6.Tata Kelola Ekonomi Daerah Tata Kelola Ekonomi Daerah Kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Tengah Kabupaten dan Kota di Provinsi Sulawesi Tengah merupakan wilayah yang disurvei oleh komite pemantauan pelaksanaan otonomi daerah di tahun 2010. Dalam pemeringkatan tersebut, KPPOD menetapkan delapan indikator yang digunakan untuk menggambarkan tata kelola ekonomi daerah di 11 kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Tengah. Ada sembilan indikator dalam TKED tetapi indikator peraturan daerah tidak dimasukan dalam penelitian ini sehingga hanya ada Delapan indikator yaitu Akses Terhadap Lahan Usaha dan Kepastian Berusaha, Perizinan Usaha, Interaksi Pemerintah Daerah dengan Pelaku Usaha, Program Pengembangan Usaha Swasta, Kapasitas dan Integritas Kepala Daerah, Biaya Transakasi, Infrastruktur Daerah, Keamanan dan Penyelesaian Konflik. Berdasarkan Tabel 2 pemerintah daerah kabupaten dan kota di Sulawesi Tengah yang memiliki pelayanan akses lahan usaha yang terbaik adalah Kabupaten Buol dan Poso dengan skor yang sama yaitu 88,8 disusul pada peringkat kedua dan ketiga yaitu Kabupaten Banggai Kepulauan dengan skor 86,3 dan Kabupaten Donggala dengan skor 86. Sedangkan yang terburuk ditempati Kota Palu dengan skor 69. Waktu yang dibutuhkan untuk pengurusan status tanah di Kabupaten Buol dan Kabupaten Poso jauh lebih cepat dibanding Kota Palu. Lama pengurusan rata-rata status tanah di Kabupaten Buol dan Kabupaten Poso adalah 3 minggu, sedangkan di Kota Palu 4 minggu. Di samping itu, frekuensi konflik lebih sering terjadi di Kota Palu daripada di Kabupaten Poso. Sebesar 11% para pelaku usaha di Kota Palu menilai sering terjadi persoalan/konflik mengenai kepemilikan lahan di daerahnya. Sementara di Kabupaten Poso, pelaku usaha yang menilai sering terjadi konflik kepemilikan lahan di daerahnya hanya 2%. Kabupaten/kota yang memiliki indikator infrastruktur daerah terbaik adalah Kabupaten Sigi (skor 81), Kabupaten Parigi Moutong (skor 77,4), dan Kabupaten Buol (skor 76,2). Sedangkan Kabupaten Poso merupakan kabupaten terburuk di SulawesiTengah dalam indikator ini dengan (skor 63,5). Di Kabupaten Sigi, lama perbaikan infrastruktur baik jalan maupun lampu penerangan relatif lebih singkat daripada kabupaten lainnya. Lama perbaikan jalan di Kabupaten Sigi rata-rata hanya 28 hari, sedangkan di Kabupaten Poso lebih dari satu bulan. Untuk pemadaman listrik di tempat berlangsungnya usaha, di Kabupaten Sigi hanya satu kali dalam seminggu, sedangkan di Kabupaten Poso mencapai sembilan kali dalam seminggu. Penempatan Kabupaten Poso sebagai kabupaten terburuk di bidang infrastruktur selain dilihat dari lama perbaikan, juga dapat dilihat dari tingkat hambatan infrastruktur terhadap kinerja perusahaan. relatif lebih buruk dibanding yang lain. Hal ini ditunjukkan oleh 16% dari total responden menilai tingkat hambatan infrastruktur terhadap kinerja perusahaan adalah besar. Banggai 83,4 76,1 Parigi 78,6 77,4 Moutong Sigi 82,5 81 Toli-toli 82,6 74 Tojo Una84,2 72,6 una Donggala 86 74,9 Buol 88,8 76,2 Kota Palu 69 71 Banggai 86,3 73 Kepulauan Poso 88,8 63,5 Morowali 84 64,1 Sumber: KPPOD, (2011) Tengah TOTAL INDEKS PERINGKAT DI SULAWESI TENGAH Keamanan & Penyelesaian Konflik PPUS Integritas/Kapasitas Bupati/Walikota Interaksi PEMDA & Pelaku Usaha Biaya Transaksi PERDA Perizinan Usaha Infrastruktur Daerah Akses Lahan Tabel 2. Indeks Tata Kelola Ekonomi Daerah di Kabupaten/Kota di Sulawesi Tahun 2011 (dalam %) 65,9 78,4 80,5 69,4 55,7 68,3 68,7 72,1 1 58,3 87,7 72,2 67,3 66,6 67,5 71,3 2 56,9 91,5 79,4 69.6 53,1 52,3 76,1 71,2 65,3 82,7 80,3 69,8 58,1 50,2 67,7 69,1 3 4 61,3 88,9 64,9 53,8 60,5 68,9 68,8 5 61,6 86,9 80 59,7 61,3 40,9 71,3 68,3 68,2 87,9 87,1 50,1 66,4 14,9 73,2 66,8 65,5 82,8 70,2 58,6 58,9 59 63,5 66,7 6 7 8 62,8 88,7 42,4 54,3 18,2 71,6 63,5 9 65 84,9 82,1 51,9 54,6 37,2 72,4 62,9 61,7 90,6 82 52,9 56,5 29,3 79,5 62 10 11 86 73 59 Masih berkaitan dengan tabel 2, indikator pelayanan terbaik perizinan usaha peringkat satu, dua dan tiga ditempati oleh Kabupaten Buol (skor 68,2), Kabupaten Banggai (skor 65,9), dan Kota Palu (skor 65,5). Sedangkan peringkat terburuk ditempati oleh Kabupaten Sigi dengan skor 56,9. Tiga daerah terbaik tersebut telah menjalankan sistem pelayanan perizinan usaha yang sudah cukup baik bagi para pelaku usaha. Hal ini dapat dilihat dari lebih dari 86% para pelaku usaha di ketiga daerah tersebut menilai bahwa tingkat kesulitan yang dihadapi pada saat mengurus tanda daftar industri adalah sangat mudah. Di Kabupaten Buol 92% dari total perusahaan yang disurvei di daerah tersebut menilai bahwa biaya tertentu yang dikeluarkan untuk mendapatkan tanda daftar industri tidak memberatkan. Kabupaten Sigi yang merupakan kabupaten dengan nilai skor terendah untuk indikator perizinan usaha 92% responden mengatakan bahwa tidak ada cara pengaduan tentang pelayanan pengaduan di kantor pelayanan perijinan di kabupatenSigi. Kabupaten/kota yang memiliki biaya transaksi termurah dan tidak membebankan pelaku usaha adalah Kabupaten Banggai Kepulauan (skor 88,7), Kabupaten Buol (skor 87,1) dan Kabupaten Poso (skor 82,1). Sedangkan Kota Palu dengan biaya transaksi termahal di Sulawesi Tengah dengan hanya memiliki skor sebesar 70,2. Total biaya yang dibayarkan oleh perusahaan, termasuk pajak dan retribusi, di Kabupaten Banggai Kepulauan pada tahun 2009 relatif lebih rendah dibanding kota Palu yakni sebesar Rp 2.173.913 tiap perusahaan. Sedangkan Kota Palu tertinggi di Sulawesi Tengah yakni sebesar Rp 6.451.613per perusahaan. Hal inilah yang merupakan salah satu penghambat utama bagi kinerja perusahaan di Kota Palu. Menurut laporan TKED, banyak pengusaha yang terpaksa memberikan biaya tambahan untuk keamanan. Pembayaran biaya informal oleh pelaku usaha kepada kepolisian di Kota Palu lebih tinggi daripada yang dibayarkan kepada Ormas dan preman untuk mendapat jaminan perlindungan usaha. Hal ini berbeda dengan apa yang terjadi di Kabupaten Banggai Kepulauan. Pelaku usaha lebih banyak menyerahkan uang keamanan kepada aparat pemda dan preman daripada kepada kepolisian. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa Kabupaten Banggai Kepulauan memiliki biaya transaksi termurah dan tidak membebankan pelaku usaha daripada Kota Palu. Indikator kapasitas dan integritas kepala daerah peringkat tiga terbaik ditempati oleh Kabupaten Toli-toli (skor 69,8), Kabupaten Sigi (skor 69,6), Kabupaten Banggai (skor 69,4). Sedangkan untuk peringkat terburuk ditempati oleh Kabupaten Buol dengan skor 50,1. Rendahnya skor di Kabupaten Buol tersebut karena kepala daerah (Bupati) dinilai tidak memahami masalah dunia usaha yang sedang dihadapi oleh pelaku usaha lokal di daerah tersebut. Lebih dari 24% para pelaku usaha menilai tidak setuju jika Bupati mereka dinyatakan memahami permasalahan dunia usaha, bertindak profesional dan tegas dalam kasus korupsi birokratnya dan 77% responden menyatakan setuju dengan pernyataan bahwa tindakan kepala daerah yang menguntungkan diri sendiri. 10% menyatakan tidak setuju jika kepala daerah dinyatakan figur disegani dan layak diteladani. Tiga besar kabupaten dan kota terbaik dalam indikator interaksi Pemda dan pelaku usaha, yaitu Kabupaten Buol (skor 66,4), Kabupaten Donggala (skor 61,3) dan Kabupaten Parigi Moutong (59%). Sedangkan yang terburuk dalam indikator ini adalah Kabupaten Sigi dengan skor 53,1. Seluruh perusahaan yang menjadi responden sepakat menilai bahwa halhal yang berkaitan dengan interaksi Pemda dengan pelaku usaha menjadi hambatan kecil bagi kinerja perusahaan. Mereka menilai bahwa kebijakan pemerintah Kabupaten Buol berpengaruh besar terhadap kinerja perusahaan. Kabupaten Buol telah memiliki forum komunikasi antara Pemda dan pelaku usaha walaupun masih belum sempurna, namun sudah cukup memberikan solusi kepada pelaku usaha dalam menghadapi permasalahan dunia usaha. Pemerintah daerah yang memiliki program pengembangan usaha swasta terbaik adalah Kabupaten Banggai (skor 68,3), Kabupaten Parigi Moutong (skor 66,6), Kabupaten Tojo Una-una (60,5). Untuk Indikator program pengembangan usaha swasta, Kabupaten Buol menempati peringkat terakhir dengan skor 14,9. Pada dasarnya, seluruh pelaku usaha mengetahui bahwa terdapat program yang disediakan oleh pemda dalam rangka mengembangkan bisnis. Pelaku usaha di Kabupaten Banggai menilai bahwa programprogram tersebut memberikan manfaat yang relatif besar bagi perusahaan. Hal ini dilihat dari hanya 22% pelaku usaha di Kabupaten Banggai mengatakan program pengembangan usaha yang dilaksanakan pemda memiliki manfaat kecil bagi kinerja perusahaan mereka. Hal ini terjadi karena pemda telah dapat menyelenggarakan program pengembangan bisnis yang tepat dan sesuai bagi pengembangan usaha-usaha di kabupaten tersebut. Indikator jaminan keamanan dan penyelesaian sengketa terbaik adalah Kabupaten Morowali (skor 79,5), peringkat kedua Kabupaten Sigi (skor 76,1), dan peringkat ketiga Kabupaten Buol (skor 73,2). Daerah yang terburuk dalam indikator ini adalah Kota Palu dengan nilai 63,5. Perbedaan antara kabupaten yang terbaik dan terburuk dapat disebabkan oleh banyaknya kasus pencurian yang terjadi, kualitas penanganan masalah kriminal dan demostrasi buruh oleh polisi. Pelaku usaha mengatakan bahwa selama tahun 2009 rata-rata hanya satu kali kejadian pencurian di Kabupaten Morowali. Sementara di Kota Palu, pelaku usaha rata-rata mengatakan bahwa dalam kurun waktu tersebut terdapat dua kali kejadian pencurian. Lebih dari 88% pelaku usaha di Kabupaten Morowali, menilai polisi telah mengambil tindakan tepat waktu dalam menangani kasus kriminal yang berhubungan dengan kegiatan usaha.Sedangkan pelaku usaha di Kota Palu yang menilai hal tersebut hanya 65%. Tidak hanya itu, kualitas polisi dalam menangani kasus demonstrasi buruh pun jauh lebih baik di Kabupaten Morowali daripada di Kota Palu, sehingga pelaku usaha lokal Kabupaten Morowali merasa aman dan nyaman berusaha karena kualitas jaminan keamanan usaha yang sangat baik. Setelah mendapatkan nilai-nilai dari delapan indikator tersebut, selanjutnya adalah melihat nilai Indeks Tata Kelola Ekonomi Daerah secara keseluruhan untuk menilai kabupaten dan kota yang memiliki tata kelola ekonomi daerah terbaik di Provinsi Sulawesi Tengah. Berdasarkan Tabel 1, dari 11 kabupaten/kota yang ada di Sulawesi Tengah hanya 3 Kabupaten yang mempunyai indeks Tata Kelola Ekonomi Daerah yang kondusif (di atas 70) yaitu kabupaten Banggai skor 72,1 Kabupaten Parigi Moutong skor 71,3 serta Kabupaten Sigi dengan skor 71,2. Adapun Kabupaten Donggala dan Kota Palu memperoleh skor masing-masing 68,3 dan 66,7. Keterkaitan Variabel Tata Kelola Ekonomi Daerah dengan Kinerja Perekonomian Daerah Untuk mengetahui hubungan antara variabel tata kelola ekonomi daerah terhadap PDRB perkapita, pengangguran dan kemiskinan kabupaten dan kota di Sulawesi Tengah dilakukan uji korelasi Pearson untuk data interval, uji korelasi Spearman untuk data ordinal dilengkapi dengan scatter plot. Hasil yang diperoleh setelah melakukan korelasi antara masing-masing sub indikator dalam TKED dengan kinerja perekonomian daerah (PDRB perkapita, pengangguran, kemiskinan), diperoleh adanya hubungan sederhana antara variabel-variabel TKED dengan kinerja perekonomian daerah. Indikator dalam TKED yang mempunyai hubungan adalah indikator infrastruktur dan indikator program pengembangan usaha swasta. Indikator infrastruktur sub indikator yang mempunyai hubungan sederhana adalah lama perbaikan listrik, kondisi lampu jalan, waktu yang dibutuhkan untuk memperbaiki PDAM. Indikator PPUS sub indikator yang mempunyai hubungan sederhana dengan kinerja perekonomian daerah adalah manfaat PPUS terhadap pelaku usaha kecil, menengah dan besar, pelatihan pengajuan aplikasi kredit bagi UKM. Hubungan sederhana masing-masing sub indikator tersebut dapat dijelaskan pada tabel 3. Tabel 3 Korelasi PDRBKap, Perubahan Pengangguran dan Perubahan Kemiskinan terhadap sub indikator TKED Indikator Kinerja Sub Indikator TKED Perekonomian Daerah PDRBKap(pearson) Lama perbaikan listrik Perubahan Kondisi lampu penerangan Pengangguran(spearman) jalan Manfaat PPUS Pelatihan Pengkredit Perubahan Waktu Perbaikan PDAM Kemiskinan(pearson) *. Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). Sumber: Data Olahan Coeff Sig -0,744 -0,751 0,009* 0,008* -0,775 -0,657 0,748 0,005* 0,028** 0,008* Variabel dalam indikator Infrastruktur yang mempunyai hubungan dengan indikator kinerja perekonomian daerah adalah lama perbaikan listrik di sekitar usaha responden. Data yang digunakan pada variabel lama perbaikan infrastruktur bila mengalami kerusakan sun indikator lama perbaikan listrik di sekitar usaha responden adalah data dengan skala interval sehingga untuk melihat hubungan sederhana dilakukan uji Pearson. Hasilnya menunjukkan bahwa lama perbaikan listrik berkorelasi negatif terhadap PDRB per kapita secara signifikan pada taraf 5% (Gambar 9). Responden yang di survey oleh KPPOD adalah 51% perusahaan kecil, Data perusahaan kecil (jumlah TK 1-10 orang) di seluruh kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Tengah sebanyak 97.329 perusahaan ( BPS Sulawesi Tengah, hasil pendaftaran perusahaan sensus ekonomi 2006). Perusahaan dengan skala kecil akan mengalami hambatan dalam melaksanakan aktifitasnya jika lama perbaikan listrik lebih lama dan hal ini akan menganggu aktifitas perusahaan. Jika aktifitas perusahaan terganggu akan berakibat pada pendapatan dari perusahaan tersebut. Di era otonomi daerah, daerah otonom diberikan kewenangan untuk mengelola masalah tata kelola ekonomi daerah menjadi lebih baik dengan respon yang lebih cepat dari pihak PEMDA terutama dengan kebijakan-kebijakan dalam perbaikan infrastruktur. Dengan tata kelola ekonomi daerah yang baik, maka investasi ke daerah diharapkan akan lebih meningkat. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi di daerah juga membaik dan pendapatan masyarakatnya meningkat. Karena waktu yang dibutuhkan untuk memperbaiki listrik adalah salah satu sub variabel dalam variabel TKED, untuk melihat hubungannya dengan PDRB per kapita adalah dengan melalui variabel investasi, setelah dilakukan korelasi sederhana antara sub indikator lama perbaikan listrik dengan nilai indeks total dari TKED diperoleh hasil adanya hubungan keduanya (lampiran 21). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa lama perbaikan listrik merupakan proksi dari TKED. Kondisi lampu jalan yang baik berarti mencerminkan TKED yang baik, TKED yang baik akan membuat daya tarik bagi investor. Scatterplot of PDRB HB vs Q114bR4 Scatterplot lama perbaikan infrastruktur listrik dengan PDRB perkap HB PDRBPDRB Per Kapita (Juta) 18000000 16000000 14000000 12000000 10000000 1.0 1.2 1.4 1.6 1.8 2.0 Q114bR4 Lama perbaikan infrastruktur listrik (hari) Gambar 9 Hubungan lama perbaikan infrastruktur listrik dengan PDRB perkapita. Sumber: Data olahan Variabel lain dalam indikator infrastruktur yang mempunyai hubungan dengan indikator kinerja perekonomian daerah adalah kondisi lampu penerangan jalan. Data yang digunakan pada variabel kualitas infrastruktur sub indikator kondisi lampu penerangan jalan di sekitar usaha responden adalah data dengan skala ordinal sehingga untuk melihat hubungan sederhana dilakukan uji Spearman. Hasilnya menunjukkan bahwa kondisi lampu jalan berkorelasi negatif terhadap perubahan pengangguran secara signifikan pada taraf 5% (Gambar 10). Responden yang menjawab buruk tersebar di 5 (Banggai Kepulauan, Morowali, Poso, Toli-Toli, Palu) daerah penelitian dan responden yang menjawab baik berada di 6 daerah lainnya (Banggai, Buol, Parigi Moutong, Tojo Una-Una, Sigi, Donggala). Sebanyak 23% responden di Kabupaten Banggai dan Kabupaten Morowali menyatakan kondisi penerangan jalan di sekitar lokasi usaha mereka sangat buruk, sedangkan di Kota Palu, 10% responden menyatakan hal yang sama dengan responden di Banggai dan Morowali. Responden yang di survey oleh KPPOD di kabupaten/kota di Sulawesi Tengah berjumlah 458 responden. Dari jumlah itu, 21% bekerja di sektor usaha perdagangan dan 36% di sektor usaha jasa, termasuk warung makan dan salon, yang beraktifitas sampai malam hari. Kondisi lampu penerangan jalan yang baik memungkinkan kegiatan usaha seperti ini untuk beraktifitas sampai malam hari karena pelanggan yang datang di malam hari akan lebih merasa aman. Kegiatan usaha seperti ini juga merangsang tumbuhnya kegiatan usaha jasa lainnya seperti ojek sepeda motor yang umumnya beroperasi disekitarnya. Peningkatan aktifitas tersebut akan berakibat pada meningkatnya volume penjualan dan selanjutnya memerlukan tenaga kerja yang lebih banyak dan pada gilirannya akan mengurangi pengangguran. Perubahan_pengangguran(%) Uji Spearman P-Value= 0,008 Buruk Baik Kondisi lampu penerangan (2) (3) jalan jalan Gambar 10 Scatterplot kondisi lampu penerangan jalan di sekitar usaha responden pada tahun 2009 dengan Pengangguran Sumber: Data olahan Variabel lainnya dalam indikator infrastruktur yang mempunyai hubungan dengan indikator perekonomian daerah adalah waktu yang dibutuhkan untuk memperbaiki PDAM. Data yang digunakan pada variabel kualitas infrastruktur sub indikator waktu yang dibutuhkan untuk memperbaiki PDAM adalah data dengan skala interval sehingga untuk melihat hubungan sederhana dilakukan uji Pearson. Hasilnya menunjukkan bahwa waktu yang diperlukan untuk memperbaiki PDAM berkorelasi positif terhadap perubahan kemiskinan secara signifikan pada taraf 5% (Gambar 11). Air bersih merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, sehingga pemenuhannya memerlukan perhatian dan campur tangan pemerintah sebagaimana tertuang dalam UndangUndang Dasar 1945 pasal 33. Penyediaan infrastruktur air bersih berkaitan dengan aspekaspek ekonomi, sosial dan lingkungan. Dalam aspek ekonomi, sektor air bersih dituntut menyesuaikan diri dengan kaidah-kaidah ekonomi dalam rangka memandu alokasi sumber daya air dan mendorong terselenggaranya sektor usaha selayaknya corporate yang profesional, berperilaku efisien, dan menghasilkan manfaat bagi sektor ekonomi lainnya. Dalam aspek sosial, sektor air bersih berhubungan dengan nilai-nilai sosial yang harus diaspirasikan dalam pembangunan serta kedudukannya sebagai sektor publik yang paling mendasar. Sedangkan dalam aspek lingkungan, sektor air bersih berhadapan dengan implikasi yang bernuansa sosial dan mempengaruhi alokasi sumber daya air. Sinergi antara aspek lingkungan dan sosial dapat menentukan perilaku pengelolaan sumber daya air dan permintaan air bersih (Nugroho 2003). Indonesia memasukkan akses air minum layak bagi rumah tangga sebagai salah satu indikator MDGs, yang ditargetkan pada tahun 2015 mencapai 68,87%. Sumber air minum yang layak meliputi air minum perpipaan dan air minum non-perpipaan terlindung yang berasal dari sumber air berkualitas dan berjarak sama dengan atau lebih dari 10 meter dari tempat pembuangan kotoran dan/atau terlindung dari kontaminasi lainnya. Sumber air minum layak meliputi air leding, keran umum, sumur bor atau pompa, sumur terlindung dan mata air terlindung, serta air hujan. Sumber air minum tak layak didefinisikan sebagai sumber air yang jarak antara sumber air dan tempat pembuangan kotoran kurang dari 10 meter dan atau tidak terlindung dari kontaminasi lainnya. Sumber tersebut antara lain mencakup sumur galian yang tak terlindung, mata air tak terlindung, air yang diangkut dengan tangki/drum kecil, dan air permukaan dari sungai, danau, kolam, dan saluran irigasi/drainase. Air kemasan dianggap sebagai sumber air minum layak hanya jika rumah tangga yang bersangkutan menggunakannya untuk memasak dan menjaga kebersihan tubuh, dan di Indonesia penggunaan air kemasan tidak dikategorikan sebagai sumber air minum layak terkait aspek keberlanjutannya (Bappenas, 2010). Responden dengan jenis usaha produksi misalnya tempat pembuatan tempe, keripik memerlukan air bersih untuk menjamin mutu dari produknya. Infrastruktur yang baik akan membuat kinerja perusahaan lebih efisien, pendapatan perusahaan akan meningkat dan selanjutnya perusahaan dapat merekrut tenaga kerja baru dan mengakibatkan akan berkurangnya kemiskinan. Scatterplot Kemiskinan dengan Waktu yang diperlukan untuk memperbaiki Scatterplot of kemiskinan (%) vs Q114bR3 PDAM 10 Perubahankemiskinan Kemiskinan (%) (%) 0 -10 -20 -30 -40 -50 1.0 1.5 2.0 Q114bR3 2.5 3.0 Waktu yang diperlukan untuk memperbaiki PDAM (hari) Gambar 11 Hubungan waktu yang diperlukan untuk memperbaiki PDAM dengan Kemiskinan Sumber: Data olahan Selain indikator infrastruktur dalam TKED masih terdapat indikator lain yang mempunyai hubungan dengan kinerja perekonomian daerah indikator tersebut adalah program pengembangan usaha swasta. Pada variabel tingkat manfaat PPUS terhadap pelaku usaha yang dapat menghubungkan pelaku usaha kecil-sedang dan besar. Data yang digunakan pada variabel manfaat PPUS terhadap pelaku usaha yang dapat menghubungkan pelaku usaha kecil-sedang dan besar adalah data dengan skala ordinal sehingga untuk melihat hubungan sederhana dilakukan uji Spearman. Hasilnya menunjukkan bahwa manfaat PPUS berkorelasi negatif terhadap perubahan pengangguran secara signifikan pada taraf 5% (Gambar 12). Responden yang menjawab bermanfaat tersebar di 8 (Banggai kepulauan, Banggai, Morowali, Poso, Toli-Toli, Buol, Palu, Sigi) daerah penelitian dan responden yang menjawab sangat bermanfaat berada di 3 daerah lainnya (Donggala, Parigi Moutong, Tojo Una-una). Semakin besar manfaat yang diperoleh dari program-program yang dilakukan oleh PPUS yang dapat menghubungkan antara pelaku usaha kecil-menengah dan besar, maka semakin kecil tingkat pengangguran di daerah tersebut. Sub indikator lain dalam PPUS yang mempunyai hubungan dengan kinerja perekonomian daerah adalah pelatihan pengajuan kredit bagi UKM. Data yang digunakan pada variabel pelatihan pengajuan kredit bagi UKM adalah data dengan skala ordinal sehingga untuk melihat hubungan sederhana dilakukan uji Spearman. Hasilnya menunjukkan bahwa pelatihan pengajuan kredit berkorelasi negatif terhadap perubahan pengangguran secara signifikan pada taraf 5% (gambar 13). Responden yang menjawab bermanfaat tersebar di 7 (Banggai kepulauan, Banggai, Morowali, Poso, Toli-Toli, Buol, Palu) daerah penelitian dan responden yang menjawab sangat bermanfaat berada di 4(Donggala,Parigi Moutong, Tojo Una-una,Sigi) daerah lainnya. Semakin sering pelatihan pengajuan kredit bagi UKM dilakukan oleh PPUS dapat memberikan manfaat bagi pelaku usaha sehingga diharapkan tingkat pengangguran di daerah tersebut berkurang. Semakin banyak manfaat yang dapat menghubungkan antara pelaku usaha kecil sedang dan besar dengan adanya PPUS akan semakin banyak pelaku usaha yang dapat mempertemukan mata rantai kegiatan antara pelaku usaha kecil sedang dengan pelaku usaha yang lebih besar. Pelaku usaha dengan skala kecil akan dapat meningkatkan usahanya ke tingkat yang lebih besar. Dengan demikian akan menambah skala usahanya dan dapat meningkatkan penjualan sehingga akan menambah pendapatan dan selanjutnya akan mengurangi pengangguran. Untuk sub indikator pelatihan pengajuan kredit bagi UKM yang merupakan sub indikator dari PPUS yang juga mempunyai hubungan nyata dengan perubahan pengangguran. Sektor permodalan yang merupakan “jantung” kegiatan UKM merupakan hal yang krusial. Hal ini terlihat dari persepsi pelaku usaha yang menganggap bahwa PPUS berupa pelatihan pengajuan aplikasi kredit sangatlah penting dan bermanfaat. Dengan adanya pelatihan pengajuan kredit untuk UKM, maka pelaku usaha yang awalnya sangat sulit untuk mendapatkan tambahan permodalan, dengan adanya pelatihan pengajuan kredit bagi UKM yang difasilitasi oleh PPUS, maka pelaku usaha dapat meningkatkan skala usahanya karena telah mendapatkan tambahan modal. Dengan demikian, akan menambah hasil produksi dari usahanya dan selanjutnya akan menambah pendapatan dan pada akhirnya akan mengurangi pengangguran. Seluruh pelaku usaha mengetahui adanya PPUS yang diselenggarakan oleh PEMDA di kabupaten mereka minimal satu program dan mereka pun telah mengikuti minimal satu program yang diselenggarakan oleh PEMDA. Pelatihan ini meliputi pelatihan pengenalan jenis-jenis kredit, pengenalan jenis lembaga keuangan formal yang ada, pengenalan dan pelatihan prosedur pengajuan aplikasi kredit (syarat-syarat yang harus dipenuhi, hak dan kewajiban kreditur dan debitur). Dalam era otonomi daerah, diharapkan akan lebih banyak lagi kegiatan yang difasilitasi oleh PPUS sehingga pengangguran di kabupaten/kota diharapkan akan berkurang. Perubahan_pengangguran (%) Uji Spearman P-Value= 0,005 Bermanfaat(3) Sangat Bermanfaat(4) Gambar 12 Scatterplot manfaat PPUS dapat menghubungkan pelaku usaha kecil-sedang dan besar dengan Pengangguran Sumber: Data olahan Perubahan_pengangguran(%) Uji Spearman P-Value= 0,028 Bermanfaat(3) Sangat Bermanfaat (4) Pelatihan pengajuan kredit Gambar 13 Scatterplot pelatihan pengajuan kredit bagi UKM dengan Pengangguran Sumber: Data olahan Indikator-indikator dalam tata kelola ekonomi daerah yang signifikan baik negatif maupun positif dengan indikator kinerja perekonomian daerah di atas mengambarkan korelasi antara variabel-variabel dan merupakan indikasi awal dari suatu fenomena. Indikator dalam tata kelola ekonomi daerah di suatu daerah boleh saja buruk tetapi indikator yang baik yang merupakan daya tarik bagi daerah tersebut. Hubungan Total Indeks TKED dengan PDRB per Kapita, Pengangguran dan Kemiskinan Tata Kelola Ekonomi Daerah kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Tengah telah dibuat indeks oleh KPPOD pada tahun 2011. Seluruh variabel tata kelola ekonomi daerah diagregasi menjadi sebuah indeks tata kelola ekonomi daerah. Pembuatan indeks ini melalui beberapa cara, yakni tahap normalisasi, perhitungan sub indeks dan perhitungan indeks melalui pembobotan tiap variabel. Selain itu, ada sembilan indikator yang dibuat sub-indeks, yaitu indikator akses lahan, izin usaha, interaksi pemda dengan pelaku usaha, program pengembangan usaha swasta, kapasitas dan integritas pemimpin daerah, Biaya Transaksi, infrastruktur daerah, keamanan dan penyelesaian konflik dan peraturan daeah. Untuk analisis hubungan antara nilai total indeks dari 9 indikator TKED, indikator PERDA dimasukkan dalam analisis ini karena yang dipakai adalah nilai total indeks yang telah ada dalam hasil laporan KPPOD tahun 2010. Penelitian ini tidak hanya melihat korelasi dari masing-masing sub indikator dalam TKED tetapi juga perlu dilihat korelasi secara keseluran antara nilai total indeks TKED dengan kinerja perekonomian daerah, hasil dari korelasi tersebut terlihat pada Gambar 14,15 dan 16. Dari ketiga gambara tersebut menunjukkan bahwa indeks TKED tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan PDRB perkapita, Pengangguran dan Kemiskinan kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Tengah. Dari sembilan indikator, tidak satupun indikator yang berhubungan signifikan dengan PDRB Perkapita. Demikian juga dengan Pengangguran dan Kemiskinan tidak berhubungan signifikan. Scatterplot PDRB Perkapita dengan 9 indeks TKED menunjukkan untuk PDRB Perkapita ada 2 indikator yang memiliki kemiringan (slope) yang cenderung landai yaitu indikator integritas dan kapasitas bupati/walikota dan PPUS, untuk Pengangguran indikator TKED yang memiliki kemiringan landai yaitu akses lahan, infrastruktur, biaya transaksi dan PPUS. Adapun untuk kemiskinan indikator TKED yang memiliki kemiringan landai adalah perizinan usaha, biaya transaksi, integritas/kapasitas bupati/walikota, PPUS dan keamanan dan penyelesaian konflik. Hal ini dapat terjadi karena seluruh variabel yang berupa lebih dari 90 pertanyaan dengan skala yang berbeda-beda diagregasikan menjadi sebuah indeks. Pertanyaan yang menjadi variabel memiliki berbagai skala, baik nominal, ordinal maupun interval. Oleh karena itu, dalam melakukan analisisnya lebih tepat menggunakan analisis atau uji yang berbeda-beda, disesuaikan dengan skala masing-masing. Dengan demikian, akan terlihat variabel-variabel yang berpengaruh secara signifikan sehingga diperoleh rekomendasi kebijakan yang tepat. PDRB perkapita vs TKED A kses Lahan Infrastruktur P erizinan U saha 16000 12000 8000 70 80 90 64 PDRBperka P E RD A 72 80 60 Biay a Transaksi 64 68 Integritas/Kapasitas Bupati/Wal 16000 12000 8000 80 85 90 70 80 Interaksi P E M D A & P elaku U saha 90 PPUS 50 60 70 Keamanan & P eny elesaian Konflik 16000 12000 8000 55 60 65 20 40 60 64 72 80 Gambar 14 Hubungan sub-indeks dan indeks tata kelola ekonomi daerah dengan PDRB per kapita. Pengangguran vs TKED A kses Lahan Infrastruktur P erizinan U saha 0 pengangguran (%) -20 -40 70 80 9064 72 P E RDA 80 60 Biay a Transaksi 64 68 Integritas/Kapasitas Bupati/Wal 0 -20 -40 80 85 90 70 80 Interaksi P E M DA & P elaku U saha 90 PPUS 50 60 70 Keamanan & P eny elesaian Konflik 0 -20 -40 55 60 65 20 40 60 64 72 80 Gambar 15 Hubungan sub-indeks dan indeks tata kelola ekonomi daerah dengan Pengangguran. Kemiskinan vs TKED A kses Lahan Infrastruktur P erizinan U saha 0 -20 -40 kemiskinan (%) 70 80 9064 72 P E RDA 80 60 Biay a Transaksi 64 68 Integritas/Kapasitas Bupati/Wal 0 -20 -40 80 85 90 70 80 Interaksi P E M DA & P elaku U saha 90 PPUS 50 60 70 Keamanan & P eny elesaian Konflik 0 -20 -40 55 60 65 20 40 60 64 72 80 Gambar 16 Hubungan sub-indeks dan indeks tata kelola ekonomi daerah dengan kemiskinan. Sumber: Data olahan Analisis Terhadap Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran dan Kemiskinan Data hasil regresi antara Pertumbuhan, pengangguran dan kemiskinan terhadap belanja belanja modal dan investasi serta indikator TKED merupakan hasil model yang terbaik setelah dilakukan berbagai macam uji dan memenuhi asumsi klasik (lampiran 20). Dari hasil output untuk regresi antara Pertumbuhan terhadap belanja modal dan investasi, serta indikator TKED. Untuk mendapatkan model yang terbaik, maka dilakukan regresi dengan peubah bebas kualitatif dengan 2 kategori (yang berinteraksi dengan peubah bebas lainnya). Metodenya adalah dengan menambahkan suatu peubah bebas baru yang merupakan perkalian antara 2 peubah bebas yang berinteraksi. Dalam model ini peubah bebas yang berinteraksi adalah belanja modal yang berinteraksi dengan dummy kabupaten dan investasi yang berinteraksi dengan dummy kabupaten. Tabel 4 Hasil estimasi parameter persamaan LnPDRBKap kabupaten/kota di Sulawesi Tengah tahun 2010-2011 PEUBAH Dugaan Parameter Probability t-Statistik Intersept 3.432486 0.0007 -0.248664 Dkab 0.0004 LnBelanja Modal 0.194372 0.2359 0.022140 Dkab*LnBelanja 0.0000 Modal -0.191878 Lama perbaikan 0.0001 listrik Manfaat PPUS 0.013075 0.6682 Pelatihan pengkredit -0.006126 0.8674 Perbaikan PDAM 0.012392 0.6561 2 R = 0.743 F-Hitung= 4.712 DW= 2.058 Sumber: Data olahan dari berbagai sumber: KPPOD, APBD 2010-2011 Dari hasil estimasi output, variabel bebas yang berpengaruh signifikan terhadap PDRB perkapita kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Tengah adalah Dkabupaten, Dkab*BM, serta varibel tata kelola ekonomi daerah yaitu lama perbaikan listrik. Dari hasil output regresi PDRB perkapita, koefisien variabel Dkabupaten sebesar 0,248 yang berarti bahwa terdapat perbedaan PDRB perkapita antara di kabupaten dan kota. PDRB perkapita di kabupaten lebih kecil daripada di kota, jika faktor lain dalam model tersebut sama. Pengaruh belanja modal terhadap PDRB perkapita di kabupaten sebesar 0,022 (Tabel 4). Hasil pendugaan model ini sesuai fakta bahwa PDRBKap di Kabupaten Donggala lebih rendah dibandingkan PDRBKap di Kota Palu, tetapi persentase alokasi belanja modal di Kabupaten Donggala lebih tinggi dibandingkan di Kota Palu. Hal ini dikarenakan tata kelola ekonomi daerah di Kabupaten Donggala lebih baik daripada di Kota Palu dan hal ini juga ditunjang oleh proses perencanaan dan penganggaran Kabupaten Donggala yang lebih baik dibandingkan Kota Palu terutama dalam prioritas anggaran. Dalam hal ini, belanja modal merupakan pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembentukan modal yang sifatnya menambah aset tetap. Belanja modal yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka menambah aset tetap misalnya membuat gedung, perbaikan jalan maupun belanja tanah terbukti dapat memberikan efek yang besar dalam perekonomian. Semakin banyak belanja modal yang dilakukan pemerintah, semakin cepat perekonomian tumbuh sehingga kesejahteraan masyarakat yang ditunjukkan oleh pertumbuhan ekonomi dapat meningkat. Syarat fundamental untuk pembangunan ekonomi adalah tingkat pengadaan modal pembangunan yang seimbang dengan pertambahan penduduk. Bertambahnya infrastruktur dan perbaikannya oleh pemerintah daerah diharapkan akan memacu pertumbuhan ekonomi daerah dan selanjutnya akan meningkatkan pendapatan perkapita masyarakatnya. Kecilnya pengaruh belanja modal terhadap PDRB perkapita mengindikasikan kurangnya perhatian pemerintah kabupaten/kota akan pentingnya alokasi belanja modal. Lebih disayangkan lagi dalam wawancara dengan beberapa Satuan Kerja Perangkat Daerah masih banyak pemangku kepentingan yang salah menafsirkan arti dari belanja modal dalam hal ini banyak anggaran yang dikeluarkan untuk alokasi belanja ini yang tidak tepat sasaran karena bukan dibelanjakan untuk objek pembangunan, tetapi masih banyak yang dialokasikan ke subjek dalam hal ini untuk aparat SKPD sendiri contohnya pembelian perangkat elektronik untuk penunjang misalnya pembelian laptop dan perangkat ini akan berpindah tangan jika pemangku kepentingan akan dimutasi ke tempat lain. Selanjutnya, variabel TKED lama perbaikan listrik berpengaruh signifikan terhadap PDRB perkapita. Variabel ini juga signifikan terhadap pengangguran dan kemiskinan. Waktu yang dibutuhkan untuk memperbaiki infrastruktur termasuk perbaikan listrik dalam indikator yang ditetapkan oleh KPPOD, pelaku usaha yang menjadi responden survei adalah yang melakukan aktivitas usaha pada sektor usaha jasa, industri pengolahan, dan pedagangan. Untuk sektor perdagangan yang banyak adalah sektor perdagangan informal yang sangat membutuhkan listrik untuk menjalankan usahanya pada malam hari. Kondisi di Kota Palu, pelaku usaha jarang membuka usahanya baik formal maupun informal di malam hari dalam jangka waktu yang lama karena buruknya infrastruktur listrik berdampak pada kurangnya jaminan keamanan baik pada pelaku usaha maupun pada konsumen. Akibatnya banyak pelaku usaha hanya membuka sampai pada pukul 17.00. Di kabupaten Banggai, pelaku usaha hanya membuka usahanya sampai pada jarak 5 km dari pusat Kota. Akibatnya, pekerja termasuk penjaga toko yang mendapat shift waktu bekerja pada pukul 17.00 hingga 21.00 mengganggur bahkan ada pekerja yang harus kehilangan pekerjaan karena ketatnya persaingan, di bidang jasa perdagangan ini. Hal ini diperburuk oleh situasi di Sulawesi Tengah, kecenderungan lulusan perguruan tinggi menjadi PNS sangat besar karena tidak adanya alternatif lain seperti industri. Waktu yang dibutuhkan untuk memperbaiki instalasi listrik di sekitar tempat usaha responden selama di tahun 2009 paling lama di Kabupaten Parigi Moutong yaitu 34 hari, di Kota Palu selama 14 hari dan di Kabupaten Donggala hanya 8 hari. Kota Palu sebagai ibukota Provinsi seharusnya sudah tidak lagi mengalami masalah listrik karena ketersediaan fasilitas listrik yang memadai. Namun, adanya Pembangkit Listrik Tenaga Uap di Kelurahan Mpanau bukan merupakan solusi akhir karena PLTU membutuhkan input batubara yang berasal dari Kalimantan. Ini memerlukan perencanaan matang dalam pembelian batubara bagi penggunaan pada bulan mendatang. Ditambah perjalanan transportasi batubara via laut sering mengalami gangguan cuaca seperti gelombang tinggi di perairan Selat Makassar dan Laut Sulawesi. Dari tabel 5 dan 6 dapat dilihat hasil output faktor-faktor yang mempengaruhi pengangguran dan kemiskinan Tabel 5 Hasil estimasi parameter persamaan pengangguran kabupaten/kota di Sulawesi Tengah tahun 2010-2011 PEUBAH Dugaan Parameter Probability t-Statistik Intersept 2.598600 0.0203 -0.216567 Dkab 0.0043 0.289217 LnBelanja Modal 0.0862 0.109321 LnInvestasi 0.0000 -0.159635 Dkab*LnInvestasi 0.0004 Kondisi lampu jalan 0.029510 0.3747 -0.348119 Lama perbaikan 0.0002 listrik Manfaat PPUS 0.056566 0.5311 Pelatihan pengkredit 0.018655 0.8101 Perbaikan PDAM -0.036247 0.2243 R2 = 0.898 F-Hitung= 11.748 DW= 1.936 Sumber: Data olahan dari berbagai sumber: KPPOD, APBD 2010-2011 Tabel 6 Hasil estimasi parameter persamaan perubahan kemiskinan kabupaten/kota di Sulawesi Tengah tahun 2010-2011 PEUBAH Dugaan Parameter Probability t-Statistik Intersept 2.391691 0.0001 0.103239 Dkab 0.0876 0.342563 LnBelanja Modal 0.0026 -0.030545 LnInvestasi 0.0186 -0.072008 Kondisi lampu jalan 0.0934 -0.223304 Lama perbaikan 0.0000 listrik 0.269648 Manfaat PPUS 0.0000 Pelatihan pengkredit -0.018751 0.6935 0.030439 Perbaikan PDAM 0.0816 2 R = 0.910 F-Hitung= 16.486 DW= 2.001 Sumber: Data olahan dari berbagai sumber: KPPOD, APBD 2010-2011 Dari hasil estimasi output, variabel bebas yang berpengaruh signifikan terhadap pengangguran adalah Dkab, belanja modal, investasi, Dkab*lninvestasi serta indikator tata kelola ekonomi daerah yaitu lama perbaikan listrik. Faktor yang mempengaruhi kemiskinan adalah Dkab, belanja modal, investasi, dan indikator TKED yaitu kondisilampu_jalan, lama perbaikan listrik, manfaat PPUS , lama perbaikan PDAM. Koefisien variabel Dkab yang negatif signifikan mengindikasikan bahwa pengangguran di kabupaten lebih rendah daripada di kota, jika faktor lain dalam model tersebut sama. Pengaruh investasi di kabupaten terhadap pengangguran sebesar -0,050 (-0,159 + 0,109) yang berarti bahwa pengaruh investasi di kabupaten lebih besar dibandingkan di kota sehingga pengaruhnya dalam menurunkan pengangguran di kabupaten lebih tinggi dibanding di kota, penurunan pengangguran di Kabupaten Donggala lebih rendah dibandingkan di Kota Palu, hal ini dikarenakan tata kelola ekonomi daerah di Kabupaten Donggala lebih baik dan dalam prioritas anggaran juga lebih baik walaupun investasi di Kabupaten Donggala masih kurang dibandingkan investasi di Kota Palu. (Tabel 5). Pengangguran di kota lebih tinggi dibanding di kabupaten, hal ini disebabkan oleh adanya migrasi penduduk yang mencari kerja di kota. Dalam model pengangguran di atas variabel investasi, peningkatan investasi juga meningkatkan pengangguran hal ini disebabkan investasi yang ada adalah investasi padat modal. Variabel Dkabupaten yang signifikan terhadap kemiskinan sebesar 0,103 yang berarti bahwa terdapat perbedaan antara kemiskinan di kabupaten dan kota. Kemiskinan di kabupaten lebih tinggi daripada di kota, jika faktor lain dalam model tersebut sama (tabel 6). Kemiskinan di Kabupaten Donggala lebih tinggi dibandingkan di Kota Palu tetapi karena alokasi Belanja Modal di Kabupaten Donggala lebih baik serta tata kelola ekonomi daerah juga lebih baik daripada di Kota Palu sehingga penurunan kemiskinan di Kabupaten Donggala lebih tinggi dibanding di Kota Palu. Untuk variabel tata kelola ekonomi daerah yang mempunyai pengaruh signifikan dengan pengangguran dan kemiskinan. TKED yang signifikan terhadap pengangguran adalah lama perbaikan listrik, variabel TKED lainnya yang signifikan terhadap kemiskinan adalah manfaat PPUS yang menghubungkan pelaku usaha skala kecil-sedang dan besar. Variabel manfaat PPUS berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan. Semakin banyak interaksi antara pelaku usaha kecil sedang dan besar semakin banyak informasi dan hal-hal lain yang dapat diperoleh dari pelaku usaha yang telah sukses dan memberikan atau menyebarluaskan keberhasilannya kepada pelaku usaha lain yang masih membutuhkan dan memerlukan informasi guna kemajuan usahanya, maka akan semakin banyak hal-hal yang berguna yang dapat didapatkan sehingga dapat meningkatkan usahanya dan dapat meningkatkan pendapatannya. Kabupaten Banggai telah memiliki PPUS yang dapat menghubungkan antara pelaku usaha kecil-menengah dan pengusaha besar. Dengan demikian, antara pelaku usaha tersebut telah terjalin komunikasi horizontal dan saling bertukar informasi pengalaman dalam usaha. Di samping itu, antara UMKM dan pengusaha mapan dapat menekan biaya transaksi dan biaya informasi walaupun tidak dilakukan secara resmi dalam kawasan ekonomi khusus seperti pada zona industri. Konsekuensinya, daya serap tenaga kerja semakin besar sehingga meningkatkan pendapatan masyarakat di Kabupaten Banggai. Data aktual Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa masih ada 9.98% penduduk miskin dari total penduduk Kota Palu. Pada tahun 2012, sesuai data yang bersumber dari Unit Penetapan Sasaran Penanggulangan Kemiskinan Tim Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, penduduk miskin di Kota Palu berjumlah 74.165 jiwa tercakup dalam 15.196 kepala keluarga. Dari jumlah tersebut, proporsi terbesar berada di Kecamatan Palu Barat yang mencapai 23.192 jiwa (31.27%) disusul oleh Kecamatan Palu Selatan mencapai 20.440 jiwa (27.56%), Palu Utara mencapai 17.793 jiwa serta Palu Timur mencapai 12.740 jiwa. Sampai tahun 2012, penduduk miskin yang tidak bekerja mencapai 51.542 jiwa yang proporsinyamencapai 69.50% dari penduduk miskin. Penganggur inilah dapat menjadi masalah utama Kota Palu seperti rawan konflik horizontal, rawan terjerumus dalam kejahatan, dan masalah sosial lainnya. Penduduk miskin yang bekerja di sektor bangunan/konstruksi menempati posisi kedua setelah penduduk miskin penganggur yang mencapai 5.368 jiwa. Sedangkan penduduk miskin yang bekerja di sektor pertambangan/penggalian hanya mencapai 753 jiwa atau 1.02% dari penduduk miskin. Jadi tidak beralasan bagi Pemerintah Kota Palu untuk tidak segera menutup area pertambangan Poboya apalagi dipenuhi oleh pendatang dari luar Kota Palu. Masih ada 2.514 jiwa anak penduduk miskin yang tidak bersekolah dari 19.239 anak penduduk miskin. Ini seharus menjadi program utama bagi Dinas Pendidikan Kota Palu mendatanya dan menyekolahnya melalui Sistem Pendidikan Berbasis Partisipasi Masyarakat. Jumlah orang cacat pada masyarakat miskin mencapai 659 jiwa dengan proporsi terbanyak di Kecamatan Palu Barat yang mencapai 191 jiwa. Terdapat 6.770 rumah tangga atau 44.55% rumah tangga miskin menggunakan sumber air yang tidak terlindungi. Sisanya menggunakan air kemasan, air ledeng, sumber air terlindungi. Hambatan peningkatan mutu sumber daya manusia di Kabupaten/Kota, terutama di daerah perdesaan dan pedalaman, adalah terbatasnya tenaga pendidik dan tenaga kesehatan yang berkualitas, belum meratanya penyebaran tenaga pendidik dan tenaga kesehatan, dan terbatasnya prasarana dan sarana transportasi. Akibatnya, Indeks Pembangunan Manusia Sulawesi Tengah tidak pernah berada di bawah peringkat 22 dari 33 provinsi di Indonesia. Variabel TKED lainnya yang berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan adalah ratarata hari yang diperlukan untuk memperbaiki infrastruktur (yang berada di sekitar wilayah usaha responden) yang mengalami kerusakan atau tidak berfungsi sebagaimana mestinya di tahun 2009 (air PDAM). Dari seluruh Kabupaten/Kota yang ada di Sulawesi Tengah Kota Palu merupakan lokasi yang paling lama waktu yang dibutuhkan untuk memperbaiki kerusakan PDAM di sekitar lokasi usaha responden, selama 23 hari waktu dibutuhkan untuk hal ini, banyak masalah yang ada di Kota Palu terkait infrastruktur khususnya PDAM, sumber PDAM yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat Kota Palu yaitu yang bersumber dari PDAM uwe lino dan PDAM Poboya. Mata air yang ada di PDAM uwe lino sudah tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat kota karena debitnya yang berkurang. Untuk itu, banyak masyarakat yang sampai membutuhkan PDAM poboya. Di lain pihak, PDAM Poboya itu sendiri mempunyai masalah yang sangat krusial bagi kesehatan karena mata airnya telah terkontaminasi oleh merkuri yang diakibatkan oleh adanya penambangan liar di sekitar mata air PDAM Poboya. Sedangkan PDAM uwe lino masih bermasalah dengan manajemen kepemilikan. Di masa lalu, PDAM uwe lino dimiliki oleh PDAM Kabupaten Donggala karena saat itu, ibukota Kabupaten Donggala berada di Palu. Setelah desentralisasi, ibukota Kabupaten Donggala pindah ke Banawa sekitar 37 km dari Kota Palu. Adanya kerusakan infrastruktur PDAM menyebabkan daya beli masyarakat semakin berkurang karena harus membeli air lainnya baik melalui truck PDAM Donggala maupun Kota Palu atau pada depot isi ulang bagi kebutuhan air minum. Saat ini, karena sumber PDAM di Poboya telah tercemar merkuri, kebutuhan masyarakat pada air minum semakin besar yang otomatis menambah pengeluaran rumah tangga. Ada kecenderungan penduduk Kota Palu tidak lagi mengkonsumsi air tanah kecuali melalui depot air isi ulang karena ketakutan pada publikasi hasil penelitian para ahli asing (Jepang) dan Universitas Tadulako yang menyatakan kadar merkuri di udara Kota Palu dan dalam tanah telah berada di atas ambang batas toleransi. Dari model pengangguran dan kemiskinan, dapat dikatakan bahwa kemiskinan di kabupaten lebih tinggi dibanding di kota, tetapi pengangguran lebih tinggi di kota dibanding di kabupaten. Walaupun kemiskinan lebih tinggi di kabupaten, tetapi karena tata kelola ekonomi daerah yang lebih baik sehingga penurunan kemiskinan lebih tinggi di kabupaten dibanding di kota, walaupun investasi di kota lebih banyak dibanding di kabupaten. Selain itu, pengangguran di Kabupaten/Kota di Sulawesi Tengah diharapkan akan menurun melalui program-program yang bersentuhan langsung pada masyarakat miskin. Adapun program-program penanggulangan kemiskinan yang pernah dan sedang berjalan di kabupaten/kota yaitu Inpres Daerah Tertinggal, Kredit Usaha Tani, Sulawesi Agriculture Area and Development Project, Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Program Pengembangan Kecamatan, Jaringan Pengaman Sosial, Marine Coastal Resource Management Project, Central Sulawesi Integrated Agriculture and Developement Conservation Project , Community Action Plan, Program Pengurangan Subsidi dan terakhir adalah program PNPM-Perkotaan yang peluncurannya dilakukan di Kota Palu oleh Presiden Soesilo Bambang Yudoyono pada 30 April 2007. Program-program tersebut telah banyak sumbangsihnya dalam masalah pengentasan kemiskinan perkotaan maupun lebih ke kecamatan-kecamatan. Data BPS menunjukkan bahwa nilai ICOR Kota Palu tahun 2010 sebesar 0,35. Hal ini berarti bahwa untuk menambah PDRB rill sebanyak 1 unit, maka perlu penambahan barang modal baru sebesar 0,35 unit. Kecilnya nilai ICOR ini menunjukkan bahwa investasi yang ada di Kota Palu sangat kecil. Di lain pihak, kecilnya nilai ekspor terhadap total PDRB. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan Kota Palu yang nilainya sebesar 7,79% di tahun 2010 bukan merupakan pencapaian dari sumbangan investasi maupun ekspor yang besar, tetapi hanyalah dorongan konsumsi masyarakat semata yang nihil produktif, tak berkualitas dan tanpa dampak berganda kepada penduduk miskin, dengan meletakkan skala prioritas utama pada ekonomi sebagai pilar pembangunan. Laju pertumbuhan yang tinggi selama ini seharusnya diikuti oleh distribusi dan pemerataan. Laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Kota Palu belum dapat dikatakan berjalan baik karena terjadi anomali pertumbuhan di Kota Palu karena didorong oleh tinggi permintaan yang selanjut mendorong peningkatan konsumsi sehingga sewaktu-waktu mendorong harga barang-barang tertentu khususnya menjelang idul fitri dan natal. Di sisi lain, hasil-hasil pertanian di daerah belakang Kota Palu tidak dipasarkan di kota ini melainkan langsung diantardaerahkan atau diantarpulaukan ke wilayah lain seperti Makassar dan Kalimantan Timur. Pengalaman ini terjadi pada Agustus 2012 sehingga tingkat inflasi di Kota Palu tertinggi di Indonesia yang mencapai 2.81% yang didorong oleh peningkatan besar pada harga ikan segar dan sayur-mayur (Palu Ekspres: Senin, 24 September 2012). Konsekuensinya, hal ini akan mengurangi daya beli masyarakat dan mendorong peningkatan penduduk yang nyaris miskin. Tata kelola pemerintahan daerah sebagai salah satu bentuk intervensi Pemerintah Daerah di era desentralisasi fiskal, pada dasarnya merupakan support system yang menjamin penyelenggaraan administrasi dan perumusan kebijakan dilakukan dengan transparan dan akuntabel. PEMDA seyogyanya menggunakan kesempatan ini untuk menciptakan tata kelola pemerintahan daerah yang lebih baik, seperti berinteraksi secara intensif dengan para pelaku usaha dan stakeholders lainnya untuk dapat mengakomodir kebutuhan para pelaku usaha, serta mengambil kebijakan yang mendukung pengembangan sektor swasta. Kinerja Perekonomian Daerah dipengaruhi oleh indikator TKED melalui variabel investasi, hal ini dapat dikatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi masuknya investasi di daerah selain TKED sangatlah banyak dan jika dihubungkan dengan indikator TKED hanyalah bahagian kecil dari faktor-faktor yang mempengaruhi investasi di suatu daerah secara keseluruhan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Santi (2012) yaitu keterkaitan antara TKED dengan investasi kabupaten/kota di Jawa Timur. Hasil yang diperoleh adalah dengan banyaknya variabel yang berhubungan negatif secara nyata, tidak langsung dapat disimpulkan bahwa tata kelola yang buruk justru meningkatkan investasi, karena faktor penentu investor dalam menanamkan modal bukan hanya dari 1 unsur tata kelola saja, akan tetapi banyak unsur tata kelola yang lain. Korelasi antara variabel tata kelola dengan realisasi PMA dan PMDN pada dasarnya hanya hubungan sederhana dan merupakan deteksi awal fenomena. Pada kenyataannya, di satu kabupaten dapat saja terjadi satu unsur tata kelola memang buruk, namun tata kelola lainnya sangat baik. Unsur tata kelola yang baik ini yang lebih menarik investor. Data yang diperoleh dari financial times Ltd. 2013 yang mempengaruhi investasi antara lain: Potensi pertumbuhan pasar domestik; Kedekatan dengan pasar atau pelangan; Peraturan atau iklim usaha; Ketersediaan tenaga kerja terampil; Infrastruktur; Klaster industri; Kualitas hidup; Biaya yang murah; Sumberdaya alam. Selain itu investor cenderung melihat faktorfaktor yang berkaitan dengan bagaimana mereka akan dapat beroperasi di negara asing antara lain: Peraturan yang berkaitan dengan investor asing, standar pengobatan bagi investor asing, fungsi dan efisiensi pasar lokal, kebijakan perdagangan dan privatisasi, langkah-langkah dan fasilitasi bisnis seperti promosi investasi; insentif; perbaikan fasilitas dan langkah lainnya untuk mengurangi biaya dalam melakukan bisnis, pembatasan dalam hal laba atau keuntungan dalam bentuk deviden; royalty; bunga atau lainnya (United Nations Conference on Trade and Development. World Investment Prospects Survey 2012–2014). Selanjutnya faktor-faktor yang mempengaruhi investasi baik pada skala nasional maupun regional di Indonesia: pertama, faktor suku bunga. Baik suku bunga simpanan dan terutama suku bunga pinjaman sampai saat ini masih tinggi. Masih tingginya suku bunga pinjaman saat ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain inefisiensi perbankan di mana biaya overhead perbankan yang masih tinggi, masih tingginya resiko dalam pemberian kredit/pinjaman dan lain-lain. Faktor kedua, pendapatan per kapita juga masih rendah. Sementara, untuk provinsi dan kabupaten/kota saat ini juga rata-rata masih belum pulih dari krisis kecuali untuk kota kota besar. Faktor ketiga, tentang sarana dan prasarana serta utilitas harus diakui baik yang menjadi tanggungjawab pemerintah pusat maupun propinsi atau Kabupaten/Kota kondisinya masih buruk. Banyak jalan yang berlubang karena kualitas yang jelek. Pasokan listrik yang terbatas. Hal tersebut merupakan contoh masih buruknya kondisi sarana dan prasarana serta utilitas. Faktor keempat, birokrasi dan perijinan juga belum memuaskan. Tentang birokrasi perijinan ini bisa kita simak dari laporan hasil penelitian yang dikeluarkan International Finance Corporation (IFC) dan Bank Dunia serta Bank Pembangunan Asia yang tertuang dalam laporan IFC dan Bank Dunia mengenai ”Doing Business 2012”, Indonesia menduduki peringkat 135 dari 175 negara dalam hal kemudahan memulai usaha baru. Kemudahan untuk memulai usaha baru merosot sehingga investasi tidak meningkat secara signifikan. Sementara kinerja pertumbuhan ekspornya juga turun dibandingkan negara-negara kawasan ASEAN. Penurunan peringkat tersebut bukan berarti negatif bagi Indonesia, tetapi perbaikan yang terjadi di negara negara lain sangat signifikan, sementara Indonesia tidak. Sementara itu, negara tetangga terdekat kita, Singapura, menempati posisi pertama negara yang paling mudah untuk memulai usaha. Indonesia telah mengalami reformasi dalam hal kemudahan memulai usaha. Waktu yang diperlukan tadinya sangat panjang, yakni 151 hari. Namun, telah dipangkas menjadi 97 hari saat ini. Indonesia juga akan menerapkan pengarsipan secara elektronik untuk perpajakan. Untuk indikator kemudahan memulai usaha lainnya, Indonesia tidak mengalami perbaikan. Dalam hal mengurus izin, masih harus ditempuh 19 prosedur yang membutuhkan 224 hari. Perpajakan misalnya, ada 52 jenis pajak dengan waktu yang dibutuhkan576 jam. Kinerja pertumbuhan ekspor Indonesiapun telah mengalami penurunan yang cukup besar, yang secara tradisional sudah menjadi keunggulan komparatif Indonesia seperti mebel, kelapa sawit, karet, tekstil dan alas kaki. Faktor birokrasi dan perijinan ini bertambah buruk dengan pelaksanaan otonomi daerah. Dalam pelaksanaan otonomi daerah tersebut banyak daerah yang untuk kepentingan mencari Pendapatan Asli Daerah telah menciptakan peraturan daerah yang intinya memungut pajak dan retribusi daerah serta memperumit ijin investasi. Namun demikian, di tengah masih buruknya birokrasi perijinan ini, ada kabar baik dengan diterapkannya Kantor Pelayanan Satu Atap atau ”One Stop Service” (OSS) di berbagai daerah untuk melayani investasi. Hanya masalahnya sampai saat ini interpretasi dari apa yang disebut sebagai OSS tersebut masih beragam di berbagai daerah. Ada yang sekedar semacam humas, ada yang memang satu atap tetapi meja yang dilalui masih cukup banyak. Tetapi ada daerah yang memang telah menerapkan OSS secara benar yaitu memang ijin investasi hanya lewat kantor OSS. Kelima, faktor kualitas sumberdaya manusia. Hal yang menarik dari kualitas sumberdaya manusia ini adalah sebenarnya tingkat pendidikan angkatan kerja Indonesia makin membaik tetapi ternyata tidak terserap oleh lapangan kerja. Hal ini dapat dilihat dari makin meningkatnya tingkat pendidikan dari para penganggur terbuka (yaitu mereka yang sama sekali tidak bekerja) di Indonesia. Tidak terserapnya angkatan kerja ini mengindikasikan ”mismatch” antara dunia pendidikan dan dunia kerja. Keenam, UU dan peraturan ketenagakerjaan. Ada anggapan dari kalangan dunia usaha bahwa UU dan peraturan ketenagakerjaan ini terlalu membela tenaga kerja. Misalnya saja ada peraturan yang membuat PHK sangat sulit dilakukan. Demikian juga dalam hal kebijakan upah minimun ternyata telah banyak memberatkan dunia usaha. Akibat dari kondisi demikian, maka tampaknya hal ini menjadi bumerang bagi tenaga kerja sendiri. Ini mengindikasikan pengusaha atau investor memilih teknologi yang lebih padat modal karena berurusan dengan tenaga kerja semakin rumit dan tidak mengenakkan. Ketujuh, dalam hal stabilitas politik dan keamanan, tampaknya kondisi sekarang ini rata-rata pada skala nasional maupun daerah sudah lumayan. Hal ini terbukti, misalnya, pada pelaksanaan pemilihan kepala daerah di berbagai daerah meskipun masih ada keributan di sana-sini tetapi tidak sampai membesar menjadi konflik dan kerusuhan yang cukup membahayakan stabilitas politik dan keamanan. Tampaknya masyarakat Indonesia sudah dewasa dalam berpolitik. Ini merupakan faktor yang penting dalam mendukung terealisasikannya investasi. Kedelapan, faktor sosial budaya. Dalam hal faktor sosial budaya tampaknya ada sebagian besar pengusaha Indonesia yang telah memanfaatkan dengan baik tetapi tampaknya banyak pengusaha pengusaha asing yang justru lebih jeli. McDonald misalnya sekarang mulai membuat berbagai masakan maupun rasa masakan yang mengadopsi budaya lokal. Rasa softdrinknya misalnya dibuat manis. Padahal di Amerika Serikat tempat asal perusahaan tersebut rasa softdrinknya tidak manis. McDonald juga telah membuat berbagai masakan tradisional misalnya McRendang (Riptek, Vol.2, No.1, Tahun 2008). Kemudian Secara umum, iklim investasi khususnya di Sulawesi selatan dipengaruhi oleh faktor-faktor non ekonomi,seperti kestabilan politik, penegakan hukum, pertanahan, kriminalitas, aksi buruh dan mahasiswa, komitmen pemerintah, layanan perbankan, dukungan infrastruktur dan layanan birokrasi pemerintah. Kriminalitas dan penegakan hukum mendukung iklim investasi masih sangat lemah, khususnya ketegasan aparat dalam menindak kejahatan ekonomi seperti korupsi dan illegal logging. Intensitas demonstrasi buruh dan mahasiswa di Sulsel cukup mengganggu iklim investasi, namun masih dalam batas yang dapat ditoleransi. Birokrasi pengurusan pertanahan masih menjadi salah satu penghambat investasi. Layanan perbankan khususnya pengurusan kredit dinilai sangat birokratis dan prosedur berbelit. Layanan birokrasi dan komitmen pemerintah dinilai belum sesuai dengan harapan para pengusaha, khususnya dalam pengurusan perijinan dan penyediaan data/informasi yang diperlukan (survey iklim investasi di Sulawesi Selatan, dalam Kajian Ekonomi Sulsel triwulan II 2007). Investasi di kabupaten/kota yang ada di Sulawesi Tengah walaupun sudah mencapai 19% dalam komposisi Produk Domestik Regional Bruto Sulteng, tetapi investasi bukanlah yang berasal dari luar dan tidak bersifat jangka panjang. Investasi ini hanyalah merupakan alokasi anggaran pemerintahan pusat yang menjadi dana-dana atas nama publik yang dimanfaatkan oleh para pengusaha daerah. Ini tentu saja berbeda dengan penanaman modal dalam negeri dan penanaman asing langsung yang bersifat jangka panjang dan menyerap banyak lapangan kerja. Data PMA dan PMDN pun selama periode 2005-2012 sama sekali tidak tersedia baik dalam publikasi BPS Sulteng dan Bank Indonesia yang berasal dari BKPPMD Sulteng. Itulah sebabnya, BKPPMD Sulteng maupun urusan penanaman modal di Kabupaten/kota yang masih tercantol pada Bappeda, belum terkualifikasi menurut penilaian BKPM Pusat (Keputusan Kepala BKPMD Pusat Nomor 103/2012). Jangankan terkualifikasi, Kabupaten Sigi dan Morowali malahan belum berbentuk dalam pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) bidang penanaman modal. Rendahnya kontribusi investasi dalam PDRB kabupaten/kota di Sulawesi Tengah menunjukkan bahwa masih rendahnya sektor riil dan modal yang digunakan oleh investor atau pengusaha di daerah ini masih sangat tergantung oleh modal dari pemerintah melalui dana anggaran pendapatan dan belanja daerah. Untuk itu, dalam menjawab tujuan kedua dari penelitian ini akan dibahas lebih mendalam bagaimana proses perencanaan dan penganggaran APBD khususnya di Kabupaten Donggala dan Kota Palu. Implikasi kebijakan untuk menciptakan iklim investasi yang baik di daerah, khususnya PEMDA Kota Palu lebih memperhatikan kebijakan-kebijakan PEMDA untuk menciptakan iklim investasi yang baik. Iklim investasi yang baik dapat dicerminkan dengan mempermudah dan mempercepat proses pengurusan administrasi bagi para pelaku usaha, waktu perbaikan infrastruktur penunjang dipercepat yaitu waktu perbaikan kerusakan listrik, waktu perbaikan PDAM, kondisi lampu jalan harus dalam keadaan baik. Jika infrastruktur ini semakin baik diharapkan akan lebih banyak lagi para pelaku usaha yang tertarik untuk berusaha di daerah. Kebijakan PEMDA dalam hal program pengembangan usaha swasta lebih ditingkatkan pada kegiatan-kegiatan yang lebih bermanfaat bagi pelaku usaha khususnya yang dapat memberi informasi yang dapat menghubungkan antara pelaku usaha baik kecil dan menengah dengan pelaku usaha yang lebih besar.