6.Tata Kelola Ekonomi Daerah Tata Kelola

advertisement
6.Tata Kelola Ekonomi Daerah
Tata Kelola Ekonomi Daerah Kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Tengah
Kabupaten dan Kota di Provinsi Sulawesi Tengah merupakan wilayah yang disurvei
oleh komite pemantauan pelaksanaan otonomi daerah di tahun 2010. Dalam pemeringkatan
tersebut, KPPOD menetapkan delapan indikator yang digunakan untuk menggambarkan tata
kelola ekonomi daerah di 11 kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Tengah. Ada sembilan
indikator dalam TKED tetapi indikator peraturan daerah tidak dimasukan dalam penelitian ini
sehingga hanya ada Delapan indikator yaitu Akses Terhadap Lahan Usaha dan Kepastian
Berusaha, Perizinan Usaha, Interaksi Pemerintah Daerah dengan Pelaku Usaha, Program
Pengembangan Usaha Swasta, Kapasitas dan Integritas Kepala Daerah, Biaya Transakasi,
Infrastruktur Daerah, Keamanan dan Penyelesaian Konflik.
Berdasarkan Tabel 2 pemerintah daerah kabupaten dan kota di Sulawesi Tengah yang
memiliki pelayanan akses lahan usaha yang terbaik adalah Kabupaten Buol dan Poso dengan
skor yang sama yaitu 88,8 disusul pada peringkat kedua dan ketiga yaitu Kabupaten Banggai
Kepulauan dengan skor 86,3 dan Kabupaten Donggala dengan skor 86. Sedangkan yang
terburuk ditempati Kota Palu dengan skor 69. Waktu yang dibutuhkan untuk pengurusan
status tanah di Kabupaten Buol dan Kabupaten Poso jauh lebih cepat dibanding Kota Palu.
Lama pengurusan rata-rata status tanah di Kabupaten Buol dan Kabupaten Poso adalah 3
minggu, sedangkan di Kota Palu 4 minggu. Di samping itu, frekuensi konflik lebih sering
terjadi di Kota Palu daripada di Kabupaten Poso. Sebesar 11% para pelaku usaha di Kota
Palu menilai sering terjadi persoalan/konflik mengenai kepemilikan lahan di daerahnya.
Sementara di Kabupaten Poso, pelaku usaha yang menilai sering terjadi konflik kepemilikan
lahan di daerahnya hanya 2%.
Kabupaten/kota yang memiliki indikator infrastruktur daerah terbaik adalah Kabupaten
Sigi (skor 81), Kabupaten Parigi Moutong (skor 77,4), dan Kabupaten Buol (skor 76,2).
Sedangkan Kabupaten Poso merupakan kabupaten terburuk di SulawesiTengah dalam
indikator ini dengan (skor 63,5). Di Kabupaten Sigi, lama perbaikan infrastruktur baik jalan
maupun lampu penerangan relatif lebih singkat daripada kabupaten lainnya. Lama perbaikan
jalan di Kabupaten Sigi rata-rata hanya 28 hari, sedangkan di Kabupaten Poso lebih dari satu
bulan. Untuk pemadaman listrik di tempat berlangsungnya usaha, di Kabupaten Sigi hanya
satu kali dalam seminggu, sedangkan di Kabupaten Poso mencapai sembilan kali dalam
seminggu.
Penempatan Kabupaten Poso sebagai kabupaten terburuk di bidang infrastruktur selain
dilihat dari lama perbaikan, juga dapat dilihat dari tingkat hambatan infrastruktur terhadap
kinerja perusahaan. relatif lebih buruk dibanding yang lain. Hal ini ditunjukkan oleh 16%
dari total responden menilai tingkat hambatan infrastruktur terhadap kinerja perusahaan
adalah besar.
Banggai 83,4 76,1
Parigi
78,6 77,4
Moutong
Sigi
82,5 81
Toli-toli 82,6 74
Tojo Una84,2 72,6
una
Donggala 86 74,9
Buol
88,8 76,2
Kota Palu 69
71
Banggai
86,3 73
Kepulauan
Poso
88,8 63,5
Morowali 84 64,1
Sumber: KPPOD, (2011)
Tengah
TOTAL INDEKS
PERINGKAT DI
SULAWESI
TENGAH
Keamanan &
Penyelesaian Konflik
PPUS
Integritas/Kapasitas
Bupati/Walikota
Interaksi PEMDA &
Pelaku Usaha
Biaya Transaksi
PERDA
Perizinan Usaha
Infrastruktur
Daerah
Akses Lahan
Tabel 2. Indeks Tata Kelola Ekonomi Daerah di Kabupaten/Kota di Sulawesi
Tahun 2011 (dalam %)
65,9 78,4 80,5 69,4 55,7 68,3 68,7 72,1
1
58,3 87,7 72,2 67,3
66,6 67,5 71,3
2
56,9 91,5 79,4 69.6 53,1 52,3 76,1 71,2
65,3 82,7 80,3 69,8 58,1 50,2 67,7 69,1
3
4
61,3 88,9
64,9 53,8 60,5 68,9 68,8
5
61,6 86,9 80 59,7 61,3 40,9 71,3 68,3
68,2 87,9 87,1 50,1 66,4 14,9 73,2 66,8
65,5 82,8 70,2 58,6 58,9 59 63,5 66,7
6
7
8
62,8
88,7 42,4 54,3 18,2 71,6 63,5
9
65 84,9 82,1 51,9 54,6 37,2 72,4 62,9
61,7 90,6 82 52,9 56,5 29,3 79,5 62
10
11
86
73
59
Masih berkaitan dengan tabel 2, indikator pelayanan terbaik perizinan usaha peringkat
satu, dua dan tiga ditempati oleh Kabupaten Buol (skor 68,2), Kabupaten Banggai (skor
65,9), dan Kota Palu (skor 65,5). Sedangkan peringkat terburuk ditempati oleh Kabupaten
Sigi dengan skor 56,9. Tiga daerah terbaik tersebut telah menjalankan sistem pelayanan
perizinan usaha yang sudah cukup baik bagi para pelaku usaha. Hal ini dapat dilihat dari lebih
dari 86% para pelaku usaha di ketiga daerah tersebut menilai bahwa tingkat kesulitan yang
dihadapi pada saat mengurus tanda daftar industri adalah sangat mudah. Di Kabupaten Buol
92% dari total perusahaan yang disurvei di daerah tersebut menilai bahwa biaya tertentu yang
dikeluarkan untuk mendapatkan tanda daftar industri tidak memberatkan. Kabupaten Sigi
yang merupakan kabupaten dengan nilai skor terendah untuk indikator perizinan usaha 92%
responden mengatakan bahwa tidak ada cara pengaduan tentang pelayanan pengaduan di
kantor pelayanan perijinan di kabupatenSigi.
Kabupaten/kota yang memiliki biaya transaksi termurah dan tidak membebankan
pelaku usaha adalah Kabupaten Banggai Kepulauan (skor 88,7), Kabupaten Buol (skor 87,1)
dan Kabupaten Poso (skor 82,1). Sedangkan Kota Palu dengan biaya transaksi termahal di
Sulawesi Tengah dengan hanya memiliki skor sebesar 70,2. Total biaya yang dibayarkan
oleh perusahaan, termasuk pajak dan retribusi, di Kabupaten Banggai Kepulauan pada tahun
2009 relatif lebih rendah dibanding kota Palu yakni sebesar Rp 2.173.913 tiap perusahaan.
Sedangkan Kota Palu tertinggi di Sulawesi Tengah yakni sebesar Rp 6.451.613per
perusahaan. Hal inilah yang merupakan salah satu penghambat utama bagi kinerja perusahaan
di Kota Palu.
Menurut laporan TKED, banyak pengusaha yang terpaksa memberikan biaya tambahan
untuk keamanan. Pembayaran biaya informal oleh pelaku usaha kepada kepolisian di Kota
Palu lebih tinggi daripada yang dibayarkan kepada Ormas dan preman untuk mendapat
jaminan perlindungan usaha. Hal ini berbeda dengan apa yang terjadi di Kabupaten Banggai
Kepulauan. Pelaku usaha lebih banyak menyerahkan uang keamanan kepada aparat pemda
dan preman daripada kepada kepolisian. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa
Kabupaten Banggai Kepulauan memiliki biaya transaksi termurah dan tidak membebankan
pelaku usaha daripada Kota Palu.
Indikator kapasitas dan integritas kepala daerah peringkat tiga terbaik ditempati oleh
Kabupaten Toli-toli (skor 69,8), Kabupaten Sigi (skor 69,6), Kabupaten Banggai (skor 69,4).
Sedangkan untuk peringkat terburuk ditempati oleh Kabupaten Buol dengan skor 50,1.
Rendahnya skor di Kabupaten Buol tersebut karena kepala daerah (Bupati) dinilai tidak
memahami masalah dunia usaha yang sedang dihadapi oleh pelaku usaha lokal di daerah
tersebut. Lebih dari 24% para pelaku usaha menilai tidak setuju jika Bupati mereka
dinyatakan memahami permasalahan dunia usaha, bertindak profesional dan tegas dalam
kasus korupsi birokratnya dan 77% responden menyatakan setuju dengan pernyataan bahwa
tindakan kepala daerah yang menguntungkan diri sendiri. 10% menyatakan tidak setuju jika
kepala daerah dinyatakan figur disegani dan layak diteladani.
Tiga besar kabupaten dan kota terbaik dalam indikator interaksi Pemda dan pelaku
usaha, yaitu Kabupaten Buol (skor 66,4), Kabupaten Donggala (skor 61,3) dan Kabupaten
Parigi Moutong (59%). Sedangkan yang terburuk dalam indikator ini adalah Kabupaten Sigi
dengan skor 53,1. Seluruh perusahaan yang menjadi responden sepakat menilai bahwa halhal yang berkaitan dengan interaksi Pemda dengan pelaku usaha menjadi hambatan kecil bagi
kinerja perusahaan. Mereka menilai bahwa kebijakan pemerintah Kabupaten Buol
berpengaruh besar terhadap kinerja perusahaan. Kabupaten Buol telah memiliki forum
komunikasi antara Pemda dan pelaku usaha walaupun masih belum sempurna, namun sudah
cukup memberikan solusi kepada pelaku usaha dalam menghadapi permasalahan dunia
usaha.
Pemerintah daerah yang memiliki program pengembangan usaha swasta terbaik adalah
Kabupaten Banggai (skor 68,3), Kabupaten Parigi Moutong (skor 66,6), Kabupaten Tojo
Una-una (60,5). Untuk Indikator program pengembangan usaha swasta, Kabupaten Buol
menempati peringkat terakhir dengan skor 14,9. Pada dasarnya, seluruh pelaku usaha
mengetahui bahwa terdapat program yang disediakan oleh pemda dalam rangka
mengembangkan bisnis. Pelaku usaha di Kabupaten Banggai menilai bahwa programprogram tersebut memberikan manfaat yang relatif besar bagi perusahaan. Hal ini dilihat dari
hanya 22% pelaku usaha di Kabupaten Banggai mengatakan program pengembangan usaha
yang dilaksanakan pemda memiliki manfaat kecil bagi kinerja perusahaan mereka. Hal ini
terjadi karena pemda telah dapat menyelenggarakan program pengembangan bisnis yang
tepat dan sesuai bagi pengembangan usaha-usaha di kabupaten tersebut.
Indikator jaminan keamanan dan penyelesaian sengketa terbaik adalah Kabupaten
Morowali (skor 79,5), peringkat kedua Kabupaten Sigi (skor 76,1), dan peringkat ketiga
Kabupaten Buol (skor 73,2). Daerah yang terburuk dalam indikator ini adalah Kota Palu
dengan nilai 63,5. Perbedaan antara kabupaten yang terbaik dan terburuk dapat disebabkan
oleh banyaknya kasus pencurian yang terjadi, kualitas penanganan masalah kriminal dan
demostrasi buruh oleh polisi. Pelaku usaha mengatakan bahwa selama tahun 2009 rata-rata
hanya satu kali kejadian pencurian di Kabupaten Morowali. Sementara di Kota Palu, pelaku
usaha rata-rata mengatakan bahwa dalam kurun waktu tersebut terdapat dua kali kejadian
pencurian. Lebih dari 88% pelaku usaha di Kabupaten Morowali, menilai polisi telah
mengambil tindakan tepat waktu dalam menangani kasus kriminal yang berhubungan dengan
kegiatan usaha.Sedangkan pelaku usaha di Kota Palu yang menilai hal tersebut hanya 65%.
Tidak hanya itu, kualitas polisi dalam menangani kasus demonstrasi buruh pun jauh lebih
baik di Kabupaten Morowali daripada di Kota Palu, sehingga pelaku usaha lokal Kabupaten
Morowali merasa aman dan nyaman berusaha karena kualitas jaminan keamanan usaha yang
sangat baik.
Setelah mendapatkan nilai-nilai dari delapan indikator tersebut, selanjutnya adalah
melihat nilai Indeks Tata Kelola Ekonomi Daerah secara keseluruhan untuk menilai
kabupaten dan kota yang memiliki tata kelola ekonomi daerah terbaik di Provinsi Sulawesi
Tengah. Berdasarkan Tabel 1, dari 11 kabupaten/kota yang ada di Sulawesi Tengah hanya 3
Kabupaten yang mempunyai indeks Tata Kelola Ekonomi Daerah yang kondusif (di atas 70)
yaitu kabupaten Banggai skor 72,1 Kabupaten Parigi Moutong skor 71,3 serta Kabupaten
Sigi dengan skor 71,2. Adapun Kabupaten Donggala dan Kota Palu memperoleh skor
masing-masing 68,3 dan 66,7.
Keterkaitan Variabel Tata Kelola Ekonomi Daerah dengan Kinerja Perekonomian
Daerah
Untuk mengetahui hubungan antara variabel tata kelola ekonomi daerah terhadap
PDRB perkapita, pengangguran dan kemiskinan kabupaten dan kota di Sulawesi Tengah
dilakukan uji korelasi Pearson untuk data interval, uji korelasi Spearman untuk data ordinal
dilengkapi dengan scatter plot.
Hasil yang diperoleh setelah melakukan korelasi antara masing-masing sub indikator
dalam TKED dengan kinerja perekonomian daerah (PDRB perkapita, pengangguran,
kemiskinan), diperoleh adanya hubungan sederhana antara variabel-variabel TKED dengan
kinerja perekonomian daerah. Indikator dalam TKED yang mempunyai hubungan adalah
indikator infrastruktur dan indikator program pengembangan usaha swasta. Indikator
infrastruktur sub indikator yang mempunyai hubungan sederhana adalah lama perbaikan
listrik, kondisi lampu jalan, waktu yang dibutuhkan untuk memperbaiki PDAM. Indikator
PPUS sub indikator yang mempunyai hubungan sederhana dengan kinerja perekonomian
daerah adalah manfaat PPUS terhadap pelaku usaha kecil, menengah dan besar, pelatihan
pengajuan aplikasi kredit bagi UKM. Hubungan sederhana masing-masing sub indikator
tersebut dapat dijelaskan pada tabel 3.
Tabel 3 Korelasi PDRBKap, Perubahan Pengangguran dan Perubahan Kemiskinan terhadap
sub indikator TKED
Indikator Kinerja
Sub Indikator TKED
Perekonomian Daerah
PDRBKap(pearson)
Lama perbaikan listrik
Perubahan
Kondisi lampu penerangan
Pengangguran(spearman)
jalan
Manfaat PPUS
Pelatihan Pengkredit
Perubahan
Waktu Perbaikan PDAM
Kemiskinan(pearson)
*. Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed).
Sumber: Data Olahan
Coeff
Sig
-0,744
-0,751
0,009*
0,008*
-0,775
-0,657
0,748
0,005*
0,028**
0,008*
Variabel dalam indikator Infrastruktur yang mempunyai hubungan dengan indikator
kinerja perekonomian daerah adalah lama perbaikan listrik di sekitar usaha responden. Data
yang digunakan pada variabel lama perbaikan infrastruktur bila mengalami kerusakan sun
indikator lama perbaikan listrik di sekitar usaha responden adalah data dengan skala interval
sehingga untuk melihat hubungan sederhana dilakukan uji Pearson. Hasilnya menunjukkan
bahwa lama perbaikan listrik berkorelasi negatif terhadap PDRB per kapita secara signifikan
pada taraf 5% (Gambar 9).
Responden yang di survey oleh KPPOD adalah 51% perusahaan kecil, Data
perusahaan kecil (jumlah TK 1-10 orang) di seluruh kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi
Tengah sebanyak 97.329 perusahaan ( BPS Sulawesi Tengah, hasil pendaftaran perusahaan
sensus ekonomi 2006). Perusahaan dengan skala kecil akan mengalami hambatan dalam
melaksanakan aktifitasnya jika lama perbaikan listrik lebih lama dan hal ini akan menganggu
aktifitas perusahaan. Jika aktifitas perusahaan terganggu akan berakibat pada pendapatan dari
perusahaan tersebut. Di era otonomi daerah, daerah otonom diberikan kewenangan untuk
mengelola masalah tata kelola ekonomi daerah menjadi lebih baik dengan respon yang lebih
cepat dari pihak PEMDA terutama dengan kebijakan-kebijakan dalam perbaikan
infrastruktur. Dengan tata kelola ekonomi daerah yang baik, maka investasi ke daerah
diharapkan akan lebih meningkat. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi di daerah juga
membaik dan pendapatan masyarakatnya meningkat. Karena waktu yang dibutuhkan untuk
memperbaiki listrik adalah salah satu sub variabel dalam variabel TKED, untuk melihat
hubungannya dengan PDRB per kapita adalah dengan melalui variabel investasi, setelah
dilakukan korelasi sederhana antara sub indikator lama perbaikan listrik dengan nilai indeks
total dari TKED diperoleh hasil adanya hubungan keduanya (lampiran 21). Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa lama perbaikan listrik merupakan proksi dari TKED. Kondisi lampu
jalan yang baik berarti mencerminkan TKED yang baik, TKED yang baik akan membuat
daya tarik bagi investor.
Scatterplot
of PDRB
HB vs Q114bR4
Scatterplot lama
perbaikan
infrastruktur
listrik dengan PDRB
perkap
HB
PDRBPDRB
Per Kapita
(Juta)
18000000
16000000
14000000
12000000
10000000
1.0
1.2
1.4
1.6
1.8
2.0
Q114bR4
Lama perbaikan infrastruktur listrik (hari)
Gambar 9 Hubungan lama perbaikan infrastruktur listrik dengan PDRB perkapita.
Sumber: Data olahan
Variabel lain dalam indikator infrastruktur yang mempunyai hubungan dengan
indikator kinerja perekonomian daerah adalah kondisi lampu penerangan jalan. Data yang
digunakan pada variabel kualitas infrastruktur sub indikator kondisi lampu penerangan jalan
di sekitar usaha responden adalah data dengan skala ordinal sehingga untuk melihat
hubungan sederhana dilakukan uji Spearman. Hasilnya menunjukkan bahwa kondisi lampu
jalan berkorelasi negatif terhadap perubahan pengangguran secara signifikan pada taraf 5%
(Gambar 10). Responden yang menjawab buruk tersebar di 5 (Banggai Kepulauan, Morowali,
Poso, Toli-Toli, Palu) daerah penelitian dan responden yang menjawab baik berada di 6
daerah lainnya (Banggai, Buol, Parigi Moutong, Tojo Una-Una, Sigi, Donggala). Sebanyak
23% responden di Kabupaten Banggai dan Kabupaten Morowali menyatakan kondisi
penerangan jalan di sekitar lokasi usaha mereka sangat buruk, sedangkan di Kota Palu, 10%
responden menyatakan hal yang sama dengan responden di Banggai dan Morowali.
Responden yang di survey oleh KPPOD di kabupaten/kota di Sulawesi Tengah berjumlah
458 responden. Dari jumlah itu, 21% bekerja di sektor usaha perdagangan dan 36% di sektor
usaha jasa, termasuk warung makan dan salon, yang beraktifitas sampai malam hari. Kondisi
lampu penerangan jalan yang baik memungkinkan kegiatan usaha seperti ini untuk
beraktifitas sampai malam hari karena pelanggan yang datang di malam hari akan lebih
merasa aman. Kegiatan usaha seperti ini juga merangsang tumbuhnya kegiatan usaha jasa
lainnya seperti ojek sepeda motor yang umumnya beroperasi disekitarnya. Peningkatan
aktifitas tersebut akan berakibat pada meningkatnya volume penjualan dan selanjutnya
memerlukan tenaga kerja yang lebih banyak dan pada gilirannya akan mengurangi
pengangguran.
Perubahan_pengangguran(%)
Uji Spearman P-Value=
0,008
Buruk
Baik
Kondisi lampu penerangan
(2)
(3)
jalan jalan
Gambar 10 Scatterplot kondisi lampu penerangan jalan di sekitar usaha responden pada
tahun 2009 dengan Pengangguran
Sumber: Data olahan
Variabel lainnya dalam indikator infrastruktur yang mempunyai hubungan dengan
indikator perekonomian daerah adalah waktu yang dibutuhkan untuk memperbaiki PDAM.
Data yang digunakan pada variabel kualitas infrastruktur sub indikator waktu yang
dibutuhkan untuk memperbaiki PDAM adalah data dengan skala interval sehingga untuk
melihat hubungan sederhana dilakukan uji Pearson. Hasilnya menunjukkan bahwa waktu
yang diperlukan untuk memperbaiki PDAM berkorelasi positif terhadap perubahan
kemiskinan secara signifikan pada taraf 5% (Gambar 11).
Air bersih merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, sehingga pemenuhannya
memerlukan perhatian dan campur tangan pemerintah sebagaimana tertuang dalam UndangUndang Dasar 1945 pasal 33. Penyediaan infrastruktur air bersih berkaitan dengan aspekaspek ekonomi, sosial dan lingkungan. Dalam aspek ekonomi, sektor air bersih dituntut
menyesuaikan diri dengan kaidah-kaidah ekonomi dalam rangka memandu alokasi sumber
daya air dan mendorong terselenggaranya sektor usaha selayaknya corporate yang
profesional, berperilaku efisien, dan menghasilkan manfaat bagi sektor ekonomi lainnya.
Dalam aspek sosial, sektor air bersih berhubungan dengan nilai-nilai sosial yang harus
diaspirasikan dalam pembangunan serta kedudukannya sebagai sektor publik yang paling
mendasar. Sedangkan dalam aspek lingkungan, sektor air bersih berhadapan dengan implikasi
yang bernuansa sosial dan mempengaruhi alokasi sumber daya air. Sinergi antara aspek
lingkungan dan sosial dapat menentukan perilaku pengelolaan sumber daya air dan
permintaan air bersih (Nugroho 2003). Indonesia memasukkan akses air minum layak bagi
rumah tangga sebagai salah satu indikator MDGs, yang ditargetkan pada tahun 2015
mencapai 68,87%. Sumber air minum yang layak meliputi air minum perpipaan dan air
minum non-perpipaan terlindung yang berasal dari sumber air berkualitas dan berjarak sama
dengan atau lebih dari 10 meter dari tempat pembuangan kotoran dan/atau terlindung dari
kontaminasi lainnya. Sumber air minum layak meliputi air leding, keran umum, sumur bor
atau pompa, sumur terlindung dan mata air terlindung, serta air hujan. Sumber air minum tak
layak didefinisikan sebagai sumber air yang jarak antara sumber air dan tempat pembuangan
kotoran kurang dari 10 meter dan atau tidak terlindung dari kontaminasi lainnya. Sumber
tersebut antara lain mencakup sumur galian yang tak terlindung, mata air tak terlindung, air
yang diangkut dengan tangki/drum kecil, dan air permukaan dari sungai, danau, kolam, dan
saluran irigasi/drainase. Air kemasan dianggap sebagai sumber air minum layak hanya jika
rumah tangga yang bersangkutan menggunakannya untuk memasak dan menjaga kebersihan
tubuh, dan di Indonesia penggunaan air kemasan tidak dikategorikan sebagai sumber air
minum layak terkait aspek keberlanjutannya (Bappenas, 2010).
Responden dengan jenis usaha produksi misalnya tempat pembuatan tempe, keripik
memerlukan air bersih untuk menjamin mutu dari produknya. Infrastruktur yang baik akan
membuat kinerja perusahaan lebih efisien, pendapatan perusahaan akan meningkat dan
selanjutnya perusahaan dapat merekrut tenaga kerja baru dan
mengakibatkan akan
berkurangnya kemiskinan.
Scatterplot Kemiskinan
dengan
Waktu yang
diperlukan
untuk memperbaiki
Scatterplot
of kemiskinan
(%)
vs Q114bR3
PDAM
10
Perubahankemiskinan
Kemiskinan
(%)
(%)
0
-10
-20
-30
-40
-50
1.0
1.5
2.0
Q114bR3
2.5
3.0
Waktu yang diperlukan untuk memperbaiki PDAM (hari)
Gambar 11 Hubungan waktu yang diperlukan untuk memperbaiki PDAM dengan
Kemiskinan
Sumber: Data olahan
Selain indikator infrastruktur dalam TKED masih terdapat indikator lain yang
mempunyai hubungan dengan kinerja perekonomian daerah indikator tersebut adalah
program pengembangan usaha swasta. Pada variabel tingkat manfaat PPUS terhadap pelaku
usaha yang dapat menghubungkan pelaku usaha kecil-sedang dan besar. Data yang digunakan
pada variabel manfaat PPUS terhadap pelaku usaha yang dapat menghubungkan pelaku usaha
kecil-sedang dan besar adalah data dengan skala ordinal sehingga untuk melihat hubungan
sederhana dilakukan uji Spearman. Hasilnya menunjukkan bahwa manfaat PPUS berkorelasi
negatif terhadap perubahan pengangguran secara signifikan pada taraf 5% (Gambar 12).
Responden yang menjawab bermanfaat tersebar di 8 (Banggai kepulauan, Banggai,
Morowali, Poso, Toli-Toli, Buol, Palu, Sigi) daerah penelitian dan responden yang menjawab
sangat bermanfaat berada di 3 daerah lainnya (Donggala, Parigi Moutong, Tojo Una-una).
Semakin besar manfaat yang diperoleh dari program-program yang dilakukan oleh PPUS
yang dapat menghubungkan antara pelaku usaha kecil-menengah dan besar, maka semakin
kecil tingkat pengangguran di daerah tersebut.
Sub indikator lain dalam PPUS
yang mempunyai hubungan dengan kinerja
perekonomian daerah adalah pelatihan pengajuan kredit bagi UKM. Data yang digunakan
pada variabel pelatihan pengajuan kredit bagi UKM adalah data dengan skala ordinal
sehingga untuk melihat hubungan sederhana dilakukan uji Spearman. Hasilnya menunjukkan
bahwa pelatihan pengajuan kredit berkorelasi negatif terhadap perubahan pengangguran
secara signifikan pada taraf 5% (gambar 13).
Responden yang menjawab bermanfaat tersebar di 7 (Banggai kepulauan, Banggai,
Morowali, Poso, Toli-Toli, Buol, Palu) daerah penelitian dan responden yang menjawab
sangat bermanfaat berada di 4(Donggala,Parigi Moutong, Tojo Una-una,Sigi) daerah lainnya.
Semakin sering pelatihan pengajuan kredit bagi UKM dilakukan oleh PPUS dapat
memberikan manfaat bagi pelaku usaha sehingga diharapkan tingkat pengangguran di daerah
tersebut berkurang. Semakin banyak manfaat yang dapat menghubungkan antara pelaku
usaha kecil sedang dan besar dengan adanya PPUS akan semakin banyak pelaku usaha yang
dapat mempertemukan mata rantai kegiatan antara pelaku usaha kecil sedang dengan pelaku
usaha yang lebih besar. Pelaku usaha dengan skala kecil akan dapat meningkatkan usahanya
ke tingkat yang lebih besar. Dengan demikian akan menambah skala usahanya dan dapat
meningkatkan penjualan sehingga akan menambah pendapatan dan selanjutnya akan
mengurangi pengangguran. Untuk sub indikator pelatihan pengajuan kredit bagi UKM yang
merupakan sub indikator dari PPUS yang juga mempunyai hubungan nyata dengan
perubahan pengangguran. Sektor permodalan yang merupakan “jantung” kegiatan UKM
merupakan hal yang krusial. Hal ini terlihat dari persepsi pelaku usaha yang menganggap
bahwa PPUS berupa pelatihan pengajuan aplikasi kredit sangatlah penting dan bermanfaat.
Dengan adanya pelatihan pengajuan kredit untuk UKM, maka pelaku usaha yang awalnya
sangat sulit untuk mendapatkan tambahan permodalan, dengan adanya pelatihan pengajuan
kredit bagi UKM yang difasilitasi oleh PPUS, maka pelaku usaha dapat meningkatkan skala
usahanya karena telah mendapatkan tambahan modal. Dengan demikian, akan menambah
hasil produksi dari usahanya dan selanjutnya akan menambah pendapatan dan pada akhirnya
akan mengurangi pengangguran. Seluruh pelaku usaha mengetahui adanya PPUS yang
diselenggarakan oleh PEMDA di kabupaten mereka minimal satu program dan mereka pun
telah mengikuti minimal satu program yang diselenggarakan oleh PEMDA.
Pelatihan ini meliputi pelatihan pengenalan jenis-jenis kredit, pengenalan jenis lembaga
keuangan formal yang ada, pengenalan dan pelatihan prosedur pengajuan aplikasi kredit
(syarat-syarat yang harus dipenuhi, hak dan kewajiban kreditur dan debitur). Dalam era
otonomi daerah, diharapkan akan lebih banyak lagi kegiatan yang difasilitasi oleh PPUS
sehingga pengangguran di kabupaten/kota diharapkan akan berkurang.
Perubahan_pengangguran
(%)
Uji Spearman P-Value=
0,005
Bermanfaat(3)
Sangat Bermanfaat(4)
Gambar 12 Scatterplot manfaat PPUS dapat menghubungkan pelaku usaha kecil-sedang
dan besar dengan Pengangguran
Sumber: Data olahan
Perubahan_pengangguran(%)
Uji Spearman P-Value=
0,028
Bermanfaat(3)
Sangat Bermanfaat (4)
Pelatihan pengajuan kredit
Gambar 13 Scatterplot pelatihan pengajuan kredit bagi UKM dengan Pengangguran
Sumber: Data olahan
Indikator-indikator dalam tata kelola ekonomi daerah yang signifikan baik negatif
maupun positif dengan indikator kinerja perekonomian daerah di atas mengambarkan korelasi
antara variabel-variabel dan merupakan indikasi awal dari suatu fenomena. Indikator dalam
tata kelola ekonomi daerah di suatu daerah boleh saja buruk tetapi indikator yang baik yang
merupakan daya tarik bagi daerah tersebut.
Hubungan Total Indeks TKED dengan PDRB per Kapita, Pengangguran dan
Kemiskinan
Tata Kelola Ekonomi Daerah kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Tengah telah
dibuat indeks oleh KPPOD pada tahun 2011. Seluruh variabel tata kelola ekonomi daerah
diagregasi menjadi sebuah indeks tata kelola ekonomi daerah. Pembuatan indeks ini melalui
beberapa cara, yakni tahap normalisasi, perhitungan sub indeks dan perhitungan indeks
melalui pembobotan tiap variabel. Selain itu, ada sembilan indikator yang dibuat sub-indeks,
yaitu indikator akses lahan, izin usaha, interaksi pemda dengan pelaku usaha, program
pengembangan usaha swasta, kapasitas dan integritas pemimpin daerah, Biaya Transaksi,
infrastruktur daerah, keamanan dan penyelesaian konflik dan peraturan daeah. Untuk analisis
hubungan antara nilai total indeks dari 9 indikator TKED, indikator PERDA dimasukkan
dalam analisis ini karena yang dipakai adalah nilai total indeks yang telah ada dalam hasil
laporan KPPOD tahun 2010. Penelitian ini tidak hanya melihat korelasi dari masing-masing
sub indikator dalam TKED tetapi juga perlu dilihat korelasi secara keseluran antara nilai total
indeks TKED dengan kinerja perekonomian daerah, hasil dari korelasi tersebut terlihat pada
Gambar 14,15 dan 16. Dari ketiga gambara tersebut menunjukkan bahwa indeks TKED tidak
memiliki hubungan yang signifikan dengan PDRB perkapita, Pengangguran dan Kemiskinan
kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Tengah. Dari sembilan indikator, tidak satupun
indikator yang berhubungan signifikan dengan PDRB Perkapita. Demikian juga dengan
Pengangguran dan Kemiskinan tidak berhubungan signifikan. Scatterplot PDRB Perkapita
dengan 9 indeks TKED menunjukkan untuk PDRB Perkapita ada 2 indikator yang memiliki
kemiringan (slope) yang cenderung landai yaitu indikator integritas dan kapasitas
bupati/walikota dan PPUS, untuk Pengangguran indikator TKED yang memiliki kemiringan
landai yaitu akses lahan, infrastruktur, biaya transaksi dan PPUS. Adapun untuk kemiskinan
indikator TKED yang memiliki kemiringan landai adalah perizinan usaha, biaya transaksi,
integritas/kapasitas bupati/walikota, PPUS dan keamanan dan penyelesaian konflik.
Hal ini dapat terjadi karena seluruh variabel yang berupa lebih dari 90 pertanyaan
dengan skala yang berbeda-beda diagregasikan menjadi sebuah indeks. Pertanyaan yang
menjadi variabel memiliki berbagai skala, baik nominal, ordinal maupun interval. Oleh
karena itu, dalam melakukan analisisnya lebih tepat menggunakan analisis atau uji yang
berbeda-beda, disesuaikan dengan skala masing-masing. Dengan demikian, akan terlihat
variabel-variabel yang berpengaruh secara signifikan sehingga diperoleh rekomendasi
kebijakan yang tepat.
PDRB perkapita vs TKED
A kses Lahan
Infrastruktur
P erizinan U saha
16000
12000
8000
70
80
90 64
PDRBperka
P E RD A
72
80
60
Biay a Transaksi
64
68
Integritas/Kapasitas Bupati/Wal
16000
12000
8000
80
85
90
70
80
Interaksi P E M D A & P elaku U saha
90
PPUS
50
60
70
Keamanan & P eny elesaian Konflik
16000
12000
8000
55
60
65
20
40
60
64
72
80
Gambar 14 Hubungan sub-indeks dan indeks tata kelola ekonomi daerah dengan PDRB per
kapita.
Pengangguran vs TKED
A kses Lahan
Infrastruktur
P erizinan U saha
0
pengangguran (%)
-20
-40
70
80
9064
72
P E RDA
80
60
Biay a Transaksi
64
68
Integritas/Kapasitas Bupati/Wal
0
-20
-40
80
85
90
70
80
Interaksi P E M DA & P elaku U saha
90
PPUS
50
60
70
Keamanan & P eny elesaian Konflik
0
-20
-40
55
60
65
20
40
60
64
72
80
Gambar 15 Hubungan sub-indeks dan indeks tata kelola ekonomi daerah dengan
Pengangguran.
Kemiskinan vs TKED
A kses Lahan
Infrastruktur
P erizinan U saha
0
-20
-40
kemiskinan (%)
70
80
9064
72
P E RDA
80
60
Biay a Transaksi
64
68
Integritas/Kapasitas Bupati/Wal
0
-20
-40
80
85
90
70
80
Interaksi P E M DA & P elaku U saha
90
PPUS
50
60
70
Keamanan & P eny elesaian Konflik
0
-20
-40
55
60
65
20
40
60
64
72
80
Gambar 16 Hubungan sub-indeks dan indeks tata kelola ekonomi daerah dengan
kemiskinan.
Sumber: Data olahan
Analisis Terhadap Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi,
Pengangguran dan Kemiskinan
Data hasil regresi antara Pertumbuhan, pengangguran dan kemiskinan terhadap belanja
belanja modal dan investasi serta indikator TKED merupakan hasil model yang terbaik
setelah dilakukan berbagai macam uji dan memenuhi asumsi klasik (lampiran 20). Dari hasil
output untuk regresi antara Pertumbuhan terhadap belanja modal dan investasi, serta indikator
TKED. Untuk mendapatkan model yang terbaik, maka dilakukan regresi dengan peubah
bebas kualitatif dengan 2 kategori (yang berinteraksi dengan peubah bebas lainnya).
Metodenya adalah dengan menambahkan suatu peubah bebas baru yang merupakan perkalian
antara 2 peubah bebas yang berinteraksi. Dalam model ini peubah bebas yang berinteraksi
adalah belanja modal yang berinteraksi dengan dummy kabupaten dan investasi yang
berinteraksi dengan dummy kabupaten.
Tabel 4
Hasil estimasi parameter persamaan LnPDRBKap kabupaten/kota di Sulawesi
Tengah tahun 2010-2011
PEUBAH
Dugaan Parameter
Probability
t-Statistik
Intersept
3.432486
0.0007
-0.248664
Dkab
0.0004
LnBelanja Modal
0.194372
0.2359
0.022140
Dkab*LnBelanja
0.0000
Modal
-0.191878
Lama
perbaikan
0.0001
listrik
Manfaat PPUS
0.013075
0.6682
Pelatihan pengkredit
-0.006126
0.8674
Perbaikan PDAM
0.012392
0.6561
2
R = 0.743
F-Hitung= 4.712
DW= 2.058
Sumber: Data olahan dari berbagai sumber: KPPOD, APBD 2010-2011
Dari hasil estimasi output, variabel bebas yang berpengaruh signifikan terhadap PDRB
perkapita kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Tengah adalah Dkabupaten, Dkab*BM, serta
varibel tata kelola ekonomi daerah yaitu lama perbaikan listrik.
Dari hasil output regresi PDRB perkapita, koefisien variabel Dkabupaten sebesar 0,248 yang berarti bahwa terdapat perbedaan PDRB perkapita antara di kabupaten dan kota.
PDRB perkapita di kabupaten lebih kecil daripada di kota, jika faktor lain dalam model
tersebut sama. Pengaruh belanja modal terhadap PDRB perkapita di kabupaten sebesar 0,022
(Tabel 4). Hasil pendugaan model ini sesuai fakta bahwa PDRBKap di Kabupaten Donggala
lebih rendah dibandingkan PDRBKap di Kota Palu, tetapi persentase alokasi belanja modal di
Kabupaten Donggala lebih tinggi dibandingkan di Kota Palu. Hal ini dikarenakan tata kelola
ekonomi daerah di Kabupaten Donggala lebih baik daripada di Kota Palu dan hal ini juga
ditunjang oleh proses perencanaan dan penganggaran Kabupaten Donggala yang lebih baik
dibandingkan Kota Palu terutama dalam prioritas anggaran.
Dalam hal ini, belanja modal merupakan pengeluaran yang dilakukan dalam rangka
pembentukan modal yang sifatnya menambah aset tetap. Belanja modal yang dilakukan oleh
pemerintah dalam rangka menambah aset tetap misalnya membuat gedung, perbaikan jalan
maupun belanja tanah terbukti dapat memberikan efek yang besar dalam perekonomian.
Semakin banyak belanja modal yang dilakukan pemerintah, semakin cepat perekonomian
tumbuh sehingga kesejahteraan masyarakat yang ditunjukkan oleh pertumbuhan ekonomi
dapat meningkat. Syarat fundamental untuk pembangunan ekonomi adalah tingkat pengadaan
modal pembangunan yang seimbang dengan pertambahan penduduk. Bertambahnya
infrastruktur dan perbaikannya oleh pemerintah daerah diharapkan akan memacu
pertumbuhan ekonomi daerah dan selanjutnya akan meningkatkan pendapatan perkapita
masyarakatnya.
Kecilnya pengaruh belanja modal terhadap PDRB perkapita mengindikasikan
kurangnya perhatian pemerintah kabupaten/kota akan pentingnya alokasi belanja modal.
Lebih disayangkan lagi dalam wawancara dengan beberapa Satuan Kerja Perangkat Daerah
masih banyak pemangku kepentingan yang salah menafsirkan arti dari belanja modal dalam
hal ini banyak anggaran yang dikeluarkan untuk alokasi belanja ini yang tidak tepat sasaran
karena bukan dibelanjakan untuk objek pembangunan, tetapi masih banyak yang dialokasikan
ke subjek dalam hal ini untuk aparat SKPD sendiri contohnya pembelian perangkat elektronik
untuk penunjang misalnya pembelian laptop dan perangkat ini akan berpindah tangan jika
pemangku kepentingan akan dimutasi ke tempat lain.
Selanjutnya, variabel TKED lama perbaikan listrik berpengaruh signifikan terhadap
PDRB perkapita. Variabel ini juga signifikan terhadap pengangguran dan kemiskinan. Waktu
yang dibutuhkan untuk memperbaiki infrastruktur termasuk perbaikan listrik dalam indikator
yang ditetapkan oleh KPPOD, pelaku usaha yang menjadi responden survei adalah yang
melakukan aktivitas usaha pada sektor usaha jasa, industri pengolahan, dan pedagangan.
Untuk sektor perdagangan yang banyak adalah sektor perdagangan informal yang sangat
membutuhkan listrik untuk menjalankan usahanya pada malam hari. Kondisi di Kota Palu,
pelaku usaha jarang membuka usahanya baik formal maupun informal di malam hari dalam
jangka waktu yang lama karena buruknya infrastruktur listrik berdampak pada kurangnya
jaminan keamanan baik pada pelaku usaha maupun pada konsumen. Akibatnya banyak
pelaku usaha hanya membuka sampai pada pukul 17.00. Di kabupaten Banggai, pelaku usaha
hanya membuka usahanya sampai pada jarak 5 km dari pusat Kota. Akibatnya, pekerja
termasuk penjaga toko yang mendapat shift waktu bekerja pada pukul 17.00 hingga 21.00
mengganggur bahkan ada pekerja yang harus kehilangan pekerjaan karena ketatnya
persaingan, di bidang jasa perdagangan ini. Hal ini diperburuk oleh situasi di Sulawesi
Tengah, kecenderungan lulusan perguruan tinggi menjadi PNS sangat besar karena tidak
adanya alternatif lain seperti industri.
Waktu yang dibutuhkan untuk memperbaiki instalasi listrik di sekitar tempat usaha
responden selama di tahun 2009 paling lama di Kabupaten Parigi Moutong yaitu 34 hari, di
Kota Palu selama 14 hari dan di Kabupaten Donggala hanya 8 hari. Kota Palu sebagai
ibukota Provinsi seharusnya sudah tidak lagi mengalami masalah listrik karena ketersediaan
fasilitas listrik yang memadai. Namun, adanya Pembangkit Listrik Tenaga Uap di Kelurahan
Mpanau bukan merupakan solusi akhir karena PLTU membutuhkan input batubara yang
berasal dari Kalimantan. Ini memerlukan perencanaan matang dalam pembelian batubara
bagi penggunaan pada bulan mendatang. Ditambah perjalanan transportasi batubara via laut
sering mengalami gangguan cuaca seperti gelombang tinggi di perairan Selat Makassar dan
Laut Sulawesi.
Dari tabel 5 dan 6 dapat dilihat hasil output faktor-faktor yang mempengaruhi
pengangguran dan kemiskinan
Tabel 5
Hasil estimasi parameter persamaan pengangguran kabupaten/kota di Sulawesi
Tengah tahun 2010-2011
PEUBAH
Dugaan Parameter
Probability
t-Statistik
Intersept
2.598600
0.0203
-0.216567
Dkab
0.0043
0.289217
LnBelanja Modal
0.0862
0.109321
LnInvestasi
0.0000
-0.159635
Dkab*LnInvestasi
0.0004
Kondisi lampu jalan
0.029510
0.3747
-0.348119
Lama
perbaikan
0.0002
listrik
Manfaat PPUS
0.056566
0.5311
Pelatihan pengkredit
0.018655
0.8101
Perbaikan PDAM
-0.036247
0.2243
R2 = 0.898
F-Hitung= 11.748
DW= 1.936
Sumber: Data olahan dari berbagai sumber: KPPOD, APBD 2010-2011
Tabel 6 Hasil estimasi parameter persamaan perubahan kemiskinan kabupaten/kota di
Sulawesi Tengah tahun 2010-2011
PEUBAH
Dugaan Parameter
Probability
t-Statistik
Intersept
2.391691
0.0001
0.103239
Dkab
0.0876
0.342563
LnBelanja Modal
0.0026
-0.030545
LnInvestasi
0.0186
-0.072008
Kondisi lampu jalan
0.0934
-0.223304
Lama
perbaikan
0.0000
listrik
0.269648
Manfaat PPUS
0.0000
Pelatihan pengkredit
-0.018751
0.6935
0.030439
Perbaikan PDAM
0.0816
2
R = 0.910
F-Hitung= 16.486
DW= 2.001
Sumber: Data olahan dari berbagai sumber: KPPOD, APBD 2010-2011
Dari hasil estimasi output, variabel bebas yang berpengaruh signifikan terhadap
pengangguran adalah Dkab, belanja modal, investasi, Dkab*lninvestasi serta indikator tata
kelola ekonomi daerah yaitu lama perbaikan listrik. Faktor yang mempengaruhi kemiskinan
adalah Dkab, belanja modal, investasi, dan indikator TKED yaitu kondisilampu_jalan, lama
perbaikan listrik, manfaat PPUS , lama perbaikan PDAM.
Koefisien variabel Dkab yang negatif signifikan mengindikasikan bahwa pengangguran
di kabupaten lebih rendah daripada di kota, jika faktor lain dalam model tersebut sama.
Pengaruh investasi di kabupaten terhadap pengangguran sebesar -0,050
(-0,159 + 0,109) yang berarti bahwa pengaruh investasi di kabupaten lebih besar
dibandingkan di kota sehingga pengaruhnya dalam menurunkan pengangguran di kabupaten
lebih tinggi dibanding di kota, penurunan pengangguran di Kabupaten Donggala lebih rendah
dibandingkan di Kota Palu, hal ini dikarenakan tata kelola ekonomi daerah di Kabupaten
Donggala lebih baik dan dalam prioritas anggaran juga lebih baik walaupun investasi di
Kabupaten Donggala masih kurang dibandingkan investasi di Kota Palu. (Tabel 5).
Pengangguran di kota lebih tinggi dibanding di kabupaten, hal ini disebabkan oleh adanya
migrasi penduduk yang mencari kerja di kota. Dalam model pengangguran di atas variabel
investasi, peningkatan investasi juga meningkatkan pengangguran hal ini disebabkan
investasi yang ada adalah investasi padat modal. Variabel Dkabupaten yang signifikan
terhadap kemiskinan sebesar 0,103 yang berarti bahwa terdapat perbedaan antara kemiskinan
di kabupaten dan kota. Kemiskinan di kabupaten lebih tinggi daripada di kota, jika faktor lain
dalam model tersebut sama (tabel 6). Kemiskinan di Kabupaten Donggala lebih tinggi
dibandingkan di Kota Palu tetapi karena alokasi Belanja Modal di Kabupaten Donggala lebih
baik serta tata kelola ekonomi daerah juga lebih baik daripada di Kota Palu sehingga
penurunan kemiskinan di Kabupaten Donggala lebih tinggi dibanding di Kota Palu.
Untuk variabel tata kelola ekonomi daerah yang mempunyai pengaruh signifikan
dengan pengangguran dan kemiskinan. TKED yang signifikan terhadap pengangguran adalah
lama perbaikan listrik, variabel TKED lainnya yang signifikan terhadap kemiskinan adalah
manfaat PPUS yang menghubungkan pelaku usaha skala kecil-sedang dan besar. Variabel
manfaat PPUS berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan. Semakin banyak interaksi antara
pelaku usaha kecil sedang dan besar semakin banyak informasi dan hal-hal lain yang dapat
diperoleh dari pelaku usaha yang telah sukses dan memberikan atau menyebarluaskan
keberhasilannya kepada pelaku usaha lain yang masih membutuhkan dan memerlukan
informasi guna kemajuan usahanya, maka akan semakin banyak hal-hal yang berguna yang
dapat didapatkan sehingga dapat meningkatkan usahanya dan dapat meningkatkan
pendapatannya.
Kabupaten Banggai telah memiliki PPUS yang dapat menghubungkan antara pelaku
usaha kecil-menengah dan pengusaha besar. Dengan demikian, antara pelaku usaha tersebut
telah terjalin komunikasi horizontal dan saling bertukar informasi pengalaman dalam usaha.
Di samping itu, antara UMKM dan pengusaha mapan dapat menekan biaya transaksi dan
biaya informasi walaupun tidak dilakukan secara resmi dalam kawasan ekonomi khusus
seperti pada zona industri. Konsekuensinya, daya serap tenaga kerja semakin besar sehingga
meningkatkan pendapatan masyarakat di Kabupaten Banggai.
Data aktual Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa masih ada 9.98% penduduk
miskin dari total penduduk Kota Palu. Pada tahun 2012, sesuai data yang bersumber dari Unit
Penetapan Sasaran Penanggulangan Kemiskinan Tim Percepatan Penanggulangan
Kemiskinan, penduduk miskin di Kota Palu berjumlah 74.165 jiwa tercakup dalam 15.196
kepala keluarga. Dari jumlah tersebut, proporsi terbesar berada di Kecamatan Palu Barat yang
mencapai 23.192 jiwa (31.27%) disusul oleh Kecamatan Palu Selatan mencapai 20.440 jiwa
(27.56%), Palu Utara mencapai 17.793 jiwa serta Palu Timur mencapai 12.740 jiwa. Sampai
tahun 2012, penduduk miskin yang tidak bekerja mencapai 51.542 jiwa yang
proporsinyamencapai 69.50% dari penduduk miskin. Penganggur inilah dapat menjadi
masalah utama Kota Palu seperti rawan konflik horizontal, rawan terjerumus dalam
kejahatan, dan masalah sosial lainnya. Penduduk miskin yang bekerja di sektor
bangunan/konstruksi menempati posisi kedua setelah penduduk miskin penganggur yang
mencapai 5.368 jiwa. Sedangkan penduduk miskin yang bekerja di sektor
pertambangan/penggalian hanya mencapai 753 jiwa atau 1.02% dari penduduk miskin. Jadi
tidak beralasan bagi Pemerintah Kota Palu untuk tidak segera menutup area pertambangan
Poboya apalagi dipenuhi oleh pendatang dari luar Kota Palu. Masih ada 2.514 jiwa anak
penduduk miskin yang tidak bersekolah dari 19.239 anak penduduk miskin. Ini seharus
menjadi program utama bagi Dinas Pendidikan Kota Palu mendatanya dan menyekolahnya
melalui Sistem Pendidikan Berbasis Partisipasi Masyarakat. Jumlah orang cacat pada
masyarakat miskin mencapai 659 jiwa dengan proporsi terbanyak di Kecamatan Palu Barat
yang mencapai 191 jiwa. Terdapat 6.770 rumah tangga atau 44.55% rumah tangga miskin
menggunakan sumber air yang tidak terlindungi. Sisanya menggunakan air kemasan, air
ledeng, sumber air terlindungi. Hambatan peningkatan mutu sumber daya manusia di
Kabupaten/Kota, terutama di daerah perdesaan dan pedalaman, adalah terbatasnya tenaga
pendidik dan tenaga kesehatan yang berkualitas, belum meratanya penyebaran tenaga
pendidik dan tenaga kesehatan, dan terbatasnya prasarana dan sarana transportasi. Akibatnya,
Indeks Pembangunan Manusia Sulawesi Tengah tidak pernah berada di bawah peringkat 22
dari 33 provinsi di Indonesia.
Variabel TKED lainnya yang berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan adalah ratarata hari yang diperlukan untuk memperbaiki infrastruktur (yang berada di sekitar wilayah
usaha responden) yang mengalami kerusakan atau tidak berfungsi sebagaimana mestinya di
tahun 2009 (air PDAM). Dari seluruh Kabupaten/Kota yang ada di Sulawesi Tengah Kota
Palu merupakan lokasi yang paling lama waktu yang dibutuhkan untuk memperbaiki
kerusakan PDAM di sekitar lokasi usaha responden, selama 23 hari waktu dibutuhkan untuk
hal ini, banyak masalah yang ada di Kota Palu terkait infrastruktur khususnya PDAM,
sumber PDAM yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat Kota Palu yaitu yang bersumber
dari PDAM uwe lino dan PDAM Poboya. Mata air yang ada di PDAM uwe lino sudah tidak
dapat memenuhi kebutuhan masyarakat kota karena debitnya yang berkurang. Untuk itu,
banyak masyarakat yang sampai membutuhkan PDAM poboya. Di lain pihak, PDAM
Poboya itu sendiri mempunyai masalah yang sangat krusial bagi kesehatan karena mata
airnya telah terkontaminasi oleh merkuri yang diakibatkan oleh adanya penambangan liar di
sekitar mata air PDAM Poboya. Sedangkan PDAM uwe lino masih bermasalah dengan
manajemen kepemilikan. Di masa lalu, PDAM uwe lino dimiliki oleh PDAM Kabupaten
Donggala karena saat itu, ibukota Kabupaten Donggala berada di Palu. Setelah desentralisasi,
ibukota Kabupaten Donggala pindah ke Banawa sekitar 37 km dari Kota Palu. Adanya
kerusakan infrastruktur PDAM menyebabkan daya beli masyarakat semakin berkurang
karena harus membeli air lainnya baik melalui truck PDAM Donggala maupun Kota Palu
atau pada depot isi ulang bagi kebutuhan air minum. Saat ini, karena sumber PDAM di
Poboya telah tercemar merkuri, kebutuhan masyarakat pada air minum semakin besar yang
otomatis menambah pengeluaran rumah tangga. Ada kecenderungan penduduk Kota Palu
tidak lagi mengkonsumsi air tanah kecuali melalui depot air isi ulang karena ketakutan pada
publikasi hasil penelitian para ahli asing (Jepang) dan Universitas Tadulako yang menyatakan
kadar merkuri di udara Kota Palu dan dalam tanah telah berada di atas ambang batas
toleransi.
Dari model pengangguran dan kemiskinan, dapat dikatakan bahwa kemiskinan di
kabupaten lebih tinggi dibanding di kota, tetapi pengangguran lebih tinggi di kota dibanding
di kabupaten. Walaupun kemiskinan lebih tinggi di kabupaten, tetapi karena tata kelola
ekonomi daerah yang lebih baik sehingga penurunan kemiskinan lebih tinggi di kabupaten
dibanding di kota, walaupun investasi di kota lebih banyak dibanding di kabupaten.
Selain itu, pengangguran di Kabupaten/Kota di Sulawesi Tengah diharapkan akan
menurun melalui program-program yang bersentuhan langsung pada masyarakat miskin.
Adapun program-program penanggulangan kemiskinan yang pernah dan sedang berjalan di
kabupaten/kota yaitu Inpres Daerah Tertinggal, Kredit Usaha Tani, Sulawesi Agriculture
Area and Development Project, Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Program
Pengembangan Kecamatan, Jaringan Pengaman Sosial, Marine Coastal Resource
Management Project, Central Sulawesi Integrated Agriculture and Developement
Conservation Project , Community Action Plan, Program Pengurangan Subsidi dan terakhir
adalah program PNPM-Perkotaan yang peluncurannya dilakukan di Kota Palu oleh Presiden
Soesilo Bambang Yudoyono pada 30 April 2007. Program-program tersebut telah banyak
sumbangsihnya dalam masalah pengentasan kemiskinan perkotaan maupun lebih ke
kecamatan-kecamatan.
Data BPS menunjukkan bahwa nilai ICOR Kota Palu tahun 2010 sebesar 0,35. Hal ini
berarti bahwa untuk menambah PDRB rill sebanyak 1 unit, maka perlu penambahan barang
modal baru sebesar 0,35 unit. Kecilnya nilai ICOR ini menunjukkan bahwa investasi yang
ada di Kota Palu sangat kecil. Di lain pihak, kecilnya nilai ekspor terhadap total PDRB. Hal
ini menunjukkan bahwa pertumbuhan Kota Palu yang nilainya sebesar 7,79% di tahun 2010
bukan merupakan pencapaian dari sumbangan investasi maupun ekspor yang besar, tetapi
hanyalah dorongan konsumsi masyarakat semata yang nihil produktif, tak berkualitas dan
tanpa dampak berganda kepada penduduk miskin, dengan meletakkan skala prioritas utama
pada ekonomi sebagai pilar pembangunan. Laju pertumbuhan yang tinggi selama ini
seharusnya diikuti oleh distribusi dan pemerataan. Laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi di
Kota Palu belum dapat dikatakan berjalan baik karena terjadi anomali pertumbuhan di Kota
Palu karena didorong oleh tinggi permintaan yang selanjut mendorong peningkatan konsumsi
sehingga sewaktu-waktu mendorong harga barang-barang tertentu khususnya menjelang idul
fitri dan natal. Di sisi lain, hasil-hasil pertanian di daerah belakang Kota Palu tidak
dipasarkan di kota ini melainkan langsung diantardaerahkan atau diantarpulaukan ke wilayah
lain seperti Makassar dan Kalimantan Timur. Pengalaman ini terjadi pada Agustus 2012
sehingga tingkat inflasi di Kota Palu tertinggi di Indonesia yang mencapai 2.81% yang
didorong oleh peningkatan besar pada harga ikan segar dan sayur-mayur (Palu Ekspres:
Senin, 24 September 2012). Konsekuensinya, hal ini akan mengurangi daya beli masyarakat
dan mendorong peningkatan penduduk yang nyaris miskin.
Tata kelola pemerintahan daerah sebagai salah satu bentuk intervensi Pemerintah
Daerah di era desentralisasi fiskal, pada dasarnya merupakan support system yang menjamin
penyelenggaraan administrasi dan perumusan kebijakan dilakukan dengan transparan dan
akuntabel. PEMDA seyogyanya menggunakan kesempatan ini untuk menciptakan tata kelola
pemerintahan daerah yang lebih baik, seperti berinteraksi secara intensif dengan para pelaku
usaha dan stakeholders lainnya untuk dapat mengakomodir kebutuhan para pelaku usaha,
serta mengambil kebijakan yang mendukung pengembangan sektor swasta.
Kinerja Perekonomian Daerah dipengaruhi oleh indikator TKED melalui variabel
investasi, hal ini dapat dikatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi masuknya
investasi di daerah selain TKED sangatlah banyak dan jika dihubungkan dengan indikator
TKED hanyalah bahagian kecil dari faktor-faktor yang mempengaruhi investasi di suatu
daerah secara keseluruhan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Santi (2012)
yaitu keterkaitan antara TKED dengan investasi kabupaten/kota di Jawa Timur. Hasil yang
diperoleh adalah dengan banyaknya variabel yang berhubungan negatif secara nyata, tidak
langsung dapat disimpulkan bahwa tata kelola yang buruk justru meningkatkan investasi,
karena faktor penentu investor dalam menanamkan modal bukan hanya dari 1 unsur tata
kelola saja, akan tetapi banyak unsur tata kelola yang lain. Korelasi antara variabel tata kelola
dengan realisasi PMA dan PMDN pada dasarnya hanya hubungan sederhana dan merupakan
deteksi awal fenomena. Pada kenyataannya, di satu kabupaten dapat saja terjadi satu unsur
tata kelola memang buruk, namun tata kelola lainnya sangat baik. Unsur tata kelola yang baik
ini yang lebih menarik investor.
Data yang diperoleh dari financial times Ltd. 2013 yang mempengaruhi investasi antara
lain: Potensi pertumbuhan pasar domestik; Kedekatan dengan pasar atau pelangan; Peraturan
atau iklim usaha; Ketersediaan tenaga kerja terampil; Infrastruktur; Klaster industri; Kualitas
hidup; Biaya yang murah; Sumberdaya alam. Selain itu investor cenderung melihat faktorfaktor yang berkaitan dengan bagaimana mereka akan dapat beroperasi di negara asing antara
lain: Peraturan yang berkaitan dengan investor asing, standar pengobatan bagi investor asing,
fungsi dan efisiensi pasar lokal, kebijakan perdagangan dan privatisasi, langkah-langkah dan
fasilitasi bisnis seperti promosi investasi; insentif; perbaikan fasilitas dan langkah lainnya
untuk mengurangi biaya dalam melakukan bisnis, pembatasan dalam hal laba atau
keuntungan dalam bentuk deviden; royalty; bunga atau lainnya (United Nations Conference
on Trade and Development. World Investment Prospects Survey 2012–2014).
Selanjutnya faktor-faktor yang mempengaruhi investasi baik pada skala nasional
maupun regional di Indonesia: pertama, faktor suku bunga. Baik suku bunga simpanan dan
terutama suku bunga pinjaman sampai saat ini masih tinggi. Masih tingginya suku bunga
pinjaman saat ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain inefisiensi perbankan di mana
biaya overhead perbankan yang masih tinggi, masih tingginya resiko dalam pemberian
kredit/pinjaman dan lain-lain. Faktor kedua, pendapatan per kapita juga masih rendah.
Sementara, untuk provinsi dan kabupaten/kota saat ini juga rata-rata masih belum pulih dari
krisis kecuali untuk kota kota besar. Faktor ketiga, tentang sarana dan prasarana serta utilitas
harus diakui baik yang menjadi tanggungjawab pemerintah pusat maupun propinsi atau
Kabupaten/Kota kondisinya masih buruk. Banyak jalan yang berlubang karena kualitas yang
jelek. Pasokan listrik yang terbatas. Hal tersebut merupakan contoh masih buruknya kondisi
sarana dan prasarana serta utilitas. Faktor keempat, birokrasi dan perijinan juga belum
memuaskan. Tentang birokrasi perijinan ini bisa kita simak dari laporan hasil penelitian yang
dikeluarkan International Finance Corporation (IFC) dan Bank Dunia serta Bank
Pembangunan Asia yang tertuang dalam laporan IFC dan Bank Dunia mengenai ”Doing
Business 2012”, Indonesia menduduki peringkat 135 dari 175 negara dalam hal kemudahan
memulai usaha baru. Kemudahan untuk memulai usaha baru merosot sehingga investasi tidak
meningkat secara signifikan. Sementara kinerja pertumbuhan ekspornya juga turun
dibandingkan negara-negara kawasan ASEAN. Penurunan peringkat tersebut bukan berarti
negatif bagi Indonesia, tetapi perbaikan yang terjadi di negara negara lain sangat signifikan,
sementara Indonesia tidak. Sementara itu, negara tetangga terdekat kita, Singapura,
menempati posisi pertama negara yang paling mudah untuk memulai usaha. Indonesia telah
mengalami reformasi dalam hal kemudahan memulai usaha. Waktu yang diperlukan tadinya
sangat panjang, yakni 151 hari. Namun, telah dipangkas menjadi 97 hari saat ini. Indonesia
juga akan menerapkan pengarsipan secara elektronik untuk perpajakan. Untuk indikator
kemudahan memulai usaha lainnya, Indonesia tidak mengalami perbaikan. Dalam hal
mengurus izin, masih harus ditempuh 19 prosedur yang membutuhkan 224 hari. Perpajakan
misalnya, ada 52 jenis pajak dengan waktu yang dibutuhkan576 jam. Kinerja pertumbuhan
ekspor Indonesiapun telah mengalami penurunan yang cukup besar, yang secara tradisional
sudah menjadi keunggulan komparatif Indonesia seperti mebel, kelapa sawit, karet, tekstil
dan alas kaki. Faktor birokrasi dan perijinan ini bertambah buruk dengan pelaksanaan
otonomi daerah. Dalam pelaksanaan otonomi daerah tersebut banyak daerah yang untuk
kepentingan mencari Pendapatan Asli Daerah telah menciptakan peraturan daerah yang
intinya memungut pajak dan retribusi daerah serta memperumit ijin investasi. Namun
demikian, di tengah masih buruknya birokrasi perijinan ini, ada kabar baik dengan
diterapkannya Kantor Pelayanan Satu Atap atau ”One Stop Service” (OSS) di berbagai
daerah untuk melayani investasi. Hanya masalahnya sampai saat ini interpretasi dari apa yang
disebut sebagai OSS tersebut masih beragam di berbagai daerah. Ada yang sekedar semacam
humas, ada yang memang satu atap tetapi meja yang dilalui masih cukup banyak. Tetapi ada
daerah yang memang telah menerapkan OSS secara benar yaitu memang ijin investasi hanya
lewat kantor OSS. Kelima, faktor kualitas sumberdaya manusia. Hal yang menarik dari
kualitas sumberdaya manusia ini adalah sebenarnya tingkat pendidikan angkatan kerja
Indonesia makin membaik tetapi ternyata tidak terserap oleh lapangan kerja. Hal ini dapat
dilihat dari makin meningkatnya tingkat pendidikan dari para penganggur terbuka (yaitu
mereka yang sama sekali tidak bekerja) di Indonesia. Tidak terserapnya angkatan kerja ini
mengindikasikan ”mismatch” antara dunia pendidikan dan dunia kerja. Keenam, UU dan
peraturan ketenagakerjaan. Ada anggapan dari kalangan dunia usaha bahwa UU dan
peraturan ketenagakerjaan ini terlalu membela tenaga kerja. Misalnya saja ada peraturan yang
membuat PHK sangat sulit dilakukan. Demikian juga dalam hal kebijakan upah minimun
ternyata telah banyak memberatkan dunia usaha. Akibat dari kondisi demikian, maka
tampaknya hal ini menjadi bumerang bagi tenaga kerja sendiri. Ini mengindikasikan
pengusaha atau investor memilih teknologi yang lebih padat modal karena berurusan dengan
tenaga kerja semakin rumit dan tidak mengenakkan. Ketujuh, dalam hal stabilitas politik dan
keamanan, tampaknya kondisi sekarang ini rata-rata pada skala nasional maupun daerah
sudah lumayan. Hal ini terbukti, misalnya, pada pelaksanaan pemilihan kepala daerah di
berbagai daerah meskipun masih ada keributan di sana-sini tetapi tidak sampai membesar
menjadi konflik dan kerusuhan yang cukup membahayakan stabilitas politik dan keamanan.
Tampaknya masyarakat Indonesia sudah dewasa dalam berpolitik. Ini merupakan faktor yang
penting dalam mendukung terealisasikannya investasi. Kedelapan, faktor sosial budaya.
Dalam hal faktor sosial budaya tampaknya ada sebagian besar pengusaha Indonesia yang
telah memanfaatkan dengan baik tetapi tampaknya banyak pengusaha pengusaha asing yang
justru lebih jeli. McDonald misalnya sekarang mulai membuat berbagai masakan maupun
rasa masakan yang mengadopsi budaya lokal. Rasa softdrinknya misalnya dibuat manis.
Padahal di Amerika Serikat tempat asal perusahaan tersebut rasa softdrinknya tidak manis.
McDonald juga telah membuat berbagai masakan tradisional misalnya McRendang (Riptek,
Vol.2, No.1, Tahun 2008).
Kemudian Secara umum, iklim investasi khususnya di Sulawesi selatan dipengaruhi
oleh faktor-faktor non ekonomi,seperti kestabilan politik, penegakan hukum, pertanahan,
kriminalitas, aksi buruh dan mahasiswa, komitmen pemerintah, layanan perbankan, dukungan
infrastruktur dan layanan birokrasi pemerintah. Kriminalitas dan penegakan hukum
mendukung iklim investasi masih sangat lemah, khususnya ketegasan aparat dalam menindak
kejahatan ekonomi seperti korupsi dan illegal logging. Intensitas demonstrasi buruh dan
mahasiswa di Sulsel cukup mengganggu iklim investasi, namun masih dalam batas yang
dapat ditoleransi. Birokrasi pengurusan pertanahan masih menjadi salah satu penghambat
investasi. Layanan perbankan khususnya pengurusan kredit dinilai sangat birokratis dan
prosedur berbelit. Layanan birokrasi dan komitmen pemerintah dinilai belum sesuai dengan
harapan para pengusaha, khususnya dalam pengurusan perijinan dan penyediaan
data/informasi yang diperlukan (survey iklim investasi di Sulawesi Selatan, dalam Kajian
Ekonomi Sulsel triwulan II 2007).
Investasi di kabupaten/kota yang ada di Sulawesi Tengah walaupun sudah mencapai
19% dalam komposisi Produk Domestik Regional Bruto Sulteng, tetapi investasi bukanlah
yang berasal dari luar dan tidak bersifat jangka panjang. Investasi ini hanyalah merupakan
alokasi anggaran pemerintahan pusat yang menjadi dana-dana atas nama publik yang
dimanfaatkan oleh para pengusaha daerah. Ini tentu saja berbeda dengan penanaman modal
dalam negeri dan penanaman asing langsung yang bersifat jangka panjang dan menyerap
banyak lapangan kerja. Data PMA dan PMDN pun selama periode 2005-2012 sama sekali
tidak tersedia baik dalam publikasi BPS Sulteng dan Bank Indonesia yang berasal dari
BKPPMD Sulteng. Itulah sebabnya, BKPPMD Sulteng maupun urusan penanaman modal di
Kabupaten/kota yang masih tercantol pada Bappeda, belum terkualifikasi menurut penilaian
BKPM Pusat (Keputusan Kepala BKPMD Pusat Nomor 103/2012). Jangankan terkualifikasi,
Kabupaten Sigi dan Morowali malahan belum berbentuk dalam pelayanan terpadu satu pintu
(PTSP) bidang penanaman modal.
Rendahnya kontribusi investasi dalam PDRB kabupaten/kota di Sulawesi Tengah
menunjukkan bahwa masih rendahnya sektor riil dan modal yang digunakan oleh investor
atau pengusaha di daerah ini masih sangat tergantung oleh modal dari pemerintah melalui
dana anggaran pendapatan dan belanja daerah. Untuk itu, dalam menjawab tujuan kedua dari
penelitian ini akan dibahas lebih mendalam bagaimana proses perencanaan dan penganggaran
APBD khususnya di Kabupaten Donggala dan Kota Palu.
Implikasi kebijakan untuk menciptakan iklim investasi yang baik di daerah, khususnya
PEMDA Kota Palu lebih memperhatikan kebijakan-kebijakan PEMDA untuk menciptakan
iklim investasi yang baik. Iklim investasi yang baik dapat dicerminkan dengan
mempermudah dan mempercepat proses pengurusan administrasi bagi para pelaku usaha,
waktu perbaikan infrastruktur penunjang dipercepat yaitu waktu perbaikan kerusakan listrik,
waktu perbaikan PDAM, kondisi lampu jalan harus dalam keadaan baik. Jika infrastruktur ini
semakin baik diharapkan akan lebih banyak lagi para pelaku usaha yang tertarik untuk
berusaha di daerah. Kebijakan PEMDA dalam hal program pengembangan usaha swasta
lebih ditingkatkan pada kegiatan-kegiatan yang lebih bermanfaat bagi pelaku usaha
khususnya yang dapat memberi informasi yang dapat menghubungkan antara pelaku usaha
baik kecil dan menengah dengan pelaku usaha yang lebih besar.
Download