77 BAB IV ANALISIS SPEKTRUM FENOMENA MUNKIRUS

advertisement
BAB IV
ANALISIS SPEKTRUM FENOMENA MUNKIRUS SUNNAH DAN
SOLUSI ALTERNATIFNYA DI KABUPATEN KENDAL
A. Analisis Latar Belakang Pemikiran Munkirus Sunnah di Kabupaten
Kendal
Munculnya
gerakan-gerakan
liberal
dalam
menafsirkan
dan
mengimplementasikan Sunnah Nabi sebagi syariat Islam seperti pimpinan
Nurcholish Madjid, Ulil Abshar Abdalla, dan sebagainya dalam Islam selalu
mempertanyakan relevansi dan penerapan Sunnah dalam kerangka Syariah dari
berbagai perspektif. Gerakan ini sering menuntut adanya pembedaan yang tegas
antara Arabisme (tempat dan budaya munculnya Sunnah) dan Islam. Bagi
kelompok ini, Arab tidak selamanya sama dengan Islam. Demikian pula
sebaliknya Islam tidak sama dengan Arab. Bagi kelompok ini, lebih jauh,
menerapkan Islam sama persis dengan cara-cara yang ditempuh Nabi Muhammad
saw. (Sunnah) adalah tidak realistis dan utopis. Harus dikritisi kapan dan
bagaimana Nabi Muhammad saw. bertindak sebagai orang Arab atau Islam.
Pemikir-pemikir
gerakan
Islam
liberal
ini
merupakan
jaringan
internasional dan pemikirannya telah menyebar ke seluruh penjuru dunia. Di
antara tokoh Islam liberal tersebut adalah DR. Muhammad Taufiq Shidqi (AlIslam Huwa Al-Qur`an Wahdah), Ismail Adham (Mesir, 1911 M, Doktor lulusan
Universitas Moskow), DR. Mahmud Abu Rayyah (tahun 1942 M), DR. Rasyad
Khalifah (Doktor teknik pertanian lulusan California University, tahun 1957 M w.
1989), pernyataannya yang kontroversial adalah bahwa sunnah Nabi berasal dari
setan, ayat-ayat al-Quran yang tidak bisa tunduk pada teori ilmiah adalah ayat
setan, para ulama kaum muslimin adalah paganis, Imam Al-Bukhari kafir,
mempercayai hadits sama saja dengan mempercayai iblis, dia menerima wahyu
dari Allah sejak umur empat puluh tahun, Sunnah adalah penyebab runtuhnya
Daulah Islamiyah, dan sebagainya. Barangkali tokoh ingkar sunnah yang masih
ada di masa sekarang, yaitu DR. Ahmad Subhi Manshur (al-Azhar) ia menulis
buku berjudul “Al-Qur`an wa Kafa Mashdaran li At-Tasyri’ Al-Islamiy,” (Cukup
77
78
al-Quran Sebagai Sumber Syariat Islam) yang isinya bisa dikatakan sebagai
gambaran komplit paham dan pemikiran ingkar sunnah sejati. Selain yang telah
kami sebutkan, di Mesir juga masih terdapat sejumlah tokoh ingkar sunnah yang
lain. Misalnya; Thaha Husain, Faraj Faudah, Sayyid Muhammad Al-Kailani, Ali
Abdurraziq, Muhammad Ad-Damanhuri, Said Al-Asymawi, Muhammad Ahmad
Khalafallah, Jamal Al-Banna, Qasim Amin, Ahmad Amin, Nashr Hamid Abu
Zaid, Hasan Hanafi, dan lain-lain. Meskipun mungkin orang-orang tidak
mengenalnya secara mutlak sebagai ingkar sunnah. Akan tetapi, dari buku-buku
dan sejumlah pendapatnya, sejatinya mereka adalah orang-orang ingkar sunnah.
Di Libia tidak sesemarak di Mesir. Di Libia gerakan ingkar sunnah erat
kaitannya dengan peran Presiden Moammar Gadafi. Gadafi mempunyai slogan
resmi
kenegaraan
“Al-Qur`an
Syari’atul
Mujtama’”
(Al-Quran
Syariat
Masyarakat). Bahkan, dia mempunyai sebuah kitab yang dia beri nama “Al-Kitab
Al-Akhdhar” (Kitab Hijau) yang dianggap sebagai kitab pengganti al-Quran dan
Sunnah Nabi. Tokoh ingkar Sunnah di Libia yang terdepan, yaitu Musthafa
Kamal Al-Mahdawi, mantan hakim agung di Mahkamah Libia (penulis buku
berjudul “Al-Bayan bi Al-Qur`an”, yang dianggap orang-orang ingkar sunnah di
Mesir dan Libia sebagai kitab pengganti sunnahnya kaum muslimin).
DR. Muhammad Syahrur juga dapat dikategorikan sebagai ingkar
sunnah. Di antara pendapatnya: 1) Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam
adalah ummiy, tetapi bisa membaca dan menulis. 2) Yang dimaksud dengan
“attartil”
dalam
firman
Allah
“Wa
rattilil
Qur`ana
tartiila”
adalah
mengumpulkan ayat-ayat al-Quran yang mencakup satu tema tertentu yang
tersebar dalam berbagai surat dan ayat al-Quran. 3) Laki-laki yang mau poligami,
hendaklah istri keduanya seorang janda yang sudah mempunyai anak. Dan, dia
harus menanggung beban anak si janda. 4) Bagian laki-laki dan perempuan sama
dalam masalah warisan. 5) Kepala, perut, punggung, dua kaki, dan dua tangan
tidak termasuk aurat perempuan, karena itu adalah perhiasan yang boleh
diperlihatkan. 6) Yang termasuk aurat perempuan yaitu; belahan payudara, bagian
bawah payudara, bawah ketiak, kemaluan, dan dua selangkangan. 7) Anak
perempuan dewasa yang telanjang di depan bapaknya bukan haram hukumnya,
79
melainkan sekadar tidak etis. 8) Menutup wajah bagi perempuan adalah keluar
dari hukum Allah.
Perkembangan jaringan ingkar sunnah internasional cukup luar biasa, dan
kelompok ini telah menggunakan penerbitan buku dan internet sebagai upaya
menyebarkan misinya. Karena itu akses untuk membuka karya-karya kelompok
ini cukup mudah, lebih-lebih karya-karyanya bisa diakses dengan gratis. Tidak
menutup kemungkinan wacana yang dikembangkan Kyai Hambali sebagai tokoh
sentral penelitian ini yang memunculkan fenomena munkirus sunnah di wilayah
Kecamatan Weleri dan Ringinarum Kabupaten Kendal ini terkait dengan karyakarya kelompok di atas, meskipun Kyai Hambali tidak menyebutkan secara
langsung. Namun spektrum pemikiran Kyai Hambali dan kegemarannya membaca
karya-karya tokoh liberal sebagaimana disebutkan di atas menunjukkan bahwa
latar belakang munculnya pemikiran tentang inkarus sunnah Kyai Hambali
dipengaruhi oleh jaringan Islam Liberal di atas.
Selain pengaruh di atas latar belakang pemikiran inkarus sunnah Kyai
Hambali juga dipengaruhi atau tidak terlepas dari wacana merebaknya faham
inkarus sunnah di Indonesia. Tokoh-tokoh ingkar sunnah yang tercatat di
Indonesia antara lain: Abdul Rahman, Moch Irham, Sutarto, dan Lukman Saad.
Karena beberapa peristiwa yang dianggap meresahkan masyarakat, pernah keluar
surat Keputusan Jaksa Agung No. Kep-169/j, A./1983 tertanggal 30 September
1983 yang berisi larangan terhadap aliran ingkar sunnah di seluruh wilayah
Republik Indonesia.1
Munculnya beragama aliran dan gerakan keagamaan yang menyebar di
Indonesia seperti al-Qiyadah al-Islamiyah di Yogyakarta, pengajian Djawahir
Ibrahim di Cirebon, pengajian al-Qur`aniyah di Bekasi, gerakan dakwah Islam
Syiah di Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang, merebaknya gerakan Majlis
Tafsir Al-Quran di Kabupaten Kendal, juga turut mewarnai latar belakang
munculnya gerakan munkirus sunnah Kyai Hambali dan pengikutnya.
Latar belakang pendidikan agama di pesantren Gontor Ponorogo, dan
dipadukan dengan pendidikan umum di Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada
1
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Vol. 2, hlm. 226
80
Yogyakarta, serta ditunjang pengalaman mengikuti pengajian di beberapan aliran
gerakan keagamaan baru seperti al-Qiyadah al-Islamiyah di Yogyakarta, Jawahir
Ibrahim atau Millah Ibrahim di Cirebon, dan pengajian al-Qur`aniyah di Bekasi,
sangat memungkinkan pemikiran-pemikiran Kyai Hambali dinisbatkan pada latar
belakang pendidikan dan pengalaman di atas. Selain itu maraknya wacana Islam
liberal di tanah air pimpinan Ulil Abshar Abdalla yang pemikirannya cenderung
menafsirkan Islam secara liberal dan humanistik juga turut mewarnai karakteristik
formulasi pemikiran atau ajaran Kyai Hambali. Corak liberal dari pemikiran Kyai
Hambali inilah yang sering menimbulkan konflik dengan masyarakat. Tuduhan
munkirus sunnah juga dilekatkan kepadanya karena pemikirannya yang liberal
tersebut.
Sesungguhnya kajian terhadap pemikiran yang liberal atau liberalisme
dapat di intrepretasikan beranekaragam, baik yang bernada positif maupun yang
bernada negatif. Walaupun demikian apapun tafsirannya tidak dapat dipungkiri
bahwa istilah tersebut merupakan fenomena yang penting dan menarik untuk di
kaji. Istilah liberalisme merupakan kreasi Barat sehingga oleh sebagian kalangan
dianggap tidak otentik atau sekalipun benar tidak dapat di terima, hal ini tidak
terlepas dari kesalahan Barat dalam memahami Islam yang pada awalnya
menganggap Islam sebagai agama yang paling primitif.
Istilah liberal mengandung konotatif negatif bagi sebagian umat Islam,
karena diposisikan dengan dominasi asing dengan politik kolonialisme yang
membuat sangat menderita umat manusia khususnya umat Islam. Sementara bila
dikaji lebih dalam, konsep Islam liberal harus dilihat sebagai alat bantu analisis
terhadap, keaneragaman idiologi dalam konsep itu secara mendalam. Salahnya
analisis terhadap Islam liberal umumnya dihubungkan dengan liberalisme Barat,
akan tetapi sejak kajian Islam liberal hanya terbatas pada dimensi keislaman
keagamaan dengan liberalisme Barat dapat dihindari.
Sebagai wacana perkembangan Islam liberal di Indonesia, dapat ditarik
signifikasinya dalam mengembangkan pemikiran yang produktif, kreatif dan
konservatif di kalangan masyarakat Islam. Secara jujur harus diakui bahwa meski
sebagai kelompok mayoritas, semangat Islam di Indonesia masih kelihatan gugup
81
dan gamang dalam mengaitkan dokrin agama dengan persoalan publik seperti
dalam merespon persoalan politik dan dalam isu tentang kesetaraan gender serta
istimbat hukum Islam yang melibatkan penafsiran terhadap sumber utamanya
yaitu al-Quran dan sunnah.
Disebabkan paradigma berfikir umat Islam terutama pada kalangan
pemikirnya (cendekiawan muslim) belum memadai, akibatnya hasil dari
pemikiran tersebut dalam merespon persoalan publik terkesan dangkal, tidak utuh
dan parsial. Karena itu Islam Liberal sering dituduh sebagai golongan yang
munkirus sunah. Kasus perseturuan Adiani dengan Nurcholish yang akhirnya
menuduh Madjid sebagai golongan munkirus sunah. Demikian juga kasus Ulil
Abshar Abdalla yang mengemuka sebagai munkirus sunah.
Mengkaji eksistensi jaringan Islam liberal, sesungguhnya tak lepas dari
konteks idiologi, politik, sosologis dan historis yang melingkupinya. Menurut
Greg Barton, Islam liberal (dalam konteks keIndonesiaan) merupakan sintesis dari
Islam tradisional dan pemikiran Barat modern, dengan penekanan modernisme
atas rasionalitas dan ijtihad yang konprehensif, kontekstual dan terus menerus di
antara gagasan-gagasan yang di lakukan oleh Islam liberal adalah:
1) Menentang bentuk pemerintahan teokrasi yang menjadi cita-cita sosial politik
kaum rasionalis.
2) Memahami dan membangun demokrasi.
3) Menggagas kesetaraan jender dan kebebasan
4) Beragama dan perlindungan atas hak-hak non muslim.
5) Kebebasan berfikir dan mengeluarkan pendapat secara lesan maupun tulisan.
6) Pentingnya progresifitas bagi kaum muslimin.
Dengan banyaknya bermunculan para cendekiawan muslim dinegara kita
(Indonesia) merupakan sebuah fenomena baru yang dapat dikatakan kemunculan
mereka sebagai gelombang pembaruan pemikir Islam di negara Indonesia ini.
Dengan tipologi pemikirannya yang begitu beragam menjadi petunjuk penting
bahwa mereka secara sinergis menggarap tema-tema yang juga menjadi persoalan
umat Islam di Indonesia seperti pembangunan, modernisasi, sekularisasi,
pembaharuan Islam, demokrasi, pluralisme, itu hanyalah sebagian dari sekian
82
banyaknya bidang garapan para intelektual muslim tersebut, yang tentunya
mempunyai pengaruh terhadap liberalisasi, perubahan dan pemikiran umat Islam.
Perkembangan dominasi Islam liberal di tanah air agaknya telah
memetakkan, bahwa Islam liberal tidak lebih sebagai bentuk persaingan
intelektual dari komunitas tertentu yang segera akan menghadapi titik jenuh.
Nyatanya Islam liberal terus berkembang ke arah yang lebih progresif, oleh
sekelompok intelektual muslim muda Islam terus-menerus diberi sentuhan yang
lebih kontekstual dengan permasalahan dan perkembangan jaman di tanah air.
Dalam visi kelompok ini, Islam liberal adalah Islam liberal yang ramah, terbuka
dan aprematif terhadap seluruh proses demokratisasi di Indonesia. Karena
keramahan pada visi ini, Islam liberal telah memperoleh dukungan penuh antara
lain dari sejumlah media masa, seperti yang dilakukan oleh Jawa Post sehingga
disemangati oleh gagasan Islam liberal, yang begitu progresif dan pada akhirnya
telah menyebar luas.
Menurut Islam liberal tersebut, dalam menghadapi persoalan-persoalan
global itu umat Islam tidak harus mengambil pemikiran dari luar (pikiran Barat).
Umat Islam juga tidak perlu terlampau jauh bersikap seperti kaum restorasi yang
terlalu curiga terhadap segala sesuatu yang datang dari luar Islam, karena hanya
akan menjadikan cemas dan akhirnya umat Islam semakin mundur dan mengalami
keterputusan dengan situasi global.
Bagi Islam liberal dalam menghadapi persoalan-persoalan global, dasar
berpijak umat Islam sudah jelas, yaitu syari’ah yang bersumber pada al-Quran dan
Sunnah. Tiga modal yang ditawarkan Islam liberal dalam memahami syari’ah,
sebagai berikut:
1) Syari’ah liberal, menurut model ini, sebenarnya syari’ah sejak awal
telah memiliki sifat liberal. Wajah liberal dari syari’ah ini selain
melalui pada al-Quran juga telah terdeteksi secara sempurna dalam
sejarah Islam. Oleh karena itu Islam sebenarnya telah menyediakan
argumen autentik dalam merespon persoalan-persoalan global,
misalnya pengalaman Rasulullah dalam merumuskan Piagam
Madinah.
2) Syari’ah yang diam (silent sharia), yaitu umat Islam memiliki
kebebasan merespon persoalan global karena syari’ah terutama yang
berhubungan dengan kehidupan publik, seperti bentuk negara yang
83
meskipun tidak memberikan argumen secara rinci, dengan demikian
umat Islam memiliki keluasan dalam menghadapi dan mengadopsi
bentuk-bentuk kehidupan publik secara idealnya.
3) Syari’ah yang ditafsirkan, model ini berpandangan, bahwa dibalik
keilahian syari’ah, manusia sesungguhnya mempunyai peluang dalam
memberikan penafsiran secara beragam. Sehingga Islam tetap
memiliki keterkaitan secara kontekstual dengan perkembangan
zamannya.2
Pengamatan secara seksama dalam kehidupan politik di tanah air,
objektifikasi doktrin agama bukan sepenuhnya diarahkan bagi pengembangan
kehidupan yang lebih demokratis, yang menonjol justeru kecenderungan
mempolitisasi agama guna memperkuat kepentingan kelompok seperti carutmarutnya suasana partai politik menjelang pemilu 2014 ini, sehingga artikulasi
politik umat Islam lebih menggunakan unsur-unsur primordialistik.
Memahami model syariah yang ditawarkan di atas, Islam liberal
memberikan banyak pilihan kepada umat Islam dalam memahami agamanya,
karena Islam sendiri, merupakan agama yang multi intrepretatif. Dari segi
otentisitas tidak perlu dicurigai karena Islam liberal justru tetap menjaga validitas
syari’ah sebagai pijakan Islam, dan tidak dapat dihindari bahwa Islam liberal
kadang-kadang bersinggungan dengan dunia luar (Barat). Hal ini karena
peradaban manusia dapat berkembang hanya karena adanya persinggungan
dengan dunia lain.
Berdasarkan pemaparan di atas, pemikiran-pemikiran Kyai Hambali jika
diterima secara arif sesungguhnya ada sisi-sisi positifnya dalam rangka
menyegarkan kembali pemikiran-pemikiran Islam bagi kehidupan keagamaan di
Kabupaten Kendal. Konflik-konflik yang muncul terkait dengan ajaran munkirus
sunnah Kyai Hambali dan jamaahnya harus diletakkan pada konsep dakwah Kyai
Hambali sendiri yang harus dibenahi. Pemikiran-pemikiran seseorang harus
dikondisikan kepada siapa dan kondisi bagaimana suatu masyarakat dapat
menerima ide-ide segar tersebut. Dua corak pemikiran yang berlawanan jika
dihadapkan sifat sejatinya akan menimbulkan konfilk. Tokoh-tokoh pembaruan
2
Muhamad Nur, Jaringan Islam Liberal di Indonesia, (Kendal : Jurnal Didaktika
Islamika, 2014), Edisi 3, hlm. 98.
84
Islam dalam lintas sejarah seringkali dihadapkan pada fenomena yang satu ini.
Kegagalan dan kesuksesan selanjutnya tergantung dari kejelian dan strategi
dakwah dari tokoh tersebut.
Patut disayangkan, Kyai Hambali yang pada akhirnya mengubah strategi
dan pendekatan dakwahnya agar diterima masyarakat Kabupaten Kendal harus
meninggal dunia sebelum menerapkan strategi jitunya dalam dakwah Islam
selanjutnya.
B. Analisis Spektrum Ajaran Munkirus Sunnah di Kabupaten Kendal
1. Pandangan Kyai Hambali Terhadap Al-Quran
Pengajian al-Qur`aniyah Kyai Hambali dinilai masyarakat sebagai
penyebar paham Islam yang munkirus sunnah. Kyai Hambali dan umumnya kaum
Qur’aniyyun (orang-orang yang menjadikan al-Quran sebagai satu-satunya
petunjuk dan sumber hukum), berkeyakinan bahwa al-Quran adalah sebuah kitab
suci yang lengkap dan sempurna. Seluruh pengetahuan yang dicapai oleh manusia
sudah terdapat dalam al-Quran. Oleh karena itu tidak ada alasan adanya anggapan
bahwa memahami al-Quran harus dengan hadits. Adanya keyakinan bahwa hadits
Nabi adalah sumber hukum kedua setelah al-Quran tidak tepat. Karena tugas rasul
bukanlah untuk membuat hukum tetapi hanyalah menyampaikan hukum yang
semuanya sudah ada dalam al-Quran. Hadits hanyalah merupakan keterangan
tentang suatu hukum tetapi ia bukanlah sumber hukum. Kaum penolak hadits ini
tidak sepakat dalam menentukan kriteria hadits yang bisa diterima.
Menurut pandangan Kyai Hambali, al-Quran adalah satu-satunya sumber
hukum dalam Islam. Al-Quran merupakan kitab yang sempurna dan telah
mencakup seluruh persoalan. Karena itu tidak dibutuhkan lagi adanya hukum
pelengkap yang menyertai al-Quran. Tidak jauh berbeda dengan pemikiran Kyai
Hambali ini adalah pemikiran kaum Qur’aniyyin (Ingkar Sunnah). Kelompok ini
juga berkeyakinan bahwa al-Quran sudah cukup untuk dijadikan satu-satunya
sumber hukum dan rujukan dalam berbagai masalah di dalam kehidupan ini, tanpa
perlu merujuk kepada hadits/sunnah. Landasan yang digunakan para munkirus
sunnah adalah firman Allah SWT dalam surat al-An’am: 38 (Tiadalah Kami
85
alpakan sesuatupun dalam al-Kitab), dan Qs. al-Nahl: 89 (Dan Kami turunkan
kepadamu al-kitab (al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu). Kelompok ini
mengklaim bahwa dua ayat tersebut menunjukkan bahwa umat Islam tidak perlu
sunnah, dan hanya cukup dengan al-Quran. Juga Firman Allah Qs. al-An’am: 114)
selain itu juga : ”dan telah tammat (sempurna) Kalimat Tuhanmu dengan benar
dan adil, tidak ada perubahan bagi Kalimat-Nya, dan Dia mendengar dan
mengetahui” (Qs. al-An’am: 115).
Kyai Hambali menyimpulkan berdasarkan ayat di atas segala keputusan
dan ketentuan yang berkaitan dengan hukum adalah hak Allah sepenuhnya. Tugas
rasul hanyalah menyampaikan dan pelaksana apa yang sudah diturunkan Allah.
Segala keterangan dan penjelasan dari Nabi (hadits) bukanlah hukum, tetapi
merupakan suatu penjelasan terhadap al-Quran, karena hukumnya secara
keseluruhan sudah ada dalam al-Quran. Kitab suci ini sudah menjelaskan segala
macam aturan, baik yang berkaitan dengan ibadah, ketauhidan, hukum maupun
masalah-masalah ilmu yang belum berkembang pada saat al-Quran diturunkan.
Perilaku nabi merupakan teladan yang baik yang pantas untuk diteladani,
karena landasanya adalah wahyu, yaitu al-Quran. Tetapi mengikuti perilaku nabi
ini bukanlah suatu keharusan, karena bagi Kyai Hambali mengikuti Rasul (ittiba’
rasul) bukanlah mengikuti pribadi/orangnya, bukan pula mengikuti hadits, tetapi
mengikuti al-Quran. Bagi Kyai Hambali, Ijma’, Istihsan, dan maslahah mursalah
merupakan rangkaian qiyas. Keempat hal tersebut bukanlah sumber hukum,
karena semua hukum sudah ada dalam al-Quran, dan juga harus tetap berpedoman
pada hukum pokok, yaitu al-Quran. Dengan menggunakan qiyas, pengembangan
pemikiran yang berkaitan dengan al-Quran akan senantiasa mengikuti
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan sejalan dengan perkembangan
peradaban masyarakat.
Pengakuan akan adanya sumber hukum selain al-Quran adalah syirik
dalam hal hukum. Bagi Kyai Hambali keimanan harus dibuktikan agar
mendapatkan kepastian. Karena itu keimanan terhadap al-Quran harus disertai
dengan analisa yang logis untuk mendapatkan kepastian tentang kebenaran alQuran itu sendiri.
86
Terkait dengan konsep tersebut, al-Qattan memberikan pembelaaan
bahwa Allah sebagai pemberi wahyu adalah Dzat yang memiliki otoritas dalam
pemahaman al-Quran. Muhammad sebagai seorang nabi yang mendapatkan
amanat al-Quran untuk disampaikan kepada umat manusia, juga memiliki otoritas
untuk menjelaskan maksud ayat al-Quran kepada umat manusia.3 Pemahaman alQuran yang dilakukan oleh para sahabat dan tabi’in juga perlu mendapatkan
perhatian. Karena sahabat dan tabi`in adalah orang yang mengetahui penafsiran
Nabi Muhammad saw. terhadap suatu ayat.
Kyai
Hambali
dan
pengikutnya
dalam
memahami/menafsirkan
kandungan al-Quran, memiliki kesamaan dengan kaum Qur’aniyyin. Kelompok
ini menolak riwayat, baik hadits ataupun qaul sahabat, sebagai rujukan.
Menurutnya, al-Quran cukup dipahami dengan al-Quran. Selanjutnya, untuk
menganalisa maksud al-Quran ini tidak bisa dihindari adalah memahami al-Quran
dengan
akal. Ketiga,
menafsirkan
al-Quran
dengan
Ilmu pengetahuan
kontemporer.
Kyai Hambali tidak mau mengikuti (bahkan menolak) penafsiranpenafsiran yang sudah ada, khususnya berkenaan dengan penafsiran ayat-ayat
yang berbeda dengan pendapatnya. Karena jika memahami al-Quran hanya
dengan mengikuti pikiran orang lain, belum bisa dipastikan bahwa pikiran itu
benar, walaupun menggunakan nama Nabi, karena bukan langsung dari Nabi.
Menurutnya, penafsiran itu bisa benar dan bisa salah. Kyai Hambali juga menolak
pendapat bahwa pemahaman (keterangan) yang paling benar hanyalah
pemahaman yang disampaikan oleh orang-orang terdahulu. Menurutnya
pemahaman semacam ini bertentangan dengan kenyataan dan juga memperbodoh
diri, padahal menurut kenyataan, tradisi pemikiran generasi terakhir adalah cerdas.
Manusia mengalami perkembangan pengetahuan yang dari tahun ke tahun selalu
mengalami kemajuan, lebih-lebih dalam bidang sains. Kyai Hambali menjelaskan
lebih jauh bahwa memahami al-Quran haruslah dengan ra’yu Allah, tidak menurut
hadits. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT : Qs. al-Nisa’ (4): 105:
“Sesungguhnya Kami turunkan kepadamu Kitab (al-Quran) dengan haq (logis),
3
Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran, (Bandung : Al-Ma`arif, 2003), hlm. 347
87
agar kamu menghukum di antara manusia dengan apa yang Allah perlihatkan
kepadamu (dengan ra’yunya Allah)”. Juga firman Allah QS. Yunus (10): 15. Ayat
tersebut menjelaskan bahwa nabi Muhammad saw. selaku rasul hanyalah
mengikuti wahyu, dan jika ada orang yang meminta keputusan kepada Nabi, maka
Nabi tidak berani merubah wahyu yag telah diterimanya. Sehingga tidak mungkin
jika Nabi memahami al-Quran dengan selaian ra’y Allah. Penolakan terhadap
hadits ini tidak berarti menolak kenabian Muhammad saw., tetapi justru
sebaliknya, membersihkan nama Nabi.4
Pandangan di atas menunjukkan bahwa Kyai Hambali menolak
penafsiran al-Quran dengan hadits Nabi. Kyai Hambali menolak hadits, walaupun
berderajat mutawatir atau sahih, jika menurutnya bertentangan dengan keumuman
ayat-ayat al-Quran. Karena, apa yang disampaikan oleh Nabi tidak mungkin
bertentangan dengan al-Quran. Baginya penafsiran yang paling tepat adalah
menafsirkan al-Quran dengan al-Quran. Memperhatikan metode penafsiran Kyai
Hambali, dapat dikategorikan sebagai metode penafsiran mawdlu’i, yaitu
menafsirkan al-Quran secara tematik. Hal ini dilakukan dengan menentukan tema
tertentu kemudian mengumpulkan ayat-ayat yang berkaitan dengan tema tersebut.
Ayat tersebut diterjemahkan sesuai dengan yang dipahaminya. Langkah
selanjutnya adalah menjelaskan maksud ayat-ayat tersebut.
Menurut Kyai Hambali, dalam rangka untuk mencari maksud suatu ayat,
selain menggunakan al-Quran, dirinya langsung menggunakan akal dan ilmu
pengetahuan, karena memahami al-Quran itu harus disesuaikan dengan
kemampuan individu yang bersangkutan. Jika pada masa Rasulullah dan sahabat
orang belum menemukan sains, maka pada saat itu penafsirannya sudah tepat.
Tetapi sekarang sains telah mengalami perkembangan yang luar biasa, sehingga
menafsirkan al-Quran tidak bisa tidak harus melibatkan ilmu pengetahuan dan
tekhnologi. Tanpa menggunakan alat bantu ilmu-ilmu tersebut al-Quran sulit
dipahami. Jika kitab suci umat Islam yaitu al-Quran yang berfungsi sebagai
petunjuk tidak bisa dipahami maka manusia tidak bisa menjadikannya sebagai
huda (petunjuk).
4
Hambali, Islam dan Otoritas Wahyu, materi kuliah ahad pagi .
88
Model tafsir yang dikembangkannya menyerupai model tafsir maudlu’i,
meskipun berbeda dengan model tafsir mawdlu’i pada umumnya. Kyai Hambali
tidak menggunakan asbab al-nuzul, pembedaan ayat-ayat Makkiyah dan ayat-ayat
Madaniyah, serta tidak menggunakan riwayat (baik hadits Nabi ataupun pendapat
sahabat) dalam menafsirkan al-Quran.
Penolakan Kyai Hambali untuk menggunakan sabab nuzul, dilandasi
akan keraguan Kyai Hambali terhadap kebenaran suatu riwayat. Dirinya
menyangsikan keaslian suatu riwayat apakah benar berasal dari Nabi. Penolakan
ini menunjukkan bahwa Kyai Hambali tidak memperhatikan konteks saat suatu
ayat diturunkan. Perhatiannya tertuju pada makna tekstual ayat. Hal ini dilandasi
oleh sebuah pemahaman bahwa al-Quran diturunkan untuk masyarakat umum dan
berlaku universal. Secara otomatis ketentuan hukumnya tidak hanya khusus untuk
orang tertentu dan juga tidak diturunkan hanya untuk sebagian orang saja.
Menurut al-Qattan, sabab nuzul sangat berguna untuk memahami
maksud suatu ayat, yang tanpa mengetahuinya sulit bahkan tidak mungkin
memahaminya. Tanpa mengetahui sabab nuzul seseorang akan terjebak pada
pemahaman tekstual ayat dan tidak bisa menjangkau aspek kemaslahatan dan
tujuan yang menjadi tujuan disyariatkannya suatu aturan hukum (maqaĊŸid alshari’ah). Selain itu mengetahui sabab nuzul juga berguna untuk mengkhususkan
aspek hukum yang dikandung oleh suatu ayat jika ayat tersebut menggunakan
pola umum. Jika suatu lafadz umum dan terdapat dalil yang mengkhususkan maka
mengetahui sabab nuzul berguna untuk membatasi pengkhususan itu.5
Seseorang yang melakukan penafsiran tidak bisa dilepaskan dari unsur
subyektifitas penafsir itu sendiri, bahkan tidak jarang melahirkan kesalahpahaman
antara apa yang dimaksud oleh pemberi wahyu (Allah) dengan apa yang dipahami
oleh pembaca (penafsir). Untuk mengurangi kesenjangan ini, pembaca (penafsir)
dituntut menghadirkan kondisi saat al-Quran diturunkan, baik kondisi makro
maupun kondisi mikro. Hal ini menunjukkan bahwa konteks pada saat al-Quran
diturunkan penting untuk diperhatikan. Karena itulah para ahli menyatakan arti
5
hlm. 80
Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran, (Bandung : Al-Ma`arif, 2003),
89
penting sabab nuzul, karena tidak mungkin mengetahui tafsir suatu ayat, tanpa
memperhatikan konteks dan sabab turunnya.
Pemaparan di atas menunjukkan bahwa analisis konteks cukup berperan
dalam memahami peristiwa pewahyuan, sebab konsep “wahyu” tidak dapat
dimengerti kecuali dengan melihat konteks sebelumnya. Seseorang tidak mungkin
mengerti dan memahami dengan mengambil teks di luar realitas. Dengan
keyakinan akan kesempurnaan al-Quran, Kyai Hambali mencukupkan diri
menafsirkan ayat al-Quran dengan ayat yang lain. Jika tidak terdapat ayat alQuran yang menjelaskannya, maka akallah yang mengambil peran lebih besar
dalam menafsirkan al-Quran. Lebih-lebih untuk memahami ayat-ayat yang
mutasyabihat. Akibatnya adalah, penafsiran terhadap ayat-ayat tertentu terkesan
dipaksakan. Kesan adanya pemaksaan makna ini dapat dilihat dalam pemahaman
Kyai Hambali berikut. Shidrat al-Muntaha dipahami oleh Kyai Hambali sebagai
planet yang ada di atas Pluto. Kata “Ummatan wasathan” ditafsirkan dengan umat
yang hidup di daerah katulistiwa. Penafsiran ini jelas tidak disandarkan pada
hadits, tetapi mungkin ditafsirkan dengan ayat al-Quran, dan untuk menentukan
bahwa makna itulah yang digunakan dalam penafsiran peran akal sangat dominan.
Jika peran akal yang dominan bisa jadi hawa nafsu yang bekuasa. Akal juga
sangat dominan dalam mencari munasabah antar ayat. Untuk memperkuat
penafsirannya (pemahaman terhadap ayat), khususnya tentang alam semesta dan
astronomi Kyai Hambali sangat apresiatif dengan ilmu pengetahuan modern.
Dengan demikian dilihat dari corak penafsirannya, penafsiran Kyai Hambali dapat
dikategorikan sebagai tafsir bi al-ra’y.
Model penafsiran Kyai Hambali ini memiliki kemiripan dengan modelmodel penafsiran kelompok yang menyebut diri sebagai kaum Qur’aniyyin yang
pernah muncul sebagai salah satu aliran keagamaan di Bekasi. Kelompok ini
memiliki tiga prinsip dalam penafsirannya, yaitu: pertama, keyakinan akan
kesempurnaan dan kelengkapan al-Quran, kedua, berpegangan pada bahasa Arab
dalam menjelaskan maksud dan makna kata, dan ketiga, melakukan takwil dalam
masalah-masalah tertentu. Kaum Qur’aniyyin ini menolak adanya naskh
(penghapusan), keglobalan al-Quran, takhsis (pengkhususan al-Quran) dan sabab
90
nuzul. Menurut kelompok ini adanya keyakinan akan hal-hal tersebut berarti
mengurangi keyakinan akan kesempurnaan (kamal) dan kelengkapan (syumul) alQuran, serta melahirkan banyak ikhtilaf.
Apabila tiga prinsip di atas dijadikan dasar penolakan terhadap hadits
sebagai hukum, maka harus memperhatikan ayat-ayat al-Quran yang lain. Allah
juga telah menjelaskan bahwa tanda kecintaan seorang hamba kepada Allah swt
adalah mengikuti Muhammad saw. (Qs. Ali Imran (3): 31). Begitu juga Allah
telah memerintahkan umat Islam ini untuk taat kepada rasul-Nya, (Qs. al-Nisa’ (3)
: 80), dan dalam satu waktu Allah juga melarang umat. Dalam al-Quran perintah
taat kepada Rasul seringkali disandingkan dengan perintah taat kepada Allah.
Perintah taat (‘athi’u) dalam suatu ayat diulang dua kali (Qs. al-Nur: 54), dan
dalam ayat yang lain Cuma sekali (tidak diulang) (Qs.al-Anfal: 20).
Menurut para pakar tafsir apabila perintah taat kepada Allah dan
Rasulnya digabung dengan hanya menyebut sekali perintah taat, maka itu
mengisyaratkan bahwa ketaatan yang dimaksud adalah ketaatan dalam hal yang
diperintahkan Allah SWT. baik yang diperintahkannya secara langsung dalam alQuran maupun perintah yang dijelaskan oleh Rasul melalui hadits. Perintah ini
menyangkut hal-hal yang bersumber dari Allah SWT, bukan yang beliau
perintahkan secara mandiri. Apabila perintah taat diulang seperti Qs. al-Nisa’ (4):
59, dalam hal ini nabi Muhammad saw. memiliki wewenang serta hak untuk
ditaati walaupun tidak ada dasarnya dari al-Quran. Dengn penjelasan ini, kiranya
dapat dimengerti mengapa kata “’anhu”/dari-Nya pada kalimat janganlah kamu
berpaling dari-Nya menggunakan bentuk tunggal padahal yang disebut
sebelumnya adalah dua yakni Allah dan Rasul-Nya. Ada kemungkinan perintah
taatkepada Rasul adalah perintah yang bersumber dari Allah swt, yang sama atau
yang merupakan penjelasan dari perintah-Nya. Dengan demikian kata “berpaling”
pada ayt di atas, lebih tepat dipahami teruju kepada Allah, walaupun termasuk di
dalamnya kewajiban taat kepada Rasul saw, karena ketaatan yang dituntut di
Islam untuk menyelisihi rasul, (Qs. al-Nur: 63), bahkan larangan tersebut disertai
dengan ancaman yang serius (Qs. al-Nisa’: 115). Ini menunjukkan bahwa alQuran sangat mengapresiasi sunnah, bukan menolak sunnah.
91
Selain itu, di dalam al-Quran banyak terdapat ayat–ayat yang masih
mujmal (global) dan membutuhkan rincian dari al-Sunnah, seperti perintah
mendirikan sholat (Qs. al-Baqarah: 43), begitu juga perintah untuk mendirikan
shalat tepat pada waktunya (Qs. al-Nisa’: 103), serta perintah untuk melakukan
shalat secara berjama’ah (Qs. al-Baqarah : 43), Nishab zakat, rincian mengenai
tata cara haji, hukuman bagi pencuri (Qs. al-Maidah (5): 38). Ayat-ayat tersebut
memerlukan rincian dan petunjuk pelaksanaan, yang tentunya tidak bisa kita
peroleh kecuali dari sunnah Rasulullah saw. Bagaimana mengambil teladan dari
Rasulullah saw, kalau tidak merujuk dan mempelajari sunnah-sunnahnya.
Menurut al-Albani: al-bayan adalah penjelasan lafadz, kalimat atau ayat
yang membutuhkan penjelasan, yang demikian ini dikarenakan banyak terdapat
ayat-ayat yang mujmal (masih global), ammah (umum), atau mutlak. Maka hadits
menjelaskan yang global, mengkhususkan yang umum, dan membatasi yang
mutlak. Penjelasan tersebut terjadi dengan al-Sunnah yaitu perkataan, perbuatan,
atau persetujuan Rasulullah terhadap perbuatan para sahabatnya.
Al-Quran sebagai kitab suci yang sempurna berlaku universal. Dalam
pandangan Kyai Hambali ajaran (syari’at) para nabi adalah sama persis, dan tidak
mengalami perubahan. (Qs. 17 : 77) Ajaran mereka adalah seperti ajaran yang
disampaikan oleh Muhammad, yaitu al-Quran. Perbedaan hanya terletak pada
bahasa dan nama kitabnya. Penjelasan Kyai Hambali ini berbeda dengan
penjelasan para mufassir. Menurut mereka, al-Qur’an membedakan antara istilah
“din”, “syari’ah” dan “Minhaj”. Kedua istilah ini memiliki makna yang berbeda.
Kata “syari’ah” lebih sempit dari pada kata “din” yang biasa diterjemahkan
agama. Syari’ah adalah jalan terbentang untuk umat tertentu dan nabi tertentu
seperti syari’at Nuh, syari’at Ibrahim, syari’at Musa, syari’at Isa, dan syari’at
Muhammad. Sedangkan Din adalah tuntunan Ilahi yang bersifat umum dan
mencakup semua umat. Dengan demikian agama dapat mencakup sekian banyak
syari’at. Makna din semacam inilah yang dipahami dari ayat 19 dan 85 Qs. Ali
Imran. Islam yang dimaksud dalam kedua ayat tersebut adalah mencakup semua
syari’at yang dibawa oleh para nabi dan rasul. Karena itulah “din” tidak mungkin
dibatalkan, tetapi syari’at yang datang sesudah syari’at terdahulu dapat
92
membatalakan syariat yang datang sebelumnya.6 Setiap terjadi perubahan, Allah
Swt. mengubah minhaj dan syari’at itu. Mereka yang tetap bertahan pada syari’at
terdahulu padahal jalan telah diubah akan tersesat.
Demikianlah ada perbedaan mendasar antara penafsiran Kyai Hambali
dengan penafsiran ulama pada umumnya. Kyai Hambali meyakini bahwa syariat
semua agama sama, termasuk tata cara ibadahnya: shalat, haji, zakat, dll.
Sedangkan menurut mayoritas ulama persamaan itu ada pada masalah-masalah
prinsip, sedangkan pada aspek rincian, tata cara shalat, jumlah rakaat, nishab
hukum potong tangan ada perbedaan dan perubahan sesuai dengan kondisi sosial
yang ada. Untuk lebih meyakinkan pandangan ini dapat dilihat hikmah mengapa
ayat ini (Qs. al-Maidah (5): 48) diturunkan, yaitu mendorong penganut Taurat dan
Injil yang semasa dengan Nabi Muhammad agar mengikuti ketetapan-ketetapan
beliau sebagaimana tercantum dalam al-Quran. Mereka diwajibkan mengikuti dan
mengamalkan tuntunan al-Quran dan tidak diwajibkan mengikuti ketentuan dua
kitab sebelumnya (Taurat dan Injil). 7
2. Pandangan Kyai Hambali Terhadap Sunnah
Kyai Hambali, dan juga Kaum Qur’aniyyin pada umumnya, menganggap
lemah hadits Nabi dan menganggap hadits Nabi tidak otentik berasal dari Nabi,
mereka mengatakan bahwa sunnah pada awalnya hanya dihafal dan belum tertulis,
sehingga didapatkan banyak hadits yang salah. Bahkan Kyai Hambali juga
menyatakan: “apakah Bukhari dan Muslim lebih paham daripada Allah dan Nabi
Muhammad? Bagaimana dia bisa membuat hadits? Pernyataan semacam ini
secara tidak langung merupakan tuduhan bahwa Bukhori dan Muslim-lah yang
membuat hadits.
Kyai Hambali memiliki beberapa alasan dalam menolak hadits. Pertama:
dilihat dari aspek kesejarahan, hadits hanyalah merupakn hasil penelitian dari
seseorang, yang kemudian disandarkan kepada Nabi. Hadits ini bukanlah wahyu,
6
Untuk lebih jelasnya tentang wilayah kajian penafsiran maudhu`i ini dapat merujuk
pada tafsir al-Quran Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al_Misbah, jilid III, (Jakarta : Mizan,
2002), hlm. 114.
7
Lihat lebih lanjut pada tafsir Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al_Misbah, jilid III,
(Jakarta : Mizan, 2002), hlm. 59.
93
tetapi berita tentang apa-apa yang dulunya dilakukan oleh Nabi Muhammad.
Kedua: Hadits disusun oleh generasi yang jauh setelah nabi meninggal. Para
peneliti ini belum pernah bertemu dengan nabi secara langsung, karena itu
kebenarannya sangat subyektif (misalnya ada hadits dla’if dan palsu). Padahal
hadits nabi itu seharusnya pasti benar (100%) karena selalu berdasar pada wahyu
dan tidak mungkin ada yang ditolak. Ketiga: Adanya kenyataan bahwa banyak
hadits yang dianggap sahih tidak sejalan dengan al-Quran dan juga tidak sejalan
dengan ilmu pengetahuan. Sedangkan semua ayat al-Quran sejalan dengan alQuran dan pemikiran manusia. Keempat. Kalau hadits Nabi dianggap sebagai
sumber hukum, mengapa ada larangan untuk menuliskan hadits, dan apabila
sudah ditulis supaya dihapus?. Kelima: Jika sumber hukum lebih dari satu, maka
akan terjadi banya perselisihan.
Kyai Hambali hanya menerima hadits-hadits yang sejalan dengan alQuran dan menolak hadits selain itu. Dirinya menolak fungsi hadits sebagai
penjelas al-Quran, lebih-lebih hadits sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri,
karena menurut Kyai Hambali, sumber hukum itu hanya satu yaitu al-Quran, jika
seseorang menganggap al-Quran kurang sempurna dan menjadikan hadits sebagai
sumber hukum maka orang tersebut dianggap sebagai syirik dalam hal hukum.
Syirik bagi Kyai Hambali, bukan hanya dalam hal aqidah maupun ibadah, tetapi
juga dalam hal hukum.
Meninjau dari pemikiran Kyai Hambali, pada kenyataannya salah satu
fungsi hadits adalah penafsir al-Quran dalam praktik atau penerapan ajaran Islam
secara faktual dan ideal. Hal ini mengingat bahwa pribadi Nabi saw., merupakan
perwujudan dari al-Quran yang ditafsirkan manusia, serta ajaran Islam yang
dijabarkan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu, siapa saja yang ingin
mengetahui tentang manhaj (metode) praksis Islam dengan segala karakteristik
dan pokok-pokok ajarannya, dapat dipelajari secara rinci dan teraktualisasi dalam
sunnah Nabi, yakni ucapan, perbuatan dan persetujuan Nabi Muhammad saw.
Perilaku dan perkataan Nabi merupakan bagian dari tugas beliau dalam
menyampaikan wahyu (balagh) dan bukan berarti membuat ketentuan hukum
sendiri. Tugas Nabi hanya sebatas menyampaikan tidak lebih dari itu, karena itu
94
bukan menjadi wewenang Nabi apakah seseorang itu menerima atau menolak
ajaran yang disampaikannya, karena memberi hidayah adalah hak Allah semata.8
Setelah Nabi menyampaikan tugasnya, maka gugurlah tuntutan dia sebagai
seorang Nabi, meskipun seandainya tidak ada seorang pun yang mengikutinya.
Demikianlah sebenarnya maksud dari ayat ke 99 Surat al-Maidah dan ayat-ayat
yang senada.
Penolakan terhadap penggunaan hadits dalam menjelaskan rincian alQuran sangat bertentangan dengan realita. Jika seseorang tidak menggunakan
hadits Nabi dalam memahami rincian-rincian hukum dalam al-Quran maka orang
tersebut akan mudah tergelinicir untuk mengedepankan akal dan hawa nafsunya,
karena itu mengakibatkannya tersesat. Orang yang merasa cukup dengan al-Quran
saja dan tidak butuh sunnah adalah kafir dan sesat. Sebab, ingkar kepada Sunnah
sama saja dengan ingkar kepada wahyu yang diturunkan oleh Allah SWT. Sunnah
Nabi Muhammad saw. adalah wahyu Allah SWT. Allah berfirman; “Dan tidaklah
dia (Muhammad) berbicara dengan hawa nafsunya, tetapi itu adalah wahyu yang
diwahyukan”.
Hadits secara global harus sejalan dengan al-Quran, yaitu menjelaskan
yang mubham, merinci yang mujmal, membatasi yang mutlaq, megkhususkan
yang umum (takhsis al-‘am), menguraikan hukum-hukum dan tujuan-tujuannya,
disamping membawa hukum yang belum di jelaskan secara eksplisit oleh alQuran. Allah Swt. Telah menyampaikan dan menjelasakan kepada makhluk-Nya
mengenai kedudukan Rasulullah saw dalam menyampaikan agamanya (Qs. alHaqqah: 44-47). Menurut Kyai Hambali ayat ini menegaskan bahwa Muhammad
tidak mungkin mengadakan hukum sendiri, meskipun ketika itu ayat al-Quran
tidak menjelaskannya. Ini menujukkan bahwa Muhammad tidak bisa menjadi
sumber hukum.
Berbeda dengan pandangan Kyai Hambali, Quraish Shihab menyatakan
bahwa maksud ayat tersebut adalah, seandainya Rasulullah saw. membuat-buat
dan berdusta atas nama Allah swt. dan ini mustahil dilakukan oleh Rasulullah,
8
Muhammad Hasby Ashiddiqy, Pengantar Studi Ilmu Hadits, (Semarang : Pustaka
Rizqi Putra, 1997), hlm. 213
95
selain apa yang dikabarkan Allah, sungguh keinginan itu sangat sulit untuk
dilakukan pada saat itu. 9
Merupakan suatu kebodohan berbuat seperti itu jika terbayang bahwa
Nabi Muhammad saw. mengeluarkan pernyataan halal, haram, taqyid, dan
perincian (tafshil) dalam agama yang dibangun di atas hawa nafsu dan keinginan
buruk setelah adanya peringantan dan ancaman keras dari Allah SWT. Ayat
tersebut justru menegaskan ketidakmungkinan Nabi Muhammad saw. membuat
sebuah ketentuan yang bertentangan dengan al-Quran. Nabi Muhammad saw.
sebagai seorang rasul utusan Allah tidak ada aktifitas, sikap diam, dan ucapannya
yang terkait pensyariatan melainkan sesuai dengan kehendak Allah. Bukankah
berhukum dengan sunnah itu merupakan bentuk penerapan hukum-hukum Al
Qur’an? (Qs. al-Nisa’ (4): 65)
Patut
dikritisi
suatu pandangan
yang
menyatakan
bahwa
jika
menyandarkan diri pada perilaku Rasulullah dianggap kesyirikan. Apakah
berhukum dengan hukum Allah melalui hukum yang ditetapkan Rasulullah saw.
dalam memutuskan dan melerai pertikaian seperti yang Allah kabarkan dalam
firman-Nya mengantar kepada kesyirikan? Justeru berhukum dengan hukum
Rasulullah merupakan (bentuk pengamalan) tauhid dan penerapan hukum-hukum
Allah SWT., bahkan hukum Rasulullah saw. adalah hukum Allah SWT juga.
Setelah Rasulullah saw. wafat, tibalah tahapan berhukum kepada sunnahnya
(hadits-haditsnya) karena berhukum kepada sunnahnya sama dengan berhukum
kepada Rasulullah sendiri (secara langsung). Menampakkan keridhaan terhadap
keputusan hukum sunnahnya, sama seperti ridha kepada hukumnya di saat
(beliau) masih hidup. Dan kita tidak dapat menerapkan apa yang diperintahkan di
dalam ayat tersebut melainkan dengan cara yang telah disebutkan di atas. Dengan
demikian ayat tersebut mengisyaratkan perihal berhukum dengan sunnah
Rasulullah saw setelah wafat beliau. Seandainya ayat di atas tidak menunjukkan
(perintah) berhukum kepada sunnah, sebagaimana yang klaim dari kelompok a;Quraniyyin-tentu keberadaan kata “berhukum kepadamu” tidaklah benar,
9
496.
Muhammad Quraish Shihhab, Tafsir Al-Misbah, Jilid II, (Jakarta : Mizan, 1997), hlm.
96
demikian juga pada kata “yang kamu putuskan” (dalam ayat di atas). Dan
semestinya yang akan didapatkan adalah lafadz “sampai mereka berhukum kepada
al-Quran.” dan lafadz kata “terhadap apa yang diputuskan al- Quran” atau bentukbentuk ungkapan lain yang semakna.
Menurut Kyai Hambali menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dalil
ini tidak tepat jika digunakan mengeluarkan sunnah dari hukum Allah karena
tidak sesuai pada tempatnya. Ayat tersebut terdapat di tiga tempat dalam al-Quran
yakni: pertama, Qs. al-An’am: 57: ayat ini menjelaskan bahwa kehendak turunnya
siksa (ayat) hanya ada pada Allah bukan para rasul-Nya; Kedua; Qs.Yusuf: 40,
ayat ini menerangkan bahwa keputusan menyangkut segala sesuatu-apalagi
tentang makna ketuhanan dan ibadah hanyalah milik Allah dan wewenang-Nya
semata-mata; Ketiga Qs. Yusuf: 67, berisi kisah tentang nasehat Nabi Ya’qub as.
Kepada anak-anaknya bagaimana adab mendatangi raja. Nabi Ya’qub berpesan
agar anak-anaknya melewati pintu yang berlainan dan berjauhan. Selanjutnya
Nabi Ya’qub berpesan: “Namun demikian, walaupun aku menyuruh kamu masuk
dari pintu gerbang berbeda-beda, tetapi aku tidak dapat melepaskan kamu
sedikitpun dari ketentuan dan takdir Allah. Keputusan menetapkan sesuatu
hanyalah hak dan wewenang Allah. Ketiga ayat tersebut sama sekali tidak
menunjukkan apa yang ia jadikan sebagai argumentasi dan tidak ada hubungannya
sama sekali.
Kyai Hambali juga menyatakan bahwa hadits Nabi Muhammad saw.
bukanlah syariat dan agama. Jika pernyataan ini benar tentulah perhatian beliau
tidak akan sedemikian besar terhadap hadits dan tentu beliau tidak akan
menempuh berbagai cara yang memungkinkan untuk menyebarkannya pada
waktu itu. Seandainya kehidupan beliau bukanlah agama dan ucapannya bukanlah
syariat tentulah beliau tidak akan memerintahkan para sahabat untuk
menghafalkan dan menyampaikannya. Tidak akan ada perintah-perintah untuk
mengikutinya yang bersumber dari beliau. Beliau juga tidak akan memerintahkan
seluruh sahabat untuk menyampaikan kepada yang tidak hadir apa yang beliau
sampaikan ketika haji wada’: “Hendaknyalah yang hadir menyampaikan kepada
yang tidak hadir”.
97
3. Kyai Hambali Tokoh Munkirus Sunnah di Kabupaten Kendal
Munkirus sunnah adalah orang-orang yang menolak sunnah (hadits)
Rasulullah saw sebagai hujjah dan sumber otoritas kedua ajaran Islam. Menurut
Imam Syafi’I, kelompok inkarus sunnah ini muncul di penghujung abad ke dua
atau awal abad ke tiga Hijriyah. Kelompok ingkar sunnah dalam lintasan sejarah
Islam dapat dibagi menjadi 3 kelompok, pertama: kelompok yang menolak hadits
Rasulullah sebagai hujjah secara keseluruhan, kedua: kelompok yang menolak
hadits Rasulullah saw yang kandungannya tidak disebutkan dalam al-Quran, baik
secara eksplisit maupun implisit. Ini berarti hadits tidak mempunyai otoritas untuk
menentukan hukum, ketiga: kelompok yang hanya menerima hadits mutawatir
sebagai hujjah dan menolak kehujjahan hadits-hadits ahad, sekalipun hadits ahad
tersebut memenuhi syart hadits sahih. Menurut panganut paham inkarus sunnah,
hadits ahad itu bernilai dzanni yang berakibat pada proses penukilannya tidak
meyakinkan. Dengan demikian kebenarannya tidak dapat diyakini sebagai sesuatu
yang datang dari Rasulullah saw.
Dasar-dasar dan argumen-argumen yang dikemukakan oleh Kyai
Hambali mengenai kedudukan al-Quran dan hadits memiliki kesamaan dengan
argumentasi yang dikemukakan oleh kelompok ingkar sunnah. Meskipun Kyai
Hambali sendiri tidak pernah mengutip secara terang-terangan pendapat kaum
ingkar sunnah, bahkan dirinya menolak jika dikatakan sebagai tokoh munkirus
sunnah di Kabupaten Kendal.
C. Analisis Solusi Alternatif Penanganan Fenomena Munkirus Sunnah di
Kabupaten Kendal
Konflik abadi dalam internal umat Islam di Indonesia bukanlah antara
kelompok Sunni dan Syiah sebagaimana anggapan mayoritas Negara-negara
muslim di Timur Tengah pada umumnya, tetapi antara Islam puritan dan Islam
tradisional. Deliar Noer, salah satu pemikir Islam kontemperor yang aktif
menyuarakan perluanya pembaruan Islam di Indoensia ini, memposisikan kondisi
tersebut dalam dua paradigma yaitu Islam tradisional dan Islam modern yang
dilihat dari tiga aspek, di antaranya : Semangat pemurnian ajaran, sikap terhadap
98
tradisi bermazhab, dan sikap terhadap perubahan dan rasionalitas.10 Tesis yang
diajukan Deliar Noer ini sejalan dengan kasus yang ditemui peneliti terhadap
fenomena munkirus sunnah di Kabupaten Kendal yang memiliki jargon semangat
pemurnian untuk kembali kepada sumber hukum al-Quran dihadapkan dengan
kelompok atau organisasi sosial masyarakat yakni Muhammadiyah dan Nahdlatul
Ulama yang merupakan kelompok mainstream yang telah mapan sejak awal di
Kabupaten Kendal.
Deskripsi hasil penelitian yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya
tentang ajaran munkirus sunnah yang dikembangkan kelompok pengajian alQuraniyah Kyai Hambali yang menunai konflik dengan keluarga jamaahnya
sendiri, dapat peneliti simpulkan bahwa issu utama dari konflik ini adalah
persoalan ajaran, di mana satu pihak merasa paling benar dengan metode
pemahaman keagamaan yang di luar kelompok mainstream, dan yang lain pada
posisi mempersoalkan validitas ajaran agama lawannya yang dapat mengganggu
ketentraman dalam menjalankan ajaran agama keluarganya, sehingga saling klaim
kebenaran inilah yang menjadi titik persoalan dan sudah menjadi waham umum
konflik keagamaan yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia.11
Konflik-konflik keagamaan yang telah terjadi di Indonesia seperti kasus
Majelis Tafsir Al-Quran (MTA) di Kudus, LDII di Jombang, Syiah di Kecamatan
Wonotunggal Kabupaten Batang, di Pekalongan dan Madura, jamaah Millah
Ibrahim di Cirebon, Jamaah al-Qiyadah di Yogyakarta, Jamaah al-Qur`aniyah di
Bekasi, dan beragam contoh konflik kegamaan lainnya merupakan persoalan
penting yang harus diselesaikan. Jika persoalan-persoalan ini sudah dibagi dengan
umat Islam, maka sangat mungkin akan terjadi konflik horisontal umat Islam,
terlepas apakah benar salah satu kubu dari kedua belah pihak. Tetapi kondisi ini
sangat tidak produktif dan tidak kondusif dalam iklim demokrasi dan kebebasan
10
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, (Jakarta : Jaya Pirusa, 1980), hlm.
27.
11
Indonesia merupakan salah satu bangsa yang paling pliraris di dunia, demikian
Nurcholish Masjid menegaskan terkait issu pluraritas agama dan kepercayaan di Indonesia. Di sisi
lain, kemajemukan menyimpan potensi untuk menimbulkan masalah besar, dan perbedaan apabila
tidak ditanggapi dengan serius dan bijaksana dapat memicu pertikaian yang luas dan dapat
menggiring kepada kesejahteraan dan keamanan negara. Lihat Nircholish Madjid, Islam Agama
Peradaban, (Jakarta : Paramadina, 2008), hlm. 37.
99
beragama di Indonesia.12 Selain itu, issu tersebut sangat mungkin menjadi
komoditi politik untuk kepentingan pihak-pihak tertentu, oleh sebab itu perlu
adanya mediasi sebagai reaksi atas timbulnya beberapa konflik terkait kasus
gugatan warga terhadap eksistensi ajaran pengajian al-Quraniyah Kyai Hambali
Weleri Kabupaten Kendal yang dianggap munkirus sunnah.
Munculnya gerakan keagamaan pengajian al-Qura`aniyah Kyai Hambali
yang bermasalah ini menimbulkan keresahan warga masyarakat, sehingga
mengakibatkan munculnya konflik disertai kekerasan terhadap Kyai Hambali
sendiri terhadap sesama pengikutnya. Meskipun sebenarnya konflik keagamaan
dari kasus munkirus sunnah pengajian Kyai Hambali dan pengikutnya sulit
dipisahkan dengan non keagamaan. Karena di dalam konflik keagamaan Kyai
Hambali ini sebenarnya juga ada perebutan sumber daya manusia, ekonomi, dan
kadang juga ada interes politik baik sekala regional maupun nasional.
Dewasa ini penanganan munculnya gerakan keagamaan bermasalah di
masyarakat pada era reformasi ini, sikap pemerintah dan juga organisasi
keagamaan lebih menitikberatkan pada segi keamanan dan keharmonisan.
Demikian juga penanganan kasus jamaah Kyai Hambali yang diprakarsai Kepala
Desa Weleri dari unsur Pemerintahan dan PCM Muhammadiyah Weleri dari
unsur organisasi sosial keagamaan di Kabupaten Kendal, menempuh jalur
keamanan bagi kedua kelompok dan jalur keharmonisan dalam rangka
mengamalkan ajaran agama Islam yang sesuai dengan pedoman yang benar.
Dalam hal ini Kyai Hambali perlu meninjau kembali strategi dakwahnya sebagai
konsekwensi kesadaran bagi dirinya bahwa ajaran dakwahnya selama ini tidak
tepat sasaran. Masyarakat awam tidak mampu memahami perubahan dan
pergeseran pemikiran sebagaimana diformulasikan Kyai Hambali selama ini.
Sosok Kyai Hambali yang masih dibilang muda memerlukan lebih banyak lagi
12
Ketika agama sebagai identitas, muncul kecenderungann melakukan dua hal sekaligus
yaitu : pertama, kepentingan disakralisasi dengan mengatasnamakan Tuhan, dan kedua,
menghakimi pihak lain yang berbeda pandangan sebagai pandangan yang menyesatkan, sehingga
dengan mudah menyelesaikan perbedaan-perbedaan pandangan tadi dengan tindak kekerasan atas
nama menjaga kebesaran Tuhan. Lihat Mudjahirin Thohir, Kekerasan Sosial dalam Kehidupan
Masyarakat Indonesia, Suatu Pendekatan Sosial Budaya, (Semarang : Universitas Diponegoro,
2008), hlm. 5.
100
pengalaman untuk menguji formulasi dakwahnya agar diterima masyarakat dan
kelompok mainstream.
Kembalinya Kyai Hambali dari paham munkirus sunnah secara simbolis
dibuktikan dengan penyerahan Musholla yang selama ini menjadi pusat
dakwahnya kepada Pimpinan Ranting Muhammadiyah Desa Weleri Kabupaten
Kendal. Penyerahan tersebut menjadi sempurna menjadi wakaf setelah beliau
meninggal dunia dengan tenang dan damai.
Download