1 BAB I A. Latar belakang Undang-Undang Kesehatan No 36/2009

advertisement
1
BAB I
A.
Latar belakang
Undang-Undang Kesehatan No 36/2009 menyampaikan bahwa kesehatan
adalah keadaan sehat baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang
memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Sakit adalah gangguan keseimbangan status kesehatan baik secara fisik, mental,
intelektual, sosial atau spiritual (Kozier, 2010). Prevalensi penyakit tidak menular
di Indonesia, diantaranya penyakit tumor merupakan penyakit urutan ke empat
(4,3 per mil), sedangkan tumor ganas yang merupakan penyebab kematian sekitar
5,7% dari pola penyebab kematian semua umur. Sebagian dari penderita penyakit
tumor ganas akan masuk pada stadium lanjut dimana pasien tidak lagi merespon
terhadap tindakan kuratif (Riset Kesehatan Dasar, 2009).
Menurut Aziz (2005) penderita kanker terbanyak di Indonesia adalah kanker
serviks, merupakan urutan pertama dengan jumlah 3686 (17,85%). Sementara itu,
secara keseluruhan di seluruh dunia kanker serviks merupakan penyebab kematian
ke dua dengan perkiraan kasus baru 510.000 dan 288.000 diantaranya meninggal
(Jemal, 2006). Berdasarkan data Depkes Profil Kesehatan Indonesia 2007 (2008)
dari 10 jenis kanker terbanyak di Indonesia kanker payudara merupakan urutan
pertama dengan jumlah 8.328 pasien (19,64%), kanker serviks uteri merupakan
urutan ke dua jumlah 4649 pasien (11,07%). Kejadian kanker serviks di Jawa
Tengah pada tahun 2009 sebesar 9.113 kasus (37.65%) dari 24.204 kasus semua
kanker (Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2009). Dapat disimpulkan bahwa
2
kanker serviks merupakan penyakit terbanyak ke dua setelah kanker payudara,
namun merupakan penyebab kematian ke dua dari seluruh kematian.
Kanker menyerang segala usia, kebanyakan terjadi di atas 65 tahun dan
akan mempengaruhi fisik, psiko, sosial dan spiritual, dengan reaksi emosional
terutama yang terjadi pada pasien yang akan meninggal. Reaksi emosional
tersebut ada lima yaitu denial, anger, bargaining, depression dan acceptance
(Kubler-Ross, 2003). Selain masalah di atas juga akan terjadi ganggguan
reproduksi antara lain masalah seksual.
Menurut Hariwijaya (2004) pelukisan seksual sebagai keris yang masuk ke
dalam sarungnya dan menurut Reiss (2004) menciptakan kepuasan seksual
dengan berhubungan menggabungkan dua jiwa dan itulah bentuk ikatan. Menurut
masyarakat dan falsafah Jawa perempuan sebagai makhluk indah, perempuan
merupakan bumi yang subur yang siap menumbuhkan tanaman, hubungan seksual
dalam pandangan Jawa merupakan suatu yang luhur, sakral dan memiliki fungsi
untuk menjaga keharmonisan yang beraroma kenikmatan dan kelangsungan hidup
manusia (Roqib, 2007). Masalah kanker serviks akan mengganggu kelangsungan
keharmonisan terutama dalam hubungan seksual sehingga pasien dengan kanker
serviks akan merasa ketakutan, kecemasan, kesedihan dalam menghadapi
keluarga. Gangguan kecemasan tidak hanya dialami oleh pasien dengan kanker
serviks saja, tetapi sering dialami oleh wanita, individu berusia kurang dari 45
tahun, individu yang bercerai dan individu yang berasal dari status sosioekonomi
rendah (Videbeck, 2008).
3
Menurut serat Centhini 3 Pupuh Kinanthi 190 pada 17 menyatakan
(Kamajaya, 1986): Teka boya-a kapanduk, rasa kemba ewa geli, myang
lalawanan kalawan, dyah kang (ng)ganda lengur ledis, uga nora kapandukan, ing
rasa gegigu elik. Yang artinya seorang wanita yang memiliki bau badan yang
tidak sedap maka lawan jenisnya akan menjahuinya. Dari uraian di atas dapat
ditarik kesimpulan bahwa seorang wanita dalam pergaulan dengan pria harus
memelihara kesehatan termasuk bau badan, sehingga pasien dengan kanker
serviks akan lebih sensitif, lebih cemas dan sebagai perawat harus tahu perasaan
pasien. Pelayanan perawatan mendukung pasien dan keluarga melewati rentang
krisis fisik, emosional, sosial, budaya dan spiritual, dengan tatalaksana didasarkan
pada tujuan yang realistik dan dapat dicapai meliputi penyembuhan,
memperpanjang hidup, menghambat pertumbuhan sel kanker atau menghilangkan
gejala yang berhubungan pada proses penyakit kanker, dengan perawatan paliatif
(Smeltzer, 2002).
Ketakutan akan kanker menjadi hal yang umum, ibarat memasuki jalur
kematian perlahan, pasien mengalami reaksi psikologis berat, berhubungan
dengan usia, tingkat budaya, pengalaman hidup dan pemahaman akan
pengetahuan medis (Desen, 2008). Beban kematian adalah masalah yang tidak
dapat dihindari pada pasien kanker tingkat lanjut (Elmqvist, 2009). Menurut Chui
(2005) temuan respon psikologis pasien terhadap kanker lanjut adalah krisis akut,
perjuangan, kesedihan dan menunggu kematian. Menurut Sukardja (2000)
penderitaan pasien kanker terutama bagi yang tidak mungkin disembuhkan
membutuhan perawatan paliatif untuk meringankan beban dengan memperbaiki
4
kualitas hidup, mengatasi komplikasi yang terjadi dan mengurangi atau
meringankan keluhan. Sesuai dengan Millennium Development Goals (MDG’s)
tujuan yang ke enam, yaitu meningkatkan kualitas hidup pasien kanker dalam
rangka memerangi penyakit utama atau major disease (UICC, 2013).
Kualitas hidup adalah sesuatu yang subjektif, pengalaman multidimensi dari
kesejahteraan yang dibangun secara budaya dalam mencari keselamatan dan
keamanan individu, rasa integritas dan makna hidup serta rasa memiliki dalam
satu jaringan sosial (Singer, 2010). Kesehatan yang berhubungan dengan kualitas
hidup dan fungsi psikososial pada pasien kanker terkait dengan tanda gejala
klinis yang objektif, kemampuan untuk beradaptasi terhadap penyakit dan
pengobatan juga kepuasan pasien terhadap layanan perawatan (Essen, 2002).
Tanggung jawab perawat kepada pasien dalam memberikan asuhan
keperawatan (Persatuan Perawat Nasional Indonesia, 2008) perlu adanya
pendokumentasian asuhan keperawatan. Dokumentasi rencana perawatan
merupakan indikator kualitas dan hasil perawatan yang didokumentasikan dapat
mempengaruhi kepuasan pasien tentang perawatan (Jansson, 2009).
Asuhan keperawatan yang diberikan dapat mempengaruhi kepuasan pasien.
Kepuasan pasien mencakup multidimensi konsep yang terdiri dari unsur subjektif,
harapan dan persepsi (Hogan, 2000). Pelaksanaan perawatan pasien dengan
pendekatan
perawatan
individual
untuk
memenuhi
kebutuhan
pasien,
menghormati nilai-nilai dan keyakinan pasien (Radwin, 2003; Sidani, 2008)
diharapkan dengan perawatan individual, dapat meningkatkan kemampuan
perawatan diri, meningkatkan kepuasan, kualitas hidup serta dalam relevansi
5
klinis akan meningkatkan kualitas asuhan keperawatan, untuk menyiapkan
perawat tersebut diperlukan pelatihan (Sarkissian, 2010). Pasien yang memiliki
hasil klinis lebih baik akan lebih puas dengan pelayanan perawatan, kepuasan
pasien merupakan multidimensi konsep terdiri dari unsur subjektivitas, harapan
dan persepsi yang merupakan indikator kualitas perawatan (Schulmeister, 2005).
Pasien kanker sering memiliki ketergantungan jangka panjang pada layanan
kesehatan dan mungkin mengalami ketidakpastian dan kekawatiran terhadap
penyakit mereka, sehingga efektifitas penanganan pasien dengan ketergantungan
membutuhkan kompetensi interpersonal dan teknis dari penyedia layanan
kesehatan (Essen, 2002).
Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan memperbaiki kualitas
hidup pasien dan keluarga yang menghadapi masalah berhubungan dengan
penyakit yang dapat mengancam jiwa, melalui pencegahan dan membantu
meringankan penderitaan,
identifikasi dini dan penilaian yang tertib serta
penanganan nyeri dan masalah lain baik fisik, psikososial dan spiritual (WHO
2011). Menurut Kepmenkes RI No 812 (2007), jenis kegiatan perawatan paliatif
meliputi tatalaksana nyeri, tatalaksana keluhan fisik lain, asuhan keperawatan,
dukungan psikologis, sosial, kultural dan spiritual serta dukungan persiapan dan
selama masa dukacita. Kualitas perawatan paliatif menurut National Consensus
Project (2009) merupakan sebuah pendekatan umum untuk perawatan pasien
yang harus secara rutin terintegrasi dengan penyakit, modifikasi terapi dan
berkembangnya praktek spesialis untuk dokter, perawat, pekerja sosial, ulama
dan memiliki keahlian yang diperlukan untuk mengoptimalkan kualitas hidup bagi
6
mereka yang memiliki penyakit kronis yang mengancam atau melemahkan hidup,
meliputi struktur dan proses perawatan, aspek: fisik, psikologis dan psikiatris,
sosial, spiritual dan agama, budaya, perawatan menjelang ajal dan etika dan
hukum.
Fitzpatrick (1993) menyampaikan bahwa prinsip penerapan aspek budaya
dalam pelayanan perawatan dapat membantu, menfasilitasi, mengadaptasi serta
mengubah pola gaya hidup atau kesehatan pasien yang bermakna atau
menguntungkan, sedangkan Bastable (2002) mengemukakan bahwa perawat yang
kompeten harus peka terhadap budaya. Menurut Dein (2006) perawatan paliatif
harus sensitif terhadap budaya, sehingga dapat
menyadari
dan memenuhi
kebutuhan pasien. Demikian juga Owens (2004), mengemukakan tantangan yang
dihadapi dalam perawatan paliatif yaitu mengembangkan praktek penerapan
budaya yang kompeten bagi pasien dengan penyakit kanker, penyakit kronis dan
penyakit terminal.
Pemahaman budaya penting untuk perawatan holistik dan individual
(Oliviere, 1999). Jika pengetahuan budaya tertentu dapat diandalkan, diterapkan
secara peka dan bertanggung jawab dapat meningkatkan proses pengkajian pasien
dari pertanyaan yang perlu ditanyakan perawat (Hallenbeck, 1996). McNamara
(1997) mengemukakan penggunakan budaya yang sama akan sangat membantu
dalam pemberian layanan kesehatan. Filosofi perawatan paliatif dengan
pendekatan budaya dapat memberikan pelayanan holistik: fisik, psikologis, sosial
dan spiritual secara individual (Diver, 2003). Berdasarkan uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa budaya memegang peranan penting dalam perawatan paliatif,
7
pengkajian dapat terfokus pada pertanyaan yang diperlukan pasien sehingga
pasien dapat menyampaikan permasalahan yang dimiliki serta diharapkan dapat
menangani masalah fisik, psikologis, sosial, spiritual dan kualitas hidup pasien.
Perawatan paliatif selama ini di Indonesia masih mengacu pada teori dan
kondisi dari Barat, belum mengaplikasikan secara nyata asuhan keperawatan
dengan nilai-nilai budaya setempat dalam hal ini budaya Jawa. Hasil data studi
awal
yang kami olah dari wawancara mendalam dengan bantuan kuesioner
terstruktur terhadap dua (2) subjek Dosen Sastra Daerah Universitas Sebelas
Maret Surakarta dan dua (2) subjek Budayawan Jawa dari Museum Radya
Pustaka Surakarta dan pakar Paguyuban Ngesti Tunggal Yogyakarta menyatakan
bahwa dalam era modernitas yang bersifat materialistik, keluarga masih
menjunjung tinggi dan menerapkan nilai-nilai ajaran Jawa, dalam kehidupan
sehari-hari. Kegiatan
keluarga, dalam penerapan sikap, yaitu berkomunikasi,
menghormati dan menghargai orang tua atau orang yang lebih tua, hal tersebut
untuk menyaring budaya manca negara yang kurang atau tidak relevan dengan
jati diri orang Jawa.
Orang Barat berfikir cenderung rasional, mengedepankan rasio dan
mengesampingkan
mengedepankan
rasa,
rasa.
sedangkan
Orang
orang
Barat
Jawa
ini
nggone
menganut
rasa
yaitu
pandangan
Natuurwissenschaften atau ilmu kealaman yang bersifat positifistik dan
rasionalistik atau mengedepankan rasio. Sementara itu, Dilthey (1991) berlawanan
pandangan dengan Natuurwissenschaften yaitu pandangan Geisteswissenschaften
atau ilmu kemanusiaan dan kebudayaan yang mencakup kajian tentang bidang
8
spiritual, kultural dan sosial. Pandangan ini sangat sesuai dengan budaya Timur
yang lebih menekankan ketiga aspek tersebut. Nilai-nilai ajaran Jawa temen atau
jujur, adil, bersungguh-sungguh dalam menjalankan usaha dengan perencanaan
dan pelaksanaan yang baik serta bertanggung jawab, rila atau ikhlas memberikan
usaha baik materi, pikiran, tenaga atau pelayanan terhadap orang lain yang
membutuhkan, sabar tidak mudah menyerah atau putus asa dalam menjalankan
usaha misal dalam perawatan atau mengobatan, berpenampilan tenang, tidak
tergesa-gesa atau grusa-grusu, rendah hati atau tidak sombong, menerapkan kasih
sayang dan tidak mau berselisih dan narima atau menerima hasil usaha dengan
senang hati baik yang menyenangkan maupun yang tidak sesuai harapan, selalu
berusaha dan bersyukur dalam menghadapi masalah.
Filosofi ini masih dibutuhkan untuk memecahkan masalah kehidupan
khususnya dalam memberikan pelayanan, karena dapat memberikan ketenangan
batin, khususnya pada Rumah Sakit Pemerintah. Bagi tenaga perawat dalam
memberikan pelayanan pada pasien yang lemah, merasa tidak berdaya dan
membutuhkan pertolongan, jika perawat menerapkan falsafah
temen dalam
pelayanan perawatan maka akan menumbuhkan rasa narima dan kemudian akan
timbul rasa sabar, dengan hati sabar orang akan rila dalam menjalankan
tugasnya. Setelah keempatnya berada pada diri seseorang maka orang tersebut
disebut budi luhur (Mertowardoyo, 2006). Uraian di atas memberi gagasan pada
peneliti untuk menerapkan nilai-nilai budaya Jawa temen, rila, sabar dan narima
pada penelitian asuhan keperawatan paliatif kanker serviks, dan nilai-nilai budaya
Jawa temen, rila, sabar dan narima digali dari sumber yang baku sehingga nilai-
9
nilai yang ditemukan merupakan nilai-nilai yang mudah diterima secara umum,
mudah dimengerti dan dipahami dalam masyarakat,
mana yang harus
dilaksanakan dan mana yang harus dihindari (Mertowardoyo. 2006).
Nilai- nilai budaya Jawa tersebut menyimpan nilai-nilai yang sejajar dengan
nilai-nilai dalam keperawatan meliputi altruistik dan human caring (Leininger,
1991; Tomey, 2006)
bila nilai-nilai tersebut digunakan dapat menopang
perumusan penghayatan, perwujudan dalam keperawatan dan nilai-nilai budaya
Jawa tersebut tetap relevan dan adaptif diberlakukan dalam era perkembangan
zaman karena nilai-nilai tersebut merupakan landasan seseorang bertindak, mana
yang baik dan mana yang tidak baik, mana yang harus dilakukan dan mana yang
tidak boleh dilakukan. Jika nilai-nilai budaya Jawa tersebut diterapkan dalam
memberikan pelayanan perawatan
menerimanya
karena
perawat
maka pasien dan keluarga akan senang
dalam
melayani
terhadap
pasien
dapat
mendengarkan keluhan dengan sabar, melakukan tindakan dengan ikhlas,
bersungguh-sungguh dan memberikan dukungan emosional hal ini akan
membantu penyembuhan rohani karena pasien tidak saja sakit fisiknya tetapi juga
jiwanya, mereka beranggapan bahwa pasien sembuh tidak saja dari pengobatan
tetapi juga didasari oleh sikap pemberi pelayanan saat pasien membutuhkan
perawatan. Nilai-nilai budaya Jawa temen, rila, sabar dan narima tidak untuk
mengejar materi tetapi sebuah filosofi untuk keseimbangan jiwa.
Hasil wawancara
dengan dua (2)
subjek perawat Rumah Sakit
Dr.
Moewardi Surakarta dan dua (2) subjek Dosen keperawatan Poltekkes Surakarta
menyatakan bahwa dalam memberikan asuhan keperawatan paliatif selama 24
10
jam per hari, maka perawat dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien
perlu memahami keragaman budaya pasiennya. Hal ini untuk mengetahui lebih
dekat kebutuhan dan keinginan pasien, sehingga perawat dengan mudah dapat
diterima pasien dan keluarga dalam memecahkan masalah penyakit yang dialami
pasien. Perawat tersebut setuju terhadap nilai budaya Jawa yang diterapkan pada
asuhan keperawatan pasien, meliputi nilai-nilai budaya Jawa temen, yaitu bekerja
dengan sungguh-sungguh, jujur, rila, memberikan usaha dengan ikhlas, sabar
adalah tidak mudah menyerah dalam usaha dan narima, yaitu menerima tugas dan
usaha dengan senang hati, hal ini dapat memberikan kenyamanan fisik,
ketenangan psikologis pasien dan keluarga sehingga pasien rilek, mudah diberi
tindakan dalam mengurangi atau menghilangkan penderitaannya.
Menurut Tomey, (2006) praktik caring dalam keperawatan menggambarkan
dasar dalam kesatuan nilai-nilai kemanusian meliputi kebaikan, kepedulian,
dukungan, kasih sayang, kesungguhan dengan komunikasi dan tanggapan yang
positif dalam tindakan keperawatan. Demikian juga
Leininger (1991)
mengemukakan human caring dalam keperawatan memiliki ekspresi, proses, pola
yang berbeda antar budaya, meliputi tindakan membantu, mendukung,
menfasilitasi, kasih sayang, peduli, empati, kelembutan, sentuhan, kehadiran,
kepercayaan untuk memperbaiki dan meningkatkan kondisi klien. Dapat
disimpulkan bahwa perawatan paliatif kanker serviks pada pasien orang Jawa
memerlukan pendekatan nilai-nilai kemanusian umum budaya Jawa meliputi
temen, rila, sabar dan narima, hal ini sesuai dengan konsep caring dan kultural.
11
Wawancara mendalam disampaikan pada empat (4) subjek pasien dengan
kemoterapi di Rumah Sakit Dr. Moewardi Sukakarta mereka menyampaikan
pelayanan perawatan yang diterima pada saat atau setelah diberikan kemoterapi
bila hati atau perasaan tidak siap, rasa takut, cemas, mereka dapat mengalami
mual atau muntah dan membuat pasien lemah, tidak berdaya. Mereka berpendapat
bahwa jika perawat memberikan pelayanan dibarengi rasa sabar, dan ikhlas mau
mendengarkan keluhan, tidak grusa-grusu atau tergesa-gesa dalam menerapkan
ilmu dan ketrampilannya, pasien senang dan tidak cemas dalam menghadapi
permasalahannya serta merasa puas terhadap pelayanan keperawatan. Ungkapan
beberapa pasien ini sesuai dengan teori yang dikemukan oleh Cort (2009) bahwa
kondisi cemas pada pasien dapat berdampak menambah beban penyakit dan
mengurangi kualitas hidup.
Kesimpulan wawancara mendalam dengan bantuan kuesioner terstruktur
pada akademisi, praktisi budaya Jawa, pakar pangestu, perawat
profesional
akademisi dan praktisi, pasien kanker dengan kemoterapi menyatakan bahwa
mereka sangat setuju nilai-nilai budaya Jawa temen, rila, sabar dan narima,
diterapkan dalam memberikan palayanan asuhan keperawatan paliatif karena
nilai-nilai tersebut dapat menentramkan hati, sehingga dapat meningkatakan
kualitas hidup dan kepuasan pasien serta kualitas asuhan keperawatan.
Menurut Hardjoprakoso (1956) dalam desertasi “Een Indonesisch
Mensbeeld als Basis Einer Psycho-therapie” atau Candrajiwa Indonesia sebagai
dasar psikoterapi yaitu sebuah gambaran Indonesia tentang manusia dan kritik
dengan tepat dalam disertasi ini bahwa gambaran manusia yang dipaparkannya
12
lebih bersifat Jawa dari pada Indonesia. Pandangan kebudayaan Jawa dengan
pendekatan: temen, rila, sabar, narima, dan budiluhur lima watak yang harus
ditumbuhkan manusia. Perbedaan penelitian ini dengan penulis pada area dan
subjek yaitu penelitian di masyarakat dan bukan pada pasien di rumah sakit.
Berdasarkan
paparan
di atas peneliti ingin melakukan penelitian
perawatan pasien paliatif dengan pendekatan nilai-nilai budaya Jawa
meliputi
temen, rila, sabar dan narima, pada pasien dengan kanker serviks, di Rumah Sakit
Umum Daerah Dr. Moewardi Surakarta.
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr. Moewardi Surakarta adalah rumah
sakit di Jawa Tengah. Sesuai SK Menkes No. 1011/Menkes/SK/IX/2007 tanggal
6 Septemper 2007 RSUD
Dr. Moewardi Surakarta merupakan rumah sakit
rujukan, dan rumah sakit kelas A pendidikan yang berada di salah satu kota pusat
budaya Jawa. RSUD Dr. Moewardi Surakarta mempunyai jumlah tempat tidur
sebanyak 704 buah, dan didukung oleh 1605 tenaga kerja, termasuk tenaga
perawat sebesar 670 orang, dimana 90% nya merupakan orang Jawa (RSUD Dr.
Moewardi Surakarta, 2009). Data penyakit 10 besar penyakit terbanyak rawat inap
pada tahun 2007 di RSUD Dr. Moewardi Surakarta didapatkan penyakit
neoplasma ganas payudara merupakan penyakit tertinggi pertama dengan jumlah
kasus 1.100; sedangkan neoplasma ganas serviks uterus merupakan penyakit
tertinggi kedua dengan jumlah kasus 936 pasien. Pada tahun 2008, penyakit
neoplasma ganas serviks uterus menjadi tertinggi pertama dengan jumlah kasus
818 pasien, sedangkan neoplasma ganas payudara merupakan penyakit tertinggi
kedua dengan jumlah kasus 811 pasien, dengan pasien yang mempunyai latar
13
belakang budaya Jawa atau orang Jawa sekitar 90% melalui wawancara dengan
bagian keperawatan RSUD Dr. Moewardi Surakarta, tahun 2009. Data di atas
dapat disimpulkan bahwa penyakit neoplasma ganas serviks uterus merupakan
penyakit tertinggi dan perlu perawatan paliatif.
Instalasi perawatan paliatif di RSUD Dr. Moewardi Surakarta sesuai SK
Menkes NO. 812/Menkes/SK/VII/2007 tentang Kebijakan Perawatan Paliatif
belum terbentuk wadahnya, namun perawatan paliatif yang komprehensif baik
aspek fisik-psiko-sosial dan spiritual sudah dijalankan dari pelayanan kedokteran,
keperawatan, farmasi dan pengurus pembinaan kerohanian, namun belum
terkoordinir dan masih merupakan tantangan bagi RSUD Dr. Moewardi Surakarta
untuk mengembangkan perawatan paliatif dengan pendekatan nilai-nilai budaya
Jawa sehingga pasien terminal dapat teringankan penderitaannya, menghilangkan
rasa nyeri serta keluhan yang mengganggu, menjaga keseimbangan aspek fisikpsiko-sosial dan spiritual, meningkatkan kualitas hidup, memuaskan pasien,
sehingga pasien tetap aktif sampai akhir hayatnya, merasa tidak sendiri dan
kesepian dalam menghadapi penyakit, meninggal bermartabat dengan penderitaan
minimal dari pasien.
Wawancara yang dilakukan dengan bagian keperawatan RSUD Dr.
Moewardi Surakarta tahun 2009 didapatkan data bahwa pengembangan sumber
daya manusia mempersiapkan perawat dalam memberikan asuhan keperawatan
paliatif. Sebanyak
46 perawat
Bangsal Melati 2 dan Mawar 3 RSUD Dr.
Moewardi Surakarta baru dua (2) perawat yang mendapatkan pelatihan perawatan
paliatif. Dari hasil wawancara mendalam dari Kepala (Ka) Ruangan dan Ka Sie
14
perawat bahwa pelayanan asuhan kepewaratan peliatif belum dijalankan secara
terkoordinir dengan perawat lainnya walaupun sudah disosialisasikan kepada
perawat lain, namun belum dapat merubah sistem asuhan keperawatan pasien
paliatif dikarenakan petugas terlatih masih sangat terbatas. Hasil studi awal dirasa
perlu dilakukan pelatihan asuhan keperawata paliatif dengan pendekatan nilainilai budaya Jawa dengan harapan mudah diterima, dipahami, dihayati dan
diterapkan. Pasien kanker serviks dari rerata pasien sebesar 874 per tahun,
memerlukan asuhan keperawatan yang sesuai kebutuhan pasien sehingga dapat
meningkatkan kualitas asuhan keperawatan paliatif, kualitas hidup dan kepuasan
pasien. Permasalahan yang sering timbul dari pasien fase paliatif pada akhir
hidupnya selain masalah fisik juga terjadi stres emosional dan sosial dengan
karakteristik seperti pasien sering menunggu dalam suasana kebingungan,
kelelahan dalam penderitaan, kesepian, kehilangan kontrol dan martabat. Pada
pasien orang Jawa perlu pemahaman dan pendekatan nilai-nilai budaya Jawa yang
mempunyai nilai falsafah tinggi untuk ketenangan batin sehingga masalah dapat
dikurangi atau dihilangkan.
Berdasarkan uraian di atas peneliti akan menerapkan asuhan keperawatan
paliatif dengan pendekatan nilai-nilai budaya Jawa pada pasien kanker serviks di
RSUD Dr. Moewardi Surakarta, karena asuhan keperawatan paliatif dengan
pendekatan nilai-nilai budaya Jawa di RSUD Dr. Moewardi Surakarta
belum
pernah dilakukan dan belum ada penelitian tentang asuhan keperawatan paliatif
kanker serviks dengan pendekatan nilai-nilai budaya Jawa. Asuhan keperawatan
(Askep) yang akan diteliti selanjutnya disingkat dengan Askep paliatif “Trisna”
15
pada pasien kanker serviks. Istilah“Trisna” yang artinya cinta atau kasih sayang
diambil dari temen, rila, sabar dan narima yaitu cinta dan kasih dalam
memberikan asuhan keperawatan. Pandangan askep paliatif “Trisna” pada
hakikatnya sesuai dengan pandangan Dilthey (1991) dalam menekankan kajian
manusia yang memiliki dimensi kultural, spritual dan sosial. Nilai-nilai budaya
Jawa “Trisna” pada hakikatnya memiliki nilai-nilai yang bersifat universal,
artinya dalam budaya manapun ada kemiripan segi nilai yang bersifat universal.
B.
Masalah Penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas, perumusan masalah
penelitian ini
adalah:
1. Apakah pelatihan askep paliatif “Trisna” pada pasien kanker serviks
berpengaruh terhadap kualitas askep.
2. Apakah askep paliatif
“Trisna” pada pasien kanker serviks berpengaruh
terhadap kualitas hidup pasien.
3. Apakah askep paliatif “Trisna” pada pasien kanker serviks berpengaruh
terhadap kepuasan pasien.
C. Tujuan
Tujuan penelitian perawatan paliatif “Trisna”
1. Tujuan Umum
Mengetahui pengaruh askep paliatif “Trisna” pada pasien kanker serviks.
16
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui pengaruh pelatihan askep paliatif “Trisna” pada pasien kanker
serviks terhadap kualitas askep.
b. Mengetahui pengaruh askep paliatif “Trisna” pada pasien kanker serviks
terhadap kualitas hidup pasien.
c. Mengetahui pengaruh askep paliatif “Trisna” pada pasien kanker serviks
terhadap kepuasan pasien.
D. Keaslian Penelitian
Tabel 1. Penelitian tentang budaya, kualitas asuhan keperawatan, kualita hidup
dan kepuasan pasien
NO
PENELITI/
TAHUN
JUDUL
KESAMAAN
PERBEDAAN
1.
Diver, 2003.
Kebutuhan
perawatan
paliatif pasien
etnis minoritas
perspektif staf
(peserta)
Perawatan
paliatif peka
budaya.
Pasien merupa
kan etnis
minoritas
Kelebihan
peneliti: Mudah
dipahami pasien
karena budaya
90% sama.
2.
Soehadha, 2003
Umat agama
dalam paguyu
ban Pangestu
Penerapan
nilai budaya
Jawa antara
lain temen,
rila, sabar,
narima dan
budiluhur
Penerapan
dimasyarakat
penganut
Pangestu
Kelebihan
peneliti:penerap
an budaya di
Rumah Sakit
3.
Owens, 2004.
Ini berbeda
dari budaya
saya, mereka
sangat berbeda
menyediakan
Mengembang
kan kompeten
si budaya
Perawatan
dilaksanakan
dirumah
Kelebihan
peneliti: Pende
17
NO
PENELITI/
TAHUN
JUDUL
KESAMAAN
perawatan
paliatif yang
kompeten
secara budaya
PERBEDAAN
katan budaya
untuk mempe
ngaruhin kua
litas askep, kua
litas hidup dan
kepuasan
pasien.
4.
Chui, 2005.
Respon kanker
stadium lanjut
pada
masyarakat
Cina-Australia
Dampak buda
ya Cina pada
respon masya
rakat Cina-Aus
tralia dengan
kanker dan
membuat
rekomendasi
tentang pera
watan dalam
sistem kesehat
an
Penerapan
budaya Cina
pada masyarakat
Cina-Australia
Kelebihan
peneliti: Pende
katan budaya
untuk mempe
ngaruhin kua
litas askep, kua
litas hidup dan
kepuasan
pasien.
5
Huang, 2009.
Faktor-faktor
yang mempe
ngaruhi pende
katan perawat
Onkologi un
tuk memenuhi
kebutuhan
budaya
Menggali
masalah sosial
melalui masa
lah budaya pa
da perawatan
paliatif.
Mengakomodasi
kan budaya dari
pengalaman
sebelumnya dari
budaya lain
Kelebihan pene
liti:mengadakan
pelatihan
6.
Jansson, 2009.
Evaluasi doku
men rencana
perawatan
dengan indika
tor perawatan
yang sensitif
Mengevaluasi
dokumen
asuhan
keperawatan
Evaluasi
dokumen askep
dengan pende
katan budaya
Kelebihan
peneliti:
mengevaluasi
masalah sosial
dan spiritual
7.
Schulmeister,
2005.
Kualitas hidup, Mengevaluasi
kualitas kepe
kualitas hidup,
rawatan dan
kualitas
Penerapan pada
pasien rawat
jalan pada
18
NO
PENELITI/
TAHUN
JUDUL
KESAMAAN
PERBEDAAN
kepuasan pa
sien
keperawatan
dan kepuasan
pasien
pasien autolo
gous Transplan
tasi stem cell
Kelebihan
peneliti:
Penerapan buda
ya dalam
mempengaruhi
kualitas kepera
watan, kulaitas
hidup dan kepu
asan pasien
8.
Fro, 2009.
Kepuasan
perawatan
dokter berkait
an kualitas hi
dup berbubung
an dengan
kesehatan,
kecemasan dan
depresi pada
pasien tumor
carsinoid
Menyelidiki
kepuasan,
kualitas hidup
Pelayanan dari
dokter dan
menyelidiki
kecemasan dan
depresi
Kelebihan
peneliti:
pendekatan
melalui budaya
9.
Essen, 2002.
Kepuasan
terhadap pera
watan kualitas
hidup yang ber
hubungan de
ngan kesehatan
dan fungsi
psikososial
antara pasien
Swedia dengan
tumor endo
krin gastro
intestinal
Menyelidiki
kepuasan,
kualitas hidup
pasien.
Menyelidiki
kecemasan dan
depresi pasien
Kelebihan
Peneliti: adanya
tindakan
kualitas asuhan
keperawatan
Penelitian yang sudah dilakukan di atas berbeda dengan penelitian yang akan
dilakukan sebagai berikut: Peneliti mengembangkan askep paliatif “Trisna” yang
19
diterapkan perawat dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien kanker
serviks di Rumah Sakit, melalui penelitian ini diketahui pengaruh pada kualitas
asuhan keperawatan, kualitas hidup pasien dan kepuasan pasien.
E. Manfaat Penelitian
1. Bidang Ilmu
Askep “Trisna” diharapkan merupakan suatu pengembangan model askep
paliatif bagi pasien kanker serviks.
2. Perawat.
Hasil penelitian tentang
asuhan keperawatan paliatif “Trisna” diharapkan
dapat digunakan sebagai salah satu pedoman dalam memberikan asuhan
keperawatan pada pasien kanker serviks di Rumah Sakit.
3. Institusi Pendidikan
Pengembangan askep paliatif “Trisna” bagi pasien kanker serviks pada
kurikulum pendidikan.
4. Rumah Sakit.
Hasil penelitian dapat dimanfaatkan sebagai upaya meningkatkan mutu
pelayanan askep paliatif kanker serviks.
5. Pemerintah atau Organisasi Profesi
Memberi masukan pada instansi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
dan Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) dalam menyusun kebijakan
pengelolaan askep paliatif “Trisna” pada pasien kanker serviks di Indonesia.
6. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi rujukan bagi penelitian selanjutnya
dalam keperawatan paliatif dengan pendekatan nilai-nilai budaya.
Download