Dampak Investasi Terhadap Kinerja Perekonomian

advertisement
40
III. KERANGKA TEORITIS
3.1.
Produk Domestik Bruto
Produk Domestik Bruto (PDB) sering dianggap sebagai ukuran terbaik dari
kinerja perekonomian (Mankiw, 2003). Apabila diterjemahkan dalam tataran
daerah maka PDB disebut dengan PDRB. PDRB adalah total nilai produk barang
dan jasa yang diproduksi di suatu wilayah tertentu dalam waktu tertentu tanpa
melihat faktor kepemilikan (Pemerintah Provinsi atau Pemprov Jatim, 2004).
Salah satu model yang menunjukkan bagaimana pertumbuhan persediaan
modal, pertumbuhan angkatan kerja dan kemajuan teknologi berinteraksi dalam
perekonomian serta bagaimana pengaruhnya terhadap output barang dan jasa
(PDRB) suatu wilayah secara keseluruhan adalah Model Solow (Mankiw, 2003).
Dalam model Solow, output bergantung pada persediaan modal dan tenaga
kerja. Dengan asumsi bahwa fungsi produksi mempunyai skala hasil konstan,
maka fungsi produksinya dapat dirumuskan sebagai berikut :
Y =
F (K,L) ..................................................................................
(3.1)
dimana:
Y = Output
K = Persediaan modal
L = Tenaga kerja
Persediaan modal dipengaruhi oleh investasi dan depresiasi. Investasi
mengacu pada pengeluaran untuk perluasan usaha dan peralatan baru yang dapat
menambah persediaan modal, sedangkan depresiasi mengacu pada penggunaan
modal, yang menyebabkan persediaan modal berkurang.
Perubahan Persediaan Modal = Investasi - Depresiasi
Δk = i - δk ..................................................................................... ( 3.2)
41
Dengan asumsi bahwa depresiasi=0 atau tidak ada depresiasi, maka Δk=i
atau perubahan persediaan modal=investasi. Karena investasi merupakan
perubahan persediaan modal (Δk) bukan persediaan modal (K) itu sendiri atau
dengan kata lain pada kenyataanya data persediaan modal tidak tersedia, maka
untuk menghitung output dengan model Solow digunakan data investasi PMDN
dan PMA sebagai proksi dari persediaan modal (K).
3.2.
Investasi
Investasi disebut juga dengan penanaman modal atau pembentukan modal.
Investasi dapat diartikan sebagai pengeluaran atau pengeluaran penanam-penanam
modal atau perusahaan untuk membeli barang-barang modal dan perlengkapanperlengkapan produksi untuk menambah kemampuan memproduksi barangbarang dan jasa-jasa yang tersedia dalam perekonomian (Sukirno, 2006).
Menurut Mankiw (2003) investasi juga dapat diartikan pembelian barangbarang yang digunakan untuk masa depan. Investasi terdiri dari (Dornbush dan
Fischer, 1997; Mankiw, 2003; dan Sukirno, 2006): (1) investasi tetap bisnis
adalah pembelian pabrik dan peralatan baru oleh perusahaan, (2) investasi
residensi yaitu pembelian rumah baru oleh rumah tangga dan tuan tanah, dan
(3) investasi persediaan yaitu peningkatan persediaan barang perusahaan (jika
investasi gagal, persediaan negatif). Delong (2002) membedakan investasi
menjadi empat jenis, yaitu (1) investasi residensi, (2) investasi non residensi,
(3) investasi untuk membeli peralatan dan (4) investasi persediaan. Sedangkan
menurut Mangkoesoebroto dan Algifari (1998) investasi terdiri dari dua jenis,
yaitu investasi riil dan investasi finansial. Investasi riil adalah investasi terhadap
barang-barang yang tahan lama (barang-barang modal) yang akan digunakan
42
untuk proses produksi. Tiga komponen investasi riil yaitu investasi tetap
perusahaan (business fixed investment), investasi untuk perumahan, dan investasi
perubahan bersih persediaan perusahaan (net change in business inventory).
Selanjutnya yang dimaksud dengan investasi finansial merupakan investasi
terhadap surat berharga misalnya pembelian saham, obligasi dan lain sebagainya.
Pertimbangan-pertimbangan utama yang perlu dilakukan dalam memilih
suatu jenis investasi adalah tingkat bunga yang berlaku, tingkat pengembalian
(rate of return) dari proyek investasi dan prospek (harapan berkembang) dari
proyek investasi pada waktu yang akan datang (Mangoesoebroto dan Algifari,
1998). Hal senada juga diungkapkan oleh Mankiw (2003) bahwa investasi
bergantung pada tingkat bunga. Tingkat bunga yang dimaksud disini adalah
tingkat bunga riil. Tingkat bunga riil mengukur biaya pinjaman yang sebenarnya
sehingga menentukan jumlah investasi. Jadi ketika tingkat bunga riil naik,
semakin sedikit proyek investasi yang menguntungkan. Sedangkan tingkat bunga
nominal adalah tingkat bunga yang dilaporkan. Tingkat bunga inilah yang dibayar
investor untuk meminjam uang
Tingkat
bunga
riil, r
Fungsi
Investasi, I(r)
Kuantitas investasi, I
Gambar 7. Hubungan Antara Tingkat Bunga Riil dengan Kuantitas Investasi
Sumber: Mankiw (2003)
43
Hubungan antara tingkat bunga riil dengan investasi yang berbanding
terbalik antara satu dengan yang lain (bersifat negatif) dapat ditunjukkan secara
grafis pada Gambar 7.
Menurut Delong (2002) selain suku bunga, faktor lain yang menentukan
suatu perusahaan untuk melakukan investasi adalah jumlah uang yang tersedia di
perusahaan dan total keuntungan. Sukirno (2006) melengkapi apa yang telah
dinyatakan oleh Mangosoebroto dan Delong, bahwa selain suku bunga dan
keuntungan perusahaan, keputusan untuk berinvestasi ditentukan juga oleh
(1) ramalan mengenai keadaan ekonomi di masa depan, (2) kemajuan teknologi,
dan (3) tingkat pendapatan nasional dan perubahan-perubahannya.
3.3.
Inflasi
Inflasi didefinisikan sebagai kenaikan harga umum secara terus-menerus
dan persisten dari suatu perekonomian (Susanti, Ikhsan dan Widayanti, 2000; dan
Putong, 2003). Hal senada juga diungkapkan oleh Na'im (2001) yang menyatakan
bahwa inflasi merupakan kecenderungan harga-harga barang dan jasa termasuk
faktor-faktor produksi, diukur dengan satuan mata uang yang semakin naik secara
umum dan terus-menerus.
Menurut Sukirno (2006) berdasarkan sumber atau penyebabnya, maka
inflasi dapat dibedakan menjadi tiga jenis yaitu:
1.
Inflasi desakan biaya, yaitu kenaikan harga-harga yang disebabkan oleh
kenaikan dalam biaya produksi sebagai akibat kenaikan harga bahan mentah
atau kenaikan upah.
44
2.
Inflasi impor, yaitu kenaikan harga-harga yang disebabkan oleh kenaikan
harga-harga barang impor yang digunakan sebagai bahan mentah produksi
dalam negeri.
3.
Inflasi tarikan permintaan, yaitu kenaikan harga-harga yang disebabkan
oleh pertambahan permintaan yang besar yang tidak dapat dipenuhi oleh
kemampuan memproduksi yang tersedia.
Apabila berdasarkan sifatnya atau tingkat kelajuan harga-harga yang
berlaku, inflasi dapat dibedakan menjadi inflasi merayap, inflasi sederhana
(moderate) dan hiperinflasi. Inflasi merayap adalah proses kenaikan harga-harga
yang lambat jalannya. Inflasi sederhana apabila tingkat inflasi mencapai 5 hingga
10 persen. Hal ini biasanya terjadi di negara-negara berkembang. Sedangkan yang
dimaksud dengan hiperinflasi adalah proses kenaikan harga-harga yang sangat
cepat, yang menyebabkan tingkat harga menjadi dua atau beberapa kali lipat
dalam masa yang singkat.
Berdasarkan asalnya inflasi dibagi menjadi dua yaitu (1) inflasi yang
berasal dari dalam negeri (domestic inflation) yang timbul karena terjadinya
defisit dalam pembiayaan dan belanja negara yang terlihat pada anggaran belanja
negara. Untuk mengatasinya biasanya pemerintah mencetak uang baru. Selain itu
kenaikan harga tersebut juga bisa dikarenakan musim paceklik (gagal panen) serta
bencana alam yang berkepanjangan dan (2) inflasi yang berasal dari luar negeri.
Karena negara-negara yang menjadi mitra dagang suatu negara mengalami inflasi
yang tinggi maka harga barang- barang dan ongkos produksi di negara tersebut
juga tinggi atau relatif mahal. Sehingga bagi negara pengimpor terpaksa menjual
barang tersebut di dalam negeri dengan harga yang mahal (Putong, 2003).
45
Inflasi umumnya memberikan dampak yang kurang menguntungkan dalam
perekonomian. Akan tetapi, sebagaimana dalam salah satu prinsip ekonomi bahwa
untuk jangka pendek terdapat trade off antara inflasi dan pengangguran. Hal ini
menunjukkan bahwa inflasi dapat menurunkan tingkat pengangguran atau inflasi
dapat dijadikan salah satu cara untuk menyeimbangkan perekonomian negara.
Jadi sebenarnya inflasi mempunyai dampak positif dan negatif. Akibat negatif
yang dapat ditimbulkan oleh inflasi adalah (1) menurunkan pendapatan riil orangorang yang berpendapatan tetap, (2) mengurangi nilai kekayaan yang berbentuk
uang dan (3) memperburuk pembagian kekayaan khususnya kekayaan yang
bersifat keuangan (Sukirno, 2006). Sedangkan dampak positif dari inflasi (Putong,
2003) adalah (1) bagi pengusaha barang-barang mewah (high end) yang mana
barangnya lebih laku pada saat harganya semakin tinggi (masalah prestise), (2)
masyarakat akan semakin selektif dalam mengonsumsi, produksi akan diusahakan
seefisien mungkin dan konsumtifisme dapat ditekan, (3) inflasi yang
berkepanjangan dapat menumbuhkan industri kecil dalam negeri menjadi semakin
dipercaya dan tangguh dan (4) tingkat pengangguran cenderung akan menurun
karena masyarakat akan tergerak untuk melakukan kegiatan produksi dengan cara
membuka usaha.
Menurut Putong (2003) angka inflasi dapat dihitung berdasarkan angka
indeks yang dikumpulkan dari beberapa macam barang kebutuhan pokok atau
utama bagi masyarakat yang diperjualbelikan di pasar dengan masing-masing
tingkat harga. Angka indeks yang memperhitungkan semua barang yang dibeli
oleh konsumen pada masing-masing harganya disebut sebagai indeks harga
konsumen (IHK atau Consumer Price Index=CPI). Berdasarkan indeks harga
46
konsumen dapat dihitung berapa besarnya laju kenaikan harga-harga secara umum
dalam periode tertentu. Biasanya setiap bulan, 3 bulan dan 1 tahun. Selain
menggunakan IHK, tingkat inflasi juga dapat dihitung dengan menggunakan GNP
atau PDB deflator, yaitu membandingkan GNP atau PDB yang diukur
berdasarkan harga berlaku (GNP atau PDB nominal) terhadap GNP atau PDB
harga konstan (GNP atau PDB riil).
3.4. Pengangguran
Pengangguran adalah keadaan tanpa pekerjaan yang dihadapi oleh
segolongan tenaga kerja, yang telah berusaha mencari pekerjaan, tetapi tidak
memperolehnya. Individu yang menghadapi masalah tersebut dinamakan
penganggur (Putong, 2003 dan Sukirno, 2006).
Berdasarkan penyebabnya pengangguran dapat dibedakan menjadi (1)
pengangguran struktural yaitu pengangguran yang diakibatkan perubahan struktur
ekonomi, (2) pengangguran siklikal yaitu pengangguran yang disebabkan
perkembangan ekonomi yang sangat lambat atau kemerosotan kegiatan ekonomi,
(3) pengangguran normal/friksional yaitu pengangguran yang terwujud apabila
ekonomi telah mencapai kesempatan kerja penuh dan (4) pengangguran teknologi
yaitu pengangguran yang disebabkan perkembangan teknologi (Sukirno, 2006).
Sedangkan apabila berdasarkan cirinya maka pengangguran dapat
dibedakan menjadi (1) pengangguran terbuka. Pengangguran ini tercipta sebagai
akibat pertambahan lowongan pekerjaan yang lebih rendah dari pertambahan
tenaga kerja. Sebagai akibatnya dalam perekonomian semakin banyak jumlah
tenaga kerja yang tidak dapat memperoleh pekerjaan, (2) pengangguran
tersembunyi adalah keadaan pengangguran yang tidak secara nyata dapat dilihat
47
dan berlaku pada kegiatan yang jumlah pekerjaan melebihi dari yang di perlukan,
(3) pengangguran musiman yaitu pengangguran yang tidak terjadi sepanjang
waktu tetapi hanya terjadi ketika kegiatan ekonomi yang dijalankan sedang dalam
keadaan tidak sibuk atau sedang tidak melakukan kegiatan. Pengangguran ini
terutama terdapat di sektor pertanian dan perikanan dan (4) setengah
pengangguran atau under employment: Tenaga kerja yang melakukan kerja-kerja
atau jam kerja yang jauh lebih rendah dari masa kerja yang lazim dilakukan dlam
sehari atau seminggu (Sukirno, 2006).
Untuk mengetahui seberapa besar jumlah pengangguran di suatu negara atau
wilayah dapat menggunakan ukuran tingkat pengangguran. Menurut Sukirno
(2006) tingkat pengangguran adalah rasio di antara jumlah pengangguran dengan
jumlah angkatan kerja pada suatu waktu tertentu dan dinyatakan dalam persen.
Sedangkan menurut Dornbusch dan Fisher (1997), tingkat pengangguran adalah
bagian dari angkatan kerja yang tidak memperoleh pekerjaan.
3.5. Hubungan Antar Variabel Makroekonomi
Menurut Dornbusch dan Fisher (1997) terdapat hubungan yang sederhana
antar variabel-variabel utama makroekonomi seperti pertumbuhan ekonomi,
pengangguran dan inflasi.
3.5.1. Hubungan Antara Pertumbuhan Ekonomi dan Pengangguran
Pengangguran
berhubungan
dengan
ketersediaan
lapangan
kerja,
ketersediaan lapangan kerja berhubungan dengan investasi. Investasi didapat dari
akumulasi tabungan, tabungan adalah sisa dari pendapatan yang tidak dikonsumsi.
Semakin tinggi pendapatan nasional maka semakin besar harapan untuk
pembukaan kapasitas produksi baru yang tentu saja akan menyerap tenaga kerja
48
baru. Dengan demikian, secara relatif semakin baik pertumbuhan ekonomi maka
makin besar harapan untuk tidak menganggur, sebaliknya bila pertumbuhan
ekonomi turun (apalagi negatif), maka tingkat pengangguran semakin besar.
Hubungan
antara
laju
pertumbuhan
riil
dan
perubahan
tingkat
pengangguran dikenal sebagai hukum Okun. Hukum ini menyatakan ”apabila
GNP tumbuh sebesar 2.5 persen di atas trend-nya, yang dicapai pada tahun
tertentu, tingkat pengangguran akan turun sebesar 1 persen”.
Apabila dicermati hukum Okun di atas, maka dapat ditarik kesimpulan baru
bahwa apabila ekonomi tumbuh (GNP atau PDB) sebesar 1 persen di atas trend
maka tingkat pengangguran akan turun sebesar ½.5 persen = 0.4 persen. Jadi bila
pengangguran ingin diturunkan sebesar 2 persen maka pertumbuhan ekonomi
haruslah dipacu hingga bisa tumbuh sebesar 5 persen di atas rata-rata.
Berdasarkan hukum Okun, maka dapat dibuatkan suatu rumus mengenai tingkat
pengangguran sehubungan dengan pertumbuhan ekonomi yaitu (Putong, 2003),
UEn = UEn-1 - 0.4 (AG-ToG)
............................................................ (3.3)
dimana:
UEn
UEn-1
AG
ToG
0.4
=
=
=
=
=
Tingkat pengangguran tahun sekarang
Tingkat pengangguran tahun lalu
Actual growth (pertumbuhan aktual)
Trend of growth (tingkat pertumbuhan rata-rata)
Konstanta pertumbuhan pengangguran apabila
pertumbuhan ekonomi naik 1% di atas rata-rata
Catatan: semua nilai dalam %
3.5.2. Trade Off Antara Inflasi dan Pengangguran
Mankiw (2003) mengemukakan bahwa terdapat trade-off jangka pendek
antara inflasi dan pengangguran. Hal tersebut dapat dijelaskan dengan
menggunakan kurva Philips seperti pada Gambar 8. Kurva Philips dapat
49
menggambarkan keterkaitan antara inflasi dan tingkat pengangguran, dimana
semakin tinggi tingkat pengangguran, laju inflasi akan semakin rendah
(Dornbusch dan Fisher, 1997).
Kurva Philips dalam bentuk modernnya menyatakan bahwa tingkat inflasi
tergantung pada tiga kekuatan yaitu (1) inflasi yang diharapkan, (2) deviasi
pengangguran dari tingkat alamiah, yang disebut pengangguran siklis dan
(3) guncangan penawaran (Mankiw, 2003). Tiga kekuatan tersebut dapat
ditunjukkan pada persamaan berikut:
π = πe - β (u - un ) + v .......................................................................
(3.4)
dimana:
π
πe
β
(u - un )
v
= Inflasi
= Inflasi yang diharapkan
= Parameter yang mengukur respon inflasi terhadap
penganguran siklis
= Pengangguran siklis
= Guncangan penawaran
Tanda minus sebelum simbol pengangguran siklis mengandung arti bahwa
pengangguran yang tinggi cenderung mengurangi inflasi.
Laju Inflasi
Tingkat Pengangguran
Gambar 8. Trade-off Jangka Pendek antara Inflasi dan Pengangguran
Sumber: Dornbusch dan Fisher (1997)
Pada persamaan 3.4 dapat diketahui bahwa kurva Philips jangka pendek
juga tergantung pada tingkat inflasi yang diharapkan. Karena semua orang akan
50
menyesuaikan ekspektasi inflasi mereka sepanjang waktu maka trade-off antara
inflasi dan pengangguran akan bertahan dalam jangka pendek. Pembuat kebijakan
tersebut tidak bisa mempertahankan inflasi di atas inflasi yang diharapkan
(dengan demikian pengangguran di bawah tingkat alamiah) selamanya. Secara
berangsur-angsur, ekspektasi beradaptasi pada sebesar apapun tingkat inflasi yang
dipilih pembuat kebijakan tersebut. Dalam jangka panjang, dikotomi klasik
berlaku, pengangguran kembali ke tingkat alamiah dan tidak ada trade-off antara
inflasi dan pengangguran.
Inflasi, m
Inflasi yang
diharapkan
tinggi
Inflasi yang
diharapkan
rendah
Pengangguran, u
Gambar 9. Pergeseran dalam Trade-off Jangka Pendek
Sumber: Mankiw (2003)
3.6.
Otonomi Daerah
Otonomi daerah menurut UU No. 22 Tahun 1999 adalah penyerahan
wewenang oleh pemerintah kepada daerah otonom dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Berdasarkan penjelasan UU No. 25 Tahun
1999 disebutkan bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, NKRI
dibagi atas daerah-daerah provinsi, kabupaten dan kota. Dan tiap-tiap daerah
tersebut mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan
51
pemerintahannya untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan
pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat.
Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dapat dipandang sebagai suatu
strategi yang memiliki tujuan ganda, yaitu (1) merupakan suatu strategi untuk
merespon tuntutan masyarakat daerah terhadap sharing of distribution income dan
kemandirian sistem manajemen di daerah dan (2) memperkuat perekonomian
daerah untuk memperkokoh perekonomian nasional dalam rangka menghadapi era
perdagangan bebas.
Selain itu, otonomi daerah yang diberlakukan sejak awal Januari tahun 2001
juga memberikan kesempatan yang luas bagi daerah untuk meningkatkan kinerja
daerah guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah. Prinsip otonomi
bukanlah sistem sendiri, melainkan subsistem dari sistem pemerintahan nasional,
dengan asas desentralisasi dilaksanakan secara bersama dengan dua asas lainnya
dekonsentrasi dan perbantuan. Kebijakan nasional di seluruh wilayah negara
adalah mengikat dan harus dipatuhi daerah-daerah. Ini berarti kebijakan
pembangunan nasional dilakukan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
berhak menetapkan kebijakan daerah sebagai penjabaran dari kebijakan nasional.
Dasar acuan dari pelaksanaan otonomi daerah adalah UU No. 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah yang direvisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004
dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Daerah yang selanjutnya direvisi menjadi UU No. 33 Tahun 2004. Pada
intinya UU No. 32 Tahun 2004 mendesentralisasikan kewenangan kepada
pemerintah daerah untuk mengambil keputusan mengenai perencanaan dan
pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan kepada pemerintah daerah,
52
sedangkan UU No. 33 tahun 2004 merubah secara mendasar keseimbangan
keuangan pusat dan pemerintah daerah melalui pembagian hasil (revenue sharing)
baik dari pendapatan pajak maupun non pajak. Berlakunya undang-undang
tersebut akan memberikan tanggung jawab yang besar kepada daerah dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan pengelolaan daerah.
Kebijakan lain yang dikeluarkan pemerintah adalah pemerintah daerah
diberi kewenangan yang lebih luas, nyata dan bertanggung jawab dalam
mengelola administrasi pemerintahan dan keuangan termasuk penanaman modal
yang tertuang dalam UU No. 34 Tahun 2000. Undang-Undang tersebut lahir
sebagai penyempurnaan dari UU No. 18 Tahun 1997, yang intinya memberikan
peluang kepada kabupaten dan kota dalam menggali potensi sumber-sumber
keuangannya dengan menetapkan jenis pajak dan retribusi daerah.
Keleluasaan
yang
diberikan
kepada
pemerintah
daerah
untuk
mengoptimalkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui pajak dan retribusi
daerah bagi sejumlah daerah berhasil meningkatkan PAD-nya. Namun di sisi lain
dapat menimbulkan pengaruh negatif yaitu akan menyebabkan ekonomi biaya
tinggi (high cost economy) apabila penerapan pajak dan retribusi dimaksud
berlebihan dan tidak memperhitungkan daya dukung perekonomian lokal dan
nasional. Contohnya (1) pengenaan pungutan atas lalu lintas barang dan
penumpang antar provinsi atau antar kabupaten dan (2) munculnya peraturanperaturan daerah (Perda) yang disinyalir dapat menghambat perkembangan
investasi misalnya yang terjadi di Jawa Timur. Menurut hasil studi yang dilakukan
BPM Jawa Timur dan UNAIR (2004) dapat diketahui bahwa terdapat
9 Kabupaten/Kota yang mengeluarkan Perda-Perda yang dinilai memberatkan
53
investor, yaitu Kabupaten Gresik, Jombang, Blitar, Magetan, Probolinggo, Kediri,
Bondowoso, Pasuruan dan Kota Surabaya.Total Perda yang dikeluarkan adalah
17 Perda seperti yang tercantum dalam Lampiran 5. Kabupaten yang
mengeluarkan perda bermasalah terbanyak adalah Kabupaten Gresik. Salah
satunya yaitu Perda No. 39 Tahun 2000 tentang Sumbangan Pihak Ketiga kepada
Pemerintah Kabupaten Gresik. Permasalahannya adalah (1) tidak seharusnya
sumbangan di-Perda-kan, mengingat sumbangan bersifat sukarela dan (2) makin
diperkuatnya Perda tersebut dengan terbitnya surat Bupati Gresik Nomor
970/21/J/403.63/2003 tertanggal 23 Maret Tahun 2003 perihal Permintaan
Sumbangan kepada para pengusaha di Kabupaten Gresik.
Di sisi lain adanya otonomi daerah juga memberikan dampak positif
khususnya terhadap peningkatan kualitas pelayanan dan kemudahan dalam hal
perijinan. Dengan adanya otonomi daerah, perijinan penanaman modal dapat
diselesaikan di daerah yang sebelumnya harus dilakukan di pusat, contohnya ijin
untuk PMA. Pelimpahan wewenang ini diharapkan dapat mempermudah proses
perijinan dengan biaya yang lebih murah sehingga iklim usaha di daerah menjadi
lebih kondusif dan dapat menarik investor untuk berinvestasi di daerah tersebut.
Beberapa kota/kabupaten yang mulai menerapkan sistem perijinan satu atap
merupakan langkah awal untuk menuju proses perijinan yang cepat, transparan
dan mudah. Tidak terkecuali provinsi Jawa Timur, pada tahun 2008 hampir 80
persen daerah di Jawa Timur telah menerapkan pelayanan satu atap dalam sehari
atau one day service dalam pengurusan ijin berinvestasi (Dinas Informasi dan
Komunikasi Jatim, 2007). Penciptaan iklim investasi yang kondusif juga didukung
oleh regulasi pemerintah pusat yaitu dengan dikeluarkannya UU No. 1 Tahun
54
2007 tentang Perpajakan dan Peraturan Mendagri No. 24 Tahun 2006 tentang
Pedoman Pelayanan Satu Pintu. Kemudahan-kemudahan tersebut diharapkan
dapat menarik investor untuk berinvestasi di Jawa Timur, yang pada akhirnya
dapat meningkatkan realisasi investasi baik PMDN maupun PMA.
Adanya dampak positif dan negatif akibat pelaksanaan otonomi daerah juga
didukung oleh Bahl (1998) yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh positif dan
negatif dari otonomi daerah atau desentralisasi. Kelebihan atau pengaruh positif
desentralisasi adalah sebagai berikut (1) kesejahteraan akan lebih tinggi karena
penyediaan jasa dan barang publik lebih cocok dengan permintaan penduduk,
(2) pemerintah daerah lebih bertanggung jawab untuk kualitas barang dan jasa
yang disediakan, (3) penduduk memiliki keinginan untuk membayar yang lebih
tinggi atas barang dan jasa publik karena preferensi mereka lebih dihargai dan
(4) meningkatkan pendapatan pemerintah karena pemerintah daerah mengenal
objek pajak lebih baik sehingga pendapatan dari pajak lebih tinggi. Sedangkan
kelemahan desentralisasi adalah (1) kontrol terhadap inflasi menjadi lebih sulit
karena pengeluaran oleh pemerintah daerah lebih sulit dikendalikan, (2) usaha
untuk mengoptimalkan sumber dana dalam pembangunan pertanian, industri dan
infrastruktur publik akan lebih sulit dan (3) ketimpangan antar daerah menjadi
lebih tinggi.
Selanjutnya,
Martinez
(2001)
menyatakan
bahwa
desentralisasi
berhubungan dengan efisiensi, distribusi sumberdaya regional dan stabilisasi
ekonomi makro. Pelaksanaan desentralisasi akan memperbaiki efisiensi ekonomi
dan distribusi sumberdaya regional tapi mempersulit stabilitas ekonomi makro.
Download