FENOMENA PENCALEGAN DI KALANGAN ARTIS Oleh : Dedet Erawati e-mail : [email protected] Universitas Padjdjaran Politik sejatinya adalah cara untuk mencapai kekuasaan yang dilandasi oleh semangat pengabdian perjuangan dalam mewujudkan kebaikan umum. Hal inilah yang kemudian menjadi ruh dari politik itu sendiri, yakni sebuah perjuangan untuk mencapai kepentingan umum. Tidak terasa sudah 15 tahun sejak rezim Soeharto diruntuhkan, demokrasi di Indonesia benar-benar di jalankan. Tentunya terdapat perbedaan sistem pemilihan kepala negara, daerah, dan anggota legislatifnya. Oleh karena itu diperlukannya pendidikan politik yang baik agar pelaku serta partisipan dari pemilihan tersebut dapat bersikap dewasa Tidak terasa 1 tahun lagi kita akan menyambut pemilihan umum. Kondisi tersebut bisa kita rasakan dimulai dari tahun 2013 ini. Tahun 2013 sering disebut sebagai tahun politik. Pernyataan tersebut sangatlah beralasan mengingat kurang dari satu tahun lagi, Indonesia akan menggelar pesta akbar demokrasi yakni pemilihan umum 2014.. Tentunya dalam kesempatan tersebut masyarakat Indonesia akan memilih wakil-wakil mereka yang akan duduk di legislatif baik tingkat kabupaten, provinsi, hingga pusat selain itu juga berkesempatan untuk memilih langsung kepala negara yang akan memimpin negara Indonesia lima tahun ke depan. Fenomena yang dapat kita jumpai akhir-akhir ini, dimana sudah banyak baligho-baligho, spanduk, serta papan iklan yang telah memuat fotofoto dari para calon tersebut. Bukan hanya mengiklankan dirinya saja melalui media-media tersebut, tetapi para calon tersebut telah melakukan kegiatan-kegiatan kampanye tidak resmi di lingkungan sekitar mereka. Banyak sekali kegiatan-kegiatan tersebut kita jumpai, seperti : pengobatan gratis, bagi-bagi uang, hingga hal-hal sosial lainnya. Kegiatan-kegiatan yang telah dijabarkan di atas, dilakukan para calon tersebut bertujuan untuk memunculkan citra positif pada diri mereka. Para calon tersebut, beranggapan jika masyarakat menilai citra mereka positif maka semakin memudahkan para calon menang dalam PEMILU 2014. Hal yang penulis amati disini adalah partai politik sudah berbondong-bondong mendaftakan bakal calon legislatifnya untuk “siap tempur” pada pemilu 2014 mendatang. Para politisi yang sudah terdaftar sebagai calegpun sudah memulai mempersiapkan diri secara mental maupun materi untuk bertarung dikancah perpolitikan tanah air. Akhir-akhir ini kita melihat banyaknya banyak artis yang maju sebagai calon anggota legislatif. Sesungguhnya bukan keberadaan artisnya yang menjadi masalah, tetapi dijadikannya artis sebagai alat oleh partai politik untuk memperoleh kursi, hal itulah yang menjadi masalah. Partai politik menjadikan artis sebagai jawaban atas permintaan masyarakat yang telah bosan dan apatis terhadap politisipolitisi lama dan menginginkan wajah-wajah baru. Sehingga tentunya terlintas di benak pikiran kita, apakah caleg yang berasal dari kalangan artis itu memiliki kemampuan atau kualitas yang baik untuk dijadikan perwakilan suara rakyat yang dapat memperjuangkan aspirasi suara rakyat. Tampaknya, menjelang pemilu 2014, para artis akan lebih banyak jadi incaran partai politik, apalagi tensi persaingan antar partai dalam meraup suara semakin tinggi. Untuk memuluskan kompetisi tersebut, ada parpol yang sengaja memperlebar ruang buat artis untuk dijadikan sebagai calon legislatif. Melihat kegencaran parpol dalam hal rekruitmen kalangan artis, diperkirakan akan banyak artis mengikuti proses polititasi yang dilakukan parpol, dalam rangka mentranformasi artis jadi politisi senayan. Dan belakangan ini rekrutman calon legislatif dari kalangan artis untuk dicalonkan pada pemilu 2014, tampaknya akan lebih besar volumenya. Sejumlah partai berkompetisi melakukan pantauan terhadap figur-figur artis. Latar belakangnya dan dasar pemikirannya juga tak berbeda seperti saat pencalonan kalangan artis pada pemilu 2009 lalu. Substansi pertimbangannya adalah tingginya nilai popularitas figur artis untuk bisa dijual ke publik. Memang tak ada salahnya jika parpol dinilai mempolitisasi artis untuk dijadikan politisi, dan tak ada pula aturan yang melarang artis jadi politisi, meskipun ada sejumlah kalangan yang menolak artis sebagai calon legislatif. Secara konstitusional, setiap warga negara berhak untuk ikut terlibat dalam kegiatan politik. Demikian halnya dengan kalangan artis yang notabene mereka juga warga negara biasa. Sehingga tidak ada yang dapat melarang seorang artis untuk ikut terlibat dalam dunia politik. Pertanyaan yang kemudian mucul adalah layakkah seorang artis menjadi anggota legislatif?. Pertanyaan itu muncul mengingat seorang artis lebih identik dengan kehidupan yang glamor dan hura-hura sehingga dirasa tidak memiliki kemampuan untuk menjadi anggota legislatif. Sering kali juga seorang artis dianggap hanya mengandalkan sisi popularitas yang tinggi dan kadang kurang memiliki kapasitas maupun kapabilitas yang mumpuni untuk mencalonkan diri sebagai caleg. Faktor itulah yang yang membuat seorang artis yang ingin mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif terkesan hanya aji mumpung. Idealnya siapapun anggota dewan legislatif yang kelak terpilih, orang tersebut haruslah memiliki kapasitas serta kemampuan untuk mengemban amanah dari rakyat. Tidak hanya mengandalkan faktor terkenal atau popularitas semata. Tetapi lebih ditekankan kepada kemampuannya membangun negara dengan mewujudkan aspirasi serta kesejahteraan rakyat. Partai-partai politik di Indonesia tentunya memiliki alasan dari penunjukkan artis sebagai caleg tersebut. Beragam alasan yang dikemukakan oleh partai tersebut, seperti : kualitas yang dimiliki oleh artis yang nyaleg, memberikan kesempatan bagi siapapun warga negara Indonesia untuk mencalonkan dirinya sebagai anggota legislatif, dan masih banyak alasan lainnya. Tetapi, apakah hanya alasan itu saja tidak ada alasan terselubung dari penunjukkan tersebut? Banyak stereotipe masyarakat kita yang menarik kesimpulan bahwa partai-partai politik menunjuk artis sebagai calon legislatif bertujuan untuk meningkatkan popularitas partai politik tersebut dengan menjadikan artis tersebut sebagai vote gatter (pengumpul suara). Hal tersebut diamini oleh pernyataan dari Syamsudin Haris, pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menegaskan, meningkatnya jumlah artis yang maju sebagai caleg di berbagai partai politik menunjukan fenomena kegagalan kaderisasi dan kepemimpinan parpol. "Ini menunjukkan bahwa parpol tidak siap berdemokrasi dengan sehat, karena gagal melaksanakan kaderisasi," tuturnya. Sudah bukan rahasia lagi, dia melanjutkan, saat ini hampir seluruh partai Politik berebut meminang artis sebagai caleg. Tujuannya tentu saja sebagai penarik minat masyarakat untuk memilih partai yang bersangkutan. Kegagalan proses kaderisasi di lingkungan partai politik yang membawa dampak negatif ganda. Rekrutmen para artis menjadi caleg berarti memotong mata rantai proses kaderisasi internal partai politik. Hal ini akan menutup peluang para kader yang sejak awal merintis dan menekuni kerja-kerja kepartaian di tingkat akar rumput. Jika kader-kader partai politik terhalang melakukan mobilitas vertikal, maka akan melemahkan kerja-kerja kepartaian karena mereka merasa tak mendapat penghargaan semestinya. Dalam jangka panjang hal ini dapat memicu proses pelapukan internal, mengingat kader-kader partai politik yang jauh lebih menghayati ideology dan memahami cita-cita perjuangan partai politik justru tersisih atau dikalahkan oleh para artis yang mendapat privilege menjadi caleg. Dalam konteks ini, partai politik tak bisa lagi dijadikan sebagai sumber rekrutmen kepemimpinan nasional karena tak mampu melakukan proses kaderisasi secara konsisten, berjenjang, dan terstruktur. Hal yang tidak kalah penting adalah membekalkan caleg dari kalangan artis tersebut dengan pengetahuan di bidang organisasi, ekonomi, dan hukum agar tidak kalah dengan caleg dari kalangan masyarakat non-artis. Karena bidang-bidang tersebut merupakan bidang yang mendasar yang harus dikuasai oleh caleg dari kalangan manapun. Jika, hal itu tidak dikuasai bagaimana mereka para anggota legislatif yang dapat mewakili kurang lebih suara 189 juta rakyat Indonesia. Negara bukanlah suatu tempat latihan untuk para caleg tersebut ketika sudah terpilih, karena negara ini sudah memiliki permasalahan yang kompleks sehingga tentu saja dibutuhkan anggota-anggota legislatif yang cakap untuk menyelesaikan permasalahan ini. Selain kegagalan kaderisasi anggota partai terdapat alasan lain, yaitu sikap pragmatis ketika partai politik berharap dapat mengumpulkan suara dalam jumlah banyak dengan menempuh cara termudah. Salah satu fungsi utama partai politik sebagai mesin politik dalam proses elektoral adalah mobilisasi konstituen dengan membujuk dan meyakinkan pemilih agar bersedia menyalurkan aspirasi dan memberikan suara ke partai politik bersangkutan atas dasar visi, agenda, dan program yang cocok dengan aspirasi mereka. Namun, partai politik gagal menjalankan fungsi elementer ini sehingga mengambil jalan pragmatis dengan merekrut para artis yang menjadi idola masyarakat. Kita tak memungkiri, artis nyaleg merupakan hak politik pribadi masing-masing. Meski begitu, kita pun punya hak untuk mengkritisi penggunaan hak politik tersebut. Hal tersebut diamini oleh Kalau sejak awal caleg tak punya komitmen kuat bekerja untuk kesejahteraan rakyat, niscaya takkan membawa kemaslahatan bagi rakyat yang diwakilinya. Contoh kasus yang masih hangat adalah kasus korupsi yang membelit selebriti Angelina Sondakh alias Angie menjadi preseden buruk bagi anggota dewan yang mengkhianati amanat rakyat. Semua orang tak meragukan popularitas Angie, namun tak bisa menjamin kualitasnya untuk mengabdi kepada rakyat. Bahkan sebaliknya, memanfaatkan popularitas untuk kepentingan pribadi. Diakui, masyarakat kita makin kritis, sehingga bisa memilih mana caleg yang benar-benar berkualitas dan mana yang hanya menjual popularitas, atau artis-artis 'petualang' yang mencoba mencari peruntungan. Memang antara partai dan artis tersebut adanya simbiosis mutualisme yang saling menguntungkan satu dengan lainnya. Partai dapat dengan mudah diuntungkan untuk memperoleh suara banyak melalui caleg artis tersebut. Sebaliknya bagi artis mendapat ruang bisnis baru yaitu disamping sebagai artis di media juga bisnis yang berhubungan dengan dunia politik. Namun idealisme ini bisa tergoyahkan ketika berhadapan dengan permainan uang. Money politiK inilah yang mengotori demokrasi. Ya, praktik politik tercela ini telah mengotori kehidupan demokrasi di Indonesia. Kita tentu sepakat politikus yang menggunakan segala cara, termasuk permainan uang, dalam meraih tujuan, bisa digolongkan sebagai “politikus busuk”. Kita tak sepenuhnya menentang artis nyaleg. Sebab, meski jumlahnya tak banyak, ada artis yang punya kapasitas dan kualitas membawa perubahan di negeri. Pada bulan april 2013, media cetak Kedaulatan Rakyat mengadakan survei mengenai tingkat kepercayaan masyarakat terhadap artis yang sedang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Berikut ini, hasil dari survei tersebut 68,5 persen responden tidak percaya artis nyaleg membawa aspirasi rakyat. Dari 216 responden itu, hanya 11,1 persen yang menjawab artis mampu membawa aspirasi rakyat, dan sisanya (20,4 persen) menyatakan abstain. Hasil survei yang telah digambarkan di atas memperlihatkan bahwa tak mudah mempercayakan lembaga legislatif di tangan artis. Banyak faktor jadi penyebab, misalnya gaya hidup artis yang glamor, kehidupan rumah tangga artis yang berantakan, lebih mementingkan keartisan atau popularitas pribadi ketimbang rakyat serta kapasitas yang belum teruji. Kita memang harus fair menilai fenomena artis nyaleg. Pepatah bijak jangan memilih kucing dalam karung, kiranya tepat diterapkan. Janganlah berspekulasi memilih wakil rakyat kalau belum tahu kapasitasnya. . Sebenarnya alangkah lebih baiknya lagi kalau artis yang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif hendaknya terlebuh dahulu mencari nama di mata masyarakat. Memang artisartis tersebut sudah memiliki nama di dunia ke artisannya, tetapi untuk dapat mewakili suara rakyat diperlukan adanya wujud nyata kepada masyarakat. Sangat baik, bila sebelum mencalonkan diri mereka terlebih dahulu memberikan prestasi melalui kontribusi membangun daerah mereka minimal di daerah pemilihan mereka. Banyak cara sebenarnya jika artis-artis tersebut itu ingin berkontribusi, salah satu contohnya adalah jadilah artis yang dikenal dengan karyanya bukan karena sensasinya. Sebagai gambaran saja banyak sebenarnya seniman-seniman yang memperkenalkan budaya daerah mereka untuk ditampilkan pada skala nasional dan internasional. Hal itu sebenarnya sangat sederhana, tetapi efeknya bisa dirasakan oleh masyarakat. Tetapi yang sangat disayangkan kontribusi yang mereka lakukan hanya sebatas kegiatan-kegiatan seremonial saja dan hanya dilakukan mendekati pemilihan umum tersebut saja. Tentunya bukan perkara mudah untuk memenangkan artis tersebut dalam pencalonannya, maka diperlukannya strategi-strategi khusus yang dilakukan partai-partai politik tersebut. Dalam tulisan ini saya mengangkat dua strategi yang dilakukan partai politik untuk menenangkan caleg arti tersebut, yaitu : iklan politik dan konsep dramaturgi yang disematkan oleh artis. Untuk menciptakan kesan yang baik pada diri caleg artis tersebut, maka diperlukannya sebuah iklan politik yang semakin menunjang mereka agar citra diri caleg tersebut semakin baik. Iklan politik merupakan suatu bentuk pemasaran politik, yang biasanya disajikan secara berulang-ulang, akan dapat menarik perhatian orang. Menurut Jalaludin Rakmat, apabila suatu hal disajikan secara berulang-ulang akan dapat menarik perhatian dan akhirnya mempengaruhi bawah sadar seseorang. Selain itu, Wells, Burnett & Moriarty (2000) menyatakan bahwa seseorang butuh untuk mendengar atau melihat sesuatu minimal tiga kali sebelum hal yang didengar atau dilihat menempel dalam memori seseorang. Informasi yang berasal dari terpaan iklan dan perasaanperasaan yang terbentuk daripadanya dapat mempengaruhi sikap terhadap obyek iklan dan akhirnya dapat mempengaruhi tindakan khalayak. Terkait penggunaaan iklan politik peneliti memiliki data biaya iklan politik, data AC Nielsen menunjukkan bahwa belanja iklan 41 partai politik pada Pemilu tahun 1999 mencapai Rp. 35,6 milyar dengan total dana kampanye partai politik dalam Pemilu tahun 1999 berdasarkan iklan yang ditayangkan dari 10 partai politik yang paling besar mengalokasikan dana adalah Rp.34,0 milyar. Sedangkan pada Pemilu 2004, penggunaan strategi periklanan dalam kampanye politik makin semarak. Belanja iklan nasional partai politik mengalami peningkatan yang signifikan. hasil riset Nielsen Media Research (NMR) periode Maret 2004 menunjukkan bahwa total belanja iklan partai politik mencapai Rp. 112,2 milyar. Untuk Pemilu tahun 2009, total belanja iklan partai politik peserta Pemilu diperkirakan naik menjadi sekitar Rp 2 triliun. Semakin ketatnya aturan bagi partai politik yaitu dengan adanya aturan parliamentary threshold dan electoral threshold berdasarkan UU No.10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Pasal 202 ayat 1, diyakini semakin membuat belanja iklan partai politik melonjak tajam. Dengan iklan mereka tak hanya dapat melakukan perjumpaan dengan rakyat Indonesia yang terlampau banyak itu, namun dengan iklan mereka mampu memanipulasi diri agar tampak baik dan mengagumkan. Agaknya sebab itu pula, dalam penampilan mereka di iklan-iklan, para politisi itu tak menjual programnya, tapi bagaimana menampilakan citra yang baik, dalam durasi beberapa menit. Pesan-pesan politiknya dibuat sesingkat mungkin, supaya dapat mempengaruhi kesadaran para pemilih yang mengambil kesimpulan berdasar low information rationality. Sementara itu, terkait dengan kebijakan sebagian partai politik yang menetapkan calon legislatif dari kalangan artis, banyak yang meyakini bahwa hal tersebut adalah upaya partai politik memanfaatkan popularitas yang bersangkutan untuk mendongkrak perolehan suara partai tersebut. Sejak Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa suara terbanyak menjadi dasar penetapan anggota legislatif, maka tak ayal lagi kalau popularitas dari calon yang diusung merupakan salah satu modal terbesar untuk meraup suara. Strategi khusus yang kedua adalah strategi yang dibalut dengan konsep dramaturgi. Menarik, jika kita amati bahwa strategi tersebut sering dibalut dengan konsep dramaturgi dari artis tersebut. Dimana artis tersebut sangat piawai memainkan perannya sebagai calon legislatif sehingga dapat meyakinkan masyarakat untuk memilih mereka. Dalam tulisan ini, saya akan mengkaitkan fenomena pencalegan artis dengan konsep pendekatan dramaturgi yang dibahas oleh Erving Goffman. Mengapa penulis memilih pendekatan dramaturgi Erving Goffman karena pendekatan ini menggambarkan bagaimana seseorang memainkan peran sosialnya sehingga menimbulkan citra diri yang dipengaruhi oleh lingkungan luar. Sebelum terlampau jauh untuk mengetahui apa yang dinamakan konsep dramaturgi, alangkah lebih baiknya kita membahas mengenai sejarahnya terlebih dahulu. Konsep dramaturgi dimulai pada tahun 1945 oleh pria bernama Kenneth Duva Burke (Mei 5, 1897 – November 19, 1993) seorang teoritis literatur Amerika dan filosof memperkenalkan konsep dramatisme sebagai metode untuk memahami fungsi sosial dari bahasa dan drama sebagai pentas simbolik kata dan kehidupan sosial. Tujuan Dramatisme adalah memberikan penjelasan logis untuk memahami motif tindakan manusia, atau kenapa manusia melakukan apa yang mereka lakukan (Fox, 2002).Dramatisme memperlihatkan bahasa sebagai model tindakan simbolik ketimbang model pengetahuan (Burke, 1978). Pandangan Burke adalah bahwa “hidup bukan seperti drama, tapi hidup itu sendiri adalah drama”. 1959: The Presentation of Self in Everyday Life Tertarik dengan teori dramatisme Burke, Erving Goffman (11 Juni 1922 – 19 November 1982), seorang sosiolog interaksionis dan penulis, memperdalam kajian dramatisme tersebut dan menyempurnakannya dalam bukunya yang kemudian terkenal sebagai salah satu sumbangan terbesar bagi teori ilmu sosial The Presentation of Self in Everyday Life. Dalam buku ini Goffman yang mendalami fenomena interaksi simbolik mengemukakan kajian mendalam mengenai konsep Dramaturgi. Istilah Dramaturgi kental dengan pengaruh drama atau teater atau pertunjukan fiksi diatas panggung dimana seorang aktor memainkan karakter manusia-manusia yang lain sehingga penonton dapat memperoleh gambaran kehidupan dari tokoh tersebut dan mampu mengikuti alur cerita dari drama yang disajikan. Meski benar, dramaturgi juga digunakan dalam istilah teater namun term dan karakteristiknya berbeda dengan dramaturgi yang akan kita pelajari. Dramaturgi dari istilah teater dipopulerkan oleh Aristoteles. Sekitar tahun 350 SM, Aristoteles, seorang filosof asal Yunani, menelurkan, Poetics, hasil pemikirannya yang sampai sekarang masih dianggap sebagai buku acuan bagi dunia teater. Dalam Poetics, Aristoteles menjabarkan penelitiannya tentang penampilan/drama-drama berakhir tragedi/tragis ataupun kisah-kisah komedi. Untuk menghasilkan Poetics Aristoteles meneliti hampir seluruh karya penulis Yunani pada masanya. Kisah tragis merupakan obyek penelitian utamanya dan dalam Poetic juga Aristoteles menyanjung Kisah Oedipus Rex, sebagai kisah drama yang paling dapat diperhitungkan. Meskipun Aristoteles mengatakan bahwa drama merupakan bagian dari puisi, namun Aristoteles bekerja secara utuh menganalisa drama secara keseluruhan. Bukan hanya dari segi naskahnya saja tapi juga menganalisa hubungan antara karakter dan akting, dialog, plot dan cerita. Bila Aristoteles mengungkapkan Dramaturgi dalam artian seni. Maka, Goffman mendalami dramaturgi dari segi sosiologi. Seperti yang kita ketahui, Goffman memperkenalkan dramaturgi pertama kali dalam kajian sosial psikologis dan sosiologi melalui bukunya, The Presentation of Self In Everyday Life. Buku tersebut menggali segala macam perilaku interaksi yang kita lakukan dalam pertunjukan kehidupan kita sehari-hari yang menampilkan diri kita sendiri dalam cara yang sama dengan cara seorang aktor menampilkan karakter orang lain dalam sebuah pertunjukan drama. Cara yang sama ini berarti mengacu kepada kesamaan yang berarti ada pertunjukan yang ditampilkan. Bila Aristoteles mengacu kepada teater maka Goffman mengacu pada pertunjukan sosiologi. Pertunjukan yang terjadi di masyarakat untuk memberi kesan yang baik untuk mencapai tujuan. Tujuan dari presentasi dari Diri – Goffman ini adalah penerimaan penonton akan manipulasi. Bila seorang aktor berhasil, maka penonton akan melihat aktor sesuai sudut yang memang ingin diperlihatkan oleh aktor tersebut. Aktor akan semakin mudah untuk membawa penonton untuk mencapai tujuan dari pertunjukan tersebut. Ini dapat dikatakan sebagai bentuk lain dari komunikasi. Kenapa komunikasi? Karena komunikasi sebenarnya adalah alat untuk mencapai tujuan. Bila dalam komunikasi konvensional manusia berbicara tentang bagaimana memaksimalkan indera verbal dan non-verbal untuk mencapai tujuan akhir komunikasi, agar orang lain mengikuti kemauan kita. Maka dalam dramaturgis, yang diperhitungkan adalah konsep menyeluruh bagaimana kita menghayati peran sehingga dapat memberikan feedback sesuai yang kita mau. Perlu diingat, dramatugis mempelajari konteks dari perilaku manusia dalam mencapai tujuannya dan bukan untuk mempelajari hasil dari perilakunya tersebut. Dramaturgi memahami bahwa dalam interaksi antar manusia ada “kesepakatan” perilaku yang disetujui yang dapat mengantarkan kepada tujuan akhir dari maksud interaksi sosial tersebut. Bermain peran merupakan salah satu alat yang dapat mengacu kepada tercapainya kesepakatan tersebut. Bukti nyata bahwa terjadi permainan peran dalam kehidupan manusia dapat dilihat pada masyarakat kita sendiri. Manusia menciptakan sebuah mekanisme tersendiri, dimana dengan permainan peran tersebut ia bisa tampil sebagai sosoksosok tertentu. Teori dramaturgi menjelaskan bahwa identitas manusia adalah tidak stabil dan merupakan setiap identitas tersebut merupakan bagian kejiwaan psikologi yang mandiri. Identitas manusia bisa saja berubah-ubah tergantung dari interaksi dengan orang lain. Disinilah dramaturgis masuk, bagaimana kita menguasai interaksi tersebut. Dalam dramaturgis, interaksi sosial dimaknai sama dengan pertunjukan teater. Manusia adalah aktor yang berusaha untuk menggabungkan karakteristik personal dan tujuan kepada orang lain melalui “pertunjukan dramanya sendiri”. Dalam mencapai tujuannya tersebut, menurut konsep dramaturgis, manusia akan mengembangkan perilaku-perilaku yang mendukung perannya tersebut. Selayaknya pertunjukan drama, seorang aktor drama kehidupan juga harus mempersiapkan kelengkapan pertunjukan. Kelengkapan ini antara lain memperhitungkan setting, kostum, penggunakan kata (dialog) dan tindakan non verbal lain, hal ini tentunya bertujuan untuk meninggalkan kesan yang baik pada lawan interaksi dan memuluskan jalan mencapai tujuan. Oleh Goffman, tindakan diatas disebut dalam istilah “impression management”. Goffman juga melihat bahwa ada perbedaan akting yang besar saat aktor berada di atas panggung (front stage) dan di belakang panggung (back stage) drama kehidupan. Kondisi akting di front stage adalah adanya penonton (yang melihat kita) dan kita sedang berada dalam bagian pertunjukan. Saat itu kita berusaha untuk memainkan peran kita sebaik-baiknya agar penonton memahami tujuan dari perilaku kita. Perilaku kita dibatasi oleh oleh konsep-konsep drama yang bertujuan untuk membuat drama yang berhasil (lihat unsur-unsur tersebut pada impression management diatas). Sedangkan back stage adalah keadaan dimana kita berada di belakang panggung, dengan kondisi bahwa tidak ada penonton. Sehingga kita dapat berperilaku bebas tanpa mempedulikan plot perilaku bagaimana yang harus kita bawakan Menurut Goffman, Identitas manusia bisa saja berubah-ubah tergantung dari interaksi dengan orang lain. Disinilah dramaturgis masuk, bagaimana kita menguasai interaksi tersebut. Dalam dramaturgis, interaksi sosial dimaknai sama dengan pertunjukan teater. Manusia adalah aktor yang berusaha untuk menggabungkan karakteristik personal dan tujuan kepada orang lain melalui “pertunjukan dramanya sendiri”. Dalam mencapai tujuannya tersebut, menurut konsep dramaturgis, manusia akan mengembangkan perilaku-perilaku yang mendukung perannya tersebut. Selayaknya pertunjukan drama, seorang aktor drama kehidupan juga harus mempersiapkan kelengkapan pertunjukan. Kelengkapan ini antara lain memperhitungkan setting, kostum, penggunakan kata (dialog) dan tindakan non verbal lain, hal ini tentunya bertujuan untuk meninggalkan kesan yang baik pada lawan interaksi dan memuluskan jalan mencapai tujuan. Oleh Goffman, tindakan diatas disebut dalam istilah “impression management”. Goffman juga melihat bahwa ada perbedaan akting yang besar saat aktor berada di atas panggung (“front stage”) dan di belakang panggung (“back stage”) drama kehidupan. Kondisi akting di front stage adalah adanya penonton (yang melihat kita) dan kita sedang berada dalam bagian pertunjukan. Saat itu kita berusaha untuk memainkan peran kita sebaik-baiknya agar penonton memahami tujuan dari perilaku kita. Perilaku kita dibatasi oleh oleh konsep-konsep drama yang bertujuan untuk membuat drama yang berhasil (lihat unsur-unsur tersebut pada impression management diatas). Sedangkan back stage adalah keadaan dimana kita berada di belakang panggung, dengan kondisi bahwa tidak ada penonton. Sehingga kita dapat berperilaku bebas tanpa mempedulikan plot perilaku bagaimana yang harus kita bawakan. Konsep yang dikemukakan oleh Erving Goffman ini sebenarnya hampir sama dengan konsep diri yang dikemukakan oleh Herbert Mead. Meskipun hampir sama, tetap saja ada perbedaannya. Jika Mead menganggap diri pada dasarnya bersifat sosial, sedangkan menurut Goffman bukan seperti itu. Bagi Goffman, individu tidak sekadar mengambil peran orang lain, melainkan bergantung pada orang lain untuk melengkapkan citra diri tersebut. Kontras dengan konsep diri dari Mead, yang stabil dan sinambung selagi membentuk dan dibentuk masyarakat berdasarkan basis jangka panjang, diri dari Goffman jelas bersifat temporer dalam arti bahwa diri tersebut berjangka pendek, bermain peran karena selalu dituntut oleh peran-peran sosial yang berlainan yang interaksinya dengan masyarakat langsung dalam episode-episode pendek. Orang lain dalam interaksi itulah yang turut mengisi dan terkadang membentuk gambaran diri melalui perlakuan mereka terhadap individu. Bila kita kaitkan dengan fenomena pencalegan artis dimana kita bisa melihat bagaimana artis-artis tersebut berlomba-lomba untuk menarik simpati kepada masyarakat dengan cara merubah tampilan atau cara bertutur kata mereka. Hal itu sangat sesuai dengan konsep diri yang di bahas Erving Goffman. Karena dengan cara mereka sering berinteraksi dengan masyarakat, maka masyarakat akan simpati terhadap mereka dan hal itu tentu saja akan berpengaruh pada sikap masyarakat untuk memilih mereka sebagai anggota legislative dan menimbulkan citra yang positif. Membangun citra diri yang positif dimata masyarakat dengan investasi pencitraan sedini mungkin layak dipertimbangkan setiap bakal calon anggota legislatif sebelum mereka memutuskan ikut berkompetisi di pemilu agar nantinya tidak membuang-buang duit saat kampanye nanti. Untuk membangun citra bukanlah hal yang mudah membutuhkan proses lama agar dapat dikenal masyarakat. Agar dapat dipilih masyarakat bukanlah sekedar jualan pada saat kampanye saja karena waktunya hanya sebentar, paling penting disini bagaimana membangun citra yang positif di mata masyarakat. Mengingat pentingnya untuk menjaga citra tersebut, karena bisa saja citra yang sudah dibangun dengan susah payah, dalam sekejap hancur karena kelakuan kita sendiri. Hal tersebut seperti, cerai akibat selingkuh atau kedapatan di kamar hotel merupakan salah satu contoh yang membuat citra positif yang sudah capek-capek dibangun hancur berantakan. Oleh karena itu pembangunan citra diri melalui interaksi dengan lingkungan sekitar hendaknya dibangun serta dijaga dengan baik oleh para calon legislatif tersebut dari kalangan artis Bagi Goffman, diri bukanlah sesuatu yang dimiliki individu, melainkan yang dipinjamkan orang lain kepadanya. Pandangan Goffman terhadap realitas kehidupan manusia jelas menunjukkan kedekatannya dengan interaksionisme simbolik mazhab Chicago daripada mazhab Iowa. Presentasi diri, seperti yang ditunjukkan Goffman bertujuan memproduksi definisi situasi dan identitas sosial bagi para aktor dan definisi situasi tersebut mempengaruhi ragam interaksi yang layak dan tidak layak bagi para aktor dalam situasi yang ada. Dalam perspektif dramaturgi, Goffman mengasumsikan bahwa ketika orang-orang berinteraksi, mereka ingin menyajikan suatu gambaran diri yang akan diterima orang lain. Ia menyebut upaya itu sebagai pengelolaan kesan (impression management), yakni teknik-teknik yang digunakan oleh caleg dari kalangan artis khususnya pada tulisan ini untuk memupuk kesan-kesan tertentu dalam situasi tertentu untuk mencapai tujuan tertentu. Menurut Goffman, untuk mencapai tujuan tertentu, maka seseorang akan menampilkan beberapa hal untuk menampilkan dirinya, seperti : cara berpakaian, tempat tinggal, cara berjalan, cara berbicara, dan hal lainnya yang berhubungan dengan penampilan diri. Contoh cara berpakaian bisa kita lihat dari contoh yang nyata yaitu, belum lama ini Angel Lelga caleg wanita dari partai PKB ini merubah cara berpakaiannya sekarang ia menggunakan hijab. Terdapat suara sumbang mengenai perubahan cara berpakaian tersebut, ada yang berkomentar kalau apa yang dilakukan oleh Angel Lelga tersebut adalah sebuah pencitraan belaka agar masyarakat simpatik untuk memilih dia. Tetapi terlepas dari masalah pencitraan atau tidaknya bila kita kaitkan dengan konsep dramaturgi ini, apa yang dilakukan oleh Angel Lelga ini bisa dikatakan sebagai sarana untuk menampilkan dirinya dengan kesan yang positif. Karena kita lihat anggapan masyarakat bila wanita yang berhijab memiliki kepribadian serta ketaatan pada agama yang baik. Selain itu ada contoh lagi yang menggambarkan pemakaian konsep dramaturgi dalam kegiatan kampanye. Seperti, konsep dramaturgi diatas sangat cocok untuk mencitrakan Indonesia pada saat ini tepatnya setelah selesainya pemilu legislatif dan menjelang berlangsungnya pemilu presiden pada juni mendatang atau lebih tepatnya ketika bangsa ini sedang berada pada masa kampanye. Fenomena permainan peran di musim kampanye bergulir kian kencang sejak Jusuf Kalla (JK) dan Partai Golkar melakukan serangkaian manuver. Sebuah pola bermain drama yang mencoba memalingkan perhatian khalayak pada sosok JK dan partai beringin sebagai representasi “kekuatan penting” yang siap menggandeng atau digandeng oleh kekuatan politik mana pun. Kita masih ingat di Pemilu 1999, Golkar babak belur di serang habis-habisan oleh berbagai pihak. Tak lama berselang, Golkar pun kembali ke jalur kemenangan di Pemilu 2004 dan bisa jadi akan kian kokoh di Pemilu kali ini. Terutama, jika pola bermain “dari kaki ke kaki “yang diterapkan JK tak mampu dibaca dan dihentikan oleh kekuatan politik lain. Inilah yang menurut kami contoh paling menarik dan paling aktual dari sebuah peran di panggung depan (front stage) pentas drama politik kita. Sebuah ranah bermain peran yang menuntut aktor melakukan serangkaian tindakan yang telah diskenariokan. Artinya, tindakan yang telah diatur guna memalingkan perhatian khalayak akan peran yang sedang dipentaskan. Berbeda dengan back stage yang memungkinkan orang bebas dan semaunya berbuat, panggung depan menuntut konsistensi dan penghayatan yang terukur serta matang. Beda lagi dengan apa yang dilakukan oleh Fauzi Bowo atau yang di akarab disapa Foke. perubahan karakter Foke yang sebelumnya ceplas-ceplos, emosional, terkesan arogan, elitis, dan kawan-kawan. Justru di pilgub kali inilah karakteristik Foke mengalami perubahan yang sangat drastis 180 derajat yaitu sosok Foke yang terlihat kalem, sabar, santun, dan sifat-sifat baik yang selama ini kesannya jauh dari seorang Foke. Perubahan ini memang belum bisa memenangkannya namun jika dianalisis perubahan-perubahan karakter ini sangat menarik untuk dicermati karena kebanyakan para kandidat pemimpin di Indonesia dan mungkin di dunia ketika membutuhkan dukungan dari rakyat terutama ketika pemilu seolah-olah mereka menjadi pribadi yang sangat baik dan dekat dengan rakyat bahkan bisa dikatakan pada waktu kampanye mereka bisa berubah bagaikan seorang malaikat yang mendengarkan keluh kesah masyarakat dan begitu banyak mengumbar janji-janji manis pada masyarakat. Mungkin inilah yang disebut konsep dramaturgi Erving Gofmann yaitu antara front stage dan Back Stage bisa selaras dan bahkan justru keduanya saling bertolak belakang. Perlu dicermati, semenjak pilgub DKI Jakarta berakhir dan menghasilkan sosok JokowiAhok sebagai pemenang. Pemberitaan mengenai Foke di media massa, baik cetak, televisi maupun online justru semakin banyak dan semakin membawa simpati dan pencitraan yang baik bagi Foke. Bahkan beberapa komentar dari tokoh-tokoh elit dan masyarakat menyebutkan bahwa Foke adalah sosok yang Gentlemen dan Negarawan. Hal ini muncul karena sikap Foke yang secara legowo menerima hasil keputusan KPUD DKI Jakarta yang memutuskan bahwa Foke kalah dalam pilgub DKI Jakarta. Padahal kebanyakan fenomena yang berkembang di berbagai daerah Indonesia adalah setelah pilkada berakhir selalu muncul gugatan-gugatan ke MK ataupun lembaga hukum lainnya. Namun hal yang berbeda justru terjadi pada Foke, ia justru secara gentleman mengucapkan selamat kepada Jokowi bahkan Foke mau membantu Jokowi untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ada di Ibukota ini. Fenomena ini tak pelak menimbulkan kegemparan di masyarakat dan dunia pers maka tak mengherankan nama Foke-pun sempat menjadi headline news di beberapa media massa. Sebenarnya jika fenomena ini dianalisis dengan pendekatan yang berbeda. Bisa jadi ini bukan murni dari hati Foke dan bisa jadi merupakan bentuk strategi Foke atau bahkan partai di mana Foke bernaung (Partai Demokrat) untuk membentuk dan mengubah citra Foke di publik. Memang langkah Foke tersebut terbukti lumayan ampuh dan berhasil untuk membentuk opini publik mengenai citra Foke yang saat ini identik dengan sosok yang Gentleman dan Negarawan. Padahal sebelumnya ketika Foke menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta sosok Foke identik dengan sosok yang Arogan dan bahkan sering terlibat konfrontasi dengan media massa. Perubahan citra Foke ini tak pelak bisa dikaitkan dengan bursa Capres dan Cawapres RI 2014 nanti, walaupun analisis ini terkesan mengada-ada namun sebenarnya beberapa kabar sudah beredar mengenai isu tentang kursi cawapres bisa jadi merupakan target dari Foke selanjutnya. Hal ini bisa saja terealisasi, karena toh! Berdasarkan hasil survei berbagai lembaga survei di Indonesia menunjukkan bahwa rakyat Indonesia masih kebingungan dan belum menemukan sosok yang tepat untuk mengisi kursi presiden dan wakil presiden. Bisa jadi langkah yang dilakukan Foke sekarang ini yang dengan mudah ‘mengikhlaskan’ kursi gubernur DKI Jakarta merupakan bentuk strategi dari Foke untuk mendapatkan posisi yang lebih prestise dari jabatan gubernur DKI Jakarta. Jika dihitung-hitung posisi wakil presiden merupakan posisi yang sangat mungkin untuk Foke dapatkan. Karena untuk jabatan presiden rasa-rasanya masih sulit untuk Foke raih apalagi Foke saat ini bernaung di Partai Demokrat yang notabene tidak menyinggung nama Foke untuk calon presiden selanjutnya. Namun dunia politik adalah dunia yang dapat begitu gampang berubah dan sangat mungkin menimbulkan kejutan-kejutan yang tak diduga. Mungkin saja jika citra dan dukungan bagi Foke terus meningkat di Masyarakat maka tak mustahil Foke akan dijadikan calon presiden atau calon wakil presiden nanti. Manusia pada dasarnya merupakan seorang aktor kehidupan dalam menjalani peran kesehariannya. Mereka selalu bergerak aktif dan dinamis dalam polarisasi ruang hidupnya. Seperti yang dikatakan seorang sosiolog asal Kanada, Erving Goffman: kehidupan sebenarnya adalah laksana panggung sandiwara, dan disana memang kita pamerkan serta kita sajikan kehidupan kita, dan memang itulah seluruh waktu yang kita miliki. Dalam perspektif dramaturgi, kehidupan sosial itu dapat dibagi menjadi wilayah depan (front region) dan wilayah belakang (back region). Wilayah depan merujuk pada peristiwa sosial yang memungkinkan individu bergaya atau menampilkan peran formalnya. Sedangkan wilayah belakang merujuk kepada tempat dan peristiwa yang memungkinkannya mempersiapkan perannya di wilayah depan. Goffman membagi panggung depan ini menjadi dua bagian: front pribadi (personal front) dan setting, yakni situasi fisik yang harus ketika aktor harus melakukan petunjukkan. Tanpa setting aktor biasanya tidak dapat melakukan pertunjukkan. Front pribadi terdiri dari alat-alat yang dianggap oleh khalayak sebagai perlengkapan yang dibawa aktor ke dalam setting. Contohnya, seorang caleg menggunakan kemeja atau jas dalam kampanyenya serta menggunakan bahasa yang sopan dan mengatur intonasi suara. sehingga dapat meyakinkan masyarakat melalui penampilannya tersebut. Bukan hanya sebatas itu saja, personal front ini mencakup juga bahasa verbal dan bahasa tubuh sang aktor, misalnya berbicara sopan, pengucapan istilah-istilah asing, intonasi, postur tubuh, ekspresi wajah, pakaian, penampakan usia, ciri-ciri fisik, dan sebagainya. Hal ini banyak kita jumpai bagaimana ketika si artis melakukan perubahan dengan gaya berbicara. Mereka berbicara dengan intonasi yang pelan dan mendadak menjadi sopan dalam pemilihan kata. Kontras dengan panggung depan, panggung belakang memungkinkan pembicaraan dengan menggunakan kata-kata kasar atau tidak senonoh, komentar-komentar yang terbuka, merokok, berpakaian seenaknya, mengomel, berteriak, dan masih banyak hal lainnya. Panggung belakang biasanya berbeda dengan panggung depan, tetapi tersembunyi dari pandangan khalayak. Memang pepatah inggris menyebutkan don’t judge the book from the cover ada benaranya kita janganlah tertipu oleh apa yang ditunjukkan di depannya, karena bisa saja yang dilihatkan di depan sangat berbeda dengan apa yang sebenarnya terjadi dibelakang. Goffman, mengakui bahwa panggung depan mengandung anasir structural dalam arti bahwa panggung depan cenderung terlembagakan alias mewakili kepentingan kelompok atau organisasi. Sering ketika aktor melaksanakan perannya, peran tersebut telah ditetapkan lembaga tempat ia bernaung. Artinya, panggung depan dipilih alih-alih diciptakan. Ia berpendapat bahwa karena umumnya orang-orang berusaha menyajikan diri mereka yang diidealisasikan dalam pertunjukkan mereka di panggung depan, mereka merasa bahwa mereka harus menyembunyikan hal-hal tertentu dalam pertunjukkan mereka. Penjelasan lebih konkrit ini dapat dijelaskan dalam lima cara. Pertama, seorang caleg mungkin ingin menyembunyikan kesenagan-kesenangan yang tersebunyi, seperti kawin cerai atau kehidupan masa lalu. Kedua, seorang caleg mungkin ingin menyembunyikan kesalahan yang dibuat saat persiapan pertunjukkan, juga langkah-langkah yang diambil untuk memperbaiki kesalahan tersebut Ketiga, seorang mungkin merasa perlu menunjukkan hasil akhir dan menyembunyikannya prosesnya. Banyak caleg disini yang baru di briefing oleh partai politik yang mengusungnya mengenai permasalahan yang terjadi di daerah tempat mereka kampanye. Tetapi apakah cukup di briefing dengan cara yang instan mererka mampu menyelesaikan permasalahan yang ada. Keempat, banyak caleg yang menggunakan cara-cara yang “nakal” agar memuluskan mereka untuk terpilih menjadi anggota legislative. Kelima, seorang caleg terkadang harus mengabaikan standar lain Aspek lain dalam konsep dramaturgi di panggung depan adalah bahwa aktor atau caleg dalam konteks ini sering berusaha menyampaikan kesan bahwa mereka punya hubungan yang khusus atau jarak sosial lebih dekat dengan khalayak daripada jarak sosial yang sebenarnya. Contohnya sekarang lagi musim sekali istilah “blusukan” yang dipopulerkan oleh Gubernu Jakarta Jokowi, kita bisa lihat bagaimana cara tersebut juga dicontoh oleh para caleg artis dengan mengunjungi daerah-daerah kecil kemudian menawarkan janji-janji untuk memberikan bantuan atau menyelesaikan masalah yang ada. Padahal kenyataannya banyak juga yang berawal pada janji dan berujung pada omong kosong belaka. Drama politik pasca pemilihan legislatif belumlah berakhir bahkan hal tersebut adalah awal pertunjukan untuk menuju ke pentas drama yang sesungguhnya. Prosesi menuju Pilpres pada bulan Juli mendatang, mempertontonkan drama politik kian rumit, menarik sekaligus memiliki plot cerita yang tak lagi datar. Banyak kejutan politik dari peran-peran yang dimainkan para elit. Manajemen kehormatan dibangun di atas fondasi citra dan lobi politik dengan mengembangkan jejaring (political network), mulai dari lingkaran elit hingga menembus jauh ke simpul-simpul. Dramaturgi melihat fenomena diatas manipulasi penonton semata dimana Bila seorang aktor berhasil, maka penonton akan melihat aktor sesuai sudut yang memang ingin diperlihatkan oleh aktor tersebut. Aktor akan semakin mudah untuk membawa penonton untuk mencapai tujuan dari pertunjukan tersebut. Ini dapat dikatakan sebagai bentuk lain dari komunikasi. Karena komunikasi sebenarnya adalah alat untuk mencapai tujuan. Bila dalam komunikasi konvensional manusia berbicara tentang bagaimana memaksimalkan indera verbal dan non-verbal untuk mencapai tujuan akhir komunikasi, agar orang lain mengikuti kemauan kita. Maka dalam dramaturgis, yang diperhitungkan adalah konsep menyeluruh bagaimana kita menghayati peran sehingga dapat memberikan feedback sesuai yang kita mau. Perlu diingat, dramatugis mempelajari konteks dari perilaku manusia dalam mencapai tujuannya dan bukan untuk mempelajari hasil dari perilakunya tersebut. Dramaturgi memahami bahwa dalam interaksi antar manusia ada “kesepakatan” perilaku yang disetujui yang dapat mengantarkan kepada tujuan akhir dari maksud interaksi sosial tersebut. Bermain peran merupakan salah satu alat yang dapat mengacu kepada tercapainya kesepakatan tersebut. Maka dari itu konsep ini berpandangan bahwa untuk melihat seorang aktor maka penonton tidak hanya melihat sang aktor dalam front stage semata, namun penonton juga harus melihat bagaiman sang aktor meaminkan perannya didalam back stage agar penonton tidak salh dalm melihat sang aktor. Ada beberapa tahapa jika kita mau mengkolaborasikan antara kampanye politik yang efektif dengan konsep dramaturgi tersebut. Berikut ini tahapannya : 1 Image Buikdins (membangun citra) Menciptakan identitas atau image dari politisi merupakan unsur yang sangat penting dari kampanye politik dimana image ini nantinnya akan membuat dia lebih "terlihat" atau lebih diperhatikan di publik. Munculnya sosial media juga membawa perubahan bagi para politisi tentang bagaimana harus berkomunikasi dengan publik. Untuk mengambil hati dan pikiran masyarakat/voters, setiap politisi harus mengadopsi pendekatan yang lebih personal. Dimana cara berkomunikasi yang digunakan adalah komunikasi yang menyoroti kondisi masyarakat dan komunikasi yang bertujuan untuk mengembangkan personal image yang menarik bagi masyarakat. 2 Komunikasi internal Komunikasi yang baik dalam partai adalah faktor yang penting yang bisa mempengaruhi jumlah suara pemilu. Komunikasi yang buruk antar anggota partai dapat membahayakan kredibilitas partai dan menyebabkan penurunan kepercayaan publik terhadap partai tersebut. 3 Message management Pesan kampanye harus berkaitan dengan harapan rakyat untuk kehidupan yang lebih baik di masa depan. Contohnya : Obama dengan slogan "Yes We Can" dan poster kampanye yang memiliki unsur gagasan perdamaian berhubungan dengan pemilih membutuhkan perubahan.Pesan dari kampanye nya juga dirancang untuk menarik hati para pemilih yang masih tidak tahu akan memilih siapa, untuk memilih Obama sehingga bisa menambah jumlah suara Obama. 4 Community engagement Efek yang istimewa dan luar biasa dari sebuah kampanye adalah penggunaan sosial media. Sosial media platform yang digunakan tidak hanya untuk mengkomunikasikan pesan, tapi untuk menghubungkan para voters satu sama lain sehingga bisa membantu mereka mengorganisir saat diadakan aksi lokal di dalam suatu komunitas – komunitas yang ada. Disini melalui sosial media kita mampu untuk mengukur bagaimana efektifnya konsep dramaturgi yang dipakai. 5 Information and media management Media di era sekarang, sulit rasanya untuk mengendalikan pesan, tetapi di sisi lain teknologi yang ada sekarang membuat kita semakin mudah untuk tetap terhubung dengan komunitas online para praktisi PR sehingga dapat memberikan kekuatan untuk membangun hubungan yang solid dengan para voters dan tentunya dapat terhubung langsung dengan voters pada tingkat yang lebih personal. Sebenarnya jika kita mengabungkan antara konsep dramaturgi yang dikemukakan oleh Erving Goffman dengan konsep pencitraan yang dibalut oleh strategi kampanye yang baik oleh bakal calon kepala daerah atau anggota legislatif. Lebih sempurna lagi jika pengkaderan anggota partai yang merupakan tanggung jawab dari partai politik hendaknya lebih diperhatikan lagi. DAFTAR PUSTAKA Ali, Novel. Peradaban Komunikasi Politik. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. 1999 Amal, Ichlasul. Teori-Teori Mutakhir Partai Politik. Yogyakarta : PT Tiara Wacana Yogya. 1996. Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta : PT DIAN RAKYAT. 2002. Bungin, Burhan. 2007. Sosiologi Komunikasi; Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta: Kencana. Kuswarno, Engkus. 2009. Metodologi Penelitian Komunikasi Fenomenologi; Konsepsi, Pedoman, dan Contoh Penelitian. Bandung: Widya Padjadjaran. Mulyana, Deddy. 1999. Nuansa-nuansa Komunikasi; Meneropong Politik dan Budaya Komunikasi Masyarakat Kontemporer. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. _____________. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif; Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: Remaja Rosdakarya. Mulyana, Deddy., dkk. 2006. Jurnal Komunikasi dan Informasi; Dunia Komunikasi Dunia Kita; Edisi Khusus. Jatinangor: Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran. Morissan, Z. 1990. Jurnalistik Televisi Mutakhir. Tangerang : Ramdina Prakarsa. 2005. Nimmo, D. 2001. Komunikasi Politik Khalayak dan Efek. Bandung : PT Remaja Rosdakarya Rachbini, D.J. 2006. Ekonomi Politik dan Teori Pilihan Publik. Bogor : Ghalia Indonesia Rahman, H.I. 2007. Sistem Politik Indonesia. Jakarta : Graha Ilmu Rakhmat, Jalaluddin. 2004. Psikologi Komunikasi; Edisi Revisi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Sugiyono, 2008. Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta. Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik. Jakarta : PT Grasindo. 1992.