BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Pajak Pengertian pajak memilki dimensi yang berbeda – beda menurut Mangkoesoebroto (Timbul Hamonangan, 2012: 9) pajak adalah suatu pungutan yang berupa hak preogratif pemerintah, pungutan tersebut didasarkan pada undang – undang, pemungutannya dapat dipaksakan kepada subjek pajak dimana tidak ada balas jasa yang langsung dapat ditunjukan penggunaannya. Definisi atau pengertian pajak menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH (Mardiasmo, 2009:1) Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Selain dari pengertian yang diungkapkan oleh para ahli diatas, salah satu definisi pajak yang paling banyak dijadikan acuan adalah yang diajarkan oleh Prof. Dr. P. J. A. Adriani (Timbul Hamonangan, 2012: 11), pajak adalah iuran kepada negara yang dapat dipaksakan yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan – peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung 6 ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran – pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintah. 2.1.2 Fungsi pajak Menurut Mardiasmo (2009:1) ada dua fungsi pajak, yaitu : 1) Fungsi budgetair Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaranya. 2) Fungsi mengatur (regulerend) Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi. Contoh: a) Pajak yang tinggi dikenakan terhadap minuman keras untuk mengurangi konsumsi minuman keras. b) Pajak yang tinggi dikenakan terhadap barang-barang mewah untuk mengurangi gaya hidup konsumtif. c) Tarif pajak untuk ekspor sebesar 0% untuk mendorong ekspor produk Indonesia di pasaran dunia. 2.1.3 Pengelompokan pajak Sesuai dengan dasar pengelompokannya, menurut Mardiasmo (2009:5) pajak dapat dikelompokan menjadi beberapa kelompok, seperti : 1) Menurut golongannya, pajak dapat dikelompokan menjadi 2 yaitu: 7 a) Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : Pajak Penghasilan b) Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai 2) Menurut sifatnya, pajak dapat dikelompokan menjadi 2 yaitu : a) Pajak Subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh: Pajak Penghasilan b) Pajak Objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. 3) Menurut lembaga pemungutannya a) Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara Contoh: Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak atas Penjualan Barang Mewah. b) Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. 8 Pajak Daerah terdiri atas : (a) Pajak Provinsi, contoh : Pajak Kendaraan Bermotor dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor. (b) Pajak Kabupaten/Kota, contoh : Pajak Hotel, Pajak Restoran dan Pajak Hiburan. 2.1.4 Sistem pemungutan pajak Menurut Mardiasmo (2009:7) terdapat tiga sistem pemungutan pajak yaitu : 1) Official Assessment System Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib pajak. Ciri-cirinya: (a) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus. (b) Wajib Pajak bersifat pasif (c) Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus. 2) Self Assessment System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi weweang kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang. Ciri-cirinya: (a) Wewenag untuk menetukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib Pajak sendiri. 9 (b) Wajib Pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang. (c) 3) Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi With Holding System Adalah suatu system pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak . Ciri-cirinya: Wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga, pihak selain fiskus dan Wajib Pajak. 2.1.5 Pengertian Pajak Penghasilan Pajak penghasilan (PPh) adalah pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak yaitu orang pribadi, badan, Bentuk Usaha Tetap (BUT) atas penghasilan yang diterima atau yang diperolehnya dalam tahun pajak. 2.1.6 Subyek dan Obyek pajak penghasilan 1) Subyek pajak Subyek pajak menurut Waluyo (2011:99) diartikan sebagai orang pribadi atau badan atau pihak yang dituju oleh undang-undang untuk dikenakan pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Subyek pajak orang pribadi adalah subyek pajak yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia ataupun luar Indonesia. Subyek pajak orang pribadi yang bertempat tinggal 10 di Indonesia lebih dari 183 hari (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam satu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia disebut subyek pajak dalam negeri. Adapun yang menjadi subyek Pajak Penghasilan adalah orang pribadi yang merupakan : a) Pegawai; b) Penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya; c) Bukan Pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pemberian jasa, meliputi: (1) Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter , konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris; (2) Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya; (3) Olahragawan; (4) Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator; (5) Pengarang, peneliti, dan penerjemah; (6) Pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer dan sistem aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, 11 ekonomi, dan sosial serta pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan; (7) Agen iklan; (8) Pengawas atau pengelola proyek; (9) Pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara; (10) Petugas penjaja barang dagangan; (11) Petugas dinas luar asuransi; (12) Distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya; d) Anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai Pegawai Tetap pada perusahaan yang sama; e) Mantan pegawai; f) Peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan keikutsertaannya dalam suatu kegiatan, antara lain: (1) Peserta perlombaan dalam segala bidang, antara lain perlombaan olah raga, seni, ketangkasan, ilmu pengetahuan, teknologi dan perlombaan lainnya; (2) Peserta rapat, konferensi, sidang, pertemuan, atau kunjungan kerja; (3) Peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara kegiatan tertentu; 12 (4) Peserta pendidikan dan pelatihan; (5) Peserta kegiatan lainnya. Salah satu subyek pajak penghasilan adalah tenaga ahli, salah satunya adalah dokter. Dokter adalah orang yang telah menempuh pendidikan di Fakultas Kedokteran dan memperoleh gelar dokter umum. Selain itu ada juga dokter spesialis, yaitu dokter yang mengkhususkan diri dalam suatu bidang ilmu kedokteran tertentu. Seorang dokter harus menjalani pendidikan dokter paska sarjana (spesialisi) untuk dapat menjadi dokter spesialis. Pendidikan dokter spesialis merupakan program pendidikan lanjutan dari program pendidikan dokter setelah dokter menyelesaikan wajib kerja sarjananya dan atau langsung setelah menyelesaikan pendidikan dokter umum dasar. 2) Obyek pajak Obyek Pajak penghasilan menurut Waluyo (2011:109) dapat diartikan sebagai sasaran pengenaan pajak dan dasar untuk menghitung pajak terutang. Obyek pajak penghasilan adalah penghasilan. Pengertian penghasilan adalah tambahan kemampuan nilai ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun yang berasal dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. Dilhat dari mengalirnya (inflow) tambahan kemampuan ekonomis kepada subyek pajak, penghasilan dapat dikelompokkan menjadi: 13 a) penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti gaji, honorarium, penghasilan dari praktik dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara, dan sebagainya; b) penghasilan dari usaha dan kegiatan; c) penghasilan dari modal atau investasi, yang berupa harta gerak ataupun harta tidak bergerak seperti bunga, deviden, royalti, sewa, keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak dipergunakan untuk usaha, dan lain sebagainya; d) penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang, hadiah, dan lain sebagainya. Sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan yang termasuk penghasilan sebagai obyek pajak dengan nama dan dalam bentuk apapun termasuk : a) penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang pajak penghasilan; b) hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan; c) laba usaha; d) keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk: 14 (1) keuntungan karena pengalihan harta karena perseroan, persekutuan dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal. (2) keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekuritas, atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya; (3) keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan pengambilalihan usaha, atau organisasi dengan nama dan dalam bentuk apapun; (4) keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan dan badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan; (5) keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan. e) penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya; dan pembayaran tambahan pengembalian pajak; 15 f) bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang; g) deviden, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk deviden dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha operasi; h) royalti; atau imbalan atas penggunaan hak; i) sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta; j) penerimaan atau perolehan pembayaran berkala; k) keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah; l) keuntungan selisih kurs mata uang asing; m) selisih lebih karena penilaian kembali aktiva; n) premi asuransi; o) iuran yng diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari wajib pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas; p) tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenai pajak; q) penghasilan dari usaha yang berbasis syariah; r) imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan s) surplus Bank Indonesia. 16 2.1.7 Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 21 PPh Pasal 21 merupakan pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi. Subjek pajak dalam negeri, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan. Dari Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 21 tersebut diatas, ada tiga unsure atau syarat berlakunya PPh Pasal 21, yaitu ada pemotongan pajak, ada objek pajak dan ada penerima penghasilan sebagai pihak yang dipotong pajak. Apabila ketiga unsur tersebut itu dipenuhi maka pemotong pajak harus melakukan pemotongan pajak kepada penerima penghasilan atas penghasilannya sebagai objek pajak PPh pasal 21. 1) Pemotong Pajak PPh Pasal 21 Pemotong PPh pasal 21 adalah pihak-pihak yang membayarkan penghasilannya, yang terdiri atas : a) Penyelenggara kegiatan: b) Pemberi Kerja. c) Bendahara atau pemegang kas pemerintah. d) Dana Pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja. e) Orang pribadi 2) Objek Pajak PPh Pasal 21 Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 yaitu: 17 a) Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap, baik berupa penghasilan yang bersifat teratur maupun tidak teratur. b) Penghasilan yang diterima atau diperoleh penerima pensiun secara teratur berupa uang pensiun atau penghasilan sejenisnya. c) Penghasilan sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja dan penghasilan sehubungan dengan pensiun yang diterima secara sekaligus berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua atau jaminan hari tua, dan pembayaran lain sejenis d) Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan secara bulanan. e) Imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan. f) Imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, dan imbalan sejenis dengan nama apapun. 3) Dasar hukum pelaksanaan pemotongan PPh Pasal 21 Dasar hukum pelaksanaan pemotongan PPh 21 atas jasa tenaga ahli (Konsultan Pajak) di kantor Konsultan Pajak CV. Prima Artha Konsultama antara lain: 18 a) Undang-undang No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.16 Tahun 2000. b) Undang-Undang No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 17 Tahun 2000 dan terakhir diubah menjadi Undang-Undang No.36 Tahun 2008. c) Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan dengan pekerjaan Jasa dan kegiatan Orang Pribadi. d) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 224/PMK.03/2008 tentang jenis Jasa lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal ayat (1) huruf D Undang-Undang No.36 Tahun 2008 e) PMK-262/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan kegiatan Orang Pribadi. f) PER-31/PJ/2009 Tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan Penyetoran dan Pelaporan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi. 19 2.1.8 Pengertian PPh Pasal 21 atas Tenaga Ahli Pajak peghasilan atas tenaga ahli merupakan penghasilan/fee yang diterima atau diperoleh oleh orang pribadi yang melakukan pekerjaan, jasa atau kegiatan yang dilakukan oleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri. 2.1.9 Subjek dan Objek Pajak PPh Pasal 21 Atas Tenaga Ahli Subjek pajak dari pajak penghasilan atas tenaga ahli adalah orang pribadi yang memperoleh penghasilan/fee dari pekerjaan bebas, sedangkan objeknya adalah penghasilan yang diterima dari pekerjaan bebas. 2.1.10 Dasar Hukum PPh Pasal 21 atas Tenaga Ahli Dasar hukum yang mengatur PPh Pasal 21 atas tenaga ahli antara lain sebagai berikut: a) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK/.03/2008 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa dan kegiatan orang pribadi. b) Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor 31 Tahun 2009 Tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 Sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan Kegiatan Orang Pribadi. 20 c) Peraturan Direktur Jendral pajak Nomor 57 Tahun 2009 Tentang perubahan atas Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor 31 tahun 2009. d) Peraturan Direktur jendral Pajak Nomor 31 Tahun 2012 Tentang Pedoman Teknis tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi. 2.1.11 Pemotongan PPh Pasal 21 atas Tenaga Ahli Pemotongan PPh atas penghasilan yang diterima oleh tenaga ahli adalah orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa dan/atau kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status subjek pajak dalam negeri, termasuk jasa tenaga ahli sendiri. 2.1.12 Pelaporan PPh Pasal 21 atas Tenaga Ahli Bagi pemotongan pajak yang memotong PPh Pasal 21 atas tenaga ahli, pelaporan pajak terhutangnya akan dilaporkan menjadi satu di SPT Masa 1721 paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. 21 2.1.13 Pengertian Pembukuan Pembukuan menurut Siti Resmi (2011:61) adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi pada setiap Tahun Pajak berakhir. Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan adalah: 1. Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas di Indonesia; 2. Wajib Pajak badan di Indonesia. Wajib Pajak yang dikecualikan dari kewajiban pembukuan tetapi wajib melakukan pencatatan adalah: 1) Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang menurut ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto; 2) Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melakukan pembukuan atau pencatatan: 22 1) Pembukuan atau pencatatan harus dilakukan dengan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya. 2) Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesiaatau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan. 3) Pembukuan dilaksanakan dengan taat asas dan dengan stelsel akrual atau stelsel kas. Perubahan terhadap metode dan atau tahun buku, harus mendapat persetujuan dari Direktur Jendral Pajak. 4) Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri dari catatan mengenai harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian, sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang. 5) Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah dapat diselenggarakan oleh Wajib Pajak setelah mendapatkan izin dari Menteri Keuangan. Dalam hal ini pajak dikecualikan dari kewajiban pembukuan dan kewajiban melakukan pencatatan, pencatatan harus mncakup seluruh data yang dikumpulkan secara teratur tentang peredaran atau penerimaan bruto dan/atau penghasilan bruto sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang, termasuk penghasilan yang bukan obyek pajak dan/atau yang dikenai pajak yang bersifat final. Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara aplikasi on-line wajib disimpan selama 10 tahun di 23 Indonesia, yaitu di tempat kegiatan atau tempat tinggal Wajib Pajak orang pribadi, atau ditempat kedudukan Wajib Pajak badan. 2.1.14 Pengertian Norma Menurut Waluyo (2011:105) untuk memberikan kemudahan dalam menghitung besarnya penghasilan neto bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto tertentu, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan norma perhitungan. Norma perhitungan sebagai pedoman untuk menentukan besarnya penghasilan neto yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak dan disempurnakan terus-menerus. Penggunaan Norma Penghitungan tersebut pada dasarnya dilakukan dalam hal-hal: a) tidak terdapat dasar penghitungan yang lebih baik, yaitu pembukuan yang lengkap atau b) pembukuan atau catatan peredaran bruto Wajib Pajak ternyata diselenggarakan secara tidak benar. Norma Penghitungan disusun sedemikian rupa berdasarkan hasil penelitian data lain, dengan memperhatikan kewajaran. Norma penghitungan akan sangat membantu Wajib Pajak yang belum mampu meyelenggarakan pembukuan untuk menghitung penghasilan neto. 24 2.1.15 Norma Perhitungan 2.1.15.1 Dokter yang Mendapat Penghasilan dari Pemberi Kerja Berdasarkan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-31/PJ/2012 Pasal 3 dan Pasal 9, menjelaskan bahwa: 1. Bukan Pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pemberian jasa, yaitu tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas seperti dokter. 2. 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto, yang berlaku bagi Bukan Pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c yang menerima imbalan yang tidak bersifat berkesinambungan. 2.1.15.2 Dokter yang Mendapat Penghasilan dari Usaha Praktek Berdasarkan Keputusan Dirjen Pajak nomor KEP-536/PJ/2000 untuk 10 ibu kota provinsi yaitu Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Denpasar, Manado, Makassar, dan Pontianak dikenakan tarif sebesar 45% dari jumlah bruto. Peraturan Direktur Jendral Pajak ini berlaku mulai tahun 2001 dan seterusnya 2.1.16 Pengertian Dokter Adalah seseorang yang karena keilmuannya berusaha menyembuhkan orangorang yang sakit. Tidak semua orang yang menyembuhkan penyakit bisa disebut dokter. Untuk menjadi dokter biasanya diperlukan pendidikan dan pelatihan khusus dan mempunyai gelar dalam bidang kedokteran. 25 2.1.17 Surat Pemberitahunan SPT Berdasarkan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyebutkan bahwa Surat Pemberitahuan (SPT) adalah surat yang oleh wajib pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak dan/atau harta dan kewajiban, menurut ketentuan perundang-undangan perpajakan. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 181/PMK.03/2007 menyebutkan bahwa terdapat dua macam SPT yaitu: 1) SPT Masa adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu masa pajak. 2) SPT Tahunan adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu tahun pajak atau bagian tahun pajak. a) Pengisian dan Penyampaian SPT 1) Setiap wajib pajak mengisi SPT dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf latin, angka arab, satuan mata uang rupiah, dan menandatangani serta menyampaikan ke Kantor Direktorat Jendral Pajak tempat wajib pajakt terdaftar atau dikukuhkan. 2) Wajib pajak yang telah mendapat ijin Menteri Keuangan untuk menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain rupiah, wajib menyampaikan SPT dalam bahasa 26 Indonesia kecuali lampiran berupa laporan keuangan dan mata uang selain rupiah yang diizinkan. b) Fungsi SPT 1) Bagi Wajib Pajak PPh, SPT berfungsi untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang: a) Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan/atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam 1 (satu) tahun pajak atau bagian tahun pajak. b) Penghasilan yang merupakan objek pajak dan/atau bukan objek pajak. c) Harta dan kewajiban. d) Penyetoran dari pemotongan atau pemungutan pajak orang pribadi atau badan lain dalam 1 (satu) masa pajak. 3) Mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah PPN dan PPnBM yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang: a) Pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran; b) Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak dan/atau melalui pihak lain dalam satu masa pajak. 27 4) Bagi pemotong atau pemungut pajak, sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau dipungut dan distorkannya c) Sanksi tidak atau terlambat menyampaikan SPT SPT yang tidak disampaikan atau tidak sesuai dengan batas waktu yang ditentukan, dikenakan sanksi berupa denda: a) SPT Tahunan PPh Orang Pribadi Rp. 100.000,b) SPT Tahunan PPh Badan Rp. 1.000.000,c) SPT Masa PPN Rp. 500.000,d) SPT Masa lainnya Rp. 100.000,- 28