bab ii landasan teori

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
II.1 Teori Investasi
Menurut Jones, C.P (2002) investasi adalah “an investment can be defined as the
commitment of funds to one or more assets that will be held over some futures time
period” (p.5). Jadi bisa diartikan bahwa tujuan yang paling mendasar dari investasi
adalah suatu kekayaan harus menghasilkan nilai yang lebih saat dihitung pada akhir
periode investasi.
Ada beberapa jenis media yang dipakai dalam melakukan investasi, diantaranya:
1
Real Asset. Yaitu investasi yang ditempatkan pada sector-sektor yang bentuk fisik
dari investasi kelihatan, seperti: tanah, bangunan dan berbagai jenis usaha yang nyata
dari segi visual dan fisiknya.
2
Capital Market Financial Asset. Yaitu investasi pada sektor keuangan dan jasa
permodalan, umumnya investasi ini ditempatkan pada sektor pasar modal dengan
berbagai macam instrumennya seperti: saham, obligasi dan lain-lain.
3
Money Market Financial Asset. Investasi ini pada umumnya adalah investasi yang
berkaitan langsung dengan nilai mata uang satu Negara ataupun perbandingan nilai
tukar mata uang tersebut terhadap mata uang Negara lain. Adapun karakteristik dari
investasi dalam mata uang menurut Dahlan Slamet, (2004) adalah: sifatnya jangka
pendek, mudah diperjualbelikan, liquid, hutang dengan resiko yang rendah.
6
II.2 Teori Inflasi dan Suku Bunga
1
Teori Inflasi
Menurut William A. McEachern yang di alih bahasa oleh Sigit Tanadaru SE
(2000), inflasi adalah “kenaikan terus-menerus dalam tingkat harga satu perekonomian
akibat adanya kenaikan permintaan agregat atau penurunan penawaran agregat” (h.123).
Jadi bisa dikatakan bahwa bila terjadi kenaikan harga pada bulan ini, namun bulan
berikutnya harga mengalami penurunan, itu tidak bisa dikatakan inflasi.
Inflasi karena kenaikan permintaan agregat sering disebut dengan Demand Pull
Inflation (inplasi karena ditarik permintaan). Dalam inflasi tersebut, kenaikan
permintaan agregat menarik tingkat harga menjadi lebih tinggi. Sebagai contoh inflasi
yang dialami Amerika Serikat pada sekitar tahun 1960 adalah karena demand pull
inflation, yaitu karena pada saat terjadi pertumbuhan belanja federal untuk perang
Vietnam dan perluasan program sosial yang menaikan permintaan agregat.
Inflasi juga dapat terjadi karena penurunan penawaran agregar, inflasi semacam ini
dinamakan Cost Pull Inflation. Bila terjadi kondisi penawaran yang menurun, maka
menurut hukum ekonomi harga yang akan terbentuk menjadi lebih tinggi. Sebagai
contoh: adanya kegagalan panen padi akan menyebabkan harga beras menjadi lebih
mahal.
Pengukuran tingkat inflasi biasanya diukur dengan indek harga konsumen
(consumer price index). CPI akan mengukur tingkat kenaikan harga barang-barang
konsumsi dibandingkan dengan tahun dasar perhitungan. Hasil akhir dari perhitungan
inflasi adalah sebuah angka yang menunjukan berapa besar persentase kenaikan harga
barang dibandingkan dengan tahun dasar perhitungan.
7
2
Teori Suku Bunga
Menurut William A. McEachern yang dialih bahasa oleh Sigit Tanadaru SE
(2000), tingkat suku bunga adalah “sejumlah uang yang dibayarkan oleh peminjam
kepada pemberi pinjaman atas balas jasa karena hilangnya kesempatan konsumsi saat
itu” (h.138). Tingkat bunga nominal dinyatakan dalam angka persentase pertahun,
artinya uang yang harus dibayarkan untuk nilai pinjaman yang diperoleh.
II.3 Sejarah Perkembangan Perdagangan Mata Uang
Pasar valuta asing (foreign exchange market) memungkinkan berbagai valuta
dipertukarkan demi mempermudah transaksi perdagangan dan keuangan internasional.
Dalam perkembanganya, perdagangan valuta asing (valas) telah mengalami beberapa
evolusi sesuai dengan perkembangan jaman.
Sistem penentuan nilai tukar telah berubah beberapa kali. Dari tahun 1876 hingga
1913, nilai tukar ditentukan oleh standar emas (gold standard). Tiap valuta dapat
dikonversikan ke dalam emas memakai suatu formula tertentu, sehingga nilai antara dua
valuta ditentukan oleh daya konversi relatif mereka terhadap per-ons emas. Tiap negara
menggunakan cadangan emas untuk mendukung valutanya.
Pada tahun 1914, Perang Dunia I dimulai dan standar emas untuk sementara tidak
dilakukan. Sejumlah negara kembali memakai standar emas pada tahun 1920. Namun
standar emas ditinggalkan menyusul kepanikan perbankan di AS dan Eropa tidak lama
setelah adanya great depression. Pada tahun 1930 sejumlah negara berupaya mematok
valuta mereka ke dolar atau pound, tetapi terjadi revisi beberapa kali. Sebagai akibat dari
8
ketidakstabilan dalam pasar valas dan ketatnya pembatasan atas transaksi internasional
selama periode ini, mengakibatkan volume perdagangan internasional menurun.
Menurut Eun dan Resnick 2004 “the US dolar was the only currency that was fully
convertible to gold”(h.31). Hal ini bisa dilihat pada tahun 1944, kesepakatan antarnegara
yang dikenal dengan Bretoon Woods Agreement menghasilkan sistem nilai tukar. Dalam
sistem ini mata uang akan dipatok ke dalam dolar Amerika, sementara itu dolar Amerika
kembali akan dipatok ke emas menggunakan kurs yang dipatok sebesar $ 35/oz.
Gambar 2.1 Skema Nilai Tukar Menurut Bretton Woods System
Dalam sistem ini juga dijelaskan bahwa pemerintah berbagai negara akan melakukan
intervensi untuk mencegah nilai tukar bergerak lebih dari 1% ke atas atau ke bawah dari
level yang telah ditentukan sebelumnya.
Tahun 1971, dolar AS tampaknya mengalami overvalued yang disebabkan
permintaan luar negeri terhadap dolar AS lebih kecil dari penawaran dolar. Wakil dari
negara-negara penting bertemu untuk membahas bagaimana menangani dilema ini.
Konfrensi kemudian menghasilkan Smithsonian Agreement dan kemudian dolar AS akan
didevaluasi relatif terhadap valuta lain. Nilai dolar tidak hanya dirubah, tetapi juga nilai
tukar diperbolehkan berfluktuasi sampai dengan 2.25% turun atau naik. Ini merupakan
9
langkah pertama dalam rangka membiarkan kekuatan pasar menentukan nilai yang tepat
bagi suatu valuta. Karena besarnya kekuatan pasar dalam menentukan nilai tukar,
akhirnya pada tahun 1973 nilai tukar mata uang dibiarkan bebas terbentuk sesuai
mekanisme harga yang terbentuk dari permintaan dan penawaran.
Setiap perdagangan valuta asing melibatkan pembelian satu mata uang dan
menjual mata uang lainya. Kedua mata uang ini disebut currencies fair. Mata uang yang
pertama disebut base currencies, sedangkan mata uang yang kedua disebut quote
currencies. Nilai tukar menjelaskan harga base currencies dibandingkan dengan quote
currencies. Dengan kata lain nilai tukar atau kurs mengukur nilai suatu valuta dari
perspektif valuta lain. Sejalan dengan berubahnya kondisi ekonomi, nilai tukar juga bisa
berubah secara substansial. Penurunan nilai valuta dinamakan dengan depresiasi
(depreciation), sedangkan peningkatan nilai valuta dinamakan apresiasi (appreciation).
II.4 Ekuilibrium Nilai Tukar
Menurut Jeff Madura (2003) “at any point in time, a currency should exhibit the
price at which the demand for that currency is equal to supply, and this represents the
equilibrium exchange rate” (h.108). Meskipun mudah untuk mengukur persentase
perubahan nilai tukar suatu valuta, yang paling sulit adalah menjelaskan mengapa nilai
tersebut bisa berubah, atau untuk meramalkan bagaimana nilai tersebut akan berubah di
masa depan. Menurut Jeff Madura (2003) ada dua hal yang menjadikan nilai tukar
ekuilibrium, yaitu:
1
Permintaan Terhadap Valuta.
Kurs valuta akan dibentuk oleh hukum ekonomi, dimana permintaan menjadi faktor
penting dalam penentuan pembentukan harga.
10
2
Penawaran Valuta
Hal lain yang membentuk kurs valuta adalah penawaran valuta itu sendiri, semakin
banyak penawaranya maka menurut hukum ekonomi harga yang akan terbentuk
semakin rendah, begitupun sebaliknya.
Setiap saat, nilai valuta akan mencerminkan harga yang mempertemukan jumlah
permintaan dengan jumlah penawaran inilah yang dinamakan dengan nilai tukar
ekuilibrium. Nilai ekuilibrium akan selalu mencari titik keseimbangan jika variabelvariabel ekonomi dirubah. Tentu saja, kondisi yang terus berubah, membuat permintaan
dan penawaran juga berubah dan pada akhirnya akan menyebabkan nilai tukar mata
uang akan berubah pula.
II.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai Tukar
Nilai tukar ekuilibrium akan berubah sepanjang waktu seiring dengan perubahan
permintaan dan penawaran. Menurut Jeff Madura (2003), ada enam faktor yang
menyebabkan perubahan nilai tukar:
1 Laju Inflasi Relatif
Perubahan dalam laju inflasi dapat mempengaruhi aktivitas perdagangan
international, karena mempengaruhi permintaan dan penawaran valuta, dan kemudian
efeknya akan mempengaruhi nilai tukar. Sebagai contoh: inflasi di AS meningkat secara
signifikan, sementara di Jepang diasumsikan sama, (asumsikan bahwa perusahaan AS
dan Jepang menjual produk yang bisa saling mengantikan). Kenaikan inflasi di AS akan
mengakibatkan peningkatan permintaan AS terhadap yen, selain itu akan mengurangi
keinginan konsumen Jepang atas produk-produk AS. Efek berikutnya adalah permintaan
11
USD menurun dan penawaran yen juga menurun. Jelas disini bisa dilihat bahwa inflasi
suatu negara dapat menjadikan mata uang negara tersebut mengalami depresiasi.
2 Suku Bunga Relatif
Perubahan dalam suku bunga relatif mempengaruhi investasi dalam sekuritassekuritas asing, yang selanjutnya akan mempengaruhi permintaan dan penawaran valuta
asing, dan nilai tukar. Asumsikan bahwa suku bunga AS meningkat, sedangkan suku
bunga di Jepang konstan. Hal yang mungkin akan terjadi adalah korporasi-korporasi
besar AS kemungkinan akan mengurangi perminttan mereka terhadap yen karena suku
bunga AS sekarang lebih menarik. Bahkan mungkin mereka akan menarik deposito di
Jepang dan memindahkan ke bank di AS. Begitupun kalau hal sebaliknya dilakukan.
Walaupun suku bunga yang relatif tinggi dapat menarik arus kas dari luar negeri, suku
bunga yang relatif tinggi di sisi lain mungkin mencerminkan ekspektasi tingginya
tingkat inflasi. Karena inflasi yang tinggi dapat menekan nilai tukar, hal ini dapat
membuat sejumlah investor luar negeri membatalkan investasi dalam bentuk sekuritassekuritas yang didenominasi dalam valuta tersebut. Oleh karena itu kita perlu
memperhatikan suku bunga riil, yaitu suku bunga nominal yang telah disesuaikan
dengan inflasi.
Suku bunga riil = suku bunga nominal – laju inflasi
Artinya bahwa kebijakan penurunan tingkat suku bunga suatu negara dalam kondisi
normal (inflasi sama dengan konstan) akan mengakibatkan mata uang negara tersebut
mengalami depresiasi, dan sebaliknya.
Pergerakan suku bunga merupakan faktor yang dominan dalam gejolak nilai tukar
sepanjang periode. Perbedaan suku bunga antar negara memberikan insentif yang cukup
12
kuat bagi pemodal untuk mengalirkan investasinya ke dalam sekuritas-sekuritas yang
mempunyai yield tinggi. Dalam sejumlah kasus, nilai tukar antara dua valuta dapat
dipengaruhi oleh perubahan suku bunga negara ketiga. Sebagai contoh suku bunga di
Kanada meningkat dan menjadi lebih menarik sejumlah investor Jepang daripada suku
bunga Amerika Serikat. Hal ini menyebabkan investor-investor Jepang mengurangi
permintaan mereka atas Dolar Amerika, kondisi seperti ini dapat menyebabkan
pelemahan atas nilai Dolar.
3 Tingkat Pendapatan Relatif
Jika pendapatan relatif suatu negara bertambah, maka secara otomatis konsumsi
negara tersebut akan meningkat, termasuk konsumsi barang luar negeri. Ini berarti jika
suatu negara mengalami peningkatan pendapatan maka nilai tukar mata uangnya
kemungkinan akan mengalami depresiasi, dan sebaliknya. Namun dalam kasus lain
peningkatan pendapatan relatif juga bisa menimbulkan laju inflasi yang cukup tinggi, hal
ini diakibatkan karena peningkatan konsumsi dan seperti yang telah dibahas sebelumnya
inflasi dapat menyebabkan depresiasi nilai tukar mata uang.
4 Kontrol Pemerintah
Faktor keempat yang dapat mempengaruhi nilai tukar adalah kontrol pemerintah.
Pemerintah negara-negara asing dapat mempengaruhi nilai tukar ekuilibrium dengan
berbagai cara, diantaranya: hambatan jual beli valuta asing, hambatan perdagangan,
intervensi dan pengubahan variabel-variabel ekonomi, seperti tingkat suku bunga dan
inflasi. Dalam hal ini pemerintah berkepentingan untuk menjaga nilai tukar, hal ini
dimaksudkan untuk menjaga kelangsungan perekonomian negara tersebut.
13
5 Ekspektasi
Ekspektasi merupakan harapan yang muncul akibat reaksi cepat terhadap berita
yang mempunyai pengruh terhadap market, dalam tahap selanjutnya akan menjadi
motivasi seseorang dalam mengambil keputusan investasinya. Sebagai contoh
pertengahan Desember 2008, AS akan kembali memangkas suku bunga FED. Ini akan
memungkinkan sebagian investor akan menjual USD yang mereka miliki, dan dampak
dari itu semua adalah USD akan menglami depresiasi. Biasaya data-data (indicator)
ekonomi yang dikeluarkan pemerintah secara langsung maupun tidak langsung akan
mengubah ekspektasi setiap investor. Beberapa jenis indikator ekonomi yang biasanya
menimbulkan ekspektasi di market adalah: Gross National Product (GNP), Factory
Order, Durable Goods Orders, Consumer Spending Indicator dan lain-lain.
Spekulsi mengenai nilai tukar di masa yang akan datang umumnya didorong oleh
sinyal-sinyal perubahan suku bunga, dan faktor yang lain. Sebagai contoh: selama
periode akhir tahun 2007 sejumlah indikator-indikator ekonomi Amerika Serikat dalam
sektor tenaga kerja, perumahan dan konsumsi memburuk. Hal ini akan menyebabkan
ekspektasi pasar terhadap dolar melemah, dan dampak berikutnya para investor akan
mengalihkan investasi dolar mereka ke instrumen investasi yang lain seperti: komuditi,
emas, obligasi atau pasar modal. Efek domino berikutnya adalah akan mendorong
permintaan dolar menjadi berkurang. Jadi walaupun berita yang akan muncul belum
diketahui secara pasti, namun ekspektasi dari investor bisa bereaksi lebih cepat terhadap
market.
14
6 Interaksi Antar Faktor
Faktor-faktor yang berhubungan dengan perdagangan dan faktor-faktor keuangan
kadang-kadang
saling
berinteraksi.
Sebagai
contoh
peningkatan
GNP
akan
memunculkan ekspektasi akan meningkatnya suku bunga. Jadi walaupun kenaikan
tingkat GNP bisa menaikan impor, secara tidak langsung juga akan menarik lebih
banyak modal masuk. Karenanya kenaikan tingkat GNP seringkali diharapkan akan
meningkatkan valuta lokal karena besarnya arus masuk modal mungkin dapat menutupi
keluarnya valuta karena impor. Gambar 2.2 memisahkan arus pembayaran antar
Negara kedalam pembayaran yang berhubungan dengan perdagangan dan pembayaran
yang arus modal.
Inflasi Relatif
Level GNP
Relatif
Restriksi
Perdanganan
Pemerintah
Suku Bunga
Relatif
RestriksiRestriksi
Arus Modal
Permintaan AS
Terhadap
Produk
Luar Negeri
&
Permintaan
Luar Negeri
Akan Produk AS
Permintaan AS
Akan Valuta Asing
&
Penawaran
Valuta Asing
Permintaan AS
Akan Sekuritas
Luar Negeri
&
Permintaan Luar
Permintaan AS
Akan Valuta Asing
Negeri Akan
Sekuritas AS
Penawaran
Valuta Asing
Nilat Tukar
Valuta Asing
Dengan USD
&
Gambar 2.2 Iktisar Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nilai Tukar.
Nilai mata uang berubah dalam persentase yang berbeda terhadap masing-masing
valuta asing. Hal ini mungkin disebabkan adanya perbedaan seberapa besar hubungan
negara tersebut dalam bidang ekonomi dan perdagangan dengan negara yang lain.
15
Semakin besar hubungan ekonomi dan perdagangan antara kedua negara, maka akan
semakin besar pula pengaruh Interaksi Antarfaktor.
II.6 Peramalan Fundamental Nilai Tukar Mata Uang
Menurut Callum Henderson, (2002) analisis fundamental merupakan metode
dalam mengevaluasi asset dengan mencoba mengukur nilai intrinsik dengan
menganalisa data ekonomi, financial dan faktor kualitatif dan kuantitatif. Analisis
fundamental mencoba mempelajari semua hal yang dapat bereffek terhadap mata uang,
dan hasil akhir dari analisis ini adalah mengukur apakah nilai tukar mata uang tersebut
overprice atau underprice. Analisis fundamental biasanya dilakukan dengan melihat
bagaimana data ekonomi kedua Negara akan mempengaruhi nilai tukar mata uang
Negara tersebut, tetapi bisa juga dengan membandingkan mata uang Negara yang
dianalisis dengan Negara lain (crossrate) dengan tujuan melihat kecendrungan apakan
mata uang Negara tersebut sedang mengalami pengauantan atau sebaliknya.
Proyeksi nilai tukar bisa muncul semata-mata dari penilaian subjektif menyangkut
sejauh mana pergerakan umum dari variable-variabel ekonomi di suatu negara akan
mempengaruhi pergerakan nilai tukar mata uang negara tersebut. Sebenarnya sangatlah
sulit untuk mengukur secara kuantitatif dampak dari data fundamental yang muncul
terhadap nilai tukar, namun hal itu bisa diukur secara kualitatif. Dari perspektif statistik,
proyeksi akan didasarkan pada dampak kuantitatif dari faktor-faktor yang dimaksud atas
nilai tukar.
Menurut Ivan Susanto (2007), ada beberapa faktor fundamental yang dapat
berpengaruh pada market mata uang (forex):
16
1
Faktor Keuangan. Perubahan kebijakan keuangan suatu negara, nilai ekspor,
pendapatan, penganguran, dan lain-lain akan sangat berpengaruh terhadap nilai tukar
mata uang negara tersebut.
2
Tingkat Suku Bunga. Besar kecilnya tingkat suku bunga berpengaruh terhadap nilai
suku bunga kredit, ketertarikan investor dan akhirnya mempengaruhi nilai mata uang
negara tersebut.
3
Faktor Politik dan Sosial. Perubahan politik suatu negara, pergantian pemimpin,
kabinet, tingkat keamanan, dan lain-lain akan berpengaruh juga terhadap pergerakan
mata uang. Semakin stabil kondisi politik dan sosial negara tersebut, akan semakin
setabil pula nilai mata uang negara tersebut.
4
Kerusuhan atau Bencana. Faktor lain yang tidak bisa diprediksikan, namun
pengaruhnya akan cukup besar pada pergerakan nilai mata uang.
II.7 Hubungan Antara Inflasi, Suku Bunga dan Nilai Tukar
Perubahan dalam laju inflasi dan suku bunga dapat menimbulkan dampak yang
sangat signifikan atas pergerakan nilai tukar. Menurut Jeff Madura (2003) hubungan
antara inflasi, suku bunga dan nilai tukar dapat diukur menggunakan teori sebagai
berikut:
II.7.1 Purchasing Power Parity
Salah satu teori yang sangat populer dan kontroversial dalam keuangan
internasional adalah teori paritas daya beli (purchasing power parity). Teori ini berfokus
pada tingkat inflasi dan hubunganya dengan nilai tukar.
17
Bentuk absolut (absolute form), juga dinamakan hukum satu harga, yang
menyatakan bahwa harga dari produk-produk yang sama di dua negara yang berbeda
seharusnya sama jika diukur memakai valuta yang sama. Jika terdapat perbedaaan harga
setelah memakai valuta yang sama, akan terjadi perubahan permintaan sehingga harga
yang satu akan mendekati harga yang lain. Sebagai contoh, jika produk yang sama
diproduksi oleh Jepang dan AS, dan harga di Jepang lebih rendah jika diukur memakai
valuta yang sama, maka permintaan produk di Jepang akan meningkat dan di AS akan
menurun. Konskuensinya, harga aktual yang dikenakan di masing-masing negara bisa
berubah dan atau nilai tukar yang berubah. Kedua kekuatan tersebut akan mendorong
harga produk yang sama akan dinilai sama jika menggunakan valuta yang sama. Namun
dalam keyataanya, eksistensi biaya transportasi, tarif dan kuota mungkin mencegah
betuk absolut dari Purchasing Power Parity.
A Latar Belakang Pemikiran Teori Purchasing Power Parity
Jika dua negara menghasilkan produk yang saling mensubstitusi, permintaan atas
produk harus berubah jika laju inflasi berbeda. Sebagai contoh harga-harga di AS
meningkat 9 %, sementara di Jepang 5 %. Hal ini awalnya akan menyebabkan konsumen
AS meningkatkan impor dari Jepang dan konsumen Jepang menurunkan impor dari AS.
Kedua dampak ini akan mendorong nilai Yen untuk naik. Perpindahan konsumen dari
AS ke Jepang ini yang akan terus terjadi sampai nilai Yen mengalami apresiasi sampai
ke tingkat dimana:
1
Harga yang dibayarkan untuk produk-produk Jepang oleh konsumen AS tidak lebih
rendah daripada produk yang sama yang dibuat di AS.
18
2
Harga yang dibayarkan oleh konsumen Jepang untuk produk AS tidak lebih tinggi
daripada produk yang sama yang diproduksi di Jepang.
B Persamaan Purchasing Power Parity
Asumsikan bahwa indek harga domestik (h) dan indek-indek harga di sebuh negara
asing (f) sama. Sekarang anggaplah bahwa dengan berlalunya waktu, negara itu
mengalami laju inflasi sebesar Ih, sementara negara asing yang dimaksud mengalami
inflasi sebesar If. Karena inflasi, indek harga barang domestik (Ph) menjadi:
Ph(1 + Ih)
Indek harga di negara asing (Pf) juga akan berubah karena inflasi di negara tersebut:
Pf(1 + If)
Jika Ih > If dan nilai tukar antara valuta dari kedua negara tidak berubah, maka daya beli
anda atas barang-barang luar negeri lebih besar daripada daya beli anda atas barangbarang domestik. Dalam hal ini, PPP tidak eksis. Jika Ih < If dan nilai tukar tidak
berubah, maka daya beli anda atas produk-produk domestik lebih besar daripada daya
beli anda atas produk-produk luar negeri. Dalam kasus ini PPP juga tidak eksis.
Teori PPP mengisyaratkan bahwa nilai tukar tidak akan tetap, tetapi akan
menyesuaikan diri untuk mempertahankan paritas daya beli. Jika inflasi terjadi dan nilai
tukar antara valuta lokal dengan valuta asing berubah, maka indek harga luar negara
dari perspektif konsumen domestik menjadi:
Pf (1 + If)(1 + ef)
Dimana ef mewakili persentase perubahan dalam nilai valuta asing yang bersangkutan.
Menurut teori paritas daya beli, persentase perubahan nilai valuta asing (ef) harus
berubah untuk mempertahankan paritas dalam indek harga yang baru dari kedua negara.
19
Dengan demikian, kita bisa memecahkan ef dalam kondisi PPP dengan cara sebagai
berikut:
Pf (1 + If)(1 + ef) = Ph (1 + Ih)
Kita keluarkan ef dari persamaan tersebut sehingga kita peroleh:
(1 + ef) = Ph (1 + Ih)
Pf (1 + If)
ef = Ph (1 + Ih) – 1
Pf (1 + If)
Karena Ph sama dengan Pf ( karena indek harga awalnya diasumsikan sama di kedua
negara), maka:
ef = (1 + Ih) – 1
(1 + If)
Formula ini mencerminkan hubungan antara laju inflasi relatif dengan nilai tukar
menurut teori Purchasing Power Parity. formula ini dapat disederhanakan lagi,
meskipun tidak secara akurat menjadi: ef = Ih - If
C Analisis Grafik dari Purchasing Power Parity
Dengan menggunakan teori Purchasing Power Parity kita dapat menilai dampak
potensial dari inflasi terhadap nilai tukar mata uang. Gambag 2.3 merupakan salah satu
bentuk grafis dari teori PPP. Titik-titik yang terdapat dalam gambar tersebut
menyiratkan bahwa, jika diketahui selisih inflasi antara negara asal dengan negara lain
(katakanlah X persen), maka nilai valuta asing yang dimaksud juga harus berubah X
persen. Garis diagonal yang menghubungkan semua titik ini dinamakan dengan garis
paritas daya beli (purchasing power parity). Titik A mewakili laju inflasi AS (sebagai
20
negara asal) dan Inggris masing-masing 9% dan 5%, sehingga Ih-If = 4%. Ingat hal ini
akan menjadikan Pound Inggris mengalami apresiasi sebesar 4% seperti yang
diilustrasikan oleh titikA. Titik B mencerminkan laju inflasi AS dan Perancis,
diasumsikan masing-masing 1% dan 6% sehingga mendorong Franc Prancis mengalami
depresiasi sebesar 5%.
Gambar 2.3 Ilustrasi Paritas Daya Beli.
D Mengapa Purchasing Power Parity Tidak Terjadi
Ada dua alasan yang paling sering dikemukakan tentang mengapa teori purchasing
power parity tidak terjadi secara terus-menerus adalah karena adanya:
1 Faktor Lain yang Berpengaruh
Nilai tukar dipengaruhi oleh faktor-faktor lain selain selisih inflasi. Ingat bahwa
perbedaan tingkat suku bunga, tingkat pendapatan nasional, indikator-indikator
ekonomi dan kontrol pemerintah adalah penting. Sebagai ilustrasi, asumsikan
bahwa laju inflasi Jepang adalah 5% di atas laju inflasi Amerika Serikat. Dari
informasi ini, menurut PPP menyatakan bahwa Yen Jepang harus mengalami
depresiasi sebesar sekitar 5% terhadap Dolar AS. Tetapi jika pemerintah Jepang
menciptakan kendala-kendala perdagangan atas impor AS, konsumen dan
21
perusahaan-perusahaan Jepang tidak bisa menyesuaikan pengeluaran mereka atas
reaksi dari selisih inflasi.
2 Tidak Ada Produk Substitusi
Ide dibelakang teori PPP adalah bahwa segera setelah harga-harga di sebuah
negara menjadi relatif lebih tinggi, negara lain akan mengurangi impor dari
negara tersebut dan beralih ke produk-produk domestik atau dari negara yang
lain lagi yang harganya tidak naik. Pengalihan permintaan barang ini akan juga
mempengaruhi nilai tukar. Namun bagaimana jika produk pengganti tidak
tersedia di pasar? Jika ini terjadi maka terpaksa konsumsi tidak akan dialihkan,
namun hal yang mungkin adalah dikurangi. Hal ini akan menyebabkan teori
purchasing power parity akan terjadi, namun mungkin keakuratanya tidak
mendekati.
E Keterbatasan Dalam Pengujian Purchasing Power Parity
Salah satu keterbatasan dalam pengujian teori paritas daya beli adalah bahwa hasil
pengujian akan bervariasi menurut periode dasar perhitungan yang digunakan.
Seharusnya periode dasar harus mencerminkan suatu posisi ekuilibrium, karena periode
berikutnya akan dievaluasi dalam perbandinganya dengan periode dasar. Sayangnya
sangatlah sulit untuk memilih suatu periode dasar.
II.7.2 International Fisher Effect
Selain teori Purchasing Power Parity, teori penting dalam keuangan internasional
adalah teori dampak fisher internasional (international fisher effect-IFE). Teori IFE
menggunakan suku bunga, bukan selisih laju inflasi, untuk menjelaskan mengapa nilai
22
tukar berubah sepanjang waktu. Tetapi teori IFE berhubungan erat dengan teori PPP
karena suku bunga seringkali berkorelasi erat dengan tingakat laju inflasi. Menurut apa
yang dinamakan dengan dampak fisher (fisher effect), suku bunga bebas resiko nominal
mengandung tingkat pengembalian riil dan ekspektasi inflasi. Jika investor-investor dari
semua negara meminta tingkat pengembalian riil yang sama, perbedaan suku bunga
antara negara mungkin ditimbulkan oleh perbedaan dalam ekspektasi inflasi. Ingat
bahwa teori PPP menyiratkan bahwa pergerakan nilai tukar disebabkan oleh perbedaan
laju inflasi. Jika suku bunga riil sama di semua negara, maka setiap perbedaan dalam
suku bunga nominal ditimbulkan oleh perbedaan dalam ekspektasi inflasi. Teori IFE
menyatakan bahwa valuta-valuta asing yang memiliki suku bunga relatif akan
mengalami depresiasi karena suku bunga nominal yang tinggi mencerminkan ekspektasi
inflasi yang tinggi pula.
Asumsikan bahwa investor-investor di AS memperkirakan laju inflasi 6%
sepanjang satu tahun, dan meminta pengembalian riil 2% dalam jangka waktu yang
sama, maka suku bunga nominal dari sekuritas Treasury berjangka waktu satu tahun
haruslah 8%. Jika investor-investor di semua negara meminta tingkat pengembalian
yang sama untuk jangka waktu satu tahun, maka perbedaan dalam suku bunga nominal
antara dua negara manapun akan mencerminkan perbedaan ekspektasi inflasi di masingmasing negara.
Sebagai contoh, asumsikan bahwa suku bunga nominal di AS adalah 8% dan di
Jepang 5%. Jika investor-investor di kedua Negara meminta tingkat pengembalian riil
2%, maka perbedaan ekspektasi inflasi adalah 3% di Jepang dan 5% di AS. Menurut
teori PPP Yen Jepang akan mengalami apresiasi sebesar 3 %. Jika nilai tukar berubah
sesuai dengan perkiraan, investor-investor Jepang yang ingin mengambil keuntungan
23
atas tingginya suku bunga di AS akan menghaslilkan tingkat pengembalian yang sama
dengan di Jepang. Walaupun suku bunga di AS 3% lebih tinggi dibandingkan di Jepang,
investor Jepang harus membeli Yen di akhir periode investasi dengan harga 3% lebih
tinggi dibanding harga yang mereka peroleh saat menjual Yen sebelumnya.
A Persamaan International Fisher Effect
Hubung antara selisih suku bunga antara dua negara dengan ekspektasi perubahan
nilai tukar menurut teori IFE dapat diderivasikan sebagai berikut. Pertama,
pengembalian aktual bagi investor yang berinvestasi dalam sekuritas-sekuritas pasar
uang di negara mereka adalah adalah suku bunga yang ditawarkan oleh sekuritassekuritas tersebut. Namun, pengembalian aktual bagi investor yang berinvestasi dalam
sekuritas pasar uang luar negeri tergantung tidak hanya pada suku bunga luar negeri (if),
tetapi juga pada persentasi perubahan nilai valuta asing yang mendenominasi sekuritas
tersebut (ef). Pormula penentuan pengembalian aktual atau apa yang dinamakan
pengembalian “efektif” (pasca penyesuaian) dari deposito (atau sekuritas pasar uang)
luar negeri adalah:
r = (1 + if) (1 + ef) – 1
Menurut IFE, pengembalian efektif dari investasi domestik secara rata-rata harus sama
dengan pengembalian efektif dari investasi luar negeri, yaitu:
r = ih
Dimana r adalah pengembalian efektif dari deposito luar negeri dan ih adalah suku
bunga deposito _omestic. Kita bisa menentukan berapa besar nilai valuta asing harus
berubah agar membuat investasi di kedua negara menghasilkan pengembalian yang
sama. Dengan mensubstitusikan r dengan ih, kita mendapatkan:
24
r = ih
(1 + if) (1 + ef) – 1 = ih
Kita peroleh ef sebagai berikut:
(1 + if) (1 + ef) = (1 + ih)
(1 + ef) = (1 + ih)
(1 + if)
ef = (1 + ih) – 1
( 1 + if)
Seperti yang ditunjukan dalam formula ini, teori IFE menyatakan bahwa pada saat
ih > if, ef akan positif. Yaitu, valuta asing akan mengalami apresiasi pada saat suku
bunga luar negeri lebih rendah daripada suku bunga domestik. Persamaan ini dapat
disederhanakan menjadi: ef = ih – if
B Analisa Grafik dari International Fisher Effect
Gambar 2.4 memperlihatkan sekelompok titik yang mendukung argumen
dibelakang pemikiran teori IFE. Sebagai contoh, titik E mencerminkan sebuah situasi
suku bunga luar negeri melampaui suku bunga dalam negeri sebesar 3%. Tetapi, valuta
luar negeri telah mengalami depresiasi 3% untuk menutupi keunggulan suku bunga. Jadi
seorang investor yang memiliki deposito di luar negeri akan menghasilkan
pengembalian yang bisa diperoleh di dalam negeri. Titik F mewakili situasi di mana
suku bunga dalam negeri melebihi melebihi suku bunga luar negeri sebesar 2%. Jika
investor domestik membuka deposito di luar negeri, mereka menerima suku bunga yang
lebih rendah. Namun teori IFE menyatakan bahwa valuta asing yang dimaksud akan
mengalami apresiasi sebesar 2% untuk menutupi rendahnya suku bunga luar negeri.
25
Gambar 2.4 Ilustrasi Garis IFE
Titi F dalam gambar 2.4 dapat juga mengilustrasikan dari perspektif investor luar
negeri. Namun, teori IFE menyiratkan bahwa valuta luar negeri akan mengalami
apresiasi akan mengalami apresiasi 2%. Semua titik di sepanjang garis IFE dalam
gambar 2.4 mencerminkan penyesuaian nilai tukar yang terjadi untuk menutupi
perbedaan suku bunga. Ini berarti seorang investor pada akhir horizon investasi akan
menghasilkan pengembalian yang sama (setelah disesuaikan dengan fluktuasi nilai
tukar) antara berinvestasi di luar maupun di dalam negeri.
C Mengapa International Fisher Effect Tidak Muncul
Paritas daya beli tidak eksis selama periode-periode tertentu. Karena dampak fisher
internasional didasarkan pada paritas daya beli, IFE juga tidak akan terus-menerus eksis.
Karena mendapat faktor-faktor selain inflasi yang mempengaruhi nilai tukar, nilai tukar
tidak berubah sesuai dengan selisih inflasi.
II.8 Pengujian Statistik Purchasing Power Parity dan International Fisher Effect
Untuk membuktikan kebenaran teori PPP dan IFE maka teori tersebut harus diuji
kebenaranya secara statistik. Menurut J Supranto (2000), “apabila terdapat lebih dari dua
26
variabel, maka hubungan linear dapat dinyatakan dalam persamaan regresi linear
berganda sebagai berikut: Y = bo + b1X1 + b2X2…..bkXk” (h.186).
Hubungan antara nilai tukar (variabel Y), selisih tingkat inflasi (X1) dan selisih
suku bunga (X2) dapat dinyatakan dalam persamaan:
Y = bo + b1X1 + b2X2
bo = Nilai Y, apabila X1 dan X2 = 0
b1 = Besarnya kenaikan atau penurunan Y dalam satuan tertentu, jika X1 naik atau turun
satu satuan, sedangkan X2 konstan.
B2 = Besarnya kenaikan atau penurunan Y dalam satuan tertentu, jika X2 naik atau
turun satu satuan, sedangkan X1 konstan.
Untuk mendapatkan nilai dari bo, b1 dan b2 penulis menggunakan Microsoft Excel
dengan pasilitas Data Anatyst.
Hubungan antara selisih inflasi, suku bunga dan nilai tukar dapat dihitung dengan
menggunakan Microsoft Excel dengan pasilitas data analyst.
Menurut Mc Clave
Benson, (1996) kategori hubungan yang dinyatakan dalam R-square adalah:
0% - 20%
: sangat rendah
21% - 40% : rendah
41% - 60% : sedang
61% - 80% : tinggi
81% - 100% : sangat tinggi
27
Download