Bionatura-Jurnal Ilmu-ilmu Hayati dan Fisik ISSN 1411 - 0903 Vol. 14, No. 3, November 2012: 186 - 194 PENGARUH KOMBINASI ABU VULKANIK MERAPI, PUPUK ORGANIK DAN TANAH MINERAL TERHADAP SIFAT FISIKO-KIMIA MEDIA TANAM SERTA PERTUMBUHAN TANAMAN JAGUNG (Zea mays L.) Nurlaeny, N., Saribun, D.S. dan Hudaya, R. Jurusan Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan, Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran Jl. Raya Bandung-Sumedang Km 21 Jatinangor 45363 E-mail: [email protected] ABSTRAK Kerugian serius yang ditimbulkan bagi areal pertanian akibat material vulkanik yang dikeluarkan saat gunung berapi meletus terutama ditentukan oleh ketebalan lapisan abu, musim dan intensitas curah hujan serta jenis dan fase pertumbuhan tanaman. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi pengaruh kombinasi abu vulkanik Merapi, pupuk kandang sapi dan tanah mineral terhadap sifat fisikokimia media tanam dengan indikator pertumbuhan tanaman jagung (Zea mays L.) Percobaan dilakukan dalam rumah kasa dari bulan Februari - Juli 2011 di kebun percobaan Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran dengan ketinggian tempat ± 740 m dpl. Rancangan percobaan menggunakan rancangan acak kelompok faktor tunggal dengan sembilan kombinasi perlakuan dan tiga kali ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berbagai kombinasi media tanam yang terdiri dari abu vulkanik Merapi, pupuk kandang sapi dan tanah mineral memberikan pengaruh yang sangat nyata (α .01) terhadap kandungan C-organik, asam humat-fulvat, bobot isi dan bobot kering pupus tanaman jagung. Kandungan C-organik dan asam humat-fulvat mempunyai korelasi positif dengan bobot kering pupus tanaman, tetapi bobot isi media tanam berkorelasi negatif dengan bobot kering pupus tanaman. Kata kunci: abu vulkanik Merapi, asam humat-fulvat, C-organik, pupuk kandang sapi EFFECTS OF MERAPI VOLCANIC ASH, MANURE AND MINERAL SOIL ON PHYSICOCHEMICAL PROPERTIES OF GROWING MEDIA AND MAIZE (Zea mays L.) PLANT GROWTH ABSTRACT Volcanic ash fall can have serious detrimental effects on agricultural crops depending on ash thickness, timing and intensity of subsequent rainfall, the type and growing condition of a crop. The purpose of this research was to evaluate the effects of combination of Merapi volcanic ash, cow manure and mineral soil on some physicochemical properties of growing media. The pot experiment in a screen house was carried out from February - July 2011, in the experiment field of Agriculture Faculty, Padjadjaran University Jatinangor at ± 740 m above sea level. The experiment used a randomized block design, which arranged in one factor, nine combination treatments and three replications. Results of this research showed that combination of Merapi volcanic ash, cow manure and mineral soil as growing media gave highly significant effects (α .01) on organic-C, humic-fulvic acids, bulk density and dry weight of maize. There was a positive correlation between dry weight of maize with organic-C and humic-fulvic acids content, but it had a negative correlation with bulk density of its growing media. Key words: cow manure, humic-fulvic acids, Merapi volcanic ash, organic-C PENDAHULUAN Material vulkanik yang berasal dari letusan gunung Merapi pada tanggal 26 Oktober 2010 berpotensi meningkatkan kesuburan lahan pertanian di kemudian hari. Menurut Shoji & Takahashi (2002) material ini merupakan bahan yang kaya akan unsur- unsur hara, sehingga dapat memerbaharui sumberdaya lahan. Meskipun demikian, timbunan material vulkanik dalam jumlah banyak juga dapat berdampak negatif bagi pertumbuhan tanaman terutama terhadap tanah sebagai media tumbuhnya. Masalah yang ditimbulkan pada lahan yang baru terdampak material vulkanik untuk dijadikan 187 Nurlaeny, N., Saribun, D.S. dan Hudaya, R. sebagai media tanam adalah sifat fisik, kimia dan biologinya yang tidak mendukung pertumbuhan tanaman secara optimal. Berdasarkan kadar silikanya, batuan hasil erupsi gunung berapi dapat dikelompokkan menjadi batu vulkanik masam (kadar SiO2 > 65%), sedang (3565%) dan basa (< 35%) (McGeary et al., 2002). Tingginya kadar Si, Al dan Fe dalam material vulkanik Merapi akan memberikan dampak yang sangat merugikan bagi pertumbuhan tanaman dan kesehatan tanah. Diketahui bahwa material vulkanik belum dapat menyumbangkan unsur hara bagi tanaman, karena merupakan bahan baru (recent material) yang belum mengalami pelapukan sempurna dan juga dominasi fraksi pasir menjadikan material vulkanik ini tidak dapat menahan air. Hardjowigeno (2003) menyatakan bahwa bobot isi (bulk density) menunjukkan perbandingan antara berat tanah kering dengan volume tanah, termasuk volume pori-pori tanah. Bobot isi tanah merupakan petunjuk kepadatan tanah, dimana semakin tinggi bobot isi tanah semakin sulit untuk meneruskan air atau ditembus akar tanaman. Berbagai jenis bahan organik mampu memperbaiki sifat fisika, kimia dan biologi suatu media tanam (Lengkong & Kawulusan, 2008). Fungsi utama bahan organik antara lain memperbaiki struktur tanah dan daya simpan air, memasok unsur hara dan asamasam organik untuk melepaskan ikatanikatan material secara kimia, meningkatkan kapasitas tukar kation dan daya ikat hara, serta sebagai sumber karbon, mineral dan energi bagi mikroba (Syukur & Harsono, 2008). Ameliorasi dengan bahan organik merupakan salah satu alternatif yang mampu meminimalisasi dampak negatif dari kandungan unsur kimia berlebih pada suatu media tanam. Melalui proses khelasi, kelebihan unsur-unsur kimia yang bersifat toksik bagi tanaman akan dikurangi atau dikhelat oleh adanya bahan-bahan pembenah tanah (Clemens et al., 1990). Asam humat-fulvat merupakan fraksi bahan organik yang mempunyai peranan penting dalam reaksi kimia di dalam tanah. Besarnya kandungan total asam humat- fulvat dalam bahan organik berkorelasi dengan besarnya kandungan lignin dan polifenol (Fox et al., 1990). Melalui pembentukan khelat logam-organik, asamasam organik akan melarutkan mineralmineral primer dan sekunder yang ada di dalam media tanam dan selanjutnya akan menjadi tersedia bagi tanaman (Foy et al., 1978). Makin besar afinitas kation logam terhadap asam humat-fulvat, maka semakin mudah terlepasnya kation dari permukaan berbagai jenis mineral. Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi perubahan sifat-sifat fisik dan kimia yang terjadi dalam media tanam yang terdiri dari kombinasi abu vulkanik Merapi, pupuk kandang sapi dan tanah mineral Inceptisol yang berasal dari lapisan subsoil. Parameter yang diamati ditujukan untuk mengetahui hubungan antara bobot kering pupus tanaman jagung (Zea mays L.) dengan kandungan C-organik, asam humat-fulvat, dan bobot isi media tanam. BAHAN DAN METODE Penelitian ini menggunakan pot plastik bervolume 10 kg yang dilaksanakan pada bulan Februari - Juli 2011 dalam rumah kasa (screen house) di kebun percobaan Fakultas Pertanian UNPAD Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat dengan ketinggian tempat 740 m dpl. Material abu vulkanik Merapi diambil pada tanggal 1819 Desember 2010 dari Dusun Somoketro, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang (± 17 km arah Utara dari kaki G. Merapi), pupuk kandang sapi berasal dari peternakan sapi PEDCA Jatinangor (Tabel 2a) dan tanah mineral ordo Inceptisols asal Jatinangor diambil dari lapisan subsoil (Tabel 2b). Tanaman indikator yang digunakan adalah jagung hibrida varietas Bisi-16 (Zea mays L.) dengan dosis pupuk dasar Urea (300 kg/ ha), SP-18 (200 kg/ha), KCl (100 kg/ha) (Departemen Pertanian, 2004). Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan metode eksperimen dalam Rancangan Acak Kelompok faktor tunggal dengan sembilan kombinasi perlakuan. Kombinasi perlakuan terdiri atas (I) 0% 188 Pengaruh Kombinasi Abu Vulkanik Merapi, Pupuk Organik dan Tanah Mineral abu vulkanik Merapi + 50% pupuk kandang sapi + 50% tanah mineral, (II) 40% abu vulkanik Merapi + 10% pupuk kandang sapi + 50% tanah mineral (III) 30% abu vulkanik Merapi + 20% pupuk kandang sapi + 50% tanah mineral, (IV) 20% abu vulkanik Merapi + 30% pupuk kandang sapi + 50% tanah mineral, (V) 10% abu vulkanik Merapi + 40% pupuk kandang sapi + 50% tanah mineral, (VI) 40% abu vulkanik Merapi + 50% pupuk kandang sapi + 10% tanah mineral, (VII) 30% abu vulkanik Merapi + 50% pupuk kandang sapi + 20% tanah mineral, (VIII) 20% abu vulkanik Merapi + 50% pupuk kandang sapi + 30% tanah mineral, (IX) 10% abu vulkanik Merapi + 50% pupuk kandang sapi + 40% tanah mineral. Perlakuan tersebut diulang tiga kali sehingga total kombinasi perlakuan berjumlah 27 pot percobaan. Parameter pengamatan utama yang diuji secara statistik meliputi kandungan C-organik yang dianalisis dengan metode Walkley & Black; kandungan asam humatfulvat dianalisis dengan pengekstrak 0,5 M NaOH/0,1 M Na2P2O7 (Stevenson, 1994); bobot isi media tanam ditentukan dengan menghitung massa tanah per volume total tanah, dalam kondisi tanah basah maupun kering (Wesley (1973) serta penimbangan bobot kering pupus tanaman jagung hibrida dilakukan pada fase pertumbuhan vegetatif akhir. Parameter penunjang dalam penelitian ini adalah sifat-sifat kimia pupuk kandang sapi, sifat fisika tanah mineral Inceptisol dan komponen pertumbuhan tanaman (tinggi tanaman, jumlah daun dan diameter batang). Pengaruh kombinasi perlakuan terhadap parameter yang diamati diuji secara statistik menggunakan analisis sidik ragam pada taraf nyata sampai sangat nyata (.05 -.01%) sesuai rancangan percobaan yang digunakan. Perbedaan nilai rata-rata diantara kombinasi perlakuan diuji dengan Uji Jarak Berganda Duncan (DMRT). Hubungan antara bobot kering pupus tanaman jagung hibrida dengan kandungan C-organik, asam humat-fulvat dan bobot isi media tanam diuji dengan analisis regresi-korelasi (Gomez & Gomez, 1995). Tabel 1. Komposisi kimia abu vulkanik Merapi No. 1. 2. 3. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13 14 15 16 17 18 19 20 Parameter SiO2 (%) Al2O3 (%) Fe2O3 (%) MgO (%) Na2O (%) K2O (%) MnO (%) TiO2 (%) P2O5 (%) Kadar air (%) pH H2O (1:2,5) pH KCl 1 N (1:2,5) SO4 (mg kg-1) Ca (mg kg-1) Mg (mg kg-1) C-organik** (%) N total **.(%) KTK** (cmol kg-1) Nilai 54,56 18,37 18,59 2,45 3,62 2,32 0,17 0,92 0,32 0,11 7,60 7,31 801 442 152 0,63 0,14 10,57 Tekstur **: Pasir (%) Debu (%) Liat (%) 70,2 10,0 19,8 Keterangan: Hasil Analisis di Pusat PPTMB, 2010 **) Hasil Analisis di Lab.Kimia Tanah Fakultas Pertanian Unpad, 2011 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis menunjukkan bahwa abu vulkanik Merapi yang digunakan dalam penelitian ini memiliki pH agak alkalis yaitu 7,60 dan didominasi oleh fraksi pasir sebanyak 70,2% (Tabel 1). Material vulkanik yang merupakan bahan baru (recent material) dipastikan belum dapat menyumbangkan unsur hara bagi tanaman karena belum mengalami pelapukan yang sempurna. Dominasi fraksi pasir juga menjadikan material vulkanik ini mempunyai kemampuan memegang air yang rendah yang ditunjukkan dari nilai kadar airnya sebesar 0,11%. Pemberian amelioran pupuk kandang sapi dan tanah mineral Inceptisol pada 189 Nurlaeny, N., Saribun, D.S. dan Hudaya, R. berbagai kombinasi perlakuan (Tabel 2) menunjukkan adanya perbaikan sifat fisika dan kimia media tanam berbahan campuran abu vulkanik Merapi tersebut. Tabel 2. Kombinasi perlakuan Perlakuan I II III IV V VI VII VIII IX AVM (%) PKS (%) TM (%) % Berat 0 40 30 20 10 40 30 20 10 50 10 20 30 40 50 50 50 50 50 50 50 50 50 10 20 30 40 100 100 100 100 100 100 100 100 100 Bobot (kg/ pot ) 10 10 10 10 10 10 10 10 10 Keterangan: AVM = abu vulkanik Merapi; PKS = pupuk kandang sapi; TM = tanah mineral Pupuk kandang sapi yang mempunyai kandungan C-organik sebesar 38,38% (Tabel 3a) mampu meningkatkan kandungan bahan organik dalam media tanam. Menurut Hayes dan Clapp (2001) humus yang merupakan fraksi bahan organik mempunyai peranan penting bagi struktur dan porositas tanah. Selain merupakan koloid dengan luas permukaan spesifik yang tinggi, serta mampu mempertukarkan kation dan anion, humus juga mampu memegang air sebanyak 4-6 kali lebih besar dari beratnya. Tabel 3a. Komposisi kimia pupuk kandang sapi No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 11. 12. Parameter pH H2O KTK (cmol/kg) C organik (%) N total (%) P total (%) K total (%) Ca total (%) Mg total (%) C/N Kadar Air (%) Asam humat-fulvat (%) Nilai 7,99 18,50 38,38 1,69 0,41 0,55 3,27 0,36 23 8,40 0,42 Keterangan: Hasil Analisis di Lab. Kimia Tanah Fakultas Pertanian Unpad, 2011 Tingginya kandungan fraksi liat pada tanah mineral yang digunakan dalam penelitian ini (Tabel 3b) menunjukkan bahwa pada berbagai kombinasi media tanam ini, fraksi liat dengan muatan negatifnya berperan sebagai tapak jerapan (cation exchanger) bagi kation-kation hara yang berasal dari proses penguraian pupuk kandang sapi. Tang & Rengel (2003) menyatakan bahwa partikel mineral liat dan bahan organik tanah merupakan sumber muatan negatif terbesar di dalam tanah. Tabel 3b. Komposisi kimia tanah mineral Inceptisol dari lapisan subsoil No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10. 11. 12. 13. 14. Parameter pH H2O (1: 2,5) pH KCl 1 N (1 : 2,5) C-Organik (%) N-total (%) C/N P2O5 Olsen (mg kg-1) P2O5 HCl 25% (mg 100 g-1) K2O HCl 25% (mg 100 g-1) Kation Dapat Tukar: Ca (cmol kg-1) Mg (cmol kg-1) K (cmol kg-1) Na (cmol kg-1) KTK (cmol kg-1) Kejenuhan Basa (%) Al+3 dd (cmol/kg) H+ dd (cmol/kg) Tekstur: Pasir (%) Debu (%) Liat (%) Nilai 7,06 6,85 0,49 0,12 4 5,12 5,02 tt*) 3,4 4,2 0,1 0,1 21,14 36,90 0,03 0,37 7,3 31,2 61,5 Keterangan: tt*) = tidak terukur; Hasil Analisis di Lab. Kimia Tanah – Fakultas Pertanian Unpad, 2011. Hasil uji statistik (α .01) menunjukkan bahwa persentase abu vulkanik Merapi, pupuk kandang sapi dan tanah mineral dalam berbagai kombinasi media tanam secara nyata mempengaruhi kandungan C-organik (Tabel 4). Kombinasi 30% abu vulkanik Merapi, 50% pupuk kandang sapi dan 20% tanah mineral (perlakuan VII) memberikan 190 Pengaruh Kombinasi Abu Vulkanik Merapi, Pupuk Organik dan Tanah Mineral kandungan C organik tertinggi (4,64%), sementara kandungan C organik terendah (0,43%), dihasilkan oleh kombinasi 40% abu vulkanik Merapi, 10% pupuk kandang sapi dan 50% tanah mineral (perlakuan II). Hal ini sejalan dengan pernyataan Syukur (2005), bahwa penambahan bahan organik berbanding lurus dengan peningkatan C-organik tanah dan sebaliknya. Meskipun demikian sifat fisika media tanam seperti tekstur, porositas, bobot isi dan kapasitas menahan air merupakan faktor yang juga harus diperhitungkan (Baldwin, 2006). Peningkatan persentase pupuk kandang sapi secara nyata meningkatkan kandungan asam humat-fulvat pada media tanam (Tabel 4). Konsentrasi asam humatfulvat tertinggi dalam media tanam (0,21%) disebabkan oleh tingginya persentase pupuk kandang sapi dan rendahnya persentase abu vulkanik pada kombinasi perlakuan IX (10% abu vulkanik Merapi + 50% pupuk kandang sapi + 40% tanah mineral). Diduga selain media tanam mendapatkan sumbangan asam humat-fulvat dari pupuk kandang sapi (0,42%), aktivitas mikroba yang mendekomposisi pupuk organik juga akan menghasilkan sejumlah asam organik dari metabolitnya. Diketahui bahwa bakteri merupakan kelompok mikroba dekomposer yang jumlahnya paling banyak dan bersama dengan mikroba indigen dari tanah mineral akan memberikan kontribusi dalam menguraikan bahan organik, mensintesis asam-asam atau senyawa organik tertentu serta memicu proses mineralisasi N (Conte et al., 2003; Winarso, 2005). Sebaliknya pada kombinasi perlakuan VI (40% abu vulkanik Merapi + 50% pupuk kandang sapi + 10% tanah mineral) menunjukkan konsentrasi asam humat-fulvat yang terendah (0,08%). Kondisi lingkungan media tanam yang tidak optimal untuk mendukung pertumbuhan dan aktivitas mikroba dekomposer diduga merupakan akibat dari dominannya material vulkanik yang masih baru. Selain dapat meningkatkan kandungan C-organik, kapasitas menahan air, daya larut unsur hara P, K, Ca dan Mg, serta kapasitas tukar kation, pemberian pupuk organik juga mampu menurunkan kejenuhan Al serta bobot isi tanah (Lund & Doss, 1980; Aidi et al., 1996). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa media tanam yang mengandung 40-50% pupuk kandang sapi secara nyata (α .01) memberikan bobot isi yang rendah (0,58-0,61 g/cm3) (Tabel 4), sementara media tanam dengan persentase pupuk kandang sapi 10-30% menunjukkan nilai bobot isi yang lebih besar (1,09 g/ cm3). Menurut Wesley (1973) bobot isi atau kerapatan isi tanah merupakan indikator Tabel 4. Pengaruh kombinasi abu vulkanik Merapi, pupuk kandang sapi dan tanah mineral terhadap terhadap C-organik, asam humat-fulvat, bobot isi media tanam dan bobot kering pupus tanaman Jagung Kombinasi perlakuan I II III IV V VI VII VIII IX 0 % AVM + 50 % PKS + 50 % TM 40 % AVM + 10 % PKS + 50 % TM 30 % AVM + 20 % PKS + 50 % TM 20 % AVM + 30 % PKS + 50 % TM 10 % AVM + 40 % PKS + 50 % TM 40 % AVM + 50 % PKS + 10 % TM 30 % AVM + 50 % PKS + 20 % TM 20 % AVM + 50 % PKS + 30 % TM 10 % AVM + 50 % PKS + 40 % TM C-organik (%) Asam humatfulvat (%) Bobot isi (g/cm3) 3,34 cde 0,43 a 0,87 ab 1,86 abc 2,71 cd 2,28 bcd 4,64 e 3,08 cde 3,90 de 0,11 ab 0,09 a 0,09 a 0,10 ab 0,13 abc 0,08 a 0,15 abc 0,19 bc 0,21 c 0,61 a 1,09 b 0,83 ab 0,75 ab 0,65 a 0,63 a 0,58 a 0,58 a 0,60 a Bobot kering pupus (g/tanaman) 263,49 d 63,89 a 119,43 ab 171,84 bc 209,77 cd 222,29 cd 277,90 d 283,27 d 227,48 cd Keterangan: AVM = abu vulkanik Merapi; PKS = pupuk kandang sapi; TM = tanah mineral Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji DMRT 5%. 191 Nurlaeny, N., Saribun, D.S. dan Hudaya, R. kepadatan suatu jenis tanah, dimana makin tinggi nilai kerapatan isi tanah, makin sulit tanah tersebut untuk meneruskan air atau ditembus akar tanaman. Tingginya pemberian pupuk kandang sapi (40-50%) ke dalam media tanam ternyata mampu memperbaiki struktur tanah sehingga hal ini mendukung pendapat Yunus (2004) yang menyatakan bahwa semakin kecil angka kerapatan isi tanah, maka kegemburan tanah semakin meningkat. Perbedaan perlakuan kombinasi media tanam menghasilkan pertumbuhan tanaman jagung hibrida yang beragam (Tabel 5a-c). Komponen pertumbuhan tanaman terbaik dihasilkan dari kombinasi 30% abu vulkanik Merapi, 50% pupuk kandang sapi dan 20% tanah mineral (perlakuan VII) dengan tinggi tanaman (200,3 cm), jumlah daun terbanyak (14 helai) dan diameter batang terbesar (3,20 cm). Sifat fisika media tanam yang mempunyai nisbah antara fraksi liat dan pasir yang berimbang, didukung oleh tingginya kandungan bahan organik pada perlakuan VII, menyebabkan daya pegang air, reaksi kimia dan proses penyerapan unsur hara oleh tanaman dapat berjalan dengan baik. Hal ini juga mendukung pernyataan Musfal (2010), bahwa banyaknya jumlah daun tanaman jagung berbanding lurus dengan pertumbuhan tinggi tanaman. Peningkatan persentase abu vulkanik Merapi dan penurunan persentase pupuk kandang sapi pada kombinasi perlakuan II-VI menghasilkan nilai komponen pertumbuhan tanaman yang terendah. Diduga sifat fisik media tanam tidak optimal dalam mendukung pertumbuhan tanaman. Ketidakseimbangan nisbah antara fraksi liat dan pasir dapat menyebabkan daya pegang Tabel 5. Pengaruh kombinasi abu vulkanik Merapi, pupuk kandang sapi dan tanah mineral terhadap nilai rata-rata tinggi tanaman (a), jumlah daun (b) dan diameter batang (c) a. Tinggi Tanaman (cm) Perlakuan I II III IV V VI VII VIII IX 1 7,4 7,8 6,0 7,4 9,3 7,1 7,7 9,0 5,7 2 29,9 28,8 29,3 30,1 35,8 30,8 30,0 34,0 25,0 3 59,3 61,7 58,1 57,1 66,4 60,2 59,0 63,6 51,9 Umur Tanaman (MST) 4 5 90,7 121,9 72,2 88,3 84,1 108,1 86,3 113,0 94,2 123,2 89,6 118,1 89,8 125,1 88,9 127,7 82,2 125,7 6 149,3 103,9 126,5 133,7 150,4 139,9 154,6 151,7 145,8 7 163,5 113,0 134,9 149,0 168,8 156,0 176,3 167,7 165,0 8 177,6 117,0 141,2 162,0 183,5 172,1 200,3 185,8 182,5 b. Rata-rata Jumlah Daun (helai) Perlakuan I II III IV V VI VII VIII IX 1 3 2 2 2 3 2 3 3 2 2 5 5 5 6 5 5 5 5 5 3 8 8 8 7 8 8 8 8 8 Umur Tanaman (MST) 4 5 9 11 8 8 9 10 9 10 10 11 9 10 9 11 9 11 9 11 6 13 10 11 12 12 11 12 12 12 7 13 10 11 12 12 12 12 12 12 8 13 11 12 12 12 12 14 13 12 192 Pengaruh Kombinasi Abu Vulkanik Merapi, Pupuk Organik dan Tanah Mineral c. Rata-rata Diameter Batang (cm) Perlakuan I II III IV V VI VII VIII IX 1 0,27 0,27 0,30 0,27 0,27 0,26 0,25 0,28 0,20 2 0,59 0,59 0,64 0,70 0,71 0,65 0,61 0,6 0,48 3 1,10 1,08 1,37 1,25 1,43 1,27 1,33 1,42 9,70 Umur tanaman (MST) 4 5 1,95 2,67 1,53 1,83 1,82 2,33 1,90 2,20 1,73 2,17 1,78 2,40 2,02 2,53 2,10 2,88 1,65 2,33 6 2,02 1,83 2,33 2,43 2,43 2,67 2,83 2,90 2,68 7 3,12 2,13 2,50 2,53 2,58 2,83 3,10 3,13 2,97 8 3,22 2,23 2,53 2,63 2,82 2,96 3,20 3,20 3,03 Keterangan: MST = minggu setelah tanam air, reaksi kimia dan proses penyerapan unsur hara oleh akar tanaman tidak berlangsung dengan baik (Shoji & Takahashi, 2002). Indikator tentang hubungan antara sifat fisik dan sifat kimia dalam media tanam dicerminkan oleh bobot kering pupus tanaman jagung yang dihasilkan (Gambar 1a-c). Hubungan antara bobot kering pupus tanaman jagung (277,90 - 283,3 g tanaman-1) (Tabel 4) dengan parameter C-organik memperlihatkan suatu korelasi positif yang ditunjukkan dengan persamaan regresi linier Y = 47,35X + 83,72 (r = 0,90); demikian juga dengan parameter asam humat-fulvat mempunyai persamaan regresi Y = 941,8X + 84,35 (r = 0,60). Sebaliknya, korelasi negatif (a). C-organik (b). asam humat-fulvat (c). bobot isi media tanam Gambar 1. Hubungan antara bobot kering pupus tanaman jagung dengan C-organik (a), asam humat-fulvat (b) dan bobot isi media tanam (c) antara bobot kering pupus tanaman jagung dengan bobot isi media tanam ditunjukkan oleh persamaan regresi Y= - 313,9x + 497,1 (r = 0,95). Hal ini membuktikan bahwa angka bobot isi media tanam yang rendah akan meningkatkan kegemburan tanah yang selanjutnya berdampak terhadap banyaknya unsur hara yang terserap per satuan bobot biomassa tanaman yang dihasilkan (Musfal, 2010). SIMPULAN Kombinasi perlakuan abu vulkanik Merapi, pupuk kandang sapi dan tanah mineral Inceptisol berpengaruh nyata terhadap sifat fisiko-kimia media tanam. Kandungan C-organik, dan asam humat-fulvat pada media tanam berkorelasi positif dengan bobot kering pupus tanaman jagung, sedangkan bobot isi media tanam berkorelasi negatif dengan bobot kering pupus tanaman jagung. Nurlaeny, N., Saribun, D.S. dan Hudaya, R. DAFTAR PUSTAKA Aidi, N., A. Jumberi & R.D. Ningsih. 1996. Peranan Pupuk Organik dalam Meningkatkan Hasil Padi Gogo di Lahan Kering. Prosiding Seminar Teknologi Sistem Usahatani Lahan Rawa dan Lahan Kering. Balittra Banjarbaru. Hal.: 567-578 Baldwin, K.R., 2006. Soil Quality Consideration for Organic Farmers. North Carolina Cooperative Extension Service Publ. NC State University. Clemens, D.F., Whitehurst, B.M. & Whitehurst, G.B., 1990. Chelates in Agriculture. Fertilizer Research 25:127-131. Conte, P. R. Spaccini, M. Chiarella, & A. Piccolo, 2003. Chemical Properties of Humic Substances in Soils of an Italian Volcanic System. Geoderma 117: 243–250 Departemen Pertanian, 2004. Sosialisasi Jagung Hibrida. On line: http://deptan. go.id/ (Diakses pada 15 Juni 2011) Fiantis, D. 2000. Colloid-Surface Characteristics and Amelioration Problems of Some Volcanic Soils in West Sumatra, Indonesia. Ph. D. Thesis. Universiti Putra Malaysia, Serdang, Selangor, Malaysia. 315 p. Fox, R.H., Myers R.J.K. & Vallis I., 1990. The nitrogen mineralization rate of legume residues in soils as influenced by their polyphenol, lignin and nitrogen contents. Plant Soil, 129: 251-259. Foy, C. D., Chaney, R. L. & White, M. C., 1978. The physiology of metal toxity in plants. Ann. Rev. Plant Physiol. 29:511–566 Gomez, K.A., & Gomez, A.A., 1995. Prosedur Statistik Untuk Penelitian Pertanian (Terjemahan). Universitas 193 Indonesia Press, Jakarta. Hardjowigeno, S. 1987. Ilmu Tanah. Edisi Pertama. PT Mediayatama Sarana Perkasa. Jakarta. Hardjowigeno, S. 2003. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo, Jakarta. Hayes, M.H.B., & Clapp C.E., 2001. Humic substances: considerations of compositions, aspects of structure, and environmental influences. Soil Science 166, 723-737. doi: 10.1097/00010694200111000-00002. Lengkong, J. E. & R. I. Kawulusan. 2008. Pengelolaan Bahan Organik Untuk Meme-lihara Kesuburan Tanah. Soil Environment Vol 6, No.2, Agustus 2008 Hal: 91–97. Lund, F.Z. & B.D. Doss. 1980. Residual Effect of Dairy Cattle Manure on Plant Growth and Soil Properties. Agron. J. 72: 123-130. McGeary, D., Plummer, C.C & D. H. Carlson. 2002. Physcal Geology Earth Reavealed. McGraw Hill Higher Education. Boston. 574 p. Musfal, 2010. Potensi Cendawan Mikoriza Arbuskila untuk Meningkatkan Hasil Tanaman Jagung. J. Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 29(4). Shoji S. & T. Takahashi, 2002. Environmental and Agricultural Significance of Volcanic Ash Soils. Jpn. J. Soil Sci. Plant Nutr. 73: 113-135 Stevenson, F.J., 1994. Humus Chemistry: Genesis, Composition, Reactions, 2nd Ed. Wiley, New York. Syukur, A. 2005. Pengaruh Pemberian Bahan Organik terhadap Sifat-sifat Tanah dan Pertumbuhan Caisim di Tanah Pasir Pantai. J. Ilmu Tanah dan Lingkungan Vol 5 (1) (2005) Hal.: 30-38. Pengaruh Kombinasi Abu Vulkanik Merapi, Pupuk Organik dan Tanah Mineral Tang, C., & Rengel, Z., 2003. Role of plant cation/anion uptake ratio in soil acidification. In: Handbook of Soil Acidity, Eds. Z Rengel), pp 57-81 Marcel Dekker, New York. Wesley, L. D. 1973. Mekanika Tanah. Terjemahan Badan Penerbit Pekerjaan Umum. Jakarta. 194 Winarso, S. 2005. Kesuburan Tanah. Dasar Kesehatan dan Kualitas Tanah. Penerbit Gava Media. Yogyakarta. Yunus Y. 2004. Tanah dan Pengolahan. CV. Alfabeta, Bandung Bionatura-Jurnal Ilmu-ilmu Hayati dan Fisik ISSN 1411 - 0903 Vol. 14, No. 3, November 2012: 196 - 201 EFEKTIVITAS PEMBERIAN BEBERAPA BAHAN DAN DOSIS ANESTESI PADA PRAKONDISI KERANG Anodonta woodiana Lumenta, C., dan Gybert, M. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Sam Ratulangi E-mail: [email protected] ABSTRAK Kendala utama produksi mutiara adalah tingginya mortalitas kerang ketika berlangsung proses implantasi. Kerang yang akan diimplantasi untuk budidaya mutiara perlu dikondisikan dalam keadaan yang memudahkan pembukaan cangkangnya. Berhubung hingga kini belum tersedia informasi penggunaan anestesi dalam budidaya mutiara air tawar, prinsip-prinsip yang diaplikasikan adalah prinsip yang selama ini berhasil diaplikasikan dalam budidaya mutiara laut. Penelitian untuk menentukan respons kerang terbaik pada beberapa jenis dan dosis minyak bahan anestesi pada prakondisi kerang dilaksanakan di Balai Budidaya Air Tawar (BBAT) Tatelu di Kecamatan Dimembe, Kabupaten Minahasa. Penelitian dirancang menggunakan metode rangcangan acak lengkap dengan pola faktorial dengan 2 faktor yaitu jenis dan dosis. Faktor jenis mempunyai 4 taraf yaitu minyak menthol, minyak cengkeh, minyak pala dan minyak sereh dan faktor dosis dengan 3 taraf yaitu 1,5 ml, 2,5 ml dan 3,5 ml, dimana masing-masing perlakuan diulang sebanyak 3 kali. Hasil penelitian menunjukkan penggunaan bahan anestesi berupa minyak pala dengan dosis 2,5 ml/l lebih efektif untuk prakondisi (respons, waktu relaksasi, waktu pulih dan mortalitas) dibandingkan dengan dosis–dosis 1,5 ml/l dan 3,5 ml/l dan dengan bahan-bahan anestesi minyak cengkeh, minyak menthol dan minyak sereh. Kata kunci: bahan dan dosis anestesi, kerang Anodonta woodiana, prakondisi EFFECTIVENESS OF ANESTHETIC MATERIALS AND DOSE ON PRECONDITION OF Anodonta woodiana SHELLS ABSTRACT The main problem on oysters culture is the high mortality during implantation process. Oysters that will be implanted for cultivation need to be conditioned in a state that facilitates the opening of its shell. Because the information on the use of anesthesia in the cultivation of freshwater oyster is not yet available, these principles that was used is the principle which has been successfully applied in the cultivation of sea oyster. This study aims to determine the best responses to materials anesthetic and dose in precondition of Anodontawoodiana which is done at Freshwater Aquaculture Center (BBAT) Tatelu in District Dimembe, Minahasa Regency. The study was designed by using completely randomized design factorial pattern with two factors: materials anesthetic and dose. Material anesthetic factor has 4 degree such as menthol oil, clove oil, nutmeg oil and lemongrass oil. Dose has 3 degree such as 1,5 ml, 2,5 ml and 3,5 ml. Each treatment was repeated 3 times. The results showed that nutmeg oil dose of 2,5 ml/l more effective for precondition (respons, relaxation time, recovery and mortality rate) than dose of 1,5 ml/l and 3,5 ml/l and than another materials anasthethic (menthol oil, clove oil, and lemongrass oil). Key words: materials and dose of anasthethic, Anodonta woodiana oyster, precondition PENDAHULUAN Kendala utama produksi budidaya mutiara adalah tingginya mortalitas kerang ketika berlangsung proses implantasi. Kegiatan dalam menggerakkan proses ini ditandai mempengaruhi kualitas mutiara yang dihasilkan (Norton et al.,2000). Penggunaan anestesi pada tiram dalam budidaya mutiara laut ternyata dapat mengurangi kendala tersebut. Sebagaimana halnya tiram, kerang yang akan diimplantasi untuk budidaya mutiara air tawar perlu dikondisikan dalam keadaan yang memudahkan pembukaan cangkangnya. 197 Lumenta, C., dan Gybert, M. Hingga kini belum tersedia informasi penggunaanan astesi dalam budidaya mutiara air tawar, karena itu prinsip-prinsip yang dapat diaplikasikan adalah prinsip yang selama ini berhasil diaplikasikan dalam budidaya mutiara laut. Dalam hal ini, Mamangkey. et al. (2009) mengaplikasikan pada tiram, bahanbahan anestesi berupa 2-phenoxyethanol, benzocaine, cairanmethol, minyak cengkeh, dan phenoxytol. Menurut O’Connor & Lawier (2002), penggunaan bahan kimia dapat dilakukan dengan mempertimbangkan resiko pada kerang itu sendiri. Dianjurkan untuk menggunakan bahan anestesi dengan daya larut tinggi dalam air sehingga mempercepat kemampuan rileks kerang. Pada kerang mutiara donor lebih banyak digunakan anestesi daripada si penerima ketika proses penyisipan inti berupa irisan mantel. Sebagaimana dilaporkan Mamangkey et al. (2009), bahan anestesi yang digunakan pada tiram menyebabkan tiram rileks dan meningkatkan waktu di mana tiram dapat digunakan sebagai donor jaringan atau irisan mantel. Norton et al. (2000) mengungkapkan bahwa anestesi dapat menurunkan stres dan mortalitas pada kerang ketika dilakukan implantasi inti mutiara. Perkembangan menunjukkan selain untuk implantasi, anestesi memungkinkan pemindahan lapisan jaringan dari kerang donor kekerang resipien tanpa membunuh mereka (Acosta-Salmon. et al., 2004; Acosta–Salmon dan Southgate, 2005; 2006). Lebih lanjut dinyatakan bahwa secara potensial dengan cara ini mengizinkan pendonor menghasilkan mutiara yang berkualitas tinggi dan donor mutiara yang telah mengalami proses anestesi untuk memindahkan lapisan jaringan (AcostaSalmon et al., 2004). Pendekatan ini sungguh-sungguh menguntungkan pada industri budidaya mutiara, dan membenarkan penelitian dengan menggunakan anestesi pada kerang mutiara. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan respons kerang terbaik pada beberapa jenis dan dosis minyak bahan anestesi pada prakondisi kerang. BAHAN DAN METODE Hewan uji Kerang yang digunakan sebagai hewan uji, dikumpulkan dari kolam-kolam BBAT Tatelu yang induknya semula berasal dari Danau Tondano. Ukuran kerang untuk penelitian ini berkisar di antara 108-138 mm dan yang belum matang gonad. Seleksi kerang uji dilakukan dari stok yang terkumpul. Dalam hal ini, kerang diangkat dari air untuk melihat apakah masih hidup atau sudah mati, apakah kerang masih segar dan tidak dalam keadaan lemah dan apakah cangkangnya dalam keadaan utuh, tidak dalam keadaan retak atau pecah. BahanAnestesi Bahan uji yang digunakan adalah bahan alami dengan masing-masing empat jenis bahan anestesi dan tiga dosis yaitu: minyak mentol, minyak cengkeh, minyak pala, minyak sereh, minyak sereh. Bahan uji efektif digunakan untuk prakondisi. Secara khusus, pembukaan cangkang kerang dapatdimudahkan ketika kerang dianestesi, sehingga memudahkan penanganan kerang dalam proses implantasi. Wadah Percobaan Dalam percobaan untuk mengetahui respons dan memilih jenis serta dosis bahan anestesi yang efektif dalam prakondisi, percobaan dilaksanakan dalam loyang plastik berdiameter 50x40x25 cm, volume 30 liter air, sebanyak 12 buah yang dilengkapi dengan blower sebagai aerasi. Percobaan anestesi pada Anodonta woodiana berlangsung pada ruang laboratorium basah di BBAT Tateludan dilaksanakan dalam loyang plastik sebanyak 12 buah. Dalam percobaan yang dirancang secara acak lengkap berpola faktorial ini diuji 2 faktor yaitu jenis bahan anestesi (dengan empat taraf) dan faktor dosis (dengan tiga taraf) sehingga terdapat 12 kombinasi perlakuan jenis dan dosis yang masing-masing diulang tiga kali. Keduabelas kombinasi perlakuan tersebut adalah: a. Minyak Sereh dengan dosis anestesi sebanyak 1,5 ml/l 198 Efektivitas Pemberian Beberapa Bahan Dan Dosis Anestesi b. Minyak Sereh dengan dosis anestesi sebanyak 2,5 ml/l c. Minyak Sereh dengan dosis anestesi sebanyak 3,5 ml/l d. Minyak Cengkeh dengan dosis anestesi sebanyak 1,5 ml/l e. Minyak Cengkeh dengan dosis anestesi sebanyak 2,5 ml/l f. Minyak Cengkeh dengan dosis anestesi sebanyak 3,5 ml/l g. Minyak Menthol dengan dosis anestesi sebanyak 1,5 ml/l h. Minyak Menthol dengan dosis anestesi sebanyak 2,5 ml/l i. Minyak Menthol dengan dosis anestesi sebanyak 3,5 ml/l j. Minyak Pala dengan dosis anestesi sebanyak 1,5 ml/l k. Minyak Pala dengan dosis anestesi sebanyak 2,5 ml/ L l. Minyak Pala dengan dosis anestesi sebanyak 3,5 ml/l dan kematian (ekor). Pengamatan respons dilakukan dengan mencatat lama waktu kerang rileks dan waktu pemulihan. Pengamatan ini berlangsung kurang lebih selama satu jam. Setelah pengamatan selesai kerang dipindahkan pada air normal tanpa perlakuan selama satu jam. Kemudian kerang dimasukkan dengan menggunakan wadah keranjang, sesuai masing-masing perlakuan yang sudah diletakkan di saluran air untuk diamati kelangsungan hidupnya selama satu bulan. Kematian kerang pada masing-masing perlakuan dicatat. Penentuan kombinasi perlakuan yang efektif dalam prakondisi dari Anodontawoodiana didasarkan atas besaran respons, panjangnya waktu relaksasi, pendeknya waktu pemulihan, rendahnya kematian, dan berpenampilan normal selama satu bulan. Setiap wadah percobaan diisi air sebanyak 30 liter, diberi bahan anestesi sesuai dengan kombinasi perlakuan yang akan diuji, dan kerang ditebarkan sebanyak sembilan individu tiap wadah. Dalam percobaan pertama ini pengamatan dilakukan terutama terhadap respons kerang (%), waktu relaksasi dan waktu pemulihan atau recovery (menit), Uji coba anestesi pada kerang ini menggunakan empat jenis minyak yaitu minyak sereh, minyak cengkeh, minyak menthol, dan minyak pala. Sesuai dengan tiga dosis bahan minyak yang dicobakan, yaitu 1,5 ml/l, 2,5 ml/l, 3,5 ml/l, hasil pengamatannya disajikan secara ringkas pada Tabel 1 berikut. HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel 1. Hasil uji coba penggunaan bahan anestesi pada kerang A. woodiana dan pengaruhnya terhadap respons, waktu relaksasi dan waktu pulih, dan mortalitas Perlakuan Minyak Sereh Minyak Cengkeh Minyak Menthol Minyak Pala Anestesi Dosis (ml/l) Rata-rata Respons (%) Rata-rata Lama Waktu Relaks (Menit) Rata-rata Lama Waktu Pemulihan (Menit) Rata-rata Mortalitas (%) 1,5 0 0,00 - 3,70 2,5 55,56 10,33 10 3,70 3,5 44,44 14,67 15 14,81 1,5 0 0,00 - 7,41 2,5 3,70 0,00 - 22,22 3,5 0 0,00 - 11,11 1,5 11,11 10,33 10 3,70 2,5 22,22 10,00 10 3,70 3,5 18,52 10,33 10 11,11 1,5 44,44 15,33 15 11,11 2,5 81,48 15,00 5 7,41 3,5 48,15 15,00 10 14,81 Keterangan: Rata-rata tiga ulangan, sembilan ekor setiap ulangan Lumenta, C., dan Gybert, M. Dari Tabel 1 terlihat respons rata-rata tertinggi kerang Anodonta woodiana terdapat pada pemberian anestesi minyak pala dengan dosis 2,5 ml/l, yaitu sebesar 81,5%. Kerang sama sekali tidak memberikan respons pada pemberian minyak sereh 1,5 ml/l, minyak cengkeh 1,5 ml/l dan 3,5 ml/l (Gambar 1). Pemberian bahan anestesi berupa minyak sereh dengan dosis 1,5 ml/l terhadap kerang, tidak terlihat adanya kerang yang mengalami rileks maupun pemulihan, karena kerang memang tidak memberikan respons. Kejadian yang sama juga diperlihatkan pada pemberian bahan anestesi minyak cengkeh pada dosis 1,5, 2,5 dan 3, 5 ml/l. Kecuali pemberian minyak cengkeh dengan dosis 2,5 ml/l. Pemberian bahan anestesi berupa minyak menthol dan minyak pada pada semua dosis menunjukkan waktu rileks dan waktu pulih yang konsisten. Pemberian minyak menthol dengan dosis yang berbeda mengalami rileks dan waktu pulih yang hampir sama, 10 menit. Pemberian minyak pala pada semua dosis menunjukkan waktu relaks yang relatif sama (15 menit) tetapi beragam dalam waktu pulihnya. Tingkat mortalitas tertinggi selama satu bulan pemeliharaan terdapat pada pemberian bahan anestesi minyak cengkeh dengan dosis 2,5 ml/l sebanyak 22,22%., sedangkan tingkat mortalitas terendah terdapat pada pemberian bahan anestesi minyak sereh dengan dosis 1,5 ml/l dan 2,5 ml/l dan minyak menthol dengan dosis 1,5 ml/l dan 2,5 ml/l dengan tingkat mortalitas rata-rata 11,11%. Gambar 1. Respons Kerang Anodonta woodiana terhadap Bahan Anestesi 199 Jumlah kerang yang memberikan repons, seperti terlihat dalam Gambar 1, menunjukkan respons individu yang selama satu jam berada dalam wadah percobaan, bereaksi terhadap bahan anestesi sebagaimana diperlihatkan dengan pembukaan cangkangnya. Ternyata, minyak pala direspons secara merata oleh kerang yang diuji, dibandingkan bahan anestesi lainnya. Sementara analisis yang dilakukan menunjukkan adanya pengaruh yang nyata dari penggunaan bahan anestsi dan terdapat interaksi antara jenis dan dosis bahan anestesi sebagaimana ditunjukkan oleh responsnya. Meskipun demikian, diantara semua bahan dan dosis anestesi yang dicobakan, ternyata minyak pala dengan dosis 2,5 ml/ lmemperoleh respons tertinggi (Tabel 1). Pengamatan lebih jauh mencatat respons kerang terhadap minyak pala dengan dosis 2,5 ml/l, nampaknya terjadi lebih lambat dibandingkan dengan respons dari minyak lainnya yang berbeda baik jenis maupun dosisnya. Dalam hal ini, waktu relaks kerang yang ditandai oleh bukaan cangkangnya, berlangsung rata-rata 15 menit setelah dimasukkan ke wadah percobaan, yang kemudian diikuti dengan waktu tercepat dalam pemulihannya ketika dipindahkan ke wadah yang tanpa bahan anestesi. Sebagai rangkaian dalam uji coba ini, pengamatan umum dilakukan pula untuk mengetahui keadaan kerang setelah menerima bahan anestesi. Selama sebulan, kerang yang telah pulih dan bertahan hidup dipelihara dalam penampungan stok kerang percobaan. Hasilnya, sebagian besar ditandai hidup (Tabel 2). Dari kelompok kerang yang semula teranestesi dengan minyak pala berdosis 2,5 ml/l, ditemukan hanya satu individu yang mengalami kematian, suatu jumlah yang relatif terkecil dibandingkan dengan kelompok kerang yang semula teranestesi dan berespons dengan bahan yang dicobakan lainnya. Dalam budidaya kerang atau tiram mutiara, bahan anestesi digunakan untuk membius agar cangkangnya terbuka guna memudahkan penempatan inti atau iritan. Sejauh penelusuran pustaka yang dilakukan, penggunaan bahan anestesi terhadap Efektivitas Pemberian Beberapa Bahan Dan Dosis Anestesi Tabel 2. Rata-rata Jumlah Kerang yang Memberikan Respons pada Setiap Kombinasi Jenis dan Dosis Bahan Anestesi Jenis Bahan Anestesi Minyak Sereh Minyak Cengkeh Minyak Menthol Minyak Pala Dosis (ml/l) 1,5 2,5 3,5 0,028 a 55,56 c 44,44 b A C C 0,028 a 3,70 a 0028 a A A A 11,11 a 22,22 b 18,52 b B B B 44,44 a 81,48 b 48,15 a C D C Keterangan: Nilai dengan huruf kecil yang sama (arah baris) dan huruf besar yang sama (arah kolom) menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf 5%. kerang A. woodiana ternyata belum pernah dilakukan dan disajikan publikasinya. Dalam hal ini, uji coba yang dilakukan sesungguhnya mengacu pada aplikasi teknis yang dikerjakan pada tiram mutiara air laut, terutama anjuran yang diajukan Norton et al. (2000) untuk menggunakan bahan alam (minyak cengkeh dan menthol) dengan dosis rendah. Sebagaimana ditegaskan MartinsSousaet al. (2001) setelah menelaah sejumlah sumber, beragam efek yang dialami moluska atas pengaruh bahan anestesi, ditentukan oleh jenis, konsentrasi, dan waktu eksposisi. Demikian halnya dengan spesies moluska. Jenis moluska dari genus Biompharia mengalami pengaruh anestasi dari Cetamine berkonsentrasi 0,25 mg/ml air. Seperti juga Mamangkey et al. (2009), minyak cengkih digunakan Bilbao et al (2010) sebagai bahan anestesi pada abalone, meskipun keduanya menandai ketidakefetifan dari minyak ini. Keberhasilan dan kegagalan ternyata dialami ketika menggunakan bahan anestesi. Hal ini terungkap dari beberapa informasi terkait dengan upaya meningkatkan efisiensi budidaya mutiara air laut. Kegagalan dilaporkan pada tiram Pinctada margatifera, ketika untuk memudahkan penyisipan inti, digunakan 2 ml/ L phenoxetal propilena selama 15 menit yang setelah pemeliharaan 200 mengalami mortalitas secara signifikan. Selanjutnya Norton et al. (1996) dan O’Connor dan Lawier (2002) melaporkan keberhasilan menggunakan propylene phenoxetol dengan konsentrasi 2-3 ml/ L pada jenis tiram Pinctada albina, P. ambricata, P. margatifera, dan P. maxima. Demikian pula dengan menggunakan Benzocaine pada konsentrasi 1200mg/L yang diujicobakan pada P. albina, P. margarifera, P. facata, sama berhasilnya dalam menurunkan relaksaksi pada periode pendek (Acosta–Salmon et al., 2005). Minyak pala dikenal selama ini sebagai salah satu minyak astiri yang dihasilkan dari destilasi uap atas daging dan/atau biji buah pala. Martins-Sousaet al. (2001) menyatakan komponen utama minyak pala adalah miristisin yang bersifat racun dan mempunyai efek narkotika. Selengkapnya, aroma minyak pala mengandung d-camphene, d-pinene, limonene, d-borneol, l-terpineol, geraniol, safrol, dan myristicin. Dengan demikian, relaksasi dapat berlangsung pada kerang yang ditelaah ini sebagai tanggapan atas sifat dan efek minyak pala tersebut. SIMPULAN Bahan ansetesi miyak pala dapat digunakan untuk memudahkan penempatan iritan pada kerang Anodonta woodiana. Minyak pala direspon secara merata oleh kerang yang di uji dibandingkan dengan bahan anestesi yang lain. Minyak pala dengan dosis 2,5 ml/L memperoleh respon tertinggi oleh kerang Anodonta woodiana. UCAPAN TERIMA KASIH Kepala Balai Budidaya Air Tawar (BBAT) Tatelu, Dr. Ir. Amin Setiawan, M.S., Prof. Dr. Sukaya Sastrawibawa, SU., Amrih Joko W. M.P., Dr. Ir. Gybert Mamuaya, DAA, Ir. Jhonly Solang DAFTAR PUSTAKA Acosta-Salmon, H., E. Martinez-Fernandez, & P.C. Southgate, 2004. A new approach to pearl oyster broodstock Lumenta, C., dan Gybert, M. 201 selection: can saibo donors be used as future broodstock.Aquaculture 231(1-4), 205-214. oyster, Pinctada maxima (Jameson). Fish and Shellfish Immunology 27, 164-174. Acosta-Salmon, H., & P.C. Southgate, 2005. Mantle regeneration in the pearl oysters Pinctada fucata and Pinctada margaritifera. Aquaculture 246(1–4):447-453. Martins-Sousa, R.L., D. Negrao-Correa, F.S.M. Bezerra & P.M.Z Coelho. 2001. Anesthesia of Biomphalaria spp. (Mollusca, Gastropoda): Sodium pentobarbital is the rrug of choice. Mem Inst Oswaldo Cruz, Rio de Janeiro 96(3):391-392 Acosta-Salmon, H., & P.C. Southgate, 2006. Wound healing after excision of mantle tissue from the Akoya pearl oyster, Pinctada fucata. Comp. Biochem. Physiol. 143:264–268. Bilbao, A., B. Sosa, H.P. Palacios & M.D.C. Hernandez. 2010. Efficiency of clove oil as anesthetic for Abalone (HaliotisTuberculataCoccinea, Revee). Journal of Shellfish Research 29(3):679-682. Mamangkey, N.G.F., & P.C. Southgate, 2009. Regeneration of excised mantle tissue by the silver–lip pearl Norton, J.H., J.S. Lucas, I. Turner, R.J. Mayer, & R. Newnham, 2000. Approaches to improve cultured pearl formation in Pinctada margaritifera through use of relaxation, antiseptic application and incision closure during bead insertion. Aquaculture 184, 1–17. O’Connor, W.A., & N.F. Lawler, 2002. Propylene phenoxetol as a relaxant for the pearl oysters Pinctada imbricata and Pinctada albina. Asian Fish. Sci. 15, 51–57 Bionatura-Jurnal Ilmu-ilmu Hayati dan Fisik ISSN 1411 - 0903 Vol. 14, No. 3, November 2012: 201 - 210 KESTABILAN WARNA KURKUMIN TERENKAPSULASI DARI KUNYIT (Curcuma domestica Val. ) DALAM MINUMAN RINGAN DAN JELLY PADA BERBAGAI KONDISI PENYIMPANAN Tensiska., Nurhadi, B., dan Isfron, A.F. Jurusan Teknologi Industri Pangan, Fakultas Teknologi Industri Pertanian, Universitas Padjadjaran, Jatinangor. E-mail: [email protected] ABSTRAK Pigmen kurkumin dari kunyit bersifat tidak stabil terhadap cahaya, suhu dan perubahan pH, oleh karena itu dilakukan penyalutan dengan polimer (mikroenkapsulasi) agar memiliki umur simpan yang lebih lama. Pigmen kurkumin yang telah dimikroenkapsulasi dapat diaplikasikan pada produk pangan seperti minuman ringan dan jelly. Tujuan penelitian ini adalah untuk menetapkan kondisi penyimpanan yang tepat terhadap pigmen kurkumin terenkapsulasi yang diaplikasikan pada produk minuman ringan dan jelly dan menduga umur simpannya. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan empat perlakuan dan tiga kali ulangan. Perlakuan yang diberikan pada minuman ringan dan jelly adalah penyimpanan suhu ruang (250 C ± 20 C), suhu refrigerator (50 C± 20 C), terekspos cahaya, dan tanpa ekspos cahaya selama 30 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua produk (minuman ringan dan jelly) yang disimpan pada suhu refrigerator dan tanpa ekspos cahaya memiliki stabilitas warna yang paling baik. Berdasarkan intensitas warna kuning, umur simpan minuman ringan pada suhu ruang dan terekspos cahaya secara berturut-turut adalah 38 hari dan 15 hari sedangkan umur simpan pada suhu refrigerator dan tanpa ekspos cahaya tidak bisa diduga pada 30 hari penyimpanan karena hasil uji statistik menunjukkan bahwa lama penyimpanan (variabel x) tidak memengaruhi penurunan intensitas warna kurkumin (variabel y) selama penyimpanan 30 hari. Umur simpan jelly suhu refrigerator adalah 46 hari, tanpa terekpos cahaya: 25 hari , suhu ruang : 17 hari dan terekspos cahaya : 15 hari. Kata kunci: Kunyit, kurkumin, stabilitas, umur simpan COLOR STABILITY OF ENCAPSULATED CURCUMIN PIGMENTS FROM TURMERIC (Curcuma domestica Val.) IN SOFT DRINKS AND JELLY AT VARIOUS STORAGE CONDITIONS ABSTRACT Curcumin pigment from turmeric is not stable on light, heat, and a change of pH, therefore microencapsulation of curcumin was carried out in order to provide a longer shelf life. Microencapsulated curcumin pigment can be applied to food products such as soft drinks and jelly. The purpose of this study was to determine the appropriate storage conditions of microencapsulated curcumin pigment in soft drinks and jelly products and also to forcast their shelf life. this is the experimental reseach with four treatments and three replications. The four treatments tested in soft drinks and jelly included storage at room temperature (250 C ± 20 C), cold storage (50 C± 20 C), exposure to light, and without exposure to light. The results of this study indicated that both products stored at refrigeration temperature without exposure to light were the most stable color. The shelf life of soft drinks stored at room temperature and exposed to light was 38 days and 15 days, respectively. Meanwhile the shelf life of the product in refrigeration and exposed to light could not be calculated because, based on statistical analysis, it was found that storage (x variable) did not influence the intensity of the color (y variable) during the 30 days. The shelf life of the jelly stored in refrigeration was 46 days, without exposure to light: 25 days, room temperature: 17 days, and exposure to light: 15 days . Key words: Turmeric, curcumin, stability, shelf life 202 Tensiska., Nurhadi, B., dan Isfron, A.F. PENDAHULUAN Dua puluh tahun terakhir di negara maju, berkembang kesadaran masyarakat akan pangan fungsional (functional food) dan menghindari penggunaan bahan sintetik sebagai bahan tambahan pangan (food additif). Salah satu bahan tambahan pangan adalah pewarna. Penggunaan pewarna sintetik pada pangan memberikan kesan toksik, sedangkan pewarna alami memberi kesan menyehatkan. Selain itu, umumnya pewarna sintetik dibuat dari ter batubara sehingga mengandung logam berat yang berdampak negatif bagi kesehatan seperti penyebab kanker dan dapat menyebabkan gangguan tingkah laku serta merangsang perilaku hiperaktif pada anak-anak (Mc Cann et al., 2007 dikutip He and Giusti, 2010). Penggunaan pewarna alami sebagai bahan tambahan makanan yang aman menjadi salah satu alternatif penyelesaian permasalahan tersebut. Salah satu zat pewarna alami yang sering digunakan adalah kurkumin dari kunyit. Rimpang kunyit dapat dimanfaatkan sebagai zat pewarna alami yaitu senyawa kurkuminoid yang menampilkan warna kuning. Pigmen kurkumin bersifat larut dalam etanol dan asam asetat glasial dan memiliki stabilitas yang baik terhadap panas dan asam, tetapi sensitif terhadap cahaya (MacDougall, 2002). Menurut Sidik (1992), bila kurkumin terkena cahaya, akan terjadi dekomposisi struktur berupa siklisasi kurkumin atau terjadi degradasi struktur sehingga warna kurkumin berubah menjadi lebih gelap. Salah satu upaya untuk mempertahankan kestabilan pigmen kurkumin ini adalah dengan melakukan penyalutan menggunakan suatu bahan polimer sehingga memiliki daya tahan simpan yang lebih panjang. Menurut Syamsiyah (1996) dikutip Ariarti (1998), proses penyalutan (enkapsulasi) ini bertujuan untuk melindungi material inti dari pengaruhpengaruh lingkungan yang merugikan selama penyimpanan, dari kemungkinan terjadinya oksidasi oleh cahaya, penguapan, kelembaban, udara, serta mengubah bentuk cairan menjadi padatan yang lebih mudah dalam penanganan. Pigmen kurkumin yang telah dimikroenkapsulasi ini dapat diaplikasikan pada produk pangan, diantaranya adalah minuman ringan dan jelly. Berdasarkan uraian di atas perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui stabilitas bubuk pigmen kurkumin terenkapsulasi yang diaplikasikan pada minuman ringan dan jelly dalam berbagai kondisi penyimpanan. Tujuan penelitian ini untuk menetapkan kondisi penyimpanan yang tepat bagi pigmen kurkumin terenkapsulasi yang diaplikasikan pada produk minuman ringan dan jelly serta menduga umur simpannya. BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan adalah kunyit berumur 8-12 bulan yang diperoleh dari perkebunan kunyit di Kecamatan Tanjungsari Kabupaten Sumedang, maltodekstrin, asam asetat glasial dan akuades. Peralatan yang digunakan rotary evaporator vakum, spray drier tipe B-290 dan kromameter tipe CR300 Minolta dan peralatan gelas. Metode Metode penelitian yang digunakan adalah metode percobaan (Experimental Method) dengan empat perlakuan dan tiga kali ulangan yang dilanjutkan dengan metode regresi dan korelasi. Selanjutnya hasil percobaan dianalisis secara deksriptif. Penentuan stabilitas pigmen kurkumin terbaik pada minuman ringan dan jelly berdasarkan laju perubahan intensitas warna yang paling rendah. Perlakuan yang dicobakan adalah menambahkan bubuk pigmen kurkumin terenkapsulasi pada minuman ringan dan jelly yang disimpan selama 30 hari dengan berbagai kondisi penyimpanan yaitu : A = Minuman ringan dan jelly yang disimpan pada suhu ruang (250 C ± 20 C) B = Minuman ringan dan jelly yang disimpan pada suhu refrigerator (5 °C ± 2 °C) C = Minuman ringan dan jelly yang disimpan terekspos cahaya pada suhu ruang D = Minuman ringan dan jelly yang disimpan tanpa ekspos cahaya pada suhu ruang Kestabilan Warna Kurkumin Terenkapsulasi dari Kunyit Pengamatan dilakukan terhadap intensitas warna kuning selama penyimpanan dengan kromameter tipe CR-300 Minolta secara periodik selama penyimpanan 30 hari setiap 5 hari (Hutching, 1999) Tahapan Penelitian Penelitian ini dimulai dengan mengekstrak pigmen kurkuminoid dari rimpang kunyit mengacu pada modifikasi Vargas dan Lopez (2002) dengan pelarut akuades yang diasamkan dengan asam asetat glasial. Selanjutnya dilakukan penyalutan atau proses mikroenkapsulasi menggunakan alat spary drier dengan bahan penyalut maltodekstrin 6%. Mikroenkapsulasi ini menggunakan modifikasi metode Sukardi, Saati dan Wahyuni (2007). Tahap berikutnya adalah menentukan stabilitas pigmen pada produk aplikasi yaitu minuman ringan dan produk jelly. Minuman ringan dan jelly masing-masing ditambahkan pigmen kurkumin sebanyak 15.000 ppm. Penyimpanan produk aplikasi dilakukan pada (1) suhu ruang (25 ºC ± 2 ºC); (2) suhu refrigerator (5 ºC ± 2 ºC); (3) terekspos cahaya dari lampu Neon 18 Watt yang berjarak ± 1 meter dari sampel ; dan (4) tanpa terekspos cahaya (sampel disimpan pada ruangan tertutup tanpa cahaya). Minuman ringan yang telah ditambahkan dengan bubuk pigmen kurkumin terenkapsulasi disimpan dalam vial kaca dan ditutup rapat. Pada penyimpanan suhu ruang minuman ringan disimpan dalam ruangan terbuka (25 ºC ± 2 ºC) dengan tidak memperhatikan pengaruh cahaya. Penyimpanan suhu refrigerator, minuman ringan disimpan dalam refrigerator dengan suhu 5 ºC ± 2 ºC. Penyimpanan terekspos cahaya pada suhu ruang, minuman ringan 203 disimpan dalam ruangan terbuka bersuhu ruang (25 ºC ± 2 ºC) dengan ekspos cahaya dari lampu Neon 18 Watt yang berjarak ± 1 meter dari sampel. Penyimpanan tanpa ekspos cahaya pada suhu ruang (25 ºC ± 2 ºC), minuman ringan disimpan dalam ruangan tertutup tanpa cahaya. Jelly yang telah ditambahkan dengan bubuk pigmen kurkumin terenkapsulasi disimpan dalam plastic cup transparan dan ditutup rapat dengan bantuan plastic sealer. Jelly disimpan dengan kondisi penyimpanan yang sama seperti pada minuman ringan. Pengamatan dilakukan terhadap intensitas warna kuning (nilai b*) diamati setiap 5 hari sekali selama 30 hari dengan menggunakan kromameter tipe CR -300 Minolta (Hutching, 1999) . HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan Intensitas Warna Minuman Ringan Kerusakan kurkumin digambarkan dengan penurunan intensitas warna kuning (nilai b*) selama penyimpanan. Namun sebelum itu, perlu dilakukan penentuan orde reaksi untuk mengetahui pola laju perubahan intensitas warna minuman ringan, apakah mengikuti reaksi orde nol (linear) atau orde satu (eksponensial). Pemilihan orde nol atau orde satu adalah berdasarkan keeratan hubungan koefisien determinasi (R2) yang lebih besar dari kurva hubungan antara lama penyimpanan dengan nilai b* (orde nol) atau dengan nilai ln b* (orde satu ). Berdasarkan hasil penurunan intensitas warna kurkumin pada minuman ringan dalam beberapa kondisi penyimpanan, diperoleh kurva orde nol, dan orde satu seperti yang tertera pada Gambar 1. Gambar 1. Laju penurunan intensitas warna kuning dalam minuman ringan pada berbagai penyimpanan (a) orde nol dan (b) orde satu Keterangan: A (Penyimpanan suhu ruang); B (Penyimpanan suhu refrigerasi); C (Penyimpanan suhu ruang terekspos cahaya); D (Penyimpanan suhu ruang tanpa ekspos cahaya) Tensiska., Nurhadi, B., dan Isfron, A.F. Berdasarkan kurva orde nol dan orde satu (Gambar 1), diketahui persamaan regresi dari berbagai kondisi penyimpanan pada Tabel 1. Tabel 1. Persamaan Regresi dan Nilai R square (R2) Minuman Ringan pada Orde 0 dan Orde 1 Orde Reaksi Kondisi Penyimpanan A y = -0,129x + 21,20 0,645 Orde Nol B y = -0,009x + 21,13 0,008 C y = -0,220x + 19,60 0,704 D y = -0,026x + 18,94 0,086 A y = -0,0069x + 3,056 0,644 B y = -0,0004x + 3,0499 0,009 C y = -0,013x + 2,977 0,694 D y = -0,0014x + 2,939 0,078 Orde Satu Persamaan Regresi R2 Nilai R2 yang semakin mendekati satu, menandakan korelasi antar data semakin tinggi. Persentase penurunan intensitas warna per hari pada persamaan linear (orde nol) bersifat konstan selama penyimpanan, sedangkan pada reaksi orde satu terjadi secara eksponensial. Dapat dilihat pada Tabel 1, pada kondisi penyimpanan suhu ruang (A), terekspos cahaya (C) dan tanpa terekspos cahaya (D), orde nol memiliki koefisien determinasi (R2) yang lebih besar daripada orde satu. Oleh karena itu dapat ditentukan bahwa laju kerusakan kurkumin pada minuman ringan tersebut mengikuti reaksi orde nol. Artinya laju penurunan degradasi kurkumin untuk setiap hari penyimpanan bersifat konstan. Penyimpanan pada suhu refrigerator (B) memiliki nilai R2 orde satu yang lebih besar dari orde nol, sehingga disimpulkan bahwa degradasi kurkumin pada penyimpanan suhu refrigerator mengikuti orde satu. Penurunan kurkumin yang mengikuti kinetika reaksi orde nol menjelaskan bahwa degradasi kurkumin selama penyimpanan 30 hari, dipengaruhi faktor suhu dan cahaya dimana penurunan kurkumin akan konstan hingga pada akhirnya mencapai titik nol. Berdasarkan Tabel 1, dapat diketahui bahwa selisih koefisien determinasi pada persamaan di atas cukup kecil. Apabila percobaan 204 dilakukan dalam waktu penyimpanan yang lebih lama, ada kemungkinan kurva perubahan intensitas warna kurkumin untuk semua kondisi penyimpanan akan mengikuti kurva orde satu. Menurut Vargas dan Lopez (2002), degradasi warna pigmen kurkumin akibat cahaya dan panas mengikuti kinetika ordo satu. Jika laju degradasi kurkumin mengikuti kinetika reaksi orde satu, berarti laju kerusakannya bersifat eksponensial, namun pada akhirnya kurkumin tidak akan pernah mencapai titik nol tetapi hanya mendekati titik nol. Berdasarkan Gambar 1, grafik orde nol pada penyimpanan minuman ringan pada suhu ruang terekspos cahaya (peralakuan C) mengalami penurunan intensitas warna yang paling besar jika dibandingkan dengan perlakuan penyimpanan lainnya. Hal ini terjadi karena pada kondisi tersebut terdapat dua faktor yang menyebabkan kerusakan kurkumin yaitu suhu dan cahaya sehingga mengalami penurunan intensitas warna kurkumin yang paling cepat. Menurut Hendry (1996), pigmen kurkumin sensitif terhadap cahaya. Stankovic (2004) menambahkan bahwa suhu dan lama pemananasan berpengaruh nyata terhadap peningkatan degradasi kurkumin. Minuman ringan yang disimpan pada suhu refrigerator mengalami penurunan kurkumin yang paling kecil karena tidak adanya kontribusi cahaya dan kecilnya pengaruh suhu dalam proses degradasi kurkumin. Berdasarkan fakta tersebut, maka dapat dikatakan bahwa suhu dan cahaya memberikan kontribusi masingmasing terhadap degradasi kurkumin. Kedua faktor tersebut jika terdapat bersama-sama akan mempercepat laju degradasi kurkumin. Berdasarkan analisis regresi dapat ditulis kembali persamaan regresi dan kurva hubungan lama penyimpanan terhadap intensitas warna kuning (b*) yang terpilih yaitu orde nol untuk perlakuan A, C dan D , dan orde satu untuk perlakuan B yang disajikan pada Tabel 2. Pada Tabel 2 juga disajikan laju kinetik penurunan intensitas warna minuman ringan yang diperoleh dari nilai slope persamaan regresi. Kestabilan Warna Kurkumin Terenkapsulasi dari Kunyit Tabel 2. Persamaan regresi dan laju kinetik Konstan (K) antara nilai b* dengan lama penyimpanan pada minuman ringan. Penyimpanan Persamaan Regresi R2 Laju Kinetik (K) A (suhu ruang) y = -0,129x 0,645 + 21,20 0,129 B (suhu refrigerator) y = -0,0004x 0,009 + 3,05 0.0004 C (terekspos cahaya, suhu ruang) y = -0,220x 0,704 + 19,60 0.220 D (tanpa terekspos y = -0,026x 0,086 cahaya, suhu + 18,94 ruang) 0.026 Berdasarkan Tabel 2, lama penyimpanan minuman ringan pada suhu ruang memiliki hubungan yang cukup erat dengan penurunan intensitas warna kuning (b*). Hal ini terlihat dari nilai koefisien determinasi (R2) yaitu 0.645 yang artinya 64,5% penurunan intensitas warna kuning dipengaruhi oleh penyimpanan suhu ruang, sedangkan 35,5% sisanya dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang tidak diamati seperti cahaya, pH, dan lain-lain. Jika diilihat dari nilai slope (laju kinetik K) persamaan linier, minuman ringan yang disimpan pada suhu ruang memiliki nilai slope (-0,129) yang berarti bahwa setiap bertambah satu hari penyimpanan nilai intensitas warna kuning (b*) berkurang sebesar 0,129. Berbeda dengan penyimpanan suhu refrigerasi yang memiliki slope (-0,0004) yang berarti penurunan intensitas warna setiap harinya hanya 0,0004. Jika dilihat dari nilai keeratan hubungan (R2) antara lama penyimpanan terhadap intensitas warna kuning, maka dapat dinyatakan bahwa lama penyimpanan (30 hari) pada suhu refrigerator relatif tidak berpengaruh terhadap penurunan intensitas warna pigmen kurkumin dari kunyit pada minuman ringan. Berdasarkan Tabel 2, lama penyimpanan minuman ringan yang terekspos cahaya memiliki hubungan yang cukup erat dengan penurunan intensitas warna kuning (b*). Hal ini terlihat dari nilai koefisien determinasi (R2) yaitu 0.704 yang artinya 70,4% penurunan intensitas warna kuning dipengaruhi oleh cahaya sedangkan 29,6% 205 sisanya dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang tidak diamati seperti pH, oksigen, dan lain-lain. Jika dilihat dari nilai slope (laju kinetik K) persamaan linier, minuman ringan yang terekspos cahaya memiliki nilai slope (-0,220) yang berarti bahwa setiap bertambah satu hari penyimpanan nilai intensitas warna kuning (b*) berkurang sebesar 0,220. Berbeda dengan minuman ringan tidak terekspos cahaya yang memiliki slope (-0,026) yang berarti penurunan intensitas warna setiap harinya bernilai 0,026. Berdasarkan hal tersebut, dapat dinyatakan bahwa cahaya berpengaruh terhadap intensitas warna pigmen kurkumin dan kunyit pada minuman ringan. Berdasarkan pengujian hipotesis, diketahui bahwa perlakuan B (suhu refrigerator) dan D (suhu ruang tanpa ekspos cahaya) pada minuman ringan menunjukkan hipotesis penerimaan H0 (H0 : b = 0). Hal ini menunjukkan variabel lama penyimpanan tidak memengaruhi penurunan intensitas warna kurkumin selama penyimpanan 30 hari. Dengan demikian dapat dinyatakan, intensitas warna kurkumin pada minuman ringan yang disimpan pada suhu refrigerator dan suhu ruang tanpa terekspos cahaya, stabil selama penyimpanan 30 hari. Stabilitas yang baik pada minuman ringan ini terjadi karena kecilnya pengaruh faktor-faktor yang dapat merusak senyawa kurkumin, yaitu suhu dan cahaya. Hal ini juga ditunjukkan dengan warna minuman ringan yang relatif stabil hingga penyimpanan hari ke-30 pada kedua perlakuan tersebut. Pada hari ke-30 minuman ringan perlakuan penyimpanan suhu ruang (A) dan terekspos cahaya pada suhu ruang (C) terlihat mengalami perubahan warna menjadi lebih gelap. Perubahan ini terjadi akibat pembentukan senyawa feruilmetan hasil degradasi kurkumin. Menurut Sidik (1992), senyawa feruilmetan berwarna kuning kecoklatan. Perubahan Intensitas Warna Jelly Dalam menentukan laju penurunan intensitas warna kuning pada jelly, juga dilakukan penentuan orde reaksi untuk mengetahui nilai keeratan hubungan yang 206 Tensiska., Nurhadi, B., dan Isfron, A.F. paling besar antara lama penyimpanan terhadap penurunan intensitas warna kuning. Apabila orde reaksi yang berlaku adalah orde nol maka laju reaksi yang terjadi bersifat konstan sedangkan apabila orde reaksi yang berlaku adalah orde satu maka laju reaksi yang terjadi bersifat logaritmik atau eksponensial. Kurva regresi penurunan intensitas warna kuning jelly pada orde nol dan orde satu disajikan pada Gambar 2. Persamaan linear dan nilai R square (R2) pada orde 0 dan orde 1 disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Persamaan inear dan nilai R2 jelly pada orde 0 dan orde 1 Orde Reaksi Orde Nol Orde Satu Kondisi Penyimpanan Persamaan Regresi R2 A y = -0,240x + 20,30 0,669 B y = -0,075x + 19,78 0,147 C y = -0,263x + 20,16 0,614 D y = -0,157x + 20,19 0,470 A y = -0,015x + 3,029 0,632 B y = -0,004x + 2,982 0,141 C y = -0,017x + 3,023 0,528 D y = -0,009x + 3,012 0,410 Gambar 2. Laju penurunan ntensitas warna kuning pada jelly pada berbagai kondisi penyimpanan untuk orde nol dan orde satu Berdasarkan Tabel 3, semua persamaan intensitas warna kuning orde reaksi nol pada jelly memiliki nilai R2 yang lebih besar daripada persamaan orde satu. Hal ini berarti bahwa laju kerusakan warna kuning kurkumin pada jelly selama penyimpanan 30 hari mengikuti persamaan linear, yang artinya penurunan kurkumin akan konstan hingga pada akhirnya mencapai titik 0. Apabila percobaan dilakukan dalam waktu penyimpanan yang lebih lama, dapat dimungkinkan kurva perubahan intensitas warna kurkumin pada semua kondisi penyimpanan akan mengikuti kurva orde satu. Menurut Vargas dan Lopez (2003), degradasi warna pigmen kurkumin akibat cahaya dan panas mengikuti kinetika ordo satu. Hal tersebut juga diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Diani (2011) yang menyatakan bahwa degradasi kurkumin selama penyimpanan terjadi secara eksponensial. Persamaan regresi dan laju kinetik konstan (slope) produk jelly untuk orde nol ditulis kembali pada Tabel 4. Tabel 4. Persamaan regresi dan laju kinetik Konstan (K) antara intensitas warna (Nilai b* ) dengan lama penyimpanan pada jelly Penyimpanan Persamaan Regresi R2 Laju Kinetik (K) A (suhu ruang) y = -0,240x + 20,30 0,669 0,240 B (suhu refrigerator) y = -0,075x + 19,78 0,147 0.075 C ( terekspos cahaya pada suhu ruang) y = -0,263x + 20,16 0,614 0.263 D ( tanpa ekspos cahaya pada suhu ruang) y = -0,157x + 20,19 0,470 0.157 Berdasarkan Tabel 4, lama penyimpanan jelly pada suhu ruang memiliki hubungan yang cukup erat dengan penurunan intensitas warna kuning (b*). Hal ini terlihat dari nilai koefisien determinasi (R2) yaitu 0,669 yang artinya 66,9 % penurunan intensitas warna kuning dipengaruhi oleh penyimpanan suhu ruang, sedangkan 33,1% sisanya dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang tidak diamati seperti cahaya, pH, dan lainlain. Jika diilihat dari nilai slope (laju kinetik K) persamaan linier, jelly yang disimpan pada suhu ruang memiliki nilai slope (-0,240) yang berarti bahwa setiap bertambah satu hari penyimpanan nilai intensitas warna kuning (b*) berkurang sebesar 0,240, Kestabilan Warna Kurkumin Terenkapsulasi dari Kunyit sedangkan penyimpanan suhu refrigerator memiliki laju penurunan (-0,075) yang berarti penurunan intensitas warna setiap harinya bernilai 0,075. Jika dilihat dari nilai keeratan hubungan (R2) antara lama penyimpanan terhadap intensitas warna kuning, maka dapat dinyatakan bahwa lama penyimpanan pada suhu ruang berpengaruh terhadap intensitas warna. Sementara itu penyimpanan pada suhu refrigerator memiliki nilai R2 yang sangat kecil ( 0,147), yang berarti lama penyimpanan pada suhu refrigerator relatif kurang berpengaruh terhadap intensitas warna jelly. Berdasarkan Tabel 4, lama penyimpanan jelly yang terekspos cahaya memiliki hubungan yang cukup erat dengan penurunan intensitas warna kuning (b*). Hal ini terlihat dari nilai koefisien determinasi (R2) yaitu 0,614 yang artinya 61,4% penurunan intensitas warna kuning dipengaruhi oleh cahaya. Jika dilihat dari nilai slope (laju kinetik K) persamaan linier, jelly yang terekspos cahaya memiliki nilai slope (-0,263) yang berarti bahwa setiap bertambah satu hari penyimpanan nilai intensitas warna kuning (b*) berkurang sebesar 0,263, sedangkan jelly tidak terekspos cahaya yang memiliki slope (-0,157) yang berarti penurunan intensitas warna setiap harinya hanya 0,157. Hal ini berarti bahwa cahaya berpengaruh terhadap kestabilan pigmen kurkumin. Fakta ini juga didukung oleh nilai (R2) atau keeratan hubungan antara lama penyimpanan terhadap intensitas warna kuning, pada jelly yang terekspos cahaya nilai (R2) lebih besar dibandingkan dengan yang tanpa ekspos cahaya. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa cahaya berpengaruh terhadap penurunan intensitas warna pigmen kurkuin yang diaplikasikan pada jelly. Selain faktor suhu dan cahaya, degradasi kurkumin pada jelly selama penyimpanan juga dipengaruhi oleh kandungan gugus sulfat dari karagenan karena jelly powder yang digunakan berasal dari karagenan. Menurut Glicksman (1983), pada umumnya karagenan mengandung 25-39 % gugus sulfat ester. Hendry dan Houghton (1996) menegaskan bahwa senyawa sulfur dioksida 207 akan menurunkan intensitas warna pada kurkumin yang terlarutkan, terutama ketika sulfur dioksida terkandung lebih dari 100 ppm. Hal ini yang menyebabkan laju penurunan intensitas pigmen kurkumin pada produk jelly lebih cepat dibandingkan kurkumin pada produk minuman ringan dengan kondisi penyimpanan yang sama. Berdasarkan Tabel 4, penurunan intensitas warna lebih besar pada perlakuan penyimpanan suhu ruang (A) dibandingkan dengan perlakuan suhu refrigerator (B) yang ditunjukkan oleh nilai slope. Penurunan intensitas warna kuning pada jelly terjadi karena degradasi senyawa kurkumin menjadi asam ferulat dan feruloilmetan yang diakibatkan oleh suhu seperti yang terjadi pada minuman ringan. Intensitas warna kuning jelly pada suhu refrigerator relatif stabil selama penyimpanan hingga hari ke-30. Hal ini mungkin disebabkan karena tidak adanya kontribusi cahaya dan rendahnya suhu penyimpanan sehingga tingkat kerusakan kurkumin relatif kecil. Berdasarkan Tabel 4, jelly yang disimpan terekspos cahaya ( C ) mengalami penurunan nilai b* yang lebih besar dibandingkan dengan jelly tanpa ekspos cahaya (D). Hal ini disebabkan karena cahaya sangat berpengaruh terhadap stabilitas kurkumin. Pendugaan Umur Simpan Umur simpan berkaitan dengan kelayakan dan penerimaan produk oleh konsumen, oleh sebab itu dalam menentukan waktu kadaluwarsa bahan pangan diperlukan sebuah batasan mutu atau parameter kritis yang dapat mewakili ambang batas penerimaan produk oleh konsumen. Parameter kritis pigmen kurkumin terenkapsulasi yang diaplikasikan pada minuman ringan dan jelly, ditentukan berdasarkan intensitas warna kuning yang sudah tidak dapat lagi diterima, yaitu pudarnya warna kuning pada produk. Parameter yang diuji adalah intensitas warna kuning kurkumin pada minuman ringan dan jelly (nilai b*). Nilai b* kritis adalah intensitas warna kuning pigmen kurkumin pada produk yang Tensiska., Nurhadi, B., dan Isfron, A.F. sudah tidak dapat diterima lagi oleh konsumen yaitu 16,3. Nilai b* kritis ini didapatkan dari perlakuan suhu ruang terekspos cahaya pada minuman ringan selama penyimpanan 15 hari. Pada nilai tersebut intensitas warna kuning pigmen kurkumin pada produk mengalami kerusakan yang sudah tidak dapat diterima secara visual (warna kuning pucat). Berdasarkan data ini, umur simpan minuman ringan yang diwarnai dengan kurkumin dalam kemasan transparan, terekspos lampu seperti pada pasar swalayan, pada suhu ruang hanya sampai 15 hari. Pendugaan umur simpan untuk masing-masing perlakuan didapatkan dengan memasukkan nilai b* kritis yang telah didapat ke dalam variabel y (intensitas warna kuning b*) pada persamaan linear. Persamaan linear yang digunakan merupakan persamaan yang memiliki orde reaksi dengan R2 paling besar yaitu orde nol. Pendugaan umur simpan produk dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Pendugaan umur simpan pada minuman ringan dan Jelly pada beberapa kondisi penyimpanan. Produk Parameter kritis b* (y) Kondisi Penyimpanan Persamaan Linear Umur Simpan (x) A y = 1 bulan 8 - 0 , 1 2 9 x hari + 21,20 B y = Tidak -0,0004x dapat di+ 3,0499 tentukan C y = 15 hari -0,220x + 19,60 D y = Tidak - 0 , 0 2 6 x dapat di+ 18,94 tentukan A y = 17 hari -0,240x + 20,30 B y = 1 bulan - 0 , 0 7 5 x 16 hari + 19,78 C y = 15 hari -0,263x + 20,16 D y = 25 hari -0,157x + 20,19 Minuman Ringan 16,3 Jelly Keterangan : A = suhu ruang full gambar B = suhu refrigerator C = terekspos cahaya pada suhu ruang D = tanpa ekspos cahaya pada suhu ruang 208 Berdasarkan Tabel 5, dapat diketahui bahwa umur simpan minuman ringan pada penyimpanan suhu ruang (A) 1 bulan 8 hari dan penyimpanan terekspos cahaya pada suhu ruang (C) adalah 15 hari. Pendugaan umur simpan minuman ringan pada penyimpanan suhu refrigerator (B) dan tanpa ekspos cahaya pada suhu ruang (D) tidak dapat dilakukan karena pengujian hipotesis terhadap kedua jenis perlakuan ini menunjukkan hipotesis penerimaan H0 (H0 : b = 0) sehingga variabel lama penyimpanan (variabel x) tidak memengaruhi penurunan intensitas warna kurkumin (variabel y) selama penyimpanan 30 hari. Hal ini menunjukkan bahwa minuman ringan yang disimpan pada suhu refrigetor (B) dan tanpa ekpos cahaya pada suhu ruang (D) stabil selama penyimpanan 30 hari. Pada produk jelly diketahui umur simpan yang paling lama ditemukan pada jelly yang disimpan pada suhu refrigerator, yaitu 1 bulan 16 hari (B). Setelah itu diikuti oleh jelly yang disimpan tanpa ekspos cahaya pada suhu ruang yaitu 25 hari (D), penyimpanan pada suhu ruang yaitu 17 hari (A) dan penyimpanan terekspos cahaya pada suhu ruang yaitu 15 hari (C). Penyimpanan pada suhu refrigerator pada minuman ringan dan jelly memiliki umur simpan yang paling lama dibandingkan produk pada kondisi penyimpanan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa kurkumin paling lambat mengalami kerusakan karena suhu dan faktor cahaya berada pada tingkat yang rendah. Produk minuman ringan dan jelly yang disimpan pada suhu ruang dengan ekspos cahaya memiliki umur simpan yang paling singkat dibandingkan perlakuan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa produk yang disimpan pada suhu ruang dengan ekspos cahaya paling cepat mengalami kerusakan kurkumin akibat cahaya dan suhu. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa cahaya dan suhu sangat mempengaruhi umur simpan kurkumin terenkapsulasi yang diaplikasikan pada minuman ringan sedangkan faktor yang mempengaruhi umur simpan jelly adalah cahaya, suhu dan kandungan gugus sulfat. Kestabilan Warna Kurkumin Terenkapsulasi dari Kunyit SIMPULAN Pigmen kurkumin terenkapsulasi yang diaplikasikan pada minuman ringan dan jelly, memiliki stabilitas yang paling baik pada penyimpanan suhu refrigerator dan tanpa terekspos cahaya pada suhu ruang . Minuman ringan yang disimpan pada suhu refrigerator dan tanpa terekspos cahaya pada suhu ruang, stabil selama penyimpanan 30 hari. Umur simpan minuman ringan pada suhu ruang adalah 1 bulan 8 hari dan terekspos cahaya pada suhu ruang adalah 15 hari. Untuk produk jelly, umur simpan yang paling lama ditemukan pada penyimpanan suhu refrigerator, yaitu 1 bulan 16 hari. Jelly dengan penyimpanan tanpa terekspos cahaya pada suhu ruang, memiliki umur simpan 25 hari, penyimpanan suhu ruang 17 hari dan penyimpanan terekspos cahaya pada suhu ruang yaitu 15 hari. Perlu dilakukan penelitian tentang pigmen kurkumin terenkapsulasi yang diaplikasikan pada minuman ringan dan jelly dengan waktu pengamatan yang lebih dari 1 bulan. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kepada Dirjen Dikti LP2M untuk dukungan dana melalui Hibah Penelitian Strategis Nasional tahun 2010. DAFTAR PUSTAKA Ariarti, F. 1998. Pengaruh Penambahan Bahan Penyalut dan Jumlah Fraksi Minyak terhadap Mikroenkapsulasi Konsentrat Asam Lemak Omega-3 dengan Metode Spray Dryer. Skripsi. Fateta IPB, Bogor. Diani, M. 2011. Penentuan Umur Simpan Bubuk Pigmen Kurkumin Terenkapsulasi dari Rimpang Kunyit 209 (curcuma domestica val.) Dengan Metode Accelerated Shelf Life Test Model Arrhenius. Skripsi. Fakultas Teknologi Industri Pertanian Unpad, Jatinangor. Glicksman, M. 1983. Food Hydrocoloid. Boca Ratton, Florida: CRC Press. He, J. & Giusti, M.M. 2010. Anthocyanins: Natural Colorants with HealthPromoting Properties. Annu. Rev. Food Sci. Technol., 1 : 162-187. Hendry, G.A.F. 1996. Natural Food Colours. Dalam: Hendry, G.A.F. & Houghton, J.D. (eds.). Natural Food Colorants.. 2nd ed. London: Blackie Academic & Proffesional. Hendry, G.A.E. & Houghton, J.D. 1996. Natural Food Colorants. London; Blackie Academic and Professional. Hutching, J.B. 1999. Food Colour and Appearance. 2nd ed. Maryland: Aspen Publishing Inc. Jackman, R.L. & Smith, J.L. 1996. Anthocyanins and Betalanins. Di dalam G.A.F. Hendry dan J.D. Houghton (ed). Natural Food Colorants. Second Edition. London: Blackie Academic and Professionals, . MacDougall, D.B. 2002. Colour in Food Improving Quality. England: Woodhead Publishing Ltd. Sidik. 1992. Temulawak: Curcuma xanthorriza (Roxb). Yayasan Pengembangan Obat Bahan Alami PHYTO MEDICA, Jakarta. Tensiska., Nurhadi, B., dan Isfron, A.F. Stankovic, I. 2004. Curcumin. Chemical and Technical Assesment. FAO. Sukardi, E. Saati, A. & Wahyuni, S. 2007. Studi Pembuatan Bubuk Pigmen Antosianin Ekstrak Mawar Merah (Rosa damascena Mill) 210 (Kajian Penggunaan Jenis Filler dan Konsentrasi). Prosiding Seminar PATPI 2007, Bandung. Vargas, F. D. & Lopez, O.P. 2002. Natural Colorants for Food and Nutraceutical Uses. New York: CRC Press. Bionatura-Jurnal Ilmu-ilmu Hayati dan Fisik ISSN 1411 - 0903 Vol. 14, No. 3, November 2012: 211 - 218 AKTIVITAS INSEKTISIDA EKSTRAK TUMBUHAN TERHADAP Diaphorina citri DAN Toxoptera citricidus SERTA PENGARUHNYA TERHADAP TANAMAN DAN PREDATOR Syahputra, E.,1 dan Endarto, O.2 1 Bidang Minat Proteksi Tanaman, Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Tanjungpura, Jalan A. Yani, Pontianak, 78124 2 Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika, Tlekung-Batu, Jawa Timur E-mail: [email protected] ABSTRAK Penelitian bertujuan untuk menapis aktivitas insektisida ekstrak tumbuhan terhadap Diaphorina citri dan Toxoptera citricidus dan mengevaluasi pengaruhnya terhadap tanaman jeruk serta predator Halmus chalibeus. Ekstrak yang diuji adalah ekstrak etanol dan ekstrak air yang diperoleh dengan menggunakan metode maserasi. Bioassay dilakukan menggunakan metode residu pada daun (penyemprotan). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 19 ekstrak bahan tumbuhan yang ditapis ditemukan enam jenis ekstrak yang aktif terhadap serangga hama uji. Keenam bahan tumbuhan dimaksud adalah biji Mimusops elengi (Sapotaceae), biji Pometia pinnata (Sapindaceae), biji Barringtonia asiatica (Lecythidaceae), buah Brucea javanica (Simaroubaceae), biji Jatropha curcas (Euphorbiaceae) dan Piper sp. (Piperaceae). Ekstrak etanol tumbuhan tersebut pada konsentrasi 0,5% tidak menimbulkan gejala fitotoksit pada daun tanaman jeruk. Ekstraks air tumbuhan tersebut pada konsentrasi 5% tidak menyebabkan kematian larva predator H. chalibeus. Penelitian bioaktivitas ekstrak diperlukan untuk menentukan nilai (LC50), selanjutnya juga diperlukan identifikasi senyawa aktif yang terkandung di dalam ekstrak. Kata kunci: Diaphorina citri, ekstrak tumbuhan, Halmus chalibeus, insektisida botani, Toxoptera citricidus INSECTICIDAL ACTIVITY OF PLANTS EXTRACTS AGAINST CITRUS PESTS Diaphorina citri and Toxoptera citricidus AND THEIR EFFECT ON CITRUS PLANT AND PREDATOR ABSTRACT The objectives of this study were to screen the insecticidal activity of forest plants extracts against citrus pest Diaphorinja citri and Toxoptera citricidus and their effects on citrus plants and predator Halmus chalibeus. Extracts tested were ethanol extract and aquaeus extract, extraction used maceration method. Bioassays performed using the leaf-residual method (spraying). The results showed that from the 19 plants part extracts screened were found six active extracts against insect pests test. These active extracts were Mimusops elengi seeds (Sapotaceae), Pometia pinnata seeds (Sapindaceae), Barringtonia asiatica seeds (Lecythidaceae), Brucea javanica fruit (Simaroubaceae), Jatropha curcas seeds (Euphorbiaceae) and Piper sp. Fruit (Piperaceae). Aquaeus extracts of plant material at a concentration of 5% could not cause the death of the tested predator larvae. Ethanol extracts of these plants could not cause phytotoxicity symptoms on the leaves of citrus. Study of extract toxicity are needed to determine the value of LC50, the identification of active compounds are also required. Key words: Diaphorina citri, botanical insecticides, plants extracts, Halmus chalibeus, Toxoptera citricidus PENDAHULUAN Jangkauan ekonomi kebanyakan petani di Indonesia terhadap daya beli insektisida sintetik kini semakin dirasakan. Keadaan ini disebabkan melambungnya harga insektisida akibat tingginya biaya impor bahan aktif. Di sisi lain, permasalahan klasik penggunaan insektisida sintetik terus mengancam keselamatan pengguna maupun lingkungan. Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk mengurangi permasalahan-permasalahan 212 Syahputra, E., dan Endarto, O. yang ada. Melalui sejumlah peraturan, pemerintah terus mengatur agar pembangunan pertanian diutamakan pada pengembangan sumber daya hayati, pelestarian lingkungan, dan kesehatan manusia. Terkait hal tersebut, salah satu solusi yang dapat ditawarkan ialah pemanfaatan sediaan tumbuhan sebagai insektisida botani. Dari segi ekologi insektisida ini memiliki beberapa kelebihan yang umumnya tidak dimiliki insektisida sintetik. Penggalian dan pemberdayaan sumber insektisida botani asal tumbuhan lokal di Kalimantan Barat sedang berjalan. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan ditemukan bahwa sejumlah jenis anggota famili tumbuhan Clusiaceae, Lecythidaceae, dan Sapotaceae asal Kalimantan Barat memiliki aktivitas insektisida. Salah satu jenis tumbuhan Clusiaceae yang memiliki sifat insektisida dan berpotensi untuk dikembangkan sebagai sumber insektisida botani adalah Calophyllum soulattri (musuk) (Syahputra et al., 2007). Aktivitas ekstrak-ekstrak tumbuhan tersebut dilaporkan aktif terhadap hama kubis Crocidolomia pavonana, namun terhadap serangga hama jeruk aktivitasnya belum dilaporkan. Berbagai jenis serangga dapat menjadi hama pada tanaman jeruk. Di antara jenis serangga hama pada tanaman jeruk ialah kutu loncat Diaphorina citri dan kutu daun Toxoptera citricidus. Selain menjadi hama, kedua jenis serangga merupakan vektor penyakit pada jeruk. Contoh penyakit penting yang dapat ditularkan oleh masingmasing vektor tersebut adalah penyakit CVPD dan penyakit tristeza. Serangan penyakit tersebut dapat menyebabkan tanaman jeruk merana dan dengan demikian keberadaannya pada pertanaman perlu dikendalikan. Kedua serangga hama jeruk tersebut di lapangan memiliki musuh alami berupa predator dari kelompok serangga famili Coccinelidae, satu diantaranya Halmus chalibeus. Penelitian ini bertujuan menapis aktivitas insektisida ekstrak tumbuhan terhadap D. citri dan T. citricidus dan mengevaluasi pengaruhnya terhadap tanaman jeruk serta pengaruhnya terhadap predator H. chalibeus. BAHAN DAN METODE Serangga Uji Serangga uji yang digunakan adalah serangga hama kutu loncat D. citri (Homoptera: Psyllidae) dan kutu daun T. citricidus (Homoptera: Aphididae) serta serangga predator Halmus chalibeus (Coleoptera: Coccinellidae). Pemeliharaan dan perbanyakan serangga uji dilakukan di laboratorium. Tumbuhan Sumber Ekstrak Tumbuhan dicari dari berbagai daerah hutan di Kalimantan Barat yang diawali dengan studi etnobotani pemanfaatan tumbuhan sebagai tanaman obat, sebagai tanaman racun, pencarian secara acak serta pengembangan famili tumbuhan aktif. Bagian tumbuhan yang diambil dari lapangan meliputi, daun, kulit batang, bunga dan buah (jika ada). Identifikasi jenis tumbuhan dilakukan oleh staf Herbarium Bogoriense (LBN-LIPI), Bogor. Ekstraksi dengan Etanol Bahan tumbuhan yang diperoleh dari lapangan dikeringudarakan, selanjutnya dipotong-potong menjadi bagian yang lebih kecil dan dibuat menjadi serbuk menggunakan blender. Serbuk diayak menggunakan pengayak kasa berjalinan 1 mm dan serbuk hasil pengayakan ditimbang untuk keperluan ekstraksi. Serbuk ayakan yang telah ditimbang diekstrak dengan pelarut etanol dengan perbandingan bobot bahan dan pelarut 1:10 (w/v). Bahan diekstrak dengan metode maserasi dengan cara merendam bahan dalam pelarut 3 x 24 jam, selanjutnya disaring menggunakan corong yang dialasi kertas saring. Ampas bahan yang tertinggal dibilas tiga kali dan disaring kembali. Hasil penyaringan disatukan dan diuapkan dengan rotary evaporator pada suhu 55–60 °C dan penghampaan pada tekanan 580-600 mmHg. Ekstrak yang diperoleh selanjutnya disebut ekstrak etanol yang digunakan untuk penapisan awal aktivitas insektisida. Aktivitas Insektisida Ekstrak Tumbuhan terhadap Diaphorina citri Ekstraksi dengan Air Tanpa mengabaikan ekstrak etanol aktif lainnya, bahan tanaman yang diekstrak menggunakan air adalah bahan yang ekstraknya tersedia dan memiliki aktivitas insektisida sangat kuat dan kuat berdasarkan penapisan aktivitas ekstrak etanol. Ekstrak yang dipilih adalah ekstrak berbahan biji. Penyiapan ekstrak air ini merupakan pendekatan praktis untuk kemudahan penggunaan langsung di lapangan oleh petanipetani di negara berkembang umumnya dan Indonesia khususnya, karenanya pengujian selanjutnya difokuskan pada tujuh jenis ekstrak. Sebagai bahan ekstrak air digunakan serbuk tumbuhan. Ekstrak air disiapkan sebanyak 100 ml dan diuji pada konsentrasi 5%. Ekstrak air disiapkan dengan cara mengocok campuran serbuk bahan dalam aquades yang mengandung etanol dan pengemulsi Besmor (polioksietilen alkilaril eter) dengan konsentrasi dalam pelarut masing-masing 1% dan 0,1% dengan blender. Selanjutnya dibiarkan selama 15 menit hingga serbuk mengendap dengan sempurna. Selanjutnya, dengan menggunakan corong berlapis saringan kain kasa hasil kocokan disaring dan suspensinya ditampung dengan gelas erlenmeyer. Suspensi yang tertampung merupakan hasil penyiapan ekstrak air yang siap digunakan untuk pengujian. Penapisan Aktivitas Ekstrak Etanol dan Ekstrak Air terhadap D. citri dan T. citricidus Penapisan aktivitas insektisida terhadap kutu daun dilakukan dengan cara menyiapkan beberapa tanaman jeruk yang sedang bertunas. Tunas yang sehat dipilih dan diberi label perlakuan, kemudian tunas tersebut dicelupkan ke dalam masing-masing sediaan ekstrak yang telah disiapkan secara terpisah dan selanjutnya dikeringanginkan. Setelah kering, tunas-tunas tersebut diberi sangkar plastik berventilasi kasa pada salah satu ujungnya (diameter 8 cm, tinggi 20 cm) yang telah disiapkan. Sebanyak 30 ekor kutu daun yang siap uji (umur 2-3 hari) dipindahkan dengan menggunakan kuas lembut dari sangkar pemeliharaan ke 213 tunas di dalam sangkar perlakuan. Perlakuan diulang tiga kali. Pada perlakuan kontrol, daun hanya dicelup air yang mengandung etanol 1% dan pengemulsi 0,1%. Mortalitas serangga diamati setiap hari hingga tujuh hari setelah perlakuan. Mortalitas serangga ditandai dengan tidak bergeraknya serangga setelah disentuh dengan kuas. Cara pengujian aktivitas insektisida terhadap kutu loncat dilakukan seperti pengujian aktivitas insektisida terhadap kutu daun. Namun pemindahan imago D. citri dari sangkar pemeliharaan ke tunas-tunas perlakuan dilakukan dengan menggunakan mouth aspirator. Pengujian Fitotoksisitas Ekstrak Etanol terhadap Tanaman Jeruk Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui sifat fitotoksisit ekstrak etanol setelah disemprotkan pada tanaman jeruk. Ekstrak etanol diuji pada konsentrasi 0,5%. Penyiapan ekstrak tersebut dilakukan seperti cara penyiapan ekstrak pada percobaan sebelumnya. Metode pengujian dilakukan dengan cara penyemprotan menggunakan handsprayer (kapasitas 1,5 l) dan dilakukan pada daun tanaman jeruk yang tua dan masih muda. Sebagai kontrol digunakan pelarut dari masing-masing ekstrak. Ekstrak dan kontrol disemprotkan secara terpisah pada daun tanaman jeruk hingga basah menetes. Percobaan diulang tiga kali. Pengamatan gejala fitotoksisitas dilakukan pada tiga dan tujuh hari setelah penyemprotan. Pengamatan fitotoksisitas dilakukan dengan mengamati bagian helai daun tanaman jeruk yang mengalami nekrotik atau pengerutan, selanjutnya dihitung luas relatif bercak. Luas relatif bercak nekrotik = Pengujian Aktivitas Ekstrak Air terhadap Larva Predator Pada pengujian ini dipilih ekstrak air yang nantinya sediaannya berpeluang lebih besar untuk digunakan sebagai insektisida botani. Konsentrasi sediaan yang digunakan dalam pengujian ialah 5%. Ekstrak diuji dengan metode semprot pada tubuh larva menggunakan sprayer. Sebanyak 10 ekor Syahputra, E., dan Endarto, O. larva predator H. chalibeus instar I dan II yang siap uji (umur 1 hari) dipindahkan dengan menggunakan kuas lembut pada daun tanaman jeruk hidup. Kemudian daun jeruk dan larva predator tersebut disemprot dengan suspensi sediaan ekstrak menggunakan handsprayer hingga basah menetes. Untuk menjaga agar predator tetap di sekitar daun perlakuan, daun tersebut diberi sangkar plastik berventilasi kasa pada salah satu ujungnya (diameter 8 cm, tinggi 20 cm) yang telah disiapkan. Di dalam sangkar diletakkan mangsa predator sebagai pakan berupa kutu daun tanaman sehat. Perlakuan diulang tiga kali. Pada perlakuan kontrol daun dan larva predator hanya disemprot air yang mengandung etanol 1% dan pengemulsi 0,1%. Pengamatan mortalitas predator dilakukan setiap hari dan dihentikan saat kematian larva kontrol mencapai 20%. HASIL DAN PEMBAHASAN Aktivitas Insektisida Ekstrak Etanol Mortalitas diantara serangga uji akibat kontak dengan 19 jenis ekstrak etanol pada hasil penapisan ini beragam (Tabel 1). Tingkat mortalitas serangga hama yang ditunjukkan setelah mendapat ekstrak perlakuan menunjukkan gambaran aktivitas setiap ekstrak yang diuji. Seluruh sediaan ekstrak etanol yang diuji belum dapat menyebabkan mortalitas terhadap serangga uji D.citri. Sebaliknya terhadap kutu daun T. citricidus, seluruh ekstrak etanol yang diuji menunjukkan aktivitas insektisida. Hampir seluruh ekstrak etanol menunjukkan mortalitas 100% terhadap kutu daun T. citricidus, kecuali ekstrak biji A. indica yang menunjukkan mortalitas sebesar 85%. Berbagai faktor dapat mempengaruhi keberhasilan suatu insektisida dalam menyebabkan kematian serangga sasaran, diantaranya jenis insektisida, konsentrasi dan cara aplikasi insektisida, jenis serangga, fase perkembangan dan umur serangga serta faktor lingkungan. Resultante faktorfaktor tersebut merupakan fungsi toksisitas insektisida dalam menimbulkan kematian. Tidak matinya imago D. ctri setelah kontak dengan ekstrak etanol dalam pengujian ini 214 tampaknya lebih disebabkan faktor jenis serangga dan fase perkembangan serangga. Fase serangga D. citri yang digunakan dalam penelitian ini adalah fase imago. Tahapan perkembangan serangga yang lebih tua umumnya relatif lebih tahan terhadap insektisida dibandingkan dengan tahapan yang lebih muda. Oleh karena itu diperlukan evaluasi aktivitas ekstrak etanol ini terhadap serangga D. citri yang fasenya lebih muda. Perbedaan aktivitas insektisida untuk ekstrak tumbuhan yang sama terhadap kedua jenis serangga hama ini salah satunya dapat disebabkan perbedaan struktur morfologi eksternal dan internal diantara kedua serangga hama tersebut. Perbedaan ini dapat menyebabkan perbedaan proses-proses penetrasi dan metabolisme insektisida tersebut di dalam setiap serangga hama. Perbedaan aktivitas antar bahan dapat disebabkan perbedaan jenis dan atau kandungan bahan aktif di dalam ekstrak. Faktor-faktor tersebut merupakan fungsi toksisitas insektisida dalam menimbulkan kematian serangga hama. Beberapa contoh menunjukkan bahwa sasaran insektisida botani bersifat spesifik sehingga insektisida botani hanya dapat membunuh serangga tertentu saja, meskipun terdapat juga contoh bahwa insektisida botani dapat membunuh sejumlah sasaran. Untuk memastikan penyebab perbedaan diperlukan kajian lanjutan. Penapisan Aktivitas Ekstrak Air Tujuh biji/ buah tumbuhan yang dipilih untuk diuji ekstrak airnya menunjukkan mortalitas serangga (Tabel 2). Namun keseluruhan ekstrak air tumbuhan tersebut belum dapat menyebabkan mortalitas hingga 100%. Hanya satu jenis ekstrak yang mampu menunjukkan mortalitas di atas 80%, yaitu ekstrak air biji M. elengi, sedangkan sisanya ekstrak air tersebut hanya mampu menunjukkan mortalitas di bawah 70%. Tingginya aktivitas yang ditunjukkan oleh ekstrak air biji M. elengi terhadap T. citricidus ini menandakan bahwa senyawa aktif yang terkandung pada biji tumbuhan tersebut pada konsentrasi yang diuji dengan cara penyiapan yang dilakukan dapat tersuspensi lebih baik dibandingkan dengan 215 Aktivitas Insektisida Ekstrak Tumbuhan terhadap Diaphorina citri Tabel 1. Mortalitas Diaphorina citri dan Toxoptera citricidus hasil penapisan akarisida ekstrak tumbuhana No Famili Tumbuhan Bagian tumbuhan Sesies Mortalitas ± SB (%)b Pelarut D. citri T. citricidus 100 ± 0 1 Sapotaceae M. elengi B EtOH 0 2 Sapindaceae P. pinnata B EtOH 0 Nephelium cuspidatum Kb EtOH 0 100 ± 0 B. asiatica B EtOH 0 100 ± 0 D EtOH - 100 ± 0 B. sarcostachys Kb EtOH 0 100 ± 0 Meliaceaea A. indica B EtOH 0 85 ± 11,8 Bg EtOH 0 100 ± 0 9 Simaroubaceae Br. Javanica Bh EtOH 0 100 ± 0 10 Piperaceae Piper sp. B EtOH 0 100 ± 0 11 Clusiaceae C. soulattri Kb MeOH 0 100 ± 0 12 Menispermaceae Tinospora crispa S EtOH 0 100 ± 0 13 Caesalpiniaceae Casia tora D EtOH 0 100 ± 0 14 Crassulaceae Kalanchoe pinnata D EtOH 0 100 ± 0 15 Rutaceae Evodia swafiolens D EtOH - 100 ± 0 16 Achantaceae Pseuderanthemum graciliflorum Kbh EtOH 0 100 ± 0 D EtOH 0 100 ± 0 3 4 Lecythidaceae 5 6 7 8 17 100 ± 0 Belum diidentifikasi a 18 Buah tuba Bh EtOH 0 100 ± 0 19 Emparu Bh EtOH 0 100 ± 0 Ekstrak ditapis pada konsentrasi 0,5%; b Perhitungan mortalitas dilakukan pada 4 hari setelah perlakuan, persentase mortalitas telah dikoreksi dengan Abbott (1925); - tidak dilakukan pengujian (ekstrak tidak tersedia). Jumlah serangga yang digunakan untuk pengujian adalah 30 ekor. B: Biji; Bh: Buah; Kb: Kulit batang; Kbh: Kulit buah; D: Daun; Bg: Bunga; R: Ranting; S: Stolon; U: Umbi bahan biji lainnya. Dengan kata lain keadaan ini menggambarkan bahwa senyawa aktif yang tersuspensi pada ekstrak air lainnya belum cukup kuat menyebabkan mortalitas larva uji. Sejumlah sediaan bahan tanaman dapat disiapkan dengan ekstrak air yang mengandung metanol 0,75-1% dan diterjen 0,1-0,2% dan pada konsentrasi 5% -10% aktif terhadap larva C. pavonana. Dengan aktifnya ekstrak air biji M. elengi terhadap T. citricidus maka aplikasi sediaan tersebut di lapangan nantinya diharapkan dapat mengendalikan hama tersebut. Secara umum dibandingkan dengan ekstrak etanol pada konsentrasi ekstrak yang diuji, insektisida ekstrak air lebih rendah aktivitas insektisidanya. Keadaan ini menggambarkan bahwa senyawa aktif yang tersuspensi dalam air pada konsentrasi yang diuji tidak cukup kuat menyebabkan mortalitas serangga uji. Dengan demikian Tabel 2. Mortalitas Toxoptera citricidus hasil pengujian ekstrak air biji tumbuhana No a b Spesies tumbuhan 1 M. elengi 2 P. pinnata 3 B. asiatica 4 A. indica 5 Br. javanica 6 Piper sp. 7 J. curcas Mortalitas ± SB (%)b 86 ± 11,3 44 ± 22,6 68 ± 0 42 ± 11,3 10 ± 67,9 56 ± 0 54 ± 11,3 Ekstrak air diuji pada konsentrasi 5% Perhitungan mortalitas dilakukan pada 4 hari setelah perlakuan, persentase mortalitas telah dikoreksi dengan Abbott (1925) untuk aplikasinya di lapangan tampaknya penyiapan sediaan berbahan ekstrak etanol lebih baik dibandingkan ekstrak air. Konsentrasi tertinggi dari suatu sediaan berbahan ekstrak organik untuk kelayakan penggunaan di lapangan sekitar 0,5%. Syahputra, E., dan Endarto, O. Pengujian Fitotoksisitas Ekstrak Etanol pada Tanaman Jeruk Daun tua tanaman jeruk setelah disemprot dengan tujuh jenis ekstrak etanol pada konsentrasi diuji tidak menunjukkan gejala fitotoksit. Sama halnya dengan daun muda, hasil penyemprotan tujuh jenis ekstrak etanol pada daun muda pada tiga dan tujuh hari setelah penyemprotan (HSP) juga tidak menunjukkan gejala fitotoksisitas, kecuali ekstrak etanol buah Br. javanica (Tabel 3). Ekstrak buah Br. javanica menunjukkan gejala fitotoksit pada daun jeruk muda sebesar 11,7% pada 3 HSP dan berkembang menjadi 27,5% pada 7 HSP. Gejala fitotoksitas ini tampaknya tidak berkembang lagi setelah tujuh HSP. Hasil penelitian yang sama juga telah dilaporkan bahwa ekstrak etanol buah Br. javanica menyebabkan fitotoksisitas pada sejumlah tanaman budidaya (Syahputra, 2008). Bila suatu ekstrak tumbuhan tidak menyebabkan gejala fitotoksit atau menyebabkan gejala fitotoksit namun dalam batas yang dapat ditolerir tanaman (tanaman dapat tumbuh kembali secara normal), sediaan tumbuhan tersebut dapat langsung digunakan setelah disiapkan. Namun bila ekstrak tersebut menunjukkan gejala fitotoksik yang parah, perlu dilakukan pemisahan komponen penyebab fitotoksik dari penyusun ekstrak. Tabel 3. Gejala fitotoksisitas pada daun muda tanaman jeruk setelah disemprot dengan ekstrak etanol No 1 2 3 4 5 6 7 a Spesies tumbuhan Bagian tumbuhan M. elengi P. pinnata B. asiatica A. indica Biji Biji Biji Biji Br. javanica Buah Piper sp. J. curcas Buah Biji Gejala fitotoksisitas (%) pada hari ke (HSP)a 3 7 0 0 0 0 0 0 0 0 11,7 ± 27,5 ± 11,6 18,6 0 0 Ekstrak diuji pada konsentrasi 0,5% 0 0 216 Gejala fitotoksit cenderung terjadi pada tanaman yang diberi perlakuan sediaan ekstrak/fraksi insektisida botani, bukan senyawa murni. Azadirakhtin dan rokaglamida yang masing-masing merupakan senyawa murni yang diisolasi dari tumbuhan Meliaceae, A. indica dan Aglaia spp, pada konsentrasi yang aktif terhadap hama sasaran tidak menyebabkan fitotoksik pada beberapa tanaman. Loke et al. (1990) melaporkan bahwa penyemprotan ekstrak biji tanaman A. indica pada konsentrasi 0,5% hingga 4,0% menimbulkan gejala fitotoksik pada tanaman kubis, sawi dan padi berumur empat minggu. Rokaglamida pada konsentrasi 300 ppm yang disemprotkan pada daun tanaman brokoli dan kedelai tidak menimbulkan gejala fitotoksik (Dono, 2004). Mengingat tingginya aktivitas insektisida ekstrak Br. javanica diperlukan kajian untuk menghilangkan pengaruh fitotoksitnya. Pemanfaatan sifat antagonisme dari suatu pencampuran dua jenis senyawa yang berbeda merupakan salah satu upaya untuk mengurangi sifat fitotoksisitas. Sifat pencampuran yang diharapkan adalah dapat mengubah sifat sitotoksik senyawa campuran tanpa menurunkan aktivitas insektisidanya (antagonisme) atau sebaliknya diharapkan dapat menunjukkan sifat sinergisme. Sifatsifat sumber insektisida botani yang perlu dicari dan dikembangkan adalah sumber insektisida yang selain efektif terhadap hama sasaran, juga memiliki rendemen tinggi, relatif aman terhadap organisme nontarget, dan tidak meracuni tanaman melalui sifat fitotoksitnya. Hal ini merupakan pertimbangan yang perlu diperhatikan dalam pengembangan sumber insektisida botani alternatif. Pengujian Toksisitas Ekstrak air terhadap Predator Semua ekstrak air yang diuji menunjukkan toksisitas yang kuat terhadap larva predator H. chalibeus instar I (Tabel 4). namun berbeda halnya terhadap larva predator instar II. Tampaknya larva predator instar II lebih tahan terhadap ekstrak air. Hampir semua sediaan yang diuji tidak menyebabkan toksisitas terhadap larva 217 Aktivitas Insektisida Ekstrak Tumbuhan terhadap Diaphorina citri predator, kecuali sediaan berbahan serbuk biji M. elengi yang dapat menyebabkan mortalitas larva predator sebesar tidak lebih 10%. Tingginya toksisitas pada instar I terjadi karena tingginya kepekaan larva instar I predator tersebut terhadap ekstrak. Hal ini berimplikasi di lapangan bahwa ekstrak-ekstrak aktif tersebut tidak dapat diaplikasikan ke tanaman saat populasi larva predator instar I di lapangan sedang tinggi. Pengaruh insektisida sintetik atau insektisida botani terhadap serangga temasuk predator dapat beragam. Salah satunya tergantung pada fase perkembangan dan umur serangga (Reitz & Trumble, 1996). Senyawa sekunder tanaman atau insektisida botani tertentu relatif kurang toksik atau tidak berpengaruh terhadap karakter biologi parasitoid (Schmutterer, 1997). Tabel 4. Toksisitas ekstrak air terhadap larva Coccinellidae Halmus chalibeus instar I dan IIa No Jenis tumbuhan 1 2 3 4 5 6 7 M. elengi P. pinnata B. asiatica A.indica Br. javanica Piper sp J. curcas Mortalitas ± SB (%)b Instar I 100 ± 0 100 ± 0 100 ± 0 100 ± 0 100 ± 0 100 ± 0 100 ± 0 Instar II 10 0 0 0 0 0 0 Sediaan sederhana berbahan serbuk diuji pada konsentrasi 5%. b Perhitungan mortalitas dilakukan pada 4 hari setelah perlakuan, persentase mortalitas telah dikoreksi dengan Abbott (1925) sebagai fungisida dan bakterisida. Satish et al. (2008) melaporkan ekstrak air biji M. elengi menghambat pertumbuhan miselia cendawan Aspergillus niger. Hazra et al. (2008) telah mengisolasi dua jenis senyawa pentahydroxy flavonoid dari biji M. elengi yang berfungsi sebagai bakterisida. Lavaud et al. (2008) melaporkan telah mengisolasi enam jenis senyawa saponin dari kernel biji M. elengi, M. hexandra, dan M. manilkara. Ekstrak etanol biji P. pinnata (Sapindaceae) menunjukkan aktivitas insektisida terhadap C. pavonana dengan nilai LC50 0,16%. Tanaman Sapindus rarak, Sapindaceae lainnya telah diketahui aktivitas biologinya sebagai insektisida. Aktivitas biologi tanaman Simaroubaceae dari berbagai belahan dunia telah dilaporkan, diantaranya sebagai obat kesehatan manusia dan aktivitasnya sebagai insektisida, amoebisida dan herbisida. Dari tanaman Br. javanica, telah diisolasi brucein yang merupakan salah satu contoh senyawa aktif yang memiliki aktivitas antimalaria (Kim et al., 2004). Genus lain dari famili tanaman Simaroubaceae yang telah lama dilaporkan aktif sebagai insektisida adalah Quassia, salah satu spesiesnya adalah Q. amara. Senyawa aktif dari tanaman tersebut yang umum diketahui aktif terhadap beberapa jenis serangga adalah quassin. Tanaman Q. amara, selain aktif sebagai obat dan insektisida, bersama dengan Q. undulata ekstraknya juga aktif sebagai fungisida dan bakterisida. a Ekstrak tumbuhan aktif seperti temuan penelitian ini, beberapa diantaranya telah dilaporkan aktivitas biologinya. Berbagai ekstrak biji dan daun tanaman J. curcas (Euphorbiaceae) menunjukkan sifat antimoluska, anti-serangga dan anti-jamur. Sediaan biji tanaman Euphorbiaceae lainnya dilaporkan aktif terhadap beberapa jenis serangga dan tungau. Aktivitas M. elengi (Sapotaceae) saat ini telah diketahui SIMPULAN Penelitian ini berhasil mengungkapkan beberapa sumber insektisida botani baru terhadap T. citricidus. Bahanbahan tumbuhan yang dimaksud adalah biji M. elengi (Sapotaceae), P. pinnata (Sapindaceae), B. asiatica (Lecythidaceae), Br. javanica (Simaroubaceae), J. curcas (Euphorbiaceae) dan Piper sp. (Piperaceae). Ekstrak etanol tumbuhan tersebut pada konsentrasi 0,5% tidak menimbulkan gejala fitotoksit pada daun tanaman jeruk. Ekstrak air tumbuhan tersebut pada konsentrasi 5% tidak menyebabkan kematian larva predator Syahputra, E., dan Endarto, O. H. chalibeus. Penelitian bioaktivitas ekstrak diperlukan, selanjutnya juga diperlukan identifikasi senyawa aktif yang terkandung di dalam ekstrak. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan pada Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian yang telah mendanai penelitian ini melalui Proyek KKP3T dengan Surat Perintah Kerja Pelaksanaan Penelitian Nomor 763/LB.620/I.1/3/2008 DAFTAR PUSTAKA Abbott, W.S. 1925. A method of computing the effectiveness of an insecticide. J. Econ. Entomol., 18:265-267. Dono, D. 2004. Aktivitas insektisida rokaglamida dan penghambatan respons imunitas larva Crocidolomia pavonana (Fabricus) terhadap parasitoid Eriborus argenteopilosus (Cameron). Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Hazra, K.M., Roy, R.N., Sen, S.K., & Laskar S. 2007. Isolation of antibacterial pentahydroxy flavones from the seeds of Mimusops elengi Linn. http://www. academicjournals.org/AJB/PDF/ pdf2007/18Jun/Hazra%20et%20al. pdf. Accessed on 28 Mei 2008. Kim, I.H., Takashima, Hirosuyanagi, Y., Hasuda, T., & Takeya, K. 2004. New quassinoids, javanicolides C & D and javanicoides B-F, from seed of Brucea javanica. J. Nat. Prod., 67(5):863868. Lavaud, C., Massiot, G., Becchi, M., Misra, G., & Nigam, S.K. 1996. Saponins from three species of Mimusops. Phytochemistry, 41(3): 93-887. 218 Loke, W.H., Heng, C.K., Basirun, N., & Rejab, A. 1990. Non-target effects of neem (Azadirachta indica A. Juss) on Apanatales plutellae Kurdj., cabbage, sawi and padi. In: Proceedings 3rd International Conference on Plant Protection in the Tropics. Malaysia, March 20-23, 1990. pp. 108-110. Pahang: Malaysian Plant Protection Society. Reitz, S.R., & Trumble, J.T. 1996. Tritrophic interactions among linier furanocoumarins the herbivore Trichoplusia ni (Lepidoptera: Noctuidae), and the polyembrionic parasitoid Copidosoma floridanum (Hymenoptera: Encyrtidae). Environ. Entomol., 25: 1391-1397. Satish, S., Raghavendra, M.P., Mohana, D.C., & Raveesha, K.A. 2008. Antifungal activity of a known medicinal plant Mimusops elengi L. against grain moulds. J. Agric. Tech. Schmutterer, H. 1997. Side-effects of neem (Azadirachta indica) products on insect pathogens and natural enemies of spider mites and insects. J. Appl. Entomol., 121:121-128. Syahputra E. 2008. Bioaktivitas sediaan buah Brucea javanica sebagai insektisida botani untuk serangga hama pertanian. Bul. Penelitian Tan. Rempah & Obat, 19(1):57-67. Syahputra, E. 2007. Aktivitas insektisida ekstrak kulit batang Calophyllum soulattri terhadap ulat kubis Crocidolomia pavonana. Bionatura, 9(3):294-305 Bionatura-Jurnal Ilmu-ilmu Hayati dan Fisik ISSN 1411 - 0903 Vol. 14, No. 3, November 2012: 211 - 218 STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (SUPERFAMILI TRICHIUROIDEA) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT Ernawati, Y., dan Butet, N.A. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, FPIK-Institut Pertanian Bogor, Jln Lingkar Kampus IPB Dramaga, Bogor 16680; Telp/Fax. 02518624360 E-mail: [email protected] ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan aspek biologi reproduksi ikan layur Superfamili trichiuroidea yang meliputi rasio kelamin, tingkat kematangan gonad, fekunditas, diameter telur dan pola pemijahan. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli, September dan November 2007 di Perairan Palabuhanratu dengan menggunakan alat tangkap pancing rawai dan pancing ulur nomor 6, 7, 8 dan 9. Dari 194 ikan layur terdiri atas tiga spesies yaitu Spesies Trichiurus lepturus berjumlah 71 ekor (44 ekor jantan, 27 ekor betina), Lepturacanthus savala berjumlah 101 ekor (57 ekor jantan, 44 ekor betina) dan Gempylus serpens berjumlah 22 ekor (14 ekor jantan dan 8 ekor betina). Rasio kelamin tidak seimbang dan didominasi oleh ikan jantan. Ikan layur jenis T. lepturus dan L. savala diduga memasuki masa pemijahan pada bulan Juli. Fekunditas ikan betina T. lepturus berkisar antara 2877-16875 butir. Sedangkan nilai fekunditas ikan L. savala betina berkisar antara 4399-15261 butir. Diameter telur T. lepturus dan L. savala adalah 0,3-1,37 dan 0,3-1,5 mm. Pola pemijahan ikan T.lepturus dan L.savala adalah partial spawner. Kata kunci: Ikan layur, reproduksi, fekunditas. STUDY ON REPRODUCTIVE BIOLOGY OF LAYUR FISH (SUPERFAMILI TRICHIUROIDEA) IN PALABUHANRATU WATERS, SUKABUMI REGENCY, WEST JAVA ABSTRACT The objective of this study was to investigate the reproductive aspect of Triciuroidea, including sex ratio, GSI, fecundity, egg diameter, and spawning pattern. The study was conducted on July, September, and November 2007 in Palabuhan Ratu, West Java. The fishes were caught using long line and hand line number 6, 7, 8, and 9. Total samples were 194 individuals, consisted of 71 individuals Trichiurus lepturus (44 males and 27 females), 101 individuals Lepturacanthus savala (57 males, 44 ekor females) and 22 individuals Gempylus serpens (14 males and 8 females). Sex ratio were un balanced and dominated by the male fish. Presumably, the spawning period for T. lepturus and L. savala was started from July. The fecundity of T. lepturus and L. savala were between 2877-16875 eggs and 4399-15261 eggs respectively. The egg diameter of T. lepturus and L. savala were 0,3-1,37 and 0,3-1,5 mm.The spawning pattern of T. lepturus and L. savala were partial spawner. Key word: Trichiuroidea, reproduction, fecundity PENDAHULUAN Perairan Palabuhanratu berada di Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat merupakan salah satu daerah perikanan yang potensial dengan sumberdaya ikan melimpah. Posisi geografis perairan Palabuhanratu terletak pada koordinat 06o57’-07o07’ LS dan 106o49’-1070 00’ BT. Ikan layur dikenal dengan nama ribbon fishes merupakan salah satu ikan komersial penting, yang potensial dan prospek ekonomi tinggi serta mulai sebagai komoditi ekspor (El-Haweet & Ozawa, 1995). Produksi layur di PPN Palabuhanratu terus meningkat dari tahun ketahun. Berdasarkan data tahun 2002-2007 dari PPN Palabuhanratu, setiap tahunnya Palabuhan ratu menghasilkan 185,47 ton ikan layur dengan nilai produksi rata-rata mencapai Rp. 1.153.400.038 per tahun. Selama kurun waktu 6 tahun ini, tercatat hanya di tahun 2003 yang 220 Ernawati, Y., dan Butet, N.A. mengalami penurunan total produksi. Dan selebihnya memperlihatkan peningkatan total produksi (PPN Palabuhanratu, 2007). Hal ini disebab-kan terus meningkatnya permintaan layur baik dari pasar domestik maupun untuk keperluan ekspor. Jumlah ini merupakan angka cukup besar sebagai suatu komoditi perikanan untuk dikembangkan lebih lanjut. Permintaan pasar ikan layur cenderung meningkat. Hal ini menyebabkan usaha penangkapan pun meningkat. Dengan semakin meningkatnya usaha penangkapan maka penangkapan ikan layur di perairan Palabuhanratu cenderung tidak terkendali, karena hasil tangkapan merupakan prioritas bagi nelayan. Tidak jarang ikan-ikan kecil serta ikan matang gonad dan siap berpijah juga ikut tertangkap. Dengan penangkapan ikan yang tidak terkendali dan berlangsung terus menerus, dikhawatirkan akan terjadi overfishing. Overfishing dapat menyebabkan perubahan struktur populasi. Oleh karena itu diperlukan usaha rekruitmen dan reproduksi untuk menghasilkan keturunan sebagai upaya untuk melestarikan jenisnya. Pengetahuan tentang biologi reproduksi merupakan salah satu alat yang dapat digunakan dalam rangka pemanfaatan berkelanjutan sumberdaya ikan layur. Dengan mengetahui aspek reproduksi ikan layur maka penangkapan dapat dilakukan secara optimal dan lestari sehingga diharapkan kelestarian tetap terjaga dan menjadi dasar dalam pengelolaan berkelanjutan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji aspek biologi reproduksi diantara ketiga spesies ikan layur (Trichiurus lepturus, Lepturacanthus savala dan Gempylus serpens) seperti rasio kelamin, faktor kondisi, tingkat kematangan gonad, fekunditas, diameter telur dan pola pemijahan. menggunakan alat tangkap pancing rawai dan pancing ulur berukuran 6-9 oleh para nelayan di sekitar perairan Palabuhanratu, Sukabumi, Jawa Barat yang kemudian didaratkan di TPI Palabuhanratu. Ikan yang tertangkap dimasukkan ke dalam wadah cold box kemudian ikan contoh di bawa ke Laboratorium Fisiologi Hewan Air, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor untuk diteliti lebih lanjut. Ikan contoh diukur panjang totalnya dan ditimbang beratnya, kemudian ikan dibedah dan diambil gonadnya untuk ditimbang dan ditentukan jenis kelaminnya. Pengamatan tingkat kematangan gonad (TKG) dilihat dari bentuk gonad, besar kecilnya gonad, warna gonad, dan lunak pejalnya gonad. Penentuan TKG gonad ikan mengacu kepada morfologi gonad modifikasi Cassie dalam Effendi (1997). Sedangkan karakter mikroskopik gonad diamati berdasarkan preparat histologis gonad jantan dan gonad betina. Penentuan hubungan panjang-berat menggunakan rumus (Effendie, 1997) W = a Lb Keterangan : BAHAN DAN METODE K = Faktor kondisi W = Berat rata-rata ikan dalam satu kelas (gram) L = Panjang rata-rata ikan dalam satu kelas (mm) a dan b = Konstanta dari regresi Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli-November 2007, yang mewakili musim Timur (Juli dan September) dan mewakili musim peralihan (November). Pengambilan ikan contoh dilakukan pada bulan Juli, September dan November 2007 dengan W = berat total ikan (g) L = panjang total ikan (mm) a dan b = konstanta hasil regresi Pada pertumbuhan ikan isometrik (b=3), maka faktor kondisi menggunakan rumus sebagai berikut (Effendie, 1997): 10 5 K= 3 W L Pada pertumbuhan allometrik, faktor kondisi dihitung dengan menggunakan Rumus : K = W aL b Keterangan : Rasio kelamin dihitung dengan cara membandingkan jumlah ikan jantan dan ikan betina. Penentuan seimbang atau tidaknya rasio kelamin jantan dan betina 221 Studi Biologi Reproduksi Ikan Layur (Superfamili Trichiuroidea) dilakukan dengan uji Chi-Square (Steel & Torie, 1980). Rasio Kelamin = (a) J B Keterangan : J = Jumlah ikan jantan (ekor) B = Jumlah ikan betina (ekor) (b) Indeks Kematangan gonad (IKG) dengan menggunakan rumus (Effendie, 1997): IKG = B g x 100% B t (c) Keterangan: IKG Bg Bt = Indeks kematangan gonad = Berat gonad (gram) = Berat total (gram) Fekunditas dihitung dengan menggunakan metode gabungan. Dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Effendie, 1979): F= GxVxX Q Keterangan : F G V X Q = = = = = Fekunditas (butir) Berat gonad total (gram) Volume pengenceran (ml) Jumlah telur dalam 1 cc (butir) Berat telur contoh (gram) HASIL DAN PEMBAHASAN Sebaran Frekuensi Panjang Ikan layur (Superfamili Trichiuroidea) yang diamati selama penelitian berjumlah 194 ekor ikan yang terdiri atas tiga spesies yaitu Trichiurus lepturus, Lepturacanthus savala dan Gempylus serpens. Ikan layur T. lepturus berjumlah 71 ekor (44 ekor jantan, 27 ekor betina), ikan layur L. savala berjumlah 101 ekor (57 ekor jantan, 44 ekor betina) dan ikan layur G. serpens berjumlah 22 ekor (14 ekor jantan dan 8 ekor betina). Hasil tangkapan ikan layur kemudian dibagi menjadi 6 kelas ukuran panjang total (mm) dengan interval 125 mm (Gambar 1). Kisaran panjang total T. lepturus antara 270-997 mm untuk ikan jantan dan Selang kelas (mm) Gambar 1. Sebaran panjang ikan layur T.lepturus (a); L. savala (b); dan G. serpens (c) 452-997 mm untuk ikan betina. Ikan jantan tertangkap mulai selang kelas 251-375 mm; sedangkan ikan betina mulai ditemukan pada selang ukuran 501-625 mm. Ikan T. lepturus paling banyak tertangkap pada selang kelas 751-875 (24 ekor). Nakamura & Parin (1993) menyatakan bahwa ikan layur jenis T. lepturus memiliki panjang total maksimum sebesar 1200 mm, dan ikan yang dominan tertangkap berukuran 500-1000 mm. Ukuran panjang total L. savala yang tertangkap bervariasi antara 314-953 mm. Kisaran panjang ikan jantan dan betina tertinggi terdapat pada selang ukuran 626750 mm dengan jumlah ikan jantan sebanyak 25 ekor dan jumlah ikan betina 24 ekor. Ikan betina ditemukan pada selang kelas yang lebih panjang daripada ikan jantan. Ukuran panjang total ikan G. serpens yang tertangkap berkisar antara 624-905 mm. Ikan jantan tersebar pada panjang total 624 mm-905 mm. Kuantitas tangkapan ikan jantan dan betina terbesar terdapat pada selang panjang 626-750 mm yaitu sebanyak 9 ekor ikan jantan dan 5 ekor ikan betina. Ikan jantan ditemukan pada selang kelas yang lebih panjang daripada ikan betina. 222 Ernawati, Y., dan Butet, N.A. Pada Gambar 1 terlihat bahwa kelas ukuran panjang ikan layur antara ketiga spesies yang cukup beragam. Banyaknya kelas ukuran panjang ikan ini memperlihatkan keragaman ukuran ikan yang ditangkap. Hal ini dikarenakan dalam penangkapan ikan layur digunakan pancing (rawai atau pancing ulur) dengan ukuran mata pancing yang berbeda sehingga didapatkan hasil dan ukuran yang beragam. Berdasarkan sebaran kelompok panjang dari ketiga spesies dapat diketahui bahwa untuk semua spesies mengelompok pada ukuran 626-875 mm. Rendahnya frekuensi hasil tangkapan ikan layur yang berukuran kecil (dibawah 500 mm) disebabkan oleh dua faktor. Pertama, selektifitas alat, yang mana alat tangkap yang digunakan adalalah pancing ulur dan rawai dengan mata pancing ukuran 9 yang selektif untuk tangkapan ikan-ikan berukuran besar. Kedua, pada waktu penelitian ini dilakukan bertepatan dengan musim pertumbuhan dari ikan-ikan yang sebelumnya berukuran kecil menjadi berukuran besar. Hubungan Panjang-Berat Hubungan panjang-berat ketiga jenis ikan layur disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan hubungan panjang-berat ikan layur T. lepturus jantan dan betina diperoleh pola pertumbuhan ikan layur T. lepturus dengan model pertumbuhan yaitu W= 1 x 10-6 L2,8857 untuk ikan jantan, dengan koefisien korelasi (r) sebesar 0,97. Sedangkan, model pertumbuhan ikan betina mengikuti persamaan W = 1 x 10-5 L2,5310, dengan koefisien korelasi (r) sebesar 0,93. Dari hasil nilai b untuk ikan jantan dan betina didapatkan hasil bahwa pola pertumbuhan T. Lepturus jantan dan betina adalah allometrik negatif (b<3). Persamaan hubungan panjang-berat ikan layur jenis L. savala yaitu W = 2 x 10-7 L3,2626untuk ikan jantan, nilai koefisien korelasi (r) sebesar 0,92, sedangkan persamaan hubungan panjang berat ikan betina adalah W = 2 x 10-6 L2,8368, nilai koefisien korelasi (r) sebesar 0,89. Pola pertumbuhan L. savala jantan adalah allometrik positif (b>3), sedangkan ikan betina adalah allometrik negatif (b<3). Tabel 1. Hubungan panjang bobot ikan layur Ikan JK n a b r T. Lepturus Jantan 44 1x1-06 2,8857 0,97 Betina 27 1x1 2,531 0,93 Jantan 57 2x1-07 3,2626 0,92 Betina 44 2x1 -06 2,8368 0,89 G. Serpens Jantan 14 1x1-07 3,3538 0,95 Betina 8 8x1 2,3749 0,84 L. Savala -05 -05 Keterangan: JK= Jenis kelamin; n= jumlah data; a dan b= koefisien regresi; r= koefisien korelasi Pola pertumbuhan ikan layur jenis G. serpens jantan mengikuti persamaan W = 1 x 10-7 L3,3538 , dengan koefisien korelasi (r) sebesar 0,95. Persamaan hubungan panjangberat untuk ikan betina adalah W = 8 x 10-5 L2,3749, dengan koefisien korelasi (r) sebesar 0,84. Hal tersebut menunjukkan bahwa pola pertumbuhan ikan layur G. serpens jantan adalah allometrik positif (b>3) sedangkan ikan betina adalah allometrik negatif. Faktor Kondisi Faktor kondisi ketiga jenis ikan layur disajikan pada Tabel 2. Nilai faktor kondisi ikan T. lepturus jantan dan betina secara keseluruhan masing-masing berkisar antara 1,34-1,56 dan 1,33-3,29. Nilai faktor kondisi tertinggi baik ikan jantan atau betina terdapat pada bulan November. Nilai kisaran rata-rata faktor kondisi ikan L. savala jantan berkisar antara 0,65-0,91 dengan rata-rata nilai faktor kondisi tertinggi pada bulan September sebesar 0,91, sedangkan kisaran rata-rata faktor kondisi ikan betina adalah 1,05-1,20 dengan rata-rata nilai faktor kondisi tertinggi pada bulan November sebesar 1,20. Nilai faktor kondisi ikan layur G. Serpens jantan berkisar antara 1,16-1,21. Sedangkan faktor kondisi ikan betina berkisar antara 0,95-1,03. Kisaran faktor kondisi rata-rata untuk ikan jantan dan betina G. Serpens tertinggi berada pada bulan September. Pada bulan tersebut, diketahui bahwa kondisi perairan cukup baik dan merupakan musim banyak ikan. Diduga pada saat ini, ikan layur memanfaatkan kesempatan untuk mengkonsumsi makanan sebanyak-sebanyaknya sehingga meningkatkan nilai faktor kondisinya. Jumlah dan Studi Biologi Reproduksi Ikan Layur (Superfamili Trichiuroidea) 223 Tabel 2. Faktor kondisi ikan layur berdasarkan bulan pengamatan Ikan T. Lepturus L. Savala G. Serpens JK Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Juli Rerata 1,38 1,34 0,65 1,05 Sb 0,19 0,23 0,07 0,18 September Rerata Sb 1,34 0,37 1,54 0,17 0,91 0,43 1,13 0,24 1,21 0,14 1,03 0,06 November Rerata Sb 1,56 0,23 3,29 0,00 0,84 0,09 1,20 0,09 1,16 0,08 0,95 0,13 Keterangan: JK= Jenis kelamin; Sb= simpangan baku ukuran makanan yang tersedia di dalam lingkungan perairan merupakan faktor dalam yang mempengaruhi pertumbuhan ikan (nilai faktor kondisi) ikan tersebut (Effendie, 1997). Nilai faktor kondisi ikan T. lepturus dan L. savala relatif meningkat dari bulan Juli hingga November. Hal ini diduga dengan seiring meningkatnya perkembangan tingkat kematangan gonad maka akan meningkatkan nilai faktor kondisi. Selain itu, asupan makanan yang cukup dari lingkungan perairan membuat nilai faktor kondisi relatif meningkat. Nilai faktor kondisi ikan betina lebih besar daripada ikan jantan. Hal ini menunjukkan bahwa ikan betina memiliki kondisi yang lebih baik untuk bertahan hidup dan proses reproduksinya dibandingkan ikan jantan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Effendie (1997) bahwa ikan betina memiliki kondisi yang lebih baik dengan mengisi sell sex untuk proses reproduksinya dibandingkan ikan jantan. Nilai faktor kondisi yang tinggi pada bulan November diduga karena bulan November merupakan musim peralihan antara musim timur ke musim barat, suhu perairan meningkat sehingga ikan ini aktif mencari makan. Aktifitas makan yang aktif dapat mempengaruhi kondisi tubuh ikan. Rasio Kelamin Perbandingan rasio kelamin T. lepturus ikan jantan dan betina adalah 1,63:1 atau 61,97 % ikan jantan dan 38,03 % ikan betina. Rasio kelamin ikan layur jenis L. savala selama penelitian adalah 1,30:1. Sedangkan, rasio kelamin ikan layur G. serpens adalah sebesar 1,75:1. Berdasarkan hasil uji “Chi-Square” pada setiap bulan pengambilan ikan contoh dan secara keseluruhan dengan selang kepercayaan 95% (α=0,05) menunjukkan bahwa rasio kelamin ikan layur T. lepturus dalam kondisi tidak seimbang dimana didominasi oleh ikan jantan. Uji “ChiSquare” rasio kelamin berdasarkan waktu pengambilan ikan contoh menunjukkan bahwa rasio kelamin ikan layur L. savala tidak seimbang namun secara keseluruhan menunjukkan hasil sebaliknya yaitu rasio kelamin ikan layur L. savala adalah seimbang, dimana nilai Xhitung kurang dari nilai X tabel. Uji “Chi-Square” rasio kelamin secara keseluruhan dan berdasarkan waktu pengambilan ikan contoh didapatkan hasil bahwa rasio kelamin ikan layur G. serpens adalah seimbang. Berdasarkan penelitian Martin dan Haimovici (2000), menyatakan bahwa rasio kelamin ikan layur T. lepturus di ekosistem utama Subtropis Brazil Bagian Selatan tidak berbeda nyata dari 1:1. Berdasarkan penelitian Ball & Rao (1984) bahwa perbandingan rasio kelamin antara jantan dan betina dari L. savala berkisar antara 1:1,4. Namun perbedaan dari hasil penelitian tersebut dapat dikaitkan dengan pernyataan dari Ball dan Rao (1984) yang menyatakan bahwa penyimpangan dari kondisi ideal tersebut disebabkan oleh faktor tingkah laku ikan itu sendiri, perbedaan laju mortalitas dan pertumbuhannya. Pada bulan Juli jumlah ikan betina T. lepturus dan L. savala yang matang gonad lebih banyak daripada jumlah ikan jantan, sebaliknya terjadi pada bulan September dan Nopember. Rasio kelamin ikan layur juga Ernawati, Y., dan Butet, N.A. ditemukan tidak seimbang pada penelitian Shih et al. (2011) yang diduga karena terpengaruh distribusi spasial, pertumbuhan, dan laju kematian. Tingkat Kematangan Gonad (TKG) Berdasarkan bulan pengamatan ikan layur diantara ketiga spesies tersebut dapat diketahui bahwa dari ketiga spesies ikan layur tersebut baik ikan jantan atau ikan betina didominasi oleh ikan TKG I dan II (Gambar 2). Dari pengetahuan tahap perkembangan gonad ini juga akan didapatkan keterangan bilamana ikan tersebut akan memijah, baru memijah atau sudah selesai memijah (Effendie, 1997). Untuk ikan layur betina jenis T. lepturus dan L. savala komposisi terbanyak TKG III dan TKG IV ditemukan pada bulan Juli. Sedangkan ikan layur jenis G. serpens betina yang memiliki TKG III dan IV tidak ditemukan pada setiap waktu pengamatan. Tidak ditemukannya ikan G. serpens betina yang matang gonad diduga karena pola ruaya ikan G. Serpens ke perairan yang lebih dalam. Selain itu, ikan dewasa hidup cenderung soliter, ikan ini menyebar pada perairan yang relatif dalam (Nakamura dan Parin, 1993). Persentase TKG tiap bulan untuk ikan T. lepturus, L. savala dan G. serpens disajikan pada Gambar 2. JANTAN BETINA A TKG B C Selang kelas (mm) Gambar 2. TKG ikan layur T.lepturus (a), L.savala (b) dan G.serpens (c) berdasarkan bulan pengamatan 224 Prabhu (1955) dalam Bal & Rao (1984) menyatakan bahwa pemijahan T. lepturus hanya berlangsung sekali dalam setahun yaitu pada bulan Juni, namun penelitianpenelitian lain mengindikasikan pemijahan terjadi pada Mei-Juni dan NovemberDesember (Tampi et al. 1971; Narasimham 1976 dalam Bal dan Rao (1984). Berbeda halnya dengan Parin (1986), menyatakan bahwa T. lepturus yang hidup di daerah Mediterranean memijah pada bulan JuliAgustus. Untuk jenis ikan layur L.savala, musim pemijahan umumnya berlangsung antara bulan Maret-Mei. Sehubungan dengan tujuan pemijahan dan lainnya, sejauh ini untuk mempertahankan agar ikan ini tetap bisa hidup (Setiawan, 2006). Berdasarkan hasil penelitian, ikan layur T. lepturus jantan dan betina pertama kali matang gonad pada ukuran 725 mm dan 633 mm; L. savala jantan pada ukuran 552 mm dan betina pada ukuran 592 mm; sedangkan ikan G. serpens jantan matang gonad pertama kali pada ukuran 668 mm namun tidak ditemukannya ikan betina yang memasuki fase matang gonad (TKG III dan TKG IV) sehingga tidak dapat diketahui ukuran ikan betina pertama kali matang gonad. Persentase ikan yang matang gonad berdasarkan panjang tubuh disajikan pada Gambar 3. Tiap-tiap spesies ikan pertama kali matang gonad pada ukuran yang tidak sama. Ikan T. lepturus betina lebih cepat matang gonad dibandingkan ikan jantan. Sebaliknya untuk ikan layur L. savala, dimana ikan tersebut ikan jantan lebih cepat matang gonad jika dibandingkan ikan betinanya. Perbedaan ukuran matang gonad jantan dan betina juga diperoleh Kwok (1999) pada ikan T. Lepturus di Laut China Selatan. Kwok (1999) diperoleh informasi bahwa ikan layur T. lepturus jantan di Perairan Laut Cina Selatan memiliki koefisien pertumbuhan yang lambat daripada ikan betinanya dan ikan betina ditemukan lebih cepat matang gonad dibandingkan ikan jantan. Hal ini sejalan dengan pendapat Effedie (1997) bahwa ukuran matang gonad untuk tiap spesies ikan berbeda-beda. 225 Studi Biologi Reproduksi Ikan Layur (Superfamili Trichiuroidea) Indeks Kematangan Gonad (IKG) Indeks kematangan gonad ikan layur bervariasi pada setiap waktu pengamatan. Ikan layur jantan spesies T. lepturus memiliki kisaran IKG rata-rata berkisar antara 0,4999%-0,7349% dan ikan betina memiliki kisaran IKG antara 0,4924%-1,2042% (Gambar 16). Ikan layur jantan jenis L.savala memiliki nilai indeks kematangan gonad (IKG) berkisar antara 0,4483%-0,5580% dan ikan betina antara 0,2235%-1,4206% (Gambar 17). Nilai indeks kematangan gonad (IKG) Ikan jantan jenis G. Serpens berkisar antara 0,4121%-0,4190%. Ikan betina memiliki kisaran rata-rata IKG antara 0,2327%-0,3323% (Gambar 18). Pada bulan Juli diduga ikan layur jenis T. lepturus dan L. savala memasuki pemijahan, hal ini terlihat jelas dari terdapatnya ikan jantan dan betina dengan TKG III dan IV. Oleh karena itu, nilai indeks kematangan gonad pada bulan tersebut cukup tinggi. Namun tingginya nilai rata-rata IKG pada bulan November untuk ikan layur jenis G. serpens tidak dapat dijadikan nilai IKG tertinggi dikarenakan sedikitnya jumlah sampel dan pengamatan hanya dilakukan dua bulan. A TKG B C Selang kelas (mm) Gambar 3. TKG ikan layur T.lepturus (a), L.savala (b) dan G.serpens (c) berdasarkan panjang tubuh Keterangan: a= 251-375; b= 376-500; c= 501-625; d= 626750; e= 751-875; f= 876-1000 Tabel. Indeks Kematangan Gonad (IKG) ikan layur Juli Ikan JK September November Rerata Sb Rerata Sb Rerata Sb Jantan 0,73 1,33 0,71 0,73 0,50 0,22 Betina 1,20 1,00 0,99 1,12 0,49 0,00 Jantan 0,45 0,21 0,45 0,34 0,56 0,44 L. Savala Betina 1,42 1,16 0,38 0,22 0,22 0,10 0,41 0,32 0,42 0,26 0,23 0,18 0,33 0,10 T. Lepturus G. Serpens Jantan Betina Keterangan: JK= Jenis kelamin; Sb= simpangan baku Rata-rata IKG ikan betina lebih besar dibandingkan ikan jantan. Diduga hal ini disebabkan pertumbuhan ikan betina lebih tertuju pada pertumbuhan gonad, akibatnya berat gonad ikan betina menjadi lebih besar dibandingkan berat gonad ikan jantan. Dengan kata lain pengaruh perkembangan gonad lebih signifikan dibandingkan ikan jantan. Berbeda halnya dengan ikan G. serpens, dimana ikan jantan nilai IKG lebih tinggi dibandingkan ikan betina. Hal ini diduga karena tidak ditemukannya ikan betina matang gonad, berbeda halnya dengan ikan jantan yang memiliki fase matang gonad. Fekunditas Berdasarkan pengamatan secara makroskopis dari tiga spesies ikan layur didapatkan bahwa ikan layur betina yang memiliki TKG III dan TKG IV adalah ikan layur jenis T. lepturus dan L. savala. Ikan layur betina jenis G. serpens selama pengamatan hanya memiliki TKG I dan TKG II. Fekunditas ikan layur jenis T. lepturus diperoleh dari 13 ekor ikan betina dengan ukuran panjang total berkisar antara 630-991 mm dan berat antara 188,46-554,30 gram, ikan yang telah memasuki fase matang gonad yaitu 9 ekor ikan berada pada fase TKG III dan 4 ekor ikan pada fase TKG IV. Nilai fekunditas ikan betina T. lepturus berkisar antara 2877-16875 butir. Berdasarkan penelitian Martins & Haimovici, (2000) bahwa fekunditas telur T. lepturus di ekosistem utama subtropis Brazil bagian selatan berkisar dari 3.917 untuk ikan yang memiliki panjang total 70 226 Ernawati, Y., dan Butet, N.A. cm sampai 154.216 pada ikan contoh yang memiliki panjang total 141 cm namun jumlah pemijahan pada tiap musim belum dapat ditentukan. Sedangkan menurut Ball dan Rao (1984), fekunditas ikan layur T. lepturus berkisar antara 4000 (panjang ikan 42 cm) hingga 16.000 (panjang ikan 60 cm). Dari jumlah total ikan layur betina jenis L. savala yang diamati, diperoleh sebanyak 4 ekor ikan yang memiliki TKG III dan 3 ekor ikan memiliki TKG IV. Nilai fekunditas ikan layur betina jenis L.savala berkisar antara 4399-15261 butir. Fekunditas maksimum didapatkan pada ikan betina dengan ukuran panjang total sebesar 927 mm dan berat tubuh sebesar 295,10 gram. Ikan L. savala nilai fekunditas berkisar antara 9.178 untuk ikan yang memiliki panjang total 37 cm sampai 17.347 pada ikan contoh yang memiliki panjang total sebesar 54 cm (Ball & Rao, 1984). Berdasarkan analisa hubungan fekunditas ikan layur jenis T. lepturus dengan panjang total (mm) diperoleh nilai korelasi (r) sebesar 0,27 sedangkan dengan berat tubuh total (gram) diperoleh nilai korelasi (r) sebesar 0,40 (Gambar 19). Untuk ikan layur jenis L. savala, berdasarkan analisa hubungan fekunditas dengan panjang total (mm) diperoleh nilai korelasi (r) sebesar 0,65 sedangkan dengan berat tubuh total (gram) didapatkan nilai korelasi sebesar 0,74 (Gambar 20). Untuk ikan layur jenis T. lepturus dan L. Savala didapatkan hasil bahwa bobot tubuh lebih baik untuk menduga nilai fekunditas dibandingkan dengan panjang total tubuhnya. Hal ini dapat terlihat dari nilai korelasi yang cukup erat antara fekunditas dengan berat tubuh total. Peningkatan fekunditas berhubungan dengan peningkatan berat tubuh dan berat gonad (Solihatin, 2007). Hubungan fekunditas dengan panjang total dalam penelitian ini menunjukkan hubungan koefisien korelasi yang kecil. Hal ini diduga karena terdapatnya fekunditas yang bervariasi pada ikan-ikan yang mempunyai ukuran panjang hampir sama. Tabel. Hubungan fekunditas dengan panjang dan fekunditas dengan bobot ikan layur Ikan Parameter Panjang T. Lepturus Berat L. Savala Panjang Berat a 14,336 341,44 0,0107 0,7443 b 0,9299 0,5384 2,0864 1,6304 r 0,2706 0,4048 0,6528 0,7443 Keterangan: a dan b= koefisien regresi; r= koefisien korelasi Diameter Telur Sebaran diameter telur dari ikan layur jenis T. lepturus yang diamati pada gonad TKG III dan TKG IV bervariasi antara 0,31,37 mm, terbagi dalam 12 kelas ukuran diameter telur (Gambar 21). Pada TKG III, diameter telur terbanyak terdapat pada kisaran ukuran diameter antara 0,57-0,65 mm. Pada TKG IV didapatkan diameter telur terbanyak berkisar antara 0,93-1,01 mm. Diameter telur ikan layur jenis L. Savala berkisar antara 0,31,5 mm (Gambar 22). Diameter telur TKG III menyebar pada kisaran 0,3 mm-1,17 mm. Sedangkan diameter telur TKG IV menyebar pada kisaran 0,3 mm-1,50 mm. Terjadinya peningkatan ukuran diameter telur dari TKG III ke TKG IV seperti yang dikatakan Effendie (1979) yaitu umumnya sudah dapat diduga bahwa semakin meningkat tingkat kematangan gonad maka diameter telur yang ada di dalam ovarium semakin besar pula. Ikan laut memiliki karakteristik ukuran telur lebih kecil dibandingkan dengan ikan air tawar. Fekunditas ikan-ikan laut komersial penting pada umumnya lebih besar (Chambers & Leggett, 1996). Berdasarkan penelitian Martins & Haimovici (2000) yang telah dilakukan pada perairan ekosistem utama subtropis Brazil bagian selatan pada bulan September hingga Februari, ditemukan bahwa diameter telur ikan layur T. lepturus yang diambil dari TKG III dan TKG IV mencapai 0,8 mm dari 56 sampel gonad ikan layur. Shiokawa (1988) dalam Nakamura dan Parin (1993) menyatakan bahwa telur ikan layur T. lepturus adalah pelagis dengan ukuran diameter telur antara 1,59-1,88 mm. Studi Biologi Reproduksi Ikan Layur (Superfamili Trichiuroidea) Frekuensi (%) Dari sebaran frekuensi diameter telur TKG IV ikan T. lepturus dan L. savala maka diperoleh modus penyebaran dua puncak. Ini menandakan bahwa ikan T. lepturus dan L. savala tergolong kelompok ikan yang memijah dengan mengeluarkan telur sebagian-sebagian (partial spawner), dimana telur yang sudah matang dan berada dipuncak pertama akan dikeluarkan terlebih dahulu menyusul dengan pengeluaran telur yang berada dipuncak berikutnya. Sama halnya dengan penelitian Wojciechowski (1972) yang menyatakan bahwa ikan layur T. lepturus L. (Trichiuroidae) di Teluk Mauritania mempunyai periode reproduksi secara partial spawning pada lapisan permukaan dimana suhu dan salinitas berperan penting. Menurut Wojciechowski (1972), spesies ikan layur melakukan proses pemijahan pada bulan Mei hingga Oktober. A B Selang kelas diameter telur (mm) Keterangan: a= 0,30-0,38; b= 0,39-0,47; c= 0,48-0,56; d= 0,57-0,65; e= 0,66-0,74; f= 0,75-0,83; g= 0,84-0,92; h= 0,93-1,01; i= 1,02-1,10; j= 1,11-1,19; k= 1,20-1,28; l= 1,29-1,37 m=0,30-0,40 ; n=0,41-0,51 ; o=0,52-0,62 ; p=0,63-0,73 ; q=0,74-0,84 ; r=0,85-0,95 ; s=0,96-1,06 ; t=1,07-1,17 ; u=1,18-1,28 ; v=1,29-1,39 ; w= 1,40-1,50. Gambar 4. Sebaran diameter telur ikan layur T. lepturus (a) dan L. savala (b) SIMPULAN Pola pertumbuhan ikan layur T.lepturus jantan dan betina di Perairan Palabuhanratu adalah allometrik negatif. Pola pertumbuhan ikan jantan spesies L. savala dan G. serpens adalah allometrik positif, sedangkan ikan betina spesies L. savala dan G. serpens adalah allometrik negatif. Rasio kelamin ikan layur ketiga spesies didominasi oleh ikan jantan. Kisaran rata-rata faktor kondisi ikan T. lepturus dan L. savala betina lebih besar jika dibandingkan dengan faktor kondisi ikan jantan. 227 Ikan layur T. lepturus betina lebih cepat matang gonad dibandingkan ikan jantan. Sedangkan ikan L. savala jantan lebih cepat matang gonad dibandingkan ikan betina. Pada saat penelitian, komposisi TKG III dan TKG IV tertinggi untuk spesies T. lepturus dan L. Savala terdapat pada bulan Juli. Penelitian dilakukan mewakili musim timur (Juli dan September) dan mewakili musim peralihan (November). Nilai fekunditas ikan betina T. lepturus berkisar antara 2877-16875 butir. Sedangkan nilai fekunditas ikan L. savala betina berkisar antara 4399-15261 butir. Berdasarkan pola penyebaran diameter telur diduga bahwa ikan T.lepturus dan L.savala memijah secara partial spawner. DAFTAR PUSTAKA Bal, D.V. & K.V. Rao. 1984. Marine Fisheries. Tata McGraw-Hill Publishing Company Limited. New Delhi. 250 hal. Chambers, R.C. & W.C. Leggett. 1996. Maternal Influences on Variation in Temperate Marine Fishes. Journal America Zoology, 36 : 180-196. Effendie, M.I. 1979. Metoda Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor. 112 hal. Effendie, M.I. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta. 163 hal. El-Haweet, A. & T. Ozawa. 1995. Age and Growth of Ribbon Fish Trichiurus japonicus in Kagoshima Bay, Japan. Journal Fisheries Science Formerly Nippon Suisan Gakkaishi, Vol 62 (4), 529-533. Kwok, K.Y. 1999. Reproduction of Cutlassfishes Trichiurus spp. From The South China Sea. Marine Ecology Progress Series. Vol 176 : 39-47. Lagler KF, JE. Bardach, RR Miller & D. Passino. 1977. Ichtyology. New York, Ernawati, Y., dan Butet, N.A. USA: John Wiley and Sons inc. Martins, A.S. & M. Haimovici. 2000. Reproduction of The Cutlassfish Trichiurus lepturus In The Southern Brazil Subtropical Convergence Ecosystem. Journal Scientia Marina, 64 (1): 97-105. Nakamura, I. & N.V. Parin. 1993. FAO Species Catalogue. Vol 15. Snake Mackerels and Cutlassfishes of The World (Families Gempylidae and Trichiuridae). An Annotated and Illustrated Catalugue of The Snake Mackerels, Snoeks, Escolars, Gemfishes, Sackfishes, Domine, Oilfish, Cutlassfishes, Hairtails, and Frostfishes Known To Date. FAO Fish Synop. Rome. Parin, N.V. 1986. Trichiuridae. Fishes of the North-eastern Atlantic and the Mediterranean Vol. II: 976-980. UNESCO. United Kingdom. Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu. 2007. Data Statistika Perikanan Tahun 2007. PPN Palabuhanratu. Sukabumi. Setiawan, D.R. 2006. Ketajaman Penglihatan Ikan Layur (Trichiurus spp.) Hasil Tangkapan Pancing Rawai 228 di Teluk Palabuhanratu Sukabumi Jawa Barat. Skripsi. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan. Shih, N.-T. Hsu, K.-C. & Ni, I.-H. Age, Growth and Reproduction of cutlassfishes Trichiurus spp. in the southern East China Sea. 2011 Blackwell Verlag, Berlin Accepted: November 18, 2010 ISSN Appl. Ichthyol. 27 (2011), 1307–1315. Solihatin, A. 2007. Biologi Reproduksi dan Studi Kebiasaan Makanan Ikan Sebarau (Hampala macrolepidota) di Sungai Musi. Skripsi. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan. Steel, R. G. D. & J.H. Torie. 1980. Principle and Procedure of Statistic. Second Edition. Mc Graw-Hill. Book Company, Inc. New York. 748 p. Wojciechowski, J. 1972. Observation On Biology of Cutlassfish Trichiurus lepturus L. (Trichiuroidae) of Mauritania Shelf. Journal Acta Ichthyologica Et Fiscatoria, Vol.II, Fasc 2. Bionatura-Jurnal Ilmu-ilmu Hayati dan Fisik ISSN 1411 - 0903 Vol. 14, No. 3, November 2012: 211 - 218 STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (SUPERFAMILI TRICHIUROIDEA) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT Ernawati, Y., dan Butet, N.A. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, FPIK-Institut Pertanian Bogor, Jln Lingkar Kampus IPB Dramaga, Bogor 16680; Telp/Fax. 02518624360 E-mail: [email protected] ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan aspek biologi reproduksi ikan layur Superfamili trichiuroidea yang meliputi rasio kelamin, tingkat kematangan gonad, fekunditas, diameter telur dan pola pemijahan. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli, September dan November 2007 di Perairan Palabuhanratu dengan menggunakan alat tangkap pancing rawai dan pancing ulur nomor 6, 7, 8 dan 9. Dari 194 ikan layur terdiri atas tiga spesies yaitu Spesies Trichiurus lepturus berjumlah 71 ekor (44 ekor jantan, 27 ekor betina), Lepturacanthus savala berjumlah 101 ekor (57 ekor jantan, 44 ekor betina) dan Gempylus serpens berjumlah 22 ekor (14 ekor jantan dan 8 ekor betina). Rasio kelamin tidak seimbang dan didominasi oleh ikan jantan. Ikan layur jenis T. lepturus dan L. savala diduga memasuki masa pemijahan pada bulan Juli. Fekunditas ikan betina T. lepturus berkisar antara 2877-16875 butir. Sedangkan nilai fekunditas ikan L. savala betina berkisar antara 4399-15261 butir. Diameter telur T. lepturus dan L. savala adalah 0,3-1,37 dan 0,3-1,5 mm. Pola pemijahan ikan T.lepturus dan L.savala adalah partial spawner. Kata kunci: Ikan layur, reproduksi, fekunditas. STUDY ON REPRODUCTIVE BIOLOGY OF LAYUR FISH (SUPERFAMILI TRICHIUROIDEA) IN PALABUHANRATU WATERS, SUKABUMI REGENCY, WEST JAVA ABSTRACT The objective of this study was to investigate the reproductive aspect of Triciuroidea, including sex ratio, GSI, fecundity, egg diameter, and spawning pattern. The study was conducted on July, September, and November 2007 in Palabuhan Ratu, West Java. The fishes were caught using long line and hand line number 6, 7, 8, and 9. Total samples were 194 individuals, consisted of 71 individuals Trichiurus lepturus (44 males and 27 females), 101 individuals Lepturacanthus savala (57 males, 44 ekor females) and 22 individuals Gempylus serpens (14 males and 8 females). Sex ratio were un balanced and dominated by the male fish. Presumably, the spawning period for T. lepturus and L. savala was started from July. The fecundity of T. lepturus and L. savala were between 2877-16875 eggs and 4399-15261 eggs respectively. The egg diameter of T. lepturus and L. savala were 0,3-1,37 and 0,3-1,5 mm.The spawning pattern of T. lepturus and L. savala were partial spawner. Key word: Trichiuroidea, reproduction, fecundity PENDAHULUAN Perairan Palabuhanratu berada di Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat merupakan salah satu daerah perikanan yang potensial dengan sumberdaya ikan melimpah. Posisi geografis perairan Palabuhanratu terletak pada koordinat 06o57’-07o07’ LS dan 106o49’-1070 00’ BT. Ikan layur dikenal dengan nama ribbon fishes merupakan salah satu ikan komersial penting, yang potensial dan prospek ekonomi tinggi serta mulai sebagai komoditi ekspor (El-Haweet & Ozawa, 1995). Produksi layur di PPN Palabuhanratu terus meningkat dari tahun ketahun. Berdasarkan data tahun 2002-2007 dari PPN Palabuhanratu, setiap tahunnya Palabuhan ratu menghasilkan 185,47 ton ikan layur dengan nilai produksi rata-rata mencapai Rp. 1.153.400.038 per tahun. Selama kurun waktu 6 tahun ini, tercatat hanya di tahun 2003 yang 220 Ernawati, Y., dan Butet, N.A. mengalami penurunan total produksi. Dan selebihnya memperlihatkan peningkatan total produksi (PPN Palabuhanratu, 2007). Hal ini disebab-kan terus meningkatnya permintaan layur baik dari pasar domestik maupun untuk keperluan ekspor. Jumlah ini merupakan angka cukup besar sebagai suatu komoditi perikanan untuk dikembangkan lebih lanjut. Permintaan pasar ikan layur cenderung meningkat. Hal ini menyebabkan usaha penangkapan pun meningkat. Dengan semakin meningkatnya usaha penangkapan maka penangkapan ikan layur di perairan Palabuhanratu cenderung tidak terkendali, karena hasil tangkapan merupakan prioritas bagi nelayan. Tidak jarang ikan-ikan kecil serta ikan matang gonad dan siap berpijah juga ikut tertangkap. Dengan penangkapan ikan yang tidak terkendali dan berlangsung terus menerus, dikhawatirkan akan terjadi overfishing. Overfishing dapat menyebabkan perubahan struktur populasi. Oleh karena itu diperlukan usaha rekruitmen dan reproduksi untuk menghasilkan keturunan sebagai upaya untuk melestarikan jenisnya. Pengetahuan tentang biologi reproduksi merupakan salah satu alat yang dapat digunakan dalam rangka pemanfaatan berkelanjutan sumberdaya ikan layur. Dengan mengetahui aspek reproduksi ikan layur maka penangkapan dapat dilakukan secara optimal dan lestari sehingga diharapkan kelestarian tetap terjaga dan menjadi dasar dalam pengelolaan berkelanjutan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji aspek biologi reproduksi diantara ketiga spesies ikan layur (Trichiurus lepturus, Lepturacanthus savala dan Gempylus serpens) seperti rasio kelamin, faktor kondisi, tingkat kematangan gonad, fekunditas, diameter telur dan pola pemijahan. menggunakan alat tangkap pancing rawai dan pancing ulur berukuran 6-9 oleh para nelayan di sekitar perairan Palabuhanratu, Sukabumi, Jawa Barat yang kemudian didaratkan di TPI Palabuhanratu. Ikan yang tertangkap dimasukkan ke dalam wadah cold box kemudian ikan contoh di bawa ke Laboratorium Fisiologi Hewan Air, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor untuk diteliti lebih lanjut. Ikan contoh diukur panjang totalnya dan ditimbang beratnya, kemudian ikan dibedah dan diambil gonadnya untuk ditimbang dan ditentukan jenis kelaminnya. Pengamatan tingkat kematangan gonad (TKG) dilihat dari bentuk gonad, besar kecilnya gonad, warna gonad, dan lunak pejalnya gonad. Penentuan TKG gonad ikan mengacu kepada morfologi gonad modifikasi Cassie dalam Effendi (1997). Sedangkan karakter mikroskopik gonad diamati berdasarkan preparat histologis gonad jantan dan gonad betina. Penentuan hubungan panjang-berat menggunakan rumus (Effendie, 1997) W = a Lb Keterangan : BAHAN DAN METODE K = Faktor kondisi W = Berat rata-rata ikan dalam satu kelas (gram) L = Panjang rata-rata ikan dalam satu kelas (mm) a dan b = Konstanta dari regresi Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli-November 2007, yang mewakili musim Timur (Juli dan September) dan mewakili musim peralihan (November). Pengambilan ikan contoh dilakukan pada bulan Juli, September dan November 2007 dengan W = berat total ikan (g) L = panjang total ikan (mm) a dan b = konstanta hasil regresi Pada pertumbuhan ikan isometrik (b=3), maka faktor kondisi menggunakan rumus sebagai berikut (Effendie, 1997): 10 5 K= 3 W L Pada pertumbuhan allometrik, faktor kondisi dihitung dengan menggunakan Rumus : K = W aL b Keterangan : Rasio kelamin dihitung dengan cara membandingkan jumlah ikan jantan dan ikan betina. Penentuan seimbang atau tidaknya rasio kelamin jantan dan betina 221 Studi Biologi Reproduksi Ikan Layur (Superfamili Trichiuroidea) dilakukan dengan uji Chi-Square (Steel & Torie, 1980). Rasio Kelamin = (a) J B Keterangan : J = Jumlah ikan jantan (ekor) B = Jumlah ikan betina (ekor) (b) Indeks Kematangan gonad (IKG) dengan menggunakan rumus (Effendie, 1997): IKG = B g x 100% B t (c) Keterangan: IKG Bg Bt = Indeks kematangan gonad = Berat gonad (gram) = Berat total (gram) Fekunditas dihitung dengan menggunakan metode gabungan. Dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Effendie, 1979): F= GxVxX Q Keterangan : F G V X Q = = = = = Fekunditas (butir) Berat gonad total (gram) Volume pengenceran (ml) Jumlah telur dalam 1 cc (butir) Berat telur contoh (gram) HASIL DAN PEMBAHASAN Sebaran Frekuensi Panjang Ikan layur (Superfamili Trichiuroidea) yang diamati selama penelitian berjumlah 194 ekor ikan yang terdiri atas tiga spesies yaitu Trichiurus lepturus, Lepturacanthus savala dan Gempylus serpens. Ikan layur T. lepturus berjumlah 71 ekor (44 ekor jantan, 27 ekor betina), ikan layur L. savala berjumlah 101 ekor (57 ekor jantan, 44 ekor betina) dan ikan layur G. serpens berjumlah 22 ekor (14 ekor jantan dan 8 ekor betina). Hasil tangkapan ikan layur kemudian dibagi menjadi 6 kelas ukuran panjang total (mm) dengan interval 125 mm (Gambar 1). Kisaran panjang total T. lepturus antara 270-997 mm untuk ikan jantan dan Selang kelas (mm) Gambar 1. Sebaran panjang ikan layur T.lepturus (a); L. savala (b); dan G. serpens (c) 452-997 mm untuk ikan betina. Ikan jantan tertangkap mulai selang kelas 251-375 mm; sedangkan ikan betina mulai ditemukan pada selang ukuran 501-625 mm. Ikan T. lepturus paling banyak tertangkap pada selang kelas 751-875 (24 ekor). Nakamura & Parin (1993) menyatakan bahwa ikan layur jenis T. lepturus memiliki panjang total maksimum sebesar 1200 mm, dan ikan yang dominan tertangkap berukuran 500-1000 mm. Ukuran panjang total L. savala yang tertangkap bervariasi antara 314-953 mm. Kisaran panjang ikan jantan dan betina tertinggi terdapat pada selang ukuran 626750 mm dengan jumlah ikan jantan sebanyak 25 ekor dan jumlah ikan betina 24 ekor. Ikan betina ditemukan pada selang kelas yang lebih panjang daripada ikan jantan. Ukuran panjang total ikan G. serpens yang tertangkap berkisar antara 624-905 mm. Ikan jantan tersebar pada panjang total 624 mm-905 mm. Kuantitas tangkapan ikan jantan dan betina terbesar terdapat pada selang panjang 626-750 mm yaitu sebanyak 9 ekor ikan jantan dan 5 ekor ikan betina. Ikan jantan ditemukan pada selang kelas yang lebih panjang daripada ikan betina. 222 Ernawati, Y., dan Butet, N.A. Pada Gambar 1 terlihat bahwa kelas ukuran panjang ikan layur antara ketiga spesies yang cukup beragam. Banyaknya kelas ukuran panjang ikan ini memperlihatkan keragaman ukuran ikan yang ditangkap. Hal ini dikarenakan dalam penangkapan ikan layur digunakan pancing (rawai atau pancing ulur) dengan ukuran mata pancing yang berbeda sehingga didapatkan hasil dan ukuran yang beragam. Berdasarkan sebaran kelompok panjang dari ketiga spesies dapat diketahui bahwa untuk semua spesies mengelompok pada ukuran 626-875 mm. Rendahnya frekuensi hasil tangkapan ikan layur yang berukuran kecil (dibawah 500 mm) disebabkan oleh dua faktor. Pertama, selektifitas alat, yang mana alat tangkap yang digunakan adalalah pancing ulur dan rawai dengan mata pancing ukuran 9 yang selektif untuk tangkapan ikan-ikan berukuran besar. Kedua, pada waktu penelitian ini dilakukan bertepatan dengan musim pertumbuhan dari ikan-ikan yang sebelumnya berukuran kecil menjadi berukuran besar. Hubungan Panjang-Berat Hubungan panjang-berat ketiga jenis ikan layur disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan hubungan panjang-berat ikan layur T. lepturus jantan dan betina diperoleh pola pertumbuhan ikan layur T. lepturus dengan model pertumbuhan yaitu W= 1 x 10-6 L2,8857 untuk ikan jantan, dengan koefisien korelasi (r) sebesar 0,97. Sedangkan, model pertumbuhan ikan betina mengikuti persamaan W = 1 x 10-5 L2,5310, dengan koefisien korelasi (r) sebesar 0,93. Dari hasil nilai b untuk ikan jantan dan betina didapatkan hasil bahwa pola pertumbuhan T. Lepturus jantan dan betina adalah allometrik negatif (b<3). Persamaan hubungan panjang-berat ikan layur jenis L. savala yaitu W = 2 x 10-7 L3,2626untuk ikan jantan, nilai koefisien korelasi (r) sebesar 0,92, sedangkan persamaan hubungan panjang berat ikan betina adalah W = 2 x 10-6 L2,8368, nilai koefisien korelasi (r) sebesar 0,89. Pola pertumbuhan L. savala jantan adalah allometrik positif (b>3), sedangkan ikan betina adalah allometrik negatif (b<3). Tabel 1. Hubungan panjang bobot ikan layur Ikan JK n a b r T. Lepturus Jantan 44 1x1-06 2,8857 0,97 Betina 27 1x1 2,531 0,93 Jantan 57 2x1-07 3,2626 0,92 Betina 44 2x1 -06 2,8368 0,89 G. Serpens Jantan 14 1x1-07 3,3538 0,95 Betina 8 8x1 2,3749 0,84 L. Savala -05 -05 Keterangan: JK= Jenis kelamin; n= jumlah data; a dan b= koefisien regresi; r= koefisien korelasi Pola pertumbuhan ikan layur jenis G. serpens jantan mengikuti persamaan W = 1 x 10-7 L3,3538 , dengan koefisien korelasi (r) sebesar 0,95. Persamaan hubungan panjangberat untuk ikan betina adalah W = 8 x 10-5 L2,3749, dengan koefisien korelasi (r) sebesar 0,84. Hal tersebut menunjukkan bahwa pola pertumbuhan ikan layur G. serpens jantan adalah allometrik positif (b>3) sedangkan ikan betina adalah allometrik negatif. Faktor Kondisi Faktor kondisi ketiga jenis ikan layur disajikan pada Tabel 2. Nilai faktor kondisi ikan T. lepturus jantan dan betina secara keseluruhan masing-masing berkisar antara 1,34-1,56 dan 1,33-3,29. Nilai faktor kondisi tertinggi baik ikan jantan atau betina terdapat pada bulan November. Nilai kisaran rata-rata faktor kondisi ikan L. savala jantan berkisar antara 0,65-0,91 dengan rata-rata nilai faktor kondisi tertinggi pada bulan September sebesar 0,91, sedangkan kisaran rata-rata faktor kondisi ikan betina adalah 1,05-1,20 dengan rata-rata nilai faktor kondisi tertinggi pada bulan November sebesar 1,20. Nilai faktor kondisi ikan layur G. Serpens jantan berkisar antara 1,16-1,21. Sedangkan faktor kondisi ikan betina berkisar antara 0,95-1,03. Kisaran faktor kondisi rata-rata untuk ikan jantan dan betina G. Serpens tertinggi berada pada bulan September. Pada bulan tersebut, diketahui bahwa kondisi perairan cukup baik dan merupakan musim banyak ikan. Diduga pada saat ini, ikan layur memanfaatkan kesempatan untuk mengkonsumsi makanan sebanyak-sebanyaknya sehingga meningkatkan nilai faktor kondisinya. Jumlah dan Studi Biologi Reproduksi Ikan Layur (Superfamili Trichiuroidea) 223 Tabel 2. Faktor kondisi ikan layur berdasarkan bulan pengamatan Ikan T. Lepturus L. Savala G. Serpens JK Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Juli Rerata 1,38 1,34 0,65 1,05 Sb 0,19 0,23 0,07 0,18 September Rerata Sb 1,34 0,37 1,54 0,17 0,91 0,43 1,13 0,24 1,21 0,14 1,03 0,06 November Rerata Sb 1,56 0,23 3,29 0,00 0,84 0,09 1,20 0,09 1,16 0,08 0,95 0,13 Keterangan: JK= Jenis kelamin; Sb= simpangan baku ukuran makanan yang tersedia di dalam lingkungan perairan merupakan faktor dalam yang mempengaruhi pertumbuhan ikan (nilai faktor kondisi) ikan tersebut (Effendie, 1997). Nilai faktor kondisi ikan T. lepturus dan L. savala relatif meningkat dari bulan Juli hingga November. Hal ini diduga dengan seiring meningkatnya perkembangan tingkat kematangan gonad maka akan meningkatkan nilai faktor kondisi. Selain itu, asupan makanan yang cukup dari lingkungan perairan membuat nilai faktor kondisi relatif meningkat. Nilai faktor kondisi ikan betina lebih besar daripada ikan jantan. Hal ini menunjukkan bahwa ikan betina memiliki kondisi yang lebih baik untuk bertahan hidup dan proses reproduksinya dibandingkan ikan jantan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Effendie (1997) bahwa ikan betina memiliki kondisi yang lebih baik dengan mengisi sell sex untuk proses reproduksinya dibandingkan ikan jantan. Nilai faktor kondisi yang tinggi pada bulan November diduga karena bulan November merupakan musim peralihan antara musim timur ke musim barat, suhu perairan meningkat sehingga ikan ini aktif mencari makan. Aktifitas makan yang aktif dapat mempengaruhi kondisi tubuh ikan. Rasio Kelamin Perbandingan rasio kelamin T. lepturus ikan jantan dan betina adalah 1,63:1 atau 61,97 % ikan jantan dan 38,03 % ikan betina. Rasio kelamin ikan layur jenis L. savala selama penelitian adalah 1,30:1. Sedangkan, rasio kelamin ikan layur G. serpens adalah sebesar 1,75:1. Berdasarkan hasil uji “Chi-Square” pada setiap bulan pengambilan ikan contoh dan secara keseluruhan dengan selang kepercayaan 95% (α=0,05) menunjukkan bahwa rasio kelamin ikan layur T. lepturus dalam kondisi tidak seimbang dimana didominasi oleh ikan jantan. Uji “ChiSquare” rasio kelamin berdasarkan waktu pengambilan ikan contoh menunjukkan bahwa rasio kelamin ikan layur L. savala tidak seimbang namun secara keseluruhan menunjukkan hasil sebaliknya yaitu rasio kelamin ikan layur L. savala adalah seimbang, dimana nilai Xhitung kurang dari nilai X tabel. Uji “Chi-Square” rasio kelamin secara keseluruhan dan berdasarkan waktu pengambilan ikan contoh didapatkan hasil bahwa rasio kelamin ikan layur G. serpens adalah seimbang. Berdasarkan penelitian Martin dan Haimovici (2000), menyatakan bahwa rasio kelamin ikan layur T. lepturus di ekosistem utama Subtropis Brazil Bagian Selatan tidak berbeda nyata dari 1:1. Berdasarkan penelitian Ball & Rao (1984) bahwa perbandingan rasio kelamin antara jantan dan betina dari L. savala berkisar antara 1:1,4. Namun perbedaan dari hasil penelitian tersebut dapat dikaitkan dengan pernyataan dari Ball dan Rao (1984) yang menyatakan bahwa penyimpangan dari kondisi ideal tersebut disebabkan oleh faktor tingkah laku ikan itu sendiri, perbedaan laju mortalitas dan pertumbuhannya. Pada bulan Juli jumlah ikan betina T. lepturus dan L. savala yang matang gonad lebih banyak daripada jumlah ikan jantan, sebaliknya terjadi pada bulan September dan Nopember. Rasio kelamin ikan layur juga Ernawati, Y., dan Butet, N.A. ditemukan tidak seimbang pada penelitian Shih et al. (2011) yang diduga karena terpengaruh distribusi spasial, pertumbuhan, dan laju kematian. Tingkat Kematangan Gonad (TKG) Berdasarkan bulan pengamatan ikan layur diantara ketiga spesies tersebut dapat diketahui bahwa dari ketiga spesies ikan layur tersebut baik ikan jantan atau ikan betina didominasi oleh ikan TKG I dan II (Gambar 2). Dari pengetahuan tahap perkembangan gonad ini juga akan didapatkan keterangan bilamana ikan tersebut akan memijah, baru memijah atau sudah selesai memijah (Effendie, 1997). Untuk ikan layur betina jenis T. lepturus dan L. savala komposisi terbanyak TKG III dan TKG IV ditemukan pada bulan Juli. Sedangkan ikan layur jenis G. serpens betina yang memiliki TKG III dan IV tidak ditemukan pada setiap waktu pengamatan. Tidak ditemukannya ikan G. serpens betina yang matang gonad diduga karena pola ruaya ikan G. Serpens ke perairan yang lebih dalam. Selain itu, ikan dewasa hidup cenderung soliter, ikan ini menyebar pada perairan yang relatif dalam (Nakamura dan Parin, 1993). Persentase TKG tiap bulan untuk ikan T. lepturus, L. savala dan G. serpens disajikan pada Gambar 2. JANTAN BETINA A TKG B C Selang kelas (mm) Gambar 2. TKG ikan layur T.lepturus (a), L.savala (b) dan G.serpens (c) berdasarkan bulan pengamatan 224 Prabhu (1955) dalam Bal & Rao (1984) menyatakan bahwa pemijahan T. lepturus hanya berlangsung sekali dalam setahun yaitu pada bulan Juni, namun penelitianpenelitian lain mengindikasikan pemijahan terjadi pada Mei-Juni dan NovemberDesember (Tampi et al. 1971; Narasimham 1976 dalam Bal dan Rao (1984). Berbeda halnya dengan Parin (1986), menyatakan bahwa T. lepturus yang hidup di daerah Mediterranean memijah pada bulan JuliAgustus. Untuk jenis ikan layur L.savala, musim pemijahan umumnya berlangsung antara bulan Maret-Mei. Sehubungan dengan tujuan pemijahan dan lainnya, sejauh ini untuk mempertahankan agar ikan ini tetap bisa hidup (Setiawan, 2006). Berdasarkan hasil penelitian, ikan layur T. lepturus jantan dan betina pertama kali matang gonad pada ukuran 725 mm dan 633 mm; L. savala jantan pada ukuran 552 mm dan betina pada ukuran 592 mm; sedangkan ikan G. serpens jantan matang gonad pertama kali pada ukuran 668 mm namun tidak ditemukannya ikan betina yang memasuki fase matang gonad (TKG III dan TKG IV) sehingga tidak dapat diketahui ukuran ikan betina pertama kali matang gonad. Persentase ikan yang matang gonad berdasarkan panjang tubuh disajikan pada Gambar 3. Tiap-tiap spesies ikan pertama kali matang gonad pada ukuran yang tidak sama. Ikan T. lepturus betina lebih cepat matang gonad dibandingkan ikan jantan. Sebaliknya untuk ikan layur L. savala, dimana ikan tersebut ikan jantan lebih cepat matang gonad jika dibandingkan ikan betinanya. Perbedaan ukuran matang gonad jantan dan betina juga diperoleh Kwok (1999) pada ikan T. Lepturus di Laut China Selatan. Kwok (1999) diperoleh informasi bahwa ikan layur T. lepturus jantan di Perairan Laut Cina Selatan memiliki koefisien pertumbuhan yang lambat daripada ikan betinanya dan ikan betina ditemukan lebih cepat matang gonad dibandingkan ikan jantan. Hal ini sejalan dengan pendapat Effedie (1997) bahwa ukuran matang gonad untuk tiap spesies ikan berbeda-beda. 225 Studi Biologi Reproduksi Ikan Layur (Superfamili Trichiuroidea) Indeks Kematangan Gonad (IKG) Indeks kematangan gonad ikan layur bervariasi pada setiap waktu pengamatan. Ikan layur jantan spesies T. lepturus memiliki kisaran IKG rata-rata berkisar antara 0,4999%-0,7349% dan ikan betina memiliki kisaran IKG antara 0,4924%-1,2042% (Gambar 16). Ikan layur jantan jenis L.savala memiliki nilai indeks kematangan gonad (IKG) berkisar antara 0,4483%-0,5580% dan ikan betina antara 0,2235%-1,4206% (Gambar 17). Nilai indeks kematangan gonad (IKG) Ikan jantan jenis G. Serpens berkisar antara 0,4121%-0,4190%. Ikan betina memiliki kisaran rata-rata IKG antara 0,2327%-0,3323% (Gambar 18). Pada bulan Juli diduga ikan layur jenis T. lepturus dan L. savala memasuki pemijahan, hal ini terlihat jelas dari terdapatnya ikan jantan dan betina dengan TKG III dan IV. Oleh karena itu, nilai indeks kematangan gonad pada bulan tersebut cukup tinggi. Namun tingginya nilai rata-rata IKG pada bulan November untuk ikan layur jenis G. serpens tidak dapat dijadikan nilai IKG tertinggi dikarenakan sedikitnya jumlah sampel dan pengamatan hanya dilakukan dua bulan. A TKG B C Selang kelas (mm) Gambar 3. TKG ikan layur T.lepturus (a), L.savala (b) dan G.serpens (c) berdasarkan panjang tubuh Keterangan: a= 251-375; b= 376-500; c= 501-625; d= 626750; e= 751-875; f= 876-1000 Tabel. Indeks Kematangan Gonad (IKG) ikan layur Juli Ikan JK September November Rerata Sb Rerata Sb Rerata Sb Jantan 0,73 1,33 0,71 0,73 0,50 0,22 Betina 1,20 1,00 0,99 1,12 0,49 0,00 Jantan 0,45 0,21 0,45 0,34 0,56 0,44 L. Savala Betina 1,42 1,16 0,38 0,22 0,22 0,10 0,41 0,32 0,42 0,26 0,23 0,18 0,33 0,10 T. Lepturus G. Serpens Jantan Betina Keterangan: JK= Jenis kelamin; Sb= simpangan baku Rata-rata IKG ikan betina lebih besar dibandingkan ikan jantan. Diduga hal ini disebabkan pertumbuhan ikan betina lebih tertuju pada pertumbuhan gonad, akibatnya berat gonad ikan betina menjadi lebih besar dibandingkan berat gonad ikan jantan. Dengan kata lain pengaruh perkembangan gonad lebih signifikan dibandingkan ikan jantan. Berbeda halnya dengan ikan G. serpens, dimana ikan jantan nilai IKG lebih tinggi dibandingkan ikan betina. Hal ini diduga karena tidak ditemukannya ikan betina matang gonad, berbeda halnya dengan ikan jantan yang memiliki fase matang gonad. Fekunditas Berdasarkan pengamatan secara makroskopis dari tiga spesies ikan layur didapatkan bahwa ikan layur betina yang memiliki TKG III dan TKG IV adalah ikan layur jenis T. lepturus dan L. savala. Ikan layur betina jenis G. serpens selama pengamatan hanya memiliki TKG I dan TKG II. Fekunditas ikan layur jenis T. lepturus diperoleh dari 13 ekor ikan betina dengan ukuran panjang total berkisar antara 630-991 mm dan berat antara 188,46-554,30 gram, ikan yang telah memasuki fase matang gonad yaitu 9 ekor ikan berada pada fase TKG III dan 4 ekor ikan pada fase TKG IV. Nilai fekunditas ikan betina T. lepturus berkisar antara 2877-16875 butir. Berdasarkan penelitian Martins & Haimovici, (2000) bahwa fekunditas telur T. lepturus di ekosistem utama subtropis Brazil bagian selatan berkisar dari 3.917 untuk ikan yang memiliki panjang total 70 226 Ernawati, Y., dan Butet, N.A. cm sampai 154.216 pada ikan contoh yang memiliki panjang total 141 cm namun jumlah pemijahan pada tiap musim belum dapat ditentukan. Sedangkan menurut Ball dan Rao (1984), fekunditas ikan layur T. lepturus berkisar antara 4000 (panjang ikan 42 cm) hingga 16.000 (panjang ikan 60 cm). Dari jumlah total ikan layur betina jenis L. savala yang diamati, diperoleh sebanyak 4 ekor ikan yang memiliki TKG III dan 3 ekor ikan memiliki TKG IV. Nilai fekunditas ikan layur betina jenis L.savala berkisar antara 4399-15261 butir. Fekunditas maksimum didapatkan pada ikan betina dengan ukuran panjang total sebesar 927 mm dan berat tubuh sebesar 295,10 gram. Ikan L. savala nilai fekunditas berkisar antara 9.178 untuk ikan yang memiliki panjang total 37 cm sampai 17.347 pada ikan contoh yang memiliki panjang total sebesar 54 cm (Ball & Rao, 1984). Berdasarkan analisa hubungan fekunditas ikan layur jenis T. lepturus dengan panjang total (mm) diperoleh nilai korelasi (r) sebesar 0,27 sedangkan dengan berat tubuh total (gram) diperoleh nilai korelasi (r) sebesar 0,40 (Gambar 19). Untuk ikan layur jenis L. savala, berdasarkan analisa hubungan fekunditas dengan panjang total (mm) diperoleh nilai korelasi (r) sebesar 0,65 sedangkan dengan berat tubuh total (gram) didapatkan nilai korelasi sebesar 0,74 (Gambar 20). Untuk ikan layur jenis T. lepturus dan L. Savala didapatkan hasil bahwa bobot tubuh lebih baik untuk menduga nilai fekunditas dibandingkan dengan panjang total tubuhnya. Hal ini dapat terlihat dari nilai korelasi yang cukup erat antara fekunditas dengan berat tubuh total. Peningkatan fekunditas berhubungan dengan peningkatan berat tubuh dan berat gonad (Solihatin, 2007). Hubungan fekunditas dengan panjang total dalam penelitian ini menunjukkan hubungan koefisien korelasi yang kecil. Hal ini diduga karena terdapatnya fekunditas yang bervariasi pada ikan-ikan yang mempunyai ukuran panjang hampir sama. Tabel. Hubungan fekunditas dengan panjang dan fekunditas dengan bobot ikan layur Ikan Parameter Panjang T. Lepturus Berat L. Savala Panjang Berat a 14,336 341,44 0,0107 0,7443 b 0,9299 0,5384 2,0864 1,6304 r 0,2706 0,4048 0,6528 0,7443 Keterangan: a dan b= koefisien regresi; r= koefisien korelasi Diameter Telur Sebaran diameter telur dari ikan layur jenis T. lepturus yang diamati pada gonad TKG III dan TKG IV bervariasi antara 0,31,37 mm, terbagi dalam 12 kelas ukuran diameter telur (Gambar 21). Pada TKG III, diameter telur terbanyak terdapat pada kisaran ukuran diameter antara 0,57-0,65 mm. Pada TKG IV didapatkan diameter telur terbanyak berkisar antara 0,93-1,01 mm. Diameter telur ikan layur jenis L. Savala berkisar antara 0,31,5 mm (Gambar 22). Diameter telur TKG III menyebar pada kisaran 0,3 mm-1,17 mm. Sedangkan diameter telur TKG IV menyebar pada kisaran 0,3 mm-1,50 mm. Terjadinya peningkatan ukuran diameter telur dari TKG III ke TKG IV seperti yang dikatakan Effendie (1979) yaitu umumnya sudah dapat diduga bahwa semakin meningkat tingkat kematangan gonad maka diameter telur yang ada di dalam ovarium semakin besar pula. Ikan laut memiliki karakteristik ukuran telur lebih kecil dibandingkan dengan ikan air tawar. Fekunditas ikan-ikan laut komersial penting pada umumnya lebih besar (Chambers & Leggett, 1996). Berdasarkan penelitian Martins & Haimovici (2000) yang telah dilakukan pada perairan ekosistem utama subtropis Brazil bagian selatan pada bulan September hingga Februari, ditemukan bahwa diameter telur ikan layur T. lepturus yang diambil dari TKG III dan TKG IV mencapai 0,8 mm dari 56 sampel gonad ikan layur. Shiokawa (1988) dalam Nakamura dan Parin (1993) menyatakan bahwa telur ikan layur T. lepturus adalah pelagis dengan ukuran diameter telur antara 1,59-1,88 mm. Studi Biologi Reproduksi Ikan Layur (Superfamili Trichiuroidea) Frekuensi (%) Dari sebaran frekuensi diameter telur TKG IV ikan T. lepturus dan L. savala maka diperoleh modus penyebaran dua puncak. Ini menandakan bahwa ikan T. lepturus dan L. savala tergolong kelompok ikan yang memijah dengan mengeluarkan telur sebagian-sebagian (partial spawner), dimana telur yang sudah matang dan berada dipuncak pertama akan dikeluarkan terlebih dahulu menyusul dengan pengeluaran telur yang berada dipuncak berikutnya. Sama halnya dengan penelitian Wojciechowski (1972) yang menyatakan bahwa ikan layur T. lepturus L. (Trichiuroidae) di Teluk Mauritania mempunyai periode reproduksi secara partial spawning pada lapisan permukaan dimana suhu dan salinitas berperan penting. Menurut Wojciechowski (1972), spesies ikan layur melakukan proses pemijahan pada bulan Mei hingga Oktober. A B Selang kelas diameter telur (mm) Keterangan: a= 0,30-0,38; b= 0,39-0,47; c= 0,48-0,56; d= 0,57-0,65; e= 0,66-0,74; f= 0,75-0,83; g= 0,84-0,92; h= 0,93-1,01; i= 1,02-1,10; j= 1,11-1,19; k= 1,20-1,28; l= 1,29-1,37 m=0,30-0,40 ; n=0,41-0,51 ; o=0,52-0,62 ; p=0,63-0,73 ; q=0,74-0,84 ; r=0,85-0,95 ; s=0,96-1,06 ; t=1,07-1,17 ; u=1,18-1,28 ; v=1,29-1,39 ; w= 1,40-1,50. Gambar 4. Sebaran diameter telur ikan layur T. lepturus (a) dan L. savala (b) SIMPULAN Pola pertumbuhan ikan layur T.lepturus jantan dan betina di Perairan Palabuhanratu adalah allometrik negatif. Pola pertumbuhan ikan jantan spesies L. savala dan G. serpens adalah allometrik positif, sedangkan ikan betina spesies L. savala dan G. serpens adalah allometrik negatif. Rasio kelamin ikan layur ketiga spesies didominasi oleh ikan jantan. Kisaran rata-rata faktor kondisi ikan T. lepturus dan L. savala betina lebih besar jika dibandingkan dengan faktor kondisi ikan jantan. 227 Ikan layur T. lepturus betina lebih cepat matang gonad dibandingkan ikan jantan. Sedangkan ikan L. savala jantan lebih cepat matang gonad dibandingkan ikan betina. Pada saat penelitian, komposisi TKG III dan TKG IV tertinggi untuk spesies T. lepturus dan L. Savala terdapat pada bulan Juli. Penelitian dilakukan mewakili musim timur (Juli dan September) dan mewakili musim peralihan (November). Nilai fekunditas ikan betina T. lepturus berkisar antara 2877-16875 butir. Sedangkan nilai fekunditas ikan L. savala betina berkisar antara 4399-15261 butir. Berdasarkan pola penyebaran diameter telur diduga bahwa ikan T.lepturus dan L.savala memijah secara partial spawner. DAFTAR PUSTAKA Bal, D.V. & K.V. Rao. 1984. Marine Fisheries. Tata McGraw-Hill Publishing Company Limited. New Delhi. 250 hal. Chambers, R.C. & W.C. Leggett. 1996. Maternal Influences on Variation in Temperate Marine Fishes. Journal America Zoology, 36 : 180-196. Effendie, M.I. 1979. Metoda Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor. 112 hal. Effendie, M.I. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta. 163 hal. El-Haweet, A. & T. Ozawa. 1995. Age and Growth of Ribbon Fish Trichiurus japonicus in Kagoshima Bay, Japan. Journal Fisheries Science Formerly Nippon Suisan Gakkaishi, Vol 62 (4), 529-533. Kwok, K.Y. 1999. Reproduction of Cutlassfishes Trichiurus spp. From The South China Sea. Marine Ecology Progress Series. Vol 176 : 39-47. Lagler KF, JE. Bardach, RR Miller & D. Passino. 1977. Ichtyology. New York, Ernawati, Y., dan Butet, N.A. USA: John Wiley and Sons inc. Martins, A.S. & M. Haimovici. 2000. Reproduction of The Cutlassfish Trichiurus lepturus In The Southern Brazil Subtropical Convergence Ecosystem. Journal Scientia Marina, 64 (1): 97-105. Nakamura, I. & N.V. Parin. 1993. FAO Species Catalogue. Vol 15. Snake Mackerels and Cutlassfishes of The World (Families Gempylidae and Trichiuridae). An Annotated and Illustrated Catalugue of The Snake Mackerels, Snoeks, Escolars, Gemfishes, Sackfishes, Domine, Oilfish, Cutlassfishes, Hairtails, and Frostfishes Known To Date. FAO Fish Synop. Rome. Parin, N.V. 1986. Trichiuridae. Fishes of the North-eastern Atlantic and the Mediterranean Vol. II: 976-980. UNESCO. United Kingdom. Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu. 2007. Data Statistika Perikanan Tahun 2007. PPN Palabuhanratu. Sukabumi. Setiawan, D.R. 2006. Ketajaman Penglihatan Ikan Layur (Trichiurus spp.) Hasil Tangkapan Pancing Rawai 228 di Teluk Palabuhanratu Sukabumi Jawa Barat. Skripsi. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan. Shih, N.-T. Hsu, K.-C. & Ni, I.-H. Age, Growth and Reproduction of cutlassfishes Trichiurus spp. in the southern East China Sea. 2011 Blackwell Verlag, Berlin Accepted: November 18, 2010 ISSN Appl. Ichthyol. 27 (2011), 1307–1315. Solihatin, A. 2007. Biologi Reproduksi dan Studi Kebiasaan Makanan Ikan Sebarau (Hampala macrolepidota) di Sungai Musi. Skripsi. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan. Steel, R. G. D. & J.H. Torie. 1980. Principle and Procedure of Statistic. Second Edition. Mc Graw-Hill. Book Company, Inc. New York. 748 p. Wojciechowski, J. 1972. Observation On Biology of Cutlassfish Trichiurus lepturus L. (Trichiuroidae) of Mauritania Shelf. Journal Acta Ichthyologica Et Fiscatoria, Vol.II, Fasc 2. Bionatura-Jurnal Ilmu-ilmu Hayati dan Fisik ISSN 1411 - 0903 Vol. 14, No. 3, November 2012: 232 - 240 ONCOSPERMA TIGILLARIUM MERUPAKAN BAGIAN PALINO KARAKTER DELTA PLAIN DI DELTA MAHAKAM, KALIMANTAN Winantris1., Syafri, I2., dan Rahardjo, AT.3 Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran Bandung 3 Program Studi Teknik Geologi, Institut Teknologi Bandung E-mail: [email protected] 1,2, ABSTRAK Delta Mahakam adalah salah satu delta terkenal sebagai penghasil minyak bumi. Delta ini termasuk tipe campuran yang dipengaruhi proses sungai dan pasang surut. Enam puluh sampel diambil dari delta plain dan delta front telah dianalisis. Pemisahan polen dari sedimen menggunakan metode asetolisis. Pola penyebaran polen Oncosperma tigillarium dianalisis dengan metode kluster. Uji beda Mann Whitney digunakan untuk melihat perbedaan kelimpahan polen di delta plain dan delta front. Kelimpahan polen di delta plain lebih tinggi daripada delta front. Seluruh sampel dari delta plain mengandung polen Oncosperma tigillarium, tetapi tidak seluruh sampel dari delta front mengandung polen tersebut. Rata-rata jumlah polen Oncosperma tigillarium di delta plain 15,23 dan di delta front 3,6. Temuan ini menunjukkan bahwa delta plain mendapat pasokan polen Oncosperma tigillarium lebih banyak dan merata daripada delta front. Polen tersebut dapat menjadi salah satu penciri dataran delta bersama polen lain. Kata kunci: Delta plain, polen Oncosperma tigillarium, palino karakter ONCOSPERMA TIGGILARIUM IS A PART OF PALINO CHARACTER OF DELTA PLAIN IN MAHAKAM DELTA, KALIMANTAN ABSTRACT Mahakam Delta is one of the famous deltas in the world because of its big size delta that produce hydrocarbon. The delta included mixed fluvial-tide dominated deltas. Sixty samples from delta plain and delta front were analyzed. Acetolyzed method was used to separate pollen from sediment. The patterns of distribution of Oncosperma tigillarium pollen was analyzed by cluster method. Mann Whitney test was used to know differences in pollen abundances between delta plain and delta front. All delta plain samples contain Oncosperma tigillarium with average 15.32. There are two samples from delta front which do not contain Oncosperma tigillarium. The average number of this species in delta front is only 3.6. This finding shows that all of delta plain surface get Oncosperma tigillarium pollen supply equally. Based on those results, Oncosperma tigillarium can be used as pollen character of delta plain. Key word: Delta plain, Oncosperma tigillarium, pollen character PENDAHULUAN Pulau Kalimantan adalah wilayah dengan iklim tropik basah. Karakter vegetasi hutan tropik basah memiliki keragaman jenis sangat tinggi (Yacobs,1988) Topografi wilayah Kalimantan meliputi dataran rendah sampai dataran tinggi, sehingga memungkinkan ditemui berbagai tipe vegetasi. Delta Mahakam adalah salah satu delta popular di dunia yang berada di wilayah Kalimantan Timur. Sedimen Delta Mahakam mencerminkan ciri-ciri fisik hasil pengendapan arus sungai dan arus pasang surut (Allen & Chamber, 1998). Delta Mahakam diklasifikasikan kedalam tipe mixed fluvial-tide deltas (Storm dkk, 2005), tetapi Fisher dkk (1969) menyebutnya sebagai tipe fluvial dominated deltas. Morfologi delta tediri dari delta plain, delta front dan prodelta. (Walker dan Bhattacharya, 1992). Wilayah delta plain berdasarkan tipe vegetasinya dibagi lagi menjadi upper delta plain dan lower delta Winantris, Syafri, I.,, dan Rahardjo, AT. plain (Allen dan Chamber, 1998). Luas Delta Mahakam keseluruhan mencapai 15.000 ha, berada pada posisi geografis 0°21′-1°10′ LS dan 117°15′117°40′BT. Permukaan delta ditumbuhi oleh berbagai jenis tumbuhan penghasil polen dan spora. Distribusi vegetasi Delta Mahakam dibagi menjadi empat zona terkait dengan morfologi delta (Allen dan Chamber, 1988; Salahudin, 2006). Zona vegetasi Delta Mahakam dari arah proximal menuju ke bagian distal delta adalah sebagai berikut: 1. Zona hutan tropik dataran rendah menempati bagian paling proksimal delta, zona ini berada di bagian upper delta plain 2. Zona hutan campuran dan palmae, posisi zona ini dimulai dari batas akhir zona hutan tropik dataran rendah hingga bagian tengah lower delta plain, 3. Zona hutan rawa Nypa, menempati hampir separuh dari lower delta plain, dari batas hutan campuran sampai perbatasan mud flat. 4. Zona hutan mangrove, zona ini menempati bagian distal dari lower delta plain tepatnya di wilayah mud flat. Pembentukan delta dikendalikan oleh pasokan sedimen yang diangkut melalui distributary channel dan tidal channel (Allen & Chamber, 1988). Polen palmae di wilayah Delta Mahakam berasal dari wilayah hulu. Polen palmae tersebut terangkut dan terdistribusikan melalui distributary channel dari hulu menuju hilir delta. Seberapa besar peran arus sungai mendistribusikan polen palmae tersebut akan tercermin dari kelimpahan polen Oncosperma tigillarium yang diendapkan di wilayah delta. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penyebaran polen Oncosperma tigillarium dari tempat tumbuhnya yaitu wilayah upper delta plain menuju ke lower delta plain dan delta front (Gambar 1). Dengan diketahui pola penyebaran polen tersebut dapat digunakan sebagai salah satu penciri lingkungan pengendapan delta. Oncosperma tigillarium mempunyai sinonim Oncosperma filamentosa. Masyarakat lokal menyebutnya sebagai 233 Gambar 1. Polen Oncosperma tiggilarium (Perbesaran mikroskop 1000x) pohon nibung. Fosil polen Oncosperma telah dilaporkan oleh beberapa peneliti, antara lain dari batuan sedimen berumur Oligosen dari Kalimantan (Uhl & Dransfield, 1987; Thanikaimoni, 1987), batuan sedimen Delta Mahakam berumur Pliosen (Cartini & Tissot, 1998) batuan sedimen berumur Holosen dari Baratdaya Pulau Kalimantan (Thanikaimoni, 1987). Polen Oncosperma dikelompokan ke dalam sub lingkungan mangrove belakang. Polen tersebut sering ditemukan bersamaan dengan polen dari lingkungan mangrove (Haseldonckx, 1974). Hasil riset terdahulu masih terbatas pada tingkat genus, belum teridentifkasi sampai spesies. Berkaitan dengan hal tersebut perlu dilakukan diferensiasi lebih lanjut sampai tingkat spesies agar terhindar dari kekeliruan dalam memahami data lingkungan pengendapan maupun sebagai indikator sumber sedimen. Masalahnya di Indonesia sedikitnya terdapat dua jenis Oncosperma, yaitu Oncosperma tigillarium dan Oncosperma horridum. Kedua Oncosperma tersebut tumbuh pada habitat yang berbeda. Oncosperma horridum tumbuh di dataran tinggi yang menempati tebing-tebing, sedangkan Oncosperma tigillarium tumbuh di tepi sungai pada zona hutan mangrove belakang mendekati daratan (Witono, 2005). Onc ospe rma tigillarium da la m klasifikasi adalah anggota familia Palmae, subfamili Arecoidae (Sowumni, 1972, Uhl & Dransfield, 1987). Tumbuhan Oncosperma tigillarium dapat dikenali dengan ciri-ciri sbb: Oncosperma Tigillarium Bagian Palino Karakter Delta Plain a. Tumbuhan tegak, tinggi 9-25 m, membentuk rumpun. b. Batang berwarna abu-abu, berduri tajam dengan panjang 2,5-6,5 cm, warna duri hitam, duri di bagian bawah rontok pada saat batang tumbuh dewasa c. Garis tengah batang antara 10-25 cm, tangkai daun coklat dan bersisik d. Panjang tandan 2,5-6,6 cm, bunga biseksual dan berada di bawah mahkota, panjang daun 30-60 cm. Ciri utama polen Oncosperma tigillarium adalah ornamentasi bertipe clavae. (Gambar 1). Pada tampak ekuatorial polen berbentuk eliptik, aperture monocolpate. Colpus sama panjang dengan sumbu ekuator, P 19.0 ± 1.9 μ, E1 31 ± 2.3, E2 25 ±1.4 μ (Sowumni, 1972). Uhl & Dransfield (1987), menyatakan bentuk polen lonjong sampai bundar dengan aperture berjenis sulci berjumlah satu. Oncosperma tigillarium yang merupakan anggota dari subtribe Oncospermatinae dikelompokan ke dalam sub tipe 1A, yaitu kelompok polen dengan aperture symmetric monosulcate. Ciri utama aperture sub tipe 1A adalah panjang sulci sama dengan sumbunya dan mencapai ujung (Harley dan Baker, 2001). Dalam hal ini terdapat perbedaan pemberian nama aperture antara Sowumni (1972), dengan Harley &Baker (2001). Sowumni (1972), menyebut aperture sebagai bentuk colpi sedangkan Harley & Baker (2001) menyebutnya sebagai sulci, namun demikian mereka memberikan penjelasan yang sama untuk panjang aperture. Perbedaan penentuan jenis aperture tersebut berlatar belakang pada persepsi dari posisi distal dan ekuatorial. Menurut Erdtmant (1966), colpi adalah aperture yang mempunyai perbandingan antara panjang dengan lebar >2, membujur pada posisi ekuatorial. Sementara Hesse dkk (2009), menyatakan bahwa colpi merupakan aperture yang memanjang dengan rasio panjang dan lebar lebih dari dua, berada pada bagian ekuatorial. Sulci merupakan aperture yang memanjang terletak di bagian distal. Apabila membandingkan kedua pendapat tersebut, ternyata untuk 234 terminologi colpi tidak ada perbedaan yang signifikan. Hesse dkk (2009), lebih sederhana dalam mendeskripsikan sulci, mereka hanya menitikberatkan pada posisi distal dari bentuk aperture yang memanjang, sedangkan Erdtmant (1966), mensyaratkan adanya perbandingan panjang dengan lebar lebih dari dua pada posisi distal. Faktanya Oncosperma tigillarium memunyai aperture memanjang dengan perbandingan antara panjang dan lebar >2, terletak pada posisi distal, dengan demikian penamaan sulci untuk aperture Oncosperma tigillarium memenuhi terminologi Erdtman (1966) maupun Hesse dkk (2009). Penamaan sulci inilah yang lebih popular digunakan dibandingkan dengan colpi. BAHAN DAN METODE Sebanyak 60 sampel acak diambil dari sedimen permukaan delta plain dan delta front dengan menggunakan grab sampler. Untuk mengetahui pola penyebaran polen Oncosperma tigillarium secara kuantitatif, dilakukan pengelompokan menggunakan metoda kluster dengan bantuan program SPSS. Fungsi dari analisis kluster adalah untuk mengelompokan data yang mempunyai kemiripan karakter di antara anggotanya (Santoso, 2010). Dalam penelitian ini yang dikelompokan adalah anggota sampel yang memiliki kemiripan dalam kuantitas. Oleh karena itu, melalui analisis kluster akan dikelompokan titik-titik sampel yang memiliki kuantitas polen Oncosperma tigillarium tertentu, sehingga dapat diketahui tingkatan kelimpahan Oncosperma tigillarium wilayah delta. Uji statistik untuk melihat perbedaan rata-rata kelimpahan polen yang terendapkan di delta plain dan delta front menggunakan Mann whitney test pada taraf α 5%. Pemilihan ini berdasarkan kepada fungsi dari uji Mann whitney, yaitu untuk membandingkan rata-rata dua kelompok sampel independen ( Nasoetion & Barizi, 1985; Santoso, 2010). Sehingga dengan uji Mann whitney dapat diketahui signifikansi perbedaan kelimpahan polen Oncosperma tigillarium di lingkungan delta plain dan 235 Winantris, Syafri, I.,, dan Rahardjo, AT. delta front. Preparasi sampel bertujuan untuk memisahkan polen dari sedimen dengan menggunakan metode asetolisis. Proses tersebut dilaksanakan di laboratorium Palinologi Institut Teknologi Bandung. Asetolisis merupakan reaksi kimia untuk menurunkan polimer selulosa dan bahan organik melalui pergantian grup hidroksil dengan grup asetil. Penurunan polimer selulosa ini membentuk triasetat selulosa yang dapat larut dalam asam asetat. Keuntungan dari metode ini adalah menghasilkan polen lebih bersih sehingga morfologi polen dapat terlihat lebih jelas di bawah mikroskop cahaya ( Hesse dkk, 2009, Jones & Rowe,1999). Deskripsi dan identifikasi polen dilakukan dengan menggunakan mikroskop transmisi Olympus tipe CX 21, pada perbesaran okuler 10x, perbesaran objektif 10x, 40x dan 100x. menyatakan suatu takson dapat digunakan penunjuk zona, yaitu takson tersebut harus mudah dikenali, penyebarannya merata di suatu wilayah dengan jumlah yang cukup. Habitat Oncosperma tigillarium terbatas di wilayah upper delta plain, persisnya di belakang mangrove, namun demikian penyebaran polennya merata di lingkungan delta plain dengan jumlah yang cukup banyak. Morfologi polen tersebut dapat dengan jelas dibedakan dari jenis lain sehingga dapat dikenali dengan mudah. Tabel 1. Distribusi polen Oncosperma tiggilarium Kode Jumlah Polen sampel Delta plain (DP) Delta front (DF) 1 48 1 2 10 8 3 3 0 4 8 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5 8 9 6 36 1 Polen Oncosperma tigillarium adalah jenis palmae yang paling sering dan paling banyak ditemui dalam endapan Delta Mahakam, sehingga penting untuk dikaji lebih lanjut untuk dijadikan palino karakter melengkapi temuan-temuan sebelumnya. Penulis terdahulu (Haseldonckx, 1974, & Morley, 1991), menjadikan polen mangrove sebagai kunci untuk mengidentifikasi lingkungan pengendapan delta. Hal tersebut dikarenakan vegetasi mangrove tumbuh di perbatasan lingkungan darat dengan lingkungan laut. Caratini dan Tissot (1998), menyatakan habitat dari vegetasi mangrove berada di garis pantai. Analisis polen dari endapan Delta Mahakam mendapati polen palmae mencapai 15,53% di delta plain dan 14% di delta front. Fakta ini memberikan ciri tersendiri terhadap endapan delta, sehingga berpotensi untuk dijadikan penunjuk lingkungan pengendapan delta. Suatu biota dapat digunakan untuk penunjuk lingkungan, jika biota tersebut hidup dalam lingkungan yang terbatas dengan kondisi khas. Jenis biota demikian disebut sebagai biota stenotopic (Allaby, 1999; Cheetam, dkk 2001). Rahardjo dkk (1994), 7 8 1 8 14 2 9 9 2 10 12 2 11 22 1 12 22 8 13 11 4 14 7 4 15 9 7 16 10 1 17 17 17 18 5 2 19 10 10 20 22 0 21 10 5 22 15 1 23 11 1 24 30 3 25 1072 1 27 14 4 28 3 259 29 36 1 30 12 3 Polen Oncosperma tigillarium, ditemukan pada seluruh sampel yang berasal dari delta plain, sedangkan dari delta front 236 Oncosperma Tigillarium Bagian Palino Karakter Delta Plain terdapat dua sampel yang tidak mengandung polen tersebut, yaitu pada sampel nomor 3 dan 20, table 1. Data ini menggambarkan bahwa seluruh permukaan delta plain mendapat pasokan polen Oncosperma tigillarium. Sebaliknya wilayah delta front yang posisinya lebih mengarah ke laut tidak mendapat pasokan polen secara menyeluruh. Caratini dan Tissot (1998), mengidentifikasi keberadaan polen Oncosperma tigillarium dari sampel sedimen delta plain berumur Pliosen-Holosen. Pada endapan berumur Pliosen Atas polen Oncosperma tigillarium ditemukan bersama-sama dengan Nypa fruticans. Rata-rata polen Oncosperma tigillarium di delta plain 50,5 butir polen per sampel dengan median 11,5 sedangkan dari delta front rata-ratanya 13,2 dengan median 2. Hasil uji beda rata-rata menunjukkan terdapat perbedaan yang sangat signifikan dari kelimpahan polen Oncosperma tigillarium di delta plain dengan di delta front ( Tabel 2). Kelimpahan ekstrim yang terjadi pada sampel nomor 25 delta plain dan nomor 28 delta front dikarenakan adanya kondisi khusus. Setelah dilihat secara seksama ternyata butir-butir polen yang ditemukan pada sampel-sampel tersebut menunjukkan tanda-tanda serupa, yaitu butir polen belum terpisah secara sempurna antara satu polen dengan yang lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa polen yang terjatuh adalah polen yang belum matang untuk proses penyerbukan, tetapi dikarenakan faktor lain. Situasi yang paling mungkin adalah tangkai bunga patah atau pohonnya tumbang, sehingga terjadi akumulasi polen yang berlebihan. Dua data tersebut selanjutnya di analisis untuk mendapatkan kepastian apakah termasuk dalam kategori outlier. Menurut Santoso (2010), salah satu cara untuk mengetahui bahwa data tergolong outlier adalah dengan melakukan standardisasi. Apabila data mempunyai nilai Z diluar rentang -2,5 sampai + 2,5, maka data tersebut adalah outlier. Berdasarkan perhitungan diperoleh nilai Z sebesar 5,28 untuk sampel nomor 25 delta plain, 5,27 untuk sampel nomor 28 delta front. Dari hasil penelusuran tersebut menunjukkan bahwa kedua data tersebut termasuk dalam kategori outlier, dengan demikian keduanya harus dikeluarkan dari perhitungan. Setelah outlier data dikeluarkan dari perhitungan, diperoleh rata-rata sebesar 15,23 untuk delta plain dan 3,6 untuk delta front (Tabel 3). Tampak angka ratarata tersebut medekati angka mediannya, ini berarti bahwa sampel-sampel tersebut dalam kondisi baik sehingga rata-rata yang terakhir ini yang lebih representatif. Bedasarkan uji beda rata-rata Mann whitney, kelimpahan polen di delta plain lebih tinggi dari pada di delta front (Tabel 2). Hal tersebut dapat dijelaskan bahwa posisi delta front lebih jauh dari sumber polen Oncosperma tigillarium yang berada di upper delta plain. Transpor polen dari wilayah upper delta plain kuantitasnya akan berkurang setelah melalui proses sedimentasi Tabel 2. Hasil Uji Mann Whitney terhadap rata-rata kelimpahan Oncosperma tiggilarium Pengamatan Lokasi O. tiggilarium Delta plain 50,5 Delta front 13,2 Rata-rata Median 11,5 Z p-value -5,252** 0 2 **Uji signifikan pada α 1%, * Signifikan pada α 5% Tabel 3. Hasil standardisasi data Pengamatan O. tiggilarium Lokasi Delta plain Delta front Minimum 3 0 Maximum 48 17 Rata-rata 15,2758621 3,62068966 Winantris, Syafri, I.,, dan Rahardjo, AT. di wilayah yang lebih proximal. Posisi upper delta plain berada paling proximal dan wilayah delta front lebih distal dengan sudut kemiringan landai. Kondisi tersebut sangat memungkinan aliran sungai maupun aliran permukaan mentranspor sebagian polen Oncosperma tigillarium yang jatuh di upper delta plain ke arah lower delta plain dan selebihnya terangkut menuju wilayah yang lebih distal yaitu menuju delta front. Sabiham & Hisao (1986), menyatakan bahwa penyebaran Oncosperma di Cekungan Sungai Batang Hari berada pada wilayah peralihan pada endapan Sungai dan pantai. Sumawinata (1998), mengklasifikasikan penyebaran polen Oncosperma filamentosa sebagai inudated by exeptional tides di Cekungan Barito bawah. Penyebaran polen Oncosperma filamentosa yang merupakan sinonim Oncosperma tigillarium berada pada wilayah yang mengalami penggenangan arus pasang laut dalam kondisi-kondisi tertentu saja. Hasil penelitian tersebut juga menjelsakan bahwa penyebaran polen tersebut berada pada lingkungan yang sangat terbatas. Untuk melihat pola distribusi polen Oncosperma tigillarium berdasarkan kelimpahannya di lingkungan delta plain dan delta front masing-masing dibuat analisis kluster. 237 Berdasarkan analisis kluster di delta plain diperolah dua kelas (Gambar 3). Masing-masing klaster digambarkan dengan garis yang berbeda. Anggota kluster dua (-x--) dengan rata-rata kelimpahan lebih besar dari 22 butir dan anggota kluster satu (–›– ›–›) dengan rata-rata kurang dari 22. Kluster satu meliputi wilayah tepi delta plain yang berhubungan dengan distributary channel. Kluster dua berada di wilayah tengah lower delta plain yang terhubung oleh sungai yang lebih kecil. Wilayah ini menjadi tempat pengendapan polen Oncosperma tigillarium paling tinggi. Fakta tersebut memperlihatkan bahwa transpor polen Oncosperma tigillarium mengikuti pola channel (Gambar 2). Analisis kluster yang dilakukan terhadap sampel delta front menghasilkan dua kelas berdasarkan jumlah keterdapatannya. Kluster satu (— - —) menggambarkan kelompok sampel dengan kandungan polen lebih sedikit, yaitu kurang dari tujuh butir. Anggota dari kluster dua (–•–) ini adalah sampel yang memiliki jumlah polen paling sedikit 7. Posisi titik-titik sampel tersebut seluruhnya bertepatan atau berdekatan dengan muara atau ujung dari distributary channel. Jika dilihat dari sisi utara delta sampel nomor 2 tepat berada di depan Muara Gambar 2. Arah transpor ( → ) polen Oncosperma tiggilarium dari habitatnya upper delta plain (proksimal delta) menuju lower delta distal 238 Oncosperma Tigillarium Bagian Palino Karakter Delta Plain Gambar 3. Distribusi polen Oncosperma tiggilarium dari proksimal ke distal delta di wilayah Delta Mahakam Lerong. Lebih ke arah selatan hampir pada bagian tengah dari delta front, sampel nomor 5 dan 19 berada di sekitar Muara Tambora. Lebih ke selatan lagi yaitu sampel nomor 17 berlokasi di depan P. Pemankaran berdekatan dengan Muara Pemankaran. Sampel 12 berada di ujung distributary channel yang berada didepan P.Muara Ulu, berdekatan dengan Muara Ulu Kecil, dan sampel nomor 15 berada didepan P. Timbang berdekatan dengan Muara Bujit. Fakta tersebut memberikan penguatan terhadap peranan distributary channel dalam penyebaran butir polen Oncosperma tigillarium dari habitatnya ditepian sungai di upper delta plain menuju wilayah lebih distal sampai ke muara-muara sungai yang berada disekitar wilayah delta front (Gambar 3). SIMPULAN Oncosperma tiggllarium merupakan tumbuhan stenotopic, tumbuhan ini menghasilkan polen dalam jumlah banyak. Polen Oncosperma tiggllarium menyebar keseluruh lingkungan delta plain. Penyebaran polen dominan pada lingkungan yang terkoneksi dengan distributary channel. Morfologi polen Oncosperma tiggllarium sangat spesifik sehingga dengan cepat dapat Winantris, Syafri, I.,, dan Rahardjo, AT. dikenali. Polen Oncosperma tigillarium menjadi salah satu karakter sedimen dari lingkungan delta plain. Oncosperma tigillarium sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan yang mengakibatkan perubahan bentang alam. Dengan demikian perubahan kuantitas polen Oncosperma tigillarium dalam sedimen dapat dijadikan indikator perubahan lingkungan pengendapan. UCAPAN TERIMA KASIH Kami menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada: BP MIGAS dan TOTAL Indonesie atas pemberian izin untuk melakukan penelitian. Kepala Laboratorium Palinologi, Program Studi Geologi, ITB, yang telah memberikan kesempatan untuk melakukan preparasi polen. Teman sejawat di Laboratorium Paleontologi Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran Bandung atas berbagai dukungannya. DAFTAR PUSTAKA Allaby, M. 1999. A Dictionary of Zoology, Encyclopedia.com, diunduh 17 April 2011, melalui http://www.encyclopedia. com/doc/1O8-stenotopic.html Allen, G.P. & J.L.C. Chambers (1998)Sedimentation in the modern and Miocene Mahakam Delta. Jakarta. Indonesian Petrol. Assoc. Boggs, S., 2006. Principles of Sedimentology and Stratigraphy (4th edition). New Yersey. Pearson Prentice Hall. Caratini, C.,Tissot.C., 1998. Paleogeographycal Evolution of The Mahakam Delta in Kalimantan, Indonesia During The Quarternary and Late Pliocene, Riview of Paleobotanty and Palynology, 55: 217-228 Cheetham, A. H., J. B. C. Jackson, S. Lidgard, & F. K. McKinney. 2001. Evolutionary patterns: Growth, form, and tempo in the fossil record in honor 239 of Allan Cheetham. Illinois.University of Chicago Press, Chicago Fisher, W. L. Brown, A.J. Scott. & J.H.McGowen., 1969. Delta System In the Exploration for Oil and Gas: A Reseach Colloquium. Texas Bureau of Economic Geology. Austin. University of Texas at Austin. Giesen, W., S. Wulffraat, M. Zieren & L. Scholten, 2007. Mangrove guidebook for Southeast Asia. Bangkok, Thailand Food and Agricultural Organisation & Wetlands. Harley, M.M & Baker, W.J., 2001. Pollen aperture morphology in Arecaceae: application whithin Phylogenetic analyses, and a summary of the fossil record of palm-like pollen. Grana, 40: 45-77 Hesse, M., Halbitter, H., Zetter, R., Weber, M., Buchner, R., Froch-Radivo, A & Ulrich, S., 2009. Pollen Terminology An Ilustrated handbook, New York, Springer. Haseldonckx, P., A palynological interpretation of palaeoenvironment in S.E. Asia. Sains Malays., 1974, 3, 119–127. Jones, T.P & Rowe., 1999. Fossil Plant and Spores: Modern Techniques. London The Geological Society Nasoetion, A.H. & Barizi, 1985. Metode Statistika Untuk Penarikan Kesimpulan, Gramedia, Jakarta. Rahardjo, A.T., Polhaupessy, A.A., Wiyono, S., Nugrahaningsih, L. & Lelono, E.B., 1994. Zonasi Polen Tersier Pulau Jawa. Makalah PIT IAGI XXIII, 77-8. Sabiham,S & Hisao, F., 1086. The Problem In South Asia, Study of Floral Composition of Peat Soil in the Lower Batang Hari River Basin of Jambi, Sumatera. Journal Southeast Asian Oncosperma Tigillarium Bagian Palino Karakter Delta Plain Studies, Vol. 24. No. 2. p:113-132. Salahudin, Husein,, 2006. Memahami Proses Alamiah Degradasi Lingkungan Delta Mahakam. http://io.ppi-jepang.org, diunduh 13-8-2008. 240 Thanikaimoni, G. 1987. Mangrove Palynology, Institute Francais De Pondichery, Travaux de la Section Scientifique et Technique 24:1-100. Santoso,S., 2004. Statistik Multivariat, Konsep dan Aplikasi dengan SPSS. Elex Media Komputindo.Jakarta. Kompas Gramedia. Uhl, N.W. & Dransfield, J. 1987. Genera Palmarum, a classification of the palms based on the work of Harold E. Moore Jr. Liberty Hyde Bailey Hortorium and the International Palm Society, Kansas. Lawrence. Santoso, S, 2010. Statistik Nonparametrik Konsep dan Aplikasi dengan SPSS, Elex Media Komputindo. Jakarta. Kompas Gramedia. Walker G. R. & James N.P. 1992., 1992, Facies Models; Response to Sea Level Change. Canada, Geological Association of Canada. Sowumni, M.A., 1972. Pollen Morphology of the Palmae and its bearing on Taxonomy Amsterdam. Elsevier Publishing Company. Witono, J.R. 2005. Keanekaragamaan Palm (Palmae) di Gunung Lumut, Kalimantan Tengah. Biodiversitas, vol 6, no.1 hal 22-30. Storms, J. E..A., Hoogendoorn, R.M., Dam, R.A.C., Hoitink, A.J.F. & Kroonenberg, S.B., 2005. Late Holocene evolution of Mahakam Delta, East Kalimantan, Indonesia. Journal Sedimentary Geology 18: 149-166 . Yacob, M., 1988. The Tropical Rain Forest A First Encounter. Berlin. SpringerVerlag. Sumawinata, B. 1998. Sediments of the Lower Barito Basin in South Kalimantan: Fossil Pollen Composition. Journal Southeast Asian Studies, Vol.36. No.3, p: 293-316. Yulianto, E., Sukapti, W.S., Rahardjo, T., Noeradi, D., Siregar, D.A., Suparan, P., & Hirakawa, K., 2004. Mangrove Shoreline Responses To Holocene Environmental Change, Makasar Strait, Indonesia, Review of Paleobotany and Palynology 131 p.251-268. Bionatura-Jurnal Ilmu-ilmu Hayati dan Fisik ISSN 1411 - 0903 Vol. 14, No. 3, November 2012: 164 - 173 OUTDOORS BATCH CULTIVATION OF MARINE MICROALGAE Nannochloropsis sp USING PARALLEL GLASS TUBULAR PHOTOBIOREACTOR Astuti, J.T., Sriwuryandari, L., Priantoro, E.A., dan Sembiring, T. Environmental Working Group, Research Centre for Physics, Indonesian Institute of Sciences (LIPI) Jl.Sangkuriang Bandung 40135 E-mail: [email protected]; [email protected] ABSTRACT Microalgae Nannochloropsis sp is autotrophic organism that can utilize atmospheric CO2 and sunlight for growth via photosynthesis. It is potential sources for biodiesel due to its high lipid content. For mass production, two basic designs of photo-bioreactor are available, i.e. open and enclosed systems. Study was conducted to investigate the growth performance of Nannochloropsis sp in outdoor batch culture system using Parallel Enclosed Glass-Tubular Photo-bioreactor (PBR) for 18 days with modified f/2 medium. Nutrient N-P was calculated based on the empiric structure of microalgae cell (C1O0.48H1.83N0.11P0.01) with target of biomass yield was 1g.L-1. Temperature, pH, Optical Density (OD), Dry Cell Weight (DCW), population, lipid content, and fatty acid were observed. Data showed that temperature fluctuated between 22oC and 35oC, pH is stable at 7.0-7.5, OD increased from 0.134 to 0.878, DCW increased 39 times higher than its initial value. At 18th day, the cell diameter varied in range of 1-9 µm, cell weight increased 5.3 times (3.5 to 18.4pg.cell-1), and lipid content is 35.71%. Fatty acid was composed by saturated fatty acids (92.39%) that covered of Lauric (20.30%), Myristic (12.69%), Palmitic (50.05%), and Stearic (9.35%) that suitable for biodiesel. Unsaturated fatty acid was performed by Oleic acid (3.49%). Key words: CO2 mitigation, biodiesel, Nannochloropsis sp, photo bioreactor. KULTIVASI MIKROALGA NANNOCHLOROPSIS sp SECARA BATCH MENGGUNAKAN PARALLEL GLASS TUBULAR PHOTOBIOREACTOR PADA KONDISI ALAMI ABSTRAK Mikroalga Nannochloropsis sp adalah organisme autotroph yang dapat memanfaatkan CO2 udara dan sinar matahari untuk pertumbuhan melalui fotosintesis. Organisme tersebut potensial untuk biodisel karena kadar lipidnya tinggi. Untuk produksi, dikenal dua model fotobioreaktor, yaitu system terbuka dan tertutup. Penelitian bertujuan untuk mengetahui pola pertumbuhan Nannochloropsis sp di dalam outdoor batch culture system menggunakan Parallel Enclosed Glass-Tubular Photo-bioreactor (PBR) selama 18 hari dengan media f/2 modifikasi. Nutrisi N-P dihitung sesuai rumus empiris sel mikroalga (C1O0,48H1,83N0,11P0,01) dengan target produksi biomasa 1gL-1. Suhu, pH, OD, DCW, populasi, kadar lipid dan komposisi asam lemak diamati selama penelitian. Data menunjukkan suhu berfluktuasi antara 2235oC. pH stabil di 7,0-7,5. OD meningkat dari 0,134 ke 0,878. DCW meningkat 39 kali. Pada hari ke 18, diameter sel bervariasi antara 1-9 µm. Berat sel meningkat 5,3 kali (3,5 ke 18,4 pg.cell-1). Kadar lipid 35,71%. Asam lemak disusun oleh asam lemak jenuh (92,39%), meliputi asam Laurat (20,30%), Miristat (12,69%), Palmitat (50,05%), dan Stearit (9,35%) yang cocok untuk biodiesel. Asam lemak tidak jenuh muncul dalam bentuk asam Oleat sebesar 3,49%. Kata kunci: Mitigasi CO2, biodiesel, Nannochloropsis sp, fotobioreaktor. INTRODUCTION The optimal scenario of atmospheric carbon dioxide (CO2) mitigation that involves its transition to renewable fuel (biodiesel) by using photosynthetic organisms (microalgae) should be promoted (Christi, 2007). Microalgae are suitable for biodiesel due to its high photosynthetic efficiency, biomass production, and lipid content (Borowitzka & Moheimani, 2010). It was reported that the most of algal lipids have similar profile to vegetable oil that suitable for biodiesel (Xu et al., 2006). Biodiesel itself is alkyl ester of long-chain fatty acids (triglycerides) that derived of fatty acids by esterification Astuti, J.A., Sriwuryandari, L., Priantoro, E.A., dan Sembiring, T. with methanol or ethanol. It is renewable, biodegradable and nontoxic (Li et al., 2008). Some researchers reported biodiesel is composed by fatty acids with carbon atoms of 12-24 (Xu et al., 2006); 16-20 (Christi, 2007); 10-24 (Hu et al., 2008). The growth and lipid characteristic of microalgae is determined by the species and cultivation parameters. It is important to note that high lipid productivity is a key desirable characteristic in the choice of species to use for biodiesel. Selection of fast growing, productive strains, and adaptable to local climate conditions is a fundamental importance in algal mass culture (Huntley & Redalje, 2007). Microalgae Nannochloropsis sp (Eustigmatophyceae) have been considered as potential sources of renewable energy due to its high lipid content, i.e. 62% (Hu & Gao, 2006); 36.19-46.67% (Astuti et al., 2008); 28.7% (Gouveia & Oliveira, 2009); 44.5% (Su et al., 2010). Nevertheless, the proper method of cultivation is required to obtain the high yield, both of biomass and lipid. For mass production, two basic designs are available, i.e. open and enclosed systems. It was reported that in open ponds, Nannochloropsis sp collapses after a few weeks due to contamination by bacteria and competition by other algal species. The adoption of closed photo-bioreactor is required, since open ponds do not ensure a long-term reliable cultivation (Pulz, 2001). Enclosed photo-bioreactors have received much attention because of its high biomass productivity, low contamination, and minimal evaporation, able to reduce of CO2 losses, and easier to control (Grobbelaar & Kurano, 2003; Merchuk et al., 2000). The utilization of various designs of enclosed photo bioreactors could prevent the culture to collapse (Vasudevan & Briggs, 2008). This study was aimed to investigate the growth characters of Nannochloropsis sp at outdoor batch cultivation system in parallel glass tubular photo-bioreactors 165 MATERIAL AND METHOD Microalgae Standard Culture The Research Centre for Biotechnology, Indonesian Institute of as Sciences provided standard cultures of Nannochloropsis sp. Cultures were maintained in a modified f/2 medium that used ammonium nitrate (NH4NO3) as sole nitrogen sources. Medium was prepared by using sea water (Ancol Jakarta), enriched with 8.83x10-4M NH4NO3; 3.63 x 10-5M NaH2PO4.1H2O; 1.07 x 10-4M Na2SiO3.9H2O; 1x10-5M FeCl3.6H2O; 1x105 M Na2EDTA.2H2O; 4x10-8M CuSO4.5H2O; 3x10-8M Na2MoO4.2 H2O; 8x10-8M ZnSO4.7H2O; 5x10-8M CoCl2.6H2O; 9x10-7 M MnCl2. 4H2O; 1x10-10M Vitamin B12; 3x10-7M Thiamine; and 2x10-9M of Biotin. Cultures were cultivated in outdoor to adapt the local condition, bubbled with filtered atmospheric air (0.47 µm). Then, cultures with Optical Density (OD) ≈ 1 (680 nm) was used as inoculums in study. Parallel Glass Tubular Photo-bioreactor (PBR) Triplicates of Parallel Glass-Tubular Photo-bioreactor (PBR), i.e. PBR 1; PBR 2; and PBR 3 were used for study. The main body of PBR is a clear glass tubular with diameter 4 cm and length 140 cm. Each PBR were consisted of eight glass tubular, constructed horizontally in series on panel, placed side by side with position at 847 m above sea level, latitude 06o52’57.5” SL and longitude 107o36’39.8” EL. Silicone tubes was used for connecting between glass tubular to transfer and distribute cell and nutrients. Total volume of PBR is 15 L approximately, including spaces of silicone tubes. PBR system was designed as presented schematically in Figure 1. Sterilization of glass tubular of PBR was conducted by soaking with sodium hydroxide (NaOH) 2% for 24 hours, and then flashed-out with boiled water until the residual of chemicals has been removed Outdoors Batch Cultivation of marine Microalgae Nannochloropsis Sp using Parallel Glass Figure 1. Schematically design of PBR system. 166 Figure 3 Outdoors batch culture systems of Nannochloropsis sp in PBR. sole carbon sources, from the bottom part and circulated continuously with peristaltic pump to optimize distribution of nutrients and cells. The cell biomass was harvested at 18th days and then analyzed. Analytical Methods Figure 2 The slope regulator of PBR panel (screw type). completely (pH ≈ 7). PBR was adjusted facing to north direction with slope of 30o to optimize solar energy absorption. Slope could be changed by turning of screw regulator that equipped on panel as displayed in Figure 2. Growth Medium and Culture Condition Modified f/2 medium (without N, P sources) was prepared, boiled and filled into PBR 1; PBR 2; and PBR 3 under aseptic condition using peristaltic pump. Nutrient N and P was prepared in aqueous solution, sterilized, and injected into medium at room temperature via silicone tube connectors. The addition of N and P was calculated based on both of the empiric structure of microalgae cell, i.e. C1O0.48H1.83N0.11P0.01 (Christi, 2007) and the target of biomass yield in study, i.e. 1 g. L-1. In order to minimize variables of experiments, inoculation was carried out aseptically using stock culture (OD680nm = 0.96) in equal concentration (5% v/v), then incubated in outdoor batch culture system as presented in Figure 3. Filtered atmospheric air was supplied (flow rate ± 1 L.min-1) as Local temperature and pH of culture medium These parameters were measured due to observe the adaptability capacity of microalgae cell to local environment condition. pH was measured by using pH meter. Meanwhile, temperature of the atmospheric air and the growth media were checked with using thermometer. Optical Density (OD) and Dry Cell Weight (DCW) OD value of culture reflected of its biomass concentration. It was measured turbidity-metrically at 680 nm according to Astuti et al (2008). At the initial of experiment, several levels of cell concentration of stock culture were prepared in series. Then was measured its OD (680 nm) using spectrophotometer, and its DCW was determined gravimetrically. Then, a standard curve that displayed the correlation between OD with DCW was created. DCW in this experiment was calculated based on that standard curve as presented in Equation 1 (R2 = 0.989), and expressed in g.L-1. DCW = (0.969 x OD680)-0.111 .............. (1) Astuti, J.A., Sriwuryandari, L., Priantoro, E.A., dan Sembiring, T. Cell population, size, and weight Cell population was determined microscopically. As much as 2 µL of culture was spotted in object glass and covered with 20x20 mm of cover glass. Immersion oil was added and then observed the population of cell by using Leitz Laborlux D microscope with reproduction ratio 100, and aperture of lens 1.25 mm. Cell population was calculated with considering to the dilution factor and expressed in 1010 cells.L-1. Cell size was determined by using micrometer that equipped in microscope system. The average of cell weight was calculated by divided of DCW with cell population, expressed in picogram per cell (pg.cell-1), which 1 pg is equivalent to 1x10-12 g. Total lipid content Total lipids content was extracted with chloroform-methanol according to method of Bligh & Dyer (1959). The 15 ml glasses vial that containing of dried algal biomass (M), 2 ml methanol, and 1 ml chloroform was kept for 24 hr at 25oC. The mixture was then agitated in a vortex for 2 min, again added 1 ml of chloroform and mixed in a vortex for 1 min. Afterward, 2 ml of distilled water was added and the mixture was mixed in a vortex for 2 min. Three layers were obtained by centrifugation for 10 min at 2000 rpm, i.e. chloroform fraction (bottom), water (middle), and methanol fraction (upper). The chloroform fraction that contain of lipid compound was sucked using pipette and transferred it into a previously weighed of dried and cleaned vial (W0). Then, it was dried at oven 105oC for 8 hr, cooled down in desiccator, and weighed at room temperature (W1). Lipid was calculated by subtracting W1 from W0, Lipid content was calculated by divided (W1-W0) with M, and expressed in % DCW. Characterisation of fatty acids Lipid extract (≈ 0.60 g) was transmethyl-esterification with BF3, and then analyzed using Gas ChromatographyMass Spectroscopy (GCMS) QP5000 that equipped with DB-17 Capillary Column (L 30 m, Ø 0.25 mm). Temperature of injector 167 and detector were maintained at 250 and 300oC, respectively. Temperature was started at 80oC for 3 min, increased 10oC.min–1 until reached to 260oC, with final hold time for 10 min. The condition was set with flow gas 1.1mL.min-1, linear velocity 37.5, and pressure 67.7 kpa. Then, 1 µL of sample was injected with splittless mode. Fatty acids were identified by comparison its retention times of the peaks in GC-Chromatogram to NIST and Wiley Library. The concentration of the fatty acid components was calculated relatively by comparing the peak area (height x wide) of individual of fatty acid to the total peak areas, expressed as the percentage (%) of total fatty acids (Astuti et al., 2008). RESULT AND DISCUSSION Temperature and pH of Culture Medium The growth of microalgae is affected by temperature of the environment, and in outdoor system, it would be depended on its local climatic situation. In this study, there is no significant different of temperature in culture medium among the PBR system (PBR 1; PBR 2; PBR 3). During the light day (08.00 to 16.00), temperature of culture fluctuated in the range of 22-35oC with the average of 29.6oC (Figure 4). This level is near with the previous study, i.e. 22.63-34.33oC (Astuti et al., 2008), which was carried out at the same place, but in different period of time. In fact, these ranges are relatively higher than the optimum temperature for growth of Nannochlorpsis sp, i.e. 22-27oC (Fabregas et al., 2004). Nevertheless, like Figure 4. The average temperature of culture medium of Nannochloropsis sp in PBR. Outdoors Batch Cultivation of marine Microalgae Nannochloropsis Sp using Parallel Glass other microalgae, Nannochloropsis sp has a capability to adapt the local environment, including of the temperature. Borowitzka & Moheimani (2010) reported the optimum climatic condition for high productivity of algae is the area with high annual average sunshine and high temperatures. Based on the local climate condition, it would be expected that Indonesia is suitable for mass production of microalgae. In Indonesia, sunlight could be emerged almost at the whole of year with the average of sunlight is 6.1-9.7 hr.day-1. Minimum temperature is in the range of 2324oC, maximum is 30-33oC, or the average is 27-29oC. Microalgae can grow autotrophically or heterotrophically, with a wide range of tolerance to different temperature, salinity, pH and nutrient availabilities (Hu et al., 2008; Brennan & Owende, 2010). Nevertheless, most algae species are sensitive to free NH3 (Azov & Goldman, 1982). The use of ammonia requires much more careful control NH4NO3 NH4- +NO2 been exhausted (Proctor, 1957). Figure 5 showed that pH of Nannochloropsis sp was not different among the units of PBR. It was stable at 7.5 until of 14th days of cultivation. Afterward, pH was decreased to 7.0 at all of PBR tested. The previous study indicated that Chlorella sp and Scenedesmus sp has the same pattern, the pH at the initial growth was 7.0-7.1 and at the 5th day of cultivation decreased to 5.25.6 (Proctor, 1957). The biochemical process of algae metabolism itself might cause the decreasing of pH. It was investigated that during the dark hours, algae produce rather than consume of carbon dioxide. The respiratory processes in the darkness NH4NO3 + NO3- .................. (2) of algae culture than when nitrate is used as N source, especially at higher temperatures. In medium, ammonium nitrate (NH4NO3) would be dissociated to ammonium (NH4+) and nitrate ion (NO3-) as presented in Equation 2 (Sawyer et al., 1994). As photosynthesis organisms, microalgae can utilize both of NH4+ and NO3- as sources of nitrogen for cell synthesis by using CO2 and solar energy via biochemical reaction (Equation 3, 4). NH4+ ion is the chemical form of nitrogen that most readily NH3- +NO2 168 Solar energy Chlorophyll Solar energy Chlorophyll Cell .................. (3) Cell .................. (4) taken up and assimilated by micro-algae. The previous studies indicated that when NH4NO3 is employed in the medium, NH4+ ions are preferentially assimilated and NO3ions are utilized only after the former have Figure 5. Change of pH level of culture medium of Nannochloropsis sp. would be exceeding than the photosynthesis processes. Consequently, the concentration of carbon dioxide in the PBR system become higher than the normal process and tends to reduce the pH value of the culture (Sawyer et al., 1994). Optical Density (OD) and Dry Cell Weight (DCW) The OD value of culture, which represented its biomass concentration were not significantly different among the PBR units (Figure 6). In average, OD680nm value of Nannochloropsis sp was increased linearly with time, i.e. from 0.134 ± 0.002 at the initial to 0.878 ± 0.012 at the 18th day. The increasing of this biomass concentration indicated that microalgae adapted to the average light intensity present in the culture. It was reported (Grobbelaar & Kurano, 2003) that in enclosed PBR batch culture systems, Astuti, J.A., Sriwuryandari, L., Priantoro, E.A., dan Sembiring, T. cell population could be progressively became low light acclimated. It was reported that microalgae could photo-acclimate to various light intensities, both of the spectrum of High Light (HL) or Low Light (LL). Following inoculation of an outdoor batch culture, because of its low density at initial phase, cells receive high average illumination and would This result is lower than the previous study, which reached DCW in the range of 1.6-2.5 g.L-1 (Gouveia & Oliveira, 2009). The low biomass production of Nannochloropsis sp in study might be affected by the limited of carbon availability that could be captured for biomass production. In this study, CO2 as sole carbon source was supplied only by blowing air into the photo-bioreactor. The concentration of CO2 in the atmospheric air is 0.04%. This condition caused the growth was run un-properly. Microalgae need concentration of carbon dioxide 2-5% in medium (Santos et al., 2010). As describes before, microalgae is an autotrophic organism that produced organic matter by capturing carbon dioxide and solar CO2+H2O Figure 6. Correlation of OD (680 nm) and age of Nannochloropsis sp culture. characteristically have HL acclimated properties. After a certain time, when culture density increases due to the growth, the average light per cells progressively would become LL acclimated (Grobbelaar & Kurano, 2003). DCW of Nannochloropsis sp was Table 1. DCW in outdoor batch cultivation of Nannochloropsis sp using PBR (g.L-1) Culture Age (days) PBR 1 PBR 2 PBR 3 Average 0 0.021 0.017 0.019 0.019 C 0.001 4 0.271 0.252 0.246 0.256 ± 0.010 7 0.348 0.311 0.371 0.343 ± 0.021 11 0.499 0.493 0.395 0.462 ± 0.045 14 0.603 0.617 0.601 0.607 ± 0.006 18 0.740 0.728 0.750 0.739 ± 0.008 DCW (g.L-1) increased by the culture ages. The average of DCW at the 18th was 0.739 ± 0.008 g.L-1. Although DCW reached ± 39 times higher compared to its initial concentration (0.019 ± 0.001 g.L-1), the production of dry cell was only achieved 73.9% of the target (1g.L-1) as presented in Table 1. 169 (CH2O)+O2 (CH2O)+ O2 .................. (5) CO2+ H2O .................. (6) energy in oxygenic photosynthesis process (Equation 5). In the other side, microalgae also carry out respiration, both in light and dark environment. The overall equation of respiration is the reverse of photosynthesis as presented in Equation 6 (Madigan et al., 2000). The bottleneck of photosynthetic growth of microalgae in outdoor system might be not in the capturing of light energy, but in the converting step in fixed carbon into the structural biomass (Christi, 2007). In this study, the oxygen gas that is resulting in photosynthesis might be trapped and accumulated in PBR system. In this high concentration of oxygen, photosynthesis would be blocked and respiration would be stimulated greater than photosynthesis, resulting the decreasing of biomass productivity. Cell Population, Size, and Weight The growth of microorganisms, included of microalgae is related with the increasing of cell, both in population and size. The average of cell population was increased linearly with the ages of cultures, i.e. from 0.54 to 3.729 (x1010 cells. L-1) as in Table 2. Cell population increased approxi- Outdoors Batch Cultivation of marine Microalgae Nannochloropsis Sp using Parallel Glass 170 Table 2. Cell population in outdoor batch cultivation of Nannochloropsis sp using PBR. Culture Age (days) 0 4 7 11 14 18 Population (x 1010 cell.L-1) PBR 2 PBR 3 0.53 0.54 1.67 1.64 1.96 2.24 2.83 2.36 3.43 3.36 3.97 4.08 PBR 1 0.55 1.76 2.13 2.86 3.37 4.03 mately 6.9 times compared to its initial stage. Based on the microscopic observation, the cultures in the PBR could be kept in sterile condition due to absence of any contaminant organisms in culture medium. The cell diameter and weight of Nannochloropsis sp was not different among units of PBR. It was appeared Nannochloropsis sp have various shape, spherical to slightly ovoid cells. The cell size was in the range of 1-9 µm in diameter, with the average in PBR 1; Table 3. Cell weight of Nannochloropsis sp in PBR (pg.cell-1) Culture Age (days) Cell weight (pg.cell-1) PBR 1 PBR 2 PBR 3 Average 0 3.8 3.2 3.5 3.5 ± 0.20 4 15.4 15.1 15.0 15.2 ± 0.15 7 16.3 15.9 16.5 16.3 ± 0.22 11 17.4 17.4 16.7 17.2 ± 0.30 14 17.9 18.0 17.9 17.9 ± 0.03 18 18.4 18.3 18.4 18.4 ± 0.02 Average 14.9 14.7 14.7 14.7 ± 0.02 PBR 2; and PBR 3 were 4.5; 4.3; and 4.8 µm, respectively. It is bigger than the previous study that has a range of 2-4 µm in diameter (Hoek et al., 1995). The difference of that cell size might be caused by the culture condition itself, such as nutrient availability, temperature, pH, and the culture age. The cell weight of Nannochloropsis sp increased with the ages of the culture. There is no significant different of cell weight among the PBR units. It was showed that the cell population was increased 6.9 times, Average 0.540 ± 0.0062 1.688 ± 0.0469 2.110 ± 0.1031 2.685 ± 0.2177 3.385 ± 0.0312 3.729 ± 0.0365 meanwhile the cell weight was increased significantly (5.3 times), i.e. from 3.5 to 18.4pg.cell-1 as presented in Table 3. Total Lipid Content Data indicated that lipid content of Nannochloropsis sp was similar among the PBR units, i.e. 34.42 (PBR 1); 37.16 (PBR 2); and 35.71% (PBR 3). High lipid content in study might be as a response of cell to environmental stresses, which was resulted by the limited of carbon supply. As comparing data, the previous studies investigated that lipid content of Nannochloropsis sp was 62% (Hu & Gao, 2006); 36.19-46.67% (Astuti et al., 2008); 28.7% (Gouveia & Oliveira, 2009); 44.5% (Su et al., 2010). Fatty Acids Composition Data analysis using GCMS showed that lipid of Nannochloropsis sp was composed 92.39% by saturated fatty acid, 3.49% unsaturated fatty acid, and 4.12% other unidentified compounds. It was obtained, that the saturated fatty acid of Nannochloropsis sp was dominated by Palmitic acid (50.05%), Lauric acid (20.30%), Myristic acid (12.69%) and Stearic acid (9.35%) as presented in Table 4. Similar data were obtained in the previous researchers, which reported that Palmitic acid was a major of fatty acid in lipid of Nannochloropsis sp that covering of 47.93% (Astuti et al., 2008); 40.44% of total fatty acids (Fabregas et al., 2004). Saturated fatty acids are a longchain carboxylic that no double bonds, such as Lauric acid (C12H24O2), Myristic acid (C14H28O2), Palmitic acid (C16H32O2), 171 Astuti, J.A., Sriwuryandari, L., Priantoro, E.A., dan Sembiring, T. Table 4. Fatty acid (FA) composition of Nannochloropsis sp in outdoor batch culture system using PBR Scientific name Common name Chemical Formula C atom: Double bond Molecule weight Content (% Total FA) n-Dodecanoic acid* Lauric acid C12H24O2 C12:0 200 20.30 Tetradecanoic acid* Myristic acid C14H28O2 C14:0 228 12.69 Hexadecanoic acid* Palmitic acid C16H32O2 C16:0 256 50.05 Octadecanoic acid* Stearic acid C18H36O2 C18:0 284 9.35 9-Octadecanoic acid** Oleic acid C18H34O2 C18:1n9 282 3.49 Saturated FA* 92.39 Unsaturated FA** 3.49 Other compounds 4.12 Stearic acid (C18H36O2), and Arachidic acid (C20H40O2). Saturated fatty acids are saturated with hydrogen, since double bonds reduce the number of hydrogen on each carbon. Unsaturated fatty acid of Nannochloropsis sp in this study was only covered of Oleic acid (3.49% of total fatty acids). Oleic acid (C18:1n9) is a mono-unsaturated fatty acid with one of double bond with position at atom C-9. Xu et al (2006) reported the utilization of lipid materials is depending of its composition and characteristic, such as chainlength, degree of saturation, and proportion of fatty acids. The required characteristics of fatty acid for biodiesel are long-chain, un-branched, no double bond, with carbon atoms 12-24 (Xu et al. 2006); 16-20 (Christi, 2007); 10-24 (Hu et al., 2008). Based on this result, it was suggested that lipid of Nannochloropsis sp can be used for biodiesel due to its fatty acid profile. Nevertheless, a better method should be found to optimize its biomass productivity, combined with high lipid content and appropriate composition for biodiesel. The conceptual solution that consists of two processes should be applied to maximizing production of biomass and lipid. The first stage is maintaining of constant conditions that favour continuous cell division and prevent contamination. The second stage is exposing cells to nutrient deprivation and other environmental stresses that lead to synthesis lipid (Huntley & Redalje, 2007). CONCLUSION Nannochloropsis sp could be cultivated in outdoor batch system using Parallel Enclosed Glass-Tubular Photo-bioreactor. Performances of three units PBR as growth provider of algal cell are similar, both in biomass production and lipid content. Nannochloropsis sp has a thermo tolerant characteristic to local climate condition (2235oC). DCW and cell population increased 39 and 6.9 times, respectively, higher than initial. Lipid content was 35.71%, averagely. Fatty acids were composed by saturated fatty acids (92.39%) that covering of Lauric (20.30%), Myristic (12.69%), Palmitic (50.05%), and Stearic (9.35%) that suitable for biodiesel. Cultivation method in outdoor batch system using PBR should be improved to obtain high biomass productivity, high lipid content, and appropriate of fatty acid composition for biodiesel. ACKNOWLEDGEMENTS The study was funded by The Competitive Research Program of Indonesia Institute of Sciences in the field on New and Renewable Energy. Thanks to Dwi Susiloningsih (Research Centre for Biotechnology-LIPI) for providing culture and T. Sembiring for valuable disccusions. Outdoors Batch Cultivation of marine Microalgae Nannochloropsis Sp using Parallel Glass REFERENCES Azov, Y. & Goldman, J.C., 1982., Free Ammonia Inhibition of Algal Photosynthesis in Intensive Cultures., Appl Environ Microbiol, 43:755-739. Bligh, E.G. & Dyer, W. J., 1959., A rapid method for total lipid extraction and purification. Can. J. Biochem. Physiol 37: 911-917. Borowitzka, M.A. & Moheimani, N.R., 2010., Sustainable Biofuels from Algae. Mitig Adapt Strateg Glob Change. DOI 10.1007/s11027-010-9271-9. Springer Science Business Media B.V. Brennan, L. & Owende P., 2010., Biofuels from Microalgae: A Review of Technologies for Production, Processing, and Extractions of Biofuels and CoProducts. Renew Sustain Energy Rev, 14:557-577. Christi, Y. 2007. Biodiesel from MicroAlgae, Biotechnol ADV, 25;294-306. Fabregas, J., Maseda, A., Dominguez, A. & Otero, A., 2004., The cell composition of Nannochloropsis sp change under different irradiances in semi continuous culture. World Journal of Microbiology & Biotechnology 20: 31-35. 172 Hu, H. & Gao, K., 2006., Response of Growth and Fatty Acid Compositions of Nannochloropsis sp. to Environmental Factors Under Elevated CO2 Concentration. Biotechnol Lett, 28:987-992. Hu, Q., Milton, S.M., Jarvis, E. 2008., Microalgal Triacylglycerols as Feedstock for Biofuel Production: Perspectives and Advances. Plant J., 54:621-639. Huntley, M.E. & Redalje, D.G., 2007., CO2 mitigation and renewable oil from photosynthetic microbes: a new appraisal, Mitigation and Adaptation Strategies for Global Change, Springer, 12: 573–608. Li, Q., Du, W., & Liu, D., 2008., Perspective of Microbial Oils for Biodiesel Production. Appl Microbial Biotechnol, 80:749-756. Madigan M.T., Martinko J.M., & Parker J. 2000. Biology of Microorganisms. 9th Ed. JHI, Inc. USA, pp: 675-677. Merchuk, J.C., Gluz, M., & Mukmenev, I., 2000., Comparason of Photo bioreactor for Cultivation of the Microalga Porphyridium sp. J. Chem Technol Biotechnol, 75:1119-1126. Gouveia, L. Oliveira, A.C., 2009., Microalgae as Raw Material for Biofuels Production. J. Ind Microbiol Biotechnol, 36:269-274. Proctor, V.W., 1957., Prefential Assimilation of Nitrate Ion by Haematococcus pluvadis. American Journal of Botany. 44: 2, pp: 141-143. Grobbelaar, J.U. & Kurano, N., 2003., Use of photoacclimation in the design of a novel photo bioreactor to achieve high yields in algal mass cultivation, Journal of Applied Phycology, 15: 121-126. Pulz O., 2001., Photobioreactors: production systems of phototrophic microorganisms. Appl Microbiol. Biotechnol. 57:287-293. Hoek., C.V.D., Mann, D.G. & Jahns, H.M., 2002., Algae: An introduction to phycology, Cambridge University Press, 7-8: 131-133. Santos, C.A., Ferreira, M.E., Gouveia L. 2011. A Symbiotic Gas Exchange Between Bioreactor Enhances Microbial Biomas and LIPID Productivities: Taking Advantage of Complementary Nutritional Modes, J. ind Microbiol Astuti, J.A., Sriwuryandari, L., Priantoro, E.A., dan Sembiring, T. Biotechnol, doi 10.1007/S10295-0100860-0 Sawyer, C.N., McCarty, P.L., & Parkin, G.F., 1994., Chemistry for Environmental Engineering. 4th. Ed. MGH International Edition. Singapore. pp: 552-566. Su, C.H., Chien, L.J., & Gomes, J. 2010., Factor Affecting Lipid Accumulation by Nannochloropsis oculata in a TwoStage Cultivation Process. J. Appl Phycol, DOI 10.1007/s10811-0109609-4. Tri Astuti, J., Lies Sriwuryandari, Retno 173 Yusiasih & Sembiring, T. (2008). Growth And Lipid Content of Micro Algae Nannochloropsis with Different Source of Nitrogen in Natural Environment, Teknologi Indonesia, 31 (2): 121-127. Vasudevan, P.T. & Briggs, M., 2008., Biodiesel Production-Current State of the Art and Challenges. J. Ind Micro Biotechnol, 35:421-430. Xu, H., Miao, X.L., & Wu, Q.Y., 2006., High Quality Biodiesel Production from a Microalga Chlorella protothecoides by Heterotrophic Growth in Fermenters. J. Biotechnol, 126:499-507.