24 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Isolasi dan

advertisement
24
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Isolasi dan Purifikasi Bakteri
Isolasi merupakan proses pemindahan organisme dari habitat asli ke dalam
suatu habitat baru untuk dapat dikembangbiakkan. Purifikasi merupakan
serangkaian proses yang lakukan untuk mendapatkan isolat murni suatu
mikroorganisme. Tahap isolasi dan purifikasi bakteri bertujuan untuk memperoleh
galur murni dari bakteri target yang telah berhasil diisolasi, sehingga dapat pula
dijadikan stock. Bakteri yang diisolasi dipilih berdasarkan ciri morfologi yang
berbeda dari tiap cawan. Ciri morfologi tersebut meliputi warna koloni, bentuk,
tepian dan permukaan. Ciri morfologi bakteri yang diisolasi dapat dilihat pada
Tabel 2.
Tabel 2 Ciri morfologi bakteri terpilih yang diisolasi dari tiap cawan.
Sampel
TL 6A
Warna koloni
Putih
Permukaan
Cembung
Tepian
Licin
Bentuk
Bulat
Elevasi
(Cembung)
TL 6B
Kekuningan
Cembung
Licin
Bulat
TL 8A
Krem
Cembung
Berlekuk
Bulat
(Cembung)
(Cembung)
TL 8B
TL 8C
TR 7A
Oranye
Putih
Krem
Cembung
Cembung
Cembung
Berlekuk
Berlekuk
Licin
Bulat
berhimpit
Bulat
berhimpit
Bulat
(Cembung)
(Cembung)
(Cembung)
TR 8A
TR 8B
Krem
kemerahan
Cembung
Putih
Cembung
Licin
Bulat
(Cembung)
Licin
Bulat
(Cembung)
Berdasarkan Tabel 2 terlihat bahwa ciri morfologi koloni bakteri yang
dipilih pada umumnya berbentuk bulat dengan permukaan cembung. Warna
25
koloni bakteri yang tumbuh didominasi putih kekuningan dengan tepian licin.
Perbedaan morfologi dari koloni bakteri yang dipilih diharapkan dapat mewakili
spesies bakteri yang berbeda, karena tiap-tiap spesies bakteri memiliki ciri
morfologi yang berbeda yang meliputi parameter warna, permukaan, tepian,
bentuk, dan elevasi koloni.
Tahap selanjutnya yaitu pewarnaan Gram bakrteri yang bertujuan untuk
mengetahui jenis Gram isolat bakteri yang telah berhasil diisolasi. Hasil
pengamatan pewarnaan Gram bakteri menggunakan mikroskop cahaya dengan
perbesaran 10x100 dapat dilihat pada Gambar 11.
TL 6A
TL 6B
TL 8A
TL 8 B
Gambar 11 Karakteristik mikroskopis isolat bakteri dari ikan tongkol
26
TL 8C
TR 7A
TR 8A
TR 8B
Gambar 12 Karakteristik mikroskopis isolat bakteri dari ikan tenggiri
Hasil pewarnaan Gram bakteri yang telah berhasil diisolasi menunjukkan
bahwa jenis bakteri tersebut termasuk ke dalam kelompok bakteri Gram negatif.
Pewarnaan Gram memisahkan bakteri secara umum menjadi dua kelompok yaitu
bakteri Gram positif dan bakteri Gram negatif. Organisme yang mampu menahan
kompleks pewarna primer ungu kristal iodium disebut Gram positif. Organisme
yang kehilangan kompleks warna ungu kristal kemudian terwarnai oleh pewarna
tandingan safranin sehingga sel tampak merah muda disebut Gram negatif. Sel-sel
Gram negatif memiliki kandungan lipid yang lebih tinggi pada dinding selnya dan
lipid pada umumnya larut dalam alkohol dan aseton. Larutnya lipid oleh pemucat
(alkohol 96%) yang digunakan dalam pewarnaan Gram diduga memperbesar
27
pori-pori dinding sel sehingga mampu menyerap pewarna tandingan safranin
(Hadioetomo 1993). Hasil pengamatan pewarnaan Gram isolat bakteri yang
berasal dari ikan tongkol (Euthynnus sp.) dan tenggiri (Scomberomorus
commersonii) dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Hasil pengamatam pewarnaan Gram isolat bakteri
Pengenceran
Tongkol
Gram
Warna
Koloni
Bentuk
Negatif
Merah
Terpisah
Batang
Negatif
Merah
Terpisah
Bulat
Negatif
Merah
Terpisah
Batang
Negatif
Merah
Terpisah
Batang
Negatif
Merah
Terpisah
Batang
Negatif
Merah
Terpisah
Batang
Negatif
Merah
Terpisah
Batang
Negatif
Merah
Terpisah
Batang
10-6 A
Tongkol
10-6 B
Tongkol
10-8 A
Tongkol
-8
10 B
Tongkol
10-8 C
Tenggiri
10-7 A
Tenggiri
-8
10 A
Tenggiri
10-8 B
Gambar
28
Hasil pengamatan pewarnaan Gram isolat bakteri menunjukkan bahwa
jenis bakteri yang telah diisolasi merupakan jenis bakteri Gram negatif yang pada
umumnya berbentuk batang dan adapula yang bulat (TL 6B). Sekitar 80% jenis
bakteri laut diketahui berbentuk batang dan Gram negatif yang sebagian besar
memiliki alat gerak (flagella) dari hasil adaptasi kehidupan perairan, sedangkan
bakteri berbentuk bulat banyak dijumpai di tanah dibandingkan habitat perairan
(Sidharta 1991).
Berdasarkan ukurannya, terlihat bahwa isolat bakteri yang diperoleh
memiliki ukuran yang tampak kecil. Bakteri laut jauh lebih kecil dibandingkan
bakteri susu, air buangan, air tawar, dan tanah (Sidharta 1991). Selain itu, hasil
isolasi bakteri tersebut memiliki persamaan dengan berbagai jenis bakteri yang
mampu menghasilkan enzim histidin dekarboksilase (Hdc) termasuk famili
Enterobacteriaceae dan Bacillaceae yang sebagian besar merupakan kelompok
Gram negatif dan berbentuk batang (Staruszkiewicz 2002 dalam Allen 2004).
Informasi ini semakin memperkuat dugaan bahwa bakteri yang diisolasi
merupakan bakteri target, sehingga penelitian dilanjutkan ke tahap selanjutnya
yaitu ekstraksi DNA bakteri.
4.2 Ekstrak DNA Bakteri
Tujuan utama dari tahapan ekstraksi DNA adalah untuk memperoleh DNA
yang bebas dari pengotor seperti protein, RNA dan polisakarida dengan
konsentrasi yang cukup untuk melakukan PCR. Hasil ekstraksi DNA akan sangat
mempengaruhi untuk proses selanjutnya yaitu PCR. Hasil ekstraksi DNA yang
telah diperoleh perlu diukur kuantitasnya untuk mengetahui seberapa banyak
konsentrasi DNA yang telah berhasil diekstrak. Konsentrasi DNA dapat diukur
dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 260 nm. Hasil
pengukuran konsentrasi ekstrak DNA yang telah diperoleh dapat dilihat pada
Tabel 4.
29
Tabel 4 Hasil pengukuran konsentrasi DNA
Sample
TL 6A
TL 6B
TL 8A
TL 8B
TL 8C
TR 7A
TR 8A
TR 8B
Rasio
2,21
1,67
2,22
2,34
2,13
2,03
1,71
2,22
DNA (μg/ml)
100
72
616
236
1488
84
48
72
Hasil pengukuran konsentrasi DNA yang diperoleh menunjukkan bahwa
produk ekstraksi mengandung DNA yang cukup untuk melakukan PCR yaitu
minimal 5 µg/ml (Yuwono 2001), dengan faktor pengenceran yang digunakan
yaitu 40 kali. Rasio pengukuran konsentrasi DNA yang diperoleh cukup baik,
namun masih terdapat beberapa jenis pengotor. Kemurnian DNA ditentukan oleh
tingkat kontaminasi protein dalam larutan. Kemurnian larutan DNA tersebut dapat
dilihat dengan membagi nilai OD260 dengan OD280. Molekul DNA dikatakan
murni jika rasio kedua nilai tersebut berkisar antara 1,8-2,0. Rasio yang lebih kecil
dari 1,8 menunjukkan bahwa masih terdapat kontaminasi protein atau fenol di
dalam larutan, sedangkan jika rasio lebih besar dari 2,0 menunjukkan bahwa
masih terdapat pengotor berupa RNA (Sulandari dan Zein 2003).
Hasil kemurnian DNA tidak terlepas dari proses ekstraksi. Proses ekstraksi
DNA bakteri dilakukan dengan metode CTAB 10% (Sambrook et al. 2001)
menggunakan berbagai jenis bahan kimia utama seperti SDS, EDTA, kloroform,
etanol 70%, dan Isopropanol. EDTA berfungsi sebagai perusak sel dengan cara
mengikat ion magnesium (ion ini berfungsi untuk mempertahankan integritas sel
maupun mempertahankan aktivitas enzim nuklease yang merusak asam nukleat).
SDS merupakan sejenis deterjen yang berfungsi merusak membran sel. Kemudian
molekul nukleotida (DNA dan RNA) yang telah dipisahkan dan dibersihkan dari
protein yang masih ada dengan menggunakan fenol. Dalam proses ini, sebagian
kecil RNA juga dapat dibersihkan. Kloroform digunakan untuk membersihkan
sisa-sisa protein dan polisakarida dari larutan. Enzim RNAase digunakan untuk
30
menghilangkan komponen RNA sehingga DNA dapat diisolasi secara utuh
(Sulandari dan Zein 2003).
Pemurnian atau purifikasi DNA dapat dilakukan dengan mencampur
larutan DNA tersebut dengan NaCl yang berfungsi untuk memekatkan,
memisahkan DNA dari larutan dan mengendapkan DNA sewaktu dicampur
dengan etanol. Proses sentrifugasi dengan kecepatan tinggi bertujuan untuk
mengendapkan tepung berwarna putih (DNA) sehingga menempel di dasar tabung
efendorf (Sulandari dan Zein 2003). Hasil ekstraksi DNA dengan metode CTAB
10% cukup baik, dilanjutkan dengan amplifikasi DNA menggunakan metode PCR
konvensional. Gen target yang diharapkan dapat diisolasi yaitu gen pengkode
histidin dekarboksilase.
4.3 Identifikasi Bakteri dengan Metode 16S rDNA
Teknik identifikasi secara biomolekuler dengan menggunakan metode 16S
rDNA bertujuan untuk mengetahui spesies bakteri yang telah berhasil diisolasi.
Metode ini dinilai lebih akurat dan lebih mudah dibandingkan dengan teknik
identifikasi secara biokimiawi karena menggunakan teknik polymerase chain
reaction (PCR) yang memiliki spesifisitas tinggi. Teknik identifikasi secara
biomolekuler dengan menggunakan metode 16S rDNA kini banyak digunakan
khususnya di bidang biologi molekuler. Visualisasi hasil PCR dengan
menggunakan primer 27-F dan 1492-R dapat dilihat pada Gambar 13.
Marker
K (+)
TL 8C
TL 8B
TR 8B
TR 8A
K (-) Marker
1500 bp
1000 bp
500 bp
Gambar 13 Elektroforegram produk PCR 16S rDNA
31
Berdasarkan Gambar 13, jenis bakteri yang berhasil teridentifikasi hanya
dua sampel ukuran sudah sesuai dengan literatur yaitu TL 8B dan TR 8B,
sedangkan sampel yang lain tidak teridentifikasi. Hal ini menunjukkan bahwa
kemungkinan mikroorganisme yang diisolasi bukan merupakan bakteri melainkan
mikroorganisme lain (kontaminan) karena identifikasi dengan metode 16S rDNA
merupakan metode yang umum digunakan untuk mengidentifikasi jenis bakteri.
Berdasarkan hasil sekuensing produk PCR sampel TL 8B dan TR 8B telah
berhasil diidentifikasi dengan memasukkan urutan pasang basa hasil sekuensing
ke bank data. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa sampel TL 8B merupakan
jenis bakteri Aeromonas sp. kc3 sedangkan sampel TR 8B merupakan jenis
bakteri Bacillus cereus. Hal ini membuktikan bahwa jenis bakteri yang diisolasi
bukanlah jenis bakteri target penghasil enzim histidin dekarboksilase melainkan
jenis bakteri kontaminan.
Dari berbagai teknik yang digunakan, RNA ribosomal paling banyak
digunakan sebagai penanda molekuler. Terdapat tiga jenis RNA ribosomal pada
prokaryot yaitu 5S, 16S, dan 23S rDNA. Di antara ketiganya, 16S rDNA yang
paling sering digunakan. Molekul 5S rDNA memiliki urutan basa terlalu pendek,
sehingga tidak ideal dari segi analisis statistika, sementara molekul 23S rDNA
memiliki struktur sekunder dan tersier yang cukup panjang sehingga menyulitkan
analisis. Analisis gen penyandi 16S rDNA telah menjadi prosedur baku untuk
menentukan
hubungan
filogenetik
dan
menganalisis
suatu
ekosistem
(Murray dan Stackebrandt 1995 dalam Pangastuti 2006).
Gen penyandi 16S rDNA dapat digunakan sebagai penanda molekuler
karena molekul ini bersifat ubikuitus dengan fungsi yang identik pada seluruh
organisme. Molekul ini juga dapat berubah sesuai jarak evolusinya, sehingga
dapat digunakan sebagai kronometer evolusi yang baik. Molekul 16S rDNA
memiliki beberapa daerah yang memiliki urutan basa yang relatif konservatif dan
beberapa daerah urutan basanya variatif. Perbandingan urutan basa yang
konservatif berguna untuk mengkonstruksi pohon filogenetik universal karena
mengalami perubahan relatif lambat dan mencerminkan kronologi evolusi bumi.
Sebaliknya, urutan basa yang bersifat variatif dapat digunakan untuk melacak
keragaman dan menempatkan galur-galur dalam satu spesies. Apabila urutan basa
32
16S rDNA menunjukkan derajat kesamaan yang rendah antara dua taksa,
deskripsi suatu takson baru dapat dilakukan tanpa hibridisasi DNA, namun jika
derajat kesamaan urutan basa gen penyandi 16S rDNA kurang dari 97% dapat
dianggap sebagai spesies baru (Stackebrandt dan Goebel 1995 dalam
Pangastuti 2006).
4.4 Amplifikasi Gen hdc dengan Metode PCR
Amplifikasi atau replikasi DNA bertujuan untuk melipatgandakan jumlah
DNA template sesuai dengan primer yang digunakan. Amplifikasi atau replikasi
DNA secara in vitro dapat dilakukan dengan bantuan alat thermo cycler
menggunakan metode polymerase chain reaction (PCR). Pada tahap ini, DNA
yang telah berhasil diperoleh akan diperbanyak untuk mengetahui apakah DNA
tersebut memiliki gen pengkode histidin dekarboksilase dengan menggunakan
primer histidin dekarboksilase (Hdc), dan primer 106-107. Hasil visualisasi
produk PCR dengan menggunakan primer Hdc melalui teknik elektroforesis
menunjukkan bahwa tidak terdapat pita DNA yang terlihat. Optimasi telah
dilakukan beberapa kali dengan menggunakan suhu annealing 56-60 oC, namun
agarosa masih terlihat kosong dengan ukuran DNA target yaitu sekitar 709 bp.
Hal ini menunjukkan bahwa DNA bakteri yang telah diisolasi tidak
mengandung gen pengkode histidin dekarboksilase dengan jenis primer Hdc, oleh
karena itu primer Hdc diganti dengan primer yang lebih spesifik yaitu primer
106-107. Hasil pengamatan elektroforegram produk PCR dengan primer Hdc
menunjukkan hasil yang negatif (tidak terdapat fragmen DNA target) yang berarti
bahwa DNA bakteri tidak mengandung gen hdc pengkode histidin dekarboksilase,
sehingga dilakukan penggantian primer dengan menggunakan primer 106-107
yang bersifat lebih spesifik.
Primer 106-107 merupakan primer yang lebih spesifik dibandingkan
primer Hdc, karena memiliki ukuran target yang lebih kecil yaitu 534 kb. Suhu
annealing yang digunakan berkisar antara 50-54 oC, hal ini bertujuan untuk
mengetahui kondisi optimum penempelan primer (annealing) selama proses PCR
berlangsung.
Hasil pengamatan visualisasi produk PCR dengan primer 106-107 masih
menunjukkan hasil yang negatif, sehingga memperkuat dugaan bahwa besar
33
kemungkinan DNA mikroorganisme yang telah diisolasi tidak memiliki gen
pengkode
histidin
dekarboksilase.
Namun
berdasarkan
penelitian
Mangunwardoyo et al. (2007) menyatakan bahwa, berbagai jenis bakteri yang
mampu menghasilkan enzim histidin dekarboksilase (Hdc) termasuk kelompok
Enterobacteriaceae. Morganella morganii merupakan bakteri pembentuk histamin
yang berasal dari ikan tongkol dan ikan Scombridae lainnya, oleh karena itu
memperkuat dugaan bahwa bahan baku yang digunakan bermasalah sehingga
perlu dilakukan penelusuran (traceability) dengan melakukan uji formalin.
4.5 Uji Formalin
Uji formalin perlu dilakukan untuk menguji apakah bahan baku yang
digunakan telah bebas dari penggunaan formalin. Formalin merupakan bahan
pengawet mayat yang berbahaya apabila dikonsumsi dan terdapat dalam bahan
pangan. Formalin bersifat bakterisidal sehingga mampu membunuh semua
mikroba, oleh karena itu formalin dapat menjaga keawetan bahan yang
menggunakannya (Lu 2006 dalam Rinto et al. 2009). Hasil pengujian formalin
pada ikan tongkol dan ikan tenggiri dapat dilihat pada Gambar 14.
A
B
C
Keterangan gambar :
A. Kontrol positif formalin
(ungu pekat)
B. Ekstrak daging ikan
tenggiri (ungu)
C. Ekstrak daging ikan
tongkol (ungu)
Gambar 14 Hasil pengujian formalin pada ekstrak daging ikan tongkol
(Euthynnus sp.) dan tenggiri (Scomberomorus commersonii)
Hasil pengujian formalin menunjukkan hasil yang positif, berarti bahwa
ikan tongkol dan tenggiri yang digunakan mengandung formalin. Kontrol positif
berupa asam kromatofat yang telah ditambahkan formalin menghasilkan warna
34
ungu. Begitu pula dengan hasil pengujian sampel. Ekstrak daging ikan tenggiri
dan tongkol setelah ditambahkan asam kromatofat berubah warna menjadi ungu,
sehingga dapat disimpulkan bahwa bahan baku yang digunakan mengandung
formalin.
Bahan baku yang tercemar oleh formalin menyebabkan mikroflora alami
dari tubuh dan habitat ikan mati akibat adanya formalin yang bersifat sebagai
bakterisidal kuat dan beracun (toksik). Kuat dugaan bahwa bakteri yang diisolasi
bukanlah merupakan bakteri alami yang berasal dari mikroflora dari bahan baku
melainkan bakteri kontaminan selama proses penanganan. Kecil kemungkinan
DNA bakteri yang diisolasi memiliki gen pengkode enzim histidin dekarboksilase.
Hal ini diperkuat dengan pernyataan Omura et al. (1978) yang menyatakan bahwa
bakteri pembentuk histamin secara alami terdapat pada insang dan isi perut ikan.
Hal ini sekaligus membuktikan bahwa program yang dicanangkan
pemerintah untuk memberantas praktik penggunaan formalin masih gagal dan
terbukti bahwa praktik penggunaan formalin di lapangan masih umum dilakukan
oleh nelayan maupun pedagang. Selain itu hal ini juga membuktikan bahwa
tingkat keamanan pangan di Indonesia masih jauh dari yang diharapkan karena
bahan pengawet formalin dilarang keras penggunaannya dalam bahan pangan
karena akan membahayakan kesehatan dan bersifat kronis.
Secara kimiawi, formalin atau formaldehide merupakan suatu golongan
aldehid dari komponen organik alifatik dengan rumus molekul CH2O. Formalin
merupakan bahan yang mudah menguap pada suhu kamar dan dapat larut dengan
air. Formalin bertindak sebagai bakterisidal kuat yang dapat membunuh maupun
merusak sel-sel yang ada pada jaringan tubuh manusia sehingga pertumbuhan
jaringan tidak teratur. Pertumbuhan atau pembelahan sel yang rusak dan tidak
teratur menyebabkan rusaknya struktur jaringan tubuh yang dapat menyebabkan
kanker (IARC 1987 dalam Rinto et al. 2009).
Download