MAKALAH POLICY BRIEF: PENINGKATAN KOMPETENSI TENAGA DIDIK SEKOLAH MENENGAH PERTAMA INDONESIA UJIAN TENGAH SEMESTER MATA KULIAH PRAKTEK PERENCANAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL KELOMPOK 4 – QUALITY EDUCATION Ahmad Rofai 1406618682 Ayu Asri Fauziah 1406541455 Fardhan Zaka Ramzy 1406574743 Rizky Putri Rahmawati 1406541524 Priyono 1406618594 Windy Setio Rahayu 1406618095 DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK, 2017 LATAR BELAKANG Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan masyarakat yang harus dipenuhi dalam upaya peningkatan kesejahteraan. Sejalan dengan ini, James Midgley (dalam Adi, 2013) juga mengungkapkan bahwa kesejahteraan dapat tercipta apabila berbagai permasalahan sosial dapat dikelola dengan baik, ketika kebutuhan manusia dapat terpenuhi dan ketika kesempatan sosial dapat dimaksimalisasikan. Upaya pemenuhan pendidikan di tingkat global sendiri masih terganjal oleh beragam permasalahan sehingga realisasi pendidikan masih tidak sesuai ekspektasi. Hal ini kemudian memposisikan pendidikan sebagai salah satu fokus pembahasan global yang masuk ke dalam agenda Sustainable Development Goals (SDGs). Adapun masuknya pendidikan dalam agenda ini menggambarkan bahwa pendidikan masih menjadi sebuah tuntutan global yang harus terealisasikan dengan baik. Dalam SDGs, pendidikan berada pada poin keempat yang terwakilkan dalam tujuan “Quality Education”. Tujuan ini menegaskan bahwa pendidikan di tingkat global haruslah berkualitas dan inklusif bagi seluruh umat manusia serta mempromosikan lifelong learning. Secara terinci, tujuan ini juga mengekspektasikan setiap negara untuk dapat mewujudkan pendidikan gratis selama sembilan tahun (pendidikan dasar dan menengah pertama) tanpa adanya disparsitas. Menarik konteks Indonesia, tujuan ini setidaknya disesuaikan dengan RPJMN 2014-2019. Dengan melihat ekspektasi SDGs dan realisasinya di Indonesia, tampaknya pendidikan di Indonesia masih belum memenuhi apa yang diharapkan dalam agenda SDGs. Dari segi inklusivitas, realisasi pendidikan di Indonesia dapat dikatakan cukup unggul. Berdasarkan data APK/APM 2014-2015 (Kemendikbud, 2015), tingkat partisipasi penduduk usia 7-12 tahun terhadap sekolah dasar sudah mencapai 93,53%, sedangkan penduduk usia 13-15 tahun terhadap SMP baru mencapai 80,76%. Beralih pada tingkat disparsitas, pendidikan dasar dan menengah pertama Indonesia tampaknya tidak menunjukkan kesenjangan disparsitas yang berarti. Pada unit sekolah dasar, jumlah siswa laki-laki dan perempuan sudah cukup berimbang dimana siswa laki-laki berjumlah sekitar 13.516.994 juta jiwa, sedangkan siswi perempuan berjumlah 12.368.059 jiwa. Adapun untuk unit sekolah menengah pertama, jumlah siswa laki-laki dan siswi perempuan juga tidak menunjukkan perbedaan yang berarti dimana jumlah siswa laki-laki berjumlah sekitar 5.110.640 jiwa sedangkan siswi perempuan berjumlah 4.929.637 jiwa (Kemendikbud, 2016). Pemaparan data diatas menggambarkan bahwa pendidikan di Indonesia, terutama pada tingkat dasar dan menengah pertama, sudah memiliki aksesibilitas dan inklusivitas yang tinggi serta tingkat disparsitas yang rendah. Namun, peningkatan pada aspek kuantitas ini ternyata tidak berjalan bersamaan dengan peningkatan pada aspek kualitas. Hal ini tercermin dari hasil pemeringkatan oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) tahun 2016 yang menempatkan Indonesia pada 1 jajaran peringkat bawah dimana Indonesia berada pada posisi 57 dari 65 negara (edupost.id, 2016). Masalah kualitas pendidikan di Indonesia tidak hanya tercermin dari hasil pemeringkatan dunia yang cukup rendah, namun juga tercermin dari munculnya kesenjangan rata-rata nilai Ujian Nasional antara provinsi DKI Jakarta dengan provinsi Kalimantan Utara. Berdasarkan hasil nilai Ujian Nasional SMP tahun 2015, sekolah dengan nilai rata-rata UN tertinggi di provinsi DKI Jakarta mampu mencapai 368,32 sedangkan sekolah dengan nilai rata-rata tertinggi di provinsi Kalimantan Utara hanya mencapai 328,37 saja (websitependidikan.com, 2017). Melihat kondisi ini, sudah seharusnya Indonesia mengambil langkah strategis upaya peningkatan kualitas pendidikan agar tujuan “Quality Education” dapat tercapai sesuai dengan ekspektasi dalam agenda SDGs. Adapun menurut Arikunto Suharsimi (dalam Mukhid, 2007), upaya peningkatan kualitas proses pendidikan dapat dilakukan dengan memperhatikan dan mengevaluasi secara mundur empat komponen utama yaitu komponen input, process, output, dan feedback. Jika melihat komponen output, proses pendidikan di Indonesia masih menghasilkan pendidikan dengan kualitas yang rendah. Komponen output yang demikian mengindikasikan bahwa terdapat permasalahan yang terjadi antara dua komponen pemasok output, yaitu komponen input dan process. Melihat pemaparan data sebelumnya, komponen input terkait dengan partisipasi penduduk dalam pendidikan dapat dikatakan sudah cukup tinggi dan tingkat disparsitas cukup rendah. Hal ini sekaligus menegaskan bahwa sejatinya letak permasalahan bukanlah pada segi inklusivitas ataupun aksesibilitas. Beralih pada komponen lainnya yaitu komponen process yang terdiri atas kurikulum dan tenaga pendidik. Jika ditinjau dari aspek kurikulum, tampaknya pembaharuan kurikulum KTSP ke Kurikulum 2013 (perbaikan) menjadikan konten dan teknis pelaksanaan kurikulum lebih komprehensif dan sesuai dengan perkembangan zaman. Hal ini dapat dilihat dengan membandingkan antara Kurikulum 2013 (perbaikan) dengan beberapa kurikulum internasional seperti kurikulum susunan Cambridge International Examination dan International Baccalaureate dimana keduanya memiliki konten komprehensif dan bersifat student-oriented. Jika ditinjau dari segi tenaga pendidik, ternyata kualitas tenaga pendidik di Indonesia masih tergolong rendah, tercermin dari nilai rata-rata uji kompetensi guru pada tahun 2012 yang hanya mencapai 44,5 saja padahal standar yang diharapkan yaitu 70 (Baswedan, 2014). Padahal, salah satu pertanda bahwa pendidikan tersebut berkualitas adalah terlaksananya sistem pembelajaran secara tepat/baik, yang secara menyeluruh melibatkan semua komponen-komponen yang ada dalam sistem pembelajaran (Mukhid, 2007). Melihat rendahnya pencapaian uji kompetensi guru di Indonesia, tak mengherankan jika kualitas pendidikan Indonesia masih jauh dari harapan. Fakta ini sekaligus membuktikan bahwa masalah kualitas pendidikan di Indonesia berakar dari rendahnya kompetensi tenaga pendidik. 2 TELAAH MASALAH Berdasarkan paparan pada latar belakang diatas, menyebutkan bahwa kompetensi dan kualitas guru yang kurang memadai menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia. Adapun kompetensi guru yang dimaksud diatas meliputi; kompetensi pedagogik, kompetensi sosial, kompetensi kepribadian dan kompetensi profesional. Dalam sebuah laporan Kementerian Pendidikan, dan Kebudayaan mengenai Uji Kompetensi Guru (UKG) tahun 2015 pada dua bidang kompetensi pedagogik dan profesional mencapai nilai rata-rata nasional 53,02. Kemudian Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Kemendikbud, Sumarna Surapranata menyatakan, jika dirinci lagi, untuk hasil UKG kompetensi bidang pedagogik saja, rata-rata nasionalnya hanya 48,94, yakni berada di bawah standar kompetensi minimal (SKM), yakni 55. Berdasarkan fakta tersebut, upaya peningkatan kapasitas guru terus dilakukan pemerintah melalui berbagai cara, antara lain dengen memberikan block grant ke sekolah-sekolah sebagai dana stimulan untuk melaksanakan program pengembangan profesionalitas guru, membentuk asosiasi guru mata pengajaran, membentuk organisasi forum ilmiah guru dan penerbitan jurnal ilmiah bagi guru serta dengan memberdayakan program Musyawarah Mata Pelajaran (MGMP) yang selama ini telah berjalan dihampir seluruh kabupaten/kota. Semua program pengembangan kualitas guru ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan guru dalam merencanakan, mengembangkan, mengimplementasikan dan mensupervisi proses pembelajaran untuk mendukung peningkatan mutu pendidikan disetiap unit sekolah (Sumardi, 2016). Dalam pelaksanaannya, seperti telah diidentifikasi oleh Depdiknas (2006) bahwa selama ini perhatian dan kontribusi pemerintah kabupaten/kota melalui Dinas Pendidikan terhadap implementasi program MGMP masih tergolong rendah. Menyadari kondisi, peran dan fungsi program MGMP yang selama ini kurang mampu secara efektif memperbaiki kualitas pembelajaran yang dilakukan oleh guru peserta MGMP, maka perlu dikembangkan model alternatif pengembangan kualitas dan profesionalitas guru berbasis MGMP. Dalam bukunya, Sumardi (2016) mengatakan bahwa profesionalitas guru, baik pada jenjang dasar maupun menengah diidentifikasikan masih kurang mampu mengelola praktik pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan bagi peserta didik. Kekurang profesionalan guru dapat dilihat paling tidak dari segi penguasaan materai ajar(kompetensi profesional); dan kemampuan dalam merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran serta mengevaluasi hasil belajar peserta didik (kompetensi pedagogis). 3 Berkaitan dengan kompetensi profesional, seorang guru dituntut untuk menguasai materi ajar secara luas dan mendalam yang memungkinkan bagi guru untuk mampu membimbing anak memenuhi standar kompetensi yang telah ditetapkan dalam Standar Pendidikan Nasional. Berkaitan dengan kompetensi pedagogis, guru dituntut berkemampuan mengelola proses pembelajaran, meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktulisasi berbagai potensi yang dimiliki. Tetapi pada kenyatanyaanya, menurut hasil uji kompetensi yang ada diatas secara nasional guru di Indonesia masih dibawah rata-rata. Selain masalah kualitas kompetensi guru yang telah disebutkan diatas, terdapat juga masalah lain terkait kewajiban guru dalam mengajar. Dengan gambaran sebagai berikut, Sejak tahun 2009, anggaran pendidikan telah mencapai 20% dari APBN. Setengah dari anggaran tersebut dialokasikan untuk gaji dan tunjangan guru, dengan pagu yang terus meningkat dalam 3 tahun terakhir. Maka dari itu, dilihat dari persentase yang disisihkan untuk guru dapat dikatakan bahwa kesejahteraan guru telah membaik. Bagi guru yang telah disertifikasi, besaran tunjangan profesional bisa mencapai satu kali gaji pokok. Apabila guru yang telah disertifikasi ditempatkan di daerah khusus dan mendapatkan tunjangan khusus, maka pendapatan mereka bisa mencapai tiga kali gaji pokok. Namun kesejahteraan guru yang sudah membaik ini, tidak dapat meningkatkan hasil pencapaian belajar siswa-siswi Indonesia yang masih tetap terpuruk. Pencapaian matematika, bahasa, dan ilmu alam dalam tes TIMMS dan PIRLS tahun 2011 menurun dibanding tahun 2007 untuk kelas 8, demikian juga dalam tes PISA tahun 2012 menurun dibanding tahun 2009 untuk murid berusia 15 tahun. Salah satu penyebab dari rendahnya hasil pencapaian belajar siswa-siswi adalah tingkat kemangkiran guru dari tanggung jawabnya untuk mengajar. Survei yang dilakukan oleh SMERU pada tahun 2010 menunjukkan bahwa tingkat kemangkiran guru di daerah terpencil (24,4%) lebih tinggi dibandingkan rerata nasional (15%). Yang paling memprihatinkan adalah, tingkat kemangkiran guru penerima tunjangan khusus (31,5%) lebih tinggi dibandingkan guru yang tidak menerima tunjangan khusus (25,4%). Survei serupa yang dilakukan oleh ACDP pada tahun 2014 mengindikasikan perbaikan, walaupun di daerah terpencil (19,3%) masih dua kali lipat rerata nasional (9,4%). Dengan melihat persentase ketidakhadiran guru memberikan gambaran mengenai kualitas guru yang tidak kunjung membaik. Padahal dengan adanya perbaikan hak guru diharapkan mampu menjadi stimulan guru dalam memberikan kualitas layanan dengan baik sebagai kewajibannya atas tunjangan yang diberikan. Dalam merespon masalah ini, Pemerintah membuat program Kinerja dan Akuntabilitas Guru (KIAT Guru) yang tujuan utamanya adalah untuk memberdayakan masyarakat agar berinvestasi dan 4 berkontribusi dalam meningkatkan kualitas pelayanan pendidikan dasar, yang diukur dengan berkurangnya tingkat kemangkiran guru, meningkatnya kualitas layanan dan hasil belajar murid. Dari penjelasan diatas, dapat diketahui bahwa kualitas kompetensi guru masihlah rendah, dikarenakan angka rata- rata kompetensi pedagogis yang berada di bawah rata- rata Standar Kompetensi Minimal. Apalagi dalam kurikulum 2013, guru dituntut untuk menyelenggarakan pembelajaran yang kreatif, dan memacu siswa untuk berpikir kreatif, serta dapat menggali potensi yang dimiliki oleh mereka. Kurikulum 2013 juga menuntut penggunaan media- media teknologi, serta media pembelajaran kreatif lainnya, dalam kegiatan belajar mengajar di kelas. Namun faktanya, penggunaan teknologi belum sepenuhnya dilakukan oleh guru sebagai media pembelajaran. Hal ini disebabkan karena mereka memiliki kemampuan yang kurang dalam menggunakan media teknologi. Kehadiran guru juga mempengaruhi proses transfer pengetahuan terhadap murid. Namun, seringkali guru mangkir dari tanggung jawabnya untuk mengajar, yang kemudian menghambat proses belajar mengajar, yang pada akhirnya kualitas pendidikan di Indonesia kurang baik. Dalam menyelesaikan masalah ini, pemerintah membuat program KIAT yang tujuannya untuk mengurangi angka kemangkiran guru, dan meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia. Skema 1. Problem Tree Sumber: Olahan Penulis 5 Peta permasalahan di atas menyajikan tentang penyebab dan akibat dari rendahnya kualitas dan kompetensi guru SMP. Dari peta permasalahan di atas dapat dilihat walaupun setiap tahunnya guru mengikuti kegiatan MGMP, namun masih terdapat guru yang belum mampu untuk memberikan pengajaran secara maksimal kepada muridnya. Menurut Sumardi (2016), rendahnya kompetensi pedagogik dan profesional guru disebabkan oleh keterbatasan guru dalam menguasai materi dan menciptakan atmosfir belajar yang dapat menstimulus minat belajar siswa. Walaupun kedua hal tersebut terlihat sepele, namun faktanya kedua hal tersebut berpengaruh pada tingkat kualitas dan kompetensi guru. Rendahnya kualitas dan kompetensi guru menjadi salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya tingkat pendidikan di Indonesia. Dengan kualitas pendidikan yang rendah maka kemampuan dasar masyarakat akan membaca dan berhitung pun menurun, dimana hal ini mempengaruhi tingkat kualitas SDM (Human Development Index) Indonesia. Maka dari itu, suatu kebijakan yang berupaya pada peningkatan kapasitas guru dibutuhkan, karena guru merupakan pihak yang berperan sangat besar untuk mentransfer pengetahuan kepada para muridnya. Selain itu, dengan adanya kebijakan untuk peningkatan kapasitas guru sama saja dengan membuka jalan untuk peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. 6 MODEL PEMIKIRAN Berdasarkan latar belakang dan telaah masalah yang dilakukan, maka berikut merupakan model rekomendasi kebijakan yang menggambarkan logika pembentukan kebijakan yang akan diajukan. Skema 2. Model Kebijakan Peningkatan Kompetensi Tenaga Didik KONDISI PERMASALAHAN Kualitas Pendidikan Indonesia yang masih dikategorikan atau tergolong rendah berdasarkan tingkat pendidikan dalam skala global dan kesenjangan nilai ujian nasional siswa pelajar sekolah menegah pertama. KEBIJAKAN SAAT INI PERNYATAAN MASALAH Program KIAT telah terlaksana untuk meningkatkan kesejahteraan tenaga didik. Rendahnya kualitas pendidikan sekolah menengah pertama di Indonesia disebabkan oleh kompetensi sumber daya manusia tenaga pendidik yang masih tergolong rendah dan belum adaptif di era digital saat ini. Pembinaan dan Pengembangan Profesi Guru dalam Program MGMP dan PLPG masih belum maksimal atau memiliki dampak signifikan terhadap peningkatan kompetensi tenaga didik. REKOMENDASI KEBIJAKAN Disusunya Kebijakan Peningkatan Kompetensi Tenaga Didik (Guru) Sekolah Menengah Pertama Indonesia LUARAN KEBIJAKAN Sumber: Olahan Penulis Meningkatnya kemampuan tenaga didik sekolah menengah pertama (terkait wawasan dan keterampilan) dalam tiga domain diantaranya: keterampilan dasar (softskill), keterampilan mengajar berbasis teknologi, dan keterampilan mengajar secara kontekstual. 7 REKOMENDASI KEBIJAKAN PENINGKATAN KOMPETENSI TENAGA DIDIK SEKOLAH MENENGAH PERTAMA INDONESIA Kebijakan ini merupakan suatu bentuk investasi atas sumber daya manusia tenaga didik, yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia output dari pendidikan, yakni putra dan putri peserta didik. Adapun kebijakan ini diajukan untuk menjadi pijakan utama yang menyempurnakan kebijakan dan program pembinaan dan pengembangan profesi guru, yang dinilai belum berdampak secara signifikan terhadap peningkatan kompetensi tenaga didik. Terlebih, peningkatan kompetensi ini menjadi sangat penting dikarenakan Kurikulum 2013 yang telah terbentuk secara komprehensif berorientasi pada student-centered learning. Oleh karena itu, kompetensi dan kapasitas tenaga didik perlu ditingkatkan agar mampu memfasilitasi peserta didik dalam kegiatan belajar mengajar siswa. Berikut merupakan aspek yang menjadi sasaran peningkatan kompetensi tenaga didik diantaranya: 1. Keterampilan dasar (softskill) tenaga didik yang meliputi kemampuan komunikasi inter-personal dan antar-personal, kemampuan berpikir kritis dan pemecahan masalah, kemampuan mengaplikasikan literasi dasar (membaca, menulis dan berdiskusi), serta kemampuan manajerial kasus baik dalam merespon peserta didik ataupun dalam orang tua peserta didik; 2. Keterampilan mengajar berbasis teknologi yang meliputi kemampuan mengoperasikan teknologi komputer dengan aplikasi dasar microsoft office dan kemampuan mengumpulkan bahan belajar mengajar yang bersumber dari internet menggunakan teknologi komputer; 3. Keterampilan mengajar yang bersifat kontekstual yang meliputi pemahaman mengenai aspek perkembangan peserta didik yang dikategorikan anak secara biologis, psikologis, dan sosialspiritual, kemampuan mengajar yang menyesuaikan dinamika dan kondisi pembelajaran, serta kemampuan memfasilitasi kegiatan belajar mengajar yang berorientasi pada siswa. Ketiga aspek kompetensi tenaga didik tersebut dapat ditingkatkan melalui kegiatan seminar dan pelatihan secara terprogram, yang terdiri atas kurikulum penyelenggaraan pelatihan dan periode waktu pelatihan tertentu. Penyelenggaraan kegiatan peningkatan kompetensi ini dapat disesuaikan dengan konteks mata pelajaran tenaga didik, yang dapat diselenggarakan bersama dengan program Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP). Adapun kebijakan ini memiliki tujuan sebagai berikut: 1. Dalam jangka pendek, kebijakan ini diharapkan dapat menjadi pedoman untuk penyelenggaraan peningkatan wawasan dan keterampilan tenaga didik atas ketiga aspek kompetensi melalui kegiatan seminar dan pelatihan yang terprogram; 2. Dalam jangka menengah, implementasi dari kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan efektifitas kegiatan belajar mengajar di era digital; 8 3. Dalam jangka panjgan diharapkan dapat meningkatkan kualitas pendidikan atas peningkatan kualitas (kompetensi) sumber daya manusia tenaga pendidik. DAFTAR PUSTAKA Buku Adi, Isbandi Rukminto. 2013. Pemberdayaan Pengembangan Masyarakat, Dan Intervensi Komunitas. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Baswedan, Anies. 2014. Gawat Darurat Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Kemendikbud RI Kemendikbud. 2015. APK/APM PAUD, SD, SMP, dan SM 2014/2015 (termasuk Madrasah dan sederajat). Jakarta: Kemendikbud RI Kemendikbud. 2016. Indonesia Educational Statistics in Brief 2015/2016. Jakarta: Kemendikbud RI Mukhid, Abd. 2007. Tadris: Meningkatkan Kualitas Pendidikan melalui Sistem Pembelajaran yang Tepat, Volume 2, Nomor 1. Sumardi. 2016. Pengembangan Profesionalisme Guru Berbasis MGMP : Model, dan Implementasinya. Solo.: Universitas Sebelas Maret Website 7 Provinsi Raih Terbaik Uji Kompetensi Guru 2015 http://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2016/01/7provinsi-raih-nilai-terbaik-uji-kompetensi-guru-2015 (diakses 16.46, 22 Maret 2017) Tentang KIAT Guru http://www.tnp2k.go.id/id/program/kiat-guru/tentang-kiat-guru/ (diakses 18.50, 22 Maret 2017) Pendidikan Indonesia Berada di Peringkat ke-57 Dunia versi OECD http://edupost.id/internasional/pendidikan-indonesia-berada-di-peringkat-ke-57-dunia-versi-oecd/ (diakses 19.30, 19 Maret 2017) Daftar SMP MTS Terbaik di 34 Provinsi Indonesia Berdasarkan Hasil Nilai Tertinggi UN Kemendikbud Terbaru http://www.websitependidikan.com/2016/06/daftar-smp-mts-terbaik-di-34-provinsi-indonesia- berdasarkan-hasil-nilai-tertinggi-un-kemdikbud-terbaru.html?m=1 (diakses 15.20, 22 Maret 2017) 9