modal dan lembaga-lembaga keuangan bukan bank lainnya. Kegiatan pasar modal selain ditentukan oleh faktor internal yang mempengaruhi ekspektasi para pelaku pasar dalam melakukan investasi di pasar modal, seperti perkembangan harga saham dan keamanan berinvestasi, juga ditentukan oleh faktor ekonomi eksternal, baik perkembangan ekonomi domestik maupun internasional. Selama delapan bulan terakhir kondisi Bursa Efek Jakarta (BEJ) dan Bursa Efek Surabaya (BES) telah mengalami kemerosotan yang berarti, antara lain ditandai oleh penurunan kegiatan transaksi perdagangan, nilai kapitalisasi pasar, dan indeks harga saham gabungan (IHSG). Perkembangan IHSG bahkan pernah mencapai titik terendah dan bertahan pada level yang rendah selama beberapa bulan seiring dengan memburuknya kinerja sejumlah perusahaan emiten dan pengaruh gejolak bursa internasional. Untuk memulihkan kegiatan pasar modal, telah dilakukan berbagai pembenahan, baik yang mencakup pengembangan kerangka hukum, kelembagaan dan infrastruktur bursa, maupun produk-produk pasar modal. Narnun demikian disadari bahwa pemulihan kegiatan pasar modal juga sangat tergantung pada perkembangan perekonomian secara keseluruhan, baik perekonomian domestik maupun global. 3.2 Perkembangan Harga dan Upah Perkembangan indeks harga konsumen dalarn peri ode April-Desember 1998 meningkat lebih tinggi dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, sungguhpun dalarn bulan September, Oktober, November dan Desember 1998 menunjukkan kecenderungan menurun. Laju inflasi sebagai salah satu indikator perkembangan harga umum dalarn periode tersebut mengalami kenaikan sebesar 39,74 persen, jauh lebih tinggi dari laju inflasi dalarn periode yang sama tahun sebelumnya yang hanya mencapai 7,62 persen. Kenaikan harga yang cukup tinggi Departemen Keuangan Republik Indonesia 194 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 tersebut tidak terlepas ari pengaruh berbagai faktor, baik yang bersumber dari sisi penawaran maupun dari sisi pennintaan. Dari sisi penawaran, melemahnya nilai tukar rupiah serta terganggunya sistem produksi maupun distribusi beberapa barang kebutuhan pokok merupakan pemicu utama kenaikan harga-harga. Bersamaan dengan itu timbulnya ekspektasi masyarakat akan kemungkinan terjadinya kelangkaan barang-barang kebutuhan pokok telah mendorong permintaan masyarakat meningkat, sehingga terjadi kenaikan harga. Kenaikan harga beberapabarang kebutuhan pokok seperti beras, gula posir, tepung terigu, dan minyak goreng merupakan penyumbang andil yang cukup berarti dalam pembentukan inflasi nasional. Indeks harga perdagangan besar (IHPB) juga mengalami peningkatan yang cukup mencolok. Dalarn tahun 1998 (sarnpai dengan bulan September 1998) IHPB mengalami kenaikan 98,58 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan dalarn periode yang sama tahun sebelumnya, yang hanya mencapai 3,86 persen. Kenaikan indeks harga sektor ekspor dan impor merupakan penyebab utarna naiknya IHPB dalarn periode tersebut. Sementara itu, perkembangan harga beberapa barang ekspor utama di pasar internasional, khususnya yang berasal dari sektof perkebunan, seperti kopi robusta, karet, dan sebagainya menunjukkan kecenderungan menurun dalarn 6 bulan pertama tahun 1998/1999. Ditengah-tengah lesunya perekonomian nasional sebagai darnpak dari krisis moneter, perkembangan tingkat upah di beberapa sektor ekonomi dalarn tahun 1998 (sarnpai dengan bulan Juni 1998) pada umumnya tidak mengalami kenaikan dibandingkan dengan tingkat upah tahun sebelumnya. Kenaikan yang relatif kecil hanya terjadi pada sektor perkebunan dan sektor jasa-jasa dengan persentase kenaikan antara 3,35 persen sarnpai dengan 6,38 persen. 3.2.1 Indeks Harga Konsumen (IHK) Sampai dengan bulan kelima tahun 1998/1999 indeks harga konsumen menunjukkan peningkatan dimana kenaikan yang cukup tinggi terjadi dalarn bulan Juli dan Agustus 1998 yang masing-masing mencapai 8,56 persen dan 6,30 persen. Dalarn bulan September 1998 laju inflasi mulai menurun menjadi 3,75 perren, yang selanjutnya diikuti oleh terjadinya deflasi dalarn bulan Oktober 1998 sebesar 0,27 persen. Dalarn bulan November dan Desember 1998 kembali terjadi kenaikan indeks harga konsumen, narnun kenaikannya relatif kecil masingmasing sebesar 0,08 persen dan 1,42 persen. Berdasarkan perhitungan point to point, laju inflasi dalarn sembilan bulan pertama tahun 1998/1999 meneapai 39,74 persen, jauh lebih tinggi Departemen Keuangan Republik Indonesia 195 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 dibandingkan dengan inflasi periode yang sama tahun sebelumnya yang hanya mencapai 7,62 persen. Dilihat dari kelompok pengeluaran yang tereaIrup dalarn penghitungan inflasi nasional, kelompok bahan makanan merupakan kelompok pengeluaran yang mengalarni kenaikan indeks tertinggi dalarn periode April-Desember 1998 dengan persentase kenaikan 57,89 persen. Kenaikan indeks harga terbesar kedua terjadi pada kelompok makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau, yang meningkat 48,76 persen. Kelompok pengeluaran lainnya seperti kelompok sanuang, kelompok transpor dan komunikasi, dan kelompok kesehatan meningkat antara 36,14 persen sarnpai dengan 36,71 persen, sementara indeks harga kelompok perumahan dan kelompok pendidikan, rekreasi, dan olah raga, masing-masing meningkat 23,65 persen dan 20,11 persen. Kenaikan indeks harga kelompok bahan makanan dalam periode April-Desember 1998 terutarna dipengaruhi oleh kenaikan indeks harga subkelompok padi-padian, umbi-umbian, dan hasil-hasilnya, subkelompok bumbu-bumbuan, subkelompok ikan diawetkan, subkelompok ikan segar, subkelompok kacang-kacangan, dan subkelompok sayur-sayuran, dengan persentase kenaikan berkisar antara 50,95 persen sarnpai dengan 93,27 persen. Sementara itu dalarn kelompok makanan jadi, kenaikan indeks harga tertinggi terjadi pada subkelompok tembakau dan rninuman beralkohol 55,01 persen, yang kemudian seeara berturut-turut diikuti oleh subkelompok rninuman tidak beralkohol dan subkelompok makanan jadi, masing-masing 52,30 persen dan 45,30 persen. Tersedianya pasokan yang cukup serta membaiknya sistem distribusi beberapa barang kebutuhan pokok telah memberikan dampak positif terhadap perkembangan harga. Hal ini tereermin dari menurunnya laju inflasi yaitu dari 6,30 persen dalarn bulan Agustus 1998 menjadi 3,75 persen dalarn bulan September 1998, bahkan dalarn bulan Oktober 1998 terjadi deflasi sebesar 0,27 persen. Deflasi yang terjadi dalarn bulan Oktober 1998 terutama dipengaruhi oleh menurunnya harga-harga sebagian komoditas penting yang terjadi di 44 kota. Dua kelompok pengeluaran yaitu kelompok bahan makanan dan kelompok sanuang merupakan penyumbang andil deflasi dalarn bulan Oktober 1998, masing-masing 0,60 persen dan 0,16 persen. Beberapa jenis barang yang mengalami penurunan harga eukup berarti adalah beras, minyak goreng, daging ayarn ras, lombok merah, dan emas perhiasan, dengan andil deflasi berkisar dari 0,11 persen sarnpai dengan 0,58 persen. Selanjutnya dalam bulan November dan Departemen Keuangan Republik Indonesia 196 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Desember 1998 indeks harga konsumen kembali meningkat narnun kenaikannya relatif kecil, masing-masing 0,08 persen dan 1,42 perren. Inflasi bulan Desember 1998 dipengaruhi oleh kenaikan indeks harga subkelompok daging dan hasil-hasilnya, subkelompok padi-padian, umbi-umbian, dan hasil-hasilnya. subkelompok sayuran, subkelonpok sanuang anak-anak, dengan persentase kenaikan antara 4,02 persen sampai dengan 8,79 persen. Dalam periode April-Desember 1998 inflasi yang terjadi di 44 kota pada umumnya cukup tinggi dengan persentase antara 21,26 persen sampai dengan 64,73 persen. Kota yang mengalami laju inflasi tertinggi adalah Kendari, seuangkan inflasi terendah terjadi di kota Batam. Perkembangan laju inflasi nasional dan terinci menurut kota, dapat dilihat dalam Tabel 111.1, Tabel 111.2, dan Grafik 111.1. 3.2.2 Harga Beberapa Barang Konsumsi Utama Harga beberapa barang konsumsi utama seperti beras, gula pasir, dan tepung terigu dalam 6 bulan pertama tahun 1998/1999 pada umumnya mengalami kenaikan. Beras sebagai salah satu bahan kebutuhan pokok masyarakat sejak awal tahun 1998/1999 sampai dengan bulan September 1998 harganya cenderung meningkat. Kenaikan..yang cukup menonjol terjadi pada bulan Juni, Agustus, dan September 1998 yang memberikan andil inflasi masing-masing 1,16 persen, 1,09 persen, dan 1,49 persen. Berfluktuasinya harga beras ini di samping karena gangguan produksi, juga disebabkan adanya gangguan pada sistem distribusinya setelah terjadinya huru-hara pada pertengahan Mei 1998. Dengan semakin lancarnya distribusi, harga komoditi ini dalam bulan Oktober dan November 1998 mulai menurun dengah andil deflasi, masing-masing 0,58 persen dan 0,23 persen. Dalam bulan Desember 1998 harganya sedikit meningkat berkaitan dengan datangnya bulan Puasa, Natal, dan Tahun Baru. Seperti halnya beras, harga komoditi tepung terigu dan gula pasir dalam peri ode yang sama juga mengalami kenaikan. Kenaikan harga tepung terigu yang terjadi dalam bulan April 1998 sarnpai bulan Agustus 1998 relatif rendah dengan andil inflasi berkisar antara 0,01 persen sampai dengan 0,04 persen. Berbeda dengan tepung terigu, harga gula pasir dalam kurun waktu yang sama mengalarni kenaikan lebih tinggi dengan andil inflasi antara 0,03 persen sampai dengan 0,38 persen, sungguhpun dalam bulan Oktober dan November 1998 harganya menurun sehingga memberikan andil deflasi, masing-masing 0,06 persen. Sementara itu harga tepung terigu dalam bulan November dan Desember 1998 tercatat stabil. Departemen Keuangan Republik Indonesia 197 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Minyak goreng yang juga merupakan salah satu barang kebutuhan pokok masyarakat harganya juga sempat bergejolak sebagai akibat terganggunya pasokan di pasar. Kenaikan harga tertinggi terjadi dalam bulan Juli 1998 dengan andil inflasi 0,57 persen. Sejalan dengan meningkatnya pasokan serta membaiknya distribusi, dalam lima bulan berikutnya harga komoditi ini mulai menurun sehingga dalam bulan Agustus, September, Oktober, November dan Desember 1998 minyak goreng memberikan andil deflasi, masing-masing 0,12 persen, 0,05 persen, 0,20 persen, 0,12 persen, dan 0,03 persen. 3.2.3 Harga Emas dan Mata Uang Asing Emas saat ini masih tetap dipanuang sebagai komoditi alternatif untuk investasi bagi sebagian masyarakat di samping bentuk-bentuk investasi lainnya seperti saham, tabungan/deposito, dan sebagainya. Melemahnya nilai tukar rupiah belakangan ini menyebabkan permintaan masyarakat untuk membeli emas meningkat cukup besar. Hal tersebut dapat dilihat dari perkembangan harga emas di pasar Jakarta selama periode April-November 1998. Dalam kurun waktu 4 bulan pertama tahun 1998/1999 harga emas 24 karat cenderung terus meningkat dengan persentase kenaikan ratarata 22,62 persen per bulan. Walaupun dalam bulan Agustus, September, Oktober, dan November Departemen Keuangan Republik Indonesia 198 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel III.1 PERUBAHAN INDEKS HARGA KONSUMEN, 1989/199CV - 1998/1999 ( dalarn persentase ) Bahanl) Akhir perlode makanan Mllkanan Pendldlkan, Transportasl jadl, mlnuman, Perumahan Sanuang Kesehatan3J rokok, daft rekreasl, daft UMUM4) daft olahraga komunlkasl tembakau (I) 1989/1990 (2) (3) (4) (') (6) (1) (8) Tahun Tahun anggaran takwln (9) (10) Desember -0.28 - 0.05 0,30 0,03 - - - 5.97 Maret -1.03 - 0,08 0,19 0,02 - - 5,48 - 199011991 Desember 0,28 - -0,21 0,18 0,Q4 - - - 9,53 -0.22 - 0.14 0,22 0,11 - - 9,11 - Desember 0,25 - 0.04 0,40 0,15 - - - 9,52 Maret 1,41 - 0,22 0,82 0,13 - - 9,78 - Desember 1.24 - 0.23 1,70 0,07 - - - 4,94 Maret 2.58 - 1.15 2,37 0,18 - - 10,03 - 1993/1994 Desember 0.91' - 0,49 0,28 0,23 - - - 9,77 1994/1995 Desember Maret 1991/1992 1992/1993 Maret Maret 1995/1996 Desember Maret 199611997 Desember 1998/1999 - 0,07 1.41 0,04 - - 7,04 - - 1,36 0,34 0,36 - - - 9,24 1,70 - -0.02 0,34 0,04 - - 8,57 1.74 - 0,33 0,56 0,05 - - - 8,64 0,40 0.04 0,03 - - 8,86 - -2,22 1,28 - 0,05 0.46 0.08 - - - 6.47 -0.35 - 0,22 0.16 0.40 - - 5,17 - Desember 3,55 - 0,88 2,10 1,48 - - - 11,05 Maret 5,42 - 3,50 12.50 4,27 - - 34.22 - Maret 1997/1998 1.60 -0,06 April 5,91 7,68 2.29 4,34 5,29 1,50 4.94 - Mel 3,90 4,00 4.14 4,53 2,40 1,41 17,25 - - JuDi 7.07 5,42 1.59 10,95 2,33 1,55 2,07 - - Jull 12.16 9.58 5.58 12,26 8,40 6,82 3.45 - - 9.10 8,70 0.48 2,96 6,21 6,47 2,74 - - Agustus September 8.61 2,96 1.57 -0.23 3,28 1,24 2,10 - - Oktober -1,85 0,61 0,92 -1.89 2,00 0,41 0,26 - - November -0,18 0,69 0.48 -2.25 1,02 -0,30 -0.08 - - Desember 2.94 1,41 0.58 1,72 0,87 -0,31 0,14 - - 57,89 48,76 23,65 36,14 36,35 20,11 36,71 39,745) (Apr. . Des.) 77,63 1) Sejak April 1998 IRK digolongkan menjadi 7 kelompok.mencakup 44 kOla dan 249-353 jenis barang dan jasa (1996=100) 2) Sampai dcngan Maret 1998 merupakan kelompok makanan 3) Sampai dengan Maret 1998 merupakan kclompok aneka barang & jasa 4) Sampai Dengan Maret 1998 berdasarkan kumulatif inflasi ( April 1988-Maret1989=100) 5) Berdasarkan perubahan IHK bulan Desember 1998 terhadap IHK bulan Maret 1998 6) Berdasarkan perubahan IHK bulan Desember 1998 terhadap IHK bulan Desember1997 Departemen Keuangan Republik Indonesia 199 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel 111.2 PERUBAHAN INDEKS UMUM HARGA KONSUMEN DI 44 KOTA DI INDONESIA I), 1989/1990 - 1998/1999 ( dalam persentase ) Akhlr perlodel Banda kumulatlf Aceh (1) 1989/1990 Kumulatif 199011991 Kumulatif Lhokseu- Pematang Medan Pauang Siantar mawe Sidempuan Siboiga Pauang Pekanbaru Batam (2) (3) (4) (5) (6) (1) (8) (9) (10) -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- - -- -- -- 10,50 - -- 199111992 Kumulatif 1992/1993 Kumulatif 7,05 -- 11,27 -- -- -- 9,24 7,72 -- 1993/1994 Kumulatif 7,72 ' -- 4,43 -- -- -- 6,52 9,12 -- -- -- -- 8,73 7,23 9,51-- -- -- 8,08 7,38 -- 1994/1995 Kumulatif 1995/1996 Kumulatif 1996/1997Juni 6,70 - . 8,26 8,83 -- .8,38 -- -- 0,10 -- 0,13-- -- -- 0,18 0,34 -- September -0,30 -- -0,07-- -- -- -0,49 - 0,83 -- Desember 0,29 -- 0,61-- -- -- 1,07 1,00 -- Maret 2,42 -- 1,20-- -- -- 0,77 -1,06 -- Kumulatlf 7,65 - 7,10- -- -- 4,99 3,86 -- 1997/1998Juni -0,31 -- -1,02-- -- -- -1,20 -1,19 -- September 0,55 -- 0,21-- -- -- 0,92 0,78 -- Desember 1,64 -- 3,23-- -- -- 0,56 - 0,15 -- Maret 6,09 -- 4,36-- -- -- 2,33 4,19 -- 29,03 - 33,51-- 3,05 6,34 7,339,95 Mei 8,03 6,73 8,766,43 Juni 7,35 7,78 3,55 7,84 Juli 7,12 9,35 7,88 Agustus 4,78 3,48 4,46 September 4,90 5,79 6,62 4,73 5,50 6,03 5,05 2,86 Oktober 0,11 -0,70 -0,42 - 1,42 -3,02 -0,67 -1,84 - 1,31 -0,50 November 1,14 0,40 2,11 0,38 3,20 -0,44 1,80 0,32 0,70 Desember 3,00 0,18 2,67 4,61 1,21 1,42 1,16 1,23 -1,29 46,75 45,59 50,45 53,66 48,21 46,36 47,48 44,32 21,26 Kumulatlf 1998/1999April (Apr. - Des.)" 5,30 -- -- 36,35 32,43 -- 7,09 8,12 5,56 1,51 6,91 5,52 6,69 5,76 2,63 6,62 5,87 6,38 5,85 5,42 7,41 10,27 11,55 8,05 8,28 6.88 2,71 5,38 3,65 3,77 7.13 1,54 5,65 I I) Sejak April 1998 mencaltup 44 kOla 2) Perubahan IHK bulan Desember 1998 terhadap IHK bulan Maret 1998 (1996 = 100) Departemen Keuangan Republik Indonesia 200 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel III.2 ( lanjutan ) Dandar Akhir perlodPlkumulatif (1) Jambl Palembang (2) Jakarta Dengkulu (3) Serangl Dandung Lampung (4) Taslkmalaya Clrebon Cllegon (5) (6) (7) (6) (9) (10) 1989/1990 Kumulatif -- -- -- -- -- -- -- -- -- 1990/1991 Kumulatif .- -- -- .. -- -- -- .- -- 1991/1992 Kumulatif -- -- -- -- -- -- -- -- -- 1992/1993 Kumulatif 9,30 9,08 8,63 8,80 11,50 8,41 -- .- -- 1993/1994 Kumulatif 6,85 7,00 5,80 5,14 7,29 8,05 -- -- -- 1994/1995 Kumulatif 6,12 6,63 9,46 8,98 9,47 7,26 -- -- -- 7,56 9,87 6,87 9,17 10,30 7,58 -- -- -- -0,18 -0,15 1.07 0,18 0,04 -0,01 -- -- -- 1995/1996 Kumulatif 1996/1997 Juni September 0,82 0,25 -0,70 0,20 -0,09 0,04 -- -- -- Desember 1,05 1,40 0,62 0,72 0,38 0.17 -- -- -- -0,23 -0,03 0,36 -0,96 -0,59 -0,38 -- -- -- 5,05 5,04 5,81 4,85 5,16 4,89 -- -- -- -1,49 0,1\ -0,98 -0,02 -0,03 -0,14 -- -- -- September 1,19 1,18 0,86 0,97 1,79 1,01 .- -- -- Desember 0,63 3,15 -1,15 2,66 2,48 1,22 -- -- -- Maret 3,90 7,85 4,27 8,2'7 5,31 9,05 -- .- -- 33,23 36,11 31,98 31,31 36,69 33,77 6,97 6,93 7,05 6,96 5,47 5,87 3,23 3,51 3,44 1,62 4,79 2.72 Mei 6,88 6,69 4,41 4,24 5,16 3,76 2,46 7,70 4,63 Juni 4,19 5,18 4,52 7,74 4,83 4,48 5,24 5.91 4,28 Juli 7,67 11,92 1\,84 6,33 8,13 8,18 6,02 6.46 5,93 Agustus 5,19 6,40 7,70 10,69 6,15 4,69 6,16 4.81 6,35 Maret Kumulatif 1997/1998 Juni Kumulatlf 1998/1999 April September 4,49 6,16 6,65 4,04 3,25 3,13 3,57 4,71 3,23 - 1,41 -0,37 -2,02 -0,35 -0,68 -0,37 -0,89 -0.78 -0,09 November 1,12 0,40 -0,88 -0,02 -0,71 0,31 -0,67 0,70 0,70 Desember 1,34 1,51 0,31 -0,53 1,60 1,14 1,32 0..81 0,23 42,28 51,83 44,57 40,70 35,49 32,39 27,41 40,66 31,44 Oktober (Apr. -Des.) I) I) Pcrubahan IHK bulan Desember 1998 lerhadap IHK bulan Maret 1998 (1996 = 100) Departemen Keuangan Republik Indonesia 201 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel 111.2 (Ianjutan) Akhlr perlodelkumulatif (I) Semarang (2) Purwok erlo (3) Tegal (4) Surakarta Yogyakarla Surabaya Malang Kediri Jember (5) (6) (7) (8) (9) (10) 1989/1990 Kumulatif -- -- -- -- -- -- -- -- -- 199011991 Kumulatif -- -- -- -- -- -- -- -- -- \99\11992 Kumulatif -- -- -- -- -- -- -- -- -- \992/\993 Kumulatif 9,14 -- -- -- 8,40 9,54 -- -- -- \993/\994 Kumulatif 4,61 -- -- -- 7,24 8,39 -- -- -- \994/\995 Kumulatif 7,55, -- -- -- 9,50 7,85 -- -- -- \995/\996 Kumulatif 6,69 . -- -- -- 7,73 8,24 -- -- -- \996/\997 JuRi 0,01 -- -- -- 0,10 -0,38 -- -- -- September 0,26 -- -- -- 0,\5 0,08 -- -- -- Desember 0,12 -- -- -- 0,33 0,32 -- -- -- -0,37 -- -- -- 0,53 0,12 -- -- -- 4,67 -- -- -- 2,67 5,53 -- .. -- 0,39 -- -- -- - 0,11 -0,22 -- -- -- September \,24 -- -- -- 1,76 0,24 -- -- -- Desember 2,63 -- -- -- 3,2\ \,99 -- -- -- Maret 4,02 -- -- -- 7,54 4,45 -- -- -- 30,59 -- -- -. 40,95 33,16 -- -- -- 5,91 4,35 \,75 2,42 4,11 5,64 4,81 2,93 2,8\ Mei 4,27 3,53 3,98 6,73 3,57 4,79 6,50 3,57 4,85 JuRi 2,96 5,76 5,53 4,80 4,75 4,40 5,78 5,68 6,74 Juli 7,35 6,86 7,77 7,45 8,60 10,97 7,43 8,07 10,10 Agustus 5,83 8,95 9,09 7,25 7,53 8,83 7,09 11,24 9,37 September 3,49 4,55 3,00 4,06 4,43 0,88 4,25 2,56 2,57 -0,02 0,28 -0,23 -0,55 -0,14 0,18 \,31 -0,55 -0,20 November 0,30 \,6\ -0,06 -0,07 -0,24 0,85 \,34 0,87 -0,30 Desember \,55 1,02 \,94 1,30 0,83 \,78 \,\8 \,24 1,62 36,15 43,14 37,43 38,31 38,35 44,26 47,10 41,08 43,69 Maret Kumulatif \997/\998 JuRi Kumulatif \998/\999 April Oktober (Apr - Des) 1) 1) Perubahan IHK bulan Desember 1998 terhadap IHK bulan Maret 1998 (1996 = 100) Departemen Keuangan Republik Indonesia 202 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel 1II.2 (Ianjutan) Akhir periodeJ Denpasar Mataram Kupang Dm Pontianak kumulatif Palangka- Sampit Banjarmasin Samarinda rays (I) (2) (3) (4) 1989/1990 Kumulatif -- -- -- -- -- -- -- -- -- 199011991 Kumulatif -- -- -- -- -- -- -- -- -- 199111992 Kumulatif -- -- -- -- -- -- -- -- -- 199211993 Kumulatif 11,04 9,60 10,11 10,70 8,25 7,21 -- 9,46 6,46 1993/1994 Kumulatif 7,20 7,89 7,34 3,06 7,41 8,09 -- 4,42 6,45 1994/1995 Kumulatif 5,80 8,89 6,41 9,42 6,54 10,33 -- 8,22 10,31 1995/19% Kumulatif 6,47 6,59 6,45 5,45 8,59 3,22 -- 7,61 6,45 -0,73 0,72 - 0,45 3,80 0,24 -0,29 -- -1,53 -0,28 September 0,28 0,89 0,41 -0,06 0,94 0,14 -- 0,10 0,89 Desember 0,36 0,37 2,48 _I,ll 0,57 1,09 -- 1,25 0,32 Maret 1,95 0,83 -0,25 0,25 -0,33 -0,79 -- 0,31 -0,62 Kumulatlf 4,01 7,20 5,94 6,96 6,30 3,47 -- 4,38 6,96 0,02 -1,36 -0,11 0,48 1,06 -1,32 -- 0,95 -0,10 September 2,40 1,88 2,03 0,08 1,75 3,24 -- 2,55 1,90 Desember 1,50 0,49 1,49 2,00 1,55 -1,22 -- 1,74 -0,08 Maret 5,80 7,38 6,03 3,09 3,72 3,33 -- 0,62 5.70 29,70 29,43 20,82 21,10 35,18 33,53 -- 37,20 31,59 4,03 4,60 2,29 9,43 7,35 5,00 5,42 5,58 3,73 Mei 5,77 10,37 5,74 7,86 4,31 5,59 4,01 7,75 5,04 Juni 3,00 4,02 2,55 1,77 3,19 4,98 5,15 2,44 2,13 Juli 8,84 8,92 6,90 5,58 7,83 7,70 8,70 8,63 7,65 Agustus 7,61 6,26 3,31 6,91 5,90 4,76 4,38 6,66 5,35 September 4,82 5,43 10,60 6,21 4,55 4,68 5,84 6,65 1,90 Oktobe 0,47 1,18 0,94 1,00 0,05 -0,53 0,95 0,05 3,97 November 1,46 2,12 -0,84 0,09 -1,00 -0,26 -2,18 -0,81 -1,16 Desember 0,75 0,80 2,44 1,21 -0,13 0,05 2,07 1,00 -1,21 42,90 52,62 38,93 47,32 36,46 36,46 39,31 38,98 30,56 19%11997 Juni 199711998 Juni Kumulatif 199811999 April (Apr, Des.)') (5) (6) (7) (8) (9) (10) I) Perubahan IHK bulan Desember 1998 terhad." IHK bulan Marel 1998 (1996 = 100) Departemen Keuangan Republik Indonesia 203 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel III.2 (Ianjutan) Akhlr perlodel Balik- kumulatlf papan (I) (2) Manado Palo (3) (4) Ujung Panuang (5) Kendarl Ambon (6) Ternate (7) Jayapura (8) (9) 1989/1990 Kumulatif -- -- -- -- -- -- -- -- 1990/1991 Kumulatif -- -- -- -- -- -- -- -- 1991/1992 Kumulatif -- -- -- -- -- -- -- -- 1992/1993 Kumulatif -- 6,54 8_66 8,79 9,83 8.53 --7,99 1993/1994 Kumulatif -- 10,55 5,84 5,94 8,09 6.11 --9,34 1994/1995 Kumu1atif -- 9,12 8.02 10,10 9,10 8,09 --8,92 1995/1996 Kumu1atif -- 10,22 9,80 8,12 4,94 5,18 --4,67 1996/1997 Juni -- -I,ll 1,58 -0,44 0,09 0,50 --0.17 September -- 0,10 -2,88 -0,56 -0,42 -0.06 Desember -- 0,32 1,14 2,21 Maret -- 0,80 -1,03 -0,80 1,89 0,99 -- 1,19 Kumulatlf -- 6,17 4,06 2,29 6,36 6,36 -- 8,16 -- 0,13 0,69 -0,74 0,08 0,26 -- 0,78 September -- 0,83 1,81 0,76 0,91 0,72 -- 0,14 Desember -- 12,36 1,14 0,97 0,04 0,62 -- 0,75 Maret -- 12,36 7,20 4,16 5,87 3,60 -- 4,97 Kumulatlf -- 33,73 28,83 25,08 26,03 23,30 -- 24,22 7,15 9,58 5,99 8,07 11,42 7,41 11,84 10,16 Mei 2,50 4,49 9,91 4,40 6,00 3,18 5,91 2,85 Juni 2,46 2,83 4,83 4,41 4,78 5,10 3,55 6,09 Juli 7,39 6,02 8,78 14,78 14,80 10,98 6,40 6,04 Agustus 8,87 8,15 1,95 4,93 4,61 10,09 5,72 4,02 September 4,63 4,19 5,05 4,17 7,03 2,54 6,63 1,73 Oktober -0,61 0,95 5,48 -0,05 2,54 2,86 -0,68 2,29 November -0,67 1,06 0,50 0,74 -0,51 -2,65 -2,02 -0,74 Desember 0,58 1,47 4,00 1,44 1,50 1,83 2,96 3,89 36,69 45,61 56,86 50,95 64,73 48,80 47,41 42,26 1997/1998 Juni 1998/1999 April (Apr. - Des.)') 0,261.88 I --0,77 --1.79 1) Perubahan IHK bulan Desember 1998 lerhadap IHK bulan Maret 1998 (1996 = 100) Departemen Keuangan Republik Indonesia 204 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Departemen Keuangan Republik Indonesia 205 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 1998 harga emas mengalami penurunan dibandingkan dengan bulan sebelumnya, narnun harga pada bulan-bulan tersebut rata-rata masih lebih tinggi dibandingkan dengan harga emas yang terjadi pada akhir tahun 1997/1998. Sementara itu perkembangan harga emas di pasar London dalarn periode April-November 1998/1999 juga berfluktuasi dengan kecenderungan melemah. Bahkan harga rata-rata emas dalam kurun waktu 8 bulan pertama tahun 1998/1999 tersebut masih lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata harga yang dicapai dalarn periode yang sama tahun sebelumnya. Semenjak terjadinya gejolak nitai tukar rupiah yang diawali krisis mata uang baht Thailand, perkembangan harga beberapa mata uang asing di Jakarta cenderung menguat terhadap rupiah. Dalam kurun waktu 1 tahun sejak krisis melanda pasar uang dalam negeri (Juli 1997-Juli 1998) harga berbagai mata uang asing di pasar Jakarta mengalami peningkatan ratarata 462,5 persen terhadap rupiah. Namun demikian, melalui berbagai kebijaksanaan yang telah diambil pemerintah seperti pelepasan band intervensi, peningkatan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI), pelaksanaan berbagai program reformasi dalarn rangka pemulihan perekonomian, baik di biuang fiskal, keuangan, maupun sektor riil, serta dengan didukung oleh semakin menurunnya laju inflasi, perkembangan harga mata uang asing mulai memperlihatkan penurunan terhadap rupiah. Sejak bulan Agustus 1998 sampai dengan November 1998 harga berbagai mata uang tersebut mengalami penurunan dibandingkan dengan harga yang terjadi dalam bulan-bulan sebetumnya. Dalam periode April-November 1998 mata uang dolar Singapura, dolar Hongkong, dolar Amerika Serikat, dan pound sterling Inggris mengalami depresiasi cukup besar terhadap rupiah dengan persentase penurunan antara 10,51 persen sampai dengan 15,02 persen. Perkembangan harga emas di pasar Jakarta maupun di pasar London serta harga beberapa mata uang asing di pasar Jakarta dapat dilihat dalam Tabel 111.3, Tabel 111.4, dan Graflk 111.2. 3.2.4 Harga Barang-barang Ekspor Nonmigas Melemahnya permintaan negara-negara mitra dagang merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan harga-harga beberapa jenis komoditi ekspor di pasar internasional. Dalam periode April-September 1998 harga beberapa komoditi ekspor cenderung melemah. Bahkan beberapa komoditi seperti kopi robusta dan lada putih di pasar New York, plywood di pasar Tokyo, dan karet RSS III di pasar New York, dalam perdagangan bulan Departemen Keuangan Republik Indonesia 206 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 September 1998 ditutup pada tingkat harga yang lebih rendah dibandingkan dengan harga yang dicapai dalarn bulan Maret 1998. Sementara itu, komoditi ekspor lainnya seperti lada hitam di pasar New York dan minyak sawit di pasar London, walaupun harganya juga cenderung menurun, namun tingkat harga yang terjadi dalam bulan September 1998 masih lebih tinggi dibandingkan dengan harga pada akhir tahun 1997/1998. Dalam periode April-September 1998/1999 harga kedua komoditi ekspor tersebut terakhir mengalarni kenaikan masing-masing 9,10 persen dan 3,98 persen. Di pasar Jakarta perkembangan harga kopra dan kopi robusta dalam periode AprilSeptember 1998 terus meningkat setiap bulannya. Seuangkan untuk komoditi karet jenis RSS I dan lada putih harganya sedikit fluktuatif. Dalam bulan September 1998 harga karet RSS I mencapai Rp 6.610.000 per ton, atau mengalami kenaikan 1,61 persen dibanding dengan harga Bulan Maret 1998. Departemen Keuangan Republik Indonesia 207 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel III.3 BARGA RATA-RATA EMAS DI PASAR JAKARTA DAN DI PASAR LONDON, 1989/1990 - 1998/1999 Jakarta London Periode (24' daIam Rp/gram) (US$/troyounce) (1) (2) (3) 1989/1990 22.408 381,95 1990/1991 22.912 373,45 1991/1992 22.582 356,70 1992/1993 22.399 339,00 1993/1994 24.609 374,82 1994/1995 25.910 383,57 1995/1996 27.190 369,56 Juni 27.769 382,10 September 27.775 378,55 Desember 27.795 368,90 Maret 27.000 350,05 Juni 26.694 334,10 September 27.075 332,35 Desember 35.250 290,65 Maret '71.023 302,35 April 70.100 293,60 Mei 81.125 293,90 Juni 100.417 296,30 Juli 128.889 288,85 Agustus 111.250 279,00 September 97.325 296,45 Oktober 87.750 293,85 November 73.125 294,05 1996/1997 1997/1998 1998/1999 Departemen Keuangan Republik Indonesia 208 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel 111.4 HARGA RATA-RATA BEBERAPA JENIS MAT A UANG ASING DI JAKARTA, 1989/1990 - 19981999 ( harga juRI dalam rupiah per satuan ) Periode US$ ¥ £ HK$ Sin$ DM CHF NLG (I) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) , 928,72 976,62 Ll12,75 1989/1990 1.792,93 12,56 2.899,01 232,03 1990/1991 1.875,57 13,39 3.469,37 243,641.059,17 Ll92,44 1.405,18 1.058,08 1991/1992 1.978,87 14,87 3.443,08 256,85Ll63,95 Ll81,45 1.352,33 1.054,82 1992/1993 2.053,05 16,46 3.505,97 267,081.259,59 1.311,17 1.455,26 Ll67,53 1993/1994 2.112,24 19,57 3.186,52 274,861.319,17 1.261,ll 1.443,34 Ll23,07 1994/1995 2.192,58 22,05 3.419,42 286,101.472,58 1.408,31 1.671,38 1.253,92 1995/1996 2.278,83 23,85 3.592,08 297,171.615,-- 1.597,08 1.957,67 1.426,71 1996/1997Juni 2.346,-- 21,64 3.659,-- 307,--1.664,-- 1.537,-- 1.871,-- 1.374,-- September 2.351,-- 21,50 3.691,-- 306,--1.665,-- 1.566,-- 1.927,-- 1.398,-- Desember 2.371,-- 20,86 3.987,-- 309,--1.691,-- 1.531,-- 1.802,-- 1.364,-- Maret 2.413,-- 19,77 3.913,-- 314,--1.681,-- 1.426,-- 1.653,-- 1.273,-- 2.447,-- 21,52 4.056,-- 320,--1.727,-- 1.426,-- 1.713,-- 1.276,-- September 3.116,-- 25,68 4.991,-- 399,--2.044,-- 1.734,-- 2.109,-- 1.542,-- Desember 5.219,-- 39,39 8.655,-- 670,--3.124,-- 2.913,-- 3.582,-- 2.582,-- Maret 9.628,-- 74,77 16.456,-- 1.246,--5.953,-- 5.285,-- 6.469,-- 4.659,-- 1998/1999April 8.296,- 63,29 14.249,-- 1.094,--5.155,--' 4.548,-- 5.464,-- 4.040,-- Mei 10.906,-- 80,26 17.552,-- 1.462,--6.571,-- 6.059,-- 7.289,-- 5.342,-- Juni 14.192,-- 100,81 23.439,-- 1.8<'.2,--8.362,-- 7.901,-- 9.454,-- 6.937,-- Juti 14.622,-- 104,67 24.180,-- 1.971,--8.631,-- 8.150,-- 9.638,-- 7.278,-- Agustus 12.631,-- 87,69 20.634,-- 1.689,--7.304,-- 7.088,-- 8.456,-- 6.253,-- September 11.314,-- 84,68 19.540,-- 1.513,--6.580,-- 6.650,-- 8.114,-- 5.926,-- Oktober 9.142,-- 74,56 15.894,-- 1.237,--5.614,-- 5.651,-- 6.969,-- 4.991,-- November 8.320,-- 69.79 13.984,-- LlI5,--5.100,-- 4.975,-- 5.992,-- 4.446,-- 19971/l998Juni Departemen Keuangan Republik Indonesia 865,37 209 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Departemen Keuangan Republik Indonesia 210 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Sementara untuk lada putih, setelah mencapai harga tertinggi dalam bulan Juni 1998, dalam bulan Juli, Agustus, dan September 1998 harganya kembali melemah rata-rata 3,68 persen per bulan. Perkembangan harga beberapa barang ekspor primer di pasar Jakarta dan di pasar internasional, dapat dilihat dalam Tabel III.S, Tabel 111.6, dan Grafik 111.3. 3.2.5 Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) Indeks harga perdagangan besar yang merupakan indikator perkembangan harga-harga ditingkat pedagang besar/grosir, dalam tahun 1998 (Januari - September 1998) meningkat 98,58 persen, jauh lebih tinggi dari kenaikan IHPB tahun sebelurnnya sebesar 9,30 persen. Dari lima sektor yang tercakup dalam penghitungan IHPB, sektor impor dan sektor ekspor mengalarni kenaikan indeks eukup tinggi, masing-masing 126,54 persen dan 165,97 persen. lndeks harga sektor pertanian dan sektor industri masing-masing meningkat 55,73 persen dan 54,18 persen, sementara sektor pertambangan dan penggalian meningkat relatif kecil, yaitu 18,24 persen. Perkembangan indeks harga perdagangan besar dapat dilihat dalam Tabel 111.7. 3.2.6 Indeks Harga Perdagangan Besar Bahan Bangunan/Konstruksi lndeks harga perdagangan besar bahan bangunan/konstruksi dalam tahun 1998 (JanuariSeptember 1998) meningkat 61,54 persen. Kenaikan indeks tersebut dipengaruhi oleh kenaikan indeks seluruh jenis bangunan yang tereakup dalam penghitungan indeks dengan persentase kenaikan antara 45,30 persen sampai dengan 83,05 persen. Jenis bangunan yang mengalarni kenaikan indeks tertinggi adalah bangunan dan instalasi listrik, gas, air minum, dan komunikasi, seuangkan kenaikan indeks terendah terjadi padajenis bangunan pekerjaan umum untuk pertanian. Perkembangan indeks harga perdagangan besar bahan bangunan/konstruksi dapat dilihat dalam Tabel 111.8. 3.3 Gaji dan Upah di berbagai Sektor Perkembangan tingkat upah.maksimum dan minimum di beberapa sektor ekonomi dalam tahun 1998 (sampai dengan bulan Juni 1998) hampir tidak mengalami peningkatan dibandingkan dengan tingkat upah dalam tahun 1997. Kenaikan yang relatif kecil hanya terjadi pada beberapa sektor ekonomi. Pada tingkat upah minimum, kenaikan upah yang menonjol terjadi pada sektor perkebunan, dengan persentase kenaikan 3,35 persen. Sementara itu untuk Departemen Keuangan Republik Indonesia 211 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 tingkat upah maksimum, kenaikan upah tertinggi terjadi pada sektor jasa-jasa yaitu 6,38 persen. Perkembangan upah maksimum dan minimum di berbagai sektor ekonomi dapat dilihat dalam Tabel 111.9. 3.4 Perkembangan Uang Primer (MO) dan Faktor- faktor yang Mempengaruhinya Sejak diluncurkannya program stabilisasi dan reformasi ekonomi, upaya untuk mencapai kestabilan moneter dilaksanakan antara lain melalui pengendalian pertumbuhan aktiva domestik bersih (Net Domestik Assets/NDA) dan cauangan devisa bersih (Net International Reserves/NIR) sebagai indikator pencapaian sasaran (peiformance criteria). Sementara itu reserve money atau uang primer (MO) dan bantuan likuiditas kepada bank digunakan sebagai sasaran indikatif (indicative target). Departemen Keuangan Republik Indonesia 212 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel 111.5 HARGA RATA. RATA BEBERAPA BARANG EKSPOR D1 PASAR JAKARTA 1989/1990 . 1998/1999 ( dalam ribu rupiah per ton) Karet Kopra Periode (1) Lada Kopi RSSI (Sulawesi) putih robusta (2) (3) (4) (5) 1989/1990 1.419,0 486,4 3.567,2 1.379,2 1990/1991 1.445,0 339,0 2.580,0 1.386,0 1991/1992 1.436,6 547,8 2.129,5 1.500,5 1992/1993 1.669,5 562,0 3.250,0 1.738,0 1993/1994 1.822,0 560,0 5.400,0 2.741,0 1994/1995 4.065,0 808,0 6.894,0 4.914,0 1995/1996 3.225,0 962,5 7.850,0 4.300,0 1996/1997 Juni 3.252,5 940,0 6.562,0 4.050,0 September 2.875,0 858,0 7.259,0 4.352,0 Desember 2.888,0 875,0 7.888,0 4.528,0 Maret 2.752,0 788,0 9.947,0 4.325,0 2.702,0 775,0 10.795,0 3.658,0 Mei 2.702,0 748,0 11.401,0 3.966,0 Juni 2.632,0 715,0 12.072,0 4.550,0 Juli 2.330,0 700,0 13.200,0 4.734,0 Agustus 2.325,0 715,0 16.673,0 4.900,0 September 2.527,5 785,0 18.167,5 5.183,5 Oktober 2.715,0 900,0 21.606,5 5.816,5 November 2930,0 1.005,0 24.080,0 5.604,0 Desember 3.105,0 1.025,0 24.270,0 5.604,0 Januari 6.125,0 1.500,0 48.794,0 8.750,0 Februari 6.155,0 1.900,0 58.412,0 10.250,0 Maret 6.505,0 2.050,0 62.602,0 8.894,0 5.775,0 2,050,0 61.513,0 8.894,0 Mei 6.758,0 2.300,0 64.221,0 8.934,0 Juni 5.500,0 2.450,0 66.488,0 9.000,0 Juli 7.620,0 3.050,0 65.443,0 14.875,0 Agustus 6.420,0 3.100,0 62.250,0 16.084,0 September 6.610,0 3.050,0 59.387,0 16.084,0 1997/1998 April 1998/1999 April Departemen Keuangan Republik Indonesia 213 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel 111.6 HARGA RATA-RATA BEBERAPA BARANG EKSPOR UTAMA DI PASAR INTERNASIONAL, 1989/1990 - 1998/1999 RSSIII Periode US $ ctJIb Kopra Br flkg Sin $ ctlkg US $lit Kopl robusta Lada putih Lada hitam Tlmah putlh Minyak sawlt Plywood US $lit US $ ctJIb Sin $/kg (New York) (London) (Slngapura) (Manila) (London) eks Palem- (Slngapura) Sin $/kg (Slngapura ) Br £Imt Br £lit ¥/Sheet (London) Eks Malaysia (Tokyo) bang (London) (New York) (I) (2) (3) (4) IS) (6) (7) (8) (9) (10) (II) (12) 1989/1990 46,82 58.17 165,62 321,96 168,--1) 61.66 524,27 2) 455,842) 7.658,56 320,38 1.037,50 199011991 46,-- 49.90 144,50. 222,30 158,33 45.94 2,56 2,73 5.880,63 303.32 1.224.38 1991/1992 43,06 52,02 134,99 - 142,24 41,48 2,22 2,02 5.618,44 404 , 90 1.065,-- 1992/1993 43,48 62,44 134,42 - 140,10 37.79 2,65 1,71 5.653,63 414,69 1.160,-- 1993/1994 45,28 67.71 145,86 354,-- - 61,46 4,44 2,44 5.423,75 396,76 1.210,-- 1994/1995 88,63 118.85 263,79 437.67 124,90 140.53 5,22 3,23 5.543,20 716,10 1.200,-- 1995/1996 76,10 105.11 219,85 464.67 176,50 100.62 5,24 2,71 6.167,69 519,03 1.200.-- 199611997Juni 72,50 99,63 210,75 525.25 - 88,99 4,97 2.65 6.333,75 556,25 1.220, September 63,50 86,36 182,76 475,-- 147,85 70,95 5,05 3,30 6.102,40 548,-- 1,275, Desember 62,26 78,24 174,71 493.75 164.06 61,11 6,05 3.31 6.045,-- 581.62 1.290, Maret 61,53 78,85 174,57 490,-- 149,05 68,52 7,37 3.84 5.899,47 560,00 1.300, - 159,88 422,13 - 63,97 5,25 3.68 5.658,75 553,13 1.280, 1997/1998Juni - September 45,53 57.63 133.78 407,48 70,92 67,36 10,10 7.11 5.496.50 524,-- 1.080, Desember 35,68 41,14 107,15 398.75 64,00 78,48 14,71 7,97 5.631,25 548,13 985, Maret 36,74 44.31 115,54 377,50 71,61 80,33 11,94 7.25 5.465,-- 676,45 950, 1998/1999April 36,72 46.50 122,50 - 74,10 87,05 12,45 9.-- 5.702,94 695,17 825, Mei 39,75 49,22 126,73 - - 89,89 12,63 9,44 5.877,87 705,17 825, Juni 37,59 46,35 121,25 - - 81,98 12,46 9,10 6.057,28 622,86 875. Juti 37,50 44,35 125,35 - - 73,89 11,71 8.68 5.634,74 652,50 875, Agustus 36,25 46.38 114,38 407,50 80,00 76,33 11,02' 8,12 5.560,-- 960,-- 825, September 34,64 45.88 118.35 410.07 81.13 76,65 11,81 7.91 5.493,-- 703.39- 1)Sejak bulan Desember 1989 dengan jenis "copra expeller pellets" . 2)Dalam US$ ct/lb Departemen Keuangan Republik Indonesia 214 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Departemen Keuangan Republik Indonesia 215 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel ill.7 INDEKS HARGA PERDAGANGAN BESAR, 1987 - 1998 ( 1983 = 100 ) Pertambanga Indeks Perubahan n Tahun Pertania dan n Penggalian Industri Impor Ekspor umum indeks umom (%) (1)(2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) 1987 145 132 143 158 118 142 + 22,41 1988 163 143 156 164 118 149 + 4,93 1989 177 156 166 178 131 162 + 8,72 1990 191 169 176 191 159 178 + 9,88 1991 206 188 194 201 153 187 + 5,06 1992 225 201 206 208 159 197 + 5,35 1993 251 218 218 211 157 204 + 3,55 1994 298 237 231 215 157 215 + 5,39 1995 355 266 . 256 230 178 240 + 11,63 1996 399 296 265 243 198 259 + 7,50 1997 445 318 275 260 238 282 + 9,30 1998 OJ 693 376 424 589 633 560 + 98,58 *) Sampai dengan bulan September Departemen Keuangan Republik Indonesia 216 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel III.8 INDEKS HARGA PERDAGANGAN BESAR BAHAN BANGUNANIKONSTRUKSI MENURUT JENIS BANGUNAN, 1987 . 1998 ( 1983 = 100 ) Tahun (1) Bangunan tern- Pekerjaan pat tinggal dan urnum bangunan bukan untuk ternpat tinggal pertanian Pekerjaan Bangunan dan urnurn instalasi listrik, untuk jalan, gas, air rninurn, jernbatan dan dan pelabuhan kornunikasi Perubahan Bangunan Indeks indeks lainnya urnum urnum (%) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) 1987 131 130 132 134 133 132 + 10,92 1988 144 142 147 148 147 145 + 1989 160 159 163 161 162 160 + 10,34 1990 174 178 177 171 116 174 + 8,75 1991 188 195 194 183 194 190 + 9,20 1992 198 206 205 191 204 200 + 5,26 1993 213 223 219 200 214 213 + 6,50 1994 226 235 230 206 222 224 + 5,16 1995 248 264 256 219 244 246 + 9,82 9,85 , 1996 263 284 274 225 256 261 + 6,10 1997 277 298 288 236 270 273 + 2,68 436 433 459 432 453 441 . 1998*) + 61,54 *) Sampai dengan bulan September Departemen Keuangan Republik Indonesia 217 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 _ Tabel 111.9 UPAH MINIMUM DAN MAKSIMUM DI BERBAGAI SEKTOR, 1990 - 1998 ( rupiah per bulan) Sektor 1990 1991 1992 (I) (2) (3) 1. Perkebunan 100.590 14.740 149.699 169.812 240.439 272.440 272.440 275.755 285.000 2. Pertambangan 218.241 321.750 368.870 413.807 487.299 505.768 573.229 650.293 650.293 3. In d u s tr i 171.957 186.069 187.800 195.527 206.907 238.474 240.730 289.605 295.000 4. Bangunan 221.240 176.338 254.366 289.882 295.514 326.662 409.404 438.952 438.952 5. Lis t r i k 105.751 130.990 150.782 155.240 172.865 267.220 311.995 311.995 311.995 6. Perdagangan 227.611 250.343 3()5.080 315.535 326.146 368.371 399.482 427.586 428.500 7. Perhubungan 133.671 168.800 223.145 230.460 466.757 493.727 493.272 596.915 598.000 8. JaSa-jasa 157.585 223.252 234.683 234.683 234.683 280.518 332.525 385.678 391.200 I. Perkebunan 1.050.965 1.563.064 1.814.862 1.835.324 1.835.324 1.927.092 1.941.428 2.848.475 2.850.500 2. Pertambangan 2.269.215 3.869.560 3.950.119 4.495.389 4.668.740 4.905.578 5.297.412 5.587.209 5.589.209 3. In d u s tr i 1.997.947 2.244.380 2.704.974 2.920.324 3.111.889 3.453.347 3.453.347 4.088.210 4.088.210 4. Bangunan 1.879.124 2.147.802 2.263.366 2.656.364 2.777.218 3.047.198 3.620.798 4.570.066 4.570.066 821.069 1.054.296 1.308.292 2.643.471 2.744.415 3.551.952 3.907.970 3.907.970 3.907.970 6. Perdagangan 1.967.498 2.509.900 3.313.904 3.732.806 4.506.183 4.904.394 5.807.734 6.205.000 6.208.000 7. Perhubungan U72.333 2.179.183 2.804.609 2.930.816 4.310.603 4.398.689 4.398.689 4.398.689 4.400.689 (4) 1993 (5) 1994 (6) 1995 (7) 1996 1997 1998 (8) (9) (10) ( Rata-rata upah minimum ) ( Rata-rata upah makslmum ) 5. Listrik 8. Jasa-jasa 1.775.659 2.188.040 2.270.505 2.509.258 2.509.258 2.779.769 Departemen Keuangan Republik Indonesia 2.779.769 3.029.571 3.222.8&7 218 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Sehubungan dengan hal tersebut, agar pengendalian uang beredar sesuai dengan kebutuhan dan dalam rangka penerapan kebijaksanaan moneter yang ketat, pemerintah telah menyempumakan perhitungan uang primer menjadi base money. Dalam perhitungan ini, base money didefinisikan sebagai uang primer ditambah dengan kekurangan giro wajib minimum (GWM). Penyempumaan ini dilatarbelakangi oleh kondisi perbankan yang mengalami kesulitan likuiditas dan terjadinya penarikan dana masyarakat yang cukup besar sehingga tidak mampu memenuhi ketentuan giro wajib minimum. Berbagai langkah kebijakan telah dilakukan pemerintah untuk mengendalikan perkembangan moneter agar perkembangannya sesuai dengan performance criteria yang telah ditetapkan. Tercapainya pelaksanaan dari upaya-upaya tersebut tercermin pada terkendalinya pertumbuhan aktiva domestik bersih dan meningkatnya cauangan devisa bersih yang melebihi sasaran indikatif yang ditetapkan. Sejalan dengan hal tersebut, perkembangan uang primer dalam tahun anggaran 1998/1999 sampai bulan November mencapai Rp 73.076 miliar, terdiri dari uang kertas dan uang logam yang diedarkan Rp 46.749 miliar, saldo giro bank pada Bank Indonesia Rp 25.686 miliar, dan giro sektor swasta Rp 641 miliar. Bila dibandingkan dengan akhir tahun anggaran 1997/1998 dimana uang primer berjumlah Rp 59.412 miliar, maka pada tahun anggaran 1998/1999 sampai dengan bulan November 1998, jumlah uang primer telah mengalami kenaikan sebesar Rp 13.664 miliar atau meningkat 23 persen. Sementara itu, dalam periode yang sama tahun lalu uang primer menunjukkan penurunan Rp 1.526 miliar (4,32 persen). Peningkatan uang primer dalam peri ode April-November 1998 disebabkan oleh meningkatnya saldo giro bank pada Bank Indonesia Rp 12.416 miliar atau 93,56 persen, yang dikarenakan oleh meningkatnya dana simpanan masyarakat pada perbankan, dan meningkatnya uang kertas dan uang logam yang diedarkan Rp 1.654 miliar atau 3,67 persen. Seuangkan giro sektor swasta mengalami penurunan Rp 406 miliar atau 38,78 persen. Ekspansi uang primer dalam tahun anggaran 1998/1999 dipengaruhi pula oleh meningkatnya posisi cauangan devisa bersih dan kontraksi aktiva domestik bersih. Posisi cauangan devisa bersih sampai dengan bulan November tahun anggaran 1998/1999 mencapai Rp 142.104 miliar atau setara dengan US$ 14,21 miliar. Posisi ini berada di atas jurnlah minimum target indikatif yakni US$ 11,26 miliar. Bila dibandingkan dengan tahun anggaran 1997/1998 dimana cauangan devisa bersih berjumlah Rp 92.258 miliar, maka posisi cauangan devisa bersih ini telah mengalami kenaikan sebesar Rp 49.846 miliar atau 54,03 persen. Departemen Keuangan Republik Indonesia 219 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Meningkatnya posisi cauangan devisa bersih ini antara lain berkaitan dengan adanya pencairan dana pinjaman luar negeri pemerintah seperti CGI, OECF, dan IBRD, serta penerimaan ekspor non migas. Sementara itu, aktiva domestik bersih mengalami kontraksi Rp 38.557 miliar atau 126,54 persen yakni dari negatif Rp 30.471 miliar pada bulan Maret tahun 1998 menjadi negatif Rp 69.028 miliar pada bulan November tahun anggaran 1998/1999, sehingga masih berada di bawah jumlah maksimum target indikatif sebesar negatif Rp 39,56 triliun. Faktor-faktor yang mempengaruhi meningkatnya kontraksi aktiva domestik bersih ini antara lain ialah kontraksi pada kredit likuiditas Bank Indonesia dan operasi pasar terbuka masing-rnasing sebesar 34,65 persen dan 93,92 persen. Berkurangnya kredit likuiditas Bank Indonesia tersebut antara lain berkaitan dengan adanya pelunasan sebagian kredit BULOG. Seuangkan kontraksi pada operasi pasar terbuka terutama disebabkan oleh meningkatnya penjualan SBI. Sernentara itu, tagihan bersih pada Pemerintah dan tagihan bersih pada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) mengalami ekspansi masing-masing sebesar 6,99 persen dan 56,17 persen. Tingginya ekspansi tagihan bersih pada BPPN tersebut terutama berkaitan dengan peningkatan bantuan likuiditas pada beberapa bank yang berada dalarn pengawasan BPPN. Perkembangan uang primer dapat dilihat pada Tabel 111.10. 3.5 Perkembangan Uang Beredar (Ml) dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya Krisis moneter yang berkembang menjadi krisis ekonomi sejak bulan Juli 1997, telah rnenyebabkan perkembangan moneter di Indonesia mengalami banyak perubahan. Hal ini ditandai oleh melonjaknya pertumbuhan besaran-besaran moneter sebagai akibat melemahnya nilai tukar rupiah dan menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan. Untuk itu kebijaksanaan pemerintah diarahkan guna mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap sektor perbankan dan menstabilkan nilai tukar rupiah pada tingkat yang sesuai dengan tercapainya pemulihan kinerja perekonomian yang sehat. Kebijaksanaan tersebut ditempuh antara lain melalui kebijaksanaan likuiditas perekonomian yang ketat. Upaya pengetatan likuiditas perekonomian merupakan langkah dari kebijaksanaan moneter yang berhati-hati yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari program reformasi ekonomi Indonesia. Kebijaksanaan moneter ketat ini dilakukan antara lain dengan menerapkan kebijaksanaan intervensi rupiah secara langsung di pasar uang antar bank dan meningkatkan suku bunga SBI dengan tetap memperhatikan kondisi perkembangan perekonomian Indonesia. Departemen Keuangan Republik Indonesia 220 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Hasil dari pelaksanaan kebijaksanaan moneter yang ditempuh terlihat dari menurunnya pertumbuhan jumlah uang beredar (M 1) yaitu dari rata-rata 0,89 persen per bulan dalarn periode April-0ktober 1997, menjadi rata-rata 0,29 persen per bulan dalam periode yang sama tahun 1998/ 1999. Jumlah uang beredar sampai akhir Oktober 1998 mencapai Rp 99.603 miliar, yang terdiri dari uang kartal Rp 41.481 miliar dan uang giral Rp 58.122 miliar. Dibanding dengan posisi uang beredar pada akhir Maret 1998 yang berjumlah Rp 98.270 miliar, maka dalarn periode April Oktober 1998 peningkatan jumlah uang beredarmencapaiRp 1.333 miliar (1,36 persen). Pertumbuhan uang beredar tersebut terutama disebabkan oleh peningkatan uang kartal 8,60 persen, seuangkan uang giral mengalami penurunan 3,25 persen. Meningkatnya uang kartal tersebut antara lain rnerupakan pencerminan besarnya kebutuhan masyarakat terhadap rupiah dalam melakukan transaksi guna mengkompensir laju inflasi, disarnping belum pulihnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan. Sementara itu, hila dibandingkan dengan pertumbuhan pada periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 5,96 persen, maka pertumbuhan uang beredar dalarn tahun anggaran 1998/1999 sampai dengan bulan Oktober 1998 jauh lebih rendah. Posisi likuiditas perekonomian (M2) sarnpai dengan akhir Oktober 1998 mencapai Rp 531.977 rniliar, yang meliputi uang beredar (Ml) Rp 99.603 miliar dan uang kuasi Rp 432.374 rniliar, atau masing-masing mempunyai pangsa 18,7 persen dan 81,3 persen terhadap likuiditas Departemen Keuangan Republik Indonesia 221 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel m.l0 Uang Primer, 1997/1998 . 1998/1999 ( dalam miliar rupiah) Sektor 1997/1998 1998/1999 Maret (I) Uang Primer April Mei Juni (2) (3) (4) 59.412 61.489 67.965 67.689 JuH Agustus September Oktober (5) (6) (7) 72.605 68.636 November (8) (9) (10) 70.214 70.541 73.076 - Uang kertas dan Uang logam diedarkan 45.095 44.820 49.227 50.454 52.117 51.571 49.728 47.956 46.749 13.270 15.749 17.760 16.392 19.483 16.531 19.790 21.913 25.686 1.005 - Saldo giro Bank pads Bank Indonesia . - Giro Sektor Swasta 1.047 920 978 843 92.258 100.167 102.409 146.095 141.977 13.179,7 14.309,5 14.629,8 14.609,5 14.197,7 534 696 672 135.177 140.378 142.125 14.037,8 14.212,5 641 Posisi Cauangan Devisa Bersib - Dalam rupiah pada nilai kurs tetap - Dalamjuta US Dolar Aktiva Domestik Bersih - 30.471 13.517, 7 142.104 14.210, 4 - 37.702 - 34.444 - 76.862 - 69.372 - 64.139 - 70.164 - 71.584 - 69.028 - 27.624 - 36.410 - 46.285 - 55.206 - 49.309 - 35.701 - 25.424 - 25.174 antara lain: - Tagihan Bersih Kepada Pemerintah - 27.065 - Tagihan Bersih pada BPPN 87.044 101.826 124.633 132.339 140.356 141.523 141.555 135.828 135.936 - Kredit Likuiditas 26.228 26.992 19.139 19.511 19.383 18.088 17.680 16.603 17.140 antara lain: BULOG 15.155 15.598 7.404 7.613 7.669 8.131 7.589 6.305 6.301 - 72.568 - 72.232 - 68.403 - 67.370 - 57.488 - 58.469 - Operasi Pasar Terbuka - 30.151 Departemen Keuangan Republik Indonesia - 45.302 - 64.210 222 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 perekonomian. Dalarn tahun anggaran 1998/1999 sarnpai dengan bulan Oktober 1998, likuiditas perekonomian mengalami peningkatan Rp 82.153 miliar ( 18,3 persen). Peningkatan tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan dalarn periode yang sama tahun sebelumnya yang meningkat Rp 46.163 miliar (15,7 persen). Tingginya pertumbuhan likuiditas perekonomian tersebut antara lain disebabkan oleh peningkatan uang kuasi. Uang kuasi selarna tujuh bulan pertama tahun anggaran 1998/1999 mengalami peningkatan yang tajarn, yaitu Dari Rp 351.554 miliar pada bulan Maret 1998 menjadi Rp 432.374 miliar pada bulan Oktober 1998 atau meningkat Rp 80.820 miliar (23,0 persen). Pertumbuhan uang kuasi ini jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya yang meningkat 18,3 persen. Tingginya pertumbuhan uang kuasi dalarn tahun anggaran 1998/1999 (sarnpai dengan bulan Oktober 1998) terutarna disebabkan oleh meningkatnya dana simpanan dalarn bentuk rupiah 26,1 persen. Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan jumlah uang beredar (Ml) dalarn tahun anggaran 1998/1999 sarnpai dengan Oktober 1998 terutama bersumber dari pengaruh menarnbah pada aktiva luar negeri bersih Rp 20.731 miliar dan lainnya bersih Rp 69.368 miliar. Seuangkan pengaruh mengurang berasal dari uang kuasi Rp 80.786 miliar, sektor pemerintah Rp 4.356 miliar, dan tagihan pada lembagal perusahaan dan perorangan Rp 3.624 miliar. Tingginya pengaruh mengurang atas jumlah uang beredar yang berasal dari uang kuasi, disebabkan oleh meningkatnya dana simpanan dalarn rupiah karena meningkatnya suku bunga perbankan. Sementara itu, pengaruh mengurang yang bersumber dari sektorpemerintah antara lain disebabkan meningkatnya penerimaan dalam negeri terutarna yang bersumber dari pajak ekspor dan pajak pengahasilan. Seuangkan pengaruh mengurang yang berasal tagihan pada lembaga perusahaan dan perorangan disebabkan oleh menurunnya pertumbuhan kredit perbankan sebagai akibat masih tingginya suku bunga perbankan. Perkembangan jumlah uang beredar, likuiditas perekonomian, dan faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah uang beredar dapat dilihat dalam Tabel 111.11, Tabel 111.12, Tabel 111.13, dan Grafik 111.4. 3.6 Perkiraan Jumlah Uang Beredar (M1), Likuiditas Perekonomian (M2), dan Kredit Perbankan dalam Tahun 1999/2000 Arah kebijaksanaan moneter dalam tahun anggaran 1999/2000 tetap ditujukan pada upaya untuk mengendalikan laju inflasi. Hal tersebut dilakukan untuk mendukung upaya Departemen Keuangan Republik Indonesia 223 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 menstabilkan nilai tukar rupiah serta menciptakan iklim yang kondusif bagi proses pemulihan ekonomi dan upaya pengurangan tingkat kemiskinan. Dalarn pada itu, Pemerintah akan tetap memelihara suku bunga pada tingkat yang marnpu menjaga posokan likuiditas agar tidak memberikan tekanan-tekanan pada harga-harga dan memulihkan kepercayaan kepada perekonomian Indonesia. Dengan mempertimbangkan berbagai tantangan berat yang dihadapi perekonomian nasional serta mempertimbangkan perkiraan laju inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan besaran-besaran moneter, prospek neraca pembayaran dan RAPBN dalam tahun anggaran 199912000, maka jumlah uang beredar (Ml), likuiditas perekonomian (M2), dan kredit perbankan dalam tahun anggaran 1999/ 2000 diperkirakan akan meningkat masing- masing sebesar 29,5 persen, 14,3 persen, dan 7,8 persen. Departemen Keuangan Republik Indonesia 224 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel 111.11 JUMLAH UANG BEREDAR, 1989/1990 - 1998/1999 (dalam mlliar rupiah) Pada akhir Uang kartal tahunlbuIan Posisi Uanggiral % Posisi Jumlah Uang beredar % Posisi Perubahan % tahunan (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) 1989/1990 Maret 7.780 35,1 14.375 64,9 22.155 47,6 1990/1991 Maret 9.026 38,3 14.544 61,7 23.570 6,4 1991/1992 Maret 11.025 40,4 16.293 59,6 27.318 15,9 1992/1993 Maret 12.324 40,3 18.268 59,7 30.592 12,0 1993/1994 Maret 15.340 40,5 22.568 59,5 37.908 23,9 J o/1995 Maret 18.902 42,1 26.006 57,9 44.908 18,5 1995/1996 Maret 21.121 39,7 32.041 60,3 53.162 18,4 1996/1997 Juni 21.271 37,7 35.177 62,3 56.448- September 21.055 35,3 38.629 64,7 59.684- Desember 22.487 35,1 41.602 64,9 64.089- Maret 23.312 36,7 40.253 63,3 63.565 19,6 1997/1998 Juni 23.754 34,0 46.196 66,0 69.950 - September 23.916 36,1 42.342 63,9 66.258 - Desember 28.424 36,3 49.919 63,7 78.343 - Maret 38.196 38,9 60.074 61,1 98.270 54,6 1998/1999 April 37.129 38,9 58.239 61,1 95.368- Mei 42.543 40,9 61.398 50,1 103.941- Juni 44.924 41,0 64.556 59,0 109.480- Juli 45.436 42,9 60.386 57,1 105.822- Agustus 43.799 41,9 60.784 58,1 104.583- September 42.725 41,7 59.838 58,3 102.563- Oktober 41.481 41,6 58.122 58,4 99.603 - I (Apr.-Okt.'98) - - - - (Apr.-Okt.'97) - - - -- Departemen Keuangan Republik Indonesia 1,4 6,0 225 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel Ill.12 LIKUIDITAS PEREKONOMIAN, 1989/1990 - 1998/1999 ( dalam miliar rupiah ) Pada akhir Uang beredar 1) tahunlbulan Posisi I Uang kuasi 2) % Posisi I Likuditas perekonomian 3) % Posisi I Perubahan % tahunan (1) (2) (3) (4) (5) 1989/1990 Maret 22.155 34,4 42.212 1990/1991 Maret 23.570 29,1 1991/1992 Maret 27.318 27,1 1992/1993 Maret 30.592 1993/1994 Maret (6) (7) 65,6 64.367 45,7 57.554 70,9 81.124 26,0 73.478 .72,9100.796 24,3 24,8 92.569 75,2123.161 22,2 37.908 25,5 110.921 74,5148.829 20,8 1994/1995 Maret 44.908 24,7 136.793 75,3181.701 22,1 1995/1996 Maret 53.162 22,9 179.331 77,1232.493 28,0 1996/1997 Juni 56.448 22,6 192.995 77,4249.443 September 59.684 23,0 200.242 77,0259.926 Desember 64.089 22,2 224.543 77,8288.632 Maret 63.565 21,6 231.016 78,4294.581 1997/1998 Juni 69.950 22,4 242.889 77,6312.839 September 66.258 20,1 262.816 79,9329.074 Desember 78.343 22,0 277.300 78,0355.643 Maret 98.270 21,8 351.554 78,2449.824 I 1998/1999 April 95.368 21,0 358.028 79,0453.396 Mei 103.941 21,0 389.968 79,0493.909 Juni 109.480 19,4 456.305 80,6565.785 Juli 105.822 19,0 450.730 81,0556.552 Agustus 104.583 19,3 436.278 80,7540.861 September 102.563 18,6 447.841 81,4550.404 99.603 18,7 432.374 81,3531.977 Oktober (Apr..Okt.'98) (Apr.-Okt.'97) - --- I 26,7 52,7 - 18,3 =1 15,7 I) Uang beredar dalam ani sempit terdiri atas uang kana! dan uang giraI, biasa dinyatakan dengan simbol MI. 2) Terdiri atas deposito beIjangka dan tabungan serta rekening valuta asing milik swasta domestik. 3) Merupakan uang beredar dalamani luas, yang biasadinyatakan dengan simbol M2. terdiri atas uang beredar dalam ani sempit dan uang kuasi. Departemen Keuangan Republik Indonesia 226 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel 1lI.13 F AKTOR-F AKTOR YANG MEMPENGARUHI JUMLAH UANG BEREDAR, 1989/1990 . 1998/1999 (dalam miliar rupiah) Sektor, (I) I.Aktiva luar negeri bersih II.Pemerintah 1989/19 1990119 1991/199 1991/19 1993119 1994/199 1995/199 90 91 2 . (2) (3) - 736 2.278 3.462 - 4.884 - 2.407 - - 62 (4) 93 (5) 94 5 6 (6) (7) (8) 9.715 - 3.196 62 - 1.937 - 3.976 1996/1997 (9) 9.102 - 15.227 - 2.710 - 5.200 - 4.107 1997/199 19981199 8 9 ') (l0) (II) 62.427 20.731 - 11.607 - 4.356 III. Tagihan kepada lembagalperusahaan dan perorangan 29.665 29.749 21.158 39.48 1).260 35.344 5 48.328 61.073 207.442 - 3.624 3.252 2.705 45.076 58.368 190.377 1. Tagihan kepada lembagalperusahaan pemerintah 1.108 - 1.501 1.512 53 1.331 - 574 17.065 - 6.920 2. Tagihan kepada perusahaan swasta dan perorangan 28.557 31.250 19.646 13.207 IV. Uang kuasi I) -13.053 - 15.342 - 15.924-19.091 V. Lainny - 8.668 - 10.386 - 2.541- Jumlah Uang beredar . 7.146 1.415 3.748 34.013 40.05 9 - 18.353 - 25.872 - 42.538 548 - 4.542 3.274 7.316 - (Uang kartaI) ( 1.221) ( 1.246) ( 1.999) (1.299 ) (3.016 ) ( - (Uang giral) ( 5.925) ( 169) ( 1.749) (1.975) (4.300 ) ( 73- 1.438 7.000 3.562 ) 3.438 ) 8.254 - 51.685 - 120.538 - 80.786 - 10.105 - 103.019 10.403 34.705 69.368 1.333 ( 2.219) ( 2.191) ( 14.884) ( 3.285) ( 6.035 ) ( 8.212) ( 19.821) (- 1.952) 1) Terdiri Dari deposito betjangka dan tabungan dalam rupiah maupun valuta asing serta giro valuta asing milik penduduk 2} Sampai dengan bulan Oktober 1998. Departemen Keuangan Republik Indonesia 3.t96 227 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Departemen Keuangan Republik Indonesia 228 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 3.7 Pasar Uang dan Suku Bunga Gejolak nilai tukar rupiah yang terjadi sejak pertengahan tahun lalu telah berdampak luas terhadap kegiatan perekonomian nasional. Menjelang akhir tahun anggaran 1997/1998, jumlah uang beredar dan laju inflasi meningkat tajam, sebaliknya nilai tukar rupiah melemah dibandingkan periode sebelurnnya. Dalam upaya mengendalikan laju inflasi dan memperkuat nilai tukar rupiah, pemerintah telah menerapkan kebijakan moneter ketat. Upaya memperketat likuiditas ini antara lain dilakukan dengan meningkatkan suku bunga SBI secara bertahap sejak bulan Maret 1998. Kebijakan peningkatan suku bunga ini akan selalu dievaluasi sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan perekonomian yang terjadi, kebijakan ini juga dimaksudkan agar suku bunga riil tetap positif sehingga dapat menarik kembali modal luar negeri, dan mendorong masyarakat memasukkan kembali dananya ke dalam sistem perbankan nasional. Selanjutnya, untuk lebih memantapkan efektivitas pengendalian moneter, Pemerintah dalam hal ini Bank Indonesia telah melakukan penyempumaan ketentuan tentang penerbitan dan perdagangan Sertiflkat Bank Indonesia (SBI), yaitu mulai akhir bulan Juli 1998 penjualan SBI dilakukan melalui le1ang dengan sistem Stop Out Rate (SOR). Melalui langkah tersebut diharapkan kuantitas uang yang dikontraksi akan mendekati seperti yang direncanakan dalam program moneter. Untuk menyerap konsentrasi likuiditas rupiah, Bank Indonesiajugamelakukan intervensi rupiah secara langsung di Pasar Uang Antar Bank (PUAB) yang merupakan bagian dari operasi pasar terbuka. Sementara itu, dalam rangka mengurangi fluktuasi dan menopang nilai tukar rupiah, Giro Wajib Minimum (GWM) dalam valuta asing diturunkan dari 5 persen menjadi 3 persen dari dana pihak ketiga. Di samping itu, juga disediakan bantuan likuiditas valuta asing berupa fasilitas rediskonto devisa hasil ekspor kepada eksportir tertentu (post-shipment) serta fasilitas rediskonto alas perkiraan penerimaan devisa hasil ekspor kepada eksportir tertentu (preshipment). Memasuki paruh kedua tahun anggaran 1998/1999, nilai tukar rupiah cenderung menguat dibandingkan dengan bulan-bulan sebelurnnya, begitu pula laju inflasi cenderung menurun. Sejalan dengan hal tersebut, tingkat suku bunga SBI jangka waktu 1 bulan berangsur mulai turun. 3.7.1 Pinjaman Antar Bank Seiring dengan ketatnya likuiditas perekonomian, ketergantungan perbankan terhadap Departemen Keuangan Republik Indonesia 229 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 dana pasar Uang antar bank juga meningkat, hal ini dapat dilihat dari besarnya nilai transaksi di pasar uang antar bank selama tahun anggaran 1998/1999. Nilai transaksi di pasar uang antar bank dalam periode April-Oktober 1998 mencapai Rp 1.289.544 miliar, atau 169,20 persen lebih besar dibandingkan nilai transaksi yang terjadi dalam periode yang sama tahun sebelurnnya yang mencapai Rp 479.026 miliar. Sementara itu, suku bunga rata-rata tertimbang pasar uang antarbank dalam tahun anggaran 1998/1999 (April-Oktober 1998) mengalami kenaikan 8,18 pain, yaitu dari 51,42 persen pada bulan Maret 1998 menjadi 59,60 persen pada bulan Oktober 1998. Perkembangan nilai transaksi dan suku bunga di pasar Uang antar bank dapat dilihat dalam Tabel 111.14. 3.7.2 Sertifikat Bank Indonesia (SBI) Pengendalian moneter pada pelaksanaannya dititikberatkan pada operasi pasar terbuka. Operasi pasar terbuka antara lain dilakukan melalui penjualan Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Berkaitan dengan kebijaksanaan moneter ketat, penjualan SBI ini antara lain bertujuan untuk mengendalikan tingginya pertumbuhan jumlah uang beredar. Posisi Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dalam tahun anggaran 1998/1999 (April-Oktober 1998) mencapai Rp 40.031 miliar, meningkat 136,51 persen dibandingkan posisi SBI pada akhir tahun anggaran 1997/1998 sebesar Rp 16.926 miliar. Apabila diamati lebih lanjut, nampak bahwa pertumbuhan posisi SBI yang terjadi dalam tahun anggaran 1998/1999 jauh lebih besar dibandingkan posisi SBI dalam periode yang sama tahun anggaran 1997/1998 yang menurun sebesar 33,68 persen. Keadaan ini dikarenakan pengaruh tingginya suku bunga SBI dalam tahun 1998/1999 yang mencapai 59,0 persen (Oktober 1998), sementara pada akhir tahun anggaran 1997/1998 (Maret 1998) suku bunga SBI tercatat sebesar 26,62 persen. Tingginya suku bunga SBI dalam tahun anggaran 1998/1999 berkaitan dengan upaya pemerintah untuk memperketat likuiditas perekonomian sehubungan dengan terjadinya krisis ekonomi yang berkepanjangan. Meningkatnya penjualan SBI dalam periode April-Oktober 1998 tersebut sejalan dengan pencapaian sasaran kebijaksanaan moneter yang ketat dalam rangka pengendalian inflasi dan memperkuat nilai tukar rupiah. Departemen Keuangan Republik Indonesia 230 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel 111.14 NILAI TRANSAKSI DAN TINGKAT BUNGA PASAR UANG ANTARBANK DI JAKARTA, 1989 -1998 Nilai transaksi Mas a (1) Suku bunga rata-rata tertimbang ( miliar rupiah) (persen per tahun ) (2) (3) 1989 22.906 12,40 1990 38.905 14,93 1991 48.420 15,32 1992 57.806 12,32 1993 90.105 8,72 1994 110.990 9,79 1995 189.259 13,67 1996 477.564 13,96 1997 784.368 26,97 Januan – Maret 138.121 12,06 April – Juni 157.529 13,45 Juli – September 210.670 42,70 Oktober – Desember 278.048 39,68 Januari 112.071 56,73 Februari 168.224 63,93 Maret 246.052 51,42 Januari – Maret 526.347 57,36 April 174.209 70,68 Mei 142.035 63,84 Juni 184.469 64,63 April – Juni 500.713 66,38 Juli 175.450 75,40 Agustus 207.500 80,64 September 242.381 66,34 Juli – September 625.331 74,13 Oktober 163.500 59,60 (Apr - Okt'98) 1.289.544 - (Apr - Okt'97) 479.026 - 1998 Departemen Keuangan Republik Indonesia 231 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 3.7.3 Surat Berharga Pasar Uang (SBPU) Berkaitan dengan langkah-langkah pengetatan moneter gunamengurangi tekanan terhadap nilai tukar rupiah, beberapa piranti Operasi Pasar Terbuka (OPT) yang memberikan dampak ekspansi moneter untuk sementara waktu dihentikan, termasuk le1ang SBPU yang dihentikan sejak bulan Agustus 1998. Sebagai gantinya, SBPU hanya diberikan secara selektif kepada beberapa bank yang mengalami kesulitan likuiditas. Langkah ini ditempuh melalui pembelian SBPU secara langsung kepada beberapa bank yang dikaitkan dengan program pemberian kredit kepada usaha kecil. Dalam hal ini pencatatan SBPU dimaksud dikelompokkan ke dalam bantuan likuiditas yang diberikan oleh Bank Indonesia kepada perbankan. Berkaitan dengan hat tersebut, posisi SBPU dalam tahun anggaran 1998/1999 (April-Oktober 1998) tercatat sebesar Rp 1.164 miliar, jauh lebih rendah dibandingkan posisi SBPU pada akhir tahun anggaran 1997/1998 yang mencapai Rp 4.090 miliar, atau menurun 71,54 persen. 3.7.4 Sertifikat Deposito Perkembangan dana sertifikat deposito yang dapat dihimpun oleh perbankan, yaitu bank pemerintah, bank asing, dan bank swasta nasional selama tahun anggaran 1998/1999 (AprilOktober 1998) menunjukkan penurunan jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun anggaran sebelumnya, yaitu Dari Rp 80.111 miliar menjadi Rp 24.940 miliar atau turun 68,87 persen. Turunnya jumlah sertifikat deposito tersebut diduga disebabkan oleh adanya pengalihan dana sertifikat deposito ke deposito perbankan yang jangka waktunya lebih pendek dan tingkat bunganya lebih tinggi terutama pada deposito berjangka waktu 1 bulan. Perkembangan sertifikat deposito dapat dilihat dalam Tabel 111.15. Departemen Keuangan Republik Indonesia 232 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel 111.15 SERTIFlKA T DEPOSITO, 1989 - 1998 ( dalam miliar rupiah) Bank Akhir periode (1) Bank-bank pemerlntah 1) Bank asing swasta nasional Jumlah (2) (3) (4) (5) 1989Desember 77 19 77 173 1990Desember 103 11 320 434 1991Desember 198 6 3.733 3.937 1992Desember 468 1 1.703 2.172 1993Desember 474 136 1.558 2.168 1994Desember 697 275 1.839 2.811 1995Desember 2.990 433 4.342 7.765 1996Maret 3.853 686 6.015 10.554 Juni 5.377 832 7.956 14.165 September 4.099 876 7.287 12.262 Desember 4.350 1.339 9.692 15.381 3.262 1.348 9.708 14.318 Juni 2.060 1.195 9.459 12.714 September 1.915 1.214 7.260 10.389 Desember 834 916 4.921 6.671 55Z 895 2.578 4.025 Februari 564 861 2.406 3.831 Maret 558 722 2.622 3.902 April 396 723 2.302 3.421 Mei 423 677 2.186 3.286 Juni 499 584 2.327 3.410 Juli 471 541 2.182 3.194 Agustus 482 369 2.206 3.057 September 522 408 2.403 3.333 662 464 4.113 5.239 (Apr-Okt '98) 3.455 3.766 17.719 24.940 (Apr-Okt '97) 13.912 8.443 57.756 80.111 1997Maret 1998Januari Oktober - 1) Meliputi Bank Persero dan Bank Pemerintah Daerah Departemen Keuangan Republik Indonesia 233 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 3.7.5 Suku Bunga Belum pulihnya perekonomian Indonesia dari krisis yang terjadi sejak pertengahan 1997 menyebabkan .Pemerintah masih mempertahankan kebijakan moneter ketat. Kebijakan moneter ketal yang ditempuh pemerintah dengan menaikkan suku bunga SBI secara bertahap pada kenyataannnya telah berpengaruh pada perkembangan suku bunga bank-bank umum. Selama periode April-Oktober 1998 rata-rata suku bunga SBI telah meningkat sebesar 32,38 poin, yaitu Dari 26,62 persen pada Maret 1998 menjadi 59,00 persen pada Oktober 1998. Sementara itu, suku bunga SBPU meningkat dari 28,63 persen pada Maret 1998 menjadi 69,17 persen pada September 1998 atau naik 40,54 poin, seuangkan suku bunga SBPU bulan Oktober 1998 tidak tercatat dikarenakan tidak adanya transaksi SBPU pada bulan tersebut. Ketatnya likuiditas di pasar Uang juga berpengaruh terhadap perkembangan suku bunga deposito. Secara keseluruhan suku bunga deposito selama tahun anggaran 1998/1999 mengalami kenaikan. Bila suku bunga deposito berjangka waktu 3 bulan, 6 bulan, 12.bulan, dan 24 bulan pada Maret 1998 masing-masing masih sebesar 27,26 persen, 19,05 persen, 19,50 persen, dan 16,02 persen, maka pada Oktober 1998 telah meningkat masing-masing menjadi 54,67 persen, 36,28 persen, 25,55 persen, dan 16,31 persen. Demikian halnya dengan suku bunga kredit, seiring dengan kenaikan suku bunga deposito, rata-rata suku bunga kredit baik kredit modal kerja (KMK) maupun kredit investasi (KI) juga mengalami kenaikan, yaitu dari 27,80 persen dan 20, 16 persen pada Maret 1998 menjadi 35,68 persen dan 25,80 persen pada Oktober 1998. Dengan memperhatikan perkembangan suku bunga deposito yang lebih tinggi dibandingkan suku bunga kredit baik KMK maupun KI, narnpak bahwa telah terjadi negatif spread di sektor perbankan. Perkembangan suku bunga di dalam negeri dapat dilihat dalam Tabel 111.16. 3.8 Lembaga Perbankan 3.8.1 Struktur Kelembagaan Perlu disadari bahwa sebagai lembaga intermediasi yang berfungsi mempromosikan pengumpulan dan penyaluran dana masyarakat, serta mengembangkan sistim pembayaran, industri perbankan mempunyai peranan yang sentral dalam suatu perekonomian. Dengan demikian, terganggunya proses intermediasi tersebut, sedikit atau banyak akan sangat berpengaruh terhadap aktivitas suatu perekonomian. Tidak dapat dipungkiri bahwa krisis Departemen Keuangan Republik Indonesia 234 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 ekonomi yang terjadi sejak pertengahan tahun lalu telah memberikan pengaruh cukup besar terhadap perkembangan industri perbankan. Perubahan drastis di pasar uang yang ditandai adanya depresiasi kurs rupiah menyebabkan nilai rupiah kewajiban valuta asing bank-bank meningkat. Sementara itu gejala kelesuan yang melanda sektor dunia usaha dan kebijaksanaan likuiditas ketat yang diarahkan untuk meredam laju inflasi dan gejolak kurs, telah menyebabkan meningkatnya fisiko kegagalan kredit dan menurunnya kualitas aktiva produktif, sehingga kinerja sisi aktiva perbankan cenderung memburuk. Disisi lain, tindakan pencabutan izin usaha sejumlah bank yang dilakukan dalarn rangka penyehatan sistem perbankan dan adanya isu-isu yang kurang menguntungkan industri perbankan, telah menimbulkan reaksi negatif berupa penarikan dana simpanan oleh masyarakat sehingga bank-bank mengalami kesulitan likuiditas. Untuk meminimalisasi dampak krisis ekonomi terhadap industri perbankan dan mengantisiposi perkembangan perbankan yang cenderung memburuk, Pemerintah telah melakukan berbagai kebijaksanaan atau langkah persuasif, baik yang berjangka pendek maupun berjangka panjang. Kebijaksanaan jangka pendek antara lain dilakukan dengan memberikan bantuan likuiditas Bank Indonesia kepada bank-bank yang masuk dalam program penjaminan, untuk menalangi pembayaran kewajiban bank. Hal ini dimaksudkan agar kesulitan likuiditas yang dialami oleh sejumlah bank tidak sampai menimbulkan efek berantai (systemic effect) kepada sistem perbankan dan perekonomian secara keseluruhan, dan sekaligus untuk memperbaiki kepercayaan masyarakat kepada dunia perbankan. Departemen Keuangan Republik Indonesia 235 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel 111.16 SUKU BUNGA, 1989 - 1998 (dalam persen per tahun) Kredit Deposito 2) SBI I) SBPUI) KMK 3 bin 6 bin 12 bin 24 bin (4) (5) (6) (7) 11,64- 17,06 17,70 18,58 18,82 21,82 19,50 1990 Desember 17,87- 21,00 19,63 18,53 18,52 20,67 18,95 1991 18,03 20,19 21,88 22,65 22,76 20,58 25,21 20,87 13,79 13,98 16,72 17,78 18,93 19,91 24,05 19,21 9,08 12,00 11,79 13,08 14,20 16,08 20,52 17,06 1994 Desember 11,59 15,36 14,27 13,33 12,99 14,80 17,70 14,90 1995 13,34 15,87 17,15 16,95 16,28 15,45 19,27 16,12 12,26 15,62 17,03 16,78 16,70 15,14 19,04 16,36 1997 Maret 8,46 14,29 16,47 16,37 16,39 15,95 18,88 16,37 Juni 8,19 14,85 15,93 15,83 16,16 15,75 18,56 16,19 (1) 1989 Desember Desember 1992 Desember 1993 Desember Desember 1996 Desember (2) (3) Investasi (8) (9) September 14,58 - 26,22 16,37 16,42 16,02 26,41 20,34 Desember 17,38 - 23,92 16,96 15,92 15,46 25,40 18,94 15,70 21,00 22,86 17,30 17,19 15,29 25,57 18,96 Februari 24,29 23,31 24,00 17,91 18,70 15,37 25,63 19,18 Maret 26,62 28,63 27,26 19,05 ,19,50 16,02 27,80 20,16 April 45,16 52,00 29,40 19,23 19,83 15,53 29,47 21,64 Mei 51,35 58,67 32,95 21,74 20,51 16,44 33,21 22,84 Juni 56,28 60.00 40,63 23,71 21,69 16,02 33,79 22,70 Ju1i 55,87 60,00 43,01 27,44 22,18 16,45 34,12 23,38 Agustus 69,51 53,75 44,35 30,76 21,99 16,03 34,95 24,23 September 60,89 69,17 47,38 34,58 22,97 15,75 35,72 24,88 Oktober 59,00 - 54,67 36,28 25,55 16,31 35,68 25,80 1998 Januari i 1) Suku bunga SB! dan SBPU atas dasar rata-rata hilling 2) Deposito Dari bank umum Departemen Keuangan Republik Indonesia 236 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Dalam jangka panjang, langkah kebijaksanaan pembinaan sektor perbankan, dirumuskan dalam kerangka reformasi ekonomi yang dilakukan melalui empat program, yakni restrukturisasi dan penyehatan perbankan, menyempurnakan pelaksanaan penerapan prinsip kehati-hatian dalam upaya memperbaiki kondisi internal perbankan, memperkuat fungsi pengawasan dan pembinaan, dan menyempurnakan perangkat hukum perUndang-undangan. Dalam kaitannya dengan program restrukturisasi dan penyehatan, melalui Keputusan Presiden Nomor 27 tanggal26 Januari 1998, Pemerintah telah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Sebagai lembaga independen, BPPN bertugas melaksanakan penyehatan perbankan melalui kebijaksanaan restrukturisasi perbankan. Secara bertahap, Bank Indonesia telah melakukandue dilligence terhadap seluruh bank umum dengan melibatkan jasa auditor internasional dengan tujuan untuk memperoleh gambaran tentang kondisi keuangan dan permasalahan yang dihadapi oleh masing-masing bank guna menentukan formulasi solusinya secara cepat dan tepat. Bank-bank yang masuk kategori tidak sehat, menjalani program penyehatan melalui tigalangkah alternatif, yakni rekapitalisasi, revitalisasi, dan sistem pembenahan lain yang dilakukan sesuai dengan permasalahan yang dihadapi setiap bank. Program rekapitalisasi yang diarahkan untuk memperkuat permodalan bank dilakukan melalui penyetoran modal langsung oleh pelpilik bank, menjual saham kepada investor lokal maupun investor asing, dan mengkonversi hutang bank menjadi equity dalam bentuk subordinated loan (SOL). Untuk mendukung progtam rekapitalisasi itu, maka bantuan likuiditas yang diberikan kepada bank-bank diperhitungkan sebagai penyertaan modal dengan mengkonversikan bantuan tersebut menjadi equity pemerintah. Dalam kaitannya dengan rekapitalisasi tersebut, juga akan diterbitkan obligasi yang direncanakan dapat diperjuabelikan ke masyarakat agar diperoleh dana segar yang diperlukan untuk mendukung perbaikan modal bank-bank. Disamping itu, untuk mendorong adanya penambahan modal bank, pemerintah telah memberikan keleluasaan dan kemudahan kepada investor asing dalam pemilikan bank di Indonesia. Secara kuantitatif sasaran permodalan yang hendak dicapai adalah terpenuhinya rasio kecukupan modal minimum bankbank umum sebesar 4 persen pada akhir tahun 1998, 8 persen akhir tahun 1999, dan 10 persen akhir tahun 2000. Upaya penyempurnaan pelaksanaan prinsip kehati-hatian masing-masing bankdifokuskan pada peningkatan kemampuan manajerial, peningkatan transparansi informasi mengenai kondisi perbankan,dan pembenahan sistem pengawasan, sistem informasi internal Departemen Keuangan Republik Indonesia 237 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 dalam memantau, mendeteksi, dan menyelesaikan kredit bermasalah dan posisi fisiko kredit yang berlebihan. Untuk mendorong perubahan ke arah itu, Bank Indonesia akan terus meningkatkan kualitas sistem pengawasan bank dan penegakan ketentuan (law enforcement), termasuk ketentuan capital adequacy ratio (CAR) dan batas maksimum pemberian kredit (BMPK) melalui penerapan sanksi secara tegas dan keras kepada bank-bank pelanggar. Dengan demikian setiap bank diharapkan bisa menghindarkan terjadinya konsentrasi pemberian kredit dan jaminan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada individu atau kelompok usaha yang terkait dengan bank (connected lending), karena fenomena itu selain menimbulkan distorsi dalam alokasi kredit, juga terbukti telah mendorong tingginya fisiko kemacetan kredit yang dihadapi oleh bank-bank. Pembenahan terhadap aspek hukum perundang-undangan perbankan telah dilakukan dengan disahkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undangundang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan. Dalam undang-undang yang baru tersebut terdapat beberapa perubahan penting yang berkaitan dengan ketentuan tentang usaha perbankan di Indonesia. Beberapa perubahan penting itu antara lain mencakup peningkatan fungsi pembinaan dan pengawasan, kerahasian, kepemilikan, orientasi pembiayaan, perluasan bentuk usaha bank, dan pembentukan lembaga-Iembaga yang dapat memperkuat kelembagaan perbankan. Pengawasan, kewenangan dan tanggung jawab mengenai perizinan bank, baik dalam menilai kelayakan pendirian bank baru maupun pembukaan kantor cabang, yang semula berada pada Menteri Keuangan dialihkan kepada Pimpinan Bank Indonesia. Hal ini dimaksudkan agar Bank Indonesia mempunyai kewenangan dan tanggung jawab yang utuh untuk menetapkan perizinan, pembinaan, dan pengawasan bank serta pengenaan sanksi terhadap bank yang tidak memenuhi peraturan perbankan yang berlaku. Sementara itu untuk meningkatkan fungsi kontrol sosial terhadap lembaga perbankan, ketentuan mengenai rahasia bank yang selama ini mencakup sisi aktiva dan posiva perbankan, ruang lingkup kerahasiaannya telah dibatasi hanya mencakup nasabah penyimpan dan simpanannya (sisi pasiva), namun pemeriksaan terhadap nasabah penyimpan dan simpanan tetap dapat dilakukan bila diperlukan untuk kepentingan perpajakan atau penegakan hukum. Berkaitan dengan aspek kepemilikan, peraturan tentang kepemilikan bank telah disesuaikan dengan arah perubahan liberalisasi sistem keuangan global, dengan membuka akses pasar dan perlakuan non diskrirninatif terhadap pihak asing. Kepada pihak asing diberi kesempatan yang Departemen Keuangan Republik Indonesia 238 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 lebih besar untuk berperan serta dalam kepemilikan bank-bank domestik, baik melalui pembelian saham di bursa efek maupun melalui penyetoran modal baru. Pola kepemilikan ini diharapkan dapat mengakselerasi peningkatan kinerja perbankan nasional sehingga mampu beroperasi dengan standar perbankan internasional dalam memfasilitasi kegiatan perekonomian nasional. Dalam undang-undang perbankan yang baru, juga telah dilakukan perluasan kegiatan usaha perbankan sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Dalam kaitan itu, pemerintah telah memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mendirikan bank yang menyelenggarakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, termasuk pernberian kesempatan kepada bank umum untuk membuka kantor cabangnya yang khusus melakukan kegiatan pelayanan berdasarkan prinsip syariah. Prinsip syariah yang dapat diterapkan dalam pembiayaan atau penempatan dana perbankan antara lain prinsip bagi hasil (mudharahah), prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan sewa mumi tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank ke pihak lain (jjarah wa iqtina). Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, bank umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad, kemampuan, dan kesanggupan nasabah debitur untuk mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan. Disamping itu penempatan dana secara syariah juga wajib memenuhi ketentuan batas maksimum pemberian kredit/pembiayaan yang ditentukan. Untuk menunjang pelaksanaan program peningkatan taraf hidup rakyat banyak, dalam pengelolaan dana masyarakat perbankan diharapkan lebih memperhatikan pembiayaan kegiatan sektor perekonomian nasional dengan memberi prioritas kepada koperasi, pengusaha kecil dan menengah, serta berbagai lapisan masyarakat tanpa diskriminasi sehingga akan mampu meningkatkan kinerja perekonomian di wilayah operasi tiap-tiap kantor bank dan memperkuat strukturperekonomian nasional. Sebagai lembaga keuangan yang segmen usahanya berkaitan dengan aspek kepereayaan, kegiatan operasional perbankan pada hakekatnya perlu ditopang dengan institusi penunjang, baik yang berperan untuk sementara waktu dalam rangka mengatasi persoalan tentatif perbankan maupun institusi yang bersifat permanen. Berkaitan dengan itu, untuk mengatasi Departemen Keuangan Republik Indonesia 239 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 bank-bank bermasalah yang berpotensi membahayakan kelangsungan usahanya, membahayakan sistem perbankan dan perekonomian nasional, Pemerintah dapat berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat untuk membentuk badan khusus yang bersifat sementara dalam rangka menyehatkan perbankan. Dalam melaksanakan tugasnya, badan khusus itu dapat mengambilalih dan menjalankan segala hak dan wewenang pemegang saham/pemilik, direksi dan komi saris bank, serta melakukan langkah-Iangkah untuk menyehatkan bank yang bersangkutan, mengamankan hak dan kewajiban nasabah serta menghindarkan dampak negatifnya bagi sistem perbankan dan perekonomian seeara umum. Sementara itu untuk melindungi kepentingan nasabah dan sekaligus meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada bank, perlu dibentuk lembaga penjamin simpanan. Dalam menyelenggarakan penjaminan simpanan dana masyarakatpada bank, lembaga penjamin simpanan dapat menggunakan skim dana bersama, skim asuransi, atau skim lainnya yang disetujui oleh Bank Indonesia. Dalam rangka program revitalisasi, kepada bank-bank diarahkan untuk membenahi aspek manajemen, jaringan operasional, sistem pelayanan, dan portfolio keuangan dengan menempuh berbagai langkah, diantaranya melalui merger, akuisisi dan konsolidasi usaha. Untuk mempelopori program ini, Pemerintah telah mendirikan PT Bank Mandiri yang mengakuisisi empat bank Persero, yakni Bank Ekspor Impor, Bank Pembangunan Indonesia, Bank Dagang Negara, dan Bank Bumi Daya. Proses akuisisi itu akan dilakukan secara bertahap, dimana pada tahap transisi akan dilakukan pengalihan aset, kewajiban, kegiatan dan fungsi operasional, dan personalia dari keempat bank Persero dimaksud ke PT Bank Mandiri, Namun selama tahap ini keempat bank Persero akan tetap beroperasi untuk melayani nasabah. Diharapkan langkah akuisisi bank-bank Persero tersebut akan merangsang bank-bank swasta untuk segera melakukan progam revitalisasi. Kepada bank-bank bermasalah, dapat membenahi portfolio keuangannya melalui pengalihan pengelolaan kredit bermasalah (non-performance loans) kepada lembagaAsset Management Unit (AMU), memberikan kesempatan dan kelonggaran kepada debitur dengan rescheduling, reconditioning, dan restructuring pinjaman yang diberikan, dan melakukan merger dengan bank lain. Pelaksanaan program restrukturisasi dan penyehatan yang dilakukan terhadap industri perbankan telah inempengaruhi perkembangan kelembagaan perbankan secara nasional. Sampai dengan akhir Oktober 1998, jumlah bank umum yang beroperasi di Indonesia sebanyak 208 buah, yang terdiri Dari 7 bank Persero, 130 bank swasta nasional, 27 bank pembangunan daerah, Departemen Keuangan Republik Indonesia 240 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 dan 44 bank asinglcampuran. Dengan demikian selama taboo 1998/1999 jumlah bank, khususnya bank swasta nasional telah berkurang 13 bank diantaranya karena adanya tindakan pembekuan operasi bank-bank bermasalah yang tidak mempunyai prospek untuk beroperasi. Namun demikian, selama tahun 1998/1999 jumlah bank perkreditan rakyat (BPR) tetap menunjukkan perkembangan yang berarti. Sampai akhir Oktober 1998, bank perkreditan rakyat di luar lembaga dana dan kredit pedesaan (LDKP) berjumlah 7.531 buah atau bertambah 129 buah dibandingkan dengan kondisi pada akhir Maret 1998. Perkembangan bank umum dan BPR dapat dilihat dalam Tabel III.17. 3.8.2 Perkembangan Dana Perbankan Selama tahun 1998/1999 kegiatan industri perbankan dalam menjalankan perannya sebagai lembaga intermediasi dan fasilitator pembiayaan bagi perekonomian nasional relatif mengalami penurunan. Menurunnya aktivitas perbankan tersebut berkaitan dengan banyak faktor yang mempengaruhinya, baik faktor yang bersifat ekonomi eksternal yang berupa krisis ekonomi dan berbagai implikasinya, maupun faktor internal, berupa kelemahan portfolio keuangan dan permodalan, serta terjadinya mismanajemen operasional pada sejumlah bank. Namun, dalam situasi yang tidak menguntungkan tersebut kegiatan perbankan dalam memobilisasi dana masih mengalami pertumbuhan, sebagai akibat Dari tingginya tingkat bunga dan pengaruh perubahan nHai tukar rupiah. Jumlah dana masyarakat yang dihimpun oleh industri perbankan sampai dengan Oktober 1998 mencapai Rp 527.550,8 miliar, yang terdiri Dari giro Rp 90.531,4 miliar, deposito berjangka Rp 373.864,6 miliar, dan tabungan Rp 63.154,8 miliar. Posisi dana perbankan ini telah mengalami kenaikan sebesar Rp 74.613,9 miliar (16,5 persen) dibandingkan dengan posisi akhir Maret 1998 yang mencapai Rp 452.936,9 miliar. Dana perbankan yang dihimpun oleh kelompok bank Persero mencapai Rp 249.370,7 miliar atau 47,3 persen dari total dana perbankan, sedangkan yang dihimpun kelompok bank swasta nasional Rp 214.492,8 miliar (40,7 persen), kelompok bank asing campuran Rp 53.457,0 miliar (l0,1 persen), dan kelompok bank pembangunan daerah Rp 10.230,3 miliar (1,9 persen). Perkembangan dana perbankan secara keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 111.18, Tabel 111.20, dan Grafik 111.5. Departemen Keuangan Republik Indonesia 241 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel III.17 JUMLAH BANK DAN KANTOR BANK DI INDONESIAf', 199211993 - 1998/1999 199211993 1993/1994 1994/1995 1995/1996 1996/1997 1997/1998 1998/19991) (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) BANK-BANK UMUM Bank umum pemerintah - lumlah bank 7 7 7 7 7 7 7 1.099 1.121 1.285 1.337 1.496 1.540 1.602 147 163 166 165 162 143 130 2.910 3.125 3.296 3.565 4.113 4.167 3.903 27 27 27 27 27 27 27 426 429 432 451 517 546 556 - lumlah bank 39 39 40 41 41 44 44 - lumlah kantor 75 78 84 83 87 92 98 220 236 240 240 237 221 208 4.510 4.753 5.097 5.436 6.213 6.345 6.159 6.889 7.095 7.231 7.301 7.321 7.402 7.531 7.109 7.331 7.471 7.541 7.558 7.623 7.739 11.399 11.848 12.328 12.737 13.534 13.747 13.690 - lumlah kantor Bank umum swasta nasional . - lumlah bank - lumlah kantor Bank pembangunan daerah - lumlah bank - lumlah kantor Bank asing/campuran Jumlah bank umum - lumlah bank - lumlah kantor BANK PERKREDIT AN RAKY A 'P) Jumlah bank seluruhnya Jumlah kantor seluruhnya 1) Tennasuk jumlah kantor cabang bank di luar Negeri. 2) Sampai dengan bulan Oktober 1998. tidak tennaslik bank beku operasi (10 bank). 3) Tidak tennasuk LDKP yang statusnya belum berubah menjadi BPR. Departemen Keuangan Republik Indonesia 242 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel 111.18 DANA PERBANKAN MENURUT KELOMPOK BANI{l), 1989/1990 -1998/1999 ( dalam miliar rupiah) Bank Akhir periode (1) pemerintah Bank swasta Bank Bank pembangunan asing & nasional 2) daerah campuran (3) (4) (5) (2) Jumlah (6) 1989/1990 Maret 30.372,7 23.143,1 1.740,8 3.935,5 59.192,1 1990/1991 Maret 34.058,8 34.835,2 2.522,4 6.094,4 77.510,8 1991/1992 Maret 42.448,4 43.203,3 2.899,1 7.160,6 95.711,4 1992/1993 Maret 54.259,5 52.104,5 3.544,2 7.727,8 117.636,0 1993/1994 Maret 59.355,7 71.775,6 4.613,6 8.853,9 144.598,8 1994/1995 Maret 63.563,0 93.095,6 5.837,4 11.327,0 173.823,0 1995/1996 Maret 76.800,8 125.360,1 7.086,9 14.480,0 223.727,8 1996/1997 Juni 82.128,8 136.740,3 7.384,8 15.444,8 241.698,7 September 84.774,8 143.539,5 7.997,9 15.888,6 252.200,8 Desember 90.434,2 164.979,0 8.521,9 17.782,8 281.717,9 Maret 89.607,1 171.176,0 7.877,1 18.320,9 286.981,1 1997/1998 Juni 91.810,4 183.005,5 8.257,6 19.965,2 303.038,7 September 102.891,3 190.591,4 8.226,7 26.022,7 327.732,1 Desember 133.042,5 177.192,3 8.796,2 38.582,1 357.613,1 Maret 183.124,1 199.595,2 7.992,0 62.225,6 452.936,9 190,316,7 194.218,9 7.628,2 58.824,8 451.008,6 Mei 223.653,2 189.133,5 8.304,5 72.779,4 493.870,6 Juni 265.924,1 201.956,6 8.727,4 97.193,3 573.801,4 Juli 260.539,7 202.767,6 9.157,1 90.438,0 562.902,4 Agustus 255.246,7 200.683,6 9.320,6 78.478,3 543.729,2 September 262.461,4 212.745,2 9.633,6 69.516,1 554.356,3 Oktober 249.370,7 214.492,8 1998/1999 April 10.230,3 53.457,0 527.550,8 I) Sejak April 1993 tennasuk bank eks-LKBB. 2) Terdiri Dari bank swasta nasional devisa, bank swasta nasional bukan devisa, bank pembangunan swasta, dan bank tabungan swasta. Departemen Keuangan Republik Indonesia 243 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Departemen Keuangan Republik Indonesia 244 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 3.8.2.1 Giro Jumlah dana giro yang ada dalam industri perbankan sarnpai akhir Oktober 1998 mencapai Rp 90.531,4 millar, atau menurun Rp 18.172,0 miliar (16,7 persen) dibandingkan dengan posisinya pada akhir Maret 1998. Dalarn periode yang sama tahun sebelumnya dana giro mengalami kenaikan Rp 10.640,1 miliar (18,7 persen). Penurunan dana giro tersebut antara lain disebabkan oleh ketatnya kqndisi likuiditas perekonomian dan berkurangnya kegiatan transaksi bisnis yang menggunakan jasa pembayaran giro karena kelesuan sektor dunia usaha. 3.8.2.2 Deposito Berjangka Kebijaksanaan likuiditas ketat yang dilakukan melalui mekanisme suku bunga cukup memberikan pengaruh terhadap perkembangan simpanan berjangka pada industri perbankan selama tahun anggaran 1998/1998. Hal ini dapat terjadi karena dalarn situasi likuiditas ketat, bankbank cenderung bersaing untuk menarik dana masyarakat dengan menaikkan suku bunga deposito berjangka pendek mengikuti perubahan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia. Penawaran ini selain menarik bagi masyarakat pemilik dana, juga telah merangsang para pemodal/pemilik aset, baik pemilik aset finansial maupun non finansial, untuk menginvestasikan modal asetnya pada produk deposito perbankan. Posisi dana deposito berjangka yang dihimpun oleh industri perbankan sarnpai akhir Oktober 1998 mencapai Rp 373.864,6 miliar, yang terdiri dari deposito dalarn rupiah Rp 276.873,0 miliar (74,1 persen) dan deposito dalarn valuta asing Rp 96.991,6 miliar (25,9 persen). Dengan demikian selarna tujuh bulan berjalan tahun 1998/1999 deposito berjangka menunjukkan kenaikan sebesar Rp 101. 804,1 miliar (37,4 persen). Komposisi dana deposito tersebut sebagian besar, yakni Rp 260.325,5 miliar atau 69,6 persen dari total deposito, merupakan deposito berjangka 1 bulan dan Rp 18.356,9 miliar (4,9 persen) adalah deposito berjangka 3 bulan. Untuk deposito berjangka 6 bulan jumlahnya mencapai Rp 16.845,2 miliar (4,5 persen), deposito 12 bulan Rp22.355,5 miliar (6,0 persen), dan deposito berjangk,a 24 bulan dan deposito berjangka lainnya, termasuk yang berjangka 9 bulan dan 18 bulan, jurnlahnya masing-masing mencapai Rp 514,0 miliar (0,2 persen) dan Rp 55.467,5 miliar (14,8 persen). Perkembangan deposito berjangka menurut komposisinya seperti tercermin pada Tabel ll.19 dan Grafik 111.6. 3.8.2.3 Tabungan Departemen Keuangan Republik Indonesia 245 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Dana tabungan masyarakat yang dihimpun oleh industri perbankan sarnpai akhir Oktober 1998 mencapai Rp 63.154,8 miliar, atau mengalami penurunan Rp 9.018,2 miliar (12,5 persen) dibandingkan dengan posisinya akhir Maret 1998 Rp 72.173,0 miliar. Dalarn periode yang sama tahun sebelumnya dana tabungan turun Rp 6.231 miliar (9,4 persen). Penurunan dana tabungan dalam periode April-Oktober 1998, selain dipengaruhi oleh menurunnya kinerja industri perbankan dan melemahnya kemarnpuan menabung masyarakat golongan ekonomi menengah ke bawah, juga dipengaruhi oleh kecenderungan sebagian masyarakat pemilik dana untuk menyimpan dananya dalam bentuk deposito berjangka karena menawarkan suku bunga yang relatif tinggi dibandingkan dengan suku bunga tabungan. Departemen Keuangan Republik Indonesia 246 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel 111.19 DEPOSITO BERjANGKA SELURUH BAN), 1989/1990 -1998/1999 ( dalam miliar rupiah ) Akhir periode 1 bulan Z) 3 bulan 6 bulan 12 bulan 24 bulan (I) (2) (3) (4) (5) (6) Lamnya 3 (7) Jumlah (8) 1989/1990Maret 9.587,2 6.846,1 6.080,6 11.149,1 2.177,4 510,0 36.350,4 1990/1991Maret 20.278,1 10.393,1 7.041,2 8.985,3 816,4 2.325,5 49.839,6 1991/1992Maret 17.412,9 12.896,9 10.865,7 10.320,3 911,8 4.404,7 56.812,3 1992/1993Maret 18.104,0 14.679,8 14.560,1 13.045,9 500,6 3.325,6 64.216,0 1993/1994Maret 18.520,1 17.320,6 19.198,2 15.669,6 617,1 3.857,8 75.183,4 1994/1995Maret 31.132,3 21.714,0 23.234,1 14.043,9 590,5 6.752,3 97.467,1 1995/1996Maret 40.559,8 27.812,7 29.777,4 20.393,2 1.317,6 8.552,9 128.413,6 1996/1997Juni 42.037,2 28.532,9 32.884,4 23.270,0 1.121,3 11.341,5 139.187,3 September 45.632,0 29.448,3 35.821,0 23.179,1 1.204,9 9.004,3 144.289,6 Desember 50.511,0 32.931,4 40.597,5 25.255,4 1.214,0 12.151,4 162.660,7 Maret 47.441,1 33.250,9 42.189,6 27.710,9 1.334,5 11.730,0 163.657,0 52.478,5 33.366,7 41.942,9 28.383,5 1.370,9 12.512,8 170.055,3 September 87.465,1 40.057,7 34.455,5 23.996,4 1.200,5 18.410,5 205.585,7 Desember 88.986,7 34.637,2 28.664,6 25.376,6 359,5 28.370,7 206.395,3 1997/1998Juni Maret 138.596,3 30.101,2 27.841,1 28.937,3 2.139,6 44.445,0 272.060,5 1998/1999April 164.498,4 23.951,0 24.144,6 26.957,5 2.364,7 46.010,7 287.926,9 Mei 189.301,5 21.921,2 28.360,3 27.990,3 2.371,9 54.749,8 324.695,0 Juni 231.130,1 19.182,0 34.116,6 39.920,6 2.482,2 59.308,5 376.140,0 2.451,1 Juli 229.632,3 15.930,7- 29.296,1 27.217,7 70.936,3 375.464,2 AgustuS 231.519,0 14.035,7 23.821,0 25.709,2 2.394,9 70.768,3 368.248,1 262.865,0 13.040,9 19.882,9 24.131,2 779,3 62.969,1 383.668,4 260.325,5 18.356,9 16.845,2 22.355,5 514,0 55.467,5 373.864,6 \ September ! / Oktober I I) Sejak April 1993 tennasuk bank eks-LKBB. 2) Tennasuk deposito yang sudahjatuh waktu dan deposito on call. 3) Tennasuk deposito beIjangka waktu 9 bulan dan 18 bulan. Departemen Keuangan Republik Indonesia 247 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Departemen Keuangan Republik Indonesia 248 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Berbeda dengan perkembangan dana tabungan, dana masyarakat pedesaan yang dihimpun oleh Bank Rakyat Indonesia dalam bentuk Simpanan Pedesaan (Simpedes) masih menunjukkan adanya peningkatan. Sampai akhir September1998 posisi Simpedes mencapai Rp 7.575,3 miliar, naik Rp 896,7 miliar (13,4 persen) dibandingkan dengan posisinya pada akhir Maret 1998 Rp 6.678,6 miliar. Dalam periode yang sama, jumlah penabung berkembang dari 12.302.857 orang menjadi 13.675.721 orang. Kenaikan dana Simpedes ini relatif lebih besar dibandingkan dengan kenaikan dalam peri ode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai Rp 382,4 miliar (8,5 persen). Perubahan dana tabungan dan Simpedes masing - masing dapat dilihat dalam Tabel 111.20 dan Tabel 21. 3.8.3 Pemanfaatan Dana 3.8.3.1 Kebijaksanaan dan Perkembangan Kredit Perbankan Seiring dengan perkembangan perekonomian nasional yang mengalami krisis sejak pertengahan tahun 1997 lalu, yang ditandai oleh gejolak nilai tukar yang berkepanjangan, telah menimbulkan masalah likuiditas dan meningkatnya biaya dana sebagai akibat Dari naiknya tingkat bunga pada seluruh industri perbankan. Hal ini terjadi selain disebabkan oleh kebijaksanaan uang ketat yang dilaksanakan oleh pemerintah dalam rangka menahan gejolak nilai tukar dan laju inflasi, juga dikarenakan belum pulihnya kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan. Dampak berantai dari gejolak nilai tukar terhadap industri perbankan, pada akhimya telah mempengaruhi perkembangan dan kebijaksanaan perkreditan secara keseluruhan. Hal ini antara lain tercerrnin pada munculnya berbagai hambatan dalam kegiatan penyaluran kredit, sehingga mengakibatkan terganggunya kelangsungan kegiatan investasi dan produksi sektor ekonomi lainnya, terutama sektor riil. Untuk mengatasi masalah tersebut pemerintah telah melakukan berbagai penyempumaan dalarn biuang perkreditan, sesuai dengan langkah-Iangkah reformasi ekonomi yang dilakukan untuk memulihkan perekonomian dari krisis dan membenahi struktur perekonomian nasional yang berbasis pada ekonomi kerakyatan. Dalam kaitan itu, kebijaksanaan dan orientasi penyaluran kredit perbankan perlu diarahkan secara lebih produktif, merata, dan mampu memberikan efek ganda bagi peningkatan pendapatan masyarakat dan kapasitas produksi nasional. Salah satu sektor yang perlu mendapat perhatian utama dalam sistem perkreditan adalah usaha kecil dan menengah (UKM) yang relatif lebih mampu bertahan dalam krisis moneter, terutama yang Departemen Keuangan Republik Indonesia 249 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 berbasis pada sektor pertanian yang sekarang menjadi altematif utama untuk meningkatkan kinerja perekonomian nasional. Dengan lebih banyaknya kredit yang disalurkan kepada usaha kecil dan menengah diharapkan akan dapat menggerakkan sektor perekonomian baik di desa maupun di kota, sehingga meningkatkan produksi barang dan jasa dan dapat menekan laju inflasi. Untuk itu pemerintah pada bulan Oktober 1998 telah mengeluarkan 13 skim kredit murah yang disalurkan kepada para pengusaha kecil dan menengah, dengan dukungan Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) dengan tingkat bunga antara 6 persen sampai dengan 16 persen per tahun. Dari tiga belas skim kredit ini, empat diantaranya adalah skim kredit baru yaitu Kredit Pengusaha Kecil dan Mikro (KPKM), Kredit Penerapan Teknologi Tepat Guna Pengentasan Kemiskinan (KPTIG- Taskin), Kredit Modal Kerja Usaha Kecil Menengah (KMKUKM), dan Kredit Penerapan Teknologi Produk Unggulan Daerah (KPTPOD). Sedangkan 9 kredit lainnya merupakan skim kredit lama, yaitu Kredit Usaha Tani (KUT), Kredit Pemilikan Rumah Sederhana/Rumah Sangat Sederhana (KPRS/RSS), Kredit Kepada Koperasi (KKop), Kredit Kepada Koperasi Primer untuk Anggotanya (KKP A), Kredit Koperasi Primer untuk Anggotanya pada sektor Tebu Rakyat (KKPA-TR), KKPA-PIR Trans Kawasan Indonesia Bagian Timur, KKPA Tenaga Kerja Indonesia, KKPA Bagi Hasil, dan Kredit Modal Kerja Bank Perkreditan Rakyat (KMK-BPR). Dengan diluncurkannya paket-paket kredit murah ini diharapkan dapat menggerakkan usaha kecil dan menengah. Penambahan empat skim kredit baru tersebut seeara umum bertujuan untuk lebih memberdayakan kelompok usaha kecil dan menengah. KPKM diberikan kepada para pengusaha kecil dan mikro termasuk danalarnnya adalah pedagang kecil yang bertujuan untuk meningkatkan kegiatan usaha kecil dan mikro di semua sektor. KMK-UKM merupakan kredit modal kerja yang diberikan dalam rangka pengembangan modal kerja pengusaha kecil, menengah dan koperasi. Seuangkan kredit KPTIG- Taskin diluncurkan dalam rangka mendukung program pengentasan kemiskinan, yang bertujuan meningkatkan kegiatan usaha perekonomian produktif keluargakeluarga yang tergabung dalam kelompok Pengentasan Kemiskinan (Taskin), melalui pemanfaatan teknologi tepat guna untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga. Adapun dalam rangka mendorong pengembangan modal pengusaha kecil, menengah dan koperasi guna meningkatkan produk unggulan di daerah dengan pemanfaatan teknologi tertentu, dalam hal ini telah diberikan Kredit Penerapan Teknologi Produk Unggulan Daerah. Departemen Keuangan Republik Indonesia 250 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel 111.20 DANA PERBANKAN MENURUT JENISNY AI), 1989/1990 - 1998/1999 ( dalam miliar rupiah) Akhir periode Gi ro Deposito 2) Tabungan Jumlah (1) (2) (3) (4) (5) 1989/1990 Maret 15.978,1 36.350,4 6.863,6 59.192,1 1990/1991 Maret 17.949,0 49.839,6 9.722,2 77.510,8 1991/1992 Maret 21.428,1 56.812,3 17.471,0 95.711,4 1992/1993 Maret 25.076,8 64.216,0 28.343,2 117.636,0 1993/1994 Maret 31.802,0 75.183,4 37.613,4 144.598,8 1994/1995 Maret 35.434,1 97.467,1 40.921,8 173.823,0 1995/1996 Maret 44.143,9 128.413,6 51.170,3 223.727,8 1996/1997 Juni 49.012,4 139.187,3 53.499,0 241.698,7 September 52.073,6 144.289,6 55.837,6 252.200,8 'Desember 57.491,7 162.660,7 61.565,5 281.717,9 57.003,6 163.657,0 66.320,5 286.981,1 1997/1998 Juni 62.369,5 170.055,3 70.613,9 303.038,7 September 65.395,1 205.585,7 56.751,3 327.732,1 Desember 83.228,4 206.395,3 67.989,4 357.613,1 108.703,4 272.060,5 72.173,0 452.936,9 97.055,4 287.926,9 66.026,3 451.008,6 Mei 106.316,7 324.695,0 62.858,9 493.870,6 Juni 129.725,2 376.140,0 67.936,2 573.801,4 Juli 118.214,9 375.464,2 69.223,3 562.902,4 Agustus 109.887,6 368.248,1 65.593,5 543.729,2 September 107.894,9 383.668,4 62.793,0 554.356,3 90.531,4 373.864,6 63.154,8 527.550,8 Maret Maret 1998/1999 April Oktober 1) Sejak Apri11993 tennasuk bank eks-LKBB. 2) Tennasuk sertifikat deposito. Departemen Keuangan Republik Indonesia 251 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel 111.21 SIMPANAN PEDESAAN, 1989/1990 -1998/1999 Akhir periode (1) Penyimpan (2) Posisi simpanan ( dalam miliar rupiah ) . (3) 1989/1990Maret 2.866.050 747,4 1990/1991Maret 3.708.325 908,4 1991/1992Maret 4.506.478 1.270,2 1992/1993Maret 5.616.866 1.935,9 1993/1994Maret 6.665.021 2.695,7 1994/1995Maret 8.094.576 3.288,6 1995/1996Maret 9.195.588 3.823,6 1996/1997Juni 9.514.359 3.997,1 September 9.822.016 4.073,6 Desember 10.099.600 4.406,9 Maret 10.401.634 4.511,9 10.822.001 4.887,7 September 11.314.392 4.894,3 Desember 11.669.502 5.338,1 Maret 12.302.857 6.678,6 1998/1999April 12.498.962 6.809,7 Mei 12.687.625 6.816,3 Juni 12.913.535 7.201,1 Juli 13.224.782 7.556,1 Agustus 13.447.283 7.621,5 September 13.675.721 7.575,3 1997/1998Juni Departemen Keuangan Republik Indonesia 252 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Dalam perkembangannya, posisi kredit perbankan selama tahun anggaran 1998/1999 (sampai dengan Oktober 1998) menunjukkan pertumbuhan yang cenderung menurun. Hal ini selain disebabkan karena tingginya suku bunga simpanan (cost of fund) sehingga mendorong naiknya tingkat bunga kredit, juga karena lesunya kegiatan perekonomian akibat dampak krisis moneter sehingga seeara keseluruhan menghambat kegifltan penyaluran dana perbankan dalam bentuk kredit. Sampai akhir Oktober 1998, posisi kredit perbankan dalam rupiah dan valas meneapai Rp 471.368 miliar, atau menurun Rp 5.473 miliar (1,1 persen) apabila dibandingkan dengan posisi bulan Maret 1998 Rp476.841 miliar. Penurunan ini berkaitan dengan menguatnya kurs rupiah yang telah memberi pengarnh pada menurunnya nilai rupiah kredit valuta asing. Dari jumlah kredit sebesar Rp 471.368 miliar tersebut, bank-bank Persero menyalurkan Rp 208.434 miliar (44,2 persen) bank-bank swasta nasional sebesar Rp 196.134 miliar (41,6 persen), dan bank-bank asing dan campuran menyalurkan Rp 66.800 miliar (14,2 persen). 3.8.3.2 Kredit Perbankan Menurut Sektor Ekonomi Dilihat dari sektor ekonomi, pertumbuhan kredit pada umumnya mengalami perlambatan yang cukup tajam, keeuali untuk sektor pertanian dan perindustrian. Hingga akhir Oktober 1998, kredit yang disalurkan untuk sektor perindustrian meneapai Rp 167.801 miliar atau 35,6 persen Dari total kredit perbankan. Alokasi kredit untuk sektor sektor jasa-jasa Rp 130.838 miliar (27,8 persen), sektor perdagangan Rp 95.451 miliar (20,2 persen), dan sektor pertanian, sektor pertambangan, dan sektor lain-lain masing-masing mencapai Rp 36.110 miliar (7,7 persen), Rp 5.759 miliar (1,2 persen), dan Rp 35.409 miliar (7,5 persen). Selarna periode April-Oktober 1998, kredit untuk sektor perindustrian dan pertanian masing-masing meningkat Rp 9.819 miliar (6,2 persen) dan Rp 4.245 miliar (13,3 persen), atau lebih kecil dibandingkan dengan kenaikan pada periode yang sama tahun sebelumnya, masing-masing sebesar 24,8 persen dan 15,2 persen. Sedangkan, sektor pertambangan menurunRp 1.205 miliar (I,7 persen) seuangkan tahun sebelumnya naik 41,4 persen. Sementara itu kredit untuk sektor jasa-jasa menurun Rp 2.544 miliar (1,9 persen), sektor perdagangan menurun Rp 12.156 miliar (11,3 persen), sedangkan sektor lain -lain menurun Rp 3.632 miliar (9,3 persen). Perkembangan kredit perbankan menurut sektor ekonomi dapat dilihat dalarn Tabel 111.22 dan Grafik 111.7. 3.8.3.3 Kredit Investasi Departemen Keuangan Republik Indonesia 253 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Sampai akhir Oktober 1998, kredit investasi yang disalurkan mencapai Rp 131.914 miliar, yang berarti menurun Rp 857 miliar (0,7 persen) hila dibandingkan dengan posisi kredit bulan Maret 1998 Rp 132.771 miliar. Sektor perindustrian adalah sektor yang paling besar menyerap kredit investasi, yaitu Rp 49.260 miliar (37,3 persen), sedangkan sektor jasa-jasa dan sektor perdagangan masing-masing menyerap Rp41.124 miliar (31,2 persen) dan Rp 23.154 miliar (17,6 persen). Sementara itu, sektor pertanian dan pertarnbangan masing - masing menyerap Rp 16.611 miliar (12,6 persen) dan Rp 1.765 miliar (1,3 persen). Apabila dibandingkan dengan posisi Maret 1998, kenaikan kredit investasi terjadi pada sektor perindustrian sebesar Rp 693 miliar (1,4 persen), sektor jasa-jasa Rp 667 miliar (1,6 persen), dan sektor pertanian Rp 169 miliar (1,0 persen). Sedangkan alokasi kredit investasi untuk sektor perdagangan dan sektor pertarnbangan menurun masing-masing Rp 2.225 miliar (8,8 persen) dan Rp 161 miliar (8,4 persen). Perkembangan kredit investasi dapat dilihat dalam Tabel 111.23. 3.8.3.4 Kredit Untuk Golongan Ekonomi Lemah Kebijaksanaan pokok yang ditempuh dalam pembiayaan usaha kecil tetap bertumpu pada kebijaksanaan yang dilaksanakan tahun sebelumnya, yaitu tetap mewajibkan semua bank umum termasuk bank asing dan carnpuran untuk memberikan sebagian kreditnya dalam bentuk kredit usaha kecil (KUK) dan pemberian bantuan kredit program yang danukung kredit likuiditas Bank Indonesia (KLBI). Selanjutnya dalarn rangka pemberdayaan ekonomi rakyat dan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas penyaluran kredit kepada usaha kecil, kebijaksanaan yang terkait dengan usaha kecil senantiasa terus disempurnakan, antara lain dengan mengembangkan jenis/skim kredit kecil baru yang tepat dan mudah diakses oleh para pengusaha kecil, memperbesar plafon KUK yang digunakan untuk investasi dan modal kerja, dan meredifinisi kriteria usaha kecil sesuai dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995. Hingga akhir September 1998, kredit dalarn bentuk KUK telah mencapai Rp 45.467 miliar. Dilihat menurut besaran plafon kredit, nasabah dengan plafon kredit sampai dengan Rp 25 juta merupakan penyerap terbesar dari keseluruhan KUK yaitu 62,2 persen dengan nilai Rp 28.285 Departemen Keuangan Republik Indonesia 254 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel 111.22 KREDIT PERBANKAN MENURUT SEKTOR EKONOMI 1), 1989/1990 - 1998/1999 ( dalam miliar rupiah) 1989/1990 1990/1991 1991/1992 19921993 1993/1994 1994/1995 1995/1996 1996/1997 1997/1998 1998/1999 Sektor Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Okt. (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) 61.751 69.066 73.443 81.333 95.619 110.900 202.569 208.434 (1) Bank-bank pemerintah 2) 42.589 Pertanian 54.699 4017 6.450 7.744 8.559 9.989 11.026 11.657 15.445 14.965 451 580 568 498 214 534 612 1.257 3.062 2.070 Perindustrian 16.198 21.544 22.420 27.615 28.452 30.059 32.846 34.807 68.699 80.999 Perdagangan 11.759 14.086 15.319 15.759 15.798 16.385 19.900 22.934 49.571 41.951 Jasa-jasa 5.287 7.110 8.402 11.249 10.987 14.489 19.181 25.251 46.952 50.614 Lain-lain 3.576 4.929 7.298 5.386 8.003 8.840 11.423 14.270 18.840 17.835 24.498 38.153 44.928 45.406 68.350 94.891 121.602 166.442 199.257 196.134 639 1.074 1.022 1.389 2.106 2.890 3.793 6.050 14.213 19.577 Pertambangan Bank-bank swasta nasional3) Pertanian Pertambangan 31 52 67 101 194 234 362 1.028 2.481 2.378 Perindustrian 4.385 6.706 8.473 10.325 15.696 20.954 24.930 30.212 42.349 44.876 Perdagangan 10.388 14.098 14.795 14.871 20.281 25.754 32.715 45.553 46.585 42.591 Jasa-jasa 5.254 8.673 12.336 13.874 24.087 34.612 45.916 66.150 75.403 70.921 Lain-lain 3.801 7.550 8.235 4.846 5.986 10.447 13.886 17.449 18.226 15.791 3.786 6.837 9.060 9.695 15.377 19.925 25.202 28.783 75.015 66.800 Pertania 25 105 133 179 341 375 379 414 2.207 1.568 Pertambangan 37 13 95 125 247 186 250 453 1.421 1.311 1.866 3.063 4.518 5.533 9.335 11.954 15.247 16.215 46.934 41.926 1.406 1.793 1.904 2.484 3.225 3.617 4.975 11.451 10.909 Cabang-cabang bank asing dan campuran Perindustrian Perdagangan 667 Jasa-jasa 661 1.331 1.009 751 2.117 3.227 4.357 5.102 11.027 9.303 Lain-lain 530 919 1.512 1.203 853 908 1.352 1.624 1.975 1.783 70.873 99.689 115.739 124.167 157.170 196.149 242.423 306.125 476.841 471.368 5.982 7.629 8.899 10.127 12.436 14.291 15.829 18.845 31.865 36.110 519 645 730 724 655 954 1.224 2.738 6.964 5.759 Perindustrian 22.449 31.313 35.411 43.473 53.483 62.967 73.023 81.234 157.982 167.801 Perdagangan 22.814 29.590 31.907 32.534 38.563 45.364 56.232 73.462 107.607 95.451 Jasa-jasa 11.202 17.114 21.747 25.874 37.191 52.378 69.454 96.503 133.382 130.838 Lain-lain 7.907 13.398 17.045 11.435 14.842 20.195 26.661 33.343 39.041 35.409 Jumlah kredit perbankan 4) Pertanian Pertambangan I) Sejak April 1993 termasuk Bank umum eks-LKBB 2) Tidak termasuk Bank Indonesia 3) Termasuk Bank Pembangunan Daerah 4) Kredit dalam rupiah dan valuta asing, termasuk kredit investasi, KIK, dan KMKP Departemen Keuangan Republik Indonesia 255 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Departemen Keuangan Republik Indonesia 256 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel 111.23 KREDIT INVESTASI PERBANKAN MENURUT SEKTOR EKONOMI 1),1989/1990 - 1998/1999 ( dalam miliar rupiah) 1989/19 199011 1991/1 1992/1 1993/1 1994/1 1995/1 1996/19 1997/1 1998/1 90 Sektor 991 992 993 994 995 996 97 998 -Maret Maret (1) (2) (3) Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Okt. (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) Yang disetujui perbankan 19.454 27.899 36.243 44.174 61.714 73.155 85.725 100.933 Pertanian 999 5.398 (11) 187.03 183.78 2 3 7.057 11.206 11.508 13.595 14.193 14.768 16.171 21.027 21.264 . Perindustrian Pertambangan 8.372 10.987 13.260 17.695 23.231 27.472 29.033 29.544 60.412 60.434 443 484 515 507 524 597 666 988 3.615 3.154 Perdagangan 1.301 2.151 3.234 4.990 9.397 7.375 9.697 13.949 27.543 24.650 Jasa-jasa 3.734 6.017 6.795 8.117 14.967 23.518 31.561 40.281 74.543 74.281 Lain-lain 206 1.203 1.233 1.357 Posisl pinjaman 0 0 0 0 15.673 22.288 27.390 36.683 42.952 50.761 62.012 74.543 0 132.77 131.91 1 4 Pertanian 3.629 4.726 5.864 .Perindustr/an 6.639 9.208 11.784 16.489 18.097 20.447 3.949 25.485 48.567 49,260 fertambangan 321 Perdagangan 1.1l7 2.193 2.911 4.185 6.951 6.535 8.798 12.787 25.379 23.154 Jasa-jasa 3.767 5.267 5.412 7.216 8.822 13.379 18.125 23.691 40.457 41.124 Lain-lain 200 391 503 443' .976 ll69 8.893 10.21p 1O.8W1.04 0 436 1.188 189 0 215 271 0 0 '6.442'16.611.' 540 1.926 0 0 , 1) Sejak Apri11993 termasuk Bank Urn urn eks _KBB. daft tidak termasuk Bank Indonesia Departemen Keuangan Republik Indonesia 257 1.765 0 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 miliar. Nasabah dengan plafon di atas Rp 25 juta sampai dengan Rp 50 juta menyerap Rp 4.804 miliar (10,6 persen), plafon di atas Rp 50 juta sampai dengan Rp 100 juta menyerap Rp 3.540 miliar (7,8 persen). Sedangkan nasabah dengan plafon di atas Rp 100 juta sampai dengan Rp 350 juta menyerap Rp 7.884 miliar (17,3 persen), di atas Rp 350 juta sampai dengan Rp 700 juta menyerap Rp 931 miliar (2,0 persen), di atas Rp 700 juta sampai dengan Rp 1 rniliar menyerap Rp 3 miliar dengan 4 rekening, dan di atas Rp 1 miliar sampai dengan Rp 2 rniliar menyerap Rp 20 miliar dengan 12 rekening. Berdasarkan alokasi menurut sektor ekonomi, sekitar 45,2 persen dari jumlah KUK telah dimanfaatkan oleh sektor lain-lain dengan nilai Rp 20.530rniliar, sedangkan sektor perdagangan, restoran dan hotel mencapai Rp 10.928 miliar (24,0 persen), sektor jasa-jasa termasuk listrik, gas dan air, konstruksi, pengangkutan dan jasa mencapai Rp 5. 728 miliar (12,6 persen), sektor pertanian Rp 6.386 rniliar (14,0 persen), dan sektor perindustrian Rp 1.848 rniliar (4,1 persen), serta sektor pertambangan Rp 47 miliar (0,1 persen). Penyaluran KUK menurut kelompok bank, terdiri dari 58,5 persen KUK disalurkan oleh bank-bank Persero, 29,4 persen disalurkan oleh bank swasta nasional devisa, 7,8 persen disalurkan oleh bank pembangunan daerah, dan 4,0 persen disalurkan oleh bank swasta nasional non devisa, serta 0,3 persen disalurkan oleh bank asing campuran. Sementara itu bila dilihat menurut daerah penyebarannya, KUK yang diberikan pada nasabah di daerah perkotaan, yang meliputi kodya dan kotif, termasuk ibukota negara, mencapai Rp 20.804 miliar (45,8 persen) dengan jumlah rekening sebanyak 3.060.486 buah (37,1 persen). Sedangkan KUK yang diberikan kepada nasabah yang tinggal di daerah pedesaan yang meliputi kabupaten-kabupaten, mencapai Rp 24.663 miliar (54,2 persen) dengan jumlah rekening 5.179.737 (62,9 persen). Secara umum, KUK yang disalurkan oleh bank umum terdiri Dari KUK program dan non program. KUK program yang mendapat dukungan Kredit hikuiditas Bank Indonesia (KLBI) dengan share pembiayaan 100 persen, antara lain Kredit Usaha Tani (KUT) , Kredit kepada Koperasi Unit Desa (KKUD )/Kredit Kepada Koperasi (KKop), dan Kredit kepada Koperasi Primer untuk Anggotanya (KKPA). KUT yang disalurkan dengan suku bunga 10,5 persen per tahun dan dengan jangka waktu 1 tahun, bertujuan untuk memenuhi kebutuhan modal kerja petani yang belum mampu membiayai usaha taninya, agar dapat meningkatkan produksi dan pendapatannya. Sampai akhir bulan September 1998 realisasi KUT telah mencapai Rp 429,2 miliar atau naik Rp 29,0 miliar (7,2 persen) apabila dibandingkan dengan realisasi bulan Maret Departemen Keuangan Republik Indonesia 258 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 1998 yang mencapai Rp 400,2 miliar. KKop bertujuan untuk memenuhi kebutuhan modal kerja dan investasi bagi koperasi primer dalam rangka pembiayaan usaha agrobisnis, terutama untuk pengadaan dan distribusi pangan, serta pembiayaan pasca panen, dengan maksimum ktedit Rp 350 juta per komoditas koperasi dengan suku bunga 16 persen per tahun. Posisi KKUD/KKop pada akhir September 1998 telah mencapai Rp 109,1 rniliar, akan mengalarni penurunan Ep 19,7 rniliar (15,3 persen) apabila dibandingkan dengan posisi bulan Maret 1998 sebesar Rp 128,8 miliar. Sedangkan untuk memenuhi modal kerja dan investasi bagi usaha anggota koperasi primer yang produktif (termasuk tebu rakyat intensifikasi), telah disalurkan KKPA dengan suku bunga 14 persen per tahun dan plafon kredit maksimum Rp 50 juta. Sampai akhir September 1998 posisi KKPA meneapai Rp 1.717,6 miliar, sehingga bila dibandingkan dengan posisi Maret 1998 Rp 1.725,2 miliar, kredit ini mengalami penurunan Rp 7,6 miliar (0,4 persen). Sedangkan untuk kredit kepada koperasi lainnya turun dari Rp 23,4 miliar per Maret 1998 menjadi Rp 20,9 miliar pada akhir September 1998. Secara keseluruhan kredit kepada koperasi sampai akhir September 1998 posisinya telah meneapai Rp 2.276,8 miliar. Apabila dibandingkan dengan posisi bulan Maret 1998 Rp 2.277,6 miliar, maka telah terjadi penurunan Rp 0,8 miliar. Sementara itu Kredit Investasi Kecil Pasca Konversi PIRTrans, mengalami kenaikan Rp 145,9 miliar (19,2 persen), yakni Dari Rp 761,8 miliar pada Maret 1998 menjadi Rp 907,7 miliar pada September 1998. Sementara itu, untuk memenuhi kebutuhan pengadaan rumah dan pemukiman yang layak bagi masyarakat berpenghasilan rendah, Bank Indonesia tetap memberikan kredit likuiditas, yang pengelolaannya dilakukan oleh Bank Tabungan Negara dengan fasilitas kredit pemilikan rumah BTN (KPR-BTN). Sebagai KUK program, jumlah plafon KPR disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat di masing - masing wilayah, dengan tingkat bunga dan penetapan maksimum kredit untuk masing-masing jenis dan tipe rumah relatif berbeda. Untuk KPR Paket A-I, yaitu terdiri dari kredit perumahan kapling siap bangun (KPKSB/Lahan Griya) dan kredit perumahan rumah sangat sederhana (KP-RSS) suku bunganya 8,5 persen per tahun, dan paket A-2/Griya Inti yang terdiri rumah sederhana tipe 18 (RS-T.18) sampai dengan RS-T.21 dengan suku bunga 11 persen per tahun dan RS- T.27 sampai dengan RS- T.36, suku bunganya 14 persen per tahun. Sedangkan suku bunga KPR Paket B/Griya Madya (T.27 sampai dengan T.70) dan Paket C, suku bunganya pertahun 25 persen. Sampai dengan bulan September 1998 nilai KPR yang disalurkan oleh BTN secara kumulatif telah Departemen Keuangan Republik Indonesia 259 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 mencapai Rp 10.805,4 miliar dengan rumah yang dibangun mencapai 1.570.146 unit. Dari nilai kredit Rp 10.805,4 miliar tersebut, sebesar Rp 1.357,5 miliar digunakan untuk membiayai pemilikan 324.499 unit rumah yang dibangun oleh Perum Perumnas, yang terdiri dari 320.705 unit rumah paket A dan paket B dengan nilai kredit Rp 1.267,6 miliar, dan 3.794 unit rumah paket C dan rumah toko (Ruko) sederhana dengan nilai lqedit sebesar Rp 89,9 miliar. Sedangkan KPR sebesar Rp 9.447,9 miliar lainnya digunakan untuk membiayai pemilikan 1.245.647 unit rumah yang dibangun oleh pembangun swasta (non perumnas) termasuk kerjasama dengan bank lain, yang terdiri dari 1.170.121 unit rumah paket A dan B dengan nilai kredit Rp 7.696,3 miliar, dan 68.473 unit rumah paket C dengan nilai kredit Rp 1.718,0 miliar, dan 4.683 unit rumah toko (ruko) sederhana dengan nilai kredit Rp 23,2 miliar. Sementara itu, jumlah rumah yang dibiayai melalui kerjasama BTN dengan bank lain mencapai 2.370 unit dengan nilai kredit Rp 10,4 miliar. Sampai akhir September 1998, posisi KPR yang disalurkan oleh BTN mencapai Rp 6.516,9 miliar, atau naik Rp 235,8 (3,8 persen) dibandingkan dengan posisinya pada Maret 1998 sebesar Rp 6.281,1 miliar. Sedangkan posisi KPR yang mencakup pembiayaan pemilikan rumah sampai dengan tipe 70, yang disalurkan oleh bank-bank umum lainnya pada akhir September 1998 mencapai Rp 3.838,7 miliar, atau turun Rp 1.316,2 miliar (25,5 persen) dibandingkan dengan posisi Maret 1998. Dengan demikian posisi KPR secara keseluruhan mengalarni penurunan Rp 1.080,4 miliar (9,4 persen), yakni Dari Rp 11.436,0 miliar pada bulan Maret 1998 menjadi Rp 10.355,6 miliar pada bulan September 1998. Untuk mengembangkan usaha-usaha kecil di pedesaan, baik untuk membiayai keperluan investasi maupun modal kerja, program kredit umum pedesaan (Kupedes) yang dikelola oleh Bank Rakyat Indonesia (BRI) masih terus berjalan. Sebagai KUK non program, suku bunga Kupedes yang digunakan baik untuk investasi maupun modal kerja masing-masing 2,2 persen per bulan, dengan jangka waktu kredit maksimum untuk investasi 36 bulan dan untuk eksploitasil modal kerja maksimum 24 bulan. Sampai akhir September 1998 posisi Kupedes telah mencapai Rp 4.607,5 miliar dengan jumlah nasabah 2.552.350 orang, masing-masing dipergunakan untuk kegiatan investasi Rp 1.457,2 miliar (31,6 persen) dan kegiatan eksploitasi Rp 3.150,3 miliar (68,4 persen). Dilihat menurut sektor ekonomi, dari Kupedes sebesar Rp 4.607,5 miliar, sebagian besar telah dimanfaatkan untuk sektor perdagangan, yaitu Rp 2.067,0 miliar (44,9 persen), sektor yang mempunyai penghasilan tetap sebesar Rp 1.345,3 miliar (29,2 persen), sektor pertanian sebesar Rp 889,0 miliar (19,3 persen), sektor industri Rp 94,7 miliar Departemen Keuangan Republik Indonesia 260 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 (2,0 persen dan sektor lain-lain sebesar Rp 211,5 miliar (4,5 persen). Apabila dibandingkan dengan posisi Kupedes bulan Maret 1998 sebesar Rp 4.624,2 miliar, maka selama AprilSeptember 1998 telah terjadi penurunan kredit Rp 16,7 miliar (0,4 persen). Secara kumulatif sampai dengan akhir bulan September 1998 nilai Kupedes telah mencapai Rp 29.435,3 miliar dengan nasabah 20.385,0 ribu orang. Selain Kupedes, juga terdapat KUK non program yang disalurkan oleh bank-bank umum, yang posisinya per September 1998 mencapai Rp 27.319,4 miliar, atau turun Rp 19.471 miliar (41,6 persen) dibandingkan dengan posisi pada akhir tahun 1997/1998 sebesar Rp 46.790,4 miliar. Perkembangan kredit usaha kecil secara keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 111.24. Sementara itu, untuk meningkatkan usaha koperasi, Perum Pengembangan Keuangan Koperasi (Perum PKK) mempunyai peranan memberikan jaminan kepada koperasi untuk kredit yang diberikan oleh bank dan atau jaminan atas kredit barang oleh badan lain. Selain itu, dalam upaya memenuhi sebagian pembiayaan pengembangan usaha koperasi, perum PKK juga memberikan pinjaman kepada koperasi, serta memberikan bantuan manajemen dan konsultasi. Kegiatan usaha koperasi yang telah dilayani oleh perum PKK meliputi antara lain sektor pertanian (KUT padi palawija, pupuk, alat-alatpertanian), perikanan (tambak, darat,cold storage, perkapalan), peternakan (sapi perah, sapi potong, unggas), perkebunan (kemenyan, panili, tebu, coklat, KUT - TRI), kerajinan/ industri (bahan bangunan, tas/kulit, air bersih), serta jasa, konsumsi distribusi (angkutan daratl laut, simpan pinjam, dan lain-lain). Sampai dengan bulan November 1998, realisasi kredit yang diberikan kepada koperasi berjumlah Rp 330 miliar dan jumlah jaminan kredit yang diberikan oleh rerum PKK mencapai Rp 258 miliar. 3.9 Lembaga Keuangan di Luar Perbankan 3.9.1 Asuransi Upaya pemerintah untuk menumbuhkembangkan industri jasa asuransi senantiasa diupayakan untuk dapat menghadapi globalisasi ekonomi dunia dan sebagai antisiposi terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk maksud tersebut, Pemerintah telah memberlakukan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian disertai berbagai peraturan Departemen Keuangan Republik Indonesia 261 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel 111.24 PERKEMBANGAN KREDIT USAHA KECIL (KUK) , 1989/1990 - 1998/1999 ( dalam miliar rupiah ) K U K Program Periode K U K Non-Program Kredit Kepada Koperasi KUT Kkopl) KKPA Lainnya Jumlah KPR2) KIK Posa Sub. Konversl Jumlah Non. KUPEDES II{UPEDE Sub. Jumlah S PIR.Traru (1) (2) (3) (4) 292,4 66,4 105,1 26,3 2.296,0 - 2.786,2 9.894,0 1.381,8 11.275,8 14.062,0 164,8 78,1 262,8 31,9 2.349,0 . 2.886,6 16.880,2 1.430,2 18.310,4 21.197,0 161,0 lll,2 290,9 44,3 2.521,0 - 3.128,4 18.197,1 1.536,5 19.733,6 22.862,0 1992/1993 Maret 166,8 112,5 310,9 156,9 2.564,0 - 3.311,1 17.525,6 1.726,3 19.251,9 22.563,0 1993/1994 Maret 158,5 97,5 351,9 156,7 4.175,2 - 3.557,6 21.348,3 2.075,9 23.424,2 28.364,0 1994/1995 Maret 161,5 98,8 457,7 126,9 6.029,1 155,4 7.029,4 25.727,8 2.582,8 28.3.0,6 35.340,0 1995/1996 Maret 279,9 130,7 567,3 82,9 7.848,3 316,3 9.225,4 29.543,5 3.374,1 32.917,6 42.143,0 1996/1997 Juni 280,1 144,0 637,9 82,9 8.237,1 351,8 9.733,8 30.887,0 3.619,2 34.506,2 44.240,0 September 245,8 110.0 873,5 133,7 8.371,2 381,7 10.115,9 32.443,8 4.346,3 36.790,1 46.906,0 Desember 312,4 98,7 1.052,1 133,1 9.431,1 450,0 11.477,4 33.836,4 3.977,2 37.813,6 49.291,0 Maret 346,3 142,9 1.184,3 45,9 9.846,3 501,0 12.066,7 33.505,9 4.140,4 37.646,3 49.713,0 1997/1998 Juni 348,7 156,3 1.399,2 44,4 10.693,0 580,6 13.222,2 46.634,8 4.312,0 61.639,8 64.169,0 September 327,6 120,7 1.763,7 44,0 11.237,0 655,9 14.149,3 48.603,2 4.447,5 64.287,7 67.200,0 Desember 322,2 123,5 1.753,9 44,4 11.464,0 698,5 14.406,5 48.161,4 4.695,1 52.856,5 67.263,0 Maret 400,2 128,8 1.725,2 23,4 11.436,0 761.8 14.475,4 46.790,4 4.624,2 51.414,6 65.890,0 1998/1999 April 395,2 115,9 1.778,1 23,4 10.582,7 775,9 13.671,2 31.039,8 4.558,0 35.597,8 49.269,0 Mei 391,4 143,3 1.766,8 23,4 10.851,6 804,8 13.981,3 31.587,1 4.556,6 36.143,7 50.125,0 Juni 398,9 139,0 1.666,0 23,4 10.539,2 833,2 13.599,7 28.025,1 4.606,2 32.631,3 46.231.0 Juli 290,3 116,8 1.658,7 20,9 10.357,3 835,1 13.279,1 27.910,9 4.550,0 32.460,9 45.740,0 Agustus 332,0 110,8 1.728,4 20,9 10.365,3 908.4 13.465,8 27.758,2 4.601,0 32.359,2 45.825,5 September 429,2 109,1 1.717,6 20,9 10.355,6 907,7 13.540,1 27.319,4 4.607,5 31.926,9 45.467,0 1989/1990 Desember 1990/1991 Desember 1991/1992 Desember (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) 1) Sejak Juni 1998 Skim Kredit Koperasi Unit Desa (KKUD) berubah menjadi Kredit Kepada Koperasi (KKop) 2) Sejak Maret 1994 termasuk KPR yang disalurkan bank-bank umum (pembiayaan KPR sampai dengan type 70) Departemen Keuangan Republik Indonesia 262 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 pelaksanaannya sebagai landasan hukum bagi perusahaan yang melakukan aktivitas di bidang usaha jasa asuransi. Reformasi kebijaksanaan khususnya di bidang usaha asuransi tersebut diharapkan dapat menjawab berbagai kemajuan pesat yang terjadi baik di dalam maupun di luar negeri dan diharapkan pula dapat mendorong industri asuransi nasional untuk berkembang. Pertumbuhan ekonomi Indonesia beberapa tahun terakhir telah memacu tumbuhnya berbagai sektor riil yang selanjutnya berdampak terhadap perkembangan industri jasa asuransi yang tumbuh rata-rata sekitar 20 persen per tahun. Namun, kondisi ini telah berubah sejak perekonomian nasional mengalami penurunan pada semester kedua tahun 1997. Kondisi tersebut beprngaruh besar terhadap pelaksanaan proyek-proyek pemerintah maupun swasta yang terpaksa dibatalkan ataupun yang dijadwal ulang sehingga permintaan terhadap penutupan jasa asuransi khususnya asuransi kerugian yang terkait dengan proyek-proyek tersebut mengalami penurunan, dengan akibat sasaran produksi premi perusahaan asuransi yang ditargetkan untuk tahun 1997 tidak tercapai. Dalam situasi perekonomian yang sulit dewasa ini, diperlukan inovasi dan kreativitas manajemen dalam menjawab kondisi aktual dengan menawarkan berbagai jenis produk asuransi untuk menarik minat masyarakat terhadap jasa asuransi. Dalam hal ini, perusahaan asuransi, dalam setiap pembayaran santunan (claims)tentunya akan berpegang pada polis yang dipegang nasabah. Kasus kerusuhan bulan Mei 1998 memberikan pelajaran bagi manajemen asuransi, khususnya perusahaan asuransi kerugian untuk mempertimbangkan sikap pro-konsumen dalam melayani pembayaran santunan. Di samping itu, sebagai syarat utama agar industri asuransi nasional dapat bersaing dengan masuknya perusahaan asuransi asing, faktor sumberdaya manusia (SDM) sangat menentukan sehingga langkah-langkah seperti antara lain peningkatan kualitas SDM terutama tenaga-tenaga pialang asuransi dan reasuransi, jasa penilai kerugian, konsultan aktuaria, penggunaan teknologi jaringan informasi yang handal untuk meningkatkan pelayanan kepada pemegang polis, peningkatan efisiensi dan efektivitas operasional, serta peningkatan kegiatan pemasaran inaustri asuransi, perlu segera diantisipasi oleh industri asuransi nasional. Salah satu faktor utama yang mempengaruhi kinerja industri asuransi dalam tahun 1997 adalah krisis moneter yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997. Sampai dengan bulan Juli 1998, jumlah perusahaan asuransi yang beroperasi telah berkembang menjadi 179 Departemen Keuangan Republik Indonesia 263 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 perusahaan, yang terdiri dari 107 perusahaan asuransi kerugian, 62 perusahaan asuransi ji wa, 5 perusahaan reasuransi, 2 penyelenggara program asuransi sosial dan jamsostek, serta 3 penyelen::ara program asuransi untuk pegawai negeri sipil (PNS) dan ABRI. Dalam tahun 1998 jumlah perusahaan asuransi hanya bertambah 1 perusahaan, yaitu perusahaan asuransi kerugian swasta nasional. Bertambahnya perusahaan ini merupakan suatu indikasi bahwa peluang perkembangan pasar asuransi nasional masih terbuka. Dalam tahun 1997, pendapatan premi bruto industri asuransi mengalami peningkatan 22,5 persen, Dari Rp 8.591,9 miliar dalam tahun 1996 menjadi Rp 10.526,7 miliar. Kontribusi premi bruto asuransi terhadap lapangan usaha bank dan lembaga keuangan bukan bank dalam produk domestik bruto (PDB) juga mengalami peningkatan Dari 37,77 persen dalam tahun 1996 menjadi 42,09 persen dalam tahun 1997. Sedangkan kontribusi premi bruto asuransi terhadap PDB nasional juga mengalami peningkatan Dari 1,61 persen dalam tahun 1996, menjadi 1,69 persen dalam tahun 1997. Rincian besarnya premi bruto yang berhasil dihimpun oleh perusahaan asuransi adalah asuransi jiwa Rp 3.626,3 miliar (34,45 persen), asuransi kerugian dan reasuransi Rp 4.190,5 miliar (39,81 persen), program asuransi sosial dan jamsostek Rp 1.751,1 miliar (16,63 persen), dan program asuransi untuk PNS dan ABRI Rp 958,8 miliar (9, 11 persen). Dengan demikian kontribusi terbesar dalam pengumpulan premi bruto berasal dari usaha asuransi kerugian dan reasuransi, yaitu mencapai 39,81 persen dari total premi bruto. Berdasarkan data rasio pendapatan premi bruto terhadap PDB di atas dapatlah disimpulkan bahwa potensi industri asuransi nasional masih mempunyai prospek yang cukup besar untuk ditumbuhkembangkan. Potensi ini sangat berkaitan dengan tingkat pendapatan dan pendidikan masyarakat, sehingga kesadaran masyarakat untuk menggunakan jasa asuransi jiwa dapat lebih ditingkatkan. Potensi inijuga tercermin dalam meningkatnya jumlah pemegang polis asuransi jiwa yang dalam tahun 1996 sebanyak 20,8 juta jiwa naik menjadi 22,2 juta jiwa dalam tahun 1997 atau naik 6,24 persen. Namun, jumlah ini masih relatif kecil apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah sekitar 199,8 juta jiwa atau jumlah pemegang polis baru mencapai 11,10 persen dari jumlah penduduk. Sementara itu, jumlah kekayaan (total asset) perusahaan asuransi dalam tahun 1997 telah meningkat menjadi Rp 32.009,2 miliar, atau naik 43,77 persen dari jumlah kekayaan dalam tahun 1996 yang Rp 22.263,6 miliar. Komposisi kekayaan dalam tahun 1997 tersebut adalah asuransi jiwa Rp 12.345,1 miliar (38,57 persen), asuransi kerugian dan reasuransi Rp 8.186,7 Departemen Keuangan Republik Indonesia 264 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 miliar (25,58 persen), program asuransi sosial dan jamsostek Rp 6.454,4 miliar (20,16 persen), dan program asuransi untuk PNS dan ABRI Rp 5.023,0 miliar (15,69 persen). Selanjutnya, perkembangan jumlah pembayaran santunan (claims) yang diberikan oleh perusahaan asuransi kepada nasabahnya menunjukkan peningkatan. Dalam tahun 1996, jumlah santunan yang dibayarkan Rp 3.170,9 miliar, dan jumlah ini meningkat menjadi Rp 4.918,0 miliar dalam tahun 1997, atau meningkat 55,09 persen. Dari jumlah tersebut, pembayaran santunan yang diberikan oleh asuransi jiwa Rp 1.856,3 miliar (37,74 persen), asuransi kerugian dan reasuransi Rp 1.789,9 miliar (36,39 persen), program asuransi sosial dan jamsostek Rp 487,0 miliar (9,90 persen), dan program asuransi untuk PNS dan ABRI Rp 784,8 miliar (15,96 persen). Sebagaimana dengan jumlah kekayaan, jumlah investasi industri asuransi Indonesia dalam tahun 1997 juga meningkat 30,37 persen dari tahun sebelumnya, menjadi Rp 23.517,2 miliar (atau 73,47 persen dari jumlah kekayaan yang dimiliki). Dari jumlah nilai investasi tersebut, asuransij iwa menginvestasikan Rp 7.939,1 miliar (33,76 persen), asuransi kerugian dan reasuransi Rp 5.119,5 miliar (21,77 persen), program asuransi sosial dan jamsostek Rp 6.059,2 miliar (25,76 persen), dan program asuransi untuk PNS dan ABRI Rp 4.389,4 miliar (18,66 persen). Dari jurnlah nilai investasi tersebut, sebagian besar ditempatkan dalam bentuk deposito berjangka dan sertifikat Bank Indonesia (SBI) sebagai alternatif investasi utama yang masingmasing Rp 14.626,7 miliar (62,19 persen) dan Rp 1.663,7 miliar (7,07 persen). Selanjutnya, Rp 3.838,8 miliar (16,32 persen) diinvestasikan dalam bentuk promes, obligasi, saham, tanah dan bangunan, hipotik, dan pinjaman polis, seuangkan Rp 3.388,1 miliar(14,14 persen) diinvestasikan ke dalam penyertaan modal dan sektor lain-lain. Sampai dengan tahun 1997, perkembangan neraca pembayaran jasa asuransi Indonesia menunjukkan posisi defisit yang semakin menurun yaitu Rp 407,2 miliar atau naik 12,20 persen hila dibandingkan denganjumlah defisit tahun 1996 yang Rp 463,8 miliar. Peningkatan defisit ini terjadi terutama pada bidang asuransi kerugian karena kecilnya kapasitas daya tampung dalam menutup fisiko atas obyek pertanggungan di dalam negeri. Sedang untuk menutup pertanggungan obyek asuransi yang besar ataupun yang padat teknologi sangat ditentukan oleh faktor struktur permodalan perusahaan asuransi. Selain itu, faktor dukungan kepercayaan yang diberikan masyarakat kepada perusahaan reasuransi di Indonesia masih kurang dan dominasi Departemen Keuangan Republik Indonesia 265 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 jasa asuransi angkutan barang melalui laut masih dikuasai perusahaan asuransi asing. Perkembangan kegiatan industri asuransi dapat dilihat lebih lanjut pada Tabel 111.25 dan Grafik 111.8. 3.9.2 Lembaga Pembiayaan Krisis moneter yang melanda Asia sejak pertengahan tahun 1997 telah berpengaruh luas terhadap perekonomian Indonesia. Dalam kondisi yang demikian, perusahaan pembiayaan seharusnya dapat berperan lebih besar bagi usaha menengah dan kecil, mengingat sektor tersebut merupakan sektor yang paling fleksibel dalam menyesuaikan diri dengan keadaan, karena tingkat ketergantungan mereka baik pada bahan baku impor maupun utang luar negeri tidak terlalu besar. Namun demikian, menurunnya nilai rupiah terhadap dolar Amerika dan tingginya tingkat bunga telah menyebabkan semakin tingginya cost of fund dari perusahaanperusahaan pembiayaan. Hal ini sangat terkait dengan sumber dana perusahaan pembiayaan yang terutama berasal dari perbankan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, sehingga melonjaknya nilai illata uang dolar Amerika dan tingginya suku bunga perbankan akan menyebabkan semakin tingginya biaya dana yang harus ditanggung perusahaan pembiayaan. Selain dari perbankan, sumber dana perusahaan pembiayaan juga berasal dari pasar modal. Namun demikian, dana yang bersumber dari pasar modal ini belum banyak dimanfaatkan oleh perusahaan pembiayaan karena disamping kondisi perusahaan pembiayaan itu sendiri yang pada umumnya belum memungkinkan untuk dapat menggaIi sumber dana tersebut, kondisi pasar modal Indonesia pada saat ini juga seuang mengalami goncangan sebagai akibat krisis moneter. Disamping masalah sumber dana, perusahaan pembiayaan juga menghadapi masalah internal yaitu semakin tingginya potensi kredit bermasalah, karena apresiasi dolar Amerika Serikat yang sangat tajam juga berpengarnh terhadap menurunnya kinerja sektor riil. Sebagai akibat adanya beberapa perusahaan yang melakukan merger dan juga adanya pengembalian ijin usaha oleh beberapa perusahaan pembiayaan maka dalam dua tahun terakhir jumlah perusahaan pembiayaan mengalami penurunan yaitu dari 252 perusahaan dalam tahun 1996 menjadi 248 perusahaan dalam tahun 1997. Departemen Keuangan Republik Indonesia 266 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel 111.25 PERKEMBANGAN KEKA Y AAN, PREMI BRUTO, SANTUNAN, DAN DANA INVESTASI INDUSTRI ASURANSI INDONESIA, 1990 - 1997 ( dalam miliar rupiah) 1990 (1) 1991 1992 1993 1) (4) (5) 1994 (6) 1995 (7) 1996 (8) 1997 (2) (3) (9) Asuransi jiwa 1.212,9 1.628,8 1.911,5 2.349,2 4.018,0 4.893,5 7.315,8 12.345,1 Asuransi sosial 2.891,5 3.639,8 4.297,0 5.600,9 6.505,7 7.633,1 9.291,3 11.477,4 Asuransi kerugian dan reasuransi 2.137,6 2.603,3 2.808,8 3.317,1 3.891,7 4.743,2 5.656,5 Jumlah 6.242,0 7.871,9 9.017,3 11.267,2 14.415,4 Kekayaan 8.186,7 17.269,8 22.263,6 32.009,2 Premi Bruto Asuransi jiwa 455,4 562,1 770,1 1.062,0 1.625,1 2.078,7 2.855,2 3.626,3 Asuransi sosial 458,1 588,8 756,4 1.324,9 1.539,0 1.905,2 2.119,3 2.709,9 Asuransi kerugian dan reasuransi 1.341,2 1.666,3 1.954,8 2.032,5 2.687,1 3.332,0 3.617,4 4.190,5 Jumlah 2.254,7 2.817,2 3.481,3 4.419,4 5.851,2 7.315,9 8.591,9 10.526,7 Asuransi jiwa 277,7 523,0 564,0 892,8 369,5 546,4 642,0 1.856,3 Asuransi sosial 214,4 285,8 360,1 616,4 708,6 893,7 1.109,0 1.271,8 Asuransi kerugian dan reasuransl 524,1 721,0 706,6 978,1 972,7 1.014,9 1.419,9 1.789,9 1.016,2 1.529,8 1.630,7 2.487,3 2.018,7 2.455,0 3.170,9 4.918,0 914,1 1.291,2 1.529,2 1.819,5 2.614,9 3.368,7 5.743,1 7.939,1 Asuransi sosial 2.680,8 3.274,1 3.869,8 5.007,6 5.669,4 7.048,9 8.560,0 10.448,6 Asuransi kerugian dan reasuransi 1.402,0 1.705,0 1.746,2 1.989,7 2.412,3 3.023,9 3.735,7 Jumlah 4.996,9 6.270,3 7.145,2 8.816,9 10.696,6 13.441,5 18.038,8 23.517,2 Santunan Jumlah Dana Investasi Asuransi jiwa 1) Sesuai UU Nomor 2 Th. 1992, perusahaan asuransi yang melaksanakan program Asuransi Sosial terdiri Dari PT (Persero) ASKES, TASPEN, ASABRI, JAMSOSTEK, dan AKJasa Raharja Departemen Keuangan Republik Indonesia 267 5.119,5 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Departemen Keuangan Republik Indonesia 268 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Namun demikian nilai kegiatan perusahaan pembiayaan dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan yang cukup berarti. Dibandingkan tahun 1996 nilai kegiatan perusahaan pembiayaan dalam tahun 1997 menunjukkan peningkatan 56,3 persen dari Rp 38.028 miliar dalam tahun 1996 menjadi Rp 59.434 miliar dalam tahun 1997. Dari jumlah tersebut, nilai pembiayaan anjak piutang memberikan pangsa yang terbesar yaitu 44.42 persen (Rp 26.400 miliar), sementara nilai kontrak pembiayaan konsumen memberikan pangsa 30,77 persen (Rp 18.287 miliar). Nilai kontrak sewa guna usaha yang sebelum tahun 1995 memberikan pangsa terbesar, sejak tahun 1995 mengalami pergeseran dan dalam tahun 1997 jenis usaha ini memberikan pangsa 23,9 persen (Rp 14.210 miliar). Semen tara itu nilai pembiayaan kartu kredit, walaupun dilihat dari pangsanya masih relatif kecil (0,9 persen) namun dilihat dari nilainya menunjukkan lonjakan yang sangat tajam hingga 656,3 persen dari Rp 71 miliar dalam tahun 1996 menjadi Rp 537 miliar dalam tahun 1997. Keadaan keuangan perusahaan pembiayaan dari tahun ke tahun juga menunjukkan adanya peningkatan, baik dalam hat asset maupun dalam pengalokasian dana perusahaan. Asset perusahaan pembiayaan dalam tahun 1997 menunjukkan peningkatan yang cukup tajam dari Rp 33.591 miliar dalam tahun 1996 menjadi Rp 50.520 miliar dalam tahun 1997 atau mengalami peningkatan 50,4 persen. Sementara itu dari segi alokasi penanaman dana juga menunjukkan adanya peningkatan 43,06 persen dari Rp 26.586 miliar dalam tahun 1996 menjadi Rp 38.034 miliar dalam tahun 1997. Namun demikian dari segi equity perusahaan pembiayaan dalam tahun 1997 menunjukkan penuronan 7,7 persen dari Rp 8.436 miliar dalam tahun 1996 menjadi Rp 7.788 miliar dalam tahun 1997. Sementara itu perusahaan modal ventura, yang sejak tahun 1993 menjadi bagian terpisah dari perusahaan pembiayaan, yang berarti bahwa segala sesuatu yang menyangkut perizinan, pembinaan, pengawasan dan pelaksanaan teknis usaha modal ventura harus dilakukan oleh badan usaha tersendiri dan tidak melakukan jenis usaha lembaga pembiayaan lainnya, dalam tahun 1997 menunjukkan perkembangan yang cukup menggembirakan, baik dilihat dari jumlah perusahaan, jumlah peresahaan pasangan usaha (PPU) maupun nilai penyertaannya. Pemisahan ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa selain karena karakteristik usaha modal ventura sangat berbeda dengan jenis usaha lembaga pembiayaan lainnya, kegiatan usaha modal ventura yang melakukan pembiayaan dalam bentuk penyertaan modal dinilai sebagai salah satu altematif pembiayaan yang tepat untuk memenuhi kebutuhan permodalan dunia usaha termasuk Departemen Keuangan Republik Indonesia 269 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 kelompok usaha kecil, menengah dan koperasi. Hal tersebut karena: (1) penyertaan modal dapat memperbaiki struktur keuangan perusahaan yang dibiayai; (2) penyertaan modal dapat disertai dengan bantuan manajemen; (3) orientasi pembiayaan penyertaan modal lebih tertuju pada keberhasilan pihak yang dibiayai dan kelayakan usahanya; (4) kelanjutan dan keterbukaan para pihak, baik pihak perusahaan pembiayaan maupun perusahaan yang dibiayai, sangat dipentingkan dalam kegiatan usaha modal ventura sehingga diharapkan dapat mendorong tereiptanya etika bisnis yang sehat di kalangan dunia usaha. Dalam tahun 1997, jumlah perusahaan modal ventura bertambah 17 perusahaan Dari 42 perusahaan dalam tahun 1996 menjadi 59 perusahaan atau mengalami peningkatan 40 persen. Jumlah tersebut terdiri dari 6 (enam) perusahaan swasta nasional, 6 (enam) perusahaan patungan, dan 5 (lima) perusahaan modal ventura daerah (PMVD). Secara kumulatif, sampai dengan Juli 1998 jumlah perusahaan modal ventura telah bertambah menjadi 61 perusahaan dengan jumlah PPU 1.324 perusahaan dan nilai penyertaan Rp 543.339 juta. Upaya yang dilakukan Pemerintah sejak tahun 1994 untuk mengembangkan kegiatan usaha kecil dan menengah termasuk koperasi yang tersebar di daerah-daerah melalui kegiatan modal ventura telah menunjukkan hasil yang cukup berarti. Hal ini tercermin Dari peningkatan jumlah PMVD yang tersebar di daerah. Sampai dengan akhir tahun 1997 jumlah PMVD telah bertambah menjadi 25 perusahaan dengan jumlah perusahaan pasangan usaha 496 perusahaan dengan nilai penyertaan Rp 51.352 juta. Jumlah PPU tersebut mengalami peningkatan 13,76 persen dibanding tahun 1996 yang mencapai 436 perusahaan. Peningkatan ini jauh lebih rendah dibanding dengan peningkatan dalam tahun sebelumnya yakni 319 persen. Namun demikian dilihat dari nilai penyertaan menunjukkan peningkatan yang cukup menggembirakan, yaitu mencapai 180 persen. Hal tersebut disebabkan oleh adanya upaya Pemerintah tintuk mendorong pengembangan usaha PMVD melalui pemberian pinjaman dari luar negeri yang disalurkan melalui PT Bahana dan penyediaan pelatihan untuk venture capital account officer. Selain itu Pemerintah memberikan kelonggaran bagi PMVD untuk melakukan bagi hasil dengan PPU-nya. Sampai dengan bulan Juli 1998 telah berdiri 27 PMVD yang terdiri Dari 26 PMVD di daerah tingkat I dan 1 PMVD di daerah tingkat II dengan demikian, selain di DKI Jakarta, di semua daerah tingkat I lainnya telah didirikan PMVD. Data mengenai perkembangan kegiatan lembaga pembiayaan, selanjutnya dapat dilihat pada Tabel 111.26 dan Tabel 111.27 . Departemen Keuangan Republik Indonesia 270 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 3.9.3 Dana Pensiun Undang-undang Nomor 11 tentang Dana Pensiun memberikan jaminan perlindungan bagi karyawan berupa perlindungan akan adanya kesinambungan penerimaan penghasilan bagi diri dan keluarganya pada saat tidak aktif bekerja karena cacat, lanjut usia, reorganisasi dan meninggal dunia. Dengan demikian program pensiun dapat menciptakan ketenangan kerja bagi karyawan yang pada gilirannya dapat meningkatkan produktivitas dan loyalitas kepada perusahaan. Bila dilihat dari mobilisasi dana, dana yang terkumpul dari peserta dana pensiun yang berlangsung kurang lebih selama 30 tahun selanjutnya dipergunakan dalam bentuk pembayaran manfaat pensiun kepada para peserta. Dana pensiun merupakan dana yang bersifat jangka panjang, sehingga dana tersebut dapat dipergunakan untuk kepentingan investasi jangka panjang (pembangunan). Mengingat kebutuhan perekonomian akan dana pembangunan yang cukup besar maka untuk percepatan pemupukan dana pensiun, Pemerintah telah melakukan berbagai upaya pengembangan dana pensiun. Undang-undang Dana Pensiun menganut prinsip pemisahan kekayaan Dana pensiun dengan kekayaan pendirinya. Pemisahan kekayaan ini dimaksudkan untuk menjamin dana karyawan peserta dana pensiun. Dengan demikian bilamana terjadi kepailitan atau tuntutan dari pihak ketiga terhadap kekayaan pendiri dana pensiun, tidak akan mempengaruhi kekayaan dana pensiun. Departemen Keuangan Republik Indonesia 271 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 I Tabel Ill. 26 PERKEMBANGAN KEGIA TAN PERUSAHAAN PEMBIA Y AAN, 1990 - 1997 ( dalam miliar rupiah) 1990 (1) Jumiah Pervghllan OJ 1991 (2) 1992 (3) 121 (4) 1993 (5) 1994 (6) 132 144 164 206 1995 (7) 25 4 1996 1997 (8) (9) 252 248 . Kegiatan Usaha 5.810 5.827 6.276 9.397 16.674 26.884 38.028 59.434 - Nilai kontrak sewa guna usaha 4.746 3.945 3.748 4.563 5.953 8.498 11.530 14.210 55 307 785 2.239 5.297 11.977 18.187 26.400 1.009 1.571 1.530 2.210 4.475 5.555 8.240 18.287 - 4 213 385 949 71 537 6.590 8.192 9.998 11.758 19.067 30.171 33.591 50.520 937 1.196 1.560 1.883 3.347 5.170 8.191 7.788 - Investasi bersih 5.315 6.742 7.757 9.173 14.787 21.987 26.586 38.034 Posisi PinJaman 2.770 S.340 6.100 7.848 12.612 19.617 23.510 38.108 - Dalam negeri 1.293 1.937 2.799 4.204 7.172 11.003 12.870 16.993 - Luar negeri 1.477 3.403 3.301 3.644 5.440 8.614 10 . 640 21.115 - Nilai pembiayaan anjak piutang - Nilai kontrak pembiayaan konsumen - Nilai pembiayaan kartu kredit 85 4 Keadaan Keuangan - Total aset - Total equity Keterangan : *) satuan Departemen Keuangan Republik Indonesia 272 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 . Tabel III.27 PERKEMBANGAN PERUSAHAAN MODAL VENTURA, 1994 - 1998 ( dalam juta rupiah) (1) 1994 1995 1996 1997 19981) (2) (3) (4) (5) (6) . Jumlah Perusahaan 19 32 42 59 61 - Swasta Nasional 7 10 12 18 18 - Patungan 6 6 10 16 16 - Perusahaan Daerah 6 16 20 25 27 Jumlah Perusahaan Posangan Usaha 47 151 516 537 60 - Swasta Nasional 25 40 78 33 - - Patungan 12 7 2 8 - - Pemsahaan Daerah 10 104 436 496 60 Jumlah Nilai Penyertaan 64.770 148.756 42.275 232.587 12.679 ,.... Swasta Nasional 42.750 129.941 22.208 129.304 2.110 - Patungan 21.366 14.239 1.743 51.931 - - Perusahaan Daerah 654 45,.6 18.324 51.352 10.569 1) Posisi sampai dengan Juli 1998 Departemen Keuangan Republik Indonesia 273 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Dalam rangka mendorong investasi dana pensiun agar mencapai hasil yang optimal, Pemerintah telah mengeluarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 78/KMK.017/1995 tentang Investasi Dana Pensiun yang telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 93/ KMK.017/1997 tanggal28 Pebruari 1997. Dengan perubahan tersebut, selain melakukan investasi yang sudah berlaku selama ini, dana pensiun juga diperkenankan melakukan investasi dalam bentuk Reksa Dana. Dalam tahun 1991 terdapat 187 yayasan dana pensiun (DP). Dengan adanya UU tentang Dana Pensiun, yang mewajibkan DP untuk menyesuaikan bentuk hukumnya menjadi Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK) atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK), maka sampai dengan bulan Agustus 1998 jumlah Yayasan DP tinggal 19 buah, sedangkan jumlah DPPK meningkat menjadi 303 buah dan DPLK berjumlah 24 buah. Dari 137 dana pensiun yang menyampaikan laporan teknis tahun 1997 diketahui babwa jumlab peserta dana pensiun pemberi kerja (127 dana pensiun) pada akhir tahun 1997 adalah 706.602 orang yang berasal dari 30 dana pensiun BUMN dengan peserta 488.188 orang dan 97 dana pensiun non-BUMN dengan jumlah peserta 218.414 orang. Sedangkan jumlah peserta Dana Pensiun Lembaga Keuangan adalah 74.713 orang yang semuanya berasal dari 10 dana pensiun lembaga keuangan non-BUMN. Meningkatnya jumlah Dana Pensiun yang mendapatkan pengesahan Menteri Keuangan menyebabkan terjadinya peningkatan iuran dana pensiun dan peningkatan jumlah aktiva bersih. Penerimaan iuran dana pensiun secara keseluruhan mengalami peningkatan dari Rp 1,47 triliun dalam tahun 1996 menjadi Rp 1,63 triliun dalam tahun 1997 yang berarti mengalami peningkatan 10,88 persen. Aktiva bersih dana pensiun yang merupakan kekayaan dana pensiun pada akhir tahun 1996 bemilai Rp 14,23 triliun, meningkat 13,84 persen menjadi Rp 16,20 triliun pada akhir 1997. Aktiva bersih Dana Pensiun Pemberi Kerja dalam tahun 1997 mencapai Rp 15,81 triliun. Dari jumlab aktiva bersih, Dana Pensiun.yang danirikan oleh BUMN memberikan sumbangan paling besar yaitu Rp 2,99 triliun. Sementara itu aktiva bersih Dana Pensiun Lembaga Keuangan pada akhir tahun 1997 mencapai Rp 388,39 miliar. Dari jumlab tersebut, terdapat dua Dana Pensiun Lembaga Keuangan yang didirikan oleh BUMN dengan aktiva bersih Rp 61,65 miliar. Peningkatan aktiva bersih dana pensiun juga diikuti dengan adanya kenaikan investasi Departemen Keuangan Republik Indonesia 274 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 dana 26,09 persen yaitu dari Rp. 12,26 triliun pada akhir tahun 1996 menjadi Rp 15,45 triliun pada akhir tahun 1997. Kenaikan tersebut menunjukkan bahwa sumbangan dana pensiun sebagai sumber pembiayaan pembangunan nasional semakin meningkat. Sesuai dengan ketentuan tentang investasi, jenis investasi dana pensiun yang diperkenankan adalah dalam bentuk deposito, sertifikat deposito, saham, obligasi, surat berharga lain, surat berharga pasar Uang (SBPU), surat pengakuan hutang, penempatan langsung, Reksa Dana, serta tanah dan bangunan. Dalam tahun 1997 porsi pertama terbesar investasi dana pensiun adalah pada deposito yaitu 54,92 persen dari total investasi dana pensiun yang ada. Pembayaran manfaat pensiun pada tahun 1997 mengalami peningkatan 9,7 persen dari Rp 805,93 miliar dalam tahun 1996 menjadi Rp 884,38 dalam tahun 1997. Peningkatan tersebut dikarenakan jumlah pensiunan dalam tahun 1996 mengalami peningkatan. Sementara itu PT Tabungan Asuransi Pegawai Negeri Sipil yang merupakan pembayar pensiun bagi PNS mempunyai 2 program pokok yaitu Tabungan Hari Tua (THT) dan program pensiun. luran peserta setiap bulan berasal dari potongan gaji pokok dan tunjangan yang bersifat tetap, diluar tunjangan pangan. Besarnya iuran program THT 3,25 persen dan program pensiun 4,75 persen. Sampai dengan akhir tahun 1997 aktiva bersih program THT mencapai Rp 4.045 miliar dan investasinya Rp 3.759 miliar. Adapun untuk program pensiun, aktiva bersihnya Rp 7.560 miliar, diinvestasikan Rp 7.417 miliar dan iuran yang terkumpul Rp 4.336 miliar. 3.9.4 Pegadaian Peranan pegadaian dalam menjembatani kebutuhan dana masyarakat luas, khususnya masyarakat menengah kebawah melalui pemberian kredit jangka pendek berdasarkan hukum gadai terus dikembangkan. Pecan Pegadaian terasa semakin penting disaat kondisi ekonomi sulit seperti sekarang ini, mengingat banyaknya masyarakat golongan bawah yang memerlukan dana jangka pendek baik untuk kelangsungan usahanya maupun untuk kelangsungan hidupnya. Krisis ekonomi yang terjadi sejak semester kedua tahun 1997 telahturut mewarnai kegiatan pegadaian. Penyaluran uang pinjaman yang diberikan dalam tahun 1996 mencapai Rp 1,72 triliun dengan jumlah nasabah 5.030.276 orang dan dalam tahun 1997 meningkat menjadi Rp 2,09 triliun atau naik 21,5 persen dengan jumlah nasabah 5.305.095 orang. Selanjutnya, dari target penyaluran uang pinjaman dalam tahun 1998 yang sebesar Rp 2,6 triliun telah terealisir sebesar Rp 3,1 triliun (116,5 persen) dari target. Sementara itu, laba bersih juga menunjukkan Departemen Keuangan Republik Indonesia 275 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 perkembangan yang terus membaik. Tahun 1997 Pegadaian berhasil menyisihkan laba bersih Rp 34.816 juta atau naik 2,5 persen dari tahun 1996 yang berjumlah Rp 33.964 juta. Mengingat sulitnya mendapatkan dana dari Penyertaan Modal Pemerintah (PMP) dan tingginya bunga bank pinjaman dari pihak .lain, maka altematif dana untuk pengembangan pegadaian adalah melalui penerbitan obligasi. Dalam tahun 1997 Pegadaian telah mencatatkan Emisi Obligasi IV senilai Rp 100 miliar, dan menerbitkan Obligasi V Perum Pegadaian tahun 1998 senilai Rp 150 miliar ditawarkan dalam bentuk obligasi seri A dan seri B. Dari tahun 1993 sampai dengan tahun 1998 ini Pegadaian telah menerbitkan obligasi sebesar Rp 339,6 miliar. Perkembangan usaha jasa lainnya berupa jasa taksiran dan jasa titipan yang diperkenalkan sejak tahun 1994 telah menunjukkan perkembangan yang semakin meningkat, terutama atas pendapatan yang diperoleh dalam tahun 1997 yaitu masing-masing Rp 14,3 juta untukjasa taksiran dan Rp 34,0 juta untuk jasa titipan. Namun demikian dibandingkan dengan pendapatan utama, pendapatan jasa-jasa tersebut masih relatif kecil, disebabkan karena masyarakat lebih memilih untuk menggadaikan barang dan kurangnya kepedulian terhadap kualitas atau keaslian barang (emas dan baru mulia) yang dirniliki. Pengembangan usaha penyaluran perak yang telah dilaksanakan untuk pengrajin perak di daerah Gianyar dan Denpasar, akan diperluas di beberapa kota lainnya seperti Kotagede di Yogyakarta dan di Surakarta. Begitu pula terhadap pengembangan usaha atas pengelolaan tanah perusahaan yang telah dirintis melalui kerjasama dengan pihak ketiga dengan sistem bangun, kelola dan alih bagi pembangunan dan persewaan gedung kantor dan pertokoan. Dalam rangka perluasan usaha, Perum Pegadaian berupaya meningkatkan mutu pelayanan melalui penambahan sejumlah kantor cabang hingga mencapai 622 unit dalam tahun 1997 yang dilengkapi dengan sistem pelayanan komputerisasi. Jumlah kantor cabang tersebut direncanakan akan diperluas sampai kawasan timur Indonesia dan kota-kota propinsi lainnya di Indonesia yang dianggap sebagai daerah potensial bagi pengembangan usahanya. Pengembangan usaha lainnya yang dianggap cukup potensial dan memiliki 'basic' bisnis sehubungan dengan jumlah kantor cabang tersebut adalah memperbanyak pembukaan toko emas Galeri 24 dari 28 outlet dalam tahun 1997 menjadi 48 outlet pada akhir tahun 1998. 3.10 Pasar Modal Krisis yang menimpa perekonomian nasional dewasa ini juga berdampak negatif pada Departemen Keuangan Republik Indonesia 276 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 kinerja pasar modal. Hal tersebut terlihat pada menurunnya beberapa indikator pokok kegiatan pasar modal, seperti Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan kegiatan transaksi perdagangan. Di Bursa Efek Jakarta (BEJ), IHSG pernah mencapai 256,8 pada tanggal 21 September 1998 atau menurun 65,33 persen dibandingkan posisi 740,8 pada tanggal8 Juli 1997. IHSG pada tanggal 21 September tersebut merupakan titik terendah selama tujuh tahun terakhir ini. Sementara itu, nilai rata-rata transaksi perdagangan juga mengalarni penurunan dari Rp 489,4 miliar dalam tahun 1997 menjadi Rp 406,9 miliar. Indikator tersebut menggambarkan pengaruh krisis moneter dan ekonomi terhadap pasar modal yang masih dirasakan hingga tahun ini. Kondisi ekonomi dan politik yang belum stabil menyebabkan investor enggan berinvestasi di pasar modal. Investor asing yang menanamkan dananya di pasar modal merasa kurang aman dengan situasi sosial politik yang kurang kondusif, sementara investor lokal lebih tertarik pada instrumen deposito, karena menawarkan tingkat suku bunga yang cukup menarik dan fisiko yang relatif rendah. Banyak perusahaan emiten yang menghadapi masalah finansial yang menyebabkan terganggunya kelancaran kegiatan usahanya. Namun hat tersebut tidak menyurutkan langkah para pelaku pasar modal untuk tetap maju dan konsisten dalam upaya pengembangan kegiatan pasar modal. Berbagai peraturan pasar modal telah dikeluarkan oleh Bapepam selama tahun 1998. Sebanyak 21 peraturan pasar modal telah dikeluarkan yang bertujuan menunjang kegiatan pasar modal. Salah satu peraturan yang cukup penting adalah diberikannya kesempatan bagi perusahaan emiten untuk menambahkan modalnya tanpa hams right issue. Dengan demikian dalam masa krisis ini perusahaan emiten dapat memperbesar modalnya tanpa harus menerbitkan right issue kepada para pemodal lama terlebih dahulu. Selain itu, bagi perusahaan yang ingin menambahkan modalnya melalui right issue, proses right issue dimaksud lebih disederhanakan dan dipercepat jangka waktunya dari 107 hari menjadi hanya 42 hari. Dalam rangka memperkuat struktur permodalan perusahaan sekuritas, Bapepam mewajibkan usaha tersebut agar memiliki modal kerja bersih disesuaikan (MKBD) minimal Rp 5 miliar. Pemenuhan modal tersebut dapat dilakukan baik dengan suntikan penambahan modal baru, merger, maupun akuisisi dengan perusahaan sekuritas lainnya. Namun mengingat kondisi perekonomian yang tidak memungkinkan dewasa ini, Bapepam telah menunda pelaksanaan peraturan tersebut hingga akhir tahun 1999. Departemen Keuangan Republik Indonesia 277 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Kegiatan pasar modal dalam tahun 1998 secara keseluruhan kurang menggembirakan seiring dengan perkembangan situasi sosial, politik dan ekonomi dalam negeri yang kurang menguntungkan. Salah satu peristiwa dalam tahun 1998 yang sangat mempengarnhi kegiatan pasar modal adalah peristiwa kerusuhan yang terjadi pada tanggal13-l4 Mei 1998. Peristiwa tersebut menyebabkan penurunan kegiatan perdagangan saham baik volume, nitro, frekuensi maupun IHSG yang cukup tajam. Volume perdagangan saham yang dipindahtangankan di BEJ selama bulan Mei 1998 hanya mencapai 4,82 miliar saham atau turun 44,79 persen dibanding volume perdagangan bulan April 1998. Nilai perdagangan saham menurun 50,39 persen menjadi Rp 5,1 triliun dibandingkan nilai perdagangan pada bulan sebelumnya yang mencapai Rp 10,28 triliun. IHSG di BEJ yang sempat menguat dan mencapai 554,10 pada tanggal 2 Februari 1998, pada akhir bulan Mei 1998 menurun cukup tajam menjadi 413,82, atau turun 25,32 persen. Namun demikian, di tengah-tengah situasi perekonomian yang sedang dilanda krisis yang berkepanjangan, dalam tahun 1998 pasar modal juga mencatat perkembangan yang cukup menggembirakan. Dalam bulan Februari 1998 terjadi transaksi yang cukup besar, yakni mencapai 13,78 miliar saham senilai Rp 14.682,3 miliar atau nilai rata-rata transaksi perdagangan harian selama bulan tersebut mencapai Rp 734,1 miliar, yang merupakan nilai ratarata transaksi perdagangan harian tertinggi yang pernah dicapai selama ini. Secara keseluruhan, selama tahun 1998 hanya terdapat tambahan satu perusahaan yang menawarkan sahamnya di pasar modal, yaitu PT Astra Outopart, salah satu anak perusahaan PT Astra Internasional, yang telah menawarkan 75 juta saham dari 750 juta saham yang dimilikinya di pasar modal dengan harga perdana Rp 575 per lembar pada awal Juni 1998. Dana hasil peleposan saham di pasar modal sebanyak Rp 43,12 miliar dipergunakan untuk memperkuat struktur permodalannya dan membayar hutang jangka pendek perusahaan. Perusahaan tersebut juga telah mencatatkan seluruh sahamnya (company listing) di Bursa Efek Jakarta. Sementara itu, sejak bulan Juli 1997 tidak terdapat tambahan perusahaan yang menawarkan obligasinya di pasar modal, namun terdapat satu perusahaan yang melakukan penerbitan obligasi tambahan sehingga secara kumulatif menambah nilai emisi obligasi di pasar modal. Perum Pegadaian, salah satu BUMN di biuang lembaga keuangan, telah menerbitkan 2 (dua) seri obligasi berjangka waktu 5 tahun dengan tingkat bunga tetap dan mengambang senilai Rp 150 rniliar pada akhir bulan Juni 1998. Tingkat suku bunga tetap yang ditawarkan adalah 49 Departemen Keuangan Republik Indonesia 278 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 persen per tahun, sedangkan tingkat suku bunga mengambang dihitung berdasarkan JIBOR (Jakarta Inter-Bank Offered Rate) berjangka waktu tiga bulan yang dihitung secara rata-rata selama lima hari kerja ditambah premi tetap 3 persen. Dalam tahun 1998, telah terdapat 377 perusahaan yang go publik yang terdiri atas 307 perusahaan yang menawarkan sahamnya dan 70 perusahaan yang menawarkan obligasi, seuangkan perusahaan yang melakukan right issue 130 perusahaan, dimana 16 perusahaan diantaranya merupakan perusahaan yang mela!rukan right issue dalam tahun 1998. Nilai kumulatif emisi saham mencapai Rp 79,3 triliun sementara nilai kumulatif emisi obligasi mencapai Rp 18,89 triliun atau meningkat masing-masing 11,85 persen dan 0,80 persen dibanding posisi akhir tahun lalu. Bila dibandingkan dengan posisi akhir tahun anggaran 1997/1998, maka nilai kumulatif emisi saham dan obligasi sampai dengan periode tersebut telah meningkat masing-masing 10,75 persen dan 0,80 persen. Nilai transaksi perdagangan di BEJ selama tahun 1998 mencapai Rp 99,7 triliun dari sejumlah 90,6 miliar saham yang dipindahtangankan, dengan rata-rata nilai transaksi perdagangan barian mencapai Rp 406,9 miliar. Dibandingkan dengan nilai transaksi perdagangan dalam tahun 1997 yang mencapai Rp120,4 triliun, maka terjadi penurunan 17,19 persen. Nilai rata-rata transaksi perdagangan harian mengalami penurunan 16,86 persen dibanding tahun 1997 yang mencapai Rp489,4 miliar. Dilihat dari nilai transaksi perdagangan tahun anggaran 1997/1998, maka nilai saham yang ditransaksikan dalam tahun anggaran 1998/1999 (sampai dengan 30 Desember) yang mencapai Rp59,3 triliun berarti mengalami penurunan 35,68 persen. Selanjutnya, IHSG di BEJ pada akhir tahun 1998 mengalami penurunan 0,91 persen menjadi 398,04, dibanding akhir tahun 1997 yang berada pada level 401,71. Dilihat dari tahun anggaran 1997/1998, maka IHSG pada akhir tahun 1998 tersebut mengalami penurunan 26,48 persen. Di sisi lain, walaupun nilai kapitalisasi pasar pada akhir tahun 1998 meningkat 9,88 persen dibandingkan posisi akhir tahun lalu, Dari Rp 159,9 triliun menjadi Rp 175,7 triliun, namun dibandingkan dengan akhir tahun anggaran 1997/1998, nilai kapitalisasi pasar akhir tahun 1998 tersebut mengalami penurunan 21,32 persen. Terjadinya krisis moneter yang berkepanjangan dan menjadi krisis ekonomi dewasa ini juga menyebabkan pangsa investor asing dari seluruh nilai total perdagangan di pasar modal mengalami penurunan secara berarti. Jib pada akhir tahun 1997 pangsa investor asing di lantai bursa Jakarta masih mencapai 52,18 Departemen Keuangan Republik Indonesia 279 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 persen, maka dalam tahun 1998 (sampai dengan 17 Desember) pangsa tersebut menurun menjadi 41,67 persen. Kegiatan pasar modal yang mengalami penurunan juga terjadi pada usaha reksa dana. Usaha reksa dana yang mulai digalakkan pada tahun 1996 cenderung mengalami penurunan, meskipun jumlah usaha reksa dana mengalami peningkatan menjadi 81 perusahaan (November 1998) dibandingkan 77 perusahaan pada akhir tahun 1997. Jumlah unit penyertaan pada akhir November 1998 mencapai 3.707,8 juta unit, menurun dibandingkan akhir tahun lalu yang mencapai 6.007,4 juta unit. Nilai aktiva bersih yang pada akhir tahun 1997 mencapai Rp 4.916,6 miliar, pada akhir November 1998 menurun menjadi Rp 2.902,8 miliar atau menurun 40,96 persen. Dibandingkan dengan nilai reksa dana pada akhir tahun anggaran 1997/1998, nilai usaha reksa dana pada bulan November tersebut mengalami penurunan 28,07 persen. Nilai aktiva bersih terbesar usaha reksa dana yang pernah dicapai selama ini adalah Rp 8.338,9 miliar yang terjadi pada bulan Juli 1997. Krisis _konomi juga mempengaruhi kinerja Bursa Efek Surabaya (BES). Bila dibandingkan IHSG akhir tahun anggaran 1997/1998 yang mencapai 483,09, maka pada akhir tahun 1998 IHSG menurun 27,24 persen menjadi 351,51. Sementara itu, jika pada akhir tahun 1997 IHSG berada pada tingkat 351,95, maka pada tahun 1998 IHSG tersebut berarti mengalami penurunan 0,12 persen. Nilai transaksi perdagangan saham tahun 1998 mencapai Rp 3,1 triliun atau terjadi penurunan 71,16 persen dibandingkan dengan nilai transaksi perdagangan dalam tahun 1997 yang mencapai Rp 10,75 triliun. Kegiatan pasar modal yang wajar, teratur, dan efisien melalui mekanisme pasar dan integritas pasar dapat tercapai jika faktor eksternal maupun internal yang mempengarnhi kegiatan pasar modal mendukungnya. Aktivitas pasar modal yang keberadaannya sangat diperlukan dalam sistem perekonomian yang modern dalam upaya lebih meningkatkan kinerja perekonomian yang tercermian dari meningkatnya kegiatan investasi baik domestik maupun asing, akan dapat dipulihkan sepanjang kondisi perusahaan-perusahaan emiten juga membaik, dan hal tersebut sangat tergantung pada seberapa cepat pulihnya stabilitas politik dan ekonomi dalam negeri. Keberadaan pasar modal dalam membantu perusahaan memenuhi kebutuhan dana bagi pengembangan usahanya serta dalam upaya melakukan restrukturisasi, terutama perusahaan yang akan melakukan debt equity swap, akan dapat berperan dengan baik jika kepercayaan pasar Departemen Keuangan Republik Indonesia 280 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 terhadap kondisi internal baik politik maupun ekonomi pulih kembali. Suku bunga perbankan yang wajar maupun inflasi yang terkendali dapat mendorong investor untuk aktif kembali di pasar modal. Pulihnya kesehatan perusahaan emiten juga dapat memicu maraknya kembali kegiatan pasar modal. Oleh sebab itu konsolidasi internal perusahaan emiten yang antara lain melalui restrukturisasi hutang-hutangnya perlu dilakukan secepat mungkin. Selain itu pemantapan institusi, pengembangan instrumen baru yang menunjang kegiatan pasar modal, dan penegakkan hukum yang dilaksanakan dengan tegas akan turut menentukan arah kegiatan pasar modal di masa depan. Perkembangan pasar modal selanjutnya dapat dilihat pada Tabel m.28, Tabel m.29, dan Tllbel llI.30. j Departemen Keuangan Republik Indonesia 281 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel III.28 BEBERAPA INDIKATOR KEGIATAN DI PASAR MODAL DAN PERDAGANGAN SAHAM DI BURSA EFEK JAKARTA 1989/1990 - 1998/1999 Akhir Jumlah J umIah Nllai Nllai kumulatif kumulatif rata-rata emisi emisi perda'i:dan (miliar Rp) (.EMar Rp) peri ode perusahaan (juta saham) (1) (2) (3) - (4) (5) IHSGI) (6) 1989/1990 61 343,2 3.101,5 10,55 609,02 1990/1991 132 970,6 8.056,7 29,10 408,11 1991/1992 145 1.178,5 8.976,1 25,39 278,69 1992/1993 164 1.825,3 11.333,3 40,32 310,75 1993/1994 192 4.023,5 18.909,0 94,03 492,37 1994/1995 233 6.715,9 27.262,1 97,72 428,64 1995/1996 248 12.394,6 36.803,1 167,48 585,70 -257 17.082,4 42.284,5 261,45 594,25 199611997_Juni September 260 19.U3,7 44.703,8 300,42 573,93 Desember 267 25.343,4 49.981,4 547,79 637,43 Maret 271 27,268,7 52.140,4 477,05 662,23 286 38.591,8 61.825,8 575,62 724,55 September 293 40.418,5 63.917,9 463,65 546,68 Desember 306' 51.459,4 70.879,6 465,58 401,71 Maret 306 52.893,6 71.596,7 661,76 541,42 307 54.120,8 72.345,3 540,90 460, 13 Mei 307 57.145,8 72.313,4 268,26 413,82 Juni 307 57.077,4 74.048,3 257,59 445,92 Juli 307 57.077,4 74.048,3 395,88 481,71 Agustus 307 57.077,4 74.048,3 286,65 342,43 September 307 57.077,4 74.048,3 230,62 276,15 Oktober 307 57.312,6 74.328,9 269,75 300,77 November 307 57.460,1 74.450,6 419,40 386,27 Desember2) . 307 74.899,7 79.313,9 209,18 398,04 1997/1998 Juni 1998/1999 April 1) Akhir periode 2) Sampai dengan 30 Desember 1998 Departemen Keuangan Republik Indonesia 282 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel Ill. 29 PERKEMBANGAN JUMLAH EMISI OBLIGASI DAN SEKURITAS KREDIT PERUSAHAANIBADAN USAHA DI PASAR MODAL, 1989/1990 - 1998/1999 Akhir Jumlah periode perusahaan (1) (2) Jumlah Nilai kumulatif kumulatif emisi perdana (obligasi ) ( miliar Rp) (3) (4) 1989/1990 22 358.584 1.555,2 1990/1991 23 380.244 2.090,2 1991/1992 25 392.513 2.515,2 1992/1993 36 658.808 4.076,7 1993/1994 43 741.534 6.011,8 1994/1995 46 771.372 7.291,2 1995/1996 50 788.264 8.694,4 1996/1997 Joni 53 797.414 10.594,4 September 53 801.914 10.685,5 Desember 55 805.474 11.535,5 Maret 57 824.831 13.460,5 68 837.622 18.460,5 September 70 848.077 18.740,5 Desember 70 848.077 18.740,5 Maret 70 848.077 18.740,5 70 848.077 18.740,5 Mei 70 848.077 18.740,5 Joni 70 848.507 18.890,5 Joli 70 848.507 18.890,5 Agustos 70 848.507 18.890,5 September 70 848.507 18.890,5 Oktober 70 848.507 18.890,5 November 70 848.507 18.890,5 Desember1) 70 848.507 18.890,5 1997/1998 Joni 1998/1999 April 1) Sampai dengan 30 Desember 1998 Departemen Keuangan Republik Indonesia 283 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel III..30 PERKEMBANGAN KEGIATAN USAHA REKSA DANA 1996/1997 - 1998/1999 Total Jumlah penyertaanl Akhir Jumlah aktiva bersih saham yang beredar periode reksadana (mlliar Rp ) (juta unit) (1) 1996/1997 September (2) (3) (4) 8 801,5 1.068,2 25 2.782,3 2.942,2 Maret 39 5.016,0 5.002,9 1997/1998 April 41 5.358,2 5.307,5 Mei 46 5.920,7 5.740,6 JuDi 60 7.260,6 6.919,2 Juti 67 8.338,9 7.987,9 Agustus 67 6.196,8 6.921,2 September 67 6.598,8 7.015,9 Oktober 76 6.041,6 6.865,1 November 77 5.394,9 6.381,9 Desember 77 4.916,6 6.007,4 Januari 77 4.432,7 5.872,0 I1eb1!\lari 77 4.138,6 5.499,1 Maret 77 4.035,8) 5;265,9 1998/1999 April 77 3.680,8 5.033,2 Mei 77 3.491,5 4.899,9 JuDi 77 3.162,4 4.491,6 Juti 77 3.041,1 4.024.3 Agustus 81 2.928,5 3.998,3 September 81 2.782,6 3.854,8 Oktober 81 2.856,7 3.844,3 November 81 2.902,8 3.707,8 Desember Departemen Keuangan Republik Indonesia 284 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 BAB IV PERDAGANGAN LUAR NEGERI DAN NERACA PEMBAYARAN 4.1 Pendahuluan : Latar Belakang Perkembangan Ekonomi Global Laju pertumbuhan ekonomi Asia, terutama negara-negara di kawasan Asia Timur dan Tenggara seperti Korea, Cina dan beberapa negara ASEAN, sejak beberapa tahun yang lalu sampai dengan pertengahan tahun 1997 menunjukkan pertumbuhan yang sangat mengesankan. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Asia memberikan andil yang cukup besar terhadap pertumbuhan ekonomi dunia. Namun memasuki semester kedua tahun 1997, dimulai dari Korea, menyusul Thailand, kemudian diikuti oleh negara-negara lainnya di Asia Tenggara termasuk Indonesia, menghadapi krisis moneter yang berlanjut menjadi krisis ekonomi yang berkepanjangan sampai dengan tahun 1998, meskipun dalam bulan-bulan belakangan ini mulai dapat dikendalikan. Krisis ekonomi yang terjadi dibeberapa negara di Asia telah mengakibatkan menurunnya daya beli masyarakat dan penanaman modal, baik penanaman modal dalam negeri maupun modal asing, jatuh pailitnya berbagai perusahaan dan perbankan, menurunnya impor dengan tajam, meningkatnya inflasi serta bertambahnya jumlah pengangguran, sehingga menyebabkan laju pertumbuhan ekonomi Asia mengalami penurunan yang cukup besar. Krisis ekonomi Asia telah membawa pengaruh memburuknya keuangan Rusia dan perekonomian negara-negara berkembang lainnya. Sementara itu bagi negara-negara industri di Amerika Utara dan Eropa, meskipun akibat dari krisis Asia tidak begitu berpengaruh besar namun mulai terasa, khususnya di sektor industri. Oleh karena itu secara keseluruhan perekonomian dunia dalam tahun 1998 mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya dengan perkiraan pertumbuhan sebesar 2 persen. Melemahnya perekonomian global, telah memungkinkan negara -negara industri selama tahun 1998 dapat menekan laju inflasinya menjadi lebih rendah dari pada tahun-tahun sebelumnya. Sedangkan negara-negara di luar negara industri, baik negara-negara berkembang secara keseluruhan maupun negara-negara dalam perekonomian transisi telah dapat menahan laju inflasinya untuk tidak meningkat jauh dari tahun sebelumnya. Namun tidak demikian halnya dengan Indonesia, di mana laju inflasi yang dalam beberapa tahun sebelumnya sampai dengan tahun 1996 dapat ditekan di bawah l0 persen, dan 11,05 persen pada tahun 1997, pada Departemen Keuangan Republik Indonesia 285 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 tahun 1998 mengalami lonjakan yang cukup besar. Gambaran perekonomian dunia tahun 1998 juga ditandai dengan relatif stabilnya tingkat suku bunga internasional, baik LIBOR maupun SIBOR, yang tidak jauh berbeda dengan tahun sebelumnya. Federal Reserve, bank sentral Amerika Serikat, dalam upaya untuk menenangkan pasar uang dan melindungi perekonomian Amerika Serikat terhadap dampak krisis yang mulai mendunia, dalam bulan-bulan terakhir ini telah menurunkan tingkat suku bunganya beberapa kali. Sementara itu, di samping volume perdagangan dunia mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya, perdagangan luar negeri juga diwarnai dengan melemahnya harga-harga komoditi baik harga minyak maupun komoditi-komoditi bukan minyak. Surplus transaksi berjalan dunia dalam tahun 1998 secara umum mengalami penurunan. Hal ini tercermin dari menurunnya surplus transaksi berjalan di kelompok negaranegara maju dan meningkatnya defisit transaksi berjalan di kelompok negara-negara berkembang. Sementara itu transaksi berjalan Indonesia mengalami pekembangan yang berlawanan dari perkembangan transaksi berjalan dunia. Selama ini, sampai dengan tahun 1997 Indonesia mengalami defisit transaksi berjalan tetapi pada tahun 1998 untuk pertama kalinya diperkirakan mengalami surplus. Terjadinya surplus transaksi berjalan ini, di satu sisi disebabkan masih relatif tingginya penerimaan ekspor bukan minyak bumi dan gas, terutama dari ekspor hasil pertanian sebagai akibat dari melemahnya nilai tukar Rupiah Indonesia terhadap US$. Sedang di sisi lainnya, pengeluaran impor bukan minyak bumi dan gas mengalami penurunan yang cukup berarti sejalan dengan lesunya kegiatan sektor industri di dalam negeri sebagai akibat dari krisis ekonomi. Dalam upaya mengatasi krisis ekonomi dan keuangan, Indonesia mendapat bantuan dari beberapa negara maju dan lembaga-Iembaga keuangan internasional, terutama Darilnternational Monetary Fund (IMF). Dengan adanya bantuan tersebut, tekanan terhadap transaksi modal pada neraca pembayaran telah dapat dikurangi dan surplus transaksi berjalan telah dapat dibarengi pula dengan surplus transaksi modal, sehingga dalam tahun 1998 Indonesia diperkirakan masih mengalami surplus neraca pembayaran. Krisis ekonomi Asia pada dirinya melanda dan melibatkan sejumlah negara-negara yang juga merupakan anggota forum kerjasama ekonomi Asia Posifik (APEC). Dalam pertemuan para pemimpin APEC tahun 1998, yang dilangsungkan di Kuala Lumpur, telah dicapai kesepakatan terhadap upaya mengatasi masalah krisis yang dihadapi anggotanya, serta Departemen Keuangan Republik Indonesia 286 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 usaha pencegahan penularannya kepada negara-negara lain. Dalam upaya untuk mengatasi krisis keuangan dari pemulihan ekonomi itu, para pemimpin negara APEC dalam pertemuan tersebut, secara garis besar telah menyepakati langkah-langkah untuk melaksanakan kebijakan ekonomi makro yang berorientasi pada pertumbuhan, memberikan dukungan internasional bagi penciptaan lapangan kerja dan jaring pengaman sosial (social safety net), melakukan perbaikan sektor usaha dan keuangan serta memperkuat arsitektur keuangan internasional. Sementara itu, sebelum pertemuan kepala-kepala negara APEC dilangsungkan, dalam rangka memulihkan pertumbuhan di negara-negara Asia yang mengalami krisis, Amerika Serikat dan Jepang dengan dibantu Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB), sepakat untuk menggalang dana yang akan digunakan untuk melaksanakan program pemulihan dan pertumbuhan Asia (Asian Growth and Recovery Program). Dana tersebut ditujukan untuk memacu percepatan restrukturisasi perusahaan dan rekapitalisasi perbankan, meningkatkan pembiayaan perdagangan (trade financing) agar memberikan kemudahan bagi perusahaan untuk menggerakkan produksi dan menciptakan lapangan kerja, mendukung investasi swasta baru melalui jaminan asuransi serta mengembangkan bantuan teknis dalam usaha melakukan restrukturisasi perusahaan dan keuangan. 4.2 Perkembangan Ekonomi dan Moneter Internasional dalam Tahun 1998 Kondisi ekonomi dan finansial dunia dalam satu tahun ini, khususnya dalam beberapa bulan belakangan ini memburuk sebagai dampak dari resesi yang semakin dalam di sejumlah negara Asia, Jepang, dan Rusia. Imbas negatifnya telah dirasakan di berbagai bursa saham dunia, munculnya perbedaan tingkat bunga yang menyolok di antara negara Asia yang terkena krisis, tekanan akut yang dialami oleh sejumlah mata uang, dan makin merosotnya harga-harga komoditi. Sungguhpun dampak krisis tersebut terhadap negara-negara industri Eropa dan Amerika Utara sejauh ini relatif kecil, namun mulai dirasakan pengaruhnya terutama terhadap kegiatan sektor industri. Pertumbuhan ekonomi dunia dalam tahun 1998 diperkirakan hanya sebesar 2 persen, lebih rendah dari angka pertumbuhan yang dicapai tahun sebelumnya sebesar 4,1 persen. Sejalan dengan hal tersebut, peluang bagi membaiknya pertumbuhan ekonomi dunia dalam tahun 1999 juga mengecil, sementara fisiko kemerosotan yang lebih lama, luas dan dalam semakin meningkat. Departemen Keuangan Republik Indonesia 287 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Di negara-negara maju secara keseluruhan, pertumbuhan ekonomi dalam tahun 1998 diperkirakan merosot menjadi 2,1 persen dari 3,1 persen yang dicapai dalam tahun sebelumnya. Sementara itu untuk kelompok negara-negara industri utama (G- 7), kinerja pertumbuhan juga terlihat menurun dari 2,9 persen dalam tahun 1997 menjadi 2,1 persen dalam tahun 1998 yang lebih dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi Jepang yang diperkirakan mengalami kontraksi sebesar 2,5 persen dalam tahun 1998. Sekalipun demikian, pertumbuhan ekonomi terus berlanjut di beberapa negara industri maju dan di sejumlah negara-negara industri yang lebih kecil di Eropa. Ekspansi ekonomi Amerika Serikat yang mengesankan sejak beberapa tahun lalu antara lain didorong oleh konsolidasi fiskal yang memungkinkan munculnya surplus anggaran belanja, kebijaksanaan moneter yang berhasil menopang ekspansi namun dapat mempertahankan inflasi yang rendah, didukung oleh pasar barang serta pasar tenaga kerja yang fleksibel, telah menghasilkan pertumbuhan kesempatan kerja yang cepat. Namun demikian, dampak dari krisis finansial Asia sekarang ini juga dirasakan oleh negara tersebut, dan akan mempengaruhi perilaku kebijaksanaan moneter negara tersebut selama periode mendatang. Krisis finansial Asia telah menyumbang terhadap penurunan permintaan luar negeri terhadap produk-produk Amerika Serikat. Untuk tahun 1998, pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat diproyeksikan sedikit menurun, yang sebagian disebabkan oleh menurunnya permintaan internasional atas produk-produk ekspor negara tersebut. Kanada yang dalam dua tahun sebelumnya mencatat pertumbuhan yang cukup kuat, tahun ini diperkirakan mengalami pertumbuhan yang melambat terutama sebagai dampak dari krisis Asia pula. Otoritas moneter Kanada menaikkan tingkat bunga resmi pada akhir Agustus yang la1u dalam upaya meredakan tekanan terhadap nilai tukar matauangnya menyusul depresiasi yang cukup signifikan dalam beberapa bulan terakhir. Untuk saat ini, belum begitu jelas apakah tindakan tersebut akan menimbulkan akibat yang merugikan atau tidak terhadap pertumbuhan ekonomi. Di Inggris, peningkatan suku bunga yang dilakukan oleh Bank of England di bulan Juni tahun lalu berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi negara tersebut yang diperkirakan lebih rendah dalam tahun ini. Sementara itu, konsolidasi fiskal yang dilakukan bersamaan dengan kondisi moneter ketat sejak awal tahun 1997 yang lalu telah memperlambat momentum peningkatan dalam permintaan domestik dari membantu dalam menahan fisiko inflasi. Departemen Keuangan Republik Indonesia 288 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Di antara negara-negara industri utama G-7, Jepang merupakan satu-satunya negara anggota yang pertumbuhan ekonominya dalam tahun 1998 diperkirakan mengalami kontraksi, yaitu minus 2,5 persen dibanding pertumbuhan 0,8 persen dalam tahun sebelumnya. Aktivitas ekonomi yang mulai meningkat dalam kwartal ketiga tahun 1997, berbalik diikuti oleh kemerosotan produksi nasional dalam tiga kwartal berikutnya, dari kemunduran situasi ekonomi paling signifikan terjadi pada paruh pertama tahun 1998. Faktor-faktor yang menyebabkan kinerja ekonomi Jepang yang mengecewakan ini, antara lain ialah memburuknya kinerja sektor finansial khususnya di sektor perbankan, penarikan dalam jumlah besar stimulus fiskal sejak April 1997, imbas dari krisis ekonomi yang melanda negara-negara tetangganya serta melemahnya kepercayaan. Untuk merespon keadaan yang memburuk ini, pemerintah Jepang dalam bulan April 1998 mengumumkan suatu paket stimulus fiskal yang meliputi pajak dari pengeluaran pemerintah sebesar 2,5 persen dari PDB, yang terutama dikonsentrasikan untuk parnh kedua tahun 1998. Paket stimulus fiskallanjutan, termasuk penurunan pajak, diumumkan kembali pada bulan Agustus 1998. Sementara itu, untuk menenangkan kondisi pasar uang, Bank of Japan menyediakan likuiditas yang besar, termasuk menurunkan suku bunga pinjaman antar bank. Perkembangan di tiga negara maju lainnya yaitu Jerman, Perancis, dan Italia, meskipun dihadapkan dengan situasi yang kurang menguntungkan dari krisis Asia, Namun terdapat tanda-tanda yang memberi harapan bahwa pemulihan ekonomi makin meluas dan kuat. Sementara itu, untuk kasus Jerman dari Perancis terlihat pula tanda-tanda bahwa permintaan domestik telah menggantikan peran ekspor sebagai mesin pertumbuhan yang utama. Sekalipun demikian, pemulihan ekonomi di ketiga negara industri maju tetsebut dapat dikatakan relatif masih dalam tahap awal. Momentum pertumbuhan diperkirakan baru dapat dipertahankan secara baik dalam tahun 1999. Di antara negara-negara berkembang, pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang di kawasan Timur Tengah dari Eropa diperkirakan melemah, turun rari 4,7 persen dalam tahun 1997 menjadi 2,3 persen dalam tahun 1998 ini. Penurunan yang tajam dalam harga minyak telah menimbulkan dampak yang merugikan terhadap kegiatan ekonomi tidak saja bagi negara-negara berkembang penghasil minyak di kawasan itu tetapi juga di negara-negara lainnya karena berkurangnya transfer uang para pekerja di Timur Tengah. Berkurangnya pengeluaran-pengeluaran fiskal di Iran, Saudi Arahia, dan negara-negara penghasil minyak Departemen Keuangan Republik Indonesia 289 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 lainnya dalam upaya mengekang lebih jauh kemerosotan anggaran dari neraca pembayaran, telah menyebabkan menurunnya pertumbuhan di negara-negara tersebut. Pertumbuhan ekonomi Turki dalam tahun 1998 ini diproyeksikan melambat, sebagian disebabkan oleh dampak jangka pendek dari pelaksanaan kebijaksanaan memerangi inflasi yang seuang dilaksanakan. Di negara-negara berkembang kawasan Amerika Latin, melemahnya harga minyak berperan terhadap kinerja pertumbuhan yang lebih rendah di Kolombia, Meksiko, dan khususnya Venezuela yang disebabkan oleh pengurangan produksi minyak dan pengetatan fiskal. Naiknya tingkat bunga berkenaan dengan adanya tekanan dalam pasar finansial telah mempengaruhi prospek pertumbuhan di negara tersebut. Di Meksiko, menyusul langkah penyesuaian fiskal yang dilakukan di bulan Januari dan Maret 1998 yang lalu, pemerintah Meksiko pada bulan Juli 1998 kembali mengambil kebijaksanaan tambahan yang ditujukan untuk mengimbangi dampak menurunnya harga minyak terhadap anggaran negara. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Chili juga diperkirakan menurun, terutama disebabkan oleh kebijaksanaan uang ketat yang diberlakukan di negara tersebut dan lemahnya permintaan dari pasar Asia yang merupakan sepertiga dari pangsa ekspor Chili. Demikian pula halnya dengan Brasil, tekanan-tekanan di pasar finansial yang dialami oleh negara tersebut berkaitan dengan krisis Asia dan Rusia, dirasakan lebih berat. Pertumbuhan ekonomi Brasil dalam tahun 1998 ini diperkirakan jauh melambat menjadi 1,5 persen dibanding dengan yang dicapai dalam tahun 1997 sebesar 3,2 persen. Perkembangan dalam perekonomian negara-negara berkembang kawasan Afrika masih tetap tidak seimbang. Sebagian negara-negara di Afrika Utara telah memperoleh manfaat dari meningkatnya produksi pertanian, penurunan dalam harga minyak dan harga-harga komoditi bukan minyak, dan menguatnya pertumbuhan ekonomi di Eropa. Namun, negara-negara Afrika lainnya mengalami dampak yang tidak menguntungkan dari melemahnya harga-harga komoditi bukan minyak tersebut, dan di beberapa negara lainnya gangguan terhadap pertumbuhan ekonomi berasal dari kerusuhan sosial dan pergolakan militer. Afrika Selatan adalah satusatunya negara di kawasan Afrika yang mengalarni pengaruh cukup besar dari krisis Asia. Kinerja ekonomi di kelompok negara-negara transisi dalam tahun 1998 ini diperkirakan mengalami perkembangan yang beragam. Ketiga negara Baltik, yaitu Lithuania, Latvia dan Estonia, bersama dengan Polandia dalam tahun 1998 diperkirakan mencatat pertumbuhan yang lebih cepat, yang didorong oleh cepatnya pertumbuhan permintaan domestik khususnya Departemen Keuangan Republik Indonesia 290 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 investasi sektor swasta. Di Hongaria, kebijaksanaan penyesuaian (adjustment policy) yang dilakukan sejak 1995 telah berhasil meletakkan dasar bagi pembangunan yang berkelanjutan, dan mempercepat pertumbuhan ekonomi negara tersebut sebesar 5,2 persen dalam tahun 1998. Bulgaria yang sampai tahun 1997 yang lalu masih mengalami kontraksi pertumbuhan dan ketidakstabilan ekonomi makronya, aktivitas ekonomi telah mulai giat kembali dalam tahun 1998 ini menyusul langkah-langkah baru ke arah stabilisasi dan restrukturisasi. Namun sebaliknya, Republik Kroasia dan Siowakia, pertumbuhan ekonominya diperkirakan agak melambat dan defisit transaksi berjalan di kedua negara tersebut mendekati 10 persen dari PDB. Begitu pula halnya, sebagai dampak ketertinggalan dalam program-program stabilisasi dan restrukturisasinya, Rumania dalam tahun 1998 diperkirakan masih mengalarni kontraksi ekonomi sebagaimana dalam tahun sebelumnya. Di Rusia, prospek dan pertumbuhan ekonomi negara tersebut menjadi rusak sebagai akibat hebatnya tekanan di pasar Uang semenjak hulan Mei 1998 dan mencapai puncaknya dalam bulan Agustus 1998. Pertumbuhan ekonomi Rusia sangat dipengaruhi oleh anjloknya permintaan domestik, dan kekacauan di dalam sistem keuangan dan sistem pembayaran. Produksi nasionalnya mengalami kontraksi sebesar 6 persen dalam tahun 1998. Sementara itu di Ukraina, adanya dampak penularan (contagion effects) Dari krisis Rusia dan diberlakukannya kebijaksanaan moneter yang ketat untuk menopang pemberlakuan band nilai tukar yang baru, membuat pertumbuhan ekonomi Ukraina diperkirakan minus 0,1 persen dalam tahun ini (lihat Tabel IV.! dan Tabel IV.2). Menyangkut harga-harga komoditi, kondisi ekonomi di Asia yang memburuk merupakan faktor utama di belakang penurunan harga-harga komoditi dunia selama paruh pertama tahun 1998. Persetujuan-persetujuan yang dicapai di antara negara-negara produsen minyak di bulan April 1998 yang lalu dalam rangka mengurangi produksi, hanya menghasilkan kenaikan harga minyak yang sementara saja, sementara pasar tetap skeptis terhadap efektivitas pengurangan produksi tersebut. Setelah harga turun kembaIi di pertengahan Juni, harga minyak kemba1i agak membaik setelah adanya komitmen baru untuk pengurangan produksi oleh negara-negara produsen minyak di akhir Juni 1998, namun kembali menurun di bu1an Agustus. Sementara itu, harga-harga komoditi bukan minyak terus me1emah antara bulan Mei hingga Agustus dengan rata-rata sekitar 9 persen karena situasi di Asia dan negara-negara berkembang maju (emerging markets) lainnya yang memburuk. Untuk seluruh tahun 1998, harga- harga Departemen Keuangan Republik Indonesia 291 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 komoditi bukan minyak diproyeksikan 1ebih rendah sekitar 12 persen dari pada tahun 1997. Krisis yang cukup mendalam di pasar uang negara-negara emerging markets dan memburuknya situasi di Jepang pada gilirannya telah menimbulkan pengaruh yang cukup besar pula terhadap pasar uang di negara-negara maju. Pasar-pasar uang di Amerika Serlkat dan Eropa pada awalnya memperoleh keuntungan pada saat hasil obligasi menurun, dan menguatnya dolar Amerika Serikat serta beberapa matauang utama Eropa. Tekanan kemerosotan alas pasar uang terutama terbatas di Jepang dan negara-negara pengekspor komoditi utama seperti Kanada dan Australia, yang dirasakan paling rentan terhadap dampak negatip dari penurunan aktivitas ekonomi berkepanjangan di Asia. Namun sifat dari pengaruh penularan (contagion effect) tersebut berubah dalam bulan Agustus dan awal September 1998 ketika dimensi krisis berubah menjadi lebih mengglobal. Hasil-hasil obligasi pemerintah makin menurun, terutama di Amerika Serikat, Inggris dan negara-negara Eropa lainnya, yang tercermin dari semakin membesarnya perbedaan pengembaIian hasil secara intemasional atas obligasi pemerintah maupun obligasi perusahaan. Selain dari pada itu, bursa saham di negara-negara industri maju mengalarni koreksi yang tesar, dan dolar Amerika Serikat melemah terhadap yen dan matauangmatauang Eropa yang tergabung kedalam mekanisme nilai tukar (Exchange Rate Mechanism, ERM ) Di pasar devisa, nilai dolar Amerika Serikat mencapai level tertingginya di pertengahan Juli 1998 yang antara lain didorong oleh pertumbuhan permintaan domestik yang kuat di Amerika Serikat, perbedaan tingkat bunga dari aset-aset dalam denominasi dolar, dan sebagai tempat penyimpanan yang aman di tengah-tengah memburuknya sentimen terhadap negaranegara emerging markets. Namun dolar Amerika Serikat kembali menurun tajam di akhir Agustus dan awal September 1998 ketika krisis pasar uang menjalar ke Rusia dan Amerika Latin, yang mendorong terjadinya koreksi terhadap harga-harga saham Amerika Serikat. Departemen Keuangan Republik Indonesia 292 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tab e I IV.1 LAJU PERTUMBUHAN EKONOMI DI BERBAGAI NEGARA DI DUNIA, 1996 - 1998 (dalam persentase) Kelompok negara 1996 1997 (1) (2) (3) A. Donia 19981) (4) 4,2 4,1 2,0 B. Negara-negara maju 3,0 3,1 2,0 Tujuh negara industri utama 2,8 2,9 2,1 1. Jepang 3,9 0,8 -2,5 2. Amerika Serikat 3,4 3,9 3,5 3. Jerman 1,3 2,2 2,6 4. Inggris 2,2 3,4 2,3 5. Perancis 1,6 2,3 3,1 6. Italia 0,7 1,5 2,1 7. Kanada 1,2 3,7 3,0 Negara-negara maju lainnya 3,8 4,2 1,4 6,6 5,8 2,3 1. Afrika 5,8 3,2 3,7 2. As i a 8,2 6,6 1,8 3. Amerika Latin 3,5 5,1 2,8 4. Eropa dan Timur Tengah 4,7 4,7 2,3 -1,0 2,0 -0,2 C. Negara-negara berkembang D. Negara-negara dalam transisi 1. Eropa Timur dan Tengah 1,6 2,8 3,4 -5,0 0,9 -6,0 1,6 2,1 4,1 1. Malaysia 8,6 7,8 -6,4 2. Philipina 5,7 5,1 -0,6 3. Singapura 6,9 7,8 0,0 4. Thailand 5,5 --{) , 4 -8,0 5. Brunei Darussalam 2,8 3,5 4,5 7,982) 4,653) - 13,06 7. Vietnam 9,3 8,8 4,0 8. Laos 6,8 6,5 _4) 9. Myanmar 7,0 7,0 _4) 2. R us i a 3. Asia Tengah dan Transkaukasus E. Negara-negara ASEAN 6. Indonesia I ) Perkiraan 2) Angka sementara 3) Angka sangat sementara 4) Data belum tersedia Departemen Keuangan Republik Indonesia 293 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tab e I IV. 2 LAJU INFLASI DI BERBAGAI NEGARA DI DUNIA, 1996- 1998 (dalam persentase) Kelompok negara 1996 (I) (2) 1997 19981) (3) (4) A. Negara-negara maju 2,4 2,1 1,7 Tujuh negara industri utama 2,2 2,0 1,4 1. Jepang 0,1 1,7 0,4 2. Amerika Serikat 2,9 2,3 1,6 3. Jennan 1,5 1,8 1,0 4. Inggris 2,9 2,8 2,8 5. Perancis 2,0 1,2 1,1 6. ltalia 3,9 1,7 1,8 7. Kanada 1,6 1,4 1,3 Negara-negara majillainnya 3,3 2,6 3,0 B. Negara-negara berkembang 14,1 9,1 10,3 1. Afrika 26,7 11,0 7,7 2. As i a 7,9 4,7 8,3 3. Amerika Latin 20,8 13,9 10,8 4. Eropa dan Timur Tengah 24,6 22,6 22,6 41,4 27,9 29,5 1. Eropa Timur dan Tengah 32,4 38,2 18,3 2. R us i a 47,8 14,7 48,4 3. Asia Tengah dan Transkaukasus 68,7 31,0 20,6 I. Malaysia 3,5 2,7 6,0 2. Philipina 8,4 6,0 10,0 3. SingaPDRB 1,4 2,0 1,8 4. Thailand 5,9 5,6 9,0 5. Brunei Darussalam 2,0 1,7 2,5 6. Indonesia 6,47 11,05 77 ,63 2) 7. Vietnam 5,8 3,2 9,0 8. Laos 13,0 19,3 9 Myanmar 20,0 10,0 C. Negara-negara dalam transisi D. Negara-negara ASEAN 2) _3) _3) I) Perkiraan, kecuali untuk Indonesia angka realisasi 2) Januari - Desember 1998 (dihinmg berdasarkan perubahan IHK bulan Desember 1998 (198,64) terhadap IHK bulan Desember 1997 (llI,83) 3) Data belum tersedia Departemen Keuangan Republik Indonesia 294 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Depresiasi yen Jepang semakin cepat pada bulan Mei dan awal Juni 1998 ketika kontraksi ekonomi di negara tersebut dalam kuartal pertama menjadi makin jelas di samping meningkatnya kerawatiran mengenai prospek penyelesaian awal dalam masalah-masalah perbankan. Nilai tukar yang lebih rendah dari 145 yen per 1 US$ terjadi pada pertengahan Juni sebelum menguat lagi sebagai dampak intervensi terkoordinir oleh otoritas moneter Jepang dan Amerika Serikat serta dan didukung pula oleh pengumuman pemberlakuan inisiatif baru di sektor perbankan oleh otoritas moneter dalam bulan Juli 1998. Yen kemudian turun lagi ke titik terendah barunya sebelum kembali menguat pada akhir Agustus dan awal September 1998. Di Eropa, pergerakan pound sterling terutama dipengaruhi oleh perubahan ekspektasi menyangkut kebijaksanaan moneter di Inggris sendiri setelah pound menguat untuk sementara dalam bulan Juni menyusul dinaikkannya suku bunga resmi oleh Bank of England, kemudian melemah ketika terdapat tanda-tanda bahwa perekonomian Inggris agak melambat, di samping tingkat upah dan tekanan inflasi yang mulai melemah. Prospektif mata uang negara-negara Eropa yang akan bergabung kedalam wilayah "Euro", pada umumnya menguat, khususnya semenjak akhir Agustus yang lalu pada saat dolar Amerika Serikat melemah. Sebagian besar mata uang di wilayah tersebut tetap mendekati nilai paritas tengah dari mekanisme nilai tukar (ERM) terkecuali pound Irlandia dan drachma Yunani. Sejak pertengahan April 1998, otoritas moneter di sebagian besar negara-negara industri mempertahankan tingkat bunga jangka pendek yang tetap rendah mengingat dampak deflasioner dari krisis Asia cukup membantu dalam mengekang tekanan inflasioner. Di antara negaranegara pengekspor komoditi utama, tekanan yang kuat terhadap kurs mata uang negara-negara tersebut telah mendorong naiknya tingkat bunga seperti yang dialami oleh Norwegia dan Kanada. Tekanan yang serupa juga mendorong kenaikan tingkat bunga pasar jangka pendek di Selandia Baru dan Australia, sementara timbulnya kekhawatiran mengenai inflasi telah mendorong kenaikan tingkat bunga di Inggris. Sebaliknya di Swedia, tingkat bunga resmi mengalami penurunan. Sementara itu, bank sentral Jepang menurunkan target suku bunga pinjaman antar bank di awal September di tengah-tengah berkembangnya kekhawatiran mengenai tekanan deflasi dan masalah-masalah di sektor perbankan. Adanya krisis Asia telah menimbulkan pergeseran dalam aliran modal internasional, dengan implikasi penyesuaian terhadap posisi neraca pembayaran di banyak negara, baik di negara-negara yang tertimpa krisis maupun mitra dagangnya. Dalam tahun 1997, aliran modal Departemen Keuangan Republik Indonesia 295 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 swasta neto ke negara-negara "emerging markets" diperkirakan menurun menjadi US$ 124 miliar dari level tertinggi yang pernah dicapai sebesar US$ 215 miliar pada tahun 1996, di mana Asia terhitung mengalami penurunan yang paling besar. Aliran modal swasta neto dalam tahun 1998 secara keseluruhan diproyeksikan mengalami penurunan lebih jauh dibanding dengan tahun 1997 yaitu menjadi sebesar US$ 57 miliar. Pemulihan bertahap dalam aliran modal swasta tersebut baru diperkirakan terjadi di penghujung tahun 1998 pada saat kepercayaan mulai pulih, dan ini diperkirakan akan tercermin dalam pemulihan aliran modal swasta untuk tahun 1999. Mengenai perkembangan neraca transaksi berjalan, bagi kelima negara Asia yang mengalarni krisis paling berat yaitu Indonesia, Korea, Malaysia, Filipina dan Thailand, gabungan transaksi berjalan dari kelima negara ini diproyeksikan surplus sebesar US$ 57 miliar dalam tahun 1998 dibandingkan dengan defisit gabungan sebesar US$ 24 miliar dalam tahun 1997 dan defisit US$ 54 miliar pada tahun 1996. Pergeseran yang besar dari defisit ke surplus ini sebagian ditimbulkan oleh terjadinya depresiasi yang besar dalam mata uang negara-negara tersebut, dan sebagian lagi disebabkan oleh tertekannya permintaan domestik sebagai akibat kondisi finansial yang ketat. Proses penyesuaian di negara-negara Asia yang mengalami krisis hingga kini terutama terjadi melalui penurunan yang tajam dalam impor, namun peningkatan yang besar dalam daya saing diperkirakan dapat mendorong ekspor, terutama bilakondisi finansial melonggar. Sementarai tu menyangkut pergerakan mata uang, dapat dicatat bahwa dalam jangka waktu 1.4 bulan sejak Juli 1997 hingga September 1998, nilai tukar efektif riil (the real effective exchange rate) Korea, Malaysia, Filipina dan Thailand merosot antara 18 hingga 28 persen, sementara Indonesia merosot sebesar 60 persen. Negara-negara emerging markets lainnya yang mengalami penurunan aliran modal, posisi neraca transaksi berjalannya diproyeksikan semakin membaik, yang sebagian disebabkan oleh pelaksanaan langkah-Iangkah penyesuaian. Perbaikan dalam posisi transaksi berjalan yang terjadi di negara-negara di mana pembiayaan terhadap defisit transaksi berjalan merupakan kendala bagi negara-negara tersebut, akan menyumbang terhadap kemerosotan neraca transaksi betjalan negara-negara lain, baik negara-negara emerging markets maupun negara-negata maju yang mengalami permintaan ekspor yang rendah, kemerosotan daya saing, dan turunnya hargaharga komoditi ekspor. Di antara kawasan negara-negara berkembang, pergeseran terbesar posisi transaksi Departemen Keuangan Republik Indonesia 296 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 berjalan dari surplus ke defisit terjadi di kawasan Timur Tengah dan Eropa, yaitu dari surplus US$ 3,7 miliar dalam tahun 1997 menjadi defisit US$ 20,3 rniliar dalam tahun 1998, atau pergeseran sebesar US$ 24 miliar, yang mencerminkan memburuknya transaksi berjalan negaranegara penghasil minyak. . Di negara-negara maju sebagai suatu kelompok, transaksi berjalan diproyeksikan mengalami kemerosotan dari surplus sebesar US$ 69,4 miliar dalam tahun 1997 menjadi surplus US$ 39,6 miliar dalam tahun 1998. Komponen utama dari penurunan surplus tersebut adalah melebamya defisit transaksi berjalan Amerika Serikat sebesar US$ 81 miliar dari US$ 155,2 miliar dalam tahun 1997 menjadi US$ 236,3 miliar dalam tahun 1998. Sementara itu surplus transaksi berjalan negara-negara yang tergabung ke dalam Uni Eropa diproyeksikan mengecil dari US$ 123,3 miliar dalam tahun 1997 menjadi US$ 96,6 miliar dalam tahun 1998. Dalam pada itu, surplus transaksi berjalan Jepang diproyeksikan meningkat sebesar US$ 37,3 miliar, dari sebesar US$ 94,1 miliar menjadi US$ 131,4 miliar dalam tahun 1998 (lihat Tabel IV.3). Krisis ekonomi yang terjadi di sejumlah negara Asia dan Rusia, yang menimbulkan dampak merugikan bagi negara-negara di kawasan lain dan bahkan dunia, telah memberikan penekanan baru dalarn kerjasama ekonorrii regional dan internasional. Dalam pertemuan puncak (KTT) Asia-Eropa (ASEM) tanggal 3-4 April 1998 di London, dicapai beberapa kesepakatan antara lain negara-negara Eropa berjanji untuk membantu mengatasi krisis ekonomi dan memulihkan kembali kepercayaan dLkawasanAsia. Selain dari pada itu" telah dipandang perlu meningkatkan pelaksanaan reformasi ekpnomi, transparansi dan dialog untuk menciptakan kestabilan ekonomi, moneter, serta liberalisasi perdagangan yang lebih luas dalam bentuk pasar yang makin terbuka, baik di Asia maupun Eropa. Menyadari bahwa menyatunya ekonomi global adalah kenyataan yang tak bisa dipungkiri, maka kedua belah pihak perlu terus meningkatkan kerjasama dan saling membantu dengan prinsip saling menghormati dan memahami satu sama lain. Dalam pertemuan di Washington DC tanggal 30 Oktober 1998 yang lalu, para pemimpin negara-negara kelompok G- 7 dalam statementnya mendukung dan menyambut baik langkah-langkah yang telah dideklarasikan oleh para menteri keuangan dan gubernur bank sentral kelompok negara tersebut dalam mengatasi masalah-masalah mendesak dan segera, serta kelemahan-kelemahan dalam jangka panjang di dalam sistem keuangan internasional. Beberapa hal penting yang dikemukakan dalam kesepakatan G-7 tersebut, antara lain perlunya meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui dorongan permintaan domestik; mengembangkan Departemen Keuangan Republik Indonesia 297 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel IV.3 TRANSAKSI BERJALAN NEGARA.NEGARA INDUSTRI DAN NEGARA.NEGARA BERKEMBANG, 1996. 1998 (dalam miliar US $) Kelompok negara (1) A. Negara-negara maju 1996 1997 (2) (3) 19981) (4) 34,3 69,4 39,6 - 21,4 6,0 - 67,4 65,8 94,1 131,4 2. Amerika Serikat 134,9 - 155,2 -236,3 3. Jerman -13,8 -4,0 6,4 4. Inggris -2,9 7,3 -18,7 5. Perancis 20,5 39,4 31,4 6. Italia 40,5 33,6 30,4 7. Kanada 3,3 -9,3 -11,9 Uni Eropa 90,8 123,3 96,6 Negara-negara maju lainnya 55,7 63,4 107,0 - 71,4 ....61,9 - 78,3 31,0 21,2 -15,3 -102,4 -83,1 -63,0 - 8,1 -1,7 4,54) Tujuh negara industri utama 1. Jepang B. Negara-negara berkembang 2) I. Pengekspor Minyak 2. Bukan Pengekspor Minyak 3. Indonesia 3) 1) Perkiraan 2) Termasuk transfer resmi (official transfer) 3) Tahun anggaran 4) Perkiraan realisasi Departemen Keuangan Republik Indonesia 298 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 dan melaksanakan aturan-aturan internasional mengenai peningkatan transparansi di bidang fiskal, kebijaksanaan moneter dan keuangan serta cara penyelenggaraan pengelolaan perusahaan yang baikk menciptakan suatu metode untuk memperkuat pengawasan terhadap sektor keuangan internasional dengan menyertakan para ahli nasional dan internasional serta lembaga-lembaga kunci; memperbaiki prosedur penanganan krisis termasuk keuangan IMF untuk mengatasi efek penularan; memperhatikan usulan-usulan untuk memperkuat The Interim and Development Committee dari IMF dan Bank Dunia. Para pemimpin ekonomi APEC dalam pertemuan yang ke 6 di Kuala Lumpur tanggal 17-18 Nopember 1998 sependapat bahwa krisis keuangan yang melanda sebagian anggota APEC telah menimbulkan dampak yang sangat dalam, seperti meningkatnya pengangguran dan turunnya pendapatan. Bahkan krisis juga telah meluas ke kawasan Asia Pasifik. Oleh karena itu, para pemimpin sepakat untuk meningkatkan kerjasama guna mendukung upaya pemulihan krisis secara dini dan berkelanjutan serta mencegah meluasnya pengaruh kawasan dan kemungkinan resesi dunia. Pertemuan yang menghasilkan deklarasi Cyberjaya yang berjudul "Strengthening The FounDarion for Growth" (Mtemperkuat Landasan bagi Pertumbuhan) antara lain menegaskan bahwa krisis keuangan sebagai tantangari" utama yang harus dihadapi dan perluriya bantuan negara maju untuk mengatasinya. Ditekankan, APEC harus menggalang kerjasama untuk mendorong pertumbuhan, restrukturisasi sektor perusahaan dan keuangan, rrienggalang arus modal swasta, memperkokoh arsitektur keuangan internasional serta peningkatan liberalisasi perdagangan dan investasi. Disamping itu anggota APEC perlu memperkokoh landasan bagi pertumbuhan berkelanjutan untuk memasuki era perdagangan bebas abad ke 21, antara lain dengan memperkuat jaring pengaman sosial, sistem keuangan individual dan global, arus investasi dan perdagangan, dan memperkuat infrastruktur ekonomi serta jaringan komersial dan bisnis. 4.3. Kebijaksanaan di Biuang Perdagangan Luar Negeri Krisis ekonomi yang melanda berbagai negara di kawasan Asia sejak pertengahan tahun 1997 selain memberikan pengaruh yang berarti terhadap aktivitas dan kinerja perekonomian negara-negara dalam kawasan itu, juga berimbas pada negara-negara di kawasan-kawasan lainnya. Hal ini antara lain terlihat pada perkembangan arus dan volume perdagangan di antara sesama negara yang terkena krisis atau antara negara-negara tersebut dengan negara-negara lain Departemen Keuangan Republik Indonesia 299 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 di kawasan Asia dan kawasan-kawasan lainnya, yang selanjutnya berpengaruh pula pada aktivitas dan kinerja perdagangan dunia, karena negara-negara di kawasan Asia selama ini mempunyai peran yang cukup besar dalam mempengaruhi konfigurasi perdagangan internasional. Kenyataan ini merupakan konsekuensi logis yang muncul dari krisis yang terjadi ditengah berkembangnya paradigma interdependensi dan negara tanpa batas (borderless) dalam kerangka liberalisasi dan perdagangan bebas antar negara atau antar kawasan. Bagi Indonesia, krisis ekonomi yang antara lain ditandai dengan depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yang sangat tajam sejak pertengahan tahun 1997 lalu, selain menyebabkan menurunnya aktivitas produksi, investasi dan perdagangan serta melonjaknya inflasi juga telah mengakibatkan munculnya berbagai permasalahan sosial dan politik di dalam negeri. Permasalahan tersebut antara lain adalah meningkatnya angka pengangguran dan merebaknya kerusuhan sosial. Menyadari bahwa persoalan-persoalan yang sudah demikian kompleks tersebut tidak serta mernadapat ditanggulangi secara cepat, maka pemerintah secara bertahap berupaya melakukan langkah-Iangkah penyesuaian dalam rangka mendorong pemulihan dan penyehatan perekonomian nasional secara menyeluruh. Langkah-Iangkah penyesuaian dimaksud merupakan bagian integral dari kebijaksanaan rehabilitasi, stabilisasi dan restrukturisasi ekonomi melalui reformasi di sektor moneter, fiskal maupun sektor riil. Kebijaksanaan perdagangan luar negeri, yang merupakan bagian dari agenda reformasi dan stabilisasi ekonomi di sektor riil,.di satu sisi tetap diarahkan pada upaya untuk meningkatkan efisiensi ekonomi, daya tahan dan daya saing ekonomi secara global (competitiveness) serta dalam rangka pemenuhan kebutuhan atau permintaan di dalam negeri, sementara di sisi lain diupayakan untuk meningkatkan kepercayaan pihak luar negeri guna memperlancar transaksi perdagangan luar negeri, baik di bidang ekspor maupun di bidang impor barang dan jasa. 4.3.1 Kebijaksanaan di Biuang Ekspor Kebijaksanaan di bidang ekspor yang telah dan akan ditempuh Pemerintah tetap diarahkan pada peningkatan efisiensi dan produktivitas usaha. Untuk mengatasi kesulitan bahan baku bagi industri-industri yang berorientasi ekspor karena ditolaknya L/C impor oleh perbankan di luar negeri, Pemerintah telah menyediakan berbagai fasilitas yang merupakan Departemen Keuangan Republik Indonesia 300 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 bagian dari skim pembiayaan perdagangan (trade financing scheme), diantaranya fasilitas postshipment yang dibenkan kepada Perusahaan Eksporti Tertentu (PET) maupun non-PET, fasilitas rediskonto preshipment, fasilitas Swap dan forward, skim penjaminan L/C yaitu penempatan dana jaminan sebesar US$ 1 miliar pada 10 bank asing yang diberikan hanya kepada perusahaan berstatus PET, fasilitas rediskonto alas dasar Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN) yang diberikan kepada pemasok yang terkait dengan PET. Selain itu, untuk tujuan yang sama Pemerintah mengadakan kerjasama bilateral dengan beberapa negara sahabat, diantaranya berupa skim EPIC-Australia yang diberikan kepada perusahaan PET maupun non-PET, skim JEXIM dengan plafon US$ I miliar atau ekuivalen yen diberikan kepada perusahaan berstatus PET dan perusahaa njoint venture dengan Jepang, skim GSM 102 USA dengan plafon US$ 400 juta dengan jangka waktu 1 tahun diberikan kepada perusahaan PET maupun non PET, skim Kanada dengan plafon CAD 250 juta dengan jangka waktu 2 tahun dibenkan untuk impor gandum yang dilaksanakan oleh BULOG. Seiring dengan itu, sejak bulan Juli 1998 Pemerintah mengadakan program jaminan ekspor pre-shipment kepada eksportir yang sudah memperoleh LlC dart luar negeri. Jaminan ini diberikan dengan membayar biaya (fee) untuk setiap pinjaman dengan fisiko ditanggung bersama antara Pemerintah dan bank pelaksana. Dengan tidak mengubah tujuan dan ketentuan yang te1ah ditetapkan mengenai kelompok komoditi ekspor bagi PET, Pemerintah sejak Februari 1998 telah menambah cakupan kelompok komoditi ekspor bagi PET sebanyak 10 kelompok komoditi, sehingga jumlah keseluruhannya menjadi 29 kelompok komoditi. Tambahan 10 kelompok komoditi tersebut meliputi produk baja dan logam dasar, produk alat komponen, produk kimia, produk bahan galian non logam, barang dari plastik, barang pakaian dan perlengkapan dari karet, peralatan optik dan bagiannya, lonceng dan arloji, alat tulis, dan rambut palsu. Selanjutnya, untuk menjamin mutu produk ekspor dalam rangka meningkatkan daya saing, perlindungan konsumen, dan perlindungan tenaga kerja, baik dalam segi keselamatan, kesehatan, maupun lingkungan, maka Pemerintah telah melakukan penyempurnaan ketentuan mengenai pengawasan multi produk, yaitu dengan menetapkan bahwa pengawasan multi produk slap ekspor sebelum dikapalkan, dilaksanakan melalui sertifikasi dalam bentuk sertifikat kesesuaian multi (SM) yang dikeluarkan oleh laboratorium penguji. Laboratorium penguji yang diperkenankan melakukan pengujian adalah laboratorium yang telah mendapatkan akreditasi Departemen Keuangan Republik Indonesia 301 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 dari komite akreditasi nasional dan hanya menguji sesuai dengan ruang lingkup akreditasi yang diperoleh. Dalam rangka meningkatkan daya saing dan efisiensi pemanfaatan hasil bulan, dengan tetap memperhatikan kelestarian sumber daya hutan sebagai penyangga kualitas lingkungan global, Pemerintah telah mengeluarkan ketentuan tentang pelaksanaan ekspor kayu bulat, bahan baku serpih, kayu gergajian, kayu olahan, dan rotan. Kayu bulat dan bahan baku serpihan yang dapat diekspor adalah yang berasal dari Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI), Pemilik Kayu Rakyat dan Pemilik Kayu Hasil Perkebunan. Sebelum komoditi tersebut diekspor, para eksportir wajib melunasi Dana Reboisasi (DR) dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH). Kayu gergajian dan kayu olahan yang dapat diekspor adalah sebesar kemampuan dalam memproduksi kayu gergajian dan kayu olahan oleh industri pengolahan kayu yang sah dengan dilengkapi dokumen sural angkut kayu olahan (SAKO). Selanjutnya, rotan yang dapat diekspor adalah rotan yang diperoleh berdasarkan izin pengumpul/pemungut yang sah atas sejumlah target yang tercantum dalam izin pengumpulan/pemungutan dan atau sebesar kemampuan pengolahan industri rotan. Selain itu, dalam rangka meningkatkan dan mengembangkan ekspor tekstil dan produk tekstil (TPT), khususnya ke negara-negara kuota, Pemerintah telah melakukan penyempumaan sistem manajemen kuota yang lebih transparans, yaitu dengan mengeluarkan ketentuan mengenai kuota ekspor TPT, sehingga pemanfaatan kuota lebih optimal dan lebih menjamin kepastian berusaha bagi dunia usaha. Dalam ketentuan tersebut ditetapkan antara lain mengenai definisi hal-hal yang terkait dengan proses ekspor TPT, prosedur untuk menjadi eksportir terdaftar tekstil dan produk tekstil (ETTPT), jenis-jenis kuota, pemantauan, dan sanksi hukum. Selanjutnya, dalam rangka menjamin pemenuhan kebutuhan pokok dan sekaligus untuk menstabilkan harga barang-barang kebutuhan pokok di dalam Negeri, Pemerintah telah menempuh berbagai langkah kebijaksanaan, diantaranya dengan menetapkan besarnya tarif pajak ekspor kelapa sawit, minyak sawit, minyak kelapa dan produk turunannya. Besarnya pajak ekspor ditentukan dengan mengalikan tarif pajak ekspor, harga patokan ekspor, jumlah satuan barang, dan kurs. Besarnya tarif pajak ekspor sejak tanggal 7 luli 1998 adalah 60 persen masingmasing untuk kelapa sawit dan biji kelapa sawit, crude palm oil (CPO), dan crude palm olein (CPOlein), 55 persen masing-masing untuk refined bleached deodorized palm oil(RBD) dan refined bleached deodorized palm olein (RBD olein), 50 persen untuk crude palm kernel oil, 45 Departemen Keuangan Republik Indonesia 302 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 persen untuk RBD palm kernel oil, 40 persen untuk RBD olein dalam kemasan maksimum 5 kg dan bermerk, 25 persen untuk crude stearin, 20 persen masing-masing untuk RBD stearin dan crude coconuts oil (CCO) dan 15 persen untuk RBD coconut oil. Seiring.dengan itu, Pemerintah juga telah menetapkan pembatasan ekspor alas barangbarang kebutuhan pokok, khususnya barang-barang yang memperoleh subsidi dari Pemerintah. Dalam bulan luli 1998, Pemerintah,menetapkan barang-barang yang dibatasi ekspomya, yaitu tepung ikan, beras berkulit, beras digiling, beras setengah giling atau digiling seluruhnya, disosoh, dikilapkan maupun tidak, beras pecah, gandum durum benih, gandum durum lainnya, benih gandum selain gandum durum, lain-lain gandum selain gandum durum, meslin, gandum hitam, tepung gandum hitam, tepung beras, kacang kedelai pecah atau utuh kuning, kacang kedelai lain-lain, gula tebu, gula bit, gula tebu atau bit yang mengandung tambahan bahan flavour atau pewama, dan minyak tanah (kerosene, selain tire bahan bakar jet). Namun demikian, dengan dihapuskannya subsidi pemerintah terhadap beberapa barang-barang tertentu, maka dalam bulan September 1998 ketentuan tersebut telah diubah dengan hanya menetapkan pembatasan ekspor atas beras berkulit, beras digiling, beras setengah giling atau digiling seluruhnya, disosoh, dikilapkan maupun tidak, dan beras pecah. Dengan diberlakukannya ketentuan tersebut, maka barang-barang yang sebelumnya dibatasi ekspomya menjadi bebas untuk diekspor. Selain itu, Pemerintah juga menetapkan penghapusan pajak ekspor atas produk kulit, gabus (cork), bijih tambang (ores) dan aluminium, serta melakukan penjadwalan penurunan pajak ekspor alas beberapa komoditi yang mempunyai potensi cukup besar, diantaranya kayu gelondongan, kayu gergajian, rotan dan barang-barang mineral. Dalam rangka meningkatkan ekspor, Pemerintah juga terus berupaya memperluas pasar tujuan ekspor, antara lain dengan melakukan penetrasi pasar alternatif yang tidak menerapkan kuota ataupun memiliki kesamaan kultur, agama, dan etnis seperti negara-negara OKl, Afrika, bekas Uni Soviet dan Amerika Latin, disamping tetap memperkuat basis pasar tradisonal seperti ASEAN, MEE, Jepang dan Amerika Serikat. Perluasan pasar ekspor juga diupayakan dengan meningkatkan peranan perwakilan Indonesia di luar negeri, mengirim misi dagang secara selektif untuk menembus pasar alternatif maupun pasar tradisional, mengundang dan memberikan informasi kepada para dubes/ perwakilan dagang negara sahabat, menyebarluaskan inforrnasi ke luar negeri melalui media cetak/elektronik mengenai keadaan perekonomian dan politik Indonesia. Departemen Keuangan Republik Indonesia 303 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Seiring dengan itu, Pemerintah juga terus berupaya meningkatkan kerjasama internasional dan mendorong peningkatan kinerja para eksportir. Peningkatan kerjasama internasional diupayakan antara lain dengan menganakan pertemuan bilateral untuk membahas pengurangan/penghapusan hambatan perdagangan dan penyelesaian sengketa dagang, menjajaki pengakuan bilateral untuk sertifikasi multi yang dilakukan Indonesia atau oleh mitra dagang (mutual recognition arrangement), meningkatkan diplomasi dagang yang pro-aktif dan ofensif, mengoptimalkan peranan organisasi komoditi internasional, mengkaji dan menyelesaikan perrnasalahan anti dumping, subsidi ekspor dan diskriminasi tarif. Sedangkan peningkatan kinerja eksportir Indonesia antara lain diupayakan melalui penyebarluasan inforrnasi usaha yaitu inforrnasi mengenai peraturan pemerintah yang baru tentang ekspor, pasar tujuan ekspor, fasilitas-fasilitas ekspor, lembaga-Iembaga penunjang ekspor, dan profil negara tujuan ekspor. Selain itu, Pemerintah juga bernpaya mengoptimalkan peranan asosiasi-asosiasi untuk meningkatkan daya tawar eksportir dalam menangani masalah ekspor, baik di dalam maupun di luar negeri. 4.3.2 Kebijaksanaan di Bidang Impor Sebagai bagian dari program restrukturisasi perdagangan luar negeri, kebijaksanaan di bidang impor yang telah ditempuh oleh Pemerintah, selain dimaksudkan untuk mendorong peningkatan kemampuan produksi industri-industri dan pemenuhan kebutuhan pokok di dalam negeri, juga diarahkan pada upaya perlindungan industri-industri dan kelestarian lingkungan. Kebijaksanaan impor yang ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan pokok di dalam negeri dan peningkatan kemampuan produksi industri-industri dalam negeri diantaranya diupayakan melalui penyediaan berbagai fasilitas yang tercakup dalarn skim pembiayaan perdagangan ( trade financing scheme). Fasilitas pembiayaan perdagangan ini antara lain meliputi fasilitas rediskonto Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN) yang diberikan kepada pemasok yang terkait dengan perusahaan eksportir tertentu (PET), fasilitas penjaminan L/C dan skim kerjasama bilateral yang disediakan bagi industri-industri yang berorientasi ekspor dan mengalami kesulitan impor atas bahan baku karena penolakan L/C impor oleh perbankan di luar negeri, menyusul turunnya kepercayaan pihak luar negeri terhadap Indonesia akibat krisis ekonorni dan moneter. Penjaminan L/C juga diberikan untuk impor pangan dalam rangka pengadaan bahan pangan di dalam negeri. Departemen Keuangan Republik Indonesia 304 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Selanjutnya, kebijaksanaan impor yang dimaksudkan untuk melindungi industri-industri dalam negeri dan lingkungan antara lain mencakup kebijaksanaan pengenaan bea masuk anti dumping atas impor produk-produk tertentu yang danuga sebagai barang dumping, seperti produk ferro mangan, silicon mangan, ampicilin trihydrate, dan amoxycillin trihydrate. Pemerintah juga telah menetapkan tata niaga (larangan) impor atas sejumlah komoditi, seperti impor pesawat pemadam api dan mesin penjual barang otomatis lainnya yang dilengkapi alat pemanas atau pendingin. Larangan impor atas barang-barang dimaksud didasarkan pada pertimbangan pelestarian lingkungan, karena barang-barang tersebut menggunakan bahan-bahan yang bisa merusak lapisan ozon. Selain itu, Pemerintah juga te1ah melakukan perubahan tata niaga atas impor beras (beras berkulitl gabah, beras digi1ing, setengah digiling atau digi1ing se1uruhnya, disosoh, diki1apkan atau tidak, dan beras pecah). Bi1a sebelumnya impornya hanya di1akukan oleh Bu1og, maka berdasarkan ketentuan tata niaga impor tersebut, terhitung sejak tangga1 22 September 1998 impor beras bo1eh dilakukan oleh importir umum (IU). Sementara itu, dalam rangka memenuhi ketersediaan bahan kebutuhan pokok di dalam negeri, Pemerintah telah me1akukan perubahan tarif bea masuk atas impor beberapa produk, diantaranya tepung gandum atau meslin, kacang kede1ai pecah atau utuh, kacang kede1ai kuning, dari penyempumaan k1asifikasi pos tarif atas impor produk Refined Bleached Deodorized Palm Oil (RBD PO). Produk-produk tersebut yang sebe1umnya dikenakan bea masuk sebesar 5%, maka terhitung sejak tanggal 29 September 1998 bea masuknya ditetapkan menjadi 0% (bebas bea). Ketentuan pembebasan bea masuk juga diberlakukan atas impor bahan aktif anti foaming dan anti caking pada industri pupuk dan polyethylene granule pada industri farmasi, yang dimaksudkan untuk menjamin tersedianya bahan baku industri pupuk dan farmasi dan sekaligus menunjang perkembangan industri-industri dimaksud di dalam negeri. Selanjutnya, dalam rangka menjaga kelangsungan produksi industri-industri makanan dan minuman serta industri-industri kemasan makanan dan minuman dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat di dalam negeri, Pemerintah mela1ui Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 467 /KMK.01/998, tanggal 26 Oktober 1998 telah menetapkan pembebasan bea masuk atas impor 60 komoditi (60 pos tarif) yang merupakan bahan baku/penolong bagi industri-industri tersebut. Kebijaksanaan yang sama, sebagaimana diatur me1alui Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 468/KMK.01/1998, tanggal Departemen Keuangan Republik Indonesia 305 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 27 Oktober 1998, juga diberlakukan atas impor 233 komoditi (233 pos tarif) bahan baku, mesinmesin, alat-alat perlengkapan serta suku cadang untuk pembuatan, perbaikan, pemeliharaan kapal laut dan alat apung selain karat pesiar dan kapal olah raga. Dalam pada itu, untuk mendorong peningkatan kemampuan industri pemeliharaan pesawat terbang di dalam negeri, Pemerintah telah memberikan pembebasan bea masuk atas impor baban baku, suku cadang, komponen dan peralatan untuk perbaikan dan pemeliharaan pesawat terbang (mencakup 79 komoditi). Ketentuan yang sama juga berlaku bagi impor suku cadang kapal, alat keselarnatan pelayaran dan keselamatan manusia, yaitu dengan cakupan 153 pos tarif. 4.4 Perkembangan Neraca Pembayaran dalam Tabun Anggaran 1998/1999 Perkiraan realisasi neraca pembayaran dalarn tahun anggaran 1998/1999 secara keseluruhan (overall balance) menunjukkan posisi surplus. Berbeda dari surplus dalarn tahuntahun sebelumnya yang selalu bersumber dari lebih besarnya surplus neraca modal (capital account) dibandingkan defisit transaksi berjalan (current account), dalam tahun ini surplus tersebut bersumber dari surplus neraca modal dan surplus transaksi berjalan. Surplus transaksi berjalan dengan jumlah yang cukup berarti dalarn tahun anggaran 1998/1999 merupakan salah satu perkembangan baru dalam sejarah neraca pembayaran Indonesia. Penurunan impor yang lebih tajarn dibandingkan dengan penurunan ekspor, dan relatif stabilnya defisit jasa-jasa neto, telah memungkinkan transaksi berjalan mengalarni surplus. Keadaan tersebut terkait erat dengan darnpak Dari krisis moneter yang masih dihadapi oleh perekonomian nasional. Perkembangan lain yang terjadi adalah masih defisitnya lalu lintas modal swasta, meskipun dengan jumlah yang lebih rendah dibandingkan dengan defisit dalarn tahun anggaran 1997/1998. Hal ini mengindikasikan masih terjadinya aliran modal keluar (capital outflows) yang berkaitan dengan belum berakhirnya krisis ekonomi. Narnun demikian, defisit lalu lintas modal swasta tersebut masih dapat diimbangi dengan surplus lalu lintas modal pemerintah, sehingga neraca modal mengalarni surplus. Nilai ekspor dalarn tahun anggaran 1998/1999 yang mencakup ekspor migas dan ekspor nonrnigas diperkirakan mencapai US$ 50.688 juta, atau menurun 9,7 persen dibandingkan dengan nilai ekspor dalarn tahun sebelurnnya sebesar US$ 56.162 juta. Nilai ekspor rnigas mencapai US$7 .123 juta atau 30,4 persen lebih rendah dibandingkan dengan Departemen Keuangan Republik Indonesia 306 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 nilainya dalam tahun anggaran sebelumnya sebesar US$ 10.238 juta. Dalarn periode yang sama ekspor nonrnigas mencapai US$ 43.565 juta, yang berarti menurun 5,1 persen dari periode sebelurnnya sebesar US$ 45.924 Juta. Dalam periode yang sama, nilai impor yang terdiri dari impor migas dan impor nonmigas diperkirakan mencapai US$ 30.888 juta, atau menurun 27,7 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun 1997/1998 sebesar US$ 42.704 juta. Nilai impor migas diperkirakan mengalarni penurunan sebesar 30,6 persen dari US$ 4.085 juta dalarn tahun anggaran 1997/1998 menjadi US$ 2.837 juta dalarn tahun 1998/1999. Hal yang sama terjadi pula dalarn impor nonmigas yang nilai impornya diperkirakan mcnurun 27,4 persen dari US$ 38.619 jota menjadi US$ 28.051 juta. Dengan perkembangan ekspor dan impor tersebut, neraca perdagangan barang dalam tahun anggaran 1998/1999 diperkirakan mengalarni surplus US$ 19.800 juta, atau lebih tinggi47,1 persen dibandingkan surplus dalarn periode yang sama tahun sebelurnnya sebesar US$ 13.458 juta. Surplus dalam tahun anggaran 1998/1999 tersebut bersumber dari surplus neraca perdagangan nonrnigas US$ 15.514 juta dan surplus neraca perdagangan migas US$ 4.286 juta. Transaksi jasa-jasa dalam tahun anggaran 1998/1999 diperkirakan mengalami defisit US$ 15.313 juta, yang terdiri dari defisit jasa-jasa migas US$ 2.810 juta dan defisit jasa-jasa nonmigas US$ 12.503 juta. Defisit jasa-jasa dalam tahun anggaran 1998/1999 tersebut 1,0 persen lebih tinggi dibandingkan defisit dalam periode yang sama tahun sebelumnya sebesar US$ 15.157 juta. Berdasarkan perkembangan neraca perdagangan dan neraca jasa-jasa tersebut, transaksi berjalan dalam tahun anggaran 1998/1999 diperkirakan mengalami surplus US$ 4.487 juta. Sebagai perbandingan, transaksi berjalan dalam tahun anggaran 1997/1998 mengalami defisit US$1.699 juta. Dengan surplus tersebut, diperkirakan rasio current account terhadap produk domestik bruto dalam tahun 1998/1999 adalah sekitar 4,2 persen. Neraca modal dalam tahun anggaran 1998/1999 diperkirakan surplus sebesar US$ 4.437 juta, sehubungan dengan surplus modal pemerintah bersih yang lebih besar dari defisit modal swasta bersih. Dalam tahun sebelumnya, neraca modal diperkirakan mengalami defisit sebesar US$ 7.629 juta. Pemasukan modal pemerintah dalam tahun 1998/1999 diperkirakan mencapai US$ Departemen Keuangan Republik Indonesia 307 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 18.273 juta, yang berarti 120,3 persen lebih tinggi dibandingkan pemasukan modal dalam tahun sebelumnya sebesar US$8.293 juta. Tingginya pemasukan modal pemerintah tersebut disebabkan oleh naiknya bantuan program dan lainnya menjadi sebesar US$ 12.186 juta dari tahun sebelumnya sebesar US$3.036 juta, sebagai akibat adanya pinjaman Dari IMF dan dari lembaga keuangan internasional lainnya dan negara donor, utamanya untuk memperkuat neraca pembayaran (cadangan devisa). Sedangkan bantuan proyek dan lainnya dalam tahun 1998/1999 mencapai US$ 6.087 juta, atau 15,8 persen lebih tinggi dibandingkan dalam tahun sebelumnya sebesar US$ 5.257 juta. Dalam pada itu, pembayaran pokok utang luar negeri pemerintah dalam tahun yang sama mencapai US$ 3.067 juta, atau 25,1 persen lebih rendah dibandingkan pembayaran dalam tahun sebelumnya sebesar US$ 4.095 juta. Sementara itu, lalu lintas modal lainnya (swasta) dalam tahun 1998/1999 diperkirakan masih mengalami defisit sebesar US$IO.769 juta. Dalam tahun sebelumnya, lalu lintas modal swasta mengalami defisit US$II.827 juta. Masih defisitnya lain lintas modal swasta dalam jumlah tersebut menunjukkan masih terjadinya capital outflows sebagai dampak belum kondusifnya iklim usaha dalam perekonomian nasional. Dengan perkiraan realisasi transaksi berjalan dan neraca modal tersebut, neraca pembayaran dalam tahun anggaran 1998/1999 diperkirakan surplus sebesar US$ 9.903 juta, sehingga posisi cadangan devisa kotor pada akhir periode tersebut diperkirakan mencapai US$ 26.412 juta, yang berarti 60,0 persen lebih besar dibandingkan cauangan devisa kotor dalam tahun sebelumnya sebesar US$16.509 juta. Cadangan devisa kotor dalam tahun 1998/1999 tersebut cukup untuk membiayai 10,2 bulan impor nonmigas. Perkiraan realisasi neraca pembayaran dalam tahun anggaran 1998/1999 disajikan dalam Tabel IV.4. Departemen Keuangan Republik Indonesia 308 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabe1IV.4 NERA CA PEMBA Y ARAN; 1989/1990 . 1998/1999 ( dalam jti6i US $ ) 1989/1990 199011991 (1) (2)'- 199VI992 1992/1993 199311994 1994/1995 (3) (4) (5) (6) (7) I.Barang-barang dan jasa-jasa 1. Ekspor, fob minyak bumi dan gas alam bukan minyak bumi dan gas alam 2. Impor, fob minyak bumi dan gas alam bukan minyak bumi dan gas alam 3. Jasa-jasa minyak bumi dan gas alam bukan minyak bumi dan gas alam 4. Transaksi berjalan minyak bumi dan gas alam bukan minyak bumi dan gas alam + 23.830+ 28.143 + 29.714 + 35.303 + 36.504 + 9.337+ 12.763 + 10.706 + 10.480 + + 14.493+ 15.380 + 19.008 + 24.823 + 27.170 + 31.716 - 17.374- 23.028 - 24.803 - 27.317 - 29.127 - 34.122 - 2.529- 3.580- - 14.845- 19.448 3.143 - - 21.660 + 42.161 9.334+ 10.445 3.566- 3.816- 3.&.6 - 23.751 - 25.311 - 30.476 - 10.317 - 11.527 - 8.055- 8.856- 9.263 - 10.547 - 2.897-- 3.173- 3.001 - 3.399- 2.984- 3.012 - 5.158- 5.683- 6.262 - 7.148- 7.333- 8.515 - 1.599- 3.741- 4.352 - 2.561- 2.940- 3.488 + 3.911+ 6.010+ 4.562 + 3.515+ 2.534+ 3.787 - 5.510- 9.751 - 8.914 - 6.076- 5.474- 7.275 , II. S D Rs III. Pemasukan modal Pemerintah +5.516 1. Bantuan program dan lainnya +In"I" 2. Bantuan proyek dan lainnya +4.479 + + - - + - 5.006 + 5.600 + 5.755 6.195 + 'i.651 718 + 127 + 125 4.288 + 5.473 + 5.630 + 6.195 + 5.651 0 0 IV. Lalu lintas modallainnya + 575 + 5.856 + 4.133 + 4.284 + 4.648 + 4.645 V. - 3.686 - 4.082 - 4.182 - 4.840 - 5.132 VI. Jumlah I s.d. V + 806 + 3.039 + 1.199 + 2.638 + 2.771 + 1.262 VII. Selisih yang belum dapat - 558 + 263 - 218 - 1.199 - 2.044 - 646 - 248 - 3.302 - 981 - 1.439 - 727 - 616 Pembayaran hutang pokok - 5.546 diperhitungkan VIII. Lalu lintas moneter Departemen Keuangan Republik Indonesia 309 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel IV. 4 (lanjutan) persentase 1998/1999 persentase (perk. 1995/1996 1996/1997 1997/1998 perubahan (1) (2) (3) (5) = (4) : (4) perubahan real.) (7) = (6) : (6) (3 (4 I. Barang-barang dan jasa-jasa I. Ekspor, fob + 47.754+ 52.038 + 56.162 + minyak bumi dan gas aJam + 10.616+ 12.771 + 10.238 - 19,8+ + 37.138+ 39.267 + 45.924 + - 41.502- 45.819 - 42.704 - bukan minyak bumi dan gas alam 2. Impor, fob minyak bumi dan gas alam bukan minyak bumi dan gas alam 3. Jasa-jasa minyak bumi dan gas alam bukan minyak bumi dan gas alam 4.Transaksi berjaJan - 3.905- 4.085 - - 9,7 - 30,4 17,0+ 43.565 - 5,1 6,8- 30.888 - 27,7 - 30,6 13,0- 7.123 2.837 - 37.597- 41.126 - 38.619 - 6,1- 28.051 - 27,4 - 13.239- 14.288 - 15.157 + 6,1- 15.313 + 1,0 - 39,4 + 18,8 - 3.238- - 3.541 - 10.001- 10.747 4.635 + - 10.522 30,9- - 2.810 2,1- 12.503 - 6.987- 8.069 - 1.699- 78,9+ 4.487 + 364,1 minyak bumi dan gas aJam + 3.473+ 4.537 + 1.518- 66,5+ 1.476 3.217- 74,5+ 3.011 + 193,6 bukan minyak bumi dan gas alam - 10.460- 12.606 II. S D Rs III. Pemasukan modal Pemerintah I. 4.693 - 7,9+ 50.688 + Bantuan program dan 2.Bantuan proyek dan lainnya - + - 5.730 + 5.298+ 0 lainnya - 5.730+ - 8.293 + 0+ 3.036 5.298+ 5.257 IV. Lalu lintas modallainnya + 11.672+ 13.488 - 11.827 V. Pembayaran hutang pokok - 5.939- 6.118- 4.095 VI. Jumlah I s.d. V + 4.476+ 4.599- VII. Selisih yang belum dapat - 1.825- 701- - 2.651 - - - 2,8 - 56,5+ 18.273 + 120,3 -+ 12.186 + 301,4 0,8+ 6.087 + 15,8 - 187,7- 10.769 - 8,9 - - 25,1 33,1- 3.067 9.328 + 8.924 694 + 979 diperhitungkan VIII. Lalu lintas moneter Departemen Keuangan Republik Indonesia - 3.898 + 10.022 - 9.903 310 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 4.4.1 Ekspor Dalam tahun anggaran 1998/1999 nilai ekspor secara keseluruhan diperkirakan mencapai US$ 50.688 juta, yang terdiri dari ekspor migas US$ 7.123 juta dan ekspor nonmigas US$ 43.565 juta. Dengan demikian kontribusi ekspor nonmigas dalam tahun anggaran 1998/1999 diperkirakan mencapai 85,9 persen dari keseluruhan ekspor. Kontribusi tersebut lebih besar dibandingkan kontribusi dalam tahun anggaran 1997/1998 sebesar 81,8 persen dari total ekspor Indonesia. Perkembangan nilai ekspor secara rinci dapat dilihat dalam Tabel IV.5 dan Grafik IV.I. Selanjutnya, realisasi nilai ekspor nonmigas dalam periode April-Agustus 1998 mencapai US$ 17.690,5 juta yaitu meliputi ekspor kelompok komoditi hasil-hasil pertanian US$ 1.559,1 juta, ekspor kelompok komoditi hasil-hasil industri US$ 15.057,4 juta, ekspor kelompok komoditi hasil-hasil tambang di luar migas US$ 1.073,5 juta, dan ekspor kelompok komoditi hasil-hasil lainnya US$ 0,5 juta. Dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya nilai ekspor nonmigas dalam periode April-Agustus 1998 menurun 1,1 persen. Dalam periode yang sama nilai ekspor hasil-hasil pertanian dan hasil-hasil industri masingmasing meningkat 15,5 persen dan 3,0 persen, sedangkan nilai ekspor hasil-hasil tambang di luar migas menurun 25,2 persen. Realisasi ekspor kelompok komoditi hasil-hasil pertanian yang mengalami peningkatan nilai ekspor dalam periode April-Agustus 1998 adalah udang (segar/beku) (16,1 persen), teh (8,8 persen), tembakau (37,0 persen), dan biji coklat (60,9 persen). Peningkatan nilai ekspor udang (segar/beku), tembakau dan biji coklat terutama disebabkan oleh meningkatnya volume ekspor komoditi bersangkutan. Sedangkan peningkatan nilai ekspor teh disebabkan oleh meningkatnya harga komoditi tersebut di pasar internasional, mengingat dalam periode tersebut volume ekspor teh mengalami penurunan. Sementara itu kelompok komoditi hasil-hasil pertanian yang nilai ekspomya menurun adalah getah karet (32,2 persen), kepi (16,1 persen), lada hitam (68,6 persen), lada putih (54,1 persen), ikan tuna dan lainnya (10,8 persen) serta ubur-ubur/kerang lainnya (17,9persen). Penurunan nilai ekspor komoditi-komoditi tersebut terutama disebabkan oleh menurunnya volume ekspor komoditi bersangkutan. Realisasi ekspor kelompok komoditi hasil-hasil industri meningkat dari US$ 14.613,1 Departemen Keuangan Republik Indonesia 311 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 juta dalam periode April-Agustus 1997 menjadi US$ 15.057,4 juta dalam periode April-Agustus 1998. Komoditi hasil-hasil industri yang nilai ekspomya mengalami peningkatan adalah kayu olahan lainnya (59,8 persen), timah (unwrought) (9,0 persen), tekstil lainnya (40,2 persen), minyak atsiri (11,2 persen), semen (59,9 persen), stearin (1.180,4 persen), bahan kimia (38,9 persen), kulit dan barang dari kulit (34,4 persen), serta kertas dan barang dari kertas (33,3 persen). Peningkatan nilai ekspor komoditi-komoditi tersebut terutama disebabkan oleh peningkatan volume ekspor komoditi bersangkutan. Sementara itu, kelompok komoditi hasil-hasil industri yang mengalami penurunan nilai ekspor dalam periode April-Agustus l998 adalah kayu lapis (42,2 persen), kayu gergajian (62,2 persen), aluminium {unwrought) (18,4 persen), pakaian jadi (11,8 persen), kain tenun (9,2 persen), karet olahan (13,3 persen), bungkil kopra (59,6 persen), minyak kelapa sawit (52,7 persen), barang anyaman (67,6 persen), meubel (rotan, kayu,-bambu) (65,3 persen), alat-alat listrik (5,5 persen), pupuk urea (46,7persen), kaca dan barang dari kaca (31,1 persen), alas kaki (kulit, karet, kanvas) (24,3 persen). Penurunan nilai ekspor tersebut terutama disebabkan oleh penurunan volume ekspor komoditi bersangkutan, kecuali kayu lapis, kain tenun, karet olahan, serta kaca dan barang dari kaca yang dalam periode April-Agustus 1998 volume ekspornya mengalami peningkatan. Realisasi ekspor kelompok komoditi hasil-hasil tambang bukan migas menurun dari US$I.435,0 juta dalam periode April-Agustus 1997 menjadi US$ 1.073,5 juta dalam periode April-Agustus 1998. Dalam periode April-Agustus 1998 seluruh hasil tambang bukan migas mengalami penurunan nilai ekspor, yaitu bijih tembaga (21,8 persen), bijih nikel (40,6 persen), bauksit (15,9), baru baru (22,3 persen) dan lainnya (80,7 persen). Penurunan nilai ekspor komoditi-komoditi tersebut disebabkan oleh menurunnya volume ekspor komoditi bersangkutan, kecuali bijih tembaga yang dalam periode tersebut volume ekspornya menunjukkan peningkatan. Dalam periode April-Agustus 1998 realisasi ekspor nonmigas memberikan kontribusi 85,4 persen terhadap nilai ekspor secara keseluruhan. Kontribusi tersebut lebih besar dibandingkan kontribusi dalam periode April-Agustus 1997 sebesar 79,9 persen dari total ekspor Indonesia. Realisasi nilai ekspor nonmigas secara keseluruhan dapat dilihat dalam Tabel IV .6, Grafik IV .2, dan Grafik IV .3. Departemen Keuangan Republik Indonesia 312 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel IV. 5 NILAI EKSPOR, 1989/1990 - 1998/1999 ( dalam juta US $) Tahun Migas Bukao migas Jumlah aoggaran (1) Nilai % Nilai (2) (3) (4) % Nilai % (5) (6)=(2)+(4) (7)=(3)+(5) 1989/1990 9.337 39,2 14.493 60,823,830 100 1990/1991 12.763 45,4 15.380 54,628.143 100 1991/1992 10.706 36,0 19.008 64,029.714 100 1992/1993 10.480 29,7 24.823 70,335.303 100 1993/1994 9.334 25,6 27.170 74,436.504 100 1994/1995 10.445 24,8, 31.716 75,242.161 100 1995/1996 10.616 22,2 37.138 77,847.754 100 1996/1997 12.771 24,5 39.267 75,552.038 100 1997/1998 10.238 18,2 45.924 81,856.162 100 1998/19991) 7.123 14,1 43.565 85,950.688 100 1) Perkiraan realisasi Departemen Keuangan Republik Indonesia 313 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Departemen Keuangan Republik Indonesia 314 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Berdasarkan kawasan tujuan, ekspor dalam periode April-Agustus 1998 sebagian besar ditujukan ke kawasan Asia yaitu 59,2 persen dari total ekspor. Pangsa kawasan Eropa, Amerika, Australia dan Afrika masing-masing 17,8 persen, 17,7 persen, 3,4 persen, dan 1,9 persen. Sementara itu, kawasan ASEAN menyerap 19,0 persen dari keseluruhan ekspor Indonesia. Sedangkan negara-negara yang banyak menyerap ekspor komoditi Indonesia antara lain adalah Jepang (17,2 persen), Amerika Serikat (14,8 persen), Singapura (13,0 persen), Hongkong (3,8 persen), Belanda (3,2 persen), Australia (3,1 persen), Jerman (3,1 persen), dan Malaysia (2,6 persen). Realisasi nilai ekspor berdasarkan negara tujuan dapat dilihat dalam Tabel IV.7. 4.4.2 Impor Dampak krisis ekonomi dan moneter yang cukup signifikan terhadap kinerja impor Indonesia dalam tahun anggaran 1998/1999 dapat dilihat dari perkiraan realisasi nilai impor, baik impor non migas maupun impor migas, yang menunjukkan tendensi penurunan yang cukup berarti. Nilai impor nonmigas dalam tahun anggaran 1998/1999 diperkirakan mencapai US$ 28.051,0 juta, atau 27,4 persen lebih rendah dibandingkan realisasi nilai impor nonmigas dalam tahun anggaran 1997/1998. Merosotnya nilai impor non migas ini antara lain disebabkan karena dengan melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap US dolar mengakibatkan harga barang-barang impor menjadi relatif lebih mahal. Selain itu, menurunnya nilai impor nonmigas juga disebabkan oleh menurunnya berbagai kegiatan investasi dan konsumsi serta adanya kesulitan dalam melakukan Departemen Keuangan Republik Indonesia 315 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tab e I IV. 6 NILAI EKSPOR BUKAN MINY AK BUMI DAN GAS ALAM, 1989/1990 - 1998/1999 ( dalam juta US $ ) Jenis barang 1989/1990 1990/1991 1991/1992 1992/1993 1993/1994 1994/1995 (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) I. HasiI-hasii pertanian 1.906,9 2.180,5 2.182,4 2.274,3 2.272,9 38.8 54,0 52,0 39,8 46,2 2.855,8 40,9 1. Getab karet 2. Kopi 448,0 370,7 317,1 245,4 303,2 704,1 3. Uuang ( segarlbeku) 543,9 729,1 726,2 791,9 883,5 801,6 4. Teh 176,2 168,8 129,7 155,7 123,4 75,8 5. Lada hitam 33,8 21,7 25,9 26,1 12,1 38,1 6. Lada putih 59,4 53,6 37,3 32,2 39,8 42,4 7. Tembakau 39,2 71,2 60,1 80,0 42,1 78,0 8. Biji coklat 71,6 99,0 123,3 126,4 178,1 219,4 9. Gap1ek (manioc) I) 10. Jkan tuna dan 1ainnya 11. Ubur-ubur/kerang lainnya 12. Lainnya 61,2 64,3 38,8 33,9 0,0 0,0 139,8 227,5 294,3 353,7 336,9 261,9 40,2 42,7 37,8 37,3 43,5 82,1 254,8 277,9 339,9 351,9 264,1 511,5 II. HasiI-hasii industri 11.429,7 12.359,8 15.944,5 20.979,6 23.162,1 26.751,0 1. Kayo lapis 2.462,0 2.788,9 2.957,8 3.299,1 4.463,1 3.427,2 2. Kayo gergajian 575,6 118,5 236,2 302,7 448,4 505,7 3. Kayo olahan lain 430,0 540,7 616,5 666,8 881,5 1.014,6 4. TImah (unwroughl) 240,4 173,0 142,0 163,7 81,0 139,8 5. Aluminium (unwroughl) 339,9 257,3 223,4 277,1 265,7 363,9 1.304,9 1.711,4 2.510,7 3.445,0 3.230,1 3.306,8 7. Kain tenon 683,2 981,1 1.424,0 2.181,8 1.633,4 1.576,9 8. Tekstillainnya 291,8 368,1 524,4 889,9 824,4 1.088,6 9. Karel olahan 986,0 909,6 982,1 1.146,6 1.046,5 1.659,4 6. Pakaian jadi 10. Boogki1 kopra 40,3 44,7 43,6 37,5 34,2 35,2 104,3 126,3 127,9 90,8 64,6 79,2 0,9 3,0 0,4 0,1 0,1 0,0 13. Minyak kelapa sawil 229,7 .,8 303,3 399,1 473,9 776,9 14. Semen 130,5 68,6 65,6 104,5 47,4 30,2 15. Stearin 51,0 55,4 50,3 75,5 87,1 138,2 44,5 44,5 11. Minyak atsiri 12. Rolan 16. Barang anyaman 59,6 51,7 50,9 55,6 397,9 526,5 679,0 803,3 17. Meube1 (rotan, kayo, bambu) 205,3313,0 . 18. Bahan kimia 119,2 113,5 170,5 219,7 258,5 388,2 19. Alal-alat Hstrik 214,0 317,5 607,0 1.255,5 1.821,9 2.462,8 20. KuHI dan barang Dari kuHI 81,4 70,3 67,5 70,2 68,5 70,3 21. Pupuk urea 164,5 214,5 307,5 158,4 163.8 175,6 22. Kertas dan barang Dari kertas 167,0 165,8 307,6 353,8 518,7 808,0 97,0 97,1 131,9 147,0 152,3 167,6 291,3 687,5 1.061,4 1.441,1 1.627,4 1.962,9 2.175,0 1.940,7 2.625,4 3.675,5 4.239,7 5.714,1 531,0 686,8 1.036,3 1.471,7 1.538,3 2.056,9 321,4 408,9 508,0 771,3 746,1 1.010,8 23. Kaca dan barang Dari kaca 24. Alas kaki (kuHI, karet, kanvas) 25. Lainnya II. HasiI-hasii tambaDg di lor migas 1. Bijih tembaga 2. Bijih Dike1 52,6 42,4 40,3 32,7 30,5 27,3 3. Baukail 10,8 12,1 14,9 9,1 17,6 11,5 1,7 1,4 1,1 0,8 0,0 0,0 5. Batubara 99,7 172,7 406,0 565,0 639,8 883,1 6. Lainnya 44,8 49,3 66,0 92,8 104,3 124,2 4. Bijih timah (tin) V. HasiJ..hasii Jalnnya Jumlah 1,6 13.869,2 1,8 15.228,9 2,4 19.165,6 2,4 24.728,0 1,8 26.975,1 1,9 31.665,6 1) Sejak Januari 1988 hanya ubi kayo kering, dan mu1ai taboo 1993 masuk ke hasil- hasil indusai Departemen Keuangan Republik Indonesia 316 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tab e I IV. 6 (lanjutan) Jenls barang (1) I. HasII-hasii pertaDian 1995/1996 199611997 (2) (3) 1997/1998 (4) 1997/1998 1998/1999 *) Apr-Agust Apr-Agust (5) (6) Persentase perubahan (7) = (6) : (5) 2.970,9 2.896,5 3.478,5 1.349,5 1.559,1 + 15,5 50,5 35,8 29,4 14,3 9,7 - 32,2 623,6 590,0 511,8 286,0 239,9 - 16,1 1.028,9 1.020,3 1.005,5 423,4 491,7 + 16,1 Teh 96,9 117,2 83,6 43,1 46,9 + 8,8 5. Lada hitam 87,6 31,1 42,9 28,7 9,0 - 68,6 6. Lada putih 67,0 59,5 7. Tembakau 67,477.5 8. Biji coklat 9. Gap1ek (manioc) I) 10. Ikan lUna dan 1ainnya 11. Ubur-uburlkernng 1ainnya 12. Lainnya 1. Getah karet 2. Kopi 3. Uuang ( segarlbeku ) 4. 119,7 41,4 19,0 - 54,1 111,4 38,7 53,0 + 37,0 + 60,9 - 10,8 237,7 258,2 294,9 121,2 195,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 366,8 362,3 418,5 170,2 151,9 - 62,3 46,1 38,1 19,5 16,0 - 17,9 282,2 298,5 822,7 163,0 327,0 + 100,6 II. HaslI-hasii Industrl 30.038,0 32,740,1 35.880,7 14.613,1 15.057,4 + 3,0 1. Kayu lapis 3.442,3 3.700,5 2.999,2 1.545,7 893,0 - 42,2 2. Kayu gergajian 3. Kayu olahan lain 4. Timah (unwrought) 5. Aluminium (unwrought) 443,9 482,6 312,6 176,3 66,6 - 62,2 1.064,0 1.061,9 2.124,7 534,7 854,2 + 59,8 255,9 277,7 267,6 113,8 124,0 + 9,0 - 18,4 474,5 409,9 426,5 177,5 144,8 6. Pakaian jadi 3.444,3 3.669,6 2.564,5 1.434,0 1.265,2 - 7. Kain tenun 1.573,7 1.617,8 1.152,6 651,0 590,9 - 9,2 8. Tekstil lainnya 1.311,2 1.431,0 3.907,7 997,1 1.398,3 + 40,2 9. Karet olahan 11,8 2.237,0 2.180,3 1.781,4 795,2 689,2 - 13,3 10. Bungkil kopra 28,5 46,9 35,5 16,1 6,5 - 59,6 11. Minyak atsiri 83,8 76,9 105,8 46,6 51,8 + 11,2 0,0 0,0 0,1 0,0 0,2 795,1 806,8 1.324,2 619,8 293,3- 52,7 14. Semen 14,8 11,5 51,7 21,2 33,9+ 59,9 15. Stearin 162,0 57,8 20,5 5,1 12. Rotan 13. Minyak kelapa sawit 16. Barang anyarnan - 65,3+ 1.180,4 68,0 61,6 33,3 21,0 6,8- 67,6 17. Meubel (rotan, kayu, bambu) 889,9 952,5 620,7 411,6 142,8- 65,3 18. Bahan kimia 574,8 585,3 799,7 333,9 463,9+ 38,9 2.839,3, 3.774,4 3.615,4 1.529,3 1.445,8- 5,5 70,0 61,1 179,5 45,9 61,7+ 34,4 46,7 19. Alat-alat listrik 20. Kulit dan barang Dari kulit 21. Pupuk urea 299,0 268,4 306,7 152,6 81,4- 22. Kenas dan barang Dari kertas 932,4 987,7 1.036,4 483,6 644,7+ 33,3 23: Kaca dan barang Dari kaca 205,0 228,7 117,2 79,0 54,4- 31,1 24. Alas kaki (kulit, karet, kanvas) 2.086,5 2.234,8 1.276,3 723,2 547,6- 24,3 25. Lainnya 6.742,1 7.754,4 1.0820,9 3.698,9 5.131,1+ 38,7 2.823,0 3.098,1 3.065,2 IA35,O 1.073,5- 25,2 1.635,8 1.613,4 1.438,9 715,5 559,8- 21,8 2. Bijih Dikel 43,4 44,0 37,0 16,5 9,8- 40,6 3. Bawit 10,6 8,6 11,0 4,4 3,7- 15,9 III. HaslI-hasii tambang ell 1uar migas 1. Bijih temhaga 4. Bijih timah (tin) 5. BalU bara 6. Lainnya IV. HaslI-hasiI 1ainnya Jum1ah 0,0 0,0 1.016,7 1.298,3 1.457,0 0,00,0. 625,7 486,1 0,0 - 22,3 - 116.5 133,8 121,3 72,9 14,1 - 80,7 1,4 47,2 487,4 484,8 0,5 35.833,3 38.781,9 42.911,8 17.882,4 17.690,5 - 99,9 - 1,1 *) Angka Sementara Departemen Keuangan Republik Indonesia 317 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Departemen Keuangan Republik Indonesia 318 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Departemen Keuangan Republik Indonesia 319 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tab e I IV. 7 NILAI EKSPOR MENURUT NEGARA TUJUAN, 1989/1990 - 1998/1999 (dalamjuta US $) 198911990 Negara 199011991 Persenlas Persenlase Nilal Dari Nilal (1) ASEAN - Malaysia (2) (3) 15.870 69,3 Dari (5) 19.068 2.492 NOai jumJah (4) Dari Nilai (7) 20.272 Dari Persenlase NUai jumJah (8) 68,S 199311994 Persenlase jumJah (6) 70,9 199211993 Persenlase e jumJah I.ASIA 199111992 (9) (10) 23.34966,0 (11) 23.559 2.631 3.293 4.727 4.686 270 362 527 575 434 393 230 - Muangthai 217 - Pbilipina 155 168 165 -Singapura 1.880 1.977 2.476 3.530 3.397 10 10 13 31 31 - Brunei Darussalam HongkoDg 206 277 205 542 619 756 885 939 9.632 11.140 10.307 11.009 10.940 Asia lainnya 3.204 4.678 5.916 6.728 6.994 228 1,0 201 III. AMERIKA 3.696 16,1 3.529 -USA 3.436 3.191 3.651 -KaDana 117 132 212 - Amerika lainnya 143 206 202 IV. AUSTRALASIA - Austta1ia - Oceania iainnya 415 1,8547 361 2HJ7 ME 13,1 z,o700 3.551 1,3 13,7 483 1,4 5.351 15,1 6.007 16,5 284 301 396 2,4 4.170 1,2 5.254 452 844 2,4131 780 42 13,3 433 4.671 658 73 11,8 3T1 4.065 474 54 V. EROPA 0,7 5.371 2,3 761 64 14,1 70 15,1 5.589 2.467 3.286 3.853 5.0S6 5.159 - IDggriS 417 569 618 905 978 - Belanda 691 751 907 1.102 1.094 - Jerman 517 830 875 1.051 1.141 - Belgia & Luxemburg 183 228 260 421 364 - Perancis 226 311 421 - Denmark 39 61 86 - lrIandia -Italia -Yunani - Portugai - Spanyol 490 99 24 41 42 47 36 249 296 439 610 573 7 11 19 34 45 27 16 11 21 28 87 172 175 282 113 53 42 71 134 Eropa lainnya 117 212 275 244 296 22.906 100,0 26.896 100,0 Departemen Keuangan Republik Indonesia 29.584 100,0 15,3 46S 93 Rusia Jumlab 64,7 290 Jepang U.AFRIKA Dari jumJah 35.398 336 100,0 36.419 100,0 320 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 TabelIV. 7 (Ianjutan) 1994/1995 1995/1996 1996/1997 1997/1998 1998/1999 *) (Apr-Agust) Negara Persentas Persentase Nuai Dari NiJaJ jumlah (1) (2) I.A S I A (3) 26.74164,0 ASEAN Persentase e Dari NUai jumJah Dari Persentas Persentase NUai jumJah Dari e NUai Dari jumJah (4) (5) (6) (7) (8) (9) 29.763 64,0 32.471 63,7 33.954 63,4 jumlah (10) (11) 12.269 5.936 6.440 7.300 9.066 - Malaysia 815 1.044 1.106 1.485 559 - Muangthai 429 839 839 376 5.864 2.696 - Philipina - Singapura - Brunei Darussalam Hongkong Jepang Asia lainnya 418 663 652 4.225 3.979 4.677 834 299 49 26 26 44 8 1.613 1.651 1.944 788 11.289 12.545 13.078 11.663 3.584 8.044 9.165 10.442 11.231 3.959 594 III. AMERIKA 7.029 1,4 16,8 673 1,4 7.418 16,0 619 1,2 847 1,6 392 8.193 16,1 8.501 15,9 3.670 6.069 6.295 6.997 -Kanada 331 359 - Amerika lainnya 629 764 IV. AUSTRALASIA 3.938 1.472 II. AFRIKA -USA 728 813 2,0 1.176 2,S 7.146 3086 395 392 180 801 963 404 1.332 2,6 1.672 3,1 711 695 1.028 1.214 1.550 659 - Oceania lainnya 118 148 118 122 52 6.586 ME 5.071 - Inggris - Belanda 15,8 7.455 16,1 8.364 16,4 8.581 16,0 3.681 6.839 7.607 7.902 1.057 1.147 1.233 1.216 1.347 1.515 1.725 1.786 1.432 1.459 1.477 645 732 837 371 527 444 433 - Perancis 444 528 572 509 227 - Denmark 108 114 131 151 61 38 37 45 52 23 581 804 729 862 397 70 84 87 85 51 - ltalia - Yunani - Ponugal 45 50 47 40 15 - Spanyol 504 581 847 887 371 91 137 128 78 22 1.424 479 629 601 Ru sia Eropa lainnya Jumlab 41.763 100,0 46.485 100,0 . ho.m100,0 53.s5S100,0 17,8 677 - Belgia & Luxemburg - lrIandia 17,7 3.365 - Jerman 547 1,9 3,4 - Australia V. EROPA 59,2 294 20.723 100,0 , I-*) Angka sementara Departemen Keuangan Republik Indonesia 321 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 pembiayaan impor karena perbankan di luar negeri menolak L/C impor dari Indonesia. Sementara realisasi nilai impor migas dalarn periode yang sama mencapai US$ 2.837 juta atau turun sebesar 30,6 persen dibandingkan dengan realisasi nilai impor migas dalarn tahun sebelumnya sebesar US$ 4.085,0 juta. Penurunan nilai impor migas yang cukup drastis ini selain karena pengaruh depresiasi rupiah juga disebabkan oleh turunnya harga minyak di pasar internasional. Berdasarkan jenis dan kelompok komoditi, penurunan nilai impor nonmigas berasal dari hampir semua komoditi dengan penurunan terbesar terjadi pada kelompok barang-barang modal, yaitu dari US$ 6.551,3 juta dalarn periode April- Agustus 1997 menjadi US$ 3.712,0 juta dalarn periode yang sama tahun berjalan, atau turun sebesar 43,3 persen. Kemudian disusul dengan impor bahan baku/penolong yang mengalami penurunan sebesar 40,3 persen, yaitu dari US$ 8.314,8 juta menjadi US$ 4.963,8 juta dan impor barang-barang konsumsi yang mengalami penurunan sebesar 15,1 persen, yaitu dari US$ 1.382,8 juta menjadi US$ 1.174,3 juta. Realisasi nilai impor kelompok barang modal yang mengalami penurunan paling besar dalamperiodeApril-Agustus 1998 adalah alat telekomunikasi, yaitu dari US$ 699,3juta menjadi US$ 133,4 juta, atau merosot sebesar 80,9 persen dibanding realisasinya dalarn periode yang sama tahun 1997, kemudian diikuti dengan alat pengangkutan (48,5 persen), peralatan listrik (43,9 persen), generator listrik (39,3 persen), dan mesin-mesin (36,9 persen). Sedangkan realisasi impor barang-barang modal lainnya dalarn periode yang sama menunjukkan penurunan sebesar 37,8 persen, yaitu dari US$ 1.891,3 juta menjadi US$ 1.176,2 juta. Sementara itu, penurunan realisasi nitai impor kelompok bahan baku penolong yang cukup drastis dalarn periode April-Agustus 1998 adalah disebabkan karena impor semua komoditi dalam kelompok ini mengalami penurunan dibandingkan realisasi impor dalarn penode yang sama tahun sebelumnya. Penurunan terbesar terjadi pada impor semen, kapur, dan bahan bangunan buatan pabrik sebesar 79,6 persen, yaitu dari US$ 36,8 juta dalarn periode April-Agustus 1997 menjadi US$ 7,5 juta dalarn periode yang sama tahun 1998, kemudian diikuti dengan impor pupuk (73,6 persen), alat-alat listrik (55,6 persen), bahan bangunan (49,9 persen), besi baja dan logarn (41,0 persen), bahan karet dan plastik (38,2 persen), bahan-bahan kertas (34,7 persen), bahan kimia (29,3 persen), bahan obat-obatan (28,7 persen), dan benang tenon (8,6 persen). Sedangkan realisasi impor bahan baku penolong lainnya menunjukkan penurunan sebesar 50,1 persen, yaitu dari US$ 3.011,7 j uta menjadi US$ 1.490,8 juta. Departemen Keuangan Republik Indonesia 322 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Selanjutnya realisasi nilai impor barang-barang konsumsi dalarn periode April-Agustus 1998 yang mengalami penurunan sebesar 15,1 persen terutama berasal dari penurunan impor sejumlah komoditi. Empat komoditi yang mengalami penurunan nilai impor terbesar di antaranya adalah tembakau dan olahannya yaitu dari US$ 96,8 juta menjadi US$ 27,3 juta, atau turun sebesar 71,8 persen; susu, makanan, minuman dan buah-buahan yaitu dari US$ 440,2 juta menjadi US$ 181,3 juta atau turun sebesar 58,8 persen; gabon dan kosmetik yaitu dari US$ 62,6 juta menjadi US$ 31,0 juta atau turun sebesar 50,5 persen; dan alat -alat rumah tangga dari US$ 94,3 juta menjadi US$ 47,0 juta atau turun sebesar 50,2 persen. Komoditi-komoditi lain yang juga mengalami penurunan dalam periode April-Agustus 1998 adalah tekstil sebesar 26,4 persen dan barang-barang konsumsi lainnya sebesar 30,6 persen dibandingkan dengan realisasi dalam periode yang sama tahun 1997. Sementara komoditi yang menunjukkan peningkatan impor dalam kelompok barang konsumsi adalah beras, yaitu dari US$ 67,4 juta menjadi US$ 449,2 juta atau meningkat sebesar 566,5 persen dibandingkan realisasi impor dalam periode yang sama tahun sebelumnya. Lonjakan impor beras yang sangat besar ini erat kaitannya dengan langkah-Iangkah yang diambil Pernerintah dalam upaya menjaga ketersediaan pangan yang cukup, sehingga mampu memenuhi tuntutan permintaan di dalam negeri yang memperlihatkan tendensi yang meningkat menyusul terjadinya krisis dan menurunnya kemampuan posok pangan di dalarn negeri. Perkembangan nilai irnpor nonmigas secara rinci dapat dilihat dalam Tabel IV.S, Grafik IV.4, dan Grafik IV.5. Sementara itu, bila dilihat dari negara asal impor Indonesia dalam periode AprilAgustus 1998 sebagian besar berasal dari negara-negara kawasan Asia, yaitu sekitar 52,2 persen dari total impor, atau sedikit lebih rendah dibanding pangsanya dalam periode yang sama tahun sebelurnnya sekitar 52,3 persen dari total impor. Kemudian diikuti impor dari negara-negara kawasan Eropa sekitar 23,7 persen, sedikit lebih tinggi dibandingkan pangsa impor dalam peri ode yang sama tahun 1997 sekitar 22,4 persen. Sementara impor Dari negara-negara kawasan Amerika, Australia dari Afrika dalam periode April-Agustus 1998 masing-masing mencapai 16,1 persen, 6,6 persen dari 1,4 persen dari total impor dalam tahun tersebut, juga sedikit lebih rendah dibandingkan impor dari ketiga kawasan dalam peri ode yang sama tahun sebelumnya. Impor yang berasal dari negara-negara kawasan Asia dalam periode April-Agustus 1998 masih tetap daidominasi oleh Jepang, yaitu dengan pangsa sekitar 33,5 persen. Kemudian disusul oleh Singapura dengan pangsa sekitar 14,8 persen. Sementara itu, impor dari negara- Departemen Keuangan Republik Indonesia 323 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 negara di kawasan Amerika dalam periode yang sama, juga masih didoominasi oleh Amerika Serikat, yaitu dengan pangsa sekitar 76,8 persen dari total impor kawasan itu. Sedangkan impor dari kawasan Eropa, sebagian besar berasal dari negara-negara yang tergabung dalarn Masyarakat Eropa, dengan pangsa mencapai 84,3 persen dari nilai impor kawasan itu secara keseluruhan. Negara-negara dalam kawasan ini yang mernberikan kontribusi cukup besar terhadap impor Indonesia adalah Jerman, Inggris, Perancis, dan Italia. Perkembangan nilai impor berdasarkan negara asalnya dalarn periode April-Agustus 1998 dapat dilihat dalam Tabel IV.9. 4.4.3 Pengeluaran Jasa-jasa (neto) Dalam tahun 1998/1999, neraca jasa-jasa (services account), yang terdiri dari jasa-jasa migas dan jasa-jasa nonmigas diperkirakan mengalami defisit US$15.310 juta, atau meningkat 1,0 persen dibandingkan defisit neraca jasa dalam tahun sebelumnya sebesar US$15.157 juta. Peningkatan defisit neraca jasa-jasa dalam tahun 1998/1999 tersebut berkaitan terutama dengan meningkatnya defisit neraca jasa-jasa nonmigas sebesar 18,8 persen dari US$10.522 juta dalam tahun 1997/1998 menjadi US$ 12.503 juta. Meningkatnya defisit neraca jasa-jasa nonmigas tersebut berhubungan terutama dengan meningkatnya pembayaran bunga utang luar negeri swasta, sedangkan di pihak lain penerirnaan devisa dari jasa-jasa pariwisata mengalami penurunan. Penerimaan devisa dari jasa pariwisata dalamtahun 1998/1999 diperkirakan mencapai US$ 3.720 juta, sementara dalam tahun sebelumnya mencapai US$6.140 juta. Turunnya penerimaan devisa jasa pariwisata tersebut terutama disebabkan berkurangnya jumlah wisatawan mancanegara (wisman) sebagai akibat tidak mendukungnya situasi sosial politik di Indonesia, selain disebabkan pula oleh berkurangnya rata-rata pengeluaran wisman perkunjungan (dalam US$), yaitu dari US$I.250 juta per orang per kunjungan dalam tahun 19997/1998 menjadi US$1.002 per orang per kunjungan, sebagai dampak dari depresiasi rupiah terhadap US$ yang menyebabkan wisman membelanjakan lebih sedikit US$ untuk mendapatkan jasa/barang yang sama (dalam rupiah). Departemen Keuangan Republik Indonesia 324 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 TabelIV.8 NILAI IMPOR BUKAN MINY AK BUMI DAN GAS ALAM MENURUT GOLONGAN BARANG, 1989/1990 - 1998/1999 ( df, dalam juta US $ ) Golongan Barang (1) I.Barang Konsumsi 1. Beras 1989/1990 (2) 19901.199 1 (3) 960,6 1.125,4 1991/1992 1992/1993 1993/1994 1994/1995 (4) 1.679,1 (5) (6) (7) 1.777,7 1.805,4 2.460,0 7,0 12,7 146,2 80,2 9,4 341,4 125,0 189,7 224,3 283,1 321,7 354,9 336,7 225,7 337,3 384,5 376,8 496,5 4. Tembakau Dari olahannya 29,9 51,6 66,0 84,6 104,0 133,3 5. Sabun Dari kosmetik 32,1 40,1 44,3 56,3 73,2 91,3 6. Alat-alat rumah tangga 74,6 104,0 102,9 90,8 88,4 146,2 355,3 501,6 758,1 798,2 831,9 896,4 2. Tekstil 3. Susu, makanan, minuman Dari buah-buahan 7. Lainnya II. Bahan baku/penolong 1. Bahan kimia 8.850,8 10.641,4 11.194,6 12.141,2 13.775,8 17.304,5 1.641,2 1.962,5 1.926,1 2.060,2 2.398,2 3.095,0 2. Bahan obat-obatan 109,9 124,7 122,6 161,1 148,4 161,8 3. Pupuk 117,0 99,1 68,1 139,3 93,4 104,5 4. Bahan-bahan kertas 175,4 203,3 218,9 208,0 222,0 250,5 5. Benang tenun 931,3 1.177,3 1.422,9 1.513,9 1.439,7 1. 704,5 bangunan buatan pabrik 3,7 10,0 9,8 9,0 20,0 80,8 7. Besi baja Dari logam 1.926,1 2.526,2 2.442,7 2.639,3 2.908,7 3.168,5 8. Bahan-bahan karet & plastik 977,7 1.079,3 1.087,7 1.196,5 1.190,7 1.489,8 9. Bahan bangunan 188,9 289,8 351,3 423,9 391,0 348,5 10. Alat-alat listrik 131,7 103,9 182,0 238,8 193,3 260,2 2.647,9 3.065,3 3.362,5 3.551.2 4.770,4 6.640,4 6.145,8 9.590,1 11.066,4 2.734,0 4.625,6 5.088,0 4.635,4 4.866,0 5.369,6 2. Generator listrik 145,0 172,8 509,4 574,4 355,8 338,2 3. Alat telekomunikasi 339,5 489,9 660,0 908,4 897,3 711,3 4. Peralatan listrik 366,4 506,9 599,8 1.023,2 930,1 1.002,4 5. Alat pengangkutan 816,8 1.422,4 1.499,1 1.014,3 1.211,3 1.221,1 1.744,1 2.372,5 2.710,1 3.285,7 2.867,8 2.936,3 6. Semen, kapur, Dari bahan 11. Lainnya III. Barang modal 1. Mesin-mesin 6. Lainnya Jumlah 15.957,2 21.356,9 Departemen Keuangan Republik Indonesia 23.940,1 11.441,4 25.360,3 11.128,3 26.709,5 11.578,9 31.343,4 325 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 TabelIV.8 (lanjutan) Golongan Barang 1997/1998 199811999*) (Apr-Agust) (Apr-Agust) 1995/1996 1996/1997 1997/1998 Persentase Nilai Dari Persentase Nilai Jumlah (1) (2) (3) (4) (5) (6) 8,5 Dari Jumlah (7) (8) , I. Barang Konsumsi 3.584,5 3.511,3 2.828,7 1.382,8 1.1'74,3 I. Beras 687,5 429,4 143,9 67,4 449,2 2. Tekstil 396,1 446,8 337,7 166,4 122,5 954,8 1.070,5 883,4 440,2 181,3 170,0 181,5 190,2 96,8 27,3 5.SMUll dan kosmetik 94,6 101,4 118,0 62,6 31,0 6. Alat-alat rumah tangga 222,4 198,5 218,2 94,3 47,0 1.059,1 1.083,2 937,3 455,1 316,0 11,9 3. Susu, makanan, minuman dan buah-buahan 4. Tembakau dan olahannya 7.Lainnya II. Bahan bakulpenolong I.Bahan kimia 20.592,3 20.249,4 17.654,5 8.314,8 51,2 4.963,8 3.743,2 3.734,7 3.285,9 1.555,2 1.099,4 2.Bahan obat-obatan 200,2 219,0 162,7 88,1 62,8 3.Pupuk 146,5 222,5 188,2 115,6 30,5 4.Bahan-bahan kertas 330,9 308,9 322,7 151,0 98,6 1.913,8 1.803,8 1.524,0 712,8 651,6 115,7 140,7 89,1 36,8 7,5 4.254,7 3.970,4 3.601,5 1.549,2 913,6 1.260,4 614,9 379,8 5.Benang tenun 50,4 6.Semen, kapur, dan bahan bangunan buatan pabrik 7. Besi baja dan logam 8. Bahan-bahan karet & plastik 1.705,5 1.503,5 . 9. Bahan bangunan 388,8 572,5 590,1 287,2 143,8 10. Alat-alat listrik 279,3 360,0 398,5 192,3 85,4 6.231,4 3.011,7 1.490,8 11. Lainnya III. Barang modal I.Mesin-mesin 7.513,7 14.081,3 7.413,4 16.328,8 14.029,9 6.551,3 40,3 3.712,0 6.730,9 7.035,5 6.040,7 2.752,2 487,1 498,5 420,5 220,1 133,5 1.141,6 1.979,5 1.415,1 699,3 133,4 971,5 962,0 1.074,3 513,4 287,9 5.Alat pengangkutan 1.042,8 1.334,1 1.093,2 475,0 244,5 6.Lainnya 3.707,4 4.519,2 3.986,1 1.891,3 2.Generator listrik 3.Alat telekomunikasi 4.Peralatan listrik Jumlah 38.258,1 40.089,5 34.513,1 16.248,9 37,7 1.736,5 1.176,2 100,0 9.850,1 100,0 *) Angka sementara Departemen Keuangan Republik Indonesia 326 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Departemen Keuangan Republik Indonesia 327 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Departemen Keuangan Republik Indonesia 328 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel IV.9 NILAI IMPOR MENURUT NEGARA ASAL, 1989/1990 . 1998/1999 ( dC, dalam juta US $ ) 1989/1990 Negara Nilai 199011991 L ASIA Penenta Persenta Persenta Persentas se se se e ASEAN (3) 9.478,2 1993/1994 se darl (2) 199211993 Penenta Nllai jumlah (1) 199111992 darl Nilai Dari jumlah (4) (5) 55,2 13.064,655,4 Nllai darl jumlah (6) (7) 14.348,254,8 Nllai dart jumlah (8) jumlah (9) (10) 13.876,1SO,8 (11) 15.764,3 1.670,3 2.112,4 2.501,4 2.521,5 2.650,1 - Malaysia 366.5 294.4 497.5 524.7 531.9 - Muangthai 162.9 195,7 336,8 283.4 227,4 60,1 50,6 83,7 60,0 56,0 1.079,6 1.571,3 1.583,2 1.652,5 1.834,2 1.2 0,4 0,2 0,9 0,6 - Philipina - Singapura - Brunei Darussalam Hongkong 199,2 276,3 245,4 209,1 259,0 Jepang 3.975,8 5.875,0 6.421,9 5.649,6 6.562,4 Asia lainnya 3.632,9 4.800,9 5.179,5 5.495,9 6.292,8 D, AFRIKA DL AMERIKA -USA -Kanada - Amerika 1ainnya IV. AUSTRALASIA 162,6 1,0 163,8 0,7 198,0 0,8 200,7 0,7 148,0 0,5 2.993,5 17,4 3.724,7 15,8 4.409,2 16,8 4.864,8 17,8 4.284,7 14,8 2.161,6 2.614,8 3.500.4 3.920,8 3.111,4 393,1 327,7 386,7 453,6 427,3 438,8 1.055,3 782,2 6,1 1.385,3 522,1 5,9 1.480,4 490.4 5,7 1.568,2 746,0 5,8 1.566,9 . Australia 952.5 1.273,4 1.355,1 1.431,3 1.380,3 - Oceania 1ainnya 102,8 111,9 125,3 136,9 186,6 V, EROPA 3.489,1 ME 2.797,6 4.512,5 4.630,5 5.691,5 - Inggris 350,0 464,9 651,3 749,7 - Belanda 274,0 578,0 461,5 585,6 - Jenoan 980,3 . 1.731,0 2.077,8 2.190,6 - Belgia & Luxemburg 174,3 255,1 299,0 264,5 340,3 - Perancis 501,3 730,1 437,2 901,1 805,1 20,3 5.242,4 22,2 5.738,1 21,9 6.804,7 24,9 7.184,9 585,1 2.063,8 32,7 64,3 60,7 133,6 158,3 10,0 73,8 13,8 27,5 20,9 358,1 493,0 491,2 574,5 550,0 5,3 4.4 4,6 7,9 15,3 - Ponugal 2,3 7,8 2,0 2,0 2,2 - Spanyol 109,3 110,1 131.4 254,5 206,0 51,0 50,1 51,1 49,0 113,5 640,5 679,8 1.056,5 1.064,2 1,529,1 17.178,7 100,0 23.580,8 Rusia Eropa lainnya Jumlab Departemen Keuangan Republik Indonesia 100,0 26.173,9 100,0 27.314,5 100,0 24,8 795,3 . - Irlandia . Yunani 5,4 5.542,3 - Denmark . IbIlia 54,5 28.948,8 100,0 329 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 IV. 9 (lanjutan) Tabel 1994/1995 1995/1996 Person" Negara Person" " Nllai Nllai (1) L ASIA (3) 18.670,855,0 ASEAN Person.. Nllai jumlah (4) Nllai (6) (7) 54,5 22.635,951,5 Persent Me Dari jumlah (5) 22.494,4 Dari (Apr.Agust) Pene..... .. Dari 1998/1999 .) 1997/1998 " Dari jumlah (1) 1996/1997 Mlai dart jumlah (8) (9) jumlah (10) 19.991,852,3 (11) 5.597,3 3.151,8 4.114,4 5.178,Z 5.010,5 - Malaysia 580.2 819,1 879,5 761,7 255,8 - Muangthai 561.8 800,4 1.050,5 805,7 314,0 . Philipina - Singapura - Brunei Darussalam Honglrong 67,2 80,1 91.6 122,3 25,5 2.514,0 3.152,3 3.327,9 826,3 0,3 0,8 4,3 2,9 0,1 241,8 266,9 256,3 320,8 106,2 8.581,2 7.398,6 1.874,6 8.620,2 7.251,9 2.194,8 7.821,3 9.549,1 Asia lainnya 7.455,9 8.464,0 n. AFRIKA 1.411,7 1.942,3 Jepang ' S2,2 478,3 1,4 599,8 1,4 693,6 1,6 591,4 1,5 15z,z 1,4 m AMERIKA 5.157,0 15,1 6.806,8 16,5 7.090,5 16,1 6.411,5 16,8 1.715,4 16,1 -USA 3.882,4 4.896,8 5.270,6 4.882,5 564,8 789,2 747,3 648,4 200,3 709,8 1.120,8 1.072,6 890,6 200,0 .-,\Canada Amerika lainnya IV. AUSTRALASIA 1.853,6 - Australia - OCeania lainnya 1.817,4 6,4 2.565,6 1.663,8 7,0 704,5 2.442,1 261,8 n,z 10.724,7 6.174,7 7.110,5 8.193,3 6.688,6 1.145,4 692,8 978,1 1.149,4 1.011,7 346,3 13,0 221,7 24,4 8.554,9 71,7 11,4 1.544,8 721,7 673,7 492,2 540,4 145,2 2.512,2 2.889,6 3.028,9 2.613,3 997,6 - Belgia & Luxemburg 316.0 392,2 401,4 320,7 146,9 - Perancis 852,1 994,0 1.131,5 885,1 213,1 - Denmark 100,5 126,7 195,2 128,4 19,5. - Jennan - lrlandia 27,0 39,9 40,2 32,5 10,1 725,5 824,9 1.235,3 820,2 200,9 - Y unani 43,6 54,8 91,1 25,6 - Ponugal 3,9 8,6 4,4 22,5 - ltalia 8,1 179,4 228,0 423,7 288,2 57,3 Rusia 309,0 337,9 418,6 237,6 28.9 1.323,5 1.612,9 2.112,8 1.628,7 370,5 33.966,9 100,0 41.303,5 100,0 43;971;1 Jumlah 100,0 38.124,4 100,0 23,7 0,4 - Spanyol Eropa lainnya 6,6 632,7 204,1 ME . 5,4 9.161,3 7.807,1 - Inggris 1.241,1 2.037,1 176,4 V. EROPA - Belanda 5,4 1.677,2 1.325,1 10.724,1 100,0 *) Angka sementara Departemen Keuangan Republik Indonesia 330 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Dalam periode yang sama, defisit neracajasa-jasa migas menurun sebesar 39.4 persen dari US$ 4.635 juta menjadi US$ 2.807 juta sebagai akibat dari menurunnya impor migas dalam tatun 1998/1999. Penurunan impor migas menyebabkan berkurangnya pengunaan jasa pengangkutan (freight) maupun jasa nonfreight di sektor migas, masing-masing dari US$ 409 juta dan US$ 4.226 juta dalam tahun 1997/1998 menjadi US$ 280 juta dan US$ 2.527 juta dalam tahun 1998/1999. 4.4.4 Lalu Lintas Modal dan Transfer Krisis yang melanda perekonomian Indonesia sejak bulan luli 1997 berdampak negatif terhadap lalu lintas modal di Indonesia, khususnya aliran modal swasta. Sebelum terjadinya krisis, arus masuk modal (capital inflows) ke Indonesia baik melalui penanaman modal asing langsung (PMA) maupun utang luar negeri khususnya oleh sektor swasta, senantiasa mengalami peningkatan. Namun setelah krisis ekonomi menerpa Indonesia, terjadi kecenderungan mengecilnya aliran pemasukan modal tersebut, yang an tara lain disebabkan oleh menurunnya aliran modal dalam rangka investasi asing dan merosotnya aliran masuk utang kepada sektor swasta. Kesemuanya itu berkaitan erat dengan krisis ekonomi dan ketidakstabilan politik, sehingga menyebabkan fisiko berinvestasi di Indonesia (country risk) menjadi tinggi. Bila dalam tahun 1997/1998 arus masuk modal asing, baik dalam rangka PMA maupun utang luar negeri sektor swasta tercatat masingmasing sebesar US$ 9.323 juta dan. US$ 5.035 juta, dalam tahun 1998/1999 jumlahnya telah mengalarni penurunan yang signifikan, yaitu masing-masing menjadi US$ 5.966 juta dan US$ 1.897 juta. Modal asing telah memberikan peranan yang amat besar dalam menunjang keberhasilan pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak dimulainya pembangunan nasional. Namun penggunaan modal asing tersebut juga telah memberikan andil yang besar, khususnya modal-modal swasta komersial dan berjangka pendek terhadap krisis finansial yang kemudian berkembang menjadi krisis ekonomi yang melanda Indonesia saat ini. Keberhasilan sektor swasta sebagai lokomotif pertumbuhan ekonorni dalam beberapa tahun terakhir merupakan suatu kenyataan yang tak dapat disangkal. Keberhasilan tersebut ternyata mengandung benih-benih pernicu krisis ekonomi, di mana dalam tahun-tahun terakhir kegiatan investasi sektor swasta ditunjang oleh pinjaman luar negeri dalam jumlah yang sangat besar. Utang luar negeri sektor swasta tersebut bersifat komersial yakni jangka waktu pengembaliannya pendek dan berbunga tinggi. Struktur utang sektor swasta yang sebagian besar berjangka pendek dan dalam jumlah yang sangat besar Departemen Keuangan Republik Indonesia 331 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 serta adanya kecenderungan terjadinya mismatch dalam penggunaannya telah menimbulkan kerawanan bagi cadangan devisa disaat utang-utang tersebut jatuh tempo. Sementara itu peranan Pemerintah untuk mengatasi kekurangan dana dalam Negeri dengan menghimpun dana melalui pinjaman luar negeri diperkirakan masih tetap besar, mengingat potensi sumber daya modal dari dalam negeri semakin terbatas akibat krisis ekonomi yang berdampak pada penurunan secara drastis pada tingkat pendapatan dan tabungan masyarakat. Sektor swasta domestik pun, dalam waktu dekat belum dapat diharapkan kebangkitannya untuk kembali menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi seperti sebelum krisis ekonomi. Walaupun beberapa negara lembaga keuangan internasional telah menyatakan komitmennya untuk membantu krisis keuangan di Indonesia, namun upaya Pemerintah untuk memperoleh injeksi dana dari luar tampaknya tidak senantiasa berjalan dengan mulus. Hal tersebut disebabkan kendala dari dalam negeri berupa situasi politik dalam negeri yang belum terkendali tentunya akan menjadi pertimbangan bagi kreditor dalam memberikan pinjaman. Sedangkan kendala dari luar negeri berupa persaingan yang semakin ketat dalam memperebutkan modal asing yang terbatas, karena selain Indonesia banyak pula negara lain yang terkena imbas krisis ekonomi yang juga membutuhkan bantuan keuangan, disamping adanya negara-negara donor yang juga mengalami krisis ekonomi dalam negerinya seperti Jepang yang merupakan donatur terbesar bagi Indonesia selama ini. Sebagai salah satu langkah kebijaksanaan dari Pemerintah di dalam menangani masalah utang perusahaan-perusahaan swasta Indonesia, ialah dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 56 tahun 1998 tentang kewajiban melaporkan utang luar negeri swasta. Dalam keputusan ini antara lain memuat peraturan bahwa perusahaan swasta yang mempunyai utang luar negeri wajib melaporkan posisi utangnya secara berkala kepada Bank Indonesia. Selanjutnya, langkahlangkah lain imtuk mengantisipasi permasalahan yang dihadapi perekonomian Indonesia saat ini, Pemerintah telah mengambil beberapa kebijaksanaan yang berhubungan dengan laIu lintas modal, di antaranya: (i) melalui pertemuan Consultative Group' on Indonesia dimana telah berhasil diupayakan memperoleh tambahan bantuan luar negeri yang segera dapat dicairkan (Fast Disbursing Assistance); (ii) mengupayakan penerimaan bantuan IMF dalam rangka reformasi ekonomi guna memulihkan dan menyehatkan perekonomian Indonesia; (iii) melalui pertemuan Paris (paris Club) telah diupayakan penangguhan sebagian pembayaran kewajiban cicilan pokok pinjaman luar negeri, terutama pinjaman bilateral dan fasilitas kredit ekspor; (iv) Departemen Keuangan Republik Indonesia 332 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 membantu penyelesaian utang luar,negeri sektor swasta melalui program INORA (Indonesian Debt Restructuring Agency) dan Prakarsa Jakarta (Jakarta Initiative); (v) program privatisasi BUMN yang kepemilikan sahamnya juga terbuka bagi investor asing; (vi) tetap mempertahankan sistem devisa bebas dengan kemungkinan mengkaji beberapa penyesuaian untuk mendorong masuknya kembali modal asing; (vii) melanjutkan kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi guna menciptakan iklim yang kondusif bagi kegiatan investasi baik investasi domestik (PMON) maupun investasi asing (PMA). Pinjaman luar negeri pemerintah dalam tahun 1998/1999 diperkirakan akan meningkat pesat, namun demikian pada tahun-tahun yang akan datang, pinjaman ini harus dapat dikurangi agar pendanaan pembangunan tidak terus menerus bertumpu pada pinjaman luar negeri. Pemanfaatan pinjaman luar negeri oleh pemerintah tetap berpegang pada beberapa pedoman antara lain babwa pinjaman luar negeri tersebut hrus tanpa adanya ikatan politik, memiliki persyaratan lunak yakni tingkat bunga yang rendah dan jangka waktu pengembalian dan tenggang waktunya relatif panjang. Dalam hal ini yang perlu diupayakan adalah mengurangi tingkat ketergantungan beserta beban-beban yang ditimbulkannya dan menjaga agar utang tersebut tidak melampaui kemampuan negara untuk mengembalikannya. Dalam tahun 1998/1999 tercatat peningkatan lalu lintas modal neto, dari defisit US$ 7.629 juta pada tahun 1997/1998 menjadi surplus US$ 4.437 juta. Jumlah tersebut merupakan hasil dari pemasukan modal pemerintah sebesar US$ 18.273 juta, dikurangi dengan lalu lintas modal swasta bersih sebesar US$ 10.769 juta, dan dikurangi dengan pembayaran utang pokok pemerintah sebesar US$ 3.067 juta. Kenaikan lalu lintas modal neto tersebut disebabkan oleh kenaikan komponen pemasukan modal pemerintah yaitu dari US$ 8.293 juta dalam tahun 1997/1998 menjadi US$ 18.273 juta dalam tahun 1998/1999 atau naik sebesar 120,3 persen. Kenaikan pemasukan modal pemerintah tersebut disebabkan adanya peningkatan dalam komponen bantuan program dan lainnya dari US$ 3.036 juta dalam tahun 1997/1998 menjadi US$ 12.186 juta dalam tahun 1998/1999 atau naik sebesar 301,4 persen. Demikian pula komponen bantuan proyek dan lainnya yang mengalami kenaikan Dari US$ 5.257 juta dalam tahun 1997/1998 menjadi US$ 6.087 juta dalam tahun 1998/1999 atau naik sekitar 15,8 persen. Pembayaran utang pokok pemerintah diperkirakan mengalami penurunan dari US$ 4.095 juta dalam tahun 1997/1998 menjadi US$ 3.067 juta dalam tahun 1998/1999 atau turun sekitar 25,1 persen. Sementara itu, defisit lalu lintas modal swasta bersih diperkirakan mengalami Departemen Keuangan Republik Indonesia 333 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 penurunan, yaitu dari US$ 11.827 juta dalam tahun 1997/1998 menjadi defisit US$ 10.769 juta dalam tahun 1998/1999. 4.5 Perkiraan Neraca Pembayaran dalam Tahun Anggaran 1999/2000 Kinerja neraca pembayaran dalam tahun anggaran 1999/2000 diperkirakan akan berbeda dari kinerja dalam tahun anggaran sebelumnya. Pertumbuhan nilai ekspor nonmigas dan impor nonmigas dalam tahun anggaran 1999/2000 diperkirakan akan lebih tilggi dibandingkan dalam tahun sebelumnya. Sementara itu, ekspor migas diperkirakan mengalami penurunan sehubungan dengan turunnya harga minyak mentah. Dalam pada itu, defisit nernea jasa-jasa diperkirakan akan meningkat sehubungan dengan meningkatnya impor, sehingga surplus transaksi berjalan diperkirakan mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pada sisi neraca modal, pemasukan modal pemerintah diperkirakan tetap mengalami surplus. Sementara itu, dalam periode yang sama defisit neraea modal swasta diperkirakan mengalami penurunan berkaitan dengan upaya-upaya perbaikan iklim investasi di Indonesia. SurpIus modal pemerintah diperkirakan Iebih besar dibandingkan defisit laIu lintas modal swasla, sehingga neraca modal secara keseluruhan dalam tahun anggaran 1999/2000 diperkirakan mengalami surplus. Berdasarkan perkembangan transaksi berjalan dan neraca modal tersebut, neraca pembayaran secara keseluruhan diperkirakan mengalami surplus, yang berarti memberi pengaruh menambah pada cadangan devisa. 4.5.1 Perkiraan Nilai Ekspor Minyak Bumi dan Gas Alam (neto) Dalam tahun 1999/2000, harga rata-rata minyak mentah dunia diperkirakan lebih rendah dibandingkan harga dalam tahun sebelumnya. Penurunan harga minyak mentah tersebut akan diikuti pula oleh penurunan harga gas alam. Sebagai akibatnya, nilai ekspor migas diperkirakan mengalami penurunan sebesar 7,0 persen menjadi US$ 6,6 miliar. Dalam periode yang sama, nilai impor migas diperkirakan tidak mengalami perubahan berarti dibandingkan dengan impor dalam tahun sebelumnya, yaitu mencapai US$ 2,8 miliar. Dengan demikian, ekspor migas neto dalam tahun 1999/2000 diperkirakan akan mencapai US$ 3,8 miliar. 4.5.2 Perkiraan Nilai Ekspor Bukan Minyak Bumi dan Gas Alam Departemen Keuangan Republik Indonesia 334 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Nilai ekspor nonmigas dalam tahun 1999/2000 diperkirakan mengalami peningkatan 4,8 persen menjadi US$ 45,7 miliar. Hal itu sejalan dengan perkembangan perekonomian nasional maupun perekonomian negara-negara tujuan utama ekspor Indonesia yang belum sepenuhnya mengalami pemulihan. Perkiraan tersebut danasarkan pada asumsi-asumsi : (1) Kondisi sosial-politik dalam tahun 1999/2000 secara bertahap semakin dapat dipulihkan, sehingga berdampak positif terhadap kesempatan usaha di sektor riil; (2) Kapasitas produksi dan distribusi belum mengalami perubahan berarti; (3) Nilai tukar rupiah terhadap US$ relatif stabil, tetapi secara riil masih memberikan keunggulan komparatif bagi komoditi ekspor Indonesia dibandingkan komoditi ekspor dari negara-negara Asia Tenggara lain (Thailand, Malaysia, Phillipina, dan Vietnam) yang juga mengalami depresiasi, mengingat selama masa krisis, depresiasi rupiah lebih besar dibandingkan dengan depresiasi mata uang negara-negara tersebut. (4) Suku bunga diperkirakan sedikit lebih rendah dibandingkan dengan tahun sebelumnya, sehingga diharapkan akan dapat mendorong kegiatan investasi dan perdagangan; (5) Pertumbuhan ekonomi dunia, terutama pertumbuhan di negara-negara tujuan utama ekspor Indonesia diperkirakan belum mengalami perubahan berarti. 4.5.3 Perkiraan Nilai Impor Bukan Minyak Bumi dan Gas Alam Nilai impor nonmigas dalam tahun 1999/2000 diperkirakan mencapai US$ 31,1 rniliar atau mengalami peningkatan 10,7 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Perkiraan tersebut danasarkan pada asumsi-asumsi : (1) Situasi sosial-politik dalam tahun 1999/2000 secara bertahap semakin dapat dipulihkan, sehingga berdampak positif terhadap kesempatan usaha di sektor riil; (2) Nilai tukar rupiah terhadap US$ relatif stabil, sehingga diperkirakan tidak akan menghambat Impor; (3) Suku bunga relatif lebih rendah dibandingkan dengan tahun sebelumnya, sehingga diharapkan dapat memberikan peluang yang baik bagi kegiatan investasi, produksi, dan perdagangan, termasuk kegiatan yang memerlukan produk impor; (4) Pendapatan masyarakat belum banyak berubah dibandingkan pendapatan dalam tahun sebelumnya, sehingga permintaan terhadap produk impor atau produk yang mengandung muatan impor belum banyak mengalami perubahan; Departemen Keuangan Republik Indonesia 335 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 (5) Kepercayaan mitra dagang luar Negeri terhadap L/C dari importir Indonesia berangsur meningkat. 4.5.4 Perkiraan Pos Lainnya Neraca jasa-jasa dalam tahun 1999/2000 diperkirakan mengalami defisit US$17,1 miliar. Dengan demikian, transaksi berjalan diperkirakan mengalami surplus US$ 1,3 miliar atau setara dengan 0,9 persen dari produk produk domestik bruto (PDB). Pemasukan modal pemerintah diperkirakan mencapai US$ 11,2 millar, yang terdiri dari bantuan program dan lainnya US$ 7,2 miliar serta bantuan proyek dan lainnya US$ 4,0 miliar. Sementara itu, pembayaran pokok pinjaman pemerintah diperkirakan mencapai US$ 4,3 miliar, sehingga pemasukan modal pemerintah (bersih) mencapai US$ 6,9 millar. Dalam pada itu, lalu lintas modal lainnya (bersih) diperkirakan masih mengalami defisit US$ 4,9 miliar, atau 54,6 persen lebih rendah dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Dengan surplus lalu lintas modal pemerintah (bersih) yang masih lebih besar dibandingkan dengan defisit lalu lintas modal lainnya, maka neraca modal secara keseluruhan diperkirakan mengalami surplus US$ 2,0 miliar. Berdasarkan perkembangan transaksi berjalan dan neraca modal tersebut, neraca pembayaran secara keseluruhan diperkirakan mengaIami surplus US$ 3,3 miliar. Perkiraan neraca pembayaran secara keseluruhan dalam tahun anggaran 1999/2000 disajikan dalamTabel IV.10. Departemen Keuangan Republik Indonesia 336 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tab e I IV. 10 PERKIRAAN NERACA PEMBA Y ARAN, 1999/2000 (dalam Millar US $) (1) (2) I. Barang-barang dan jasa-jasa 1.Ekspor, fob + 52,3 minyak bumi dan gas alam + 6,6 bukan minyak bumi dan gas alam + 45,7 - 33,9 minyak bumi dan gas alam - 2,8 bukan minyak bumi dan gas alam .- 31,1 - 17,1 minyak bumi dan gas alam - 2,9 bukan minyak bumi dan gas alam - 14,2 + 1,3 minyak bumi dan gas alam + 0,9 bukan minyak bumi dan gas alam + 0,4 2.Impor, fob 3.Jasa-jasa 4. Transaksi berjalan II. S D Rs m. Pemasukan modal pemerintah + 11,2 1.Bantuan program dan lainnya + 7,2 2.Bantuan proyek dan lainya + 4,0 IV. Lalu lintas modallainnya - 4,9 V. Pembayaran hutang pokok - 4,3 + 3,3 VI. Jumlah (I s.d. V) vll. Selisih yang belum dapat diperhitungkan vm. LaIu lintas moneter Departemen Keuangan Republik Indonesia 0 - 3,3 337 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 BAB V KEUANGAN DAERAH 5.1 Pendahuluan Pemerintah menyadari bahwa pembangunan daerah merupakan salah satu upaya untuk mencapai tujuan masyarakat adil dan makmur. Sejalan dengan tujuan tersebut, berbagai kegiatan pembangunan telah diarahkan pada pembangunan daerah khususnya daerah-daerah yang relatif tertinggal. Pembangunan daerah dilakukan secara terpadu dan berkesinambungan sesuai prioritas dan kebutuhan masing-masing daerah sejalan dengan arah dan sasaran pembangunan nasional yang telah ditetapkan melalui program-program pembangunan jangka pendek dan jangka panjang. Untuk meningkatkan kemampuan daerah di bidang keuangan, berbagai kebijaksanaan dan program pengembangan keuangan daerah telah dilaksanakan, baik oleh masing-masing daerah maupun melalui kerjasama dengan pemerintah pusat atau swasta. Hasil nyata dari program-program tersebut menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun, baik daerah tingkat I maupun daerah tingkat II. Penerimaan daerah tingkat I seluruh Indonesia yang dalam tahun anggaran 1993/1994 masih berjumlah Rp 8.382,3 miliar meningkat menjadi Rp 12.876,1 miliar dalam tahun anggaran 1997/1998, atau mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun 11,3 persen. Sementara itu, penerimaan daerah tingkat II meningkat dari Rp 8.404,0 miliar dalam tahun anggaran 1993/1994 menjadi Rp 13.050.0 miliar dalam tahun anggaran 1996/1997, yang berarti mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun 15,8 persen. Salah satu indikator yang dipergunakan untuk mengukur keberhasilan pembangunan ekonomi suatu daerah adalah produk domestik regional bruto (PDRB), yang merupakan keseluruhan nilai tambah barang dan jasa yang dihasilkan oleh berbagai sektor ekonomi di suatu daerah dalam periode tertentu. Proporsi penerimaan maupun pengeluaran daerah tingkat I di seluruh Indonesia terhadap PDRB tanpa migas menunjukkan kecenderungan menurun dari tahun ke tahun. Dalam tahun anggaran 1993/1994 proporsi penerimaan dan pengeluaran daerah tingkat I terhadap PDRB tanpa migas masing-masing adalah 2,9 persen dan 2,7 persen menurun menjadi 2,4 persen dan 2,3 persen dalam tahun anggaran 1997/1998. Demikian pula dengan proporsi penerimaan dan pengeluaran daerah tingkat II seluruh Indonesia terhadap PDRB tanpa migas menurun dari 3,5 persen dan 3.3 persen dalam tahun anggaran 1993/1994 menjadi 3,4 Departemen Keuangan Republik Indonesia 338 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 persen dan 3,2 persen pada tahun anggaran 1996/1997. Menurunnya proporsi penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah terhadap PDRB tanpa migas menunjukkan semakin meningkatnya peranan sektor-sektor ekonomi di luar sektor pemerintah daerah dalam menunjang pembangunan ekonomi di daerah. Hal ini sejalan dengan kebijaksanaan pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah untuk selalu meningkatkan peranan sektor swasta dalam pembangunan ekonomi. Anggaran pendapatan daerah tingkat I dan daerah tingkat II terdiri atas pendapatan asli daerah (PAD), bagi hasil pajak dan bukan pajak, sumbangan dan bantuan dari pemerintah pusat, dan pinjaman daerah. Penerimaan daerah tingkat I dan tingkat II dialokasikan untuk pengeluaran rutin dan pembangunan. Perkembangan penerimaan dan pengeluaran daerah tersebut dapat dilihat pada Tabel V.l sampai dengan Tabel V.8 dan Grafik V.l sampai dengan Grafik V.4. Proponsi terbesar dari keseluruhan penerimaan daerah baik daerah tingkat I maupun daerab tingkat II berasal dari sumbangan dan bantuan. Sumbangan dan bantuan pemerintah pusat untuk daerah tingkat I dalam tahun anggaran 1997/1998 berjumlah Rp 6.279,0 miliar yang berarti meningkat dari tahun anggaran 1993/1994 yang hanya Rp 5.096,7 miliar. Meskipun propinsi sumbangan dan bantuan masih mendominasi sebagian besar penerimaan daerah, namun persentasenya dari tahun ke tahun menurun terhadap keseluruhan penerimaan, yaitu dari 60,8 persen dalam tahun anggaran 1993/1994 menjadi 48,8 persen dalam tahun anggaran 1997/1998. Demikian pula daerah tingkat II, meskipun penerimaan daerah dari sumbangan dan bantuan secara absolut mengalami peningkatan dari Rp5.956, 1 miliar dalam tahun anggaran 1993/1994 menjadi Rp8.528,5 miliar dalam tahun anggaran 1996/1997, Namun dilihat dari proporsinya terhadap keseluruhan penerimaan daerah mengalami penurunan, yaitu 70,9 persen dalam tahun anggaran 1993/1994 menjadi 65,4 persen dalam tahun anggaran 1996/1997. Sumbangan dan bantuan dari Pusat tersebut mempunyai tujuan untuk membiayai berbagai kegiatan pembangunan daerah terutama untuk pemerataan, penyebarluasan dan penyelarasan pembangunan antardaerah. Seiring dengan berbagai upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah daerah sendiri maupun oleh pemerintah pusat dalam peningkatan kemampuan keuangan daerah, PAD mengalami peningkatan yang cukup berarti dari tahun ke tahun, baik untuk daerah tingkat I maupun daerah tingkat II. Dalam tahun anggaran 1993/1994 PAD daerah tingkat I seluruh Departemen Keuangan Republik Indonesia 339 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Indonesia berjumlah Rp2.199,8 miliar meningkat menjadi Rp4.657,0 miliar dalam tahun anggaran 1997/1998. PAD daerah tingkat II secara keseluruhan juga mengalami peningkatan yaitu dari Rp 944,6 miliar dalam tahun anggaran 1993/1994 menjadi Rp1.827,4 miliar dalam tahun anggaran 1996/1997. Proporsi PAD terhadap keseluruhan sumber penerimaan daerah di daerah tingkat I mengalami peningkatan dari 26,2 persen dalam tahun anggaran 1993/1994 menjadi 36,2 persen dalam tahun anggaran 1997/1998, dan di daerah tingkat II mengalami peningkatan dari 11,2 persen dalam tahun anggaran 1993/1994 menjadi 14,0 persen dalam tahun anggaran 1996/1997. Di samping itu bagi hasil pajak bumi dan bangunan (PBB) baik di daerah tingkat I maupun di daerah tingkat II juga mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Bagi hasil PBB di daerah tingkat I seluruh Indonesia meningkat dan Rp 412,3 miliar dalam tahun anggaran 1993/1994 menjadi Rp773,3 miliar dalam tahun anggaran 1997/1998, sedangkan di daerah tingkat II meningkat dari Rp 874,6 miliar dalam tahun anggaran 1993/1994 menjadi Rp 1.578,7 miliar dalam tahun anggaran 1996/1997. Keberhasilan pemerintah daerah dalam memobilisasi penerimaan daerah sendiri menunjukkan peningkatan kemandirian pemerintah daerah dalam penggunaan dana-dana, karena dana yang berasal dari PAD dan bagi hasil PBB sepenuhnya dapat dipergunakan sesuai dengan kebutuhan masing-masing daerah, baik untuk penyelenggaraan pemerintahan maupun untuk pembangunan. Departemen Keuangan Republik Indonesia 340 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel V. 1 PENERIMAAN DAERAH TINGKAT I SELURUH INDONESIA DIBANDINGKAN DENGAN PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO TANPA MIGAS 1989/1990, 1993/1994, 1994/1995, DAN 1997/1998 Repelita V No. Uraian 1989/1990 Jumlah 1993/1994 Proporsi (Rp miliar) (%) (1) (2) l. Penerimaan daerah sendiri (PDS) : a< Pendapatan ash daerah (PAD) b< Bagi hasil pajak (PBB) 2. 3. Bagi hasil pajak dan bukan pajak diluar PBB Sumbangan dan bantuan pemerintah pusat 4. Pinjaman daerah 5, Slsa lebih tahun sebelumnya 6. Jumlah penerimaan APBD Tk.1 7. PDRB '. (3) Repelita VI (4) 1994/1995 1997/1998 Jumlah Proporsi Jumlah Proporsi Jumlah Proporsi (Rp miliar) (%) (Rp miliar) (%) (Rp miliar) (%) (5) (6) (7) (8) (9) (10) "1..211,01 27,84 2.612,11 31,16 3.480,39 35,85 5.430.29 42,17 1.041,40 23,94 2.199,79 26,24 3<010,32 31,01 4<657,02 36,17 169,61 3,90 412.32 4.92 470,07 4,84 773,27 6,00 133,63 3,07 232,11 2,77 283,27 2,92 504,20 3,92 2.720,55 62,54 5.096,65 60,80 5.310,26 54,69 6.278,97 48,77 15,08 0,35 38,44 0,46 51,86 0,53 53,14 0,41 269,85 6,20 403,02 4,81 583,21 6,01 609,52 4,73 4.350,12 100,00 137.970,59 8.382,33 100,00 291.541,54 ..) 9.708,99 100,00 343,063,98 "1 12.876,12 100,00 536.447,11 "') 8. Persentase penerimaan APBD Tk.1 terhadap PDRB (6 : 7) 3,15 2,88 2,83 2,40 Keterangan .. Dalam tahun takwim, dan alas dasar harga yang bcrlaku ... Angka diperbaiki ... ..Angka sangat sementara Departemen Keuangan Republik Indonesia 341 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel V. 2 PENERIMAAN DAERAH TINGKA l' I PER KAPIl' A DAN PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO l'ANPA MIGAS PER KAPIl' A SELURUH INDONESIA 1989/1990, 1993/1994, 1994/1995, DAN 1997/1998 (dalam rupiah) Repelita V No. Uraian (1) 1989/1990 1993/1994 1994/1995 1997/1998 (3) (4) (5) (6) (2) 1. Penerimaan daerah sendiri (PDS): a. Pendapatan asli daerah (PAD) . b. Bagi hasil pajak (PBB) 2. 3. Repelita VI Bagi hasil pajak dan bukan pajak diluar PBB Sumbangan dan bantuan pemerintah pusat 4. Pinjaman daerab 5. Sisa lebib tahun sebelumnya 6. Jumlah penerimaan APBD l'k.I 7. PDRB ') 6.760 13.811 18.107 26.422 5.813 11.631 15.661 22.660 947 2.180 2.446 3.762 747 1.227 1.474 2.453 15.187 26.947 27.626 30.551 84 203 270 259 1.507 2.131 3.034 2.966 24.285 44.319 50.511 62.651 789.963 1.587.604 **) 1.799.199**) 2.684.429 ***) Keterangan, *) Dalam tahun lakwim. dan alas dasar harga yang berlaku. **) Angka diperbaiki ***) Angka sangat sementara Departemen Keuangan Republik Indonesia 342 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Departemen Keuangan Republik Indonesia 343 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel V. 3 PENERIMAAN DAERAH TINGKAT II SELURUH INDONESIA DIBANDINGKAN DENGAN PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO TANPA MIGAS 1989/1990,1993/1994,1994/1995, DAN 1996/1997 No Repelita V 1989/1990 Uraian (I) (2) I. Penerimaan daerah sendiri (PDS) 2. Repelita VI 1993/1994 1994/1995 Jumlah Proporsi Jumlah (Rp miliar) (%) (Rp miliar) (%) (Rp miliar) (%) (5) (6) (7) (8) (3) (4) Proporsi Jumlah 1996/1997 Proporsi Jumlah Proporsi (Rp miliar) (%) (9) (10) 839,6827,86 1.819,1821,65 2.362,9124,55 3.406,0226,10 a. Pendapatan ash daerah (PAD) 477.9215,86 944.5511,24 1237,6912.86 1.827,3514,00 b. Bagi hasil pajak (PBB) 361,7612,00 874,6310,41 1125,2211,69 1578,6712,10 Bagi hasil pajak dan bukan pajak diluar PBB 64,982,16 240,48 2,86 327,26 3,40 583,76 4,47 3. Sumbangan dan bantuan pemerintah pusat dan daerah tingkat I 2.011,57 66,74 5.956,08 70,87 6.570,23 68,28 8.528,47 65,35 4. Pinjaman daerah 26,51 0,88 52,03 0,62 85,78 0,89 149,50 1,15 5. Sisa lebih tahun sebelumnya 71,18 2,36 336,21 4,00 277,02 2,88 382,28 2,93 3.013,92 100,00 8.403,98 100,00 9.623,20 100,00 13.050,03 100,00 6. Jumlah penerimaan APBD Tk.1I 7. PDRB 0, 118.186,65 240.435,08 ") 284.278,65 ") 387.093,82 "O) 8. Persentase penerimaan APBD Tk. II terhadap PDRB (6 : 7) - 2,55 3,50 3,39 3,37 Keterangan ., Oalam tahun takwim, dan atas dasar harga yang berlaku, tidak tcrmasuk DKI Jakarta .., Angka diperbaiki. ..., Angka sementara. Departemen Keuangan Republik Indonesia 344 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel V. 4 PENERIMAAN DAERAH TINGKAT II PER KAPITA DAN PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO TANPA MIGAS PER KAPITA. SELURUH INDONESIA 1989/1990, 1993/1994, 1994/1995, DAN 1996/1997 (dalam rupiah) Repelita V No, Repelita VI Uraian 1989/1990 1993/1994 1994/1995 1996/1997 (1) (2) (3) 1. Penerimaan daerah sendiri (PDS): a. Pendapatan asli daerah (PAD) (4) (5) (6) 4.938 10.088 12.896 17.394 2.811 5.238 6.755 9.332 2.127 4.850 6.141 8.062 382 1.333 1.786 2.981 11.831 33.027 35.856 43.553 . b. Bagi hasil pajak (PBB) 2. Bagi hasil pajak dan bukan pajak. diluar PBB 3. Sumbangan dan bantuan pemerintah pusat dan pemerintah daerah tingkat I 4. Pinjaman daerah 156 289 468 763 5. Sisa lebih tahun sebelumnya 419 1.864 1.512 1.952 6. Jumlah penerimaan APBD Tk.II 17.726 46.601 52.518 66.643 7. PDRB OJ 695.085 1.374.491 ") 1.564.808 ") 2.063.334 "') Keterangan: *') Dalam tahun takwim, dan alas dasar harga yang berlaku, tidak term as uk DKI Jakarta. **) Angka diperbaiki. ***) Angka sementara. Departemen Keuangan Republik Indonesia 345 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Departemen Keuangan Republik Indonesia 346 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 I Tabel V. 5 PENGELUARAN DAERAH TINGKAT I SELURUH INDONESIA DIBANDINGKAN DENGAN PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO TANPA MIGAS 1989/1990, 1993/1994, 1994/1995, DAN 1997/1998 Repelita V No. 1989/1990 Uraian 1993/1994 Propors Jumlah i (Rp miliar) (%) (1) I. (2) (3) Pengeluaran rutin 2.Pengeluaran pembangunan 3. Jumlah pengeluaran AP}!D Tk. 5. Propors Jumlah i (Rp miliar) (%) (4) (5) 1997/1998 1994/1995 (6) Propor Jumlah si (Rp miliar) (%) (7) (8) Propor Jumlah si (Rp miliar) (%) (9) (10) 2.936,9174,06 5.400,97 69,12 5.988,98 67,77 8.131,8465,00 1.028,5725,94 2.413,01 30,88 2.848,40 32,23 4.379,4235,00 3.965,48 100,00 7.813,98 100,00 8.837,38 100,00 12,511,26 100,00 I 4.PDRB 'J Repelita VI 137.970,59 .. .. 2,87 291.541,54 00) - 343.063,98 00) - 536.447,11 "') Persentase pengeluaran APBD Tk.I terhadap PDRB (3 : 4) - 2,68 .. 2,58 - Kelcrangan: ') Dalam lahun lakwim. don atas dasar harga yang berlaku ") Angka diperbaiki. "') Angka sangat sementara. Departemen Keuangan Republik Indonesia 347 2,33 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel V. 6 PENGELUARAN DAERAH TINGKA T I PER KAPIT A SELURUH INDONESIA 1989/1990,1993/1994,1994/1995, DAN 1997/1998 (dalam rupiah) Repelita V No. Repelita VI Uraian (1) 1989/1990 1993/1994 1994/1995 1997/1998 (3) (4) (5) (6) 16.395 28.556 31.157 39.567 5.742 12.758 14.819 21.309 22.137 41.314 45.976 60.876 (2) . 1. Pengeluaran rutin 2. Pengeluaran pembangunan 3. J umlah pengeluaran APBD Tk.I Departemen Keuangan Republik Indonesia 348 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Departemen Keuangan Republik Indonesia 349 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel V. 7 PENG'ELUARAN DAERAH TINGKAT II SELURUH INDONESIA DIBANDINGKAN DENGAN PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO T ANP A MIGAS 1989/1990, 1993/1994, 1994/1995, DAN 1996/1997 Repelita V No. Uraian 1989/1990 Jumlah 1993/1994 Propor si (Rp miliar) (%) (1) (2) (3) Repelita VI (4) 1994/1995 1996/1997 Jumlah Proporsi Jumlah Proporsi Jumlah Proporsi (Rp miliar) (%) (Rp miliar) (%) (Rp miliar) (%) (5) (6) (7) (8) (9) (10) 1. Pengeluaran rutin 1.690,58 58,47 3.923,35 49,40 4.662,95 51,28 6.845,37 53,78 2. Pengeluaran pembangunan 1.200,60 41,53 4.018,67 50,60 4.429,38 48,72 5.694,25 46,22 3. Jumlah pengeluaran APBD Tk. II 2.891,18 100,00 7.942,02 100,00 9.092,33 100,00 12.539,62 100,00 4. PDRB ') 5. Persentase pengeluaran APBD Tk. II terhadap PDRB (3 : 4) 118.186,65 - 240.435,08 ") 2,45 - 284.278,65") 3,30 - . 3,20 387.093,82 "') - 3,24 Keterangan ., Dalam tahun takwim, dan atas dasar harga yang herlaku, tidak termasuk DKI Jakarta. .., Angka diperbaiki. ..., Angka sementara. Departemen Keuangan Republik Indonesia 350 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel V. 8 PENGELUARAN DAERAH TINGKA T II PER KAPIT A SELURUH INDONESIA 1989/1990, 1993/1994, 1994/1995, DAN 1996/1997 (dalam rupiah) Repelita V No. Repelita VI Uraian (1) (2) 1989/1990 1993/1994 1994/1995 1996/1997 (3) (4) (5) (6) . 1. Pengeluaran rutin 2. 3. Pengeluaran pembangunan Jumlah pengeluaran APBD Tk." Departemen Keuangan Republik Indonesia 9.943 21.756 25.448 34.958 7.061 22.284 24.173 29.079 17.004 44.040 49.621 64.037 351 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Departemen Keuangan Republik Indonesia 352 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Pengeluaran daerah tingkat I dan daerah tingkat II terdiri dan pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Seperti pada sisi penerimaan, sisi pengeluaran juga selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Dalam tahun anggaran 1993/1994 jumlah pengeluaran daerah tingkat I berjumlah Rp 7.814,0 miliar meningkat menjadi Rp 12.511,3 miliar dalam tahun anggaran 1997/1998 yang berarti mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun 12,5 persen, seuangkan daerah tingkat II mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun 15,8 persen, yaitu dari Rp7.942,0 miliar dalam tahun anggaran 1993/1994 menjadi Rp 12.539,6 miliar dalam tahun anggaran 1996/1997. Kebijaksanaan pada sisi pengeluaran ini diarahkan untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan, mendorong pembangunan dan meningkatkan perekonomian daerah. Proporsi pengeluaran rutin daerah tingkat I secara nasional terhadap keseluruhan pengeluaran daerah mengalami penurunan dari tahun ke tahun yaitu 69,1 persen dalam tahun anggaran 1993/1994 menjadi 65,0 persen dalam tahun anggaran 1997/1998. Sementara itu, proporsi pengeluaran rutin terhadap keseluruhan pengeluaran daerab tingkat II mengalami peningkatan dari 49,4 persen dalam tahun anggaran 1993/1994 menjadi 53,8 persen dalam tahun anggaran 1996/1997. Pengeluaran rutin baik daerah tingkat I maupun daerah tingkat II meliputi belanja pegawai, belanja barang, belanja pemeliharaan, belanja perjalanan dinas, angsuran pinjaman dan bunga, belanja pensiun dan uang tunggu, ganjaran/subsidi/sumbangan kepada daerah bawahan, serta belanja rutin lainnya. Pengeluaran pembangunan di daerah tingkat I secara absolut maupun proporsinya terhadap pengeluaran daerah selalu mengalami peningkatan. Dalam tahun anggaran 1993/1994 pengeluaran pembangunan daerah tingkat I seluruh Indonesia berjumlah Rp 2.413,0 miliar atau 30,9 persen dari keseluruhan pengeluaran daerah tingkat I meningkat menjadi Rp 4.379,4 miliar atau 35,0 persen dari total pengeluaran daerah tingkat I. Sementara itu, proporsi pengeluaran pembangunan daerah tingkat II mengalami penurunan meskipun secara absolut dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan. Dalam tahun anggaran 1993/1994 pengeluaran pembangunan daerah tingkat II seluruh Indonesia berjumlah Rp4.018,7 miliar meningkat menjadi Rp5.694,3 miliar dalam tahun anggaran 1996/1997, sementara proporsinya terhadap pengeluaran daerah tingkat II turun dari 50,6 persen menjadi 46,2 persen. Dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat dan untuk meningkatkan kinerja kegiatan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah, telah dibentuk Departemen Keuangan Republik Indonesia 353 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 beberapa daerah tingkat II baru. Bila dalam tahun anggaran 1989/1990 terdapat 290 daerah tingkat II otonom, dalam tahun anggaran 1997/1998 meningkat menjadi 304 daerah tingkat II otonom, yang berarti bertambah 14 daerah tingkat II otonom dalam kurun waktu delapan tahun. Jumlah daerah tingkat II otonom dalam tahun anggaran 1997/1998 tersebut terdiri alas 245 kabupaten dan 59 kotamadya. Namun demikian belum semua daerah tingkat II tersebut memiliki APBD, sebagaimana terlihat dalam Tabel V.9, dalam tahun anggaran 1996/1997 hanya terdapat 300 daerah tingkat II yang telah memiliki APBD. Daerah yang belum masuk ke dalam label adalah Kotamadya Daerah Tingkat II Kupang di Propinsi Nusa Tenggara Timur, Kabupaten Daerah Tingkat II Tulang Bawang dan Kabupaten Daerah Tingkat II Tanggamus di Propinsi Lampung, termasuk Kotamadya Daerah Tingkat II Tarakan di Propinsi Kalimantan Timur yang dibentuk dalam tahun anggaran 1997/1998. Selain daerah tingkat II otonom terdapat pula beberapa wilayah administratif yang sampai dalam tahun anggaran 1997/1998 terdapat 4 kabupaten administratif, 6 kotamadya administratif dan 32 kota administratif. 5.2 Kebijaksanaan Keuangan Daerah Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pemerintah pusat sehingga dengan demikian pembangunan daerah diupayakan sejalan dengan arah dan tujuan pembangunan nasional. Sistem pemerintahan di daerah dilaksanakan berdasarkan asas desentralisasi, asas dekonsentrasi dan asas tugas pembantuan. Untuk menjamin terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis, pelayanan kepada masyarakat yang lebih baik, mempertinggi tingkat kesejahteraan rakyat, menjamin perkembangan dan pembangunan daerah, serta terwujudnya keserasian hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, maka otonomi daerah diberikan kepada daerah tingkat II dengan prinsip nyata, dinamis, serasi dan bertanggung jawab. Nyata, dalam arti bahwa pemberian otonomi kepada daerah didasarkan pada faktor-faktor, perhitungan dan tindakantindakan atau kebijaksanaan yang benar-benar dapat menjamin daerah yang bersangkutan secara nyata mampu mengurus rumah tangga sendiri. Bertanggung jawab, dalam arti bahwa pemberian otonomi benar-benar sejalari dengan tujuan untuk melancarkan pembangunan yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia dan serasi dengan pembinaan politik dan kesatuan bangsa. Departemen Keuangan Republik Indonesia 354 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel V. 9 JUMLAH DAERAH TINGKAT II PER PROPINSI 1989/1990 DAN 1996/1997 No. Repelita V Repelita VI 1989/1990 1996/1997 Proplnsi (1) (2) (3) (4) 1.DI Aceh 10 10 2.Sumatera Utara 17 17 3.Sumatera Barat 14 14 4.Ri au 6 6 5.Jambi 6 6 10 10 7.Bengkulu 4 4 8.Lampung 4 5 9.Jawa Barat 24 25 10.Jawa Tengah 35 35 5 5 37 37 13.Kalimantan Barat 7 7 14.Kalimantan Tengah 6 6 15.Kalimantan Selatan 10 10 6 6 17.Sulawesi Utara 6 7 18.Sulawesi Tengah 4 5 19.Sulawesi Selatan 23 23 20.Sulawesi Tenggara 4 5 21.B a Ii 8 9 22.Nusa Tenggara Barat 6 7 23.Nusa Tenggara Timur 12 6.Sumatera Selatan 11.DI Yogyakarta 12.Jawa Timur 16.Kalimantan Timur . 13'J 24.Maluku 4 5 25.Irian Jaya 9 10 13 13 290 300 26.Timor Timur Jumlah. Keterangan : Belum termasuk Kodya Kupang, karena belum memiliki APBD. Departemen Keuangan Republik Indonesia 355 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Dengan bertambahnya kewenangan dan tanggung jawab pemerintah daerah, anggaran daerah yang dibutuhkan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan juga semakin besar. Sehubungan dengan itu, pengelolaan keuangan daerah yang baik, transparan dan bertanggung jawab sangat dibutuhkan dan diupayakan agar pengguna, dana dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Dalam era globalisasi dunia dewasa ini bangsa Indonesia mendapat ujian yang sangat berat. Krisis moneter dan ekonomi yang berkepanjimgan serta krisis kepercayaan yang terjadi saat ini menunjukkan bahwa sumber daa manusia menjadi semakin penting peranannya. Hal-ha1 yang.mendasari pentingnya peningkatan kualitas sumber daya manusia di bidang pengelolaan keuangan antara lain dipicu dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah (PP) N omor 45 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah dengan Titik Berat pada Daerah Tingkat II. Dengan adanya PP tersebut tugas daerah tingkat II menjadi semakin bertainbah sehingga perlu upaya pingkatan wawasan dan kualitas pengelola keuangan di daerah tingkat II. Di samping itu, semakin kompleksnya proses pelayanan kepada masyarakat menyebabkan pengelolaan keuangan di tingkat pemerintah daerah memerlukan dukungan pengetabuan khusus untuk berhubungan dengan sektor swasta, serta pengetahuan untuk menganalisa kaitan antara kegiatari-kegiatan di tingkat daerah dan di tingkat pusat untuk mengantisipasi dampak perubahan-perubahan yang terjadi di bidang fiskal dan moneter. Oleh karena itu, berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia terus dilakukan tidak hanya oleh pemerintah daerah sendiri tetapi juga oleh pemerintah pusat. Sejalan dengan kebutuhan aparat pemerintah daerah yang handal dan berkualitas, maka pemerintah bekerja sama dengan beberapa universitas yakni, Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Universitas Hasanuddin, dan Universitas Andalas menyelenggarakan kursus keuangan daerah (KKD) bagi staf Pemda yang berpotensi, dan latihan keuangan daerah (LKD) bagi pejabat pimpinan instansi-instansi pengelola keuangan daerah, yang dimaksudkan untuk meningkatkan kinerja aparat keuangan daerah. Selanjutnya, untuk mengantisipasi perkembangan perkotaan yang sangat pesat dalam dasawarsa ini, melalui Program Pelatihan Manajemen Perkotaan, pemerintah telah menyelenggarakan pula berbagai pelatihan bagi para pejabat, pimpinan dan aparat teknis daerah. Pelatihan tersebut meliputi manajemen perkotaan, manajemen keuangan perkotaan, manajemen kualitas lingkungan perkotaan, perencanaan dan pemrograman investasi prasarana dan sarana Departemen Keuangan Republik Indonesia 356 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 perkotaan serta penataan ruang dan manajemen lahan perkotaan, dengan maksud untuk meningkatkan pengetahuan, keahlian serta keterampilan aparat khususnya para pengelola perkotaan dalam menghadapi berbagai tantangan perkembangan perkotaan. Di bidang perencanaan pembangunan, pemerintah telah pula menyelenggarakan pelatihan teknik manajemen perencanaan pembangunan bekerjasama dengan beberapa perguruan tinggi. Keseluruhan upaya pelatihan tersebut bertujuan untuk meningkatkan kualitas aparat pemerintah daerah tingkat I dan daerah tingkat II guna mendukung kebijaksanaan pemerintah dalam pemberian otonomi yang lebih luas kepada daerah. Dalam upaya untuk memacu pertumbuhan ekonomi di daerah dan untuk memeratakan pembangunan antardaerah, pemerintah mengalokasikan sejumlah dana berupa subsidi/bantuan, dengan tujuan untuk mengurangi kesenjangan antardaerah. Pemberian bantuan pembangunan (Inpres) secara bertahap diarahkan kepada bentuk bantuan umum (block grant) dengan memberikan bantuan specific-block grant sehingga secara proposional bantuan khusus (specific grant) akan semakin kecil. Bantuan specific-block grant adalah bantuan yang walaupun sektornya telah ditetapkan, Namun penggunaan dana per mata anggaran bebas dilakukan oleh pemerintah daerah seperti mekanisme block grant. . Bantuan umum dapat digunakan sesuai dengan prioritas daerah dalam batas-batas ketentuan pemerintah pusat. Subsidi/bantuan dari Pusat kepada daerah sampai tahun 1997/1998 adalah berupa Subsidi Daerah Otonom, Bantuan Pembangunan Daerah Tingkat I (Inpres Dari I), Bantuan Pembangunan Daerah Tingkat II (Inpres Dari II), Bantuan Pembangunan Sekolah Dasar (Inpres SD), Bantuan Pembangunan Sarana Kesehatan (Inpres Sarkes), Bantuan Pembangunan Desa (Inpres Desa), Inpres Desa Tertinggal (lDT), dan Program Makanan Tambahan Anak Sekolah (Inpres PMT-AS). Selain dari PAD, Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak, serta subsidi/bantuan, pemerintah daerah juga dapat menggunakan sumber dana pinjaman yang berasal dari dalam Negeri maupun luar negeri. Pinjaman dari luar negeri dilakukan melalui Pusat kepada daerah (Subsidiary Loan AgreementlSLA), dan pinjaman dari dalam negeri dapat berasal dari bank BUMN maupun bank swasta, serta dari Pusat. Pinjaman pemerintah pusat kepada pemerintah daerah adalah pinjaman dari rekening pembangunan daerah (RPD). Untuk mendukung perkembangan dunia usaha, pemerintah pusat dan pemerintah daerah perIn menciptakan iklim yang kondusif agar para investor tertarik untuk menanamkan modalnya di daerah. Sehubungan dengan hal tersebut, telah dilakukan rasionalisasi pungutan-pungutan Departemen Keuangan Republik Indonesia 357 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 daerah dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang mulai diberlakukan pada tanggal 23 Mei 1998. Undang-undang tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan peraturan-peraturan pelaksanaannya, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah, PP Nomor 20 Tahun 1997 tentang Retribusi Daerah, PP Nomor 21 Tahun 1997 tentang Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB), dan Keputusan Presiden Nomor 179 Tahun 1998 tentang pemberlakuan PP Nomor 21 Tahun 1997 tentang PBBKB. Pembaharuan sistem perpajakan dan retribusi daerah ini ditujukan untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi pemungutan pajak dan retribusi daerah. Penyederhanaan jenis pajak dan retribusi daerah tersebut diharapkan dapat mengurangi atau menghilangkan berbagai pungutan yang dapat menimbulkan ekonomi biaya tinggi dan memperlemah daya saing. Kebijaksanaan ini dilakukan dalam rangka menghadapi era perdagangan bebas yang menghendaki terciptanya iklim investasi yang sehat di daerah. Dengan demikian, dampak positif yang diharapkan dari pembaharuan sistem perpajakan dan retribusi daerah tersebut antara lain untuk meningkatkan penerimaan daerah dan mengurangi ekonomi biaya tinggi, melalui perbaikan sistem administrasi perpajakan dan retribusi daerah yang mengacu kepada ketentuan umum perpajakan nasional. 5.3 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tingkat I 5.3.1 Pendapatan Asli Daerah Pendapatan asli daerah (PAD) merupakan salah satu sumber pendapatan yang sangat penting bagi daerah karena pendapatan ini seluruhnya digali dan berasal dari daerah sendiri dan oleh karena itu daerah mempunyai kewenangan penuh untuk memanfaatkan PAD ini sesuai dengan kebutuhan dan prioritas daerah. Daerah yang berhasil meningkatkan PAD-nya secara nyata, diartikan bahwa daerah tersebut telah dapat memanfaatkan semua potensi yang ada di daerah secara optimal. Komponen PAD meliputi pajak daerah, retribusi daerah, bagian laba BUMD, penerimaan dinas-dinas, dan penerimaan lain-lain. Penerimaan PAD tingkat I umumnya meningkat dari tahun ke tahun. Jumlah PAD tingkat I dalam tahun 1989/1990 adalah Rp 1.041,4 miliar, kemudian dalam tahun 1997/1998 meningkat menjadi Rp4.657,0 miliar atau selama periode 1989/1990 -- 1997/1998 mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun 20,6 persen. Dari semua propinsi di Indonesia, empat propinsi di Jawa yaitu Propinsi DKI Jakarta, Propinsi Jawa Barat, Propinsi Jawa Timur, dan Propinsi Departemen Keuangan Republik Indonesia 358 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Jawa Tengah, dalam tahun anggaran 1997/1998 memiliki penerimaan PAD dengan jumlah terbesar yaitu masing-masing Rp1.830,7 miliar, Rp592,6 miliar, Rp568,3 miliar dan Rp363,1 miliar. Proporsi penerimaan PAD Dari keempat propinsi tersebut terhadap penerimaan PAD seluruh propinsi di Indonesia adalah 72,0 persen. Sementara propinsi di luar Jawa yang memperoleh penerimaan PAD terbesar dalam tahun anggaran yang sama adalah Propinsi Sumatera Utara, Propinsi Riau, Propinsi Bali, dan Propinsi Sulawesi Selatan masing-masing Rp212,8 miliar, Rp129,9 miliar, Rp103,9 miliar, dan Rpl02,8 miliar. Secara rinci PAD tingkat I per propinsi dapat dilihat pada Tabel V.I0. Ditinjau menurut komposisi PAD, pajak merupakan sumber penerimaan PAD tingkat I terbesar yang dalam tahun anggaran 1997/1998 berjumlah Rp3.723,3 miliar atau 80,0 persen dari penerimaan PAD tingkat I seluruh Indonesia. Sebaliknya penerimaan dari dinas-dinas dalam tahun anggaran yang sama merupakan sumber penerimaan terendah, yaitu Rp42,4 miliar atau 0,9 persen dari penerimaan PAD tingkat I seluruh Indonesia sebagaimana terlihat pada Tabel V.11 5.3.1.1 Pajak Daerah Pajak daerah merupakan salah satu komponen pendapatan asli daerah yang sangat penting bagi terselenggaranya pelayanan publik dan pembangunan di daerah. Pajak daerah selama ini dipungut berdasarkan Undang-undang Nomor 11 Drt. Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah. Undang-undang ini memberi kewenangan yang luas kepada daerah untuk melakukan pungutan pajak sehingga berdarnpak antara lain dengan munculnya banyak jenis pajak yang tidak efisien karena biaya pemungutannya lebih tinggi daripada hasilnya, bersifat tumpang tindih dengan pajak pusat, menghambat efisiensi alokasi somber ekonomi, tidak bersifat sebagai pajak melainkan sebagai retribusi, serta kurang mendukung iklim investasi yang sehat di daerah. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi daerah lahir sebagai pengganti undang-undang yang lama yang dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi saat ini. Undang-undang baru tersebut hanya menentukan tiga jenis pajak daerah tingkat I; yaitu Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBB-KB) karena ketiga jenis pajak tersebut dianggap mempunyai potensi penerimaan paling tinggi. Pelaksanaan Undang-undang ini diharapkan dapat meningkatkan PAD tingkat I dari sektor pajak. Departemen Keuangan Republik Indonesia 359 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel V. 10 PENDAPATAN ASLI DAERAH TINGKAT I PER PROPINSI 1989/1990, 1993/1994, 1994/1995, DAN 1997/1998 (dalam miliar rupiah) Repelita V No. Repelita VI Pertumbuhan Propinsi (1) (2) 1989/1990 1993/1994 1994/1995 1997/1998 Rata-rata (%) (3) (4) (5) (6) (7) 1.DI Aceh 12,33 27,11 32,64 44,73 17,5 2.Sumatera Utara 57,78 84,77 124,14 212,84 17,7 3.Sumatera Barat 14,21 29,24 44,93 64,32 20,8 4.Riau 14,36 55,38 75,97 129,86 31,7 5.Jambi 6,78 13,77 21,28 34,13 22,4 21,30 38,51 54,44 90,82 19,9 7.Bengkulu 4,22 7,25 10,95 18,70 20,5 8.Latnpung 17,49 24,08 36,30 60,54 16,8 429,66 993,66 1.316,88 1.830,74 19,9 104,94 240,88 349,52 592,62 24,2 11.Jawa Tengah 78,93 148,35 211,58 363,05 21,0 12.DI Yogyakarta 12,90 27,99 39,08 60,12 21,2 133,86 235,38 339,83 568,30 19,8 14.Kalimantan Barat 8,63 17,59 25,66 39,66 21,0 15.Kalimantan Tengah 2,39 8,00 11,27 19,43 29,9 16.Kalimantan Selatan 9,33 21,81 28,75 56,99 25,4 17.Kalimantan Timor 16,66 54,50 59,21 83,18 22,3 18.Sulawesi Utara 11,29 21,18 19,72 28,38 12,2 19.Sulawesi Tengah 4,40 10,84 13,35 22,50 22,6 20.Sulawesi Selatan 23,09 41,56 59,39 102,80 20,5 2,77 7,38 9,19 13,62 22,0 27,50 41,62 63,08 103,93 18,1 23.Nasa Tcnggara Barut 5,71 10,80 14,95 30,27 23,2 24.Nasa Tenggara Timor 8,03 14,83 17,52 29,05 17,4 25.MaIuku 7,31 8,44 11,32 16,56 10,8 26.Irian Jaya 4,15 10,36 13,77 31,15 28,7 27.Timor Timor 1,38 4,51 5,60 8,73 25,9 1.041,40 2.199,79 3.010,32 4.657,02 20,6 6.Sumatera Selatan 9.OK! Jakarta 10.Jawa Barut 13.Jawa Timor 21.Sulawesi Tenggara 22.B al I Jumlah Departemen Keuangan Republik Indonesia 360 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Pada tahun anggaran 1989/1990 penerimaan pajak daerah tingkat I seluruh Indonesia adalah Rp814,0 miliar dan meningkat menjadi Rp3.723,3 miliar dalam tahun 1997/1998. Dengan demikian selama periode 1989/1990 -- 1997/1998 penerimaan pajak daerah tingkat I meningkat dengan laju pertumbuhan rata-rata per tahun 20,9 persen. Dalarn tahun anggaran 1997/1998, Propinsi DKI Jakarta merupakan Daerah Tingkat I penerima pajak daerah terbesar, yaitu Rp 1.495,6 miliar atau 40,2 persen dari keseluruhan penerimaan pajak daerah tingkat I, kemudian diikuti Propinsi Jawa Barat dan Propinsi Jawa Timur masing-masing Rp500,8 miliar dan Rp486,3 miliar atau masing-masing mempunyai proporsi 13,5 persen dan 13,1 persen. Sebaliknya Propinsi Timor Timur, Propinsi Sulawesi Tenggara dan Propinsi Maluku memperoleh hasil penerimaan pajak dengan jumlah terendah masing- masing Rp5,0 miliar, Rp 7,1 miliar, dan Rp9, 1 miliar dalarn tahun anggaran yang sama. Perkembangan penerimaan pajak untuk daerah tingkat I secara rinci dapat dilihat dalam Tabel V.12. 5.3.1.2 Retribusi Daerah Retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Untuk itu retribusi perlu diklasifikasikan dengan kriteria tertentu agar memudahkan penerapan prinsip dasar retribusi sehingga mencerminkan hubungan yang jelas antara Departemen Keuangan Republik Indonesia 361 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel V. 11 KOMPOSISI PENDAPATAN ASLI DAERAH TINGKAT I SELURUH INDONESIA 1989/1990, 1993/1994, 1994/1995, DAN 1997/1998 Repelita V No. Komponen PAD (1) 1989/1990 (2) Repelita VI 1993/1994 1994/1995 1997/1998 Jumlah Proporsi JumJah Proporsi Jumlah Proporsi Jumlah Proporsi (Rp miliar) (%) (Rp miliar) (%) (Rp miliar) (%) (Rp mUiar) (%) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) . 1. Pajak 813,98 78,16 1.663,77 75,63 2.378,64 79,02 3.723,34 79,95 2. Retribusi 136,18 13,08 339,09 15,41 432,90 14,38 646,73 13,89 perusahaan daerah 19,93 1,91 31,84 1,45 35,39 1,18 91,09 1,96 4. Penerimaan dinas-dinas 20,58 1,98 27,06 1,23 28,39 0,94 42,38 0,91 5. Penerimaan lain-lain 50,73 4,87 138,03 6,28 135,00 4,48 153,48 3,30 1.041,40 100,00 2.199,79 100,00 3.010,32 100,00 4.657,02 100,00 3. Penerimaan bagian laba Jumlah Departemen Keuangan Republik Indonesia 362 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 .... Tabel V. 12 PENERIMAAN PAJAK DAERAH TINGKAT I PER PROPINSI 1989/1990,1993/1994,1994/1995, DAN 1997/1998 (dalam miliar rupiah) Repelita V No. Propinsi (1) 1989/1990 (2) I. DI Aceh 2. (3) Repelita VI 1993/1994 Pertumbuhan 1994/1995 (4) (5) 1997/1998 (6) Rata-rata (%) (7) 8,61 13,61 20,00 29,65 16,7 Sumatera Utara 51,15 71,33 106,52 163,33 15,6 3. Sumatera Barat 9,74 19,53 31,59 46,21 21,5 4. R iau 12,48 37,93 52,46 95,43 29,0 5. J ambi 4,77 8,63 16,77 27,36 24,4 6. Sumatera Selatan 16,81 26,14 39,56 68,01 19,1 7. Bengkulu 2,61 3,74 6,13 10,68 19,3 8. Larnpung 13,45 16,61 26,70 46,88 16,9 9. DKI Jakarta 331,57 768,46 1.049,33 1.495,85 20,7 10. Jawa Barat 87,64 200,61 303,93 500,82 24,3 II. 63,57 118,20 170,70 299,90 21,4 10,46 23,62 33,87 52,54 22,4 110,89 194,32 292,09 486,27 20,3 14. Kalimantan Barat 7,26 12,92 18,26 29,55 19,2 15. Kalimantan Tengah 1,53 5,34 7,87 13,90 31,8 16. Kalimantan Selatan 7,28 15,19 19,93 38,17 23,0 17. Kalimantan Timur 12,85 23,21 32,67 55,53 20,1 18. Sulawesi Utara 5,92 8,78 11,18 20,04 16,5 19. Sulawesi Tengah 2,99 5,87 8,22 15,23 22,6 20. Sulawesi Selatan 16,66 28,12 41,20 73,32 20,4 1,13 3,33 4,27 7,05 25,7 22,78 33,45 51,36 83,41 17,6 23. Nusa Tenggara Bara! 3,86 5,80 9,15 19,00 22,1 24. Nusa Tenggara Timur 2,27 5,34 6,40 9,86 20,2 25. Maluku 2,64 4,34 6,31 9,10 16,7 26. Irian Jaya 2,43 7,25 9,51 21,26 31,1 27. Timor Timur 0,63 2,10 2,66 4,98 29,5 2.378,64 3.723,34 20,9 Jawa Tengah 12. DI Yogyakarta 13. Jawa Timur 21. S.ulawesi Tenggara 22. B al i Jumlah . 813,98 1.663,77 Departemen Keuangan Republik Indonesia 363 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 tarif retribusi dengan pelayanan yang diberikan Pemerintah Daerah. Dalam rangka memberikan landasan yang kuat bagi pelaksanaan prinsip dasar retribusi secara efektif dan efisien, pemerintah telah menerbitkan UU Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Undang-undang ini pada hakekatnya adalah merupakan penyempumaan atas UU Nomor 12 Drt. Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Retribusi Daerah. UU Nomor 18 Tahun 1997 bertujuan, diantaranya untuk meningkatkan pendapatan daerah, memperbaiki sistem administrasi retribusi, mengklasifikasikan retribusi dan menyederhanakan tarif retribusi sehingga dapat mengantisiposi perkembangan sosial dan ekonomi masyarakat pada masa yang akan datang, serta dimaksudkan untuk mempermudah masyarakat memahami dan mematuhi peraturan perundang-undangan sehingga pada akhimya tumbuh kesadaran untuk memenuhi kewajiban membayar retribusi. Dengan pelaksanaan Undang-undang ini, daerah sekaligus diharapkan akan mampu menutup hilangnya penerimaan yang berasal dari retribusi yang kurang potensial, karena penetapan retribusi yang dapat dipungut daerah melalui Undang-undang ini didasarkan antara lain pada retribusi yang potensinya relatif cukup besar. Secara keseluruhan penerimaan retribusi daerah tingkat I dalam tahun anggaran 1989/1990 adalah Rp 136,18 miliar, dan meningkat menjadi Rp646,73 miliar dalam tahun anggaran 1997/1998, yang berarti selama periode 1989/1990---1997/1998 mengalami pertumbuhan rata-rata 21,5 persen per tahun. Dalam tahun anggaran 1997/1998, penerimaan retribusi terbesar diantara semua propinsi adalah Propinsi DKI Jakarta, yaitu Rp232,55 miliar. Urutan berikutnya adalah Propinsi Jawa Barat dan Propinsi Jawa Timur, yaitu sebesar Rp79,13 miliar dan Rp55,71 miliar. Sementara itu, Propinsi Timor Timur walaupun memperoleh penerimaan retribusi terkecil yaitu Rp1,06 miliar, namun laju pertumbuhan rata-rata pertahunnya menduduki urutan pertama yaitu 50,6 persen, sebaliknya Propinsi DKI Jakarta meskipun mempunyai penerimaan retribusi dengan jumlah terbesar, namun mempunyai laju pertumbuhan terkecil yaitu 16,1 persen. Perbedaan yang begitu tinggi an tara penerimaan retribusi propinsi-propinsi lain dengan Propinsi DKI Jakarta, an tara lain karena pungutan retribusi di Propinsi DKI Jakarta merupakan gabungan penerimaan retribusi daerah tingkat I dan daerah tingkat II. Perkembangan penerimaan retribusi per daerah tingkat I dapat dilihat pada Tabel V.13. Departemen Keuangan Republik Indonesia 364 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 5.3.1.3 Bagian Laba Badan Usaha Milik Daerah Perusahaan daerah, berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah, adalah perusahaan yang modalnya sebagian atau seluruhnya merupakan kekayaan daerah yang dipisahkan, kecuali jika ditentukan lain dengan/atau berdasarkan Undang-undang. Sebagian laba perusahaan daerah merupakan salah satu sumber PAD yang disebut bagian laba BUMD. Berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, BUMD dibentuk oleh pemerintah daerah, terdiri dari perusahaan yang bergerak di bidang jasa keuangan dan perbankan (bank pembangunan daerah dan bank pasar) dan di bidang lain, seperti jasa air bersih (PDAM), jasa di sektor industri, pertanian, perkebunan dan lain-lain. Selanjutnya perusahaan daerah berdasarkan kategori sasarannya dapat dibedakan dalam dua golongan, yaitu perusahaan daerah yang bertujuan untuk melayani kepentingan umum dan perusahaan daerah yang didirikan untuk tujuan peningkatan PAD. Jumlah BUMD yang bergerak di bidang kemanfaatan umum selalu meningkat dari tahun ke tahun, meskipun dalam pelaksanaan operasionalnya menghadapi berbagai hambatan, antara lain dalam efisiensi pengelolaan, profesionalisme manajemen, dan permodalan. Dalam kondisi demikian telah dikeluarkan berbagai kebijaksanaan untuk mendorong peranannya sebagai alat perekonomian daerah yang ampuh dan sebagai salah satu sumber pendapatan asli daerah yang semakin potensial. Khusus BUMD yang bergerak disektor keuangan dan perbankan, yaitu Bank Pembangunan Daerah dan Bank Perkreditan Rakyat, yang mempunyai keharusan untuk memperoleh laba sebagaimana halnya perusahaan komersiallainnya selain diatur dengan Undang-undang Nomor 5 tahun 1962 dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, juga harus tunduk pada hukum positif lainnya yaitu Undang-undang Nomor7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Hal ini diharapkan agar BUMD dalam beroperasi dapat lebih efisien, efektif, dan dapat meningkatkan modal sendiri serta meningkatkan perolehan laba. Departemen Keuangan Republik Indonesia 365 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel V. 13 PENERIMAAN RETRIBUSI DAERAH TlNGKA T I PER PROPINSI 1989/1990, 1993/1994, 1994/1995, DAN 1997/1998 (dalam miliar rupiah) Repelita V No. Propinsi (1) 1989/1990 (2) Repelita VI 1993/1994 1994/1995 (4) (5) (3) Pertumbuhan Rata-rata (%) 1997/1998 (6) (7) I.DI Aceh 1,65 7,97 7,76 11,38 27,3 2.Sumatera Utara 2,69 9,45 11,72 19,56 28,2 3.Sumatera Barat 2,11 7,70 10,42 12,40 24,8 I,ll 12,14 20,33 25,94 48,3 0,50 4,15 3,73 5,33 34,4 6.Sumatera Selatan 2,71 8,52 9,81 16,84 25,7 7.Bengkulu 0,67 1,95 3,25 5,12 28,9 8.Lampung 1,76 6,44 8,66 10,87 25,6 70,58 141,53 189,06 232,55 16,1 12,66 29,74 33,67 79,13 25,7 II.Jawa Tengah 10,60 22,89 31,34 48,75 21,0 12.DI Yogyakarta 0,61 1,76 2,38 3,19 23,0 13,35 22,58 29,03 55,71 19,6 14.Kalimantan Barat 0,87 3,83 4,84 7,91 31,8 15.Kalimantan Teng 0,35 1,34 1,91 3,30 32,4 16.Kalimantan Selatan 1,29 6,03 6,72 11,88 32,0 17.Kalimantan Timur 2,00 16,40 12,65 20,09 33,4 18.Sulawesi Utara 1,00 4,60 5,26 5,36 23,4 19.Sulawesi Tengah 0,91 4,10 4,17 5,82 26,1 20.Sulawesi Selatan 2,47 11,18 15,77 22,57 31,9 21.Sulawesi Tenggara 0,32 1,56 1,95 2,85 31,4 22.Bali 2,83 3,91 5,09 11,07 18,6 23.Nusa Tenggara Barat 1,15 3,23 4,23 7,28 25,9 24.NIIenggara Timur 0,74 2,74 5,06 10,85 39,9 25.Mal u 0,88 1,20 1,84 4,84 23,8 26.Irian Jaya 0,33 1,81 1,73 5,08 40,7 27.Timor Timur 0,04 0,34 0,52 1,06 50,6 136,18 339,09 432,90 646,73 21,5 4.R iau 5.Jambi 9.OKI Jakarta 10.Jawa Barat 13.Jawa Timur Jumlah . Departemen Keuangan Republik Indonesia 366 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Penerimaan laba BUMD tingkat I seluruh Indonesia selama periode 1989/1990-1997/1998 menunjukkan peningkatan yang berarti. Dalam tahun anggaran 1989/1990 penerimaan bagian laba BUMD seluruh daerah tingkat I berjumlah Rp19,9 miliar, kemudian dalam tahun anggaran 1997/1998 meningkat menjadi Rp91,1 miliar atau mengalarni pertumbuhan rata-rata pertahun 20,9 persen. Penerimaan bagian laba BUMD antara satu propinsi dengan propinsi lainnya selama kurun waktu 1989/1990 -- 1997/1998 sangat bervariasi. Dalam tahun anggaran 1997/1998 penerimaan bagian laba BUMD Tingkat I Propinsi DKI Jakarta adalah yang terbesar di antara propinsi lain, yaitu Rp45,1 miliar atau mencakup 49,5 persen dari keseluruhan penerimaan bagian laba BUMD tingkat I, diikuti Propinsi Jawa Barat dan Propinsi Kalimantan Selatan masing-masing Rp6,5 miliar dan Rp5,0 miliar, atau masingmasing mempunyai porsi 0,07 persen, dan 0,06 persen. Sementara itu, sebagian besar propinsi lainnya memperoleh penerimaan bagian laba BUMD kurang Dari Rp5,0 miliar. Selanjutnya tingkat pertumbuhan rata-rata per tahun tiap propinsi dalam kurun waktu 1989/1990 -- 1997/1998 bervariasi antara 4,9 persen sampai 70,6 persen. Bagian laba BUMD Propinsi Riau mengalami laju pertumbuhan tertinggi yaitu 70,6 persen, kemudian diikuti Propinsi Sulawesi Tenggara dan Propinsi Nusa Tenggara Timur masing-masing 55,9 persen dan 51,9 persen, sedangkan yang terendah adalah Propinsi Sulawesi Utara, Propinsi DI Aceh, dan Propinsi Kalimantan Timur masing-masing sebesar 4,9 persen, 6,2 persen dan 6,4 persen. Sementara itu, bagian laba BUMD yang mengalami pertumbuhan negatif adalah Propinsi Kalimantan Barat, dan Propinsi Jawa Timur, masing-masing negatif 16,7 persen dan negatif 8,5 persen. Adanya variasi jumlah penerimaan bagian laba BUMD adalah merupakan indikasi babwa masing-masing BUMD mempunyai kinerja yang berbeda, sebagian BUMD telah berhasil meningkatkan laba sekaligus semakin meningkatkan peranannya dalam pembangunan daerah, akan tetapi masih ada sebagian kecil BUMD yang mengalami pertumbuhan negatif. Perkembangan penerimaan bagian laba BUMD tingkat I selengkapnya dapat dilihat pada Tabel V.14. Departemen Keuangan Republik Indonesia 367 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel V. 14 PENERlMAAN RAGlAN LARA PERUSAHAAN DAERAH TINGKA T I PER PROPINSI 1989/1990,1993/1994,1994/1995, DAN 1997/1998 (dalam juta rupiah) Repelita V No. Repelita VI Pertumbuhan Propinsi 1989/1990 (1) (1) (3) 1993/1994 1994/1995 1997/1998 (4) (5) (6) Rata-rata (%) (7) I.DI Aceh 214,93 282,76 329,50 346,87 6,2 2.Sumatera Utara 855,61 1.219,06 1.617,41 4.384,11 22,7 3.Sumatera Barat 856,21 1.048,93 1.282,19 2.228,20 12,7 45,57 913,02 261,25 3.267,36 70,6 5.J ambi 170,00 231,59 250,06 410,00 11,6 6.Sumatera Selatan 1I2,17 471,42 835,86 1.457,83 37,8 7.Bengkulu 162,50 215,47 189,90 1.045,09 26,2 8.Lampung 560,47 228,20 336,79 1.219,55 10,2 8.190,09 13.585,98 12.020,29 45.069,27 23,8 957,49 2.459,16 4.412,39 6.480,84 27,0 2.426,50 2.681,01 2.965,45 4.882,47 9,1 12.DI Yogyakarta 793,96 728,39 953,34 2.636,41 16,2 13.Jawa Timur 993,34 495,17 383,91 488,12 -8,5 14.Kalimantan Bara! 215,98 348,00 362,53 50,13 -16,7 15.Kalimantan Tengah 79,19 604,45 452,32 686,70 31,0 i6.Kalimantan Selatan 334,09 231,83 150,60 5.045,86 40,4 17.Kalimantan Timur 932,16 1.452,39 1.652,08 1.527,32 6,4 18.Sulawesi Utara 604,48 1.350,00 2.380,00 889,00 4,9 19.Sulawesi Tengah 50,00 65,00 74,98 205,00 19,3 20.Sulawesi Selatan 200,00 317,79 423,34 1.750,01 31,1 55,00 287,00 1.084,02 1.919,36 55,9 22.Bali 208,75 365,77 466,18 1.116,87 23,3 23.Nusa Tenggara Barat 175,00 824,56 838,35 1.075,00 25,5 24.Nusa Tenggara Timur 15,00 35,00 60,00 424,96 51,9 400,00 905,00 319,50 676,33 6,8 94,50 191,50 751,82 990,55 34,1 224,14 302,09 538,35 817,12 17,6 19.927,13 31.840,54 35.392,41 91.090,33 20,9 4.Riau 9.OKI Jakarta 10.Jawa Barat II.Jawa Tengah 21.Sulawesi Tenggara 25.Maluku 26.Irian Jaya 27.Timor Timur Jumlah Departemen Keuangan Republik Indonesia 368 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 5.3.1.4 Penerimaan Dinas-dinas Daerah Penerimaan dinas-dinas daerah tingkat I adalah salah satu komponen pendapatan asli daerah (PAD) yang berasal dari dinas-dinas daerah yang acta di daerah tingkat I. Meskipun fungsi pokok dinas daerah adalah melaksanakan sebagian urusan pemerintahan yang telah dilimpahkan kepada daerah, khususnya yang berkaitan dengan tugas-tugas pembinaan atau bimbingan kepada masyarakat, anakalanya dinas-dinas daerah menghasilkan pendapatan, meskipun dalam jumlah yang relatif kecil. Oleh karena itu, penerimaan dinas-dinas daerah tidak terlalu diharapkan untuk terus meningkat relatif cepat, seperti halnya pajak daerah dan retribusi daerah yang selama ini memang merupakan sumber utama dari pendapatan asli daerah. Penerimaan dinas-dinas daerah tingkat I secara nasional terus meningkat dari tahun ke tahun, namun peningkatannya masih relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan penerimaan dari pajak, retribusi, dan bagian laba BUMD. Dalam tahun anggaran 1989/1990 penerimaan dinas-dinas daerah tingkat I berjumlah Rp20,6 miliar meningkat menjadi Rp42,4 miliar pada tahun anggaran 1997/1998 atau mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun 9,5 persen. Namun peranannya terhadap keseluruhan jumlah PAD tingkat I cenderung menurun dari 2,0 persen dalam tahun anggaran 1989/1990 menjadi 0,9 persen dalam tahun anggaran 1997/1998. Hal ini disebabkan di beberapa daerah tingkat I sebagian penerimaan dinas-dinas dikelompokkan menjadi penerimaan retribusi, seuangkan di beberapa daerah lainnya pungutan atas pelayanan yang diberikan oleh dinasdinas digolongkan sebagai penerimaan dinas-dinas yang bersangkutan. Penerimaan dinas-dinas daerah tingkat I antar propinsi, di beberapa daerah tingkat I jumlah penerimaan tersebut cenderung menurun dan bahkan beberapa daerah lainnya mengalami pertumbuhan yang negatif seperti Propinsi Sulawesi Selatan, Propinsi Bengkulu, dan Propinsi Sulawesi Tenggara masing-masing negatif 10,0 persen, negatif 8,8 persen, dan negatif 7,7 persen selama periode 1989/1990 -- 1997/1998. Sementara itu daerah tingkat I yang mempunyai penerimaan dinas-dinas dengan pertumbuhan rata-rata per tahun tertinggi adalah Propinsi Riau yaitu 51,0 persen, kemudian disusul Propinsi Bali dan Propinsi Kalimantan Tengah masing-masing 31,0 persen dan 30,6 persen, sebaliknya yang terendah adalah Propinsi Nusa Tenggara Timur, Propinsi Jambi, dan Propinsi Jawa Tengah masing-masing 3,4 persen, 7,1 persen, dan 8,5 persen. Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah diperkirakan penerimaan dinas-dinas daerah tingkat I di waktu yang akan Departemen Keuangan Republik Indonesia 369 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 datang tidak ada lagi karena penerimaan dinas-dinas akan dikelompokkan menjadi penerimaan retribusi, sedang yang tidak termasuk ke dalam penerimaan retribusi akan dikelompokkan ke dalam penerimaan lain-lain. 5.3.1.5 Penerimaan Lain-lain Dalam Pasal 55 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah dinyatakan bahwa penerimaan lain-lain adalah salah satu komponen PAD di luar pajak, retribusi, bagian laba BUMD dan penerimaan dinas-dinas. Termasuk kategori penerimaan lain-lain adalah penerimaan dari sewa rumah dinas milik pemerintah daerah, hasil penjualan barang bekas milik pemerintah daerah, usaha yang dilakukan oleh aparat pemerintah daerah yang bukan perusahaan daerah untuk menghasilkan jasa yang dipergunakan masyarakat, serta usaha lainnya dari daerah yang sifatnya tidak rutin. Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997, beberapa jenis penerimaan lain-lain seperti sewa rumah dinas akan dikelompokkan ke dalam penerimaan retribusi, sehingga penerimaan dari sumber ini di masa yang akan datang diperkirakan akan semakin berkurang. Selama periode 1989/1990 -- 1997/1998 penerimaan lain-lain daerah tingkat I cenderung meningkat. Dalam tahun anggaran 1989/1990 penerimaan lain-lain berjumlah Rp50,7 miliar, sementara dalam tahun anggaran 1997/1998 telah meningkat menjadi Rp 153,5 miliaratau mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun 14,8 persen. Dalam tahun anggaran 1997/1998, daerah tingkat I yang memperoleh penerimaan lain-lain dalam jumlah terbesar adalah Propinsi DKI Jakarta, Propinsi Sumatera Utara, Dari Propinsi Jawa Timur, masingmasing Rp50,5 miliar, Rp25,0 miliar, dari Rp 10,8 miliar, sebaliknya yang terendah adalah Propinsi Jambi, Propinsi Maluku, Dari Propinsi Sulawesi Tengah, masing-masing Rp820,9 juta, Rp859,7 juta, dari Rp887,2 juta. Sementara itu, penerimaan lain-lain daerah tingkat I yang mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun tertinggi dalam peri ode 1989/1990 -- 1997/1998 adalah Propinsi Sumatera Utara sebesar 31,5 persen, kemudian Propinsi Kalimantan Barat dari Propinsi Kalimantan Timur masing-masing 29,0 persen Dari 28,3 persen, sedang yang terendah adalah Propinsi DI Yogyakarta, Propinsi Jawa Barat, dari Propinsi Sulawesi Selatan, masingmasing 5,0 persen, 6,0 persen, dari 6,9 persen. Selain itu, penerimaan lain-lain pada beberapa daerah tingkat I mengalami pertumbuhan negatif yaitu Propinsi Maluku, Propinsi Sulawesi Utara, Propinsi Jambi, dari Propinsi Lampung masing-masing negatif 15.1 persen, negatif 10,2 Departemen Keuangan Republik Indonesia 370 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 persen, negatif 4,8 persen, Dari negatif 2,8 persen. 5.3.2 Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak 5.3.2.1 Bagi Hasil Pajak Dana yang dibutuhkan guna pembiayaan pembangunan terutama digali dari sumber dalam negeri yang memiliki basis dari struktur lebih kuat. Salah satu sumber dana dalam negeri tersebut adalah pajak bumi dan bangunan (PBB). Sebagai salah satu sumber dana yang diantaranya dapat dimanfaatkan untuk membiayai kegiatan pembangunan di daerah, makaPBB mempunyai arti yang sangat penting, Dari oleh karena itu optimalisasi pemungutan PBB perlu terus menerus dilakukan sehingga penerimaan PBB dapat direalisasikan sesuai potensi yang ada. PBB merupakan pajak pusat, namun penerimaan dari sumber ini hampir seluruhnya dibagi hasilkan kepada pemerintah daerah, baik pemerintah daerah tingkat I maupun tingkat II. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1985 dari Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1 009/KMK.04/1985, pemerintah daerah tingkat I memperoleh bagian sebesar 16,2 persen dari keseluruhan penerimaan PBB. Walaupun penerimaan PBB diperoleh dari pusat, akan tetapi pemerintah daerah dapat menggunakan dana ini untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan bagi pelayanan publik atau pembangunan, di samping dana yang bersumber dari daerah sendiri. Bagi pemerintah daerah tingkat I, penerimaan dari PBB ini relatif cukup penting karena dapat membantu menunjang ketersediaan dana bagi kelancaran pelaksanaan berbagai program di daerah tingkat I. Penerimaan PBB yang diperoleh daerah tingkat I relatif besar dan mengalami perkembangan yang selalu meningkat setiap tahunnya. Hal itu ditunjukkan dari perkembangan penerimaan PBB selama periode 1989/1990 -- 1997/1998. Dalam tahun anggaran 1989/1990 penerimaan PBB daerah tingkat I berjumlah Rp 169,6 miliar, dan dalam tahun anggaran 1997/1998 meningkat menjadi Rp773,3 miliar, yang berarti selama periode tersebut mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun 20,9 persen. Sementara itu ditinjau dari penerimaan PBB dalam tahun anggaran 1997/1998, penerimaan PBB daerah tingkat I Propinsi DKI Jakarta adalah yang terbesar yaitu Rp341,7 miliar atau 44,2 persen dari seluruh penerimaan PBB daerah tingkat I, yang diikuti Propinsi Riau dan Propinsi Jawa Barat masing-masing Rp61, 1 miliar dan Rp54,4 miliar atau masing-masing dengan proporsi 7,9 persen dan 7,0 persen. Penerimaan PBB di Propinsi DKI Jakarta yang cukup besar ini selain karena potensinya yang relatif besar Departemen Keuangan Republik Indonesia 371 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 khususnya dari PBB sektor perkotaan, juga karena penerimaan tersebut merupakan gabungan penerimaan PBB daerah tingkat I dan daerah tingkat II. Sementara itu Propinsi Bengkulu, Propinsi Sulawesi Tenggara dan Propinsi Timor Timur menerima PBB dengan jumlah terendah masing-masing Rp2,2 miliar, Rp2,6 miliar dan Rp2,7 miliar dalam tahun anggaran yang sama. ditinjau menurut laju pertumbuhan selama peri ode 1989/1990-1997/1998, penerimaan PBB Propinsi Timor Timur memperlihatkan laju pertumbuhan rata-rata tertinggi pertahun yaitu 55, 1 persen, diikuti Propinsi Nusa Tenggara Timur dan Propinsi DKI Jakarta masing-masing 36,8 persen dan 30,9 persen. Sementara itu, laju pertumbuhan terendah adalah di Propinsi Riau, Propinsi Lampung, dan Propinsi Maluku masing-masing 4, 1 persen, 9,7 persen, dan 14,1 persen. Perkembangan penerimaan PBB daerah tingkat I seluruhnya dapat dilihat pada Tabel V.I5. 5.3.2.2 Bagi Hasil Bukan Pajak Pembagian penerimaan pungutan atas hasil hutan yang meliputi iuran hak pengusahaan hutan (IHPH) dan iuran hasil hutan (IHH) merupakan sumber pendapatan daerah yang berasal dari penerimaan negara yang dibagi hasilkan kepada pemerintah daerah dari sektor kehutanan. IHPH merupakan pungutan yang dikenakan kepada pemegang hak pengusahaan hutan (HPH) tertentu. yang dipungut hanya sekali pada saat izin pengusahaan diberikan, sedangkan IHH merupakan pungutan yang dikenakan atas dasar jumlah dan jenis hasil hutan yang diperdagangkan. Ketentuan mengenai pembagian IHH Dari IHPH yang telah diubah beberapa kali dan terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1993 ditetapkan 45,0 persen penerimaan IHH untuk pembiayaan pembangunan daerah, yang meliputi 30,0 persen untuk pembiayaan pembangunan daerah tingkat I, dan 15,0 persen untuk pembiayaan pembangunan daerah tingkat II. Sementaraitu 55,0 persen lainnya dialokasikan untuk membiayai rehabilitasi hutan, dengan rincian 20,0 persen digunakan untuk rehabilitasi hutan secara nasional, dan 15,0 persen untuk pembiayaan kehutanan daerah, serta 20,0 persen untuk pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan bagi area blok tebangan. Dalam pada itu penerimaan IHPH dialokasikan sebesar 70,0 persen untuk daerah tingkat I dan Departemen Keuangan Republik Indonesia 372 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel V. 15 PENERIMAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN DAERAH TINGKAT I PER PROPINSI 1989/1990,1993/1994,1994/1995, DAN 1997/1998 (dalam miliar rupiah) No. Propmsi 1989/1990 (1) (2) Repelita VI Repelita V (3) Pertumhuhan 1993/1994 (4) 1994/1995 (5) 1997/1998 (6) Rata-rata (%) (7) I. DI Aceh 6,79 11,71 10,99 22,12 15,9 2. Sumatera Utara 8,64 15,77 18,29 25,54 14,5 3 Sumatera Barat 1,04 3,68 3,97 6,94 26,8 4. Riau 44,21 56,41 40,73 61,14 4,1 5 Jamb I 2,03 6,19 5,59 9,44 21,2 6. Sumatera Selatan 5,86 18,26 18,39 23,26 18,8 7. Bengkulu 0,45 0,85 0,87 2,18 21,8 8. Lampung 2,69 3,66 4,25 5,66 9,7 9 OKI Jakarta 39,65 143,77 196,88 341,69 30,9 11,96 25,42 30,01 54,40 20,9 6,20 13,47 15,27 24,50 18,7 0,74 1,75 2,49 3,92 23,2 10,05 20,70 24,96 44,77 20,5 14. Kalimantan Barat 1,05 3,52 4,78 7,32 27,5 15. Kalimantan Tengah 2,58 12,39 12,88 15,51 25,1 16. Kalimantan Selatan 3,61 9,93 10,79 15,38 19,9 17. Kalimantan Timur 9,88 27,88 26,99 34,66 17,0 18. Sulawesi Utara 0,75 2,01 2,19 4,17 23,9 19. Sulawesi Tengah 0,98 1,87 2,30 3,41 16,9 20. Sulawesi Selatan 2,55 7,60 9,08 16,71 26,5 21 0,42 1,20 1,45 2,62 25,7 22. B al I 0,89 2,64 3,00 5,98 26,9 23. Nusa Tenggara Barat 0,74 1,69 1,91 3,44 21,2 24 0,46 2,25 2,84 5,65 36,8 25. Maluku 2,54 4,68 5,29 7,27 14,1 26. Irian Jaya 2,77 12,00 12,34 22,91 30,2 27 0,08 1,02 1,34 2,68 55,1 169,61 412,32 470,07 773,27 20,9 10. Jawa Barat II. Jawa Tengah 12. DI Yogyakana 13. Jawa Timur Sulawesi Tenggara Nusa Tenggara Timur Timor Timur Jumlah Departemen Keuangan Republik Indonesia 373 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 daerah tingkat II, dan 30,0 persen sisanya merupakan penerimaan pemerintah pusat. Pembagian IHH untuk pemerintah daerah selain berdasarkan lokasi penghasil IHH juga berdasarkan rasio pemerataan, sehingga bagi daerah-daerah yang tidak memiliki hasil hutan akan memperoleh pembagian IHH tersebut. . Secara keseluruhan penerimaan IHH dan IHPH untuk daerah tingkat I adalah Rp69,9 miliar dalam tahun anggaran 1989/1990, dan meningkat menjadi Rp211,4 miliar dalam tahun anggaran 1997/1998 yang berarti selama periode tersebut mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun 14,8 persen. Dalam tahun anggaran 1997/1998 jumlah terbesar dalam penerimaan IHH dan IHPH diperoleh Propinsi Kalimantan Tengah, Propinsi Kalimantan Timur, dan Propinsi Irian Jaya masing-masing Rp39,6 miliar, Rp36,1 miliar, dan Rp13,6 miliar. 5.3.3 Sumbangan dan Bantuan 5.3.3.1 Sumbangan Pusat Sumbangan pusat atau subsidi merupakan salah satu sumber penerimaan daerah tingkat I yang diberikan dalam rangka membantu membiayai pengeluaran rutin daerah. Dengan demikian diharapkan dapat ditingkatkan pelayanan pemerintahan kepada masyarakat. Dalam tahun anggaran 1997/1998 sumbangan yang diterima seluruh pemerintah daerah tingkat I berjumlah Rp4.613,8 miliar dan sebagian besar dari sumbangan tersebut diberikan dalam bentuk subsisdi daerah otonom (SDO). SDO tersebut sebagian besar dipergunakan untuk membiayai belanja pegawai daerah otonom dan pegawai perbantuan, dan sebagian lagi dipergunakan untuk membiayai belanja non pegawai seperti pelaksanaan urusan dekonsentrasi, urusan desentralisasi, pengembangan sumber daya manusia, dan sebagainya. Belanja pegawai merupakan kelompok belanja terbesar yang terutama digunakan untuk pembayaran gaji, tunjangan, dan pensiun. Dalam tahun anggaran 1989/1990, SDO yang disalurkan kepada daerah tingkat I berjumlah Rp2.323,2 miliar, meningkat menjadi Rp4.605,9 miliar dalam tahun anggaran 1997/1998, atau mengalami pertumbuhan rata-rata 8,9 persen per tahun. Walaupun SDO tingkat I secara keseluruhan meningkat setiap tahunnya, tetapi terdapat beberapa propinsi yang mengalami pertumbuhan negatif, antara lain adalah Bali, negatif 13,5 persen, Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan masing-masing negatif 12,2 persen. Departemen Keuangan Republik Indonesia 374 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Propinsi penerima SDO tertinggi dalam tahun anggaran 1997/1998 adalah Propinsi Jawa Timur, yaitu Rpl.089,5 miliar, sedangkan yang terendah adalah Propinsi Jambi, yaitu Rp18,1 miliar. Tabel V.16 menggambarkan perkembangan penerimaan SDO tingkat I tiap propinsi dalam peri ode 1989/1990 -- 1997/1998. SDO tingkat I per kapita seluruh Indonesia dalam tahun anggaran 1989/1990 adalah Rp 12.969,0 dan dalam tahun anggaran 1997/1998 meningkat hampir dua kali menjadi Rp22.411 ,0. Propinsi dengan SDO per kapita terbesar dalam tahun anggaran 1997/1998 adalah Sulawesi Tengah yaitu Rp48.474,0 sedangkan yang terkecil adalah Lampung yaitu Rp4.569,0. Gambaran mengenai SDO per kapita daerah tingkat I tiap propinsi dapat dilihat dalam Tabel V.16. 5.3.3.2 Bantuan Pusat Bantuan pusat adalah dana yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk membiayai pelaksanaan pembangunan di daerah, dan diarahkan untuk pemerataan pembangunan antar daerah, antar kawasan, dan antar kota - desa. Bantuan pusat, atau disebut sebagai Program Bantuan Inpres diberikan setiap tahun kepada daerah, baik daerah tingkat I, daerah tingkat II, maupun desa yang jumlahnya didasarkan atas kriteria tertentu. Jumlah bantuan ini cendernng meningkat dari tahun ke tahun sejalan dengan meningkatnya kebutuhan pelayanan masyarakat Program Bantuan Inpres Dati I mernpakan bantuan pusat terbesar yang diberikan sejak tahun anggaran 1974/1975 kepada pemerintah daerah tingkat I. Bantuan tersebut pada dasarnya mernpakan bantuan yang bersifat umum sehingga baik perencanaan maupun penggunaannya diserahkan kepada masing-masing daerah tingkat I, namun tetap dalam batas-batas arahan yang diberikan oleh pemerintah pusat. Sistem alokasi pemberian. Program Bantuan Inpres Dati I didasarkan pada jumlah penduduk, namun bagi daerah tingkat I yang penduduknya kurang dari jumlah tertentu diberikan bantuan minimum, seuangkan yang penduduknya melebihi jumlah tertentu diberikan bantuan maksimum. Pemberian bantuan yang danasarkan atas jumlah penduduk ini tidak bernbah sampai dengan tahun anggaran 1987 /198_. Kriteria alokasi pemberian dana bantuan ini terus disempurnakan dan sejak tahun anggaran 1988/1989 dasar pemberian bantuan diubah sehingga setiap daerah tingkat I diberikan bantuan dalam jumlah yang sama. Kemudian dalam tahun anggaran 1990/1991, kriteria pemberian bantuan kembali disempumakan, yaitu di samping diberikan bantuan dasar yang jumlahnya sama untuk setiap daerah tingkat I, juga diberikan Departemen Keuangan Republik Indonesia 375 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel V. 16 PENERIMAAN SUBSIDI DAERAH OTONOM DAERAH TINGKAT I PER PROPINSI 1989/1990,1993/1994,1994/1995, DAN 1997/1998 Repelita V No. Propinsi 1989/1990 Jumlah (Rp mUiar) (I) (1) 1. DI Aceh 2. (3) Repelita VI 1993/1994 Per kapita Jumlah 199411995 Per kapita (Rupiah) (Rp miliar) (Rupiah) (4) (5) (6) Jumlah (Rp miliar) (7) Pertumbuh 1997/1998 Per kapita Jumlah an Per kapita Rata-rata (%) (Rupiah) (Rp miliar) (Rupiah) (8) (9) (10) (11) 56,91 17.122 105,25 28.532 108,72 28.800 117,10 28.462 9,4 Sumatera Utara 175,24 16.964 317,93 29.403 345,17 31.433 438,55 37.751 12,2 3. Sumatera Barat 19,49 4.990 27,11 6.450 28,04 6.573 31,94 7.080 6,4 4. Riau 12,48 4.330 20,92 5.703 21,94 5.781 27,43 6.335 10,3 5. Jambi 6. Sumatera Selatan 7. 8,71 4.304 14,06 6.284 14,37 6.221 18,09 6.920 9,6 22,83 3.760 33,51 4.874 33,64 4.769 37,61 4.837 6,4 Bengku1u 9,68 8.689 14,74 11.166 15,70 11.485 19,66 12.552 9,3 8. Lampung 79,07 10.935 32,21 5.012 32,99 5.034 32,24 4.569 -10,6 9. DKIJakarta 129,59 14.232 235,36 26.755 242,29 26.981 358,00 36.890 13,5 10. Jawa Baral 415,18 12.295 777,20 20.566 815,19 21.140 848,77 20.356 9,4 II. Jawa Tengah 420,34 14.675 788,27 26.928 833,41 28.266 980,46 32.427 11.2 12. DI Yogyakarta 61,66 19.719 116,97 40.087 119,45 40.936 106,53 36.634 7,1 13. Jawa Timor 443,03 13.479 826,01 24.746 866,74 25.767 1.089,45 31.515 11,9 14. Kalimantan Baral 58,24 18.500 113,34 32.467 16,96 4.749 20,55 5.280 -12,2. 15 KalimantaD Tengah 33,87 26.588 67,54 43.802 71,12 44.730 86.18 48.279 12,4 16. Kalimantan Se1atan 61,29 24.872 120,94 43.472 128,63 45.276 21,70 7.043 -12,2 17. Kalimantan Timor 37,04 20.669 22,61 10.547 22,93 10.255 28,70 10.888 -3,1 18. Sulawesi Utara 70,90 28.671 21,71 8.402 22,47 8.583 25,36 8.860 -12,1 19. Sulawesi Tengah 42,43 24.471 85,97 46.445 91,16 48.004 101,70 48.474 11,6 20. Sulawesi Selatan 24,47 3.495 35,10 4.778 36,28 4.862 39,20 4.948 21. Sulawesi Tenggara 6,34 4.882 14,87 9.925 16,22 10.498 20,94 12.007 16,1 6,1I 22. Bali 61,10 21.963 18,94 6.632 15,43 5.358 19,15 5.585 -13,5 23. Nusa Tenggara Barat 11,12 3.364 16,78 4.729 17,04 4.732 20,65 4.993 8,1 24. Nusa Tenggara Timur 11,48 3.394 16,69 4.819 17,75 5.037 21,32 5.679 8,0 25. Maluku 9,79 5.398 15,14 7.567 16,53 8.074 20,54 9.186 9,7 26. Irian Jaya 30,54 19.626 46,72 25.545 49,68 26.261 47,79 20.294 5,8 27. Timor Timor 10,33 14.444 15,53 19.215 17,40 21.065 26,29 29.503 12,4 2.323,15 12.969 3.921,42 20.733 4.017,25 20.899 4.605,89 22.411 8,9 Jumlah Departemen Keuangan Republik Indonesia 376 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 bantuan tambahan secara proporsional yang dihitung berdasarkan luas wilayah daratan setiap daerah tingkat I. Untuk menunjang perluasan otonomi daerah, serta meningkatkan tanggungjawab daerah tingkat I dalam penanganan beberapa jenis kegiatan pembangunan tentu yang dilaksanakan di daerah, maka dalam tahun pertama Repelita VI atau tahun anggaran 1994/1995 sistem alokasi program Inpres Dati I telah disempurnakan lagi, antara lain dengan mengintegrasikan program bantuan reboisasi dan program bantuan peningkatan jalan propinsi ke dalam program Inpres Dati I. Dalam pada itu, untuk lebih meningkatkan tanggungjawab pemerintah daerah tingkat I dalam pengoperasian dan pemeliharaan jaringan irigasi yang telah dibanguo dan menjadi tanggung jawab daerah, sejak tahun anggaran 1995/1996 kepada daerah tingkat I diberikan bantuan operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi. Selain itu, dalam rangka meningkatkan kemampuan perencanaan Bappeda Tingkat I dan memperkuat fungsi pengawasan inspektorat wilayah propinsi (Itwilprop), dalam tahun anggaran yang sama diberikan bantuan baru yaitu bantuan peningkatan kelembagaan perencanaan dan pengawasan daerah tingkat I, sebagai pelengkap terhadap bantuan yang selama ini telah diberikan. Dalam tahun anggaran 1974/1975 yang merupakan tahun awal dilaksanakannya program Inpres Dati I, jumlah bantuan minimum yang diberikan ada1ah Rp500,0 juta, dan maksimum Rp5,6 millar. Alokasi dalam bentuk bantuan minimum dan maksimum jumlahnya terus ditingkatkan dari tahun ke tahun, hingga dalam tahun anggaran 1987/1988 jumlah bantuan minimum Rp 10,0 miliar dan maksimum Rp12,0 miliar. Sejak tahun anggaran 1988/1989 masing-masing daerah tingkat I memperoleh jumlah bantuan sama besarnya, tanpa batasan minimum dan maksimum, yaitu Rp 12,0 miliar. Selanjutnya mulai tahun anggaran 1990/1991, kriteria alokasi bantuan lebih disempumakan yaitu selain diberikan bantuan dasar yang jumlahnya sama besar untuk setiap daerah tingkat I, diberikan pula tambahan bantuan yang danasarkan atas luas wilayah daratan. Besarnya jumlah bantuan dasar yang diberikan setiap tahun anggaran selama periode 1990/1991 -- 1993/1994 selalu meningkat, yaitu jika dalam tahun anggaran 1990/1991 adalah Rp14,0 miliar, maka dalam tahun anggaran 1993/1994menjadi Rp25,0 miliar. Sementara itu dalam tahun anggaran 1994/1995, selain diberikan bantuan dasar untuk tiap-tiap daerah tingkat I sebesar Rp25,0 miliar, juga diberikan bantuan tambahan yang didasarkan atas jumlah penduduk dan luas wilayah daratan. Kemudian dalam tahun anggaran yang sama alokasi dana program bantuan reboisasi dan program bantuan peningkatan jalan propinsi telah digabungkan ke dalam program Inpres Dati I sehingga Inpres Departemen Keuangan Republik Indonesia 377 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Dati I seluruh Indonesia dalam tahun anggaran 1994/1995 meningkat secara drastis menjadi Rp 1.331,1 miliar yang berarti meningkat 79,5 persen dari alokasi dalam tahun anggaran 1993/1994 yang berjumlah Rp741,1 miliar. Pengintegrasian kedua Inpres tersebut yang sebelumnya merupakan bantuan khusus ke dalam Inpres Dati I yang merupakan bantuan umum dilakukan dalam rangka meningkatkan otonomi daerah secara lebih nyata dan bertanggungjawab. Perkembangan dana Inpres Dati I pada dasarnya sejalan dengan pertumbuhan jumlah penduduk yang senantiasa meningkat, namun pertumbuhan bantuan Inpres Dati I masih lebih besar dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk. Dalam Tabel V.17 terlihat bahwa Inpres Dati I per kapita dalam tahun anggaran 1997/1998 menunjukkan peningkatan bila dibandingkan tahun anggaran 1989/1990. Dalam tahun anggaran 1989/1990 Inpres Dati I per kapita berjumlah Rp2.218,0 seuang dalam tahun anggaran 1997/1998 meningkat menjadi Rp8.102,0. Apabila dilihat per daerah tingkat I, dalam tahun anggaran 1997/1998 propinsi-propinsi yang memperoleh dana Inpres Dati I per kapita yang relatif lebih besar dibandingkan dengan daerah tingkat I lainnya adalah Propinsi Timor Timur, Propinsi Irian Jaya, dan Propinsi Kalimantan Tengah masing-masing Rp55,9 ribu, Rp40,2 ribu, dan Rp37,5 ribu. Besarnya dana Inpres Dati I per kapita di Propinsi Irian Jaya, dan Propinsi Kalimantan Tengah terutama karena kedua daerah tingkat I tersebut mempunyai wilayah yang lebih luas dibandingkan dengan daerah ltingkat I lainnya, tetapi penduduknya jarang., Sementara itu, tingginya Inpres Dati I per kapita di Propinsi Timor Tunur adalah karena jumlah penduduknya yang relatif sedikit dan memperoleh kekhususan dalam alokasi dana lepas ini. Sebaliknya Propinsi Jawa Barat, Propinsi Jawa Timur dan Propinsi Jawa Tengah memperoleh dana Inpres Dati I per kapita yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan daerah tingkat I lain, yaitu masing-masing sebesar Rpl.7 ribu Rpl.8 ribu, dan Rp2,2 ribu. Rendahnya dana Inpres Dati I per kapita di ketiga daerah tingkat I tersebut karena mempunyai wilayah yang relatif Iebih kecil dibandingkan dengan luas wilayah daerah tingkat I lain, sedangkan jumlah penduduknya relatif besar . Departemen Keuangan Republik Indonesia 378 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel V. 17 BANTUAN PEMBANGUNAN DAERAH TINGKAT I PER KAPITA PER PROPINSI 1989/1990, 1993/1994, 1994/1995, DAN 1997/1998 (dalam rupiah) Repelita V No. Repelita VI Propinsi 1989/1990 (1) (2) (3) 1993/1994 (4) 1994/1995 (5) 1997/1998 (6) 1. DI Aceh 4.132 9.374 9.871 13.789 2. Sumatera Utara 1.414 3.570 3.565 5.670 3. Sumatera Barat 3.575 7.278 8.490 10.919 4. Ri au 5.919 11.076 10.897 12.943 5. Jambi 7.039 18.257 18.132 20.178 6. Sumatera Selatan 2.289 7.540 7.316 8.243 7. Bengkulu 11.729 26.355 27.034 32.372 8. Lampung 2.115 5.788 6.773 8.802 9. DKI Jakarta 3.471 10.149 10.255 9.777 10. Jawa Barat 356 667 1.196 1. 729 11. Jawa Tengah 419 1.523 1.496 2.182 12. DI Yogyakarta 3.838 8.797 9.229 10.699 13. Jawa Timur 452 1.239 1.232 1.825 14. Kalimantan Barat 4.349 15.008 15.733 17.788 15. Kalimantan Tengah 10.609 37.765 39.138 37.520 16. Kalimantan Selatan 5.398 12.277 13.044 16.126 17. Kalimantan Timur 7.751 20}81 22.030 24.160 18. Sulawesi Utara 5.875 15.973 17.367 21.054 19. Sulawesi Tengah 8.946 27.562 29.369 31.823 20. Sulawesi Selatan 2.110 5.433 6.249 7.721 21. Sulawesi Tenggara 10.500 26.823 27.549 32.162 22. B al i 4.732 10.489 11.213 10.713 23. Nusa Tenggara Barat 4.091 11.088 11.546 15.720 24. Nusa Tenggara Timur 4.616 14.338 19.147 19.588 25. Maluku 7.953 25.491 27.186 29.888 26. Irian Jaya 9.758 33.320 39.523 40.185 27. Timor Timur 19.984 49.154 52.656 55.866 2.218 6.173 6.711 8.102 Indonesia Departemen Keuangan Republik Indonesia 379 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 5.3.4 Pinjaman Daerah Seiring dengan laju pembangunan dan peningkatan kebutuhan daerah akan dana untuk pembiayaan pembangunan, pemerintah daerah dapat melakukan pinjaman untuk menutupi kekurangari dana bagi pembangunan di daerahnya. Pada hakekatnya pinjaman daerah merupakan alternatif sumber pembiayaan pembangunan disamping bantuan Inpres, pendapatan asli daerah. (PAD), dan bagi hasil pajak dan bukan pajak. Dana pinjaman dapat bersumber dari luar negeri yang diteruskan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah (Subsidiary Loan AgreementlSLA), maupun dari dalam negeri melalui rekening pembangunan daerah (RPD), dan pinjaman komersial dari bank pemerintah maupun bank swasta. Dewasa ini pemerintah daerah diberi kesempatan untuk mengumpulkan dana pembangunan dari masyarakat, melalui penerbitan obligasi pemerintah dan atau badan usaha milik daerah (BUMD). Pinjaman tersebut dimaksudkan juga untuk pelengkap dalam pembiayaan proyek-proyek pembangunan di daerah. Dalam pemberian pinjaman yang menjadi dasar penilaian kelayakan adalah kemampuan daerah untuk mengembalikan pinjaman tersebut berikut bunganya. Kemampuan daerah untuk meminjam dalam kenyataanya Berbeda-beda sesuai dengan potensi sumber daya yang dimiliki daerah tersebut. Daerah yang memiliki PAD yang cukup, cenderung mempunyai kemampuan meminjam yang lebih besar. Untuk itu proyek yang dibiayai dengan dana pinjaman sebaiknya proyek yang menghasilkan pendapatan, agar kewajiban untuk mengembalikan pinjaman dapat dipenuhi tepat waktu. Adapun kriteria proyek yang dapat dibiayai dengan dana pinjaman adalah proyek yang merupakan kegiatan pembangunan yang menjadi tugas pokok dan tanggung jawab pemerintah daerah BUMD yang pembiayaannya tidak dapat disediakan oleh sektor swasta. Di samping itu, proyek hams menghasilkan barang dan atau jasa yang berguna untuk kepentingan umum, serta dapat meningkatkan kemampuan keuangan pemerintah daerah dan atau BUMD dalam memenuhi kebutuhan jasa pelayanan umum masyarakat. Dalam perkembangannya, ruang lingkup pemberian pinjaman daerah diperluas kepada bidang pembangunan prasarana dan sarana umum daerah yaitu pembangunan pasar, persampahan, dan terminal. Realisasi pinjaman pemerintah daerah tingkat I seluruh Indonesia dalam tahun 1989/1990 adalah Rp15,1 miliar, meningkat menjadi Rp53,1 miliar dalam tahun 1997/1998, yang berarti dalam kurun waktu tersebut meningkat dengan laju pertumbuhan rataDepartemen Keuangan Republik Indonesia 380 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 rata per tahun 17,1 persen. Proporsi pinjaman pemerintah daerah menunjukkan penurunan pada awal Pelita VI tahun 1994/1995 sebesar 0,5 persen menjadi 0,4 persen. Hal ini karena adanya peningkatan penerimaan yang cukup besar pada sisi yang lain, khususnya penerimaan daerah sendiri (PDS) yaitu yang semula 35,9 persen dari total penerimaan daerah menjadi 42,2 persen dari total penerimaan tahun anggaran 1997/1998. Sampai dengan tahun anggaran 1997/1998 pemerintah daerah tingkat I yang telah melakukan pinjaman adalah Daerah Istimewa Aceh, DKI Jakarta, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan, sedangkan propinsi lain tidak melakukan pinjaman. 5.3.5 Pengeluaran Rutin Daerah Pengeluaran rutin daerah tingkat I mempunyai peranan yang cukup penting untuk membiayai penyelenggaraan tugas-tugas umum pemerintahan. Hal itu seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, serta semakin beragamnya kebutuhan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat. Dalam Tabel V.18 terlihat bahwa dalam tahun anggaran 1989/1990 pengeluaran rutin daerah tingkat I yang terdiri dari belanja pegawai, belanja barang, belanja pemeliharaan, belanja perjalanan dinas, belanja lain-lain, angsuran pinjaman/utang dan ganjaran/subsidi/sumbangan, berjumlah Rp2.936,9 miliar, dan dalam tahun anggaran 1997/1998 meningkat menjadi Rp8.131,8 miliar, atau mengalami pertumbuhan rata-rata setiap tahunnya 13,6 persen. Sampai dengan tahun anggaran 1997/1998 pemanfaatan pengeluaran rutin masih diprioritaskan untuk membiayai sumber daya manusia/belanja pegawai, yaitu Rp4.746,4 miliar atau 50,0 persen lebih dari total pengeluaran rutin, sedangkan proporsi pengeluaran rutin terkecil untuk membayar angsuran pinjaman/utang yaitu 0,8 persen dari total pengeluaran rutin atau Rp66,6 miliar. Sementara itu, daerah tingkat I yang mempunyai jumlah pengeluaran rutin terbesar dalam tahun anggaran 1997/1998 adalah Propinsi DKI Jakarta yaitu Rpl.729,6 miliar, diikuti oleh Propinsi Jawa Timur, Propinsi Jawa Tengah, dan Propinsi Jawa Barat masing-masing Rp1.363,5 miliar, Rp1.227,7 miliar, dan Rp1.129,7 miliar. Keempat propinsi tersebut pada umumnya telah memiliki perangkat pegawai dan struktur kelembagaan yang lebih lengkap apabila dibandingkan dengan propinsi lain. Sebaliknya jumlah pengeluaran rutin terendah adalah Propinsi Timor Timur, Propinsi Sulawesi Tenggara, dan Propinsi Bengkulu, masing- Departemen Keuangan Republik Indonesia 381 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 masing Rp37,0 miliar, Rp38,7 miliar, dan Rp42,7 miliar. Bila ditinjau dari laju pertumbuhan rata-rata per tahun diantara 27 daerah tingkat I selama kurun waktu 1989/1990 -- 1997/1998, Propinsi DKI Jakarta mengalami pertumbuhan tertinggi yaitu 22,9 persen, diikuti oleh Propinsi Sulawesi Tenggara, dan Propinsi Irian Jaya masingmasing 18,2 persen dan 17,2 persen, sedangkan yang terendah adalah Propinsi Sulawesi Utara, Propinsi Kalimantan Barat, dan Propinsi Lampung, masing-masing negatif 3,1 persen, negatif 0,6 persen dan negatif 0,4 persen. Hal ini terjadi karena pengeluaran untuk gaji guruguru SD telah dialihkan pembukuannya dari daerah tingkat I ke daerah tingkat II yang bersangkutan. Gambaran selengkapnya pengeluaran rutin daerah tingkat I dapat dilihat dalam Tabel V.19. Pengeluaran rutin daerah tingkat I menurut penyelenggaraan urusan dalam tahun anggaran 1997/1998 didominasi oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan dan Urusan Umum Pemerintahan, masing-masing Rp3.110,2 miliar, dan Rp2.448,8 miliar. Besarnya belanja rutin pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan terutama untuk membiayai gaji guru SD yang tersebar di seluruh wilayah propinsi, sedangkan besarnya pengeluaran rutin pada Urusan Umum Pemerintahan untuk membiayai kegiatan pelayanan masyarakat dan belanja sekretarisd aerah dan DPRD. Perkembangan pengeluaran rutin menurut penyelenggaraan urusan dapat dilihat dalam Tabel V.20. Departemen Keuangan Republik Indonesia 382 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel V. 18 PENGELUARAN RUTIN DAERAH TINGKAT I SELURUH INDONESIA 1989/1990, 93/1994, 1994/1995, DAN 1997/1998 Repelita V 1989/1990 Repelita VI 1993/1994 1994/1995 1997/1998 No. Jenis pengeluaran Jumlah (Rp miliar) (1) I. (2) Belanja pegawai 2. Belanja barang 3. 4. Belanja pemeliharaan Belanja perjalanan dinas 5. Belanja lain-lain 6. 7. Angsuran pinjamanlutang Ganj aranlsu bsidilsumbangan Jumlah (3) Propors Jumlah i (%) (Rp miliar) (4) 2.207,09 75,15 (5) 3.877, 54 Propors i (%) (6) Jumlah (Rp miliar) (7) Propors i (%) (8) 71,79 3.990,70 66,63 Jumlah (Rp miliar) (9) Propors i Pertumbu han Rata-rata (%) (%) (10) (11) 58,37 10,0 946,9411,64 15,2 4.746,3 5 304,61 10,37 538,05 9,96 654,56 10,93 114,04 3,88 261,24 .. 4,84 348,61 5,82 501,70 6,17 1,09 1,19 1,23 113,74 1,40 17,2 13,51 23,7 66,55 0,82 27,2 5,27 657,92 8,09 32,4 100,00 13,6 32,02 199,91 9,71 69,52 64,40 73,58 6,81 435,89 8,07 566,08 9,45 0,33 0,26 0,67 14,\3 2,37 209,72 2.936,91 100,00 Departemen Keuangan Republik Indonesia 5.400, 97 39,94 3,89 315,51 100,00 5.988,98 100,00 1.098,6 4 8.131,8 4 20,3 383 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel V. 19 PENGELUARAN RUTIN DAERAH TINGKAT I PER PROPINSI 1989/1990, 1993/1994, 1994/1995, DAN 1997/1998 Repelita V No. Propinsi (1) (2) 1989/1990 ' Repelita VI 1993/1994 1994/1995 1997/1998 Jumlah Per kapita Jumlah Per kapita Jumlah Per kapita Jumlah (Rp miliar) (Rupiah) (Rp miliar) (Rupiah) (Rp miliar) (Rupiah) (Rp miliar) (3) (4) (6) (7) (8) (9) (5) Pertumbuhan Per kapita Rata-rata (%) (Rupiah) (10) (11) I. DI Aceh 69,44 20.892 13'8,25 37.476 146,20 38.728 181,65 2. Sumatera Utara 208,67 20.201 365,07 422,11 38.440 575,98 49.581 13,5 3. Sumatera Barat 32,25 8.259 56,57 13.459 63,25 14.827 94,03 20.841 14,3 4. Riau 38,42 13.326 77,04 21.003 78,91 20.793 134,38 31.034 16,9 5. J ambi 13,61 6.731 26,95 12.048 29,01 12.558 47,73 18.262 17,0 6. Sumatera Selatan 41,46 6.827 79,76 11.602 86,04 12.197 123,77 15.918 14,7 7. Bengkulu 13,78 12.365 22,81 17.280 25,53 18.676 42,72 27.278 15,2 8. Lampung 93,61 12.945 56,74 9.423 90,83 12.872 -0,4 9. DKI Jakarta 331,63 36.423 818,23 93.013 1.059,83 118.021 1.729.64 10. Jawa Barut 460,05 13.623 882,08 23.341 984,45 25.529 1.129,70 27.094 11,9 455,85 15.914 885,57 30.252 960,97 32.592 1.227,69 40.603 13,2 71,62 22.903' 139,25 47.722 148,88 51.021 158,03 54.343 10,4 512,40 15.590 27.775 1.010,05 30.027 1.363,53 39.443 13,0 33.762 I 8.82861,76' 44.150 178.229 12,8 22,9 II. Jawa Tengah 12. DI Yogyakarta 13. Jawa Timur 14. Kalimantan Barat 67,64 21.488 132,94 38.081 41,26 11.554 64,62 16.600 -0,6 15. Kalimantan'Tengah 41,45 32.538 87,33 56.635 94,88 59.673 128,69 72.089 15,2 16. Kalimantan Selatan 71,78 29.134 149,98 53.912 165,30 58.184 93,64 30.389 17. Kalimantan Timur 56,37 31.457 79,64 37.143 103,09 46.105 157,82 59.872 18. Sulawesi Utara 81,69 33.035 42,42 16.415 45,73 17.468 63,28 22.110 -3,1 19. Sulawesi Tengah 47,13 27.179 98,05 52.969 107,20 56.451 127,57 60.803 13,3 20. Sulawesi Selatan 36,61 5.229 66,94 9.112 70,05 9.388 121,01 15.275 16,1 21. Sulawesi Tenggara 10,16 7.821 22,27 14.866 25,45 16.472 38,68 22.174 18,2 22. B al i 75,85 27.265 51,17 17.918 51,53 17.892 88.59 25.836 2,0 23. Nusa Tenggara Barat 15,24 4.610 27,95 7.8.78 30,15 8.373 46,79 11.313 15,1 24. Nusa Tenggara Timur 18,69 5.526 29,82 8.610 33,15 9.407 53,52 14.257 14,1 25. Maluku 14,40 7.942 28,46 14.220 33,33 16.274 50,97 22.800 17,1 26. Irian Jaya 45,05 28.954 87,58 47.886 89.10 47.096 159,99 27. Timor Timur 12,03 16.827 20,96 25.941 21,77 26.350 36.99 2.936,91 16.395 5.400,97 28.556 5.988,98 31.157 8.131,84 Jumlah Departemen Keuangan Republik Indonesia 927,12 67.931 3,4 13,7 17,2 41505 I 15,1 39.567 13,6 384 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel V. 20 PENGELUARAN RUTIN DAERAH TINGKAT I SELURUH INDONESIA PER DINASIURUSAN 1989/1990, 1993/1994, 1994/1995, DAN 1997/1998 (dalam miliar rupiah) No. Dinas/urusan Repelita V 1989/1990 (1) (2) (3) 1.Urusan umum pemerintahan 2.Dinas pekerjaan umum . 3.Dinas LLAJR dan sungai Repelita VI Pertumbuhao 1993/1994 1994/1995 1997/1998 (4) (5) (6) Rata-rata (%) (7) 696,99 1.328,25 1.583,59 2.448,83 17,0 513,15 260,15 281,45 400,28 -3,1 18,59 50,61 60,22 81,04 20,2 I 4.Dinas keshatan 164,09 377,74 408,56 583,60 17,2 1.290,43 2.719,66 2.804,23 3.110,25 11,6 19,04 42,64 51,28 78,89 19,5 87,79 208,09 211,05 272,40 15,2 9,19 23,21 32,92 51,56 24,1 9.Usaha-usaha daerah 0,00 13,89 44,90 31,13 -1,2 10.Pensiun dan bautuan 4,99 0,89 0,46 0,76 -21,0 47,99 122,64 137,29 298,97 25,7 12.Penaeluaran tidak tersangka 5,43 9,35 17,58 49,66 31,9 13.ADpuran pinjaman dan bunga 9,71 14,13 39,94 66,55 27,2 14.Ganjaran, subsidi, sumbangan 69,52 209,72 315,51 657,92 32,4 2.936,91 5.400,97 5.988,98 8.131,84 13,6 5.Dinas pendidikan dan kebudayaan 6. Dioas osial, perumahan, perburuhan, transmigrasi dan koperasi I 7. Dinas pertanian, kehutanan, periebunan dan petemakan 8. II. Dinas perindustrian dan pertambangan Pengeluaran yang tidak masuk bagian lain Jumlah I Departemen Keuangan Republik Indonesia 385 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 5.3.6 Pengeluaran Pembangunan Daerah Program pembangunan nasional diarahkan untuk tercapainya suatu masyarakat yang adil dan makmur merata di seluruh nusantara. Untuk meneapai sasaran tersebut dilakukan melalui tahap-tahap pembangunan, baik yang melakukan oleh pemerintah pusat maupun oleh pemerintah daerah. Program pembangunan daerah dijabarkan dalam bentuk proyek-proyek pembangunan daerah yang dilaksanakan setiap tahun anggaran dan dituangkan dalam-anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Sejalan dengan semakin luasnya jangkauan dan lingkup pembangunan di daerah, maka dana yang dibutuhkan juga semakin meningkat. Hal ini dapat dilihat dari jumlah pengeluaran pembangunan daerah yang semakin meningkat. Pengeluaran pembangunan daerah diklasifikasikan menurut sektor dan subsektor. Sesuai dengan dinamika dan tuntutan pembangun di daerah, pengeluaran pembangunan daerah per sektor juga semakin meningkat. Dalam tahun anggaran 1994/1995 jumlah keseluruhan pengeluaran pembangunan persektor adalah Rp2.848,4 miliar meningkat menjadi Rp4.399,4 miliar dalam tahun anggaran 1997/1998, atau selama periode 1994/1995 -- 1997/1998 mengalami pertumbuhan rata-rata pertahun 15,4 persen. Selanjutnya, apabila dilihat pengeluaran pembangunan daerah persektor, sektor transportasi dan sektor aparatur pemerintahan dan pengawasan mempunyai proporsi yang lebih besar dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya. Jumlah pengeluaran pembangunan daerah yang diserap oleh sektor transportasi adalah Rp758,1 miliar dalam tahun anggaran 1994/1995, meningkat menjadi Rp1.031,9 miliar dalam tahun anggaran 1997/1998, namun secara proporsi dana pembangunan untuk sektor transportasi ini mengalami penurunan yaitu dari 26,6persen menjadi 23,6 persen dalam kurun waktu yang sama. Sementara itu, pengeluaran pembangunan daerah untuk sektor aparatur pemerintahan dan pengawasan pada tahun anggaran 1994/1995 berjumlah Rp394,2 miliar, meningkat menjadi Rp683,l miliar dalam tahun anggaran 1997/199.8, dan secara proporsi dana pembangunan untuk sektor ini juga meningkat yaitu dari 13,8 persen menjadi 15,6 persen dalam kurun waktu yang sama. Gambaran secara rinci mengenai pengeluaran pembangunan daerah per sektor dapat dilihat dalam Tabel V.22 Apabila dilihat dari besarnya pengeluaran pembangunan daerah tingkat I per propinsi, maka pengeluaran pembangunan di Propinsi D KI Jakarta dan Propinsi Jawa Barat relatif lebih besar bila dibandingkan dengan propinsi lainnya. Departemen Keuangan Republik Indonesia Dalam Tahun anggaran 1994/1995 386 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 penge1uaran pembangunan di kedua propinsi tersebut masing-masing adalah Rp788,1 miliar dan Rp239,3 miliar, meningkat menjadi Rpl.116,6 miliar dari Rp475,2 miliar dalam tahun anggaran 1997/1998, atau selama periode tersebut mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun masing-masing 19,3 persen dan 27,2 persen. Sementara itu, dalam tahun-anggarari 1994/1995 pengeluaran pembangunan relatif kecil terjadi di Propinsi DI Yogyakarta dan Propinsi Bengkulu, masing-masing Rp36.,9 rniliar dan Rp37,2 miliar, dan dalam tahun anggaran 1997/1 998 meningkat menjadi masing-masing Rp50,3 miliar dan Rp55,9 miliar atau selama periode tersebut mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun 10,9 persen dan 14,6 persen. Gambaran secara rinci mengenai pengeluaran pembangunan daerah tingkat I per propinsi dapat dilihat dalam Tabel V.22. Departemen Keuangan Republik Indonesia 387 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel V.21 PENGELUARAN PEMBANGUNAN DAERAH TINGKA T I PER SEKTOR 1994/1995 DAN 1997/1998 Repelita VI Sektor No. (1) (2) 1994/1995 1997/1998 Jumlah Proporsi (Rp miliar) (%) (3) (4) Jumlah Proporsi (Rp miliar) (%) (5) (6) . 1. Sektor industri 2. Sektor pertanian dan kehutanllD 3. Sektor surnber daya air Dari irigasi 4. Sektor tenaga kelja 5. Sektor perdagangan, pengembangan usaha daerah, keuangan daerah dan koperasi 6. Sektor transportasi 7. Sektor pertambangan dan energi 14,21 0,50 22,37 0,51 111,86 3,93 153,30 3,50 150,52 5,28 242,07 0,49 24,02 0,55 137,26 4,82 241,61 5,52 758,05 26,61 1.031,93 23,56 21,61 0,76 20,82 0,48 43.95 1,54 53,66 1,22 9,44 342,76 7,83 47,97 1,68 102,94 2,35 168;35 5,91 273,46 6,24 3,54 0,12 5,81 0,13 111,56 3,92 154,34 3,52 137.00 4,81 215,83 4,93 52,88 1,85 79,81 1,82 62,62 2,20 99,06 2,26 7,69 0,27 11.85 0,27 394,17 13,84 683,07 15,60 40,73 1,43 60,37 1,38 25,25 0,89 40,64 0,93 276,46 9,71 519.70 11,87 0,00 0,00 0,00 0,00 2.848,40 100,00 4.379,42 100,00 13,85 " 5,53 8. Sektor pariwisata dan te1ekomunikasi daerah 9. Sektor pembangunan daerah dan pemukiman 10. Sektor lingkungan hidup dan tata mang 268,87 11.Sektor pendidikan, kebudayaan nasiona1, kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, pemuda dan olah raga 12. Sektor kependudukan dan ke1uarga sejahtera 13. Sektor kesehatan, kesejahteraan sosial, peranan wanita, anak dan remaja 14. 15. 16. Sektor pemmahan dan pemukiman Sektor agama Sektor ilmu pengetahuan dan tehno1ogi 17. Sektor hokum 18. Sektor aparatur pemerintah dan pengawasan 19. Sektor politik. penerangan, komunikasi dan media massa 20. Sektor keamanan dan ketertiban urnum . Subsidi pembangunan kepada daerah bawahan . Pembayaran kembali pinjaman Jurnlah Departemen Keuangan Republik Indonesia 388 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel V. 22 PENGELUARAN PEMBANGUNAN DAERAH TINGKAT IPER PROPINSI 1989/1990,1993/1994,1994/1995, DAN 1997/1998 Repelita V No. Propinsi' (1) , 1989/1990 (2) Repelita VI 1993/1994 1994/1995 Jumlah Per kapita Jumlah Per kapita Jumlah Per kapita Jumlah Per kapita (Rupiah) (Rp miliar) (Rupiah) (Rp miliar) (Rupiah) (Rp miliar) (Rupiah) (6) (7) (8) (3) (4) DI Aceh 26,89 2. Sumatera Utara 58,48 3. Sumatera Barat 17,48 4. Riau 35,24 5.' Jambi (5) 51,91 14.071 54,99 5.661 93,51 8.648 4.477' 38,65 9.195 12.222 123,38, 20,42 10.092 6.Sumatera Selatan 31,06 7.Bengkulu 8.Lampung 10.Jawa Barat Pertumbuhan (Rp miliar) I. 9.OKI Jakarta 1997/1998 8.090 (9) (10) Rata-rata (%) (11) 14.567 85,60 20.805 15,6 93,52 8.517 195,05 16.790 16,3 45,24 10.605 77,79 17.242 20,5 33.638 104,96 27.657 151,02 34.877 20,0 51,89 23.195 52,63 22.784 74,67 28.567 17,6 5.114 84,77 12.331 81,29 11.524 112,91 14.520 17,5 13,23 11.812 36,88 27.937 37,16 27.184 55,89 35.687 19,7 24,66 3.411 41,24 6.417 51,08 7.794 73,26 10.382 14,6 272, II 29.886 584,96 66.496 788,1l 87.763 . II 6,65 115.064 '19,3 69,40 2.055 152,80 4.043 239,28 6.205 475,19 11.396 27,2 II.Jawa Tengah 60,43 2.ll0 II 3,23 3.868 l3l , 64 4.465 253,83 8.395 19,7 12.DI Yogyakarta 15,49 4.953 33,52 11.486 36,91 12.649 17.297 15,9 13.Jawa TirllUr 86,09 2.619 182,29 5.461 231,99 6.897 12.337 22,1 14.Kalimantan Barat 20,93 6.619 58,7 16.720 66,37 18.586 91,18 23.424 20,2 15.Kalimantan Tengah 24,61 19.322 81,56 52.889 83,44 52.478 104,82 58.719 19,9 16,90 6.859 50,45 18.136 53,99 19.004 73,04 23.705 20,1 17.Kalimantan Timur 27,90 15.569 83,29 38.847 97,30 43.515 137,05 51.991 22,0 18.Sulawesi Utara 24,94 10.084 48,46 18.755 48,74 18.61-7 64,12 22.403 12,5 19.Sulawesi Tengah 19,15 11.040 57,18 30.893 58,89 31.011 77,80 37.082 19,2 29,26 4.180 67,22 9.151 84,67 11.3 46 129,06 16.290 20,4 21.Sulawesi Tenggara 14,66 11.283 48,52 32.391 44,20 28.608 64,66 37.073 20,4 22.Bali 25,74 9.252 41,25 14.443 50,52 17.540 95,24 27.774 17,8 23.Nusa Tenggara Barat 15,16 4.587 42,87 12.083 42,93 11.920 71,47 17.279 21,4 24.Nusa Tenggara Timur 18,18 5.375 54,55 15.746 70,84 20.104 77,12 20.544 19,8 25.Maluku 22,09 12.177 62,70 31.335 64,67 31.580 75,30 33.683 16,6 26.Irian Jaya 22,14 14.230 83,72 45.775 89,24 47.170 ll7,53 49.905 23,2 15,95 22.306 43,84 54.264 43,80 53.027 52,39 58.788 16,0 1.028.57 5.742 12.758 2.848,40 14.819 4.379,42 21.309 19,9 . 16.Kalimantan latan 20.Sulawesi Selatan 27.Timor Timur Jumlah , Departemen Keuangan Republik Indonesia 2.413,01 50,30 426,48 389 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 5.4 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tingkat II 5.4.1 Pendapatan Asli Daerah Pendapatan asli daerah (PAD) adalah sumber pendapatan daerah yang murni digali oleh daerah sendiri, dan oleh karena itu daerah mempunyai keleluasaan penuh dalam memanfaatkan dana tersebut untuk kepentingan daerah sesuai dengan kebutuhan dan prioritas daerah. Komponen pendapatan asli daerah adalah pajak, retribusi,penerimaan laba BUMD, penerimaan dinas-dinas, dan penerimaan lain-lain. Dalam penyelenggaraan kegiatan pelayanan publik dan pembangunan di daerah tingkat II, pendapatan asli daerah memegang peranan yang cukup penting, meskipun bukan merupakan sumber penerimaan yang terbesar. Bagi pemerintah pusat peranan PAD tingkat II secara bertahap diharapkan dapat terus ditingkatkan sehingga semakin mampu membiayai kebutuhannya sendiri, terlebih dalam situasi semakin terbatasnya kemampuan pemerintah dalam menyediakan dana subsidi dan bantuan kepada daerah. Namun demikian, dalam menggali dana PAD pemerintah daerah tetap berpegang pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan menghindari pungutan-pungutan yang sifatnya memberatkan rakyat kecil. Peningkatan PAD di masa yang akan datang semakin diperlukan sehubungan dengan semakin meningkatnya kegiatan pelayanan publik dan intensitas pembangunan yang memerlukan biaya relatif lebih besar dari tahun-tahun sebelumnya. Dalam kaitan ini usaha pemerintah daerah tingkat II untuk meningkatkan PAD yang dijalankan selama ini relatif cukup berhasil. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan PAD tingkat II selama periode 1989/1990 -1996/1997. Dalam tahun anggaran 1989/1990 jumlah seluruh PAD tingkat II adalah Rp477,9 miliar, sedang dalam tahun anggaran 1996/1997 meningkat menjadi Rp1.827,4 miliar. Hal ini berarti selama periode 1989/1990 -- 1996/1997 PAD tingkat II seeara nasional mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun 21,1 persen. Sementara itu, ditinjau dari PAD rata-rata per daerah tingkat II juga memperlihatkan peningkatan yaitu dari Rp 1,6 miliar dalam tahun anggaran 1989/1990 menjadi Rp6,1 miliar dalam tahun anggaran 1996/1997. Dalam pada itu, jika dilihat menurut jumlah PAD yang diterima daerah tingkat II tiap propinsi selama tahun anggaran 1996/1997, daerah tingkat II di Propinsi Jawa Barat, Propinsi JawaTimur, dan Propinsi Jawa Tengah menerima PAD dengan jumlah terbesar masingmasing Rp480,6 miliar, Rp332,3 miliar, dan Rp261, 1 miliar, sebaliknya yang terkecil adalah pada daerah tingkat II di Propinsi Timor Timur, Propinsi Bengkulu, dan Propinsi Sulawesi Tenggara masing-masingRp3,8 miliar, Departemen Keuangan Republik Indonesia 390 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Rp8,0 miliar, dan Rp9,1 miliar. Perkembangan PAD tingkat II per propinsi secara rinci dapat dilihat pada Tabel V.23. Dari kelima komponen PAD tersebut, penerimaan dart retribusi dan pajak merupakan dua komponen yang memberikan kontribusi terbesar yaitu Rp858,6 miliar dan Rp635,8 miliar dalam tahun anggaran 1996/1997 atau masing-masing mempunyai proporsi 47,0 persen dan 34,8 persen terhadap total PAD tingkat II seluruh Indonesia untuk tahun anggaran yang sama sebagaimana terlihat pada Tabel V.24. Departemen Keuangan Republik Indonesia 391 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel V. 23 PENDAPATAN ASLI DAERAH TINGKAT II PER PROPINSI 1989/1990, 1993/1994, 1994/1995, DAN 1996/1997 (dalam miliar rupiah) Repelita V No. 1989/1990 ' Propinsi (2) I.DI Aceh 199311994 1994/1995 199611997 Pertumbuhan Rata-rata (%) Rata-rata Keseluruhan (I) Repelita VI Dari II (3) (4) Rata-rata Keseluruhan Oatill (5) Keseluruhan (6) (7) Rata-rata Dari II (8) Keseluruhan (9) Rata-rata Dari II (10) (11) 6,120,61 12,021,20 14,98 1,50 20,36 2,04 18,7 2.Somatera Utara 32,791,93 62,213,66 73,96 4,35 107,95 6,35 18,6 3.Sumarera Barat 14,251,02 24,461,75 28,86 2,06 39,26 2,80 15,6 4.Riau 6,621,10, 12,542,09 14,60 2,43 24,52 4,09 20,6 5.Jambi 3,670,61 8,051,34 10,74 1,79 15,14 2,52 22,4 11,261,13 22,012,20 32,10 3,21 41,61 4,16 20,5 7.Bengkulu 2,880,72 4,731,18 6,27 1,57 8,00 2,00 15,7 8.Lampung 9,33 2,33 16,21 3,24 16,39 3,28 34,49 6,90 20,5 9.Jawa Barat 99,68 4,15 223,18 9,30 307,76 12,31 480,60 19,22 25,2 10.Jawa Tengah 89,39 2,55 156,13 4,46 194,69 5,56 261,10 7,46 16,5 9,34 1,87 19,59 3,92 -'14,97 4,99 39,50 7,90 22,9 86,01 2,32 168,29 4,55 220;32 5,95 332,31 8,98 21,3 13.Kalimantan Barat 8,09 1,16 12,39 1,7 14,26 2,04 18,09 2,58 12,2 14.Kalimantan Tengah 2,43 0,41 4,73 0,79 6,50 1,08 10,99 1,83 24,1 15.Kalimantan Selatan 6,82 0,68 14,00 1,40 17,48 1,75 25,69 2,57 20,9 16.Kalimantan Timur 6.Sumarera Selatan II.DI Yogyakarta 12.Jawa Timur -- 12,22 2,04 30,28 5,05 35,85 5,98 42,10 7,02 19,3 17.Sulawesi Utara 8,73 1,25 14,71 2,10 19,67 2,81 24,69 3,53 16,0 18.Sulawesi Tengah 3,29 0,82 5,73 1,43 6,13 1,53 9,24 1,85 15,9 19.Sulawesi Selatan 21,57 0,94 37,61 1,64 46,73 2,03 70,64 3,07 18,5 2,01 0,50 4,67 1,17 5,82 1,46 9,09 1,82 24,1 19,30 2,41 49,28 5,48 88,49 9,83 137,29 15,25 32,4 22.Nusa Tenggara Barat 6,34 1,06 12,93 2,16 15,27 2,18 22,61 3,23 19,9 23.Nusa Tenggara Timur 7,89 0,66 12,77 1,06 13,88 1,16 18,79 1,57 13,2 24.MalUku 3,86 0,77 6,68 1,34 9,09 1,82 11,04 2,21 16,2 25.Irian Jaya 3,24 0,36 7,65 0,85 10,21 1,02 18,41 1,84 28,2 26.Timor Timur 0,79 0,06 1,70 0,13 2,67 0,21 ',84 0,30 25,3 - 21.1 20.Sulawesi Tenggara 21.Bali Jurnlah 477,92 Rata-rata per Dat; II - - 944,55 1.64 Departemen Keuangan Republik Indonesia - - 1.237,69 3,21 - 4,17 1.827,35 - 6,11 392 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel V. 24 KOMPOSISI PENDAPATAN ASLI DAERAH TINGKAT II SELURUH INDONESIA 1989/1990, 1993/1994, 1994/1995, DAN 1996/1997 Repelita V No. Komponen PAD 1989/1990 Jumlah 1993/1994 Proporsi (Rp miliar) (%) (1) (2) 1.Pajak (3) Repelita VI (4) 1994/1995 1996/1997 Jumlah Proporsi Jumlah Proporsi (Rp miliar) (%) (Rp miliar) (%) (5) (6) (7) (8) Jumlah Proporsi (Rp miliar) (%) (9) (10) 130,39 27,28 279,32 29,57 401,54 32,44 635,8234,80 267,00 55,87 515,02 54,53 643,61 52,00 858,5946,98 14,04 2,94 26,36 2,79 32,96 2,66 59,55 3,26 4. Penerimaan dinas-dinas 26,17 5,48 41,38 4,38 53,18 4,30 117,81 6,45 5. Penerimaan lain-lain 40,32 8,43 82,47 8,73 106,40 8,60 155,58 8,51 477,92 100,00 944,55 100,00 1.237,69 100,00 1.827,35 100,00 2. Retribusi 3. Penerimaan bagian laba perusahaan daerah Jumlah Departemen Keuangan Republik Indonesia 393 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 5.4.1.1 Pajak Daerah Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ditujukan untuk memperbaiki sistem perpajakan daerah yang mengarah pada sistem yang sederhana, adil, efektif dan efisien, dan berorientasi pada usaha peningkatan penerimaan daerah melalui sumber pajak yang potensial. Untuk mendukung perkembangan otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab dengan titik berat pada daerah tingkat II, maka dalam Undangundang ini daerah tingkat II mendapat sumber penerimaan pajak yang lebih banyak daripada daerah tingkat I, yaitu 6 jenis pajak yang meliputi Pajak Hotel dan Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C, dan Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan. Dalam tahun anggaran 1989/1990 realisasi penerimaan pajak daerah tingkat II adalah Rp130,4 millar, dan meningkat menjadi Rp635,8 miliar dalam tahun anggaran 1996/1997 dengan laju pertumbuhan rata-rata per tahun 25,4 persen. Dalam tahun anggaran 1996/1997, daerah tingkat II di Propinsi Jawa Barat merupakan penerima pajak daerah terbesar yaitu Rp136,7 miliar, yang diikuti daerah tingkat II di Propinsi Jawa Timur dan Propinsi Bali masingmasing Rp115,6 miliar dan Rp105,3 miliar atau masing-masing memberikan kontribusi sebesar 21,5 persen, 18,2 persen, dan 16,6 persen terhadap total penerimaan daerah tingkat II di seluruh Indonesia. Secara rata-rata per daerah tingkat II, penerimaan pajak daerah tingkat II di Propinsi Bali, Propinsi Jawa Barat, dan Propinsi DI Yogyakarta merupakan daerah dengan tingkat penerimaan pajak rata-rata per daerah tingkat II terbesar yaitu Rp 11,7 millar, Rp5,5 millar, dan Rp3,4 miliar dalam tahun anggaran 1996/1997. Sebaliknya penerimaan pajak rata-rata per daerah tingkat II terendah adalah pada daerah tingkat II di Propinsi Timor Timur, Propinsi Sulawesi Tenggara, dan Propinsi Bengkulu masingmasing Rp0,7 millar, Rp 1,6 miliar, dan 1,7 miliar. Perkembangan pajak daerah tingkat II tiap-tiap propinsi selama periode 1989/1990 -1996/1997 dapat dilihat pada Tabel V.25. 5.4.1.2 Retribusi Daerah Sebagai salah satu komponen dalam PAD, retribusi diharapkan dapat menjadi salah satu sumber penerimaan yang dapat menunjang terselenggaranya kegiatan pelayanan publik di daerah tingkat II. Untuk itu peningkatan kualitas pelayanan yang didukung cara kerja yang Departemen Keuangan Republik Indonesia 394 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 profesional ditambah dengan konsistensi dalam menerapkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku khususnya Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 perlu terus menerus dilaksanakan oleh para aparat pemerintah daerah karena hal itu secara langsung dapat meningkatkan kesadaran masyarakat untuk membayar retribusi. Bagi pemerintah daerah tingkat II, penerimaan dari retribusi merupakan sumber penerimaan yang relatif cukup diandalkan terutama dalam menunjang kelancaraan pelaksanaan kegiatan pelayanan publik di daerah. Dalam kenyataannya penerimaan dari retribusi cukup besar dan senantiasa meningkat setiap tahunnya. Hal itu dapat dilihat dart perkembangan penerimaan retribusi selama periode 1989/1990 -- 1996/1997 seperti terlihat pada Tabel V.26. Dalam periode tersebut penerimaan retribusi daerah tingkat II meningkat dari Rp267,0 miliar dalam tahun anggaran Departemen Keuangan Republik Indonesia 395 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel V. 25 PENERIMAAN PAJAK DAERAH TINGKAT II PER PROPINSI 1989/1990, 1993/1994, 1994/1995, DAN 1996/1997 (datam miliar rupiah) Repelita V No. 1989/1990 Propinsi (2) 1.DI Aceh 2.Sumatera Vtara ! 1993/1994 199411995 199611997 Pertumbuhan Rata-rata (%) Keseluruhan (1) Repelita VI Rata-rata Dari II (3) (4) 1,83 0,18 12,34 Keseluruhan Dari II (5) (6) 3,630,36 0,73 . Rata-rata 25,39 1,49 Keseluruhan (7) Rata-rata Dari II (8) Keseluruhan (9) Rata-rata Dari II (10) (11) 4,71 0,47 6,48 0,65 19,8 29,79 1,75 48,36 2,84 21,5 11,67 0,83 19,0 3. Sumatera Barat 3,45 0,25 5,95 0,43 7,53 0,54 4. Ri au 2,07 0,35 4,01 0,67 4,79 0,80 9,39 1,57 24,1 5. Jambi 0,98 0,16 2,08 0,35 2,20 0,37 3,41 0,57 19,5 6. Sumatera Selatan 3,13 0,31 7,13 0,71 7,99 0,80 13,21 1,32 22,8 7. Bengkulu 0,67 0,17 0,97 0,24 1,08 0,27 1,67 0,42 13,9 8. Lampung 2,77 0,69 4,17 0,83 5,24 1,05 8,80 1,76 18,0 9. Jawa Barat 23,46 0,98 53,04 2,21 83,33 3,33 136,70 5,47 28,6 10. Jawa Tengah 21,70 0,62 38,37 1,10 51,17 1,46 70,73 2,02 18,4 11. DI Yogyakarta 12. Jawa Timur 13. 14. 3,20 0,64 6,60 1,32 9,23 1,85 16,94 3,39 26,9 17,16 0,46 47,53 1,28 65,92 1,78 115,60 3,12 31,3 Kalimantan Barat 3,25 0,46 4,43 0,63 6,33 0,90 7,69 1,10 13,1 Kalimantan Tengah 0,83 0,14 1,56 0,26 1,85 0,31 2,64 0,44 18,0 15. Kalimantan Selatan 2,68 0,27 5,39 0,54 6,88 0,69 9,07 0,91 19,0 16. Kalimantan Timor 6,17 1,03 10,39 1,73 13,28 2,21 18,49 3,08 17,0 17. Sulawesi Vtara 2,38 0,34 3,92 0,56 6,55 0,94 9,10 1,30 21,1 18. Sulawesi Tengah 0,99 0,25 1,33 0,33 1,48 0,37 2,48 0,50 14,0 19. Sulawesi Selatan 4,50 0,20 9,19 0,40 10,90 0,47 19,32 0,84 23,1 20. Sulawesi Tenggara 21. Ball 22. 23. 0,31 0,08 0,88 0,22 0,94 0,24 1,61 0,32 26,5 13,25 1,66 35,23 3,91 69,65 7,74 105,34 11,70 34,5 Nusa Tenggara Barat 0,64 0,11 2,58 0,43 4,01 0,57 6,52 0,93 39,3 Nusa Tenggara Timur 0,61 0,05 1,09 0,09 1,18 0,10 2,16 0,18 19,8 24. Maluku 1,00 0,20 1,74 0,35 1,94 0,39 3,19 0,64 18,0 25. Irian Jaya 0,79 0,09 2,21 0,25 2,98 0,30 4,56 0,46 28,5 26. Timor Timor 0,23 0,02 0,51 0,04 0,59 0,05 0,69 0,05 17,0 - 401,54- - 25,4 Jumlah Rata-rata per Dari II 130,39 - 0,45 279,32 - Departemen Keuangan Republik Indonesia 0,95 - 635,82 1,35 - 2,13 396 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel V. 26 PENERIMAAN RETRIBUSI DAERAH TINGKAT II PER PROPINSI 1989/1990, 1993/1994, 1994/1995, DAN 1996/1997 (dalam miliar rupiah) Repelita V '---Propinsi Repelita VI - ------------_.__._------ --.- 1989/1990 1993/1994 f-----_. KeseIuruhan (1) (2) I.DI Aceh 2.Sumalera Utara --Rala-rala Dalin (3) (4) Keseluruhan (5) .-.-- 1994/1995 Rala-rala Dalin (6) 1996/1997 Pertumbuhan ..--.------------ Keseluruhan (7) Rala-rala Dalin (8) . -- Rata-rata (%) Rala-rala Keseluruhan Dalin (9) (10) (11) 3,23 0,32 6,07 0,61 7,34 0,73 10,73 1,07 18,7 14,76 0,87 27.39 1.61 33,86 1,99 44,55 2,62 17.1 3.Sumatera Barat 9,40 0,67 15,86 1,13 18.15 1,30 23,66 1,69 14,1 4-Ri au 3,80 0,63 6,15 1,03 8,27 1,38 12,18 2,03 18,1 5.Jambi 2,34 0,39 4,92 0,82 7,10 1,18 9,79 1.63 22,7 6.Sumatera Selatan 6,03 0,60 10,26 1,03 15,92 1,59 19,26 1.93 18,0 7.Bengkulu 1,59 0,40 2,50 0,63 2,68 0,67 4,59 1,15 16,4 8.Lampung 5,82 1,46 9,10 1,82 9,45 1,89 13,71 2,74 13,0 9.Jawa Barat 61,68 2,57 131,17 5,47 177,42 7,10 237,11 9,48 21,2 10.Jawa Tengah 49,97 1,43 91,88 2,63 109,55 3,13 135,69 3,88 15,3 4,26 0,85 9,74 1,95 11,44 2,29 14,81 2,96 19,5 53,06 1,43 98,42 2,66 121,38 3,28 165,93 4,48 17,7 3,95 0,56 6,64 0,95 6,41 0,92 7,95 1,14 10,5 II.DI Yogyakarta 12.Jawa Timur 13.Kalimantan Barat 14.Kalimantan Tengah 1,03 0,17 1.93 0,32 2,49 0,42 4,92 0,82 25,0 15,Kalimantan Selatan 3,32 0,33 6,73 0,67 7,09 0,71 10.34 1.03 17,6 16,Kalimantan Timur 3,76 0,63 12.43 2,07 13,28 2,21 15.36 2,56 22,3 17.Sulawesi Utara 5,64 0,81 8,49 1,21 10,24 1,46 11,67 1.67 10,9 14,9 18.Sulawesi Tengah 1,74 0,44 3,27 0,82 3.39 0,85 4,59 0,92 19,Sulawesi Selatan 13,70 0,60 23,78 1.03 30,76 1,34 43,79 1,90 18,1 20.Sulawesi Tenggara 1,40 0,35 3,31 0,83 4,18 1,05 5,02 1.00 20,0 21.B a I I 4,24 0,53 11.62 1,29 15,21 1.69 26.36 2,93 29,8 22.Nusa Tenggara Barat 4,50 0,75 9,14 1,52 9,98 1,43 14,23 2,03 17,9 23,Nusa Tenggara Timur 3,56 0,30 6,46 0,54 7,64 0,64 9,01 0,75 14,2 24,Maluku 2,33 0,47 3,73 0,75 5,61 1,12 6.31 1,26 15,3 25,Irian Jaya 1.46 0,16 3,19 0,35 3,74 0,37 5,62 0.56 21,2 26.Timor Timur 0,43 0,03 0,84 0,06 1,03 0,08 1,41 0,11 18,5 Jumlah Rata-rata per Dari 11 267,00 - 0,91 515,02 - Departemen Keuangan Republik Indonesia 1,75 643,61 - 2,17 858,59 - - 18,2 2,87 397 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 1989/1990 menjadi Rp858,6 miliar dalam tahun anggaran 1996/1997 dengan laju pertumbuhan rata-rata 18,1 persen per tahun. Dari semua daerah tingkat II di tiap propinsi, penerimaan retribusi daerah tingkat II di Propinsi Bali mengalami laju pertumbuhan rata-rata tertinggi, yaitu 29,8persen per tahun, yang diikuti Propinsi Kalimantan Tengah, dan Propinsi Jambi masingmasing 25,0 persen dan 22,7 persen, sedangkan yang terendah terjadi pada daerah tingkat II di Propinsi Kalimantan Barat, Propinsi Sulawesi Utara dan Propinsi Lampung masing-masing 10,5 persen, 10,9 persen, dan 13,0 persen per tahun selama periode tersebut. Sementara itu, jika ditinjau dari jumlah penerimaan retribusi daerah tingkat II tiap propinsi, dalam tahun anggaran 1996/1997 yang tertinggi diperoleh daerah tingkat II di Propinsi Jawa Barat yaitu Rp237, I millar, kemudian diikuti Propinsi Jawa Timur dan Propinsi Jawa Tengah masing-masing Rp165,9 miliar dan Rp135,7 millar, sedangkan Propinsi Timor Timur adalah yang terendah, yaitu Rp 1,4 miliar, diikuti Propinsi Bengkulu dan Propinsi Sulawesi Tengah yang masingmasing memperoleh penerimaan dart retribusi daerah tingkat II sebesar Rp4,6 miliar. 5.4.1.3 Bagian Laba Badan Usaha Milik Daerah Dari tahun ke tahun, penerimaan bagian laba BUMD tingkat II meningkat. Penerimaan bagian laba BUMD tingkat II dalam tahun anggaran 1989/1990 adalah Rp14,0 millar, selanjutnya dalam tahun anggaran 1996/1997 meningkat tajam mencapai Rp59,5 miliar. Ini berarti selama periode Repelita V dan tiga tahun pertama Repelita VI penerimaan bagian laba BUMD tingkat II meningkat dengan laju pertumbuhan rata-rata per tahun 22,9 persen. Penerimaan bagian laba BUMD tingkat II yang mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun tertinggi adalah daerah tingkat II di Propinsi Lampung, Propinsi Bengkulu, dan Propinsi Kalimantan Tengah masing-masing 124,6 persen, 123,0 persen dan 65,4 persen, sedangkan laju pertumbuhan negatif dialami daerah tingkat II di Propinsi Irian Jaya dan Propinsi Maluku dengan pertumbuhan masing-masing negatif 2,7 persen dan negatif 0,3 persen. Penerimaan bagian laba BUMD tingkat II tiap propinsi yang terbesar dalam tahun anggaran 1996/1997 adalah daerah tingkat II di Propinsi Jawa Barat, Propinsi Jawa Timur, dan Propinsi Lampung masing-masing Rp 12,4 millar, Rp 11,5 millar, dan Rp 10,1 millar, sedang jumlah penerimaan yang terkecil adalah daerah tingkat II di Propinsi Irian Jaya, Propinsi Maluku, dan Propinsi Bengkulu, masing-masing Rp20,0 juta, Rp70,8 juta, dan Rp93,2 juta. Departemen Keuangan Republik Indonesia 398 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Namun jika dilihat rata-rata bagian laba BUMD per daerah tingkat II, maka jumlah tertinggi dicapai oleh daerah tingkat II di Propinsi Lampung, Propinsi Jawa Barat, dan Propinsi DI Yogyakarta, masing-masing Rp2,0 miliar. Rp495,1 juta, dan Rp 337,9 juta, sedang terendah dialami oleh daerah tingkat II di Propinsi Irian Jaya, Propinsi Maluku, dan Propinsi Kalimantan Barat, masing-masing Rp2,0 juta, RpI4,2juta, dan RpI9,8juta. Perkembangan penerimaan bagian laba BUMD daerah tingkat II tiap propinsi selengkapnya dapat dilihat dalam Tabel V.l7. 5.4.1.4 Penerimaan Dinas-dinas Daerah Penerimaan dinas-dinas daerah tingkat II merupakan penerimaan dari dinas-dinas yang ada pada daerah ingkat II di luar penerimaan dari dinas pendapatan daerah. Pada umumnya Departemen Keuangan Republik Indonesia 399 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 / //] TaM V. 27 PENERIMAAN BAGIAN LABA PERUSAHAAN DAERAH TINGKA T II PER PROPINSI 1989/1990, 1993/1994, 1994/1995, DAN 1996/1997 (dalamjuta rupiah) Repelita V No, Propinsi Repelita VI 1989/1990 1993/1994 1994/1995 1996/1997 Pertumbuhan .. Rata-rata (%) Keseluruhan (1) (2)(3) Rata.rata Keseluruhan Dalill (4) (5) Rata-rata Dari II (6) Rata-rata Keseluruhan Dari II (7) (8) Rata-rata Keseluruhan Dari II (9) (10) (11) I. DI Aceh 158,35 15,84 142,57 14,26 350,01 35,00 621,67 62,17 2. Sumatem Utara 534,82 31,46 709,06 41,71 1.511,69 88,92 2.996,02 176,24 27,9 3. Sumatem Barat 105,46 7,53 359,83 25,70 388,69 27,76 426,68 30,48 22,1 4. Riau 132,00 22,00 121,50 20,25 131,90 21,98 497,19 82,87 20,9 5. Jam b i 24,42 4,07 521,80 86,97 309,72 51,62 577,11 96,19 57,1 6, Sumatera Selatan 176,39 17,64- 541,54 54,15 1.303,75 130,38 1.713,85 171,39 38,4 7. Bengkulu 0,34 0,09 50,29 12,57 54.73 13,68 93,18 23,30 123,0 8. Lampung 34,95 8,74 39,00 7,80 105,24 21,05 10.086,34 2.017,27 124,6 9. Jawa Barat 2.199,12 91,63 5.461,87 227,58 6.611,58 264,46 12,377,58 495,10 28,0 10, Jawa Tengah 2.815,07 80,43 4.537,55 129,64 5.471,26 156,32 6.987,85 199,65 13,9 II DI Yogyakarta 12. Jawa Timur 21,6 232,91 46,58 435,33 87,07 469,32 93,86 1.689,71 337,94 32,7 5.501,06 148,68 8.816,29 238,28 9.647,70 260,75 11.538,68 311,86 11,2 13, Kalimantan Barat 42,25 6,04 , 102,53 14,65 165,56 23,65 138,43 19,78 18,5 14. Kalimantan Tengah 40,74 6,79 363,91 60,65 890,12 148,35 1.377,42 229,57 65,4 15. Kalimantan Selatan 258,62 25,86 305,63 30,56 852,04 85,20 1.566,98 156,70 29,4 16. Kalimantan Timur 563,18 93,86 1.860,09 310,01 1.919,98 320,00 1.456,72 242,79 14,5 17. Sulawesi Utara 104,74 14,96 239,50 34,21 353,67 50,52 734,17 104,88 32,1 18. Sulawesi Tengah 28,15 7,04 60,61 15,15 82,50 20,63 227,39 45,48 34,8 19. Sulawesi Selatan 119,23 5,18 567,17 24,66 572.37 24,89 1.764,01 76,70 46,9 20. Sulawesi Tenggara 21. B a1 i 22 23. 50,00 12,50 17,78 4,45 74,35 18,59 129,03 25,81 14,5 622,52 77,81 4'83,33 53,70 565,71 62,86 1.265,47 140,61 10,7 Nusa Tenggara Barat 87,42 14,57 214,56 35,76 200,34 28,62 407,94 58,28 24,6 Nusa Tenggara Timur 85,16 7,10 213,66 17,80 267,57 22,30 500,82 41,74 28,8 24. Maluku 72,10 14,42 55,87 11,17 169,02 33,80 70,79 14,16 -0,3 25. Irian Jaya 24,17 2,69 73,30 8,14 306,44 30,64 20,00 2,00 -2,7 26 Timor Timor 22,94 1,76 68,10 5,24 188,67 14,51 284,38 21,88 43,3 Jumlah Rata - rata per Dari II 14,036,11 - 48,07 1 26.362,67 - Departemen Keuangan Republik Indonesia 89,67 32.963,93 - 110,99 59.549,41 - - 22,9 199,16 400 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 penerimaan dinas-dinas daerah tingkat II hanya memberikan sumbangan yang relatif kecil jika dibandingkan dengan penerimaan pajak atau retribusi. Bahkan di masa yang akan datang penerimaan dari dinas-dinas ini diperkirakan akan menurun karena beberapa jenis penerimaan dinas-dinas akan dikelompokkan ke dalam penerimaan retribusi sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997. Penerimaan dari masing-masing dinas cenderung berfluktuasi setiap tahunnya dan hal itu ditentukan oleh tingkat permintaan masyarakat akan jasa pelayanan dan kemampuan dari dinas terkait untuk memenuhi kebutuhan jasa pelayanan tersebut. Waiaupun penerimaan dinas-dinas daerah tingkat II relatif kecil, namun penerimaan ini menunjukkan peningkatan setiap tahunnya. Dalam tahun anggaran 1989/1990, penerimaan dinas-dinas daerah tingkat II adalah Rp26,2 miliar, dan dalam tahun anggaran 1996/1997 meningkat menjadi Rp 117,8 miliar yang berarti selama periode tersebut mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun 24,0 persen. Sementara itu, dalam tahun anggaran 1996/1997 daerah tingkat II yang memperoleh penerimaan dinas-dinas terbesar adalah daerah tingkat II di Propinsi Jawa Barat, Propinsi Jawa Tengah dan Propinsi Jawa Timur masing-masing Rp45,2 miliar, Rp3t,5 miliard an Rp16,6 miliar, sedang yang terendah adalah daerah tingkat II di Propinsi Bengkulu, Propinsi Kalimantan Selatan dan Propinsi Sumatera Barat masing-masing Rp87,5 juta, Rp 110, 1 juta dan Rp145, 1 juta. Penerimaan dinas-dinas daerah tingkat II di Propinsi Riau, Propinsi Timor Timur, dan Propinsi Jawa Barat mencapai laju pertumbuhan tertinggi masing-masing 100,2 persen, 41,4 persen, dan 39,9 persen, dan yang terendah adalah daerah tingkat II di Propinsi Sumatera Barat, Propinsi Kalimantan Barat dan Propinsi Kalimantan Timur masing-masing 0,1 persen, 2,2 persen dan 3,5 persen selama periode 1989/1990 -- 1996/1997. Selain itu penerimaan dinasdinas pada daerah tingkat II lainnya justru mengalami pertumbuhan yang negatif yaitu Propinsi Sulawesi Selatan dan Propinsi Nusa Tenggara Barat masing-masing negatif 10,5 persen dan negatif 6,5 persen. 5.4.1.5 Penerimaan Lain-lain Pengertian penerimaan lain-lain daerah tingkat II adalah penerimaan yang diperoleh daerah tingkat II di luar pajak, retribusi, bagian laba BUMD, dan penerimaan dinas-dinas. Departemen Keuangan Republik Indonesia 401 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Beberapa contoh penerimaan yang termasuk kategori penerimaan lain-lain misalnya penerimaan dari hasil penjualan asset milik pemerintah daerah, dan jasa giro rekening pemerintah daerah tingkat II. Penerimaan lain-lain di masa yang akan datang diperkirakan akan menurun bahkan kemungkinan tak ada lagi, karena adanya pengelompokan dari beberapa jenis penerimaan lainlain yang dimasukan ke dalam kategori penerimaan retribusi sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam Undang -undang Nomor 18 Tahun 1997. Perkembangan penerimaan lain-lain daerah tingkat II di tiap propinsi selama periode 1989/1990 - 1996/1997, bervariasi antara propinsi yang satu dengan propinsi lainnya. Sementara penerimaan lain-lain daerah tingkat II di Propinsi Jawa Barat, Propinsi Jawa Timur, dan Propinsi Jawa Tengah adalah tertinggi, masing-masing Rp49,2 miliar, Rp22,7 miliar, dan Rp16,2 miliair dalam tahun anggaran 1996/1997. Secara nasional penerimaan lain-lain daerah tingkat II di ketiga tersebut mempunyai proporsi 56,6 persen, sedangkan daerah tingkat II yang memperoleh penerimaan lain-lain dengan jumlah terendah adalah daerah tingkat II di Propinsi Nusa Tenggara Barat, Propinsi Jambi, dan Propinsi Timor Timur masing-masing Rp988,5 juta, Rp 1.059,9 juta, dan Rp 1.139,6 juta. Laju pertumbuhan rata-rata per tahun penerimaan lain-lain daerah tingkat II selama periode 1989/ 1990 -- 1996/1997, dengan laju pertumbuhan tertinggi adalah daerah tingkat II di Propinsi Timor Timur, Propinsi Sulawesi Tenggara dan Propinsi Kalimantan Selatan masing-masing 46,5 persen, 39,7 persen, dan 36,4 persen, sedangkan yang terendah adalah di Propinsi Jawa Tengah, Propinsi DI Yogyakarta dan Propinsi Sumatera Utara masing-masing 7,8 persen, 11,8 persen dan 13,1 persen. 5.4.2 Bagi Hasl Pajak dan Bukan Pajak 5.4.2.1 Bagi HasH Pajak Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1985 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor l009/KMK.04/1985, dari keseluruhan penerimaan pajak bumi dan bangunan (PBB) yang dibagihasilkan kepada daerah, pemerintah daerah tingkat II memperoleh bagian terbesar yaitu 64,8 persen diikuti pemerintah daerah tingkat I 16,2 persen, sisanya 10,0 persen untuk pemerintah pusat dan 9,0 persen selebihnya merupakan upah pungut. Selanjutnya berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 83 Tahun 1994 dan Perubahan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 2 Tahun 1995, bagian pusat sebesar 10,0 persen diserahkan secara merata kepada daerah tingkat II sehingga jumlah bagian daerah tingkat II menjadi 74,8 persen. Departemen Keuangan Republik Indonesia 402 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Pembagian PBB yang sebagian besar dialokasikan kepada pemerintah daerah tingkat II menunjuk komitmen pemerintah untuk memberi porsi pendanaan yang lebih besar kepada pemerintah daerah tingkat II dibanding pemerintah daerah tingkat I, selain karena semakin pentingnya peran pemerintah daerah tingkat II sebagai sentra pembangunan di daerah, juga berkaitan dengan pelaksanaan otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi, dan bertanggungjawab yang titik beratnya ada di daerah tingkat II. Hal ini juga untuk menunjang kelancaran pelaksanaan urusan-urusan sehubungan dengan semakin banyaknya urusan-urusan yang diserahkan pengelolaannya kepada daerah tingkat II. Dengan demikian, penerimaan PBB ini menjadi salah satu sumber penerimaan yang sangat penting bagi daerah tingkat II. Untuk tercapainya hasil penerimaan PBB yang optimal maka peran pemerintah daerah tingkat II dalam proses pemungutan PBB perlu ditingkatkan. Secara umum, penerimaan daerah tingkat II yang berasal dari PBB meningkat setiap tahunnya. Perkembangan penerimaan PBB selama periode 1989/1990 -- 1996/1997 dapat dilihat pada Tabel V. 8. alam tahun anggaran 1989/1990 penerimaan PBB berjumlah Rp361,8 miliar, kemudian meningkat menjadi Rp 1.578,7 miliar dalam tahun anggaran 1996/1997, atau mengalami pertumbuhan rata-rata tahun 23,4 persen. Dalam tahun anggaran 1996/1997, jumlah terbesar dicapai oleh prppinsi Jawa Barat, Propinsi Jawa Timur, dan Propinsi Kalimantan Timur masing-masing Rp22 ,2 miliar, Rp216,3 miliar, dan Rp143,6 miliar, sedang jumlah terkecil dicapai oleh Departemen Keuangan Republik Indonesia 403 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel V. 28 PENERIMAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN DAERAH TINGKAT II PER PROPINSI 1989/1990, 1993/1994, 1994/1995, DAN 1996/1997 (dalam miliar rupiah) Repelita V No. 1989/1990 Propinsl (2) 199311994 199411995 1996/1997 Pertumbuhan Rata-rata (% ) Rata-rata Keseluruhan (1) Repelita VI Dalill Keseluruhan Rata-rata Dalill Rata-rata Keseluruhan Dali II Rata-rata Keseluruhan Dali II (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (ll) I.DI Aceh 25,91 2,59 44,95 4,50 50,87 5,09 58,64 5,86 12,4 2.Sumatera Utara 30,94 1,82 60,37 3,55 75,42 4,44 108,45 6,38 3.Sumatera Barat 4,19 0,30 14,08 1,01 22,73 1,62 34,23 2,45 35,0 1,04 18,52 3,09 24,28 4,05 36,88 6,15 29,0 5,71 21,4 4.Riau 6,22 . 5.Jambi 8,82 1,47 24,95 4,16 24,81 4,14 34,26 19,6 6. Sumatera Selatan 26,05 2,61 70,48 7,05 79,90 7,99 88,56 8,86 19,1 7. Bengkulu 1,78 0,45 3,15 0,79 5,55 1,39 10,22 2,56 28,4 8. Lampung 10,74 2,69 14,35 2,87 18,78 3,76 24,79 4,96 9. Jawa Bara! 46,67 1,94 106,26 4,43 138,71 5,55 223,19 8,93 25,1 10.Jawa Tengah 24,26 0,69 51,75 1,48 77,39 2,21 114,04 3,26 24,7 2,83 0,57 6,86 1,37 12,06 2,41 17,50 3,50 29,7 11. 12. DI Yogyakarta Jawa Timur 12,7 45,94 1,24 93,08 2,52 129,79 3,51 216,29 5,85 24,8 5,60 0,80 17,27 2,47 27,88 3,98 40,55 5,79 32,7 29,6 13.Kalimantan Bara! 14. Kalimantan Tengah 10,35 1,73 50,25 8,38 54,30 9,05 63,49 10,58 15. Kalimantan Se1atan 14,00 1,40 40,52 4,05 46;67 4,67 62,85 6,29 23,9 16. Kalimantan Timur 44,74 7,46 111,73 18,62 117,20 19,53 143,61 23,94 18,1 17. Sulawesi Utara 2,94 0,42 7,80 I,ll 11,34 1,62 17,72 2,53 29,3 18. Sulawesi Tengah 3,66 0,92 7,01 1,75 11,l2 2,78 13,83 2,77 20,9 19. Sulawesi Selatan 12,38 0,54 33,18 1,44 55,64 2,42 72,23 3,14 28,7 20. Sulawesi Tenggara 1,92 0,48 4,83 1,21 8,46 2,12 13,15 2,63 31,6 21. Bali 4,22 0,53 11,43 1,27 17,77 1,97 25,99 2,89 29,7 22. Nusa Tenggara Bara! 3,07 0,51 6,71 1,12 7,37 1,05 15,22 2,17 25,7 2,14 0,18 12,94 1,08 18,99 1,58 23,71 1,98 41,0 3,57 22,93 4,59 24,40 4,88 13,5 23. Nusa Tenggara Timur 24. Maluku 10,05 2,01 17,86 25, Irian Jaya 12,12 1,35 41,35 4,59 53,23 5,32 80,66 8,07 31,1 26. Timor Timur 0,22 0,02 2,95 0,23 12,03 0,93 14,21 1,09 81,3 - 23,4 Jumlah Rata-rata 361,76 - 1,24 874,63 - Departemen Keuangan Republik Indonesia 2,97 1.125,22 - 3,79 1.578,67 - 5,28 404 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Propinsi Bengkulu, Propinsi Sulawesi Tenggara, dan Propinsi Sulawesi Tengah masing-masing Rpl0,2 miliar, Rp13,2 miliar, dan Rp13,8 miliar. Sementara itu, selama kurun waktu.1989/f990 -- 1996/1997 perkembangan penerimaan PBlf di Propinsi Timor Timur, Propinsi Nusa Tenggara Timur, dan Propinsi Sumatera Barat mencapai laju pertumbuhan rata-rata per tahun terbesar masing-masing 81,3 persen, 41,0 persen, dan 35,0 persen, sedang laju pertumbuhan terendah terjadi di Propinsi DI Aceh, Propinsi Lampung dan Propinsi Maluku masing-masing 12,4 persen, 12,7 persen dan 13,5 persen per tahun. 5.4.2.2 Bagi Hasil Bukan Pajak Bagi hasil bukan pajak yang selama ini diterima daerah tingkat II seluruh Indonesia dari pemerintah pusat adalah dalam bentuk iuran hale pengusahaan hutan (IHPH) dan iuran hasil hutan (IHH). Ketentuan yang mengatur masalah pemungutan ini adalah Keputusan Presiden Nomor 30 Tahun 1990 tentang Pengenaan, Pemungutan, dan Pembagian luran Hasil Hutan sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 1991 dan Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1993. Berdasarkan Keppres tersebut ditetapkan bahwa 45,0 persen dari penerimaan IHH ditujukan untuk pembiayaan pembangunan daerah, dengan pembagian 30,0 persen untuk pembiayaan pembangunan daerah tingkat I dan 15,0 persen untuk pembiayaan pembangunan daerah tingkat II. Sementara itu, 55,0 persen lainnya untuk membiayai kehutanan daerah dengan rindan 20,0 persen ntuk pembiayaan rehabilitasi hutan secara nasional, dan 15,0 persen untuk pembiayaan kehutanan daerah, serta 20,0 persen untuk pembayaran PBB bagi area blok tebangan. Penerimaan IHPH dialokasikan untuk daerah tingkat I dan daerah tingkat II sebesar 70,0 persen, seuang 30,0 persen sisanya untuk pemerintah pusat. Dibandingkan dengan penerimaan dari bagi hasil pajak yaitu PBB, penerimaan IHH dan IHPH rsebut relatif kecil. Tetapi walaupun demikian, kontribusi IHH dan IHPH masih tetap diperlukan karena ikut membantu ketersediaan dana guna menunjang kelancaran pelaksanaan pembangunan di daerah tingkat II. Penerimaan IHH seluruh daerah tingkat II di Indonesia adalah Rp90,9 miliar dalam tahun anggaran 1996/1997, sedangkan jumlah penerimaan IHPH adalah Rp147,7 juta, yang terdiri dari penerimaan IHPH Propinsi Nusa Tenggara Timur Rp78,2 Departemen Keuangan Republik Indonesia 405 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 juta dan Propinsi Jawa Tengah Rp69,5 juta. Daerah tingkat II penerimaan IHH terbesar adalah daerah tingkat II di Propinsi Kalimantan Tengah dan Propinsi Kalimantan Timur masing-masing Rp 17,5 miliar dan Rp 16,6 miliar dalam tahun anggaran yang sama. 5.4.3. Sumbangan dan Bantuan Pusat serta Daerah Tingkat I 5.4.3.1.Sumbangan Pusat dan Daerah Tingkat I Kebijaksanaan pemberian sumbangan oleh pemerintah pusat dan daerah tingkat I kepada pemerintah daerah tingkat II diarahkan untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan. Sebagaimana diketahui, dengan semakin meningkatnya upaya memperluas otonomi di daerah tingkat II, pemerintah pusat dan pemerintah daerah tingkat I secara bertahap telah menyerahkan sebagian besar urusan-urusan pemerintahan kepada daerah tingkat II. Sebagai konsekuensinya pemerintah pusat dan daerah tingkat I juga meningkatkan sumbangannya untuk memperkuat anggaran rutin daerah tingkat II. Jumlah sumbangan yang diperoleh daerah tingkat II dalam tahun anggaran 1993/1994 adalah Rp 1.186,3 miliar, meningkat menjadi Rp4.554,6 miliar dalam tahun 1996/1997, yang berarti selama kurun waktu tersebut telah mengalami laju pertumbuhan rata-rata per tahun 21,2 persen. Dalam tahun anggaran 1996/1997, penerima sumbangan dari pusat dan daerah tingkat I kepada daerah tingkat II tertinggi terdapat di Propinsi Sulawesi Selatan, Propinsi Jawa Barat, dan Propinsi Jawa Tengah masing-inasing Rp393,3 miliar, Rp354,2 miliar, dan Rp282,8 miliar. Sementara itu, daerah-daerah tingkat II di Propinsi Sulawesi Tengah, Propinsi Kalimantan Tengah, dan Propinsi DI Yogyakarta relatif kecil dibandingkan dengan-propinsi lain sehingga menerima sumbangan yang relatif sedikit, masing-masing Rp25,2 miliar, Rp40,7 miliar dan Rp72,0 miliar. Perkembangan sumbangan pusat dan daerah tingkat I kepada -daerah tingkat II per propinsi dapat dilihat dalam Tabel V.29. . Pemberian sumbangan kepada daerah tingkat II pada umumnya diwujudkan dalam bentuk subsidi daerah otonom (SDO), yang dialokasikan untuk belanja pegawai dan belanja nonpegawai. Belanja pegawai digunakan untuk membayar gaji dan tunjangan pegawai, baik pegawai daerah maupun pegawai pusat yang diperbantukan pada daerah tingkat II, sedangkan belanja non pegawai dialokasikan untuk subsidi belanja urusan-desentralisasi, subsidi belanja urusan dekonsentrasi dan pembantuan, subsidi belanja pengembangan sumber daya manusia dan pembinaan pemerintahan, serta lain-lain belanja nonpegawai. Departemen Keuangan Republik Indonesia 406 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Subsidi belanja urusan desentralisasi dimaksudkan untuk membantu biaya operasional urusan pemerintahan yang telah diserahkan kepada daerah, antara lain untuk membiayai Sekolah Dasar Negeri, Rumah Sakit Daerah, dan Penyelenggaraaan Otonomi Daerah. Sementara itu, subsidi belanja urusan dekonsentrasi dan pembantuan yang disebut juga sebagai ganjaran digunakan untuk membiayai usaha-usaha pemerintah pusat dan daerah tingkat I yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah tingkat II yang meliputi ganjaran kabupaten/kotamadya/kota administratif (Kotif), ganjaran kecamatan, dan ganjaran desa. Berkenaan dengan semakin banyaknya urusan pemerintahan yang telah dilimpahkan kepada pemerintah daerah tingkat II, maka tugas-tugas pemerintahan-yang harus diemban oleh pemerintahdaerah tingkat II semakin meningkat. Dana SDO yang telah direalisasikan kepada daerah tingkat II secara nasional dalam tahun anggaran 1989/1990 adalah Rpl.165,9 miliar dan dalam tahun anggaran 1996/1997 menigkat menjadi Rp4.439,5 miliar, atau mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun 21,0 persen. Apabila ditinjau dari realisasi sumbangan pusat dan daerah tingkat I kepada daerah tingkat II per propinsi dalam tahun anggaran 1996/1997, terlihat bahwa daerah-daerah tingkat II di Propinsi Sulawesi Selatan, Propinsi Jawa Barat, dan Propinsi Sumatera Selatan menerima sumbangan terbesar yaitu Rp391,8 miliar, Rp338,3 miliar, dan Rp282,2 miliar, sedangkan yang terendah adalah Propinsi .Sulawesi Tengah, Propinsi Kalimantan Tengah, dari Propinsi DI Yogyakarta yaitu Rp25,2 miliar, Rp40,1 miliar, dan Rp70,3 miliar: Departemen Keuangan Republik Indonesia 407 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel V. 29 SUMBANGAN PUSAT DAN DAERAH TINGKAT I UNTUK DAERAH TINGKAT II PER PROPINSI 1989/1990, 1993/1994, 1994/1995, DAN 199611997 (dalam miliar rupiah) Repelita V No. 1989/1990 Propinsi (2) 1993/1994 199411995 19%{1997 Pertumbohan Rata.rata (%) Keseluruhan (I) Repelita VI (3) Rata-rata Dalill (4) KeseIuruhan (5) Rata-rata Keseluruhan Dalill (6) (7) Rata-rata Dalill Keseluruhan (8) (9) Rata.rata Dalill (10) (11) I. D1 Aceh 20,14 2.01 46.89 4.69 51.77 5.18 103.81 10.38 26.4 2. Sumatera Utara 67.66 3.98 95.70 5.63 96.09 5,65 211.71 12.45 17,7 3. Sumatera Barat 82,22 5,87 162,95 11.64 173,78 12,41 224,61 16,04 15,4 4. Riau 46,22 7,70 104,67 17,45 111,16 18,53 148,79 24,80 18,2 5. Jambi 38,72 6,45 86,24 14,37 91,58 15,26 123,88 20,65 18,1 6. Sumatera Selatan 85,65 8,57 188,78 18,88 204,05 20,41 282,55 28,26 18,6 7. Benglmlu 21,16 5,29 50,70 12,68 55,43 13,86 77,38 19,35 20,3 8. Lampung 14,43 3,61 159,47 31,89 170,66 34,13 228,01 45,60 48,3 9. Jawa Barat 87,46 3,64 170,89 7,12 182,39 7,30 354,20 14,17 22,1 10. Jawa Tengab 99,54 2,84 196,46 5,61 210,18 6,01 282,83 8,08 16,1 II. D1 Yogyakarta 13,91 2,78 25,35 5,07 26,73 5,35 72,05 14,41 26,5 12. Jawa Timur 87,00 2,35 171,28 4,63 197,02 5,32 13. Kalimantan Barat 12,76 1,82 25,84 3,69 131,03 18,72 14. Kalimantan Tengab 11,80 1,97 24,08 4,01 27,88 4,65 40,72 6,79 19,4 IS. Kalimantan Selatan 6,69 0,67 10,17 1,02 12.D3 '1,20 125.21 12,52 52,0 16. Kalimantan Timur 12,55 2.09 73,82 12,30 88,66 14,78 112,78 18,80 36,8 17. Sulawesi Utara 17,94 2,56 135,54 19,36 143,02 20,43 185,14 26,45 39,6 18. Sulawesi Tengab 9,26 2,32 12,79 3,20 15,23 3,81 25,23 5,05 15,4 19. Sulawesi Selatan 146,36 6,36 283,89 12,34 301,37 13,10 393,26 17,10 15,2 20. Sulawesi Tenggara 33,86 8,47 72,09 18,02 77,19 19,30 103,74 20,75 17,3 21. Bali 15,04 1,88 127,65 14,18 146,32 16,26 206,89 22,99 45,4 22. Nusa Tenggara Barat 53,58 8,93 111,31 18,55 119,90 17,13 159,08 22,73 16,8 23. Nusa Tenggara Timur 77,98 6,50 157,87 13,16 165,22 13,77 213,90 17,83 IS,S 24. Maluku 39,67 7,93 82,35 16,47 86,84 17,37 114,59 22,92 16.4 25. Irian Jaya 66,56 7,40 130,49 14,50 181,94 18,19 228,18 22,82 19,2 26. Timor Timur 18,18 1,40 44,42 3,42 59,15 4,55 78,67 6,05 23,3 Jumlah Rata-rata per Dari II 1.186,34 - 4,06 Departemen Keuangan Republik Indonesia 2.751,69 - 9,36 3.126,62 - 10,53 . 279,37 7,55 18,1 178.06 25,44 45,7 4.554,64 - - 21,2 15,23 408 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Dalam periode 1989/1990 -- 1996/1997 pemberian SDO untuk daerah tingkat II per kapita per propinsi secara nasional mengalami peningkatan yang cukup besar. Dalam tahun anggaran 1989/1990 jumlah SDO untuk daerah tingkat II adalah Rp6.857,0, maka dalam tahun anggaran 1996/1997 meningkat menjadi Rp22.671,0, yang berarti berkembang dengan laju pertumbuhan rata-rata per tahun 22,1 persen. Apabila dilihat SDO daerah tingkat II per kapita per propinsi dalam tahun anggaran 1996/1997, yang paling menonjol adalah Propinsi Irian Jaya yaitu Rp92.193,0, diikuti Propinsi Timor Timur dan Propinsi Sulawesi Utara masing-masing Rp87.679,0 dan Rp64.683,0. Gambaran SDO daerah tingkat II per propinsi periode 1989/1990 - 1996/1997 secara rinei dapat dilihat dalam Tabel V.30. Secara keseluruhan proporsi SDO terhadap keseluruhan penerimaan daerah tingkat II rata-rata per propinsi dalam tahun anggaran 1989/1990 adalah 38,7 persen dan dalam tahun anggaran 1996/1997 naik menjadi 39,6 persen. 5.4.3.2 Bantuan Pusat dan Daerah Tingkat I Dalam rangka pemerataan pembangunan di daerah-daerah dan memperkecil kesenjangan antardaerah, pemerintah pusat memberikan bantuan kepada pemerintah daerah tingkat II dalam bentuk program bantuan Inpres yang meliputi Inpres pembangunan desa, Inpres Dati II, Inpres sekolah dasar, Inpres kesehatan, dan Inpres desa tertinggal (IDT). Program Inpres pembangunan desa dimaksudkan untuk mempercepat kemandirian desa dengan berfungsinya pemerintahan desa, lembaga-lembaga perdesaan dan tumbuhnya swadaya masyarakat, mendorong terselenggaranya koordinasi dan sinkronisasi pembangunan, dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia, serta meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan usaha ekonomi desa. Program Inpres pembangunan desa dilaksanakan sejak tahun anggaran 1969/1970 yang pada awalnya hanya berupa bantuan untuk pembangunan desa, kemudian sejak tahun anggaran 1985/1986 cakupan program Inpres pembangunan desa diperluas dengan proyek pelatihan kader pembangunan desa proyek pelatihan usaha ekonomi desa, program pembinaan kesejahteraan keluarga (PKK), serta proyek peningkatan peranan dan fungsi lembaga ketahanan masyarakat desa (LKMD). Selanjutnya semenjak tahun anggaran 1995/1996 di dalam paket bantuan dikembangkan kegiatan baru yaitu pembinaan anak -anak dan remaja yang pengelolaannya dipadukan dengan kegiatan PKK. Dalam tahun anggaran 1969/1970 jumlah bantuan adalah Rpl00,0 ribu per desa meningkat menjadi Rp6,5 juta per desa Departemen Keuangan Republik Indonesia 409 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 dalam tahun anggaran 1997/1998, begitu juga dengan bantuan untuk kegiatan PKK juga ditingkatkan dari Rp250,0 rlbu dalam tahun anggaran 1985/1986 menjadi Rpl,5 juta dalam tahun anggaran 1997/1998. Di samping bantuan langsung kepada desa juga diberikan bantuan pengendalian dan pengelolaan yang besarnya Rp600,0 ribu untuk tingkat desa, Rp300,0 ribu per desa untuk tingkat kecamatan, Rp 1 00,0 ribu per desa untuk tingkat Dati II ditambah Rp4,5 juta untuk hadiah lomba desa, dan Rp20,0 ribu per desa untuk tingkat Dati I ditambah dengan hadiah lomba desa sebesar Rp 12,0 juta. Seiring dengan adanya pemekaran desa dan penambahan jumlah desa transmigrasi, serta peningkatan jumlah bantuan per desa, jumlah bantuan yang diberikan secara keseluruhan juga meningkat. yaitu dari Rp2,6 miliar dalam, tahun anggaran 1969/1970 menjadi Rp468,8 miliar dalam tahun anggaran 1996/1997 atau selama periode tersebut mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun 21,2 persen. Program bantuan Inpres Dati II dimaksudkan untuk mendukung pencapaian sasaran pembangunan daerah melalui sektor-sektor yang tertampung dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) tingkat II dan menjadi prioritas masing-masing daerah tingkat II. Besarnya bantuan Inpres Dati II didasarkan pada jumlah penduduk, dengan ketentuan bahwa bagi daerah yang penduduknya kurang dari suatu jumlah tertentu diberikan bantuan minimum. Selain bantuan per jiwa yang telah diberikan dalam tahun anggaran 1970/1971, semenjak tahun anggaran 1974/1975 diberikan pula bantuan minimum untuk masing-masing daerah tingkat II. Dalam tahun anggaran 1994/1995 beberapa bantuan khusus diintegrasikan ke dalam Inpres Dati II, yaitu bantuan kabupaten/kotamadya yang wilayahnya terdiri dari kepulauan, bantuan pemugaran perumahan perdesaan, bantuan pemugaran pasar kecamatan, bantuan rehabilitasi sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah, Inpres penghijauan, dan Inpres peningkatan jalan Dati II, tambahan bantuan perencanaan, pemantauan, dan pengawasan pembangunan Dati II, serta bantuan rehabilitasi Puskesmas. Dalam tahun anggaran 1997/1998 jenis bantuan khusus yang diintegrasikan ke dalam Inpres Dati II bertambah menjadi 14 komponen yang terbagi dalam tiga bentuk bantuan , yaitu : pertama, block gran t terdiri atas bantuan pembangunan Dati II, bantuan perencanaan, pemantauan, dan pengawasan pembangunan Dati II, bantuan kecamatan, bantuan pembinaan desa tertinggal Dati II, dan bantuan pemugarap dan pembangunan pasar kecamatan; Departemen Keuangan Republik Indonesia 410 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel V. 30 SUBSIDI DAERAH OTONOM DAERAH TINGKAT II PER PROPINSI 1989/1990, 1993/1994, 1994/1995, DAN 1996/1997 1 RepeUta V I. No. RepeUta VI 1989/1990 1993/1994 1994/1995 1996/1997 Pertumbuhan PropiDsi Jlala.rata Kesehmob M (Rp mOlar) (I) (2) Dan n Rata-rata Ptr kapIta (RpmUlor) (Rupiah) (3) (4) (5) KeseIaruIw I (Rp (Rp mOlor) mUlar) (6) 6.054 Dan n (7) rata Ptr kapIta (RupIah) (8) 46,89 4,69 Keselurull an Dan II (Rp (Rp mDiar) mUlar) (9) (10) 1. DI Aceh 20,13 2,01 12.71051,77 2. Sumatera Utara 66,30 3,90 6.418 90,89 5,35 8.40694,80 3. Sumatera Bora! 81,21 5,80 20.798 161,59 11,54 38.446173,02 Rata-rata r koplta (Rupiah) (II) KeseIuruh an (Rp Dari II Rata.rata (%) Per kopita (Rp mill..) (Rupiah) mitior) (12) (13) (14) (15) 5,18 13.713 103,51 10,35 25.158 26,4 5,58 8.633 206,14 12,13 17.745 17,6 40.558 223,15 15,94 49.459 15,5 12,3 4. Riau 46,20 7,70 16.024 103,16 17,19 28.123109,99 18,33 28.982 146,07 24,35 33.734 17,9 5. Jambi 38,7\ 6,45 19.137 75,16 12,53 33.60190,30 15,05 39.089 121,44 20,24 46.462 17,7 27.396203,12 20,31 28.795 282,16 28,22 36.287 18,6 38.21255,42 13,86 40.538 77,30 19,33 49.357 20,3 24.812170,12 34,02 25.957 6. Sumatera Selatan 85,65 8,57 14.104 '188,35 18,84 7. Bengku\u 21,15 5,29 18.982 50,44 12,61 8: Lampung 14,42, 3,61 1.994 159,47 31,89 82,883,45 2.454 161,45 6,73 99,542,84 3.475 11. DI Yogyakarta 12,982,60 12. Jawa Timor 85,412,31 13. Kalimantan Bant 14. Kalimantan Tengab 9. Jawa Bora! 10. Jawa Tengab 228,01 45,60 32.315 48,3 171,68 6,87 4.452 338,25 13,53 8.112 22,3 191,7\ 5,48 6.549205,23 5,86 6.960 267,32 7,64 8.841 15,2 4.152 25,21 5,04 8.64026,29' 5,26 9.008 70,33 14,07 24.186 27,3 2.598 166,99 4,51 5.003193,53 5,23 5.753 267,96 7,24 7.751 17,7 11,971,71 3.802 23,30 3,33 18,32 35.912 174,70 24,96 44.881 46,7 11,781,96 9.244 24,01 4,00 4,65 17.533 40,14 6,69 22.486 19,1 15. Kalimantan Se1atim 4.272 .674128,24 15.57027,88 6,610,66 2.682 9,55 , 0,96 3.43210,59 3.727 122,83 12,28 39.864 51,8 16. Kalimantan Timor 12,392,07 6.916 69,90 11,65 32.60283,48 13,91 37.333 107,22 17,87 40.674 36,1 17. Sulawesi Utara 17,942,56 7.253 135,54 19,36 52.455142,28 20,33 54.348 185,14 26,45 64.683 39,6 9,242,31 5.331 12,79 3,20 6.90815,24 25,23 5,05 12.027 15,4 146,016,35 20.852 283,78 12,34 38.630300, 10 13,05 40.218 391,80 17,03 49.454 15,1 33,868,47 26.064 71,91 17,98 48.00577,01 19,25 49.846 103,51 20,70 59.344 17,3 8,211,03 2.952 117,82 13,09 41.254130,26 14,47 45.229 177,33 19,70 51.714 55,1 53,468,91 16.176 111,15 18,53 31.32 119,57 17,08 33.206 158,69 22,67 38.369 16,8 77,926,49 23.033 157,39 13,12 45.43 164,42 13,70 46.658 211,59 17,63 56.362 15,3 24. Maluku 39,677,93 21.869 80,49 16,10 40.228 86,84 17,37 42.404 114,38 22,88 51.159 16,3 25. 1rian Jaya 64,047,12 41.157 129,60 14,40 70.857 174,60 17,46 92.285 217,12 21,71 92.193 19,1 54.933 59,02 78,14 6,01 87.679 23,2 - 22.671 21,0 14,85 - 18. Sulawesi Tengab 19 Sulaw Selatan 20. Sulawesi Tenggora' 21. Bali 22. 23. ' Nusa Tenggora Bora! Nusa Tenggora Timor 26. '!1mor [i1mor Jumlah 18,171,40 1.165,85 Rata-rata per Dari It - 25.411 3,99 44,38 3,41 6.857 2.692,92 - - 9,16 Departemen Keuangan Republik Indonesia 14.933 - 3.064,80 - 1,06 3,81 8.023 4,54 71.456 '10,32 tI6.26 4.439,46 - 411 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 kedua, specific block grant yang terdiri atas bantuan peningkatan dan prasarana jalan Dati II, bantuan rehabilitasi sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah (SD/MI), bantuan rehabilitasi dan pemeliharaan sarana kesehatan, bantuan perbaikan perumahan dan pemukiman, bantuan penyehatan lingkungan permukiman, bantuan peningkatan prasarana poros desa, bantuan penghijauan, dan bantuan pengendalian dampak lingkungan Dati II; ketiga, specific grant yang terdiri atas bantuan pembangunan sekolah dasar, bantuan pembangunan sarana kesehatan, bantuan penyediaan air bersih, bantuan pertanian rakyat terpadu, bantuan penyuluh pertanian lapangan, bantuan pembangunan prasarana pendidikan desa tertinggal, bantuan penyediaan dan pengelolaan air bersih, bantuan pembangunan desa, bantuan pembangunan desa tertinggal, program penyehatan lingkungan permukiman, dan program makanan tambahan anak sekolah. Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk di tiap daerah tingkat II dan banyaknya bantuan khusus yang diintegrasikan ke dalam Inpres Dati II ini, jumlah bantuan yang diberikan juga meningkat. Dalam tahun anggaran 1970/1971 bantuan per jiwa baru sebesar Rp50,0 meningkat menjadi Rp5.500,0 dalam tahun anggaran 1997/1998, begitu juga dengan bantuan minimum yang meningkat dari Rp16,0 juta per daerah tingkat II dalam tahun anggaran 1974/1975 menjadi Rpl,0 miliar dalam tahun anggaran 1997/1998. Selanjutnya, apabila dilihat dari jumlah keseluruhan bantuan yang diberikan per daerah tingkat II meningkat dari Rp5,6 miliar dalam tahun anggaran 1970/1971 menjadi Rp3.484,0 miliar dalam tahun anggaran 1997/1998, yang berarti selama periode tersebut bantuan Inpres Dati II mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun 26,9 persen. Program Inpres sekolah dasar (SD) dimaksudkan untuk memperluas kesempatan belajar dan menamatkan pendidikan pada tingkat SD dalam upaya mendukung pelaksanaan wajib belajar pendidikan 9 tahun dengan memenuhi kebutuhan gedung SD di daerah transmigrasi, daerah pemukiman baru dan daerah terpencil, dan meningkatkan mutu proses belajar-mengajar dengan mendorong sekolah untuk melakukan kegiatan aktif produktif melalui kegiatan ekstra kurikuler. Dalam tahun anggaran 1997/1998 komponen kegiatan Inpres SD ditingkatkan dan ditetapkan dalam dua bentuk kegiatan yaitu pertama kegiatan pokok meliputi pembangunan gedung baru, pembangunan tambahan ruang SD/MI negeri, pembangunan rumah dinas kepala sekolah, rumah dinas penjaga sekolah, dan perumahan guru, pembangunan mess murid, biaya operasional dan perawatan sekolah, dan pembinaan olahraga dan pramuka; kedua kegiatan penunjang meliputi penyediaan buku pelajaran dan bacaan, pengadaan alat peraga, penyediaan Departemen Keuangan Republik Indonesia 412 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 alat administrasi sekolah, dan pengadaan sarana transportasi penilik pendidikan agama. Sejalan dengan peningkatan komponen Inpres SD, bantuan Inpres SD juga meningkat dari Rp17,2 miliar dalam tahun anggaran 1973/1974 menjadi Rp663,2 miliar dalam tahun anggaran 1997/1998 atau selama periode tersebut mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun 16,4 persen. Program Inpres kesehatan dimaksudkan untuk memberikan pelayanan kesehatan yang merata di seluruh wilayah Indonesia dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat terutama masyarakat yang berpenghasilan rendah di daerah kumuh perkotaan, daerah pedesaan, daerah terpencil atau terisolir, daerah transmigrasi, serta daerah pemukiman baru. Sejak tahun anggaran 1997/1998 komponen Inpres kesehatan ditingkatkan lagi meliputi pembangunan Puskesmas, Puskesmas pembantu, Puskesmas keliling, rumah dokter/dokter gig/paramedis, pengadaan obat, pengadaan alat medis/SSB, penempatan tenaga kesehatan, dan pelayanan kesehatan di daerah terpencil, serta pendayagunaan bidan di desa. Seiring dengan bertambahnya komponen dalam Inpres kesehatan pengalokasian dana juga meningkat, apabila dalam tahun anggaran 1975/1976 adalah Rp 11 ,2 miliar meningkat menjadi Rp607,8 miliar dalam tahun anggaran 1997/1998, berarti selama periode tersebut bantuan Inpres kesehatan mengalami pertumbuhan rata-rata pertahun 19,9 persen. Program Inpres desa tertinggal (IDT) merupakan dana bergulir, yang dimaksudkan untuk mengembangkan usaha ekonomi produktif dalam rangka meningkatkan taraf pendapatan dan kesejahteraan anggota kelompok masyarakat miskin. Program IDT tersebut merupakan program perluasan dan peningkatan bagi program penanggulangan kemiskinan yang sudah dilaksanakan selama ini. Program bantuan ini diberikan dalam rangka mendorong, membantu, dan meningkatkan usaha-usaha ekonomi masyarakat desa sehingga diharapkan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat di desa-desa miskin, dan secara bertahap diharapkan dapat membebaskan masyarakat desa dari kemiskinan. Bantuan IDT diberikan langsung kepada kelompok masyarakat (Pokmas) yang jumlahnya Rp20,0 juta, melalui bank atau lembaga keuangan lainnya yang ditunjuk. Selain bantuan langsung diberikan juga bantuan operasional pemantauan untuk tingkat desa sebesar Rp600,0 ribu, untuk kecamatan Rp300,0 ribu per desa tertinggal, untuk daerah tingkat II Rpl00,0 ribu per desa tertinggal, serta untuk daerah tingkat I Rp20,0 ribu per desa tertinggal. Selain dalam bentuk dana, program IDT diberikan juga dalam bentuk bimbingan dan pendamping khusus dari kader penggerak desa atau sarjana pendamping Departemen Keuangan Republik Indonesia 413 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 puma waktu, yang antara lain untuk mengembangkan usaha ekonomis produktif guna meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat desa tertinggal. Dana bantuan langsung digunakan untuk membiayai biuang pertanian, industri kerajinan rakyat, pengelolaan bahan baku menjadi bahan jadi, biuang perdagangan dan industri, dan bidang pengepakan dan pemasaran, sedangkan dana bantuan operasional pemantauan digunakan untuk biaya pengolahan data, biaya pendamping sebesar 50,0 persen, dan biaya bimbingan dan penyuluhan. Program IDT ini diberikan sejak tahun anggaran 1994/1995 dan telah dialokasikan kepada 20.633 desa tertinggal dengan jumlah bantuan Rp397, 7 miliar, dan dalam tahun anggaran 1996/1997 dialokasikan dana Rp479,8 miliar untuk 22.054 desa/kelurahan tertinggal, berarti selama peri ode tersebut bantuan IDT mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun 9,8 persen. Jumlah keseluruhan bantuan yang telah diberikan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah tingkat I kepada daerah tingkat II dan pemerintah desa meningkat dari tahun ke tahun. Dalam tahun anggaran 1989/1990, jumlah bantuan Rp825,2 miliar meningkat menjadi Rp3.973,8 miliar dalam tahun anggaran 1996/1997 yang berarti selama kurun waktu tersebut meningkat dengan laju pertumbuhan rata-rata per tahun 25,2 persen. Selanjutnya apabila dilihat dari rata-rata bantuan per daerah tingkat II, dalam tahun anggaran 1989/1990 rata-rata bantuan yang diterima setiap daerah tingkat II adalah Rp2,8 miliar meningkat menjadi Rp 13,3 miliar dalam tahun anggaran 1996/1997. Jika ditinjau dari realisasi bantuan yang diterima oleh daerah tingkat II di tiap propinsi, daerah tingkat II di Propinsi Jawa Barat dan Propinsi Jawa Timur menerima bantuan terbesar masing-masing Rp624,6 miliar dan Rp459,1 miliar dalam tahun anggaran 1996/1997, sedangkan yang menerima bantuan terkecil adalah daerah tingkat II di Propinsi DI Yogyakarta dan Propinsi Bali masing-masing Rp43,7 miliar dan Rp45,4 miliar. Selanjutnya jika dilihat dari realisasi bantuan rata-rata yang diterima oleh daerah tingkat II di masing-masing propinsi, daerah tingkat II di Propinsi Jawa Barat dan Propinsi Riau menerima jumlah bantuan rata-rata terbesar masing-masing Rp25,0 miliar dan Rp24,8 miliar, sedangkan yang terkecil adalah daerah tingkat II di Propinsi Bali dan Propinsi Timor Timur masing-masing Rp5, I miliar dan Rp5,8 miliar. Laju pertumbuhan rata-rata per tahun selama peri ode 1989/1990 -- 1996/1997 yang tertinggi adalah daerah tingkat II di Propinsi Irian Jaya dan Propinsi Maluku masing-masing 48,3 persen dan 39,4, sedangkan yang terkecil .adalah daerah tingkat II di Propinsi Bali yaitu 9,5 persen. Gambaran secara rinei mengenai bantuan pusat dan daerah tingkat I untuk daerah tingkat II per propinsi dapat dilihat dalam Tabel V.31 Departemen Keuangan Republik Indonesia 414 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 5.4.4 Pinjaman Daerah Sebagaimana halnya dengan pemerintah daerah tingkat I, pemerintah daerah tingkat II dapat memperoleh sumber pembiayaan alternatif yang berupa pinjarnan. Pinjarnan daerah diharapkan dapat meningkatkan perekonomian daerah, memperbaiki mutu pelayanan dan juga dapat meningkatkan pendapatan daerah. Pinjaman ini oleh pemerintah daerah tingkat II dimanfaatkan untuk membiayai proyekproyek pembangunan sesuai dengan prioritas yang telah ditetapkan. Pinjaman yang dilakukan oleh BUMD adalah pinjaman yang dilakukan oleh perusahaan daerah air minum (PDAM), PD pasar dan perusahaan daerah lainnya. Sejalan dengan makin luasnya jangkauan dan gerak laju pembangunan di daerah tingkat II, realisasi pinjaman daerah dari tahun ke tahun juga menunjukkan peningkatan. Dalam tahun anggaran 1989/1990 realisasi pinjaman pemerintah daerah sebesar Rp26,5 minar, meningkat menjadi Rp149,5 miliar dalam tahun anggaran 1996/1997 yang berarti selama periode tersebut meningkat dengan laju pertumbuhan rata-rata 28,1 persen setiap tahun. Berdasarkan data APBD, tahun 1989/1990 sampai dengan 1996/1997 daerah yang belum melakukan pinjaman adalah daerah tingkat II di Propinsi Lampung, Propinsi Sulawesi Utara, Propinsi Nusa Tenggara Barat, Propinsi Maluku, Propinsi Irian Jaya, dan Propinsi Timor Timur. Sementara itu, daerah yang memiliki pinjaman yang terbesar adalah daerah tingkat II di Propinsi Jawa Tengah, Propinsi Jawa Timur, dan Propinsi Jawa Barat masing-masing Rp32,2 miliar, Rp29,6 miliar dan Rp21,6 miliar, sedangkan pinjaman daerah tingkat II di propinsi_propinsi lain relatif kecil. Departemen Keuangan Republik Indonesia 415 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel V. 31 BANTUAN PUSAT DAN DAERAH TINGKAT I UNTUK DAERAH TINGKAT n PER PROPINSI 1989/1990, 1993/1994, 1994/1995, DAN 1996/1997 (dalam miliar rupiah) Repelita V No. 1989/1990 Propmsi (2) 199311994 199411995 199fj,11997 Pertumbahaa Rata-rata (%) Keseluruhan (1) Repellta VI (3) Rata.rata Dan II (4) Rata-rata Keseluruhan Dan II (5) (6) KeseIuruhan (7) Rata-rata Dan II (8) KeseIuruhan (9) Rata-rata Dan II (10) (11) 1.DI Aceh 32,36 3,24 106,79 10,68 98,409,84 116,37 11,64 20,1 2.Sumatem Utara 57,37 3,37 193,55 11,39 170,1310,01 207,75 12,22 20,2 3.Sumatem Barat 28,41 2,03 95,54 6,82 96,606,90 108,57 7,76 21,1 4.Riau 25,18. 4,20 lll,50 18,58 110,5318,42 148,69 24,78 28,9 5.Jambi 15,75 2,63 72,50 12,08 69,8311,64 84,49 14,08 27,1 6.Sumatem Selatan 36,69 3,67 149,32 14,93 239,8923,99 171,07 17,11 24,6 8,38 2,10 42,11 10,53 39,439,86 50,31 12,58 29,2 7.Bengkulu 8.Lampung 24,45 6,11 91,25 18,25 116,0523,21 112,62 22,52 24,4 9.Jawa Barat 117,02 4,88 448,61 18,69 512,6320,51 624,62 24,98 27,0 10.Jawa Tengab 107,17 3,06 312,g6 8,94 347,249,92 393,75 11,25 20,4 11,25 2,25 39,29 7,86 40,558,11 43,71 8,74 21,4 11.DI Yogyakarta 12.Jawa Timur 120,14 3,25 416,60 11,26 429,5611,61 459,1\ 12,41 21,1 13.Kalimantan Bara! 28,05 4,01 90,55 12,94 101,0214,43 137,45 19,64 25,5 14.Kalimantan Tengab 13,53 2,26 82,42 13,74 77,1312,86 92,96 15,49 31,7 15.Kalimantan Selatan 19,90 1,99 74,54 7,45 74,757,48 89,40 8,94 23,9 16.Kalimantan Timur 15,69 2,62 82,74 13,79 84,6014,10 105,37 17,56 31,3 17.Sollawesi Utara 13,20 1,89 60,35 8,62 62,428,92 76,f1J 10,87 28,4 18.Sulawesi Tengab 14,00 3,50 62,48 15.62 70,3517,59 97,'1 19,52 32.0 19.Sulawesi Selatan 36,80 1,60 170,58 7,42 196,07 8,52 27,0 8,95 2,24 49,55 12,39 59,81 11,96 31,2 20.Sulawesi Tenggara 179,277,79 42,7010,68 21.Bali 24,00 3,00 52,84 5,87 42,394,71 45,42 5,05 22.Nu.. Tenggara Barat 19,03 3,17 56,17 9,36 59,528,50 71,11 10,16 20,7 20.52 1,71 112,29 9,36 134,6811,22 149,23 12,44 32,8 39,4 23. Nusa Tenggara Timur 24.Maluku 25.Irian Jaya 26.Timor Timur Jumlah Rata-rata per Dari II 9,5 8,74 1,75 57,73 11,55 58,3311,67 89,22 17,84 10,64 1,18 113,19 12,58 129,1312,91 168,01 16,80 48,3 8,01 0,62 59,04 4,54 56,484,34 75,02 5,77 37,7 - 25,2 S:ZS,D - 2,83 3.204,39 - 10,90 3.443,61 - 11,59 3.973,83 - 13,29 ... Departemen Keuangan Republik Indonesia 416 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 5.4.5 Pengeluaran Rutin Daerah Pengeluaran rutin daerah tingkat II adalah biaya yang dikeluarkan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan di daerah tingkat II seperti belanja pegawai, belanja barang, perjalanan dinas, angsuran pinjaman, dan sebagainya. Pengeluaran ini terus meningkat sejalan dengan meningkatnya pelaksanaan otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab di daerah tingkat II serta kaitannya dengan pemberian pelayanan kepada masyarakat. Dari seluruh komponen belanja rutin daerah tingkat II, belanja pegawai merupakan komponen belanja terbesar, dalam tahun anggaran 1989/1990 dan 1996/1997 masing-masing berjumlah Rp1.171,6 miliar dan Rp4.276,6 miliar, atau 69,3 persen dan 62,5 persen dari total pengeluaran rutin. Hal ini berkaitan erat dengan upaya pemerintah daerah untuk meningkatkan dayaguna aparatur pemerintah dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Data terinci mengenai perkembangan jenis-jenis belanja dalam pengeluaran rutin daerah tingkat II dapat dilihat dalam Tabel V.32. Dalam tahun anggaran 1989/1990 belanja rutin daerah tingkat II per kapita adalah Rp9.943,0 dan dalam tahun anggaran 1996/1997 meningkat menjadi Rp34.958,0 atau mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun 22,1 persen. Sementara itu, dalam tahun anggaran 1996/1997 belanja rutin daerah tingkat I perkapita perpropinsi tertinggi adalah Irian Jaya yaitu Rp133.412,0 sedangkan yang terendah adalah Jawa Timur, yaitu RpI8.157,0. Jumlah belanja rutin daerah tingkat II di tiap propinsi erat kaitannya dengan banyaknya daerah tingkat II serta banyaknya kegiatan pemerintahan di daerah bersangkutan. Dalam tahun anggaran 1996/1997 pengeluaran rutin daerah tingkat II rata-rata yang terbesar adalah Propinsi Lampung dan diikuti Propinsi Kalimantan Timur, masing-masing Rp53,0 miliar dan Rp43,1 miliar, sedangkan yang terkecil adalah Propinsi Timor Timur, yaitu Rp7,1 miliar. Sementara itu, dilihat dari laju pertumbuhan belanja rutin rata-rata per tahun selama periode 1989/1990 -199611997, terlihat bahwa yang tertinggi adalah di Propinsi Bali yaitu 44,9 persen, sedangkan yang terendah di Departemen Keuangan Republik Indonesia 417 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel V. 32 PENGELUARAN RUTIN DAERAH TINGKAT II SELURUH INDONESIA 1989/1990, 1993/1994, 1994/1995, DAN 1996/1997 Repelita V No. Repelita VI 1989/1990 1993/1994 1994/1995 1996/1997 Pertumbuhan Jenis pengeluaran Rata-rata (% ) JumJah (1) (2) 1. Belanja pegawai Jumlah Proporsi JumIah Proporsi JumIah Proporsi (Rp mUiar) (%) Proporsi (Rp Millar) (%) (Rp miiiar) (%) (Rp Millar) (%) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) 1.171,6369,30 2.680,0868,31 3.064,9865,73 4.276,58 (11) 62,47 20,3 . 2. Belanja barang 199,86 11,82 444,18 11,32 562,50 12,06 I. 009 ,44 14,75 26,0 3. Belanja pemeliharaan 56,03 3,32 123,22 3,14 146,97 3,15 212,78 3,11 21,0 4. Belanja perjalanan dinas 27,20 1,61 70,31 1,79 88,42 1,90 123,12 1,80 24,1 196,82 11,64 495,85 12,64 657,36 14,10 1.003,43 14,66 26,2 15,74 0,93 35,02 0,89 56,22 1,21 75,04 1,09 25,0 23,08 1,37 74,69 1,91 86,00 1,84 144,98 2,12 30,0 0,00 0,00 0,50 0,01 0,00 0,00 -100,0 3.923,35 100,00 4.662,95 100,00 6.845,37 100,00 26,2 5. Belanja lain-lain 6. Angsuran pinjamanlutang 7. 8. G an jaranl su bsi dil s umban g an Sisa lrurang tahun sebelumnya Jumlah 0,22O,ol 1.690,58 100,00 Departemen Keuangan Republik Indonesia 418 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Propinsi Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan yaitu masing-masing 16,3 persen. Jika ditinjau dari jumlah pengeluaran daerah tingkat II per propinsi, dalam tahun anggaran 1996/1997 daerah tingkat II di Propinsi Jawa Barat menempati rangking tertinggi, yaitu Rp784,2 miliar dan yang terendah adalah daerah tingkat II di Propinsi Sulawesi Tengah, yaitu Rp.45,9 millar. Pengeluaran rutin daerah tingkat II per propinsi selengkapnya dapat dilihat dalam Tabel V.33. Jenis pengeluaran rutin dilihat dari penyelenggaraan urusan pemerintahan antara lain terdiri atas penyelenggaraan urusan umum pemerintahan, dinas pekerjaan umum, dinas kesehatan, dinas pendidikan dan kebudayaan. Dalam tahun anggaran 1996/1997, urusan umum pemerintahan menyerap pengeluaran rutin terbesar, yaitu Rp2.939,4 miliar kemudian diikuti dinas pendidikan dan kebudayaan yaitu Rp2.077,7 miliar. Gambaran rinci pengeluaran rutin daerah tingkat II per jenis pengeluaran periode 1989/1990 -- 1996/1997 dapat dilihat dalam Tabel V.34. 5.4.6 Pengeluaran Pembangunan Daerah Sejalan dengan titik berat otonomi pada daerah tingkat II, dan da1am rangka melaksanakan otonomi daerah yang nyata dan bertanggungjawab, pemerintah daerah tingkat II terus berupaya meningkatkan pembangunan, baik yang bersifat rehabilitasi maupun pembangunan prasarana dan sarana baru di berbagai sektor. Pengeluaran pembangunan daerah tingkat II sampai dengan tahun anggaran 1993/1994 terdiri atas 18 sektor, dan mulai tahun anggaran 1994/1995 diperluas menjadi 20 sektor. Dengan semakin meluasnya sektor yang menjadi jangkauan dan ruang lingkup serta beragamnya kegiatan pembangunan di daerah, pengeluaran pembangunan daerah tingkat II juga semakin meningkat dari tahun ke tahun. Peningkatan upaya pembangunan tersebut tercermin dari penyerapan dana pembangunan yang terus meningkat. Secara nasional jumlah pengeluaran pembangunan daerah tingkat II dalam tahun anggaran 1994/1995 adalah Rp4.429,4 miliar, meningkat menjadi Rp5.694,3 miliar dalam tahun anggaran 1996/1997 atau mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 13,4 persen. Apabila ditinjau dari pengeluaran pembangunan per sektor, dalam tahun anggaran 1996/1997 sektor-sektor yang banyak menyerap dana pembangunan daerah tingkat II adalah sektor transportasi, sektor aparatur pemerintah dan pengawasan serta sektor pembangunan daerah dan pemukiman yang masing-masing Rp2.082,7 miliar, Rp707,2 miliar, dan Rp661,7 Departemen Keuangan Republik Indonesia 419 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 miliar. Ketiga sektor ini memberikan sumbangan masing-masing 36,6 persen, 12,4 persen, dan 11,6 petsen yang secara bersama-sama menyerap sebesar 60,6 persen dari seluruh pengeluaran daerah tingkat II dalam tahun anggaran 1996/1997. Gambaran mengenai perkembangan pengeluaran pembangunan daerah tingkat II per sektor selama periode 1994/1995 -- 1996/1997 secara rinci dapat dilihat dalam Tabel V.35. Jumlah pengeluaran pembangunan daerah tingkat II di tiap propinsi erat kaitannya dengan jurnlah daerah tingkat II dan tingkat kepadatan penduduk, serta aktifitas ekonomi dan gerak pembangunan di daerah bersangkutan. Pengeluaran pembangunan daerah tingkat II per propinsi tertinggi dalam tahun anggaran 1996/1997 adalah di Propinsi JawaBarat, PropinsiJawa Timur, dan Propinsi Jawa Tengah, yaitu masing-masing Rp935,8 miliar, Rp736,1 miliar, dan Rp592,5 miliar, Departemen Keuangan Republik Indonesia 420 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 " Tabel V. 33 PENGELUARAN RUTIN DAERAH TINGKAT II PER PROPINSI 1989/1990, 1993/1994, 1994/1995, DAN 1996/1997 Repelita V 1989/1990 No. Repelita VI 1993/1994 1994/1995 Pertumbuha 1996/1997 n PropiDsi Rala-nIa KeseIlU1Ih an Bali II Rata-nla Per bpila KeseIuruha n Dari II Rata-nla Per kapita KeseIuruh an Rala-nIa Rala-nla Dari II Per kop;1a KeseIuruh an Doli II ('Ai) Per kap!1a (Rp miDu) (Rp miDu) (Rupiah) (Rp millu) (Rp millu) (Rupiah) (Rp minor) (Rp millu) (Rupiah) (Rpmiliu) (Rp minor) (Rupiah) (I) (2) (3) 1.DI Aceh (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (II) (12) (13) (14) (15) 38,023,80 11.438 88,32 8,83 23.941 102,23 10,22 27.080 159,28 15,93 38.712 22,7 2.Sumatera Utara 102,576,03 9.930 171,32 10,08 15.844 193,23 11,37 17.597 348,82 20,52 30.027 19,1 3.Suma!era Bara! 96,296,88 24.658 195,41 13,96 46.494 213,01 15,22 49.931 276,46 19,75 61.275 16,3 4.Riau 58,139,69 20.162. 138,21 23,03 37.679 153,61 25,60 40.478 212,55 35,43 49.086 20,3 19,7 5.Jambi 6.Sumatera Se1atan 7.Bengkulu 8.Lampung 44,737,45 22.109 105,07 17,51 46.971 112,91 18,82 48.878 157,13 26,19 60.119 101,5710,16 16.725 241,51 24,15 35.129 267,30 26,73 37.893 363,18 36,32 46.707 20,0 24,166,04 21.686 56,56 14,14 42.851 62,61 15,65 45.802 90,48 22,62 57.773 20,8 24,986,24 3.454 181,16 36,23 28.187 196,81 39,36 30.030 264,92 52,98 37.545 40,1 9.Jawa Bara! 178,177,42 5.276 388,75 16,20 10.287 455,07 18,20 11.801 784,21 31,37 18.808 23,6 10.Jawa Tengah 173,334,95 6.051 352,33 10,07 12.036 397,98 11,37 13.498 552,87 15,80 18.285 18,0 21,014,20 6.720 43,66 8,73 14.962 50,17 10,03 17.193 107,50 21,50 36.967 26,3 159,504,31 4.853 315,05 8,51 9.438 412,44 11,15 12.261 627,68 16,96 18.157 21,6 24,893,56 7.907 52,20 7,46 14.953 169,44 24,21 47.450 229,82 32,83 59.041 37,4 14.Kalimantan Tengah 19,513,25 15.317 48,97 8,16 31.755 59,60 9,93 37.484 87,67 14,61 49.115 23,9 IS.. Kalimantan Selatan 17,511,75 7.107 40,71 4,07 14.634 49,75 4,98 17.513 182,90 18,29 59.359 39,8 16.Kalimantan Timor 44,627,44 24.901 159,30 26,55 74.301 196,55 32,76 87.904 258,34 43,06 98.004 28,5 17.Sulawesi Utara 26,513,79 10.719 152,56 21,79 59.040 165,71 23,67 63.296 214,11 30,59 74.804 34,8 18.Sulawesi Tengah 14,913,73 8.601 24,07 6,02 13.006 29,47 7,37 15.519 45,88 9,18 21.866 17,4 19.Sulawesi Selatan 169,857,38 24.257 335,92 14,61 45.728 368,31 16,01 49.358 490,25 21,32 61.881 16,3 37,529,38 28.882 82,21 20,55 54.881 90,31 22,58 58.451 124,02 24,80 71.104 18,6 11.DI Yogyakarta 12.Jawa Tunor 13.Kalimantan Barat 20.Sulawesi Tenggara 21.Bali 20,702,59 7.439 155,41 17,27 54.417 174,38 19,38 60.549 278,05 30,89 81.087 44,9 22.Nusa Tenggara Bara! 60,5710,10 18.328 126,16 21,03 35.559 138,74 19,82 38.528 186,98 26,71 45.209 17,5 86,267,19 25.497 176,01 14,67 50.810 189,46 15,79 53.763 249,57 20,80 66.480 16,4 24.Maluku 49,129,82 27.080 101,71 20,34 50.829 111,81 22,36 54.597 146,60 29,32 65.574 16,9 25.Irian Jaya 76,868,54 49.396 143,40 15,93 78.403 233,74 23,37 123.544 314,20 31,42 133.412 22,3 26.Timor TImor 19,291,48 26.978 47,37 3,64 58.624 68,31 5,25 82.698 91,90 7,07 103.119 25,0 - 9.943 3.923,35 - 21.756 4.662,95 - 25.448 6.845,37 - 34.958 22,1 5,79 - 15,70 - 22,89 - 23. Nusa Tenggara Timor Jum1ah 1.690,58 Rata-rata per Dan II - - Departemen Keuangan Republik Indonesia 13,34 - - - 421 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel V. 34 PENGELUARAN RUTIN DAERAH TINGKAT II SELURUH INDONESIA PER DINASIURUSAN 1989/1990, 1993/1994, 1994/1995, DAN 199611997 (dalam miliar rupiah) No. Dinaslurusan (1) (2) 1. Drugan umum pemerintahan 2. Dinas pekerjaan umum 3. Dinas LLAJR dan sungai 4. Repelita V Repelita VI Pertumbuhan 1989/1990 1993/1994 1994/1995 199611997 (3) (4) (5) (6) Rata-rata (%) (7) 748,67 1.659,19 2.057,52 2.939,38 21,6 98,17 212,54 238,29 322,27 18,5 1,22 9,73 16,15 41,04 65,2 Dinas kesehatan 193,95 429,27 491,02 652,06 18,9 5. Dinas pendidikan dan kebudayaan 474,18 1.213,49 1.322,84 2.077,67 23,5 6. Dinas sosial, perumahan dan perburuhan 3,13 8,36 9,20 38,47 43,1 7. Dinas pertanian, kehutanan, perkebunan 43,37 131,56 171,98 216,02 25,8 1,51 2,73 3,00 15,18 39,1 18,92 36,76 39,20 56,00 16,8 dan petemakan 8. Dinas perindustrian dan pertambangan 9. Usaha-usaha daerah 10. Pensiun dan bantuan 26,03 0,48 2,92 3,84 -23,9 11. Pengeluaran yang tidak masuk bagian lain 36,86 93,66 142,75 230,53 29,9 12. Pengelual'an tidak tersangka 5,53 15,87 25,36 32,89 29,0 13. Angsuran pinjaman dan bunga 15,74 35,02 56,22 75,04 25,0 14. Ganjaran, subsidi, sumbangan 23,08 74,69 86,00 144,98 30,0 15. Sisa kurang tahun laiu 0,22 0,00 0,50 0,00 -100,0 1.690,58 3.923,35 4.662,95 6.845,37 22,1 Jumlah Departemen Keuangan Republik Indonesia 422 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel V. 35 ' PENGELUARAN PEMBANGUNAN DAERAH TINGKAT II PER SEKTOR 1994/1995 DAN 199611997 Repelita VI No. (1) 1. (2) Sektor industri 2. Sektor pertanian dan kehutanan 3. Sektor somber daya air dan irigasi 4. Sektor tenaga kerja 5. Sektor perdagangan, pengembangan usaha daerah, keuanganaerah dan koperasi 6. Sektor transportasi 7. Sektor pertambangan'dan energi 8. Sektor pariwisata dan telekomunikasi daerah 9. 10. 11. 199611997 Jumlab Proporsi Jab Proporsi (Rp miliar) (%) (Rp miliar) (%) (3) (4) (5) (6) 12,12 0,28 15,14 0,27 104,81 2,37 164,81 2,89 47,75 1,08 72,83 1,28 7,05 0,16 7,57 0,13 182,51 4,12 206,27 3,62 1.699,98 38,38 2.082,74 36,58 21,29 0,48 23,95 0,42 45,19 1,02 52.68 0,93 Sektor pembangunan daerah dan pemukiman 516,55 11,66 661,74 11,62 Sektor lingkungan hidup dan tata ruang 168,37 3,80 222,15 3,90 600,56 13,56 661,04 11,61 10,80 0,24 21,39 0,38 Sektor pendidikan, kebudayaan nasional, kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, pemuda dan olah raga 12. 1994/1995 Sektor Sektor kependudukan dan keluarga sejahtera 13. Sektor kesehatan, kesejahteraan sosial, peranan wanita, anak dan remaja 230,32 5,20 299,64 5,26 14. Sektor perumahan dan pemukiman 122,84 2,77 172,51 3,03 15. Sektor agama 36,72 0,83 61,35 1,08 16. Sektor ilmu pengetahuan dan tehnologi 54,65 1,23 77,78 1,37 17. Sektor hokum 7,02 0,16 10,95 0,19 18. Sektor aparatur pemerintah dan pengawasan 484,70 10,94 707,15 12,42 19. Sektor politik, penerangan, komunikasi dan media massa 19,03 0,43 42,71 0,75 20. Sektor keamanan dan ketertiban umum 12,80 0,29 41,69 0,73 - Subsidi pembangunan kepada daerah bawahan 43,77 0,99 67,97 1,19 - Pembayaran kembali pinjaman 0.55 0,01 20,19 0,35 4.429,38 100,00 5.694,25 100,00 Jumlah Departemen Keuangan Republik Indonesia 423 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 sedangkan yang terendah adalah di Propinsi Bengkulu, Propinsi Sulawesi Tenggara, dan Propinsi Timor Timur, masing-masing Rp61,1 miliar, Rp65,4 miliar, dan Rp78,9 miliar. Dengan semakin meningkatnya jumlah pengeluaran pembangunan daerah tingkat II secara nasional, maka pengeluaran pembangunan daerah tingkat II per kapita juga meningkat. Dalam tahun anggaran 1989/1990 besarnya pengeluaran pembangunan daerah tingkat II per kapita secara nasional Rp7.061,0 dan dalam tahun anggaran 1996/1997 meningkat menjadi Rp29.079,0. Sementara itu, daerah tingkat II di tiap propinsi dengan pengeluaran pembangunan daerah tingkat II per kapita tertinggi adalah di Propinsi Irian Jaya, Propinsi Timor Timur, dan Propinsi Kalimantan Timur, masing-masing Rp92.652,0, Rp88.569,0, dan Rp79.216,0, sedangkan yang terendah adalah di Propinsi Lampung, yaitu RpI9.232,0. Jika ditinjau dari laju pertumbuhan rata-rata per tahun selama periode 1989/1990 -1996/1997, pengeluaran pembangunan daerah tingkat II per propinsi yang mengalami laju pertumbuhan relatif tinggi adalah di Propinsi Irian Jaya, Propinsi Timor Timur, dan Propinsi Riau, masing-masing 44,9 persen, 40,6 persen, dan 32,8 persen. Gambaran mengenai perkembangan pengeluaran pembangunan daerah tingkat II per propinsi secara rinei dapat dilihat dalam Tabel V.36. 5.5 Pembiayaan Perkotaan 5.5.1 Kebijaksanaan Pembiayaan Pembangunan Perkotaan Pembangunan perkotaan mernpakan bagian dari pembangunan nasional yang masih perlu mendapat perhatian, walaupun kegiatan perekonomian di Indonesia akhir-akhir ini mengalami krisis ekonomi dan moneter. Pembangunan prasarana, sarana, dan pelayanan perkotaan memerlukan dana yang semakin besar, sedangkan penerimaan negara walaupun jumlahnya meningkat tetapi nilai riilnya semakin berkurang. Sehubungan dengan hal tersebut, pemerintah telah menetapkan kebijaksanaan yang mengarah pada upaya peningkatan desentralisasi dan otonomi daerah, serta peningkatan peran serta swasta dan masyarakat dalam pembiayaan pembangunan perkotaan. Sejalan dengan kebijaksanaan desentralisasi dan peningkatan otonomi daerah, tanggung jawab pembiayaan pembangunan perkotaan lebih ditekankan pada daerah tingkat II. Oleh karena itu, sumber pembiayaan pembangunan perkotaan yang berasal dari PDS menjadi sangat penting, selain dari sumber dana lainnya. Departemen Keuangan Republik Indonesia 424 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Dalam rangka kebijaksanaan pembiayaan pembangunan perkotaan, selain dilakukan upaya peningkatan pendapatan juga dilakukan pengembangan kelembagaan pemerintah daerah. Upaya peningkatan pendapatan dilakukan melalui pengembangan rencana tindakan peningkatan pendapatan daerah, seuangkan upaya pengembangan kelembagaan dilakukan melalui penyusunan rencana tindakan pengembangan kelembagaan daerah. Peningkatan kemampuan somber daya manusia (SDM) telah dilaksanakan dan terus dikembangkan, antara lain melalui Program Pelatihan Manajemen Perkotaan. Sementara itu, pelatihan yang berkaitan dengan kemitraan pemerintahswasta dilakukan melalui pelatihan peranserta swasta di bidang penyediaan jasa pelayanan perkotaan. Dalam rangka pemanfaatan tenaga kerja, khususnya bagi tenaga kerja yang terkena pemutusan hubungan kerja sebagai dampak krisis ekonomi, telah dirintis dan dikembangkan program padat karya. Program ini dilakukan antara lain di daerah perkotaan melalui penyelesaian berbagai proyek, seperti perbaikan jalan lingkungan, pengelolaan persampahan, dan penanggulangan banjir. Di samping itu, peranan swasta dan masyarakat dalam menunjang pembiayaan pembangunan perkotaan juga semakin digiatkan, antara lain melalui pembangunan prasarana jalan kota, air bersih, perbaikan jalan lingkungan, dan upaya perintisan penerbitan obligasi BUMD. 5.5.2 Perkembangan Pembiayaan Pembangunan Perkotaan Menurut Sumber Dana Dana yang digunakan untuk membiayai pembangunan prasarana perkotaan hingga saat ini berasal dari beberapa sumber, yaitu DIP - rupiah murni, DIP - bantuan luar negeri (BLN), perjanjian penerusan pinjaman l subsidiary loan agreement (SLA), surat pengesahan anggaran bantuan pembangunan daerah (SPABP), pinjaman dalam negeri (pinjaman DN), bantuan Inpres, .APBD tingkat I, APBD tingkat II, dan laba badan usaha milik daerah (BUMD). Selama periode 1994/1995 -- 1997/1998, kese1uruhan dana pembiayaan pembangunan perkotaan, khususnya untuk prasarana dan sarana perkotaan mencapai Rp6.449,0 miliar. Jumlah tersebut mengalami peningkatan sebesar 55,05 persen Dari total dana yang digunakan selama Repelita V Rp4.l59,3 miliar. Sumber pembiayaan pembangunan terbesar selama periode 1994/1995 -- 1997/1998 berasal Dari SLA, DIP - BLN, dan Inpres masing-masing Rp1.459,5 miliar (22,63 persen), Rp1.244,3 miliar (19,29 persen), dan Rp941,1 miliar (14,59 persen). Departemen Keuangan Republik Indonesia 425 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel V. 36 PENGELUARAN PEMBANGUNAN DAERAH TINGKAT II PER PROPINSI 1989/1990, 1993/1994, 1994/1995, DAN 1996/1997 Repelita V 1989/1990 No. Repelita VI 19'3/1994 1994/1995 1996/1997 Pertumbuhan Propinsi Rata-rata KeseIuruha n (Rp millar) (I) (2) (3) Dari II (Rp mOlar) (4) Rata-rata Per KeseIuruha kapita n Rata-rata »atl II Per kapita Keseluruha n (Rupiah) (Rp mmar) (Rp mmar) (Rupiah) (Rp miliar) (5) (6) (7) Rata-rata Dari II Per kapita (Rp (8) (9) (10) 129,38 12,94 34.272 an (Rp (Rupiah) miliar) Keseluruh Per kapita (Rp miliar) (Rupiah) mmar) (11) Dari II Rata.rata(%) (12) (13) (14) (IS) 157,09 15,71 38.179 15,6 1. OJ Aceh 56,99 5,70 17.146 134,54 13,45 36.470 2. Sumalera Utara 89,30 5,25 8.645 258,54 15,21 23.910 238,62 14,04 21.730 306,04 18,00 26.344 19,2 3. Sumalera Barat 34,36 2,45 8.799 113,25 26.945 119,22 8,52 27.946 139,93 10,00 31.015 22,2 4. Riau 25,68 4,28 8.908 132,50 36.123 139,48 23,25 36.754 187,05 31,18 43.198 32,8 5. Jambi 21,77 3,63 10.759 86,70 38.756 91,21 15,20 39.485 113,64 18,94 43.480 26,6 6. Sumatera Selatan 51,24 5,12 198,94 19,89 28.938 209,23 20,92 29.662 240,08 24,01 30.875 24,7 7. BengJrulu 9,41 2,35 8.446 45,69 11,42 34.617 44,58 11,15 32.612 61,09 15,27 39.010 30,6 8. Lampung 32,85 8,21 4.543 105,24 21,05 16.374 125,55 25,11 19.156 135,70 27,14 19.232 22,5 9. Jawa Baral 174,68 7,28 5.173 571,79 23,82 15.130 659,81 26,39 17.110 935,77 37,43 22.443 27,1 10. Jawa Tengah 155,91 4,45 5.443 389,19 13.295 470,45 13,44 15.956 592,54 16,93 19.597 21,0 II. OJ Yogyakarta 17,48 3,50 5.589 52,38 10,48 17.952 59,73 11,95 20.468 83,36 16,67 28.664 25,0 12. Jawa Timor 184,19 4,98 5.604 543,36 14,69 16.278 592,25 16,01 17.606 736,14 19,90 21.295 21,9 13. Kalimantan Baral 32,37 4,62 10.284 97,35 13,91 27.887 111,17 15,88 31.133 152,62 21,80 39.210 24,8 14. Kalimantan Tengah 20,96 3,49 16.451 118,50 19,75 76.848 116,83 19,47 73.477 141,30 23,55 79.155 31,3 15. Kalimantan Selatan 29,89 2,99 12.131 105,21 10,52 37.817 120,44 12,04 42.392 149,46 14,95 48.504 25,9 16. Kalimantan Timor 42,70 7,12 23.830 149,47 69.716 160,50 26,75 71.779 208,81 34,80 79.216 25,4 17. Sulawesi Utara 17,73 2,53 7.171 68,60 9,80 26.548 72,06 10,29 27.527 92,77 13,25 32.413 26,7 18. Sulawesi Tengah 16,47 4,12 9.501 67,14 16,79 36.271 77,28 19,32 40.697 109,00 21,80 51.949 31,0 19. Sulawesi Selatan 51,31 2,23 7.329 200,48 8,72 27.291 226,00 9,83 30.286 279,20 12,14 35.241 27,4 20. Sulawesi Tenggara 9,64 2,41 7.418 51,44 12,86 34.340 45,86 11,47 29.683 65,41 13,08 37.502 31,5 21. Bali 43,21 5,40 15.533 89,24 9,92 31.248 110,97 12,33 38.532 160,09 17,79 46.687 20,6 22. Nusa Tenggara Baral 22,03 3,67 6.667 63,02 10,50 17.763 67,21 9,60 18.664 86,63 12,38 20.944 21,6 22,60 1,88 6.679 119,84 9,99 34.597 144,37 12,03 40.969 162,83 13,57 43.373 32,6 34.271 72,21 14,44 35.259 100,57 20,11 44.985 32,2 21,82 92.652 44,9 6,07 88.569 40,6 23. Nusa Tenggara Timur 8.437' 8,09 22,08 14,45 11,12 24,91 24. Maluku 14,28 2,86 7.871 68,58 13,72 25. Irian Jaya 16,30 1,81 10.476 128,03 14,23 69.999 163,32 16,33 86.319 218,20 26. Timor Timor 7,25 0,56 10.142 59,65 4,59 73.820 61,65 4,74 74.634 78,93 - 7.061 4.0111," - 22.284 4.429,38 4,11 - 13,67 - Jumlah Rata-rata 1.200,60 - - Departemen Keuangan Republik Indonesia - - 24.173 14,91 5.694,25 - - 19,04 29.079 24,9 - 426 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Dalam tahun anggaran 1997/1998 jumlah dana yang dikeluarkan untuk membiayai pembangunan prasaranadan sarana perkotaan mencapai Rp 1.814,4 miliar, atau mengalami kenaikan sebesar 10,5 persen dibandingkan tahun anggaran 1996/1997 yang berjumlah Rp1.641,8 miliar. Sumber pembiayaan dalam tahun anggaran 1997/1998 yang terbesar berasal dari bantuan Inpres, SPABP, dan DIP - BLN, masing-masing Rp464,4 miliar, Rp373,8 miliar, dan Rp337,0 miliar, seuangkan yang terkecil berasal dari pinjaman DN, yaitu Rp0,1 miliar. Dibandingkan dengan tahun anggaran 1996/1997 sumber dana Inpres mengalami peningkatan 403,7 persen, yaitu meningkat dari Rp92,2 miliar menjadi Rp464,4 miliar dalam tahun anggaran 1997/1998. Sementara itu, dalam tahun anggaran yang sama pinjaman DN mengalami penurunan terbesar, yaitu dari Rp18,7 miliar menjadi Rp0,1 miliar atau turun 99,5 persen, yang kemudian diikuti DIP-rupiah mumi menurun 72,4 persen dari Rp320,5 miliar menjadi Rp88,4 miliar. Perkembangan pembiayaan pembangunan perkotaan menurut sumber dana selama Repelita V dan periode 1994/1995 -- 1997/1998 dapat dilihat dalam Tabel V.37. Dalam hubungannya dengan pembangunan perkotaan, kota-kota dikelompokkan berdasarkanjumlah penduduk yaitu kota megapolitan (lebih dari 5 juta jiwa), kota metropolitan atau kola raya (lebih dari 1 juta jiwa sampai dengan 5 juta jiwa), kota besar (lebih dari 500 ribu jiwa sampai dengan 1 juta jiwa), kota sedang (lebih dari 100 ribu jiwa sampai dengan 500 ribu jiwa), dan kota kecil (lebih dari 20 ribu jiwa sampai dengan 100 ribu jiwa). Selama peri ode 1994/1995 -- 1997/1998, pembiayaan pembangunan perkotaan untuk kelompok kota metropolitan (termasuk kota megapolitan) dan kota besar meneapai Rp3.100,0 miliar dan kelompok kota seuang dan kecil Rp3.3.49,0 miliar. Untuk kelompok kota metropolitan dan kota besar selama periode tersebut, sumber pembiayaan terbesar berasal Dari SLA, DIP- BLN, dan DIP rupiah murni dengan persentase masing-masing 17,32 persen, 8,16 persen, dan 4,41 persen. Sementara itu, dana dari pinjaman DN memberikan kontribusi yang paling kecil, yaitu 1,61 persen. Departemen Keuangan Republik Indonesia 427 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel V. 37 PEMBIA YAAN PEMBANGUNAN PERKOTAAN MENURUT SUMBER DANA SELAMA REPELITA V DAN PERIODE 1994/1995 -- 1997/1998 r Repelita V No. Repelita VI Total Sumber Dana 1994/1995 1995/1996 1996/1997 Kenaikanl 1997/1998 Total Penuronan 1996197- Rp miliar (%) Rp miliar Rp miliar (%) (I) (2) 1.DIP (Rupiah Murni) (3) (4) 1.287,3 (5) 30,95 (6) 114,1 Rp miliar (%) (7) 8,39 (8) (9) 1997198 Rp miliar (%) (10) 291,3 17,85 320,5 19,52 (1 I) 88,4 (%) (%) (12) (13) 4,87 Rp miliar (%) (14) (15) -72,4 814,3 12,63 2.DIP - BLN 749,0 .18,01 291,6 21,43 321,7 19,71 294,0 17,91 337,0 18,58 14,6 1.244,3 19,29 3.SLA 807,0 19,40 444,4 32,66 376,5 23,07 415,8 25,33 222,8 12,28 -46,4 1.459,5 22,63 4.SPABP 175,4 4,22 108,7 7,99 91,9 5,63 193,8 11,80 373,8 20,60 92,9 768,2 11,91 5.Pinjaman DN 193,2 4,65 98,2 7,22 55,7 3.41 18,7 1,14 -99,5 172,7 2,68 6.Inpres 396,9 9,54 62,3 4,58 322,2 19,74 92,2 5,62 464,4 25,60 403,7 941,1 14,59 7.APBD I 327,4 7,87 73,65,41 18,4 1,13 66,3 4,04 80,04,41 20,7 238,3 3,70 8.APBD II 148,2 3,56 73,85,42 86,6 5,31 100,0 6,09 136,37,51 36,3 396,7 6,15 9.BUMD') 74,9 1,80 93,86,09 68,0 4,17 140,5 8,56 111,66,14 -20,6 413,9 6,42 10,5 6.449,0 100,00 TotaIlnvestasi 4.159,3 100,00 1.360,5 100,00 1.632,3 100,00 1.641,8 100,00 0,1 om 1.814,4 100,00 Keterangan : ') Termasuk sektor swastadan\IIaSYarakat. Departemen Keuangan Republik Indonesia 428 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Dalam tahun anggaran 1997/1998, jumlah dana yang dikeluarkan untuk kelompok kota metropolitan dan kota besar meneapai Rp637,9 miliar dan untuk kelompok kota sedang dan kota kecil meneapai Rp1.176,5 miliar atau masing-masing 35,16 persen dan 64,84 persen dari total investasi Rp1.814,4 miliar. Jika dibandingkan dengan dana pembiayaan pembangunan perkotaan tahun anggaran 1996/1997, kelompok kota metropolitan dan kota besar mengalami penurunan 20,3 persen, yaitu dari Rp800,1 miliar dalam tahun 1996/1997 menjadi Rp637,9 miliar, seuangkan untuk kelompok kota seuang dan kota kecil terjadi peningkatan 39,8 persen, yaitu dari Rp841,7 miliar dalam tahun 1996/1997 menjadi Rp1.176,5 miliar. Sumber pembiayaan terbesar untuk kelompok kota metropolitan dan kota besar dalam tahun anggaran 1997/1998 berasal Dari SLA, yaitu Rp 133,7 miliar dan yang terkecil berasal dari pinjaman DN, yaitu Rp0,1 miliar. Jika dilihat Dari persentase kenaikan dana dalam tahun anggaran 1997/1998 dibandingkan tahun anggaran 1996/1997, kenaikan yang terbesar terjadi pada kelompok kota metropolitan dan kota besar berasal Dari Inpres dan DIPBLN masing-masing 105,1 persen dan 51,3 persen, seuangkan dana Dari SLA dart DIP - rupiah mumi mengalarni penurunan terbesar masing-masing 53,7 persen dan 37,0 persen dari tahun anggaran 1996/1997. Selama periode 1994/1995 -- 1997/1998, total dana pembiayaan pembangunan perkotaan untuk kelompok kota seuang dan kota kecil berjumlah Rp3.349,0 miliar. Sumber dana terbesar berasal dari Inpres dan DIP- BLN yang masing-masing memberikan kontribusi sebesar 11,70 persen dan 11,13 persen, seuangkan kontribusi yang terkecil berasal dari pinjaman DN dan APBD tingkat I masing-masing 1,07 persen dan 1,76 persen. Untuk kelompok kota seuang dan kecil dalam tahun anggaran 1997/1998, kontribusi terbesarpembiayaan pembangunan perkotaan berasal dari Inpres, SPABP, dan DIP - BLN, masing-masing Rp371,5 miliar, Rp299,0 miliar, dan Rp235,9 miliar. Di antara berbagai sumber dana, persentase kenaikan terbesar yang terjadi dalam tahun anggaran 1997/1998 dibandingkan tahun anggaran 1996/1997 berasal dari Inpres dan SPABPmasing-masing 692,1 persen dan 266,0 persen, sementara dana dari pinjaman DN dan DIP-rupiah murni mengalami penurunan terbesar masing-masing 100,0 persen dan 91,5 persen. Perkembangan pembiayaan perkotaan per kelompok/kategori kota menurut sumber dana selama Repelita V dan periode 1994/1995 -1997/1998 dapat dilihat dalam Tabel V.38 dan Grafik V.S. yang menggambarkan proporsi pembiayaan pembangunan perkotaan per kelompok kola menurut sumber dana selama periode Departemen Keuangan Republik Indonesia 429 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 1994/1995 -- 1997/1998. Dalam grafik tersebut terlihat bahwa untuk semua kelompok kota, persentase sumber dana yang terbesar dalam pembiayaan pembangunan perkotaan adalah SLA 22,63 persen, sedangkan yang terkecil Departemen Keuangan Republik Indonesia 430 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel V. 38 PEMBIA YAAN PEMBANGUNAN PERKOTAAN PER KELOMPOKIKATEGORI KOTA DAN SUMBER DANA SELAMA REPELITA V DAN PERIODE 1994/1995 --1997/1998 Repelita V Kelompok! Total Somber Dana No. Repelita VI 1994/1995 1995/1996 1996/1997 Kenaikanl 1997/1998 Total Pennrunan kategori kola 1996/971997/98 Rp miliar (1) (2) Metropolitan dan besar (3)(4) (%) Rpmiliar (%) Rp miliar (%) Rp miliar (5) (6) (7) (8) (9) (10) L DIP (Rupiah Murni) 729,717,54 2. DIP - BLN 478,311,50 122,6 9,01 3. SLA 461,111,09 174,5 27,53 17,30,42 34,9 2,57 60,3 3,69 5. Pinjaman DN 102,92.47 65,2 4,79 38,6 6. Inpres 205,44,94 22,4 1,65 25,7 4. SPABP 40,8 ),00 60,4 3,70 (%) Rp miliar (%) (%) (11) (13) (14) (12) Rp miliar (15) (%) (16) 112,2 6,83 70,7 3,90 -37,0 284,1 4,41 235,8 14,45 66,8 4,07 101,1 5,57 51,3 526,3 8,16 320,0 19,60 288,8 17,59 133,7 7,37 -53,7 U17,O 112,1 6,83 74,8 4,12 -33,3 '82,1 2,36 0,0 0,00 0,1 0,01 _J3,9 1,61 1,57 45,3 2,76 92,9 5,12 105,1 .186,3 2,89 17,3 2 4,37 7 APBDI 213,55,13 54,1 3,98 12,7 0,78 25,9 1,58 32,0 1,76 23,6 124,7 1,93 8 APBDll 72,91,75 30,3 2,23 63,6 3,90 48,7 2,97 54,5 3,00 11,9 197,1 3,06 9. BUMD" 36,80,88 45,2 3,32 54,9 3,36 100,3 6,11 78,1 4,30 -22,1 278,5 4,32 2.317,9 55,73 790,0 58,07 872,0 53,42 800,1 48,73 -20,3 3.100,0 557,6 13,41 71.3 5,39 230,9 14,15 208,3 12,69 --. Sub Total 637,9 35,16 48,0 7 --.-------.-.--. Seuang dan ked I I . DIP (Rupiah Murm) 0,98 -91.5 235,9 13,00 3,8 530.2 8,22 270.7 6,51 169.0 12,42 85.9 5.26 3. SLA 345,9 8.32 69,9 5,14 56,5 3,46 27,0 7,74 4. SPABP 158,1 3.80 73,8 5,42 31,6 1,94 81,7 4,98 90,3 2,17 33,0 2,43 17,1 1.05 18,7 1,14 6 Inpres 191.5 4,60 39,9 2,93 296,5 18,16 46,9 2,86 7. APBDI 113,9 2,74 19,5 1,43 5,7 0,35 40,4 2,46 48,0 2,65 18,8 113,6 1,76 8. APBDll 75,3 1,81 43,5 3,20 23,0 IAI 51,3 3,12 81,8 4,51 59,5 199,6 3,10 38,1 0,92 48,6 3,57 13,1 0,80 40,2 2,45 33,5 1,85 -16,7 135,4 2,10 Sub Total 1.841,4 44,27 570,5 41,93 Totallnvestasi 4.159,3 100,00 9. BUMD', --.- 89,1 718.0 11,1 2. DIP - BLN 5. PinJaman DN 227,2 13,84 17.7 3 4,91 -29,8 342,5 5,31 299,0 16,48 266,0 486,1 7,54 -100,0 68,8 1,07 0,0 0,00 371,5 20,48 692,1 754,8 11,7 0 ,.--- 1.360,5 100,0 0 760,3 46,58 841,7 51,27 1.176,5 1.632,3 100,00 1.641,8 100,0 1.814,4 64,84 100,0 39,8 3.349,0 10,5 6,449,0 Keterangan. " Termasuk sektor swasta dan masyarakat Departemen Keuangan Republik Indonesia 431 51,9 3 100, 00 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Departemen Keuangan Republik Indonesia 432 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 adalah pinjaman DN 2,68 persen. Untuk kelompok kota metropolitan dan besar, SLA memberikan kontribusi terbesar 36,03 persen dan yang terkecil adalah pinjaman DN 3,35 persen. Sementara itu, untuk kelompok kota seuang dan kecil, kontribusi terbesar pembiayaan perkotaan berasal Dari Inpres 22,54 persen, dan yang terkecil adalah pinjaman DN 2,05 persen dari keseluruhan dana, 5.5.3 Perkembangan Pembiayaan Pembangunan Perkotaan Menurut Komponen Prasarana Komponen prasarana perkotaan yang pembangunannya dibiayai Dari berbagai sumber dana, adalah prasarana air bersih, pengendalian banjir, jalan kota, air limbah, drainase, persampahan, perbaikan kampung, perbaikan lingkungan pasar, dan komponen penunjang yang meliputi bantuan teknis, pembinaan, dan supervisi teknis, Selama Repelita V, keseluruhan dana pembiayaan pembangunan perkotaan menurut komponen prasarana adalah Rp4.159,3 miliar. Dari jurnlah tersebut, yang terbesar adalah untuk membiayai air bersih dan jalan kota, masingmasing Rp 1,806,2 miliar dan Rp975,7 miliar, seuangkan yang terkecil adalah untuk komponen perbaikan lingkungan pasar yaitu Rp41,3 miliar. Pembiayaan pembangunan perkotaan kumulatif selama periode 1994/1995 -1997/1998 mencapai Rp6.449,0 miliar. Komponen prasarana yang memperoleh alokasi terbesar adalah air bersih, jalan kota, dan drainase , yaitu masing-masing Rp2.843,0 miliar, Rp1.295,6 miliar, dan Rp780,7 miliar atau masing-masing 44,08 persen, 20,09 persen, dan 12,11 persen Dari keseluruhan dana, seuangkan pembiayaan pengendalian banjir memperoleh alokasi terkecil, yaitu Rp9,6 miliar atau 0,15 persen Dari keseluruhan dana, Dalam tahun anggaran 1997/1998 keseluruhan dana pembiayaan pembangunan perkotaan menurut komponen prasarana berjumlah Rp1.814,4 miliar. Dari jumlah tersebut sebagian besar dialokasikan untuk air bersih, jalan kota, dan drainase, yakni masing-masing Rp546,2 miliar Rp494,7 miliar, dan Rp285, 1 miliar. Komponen prasarana yang memperoleh alokasi terkecil adalah pengendalian banjir, yaitu Rp6,6 m.iliar. Komponen prasarana yangjumlah alokasinya mengalami peningkatan cukup besar dalam tahun anggaran 1997/1998 dibandingkan dengan tahun anggaran 1996/1997 adalah pengendalian banjir, perbaikan lingkungan pasar, dan air limbah, masing-masing sebesar 2.100,0 persen, 504,7 persen dan 251,0 persen, seuangkan yang mengalami penurunan adalah persampahan, air bersih, dan komponen penunjang, masing-masing sebesar 45,1 persen, 27,9 persen, dan 3,8 persen. Departemen Keuangan Republik Indonesia 433 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Perkembangan pembiayaan pembangunan perkotaan menu rut komponen prasarana selama Repelita V dan periode 1994/1995 -- 1997/1998 dapat dilihat dalam Tabel V.39. Selama periode 1994/1995 --1997/1998, dana yang digunakan kelompok kota metropolitan dan besar mencapai Rp3.100,0 miliar. Komponen prasarana yang memperoleh alokasi terbesar adalah air bersih danjalan kota, masing-masing Rpl.320,9 miliar dan Rp622,3 miliar atau 20,48 persen dan 9,65 persen, seuangkan alokasi pembiayaan terkecil adalah untuk komponen pengendalian banjir Rp9,6 miliar atau 0,15 persen dari keseluruhan dana pembiayaan pembangunan perkotaan. Dalam tahun anggaran 1997/1998 untukkelompokkotametropolitan dan besar, komponen jalan kota dan air bersih memperoleh alokasi dana terbesar, masing-masing Rp185,3 miliar dan Rp 163,8 miliar, seuangkan alokasi dana terkecil adalah untuk komponen pengendalian banjir yaitu Departemen Keuangan Republik Indonesia 434 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel V. 39 PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN PERKOTAAN PER KOMPONEN PRASARANA SELAMA REPELITA V DAN PERIODE 1994/1995 1997/1998 Repelita V No. Komponen Prasarana Repelita VI Total 199411995 1995/1996 1996/1997 Kenaikanl 1997/1998 Total Pmunm8D 1996197- Rp Rp miliar (%) (I) (2) (3) Rp miliar (4) (5) 1.806,2 43,43 (%) (6) (7) (R) miliar (9) (10) (II) Pengendalian Banjir 289,3 3. Jalan KOla 975,7 23,46 4. Air Umbah 154,2 3,71 86,5 6,36 5. Drainase 250,7 6,03 120,0 8,82 186,4 11,42 189,2 11,52 6. Persampahan 159,3 J,83 101,6 7,47 114,1 6,99 179,7 10,95 268,26,45 40,3 2.96 118,8 7,28 58,8 41,30,99 2,8 0,21 5,9 0,36 214,45,15 32,6 2,40 125,7 7,70 7.Perbaikan Kampung 8.Perbaikan Lingkungan Pasar 9.Penunjang Tota1lnvatasl 4.159,3 100,0 0 258,2 18,98 1,2 0,07 209,6 12,84 47,9 2,93 757,1 46,11 0,3 2,63 (12) (13) 546,2 30,10 6,6 0,36 494,7 27,27 151,3 miliar (14) (%) (15) -27,9 2.843,0 44 2.100,0 9,6 0 48,S 1.295,6 20 8,34 251,0 285,1 15,71 50,7 328,8 5 780,7 12 98,6 5,43 -45,1 494,0 7 3,58 111,2 6,13 89,1 329,1 5 8,5 0,52 51,4 2,83 504,7 68,6 1 72,0 4,39 69,3 3,82 -3,8 299,6 4 1.360,5100,00 1.632,3 100,00 1.641,8 Departemen Keuangan Republik Indonesia 0,02 333,1 20,29 43,1 Rp (lk) 2. 0.11 1997198 (%) ! Rp miliar (%) Air Bersih 1,5 822,7 50,40 Rp I. 6,96 717,0 52.70 miliar (%) 100,0 0 1.814,4 100,0 0 10,5 6.449,0 100 435 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Rp6,6 miliar. Alokasi pembiayaan untuk kelompok kota metropolitan dan besar dalam tahun anggaran 1997/1998 yang mengalami peningkatan besar dibandingkan tahun anggaran 1996/1997 adalah komponen air limbah, pengendalian banjir, dan perbaikan lingkungan pasar, yakni masingmasing sebesar 2.112,2 persen, 2.100,0 persen, dan 1.183,3 persen. Komponen prasaranayang mengalami penurunan dalam tahun anggaran 1997/1998 dibandingkan tahun anggaran 1996/1997 adalah persampahan, air bersih, dan komponen penunjang, masing-masing sebesar 69,4 persen, 55,8 persen, dan 51,9 persen. Selama periode 1994/1995 -- 1997/1998 jumlah dana pembiayaan prasarana perkotaan yang telah dikeluarkan untuk kelompok kota seuang dan kecil adalah Rp3.349,0 miliar. Komponen air bersih dan jalan kota memperoleh bagian terbesar yaitu Rp 1.522,0 miliar dan Rp673,3 miliar, seuangkan komponen perbaikan lingkungan pasar memperoleh bagian terkecil, yaitu Rp 8, 7 miliar dari keseluruhan dana. Dalam tahun anggaran 1997/1998 untuk kelompok kota seuang dan kecil, komponen air bersih dan jalan kota memperoleh alokasi dana terbesar masing-masing Rp382,3 miliar dan Rp309,4 miliar, seuangkan alokasi dana terkecil adalah untuk perbaikan lingkungan pasar Rp36,0 miliar. Komponen-komponen prasarana yang mengalami peningkatan cukup besar dalam tahun anggaran 1997/1998 dibandingkan dengan tahun anggaran 1996/1997 untuk kelompok kota sedang dan kecil adalah perbaikan lingkungan pasar, drainase, danjalan kota, masing-masing sebesar 393,2 persen, 99,8 persen, dan 71,8 persen, sedangkan yang mengalami penurunan adalah pembiayaan air bersih sebesar 1,1 persen. Pembiayaan pembangunan perkotaan menurut komponen prasarana per kelompok/kategori kota selama Repelita V dan periode 1994/1995 -- 1997/1998 dapat dilihat dalam Tabel V .40. Proporsi penggunaan dana untuk komponen prasarana dalam pembiayaan pembangunan perkotaan untuk semua kelompok kota, kelompok kota metropolitan dan besar, dan kelompok kota sedang dan kecil selama periode 1994/1995 -- 1997/1998 dapat dilihat dalam Grafik V.6. Dalam grafik tersebut terlihat bahwa untuk total semua kelompok kota, kelompok kota metropolitan dan besar, serta kelompok kota seuang dan kecil, komponen air bersih memperoleh alokasi terbesar masing-masing 44,08 persen, 42,61 persen, dan 45,45 persen. Sementara itu,komponen pengendalian banjir memperoleh alokasi dana terkecil untuk total semua kelompok kota dan kelompok kota metropolitan dan besar masing-masing 0,15 persen dan 0,31 persen, seuangkan untuk kelompok Departemen Keuangan Republik Indonesia 436 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 kota seuang dan kecil, komponen perbaikan lingkungan pasar memperoleh alokasi dana terkecil, yaitu 1,45 persen. 5.6 Badan Usaha Milik Daerah Tujuan pembentukan badan usaha milik daerah (BUMD) adalah untuk mengembangkan perekonomian dan meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Biuang usaha BUMD mencakup berbagai aspek pelayanan dengan mengutamakan pemberian jasa kepada masyarakat, menyelenggarakan kemanfaatan umum, dan memberikan sumbangan bagi ekonomi daerah yang keseluruhannya harus dilaksanakan berdasarkan azas-azas ekonomi perusahaan yang baik. Dilihat Dari biuang usahanya, BUMD meliputi berbagai sektor antara lain sektor penyediaan air bersih, sektor keuangan dan perbankan, dan sektor lainnya. B UMD yang bergerak di sektor penyediaan air bersih adalah perusahaan daerah air minum (PDAM), di sektor keuangan dan perbankan adalah bank pembangunan daerah (BPD) dan bank perkreditan rakyat (BPR), seuangkan di sektor lainnya antara lain adalah perusahaan daerah (PD) perparkiran, PD angkutan, PD pasar, dan PD pemotongan hewan. Dengan meningkatnya perkembangan ekonomi di daerah,jumlah BUMD yang bergerak di berbagai biuang usaha juga bertambah. Jumlah BUMD sampai dengan akhir tahun anggaran 1997/1998 adalah 1.184 unit yang terdiri Dari 303 unit PDAM, 27 unit BPD, dan 854 unit perusahaan daerah lainnya. Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk di daerah perkotaan dan daerah perdesaan, malca kebutuhan air bersih juga meningkat sehingga diperlukan jangkauan pelayanan yang lebih luas bagi masyarakat. Untuk inemperluas jangkauan pelayanan tersebut pemerintah telah mengupayakan penambahan kapositas air bersih sehingga pemerataan pelayanan air bersih untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan lebih cepat terwujud. Jumlah PDAM sampai dengan tahun anggaran 1997/1998 adalah sebanyak 303 unit yang tersebar di 27 propinsi sebagaimana terlihat pada Tabel V.4I. Departemen Keuangan Republik Indonesia 437 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel V. 40 PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN PERKOTAAN PER KELOMPOKlKATEGORIKOTA DAN KOMPONEN PRASARANA SELAMA REPELIT A V DAN PERIODE 199411995 .. 1997/1998 Repelil<! V Kelompokl Total No. Komponen Prasarana Repelita VI 1994/1995 1995/1996 199611997 Keoaikanl 199711998 Total Penumoan kategori kota 19961971997198 Rp miliar (%) (I) (2) (3) Melropolitan 1. Air Bersih <Ian besar (4) Rp miliar (%) (5) (6) Rp nriliar (%) (7) (8) Rp miliar (%) (9) (10) (ll) Rp miliar (%) (%) (12) (13) (14) Rp miliar (%) (15) (16) 992.9 23,87 470,4 34.58 316,2 19,37 370,5 22,57 163,8 9,03 -55,8 1.320,9 20,48 2. Pengendalian Banjir 289,3 6,96 1,5 0,11 1,2 0,07 0,3 0,02 6,6 0,36 2.100,0 9,6 0,15 3. Jatan Kola 478,0 11,49 116,8 8,59 167,2 10,24 153,0 9.32 185,3 10,21 21,t 622,3 9,65 4. Air Limbah 126,0 3,03 48,7 3,58 21,7 1.33 4,1 0,25 90,7 5,00 2.112,2 165,2 2,56 5. Drainase 112,2 2,70 54,2 3,98 160.4 9,83 82,2 5,01 71,3 3,93 -13,3 368,1 5,71 60,7 1,46 61,6 4,53 85,8 5,26 128,9 7,85 39,S 2,18 -69,4 315,8 4.90 136,1 3,27 17,1 1,26 72,0 4,41 16.7 1,02 44.5 2,45 166,5 150,3 2,33 10,0 0,24 0,3 0,02 3,0 0.18 1,2 0,07 15,4 0,85 1.183,3 19,9 0,31 6. Persampahan 7. Petbaikan Kampung 8. Perbaikan Lingkungan Pasar 9. Pennnjang 112,7 2,71 19,4 1,43 44,S 2,73 43,2 2,63 20,8 1,15 -51,9 127,9 1,98 Sub Total 2.317,9 55,73 790,0 58,07 872,0 53,42 800,1 48,73 637,9 35,16 -20,3 3.100,0 48,07 SeelIng 1. AirBersih 813,3 19,55 246,6 18,13 506.5 31,03 386,6 23,55 382.3 21,07 -1,1 1.522,0 23.60 dan kecH 2. Jatan Kola 497,7 11,97 141,4 10,39 42,4 2,60 180,1 10,97 309,4 17,os 71,8 673,3 10,44 28,2 0,68 37,8 2,78 26,2 1,61 39,0 2,38 60,S 3,33 55,1 163,5 2,54 138,5 3,33 65,8 4,84 26,0 1,59 107,0 6,52 213,8 11,78 99,8 412,6 6,40 3. Air Limbah 4. Drainase 5. Persampahan 6. Petbaikan Kampung 7. Perbaikan Lingkungan Pasar 98.6 2,37 40,0 2,94 28,3 1,73 50,8 3,09 59,3 3,27 16,7 178,4 2,77 132,1 3,18 23,2 1,71 46,8 2,87 42,1 2,56 66,7 3.68 58,4 178,8 2,77 31,3 0,75 2,5 0,18 2,9 0,18 7,3 0,44 36,0 1,98 393,2 48,7 0,76 8. Penunjang 101,7 2,45 13,2 0,97 81,2 4,97 28,8 1,75 48,5 2,67 68,4 171,7 2,66 Sub Total 1.841,4 44,27 570,5 41'3 760,3 46,58 841,7 51,27 1.176,5 64,84 39,8 3.349,0 51,93 Total tnwstasi 4.159,3 100,00 1.814,4 100,00 10,5 6.449,0 100,00 1.360,5 100,00 Departemen Keuangan Republik Indonesia 1.632,3 100,00 1,641,8 100,00 438 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Departemen Keuangan Republik Indonesia 439 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 BPD adalah perusahaan daerah yang cukup renting artinya untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di daerah. Dengan semakin pesatnyakegiatan pembangunan daerah maka kebutuhan dana yang diperlukan semakin meningkat pula. Untuk itu, BPD telah berupaya agar dapat menghimpun dana yang sebanyak-banyaknya baik dari masyarakat maupun pinjaman yang diterima dari pihak lain. Perkembangan dana BPD seluruh Indonesia menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Dalam tahun 1993 jumlah dana BPD sebanyak Rp6.095,2 miliar dan dalam tahun 1997 meningkat menjadi RpI4.074,7 miliar atau mengalarni kenaikan dengan tingkat pertumbuhan rata-rata per tahun 23,3 persen. Dana BPD terdiri dari modal/cadangan dan laba, simpanan berjangka, tabungan, giro! retelling koran dan pinjaman yang diterima. dari berbagai dana masyarakat yang berhasil dihimpun BPD yang menunjukkan perkembaikgan yang cukup penting adalah dana yang bersumber dari simpanan berjangka yang mengalarni laju pertumbuhan rata-rata per tahun tertinggi, yaitu 19,7 persen, kemudian diikuti oleh tabungan masyarakat 17,1 persen serta giro!rekening koran 13,1 persen. Disamping menerima dana Dari pihak ketiga, BPD juga memperoleh pinjaman dari pihak lain yang jumlahnya meningkat setiap tahun. Pada akhir tahun 1997 dana pihak ketiga berjumlah Rp4.050,1 miliar, yang berarti mengalami kenaikan Rp3.421,3 miliar hila dibandingkan dengan tahun 1993 yang berjumlah Rp628,8 miliar atau meningkat dengan laju pertumbuhan rata-rata per tahun 59,3 persen. Sejalan dengan itu, modalIcauangan dan laba BPD juga meningkat, apabila dalam tahun 1993 modal cadangan dan laba yang diperoleh mencapai Rp565,9 juta. dalam tahun 1997 menjadi Rp1.201,9 miliar yang berarti selama periode tersebut meningkat denganlaju pertmnbuban rata-rata per tahun 11.7 persen. Perkembangan dana BPD secara 1engkap dapat dilihat pada Tabel V A2. Departemen Keuangan Republik Indonesia 440 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel V. 41 UNIT PELAKSANA PELA Y ANAN AIR BERSIH PER PROPINSI SELURUH INDONESIA 1997/1998 No. Propinsi (1) 1997/1998 (2) (3) 1.DI Aceh 10 2.Sumatera Utara 17 3.Sumatera Barat 14 4.Riau 8 5.Jambi 6 6.Sumatera Selatan 10 7.Bengkulu 4 8.Lampung 5 9.OKI Jakarta 1 10.Jawa Barat 25 11.Jawa Tengah 34 12.DI Yogyakarta 13.Jawa Timur 6 37 14.Kalimantan Barat 8 15.Kalimantan Tengah 6 16.Kalimantan Selatan 10 17.Kalimantan Timur 7 18.Sulawesi Utara 7 19.Sulawesi Tengah 5 20.Sulawesi Selatan 23 21.Sulawesi Tenggara 22.Bali 5 10 23.Nusa Tenggara Barat 6 24.Nusa Tenggara Timur 12 25.Maluku 5 26.Irian Jaya 9 27.Timor Timur Jurnlah Departemen Keuangan Republik Indonesia 13 303 441 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel V. 42 PERKEMBANGAN DANA BANK PEMBANGUNAN DAERAH DI INDONESIA PER 31 DESEMBER 1993 -1997 (dalam juta rupiah) Pertumbu No. Dana 1993 1994 1995 1996 1997 han Rata-rata (%) (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) . 1. 2. 3. Modal/cauangan dan laba Simpanan berjangka 5. 620.880 766.543 1.016.925 1.201.924 1.170.007 1.158.770 1.679.964 2.053.975 2.404.617 20,7 19,7 Tabungan (Tabanasrraska dan Tabungan Serbaguna) 4. 565.959 Giro/Reken ing koran . Pinjaman yang diterima lumlah 1.301.607 1.689.213 1.851.501 2.311.817 2.448.426 17,1 2.428.797 3.483.061 4.526.489 4.447.033 3.969.612 13,1 628.856 551.365 741.137 1.241.537 4.050.145 6.095.226 7.503.289 9.565.634 Departemen Keuangan Republik Indonesia 11.071.28 7 14.074.724 59,3 23,3 442 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 5.7 Produk Domestik Regional Bruto Produk domestik regional bruto (PDRB) adalah seluruh nilai tambah barang danjasa yang dihasilkan oleh sektor-sektor atau lapangan usaha dalam perekonomian di suatu daerah tertentu dan pada periode waktu tertentu, biasanya satu tahun. PDRB suatu daerah menunjukkan tingkat aktivitas yang dilakukan oleh penduduk yang secara tidak langsung akan mempengaruhi pendapatan daerah sendiri(PDS). PDRB jugadapat digunakan sebagai alatuntuk mengukur tingkatkesejahteraan, struktur dan potensi perekonomian masyarakat, serta dapat digunakan sebagai pedoman dalam memobilisasi sumber daya. Perhitungan PDRB dapat dilakukan berdasarkan harga berlaku dan harga konstan. PDRB berdasarkan harga berlaku adalah seluruh nilai tambah barang dan jasa akhir yang dihasilkan unitunit produksi di suatu daerah dalam peri ode tertentu yang dinilai dengan harga pada tahun yang bersangkutan, seuangkan PDRB menurut harga konstan menggambarkan perubahan volume produksi. Pengaruh perubahan harga di sini telah dihilangkan dengan mendasarkan harga pada suatu tahun dasar tertentu. Perhitungan PDRB juga dibedakan antara PDRB dengan migas dan tanpa migas. Pembedaan ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa pada beberapa propinsi, kontribusi minyak dan gas bumi terhadap PDRB cukup besar sementara pada propinsi yang lain kontribusinya relatif kecil, bahkan acta yang tidak memberi kontribusi sama sekali. Perkembangan PDRB Dari 27 propinsi tahun 1993 - 1997 berdasarkan harga berlaku dan harga konstan 1993 dengan dan tanpa migas dapat dilihat dalam Tabel V.43 dan Tabel V.44. Dari tampilan tersebut dapat dikemukakan bahwa pada periode 1993 - 1997 (sampai sebelum krisis ekonomi) pembangunan di daerah berhasil meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dalam tahun 1993 berdasarkan harga berlaku nilai PDRB tanpa migas adalah Rp291.541,5 miliar, meningkat menjadi Rp536.447,1 miliar dalam tahun 1997 atau mengalami pertumbuhan rata-rata 16,5 persen pertahun. Berdasarkan harga konstan PDRB tanpa migas tahun 1997 meningkat menjadi Rp391.497,5 miliar Dari Rp291.541,5 miliardalam tahun 1993, atau mengalami laju pertumbuhan rata-rata 7,7 persen. PDRB jugadapatdigunakan untuk melihat strukturperekonomian suatu daerah. Tabel V.45 dan Grafik V. 7 menyajikan PDRB tanpa migas atas dasar harga berlaku dan harga konstan menurut lapangan usaha tahun 1993 dan 1997. Dari tabel tersebut terlihat bahwa sektorDepartemen Keuangan Republik Indonesia 443 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 sektor yang dominan daIamPDRB tahun 1993 adalah sektor industri pengolahan, sektorpertanian, dan sektorperdagangan, restoran dan hotel, masing-masing adalah 22,2 persen, 19,4 persen, dan 19,4 persen. Sektor-sektor ini tetap mendominasi PDRB tahun 1997 dengan urutan yang sedikit berbeda, yaitu sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, restoran dan hotel, dan sektor pertanian, masing-masing kontribusinya adalah 25,2 perse_, 19,6 persen, dan 17,5 persen. Persentase ini tidak jauh berbeda jikaPDRB dilihat berdasarkan hargakonstan. Untuk sektor-sektoryang lain walaupun kontribusinya tidak sebaik ketiga sektor tersebut, namun secara nominal nilainya tetap meningkat cukup berarti. PDRB perkapita adaIah rata-rata pendapatan yang diterima setiap penduduk selama satu tahun tertentu di suatu daerah. Nilai ini dapat dipanuang sebagai indikator tingkat kesejahteraan yang dicapai oleh suatu masyarakat. Semakin tinggi PDRB perkapita suatu daerah, maka semakin Departemen Keuangan Republik Indonesia 444 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel V. 43 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO TANPA MIGAS ATAS DASAR HARGA BERLAKU DAN HARGA KONSTAN PER PROPINSI 1993 - 1997 (dalam miliar rupiah) Harga berlaku No. Harga konstau 1993 Prop.ns! (I) Pertumbuhan (2) 1DI Aceh 1993 1994 1995 (3) (4) (5) 4.828,5 2Sumatera Utara 5.787,4 7.164,0 17.733,0 21.287,2 Pertumbuhan 1996" 1997'" rata-rata (%) 1993 1994 1995 (6) (7) (8) (9) (10) (II) 8.233,0 9.287,0 17,77 4.828,5 5.294,9 5.756,9 1996" 1997'" (12) (13) rata-rata(%) 6.199,6 6.529,67,84 (14) 24.102,7 27.711,7 32.324,5 16,19 17.733,0 19.525,0 3Sumatera Barat 6.027,1 7.217,9 8.267,1 9.514,8 10.760,1 15,59 6.027,1 6.475,9 7.054,2 7.609,5 7.998,77,33 4Riau 6.029,7 7.051,9 8.407,8 9.701,5 10.831,9 15,77 6.029,7 6.589,0 7.211,6 7.852,5 8.389,58,61 5Jambi 2.397,9 2.836,9 3.37'.l,7 4.442,3 16,67 2.397,9 2.590,9 2.816,5 3.048,5 3.152,87,08 6Sumatera Se1atan 8.855,2 10.320,8 12.440,2 14.553,0 17.127,6 17,93 8.855,2 9.687,9 7Bengkulu 1.391,8 1.706,0 1.987,6 2.279,3 2.459,3 15,29 1.391,8 1.487,1 1.597,2 1.693,6 1.754,45,96 8Lampung 5.410,5 6.533,2 8.119,2 9.239,2 10.553,0 18,18 5.410,5 5.800,7 6.404,8 6.914,2 7.199,37,40 9OK! Jakarta 3.908,9 21.305,2 23.273,8 24.662,38,60 10.631,8 11.566,3 12.157,18,24 51.106,5 58.785,3 70.045,3 82.587,3 91.375,1 15,63 51.106,5 55.505,3 60.648,7 66.164,8 69.479,47,98 10Jawa Barat 50.784,5 62.008,2 73.131,3 85.186,8 99.189,0 18,22 50.784,5 54.937,1 59.754,1 64.736,9 67.606,07,41 11Jawa Tengah 31.927,3 37.289,3 44.569,0 50.441,8 57.851,8 16,02 31.927,3 34.335,4 37.022,9 39.961,2 41.217,46,59 14,85 4.058,0 4.387,1 12DI Yogyakarta 4.058,0 13Jawa Timur 4.882,3 5.618,6 49.141,8 57.132,6 6.399,7 7.060,1 4.741,9 5.111,6 5.291,56,86 65.861,8 76.517,2 88.119,9 15,72 49.141,8 52.713,2 14Kalimantan Barat 5.148,0 6.050,4 7.138,9 8.454,5 10.258,4 18,81 5.148,0 5.536,1 6.062,2 6.714,1 7.233,68,88 15Kalimantan Tengah 3.066,9 3.657,5 4.351,7 5.205,7 6.008,1 18,31 3.066,9 3.309,9 3.608,7 4.036,2 4.313,58,90 16Kalimantan Selatan 4.530,0 5.265,6 6.177,2 7.222,1 7.970,9 15,17 4.530,0 4.935,8 5.386,9 5.921,3 6.240,78,34 17Kalimantan Timur 7.939,7 9.323,0 11.132,7 12.445,2 13.862,8 14,95 7.939,7 8.669,3 9.705,4 10.720,2 11.372,49,40 18Sulawesi Utara 2.806,9 3.190,7 3.793,2 4.790,7 5.614,1 18,92 2.806,9 3.018,2 3.271,9 3.574,7 3.767,07,63 19Sulawesi Tengah 1.755,5 2.131,4 2.512,2 3.023,9 3.355,0 17,58 1.755,5 1.888,9 2.042,5 2.212,6 2.316,97,18 20Sulawesi Se1atan 7.511,8 8.737,9 10.377,3 21Sulawesi Tenggara 1.289,2 1.510,3 1.819,2 22Bali 5.690,2 6.490,9 7.409,9 8.621,5 23Nusa Tenggara Barat 2.550,6 2.960,6 3.466,0 3.986,5 24Nusa Tenggara Timur 2.096,8 2.456,4 2.871,3 3.335,1 25Maluku 2.441,2 2.775,4 3.156,5 26Irian Jaya 4.507,6 5.071,4 6.740,1 515,4 603,5 708,4 27Timor-Timur PDRB 11.833,1 13.538,0 57.021,1 61.711,1 64.760,57,14 15,87 7.511,8 8.088,1 8.757,9 9.485,9 9.893,47,13 16,65 1.289,2 1.371,4 1.472,5 1.561,0 1.594,75,46 9.897,4 14,84 5.690,2 6.117,5 6.602,7 7.141,8 7.556,57,35 4.534,1 15,47 2.550,6 2.796,0 2.955,6 3.195,3 3.363,27,16 4.081,1 18,11 2.096,8 2.276,2 2.471,6 2.685,4 2.811,07,60 3.615,8 3.976,9 12,98 2.441,2 2.600,4 2.768,5 2.966,3 3.070,25,90 7.909,1 8.585,3 17,48 4.507,6 4.796,6 5.880,6 6.706,7 7.000,8 11,63 861,7 996,1 17,91 515,4 566,7 620,2 687,2 715,7 8,55 291.541,5 343,064,0 404,747,0 469,681,1 536.447,1 16,47 291.541,5 315.300,6 343.574,3 373.452,0 391.497,5 7,65 2.101,9 2.387,2 Keterangan: ') Angka sementara. ") Angka sangat sementara. Departemen Keuangan Republik Indonesia 445 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel V. 44 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO DENGAN MIGAS ATAS DASAR DARGA BERLAKU DAN DARGA KONSTAN PER PROPINSI 1993 . 1997 (dalam miliar rupiah) Harga berlaku No. Harga konstan Propinsi Pertumbuhan 1993 (1) (2) (3) 1994 (4) 1996" 1997'" rata-rata (%) 1993 1994 1995 (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) . 12,16 10.885,4 11.026,2 11.186,7 11.463,3 11.447,3 18.215,5 19.942,0 21.753,8 23.714,7 24.842,9 1DI Aceh 10.885,4 11.245,0 13.091,2 14.637,0 2Sumatera Utara 18.215,5 21.701,0 24.630,5 3Sumatera Barat 4Riau 5Jambi 28.173,1 32.597,6 15,66 9.514,8 10.760,1 15,59 17.228,5 18.194,6 21.234,7 23.854,8 26.435,0 11,30 2.463,4 6Sumatera Selatan 17.229,1 8.267,1 6.027,1 7.217,9 Pertumbuhan 1995 6.027,1 17 .228,5 6.475,9 17.024,3 2.910,8 3.457,6 4.023,8 4.591,7 16,85 2.463,4 2.664,6 10.736,2 12.062,1 14.51,2 16.986,1 19.945,0 16,75 10.736,2 11.515,3 1996" (12) 7.054,2 rata-rata (%) (13) (14) 1,27 8,07 7.998,7 7,33 18.783,3 19.808,1 20.264,3 4,14 2.890,6 7.609,5 1997'" 3.268,5 7,33 12.515,8 13.521,2 14.072,7 3.145,3 7,00 7Bengkulu 1.391,8 1.706,0 1.987,6 2.279,3 2.459,3 15,29 1.391,8 1.487,1 1.597,2 1.693,6 1.754,4 5,96 8Lampung 5.410,5 6.533,2 8.119,2 9.239,2 10.553,0 18,18 5.410,5 5.800,7 6.404,8 6.914,2 7.199,3 7,40 51.106,5 58.785,3 70.045,3 82.587,3 91.375,1 15,63 51.1 06,5 55.505,3 60.648,7 66.164,8 69.479,4 7,98 10Jawa Barat 9OK1 Jakarta 53.939,7 64.812,5 76.198,2 89.405,2 103.972,4 17,83 53.939,7 57.823,1 62.491,2 68.243,5 71.164,1 7,17 11Jawa Tengah 33.978,9 39.303,6 46.586,0 33.978,9 36.345,2 39.014,0 41.862,2 43.129,8 12DI Yogyakarta 13Jawa Timor 52.505,4 60.296,4 15,42 5.618,6 6.399,7 7.060,1 14,85 49.172,2 57.146,5 65.883,2 4.058,0 4.882,3 4.058,0 5.111,6 5.291,5 57.040,5 61.752,5 64.857,7 6,14 6,86 76.566,6 88.274,6 15,75 5.148,0 6.050,4 7.138,9 8.454,5 10.258,4 18,81 5.148,0 5.536,1 6.062,2 6.714,1 7.233,6 8,88 15Kalimantan Tengah 3.066,9 3.657,5 4.351,7 5.205,7 6.008,1 18,31 3.066,9 3.309,9 3.608,7 4.036,2 4.313,5 8,90 4.567,5 5.295,0 6.210,5 7.262,9 8.033,2 15,16 4.567,5. 4.963,8 5.417,3 5.956,6 6.293,9 8,35 15.708,4 18.897,3 21.619,6 24.118,3 27.243,4 14,76 15.708,4 17.503,0 18.276,6 19.792,2 20.637,5 7,06 17Kalimantan Timur 52.727,5 4.741,9 14Kalimantan Barut 16Kalimantan Selatan 49.172,2 4.387,1 7,17 18Sulawesi Utara 2.806,9 3.190,7 3.793,2 4.790,7 5.614,1 18,92 2.806,9 3.018,2 3.272,9 3.574,7 3.767,0 7,63 19Sulawesi Tengah 1.755,5 2.131,4 2.512,2 3.023,9 3.355,0 17,58 1.755,5 1.888,9 2.042,5 2.212,6 2.316,9 7,18 20Sulawesi Selatan 7.511,8 8.737,9 10.377,3 11.833,1 13.538,0 15,87 7.511,8 8.088,1 8.757,9 9.485,9 9.893,4 7,13 21Sulawesi Tenggara 1289,2 1.510,3 1.819,2 2.101,9 2.387,2 16,65 1.289,2 1.371,4 1.472,5 1.561,0 1.644,0 6,27 22Bali 5.690,2 6.490,9 7.409,9 8.621,5 9.897,4 14,84 5.690,2 6.117,5 6602,7 7.141,8 7.556,5 7,35 23Nusa Tenggarn Barut 2.550,6 2.960,6 3.466,0 3.986,5 4.534,1 15,47 2.550,6 2.796,0 2.955,6 3.195,3 3.363,2 7,16 24Nusa Tenggara Timur 2.096,8 2.456,4 2.871,3 3.335,1 4.081,1 18,11 2.096,8 2.276,2 2.471,6 2.685,4 2.811,0 7,60 25Maluku 2.453,2 2.787,0 3.171,1 3.634,4 3.998,1 12,99 2.453,2 2.613,1 2.782,7 2.981,2 3.083,7 5,89 26Irian Jaya 4.745,7 5.369,4 7.014,0 8.189,1 8.925,7 17,] I 4.745,7 5.103,3 6.133,0 6.944,9 7.244,5 11,15 515,4 603,5 708,4 861,7 996,1 17,91 515,4 566,7 620,2 687,2 715,7 8,55 324.519,7 376.638,9 442.095,9 511.591,5 584.419,4 15,84 324.519,7 347.876,3 376.599,0 407.973,6 425.645, I 7,02 27Timor-Timor PORB Ketecangan, *) Angka sementara **) Angka Sangat Sementara Departemen Keuangan Republik Indonesia 446 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel V. 45 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO TANPA MIGAS ATAS DASAR HARGA BERLAKU DAN HARGA KONSTAN MENU RUT LAPANGAN USAHA 1993 DAN 1997 (dalam miliar rupiah) Persentase No. Lapangan usaha/sektor 1993 terhadap total PDRB Persentase 1997.) terhadap total PDRB (%) (1) (2) (3) (%) (4) (5) (6) Atas dasar harga berlaku 1 Pertanian 56.546,9 19,40 94.007,2 17,52 2 Pertambangan dan Penggalian 7.254,8 2,49 15.234,1 2,84 3 Industri pengolahan 64.586,1 22,15 134.937,8 25,15 4 Listrik, gas, dan air bersih 3.803,7 1,31 7.352,8 1,37 5 Bangunan 21.914,3 7,52 42.179,8 7,86 6 Perdagangan, restoran dan hotel 56.533,8 19,39 105.353,2 19,64 7 Pengangkutan ddan komunikasi 22.365,6 7,67 39.587,8 7,38 8 Keuangan, persewaan bangunan, 25.899,9 8,88 45.732,3 8,53 Jasa-jasa 32.636,3 11,19 52.062,2 9,71 Jumlah 291.541,5 100,00 536.447,1 100,00 56.546,9 19,40 64.682,0 16,52 7.254,8 2,49 11.510,7 2,94 64.586,1 22,15 95.985,7 24,52 3.803,7 1,31 5.855,7 1,50 dan jasa perusahaan 9 Atas dasar harga konstan 1 Pertanian 2 Pertambangan dan Penggalian 3 Industri pengolahan 4 Listrik, gas, dan air bersih 5 Bangunan 21.914,3 7,52 32.158,0 8,21 6 Perdagangan, restoran dan hotel 56.533,8 19,39 78.332,3 20,01 7 Pengangkutan ddan komunikasi 22.365,6 7,67 30.777,6 7,86 8 Keuangan, persewaan bangunan, 25.899,9 8,88 34.138,1 8,72 Jasa-jasa 32.636,3 11,19 38.057 9,72 Jumlah 291.541,5 100,00 391.497,5 100,00 dan jasa perusahaan 9 Keterangan:.j Angka sangat sementara Departemen Keuangan Republik Indonesia 447 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Departemen Keuangan Republik Indonesia 448 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 makmur masyarakat di daerah tersebut. PDRB perkapita diperoleh dengan membagi PDRB tanpa rnigas berdasarkan harga berlaku dengan jumlah penduduk pertengahan tahun. PDRB tanpa rnigas digunakan karena angka ini dipanuang lebih mencerminkan keadaan yang sesungguhnya dalam masyarakat, karena sebagian besar penghasilan Dari migas diserahkan kepada pemerintah pusat. Hal ini juga memungkinkan dilakukan perbandingan antardaerah, karena hanya propinsi-propinsi Daerah Istimewa Aceh, Riau, dan Kalimantan Timur yang memiliki penghasilan migas yang relatif besar. Selama periode 1993 - 1997 PDRB perkapita propinsi secara total mengalami peningkatan yang cukup berarti, Dari Rp1.587,6 ribu dalam tahun 1993 menjadi Rp2.684,4 ribu dalam tahun 1997. Propinsi yang memiliki PDRB perkapita tertinggi dalam tahun 1997 adalah DKI Jakarta, Kalimantan Timur, dan Irian Jaya, masing-masing Rp9 .808,1, Rp5. 722,4, dan Rp4.224, 7. Sementara itu, propinsi yang memiliki laju pertumbuhan tertinggi adalah propinsi Sulawesi Utara, Lampung, dan Nusa Tenggara Timur, masing-masing adalah 17,3 persen, 16,1 persen, dan 16,0 persen. PDRB perkapita selengkapnya dapat diikuti dalam Tabel V.46. . Peningkatan PDRB diharapkan dapat meningkatkan PDS, antara lain melalui peningkatan pajak dan retribusi, baik untuk daerah tingkat I maupun daerah tingkat II. Untuk mengukurpengaruh peningkatan PDRB terhadap PDS digunakan perhitungan elastisitas, yaitu dengan membandingkan persentase pertumbuhan PDS dengan persentase pertumbuhan PDRB. Jika elastisitas lebih besar Dari satu, berarti perubahan PDS adalah elastis terhadap perubahan PDRB atau peningkatan PDRB akan memacu peningkatan PDS. Selama periode 1993 - 1997 elastisitas PDS tingkat I dan tingkat II terhadap PDRB tanpa migas alas dasar harga berlaku adalah 1,2 yang berarti peningkatan PDRB sebesar satu persen menyebabkan kenaikan PDS 1,2 persen. Secara rinei elastisitas PDS tingkat I dan tingkat II terhadap PDRB tiap propinsi dapat dilihat dalam Tabel V.47. Departemen Keuangan Republik Indonesia 449 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel V. 46 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO T ANP A MIGAS PERKAPIT A ATAS DASAR BARGA BERLAKU PER PROPINSI 1993 -1997 (dalam ribu rupiah) No. Propmsi 1993 1994 1995 1996') 1997') (2) (3) (4) (5) (6) (7) (1) Pertumbuhan Rata-rata (%) (8) 1 DI Aceh 1.339,5 1.582,5 1.876,0 2.111,9 2.339,7 14,96 2 Sumatera Utara 1.653,0 1.953,5 2.178,7 2.464,1 2.823,1 14,32 3 Sumatera Barat 1.444,9 1.704,6 1.922,5 2.178,5 2.427,0 13,84 4 Riau 1.667,3 1.890,0 2.178,8 2.444,6 2.667,9 12.47 5 Jambi 1.089,0 1.247,8 1.442,9 1.623,1 13.48 6 Sumatera Selatan 1.304,9 1.482,0 1.740,8 1.993,3 2.306,9 15,31 7 Bengkulu 1.072,6 1.269,6 1.427,5 1.589,1 1.674,7 11,78 8 Lampung 850,3 1. 006,6 1.227,0 1.372,7 1.544,7 16,09 9 OKI Jakarta 5.867,8 6.617,3 7.730,0 8.975,8 9.808,1 13,70 10 Jawa Barat 1.357,3 1.624,3 1.877,5 2.145,2 2.451,8 15,93 11 Jawa Tengah 1.096,4 1.271,0 1.506,3 1.689,3 14,98 12 DI Yogyakarta 1.390,6 1.673,1 1.925,9 2.181,5 2.379,2 14,37 13 Jawa Timur 1.478,1 1.705,0 1.950,7 2.247,3 14,77 14 Kalimantan Barat 1.492,0 1.713,5 1.976,7 2.289,9 2.701,3 16,00 15 Kalimantan Tengah 2.018,9 2.335,7 2.698,5 3.150,2 3.563,4 15,26 16 Kalimantan Selatan 1.648,8 1.873,l 2.150,6 2.466,2 2.676,7 12,88 17 Kalimantan Timur 3.781,3 4.258,1 4.875,9 5.271,2 5.722,4 10,91 18 Sulawesi Utara 1.093,3 1.226,6 1.438,6 1.791,8 2.070,8 17,31 19 Sulawesi Tengah 960,5 1.138,1 1.306,7 1.536,0 1.666,0 14,76 20 Sulawesi Selatan 1.030,7 1.180,1 1.379,9 1.548.4 1.742.4 14,03 21 Sulawesi Tenggara 874,6 992,6 1.158,4 1.301,9 1.444,9 13,37 22 Bali 2.006,9 2.263,4 2.564,4 2.953,9 3.347,3 13,64 23 Nusa Tenggara Barat 724,5 828,3 955,3 1.080,4 1.205,8 13,58 24 Nusa Tenggara Timur 610,7 703,1 807,5 921,1 1.107,1 16,04 25 Maluku 1.234,2 1.370,9 1.524,0 1.712,5 1.854,5 10,72 26 Irian Jaya 2.508,3 2.725,9 3.504,8 3.994,6 4.224,7 13,92 27 Timor-Timur 645,0 738,6 848,9 1.012,1 1.148,0 15.50 INDONESIA 1.587,6 1.799,2 2.089,0 2.386,5 2.684,4 14,03 1.806,0 1.915,9 2.564,2 Keterangan : ') Angka sementara ") Angka sangat sementara Departemen Keuangan Republik Indonesia 450 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Tabel V. 47 ELASTISITAS PENERIMAAN DAERAH SENDIRI TINGKAT I DAN TINGKAT II TERHADAP PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO T ANP A MIGAS ATAS DASAR HARGA BERLAKU PER PROPINSI 1994 -1996 No. Propinsi (1) (2) 1994 - 1996 (3) I DI Aceh 0,63 2 Sumatera Utara 1,34 3 I Sumatera Barat 1,23 4 Riau 1,13 5 Jambi 1,17 6 Sumatera Selatan 0,68 7 Bengkulu 1.93 8 Lampung 1,55 9 DKI Jakarta 1,00 ]0 Jawa Barat 1,46 II Jawa Tengah \,28 DI Yogyakarta 1,4] 12 I 1,49 13 Jawa Timur 14 Kalimantan Barat 0,98 15 Kalimantan Tengah 0.55 ]6 Kalimantan Selatan ],29 17 Kalimantan Timur 0,68 18 Sulawesi Utara 0,71 19 Sulawesi Tengah 0,91 20 Sulawesi Selatan 1,33 21 Sulawesi Tenggara 1,25 22 Bali 1,59 23 Nusa Tenggara Barat 1,87 24 Nusa Tenggara Timur 1,26 25 Maluku 0,56 26 Irian Jaya ],02 27 Timor-Timur 0,66 INDONESIA 1,19 Departemen Keuangan Republik Indonesia 451 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Lampiran 1 PERKIRAAN PENERIMAAN NEGARA TAHUN ANGGARAN 1999/2000 (dalam miliar rupiah) JENIS PENERIMAAN JUMLAH A. PENERIMAAN DALAM NEGERI 142.203,8 I. Penerimaan Minyak Bumi 20.965,0 dan Gas Alam 1. Penerimaan Minyak Bumi 12.443,4 2. Penerimaan Gas A1am 8.521,6 II. Penerimaan Bukan Minyak Bumi 121.238,8 dan Gas Alam 1. Pajak Penghasilan . 40.626,0 2. Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa, dan Pajak Penjualan alas Barang Mewah 34.597,4 3. Bea Masuk 2.950,3 4. Cukai - 4.1 Cukai Tembakau 4.2 Cukai Lainnya 10.160,0 9.800,0 360,0 5. I;Ingutan (Pajak) Ekspor 2.594,5 6. Pajak Bumi dan Bangunan danBea Perolehan Hak alas Tanah dan Bangunan 3.247,0 6.1 Pajak Bumi dan Bangunan 2.771,2 - 6.2Bea Perolehan Hak alas Taillih dan Bangumin 475,8 7. Pajak Lainnya 7.1Bea Meterai 8. Penerimaan Negara Bukan Pajak 564,5 564,5 26.499,1 B. PENERIMAAN LUAR NEGERI 77 .400,0 1. Pinjamanprogram 47.400,0 2. Pinjaman proyek 30.000,0 Jumlah Departemen Keuangan Republik Indonesia 219.603,8 452 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 DASAR PERHITUNGAN UNTUK PERKIRAAN PENERIMAAN NEGARA RAPBN 1999/2000 A. PENERIMAAN DALAM NEGERI I. PENERIMAAN MINYAK BUMI DAN GAS ALAM Faktor-faktor yang diperhitungkan : - produksiminyakmentah (termasuk kondensat) diperkirakanrata-rata sebesar 1.520 ribu bare1 per hari, - ekspor LNG diperkirakan 1.498 juta mmbtu per tahun, - harga rata-rata ekspor minyak mentah Indonesia diperkirakan sebesar US$ 10,5 per barel, -harga ekspor LNG diperkirakan rata-rata sebesar US$ 1,6327 per mmbtu. Berdasarkan pertimbangan di atas, maka penerimaan minyak bumi dari gas aam diperkirakan mencapai Rp 20.965,0 miliar. II. PENERIMAAN BUKAN MINYAK BUMI DAN GAS ALAM 1. Pajak Penghasilan Faktor-faktoryang diperhitungkan akan mempengaruhi penerimaan pajak penghasilan : - penurunan daya beli masyarakat dari dunia usaha, - perluasan pemungutan pajak dengan sistem witho1ding yang bersifat final, - kenaikan pertumbuhan ekonomi, - penurunan tingkat suku bunga deposito, - perkembangan nilai tukar rupiah terhadap va1uta asing, - perkembangan wajib pajak dan objet pajak, - peningkatan kegiatan penyuluhan pajak, - peningkatan mutu pelayanan kepada wajib pajak, -peningkatan efektivitas pengawasan Dari penegakan hukum terhadap wajib pajak, - peningkatan kepatuhan wajib pajak, Departemen Keuangan Republik Indonesia 453 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 - pemeriksaan Dari pengawasan terhadap wajib pajak potensial baik oleh Direktorat Jenderal - Pajak sendiri maupun bersama BPKP serta Ditjen Bea Dari Cukai, - penyesuaian kebijaksanaan perpajakan dengan kondisi krisis ekonomi, misalnya selisih kurs, ffiRA, INDRA, Jakarta Initiative Scheme, - kenaikan PTKP. Dengan memperhitungkan hal-hal tersebut, maka penerimaan pajak penghasilan direncanakan mencapai Rp 40.626,0 miliar. 2. Pajak Pertambahan Nilai Barang daB Jasa, dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM) Rencana penerimaan PPN dan PPnBM tahun 1999/2000 diperkirakan 19,9 persen lebih tinggi Dari APBN tahun 1998/1999. Hal ini setelah memperhitungkan faktor-faktor sebagai berikut : - perkembangan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing, - perluasan objek pajak, - peningkatan jumlah pengusaha kena pajak, - peningkatan efektivitas pengawasan administrasi dan penegakan hukum terhadap pengusaha kena pajak, - pelaksanaan pengecekan silang antara data PPN dengan data PPh, - peningkatan kerjasama dengan instansi lain, - pencabutan dan penghapusan fasilitas perpajakan atas barang kena pajak dan jasa kena pajak tertentu, - penyesuaian kebijaksanaan perpajakan dengan kondisi perekonomian misalnya pembebasan PPN atas impor barang modal. Dengan memperhitungkan hal-hal tersebut, maka penerimaan PPN dan PPnBM direncanakan mencapai Rp 34.597,4 miliar. 3. Bea Masuk Rencana penerimaan bea masuk danasarkan atas hal-hal sebagai berikut : - perkembangan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing. - perkembangan impor sejalan dengan perkembangan kegiatan ekonomi dalam negeri, - perkembangan devisa bebas bea masuk karena perubahan komposisi impor yang Departemen Keuangan Republik Indonesia 454 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 semakin mengarah kepada impor bahan baku dan barang modal, - penurunan tarif bea masuk, Berdasarkan hal-hal tersebut, penerimaan bea masuk direncanakan mencapai Rp 2.950,3 miliar. 4. Cukai Perkiraan penerimaan cukai direncanakan Rp 10.160,0 miliar yang terdiri Dari cukai tembakau dan cukai lainnya. 4.1 Cukai Tembakau - Hal-hal yang mempengaruhi penerimaan cukai tembakau adalah : - perkembangan produksi rokok dan hasil tembakau lainnya, - penyesuaian harga dasar pengenaan cukai sejalan dengan perkembangan ekonomi, - kenaikan tarif cukai, -pencegahan dan pemberantasan peredaran rokok berpita cukai palsu dan rokok yang tidak berpita cukai, - penyelesaian tunggakan-tunggakan cukai. Berdasarkan hal-hal tersebut, penerimaan cukai tembakau direncanakan mencapai Rp 9.800,0 miliar. 4.2 Cukai Lainnya Cukai lainnya terdiri Dari cukai etil alkohol, cukai minuman yang mengandung etil alkohol, dan cukai konsentrat yang mengandung etil alkohol. Hal-hal yang mempengaruhi penerimaannya adalah : - peningkatan produksi, - intensif1kasi pemungutan cukai, - penyesuaian hargadasarpengenaan cukai sejalan dengan perkembangan ekonomi. Berdasarkan hal-hal tersebut, .penerimaan cukai lainnya direncanakan mencapai Rp 360,0 miliar. Departemen Keuangan Republik Indonesia 455 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 5. Pungutan (pajak) Ekspor Perhitungan penerimaan pungutan (pajak) ekspor danasarkan pada hal-hal berikut : - peningkatan ekspor atas produk yang terkena pajak ekspor, - adanya perubahan tarif pajak ekspor terhadap CPO dan turunannya, - perkembangan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing. Berdasarkanhal-hal tersebut, penerimaan pungutan (pajak) ekspor direncanakan mencapai Rp 2.594,5 miliar. 6. Pajak Bumi dan Bangunan dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Rencana penerimaan PBB dan BPHTB tahun 1999/2000 memperhitungkan hal-hal berikut : - pemutakhiran data subjek dan objek pajak, - peningkatan penegakan hukum, - peningkatan kepatuhan wajib pajak melalui kegiatan penagihan, - pengembangan sistem administrasi PBB melalui Sistem Manajemen Informasi Obyek Pajak (SISMIOP), - peningkatan kerjasama dengan Pemerintah Daerah, Badan Pertanahan Nasional dan Notaris/PP AT. Dengan memperhitungkan hal-hal tersebut, maka penerimaan pajak bumi dan bangunan dan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan direncanakan mencapai Rp 3.247,0 miliar. 7. Pajak Lainnya Rencana penerimaan pajak lainnya (bea meterai) tahun 1999/2000 sebesar Rp 564,5 miliar. Perkiraan penerimaan tersebut didasarkan atas hal-hal-berikut : - perkembangan kegiatan dan transaksi, serta jumlah dokumen yang dapat dikenakan bea meterai, - peningkatan pengawasan atas pemakaian benda meterai, mesin teraan meterai, dan pencetakan tanda lunas bea meterai, - peningkatan upaya pencegahan beredarnya meterai tempel palsu. Departemen Keuangan Republik Indonesia 456 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 8. Penerimaan Negara Bukan Pajak Faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan negara bukan pajak adalah : - peningkatan efisiensi badan usaha milik negara dalam rangka meningkatkan laba, - intensifikasi dan ekstensifikasi pungutan oleh departemen/lembaga pemerintah nondepartemen, - peningkatan pengawasan atas pungutan dan penyetoran berbagai penerimaan departemen/lembaga pemerintah nondepartemen, - penyempumaan tarif pungutan yang berlaku, - penerimaan kembali pinjaman (RDI), - pelaksanaan Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, -pelaksanaan privatisasi beberapa badan usaha milik negara. Berdasarkan faktor-faktor tersebut, penerimaan negara bukan pajak direncanakan mencapai Rp 26.499,1 miliar. B. PENERIMAAN LUAR NEGERI Perkiraan penerimaan pinjaman program dan pinjaman proyek adalah sebagai berikut : - pinjaman program dalam tahun anggaran 1999/2000 diperkirakan Rp 47.400,0 miliar, yang seluruhnya merupakan pinjaman luar negeri yang segera dapat dicairkan, - pinjaman proyek dalam tahun anggaran 199912000 diperkirakan Rp 30.000,0 miliar, yang sebagian besar berasal Dari realisasi komitmen pinjaman proyek tahun-tahun sebelumnya. Berdasarkan perkiraan tersebut, penerimaan luar negeri direncanakan mencapai Rp 77.400,0 miliar. Departemen Keuangan Republik Indonesia 457 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Lampiran 2 ANGGARAN BELANJA RUTIN TAHUN ANGGARAN 1999/2000 MENURUT SEKTOR DAN SUBSEKTOR (dalam ribu rupiah) Nomor Kode (1) Sektor I Subsektor (2) J umlah (3) 01 SEKTOR INDUSTRI 108.134.869 Oll Subsektor Industri 108.134.869 02 SEKTOR PERTANIAN DAN KEHUTANAN 743.926.692 02.1 Subsektor Pertanian 265.883.632 02.2 Subsektor Kehutanan 478.043.060 03 SEKTOR PENGAIRAN 50.074.119 03.1 Subsektor Pengembangan Sumber Daya Air 21.699.856 03.2 Subsektor Irigasi 28.374.263 04 SEKTOR TENAGA KERJA 391.589.383 04.1 Subsektor Tenaga Kerja 391.589.383 05 SEKTOR PERDAGANGAN, PENGEMBANGAN USAHA NASIONAL, KEUANGAN, DAN KOPERASI 85.226.792.362 05.1 Subsektor Perdagangan 'Dalam Negeri 99.319.154 05.2 Subsektor Perdagangan Luar Negeri 80.318.089 05.4 Subsektor Keuangan 05.5 Subsektor Koperasi dan Pengusaha Kecil 06 SEKTOR TRANSPORT ASI, METEOROLOGI DAN GEOFISIKA 84.899.661.770 147.493.349 382.746.804 06.1Subsektor Prasarana Jalan 35.264.654 06.2Subsektor Transportasi Darat 34.323.135 Departemen Keuangan Republik Indonesia 458 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Nomor Sektor I Subsektor Kode (1) (2) 06.3 Subsektor Transportasi Laut 06.4 Subsektor Transportasi Udara 06.5 Subsektor Meteorologi, Geofisika, Pencarian dan Penyelamatan (SAR) Jumlah (3) 179.245.976 71.088.612 62.824.427 07 SEKTOR PERTAMBANGAN DAN ENERGI 341.303.110 07.1 Subsektor Pertambangan 335.154.644 07.2 Subsektor Energi 6.148.466 . 08 SEKTO R P ARIWISA T A, POS, DAN TELEKOMUNlKASI 127.589.677 08.1 Subsektor Pariwisata 32.125.982 08.2 Subsektor Pos dan Telekomunikasi 95.463.695 09 SEKTOR PEMBANGUNAN DAERAH DAN . . TRANSMIGRASI 19.749.041.453 Subsektor Pembangunan Daerah 19.647.793.705 . 09.1 09.2 Subsektor Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Rutan 101.247.748 10 SEKTOR LINGKUNGAN HIDU.P DAN TATA RUANG 424.764.039 10.1 Subsektor Lingkungan Ridup 10.2 ' 11 Subsektor Tata Ruang 10.901.822 413.862.217 SEKTOR PENDIDIKAN, KEBUDA Y AAN NASIONAL, KEPERCAYAAN TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA, PEMUDA DAN aLAR RAGA 6.045.226.198 11.1 Subsektor Pendidikan 5.448.386.637 11.2 Subsektor Pendidikan Luar Sekolah dan Kedinasan 11.3 Subsektor Kebud_ayaan NasiQnal dan Kepercayaan Terhadap Tuhan YangMaha Esa 11.4 Subsektor Pemuda dan Olah Raga Departemen Keuangan Republik Indonesia 471.023.698 114.116.236 11.699.627 459 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Nomor Sektor I Subsektor Jumlah Kode (1) (2) (3) 12SEKTOR KEPENDUDUKAN DAN KELUARGA SEJAHTERA 440.524.075 12.1 Subsektor Kependudukan dan Keluarga Berencana 440.524.075 13 SEKTOR KESEJAHTERAAN SOSIAL, KESEHATAN, PERANAN W ANITA, ANAK DAN REMAJA 829.066.848 13.1 Subsektor Kesejahteraan Sosial 151.188.095 13.2 Subsektor Kesehatan 677.878.753 14 SEKTOR PERUMAHAN DAl'( PERMUKIMAN 27.804.202 14.1 Subsektor Perumahan dan PeflIDl'kiman 20.113.788 14.2 Subsektor Penataan Kota dan Bangunan 7.690.414 15 SEKTOR AGAMA 15.1 Subsektor Pelayanan Kehidupan Beragama 15.2 Subsektor Pembinaan Pendidikan Agama 16 SEKTOR ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI 498.472.557 16.2 Subsektor Ilmu Pengetahuan Terapan dan Dasar 312.183.984 16.3 Subsektor Kelembagaan Prasarana dan Sarana Ilmu Pengetahuan dan Teknologi 1.741.627.031 273.392.621 1.468.234.410 46.046.551 16.5 S u bsektor . Kedirg an taraan 16.6 Subsektor Sistem Informasi dan Statistik 137.713.622 17 SEKTOR HUKUM 982.783.903 17.1 Subsektor Pembinaan Hukum Nasional 866.469.326 17.2 Subsektor Pembinaan Aparatur Hukum 116.314.577 Departemen Keuangan Republik Indonesia 2.528.400 460 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Nomor Kode (1) Sektor I Subsektor (2) 18SEKTOR AP ARA TUR NEGARA DAN PENGA W ASAN 18.1Subsektor Aparatur Negara 18.2Subsektor Pendayagunaan Sistem dan Pelaksanaan Pengawasan Jumlah (3) 6.423.755.838 6.035.892.093 387.863.745 19SEKTOR POLITIK, HUBUNGAN LUAR NEGERI, PENERANGAN, KOMUNIKASI DAN MEDIA MASSA 2.710.591.890 19.1 Subsektor Politik 19.2 Subsektor Hubungan Luar Negeri 19.3 Subsektor Penerangan, Komunikasi dan Media Massa 20 SEKTOR PERTAHANAN DAN KEAMANAN 9.909.684.950 20.2 Subsektor Angkatan Bersenjata Republik Indonesia 9.695.086.646 20.3 Subsektor Pendukung Jumlah Departemen Keuangan Republik Indonesia 122.747.763 1.978.397.732 609.446.395 214.598.304 137.155.500.000 461 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Lampiran 3 ANGGARAN BELANJA PEMBANGUNAN TAHUN ANGGARAN 1999/2000 MENURUT SEKTOR DAN SUBSEKTOR (dalam ribu rupiah) Nilai upiah Nomor Sektor / Subsektor Kode Rupiah Bautuan Proyek Jumlah dan Kredit Ekspor (I)(2) (3) (4) (5) 239.089.900 390.128.000 629.217.900 239.089.900 390.128.000 629.217.900 KEHUTANAN 3.290.131.600 1.323.130.000 4.613.261.600 Subsektot Pertanian 3.267.129.600 1.122.100.000 4.389.229.600 01SEKTOR INDUSTRl 01.1Subsektor Industri 02SEKTOR PERTANIAN DAN 02.1 02.2 Subsektor Kehutanan 03 SEKTOR PENGAIRAN 03.1 Subsektor Pengembangan Somber Daya Air 23.002.000 201.030.000 224.032.000 1.404.650.000 2.061.555.000 3.466.205.000 358.000.000 1.163.427.000 1.521.427.000 03.2 Subsektor Irigasi 1.046.650.000 898.128.000 1.944.778.000 04 SEKTOR TENAGA KERJA 1.123.535.000 78.547.000 1.202.082.000 04.1 Subsektor Tenaga Kerja 1.123.535.000 78.547.000 1.202.082.000 -. 05 SEKTOR PERDAGANGAN, PENGEMBANGAN USAHA NASIONAL, KEUANGAN 18.741.867.600 293.714.000 19.035.581.600 05.1 Subsektor Perdagangan Dalam Negeri DAN KOPERASI 97.138.600 12.954.000 110.092.600 05.2 Subsektor Perdagangan Luar Negeri 51.600.000 13.760.000 65.360.000 05.3 Subsektor Pengembangan Usaha Nasional 6.220.000 0 6.220.000 05.4 Subsektor Keuangan 17.010.929.000 212.255.000 17.223.184.000 05.5 Subsektor Koperasi Dari Pengusa Kecil 1.575.980.000 54.745.000 1.630.725.000 06 SEKTOR TRANSPORTASI, METEOROLOGI DAN GEOFISIKA 2.630.829.000 5.795.791.000 8.426.620.000 06.1 Subsektor Prasarana Jalan 2.003.129.000 3.240.438.000 5.243.567.000 06.2 Subsektor Transportasi Darat 251.700.000 1.328.531.000 1.580.231.000 06.3 Subsektor Transportasi Laut 166.000.000 286.110.000 452.110.000 06.4 Subsektor Transportasi Udara 190.000.000 890.612.000 1.080.612.000 06.5 Subsektor Meteorologi, Geofisika, 20.000.000 50.100.000 70.100.000 5.833.638.000 6.607.663.000 16.500.000 69.325.000 5.817.138.000 6.538.338.000 Penearian dan Penyelamatan (SAR) 07 SEKTOR PERTAMBANGAN DAN ENERGI 07.1 Subsektor Pertambangan 07.2 Subsektor Energi Departemen Keuangan Republik Indonesia 774.025.000 52.825.000 721.200.000 462 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Nomor Nilai Rupiah Sektor I Subsektor Kode Rupiah Bantuan Proyek Jumlah dan Kredit Ekspor (I) (2) 08 SEKTOR PARIWISATA, POS DAN TELEKOMUNIKASI (3) (4) 82.900.000 (5) 835.200.000 918.100.000 08.1 Subsektor Pariwisata 57.700.000 35.100.000 92.800.000 08.2 Subsektor Pos dan Telekomunikasi 25.200.000 800.100.000 825.300.000 09 SEKTOR PEMBANGUNAN DAERAH DAN TRANSMIGRASI 11.005.675.600 3.540.106.000 14.545.781.600 09.1 Subsektor Pembangunan Daerah 10.116.725.600 3.540.106.000 13.656.831.600 09.2 Subsektor Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan 888.950.000 0 888.950.000 10SEKTOR LINGKUNGAN HIDUP DAN TATA RUANG 579.157.600 353.579.000 932.736.600 502.380.600 296.579.000 798.959.600 76.777.000 57.000.000 133.777.000 ESA, PEMUDA DAN OLAH RAGA 4.818.705.800 3.562.559.000 8.381.264.800 11.1 Subsektor Pendidikan 4.464.872.800 3.471.858.000 7.936.730.800 11.2 Subsektor Pendidikan Luar Sekolah 225.555.000 90.701.000 316.256.000 10.1Subsektor Lingkungan Hidup 10.2Subsektor Tata Ruang 11SEKTOR PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN NASIONAL, KEPERCAYAAN TERHADAP TUHAN YANG MAHA dan Kedinasan 11.3Subsektor Kebudayaan Nasional dan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa 11.4Subsektor Pemuda dan Olah Raga 67.550.000 0 67.550.000 60.728.000 0 60.728.000 12SEKTOR KEPENDUDUKAN DAN KELUARGASEJAHTERA 244.050.000 Jt!0.254.000 594.304.000 244.050.000 350.254.000 594.304.000 2.908.073.400 1.878.826.000 4.786.899.400 12.1Subsektor Kependudukan dan Keluarga Berencana - 13SEKTOR KESEJAHTERAAN SOSlAL, KESEHATAN, PERANAN WANITA, ANAK DAN REMAJA 13.1Subsektor Kesejahteraan Sosial 317.853.400 336.095.000 653.948.400 2.029.740.000 1.515.981.000 3.545.721.000 560.480.000 26.750.000 587.230.000 1.713.320.500 1.505.122.000 3.218.442.500 14.1Subsektor Perumahan dan Perrnukiman 1.704.720.500 1.354.877.000 3.059.597.500 14.2Subsektor Penataan Kota dan Bangunan 8.600.000 150.245.000 158.845.000 13.2Subsektor Kesehatan 13.3Subsektor Peranan Wanita, Anak dan Remaja 14SEKTOR \PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN Departemen Keuangan Republik Indonesia 463 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Nomor Nilai Rupiah Sektor I Subsektor Kode Rupiah Bantuan Proyek Jumlah daB Kredit Ekspor (I) (2) 15SEKTOR AGAMA (3) (4) (5) 312.710.000 314.696.000 627.406.000 23.300.000 2.156.000 25.456.000 289.410.000 312.540.000 601.950.000 568.054.000 332.400.000 900.454.000 174.133.000 168.782.000 342.915.000 58.691.000 2.509.000 61.200.000 64.900.000 153.435.000 218.335.000 58.700.000 5.336.000 64.036.000 15.1Subsektor Pelayanan Kehidupan Beragama 15.2 Subsektor Pembinaan Pendidikan Agama / 16SEKTOR ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI 16.1 Subsektor Teknik Produksi daB Teknologi 16.2 Subsektor l1mu Pengetahuan 16.3 Subsektor Kelembagaan Prasarana daB Terapan daB Dasar Sarana l1mu Pengetahuan daB Teknologi 16.4Subsektor Kelautan 16.5Subsektor Kedirgantaraan 16.6Subsektor Sistem Informasi dan Statistik 17SEKTOR HUKUM 17.1Subsektor Pembinaan Hukum Nasional 17.2Subsektor Pembinaan Aparatur Huknm 17.3Subsektor SalaDa daB Prasarana Huknm 33.000.000 0 33.000.000 178.630.000 2.338.000 180.968.000 220.801.000 9.336.000 230.137.000 23.715.000 54.636.000 0 0 23.715.000 54.636.000 142.450.000 9.336.000 151.786.000 DAN PENGA W ASAN 428.291.700 472.510.000 900.801.700 18.1 Subsektor Aparatur Negara 417.852.700 472.510.000 890.362.700 18.2 Subsektor Pendayagunaan Sistem daB 18SEKTORAPARATURNEGARA Pelaksanaan Pengawasan 19 10.439.000 0 10.439.000 'SEKTOR POLITIK, HUBUNGAN LUAR NEGERI, PENERANGAN, KOMUNIKASI DAN MEDIA MASSA 19.1 Subsektor Politik 19.2 Subsektor Hubungan Luar Negeri 19.3 Subsektor Penerangan, Komunikasi daB Media Massa 20 109.447.300 44.509.000 153.956.300 7.070.000 0 7.070.000 17.077.300 0 17.077.300 85.300.000 44.509.000 129.809.000 1.252.985.000 1.024.400.000 2.277.385.000 ' SEKTOR PERTAHANAN DAN KEAMANAN 20.1 Subsektor Rakyat Terlatih dan 20.2 Subsektor ABRI 944.873.000 20.3 Subsektor Penduknng 297.500.000 0 297.500.000 52.448.300.000 30.000.000.000 82.448.300.000 Perlindungan Masyarakat JUMLAH Departemen Keuangan Republik Indonesia 10.612.000 0 1.024.400.000 10.612.000 1.969.273.000 464 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Lampiran 4 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 1999/2000 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 199912000 disusun berdasarkan prinsip anggaran. berimbang yang dinamis; b. bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran. 199912000 adalah merupakan pelaksanaan rencana pembangunan sesuai dengan amanat Ketetapan MPR RI Nomor X/MPRl1998 tentang Pokokpokok Reformasi Pembangunan Dalam RangkaPenyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara; c. bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 199912000 pada dasarnya merupakan rencana kerja tahunan pemerintahan negara dalam rangka memelihara dan meningkatkan hasil-hasil pelaksanaan pembangunan tahun-tahun sebelumnya dengan sasaran pada upaya mengatasi krisis ekonomi dalam waktu yang singkat; d. bahwa untuk menjaga kesinambungan jalannya pembangunan, dipandang perlu diatur sisa anggaranJebih dan sisakredit anggaran proyek -proyek dalam anggaran pembangunan Tahun Anggaran 1999/2000; e. bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 199912000 perlu ditetapkan dengan Undang-undang. Mengingat : 1. Pasal 5, Pasal 20, Pasal 23 ayat (1) dan ayat (5), dan Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945; 2. Indische Comptabiliteitswet (Staatsblad Tahun 1925 Nomor448) sebagaimana Departemen Keuangan Republik Indonesia 465 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-undang No.9 Tahun 1968 tentang Perubahan Pasal 7 lndische Comptabiliteitswet (Lembaran Negara Tahun 1968 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor2860). Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA, MEMUTUSKAN : Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 1999/2000. Pasal l Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan : 1. Pendapatan negara adalah semua penerimaan dalam negeri dan penerimaan luar negeri yang digunakan untuk membiayai belanja negara. 2. Penerimaan dalam negeri adalah semua penerimaan yang diterima negara dalam bentuk penerimaan perpajakan, penerimaan Dari sektor minyak bumi dan gas alam, dan penerimaan negara bukan pajak. 3. Penerimaan luar negeri adalah penerimaan yang berasal Dari nilai lawan rupiah pinjaman luar negeri. 4. Belanja negara adalah semua -pengeluaran negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. 5.Pengeluaran rutin adalah semua pengeluaran negara untuk membiayai tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan, baik pusat maupun daerah, serta untuk memenuhi kewajiban atas hutang dalam negeri dan luar negeri. 6. Pengeluaran pembangunan adalah semua pengeluaran negara untuk membiayai proyekproyek pembangunan. 7. Sisa kredit anggaran adalah sisa kewajiban pembiayaan proyek pembangunan pada akhir tahun anggaran. Departemen Keuangan Republik Indonesia 466 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 8. Sisa anggaran lebih adalah selisih lebih antara realisasi pendapatan negara dan belanja negara. . 9. Sektor adalah kumpulan subsektor 10. Subsektor adalah kumpulan program. 11. Pinjaman program adalah nilai lawan rupiah Dari pinjaman luar negeri dalam bentuk pangan dan bukan pangan yang dapat dirupiahkan. 12. Pinjaman proyek adalah nilai lawan rupiah Dari pinjaman luar negeri yang digunakan untuk membiayai proyek-proyek pembangunan. Departemen Keuangan Republik Indonesia 467 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Pasal 2 (1) Anggaran Pendapatan Negara Tahun Anggaran 1999/2000 diperoleh Dari: a. Sumber-sumber Penerimaan Dalam Negeri; b. Sumber-sumber Penerimaan Luar Negeri. (2) Penerimaan Oalam Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a direncanakan sebesar Rp 142.203.800.000.000,00. (3) Penerimaan Luar Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b direncanakan sebesar Rp 77 .400.000.000.000,00. (4) Jumlah Anggaran Pendapatan Negara Tahun Anggaran 1999/2000 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) direncanakan sebesar Rp 219.603.800.000.000,00. Pasal 3 (1) Penerimaan Oalam Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) terdiri Dari sumber-sumber penerimaan : a. Penerimaan perpajakan sebesar Rp 94.739.700.000.000,00; b. Penerimaan Dari sektor minyak bumi dan gas alam sebesar Rp 20.965.000.000.000,00; c. Penerimaan negara bukan pajak sebesar Rp 26.499.100.000.000,00. (2) Penerimaan Luar Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) terdiri Dari sumbersumber penerimaan : a. Pinjaman program sebesar Rp 47.400.000.000_000,00; b. Pinjaman proyek sebesar Rp 30.000.000.000.000,00. Pasal4 (1) Anggaran Belanja Negara Tahun Anggaran 1999/2000 terdiri Dari : a. Pengeluaran Rutin b. Pengeluaran Pembangunan. (2) Pengeluaran Rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a direncanakan sebesar Rp 137.155.500.000.000,00. (3) Pengeluaran Pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b Departemen Keuangan Republik Indonesia 468 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 direncanakan sebesar Rp 82.448.300.000.000,00. (4) Jurnlah Anggaran BelanjaNegara TahunAnggaran 1999/2000sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) direncanakan sebesar Rp 219.603.800.000.000,00. Pasal 5 (1) Pengeluaran Rutin sebagaimana dimaksud dalam Posa14 ayat (2) dirinci menurut sektor : 1 Sektor industri sebesar Rp 08.134.869.000,00 2 Sektor pertanian dan kehutanan sebesar Rp 743.926.692.000,00 3 Sektor pengairan sebesar Rp 50.074.119.000,00 4 Sektor tenaga kerja sebesar Rp 391.589.383.000,00 5 Sektor perdagangan,pengembangan usaha Rp 85.226.792.362.000,00 Rp 382.746.804.000,00 Nasional, keuangan dan koperasi sebesar 6 Sektor transportasi, meterologi dan geofisika sebesar 8 Sektor pariwisata pos dan telekomunikasi Rp 127.589.677.000,00 sebesar 9 Sektor pembangunan daerah dan transmigrasi Rp sebesar Rp 19.749.041.453.000,00 10 Sektor lingkungan hidup dan tata ruang Rp 382.746.804.000 11 Sektor pendidikan, kebudayaan nasional, kepercayaan terhadap TYME, pemuda dan olah raga sebesar Sektor kependudukan dan keluarga sejahtera sebesar Rp 6.045.226.198.000 Rp 440.524.075.000 12 13 Rp 829.066.848.000 14 Sektor kesejahteraan social, kesehatan, peranan wanita, anak dan remaja Sektor perumahan dan pemukiman Rp 27.804.202.000 15 Sektor agama Rp 1.741.627.031.000 16 Sektor ilmu pengetahuan dan teknologi Rp 498.472.557.000 17 Sektor hukum Rp 982.783.903.000 18 Sektor aparatur negara dan pengawasan Rp 6.423.755.838.000 19 Sektor politik, hubungan luar negri, penerangan, komunikasi, dan media massa Sektor pertahanan dan keamanan Rp 2.710.591.890.000 Rp 9.909.684.950.000 20 Departemen Keuangan Republik Indonesia 469 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 (2) Rincian sektor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke dalam subsektor dicantumkan dalam penjelasan ayat ini. (3) Pengeluaran Pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Posa14 ayat (3) dirinci menurut sektor : 01 Sektor industri sebesar Rp 629.217.900.000,00 02 Sektor pertanian dan kehutanan sebesar Rp 4.613.261.600.000,00 03 Sektor pengairan sebesar Rp 3.466.205.000.000,00 04 Sektor tenaga kerja sebesar Rp 1.202.082.000.000,00 05 Sektorperdagangan,pengembangan usaha usaha nasional, keuangan dan koperasi sebesar Rp 19.035.581.600.000,00 06 Sektor transportasi, meteorologi dan geofisika sebesar Rp 8.426.620.000.000,00 Rp 6.607.663.000.000,00 Rp 918.100.000.000,00 Rp 14.545.781.600.000,00 Rp 932.736.600.000,00 Rp 8.381.264.800.000,00 Rp 549.304.000.000 Rp 4.786.899.400.000,00 14 Sektor perumahan dan permukiman sebesar Rp 3.218.442.500.000,00 15 Sektor agama sebesar Rp 627.406.000.000,00 07 Sektor pertambangan dan energi sebesar 08 Sektor pariwisata, pos dan telekomunikasi sebesar 09 Sektor pembangunan daerah dan transmigrasi sebesar 10 Sektor lingkungan hidup dan tata ruang sebesar 11 Sektor pendidikan, kebudayaan nasional, kepercayaan terhadap Tuhan Yang .Maha Esa, pemuda dan olah raga sebesar 12 Sektor kependudukan dan keluarga sejahtera sebesar 13 Sektor kesejahteraan sosial, kesehatan, peranan wanita, anak dan remaja sebesar Departemen Keuangan Republik Indonesia 470 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 16 Sektor ilmu pengetahuan dan teknologi sebesar Rp 900.454.000.000 17 Sektor hukum sebesar Rp 230.137.000.000 Rp 900.801.700.000 18 Sektor aparatur negara dan pengawasan sebesar 19 Sektor politik, hubungan luar negeri, penerangan, komunikasi dan media massa sebesar Rp 153.956.300.000,00 20 Sektor pertahanan dan keamanan sebesar Rp 2.277.385.000.000,00 (4) Rincian sektor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ke dalam subsektor dicanturnkan dalam penjelasan ayat ini. Pasal 6 Rincian lebih lanjut Dari sektor dan subsektor sebagaimana dimaksud dalam Posa15 ayat (1) dan ayat (2) ke dalam program dan kegiatan ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Pasal 7 Rincian lebih lanjut Dari sektor dan subsektor sebagaimana dimaksud dalam Posa15 ayat (3) dan ayat (4) ke dalam program dan proyek ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Pasal 8 (1) Pada pertengahan Tahun Anggaran 199912000 Pemerintah membuat laporan semester I mengenai : a. Realisasi Penerimaan Dalam Negeri; b. Realisasi Penerimaan Luar Negeri; c. Realisasi Pengeluaran Rutin; d. Realisasi Pengeluaran Pembangunan; e. Perkembangan Moneter dan Perkreditan; Departemen Keuangan Republik Indonesia 471 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 f. Perkembangan Neraca Pembayaran dan Perdagangan Luar Negeri. (2) Dalam laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pemerintah menyusun prognosa untuk 6 (enam) bulan berikutnya. (3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat selambat-lambatnya akhir bulan Oktober untuk dibahas bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan Pemerintah. (4) Penyesuaian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dengan perkembangan dan atau perubahan keadaan dibahas bersama-sama oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan Pemerintah dalam rangka penyusunan perkiraan Perubahan atas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 199912000. Pasal 9 (1) Sisa kredit anggaran proyek -proyek pada Pengeluaran Pembangunan Tahun Anggaran 1999/2000 yang masih diperlukan untuk penyelesaian proyek, dengan Peraturan Pemerintah dipindahkan ke Tahun Anggaran 200012001 menjadi Anggaran 200012001. , kredit anggaran Tahun (2) Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Badan Pemeriksa Keuangan selambat-lambatnya pada akhir triwulan I Tahun Anggaran 2000/2001. Pasal lO Sisa Anggaran Lebih Tahun Anggaran 199912000 dapatdigunakan untuk membiayai anggaran belanja negara tahun-tahun anggaran berikutnya. Pasal ll Pemerintah mengajukan Rancangan Undang-undang tentang Perubahan atas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 1999/2000 berdasarkan Perubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) untuk mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat sebelum Tahun Anggaran 199912000 berakhir. Departemen Keuangan Republik Indonesia 472 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Pasal 12 (1) Setelah Tahun Anggaran 199912000 berakhir, Pemerintah membuat Perhitungan Anggaran Negara mengenai pelaksanaan anggaran yang bersangkutan. . (2) Pemerintah mengajukan Rancangan Undang-undang tentang Perhitungan Anggaran Negara setelah Perhitungan Anggaran Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangari, selambatlambatnya 16 (enam belas) bulan setelah Tahun Anggaran 199912000 berakhir, untuk mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 13 Ketentuan-ketentuan dalam lndische Comptabiliteitswet (Staatsblad Tahun 1925 Nomor 448) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Unuangunuang Nomor 9 Tahun 1968 tentang Perubahan Pasal 7 lndische Comptabiliteitswet (Lembaran Negara Tahun 1968 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2860) yang bertentangan dengan bentuk, susunan, dan . isi Undang-undang ini dinyatakan tidak berlaku. Pasal 14 Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggaji April 1999. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintah\can pengunuangan Unuangunuang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republiklndonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 29 Maret 1999 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ttd BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE Departemen Keuangan Republik Indonesia 473 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Diunuangkan di Jakarta pada tanggal 29 Maret 1999 MENTER! NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA ttd AKBAR TANDJUNG LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 39 Departemen Keuangan Republik Indonesia 474 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG ANGGARAN PENDAP AT AN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 1999/2000 UMUM Kondisi perekonomian nasional dalam dua tahun terakhir menghadapi permasalahan yang kurang menguntungkan berupa krisis moneter, yang kemudian berkembang menjadi krisis ekonomi. Dengan adanya krisis tersebut, perekonomian nasional makin terpuruk yang ditandai antara lain dengan gejolak kurs dan meningkatnya laju inflasi, sehingga mengakibatkan semakin tingginya pengangguran, semakin meningkatnya angka kemiskinan, yang selanjutnya mengakibatkan semakin beratnya kehidupan masyarakat secara luas. Apabila kondisi tersebut tidak ditangani secara terpadu lintas sektoral, dalam jangka pendek akan dapat menyulitkan upaya penyelamatan dan pemulihan ekonomi. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 1999/2000, yang merupakan APBN tahun awal era reformasi pembangunan, merupakan proses kelanjutan, peningkatan, perluasan, dan pembaharuan pembangunan, yang mencerminkan tekad untuk mewujudkan bangsa yang maju dan mandiri dengan menitikberatkan pada upaya mengatasi krisis dalam waktu sesingkatsingkatnya dengan sasaran dapat dikendalikannya nilai tukar rupiah pada tingkat yang wajar, serta dapat disediakannya kebutuhan sembilan bahan pokok dan obat-obatan dengan harga yang terjangkau. Penyusunan APBN Tahun Anggaran 1999/2000 tetap menganut prinsip anggaran berimbang yang dinamis dan merupakan penjabaran Dari TAP MPR No. X/MPRl1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan N egara. Prinsip tersebut pada dasarnyamengandung arti bahwa jumlah pengeluaran tidakmelebihijumlah penerimaan dan diupayakan dibentuknya tabungan pemerintah yang semakin meningkat. Dengan demikian diharapkan pembangunan nasional dapat berlangsung atas dasar ! kemampuan sendiri untuk membiayainya. N amun Departemen Keuangan Republik Indonesia 475 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 demikian, semenj ak krisis melanda perekonomian nasional tahun lalu, upaya memupuk tabungan pemerintah menghadapi tantangan berat, mengingat diperlukannya pengeluaran yang cukup besar untuk beberapa jenis subsidi guna menstabilkan harga beberapa barang kebutuhan pokok, sementara karena pengaruh krisis penerimaan dalam negeri sulit untuk ditingkatkan. Dalam hubungan ini, maka untuk melaksanakan penyelamatan dan pemulihan ekonomi sangat diperlukan tambahan dana yang bersumber Dari pinjaman luar negeri, sehingga sebagian kebutuhan mendesak tersebut dapat diatasi. Dalam rangka pemenuhan pembiayaan negara baik untuk belanja rutin maupun pembangunan, sumber penerimaan dalam negeri di luar migas semakin ditingkatkan pencapaiannya melalui peningkatan penerimaan perpajakan dan penerimaan negara bukan pajak, sekaligus menjaga kemantapan dan kestabilan pendapatan negara. Untuk itu, pelaksanaan Undang-undang di biuang pajak tahun 1994, yang merupakan penyempurnaan atas Undangundang di biuang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Pajak Bumi dan Bangunan, yang telah diberlakukan sejak 1 Januari 1995 akan semakin diintensifkan. Dalam kaitan ini, telah disahkan Undang-undang tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang mulai berlaku sejak 1 Juli 1998. Selain itu, dalam rangka menghadapi era globalisasi dalam perdagangan internasional di masamasa mendatang, di biuang kepabeanan dan cukai juga telah disahkan Undang-undang tentang Kepabeanan dan Undang-undang tentang Cukai yang telah diberlakukan sejak tanggal 1 April 1996. Dengan berlakunya kedua Undang-undang ini, maka Indonesia telah melangkah lebih maju di biuang peraturan perUndang-undangan, yaitu dengan meninggalkan aturan warisan kolonial yang dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan perekonomian nasional. Sejalan dengan itu, dalam rangka penertiban pengelolaan penerimaan negara bukan pajak telah disahkan Undang-undang tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, yang dilaksanakan secara bertahap sejak tangga123 Mei 1997. Seuangkan penerimaan luar negeri yang berasal Dari pinjaman luar negeri direncanakan untuk membiayai proyek-proyek pembangunan yang mendapat prioritas tinggi, serta untuk mendukung upaya penyelamatan dan pemulihan ekonomi nasional. Di biuang belanja negara, terus diupayakan peningkatan efisiensi dan efektivitas berbagai jenis pengeluaranrutin melalui penghematan beberapa pos pengeluaran, namun dengan tetap memperhatikan peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat. Sementara itu, untuk Departemen Keuangan Republik Indonesia 476 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 mengurangi tekanan terhadap pengeluaran rutin telah dilakukan penangguhan pembayaran sebagian cicilan pokok pinjaman luar negeri, terutama pinjaman bilateral dan fasilitas kredit ekspor. Namun demikian, dalam upaya mengurangi dampak sosial Dari krisis ekonomi dan moneter, anggaran bagi subsidi BBM, listrik, pangan dan obat-obatan tetap diperlukan. Di gist pengeluaran pembangunan, anggaran belanja pembangunan diharapkan dapat berperan mempercepat upaya proses stabilisasi dan reformasi struktural, mengingat dalam masa krisis moneter dan ekonomi dewasa ini sektor masyarakat dan dunia usaha (swasta) kurang mampu menjadi lokomotif kegiatan ekonomi. Dalam upaya mempercepat pemulihan perekonomian nasional, maka sangat perin adanya program rekapitalisasi perbankan untuk memelihara kesinambungan dan keandalan sistem pembayaran nasional, memungkinkan upaya restrukturisasi dunia usaha, serta mengembalikan kepercayaan internasional terhadap perbankan dan perekonomian nasional. Berkaitan dengan itu, dilaksanakan penajaman prioritas alokasi dan peningkatan efisiensi penggunaan anggaran belanja pembangunan, penundaan proyek -proyek dan kegiatan pembangunan yang belum. mendesak, serta penyediaan tambaban anggaran untuk meningkatkan peranan pengusaha . kecil dan menengab, serta koperasi. Dalam lingkup sektoral, prioritas alokasi anggaran belanja pembangunan diberikan pada sektor-sektor yang menunjang peningkatan penciptaan lapangan kerja dan kesempatan bernsaba, pemenuhan kebutuhan pokok dan pengembangan produksi pangan dalam rangka meningkatkan kegiatan ekonomi, pemenuhan kebutuhan dasar di biuang pendidikan dan kesehatan dalam rangka memperkuat jaring pengaman sosial, serta operasi dan pemeliharaan proyek prasarana dan sarana dasar. Demi terciptanya iklim investasi yang kondusifbagi perkembangan berbagaijenis usaha swasta diberbagai daerab serta untuk meningkatkan daya saing produk Indonesia di pasar internasional, kebij_sanaan ekonomi makro yang berhati-hati, peningkatan pelayanan ekspor, yang dilakukan baik melalui pereepatan pelayanan kepelabuhanan dan kepabeanan maupun melalui penanggulangan hambatan birokrasi, seperti perizinan, pemeriksaan dan pungutan, pembenaban kelembagaan baik di sektor riil maupun sektor nonriil, serta pemantapan stabilitas polit(ik dan keamanan terus dilanjutkan. I Sejalan dengan upaya-upaya tersebut, maka penertiban keuangan negara, baik pendapatan maupun belanja, perlu terus ditingkatkan termasuk pengaw$;annya melalui upaya meningkatkan keterbukaan. Dalam rangka kesinambungan kegiatan pembangun_, sisa kredit anggaran proyek-proyek yang Departemen Keuangan Republik Indonesia 477 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 masih diperlukan untuk penyelesaian proyek pada anggaran pembangunan Tahun Anggaran 199912000 dipindahkan kepada Tahun Anggaran 200012001, dan menjadi kredit anggaran Tahun Anggaran 200012001. Dengan memperhatikan hal-hill tersebut di atas, maka Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 1999/2000 disusun berdasarkan pertimbangan sebagai berikut : a. babwa keadaan ekonomi global diperkirakan mengalami pertumbuhan yang lebih baik; b. babwa perekonomian Indonesia diperkirakan mulai mengalami pemulihan Dari goneangan moneter yang melanda kawasan Asia Tenggara sejak Juli 1997; e. babwa kesinambungan pembangunan perlu dipertahankan dengaq terus meningkatkan pengeraban somber-somber dana di luar minyak bumi dan gas alam, sehingga peranan penerimaan dalam negeri di dalam pembiayaan pembangunan dapat terus ditingkatkan; d. babwa kestabilan moneter dan tersedianya barang-barang kebutuhan pokok sehari-hari yang eukup tersebar merata dengan harga yang stabil dan terjangkau oleh rakyat banyak, perlu terus ditingkatkan; e. bahwa program pemerataan kesejabteraan terntama dalam menikmatihasil pembangunan bagi masyarakat _arus mendapat perhatian yang lebih besar. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Cukup jelas Pasal 3 Ayat (1) Departemen Keuangan Republik Indonesia 478 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Penerimaan perpajakan sebesar yang terdiri Dari : Rp 94.739.700.000.000,00 (dalam rupiah) 0110 Pajak penghasilan (PPh) 40.626.000.000.000,00 0120 Pajak pertambahari nilai barang dan jasa, dan pajak penjualan atas barang mewah (PPN dan PPnBM) 34.597.400.000.000,00 0140 Pajak bumi dan bangunan dan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (PBB dan BPHTB) 3.247.000.000.000,00 0210 Bea masuk 2.950.300.000.000,00 0220 Cukai 10.160.000.000.000,00 0230 Pungutan (pajak) ekspor 2.594.500.000.000,00 0240 Bea meterai 564.500.000.000,00 Penerimaan Dari sektor minyak bumi dan gas alam sebesar Rp 20.965.000.000.000,00 yang terdiri Dari : 0310 Penerimaan minyak bumi 12.443.400.000.000,00 0320 Penerimaan gas alam 8.521.600.000.000,00 Penerimaan negara bukan pajak sebesar yang terdiri Dari : 0410 Pendapatan pendidikan 0411 Uang pendidikan Rp 26.499.100.000.000,00 6.302.200.000,00 5.603.400.000,00 0412 Uang ujian masuk, kenaikan tingkat, dan akhir pendidikan 0419 Pendapatan pendidikan lainnya 0480 Pendapatan pendidikan swadana 0481 Pendapatan pendidikan swadana Departemen Keuangan Republik Indonesia 698.600.000,00 200.000,00 573.064.500.000,00 573.064.500.000,00 479 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 0 Penjua1an hasil produksi, sitaan 20.864.800.000,00 0511 Penjualan hasil pertanian, perkebunan 1.295.000.000,00 0512 Penjualan hasil petemakan 9.060.100.000,00 0513 Penjualan hasil perikanan 832.300.000,00 0514 Penjualan hasil sitaan 3.000.000.000,00 0515 Penjualan obat-obatan dan hasil farmasi 129.000.000,00 0516 Penjualan penerbitan, film, dan hasil cetakan lainnya 776.100.000,00 0517 Penjualan dokumen-dokumen pelelangan 5.353.500.000,00 0519 Penjualan lainnya 418.800.000,00 0 Penjualan aset tetap 17.052.600.000,00 0521 Penjualan rumah, gedung, bangunan, dan tanah 339.700.000,00 0522 Penjualan kendaraan bermotor 341.400.000,00 0523 Penjualan sew a beli 15.073.000.000,00 0529 Penjualan aset lainnya yang berlebih, rusak, dihapuskan 1.298.500.000,00 0 Pendapatan sewa 8.027.600.000,00 0531 Sewa rumah dinas, rumah negeri 4.350.700.000,00 0532 Sewa gedung, bangunan, guuang 1.996.400.000,00 0533 Sewa benda-benda bergerak 818.000.000,00 0539 Sewa benda-benda tak bergerak lainnya 862.500.000,00 0 Pendapatan jasa I 0542 Pendapatan tempat hiburan, taman, museum 405.136.300.000,00 397.800.000,00 0543 Pendapatan sural keterangan, visa, pospor dan SIM, STNK, BPKB 119.450.000.000,00 0544 Pendapatan jasa pertanahan 40.000.000.000,00 0545 Pendapatan hak dan perijinan 192.407.500.000,00 0546 Pendapatan sensor, karantina, pengawasan, pemeriksaan 5.719.700.000,00 0547 Pendapatan jasa tenaga, jasa pekerjaan 3.936.700.000,00' 0548 Pendapatan jasa kantor urusan agama 7.500.000.000,001 0549 Pendapatan jasa bandar udara dan pelabuhan 0 Pendapatan jasa II Departemen Keuangan Republik Indonesia 35.724.600.000,00 372.949.600.000,00 480 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 0551 Pendapatan jasa lembaga keuangan (jasa giro) 26.151.100.000,00 0552 Pendapatan iuran hasil bulan, hasillaut, royalti dan denda 0553 Pendapatan iuran lelang untuk fakir miskin 248.796.800.000,00 3.000.000.000,00 0555 Pendapatan biaya penagihan pajak-pajak negara dengan sural paksa 0556 Pendapatan uang pewarganegaraan 0557 Pendapatan bea lelang 2.500.000.000,oq 130.000.000,00 35.000.000.000,00 0558 Pendapatan biaya pengurusan piutang negara dan lelang negara 55.000.000.000,00 0559 Pendapatan jasa lainnya 2.371.700.000,00 0560 Pendapatan rutin Dari luar negeri 33.825.000.000,00 0561 Bea visa dan pospor 14.794.400.000,00 0562 Bea konsuler 9.197.700.000,00 0569 Pendapatan rutin lainnya Dari luar negeri 9.832.900.000,00 0580 Pendapatan penjualan, sewa dan jasa swadana 3.508.315.900.000,00 0581 Pendapatan penjualan swadana 23.994.700.000,00 058:4 Pendapatan sew a swadana 1.587.700.000,00 0583' Pendapatan jasa swadana 3.482.733.500.000,00 0610 Pendapatan kejaksaan dan peradilan 17.065.000.000,00 0611 Legalisasi tanda tang an 80.000.000,00 0612 Pengesahan sural di bawah tangan 50.000.000,00 0613 Uang meja (leges) dan upah pada panitera badan pengadilan 0614 Hasil denda, denda tilang dan sebagainya 1.075.000.000,00 11.700.000.000,00 0615 Ongkos perkara 960.000.000,00 0619 Penerimaan kejaksaan dan peradilan lainnya 3.200.000.000,00 0710 Pendapatan Dari investasi Departemen Keuangan Republik Indonesia 7.110.900.000.000,00 481 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 0711 Bagian laba Dari BUMN 4.000.000.000.000,00 0713 Pelunasan piutang (penerimaan kembali pinjaman) 3.110.900.000.000,00 0810 Pendapatan kembali belanja tahun anggaran betjalan 37.098.400.000,00 0811 Penerimaan kembali belanja pegawai pusat 1.374.900.000,00 0812 Penerimaan kembali belanja pegawai daerah otonom 3.000.000.000,00 0813 Penerimaan kembali belanja pensiun 2.000.000.000,00 0814 Penerimaan kembali belanja rutin lainnya 30.174.800.000,00 0815 Penerimaan kembali belanja pembangunan rupiah 550.700.000,00 lainnya 0820 Pendapatan kembali belanja tahun anggaran yang 8.156.000.000,00 lain 0821 Penerimaan kembali belanja pegawai pusat 0824 Penerimaan kembali belanja rutin lainnya 1.352.100.000,00 4.401.700.000,00 0825 Penerimaan kembali belanja pembangunan rupiah lainnya 2.402.200.000,00 0880 Pendapatan lain-lain swadana 5.000.000.000,00 0881 Pendapatan lain-lain swadana 0890 Pendapatan lain-lain 0891 Penerimaan kembali persekot, uang muka gaji .5.000.000.000,00 14.375.342.100.000,00 935.300.000,00 0892 Penerimaan denda keterlambatan penye1esaian pekerjaan 2.634.700.000,00 0893 Penerimaan kembali ganti rugi alas kerugian yang danerita o1eh negara 1.652.600.000,00 0894 Penerimaan kembali perhitungan sisa lebih subsidi gaji PNS daerah otonom berdasarkan SPM nihil KPKN 200.000.000.000,00 0895 Penerimaan hasil penjualan saham pemerintah pada BUMN 0899 Pendapatan anggaran lainnya Departemen Keuangan Republik Indonesia 13.000.000.000.000,00 1.170.119.500.000,00 482 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Ayat (2) Cukup jelas Pasal4 Cukup jelas Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Pengeluaran rutin sebesar yang terdiri Dari : Rp 137.155.500.000.000,00 (dalam rupiah) 01 SEKTOR INDUSTRI 01.1 SubsektorIndustri 108.134.869.000,00 108.134.869.000,00 02 SEKTOR PERTANIAN DAN KEHUTANAN 02.1 Subsektor Pertanian 743.926.692.000,00 02.2 Subsektor Kehutanan 265.883.632.000,00 03 SEKTOR PENGAIRAN 03.1 Subsektor Pengembangan Sumber Daya Air 03.2 Subsektor Irigasi 478.043.060.000,00 50.074.119.000,00 21.699.856.000,00 28.374.263.000,00 04 SEKTOR TENAGA KERJA 391.589.383.000,00 04.1 Subsektor Tenaga KeIja 391.589.383.000,00 05 SEKTORPERDAGANGAN,PENGEMBANGAN USAHA NASIONAL, KEUANGAN, DAN KOPERASI .226.792.362.000,00 05.1 Subsekto[ Perdagangan Dalam Negeri 99.319.154.000,00 05.2 Subsektor Perdagangan Luar Negeri 80.318.089.000,00 05.4 Subsektor Keuangan 84.899.661.770.000,00 05.5 Subsektor Koperasi dan Pengusaha Kecil 147.493.349.000,00 Departemen Keuangan Republik Indonesia 483 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 06 SEKTOR TRANSPORTASI,METEOROLOGI DAN GEOFISIKA . 382.746.804.000,00 06.1 Subsektor Prasarana Jalan 35.264.654.000,00 06.2 Subsektor Transportasi Darat 34.323.135.000,00 06.3 Subsektor Transportasi Laut 179.245.976.000,00 06.4 Subsektor Transportasi Udara 71.088.612.000,00 06.5 Subsektor Meteorologi, Geofisika, Pencarian dan Penyelamatan (SAR) 62.824.427.000,00 07 SEKTOR PERTAMBANGAN DAN ENERGI 341.303.110.000,00 07.1 Subsektor Pertambangan 335.154.644.000,00 07.2 Subsektor Energi 6.148.466.000,00 08 SEKTORPARIWISATA,POS, 127.589.677.000,00 DAN TELEKOMUNIKASI 09 08.1 Subsektor Pariwisata 32.125.982.0_,00 08.2 Subsektor Pos dan Telekomunikasi 95.463.695.000,00 SEKTOR PEMBANGUNAN DAERAH DAN 19.749.041.453.000,00 TRANSMIGRASI 19.647.793.705.000,00 09.1 Subsektor Pemban_nan Daerah 09.2 Subsektor Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Rutan 10 SEKTOR LINGKUNGAN HIDUP DAN TATA RUANG 10.1 Subsektor Lingkungan Hidup 10.2 Subsektor Tata Ruang 101.247.748.000,00 424.764.039.000,00 10.901.822.000,00 413.862.217.000,00 11 SEKTOR PENDIDIKAN, KEBUDA Y AAN NASIONAL, KEPERCA Y AAN TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA, PEMUDA DAN OLAH Departemen Keuangan Republik Indonesia 484 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 TUHAN YANG MAHA ESA, PEMUDA DAN OLAH RAGA 6.045.226.198.000,00 11.1 Subsektor Pendidikan 5.448.386.637.000,00 11.2 Subsektor Pendidikan Luar Sekolah dan Kedinasan 471.023.698.000,00 11.3 Subsektor Kebudayaan Nasional dan Kepercayaan 114.116.236.000,00 Terhadap Tuhan Yang Maha Esa 11.699.627.000,00 11.4 Subsektor Pemuda dan Olah Raga 12 SEKTOR KEPENDUDUKAN DAN KELUARGA SEJAHTERA 440.524.075.000,00 12.1 Subsektor Kependudukan dan Keluarga Berencana 440.524.075.000,00 13 SEKTOR KESEJAHTERAAN SOSIAL, KESEHATAN, PERANAN W ANITA, ANAK DAN 829.066.848.000,00 REMAJA 13.1 Subsektor Kesejahteraan Sosial 151.188.095.000,00 13.2 Subsektor Kesehatan 677.878.753.000,00 14 27.804.202.000,00 SEKTOR PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN 14.1 Subsektor Perumahan dan Permukiman 20.113.788.000,00 14.2 Subsektor Penataan Kota dan Bangunan 7.690.414.000,00 15 SEKTORAGAMA 1.741.627.031.000,00 15.1 Subsektor Pelayanan Kehidupan Beragama 273.392.621.000,00 15.2 Subsektor Pembinaan Pendidikan Agama 16 SEKTOR ILMU PENGETAHUAN 1.468.234.410.000,00 DAN TEKNOLOGI 498.472.557.000,00 16.2 Subsektor Hmu Pengetahuan Terapan dan Dasar 312.183.984.000,00 16.3 Subsektor Kelembagaan Prasarana dan Sarana IImu Pengetahuan dan Teknologi 16.5 Subsektor Kedirgantaraan 16.6 Subsektor Sistem Informasi dan Statistik Departemen Keuangan Republik Indonesia 46.046.551.000,00 2.528.400.000,00 137.713.622.000,00 485 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 17 SEKTOR HUKUM 982.783.903.000,00 17.1 Subsektor Pembinaan Hukum Nasional 866.469.326.000,00 17.2 Subsektor Pembinaan Aparatur Hukum 116.314.577 .000,00 18 SEKTOR APARATUR NEGARA DAN PENGA WASAN 6.423.755.838.000,00 6.035.892.093.000,00 18.1 Subsektor Aparatur Negara 18.2 Subsektor Pendayagunaan Sistem dan Pelaksanaan 387.863.745.000,00 Pengawasan 19 SEKTOR POLITIK, HUBUNGAN LUAR NEGERI, PENERANGAN, KOMUNIKASI 2.710.591.890.000,00 DAN MEDIA MASSA 122.747.763.000,00 20 19.1 Subsektor Politik 1.978.397.732.000,00 19.2 Subsektor Hubangan Luar Negeri 19.3 Subsektor Penerangan, Komunikasi dan Media 609.446.395.000,00 Massa 20 SEKTOR PERTAHANAN DAN KEAMANAN 20.2 Subsektor Angkatan Bersenjata Indonesia 20.3 Subsektor Pendukung Departemen Keuangan Republik Indonesia Republik 9.909.684.950.000,00 9.695.086.646.000,00 214.598.304.000,00 486 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Pengeluaran pembangunan sebesar yang terdiri Dari : Rp 82.448.300.000.000,00 (dalam rupiah) Nilai Rupiah Rupiah Pil\jamau Proyek dan Kredit Ekspor 01 SEKTOR INDUSTRl 01.1 Subsektor Industri 02 239.089.900.000,00 390.128.000.000,00 629.217.900.000,00 239.089.900.000.00 390.128.000.000,00 629.217.900.000,00 3.290.131.600.000,00 1.323.130.000.000,00 4.613.261.600.000,00 3.267.129.600.000,00 1.122.100.000.000,00 4.389.229.600.000,00 23.002.000.000,00 201.030.000.000,00 224.032.000.000,00 SEKTOR PERTANIAN DAN KEHUTANAN 02.1 Subsektor Pertanian 02.2 Subsektor Kehutanan 03 03.1 JumIah SEKTOR PENGAlRAN Subsektor Pengembangan Somber Daya Air 1.404.650.000.000,002.061.555.000.000,00 3.466.205.000.000,00 358.000.000.000,00 1.163.427.000.000,00 1.521.427.000.000,00 03.2 Subsektor Irigasi 1.046.650.000.000,00 898.128.000.000,00 1.944.778.000.000,00 04 1.123.535.000.000,0078.547.000.000,00 SEKTOR TENAGA KERJA 04.1 Subsektor Tenaga KeIja 05 1.123.535.000.000,0078.547.000.000,00 1.202.082.000.000,00 1.202.082.000.000,00 SEKTOR PERDAGANGAN, PENGEMBANGAN USAHA NASIONAL, KEUANGAN DAN KOPERASI 05.1 05.2 05.3 Subsektor Perdagangan Dalam Negeri Subsektor Perdagangan Luar Negeri Subsektor Pengembangan Usaha Nasional 05.4 Subsektor Keuangan 05.5 18.741.867.600.000,00 Subsektor Koperasi dan Pengusaha Ked1 293.714.000.000,00 19.035.581.600.000,00 97.138.600.000,00 12.954.000.000,00 110.092.600.000,00 51.600.000.000,00 13.760.000.000,00 65.360.000.000,00 6.220.000.000,00 0,00 6.220.000.000,00 17.010.929.000.000,00 212.255.000.000,00 17.223.184.000.000,00 1.575.980.000.000,00 54.745.000.000,00 1.630.725.000.000,00 Departemen Keuangan Republik Indonesia 487 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 06 SEKTOR TRANSPORTASI, METEOROLOGI DAN GEOFISIKA 06.1 Subsektor Prasarana JaMn 2.630.829.000.000,005.795.791.000.000,00 8.426.620.000.000,00 2.003.129.000.000,003.240.438.000.000,00 5.243.567.000.000,00 06.2 Subsektor Transportasi Darat 251.700.000.000,00 1.328.531.000.000,00 1.580.231.000.000,00 06.3 Subsektor Transportasi Laut 166.000.000.000,00 286.110.000.000,00 452.110.000.000,00 06.4 Subsektor Transportasi Udara 190.000.000.000,00 890.612.000.000,00 1.080.612.000.000,00 06.5 Subsektor Meteoro1ogi, Geofisika, Pencarian dan Penye1amatan 20.000.000.000,00 (SAR) 50.100.000.000,00 70.100.000.000,00 07 SEKTOR PERTAMBANGAN DAN ENERGI 774.025.000.000,00 5.833.638.000.000,00 6.607.663.000.000,00 07.1 Subsektor Pertambangan 07.2 Subsektor Energi 08 52.825.000.000,00 16.500.000.000,00 69.325.000.000,00 721.200.000.000,00 5.817.138.000.000,00 6.538.338.000.000,00 SEKTOR PARIWISATA, POS DAN TELEKOMUNIKASI 08.1 Subsektor Pariwisata 08.2 Subsektor Pos dan Te1ekomunikasi Departemen Keuangan Republik Indonesia 82.900.000.000,00 835.200.000.000,00 57.700.000.000,00 918.100.000.000,00 35.100.000.000,00 92.800.000.000,00 25.200.000.000,00 800.100.000.000,00 825.300.000.000,00 488 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 09 SEKTOR PEMBANGUNAN DAERAH DAN TRANSMIGRASI 09.1 Subsektor Pembangunan DaerOO 11.005.675.600.000,00 10.116.725.600.000,00 3.540.106.000.000,00 14.545.781.600.000,00 3.540.106.000.000,00 13.656.831.600.000,00 09.2 Subsektor Transmigrasi dan Pemukiman PerambOO Hutan 888.950.000.000,00 0,00 888.950.000.000,00 SEKTOR LINGKUNGAN 10 IllDUP DAN TATA RUANG 10.1Subsektor Lingkungan Hidup 10.2Subsektor Tata Ruang 11 579.157.600.000,00353.579.000.000,00 932.736.600.000,00 502.380.600.000,00296.579.000.000,00 798.959.600.000,00 76.777.000.000,00 57.000.000.000,00 133.777.000.000,00 SEKTOR PENDIDIKAN, KEBUDAY AAN NASIONAL, KEPERCA Y AAN TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA, PEMUDA DAN OLAH RAGA 11.1 Subsektor Pendidikan 11.2 3.471.858.000.000,00 4.464.872.800.000,00 7.936.730.800.000,00 225.555.000.000,00 90.701;000.000,00 316.256.000.000,00 Subsektor Kebudayaan Nasional dan KeYang Maba Esa 12 8.381.264.800.000,00 SekolOO percayaan Terbadap Tuban 11.4 3.562.559.000.000,00 Subsektor Pendidikan Luar dan Kedinasan . 11.3 4.818.705.800.000,00 Subsektor Pemuda dan 0100 Raga 67.550.000.000,00 0,00 67.550.000.000,00 60.728.000.000,00 0,00 60.728.000.000,00 SEKTOR KEPENDUDUKAN DAN KELUARGA SEJAHTERA 244.050.000.000,00350.254.000.000,00 594.304.000.000,00 12.1 Subsektor Kependudukan dan Keluarga Berencana 244.050.000.000,00350.254.000.000,00 594.304.000.000,00 Departemen Keuangan Republik Indonesia 489 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 SEKTOR 13 KESEJAHTERAAN SOSIAL, KESEHATAN, PERANAN WANITA, ANAK DAN REMAJA 13.1 Subsektor KesejOOteraan Sosial 13.2Subsektor Kesehatan 13.3 14 14.2 317.853.400.000,00 2.029.740.000.000,00 Subsektor Peranan Wanita, Anak dan Rernaja 1.878.826.000.000,00 4.786.899.400.000,00 . 653.948.400.000,00 336.095.000.000,00 1.515.981.000.000,00 3.545.721.000.000,00 26.750.000.000,00 587.230.000.000,00 560.480.000.000,00 SEKTOR PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN 14.1 2.908.073.400.000,00 Subsektor PerumOOan dan Permukiman 1.713.320.500.000,00 1.505.122.000.000,00 3.218.442.500.000;00 1.354.877.000.000,00 1.704.720.500.000,00 Subsektor Penataan Kota dan 3.059.597.500.000,00 8.600.000.000,00150.245.000.000,00 158.845.000.000,00 Bangunan 15 15.1 15.2 16 SEKTOR AGAMA Subsektor Pelayanan Kehidupan Beragarna Subsektor Pembinaan Pendidikan Agama 16.2 2.156.000.000,00 25.456.000.000,00 289.410.000.000,00312.540.000.000,00 601.950.000:000,00 PENGETAHUAN Subsektor Teknik Produksi dan Teknologi 568.054.000.000,00332.400.000.000,00 900.454.000.000,00 174.133.000.000,00168.782.000.000,00 342.915.000.000,00 Subsektor llmu Pengetahuan Terapan dan Dasar 16.3 23.300.000.000,00 SEKTOR ILMU DAN TEKNOLOGI 16.1 312.710.000.000,00314.696.000.000,00 627.406.000.000,00 58.691.000.000,00 2.509.000.000,00 61.200.000.000,00 Subsektor Kelembagaan Prasarana dan Sarana llmu Pengetahuan dan 64.900.000.000,00153.435.000.000,00 218.335.000.000,00 Departemen Keuangan Republik Indonesia 490 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Teknologi 16.4 Subsektor Kelautan 58.700.000.000,00 5.336.000.000,00 64.036.000.000,00 16.5 Subsektor Kedirgantaraan 33.000.000.000,00 0,00 33.000.000.000,00 16.6 17 Subsektor Sistem Informasi dan Statistik SEKTOR HUKUM 17.1 17.2 17.3 18 Subsektor Pembinaan Hukum Nasional Subsektor Pembinaan Aparatur Huknm Subsektor Sarana dan Prasarana Huknm 220.801.000.000,00 9.336.000.000,00 230.137.000.000,00 23.715.000.000,00 0,00 23.715.000.000,00 54.636.000.000,00 0,00 54.636.000.000,00 142.450.000.000,00 9.336.000.000,00 151.786.000.000,00 NEGARA 18.1 Subsektor Aparatur Negara 428.291.700.000,00472.510.000.000,00 900.801.700.000,00 417.852.700.000,00472.510.000.000,00 890.362.700.000,00 Subsektor Pendayagunaan Sistem Dari Pelaksanaan Pengawasan 19 2.338.000.000,00 180.968.000.000,00 SEKTOR AP ARA TUR DAN PENGA W ASAN 18.2 178.630.000.000,00 10.439.000.000,00 0,00 10.439.000.000,00 SEKTOR POLITIK, HUBUNGAN LuAR NEGERI, PENERANGAN, KOMUNIKASI DAN MEDIA MASSA 109.447.300.000,00 44.509.000.000,00 153.956.300.000,00 19.1 Subsektor Politik 19.2 19.3 Subsektor Hubungan Luar Negeri 0,00 7.070.000.000,00 17.077 .300.000,00 0,00 17.077 .300.000,00 Subsektor Penerangan, Komunikasi dan Media Massa 20 7.070.000.000,00 85.300.000.000,00 44.509.000.000,00 129.809.000.000,00 SEKTOR PERTAHANAN DAN KEAMANAN 1.252.985.000.000,00 1.024.400.000.000, 00 2.277.385.000.000,00 20.1 Subsektor Rakyat Terlatih Departemen Keuangan Republik Indonesia 491 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Dari Perlindungan Masyarakat 10.612.000.000,00 20.2 Subsektor ABRI 944.873.000.000,00 20.3 Subsektor Pendukung 297.500.000.000,00 0,00 1. 024 .400.000.000,00 10.612.000.000,00 1.969.273.000.000,00 0,00 297.500.000.000,00 Pasal 6 Keputusan Presiden sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal ini ditetapkan pada bulan April 1999 dengan memperhatikan pendapat dan saran Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal7 Keputusan Presiden sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal ini ditetapkan pada bulan April 1999dengan memperhatikan pendapat dan saran Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 8 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Huruf e dan f Masalah perkembangan moneter dan perkreditan serta neraca pembayaran dan perdagangan luar negeri sebagian besar berada di sektor bukan pemerintah. Oleh sebab itu, penyusunan kebijaksanaan kredit dan devisa dalam bentuk dan arti seperti Pengeluaran Rutin dan Pengeluaran Pembangunan sukar untuk dilaksanakan, sehingga untuk itu dibuat dalam bentuk prognosa. Departemen Keuangan Republik Indonesia 492 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000 Ayat (2) Cukup jelas Pasal9 Cukup jelas Pasall0 Cukup jelas Pasalll Cukup jelas Pasal12 Cukup jelas Pasal 13 Pasal-Pasal Indische Comptabiliteitswet yang dinyatakan tidak berlaku adalah : 1. Pasal 2 Ayat (1) tentang susunan anggaran yang terdiri Dari belanja pegawai, belanja barang, dan belanja modal; 2. Pasal 2 Ayat (3) tentang kewenangan Gubernur Jenderal menetapkan perincian lebih lanjut pos; dan 3. Pasal 72 yang mengatur bahwa pengajuan Perhitungan Anggaran N egara (PAN) kepada Dewan Perwakilan Rakyat paling lambat tiga tahun setelah tahun anggaran yang bersangkutan berakhir. Pasal14 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3819 Departemen Keuangan Republik Indonesia 493