366-374. Postoperative Nausea and Vomiting

advertisement
R e v i e w A r t i c l e Singapore Med J
2003 Vol 44(7) : 366-374. Postoperative
Nausea and Vomiting:
a Review of Current Literature
C M Ku, B C Ong
Mual adalah adanya kesadaran akibat eksitasi pada daerah medulla oblongata yang berhubungan
dengan pusat muntah yang memperantarai respon muntah. Pusat muntah terletaj di formation
retikularis lateral medulla oblongata dan berakhir pada ventricular keempat. Saraf aferennya
berasal dari daerah
chemoreceptor trigger zone (CTZ), apparatus vestibularis, serebelum,
korteks yang lebih tinggi, pusat batang otak serta traktus nucleus soliter. Struktur-struktur ini
kaya akan mediator kimiawi dopaminergik, muskarinik, serotoninergik, histaminik dan reseptor
opioid. Blockade reseptor-reseptor ini merupakan mekanisme kerja anti emetik.saraf aferen
bekerja melalui saraf kranialis V, VII, IX, X dan XII ke traktus gastrointestinal melaui saraf
spinalis menuju otot diafragma dan abdominal sehingga menyebabkan mekanisme aksi muntah.
chemoreceptor trigger zone terletak dekat area postrema, pada dinding lateral ventrikel ke empat
dekat obeks. Termasuk di dalamnya reseptor serotonin, dopamine, histmain, muskarinik dan
opioid. CTZ tidak dilindungi oleh sawar darah otak. Oleh karena itu, CTZ dapat diaktivasi oleh
stimulus kimiawi melalui sirkulasi sistemik melalui stimulus kimiawi melalui sirkulasi sistemik
sebaik cairan serebrospinal. Korteks serebral distimulasi oleh bau dan stress fisiologis. Gerakan
dapat menstimulasi apparatus vestibularis, yang turut menstimulasi CTZ. Sistem neurovegetatif
pada dasarnya menstimulasi gastrointestinal. Blockade rangsangan saraf ini pada CTZ tidak
mencegah muntah akibat stimulasi iritatif dari traktus gastrointestinal.
Insidensi dan faktor risiko
Anestesi umum menggunakan agen anestesi volatile yang berhubungan dengan rerata insidensi
post operasi mual dan muntah yang berkisar antara 20-30%. Post operasi mual dan muntah
disebabkan oleh multifaktorial termasuk anestesi, pembedahan dan faktor risiko individual.
Hanya beberapa dari faktor-faktor ini dapat dipengaruhi oleh ahli anestesi, dapat dilihat pada
tabel 1.
Faktor-faktor yang dapat dikontrol ahli anestesi
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi insidensi post operasi mual dan muntah termasuk
usia, jenis kelamin, riwayat operasi mual dan muntah sebelumnya atau motion, merokok,
prosedur pembedahan, durasi pembedahan dan anestesi, serta kecemasan pasien dan orang tua.
Sinclair dkk melaporkan insidensi post operasi mual dan muntah di bawah usia 50 tahun.
Penurunan usia penderita kejadian ini sekitar 13% setiap 10 tahun dan semakin meningkat per
tahunnya. Meskipun demikian, Koivuranta dkk tidak dapat menemukan hubungan usia untuk
memprediksi faktor mual, kecuali pada pasien dengan usia lebih dari 50 tahun yang menjalani
pembedahan tulang belakang dan penggantian sendi.
Wanita memiliki risiko PONV (post operatif nausea dan vomitus) 3 kali lebih tinggi daripada
pria. Perbedaan kejadian ini berhubungan dengan hormone gonadotropun. Riwayat PONV atau
motion sickness meningkatkan risiko dua hingga tiga kali. Faktor ini dilaporkan merupakan
faktor prediktor kuat dari PONV. Merokok berhubungan dengan penurunan risiko PONV.
Risiko relatif PONV pada perolol adalah 0,6. Sinclair dkk melaporkan penurunan PONV
sebanyak 34%. Beberapa operasi dilaporkan berhubungan dengan tingginya insidensi PONV
dibandingkan yang lain. Hal ini termasuk operasi plastik (pengangkatan payudara), oftalmologik
(perbaikan strabismus), THT-mulut, ginekologi, laparoskopi (sterilisasi), genitourinarius,
pembedahan ortopedi (pembedahan bahu), mastektomi dan lumpektomi. Insidensi PONV
meningkat ddari 2,8% pada pasien dengan operasi kurang dari 30 menit hingga 27,7% pada
pasien bedah dengan durasi operasi 151 hingga 180 menit. Durasi anestesi meningkatkan risiko
PONV hingga 59% selama 30 menit.
Faktor-faktor yang mempengaruhi anestesi
Beberapa factor yang berhubungan dengan anestesi, misalnya premedikasi,
jenis anestesi, obat anestesi intraoperasi, manajemen paska operasi, dan
obat anti emetic dapat mempengaruhi insidensi PONV.
Premedikasi
Premedikasi digunakan sebagai ankiolisis, sedasi, analgesi, dan untuk
mengurangi sekresi pada jalan nafas, dan respons kardiovaskular selama
induksi. Pada anak-anak ini memfasilitasi pemisahan anak-anak dari orang
tuanya dan pemakaian masker wajah selama induksi. Α-2 agonis klonidin
dapat mengurangi PONV pada anak-anak setelah perbaikan strabismus.
Klonidine dapat menurunkan PONV dengan cara menurunkan kecemasan.
Premedikasi dengan analgesik opioid dapat meningkatkan risiko PONV.
Jenis Anestesi
Menurut penelitian dilaporkan bahwa pasien dengan anestesi umum
memiliki kecendrungan yang lebih tinggi dibandingkan anestesi regional
atau blok nyeri kronis.
Zat anestesi intra operatif
Nitrit Oksida (NO)
dilaporkan menyebabkan insidensi PONV
lebih tinggi
dibandingkan zat anestesi volatile lainnya. NO dapat menstimulasi sistem
periventrikular
medularis
dopaminergik,
di
mana
terdapat
CTZ,
dan
bertanggung jawab terhadap PONV setelah pemberian NO pada manusia.
Harus dibuat peringatan saat pengurangan dosis NO untuk mengurangi
kejadian PONV karena dapat meningkatkan risiko terbangun intra operasi.
Inhalasi anestesi poten modern berhubungan dengan insidensi PONV yang
rendah dibandingkan eter dan siklopropana. Perbedaan insidensi PONV
dengan pemberian isofluran, desfluran, sevofluran, dan enfluran tidak
terdokumentasi dengan baik. Propofol adalah zat hipnotik intravena yang
berhubungan dengan insidensi PONV yang rendah saat digunakan untuk
induksi anestesi jika dibandingkan dengan tiofenton. Kenyataannya, dosis
sub-hipnotik propofol sangat efektif dalam menurunkan PONV pada anestesi
umum. Mekanisme kerja propofol dalam menurunkan PONV masih belum
diketahui. Tiofenton, etomidate, dan ketamin lebih etomogenik dibandingkan
propofol. Penggunaan pemblok antagonis neuromuskular (antikolinesterase)
seperti
neostigmin
yang
digunakan
sebagai
antagonis
blokade
neuromuskular non-depolarisasi yang dapat meningkatkan insidensi PONV.
Seiring dengan aksi muskarinik pada traktus gastrointestinal. Pemberian
atropine membarengi neostigmin dapat mengurangi PONV.
Faktor-Faktor Paska Operasi Pemicu PONV
Nyeri dapat meningkatkan insidensi PONV dengan meningkatkan waktu
pengosongan lambung. Opioid dapat digunakan untuk mengurangi nyeri
paska operasi, meskipun penggunaan opioid dapat meningkatkan PONV.
Mekanisme kerja opioid adalah stimulasi langsung CTZ, peningkatan
sensitivitas vestibular, dan penurunan motilitas lambung, usus halus dan
usus besar. Bagaimanapun profil emetogenik tiap orang berbeda. Sangat
mungkin menurunkan PONV akibat opioid dengan memilih analgesia yang
berbeda. Keseimbangan analgesia menggunakan kombinasi opioid sistemik,
blok saraf regional, anestesi local dan bentuk lain analgesia seperti NSAIDs
(non-steroidal
anti-inflammatory
drugs)
yang
dapat
digunakan
untuk
mengurangi insidensi PONV akibat opioid. Pemilihan anestesi regional
dibanding anestesi umum dapat mengurangi insidensi PONV dengan
mengurangi kebutuhan terhadap anestesi umum dan opioid selama operasi
dan dengan memberikan analgesia residual pada periode awal operasi akan
memicu penurunan penggunaan opioid paska operasi untuk analgesia.
Hipovolemia paska operasi dapat menyebabkan hipotensi, dehidrasi dan
pusing
yang
pengelolaan
pembedahan
semuanya
cairan
dapat
intraoperasi
ambulatoris.
menyebabkan
dapat
Distensi
PONV.
menurunkan
lambung
Pemberian
dan
PONV
selama
berhubungan
dengan
peningkatan PONV. Meskipun, aspirasi lambung melalui pengisap orogaster
dan tidak memberikan efek atau mampu meningkatkan risiko PONV.
Pergerakan awal paska operasi meliputi perawatan, ambulasi dan trasportasi
dengan kursi roda, kendaraan, dan papan dapat meningkatkan PONV,
terutama pada pasien yang mendapat opioid. Asupan oral paska operasi
dapat menyebabkan PONV pula. Van den Berg dkk mengungkapkan bahwa
banyak pasien muntah akibat minum paska operasi. Pasien sebaiknya
makan sesudah mereka benar-benar siap.
Obat Antiemetik
Terdapat beberapa kelas obat yang digunakan sebagai terapi anti emetik.
Hal ini berlaku pada obat yang tua seperti droperidol, metoklopramid, dan
antagonis 5-HT3 yang telah melalui uji klinis pada tahun 90-an. Terdapat
pula beberapa kelas baru obat antiemetic dengan efek dan keamanan yang
lebih baik dalam menurunkan PONV, yaitu:
Butirofenon
Droperidol adalah obat golongan butirofenon yang paling umum digunakan
sebagai antiemetic. Obat ini merupakan neuroleptik heterosiklik yang
menghambat reseptor dopaminergik pada CTZ di medula oblongata. Efek
samping meliputi sedasi, somnolen (tergantung dosis), disforia, lelah, dan
reaksi
ekstrapiramidal.
Anak-anak
lebih
rentan
terhadap
gejala
ekstrapiramidal. Efek sedasi atau somnolen dari droperidol meningkat pada
dosis di atas 0,625 mg, risiko meningkat dalam 24 jam pada dosis 1 hingga
1,25 mg, hingga 1 dalam 8 jam dengan dosis 2,5 mg. efek anti mualnya
tidak tergantung dosis, efek tersebut lebih kepada efek anti muntah dalam
jangka waktu pendek. Efek anti muntahnya meningkat seiring dengan
pertambahan dosis tidak dibawah 2,5 mg. Dosis rendah droperidol pada
kadar 0,625 atau 1,25 mg diketahui seefektif ondansentron dalam dosis 4
mg tanpa peningkatan efek sedasi, agitasi, kecemasan atau perlambatan.
Ondansentron memiliki efektivitas yang sama untuk mencegah PONV pada
orang dewasa dengan droperidol pada dosis rendah (0,625 mg), efektif pada
orang dewasa dan memiliki efek samping yang rendah.
Benzamida
Metoklopramid merupakan anti emetic dengan dosis paling efektif
dan
digunakan lebih dari 40 tahun. Obat ini merupakan antagonis dopamine,
strukturnya mirip dengan prokainamid. Efek anti emetiknya dihasilkan oleh
efek antagonis dopamine dalam CTZ. Pada dosis tinggi , obat ini merupakan
antagonis reseptor 5-HT3. Penambahan efek anti emetik bersamaan dengan
efek dopaminergik dan aksi kolinergiknya pada traktus gastrointestinal
dengan peningkatan tonus spinkter esophageal bawah dan memfasilitasi
pengosongan lambung ke dalam usus halus.
Hal ini nantinya, akan memberikan efek melawan imobilitas lambung dan
peristaltic sefalik yang menyebabkan reflex muntah. PONV yang disebabkan
opioid dapat diterapi dengan metoklopramide karena dia dapat melawan
stasis lambung yang diinduksi morfin. Dosis intravena yang diberikan adalah
10 mg pada orang dewasa dan 0,25 mg/kgBB pada anak-anak. Efek samping
sedasi, pusing, reaksi ekstrapiramidal distonik yang jarang (perut kram,
menangis, oculogirik krises, opistotonus, trismus, tortikolis) dan disritmia
jantung. Metoklopramid dilaporkan oleh sebuah penelitian metaanalisis tidak
seefektif ondansentron dan droperidol dalam mencegah PONV. Sebuah
penelitian mengemukakan bahwa metoklopramide kurang memberikan efek
antiemetik selama anestesi dikarenakan dosis harian selama ini sangat kecil.
Antagonis Reseptor Histamin
Yang dapat digunakan sebagai PONV yaitu antagonis reseptor H1, dan yang
paling sering digunakan adalah dimenhidrinate. Antagonis reseptor H1
merupakan antagonis kompetitif histamine dengan mengkopi reseptor H1
pada membrane sel efektor. Hal ini menghambat aktivitas pengikatan
histamine. Obat ini memiliki efek sedasi, terutama generasi pertama.
Dimenhidrinate memiliki efek yang bagus dalam gangguan pergerakan dan
penyakit telinga dalam dengan cara menghambat fungsi integrasi nucleus
vestibularis dengan penurunan vestibular dan input visual. Pemberian
dimenhidrinate 20 mg intravena menurunkan PONV pada pasien dewasa.
Pada anak-anak diberikan pemberian dimenhidrinate intravena dengan dosis
0,5 mg/kgBB.
Antagonis Reseptor Muskarinik
Morfin dan opioid sintetis meningkatkan sensitivitas vestibular. Apparatus
vestibular pada telinga dalam ddan nukleus traktus solitaries kaya akan
reseptor muskarinik dan histamine. Efek ini dikarenakan kemampuan
scopolamine, salah satu antagonis reseptor muskarinik dalam blockade
transmisi impuls ke medula oblongata yang meningkat melalui stimulasi
berlebihan dari apparatus vestibularis. Pemberian scopolamine sebelum
induksi anestesi melindungi PONV setelah pembedahan telinga dalam yang
menyebabkan
gangguan
fungsi
apparatus
vestibularis.
Scopolamine
transdermal dapat mengurangi PONV pada pasien yang mendapat morfin
epidural. Efek sampingnya meliputi sedasi, mulut kering dan gangguan
penglihatan.
Antagonis Reseptor 5-HT3
Obat-obat
ini
menghasilkan
antagonis
murni
pada
reseptor
5-HT3.
Pengenalan kelas obat ini pada awal 90-an memberikan kemajuan yang baik
dalam farmakoterapi dan radioterapi yang menginduksi mual muntah. Obat
ini juga telah terbukti sangat efektif mencegah dan menerapi PONV. Obat ini
tidak efektif sebagai terapi pergerakan yang menginduksi mual dan muntah.
Ondansentron,
adalah
antagonis
reseptor
5-HT3
pertama
yang
diperkenalkan, dan merupakan obat golongan ini yang paling sering
digunakan. Kelas lainnya meliputi granisetron, tropisetron dan dolasetron.
Ondansetron
Ondansetron adalah derivat karbazalone yang strukturnya mirip dengan
serotonin dan memiliki antagonis reseptor 5-HT3 yang spesifik tanpa
menghambat aktivitas reseptor dopamine, histamine, adrenergic
dan
kolinergik. Efek samping yang jarang terjadi adalah reaksi hipersensitivitas.
Efek samping lainnya adalah sakit kepala, pusing, ruam merah, nyeri kepala
ringan,
pada
pemberian
intravena
dapay
menyebabkan
peningkatan
konsentrasi plasma khusnya enzim liver transaminase, sensasi epigastrik
yang hangat dan konstipasi. Disritmia jantung diberikan sesudah pemberian
ondansentron
dan
metoklopramide.
Pada
pemberian
dosis
klinik
ondansentron (4-8 mg), droperidol (0.625 - 1.25 mg) dan metoklopramide
(10 mg) memberikan efek yang sama.
Efek optimal ondansentron adalah 8 mg untuk efek jangka panjang. Efek anti
emetik ondansentron secara konsisten lebih baik daripada efek anti
nauseanya. Ondansentron yang diberikan mendekati akhir pembedahan
lebih bermanfaat dibandingkan yang diberikan di awal pembedahan. Domino
dkk
menjelaskan
bahwa
ondansentron
dan
droperidol
lebih
efektif
dibandingkan metoklopramid dalam mencegah PONV.
.
Granisetron
Adalah antagonis reseptor selektif 6-IV3 yang lebih selektif dibandingkan
ondansentron. Pemberian intravena granisetron hanya memerlukan dosis
yang rendah, yaitu 0,04 mg/kgbb dibandingkan ondansentron. Eliminasi
paruh
waktu granisetron
(9 jam) 2,5 kali lebih lama dibandingkan
ondansentron yang mungkin memerlukan dosis dengan frekuensi yang lebih
rendah.
Biaya
granisetron
yang
tinggi
menyebabkan
keterbatasan
penggunaan obat ini.
Dolasetron
Dolasetron adalah obat yang sangat poten dan selektif untuk antagonis
reseptor 5-IVT3. Dosis profilaksis optimal adalah 50 mg jika diberikan
sebagai induksi anestesi. Meningkatkan PONV secara efektif pada dosis
dolasetron intra vena sebesar 12,5 mg. dolasetron dimetabolisme menjadi
hidrodolasetron
yang
bertanggung
jawab
antiemetik.
Hidrodolasetron
memiliki waktu paruh sekitar 8 jam dan zat ini 100 kali lebih poten
dibandingkan antagonis serotonin.
Tropisetron
Tropisetron adalah asam indoleasetat ester dari tropin yang mempengaruhi
aktivitas antagonis reseptor 5-HT3. Dosis tropisetron intravena adalah 2 mg
pada dewasa atau 0,1 mg/kgBB pada anak-anak efektif untuk pasien PONV.
Obat ini memiliki waktu paruh yang panjang dibandingkan ondansentron
namun manfaat klinisnya masih belum jelas.
Obat lainnya
Mekanisme antiemetic glukokortikoid (dexametason dan metil prednisolon)
tidak
diketahui,
kecuali
kemampuannya
sebagai
anti
emesis
pada
kemoterapi. Obat ini telah digunakan sebagai profilaksis PONV. Dosis tunggal
PONV diberikan sebanyak 8-10 mg, Efek anti emetiknya lebih baik apabila
dikombinasikan dengan obat anti emetic lain dibandingkan digunakan
sendiri. Antagonis reseptor NK1 terletak pada area medula oblongata dimana
input emetik dimasukkan. Antagonis Reseptor NK1 berperan secara luas
pada aktivitas antiemetik. Obat ini dilaporkan memiliki efektivitas yang baik
sebagai profilaksis dibandingkan ondansentron PONV.
Meskipun banyak obat yang tersedia untuk mengatasi PONV, namun hanya
satu obat tunggal yang dipercayai sebagai obat ajaib yang mampu
mengatasinya. Terapi obat kombinasi merupakan terapi yang dapat dipakai
untuk kepentingan ini dengan berbagai mekanisme kerja. Pemberian obat
kombinasi lebih efektif dibandingkan obat tunggal dalam menghambat
refleks anti emetik.
with different mechanisms of action, in
combination
should be more effective than single drugs
alone in
inhibiting the complex emetic reflex.
Moreover, any
enhanced antiemetic efficacy of combination
drug
therapy could result in the reduction of the
dosing of
the respective drugs, hence improving the
side effect
profile. Many combinations of antiemetic
drugs have
been tested with varying efficacy. The
combination of
dexamethasone with a serotonin receptor
antagonist
is superior to a serotonin receptor antagonist
alone
in preventing PONV(64,65). The combination
of
droperidol with ondansetron has been
reported to be
more effective than either drug alone in
preventing
PONV(68-70) but some authors believe there
is a lack
of evidence to support this(71). Other
combinations like
ondansetron and cyclizine(72), ondansetron
and
promethazine(73), droperidol and
metoclopramide(74),
dimenhydrinate and metoclopramide(75),
dimenhydrinate
and droperidol(76), have been tried with
varying efficacy
in preventing PONV.
NON-PHARMACOLOGIC METHODS
Non-pharmacologic methods have also been
studied
for their efficacy in PONV prevention. These
include
acupuncture, electroacupuncture,
transcutaneous
electrical nerve stimulation, acupoint
stimulation, and
acupressure. Lee and Done, in their metaanalysis,
showed that nonpharmacologic techniques
were
equivalent to commonly used antiemetic
drugs in
preventing PONV in adults but not in
children(77).
Supplemental oxygen has also been shown to
have a
protective effect against PONV(53,78). The
cost of newer
antiemetic drugs and their possible side
effects may
warrant renewed interest and research in this
area.
COST-EFFECTIVE MANAGEMENT OF PONV
With escalating health care costs and faced
with a myriad
of antiemetic drugs in use today, the
anaesthetist’s choice
of antiemetic drug depends not only on its
efficacy and
safety profile, but also on its costeffectiveness(79).
The cost-effectiveness of antiemetics depends
on
the effectiveness and cost of the drug,
incidence of
PONV in the hospital’s population and
whether the
antiemetic is used for prophylaxis or
treatment of
established PONV. Some authors advocate the
use of prophylactic antiemetic while others
report
that it does not improve outcome or patient
satisfaction(46,49,68,80-85). As the frequency
of PONV
decreases, it becomes less cost-effective to
use
prophylactic antiemetics. Prophylaxis with
ondansetron
has been reported to be cost-effective if the
incidence
of PONV exceeds 30 to 33%. Prophylactic
droperidol
is cost-effective if the incidence of PONV
exceeds
10 to 13%(84,86). Prophylaxis versus
treatment with
antiemetics remains controversial at present.
STRATEGY FOR EFFECTIVE MANAGEMENT
OF PONV
Several authors have attempted to quantify
the relative
impact of risk factors on PONV(26,87,88) and
set up risk
models for its prediction(5-7,12,88). Recently,
risk scores
for predicting PONV have been
developed(6,7,12) and
attempts made at cross-validation between
centres to
test their general applicability(7). Apfel and
Koivuranta
each independently developed risk scores
based
mainly upon patient-related risk factors as the
strongest
predictors(6,12). They then collaborated in a
study of
their risk scores by cross-validations between
two
centres and reported that risk scores derived
from one
centre were valid in the other, and could be
simplified
without significant loss of discriminating
power. The
four most important predictors of PONV
included in
their final simple risk score were female
gender, prior
history of PONV or motion sickness, nonsmoking,
and the use of postoperative opioids. If no or
only one
risk factor is present, the incidence of PONV
may vary
between 10% and 21%. If at least two risk
factors are
present, the incidence may rise to between
39% and
78%. They suggested that prophylactic
antiemetic
therapy be considered for patients with at
least two
out of four risk factors(7). In their risk model,
which
included patient-, anaesthesia-, and surgeryrelated
factors, Sinclair et al reported that patients’
risk for
PONV could be predicted according to their
gender,
age, smoking status, previous history of PONV
or
motion sickness, duration of anaesthesia,
anaesthetic
technique, and type of surgery(5).
Watcha proposed the following guidelines for
the prophylaxis and therapy of PONV(85). A
low, mild,
moderate, high, and extremely high risk for
PONV is
determined by the presence of none, one,
two, three, or
four of the following factors respectively:
female gender,
nonsmoker status, previous PONV or motion
sickness,
and opioid use(7). For patients with a low risk
for
Download