perkembangan praimplantasi embrio

advertisement
PERKEMBANGAN PRAIMPLANTASI EMBRIO
PARTENOGENETIK MENCIT (MUS MUSCULUS ALBINUS)
DENGAN PERLAKUAN TRICHOSTATIN A DAN SCRIPTAID
PADA MEDIUM AKTIVASI
ADKHILNI UTAMI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Perkembangan Praimplantasi
Embrio Partenogenetik Mencit (Mus musculus albinus) dengan Perlakuan
Trichostatin A dan Scriptaid pada Medium Aktivasi adalah karya saya sendiri dan
belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Juli 2012
Adkhilni Utami
NIM B04062849
ABSTRAK
ADKHILNI UTAMI. Perkembangan Praimplantasi Embrio Partenogenetik
Mencit (Mus musculus albinus) dengan Perlakuan Trichostatin A dan Scriptaid
pada Medium Aktivasi. Dibawah bimbingan ARIEF BOEDIONO dan HARRY
MURTI.
Partenogenesis merupakan tipe reproduksi aseksual yang biasa terjadi pada
hewan tingkat rendah. Secara alami, embrio mamalia diperoleh melalui proses
fertilisasi sel telur dan sperma. Embrio partenogenetik mulai digunakan dalam
penelitian rekayasa embrio untuk mengatasi permasalahan etika. Ketiadaan materi
genetik paternal pada embrio partenogenetik ini menimbulkan permasalahan
epigenetika, atau disebut juga genomic imprinting. Oleh karena itu, berbagai cara
digunakan untuk mengatasi hal tersebut, salah satunya dengan penggunaan
histone deacetylation inhibitor (HDACi). Embrio partenogenetik diaktivasi
dengan medium kombinasi strontium (SrCl2) dan cytochalasin B. Pada kontrol
positif medium aktivasi tidak ditambah HDACi sedangkan perlakuan pertama
ditambah trichostatin A (TSA) dan perlakuan kedua ditambah scriptaid. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 80,0% embrio membelah menjadi 2 sel
pada kontrol, 85,0% pada perlakuan pertama, dan 95,0% pada perlakuan kedua.
Meskipun tidak berbeda nyata (P>0.05) penambahan HDACi cenderung
meningkatkan aktivasi embrio dibandingkan kontrol dan scriptaid cenderung
menghasilkan embrio yang teraktivasi lebih baik dibandingkan TSA. Sebanyak
3,4% embrio mampu membelah hingga mencapai tahap 5 sel pada perlakuan
scriptaid dan 1,8% pada perlakuan TSA, sedangkan 12,1% embrio pada kontrol
hanya mampu berkembang hingga 4 sel. Embrio partenogenetik yang diaktivasi
dengan penambahan scriptaid menunjukkan perkembangan yang cenderung lebih
baik dibandingkan dengan TSA dan kontrol meskipun hasil kedua perlakuan dan
kontrol tidak berbeda nyata (P>0.05).
Kata kunci: partenogenetik, genomic imprinting, histone deacetylation inhibitor,
trichostatin A (TSA), scriptaid
ABSTRACT
ADKHILNI UTAMI. Preimplantation Development of Parthenogenetic Mice
(Mus musculus albinus) Embryos with Trichostatin A and Scriptaid Treatment on
Activation Medium. Under supervision of ARIEF BOEDIONO and HARRY
MURTI.
Pathenogenesis is an asexual reproduction that usually happen in
avertebrata. Naturally, the mammalian embryos are obtained through the
fertilization process of ovum and sperm. Recently parthenogenetic embryo has
started to be used in embryonic engineering research to address some ethical
issues. The absence of paternal genetic material in parthenogenetic embryos, also
called genomic imprinting, raises epigenetic problem. Therefore, various efforts
are conducted to overcome this problem includes using of histone deacetylation
inhibitor (HDACi). Parthenogenetic embryos are activated with a combination
medium of strontium (SrCl2) and cytochalasin B. As a positive control of this
study, activating medium was absent of HDACi; whereas the first treatment
medium was added with trichostatin A (TSA) and the second treatment was added
with scriptaid. The results showed that as many as 80.0% of the total embryos
divided into two cells in the control medium, whereas 85.0% in the TSA added
medium, and 95.0% in the scriptaid added medium. Although there is no
significant difference (P>0.05) between thoose treatments, the addition of HDACi
is tend to increase the activation of embryos than control, and scriptaid tent to
produce better activated embryos than TSA. As many as 3.4% of total embryos
were capable to develop up to five cells in scriptaid added medium and 1.8% in
TSA added medium, while 12.1% in the control medium develop up to four cells.
Parthenogenetic embryos which were being activated by scriptaid added medium
tend to developed better than the ones being activated by TSA added medium or
the control medium, although the results were not significantly different (P>0.05).
Keywords: Parthenogenetic, genomic imprinting, histone deacetylation inhibitor,
trichostatin A (TSA), scriptaid
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan
pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan,
penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak
merugikan kepentingan yang wajar IPB.
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
PERKEMBANGAN PRAIMPLANTASI EMBRIO
PARTENOGENETIK MENCIT (MUS MUSCULUS ALBINUS)
DENGAN PERLAKUAN TRICHOSTATIN A DAN SCRIPTAID
PADA MEDIUM AKTIVASI
ADKHILNI UTAMI
B04062849
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Judul
Nama
NIM
: Perkembangan Praimplantasi Embrio Partenogenetik
Mencit (Mus musculus albinus) dengan Perlakuan
Trichostatin A dan Sciptaid pada Medium Aktivasi
: Adkhilni Utami
: B04062849
Disetujui
Pembimbing I
Pembimbing II
Prof. Drh. Arief Boediono, Ph.D., PAVet (K)
NIP. 19640305 198803 1 002
Harry Murti, S.Si
NIP. B362080041
Diketahui :
a.n Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Wakil Dekan
Drh. Agus Setiyono, M.S., Ph.D., APVet
NIP.19630810 198803 1 004
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan
karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi hasil penelitiannya
yang berjudul “Perkembangan Praimplantasi Embrio Partenogenetik Mencit
(Mus musculus albinus) dengan Perlakuan Trichostatin A dan Sciptaid pada
Medium Aktivasi”.
Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih kepada :
1.
Prof. Drh. Arief Boediono, Ph.D., PAVet (K) dan Harry Murti, S.Si. selaku
dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan dalam
penyelesaian skripsi hasil penelitian ini.
2.
Prof. Dr. Drh. Dondin Sajuthi, M.ST. selaku dosen pembimbing akademik
atas bimbingan dan dukungan yang diberikan selama masa studi.
3.
Dr. Drh. M. Agus Setiadi selaku dosen penilai seminar serta Drh. Dudung
Abdullah SM dan Drh. Rahmat Hidayat, M.Si selaku dosen penguji ujian
akhir yang telah memberikan saran, nasihat, serta evaluasi yang membangun.
4.
Dosen dan staf di bagian Anatomi, Histologi, dan Embriologi FKH IPB atas
nasihat serta ilmu yang telah banyak disampaikan.
5.
Ibu (Elsi Murwani), bapak (Sanip Sudjana, Alm.), ibu mertua (Pipih Sofiah),
bapak mertua (A. Yusuf Rahman), kakak, adik, serta keluarga tercinta untuk
kasih sayang, dukungan, kesabaran, perhatian, bimbingan, serta doa yang
tiada henti-hentinya.
6.
Suami (Kiki Ahmad Zakiyudin) dan putra (Muhammad Hafizh Izzuddin)
yang selalu menjadi penyejuk hati.
7.
Rekan sepenilitian: Candrani Khoirinaya, Vincentia Maria, dan Riska
Saftiany atas bantuan, diskusi, serta kerja sama yang terjalin selama
penelitian dan pembuatan skripsi.
8.
Senior-senior di lab embriologi: Dr. Ir. Thomas Mata Hine, M.Si, Dr. Ir. Bayu
Rosadi, M.Si, Dr. Ir. Irma Indriani, M.Si, Ekayanti M. Kaiin, M.Si, Tatan
Kastaman, MP, Yulnawati, S.KH, M.Si, Devi Syafrianti, S.Si, Yeni Risman,
S.Si, Ir. Satya Gunawan, MP, drh. Rini Widyastuti atas diskusi, nasihat, dan
rasa kekeluargaan yang menyenangkan.
9.
Bu Yani, Pak Wahyu, Bu Nur, dan bapak-bapak satpam FKH IPB atas segala
bantuan yang diterima oleh penulis selama menjalankan tugas akhir.
10. Rekan-rekan FKH angkatan 43 (Aesculapius) serta senior dan adik angkatan
di FKH yang telah memberikan motivasi serta doa.
11. Saudara-saudari seperjuangan: Ksatria 43, Humairoh, Gatot, An-Nahl, dan
Buroq 43 atas persaudaraan yang indah.
12. Semua pihak yang telah membantu baik langsung maupun tidak langsung
dalam penyusunan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi hasil penelitian ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran dari semua pihak sangat diharapkan
penulis demi kesempurnaannya. Semoga skripsi hasil penelitian ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca yang memerlukan serta berkontribusi dalam
pengembangan ilmu pengetahuan.
Bogor, Juli 2012
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bekasi, Jawa Barat pada tanggal 7 Mei 1988 dan
merupakan anak tunggal dari keluarga Sanip Sudjana (Alm.) dan Elsi Murwani.
Pada tahun 2000, penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Bani
Saleh 5 Bekasi, kemudian melanjutkan studi di SLTP Al-Azhar 6 Bekasi dan lulus
pada tahun 2003. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan studi di SMA Negeri
1 Bekasi dan lulus pada tahun 2006. Kemudian pada tahun yang sama penulis
diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk
IPB (USMI). Pada tahun 2007, penulis mulai belajar di Fakultas Kedokteran
Hewan IPB.
Selama menempuh program sarjana penulis aktif sebagai sekretaris 1 BEM
TPB IPB (2006-2007), pengurus dan pembina Birena Al-Hurriyyah (2006-2010),
staf PSDM DKM An-Nahl FKH IPB (2007-2009), anggota Himpunan Minat
Profesi Ruminansia (2007-2009), asisten praktikum matakuliah Pendidikan
Agama Islam (2009-2011), serta asisten praktikum matakuliah Embriologi dan
Genetika Perkembangan (2009-2011).
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ..................................................................................
DAFTAR GAMBAR .............................................................................
xi
xii
PENDAHULUAN
Latar Belakang ...........................................................................
Tujuan Penelitian .......................................................................
Manfaat Penelitian .....................................................................
1
3
3
TINJAUAN PUSTAKA
Fertilisisasi ..................................................................................
Kultur In Vitro ............................................................................
Aktivasi Embrio Partenogenetik ................................................
Pembelahan Embrio ....................................................................
Histone Deacetylase Inhibitor (HDACi) ...................................
4
5
5
6
7
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian ....................................................
Bahan Penelitian..........................................................................
Metode Penelitian........................................................................
Superovulasi.......................................................................
Koleksi Sel Telur ...............................................................
Koleksi Embrio Fertilisasi .................................................
Aktivasi Partenogenetik ....................................................
Kultur In Vitro ..................................................................
Evaluasi Embrio ...............................................................
Rancangan Penelitian .................................................................
Analisis Data ..............................................................................
9
9
9
9
9
10
10
11
11
12
14
HASIL DAN PEMBAHASAN ..............................................................
15
SIMPULAN DAN SARAN ....................................................................
Simpulan .....................................................................................
Saran ............................................................................................
24
24
24
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................
25
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Perkembangan embrio partenogenetik setelah aktivasi ......................
18
2. Kemampuan membelah embrio partenogenetik .................................
19
3. Kemampuan perkembangan embrio partenogenetik ...........................
21
4. Kemampuan perkembangan embrio hasil fertilisasi ..... .....................
22
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Sel telur terfertilisasi ...........................................................................
4
2. Perbedaan fertilisasi normal dengan partenogenetik ..........................
6
3. Pembelahan embrio praimplantasi pada mencit ..................................
7
4. Proses asetilasi dan deasetilasi histon .................................................
8
5. Diagram kelompok penelitian .............................................................
12
6. Diagram rancangan penelitian aktivasi embrio partenogenetik ..........
13
7. Diagram rancangan penelitian embrio fertilisasi ................................
13
8. Morfologi embrio partenogenetik setelah aktivasi ..............................
17
9. Morfologi perkembangan embrio partenogenetik ...............................
20
10. Morfologi perkembangan embrio fertilisasi......................................
22
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Partenogenesis merupakan perkembangan embrio dari sel telur yang tidak
diaktivasi oleh sperma (McGeady et al. 2006). Kejadian ini secara alami sering
terjadi pada hewan invertebrata seperti cacing tanah (Jaenike & Roberts 1979),
kutu, kumbang, lebah madu, serta hewan vertebrata seperti kadal, salamander,
beberapa ikan, dan ular.
Pada mamalia, embrio partenogenetik dapat pula diproduksi secara in vitro
melalui stimulasi mekanis, kimiawi, atau kombinasi keduanya (Versieren et al.
2010). Stimulasi mekanis dapat menggunakan listrik/ elektrik (Onodera &
Tsunoda 1988; Krivokharchenko et al. 2003) atau panas (heatshock) (Balakier &
Tartowski
1976).
Sementara
itu,
stimulasi
kimiawi
dilakukan
dengan
menggunakan medium aktivasi seperti alkohol, hyaluronidase, Ca2+ ionophore
A23187, Ca2+/Mg2+ -free medium, anesthetics (Hogan et al. 1994), ethanol 7%
diikuti dengan cytochalasin B atau D (Boediono et al. 1995), ethanol atau
strontium (Krivokharchenko et al. 2003), kombinasi strontium dengan
cycloheximide dan kombinasi strontium dengan 6-dimethylaminopurine (Varga et
al. 2008), kombinasi ionomycin dengan 6-dimethylaminopurine dan kombinasi
stronsium dengan cytochalasin B (Guo et al. 2009), atau kombinasi calcium-free
CZB (Chatot Ziomec Bavister) dengan cytochalasin B dan SrCl2 (Murti et al.
2009). Perlakuan ini akan mengaktivasi sel telur dan menahan keluarnya badan
polar kedua sehingga sel tetap bersifat diploid.
Penelitian embrio partenogenetik pada mamalia dimanfaatkan untuk
berbagai hal seperti kloning pada tikus (Krivokharchenko et al. 2003), kloning
pada babi (Loi et al. 1998), khimera (Paldi et al. 1989), transfer inti pada mencit
(Meng et al. 2008), dan transfer inti pada tikus (Mizumoto et al. 2008). Seiring
perkembangan ilmu pengetahuan, embrio partenogenetik digunakan pula sebagai
sumber stem cell embrionik yang berguna untuk terapi sel dan pengobatan
penyakit degeneratif (Hine 2009; Hao et al. 2009; Liu et al. 2011).
Keberhasilan embrio partenogenetik dipengaruhi oleh beberapa faktor,
antara lain kualitas sel telur (superovulasi), jenis medium aktivasi, lama aktivasi,
dan medium kultur (Hogan et al. 1994). Sel telur dewasa lebih mudah diaktivasi
daripada sel telur yang lebih muda, bahkan beberapa di antaranya dapat teraktivasi
sendiri dengan membentuk pronukleus tanpa diaktivasi (Krivokharchenko et al.
2003). Selain itu, kultur embrio secara in vitro ini juga sangat dipengaruhi oleh
lingkungan seperti O2, CO2, pH, suhu inkubator, cahaya, volume inkubasi, serta
jumlah embrio yang dikultur dalam satu kelompok (Khoirinaya 2011).
Berbeda dengan embrio normal hasil fertilisasi, embrio partenogenetik
hanya mendapatkan materi genetik maternal. Sebagai konsekuensi, embrio
partenogenetik akan mengalami kegagalan pada awal kebuntingan (Tada &
Takagi 1992; Boediono et al. 1995). Kegagalan ini akibat dari apa yang disebut
dengan genomic imprinting, yaitu mekanisme molekular untuk mengontrol
ekspresi gen spesifik parental asal, berdasarkan modifikasi epigenetik seperti
metilasi DNA (Kono 2006). Selain itu, DNA memiliki komponen bernama histon
yang memiliki dua bentuk, asetilasi dan deasetilasi. Kedua bentuk ini diimbangi
dengan regulasi enzim, histon asetilase (HACs) dan histon deasetilase (HDACs).
Enzim-enzim tersebut berperan penting dalam meregulasi ekspresi gen dan
pemasangan kromatin sehingga berpotensi untuk mencegah penghambatan
pertumbuhan, diferensiasi, dan apoptosis sel. Penghambatan HDACs ini menjadi
strategi baru untuk terapi kanker pada manusia (Monneret 2005; Yoo & Peter
2006).
Penggunaan histon deacetylase inhibitors (HDACi) ini telah banyak
digunakan dalam upaya peningkatan keberhasilan kloning (Kishigami et al. 2006;
Wang et al. 2007; Das et al. 2010) maupun transfer inti sel somatis (Iager et al.
2008; Meng et al. 2009; Beebe et al. 2009; Zhao et al. 2010) pada embrio hewan
mamalia. Perlakuan menggunakan trichostatin A (TSA) setelah transfer inti sel
somatis ke donor pada mencit dapat meningkatkan aplikasi teknik kloning
(Kishigami et al. 2006). Pada penelitian yang lain, perlakuan dengan kombinasi
TSA dan cytochalasin B dapat meningkatkan perkembangan morfologis in vitro
dan kualitas embrio babi hasil dari transfer inti sel somatis (Beebe et al. 2009).
Menurut Meng et al. (2009), penggunaan TSA ini memiliki efek terbatas
pada perkembangan in vitro dari embrio hasil transfer inti sel somatis. Selain itu,
kloning embrio tersebut dapat berkembang baik dengan perlakuan maupun tanpa
perlakuan TSA walaupun tak satupun embrio yang dapat berkembang menjadi
dewasa dalam eksperimennya.
Akagi et al. (2008) menggunakan HDACi lain yaitu scriptaid untuk
meningkatkan perkembangan embrio hasil transfer inti pada sapi. Penelitian yang
dilakukan oleh Zhao et al. (2010) menunjukkan bahwa scriptaid dapat
meningkatkan histon asetilasi dalam Histone H4 pada lysine 8 (AcH4K8) sama
seperti yang terjadi pada embrio fertilisasi in vivo sehingga embrio hasil transfer
inti pada sapi dapat berkembang dengan baik. Penelitian lebih lanjut harus
dilakukan untuk melihat perbandingan efisiensi antara medium TSA dengan
scriptaid yang diaplikasikan pada embrio partenogenetik selama masa aktivasinya.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari perkembangan praimplantasi
embrio partenogenetik mencit (Mus musculus albinus) dengan perlakuan
penambahan TSA dan scriptaid sebagai HDACi ke dalam medium aktivasi.
Manfaat
Penelitian ini bermanfaat untuk memperoleh informasi mengenai potensi
pemanfaatan TSA dan scriptaid sebagai HDACi dalam peningkatan efisiensi
produksi embrio partenogenetik pada mencit secara in vitro.
TINJAUAN PUSTAKA
Fertilisasi
Fertilisasi merupakan proses bertemunya sel sperma dengan sel telur. Sel
telur diaktivasi untuk memulai perkembangannya dan inti sel dari dua gamet akan
bersatu untuk menyempurnakan proses reproduksi seksual. Penetrasi spermatozoa
ke dalam membran vitelin mengaktivasi sel telur untuk melengkapi proses
meiosisnya dan mengeluarkan badan polar kedua. Kromosom yang terkandung
dalam pronukleus jantan haploid bersatu dengan kromosom dalam pronukleus
betina. Proses penyatuan kedua kromosom tersebut disebut dengan singami.
Sebagai konsekuensi dari fertilisasi, jumlah kromosom kembali menjadi diploid,
jenis kelamin suatu individu ditentukan, dan variasi biologis dihasilkan dari
integrasi karakteristik herediter paternal dan maternal (McGeady et al. 2006).
A
B
Fertilisasi/ konsepsi
Gambar 1 Sel telur terfertilisasi. (A) Proses fertilisasi, (B) Embrio 2 sel (Byers et
Embrio 2 sel
al. 2006)
Masuknya spermatozoa ke dalam membran plasma sel telur menginduksi
pelepasan kalsium intraseluler dalam sel telur (Alberio et al. 2001). Setelah
fertilisasi, perubahan metabolisme sel telur dipengaruhi oleh fluktuasi konsentrasi
kalsium tersebut. Peningkatan konsentrasi kalsium ini akan menahan proses
meiosis sel telur dan menginduksi proses mitosis embrio. Respon aktivasi sel telur
tersebut termasuk pengerahan mRNA maternal untuk translasi, perubahan sintesis
protein, dan aktivasi genom zigot (McGeady et al. 2006).
Kultur In Vitro
Embrio berkembang lebih lambat dalam medium kimiawi pada kultur in
vitro dibandingkan dengan in vivo, hal ini menunjukkan bahwa saluran reproduksi
menjadi faktor spesifik yang diperlukan dalam pertumbuhan dan perkembangan
optimal pada sel telur (Pratt 1987). Kemampuan sel telur untuk bertahan dalam
kultur in vitro tergantung pada spesies, tahap perkembangan sel telur, kandungan
fisik dan biokimia pada media, suhu penyimpanan, tingkat pendinginan dan
penghangatan sel telur, serta teknik penyimpanan dan transfer sel telur.
Aktivasi Embrio Partenogenetik
Partenogenesis dikenal sebagai produksi embrio dari gamet betina tanpa
diikuti oleh gamet jantan, dengan atau tanpa perkembangan menjadi dewasa
(Sandhu et al. 1994). Secara alami, proses ini terjadi pada hewan tingkat rendah
seperti insekta, moluska, dan sebagainya. Partenogenesis dapat menggunakan
berbagai stimulasi, yaitu stimulasi fisik, suhu, kimia, radiasi, serta stimulasi
dengan memasukkan sperma (Sandhu et al. 1994). Stimulasi dengan suhu adalah
dengan menempatkan sel telur pada suhu yang tinggi atau rendah seperti yang
dilakukan oleh Balakier & Tarkowski (1976). Stimulasi kimiawi dapat
menggunakan Ca2+ ionophore, ethanol 7%, strontium chloride, phorbol ester, dan
thimerosal. Berbagai stimulasi tersebut menggantikan peran sperma dalam
menginduksi pelepasan kalsium intraseluler sehingga sel telur dapat teraktivasi
(Alberio et al. 2001).
Selain itu, terdapat senyawa kimia lain yang perlu ditambahkan pada
medium aktivasi atau medium kultur untuk mencegah keluarnya badan polar
kedua di dalam sel telur. Cytochalasin B, misalnya, memiliki kemampuan untuk
memecah filamen aktin dan menghambat sitokinesis (Murti et al. 2009). Oleh
karena itu, sel telur akan tetap mengandung kromosom diploid sehingga dapat
berkembang sebagai embrio partenogenetik.
Fertilisasi Normal
Ganbar 2
Partenogenetik
Oosit matang
- PB 1
Oosit matang
- PB 1
Fertilisasi
- PB 1 & 2
Aktivasi
- Ethanol 7%
- Cytochalasin
Terfertilisasi
- PN jantan
- PN betina
Terfertilisasi
- PN jantan
- PN betina
Diploid
- PB 1 & 2
Diploid
- PB 1
Perbedaan fertilisasi normal dengan partenogenetik (Boediono et al.
1995)
Pembelahan Embrio
Sel telur yang telah diovulasi akan mengalami beberapa tahapan setelah
diaktivasi maupun difertilisasi oleh sel sperma. Sel telur akan berkembang
menjadi zigot kemudian melakukan pembelahan awal menjadi 2 sel, 4 sel, 8 sel,
hingga mengalami kompaksi dan disebut dengan morula. Kemudian morula
berkembang menjadi blastosis yang memiliki struktur terdiri atas blastosul, Inner
Cell Mass (ICM), trofoblast, dan zona pelusida. Selanjutnya balstosis akan keluar
dari zona pelusida (hatching) untuk kemudian berimplantasi pada dinding uterus
(Hogan 1994).
Zigot
2 sel
4 sel
8 sel
Morula
Blastosis
Gambar 3 Pembelahan embrio praimplantasi pada mencit (Goetz 2005)
Pada mamalia, pembelahan awal terjadi selama 24 jam kemudian
pembelahan selanjutnya terjadi pada interval setiap 12 jam hingga hari ketiga.
Berbeda dengan pembelahan in vivo, proses pembelahan pada in vitro mengalami
pelambatan sehingga membutuhkan waktu 48 jam setelah fertilisasi. Sinkronisasi
pembagian blastomer pun tidak terjadi pada tahap awal sehingga dapat ditemukan
tahapan tiga, lima, enam, atau tujuh blastomer pada proses secara in vitro
(McGeady et al. 2006).
Histone Deacetylase Inhibitor (HDACi)
Histon merupakan struktur protein yang bersama-sama dengan DNA
membentuk kromatin. Histon membantu mengorganisasi untai-untai panjang
DNA menjadi sebuah struktur yang dikenal sebagai nukelosom. Sebagai protein
dasar yang kaya akan asam amino, lysin, dan arginin, histon dapat mengalami dua
bentuk yang antagonis, yaitu asetilasi dan deasetilasi. Enzim yang bertanggung
jawab terhadap mekanisme tersebut ialah histone acetyl transferases (HTAs) yang
memproduksi
asetilasi
dan
histone
deacetylases
(HDACs)
yang
akan
mengembalikan proses tersebut.
N-terminal pada histon memainkan sebagian besar peran dalam regulasi
transkripsi. Mengingat asetilasi berkorelasi dengan perubahan bentuk dan aktivasi
transkripsi nukleosom, deasetilasi histon menginduksi penahanan transkripsi
melalui kondensasi kromatin. Hal ini dapat dijelaskan oleh fakta bahwa netralisasi
pengisian residu lysin dalam rantai N-terminal oleh proses asetilasi menyebabkan
longgarnya rantai histon dan DNA. Relaksasi struktur kromatin ini memudahkan
masuknya faktor yang bervariasi ke DNA. Pergantian grup asetil pada molekul
histon yang cepat di dalam sel dan tingkat asetilasi dikontrol oleh keseimbangan
kedua aktivitas tersebut, asetilasi dan deasetilasi (Monneret 2005).
Asetilasi histon
(aktivasi transkrispsi)
kromatin terbuka
kromatin tertutup
Deasetilasi histon
(membungkam gen)
Gambar 4 Asetilasi dan deasetilasi histon (Shonka & Gilbert 2010)
Histone Deacetylase Inhibitor (HDACi) merupakan enzim penghambat
proses deasetilasi. Ia terbagi menjadi empat kelompok: asam lemak rantai pendek,
asam hidroksamid, tetrapeptida siklik, dan benzamid. Masing-masing jenis
HDACi memiliki fungsi yang berbeda; agen-agen ini menghambat enzim
deasetilase histon yang akan mendorong akumulasi asetilasi di dalam histon serta
diikuti pula oleh perubahan intrasel (Yoo 2006).
Trichostatin A (TSA) dan scriptaid merupakan contoh inhibitor jenis asam
hidroksamid. Hidroksamid adalah inhibitor HDACs yang potensial serta aktif
pada konsentrasi mikromolar sampai dengan nanomolar. TSA, yang dihasilkan
dari Streptomyces hygroscopicus (Monneret 2005), telah ditunjukkan pertama kali
sebagai penghambat diferensiasi yang potensial dan penahan siklus sel, serta
laporan terakhir menyebutkan bahwa TSA memliki aktivitas anti-HDAC (Yoo
2006).
Inhibitor lainnya, scriptaid, dapat menginduksi modifikasi rantai histon
yang penting dalam struktur kromatin: meningkatkan asetilasi H3K9 dan
dimetilasi H3K4 serta menurunkan dimetilasi H3K9 sehingga mampu menekan
petumbuhan kanker yang dipengaruhi oleh perubahan epigenetik (Lee et al.
2008).
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini berlangsung dari bulan Januari 2011 s.d. Februari 2012.
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Embriologi Departemen Anatomi
Fisiologi dan Farmakologi dan UPT Hewan Laboratorium Fakultas Kedokteran
Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Bahan Penelitian
Penelitian ini menggunakan mencit (Mus musculus albinus) betina
sebanyak 32 ekor dan jantan sebanyak 4 ekor berumur 8-10 minggu.
Metode Penelitian
Prosedur kerja penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Superovulasi
b. Koleksi sel telur
c. Koleksi embrio fertilisasi
d. Aktivasi partenogenetik
e. Kultur in vitro
f. Evaluasi embrio
Superovulasi
Superovulasi dilakukan dengan menyuntikkan hormon Pregnant Mare’s
Serum Gonadotropin (PMSG, Folligon®, Intervet, Netherlands) 5 IU secara
intraperitoneal untuk menstimulasi folikulogenesis. Kemudian 46-48 jam
setelahnya dilakukan penyuntikan hormon human Chorionic Gonadotropin (hCG,
Chorulon®, Intervet, Netherlands) 5 IU secara intraperitoneal untuk menginduksi
ovulasi.
Koleksi Sel Telur
Koleksi sel telur dilaksanakan pada 14-18 jam setelah penyuntikan hCG
(Otaegui et al. 1999). Koleksi sel telur dilakukan dengan cara menyayat ampula
tuba Falopii. Sel telur diletakkan dalam cawan petri dan dicuci sebanyak tiga kali
dalam medium M2 (Hogan et al. 1994). Sel telur yang masih dikelilingi oleh selsel kumulus ditempatkan dalam kombinasi M2 dengan hyaluronidase 0,02% dan
diinkubasi selama 5-10 menit hingga ikatan antara sel kumulus terlepas dan sel
telur dapat dikoleksi. Sel telur yang telah terlepas dari Cumulus Oocyte
Complexes (COC) dipindahkan ke dalam medium CZB tanpa glukosa kemudian
diinkubasi dalam inkubator CO2 5% dengan suhu 37oC selama 10-20 menit.
Kemudian sel telur yang ada dihitung jumlahnya dan diamati sel telur berkualitas
baik dan kurang baik. Sel telur yang berkualitas baik (viable), ditunjukkan dengan
keadaan sitoplasma bulat dengan granulasi yang homogen sedangkan sel telur
berkualitas kurang baik ditunjukkan dengan keadaan sitoplasma yang fragmentasi
atau degenerasi (Rumiyati 2001).
Koleksi Embrio Fertilisasi
Mencit betina yang telah dilakukan superovulasi digabungkan dengan
mencit jantan dengan perbandingan 1:1. Identifikasi mencit betina yang telah
melakukan perkawinan dengan mencit jantan dilakukan dengan memeriksa
sumbat vagina (vaginal plug) 15-18 jam setelah penyuntikan hCG (Hine 2009).
Koleksi embrio dilakukan pada hari kedua setelah penyuntikan hCG
dengan mencacah tuba Falopii di dalam medium M2 menggunakan bantuan
mikroskop stereo. Embrio yang telah membelah menjadi dua sel atau lebih
dimasukkan ke dalam cawan petri dan dicuci sebanyak tiga kali dalam medium
Chatot Ziomec Bavister (CZB) tanpa glukosa.
Aktivasi Partenogenetik
Aktivasi partenogenetik menggunakan kombinasi medium CZB tanpa Ca2+
dan Mg2+ dengan cytochalasin B (Sigma, C6762, St. Louis, MO, USA) 5 µg/ ml
dan strontium chlorida (SrCl2) (Sigma, 255521, St. Louis, MO, USA) 10 mM
(Murti et al. 2009). Aktivasi dilakukan dengan tiga jenis perlakuan: 1)
menggunakan medium aktivasi tanpa HDACi, 2) kombinasi medium aktivasi
dengan TSA 5 nm, 3) kombinasi medium aktivasi dengan scriptaid 5 nm. Sel telur
dipindahkan ke dalam medium tetes sebanyak 50 µl pada masing-masing
perlakuan tersebut kemudian diinkubasi selama 6 jam dalam inkubator CO2 5%
dengan suhu 37oC.
Kultur In Vitro
Embrio yang telah teraktivasi dari masing-masing medium dipindah ke
medium CZB tanpa glukosa untuk kontrol positif, kombinasi CZB tanpa glukosa
dengan TSA untuk perlakuan pertama, dan kombinasi CZB tanpa glukosa dengan
scriptaid untuk perlakuan kedua kemudian diinkubasi selama 4 jam (Kishigami et
al. 2006) dalam inkubator CO2 5% dengan suhu 37 oC. Setelah itu, embrio
dikultur pada medium CZB tanpa glukosa dalam medium tetes sebanyak 50 µl
yang disiapkan dalam cawan petri 35 mm (Falcon 3002) dan ditutupi dengan
mineral oil (Sigma; M8410) (Haydar et al. 2001). Medium tetes tersebut
diekuilibrasi dalam inkubator CO2 5% dengan suhu 37oC selama semalam
sebelum dimasukkan embrio. Embrio dikultur hingga mencapai tahap 2-8 sel.
Setelah 48 jam, embrio yang telah membelah tersebut dipindah ke dalam medium
CZB glukosa dalam medium tetes sebanyak 50 µl yang disiapkan dalam cawan
petri 35 mm (Falcon 3002) dan ditutupi dengan mineral oil (Sigma; M8410)
hingga tahap blastosis.
Embrio hasil fertilisasi normal dikultur pada medium CZB tanpa glukosa
dalam medium tetes sebanyak 50 µl yang disiapkan dalam cawan petri 35 mm
(Falcon 3002) dan ditutupi dengan mineral oil (Sigma; M8410) (Haydar et al.
2001). Embrio dikultur hingga mencapai tahap blastosis.
Evaluasi Embrio
Evaluasi embrio dilakukan di bawah mikroskop inverted. Evaluasi pertama
yaitu mengamati pembentukan pronukleus pada 0 jam setelah aktivasi kemudian
dicatat jumlah embrio yang tidak membentuk pronukleus, membentuk 1
pronukleus, 2 pronukleus, lebih dari 2 pronukleus, serta immadiately cleavage.
Hal serupa dilakukan pula pada 4 jam setelah aktivasi. Selanjutnya, embrio yang
telah dikultur selama 24 jam diamati perkembangannya hingga 48 jam berikutnya.
Rancangan Penelitian
Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak
lengkap. Penelitian ini terdiri atas kelompok fertilisasi in vivo (kontrol negatif),
kelompok aktivasi partenogenetik tanpa HDACi (kontrol positif), dan kelompok
aktivasi partenogenetik dengan HDACi (perlakuan). Kelompok kontrol negatif
adalah embrio yang dihasilkan dari proses fertilisasi normal secara in vivo.
Kelompok kontrol positif adalah embrio yang dihasilkan dari proses aktivasi
secara in vitro menggunakan medium aktivasi tanpa disertai penambahan HDACi.
Kelompok perlakuan adalah embrio yang dihasilkan dari proses aktivasi secara in
vitro menggunakan medium aktivasi dengan disertai penambahan HDACi.
Perlakuan pertama yaitu dengan penambahan TSA dan perlakuan kedua yaitu
dengan penambahan scriptaid. Penelitian dilakukan sebanyak tiga kali
pengulangan.
Respon yang diamati adalah viabilitas embrio sejak aktivasi hingga kultur.
Viabilitas embrio meliputi kelangsungan hidup berdasarkan morfologis embrio
dan keberhasilan perkembangan setiap tahapan embrio. Perkembangan tahapan
embrio ini dinilai dari kemampuan embrio membentuk pronukleus setelah
aktivasi. Perkembangan selanjutnya diamati setelah 24 dan 48 jam pada kontrol
positif dan perlakuan sedangkan pada kontrol negatif dilakukan setelah 48 dan 72
jam. Perkembangan embrio yang diamati mulai dari tahap pembelahan (cleavage)
(2 sel, 4 sel, dan 8 sel), morula, dan blastosis.
Kelompok
Kontrol negatif
Kontrol positif
Perlakuan
Fertilisasi Aktivasi tanpa HDACi
Aktivasi dengan TSA
Aktivasi dengan scriptaid
Gambar 5 Diagram kelompok penelitian
Superovulasi
Isolasi tuba
falopii
Koleksi sel telur
6 jam dalam
medium aktivasi
(kontrol positif)
4 jam dalam CZB
tanpa glukosa
6 jam dalam
medium aktivasi +
TSA (perlakuan 1)
(perlakuan
pertama)
4 jam dalam CZB
tanpa glukosa +
TSA
6 jam dalam
medium aktivasi +
scriptaid
(perlakuan 2)
(perlakuan kedua)
4 jam dalam CZB
tanpa glukosa +
scriptaid
Kultur dalam CZB tanpa glukosa hingga 8 sel (24 jam)
Kultur dalam CZB glukosa hingga blastosis (24 jam)
Gambar 6 Diagram rancangan penelitian aktivasi embrio partenogenetik
Gambar 7 Diagram rancangan penelitian embrio fertilisasi
Analisis Data
Data pembentukan pronukleus dan perkembangan embrio disajikan dalam
bentuk persentase dan dianalisis dengan sidik ragam (Anova). Perbedaan antar
perlakuan diuji dengan uji perbandingan berganda Duncan (DMRT, Duncan
Multiple Range Test). Perhitungan statistik dilakukan menggunakan perangkat
lunak SPSS ver. 16.0.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Embrio partenogenetik memiliki potensi dalam mengatasi permasalahan
etika
pada
penelitian
rekayasa
embrio.
Untuk
memproduksi
embrio
partenogenetik ini, sel telur diambil dari individu normal yang tidak dibuahi. Sel
telur mengalami pembelahan secara meiosis dalam tubuh dan mengalami
pematangan dalam ovarium hingga ia mencapai tahap metafase II. Sel telur
kemudian dilepas ke saluran telur oleh folikel. Sel telur yang telah diovulasikan
mengandung dua set kromosom haploid (n). Pada embrio mamalia normal, sel
telur akan dibuahi oleh sperma yang memiliki kromosom haploid (n). Penetrasi
oleh sperma ini mengembalikan jumlah kromosom menjadi diploid (2n) sekaligus
menjadi stimulus bagi sel telur untuk melengkapi tahap meiosis keduanya serta
menginduksi keluarnya badan polar kedua. Setelah ini, embrio akan berkembang
serta melakukan implantasi. Sementara itu, untuk menghasilkan embrio diploid
pada proses partenogenesis, sel telur tersebut diaktivasi menggunakan sejumlah
medium aktivasi.
Penelitian ini menggunakan medium aktivasi berupa kombinasi strontium
(SrCl2) dan cytochalasin B. Pada saat fertilisasi, sperma akan menginduksi
lepasnya Ca2+ intraseluler ke dalam sel telur,
sedangkan pada embrio
partenogenetik proses tersebut digantikan oleh senyawa kimia. Strontium yang
digunakan sebagai medium aktivasi ini menginduksi transien Ca2+ dengan
memindahkan Ca2+ ke dalam sel telur serta meningkatkan pelepasan Ca2+
intraseluler. Selain itu, ia juga menghambat Maturation Promoting Factor (MPF),
suatu aktivitas biologi dalam sitoplasma yang diperlukan untuk melanjutkan
meiosis pada sel telur (Alberio et al. 2001). Sedangkan cytochalasin B digunakan
untuk menghambat pengeluaran badan polar kedua sehingga menghasilkan sel
telur diploid (Otaegui et al. 1999). Proses inilah yang akan mengaktivasi sel telur
agar dapat berkembang menjadi embrio partenogenetik yang bersifat diploid.
Keberadaan materi genetik secara penuh dari maternal dan paternal mutlak
dibutuhkan dalam perkembangan embrio normal. Ketiadaan salah satu materi
genetik tersebut akan menyebabkan fenomena genomic imprinting, dimana suatu
gen diekspresikan hanya dari salah satu gen paternal atau maternal saja. Sebagai
contoh, perkembangan embrio dipengaruhi oleh gen-gen Igf2, Insulin-2, dan
Pegf/mest yang hanya ada pada kromosom paternal serta H19, Igf2r, dan Mash2
yang hanya ada pada kromosom maternal. Bila kedua kromosom (paternal dan
maternal) mengekspresikan gen Igf2, misalnya, sel akan berkembang menjadi
kanker. Mekanisme genomic imprinting ini dipengaruhi oleh metilasi DNA dan
modifikasi histon. Oleh karena itu, berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi hal
tersebut serta meningkatkan efisiensi produksi embrio partenogenetik, salah
satunya dengan menggunakan histon deacetylation inhibitor (HDACi) dalam
proses aktivasi. Senyawa kimia yang digunakan sebagai HDACi pada penelitian
ini yaitu scriptaid dan TSA.
Pada penelitian ini, sebanyak 78,3% sel telur membentuk pronukleus
setelah diaktivasi 6 jam dengan penambahan scriptaid, 8,3% membentuk satu
pronukleus (haploid) dan 70,0% membentuk dua pronukleus (diploid). Sementara
penambahan TSA menghasilkan 65,0% sel telur yang membentuk pronukleus,
5,0% haploid dan 60,0% diploid. Nilai ini tidak berbeda nyata dengan kontrol
yang membentuk pronukleus sebanyak 80,0%, 10,0% haploid dan 70,0% diploid.
Selain itu, terdapat pula sel telur yang telah membelah (immadiately cleavage)
sebanyak 20,0% pada perlakuan dengan penambahan TSA dan 15,0% pada
penambahan scriptaid serta 5,0% pada kontrol (Tabel 1). Berdasarkan data
tersebut, dapat dilihat bahwa medium aktivasi bekerja cukup baik dalam
mengaktivasi sel telur.
Pembentukan pronukleus merupakan kriteria utama oosit yang teraktivasi
(Hine 2009). Sel telur yang diaktivasi, atau difertilisasi oleh sperma, akan berubah
kromosomnya menjadi 2n (diploid) yang ditandai dengan pembentukan dua
pronukleus (Gambar 8C). Embrio diploid inilah yang akan melanjutkan
perkembangannya dengan optimal pada tahapan selanjutnya. Embrio yang terlihat
hanya memiliki satu pronukleus (Gambar 8B) memungkinkan untuk dapat
berkembang namun tidak akan sebaik embrio diploid sedangkan embrio yang
tidak memiliki pronukleus sama sekali (Gambar 8A) tidak akan dapat
berkembang. Sementara itu, embrio yang telah membelah (Gambar 8D)
menunjukkan adanya aktivasi spontan yang kadang terjadi pada mamalia.
P
N
P
N
Gambar 8
Morfologi embrio partenogenetik setelah aktivasi. (A) embrio tanpa
PN, (B) embrio dengan satu PN, (C) embrio dengan dua PN, (D)
immadiately cleavage. PN: pronukleus. Bar = 50µm.
Empat jam setelah aktivasi, sebagian besar sel telur dapat mencapai tahap
pembelahan. Perlakuan dengan penambahan scriptaid tidak menghasilkan sel telur
haploid, seluruh sel telur membentuk dua pronukleus bahkan cleavage.
Ketidakberadaan pronukleus haploid pada masa ini menunjukkan bahwa terdapat
sel telur yang belum teraktivasi sempurna pada enam jam pertama sehingga baru
dapat terlihat perkembangannya setelah empat jam berikutnya. Sebanyak 63,2%
sel telur membelah pada perlakuan dengan penambahan TSA dan 54,2% pada
penambahan scriptaid. Sementara itu, pada kontrol sel telur membelah sebanyak
48,3% namun masih terdapat 6,9% sel telur yang tidak membentuk pronukleus.
Tabel 1. Perkembangan embrio partenogenetik setelah aktivasi
Tahapan
Perkembangan
Embrio
∑ Embrio yang
diaktivasi
(n(%))
 Tidak ada
PN (n(%))
 1 PN (n(%))
 2 PN (n(%))
 Cleavage
(n(%))
0 Jam Setelah Aktivasi
Perlakuan
Kontrol
TSA
Scriptaid
4 Jam Setelah Aktivasi
Perlakuan
Kontrol
TSA
Scriptaid
60
(100,0)a
60
(100,0)a
60
(100,0)a
58
(100,0)a
57
(100,0)a
59
(100,0)a
8
(13,3)a
6
(10,0)a
3
(5,0)a
4
(6,9)a
1
(1,8)a
-
6
(10,0)a
42
(70,0)a
3
(5,0)a
36
(60,0)a
5
(8,3)a
42
(70,0)a
2
(3,4)a
24
(41,4)a
-
-
20
(35,1)a
26
(44,1)a
3
(5,0)a
12
(20,0)a
9
(15,0)a
28
(48,3)a
36
(63,2)a
32
(54,2)a
Keterangan: Superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata (P>0,05)
Berdasarkan data tersebut, dapat dilihat bahwa aktivasi dengan
penambahan HDACi cenderung menghasilkan embrio partenogenetik lebih baik
dibandingkan dengan kontrol. Beberapa HDAC terdapat pada kromosom saat sel
telur mengalamai proses metafase I dan II. Keberadaan ini berkorelasi dengan
ketiadaan asetilasi histon H4 lysine 5 (H4K5). Penurunan asetilasi terjadi selama
pematangan sel telur dan terus berlanjut hingga pembentukan pronukleus.
HDAC1, salah satu kelas HDAC, berlokasi di nukleoplasma sel telur dan embrio
praimplantasi. Intensitasnya akan terus meningkat hingga tahap morula kemudian
menurun pada masa transisi tahap morula ke blastosis (Ma & Schultz 2008).
Padahal, asetilasi H4K5 ini merupakan mekanisme regulasi struktur kromatin
yang penting untuk mengekspresikan gen zigotik pada tahap awal perkembangan
embrio (Wee et al. 2004). Penggunaan HDACi dalam hal ini untuk mengurangi
HDAC dan meningkatkan asetilasi H4K5.
Embrio dikultur dalam medium CZB tanpa glukosa selama 24 jam untuk
mempelajari perkembangan embrio setelah perlakuan penambahan HDACi.
Perkembangan embrio selama 48 jam pertama membutuhkan glutamin sebagai
sumber energi dan keberadaan glukosa dapat mengganggu perkembangan (Haydar
et al. 2001). Oleh karena itu digunakan medium kultur yang tidak mengandung
glukosa. Pada penelitian ini, embrio yang membelah dihitung dari jumlah awal sel
telur yang diaktivasi tanpa memisahkan embrio haploid, diploid, maupun
immadiately cleavage. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa sebanyak 95,0%
embrio partenogenetik mampu membelah menjadi 2 sel pada perlakuan
menggunakan scriptaid sedangkan 85,0% pada perlakuan menggunakan TSA.
Kedua
perlakuan
menunjukkan
hasil
kemampuan
membelah
embrio
partenogenetik yang lebih besar dibandingkan dengan kontrol (80,0%) (Tabel 2).
Tabel 2. Kemampuan membelah embrio partenogenetik
Kontrol
∑ Embrio yang
diaktivasi (n(%))
 Membelah (n(%))
 Tidak membelah
(n(%))
Perlakuan
TSA
Scriptaid
60 (100,0)
60 (100,0)
60 (100,0)
48 (80,0)a
51 (85,0)a
57 (95,0)a
12 (20,0)a
9 (15,0)a
3 (5,0)a
Keterangan: Superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata (P>0,05)
Data tersebut menunjukkan bahwa kedua perlakuan memberi pengaruh
pada perkembangan embrio. Meskipun tidak berbeda nyata, scriptaid cenderung
mampu membantu aktivasi perkembangan embrio lebih baik dibandingkan
dengan TSA dan kontrol.
Pada penelitian ini, embrio partenogenetik hanya mampu berkembang
hingga 5 sel pada kedua perlakuan dan 4 sel pada kontrol. Terjadi penurunan yang
cukup drastis dari embrio dua sel ke tahap pembelahan sel selanjutnya. Sebanyak
3,4% embrio mampu membelah hingga 5 sel (Gambar 9D) pada perlakuan
scriptaid dan 1,8% pada perlakuan TSA, sedangkan 12,1% embrio pada kontrol
hanya mampu berkembang hingga 4 sel (Gambar 9C). Embrio partenogenetik
yang diaktivasi dengan penambahan scriptaid menunjukkan perkembangan yang
cenderung lebih baik dibandingkan dengan TSA dan kontrol (Tabel 3).
Gambar 9
Morfologi perkembangan embrio partenogenetik. (A) embrio 2 sel,
(B) embrio 3 sel, (C) embrio 4 sel, (D) embrio 5 sel. Bar = 50µm.
Metilasi DNA dan modifikasi histon merupakan mekanisme epigenetik
yang dapat terjadi dalam tubuh mamalia. Kedua hal tersebut berperan cukup
signifikan dalam sebuah ekspresi gen, sebagaimana yang terjadi pada penelitian
ini. Embrio partenogenetik tidak melibatkan peran materi genetik paternal di
dalamnya sehingga hanya memiliki kromosom maternal. Kono (2006)
menyimpulkan dalam penelitiannya bahwa terdapat dua set imprinted gene yang
tidak selaras, yakni Igf2-H19 dan Dlk1-Gtl2, menjadi penghalang penting pada
perkembangan embrio partenogenetik. Gangguan perkembangan yang dialami
embrio partenogenetik juga terjadi karena adanya histon yang terdeasetilasi dan
DNA yang termetilasi sehingga gen tidak dapat diekspresikan. Histone
deacetylation inhibitor (HDACi) bekerja pada kempleks histon dengan
meningkatkan asetilasi protein sehingga kromatin terbuka, dalam hal ini embrio
dapat melanjutkan tahap perkembangannya.
Tabel 3. Kemampuan perkembangan embrio partenogenetik
Perlakuan
Tahap Perkembangan
Kontrol
Embrio
TSA
Scriptaid
∑ Embrio yang
58 (100,0)a
57 (100,0)a
58 (100,0)a
dikultur (n(%))
1 sel (n(%))
58 (100,0)a
57 (100,0)a
58 (100,0)a
2 sel (n(%))
48 (82,8)a
51 (89,5)a
57 (98,3)a
a
a
3 sel (n(%))
15 (25,9)
22 (38,6)
30 (51,7)a
4 sel (n(%))
7 (12,1)a
13 (22,8)a
14 (24,1)a
a
5 sel (n(%))
1 (1,8)
2 (3,4)a
Keterangan: Superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata (P>0,05)
Berdasarkan data tersebut, penggunaan HDACi ini belum juga signifikan
meningkatkan perkembangan embrio. Seperti yang telah disampaikan, metilasi
DNA juga terjadi dalam hal ini. Peningkatan metilasi DNA menyebabkan
turunnya asetilasi histon. DNA yang termetilasi akan menarik methyl-CpGbinding protein (MeCP2) sehingga histon terdeasetilasi dan secara bertahap
menurunkan asetilasi histon. Sebaliknya, HDACi mampu menghambat deasetilasi
histon namun tidak memiliki efek terhadap DNA metil transferase sehingga tidak
berpengaruh pada metilasi DNA (Enright et al. 2003).
Menurut Kishigami et al. (2005), TSA merupakan mediator HDACi yang
cukup efektif dalam menghambat deasetilasi histon pada proses kloning embrio
secara in vitro. Namun, TSA memiliki sifat teratogenik sehingga digunakan
alternatif HDACi lain, seperti scriptaid yang juga efisien meningkatkan
hiperasetilasi (Zhao et al. 2008). Scriptaid meningkatkan asetilasi histon dalam
histon H4 pada lysin 8 (AcH4K8) (Zhao 2010) serta proses transkripsi mRNA
baru dan memiliki toksisitas yang lebih rendah dibanding TSA (Thuan et al.
2009). Ia juga meningkatkan level ekspresi Eif1a dan Igf2r pada tahap 2 sel serta
meningkatkan sintesis RNA. Gen Igf2r merupakan gen maternal yang terlibat
dalam regulasi pertumbuhan dan penting dalam perkembangan normal embrio
(Bui et al. 2011).
Kultur embrio hasil fertilisasi dilakukan pada penelitian ini untuk
membandingkan proses perkembangan embrio partenogenetik dengan embrio
normal hasil fertilisasi in vivo. Selain itu juga untuk membuktikan bahwa medium
kultur bekerja dengan baik serta sistem kultur pun telah benar. Sebanyak 97,2%
embrio dua sel dapat berkembang menjadi 8 sel dan 91,7% berkembang menjadi
morula serta hanya 29,2% embrio dapat mencapai tahap blastosis (Tabel 5).
Tabel 5. Kemampuan perkembangan embrio hasil fertilisasi
Tahap Perkembangan Embrio
2 sel (n (%))
8 sel (n (%))
Morula (n (%))
Blastosis (n (%))
Jumlah Embrio
72 (100,0)
70 (97,2)
66 (91,7)
21 (29,2)
Perkembangan normal embrio melibatkan sejumlah modifikasi epigenetik,
termasuk metilasi DNA dan modifikasi histon, yang merupakan mekanisme
penting untuk genomic imprinting dan inaktivasi kromosom X pada embrio
betina. Pada betina, DNA termetilasi sejak sel telur mengalami meiosis awal.
Memasuki tahap metafase II, metilasi DNA semakin meningkat dan akan terus
bertahan hingga embrio tahap dua sel bila sel telur tersebut dibuahi oleh sperma.
Metilasi DNA ini juga terjadi pada jantan, namun akan menurun segera setelah
sperma membuahi sel telur (Yang et al. 2007). Ekspresi salah satu dari materi
genetik ini, atau dapat dikatakan sebagai genomic imprinting, memungkinkan
embrio dapat berkembang baik pada embrio normal. Berbeda dengan embrio
partenogenetik yang kedua materi genetiknya berasal dari maternal. Secara teori,
tidak ada materi genetik yang dapat mempertahankan perkembangan embrio
karena kedua DNA dari maternal termetilasi sehingga tidak dapat terekspresikan.
Gambar 10
Morfologi perkembangan embrio fertilisasi. (A) embrio 2 sel, (B)
embrio 3 sel, (C) embrio 4 sel, (D) embrio 5 sel, (E) embrio 6 sel,
(F) embrio 8 sel, (G) morula, (H) blastosis. Bar = 50µm.
Sejumlah penelitian kultur in vitro menggunakan embrio partenogenetik
menunjukkan berbagai faktor yang mempengaruhi keberhasilannya, antara lain
lingkungan (suhu, pH, CO2, dll), superovulasi, medium aktivasi dan kultur,
metode kultur, serta kondisi internal sel telur itu sendiri (Hogan et al. 1994).
Selain itu, kultur embrio secara in vitro ini juga sangat dipengaruhi oleh
lingkungan seperti O2, CO2, pH, suhu inkubator, cahaya, volume inkubasi, serta
jumlah embrio yang dikultur dalam satu kelompok (Khoirinaya 2011).
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan
hasil
yang
diperoleh,
dapat
disimpulkan
bahwa
perkembangan praimplantasi embrio partenogenetik mencit (Mus musculus
albinus) yang diberi perlakuan scriptaid tidak berbeda nyata dengan TSA dan
kontrol positif, namun memiliki kecenderungan lebih baik.
Saran
Perlu dibuat profil metilasi DNA dan asetilasi histon pada perkembangan
embrio partenogenetik.
DAFTAR PUSTAKA
Akagi S, Kazutsugu M, Seiya T. 2008. Effect of treatment with scriptaid on
development of bovine nuclear transferred embryos. Biology of
Reproduction 78: 130-324.
Alberio R, Zakhartchenko V, Motlik J, Wolf E. 2001. Mammalian oocyte
activation: lessons from the sperm and implications for nuclear transfer.
International Journal Development Biology 45(7): 797-809.
Auwera IV, D’Hooghe T. 2001. Superovulation of female mice delays embryonic
and fetal development. Human Reproduction 16(6): 1237-1243.
Balakier H, Tartowski AK. 1976. Diploid parthenogenetic mouse embryos
produced by heat-shock and cytochalasin B. Embryology. exp.
Morphology 35(l): 25-39.
Beebe LFS, Stephen JM, Mark BN. 2009. Cytochalasin B and Trichostatin A
treatment postactivation improves in vitro development of porcine
somatic cell nuclear transfer embryos. Cloning and Stem Cells 11(4):
477-482.
Boediono A, Saha S, Sumantri C, Suzuki T. 1995. Development in vitro and in
vivo of aggregated parthenogenetic bovine embryos. Reproduction,
Fertility and Development 7(5): 1073 – 1079.
Bui HT, Seo HJ, Park MR, Park JY, Thuan NV, Wakayama T, Kim JH. 2011.
Histone deacetylase inhibition improves activation of ribosomal RNA
genes and embryonic nucleolar reprogramming in cloned mouse
embryos. Biology of Reproduction 85(5): 1048-1056.
Byers SL, Payson SJ, Taft RA. 2006. Performance of ten inbred mouse strains
following assisted reproductive technologies (ARTs). Theriogenology
65(9): 1716-1726.
Das ZC, Gupta MK, Uhm SJ, Lee HT. 2010. Increasing histone acetylation of
cloned embryos, but not donor cells, by sodium butyrate improves their
in vitro development in pigs. Cellular Reprogramming 12(1): 95-104.
Enright BP, Kubota C, Yang X, Tian CX. 2003. Epigenetic characteristics and
development of embryos cloned from donor cells treated by trichostatin
A or 5-aza-29-deoxycytidine. Biology of Reproduction 69(3): 896-901.
Goetz MZ. 2005. Cleavage pattern and emerging asymmetry of the mouse
embryo. Nature Reviews Molecular Cell Biology 6: 919-928.
Guo J, Liu F, Guo Z, Li Y, An Z, Li X, Li Y, Zhang Y. 2009. In vitro
development of goat parthenogenetic and somatic cell nuclear transfer
embryos derived from different activation protocols. Zygote 18(1): 51-59.
Hao J, Zhu W, Sheng C, Yu Y, Zhou Q. 2009. Human parthenogenetic embryonic
stem cells: one potential resource for cell therapy. Science In China.
Series C, Life Sciences / Chinese Academy Of Sciences 52(7): 599-602.
Haydar B, Levent K, Hande O, Hakan S. 2001. Effect of CZB Medium on the
Two Cell Block of Preimplantation Mouse Emryos. Turk Journal
Veterinary Animal Science 25: 725-729.
Hine TM. 2009. Pengembangan Metode kultur embryonic stem cells dari embrio
hasil fertilisasi dan produksinya dari embrio partenogenetik mencit.
Institut Pertanian Bogor (IPB): Disertasi.
Hogan B, Beddington R, Costantini F, Lacy E. 1994. Manipulating the mouse
embryo a laboratory manual. USA: Cold Spring Harbor Laboratory
Press.
Iager AE, Ragina NP, Ross PJ, Beyhan Z, Cunniff K, Rodriguez RM, Cibelli JB.
2008. Trichostatin A improves histone acetylation in bovine somatic cell
nuclear transfer early embryos. Cloning and Stem Cells 10(3): 371-380.
Jaenike J, Robert KS. 1979. Evolution and Ecology of Parthenogenesis in
Earthworms. American Zoologist 19(3): 729-737.
Khoirinaya C. 2011. Viabilitas embrio mencit (Mus musculus albinus) setelah
kriopeservasi dengan vitrifikasi ganda pada tahap perkembangan zigot
dan dilanjutkan pada tahap blastosis. Institut Pertanian Bogor (IPB):
Skripsi.
Kishigami S, Mizutani E, Ohta H, Hikichi T, Thuan NV, Wakayama S, Bui H,
Wakayama T. 2006. Significant improvement of mouse cloning
technique by treatment with trichostatin A after somatic nuclear transfer.
Biochemical and Biophysical Research Communications 340(1): 183–
189.
Kono T. 2006. Genomic imprinting is a barrier to parthenogenesis in mammals.
Cytogenetic and Genome Research 113(1-4): 31–35.
Krivokharchenko A, Elena P, Ioulia Z, Larissa V, Detlev G, dan Michael B.
2003. Development of parthenogenetic rat embryos. Biology of
Reproduction 68(3): 829–836.
Lee EJ, Lee BB, Kim SJ, Park YD, Park J, Kim DH. 2008. Histone deacetylase
inhibitor scriptaid induces cell cycle arrest and epigenetic change in
colon cancer cells. International Journal of Oncology 33(4): 767-776.
Liu Z, Hu Z, Pan X, Li M, Togun TA, Tuck D, Pelizzola M, Huang J, Ye X, Yin
Y, Liu M, Li C, Chen Z, Wang F, Zhou L, Chen L, Keefe DL, Liu L.
2011. Germline competency of parthenogenetic embryonic stem cells
from immature oocytes of adult mouse ovary. Human Molecular
Genetics 20(7): 1339-1352.
Loi P, Ledda S, Fulka J, Cappai P, Moor RM. 1008. Development of
parthenogenetic and cloned ovine embryos: effect of activation protocols.
Biology of Reproduction 58(5): 1177-1187.
Ma P, Schultz RM. 2008. Histone deacetylase 1 (HDAC1) regulates histone
acetylation, development, and gene expression in preimplantation mouse
embryos. Development Biology 319(1): 110–120.
Malole MBM, Pramono. 1989. Penggunaan hewan-hewan coba di laboratorium.
Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Bogor. Pusat Antar Universitas
Bioteknologi IPB.
McGeady TA, Quinn PJ, FitzPatrick ES, Ryan MT. 2006. Veterinary Embryology.
Oxford: Blackwell Publishing Ltd.
Meng Q, Wang M, Stanca CA, Bodo S, Dinnyes A. 2008. Cotransfer of
parthenogenetic embryos improves the pregnancy and implantation of
nuclear transfer embryos in mouse. Cloning and Stem Cells 10(4): 429434.
Meng Q, Zsuzsanna P, Jun L, Andras D. 2009. Live birth of somatic cell-cloned
rabbits following trichostatin A treatment and cotransfer of
parthenogenetic embryos. Cloning and Stem Cells 11(1): 203-208.
Mizumoto S; Kato Y; Tsunoda Y. 2008. The developmental potential of
parthenogenetic and somatic cell nuclear-transferred rat oocytes in vitro.
Cloning And Stem Cells 10(4): 453-459.
Monneret C. 2005. Histone deacetylase inhibitors. European Journal of Medicinal
Chemistry 40(1): 1–13.
Murti H, Fahrudin M, Boediono A, Sardjono CT, Setiawan B, Sandra F. 2009.
Optimization of activation methods for mouse oocytes using calcium-free
CZB medium, SrCl2, and cythochalasin B in vitro. Jurnal Kedokteran
Maranatha 8(2): 113-120.
Onodera M, Tsunoda Y. 1988. Parthenogenetic activation of mouse and rabbit
eggs by electric stimulation in vitro. Gamete Research 22(3): 277 – 283.
Otaegui PJ, O’Neill GT, Wilmut I. 1999. Parthenogenetic activation of mouse
oocytes by exposure to strontium as a source of cytoplasts for nuclear
transfer. Cloning 1(2): 111-117.
Paldi A, Nagy A, Markkula M, Barna I, Dezso L. 1989. Postnatal development of
parthenogenetic in equilibrium with fertilized mouse aggregation
chimeras. Development 105(1): 115-118.
Pratt, Hester PM. 1987. Isolation, culture, and manipulation of pre-implantation
mouse embryos dalam Mammalian Development: a practical approach.
Ed: M. Monk. Washington DC: IRL Press.
Reik W, Walter J. 2001. Genomic imprinting: parental influence on the genome.
Nature Reviews 2: 21-32.
Roberts R, Iatropoulou A, Ciantar D, Stark J, Becker DL, Franks S, Hardy K.
2005. Follicle-stimulating hormone affects metaphase I chromosome
alignment and increases aneuploidy in mouse oocytes matured in vitro.
Biology of Reproduction 72(1): 107–118.
Rumiyati E. 2001. Morfologi dan viabilitas oosit pronukleus mencit setelah
vitrifikasi. Institut Pertanian Bogor (IPB): Skripsi.
Sandhu GS, Sharad S, Arora CK. 1994. A Textbook of Embryology. New Delhi:
Anmol Publications Pvt Ltd.
Shonka NA, Gilbert MR. 2010. Molecularly Targeted Therapy for Malignant
Brain Tumors [terhubung berkala]. http://www.cyberounds.com [12
Maret 2010].
Tada T, Takagi N. 1992. Early development and X-chromosome inactivation in
mouse parthenogenetic embryos. Molecular Reproduction and
Development 31(1): 20–27.
Thuan NV, Bui HT, Kim JH, Hikichi T, Wakayama S, Kishigami S, Mizutani E,
Wakayama T. 2009. The histone deacetylase inhibitor scriptaid enhances
nascent mRNA production and rescues full-term development in cloned
inbred mice. Reproduction 138(2): 309–317.
Varga E, Renata P, Zsuzsanna L, Judit K, Agnes BP. 2008. Parthenogenetic
development of in vitro matured porcine oocytes treated with chemical
agents. Animal Reproduction Science 105(3-4): 226–233.
Versieren K, Heindryckx B, Lierman S, Gerris J, De Sutter P. 2010.
Developmental competence of parthenogenetic mouse and human
embryos after chemical or electrical activation. Reproductive
Biomedicine Online 21(6): 769-775.
Vichera G, Alfonso J, Duque C, Silvestre M, Pereyra-Bonnet F, Fernández-Martín
R, Salamone D. 2009. Chemical activation with a combination of
ionomycin and dehydroleucodine for production of parthenogenetic, ICSI
and cloned bovine embryos. Reproduction Domestic Animals 45(6): 306312.
Wang F, Kou Z, Zhang Y, Gao S. 2007. Dynamic reprogramming of histone
acetylation and methylation in the first cell cycle of cloned mouse
embryos. Biology of Reproduction 77(6): 1007-1016.
Wee G, Kim SH, Kim KP, Yeo S, Koo DB, Moon SJ, Lee KK, Han YM. 2004.
Incomplete histone acetylation of somatic chromatin in bovine oocytes.
Reproduction, Fertility and Development 16(2): 189–190.
Yang X, Smith SL, Tian XC, Lewin HA, Renard JP, Wakayama T. 2007. Nuclear
reprogramming of cloned embryos and its implications for therapeutic
cloning. Nature Genetics 39(3): 295-302.
Yoo CB, Peter AJ. 2006. Epigenetic therapy of cancer: past, present and future.
Nature Reviews 5(1): 37-50.
Zhao J, Ross WJ, Hao YH, Wax DM, Spate LD, Samuel MS, Walters EM, Rieke
A, Murphy CN, Prather RS. 2008. Histone deacetylases inhibitor,
scriptaid, is beneficial to the reprogramming of somatic nuclei following
nuclear transfer. Reproduction, Fertility and Development 21(1): 129–
129.
Zhao J, Yanhong H, Jason WR, Lee DS, Eric MW, Melissa SS, August R, Clifton
NM, Randall SP. 2010. Histone deacetylase inhibitors improve in vitro
and in vivo developmental competence of somatic cell nuclear transfer
porcine embryos. Cloning and Stem Cells 12(1): 75-83.
Download