BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Katarak adalah kekeruhan yang terjadi pada lensa mata dan menjadi penyebab kebutaan utama di seluruh dunia termasuk Indonesia. Pembedahan masih merupakan satu-satunya terapi yang tersedia saat ini dengan tujuan untuk mengoptimalkan tajam penglihatan, namun tujuan tersebut dapat terhambat karena beberapa komplikasi yang terjadi, salah satunya yang sering terjadi adalah edema kornea. Edema kornea dapat terjadi karena kerusakan pada lapisan endotel kornea. Kornea merupakan dinding depan bola mata yang transparan dan merupakan jaringan yang avaskular dengan ukuran diameter horizontal 11-12 mm dan diameter vertikal 10-11 mm. Struktur kornea terdiri dari lima lapisan yaitu epitel, membrana bowman, stroma, membrana descemet dan endotel. Endotel kornea merupakan lapisan paling dalam dari kornea. Lapisan ini terdiri atas satu lapis sel berbentuk heksagonal yang sel-selnya tidak dapat membelah. Transport aktif ion oleh sel-sel ini yang dikontrol oleh enzim Na+,K+-ATPase menyebabkan pengaliran air dari stroma kornea untuk mempertahankan transparansi kornea, karena itulah endotel kornea mempunyai pengaruh yang besar dalam menjaga kejernihan kornea (American Academy of Ophthalmology, 2011-2012a,b). Densitas endotel kornea adalah jumlah sel endotel kornea per millimeter persegi. Densitas endotel kornea normalnya mengalami penurunan sesuai usia. 1 2 Densitas endotel kornea nilainya bervariasi dari masing-masing orang saat lahir, pada bayi biasanya densitas endotel kornea melebihi 3500 sel/mm2 dan secara bertahap menurun seiring dengan bertambahnya usia menjadi sekitar 2000 sel/mm2 pada orang tua. Sel endotel kornea tidak dapat mengalami regenerasi. Kehilangan atau kerusakan sel akan menyebabkan pembesaran dan penyebaran dari sel tetangga untuk menutupi area yang rusak, terutama akibat trauma atau pembedahan. Penurunan fungsi endotel kornea berhubungan dengan penurunan atau kehilangan sel endotel. Apabila fungsi endotel kornea terganggu, maka humor akuous akan berdifusi ke dalam stroma kornea dan menyebabkan edema kornea. (American Academy of Ophthalmology, 2011-2012b; Sheng, 2006). Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kerusakan endotel kornea diantaranya adalah usia, inflamasi, trauma okular, dan penyakit glaukoma (American Academy of Ophthalmology, 2011-2012b; Sheng, 2006). Suatu tindakan pembedahan intraokular seperti operasi katarak dan implantasi lensa intraokular juga dapat menyebabkan kerusakan endotel kornea (Ventura dkk., 2001; Morikubo dkk., 2004). Selain itu, penyakit sistemik seperti diabetes mellitus serta penyakit herediter seperti Fuchs’ endothelial dystrophy juga dapat menyebabkan perubahan morfologi endotel kornea(Inoue dkk., 2002). Bedah katarak memiliki risiko kehilangan sel endotel kornea. Bourne dkk. tahun 2004 dalam penelitiannya mendapatkan rata-rata penurunan densitas endotel kornea sebesar 9,8% pasca operasi katarak. Walaupun prosedur bedah katarak sudah semakin berkembang dan penggunaan material viscoelastik hialuronat semakin luas, namun risiko kehilangan sel endotel kornea tidak bisa 3 dihindarkan. Manipulasi intraokular seperti yang terjadi pada operasi katarak fakoemulsifikasi menyebabkan cairan dan fragmen lensa mengalami turbulensi yang dapat mengakibatkan kerusakan sel endotel kornea (Sheng, 2006; Lucena dkk., 2011). Diabetes melitus (DM) adalah suatu penyakit metabolik kronik yang ditandai dengan kondisi hiperglikemia (American Diabetes Association, 2010). World Health Organization (WHO) memprediksi peningkatan jumlah penderita DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Senada dengan WHO, International Diabetes Federation (IDF) memprediksi peningkatan penderita DM dari 7,0 juta pada tahun 2009 menjadi 12,0 juta pada tahun 2030 (IDF, 2005; Perkumpulan Endokrin Indonesia, 2011). Diabetes melitus terkait dengan perubahan struktur pada endotel kornea. Kondisi hiperglikemik dapat menghambat aktivitas Na+,K+-ATPase sehingga mempengaruhi kerja pompa endotel, dan akhirnya menimbulkan disfungsi lapisan sel endotel kornea dan perubahan morfologi sel endotel (Larsson dkk., 1996; Whikehart dkk., 1993; Lee dkk., 2005). Perubahan morfologi berupa penurunan densitas endotel disertai disfungsi sel endotel dapat menyebabkan terjadinya edema kornea, bahkan berisiko mengalami keratopati bulosa yang berakibat pada turunnya tajam penglihatan (Bonanno, 2003; Soekardi dan Hutauruk, 2004). Kerusakan kornea seringkali dijumpai pasca bedah intraokular pada pasien dengan diabetes melitus. Saini dan Mittal (1996) melaporkan adanya fungsi endotel kornea yang lebih rendah secara bermakna pada kelompok diabetes dibandingkan kontrol dan sangat rentan terjadi dekompensasi apabila terjadi stres 4 termasuk pada tindakan bedah katarak. Penelitian Morikubo dkk. tahun 2004 juga melaporkan kehilangan sel endotel yang terjadi satu hari dan satu minggu pasca operasi katarak pada grup diabetik secara signifikan lebih tinggi dibandingkan pada grup non diabetik. Beberapa penelitian yang mengevaluasi persentase kehilangan sel endotel kornea pasca fakoemulsifikasi telah dilaporkan. Hasil penelitian tersebut melaporkan rata-rata kehilangan sel endotel kornea pasca fakoemulsifikasi nilainya bervariasi antara 4% hingga 25% ( Walkow dkk., 2000). Penelitian Gogate dkk. (2010) melaporkan rata-rata kehilangan sel endotel kornea enam minggu pasca fakoemulsifikasi adalah sebesar 15,5%. Penelitian lain mengenai jumlah kehilangan sel endotel kornea pasca operasi Small Incision Cataract Surgery (SICS) melaporkan terdapat perbedaan bermakna secara statistik jumlah kehilangan sel endotel kornea setelah operasi SICS pada pasien katarak senilis penderita DM lebih tinggi dibandingkan dengan pasien katarak senilis bukan penderita DM (Subekti, 2013). Namum penelitian untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan bermakna jumlah kehilangan sel endotel kornea setelah tindakan fakoemulsifikasi pada pasien katarak senilis dengan DM dan tanpa DM belum pernah dipublikasikan. Saat ini fakoemulsifikasi merupakan teknik bedah katarak yang paling popular dilakukan. Atas dasar itulah penelitian ini dilakukan dengan harapan dapat mengetahui perbedaan jumlah kehilangan sel endotel kornea pasca fakoemulsifikasi antara pasien katarak senilis penderita DM dibandingkan dengan pasien katarak senilis yang tidak menderita DM. 5 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah diatas, dapat dirumuskan suatu masalah penelitian sebagai berikut: Apakah jumlah kehilangan sel endotel kornea pasca fakoemulsifikasi pada pasien katarak senilis dengan DM lebih tinggi dibandingkan tanpa DM? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan jumlah kehilangan sel endotel kornea pasca fakoemulsifikasi pada pasien katarak senilis dengan DM dan tanpa DM. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat teoritis Manfaat yang ingin diberikan pada penelitian ini adalah untuk menambah wawasan tentang kondisi lapisan sel endotel kornea serta pengaruh penyakit diabetes melitus terhadap jumlah kehilangan sel endotel kornea pasca tindakan bedah katarak khususnya fakoemulsifikasi. 1.4.2 Manfaat praktis 1. Sebagai bahan konseling dan edukasi yang dapat memberikan informasi kepada pasien tentang risiko atau komplikasi pasca tindakan fakoemulsifikasi terutama pada pasien dengan DM. 6 2. Dapat dijadikan sebagai bahan untuk dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai terapi ataupun teknik untuk memperkecil komplikasi kehilangan sel endotel kornea pasca tindakan bedah katarak terutama pada pasien dengan DM.