model kelembagaan penunjang pengembangan pertanian di lahan

advertisement
MODEL KELEMBAGAAN PENUNJANG PENGEMBANGAN PERTANIAN
DI LAHAN LEBAK1
Syahyuti
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian
Jl. A. Yani 70 Bogor 16161
PENDAHULUAN
Sebelum sampai kepada “Apa model kelembagaan penunjang yang sesuai
untuk masyarakat petani di lahan rawa lebak?”, maka penulis awali dengan beberapa
hal penting terlebih dahulu. Pertama, penulis belum memiliki pengetahuan yang cukup
tentang apa dan bagaimana masyarakat (petani) di lahan rawa lebak. Kedua,
karakteristik masyarakat di lahan lebak tidaklah seragam. Ada variasi antara satu
kampung dengan kampung lain, antara desa dengan desa lain, dan seterusnya. Karena
itu, memberi solusi (model) yang general jelaslah mengada-ada. Ketiga, dalam konsep
berilmu dikenal setidaknya empat langkah pokok secara berurutan, yaitu kemampuan
membedakan, lalu mengelompokkan, diteruskan dengan mengurutkan, dan terakhir
kemampuan menganalisis dan mensintesis. Mencari model adalah suatu kegiatan yang
lebih lanjut lagi, yang hanya dapat dilakukan setelah keempat langkah tersebut
diselesaikan secara baik.
Karena itu, dalam makalah ini penulis akan memberikan kemampuan tentang
bagaimana mengenali sebuah kelembagaan, membedakan sifat dasar kelembagaan
satu dengan lainnya, dan melihat relasi antarkelembagaan. Model relasi kelembagaan
apa yang sesuai, akan dapat dijawab sendiri nantinya oleh pelaku langsung yang
bekerja di lahan rawa lebak, baik aparat pemerintah, penyuluh, LSM, pihak perguruan
tinggi, dan lain-lain.
Jadi, makalah ini lebih kepada “memberi alat untuk menganalisis” dari pada
“menyodorkan model”. Alat analisis tersebut, penulis sebut dengan “analisis
kelembagaan” (lebih jauh dapat dibaca dalam Syahyuti, 2003). Dari berbagai literatur,
penulis mengintroduksikan satu konsep, bahwa sisi internal sebuah kelembagaan dapat
dibagi atas dua aspek, yaitu aspek kelembagaan (nilai, norma, aturan, etika, dll) dan
aspek keorganisasian (struktur, peran, wewenang, otoritas, keanggotaan, dll).
MENGENALI SEBUAH KELEMBAGAAN
Sebelum sampai kepada bagaimana mengenali sebuah kelembagaan, perlu
diinformasikan lebih dahulu apa saja bentuk-bentuk kesalahan (bepikir dan berperilaku)
1
Disampaikan dalam Workshop Nasional Pengembangan Lahan Rawa Lebak, Balittra tanggal 11-12
Oktober 2004 di Banjarbaru dan Kandangan, Kalimantan Selatan.
26
yang telah terjadi selama ini dalam pengembangan kelembagaan pertanian dan
pedesaan di Indonesia.
Sesat Pikir dalam Pengembangan Kelembagaan Selama Ini
Sesat pikir (fallacy) merupakan fenomena yang hidup di tengah masyarakat
sehari-hari, yang eksistensinya dijaga dengan sengaja atau pun tidak. Hambatan untuk
pemikiran yang lurus dan jernih disebabkan oleh adanya purbasangka, propaganda,
otoritarianisme, kurangnya pengetahuan tentang hukum berpikir yang benar, dan tidak
cermat menggunakan kata-kata (Mundiri, 1999). Diskusi yang bertele-tele dan tidak
kunjung mencapai kesepakatan merupakan contoh dari sesat pikir.
Selama ini, hampir tiap program mengintroduksikan satu kelembagaan baru ke
pedesaan. Kelembagaan dijadikan agent of change. Namun, ditemukan berbagai
pendekatan yang keliru dalam pengembangan kelembagaan, khususnya bagi
kelembagaan yang tergolong ke dalam enacted institution, sebagai berikut:
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
Kelembagaan-kelembagaan yang dibangun terbatas hanya untuk memperkuat
ikatan-ikatan horizontal, bukan ikatan vertikal. Anggota suatu kelembagaan terdiri
atas orang-orang dengan jenis aktivitas yang sama.
Kelembagaan dibentuk lebih untuk tujuan distribusi bantuan dan memudahkan
tugas kontrol dari pelaksana program, bukan untuk peningkatan social capital
masyarakat.
Struktur yang dibuat relatif seragam, yang bias kepada bentuk kelembagaan
usahatani padi sawah irigasi teknis di Pantura Jawa. Ini karena pengaruh
keberhasilan pilot project Bimas tahun 1964 di Subang, dan iklim pemerintahan
yang sentralistis yang tidak memberi ruang pada kenyataan pluralisme yang ada
dalam masyarakat kita.
Meskipun kelembagaan sudah dibentuk, namun pembinaan yang dijalankan
cenderung individual. Hal ini dipengaruhi konsep trickle down effect yang umum
dipakai dalam dunia penyuluhan.
Pengembangan kelembagaan selalu menggunakan jalur struktural, dan lemah
dari pengembangan aspek kulturalnya. Struktur organisasi dibangun lebih dahulu,
untuk kemudian berharap agar perilaku orang-orang di dalamnya bisa mengikuti.
Karena proyek yang selalu mepet, maka pemenuhan administrasi proyek lebih
menjadi prioritas.
Introduksi kelembagaan lebih banyak melalui budaya material dibanding nonmaterial, atau merupakan perubahan yang materialistik.
Introduksi kelembagaan baru telah merusak kelembagaan lokal yang ada
sebelumnya, termasuk merusakan hubungan-hubungan horisontal yang telah
ada.
27
(8)
Jika dicermati secara mendalam, pada hakikatnya, pengembangan kelembagaan
masih lebih merupakan jargon politik daripada kenyataan yang riil di lapangan.
Dengan membungkus suatu kebijakan dengan “pengembangan kelembagaan”
seolah-olah pelaksana program telah bersifat menghargai kearifan lokal, lebih
sosial, dan lebih partisipatif. Padahal mungkin teknologi sebagai entry point-nya,
bukan kelembagaan.
(9)
Kelembagaan pendukung untuk usaha pertanian tidak dikembangkan dengan
baik, karena struktur pembangunan yang sektoral. Departemen Pertanian
wewenangnya semakin dipersempit, terfokus pada kegiatan budidaya. Dengan
memperhatikan kelembagaan penunjang, sebagaimana fokus paper ini, adalah
suatu bentuk koreksi dari kesalahan sebelumnya. Secara prinsip, memang
kelembagaan penunjang yang paling mungkin direkayasa, selain bahwa memang
di tataran itulah peran penting pihak luar (pemerintah dan lain-lain) dalam
pembangunan pertanian di pedesaan.
Perilaku yang salah di atas datang dari pola pikir berikut:
(1) Kelembagaan lokal dianggap tidak memiliki “jiwa” ekonomi yang memadai, karena
itu harus diganti. Paham ini berasal dari ideologi modernisasi.
(2) Menganggap bahwa pertanian gurem adalah permasalahan individual, bukan
permasalahan kelembagaan. Maka, pendekatannya juga individual. Istilah yang
sering dipakai adalah “pengembangan SDM”.
(3)
Menganggap bahwa permasalahan kelembagaan ada di tingkat petani belaka,
bukan pada superstrukturnya. Dengan alasan itu, dalam pelaksanaan proyek
yang diperbaiki hanya kelembagaan pada level bawah, padahal mungkin
permasalahan (dan sumber permasalahan) ada pada pelaksana, misalnya
pemahaman yang lemah tentang strategi kelembagaan, bekerja dengan tidak
cukup waktu, dukungan tenaga yang tidak memadai, dan lain-lain.
(4)
Kesatuan administrasi pemerintahan dipandang sebagai satu unit interaksi sosial
ekonomi pula. Desa misalnya dipandang sebagai satu unit yang padu, karena itu
kelembagaan yang dibangun sebatas dalam lingkup satu desa saja.
Pedagang dipersepsikan “buruk” dalam pengembangan usaha pertanian. Ini sisa
dari propoganda Partai Komunis Indonesia (PKI), yang menyatakan bahwa kaum
pedagang merupakan satu dari enam “setan desa”.
(5)
(6)
Lebih berorientasi kepada produksi, sehingga yang dibangun adalah
kelembagaan-kelembagaan yang ada pada kegiatan produksi saja.
Ciri Khas Masyarakat Petani di Lahan Lebak
Secara umum, beberapa permasalahan mendasar yang ditemui pada
masyarakat petani di lahan lebak adalah (Tampubolon et al., 1991; Minsyah dan
Sudana, 1991; SWAMPS-II, 1991): masalah agrofisik atau abiotik berupa rendahnya
28
kesuburan tanah, tingginya kemasaman tanah, lapisan pirit yang labil, gambut,
genangan air, dan sulitnya mengontrol kekeringan dan genangan air; masalah biologis
berupa serangan hama penyakit; dan masalah sosial ekonomi berupa keterbatasan
modal, keterbatasan tenaga kerja, rendahnya mutu dan kesediaan prasarana, dan
lemahnya lembaga pemasaran.
Pada tahap awal perkembangan ilmu antropologi dikenal paradigma
“geographical determinism”. Intinya, alam tempat hidup suatu kelompok masyarakat
memberi pengaruh yang sangat kuat dalam bagaimana masyarakat membangun
struktur dan kulturnya dalam menjalankan kehidupan. Kemudian, pendapat ini dikritik
dengan “cultural determinism”, dimana meskipun alam memang memberi keterbatasan,
namun manusia masih memiliki beberapa alternatif untuk menyiasatinya.
Dalam konteks tersebut, kelembagaan di lahan lebak yang memiliki banyak
kendala alam, terutama kesuburan alamnya, maka kita akan menemukan stereotipe
masyarakat yang khas secara individu (human capital) dan juga secara sosial (social
capital). Hal ini diperkuat penelitian Tampubolon (1991) di lahan pasang surut, bahwa
penataan layanan pendukung dan kelembagaan perlu pola dan arah kebijakan yang
khas sesuai dengan permasalahan alam dan sosial masyarakatnya.
Mengenali Sifat Dasar Kelembagaan
Ada tarikan kuat yang menginginkan seluruh sisi kehidupan ditata menurut
prinsip-prinsip pasar. Semua aspek kehidupan harus dapat dirasionalisasikan menurut
teori ekonomi, dan dikalkulasikan dalam dimensi untung-rugi. Paradigma modernisasi
berpandangan bahwa evolusi kelembagaan komunitas menuju kelembagaan pasar
adalah suatu keniscayaan. Suatu masyarakat baru akan disebut modern bila telah
memiliki strukur, manajemen, dan rasionalitas berdasarkan dunia ekonomi kapitalis.
Pada dasarnya dunia sosial dibangun di atas tiga pilar sebagai elemen sosial
pokok, yang secara fundamental ketiganya sangat berbeda. Masing-masing memiliki
paradigma, ideologi, nilai, norma, rules of the game, dan bentuk keorganisasiannya
sendiri. Tiga pilar yang dimaksud adalah: pemerintah, komunitas, dan pasar. Ketiganya
direpresentasikan menjadi kekuatan politik, sosial, dan ekonomi. Masing-masing
memiliki peran masing-masing yang harus dijalankan secara ideal. Konfigurasi kekuatan
antara ketiganya merupakan dasar pembentuk suatu sistem sosial. Antara komunitas,
pemerintah, dan pasar memiliki perbedaan yang hakiki (Uphoff, 1986) seperti dapat
dilihat Tabel 1. Seluruh kelembagaan di lahan lebak, atau dimana pun, dapat dikembalikan pada ke tiga bentuk tersebut.
Kenyataan lain, dari ketiga bentuk sifat dasar kelembagaan di atas, sesungguhnya suatu masyarakat (termasuk kelembagaan di dalamnya) menjurus hanya pada dua
bentuk, yaitu “masyarakat komunitas” yang dicirikan oleh kelembagaan komunitasnya
yang kuat dengan “masyarakat pasar” yang ruhnya didominasi kelembagaan pasar
(secara diametral dinarasikan pada Tabel 2).
29
Tabel 1. Perbedaaan Karakteristik antara Komunitas, Pemerintah, dan Pasar
Aspek
1. Orientasi utama
2. Sifat kerja sistem
sosialnya
3. Sandaran kontrol
sosial
4. Bentuk simbol
yang diterapkan
5. Bentuk norma
utama
Komunitas
Pemenuhan
kebutuhan hidup
komunal
Demokratis,
berdasarkan
kesetaraan
Kultural (cultural
compliance)
Mistis
Komunal dan
kepatuhan
Pemerintah
Melayani penguasa
dan masyarakat.
Pasar
Keuntungan (profit
oriented)
Monopolis
Kompetitif.
Pemaksaaan
(coersif compliance)
Pseudorealis
Penuh perhitungan
(renumeration
compliance)
Realis
Modifikasi perilaku
Individualis
Sumber : Uphoff, 1986.
Tabel 2. Perbedaan Karakteristik Antara Tipe Masyarakat Komunitas dengan Masyarakat Pasar
Masyarakat komunitas
-Mengutamakan hubungan personal pada pola
ekonomi partikularistik. Lebih melihat manusia
dengan hubungan sosialnya daripada barang,
jasa, atau uangnya (gemeinschaft).
-Norma utamanya adalah resiprositas.
-Kelembagaannya memiliki multifungsi dan urusan
(multistranded).
-Hubungan sosial berdasarkan atas status
-Posisi dan peran terbentuk secara “otomatis”,
melalui mekanisme yang baku.
-Fungsi pasar melekat dalam sistem kekerabatan,
yang kurang menerapkan prinsip ekonomi.
-Selalu mengaitkan dengan agama (transedental),
nilai dan norma
-Terkait dengan sentimen genealogis
-Berstruktur duo paternalistik, pemimpin--pengikut.
-Berlandaskan konsep: desa sebagai unit otonom
swadaya mandiri yang tertutup.
-Menjaga keutuhan dan stabilitas.
-Seimbang antara hubungan horizontal dan
vertikal
30
Masyarakat pasar
- Hubungannya bercorak universalistik. Dalil-dalil
ekonomi diterapkan tanpa membeda-bedakan
orang yang berhubungan (=gesselschaft).
- Norma utamanya berdasarkan hubungan kontrak.
- Tiap kelembagaannya terspesialisasi, hanya
memiliki satu tujuan (monostranded).
- Hubungan sosial berdasarkan kontrak.
- Posisi dan peran melalui repositioning: Orang
bisa dicopot atau didudukkan apabila dipandang
tidak efisien atau ekonomis.
- Pasar berada di luar kewajiban sistem
kekerabatan
- Profan, dengan hukum modern liberal kapitalis.
Agama dilakukan oleh kelembagaan khusus,
lembaga agama.
- Terkait dengan fungsional. Mengutamakan
prinsip fungsional.
- Menuju struktur multi: elit-- tengah—pengikut.
- Desa sebagai pelaku pasar, takluk pada pasar.
Pelaku ekonomi adalah individu, bukan desa.
- Mengutamakan pencapaian hal baru.
- Hubungan horizontal merupakan persaingan.
Dengan dipandu oleh tabel di atas, pertanyaan yang perlu dijawab adalah:
sudah sampai di mana tiap-tiap kelembagaan yang kita jumpai pada masyarakat di
lahan lebak? Kelembagaan mana saja yang masih berciri komunitas, dan mana yang
sudah berciri pasar? Atau, pada satu kelembagaan, mana yang lebih kuat: ciri
komunitas atau ciri pasar? Bagian mana saja yang berciri komunitas dan mana yang
berciri pasar? Lebih jauh, apakah itu salah, apakah itu tidak sesuai? Jadi, apa yang lebih
benar dan sesuai?
Seluruh pertanyaan ini baru untuk memahami sisi internal sebuah
kelembagaan. Untuk sisi eksternalnya, yaitu bagaimana sebuah kelembagaan
berhubungan dengan kelembagaan lain, adalah hal yang lain lagi.
Memahami Kinerja Kelembagaan
Kinerja kelembagaan didefinisikan sebagai kemampuan suatu kelembagaan
untuk menggunakan sumberdaya yang dimilikinya secara efisien dan menghasilkan
output yang sesuai dengan tujuannya dan relevan dengan kebutuhan pengguna
(Peterson, 2003). Ada dua hal untuk menilai kinerja kelembagaan yaitu produknya
sendiri berupa jasa atau material, dan faktor manajemen yang membuat produk tersebut
bisa dihasilkan. Satu cara yang lebih sederhana telah dikembangkan untuk memahami
kinerja internal dan (sedikit) eksternal suatu kelembagaan, melalui ukuran-ukuran dalam
ilmu manajemen. Ada empat dimensi untuk mempelajari suatu kelembagaan
(institutional assessment), yaitu (Mackay et al., 1998):
Satu, kondisi lingkungan eksternal (the external environment). Lingkungan
sosial di mana suatu kelembagaan hidup merupakan faktor pengaruh yang dapat
menjadi pendorong dan sekaligus pembatas seberapa jauh sesuatu kelembagaan dapat
beroperasi. Lingkungan dimaksud berupa kondisi politik dan pemerintahan
(administrative and external policies environment), sosiolkultural (sociocultural
environment), teknologi (technological environment), kondisi perekonomian (economic
enviroenment), berbagai kelompok kepentingan (stakeholders), infrastuktur, serta
kebijakan terhadap pengelolaan sumberdaya alam (policy natural resources
environment). Seluruh komponen lingkungan tersebut perlu dipelajari dan dapat dianalisis bentuk pengaruhnya terhadap kelembagaan yang dipelajari. Sebagian memiliki
pengaruh yang lebih kuat dan langsung, sebagian tidak. Implikasi kebijakan yang
disusun dapat dialamatkan kepada lingkungan tersebut, jika disimpulkan telah menjadi
faktor penghambat terhadap operasioal suatu kelembagaan.
Kedua, motivasi kelembagaan (institutional motivation). Kelembagaan dipandang sebagai suatu unit kajian yang memiliki jiwanya sendiri. terdapat empat aspek
yang bisa dipelajari untuk mengetahui motivasi kelembagaan, yaitu sejarah
kelembagaan (institutional history), misi yang diembannya, kultur yang menjadi
pegangan dalam bersikap dan berperilaku anggotanya, serta pola penghargaan yang
dianut (incentive schemes). Suatu fakta sosial adalah fakta historik. Sejarah perjalanan
31
kelembagaan merupakan pintu masuk yang baik untuk mengenali secara cepat aspekaspek kelembagaan yang lain.
Tiga, kapasitas kelembagaan (institutional capacity). Pada bagian ini dipelajari
bagaimana kemampuan kelembagaan untuk mencapai tujuan-tujuannya sendiri.
Kemampuan tersebut diukur dari lima aspek, yaitu: strategi kepemimpinan yang dipakai
(strategic leadership), perencanaan program (program planning), manajemen dan
pelaksanaannya (management and execution), alokasi sumberdaya yang dimiliki
(resource allocation), dan hubungan dengan pihak luar yaitu terhadap clients, partners,
government policymakers, dan external donors.
Empat, kinerja kelembagaan (institutional performance). Terdapat tiga hal
pokok yang harus diperhatikan yaitu keefektifan kelembagaan dalam mencapai tujuantujuannya, efisiensi penggunaan sumber daya, dan keberlanjutan kelembagaan
berinteraksi dengan para kelompok kepentingan di luarnya. Terkesan di sini bahwa
kalkulasi secara ekonomi merupakan prinsip yang menjadi latar belakangnya. Untuk
mengukur keefektifan dan efisiensi misalnya dapat digunakan analisis kuantitatif
sederhana misalnya dengan membuat rasio antara perolehan yang seharusnya dengan
yang aktual tercapai, serta rasio biaya dengan produktivitas.
UPAYA MERUMUSKAN MODEL KELEMBAGAAN
Aspek yang Perlu Diperhatikan dalam Pembaruan Kelembagaan
Saat ini, kelembagaan-kelembagaan yang menunjang aktivitas pertanian di
lahan rawa lebak tentu saja sudah ada (atau pernah ada). Permasalahannya adalah
mungkin tidak berjalan, berjalan namun tidak efektif, tidak ekonomis, atau tidak adil bagi
pihak lain. Karena itu, yang harus dilakukan bukan membangun kelembagaan yang baru
sama sekali, namun lebih kepada merevitalisasi atau melakukan pembaruan kelembagaan yang sudah ada tersebut.
Pembaruan kelembagaan (institutional innovations) merupakan suatu upaya
untuk memahami apa-apa saja perubahan yang telah dialami suatu kelembagaan di
mana sebelumnya telah dilakukan beberapa usaha perbaikan. Misalnya berupa
perubahan kebijakan yang lebih mendukung atau bantuan berupa dana dan material
dari pihak donor dan pemerintah setempat.
Menurut Janssen (2002), terdapat tiga langkah yang dapat dilakukan untuk
memahami pembaruan kelembagaan, yaitu: (1) Identifikasi perubahan yang terjadi pada
lingkungan, baik berupa kondisi sosial ekonomi ataupun tekanan dari mereka yang
menerima jasa pelayanan dari kelembagaan. (2) Pelajari modifikasi apa yang dilakukan
kelembagaan sebagai respons terhadap perubahan tadi. Apakah mereka meningkatkan
kapasitas kelembagaannya dengan meningkatkan manajemen atau menciptakan
metode kerja baru, atau bahkan membuat kelembagaan baru. (3) Evaluasi kualitas dan
keefektifan dari sistem sebagai cara untuk memahami efek dari perubahan dimaksud.
32
Setelah mempelajari berbagai perubahan lingkungan, khususnya input apa yang telah
diberikan lingkungan untuk memperbaiki kinerja suatu kelembagaan secara langsung
maupun tidak langsung; maka menjadi relevan untuk mengetahui bagaimana perubahan
yang dilakukan kelembagaan tersebut untuk merespons input tersebut.
Kaitan Kelembagaan dengan Teknologi
Teknologi merupakan salah satu kunci pengembangan pertanian di lahan rawa
lebak. Teknologi yang berada -- atau akan diintroduksikan -- dalam satu kelembagaan
menjadi faktor penentu bagaimana bentuk bangun kelembagaannya. Ada keterbatasan
dan syarat keharusan yang dituntut satu teknologi tertentu. Bagaimana mengukur
kinerja kelembagaan yang ada pada sektor pertanian sangat terkait dengan teknologi
yang menjadi bagian esensial kesehariannya. Teknologi yang diaplikasikan di sawah,
ladang, dan kebun sangat berbeda dengan teknologi yang dipakai dalam industri yang
bisa diseragamkan. Para petani di seluruh dunia tidak mungkin diseragamkan, karena
mereka memiliki karakteristik alam, sosial ekonomi, dan budaya yang sangat berbeda.
Teknologi merupakan concern para peneliti teknis, sementara kelembagaan
merupakan concern mulai dari peneliti bidang sosial ekonomi sampai dengan para
pengambil kebijakan di birokrasi. Bagaimana sesungguhnya keterkaitan kelembagaan
dengan teknologi? Binswanger dan Ruttan (1978) menyatakan bahwa kelembagaan
merupakan faktor utama yang menghasilkan teknologi. Teknologi yang baik hanya dapat
dihasilkan dari suatu manajemen kelembagaan yang baik pula. Sebaliknya, Israel (1990)
melihat bahwa teknologi tertentu harus dilayani oleh kelembagaan tertentu pula. Ia
menggunakan konsep (potensi) kekhususan dan persaingan yang dimiliki oleh suatu
kelembagaan.
Beberapa Kunci Pengembangan Kelembagaan
Berbagai aspek yang semestinya diperhatikan untuk mengembangkan
kelembagaan, khususnya kelembagaan di dunia pertanian di antaranya adalah sebagai
berikut: Satu, dibutuhkan iklim makro yang “sadar kelembagaan”. Masyarakat bukan
“jumlah dari individu-individu” yang saling bebas, namun mereka semua terikat kepada
kelembagaan-kelembagaan. Tidak satu, tapi bisa dua, tiga, empat atau lebih kelembagaan. Kelembagaan merupakan wadah beraktivitas setiap manusia, dan tak ada satu
manusia pun yang tidak terikat ke dalam setidaknya satu kelembagaan. Karena itu,
salah satu jalan untuk memperbaiki individu adalah dengan “menekannya” melalui
kelembagaan-kelembagaan di tempat mana ia berada.
Dua, objeknya adalah kelembagaan, bukan individu. Individu-individu secara
sosial akan memilih satu kelembagaan sebagai wadah aktivitasnya. Tak ada satu
aktivitas yang dapat dilakukan secara bebas sama sekali. Kelembagaan secara
fungsional menghidupkan sistem sosial. Karena itu, “menggarap” kelembagaan jelas
lebih rasional, lebih efisien, dan ekonomis; daripada menggarap individu satu per satu.
33
Perubahan kelembagaan bersifat lebih permanen. Eksistensinya tidak tergantung
kepada suatu individu, tapi kepada sejumlah orang. Artinya, investasi sosial dengan
menggarap kelembagaan akan lebih ekonomis daripada kepada individu per individu.
Salah satu pendekatan yang dapat diterapkan untuk memperkuat kinerja suatu
kelompok sosial adalah melalui pendekatan social learning process (Uphoff, 1986).
Dalam pendekatan ini, seluruh anggota kelompok belajar bersama, mengalami
bersama, dan menyelesaikan segala persoalan secara bersama. Tidak hanya sekedar
solusi yang baik, tapi yang lebih penting adalah bagaimana prosesnya sehingga suatu
solusi dapat dicapai. Dengan jalan ini, selain mampu meningkatkan kapasitas individualnya, juga meningkatkan interaksi antarsesamanya. Diharapkan diperoleh perbaikan dari
sisi kerjasamanya, peningkatan komitmen terhadap tujuan, atau mungkin perubahan
struktur yang dipandang lebih baik.
Tiga, membangun kelembagaan baru: apakah berupa penggantian atau
tambahan? Perubahan sosial akan cenderung berbentuk proses penggantian, karena
pada masyarakat yang sudah hidup sekian lama, sudah mengembangkan (dan
menjaga) struktur sosial dan kompleks nilai yang stabil. Pada masyarakat dimaksud
sudah ada organisasi, person yang jelas, kompleks peran, nilai, norma, dan hukum yang
diterima dan dijalankan dengan harmonis.
Empat, menggunakan dan memperkuat modal sosial. Modal sosial berisikan
tiga hal pokok yaitu kepercayaan (trust), norma yang dijalankan, serta jaringan sosial
(social network). Kepercayaan merupakan elemen esensial pembentuk sistem sosial
menjadi sehat dan kokoh, merupakan ruh kehidupan sosial, dan mengurangi biaya
transaksi.
Lima, memperbaiki kelembagaan yang rusak. Suatu yang pernah ada dan
rusak, akan memperoleh kesan yang berbeda bagi masyarakat dibandingkan dengan
sesuatu yang baru. Apa yang dapat dilakukan dengan kelembagaan yang rusak adalah
misalnya dengan melakukan rekonstruksi sosial dengan meningkatkan kohesivitas, dan
mengelola konflik dengan menghindari paksaan (coercion). Memperbaiki kembali
hubungan horizontal dapat dilakukan dengan mengubah struktur kelembagaan yang
mengatur alokasi sumberdaya untuk mencapai suatu performance yang dikehendaki
(Pakpahan, 1989). Perencanaan sosial adalah usaha sadar dalam menentukan urutan
operasional untuk mencapai perbaikan sosial yang diinginkan. Pemerintah dapat
menggunakan beberapa opsi strategi, yaitu yang bersifat filantropis melalui ajakanajakan moral, atau secara reformis dengan melakukan intervensi langsung dengan
meningkatkan fungsi kelembagaan-kelembagaan.
Pengembangan Kelembagaan Secara Struktural dan Kultural
Ada dua jalan utama bagaimana kelembagaan terbentuk, yaitu melalui aspek
kelembagaan atau melalui aspek keorganisasian. Jalan pertama terjadi pada
34
kelembagaan-kelembagaan yang bersifat pokok dan seolah tumbuh dengan sendirinya
(crescive institution), sedangkan jalan kedua karena adanya kebutuhan yang dirasakan
(enacted institution). Jalan pertama bersifat alamiah dan jalan kedua bersifat rekayasa.
Kelembagaan yang terbentuk secara alamiah, bermula dari pematangan suatu
norma, sebagai bagian pokoknya. Suatu norma akan terbentuk secara bertahap mulai
dari cara berperilaku belaka (usage), meningkat menjadi kebiasaan (folkways), menjadi
tata kelakuan (mores), dan mantap ketika menjadi custom. Inilah yang disebut dengan
proses pelembagaan (institutionalization), yaitu proses yang dialami norma baru untuk
menjadi bagian dari kelembagaan.
Kelembagaan yang terbentuk melalui jalan kedua, yaitu dengan membangun
lebih dahulu strukturnya, umum dijumpai pada kelembagaan yang diintroduksikan dari
luar, misalnya kelompok tani dan koperasi. Struktur kelembagaan dibentuk terlebih
dahulu dengan orang-orang yang mendudukinya (pengurus), sebelum para anggota
(dan termasuk pengurus) paham tentang nilai, norma, hukum, dan aturan yang harus
dipahaminya agar dapat memainkan perannya dengan baik. Dalam membangun
struktur, perlu mempertimbangkan tiga komponen, yaitu: kompleksitas (complexity),
formalitas (formalization), dan sentralitas (centralization) seperi dikemukakan Robbins
(1989) dalam Asopa dan Beye (1997). Suatu organisasi, atau tepatnya organisasi yang
baru ada susunan perannya saja namun nilai-nilainya belum melembaga, harus menuju
kepada proses pelembagaan (institutionalization). Organisasi yang melembaga atau
kelembagaan yang dibungkus dalam organisasi, yang berisi kompleks nilai dan norma
serta perilaku berpola, merupakan bentuk ideal yang diinginkan.
BEBERAPA PANDUAN UNTUK PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN PENUNJANG
DI LAHAN LEBAK
Secara indikatif, seluruh kelembagaan yang terdapat dalam dunia pertanian di
lahan rawa lebak dapat dikelompokkan atas tiga sifat dasar kelembagaan sebagai
berikut:
(1) Kelembagaan-kelembagaan yang memiliki sifat dasar “kelembagaan komunitas” yang sedang bertransformasi menuju bentuk ”kelembagaan pasar” yaitu:
kelompok tani, koperasi dan penyedia jasa tenaga kerja.
(2) Kelembagaan-kelembagaan yang memiliki sifat dasar “kelembagaan pemerintah” yaitu: penyuluhan, dinas pertanian, dan pemerintahan daerah.
(3) Kelembagaan-kelembagaan dengan sifat dasar sebagai “kelembagaan pasar”
yaitu: penyedia input produksi, perkreditan, penyedia jasa alsintan, dan
pemasaran.
35
Berikut beberapa point sebagai acuan dalam pengembangan kelembagaan:
Perlu Upaya untuk Mentransformasi Kelompok Tani ke dalam Struktur dan Norma
Kelembagaan Pasar
Secara umum, kelompok tani pada awalnya dibangun lebih sebagai wadah
untuk penyuluhan dan distribusi bantuan. Dengan dilandasi kohesivitas masyarakat
komunitas (community in places), maka kendala yang sering dijumpai adalah lemahnya
motivasi ekonomi dalam hubungan secara berkelompok. Untuk itu, perlu dilakukan
transformasi kelompok tani menjadi kelembagaan yang semakin kental nuansanya
sebagai kelembagaan pasar.
Dari sisi aspek kelembagaan, maka introduksi nilai dan norma tentang
kemajuan ekonomi yang berpeluang untuk mereka raih, merupakan materi pokok yang
harus diinternalisasikan kepada mereka. Dari sisi aspek keorganisasian, perlu
perombakan struktur organisasi dengan prinsip kesederhanaan, sesuai kebutuhan,
kejelasan, formalisasi, dan desentralisasi.
Satu data penting yang harus diketahui terlebih dahulu adalah seberapa jauh
masyarakat menjadikan aktivitas berusahatani di lahan lebak sebagai sumber ekonomi
rumah tangga. Atau, seberapa besar ketergantungan penduduk kepada sumber daya
lahan lebak secara umum. Jika share-nya kecil, maka motivasi akan sulit diraih,
partisipasi akan lemah, dan kesediaan untuk beraktivitas secara kolektif pun akan
rendah.
Penerapan Pendekatan Learning Process dalam Pengembangan Kelembagaan
Penyuluhan
Memilih strategi pengembangan kelembagaan menurut Uphoff (1986) tergantung
kepada kapasitas pelaksananya dan kelembagaan yang sudah terbentuk (existing
condition). Pendekatan yang umum selama ini adalah berupa blue print approach.
Pendekatan blue print approach hanya cocok jika asumsinya semua masalah dan tujuan
dapat diidentifikasi, di mana petugas ahli cukup terlibat pada perekayasaan program,
sedangkan pelaksana menjadi kurang penting. Kekuatannya adalah pada kemampuan
untuk memahami permasalahan dan kondisi lapangan secara baik.
Untuk aktivitas penyuluhan yang kondisi di lapangannya sangat beragam, penyuluh sebaiknya bekerja dengan pendekatan learning process approach atau process
approach. Pilihan ini memang membutuhkan waktu lama, dan outcome-nya mungkin
akan bervariasi. Kegiatan ini membutuhkan eksperimen, evaluasi, dan pengembangan
sumberdaya manusia untuk dapat melakukan kajian secara baik. Namun, bertolak dari
kenyataan bahwa karakteristik sosial ekonomi dan budaya antarwilayah sangat
beragam, maka konsep ini lebih mampu menjamin keberhasilan, dan keberlanjutannya
lebih terjamin. Sesuai dengan konsep pengembangan kelembagaan yang harus
menghargai keunikan tiap kelompok masyarakat, maka pendekatan learning process
relatif lebih sejalan.
36
Pengembangan Kelembagaan Permodalan dengan Disiplin Ketat
Dua contoh kelembagaan permodalan yang cukup berhasil adalah Program
Program Peningkatan Pendapatan Petani-Nelayan Kecil (P4K) dan Kredit Usaha
Mandiri (KUM). Kunci keberhasilan program ini adalah berhasil membangun hubungan
horizontal dan vertikal (aspek keorganisasian), selain disiplin pelaksana dan pesertanya
(aspek kelembagaan). Seluruh peserta dikelompokkan ke dalam kelompok kecil (pada
P4K anggotanya antara 8 sampai 16 orang, sedang pada KUM lima orang).
Sebelum bantuan disalurkan, dilakukan survei untuk menyeleksi peserta
dengan langkah-langkahnya yang jelas dan tegas, yang harus dilakukan secara berurutan (Syukur, 1992). Tidak boleh satu langkah baru dilakukan jika langkah sebelumnya belum sempurna dilaksanakan. Pada P4K dikenal 15 langkah, pada KUM lima
langkah besar. Disiplin kerja yang ketat merupakan bentuk koreksi dari perilaku
pemerintah selama ini yang sering kali terlalu longgar menghamburkan uang ke
masyarakat dengan pola charity programs yang seringkali malah berdampak
kontraproduktif.
Untuk kelembagaan lain, seperti penyedia input produksi (benih, pupuk, obatobatan, dan lain-lain), penyedia jasa alsintan, dan pemasaran; yang merupakan
kelembagaan-kelembagaan yang berbasis pasar, maka peningkatan dan perbaikan
secara internal dan eksternal dapat dikembalikan kepada mekanisme pasar belaka.
Pemerintah cukup sebagai pihak yang memberi iklim kemudahan dan menjaga keadilan,
dengan menyediakan kebijakan yang kondusif, prasarana yang memadai sehingga
ongkos transaksi menjadi murah, serta mengendalikan monopoli misalnya. Dalam
konteks ini, pemerintah lokal memainkan peranan yang penting, meskipun tidak seluruh
keputusan dapat dilakukan secara mandiri.
KESIMPULAN: ACUAN UNTUK MODEL KELEMBAGAAN YANG SESUAI
Sebagaimana sudah disampaikan di Bagian Pendahuluan, makalah ini lebih
berisi pengenalan alat ditambah dengan beberapa point yang secara indikatif mungkin
sesuai untuk digunakan. Namun demikian, penulis tetap mencoba memberi masukan
untuk membantu merumuskan apa yang disebut dengan “pemilihan alternatif model
kelembagaan penunjang” tersebut.
Satu, apa yang dimaksud dengan “model” dalam konteks ini penulis pahami
sebagai bentuk struktur relasi antarberbagai kelembagaan sebagai unit-unit yang
otonom. Model yang kompleks dan multirelasi tetap dapat dipecah-pecah dalam
berbagai relasi tunggal. Dalam konteks ini, hal yang perlu dipahami adalah sifat dasar
dan status masing-masing kelembagaan yang akan mempengaruhi bentuk hubungan
secara “bilateral”. Dua kelembagaan yang sudah memiliki sifat dasar sebagai
kelembagaan pasar akan lebih mudah berinteraksi karena sudah “satu bahasa”, yaitu
bahasa ekonomi, dengan ukuran efisiensi dan keuntungan. Sebagai contoh, relasi
antara toko pupuk yang besar di kota kabupaten dengan kios pupuk eceran di desa.
37
Sebaliknya, kendala akan dijumpai dalam interaksi dua kelembagaan yang
sifat dasarnya berbeda, misalnya dalam pemenuhan tenaga kerja. Menjual tenaga pada
seseorang yang membutuhkan tidak semata-mata atas pertimbangan ekonomi. Dalam
situasi beberapa orang membutuhkan tenaga seorang buruh, maka si buruh akan
cenderung memilih bekerja pada kerabatnya, kepada mereka yang sudah biasa
menggunakan tenaganya, atau kepada si pemilik lahan jika ada relasi penyakapan di
wilayah tersebut, meskipun upahnya sama.
Dua, sebelum membicarakan model relasi antarkelembagaan tersebut, perlu
pemahaman terhadap kinerja kelembagaan masing-masing dari sisi internalnya.
Kelembagaan yang kuat secara individual merupakan modal pokok dalam melakukan
relasi dengan kelembagaan lain. Kelompok tani yang kuat bahkan dapat memenuhi
kebutuhan pupuknya sendiri tanpa tergantung kepada kios pupuk di desa, mengelola
lembaga permodalan secara mandiri, dan bahkan memasarkan langsung produksinya
tanpa melalui pedagang pengumpul yang seringkali hanya sebagai kaki tangan belaka.
Selain itu, seberapa jauh individu dalam kelembagaan sudah bertindak atas
wawasan kelembagaan. Meskipun sudah bergabung dalam kelompok tani, banyak
sekali aktivitas yang masih dilakukan secara individual. Secara prinsip, adakalanya hal
ini bisa dipahami, dan tidak selalu salah. Namun, dalam bentuk yang ideal tentu semua
harus dalam konteks kelembagaan.
Tiga, secara umum, seluruh kelembagaan menuju kepada prinsip-prinsip
kelembagaan yang dilandasi norma-norma pasar, baik itu kelembagaan yang awalnya
didasari kelembagaan komunitas, bahkan kelembagaan pemerintah sekalipun, misalnya
dengan keharusan membuat Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP).
Artinya, adalah sesuatu yang lebih tepat jika seluruh kelembagaan secara internal,
hubungan antara dua kelembagaan, dan bahkan dalam sebuah model hubungan secara
keseluruhan pada satu kawasan menggunakan indikator-indikator efisiensi dan
keuntungan sebagai pedoman. Namun demikian, tidak cukup jika semata-mata hanya
menggunakan indikator ekonomi, karena ukuran tersebut terlalu mekanistis dan
simplitis.
Empat, aspek eksternal menjadi penekan terhadap aspek internal dalam suatu
kelembagaan. Dalam konteks kesalinghubungan berbagai kelembagaan dalam suatu
sistem yang lebih besar, maka tuntutan dari sistem menentukan bagaimana masingmasing komponen harus beroperasi. Untuk memahami ini, maka kenali lebih dahulu
relasi yang existing, apakah sudah efektif dan efisien? Dari titik tersebut, baru kemudian
suatu kelembagaan menyesuaikan diri, baik dari aspek kelembagaan maupun aspek
keorganisasiannya.
DAFTAR PUSTAKA
Asopa, V.N. dan G. Beye. 1997. Management of Agricultural Research: A Training Manual.
Modul 3: Organizational Principles and Design. FAO, Rome.
38
Binswanger, Hans P. dan VW. Ruttan. 1978. Induced Innovation: Technology, Institutions and
Development. The Johns Hopkins University Press, Baltimore and London.
Israel, Arturo. 1990. Pengembangan Kelembagaan: Pengalaman Proyek-Proyek Bank Dunia.
LP3ES, Jakarta.
Janssen, Willem. 2002. Institutional Innovations in Publics Agricultural Research in Five
Developed Countries. Briefing Paper no. 52. Juli 2002. ISNAR, The Hague, Netherland.
Mackay, Ronald; Dabela S.; T. Smutylo; J. Borges-Andrade; dan C. Lusthans. 1998. ISNAR’s
Achievements, Impacts, and Constraints: An Assessment of Organizational
Performance and Institutional Impact. ISNAR, Netherland.
Minsyah, NI dan W. Sudana. 1991. Ketersediaan Sumber Daya dan Modal Petani Transmigran
Daerah Pasang Surut P-II Karang Agung I, Sumsel. Hal. 391-402. Prosiding Seminar
Penelitian Lahan Pasang Surut dan Rawa SWAMPS-II, 1990. Badan Litbang Deptan.
Mundiri, H. 1999. 60 Jenis Sesat Pikir. Penerbit Aneka Ilmu, Semarang.
Pakpahan, Agus. 1989. Kerangka Analitik untuk Penelitian Rekayasa Sosial: Perspektif Ekonomi
Institusi. Prosiding Patanas: Evolusi Kelembagaan Pedesaan di Tengah
Perkembangan Teknologi Pertanian. Pusat Penelitain Agro Ekonomi. Bogor.
Peterson, Warren; G. Gijsbers; dan M. Wilks. 2003. An Organizational Performance Assessment
System for Agricultural Research Organizations: Concepts, Methods, and Procerures.
Juni 2003. ISNAR, The Hague, Netherland.
Syahyuti. 2003. Bedah Konsep Kelembagaan: Strategi Pengembangan dan Penerapannya
dalam Penelitian Pertanian. Puslitbang Sosek Pertanian, Bogor.
Syukur, Mat. 1992. Karya Usaha Mandiri (KUM): Suatu Model Alternatif Skim Kredit untuk
Golongan Miskin di Pedesaan. Majalah Forum Penelitian Agro Ekonomi vol. 9 No. 2,
Juli 1992. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
SWAMPS-II. 1991. Hasil Utama Penelitian Sistem Usahatani Lahan Pasang Surut dan Rawa
1987-1990. Proyek Penelitian Pertanian Lahan Pasang Surut dan Rawa, Badang
Litbang Pertanian, Deptan.
Tampubolon, SMH; S. Tjakrawerdaya; dan S. Sutarman. 1991. Kajian Aspek Sosial Ekonomi dan
Kelembagaan Pengembangan Usahatani Terpadu Lahan Pasang Surut di Sumsel. Hal.
355-364. Prosiding Seminar Penelitian Lahan Pasang Surut dan Rawa SWAMPS-II,
1990. Badan Litbang Deptan.
Uphoff, Norman. 1986. Local Institutional Development: An Analytical Sourcebook With Cases.
Kumarian Press.
39
Download