TINJAUAN PUSTAKA

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Jagung
Jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu tanaman pangan dunia yang terpenting,
selain gandum dan padi. Di Amerika Tengah dan Selatan jagung digunakan sebagai sumber
karbohidrat utama, selain itu juga menjadi alternatif sumber pangan di Amerika Serikat.
Penduduk beberapa daerah di Indonesia (Madura dan Nusa Tenggara) juga menggunakan
jagung sebagai pangan pokok. Jagung (Zea mays L.), adalah salah satu sumber karbohidrat
yang dapat digunakan sebagai pengganti beras , karena jagung memiliki kalori yang hampir
sama dengan beras. Jagung juga merupakan sumber protein yang murah dan sebagai
komoditi lokal yang tersedia secara melimpah karena banyak dibudidayakan oleh petani di
Lampung. Jagung selain mengandung Senyawa yang berguna bagi tubuh, juga mengandung
senyawa anti nutrisi berupa asam fitat yang dapat menghambat penyerapan mineral dalam
tubuh (Proll et al.1998; Faber et al. 2005; Onofiok dan Nnanyelugo 2006).
Jagung juga merupakan salah satu komoditas pertanian yang memiliki karakter
berfluktuatif dalam hasil karena dipengaruhi oleh lingkungan.Hal tersebut mempengaruhi
permintaan dan penawarannya secara langsung. Apabila penawaran dan permintaan jagung
fluktuatif maka akan membentuk harga yang fluktuatif pula (Syamsi, 2012).
Ada 3 jenis jagung, yaitu jagung kuning, jagung merah, dan jagung putih. Pada
umumnya jagung kuning yang biasa digunakan sebagai bahan baku pakan. Alasannya
kandungan nutrisi jagung kuning relatif lebih baik dibandingkan dengan kedua jenis jagung
lainnya.Selain itu, ketersediaan jagung kuning relatif memadai karena petani di Indonesia
banyak yang menanamnya. Meskipun demikian, fluktuasi harga yang cukup tajam menjadi
salah satu titik lemah dari bahan baku pakan ini. Keadaan ini disebabkan jagung kuning
Universitas Sumatera Utara
masih digunakan manusia sebagai bahan makanan dan angka produksinya masih rendah dan
tidak stabil.
Angka produksi yang masih rendah dan tidak stabil ini sebenarnya lebih disebabkan
oleh faktor teknis, yaitu keterbatasan lahan penanaman jagung dan masih banyak petani yang
produksinya di bawah rata-rata bibit jagung hibrida. Melihat kandungan energi metabolisme
yang tinggi, yaitu sebesar 3.300 kkal/kg jagung sering dimanfaatkan sebagai salah satu bahan
baku penghasil energi. Dalam pakan ternak unggas, jagung merupakan komposisi bahan
utama, sekitar 50% dari total komposisi pakan(ragamcarabeternak.blogspot.com, 2015).
Tabel 1. Perkembangan luas panen, produktivitas dan produksi jagung
Indonesia tahun 2009 – 2012
Tahun
Luas Panen(Ha)
Produktivitas (Kw/Ha)
2009
4.160.659
42,37
2010
4.131.676
44,36
2011
3.864.692
45,65
2012
3.959.909
48.93
Sumber: Badan Pusat Statistik (2012)
Produksi(Ton)
17.629.748
18.327.636
17.643.250
19.377.030
Ubi Kayu
Manihot esculentas Crantz mempunyai nama lain yaitu Manihot utilissima dan
Manihot alpi. Semua genus manihot berasal dari Amerika Selatan.Brazil merupakan pusat
asal dan sekaligus sebagai pusat keragaman ubi kayu.Manihot mempunyai 100 spesies yang
telah diklasifikasikan dan mayoritas ditemukan di daerah yang relatif kering (Suprapti Lies,
2015).
Potensi pengembangan ubi kayu dari tahun ke tahun semakin meningkat seperti
disajikan pada tabel 2.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2. Luas panen dan produksi ubi kayu menurut kabupaten/kota di
Sumatera Utara
Kabupaten/Kota
Luas Panen (Ha)
Nias
99
Mandailing Natal
115
Tapanuli Selatan
340
Tapanuli Tengah
1.324
Tapanuli Utara
1.883
Toba Samosir
1.216
Asahan
724
Simalungun
13.009
Dairi
362
Karo
13
Deli Serdang
7.128
Langkat
64
Nias Selatan
807
Humbang Hasundutan
445
Pakpak Barat
56
Samosir
236
Serdang Bedagai
12.445
Batu Bara
4.222
Padang Lawas Utara
142
Padang Lawas
173
Labuhan Batu Selatan
207
Labuhan Batu Utara
52
Nias Utara
102
Nias Barat
81
Tanjungbalai
29
Pematangsiantar
216
Tebing Tinggi
344
Medan
147
Binjai
111
Padangsidimpuan
172
Gunungsitoli
232
Sumatera Utara
47.141
Sumber
: Dinas Pertanian Provinsi Sumatera Utara (2013)
Produksi (Ton)
1.737
2.521
12.730
36.525
62.448
40.112
20.082
387.994
11.073
2.746
253.301
25.001
9.633
15.920
1.791
8.756
466.103
114.483
3.971
4.998
4.162
867
1.282
1.323
575
4.693
9.170
1.870
1.990
4.371
5.994
1.518.221
Asam sianida ( HCN) dikelompokkan sebagai senyawa racun. Asam ini merupakan
faktor pembatas dalam pemanfaatan tanaman ubi kayu sebagai pakan karena ternak yang
mengkomsumsinya dapat mengalami keracunan.Osweiler et al. (1976) yang disita oleh
Yuningsih (2009) menyatakan bahwa racun sianida cukup cepat reaksinya dalam tubuh dan
Universitas Sumatera Utara
paling toksik jika dibandangkan dengan racun yang lain. Dengan dosis yang cukup rendah
(0,5-3,5 mg/kg bobot badan), asam sianida sudah dapat mematikan hampir semua spesies
hewan. Racun sianida dalam ubi kayu sebenarnya bukan berbentuk asam sianida tetapi dalam
bentuk ion sianida (CN-).Linamarin pada ubi kayu oleh enzim linamerase, dihidrolisis
menjadi asam sianida.Keracunan pada ternak terjadi karena sianida bersenyawa dengan
sitokrom oksidase sehingga sel jaringan tidak dapt menggunakan oksigen. Menurut Tewe
(2004) ubi kayu segar umumnya mengandung sianida 15-4mg/kg bahan kering. Kadar sianida
di dalam daun singkong kering dan hay masing-masing sebesar 36 dan 38 mg/kg bahan
kering. Sianida yang tinggi di dalam ubi kayu dapat didetoksifikasi dengan cara fisik dan
kimiawi; secara fisik dapat dilakukan dengan pencucian, memotongan, perendaman,
pengukusan dan pengeringan. Pencucian dan pengeringan maupun pengeringan dapat
mengurangi kandungan HCN, karena sifat HCN yang mudah menguap dan larut dalam air.
Hal ini dilakukan oleh Purwanti (2007) yang melaporkan bahwa proses [pencucian,
pengukusan dan pengeringan kuliat ubi kayu memeberikan hasil yang sangat signifikan yaitu
kadar HCN masing-masing 89,32 mg/100 g, 16,42mg/100g dan 8,88mg/100g dibandingkan
tanpa perlakuan sebesar 143,3mg/100g.
Ubi kayu pada saat panen bersifat basah, penggunaan harus secara cepat atau dapat
pula dilakukan pengawetan untuk menghambat pembusukan. Proses pengeringan selain dapat
digunakan untuk tujuan pengawetan juga dapat mengurangi kandungan HCN, karena sifat
mudah menguap jika terkena panas.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Yuningsih (2009) dengan menggunakan umbi dan
kulit ubi kayu pahit setelah perlakuan pencacahan dan pemanasan 37-400C selama 7 jam
telah terjadi penurunan kandungan sianida di dalam umbi nmaupun ubi kayu masing-masing
sebesar 33% (dari 234 menjadi 159mg/kg) dan 23% ( dari 777 menjadi 629 mg/kg). Menurut
Tweyongyere dan Katangole (2002), proses pencacahan dapat memperbesar peluang kontak
Universitas Sumatera Utara
antara linamarin dan linamerase dan terjadi disintegrasi struktur sel umbi yang dapat
mempercepat hidrolisis (pelepasan sianida).Pencacahan juga dapat memperluas permukaan
sehingga memudahkan terjadinya penguapan (pelepasan sianida). Sedangkan, pemanasan
akan memepercepat proses penguapan (penurunan sianida), memepercepat dehidrasi dan
pemecahan proses pemecahan struktur sel, sehingga terjadi degradasi glikosida linamarin
dalam ubi kayu eleh enzin linmerase yang menghasilkan glukosa dan aseton sianohidrin
untuk selanjutnya melepaskan hidrogen sianida.
Selain perlakuan secara fisik sebagaimana yang tersebut
di atas, pengurangan
kandungan racun dapat juga dilakukan secara biologis maupun kimiawi antara lain dengan
proses fermentasi, hidrolisis menggunakan asam ataupun perpaduan antar fermentasi yang
dilanjutkan dengan hidrolisis asam.
Proses
fermentasi dengan Saccharomyces
cerevisiae
seperti
yangdilakukan
olehBoonnop et al. (2009) dapat menurunkan kadar sianida umbi ubi kayu dalam bentuk
gaplek dari 3,4mg/kg menjadi 0,5mg/kg, dan kadar sianida onggok dari 86,6mg/kg menjadai
47,3mg/kg.
Pengolahan ubi kayu Menjadi Cassapro
Pada umumnya penggunaan ubi kayu dalam pakan ternak tidak begitu mendapat
perhatian.Hal ini disebabkan adanya pandangan negatif terhadap kandungan HCN ubi kayu
dan rendahnya nilai gizi ubi kayu.(Kompiang, dkk. 1994).
Ubi kayu merupakan produk pertanian yang mudah rusak dan akan cepat membusuk
dalam waktu dua hingga lima dan apabila disimpan dalam bentuk segar dan tidak mendapat
perlakuan pasca penen yang cukup memadai.Salah satu upaya untuk mengatasi kerusakan,
memperpanjang daya simpan dan untuk meningkatkan nilai tambah diperlukan suattu cara
pengolahan (Kompiang,dkk., 1995).
Universitas Sumatera Utara
Diantara sekian banyak cara pengolahan ubi kayu untuk pakan ternak, salah satunya
dengancara fermentasi dengan menggunakan kapang Aspergillus niger.
Cassapro adalah nama popular dari akronim Cassava yang berprotein tinggi. Dalam
skala laboratorium kandungan ubi kayu yang asal mulanya hanya berkisar 2-3% dapat
ditingkatkan menjadi + 36%.Namun pada skala lapangan hasilnya berkisar 18%. Masalahnya
karena kondisi suhu / temperature dan kelembabannya masih sulit disesuaikan selama proses
fermentasi tersebut berlangsung.
Teknik pengolahan seperti proses pembuatan cassapro ini juga dapat diproses dari
bahan-bahan lain seperti : kulit kupasan ubi kayu, onggok ubi kayu, daunnya, dari bahan sagu
(empelur, elod, ampas), bungkil kelapa, bungkil inti sawit, lumpur sawit, bungkil coklat,
limbah kopi, buah jambu mete.
Prose
pembuatan
cassapro
ini
adalah
dengancara
bahan-bahan
tersebut
difermentasikan dengan menggunakan inokulen Aspergilus niger ditambah Urea / Za sebagai
sumber nitrogen anorganik. (Kompiang,dkk.,1992).
Tujuan dan pembuatan cassapro ini adalah merupakan salah satu usaha untuk
meningkatkan nilai gizi bahan baku pakan yaitu meningkatkan kandungan proteinnya.
Bahan baku 100 kg
+ Aktif spora A.Niger (50 liter)
Diaduk Merata
+ Urea/NPK (9 kg)
+ Mikronutrien (100 gr)
(KCL,NaH 2 PO 4 ,FeSO 4 )
Tabel 3. Perbandingan kandungan nutrisi jagung, ubi kayu dan cassapro
Uraian
Jagung
Ubi kayu
Protein kasar (%)
8
2,5
Asam amino (%)
1,2
0,2
Lemak kasar (%)
3,8
0,5
Serat kasar (%)
2,2
4,0
Energi Metabolik (kkal/kg)
3300*
3200*
Sumber
: Departemen Pertanian (2009)
**berdasarkan hasil analisa proksimat
*berdasarkan NRF
Cassapro
15,7**
8,0
5,7
6,3
3846,76*
Universitas Sumatera Utara
Aspergillus Niger
Aspergillus niger adalah kapang anggota genuus Aspergillus, family eurotiaceae, ordo
Eutiales, sub-klas Plectomycetetidae, kelas Ascomycetas, subdivide Ascomycotina dan divisi
Amastigmycota. Aspergillus nigermempunyaikelapa besar, dipak secara padat, bulat dan
berwarna hitam cokelat atau ungu coklat. Kapan ini mempunyai bagian yang khas yaitu
hifanya berseptat, spora yang bersifat aseksual dan tumbuh memasang di atas stigma,
mempunyai sifat aerobik, sehingga dalam pertumbuhannya memerlukan oksigen dalam
jumlah yang cukup.Aspergillus niger
termasuk mikroba mesofilik dengan pertumbuhan
maksimum pada suhu 350 C-370C. derajat keasaman untuk pertumbuhan mikroba ini adalah
2-8,8 tetapi pertumbuhannya akan llebih baik pada kondisi asam atau pH yang rendah
(Winarno dan Fardias,1990).
Aspergillus niger mempunyai ciri-ciri yang khas berupa benang tunggal disebut hypa,
atau berupa kumpulan benang-benang padat menjadi satu yang disebut miselium, tidak
mempunyai klorofil dan hidup heterotrop. Bersifat aerobik dan berkembang biak secara
vegetative dan generative melalui pembelahan sel dan spora-spora yang dibentuk di dalam
askus atau kotak spora (Raper dan Fennel, 1997). Kapang ini tumbuh dengan baik pada suhu
30-350C.kisaran pH yang dibutuhkan 2,8 sampai 8,8 dengan kelembaban 80-90%.
Aspergillus niger merupakan spesies dari Aspergillus yang tidak menghasilkan mycotoxin
bahkan dapat menekan terbentuknya racun aflatoksin yang dihasilkan oleh Aspergillus
parasiticus sehingga tidak membahayakan. Kapan tersebut juga menghasilkan beberap
enzim, seperti α-amilase, β-amilase, selulase, glukoamilase, katalase, pektinase, lipase, dan
β-galaktosidase (Ratledge, 1994). Aspergillus niger merupakan salah satu strain kapang yang
dilaporkan mampu memproduksi enzim selulase. Selulase yang berasal dari Aspergillus niger
berbentuk selulase kompleks dan mampu diproduksi dalam jumlah yang cukup banyak.
Universitas Sumatera Utara
Moo-Young et al. (1983) melaporkan bahwa, fermentasi media padat dengan
menggunakan kultur A,niger pada substrat beras menghasilkan 400g protein serta aktivitas
amylase 1380 U/ml pada lama inkubasi 3 hari. Konsentrasi ini 80 kali lebih tinggi daripada
yang dihasilkan dengan fermentasi terendam.
Ayam Kampung
Ayam kampung adalah ayam jinak yang telah terbiasa hidup di tengah masyarakat.
Di daerah yang padat penduduknya seperti pulau jawa, ayam buras berkeliaran di berbagai
tempat. Daya adaptasinya sangat tinggi, karena ayam itu mampu menyesuaikan diri dengan
berbagai situasi, lingkungan, dan iklim yang ada (Sarwono,1991).
Ayam kampung merupakan hasil domestikasi dari jenis ayam hutan merah.Murtidjo
(1994) menyatakan bahwa nenek moyang ayam buras yang ada di Indonesia berasal dari
ayam hutan merah (Gallus gallus).Pendapat tersebut diperkuat oleh Crawford (1990) yang
menyatakan bahwa ayam hutan merah (Red jungle Fowl) merupakan nenek moyang dari
ayam domestikasi (Gallus gallus domestikus) saat ini.Pendapat tersebut didasarkan pada hasil
penelusuran bahwa ayam buras Indonesia memiliki jarak genetik yang lebih dekat dengan
ayam hutan merah (Gallus gallus) dibandingkan dengan ayam hutan hijau (Gallus
varius).Namun demikian, adanya impor berbagai jenis bangsa ayam ke Indonesia, sejak
zaman Hindia Belanda mengakibatkan keaslian genetik ayam lokal tercemar sehingga
diperkirakan ayam Buras yang ada sekarang hanya memiliki gen asli sebanyak 50%.Ayam
hutan merah di Indonesia ada dua macam yaitu ayam hutan merah Sumatera (Gallus gallus
gallus) dan ayam hutan merah Jawa (Gallus gallus javanicus) (Mansjoer, 1981).
Salah satu ciri ayam kampung adalah sifat genetiknya yang tidak seragam. Warna
bulu, ukuran tubuh dan kemampuan produksinya tidak sama merupakan cermin dari
Universitas Sumatera Utara
keragaman genetiknya. Disamping itu badan ayam kampung kecil, mirip dengan badan ayam
ras petelur tipe ringan (Rasyaf, 1997).
Ayam buras dari sudut perkembangannya, merupakan hasil produksi dan seleksi alam
lingkungan.Oleh sebab itu, interaksi antara ayam buras dengan alam dan lingkungan, sudah
ada keterpaduan yang sangat dominan dan tidak dapat terpisahkan. Bila salah satu dari kedua
unsur tersebut diubah, akan menyebabkan ketidakseimbangan (Murtidjo,1994).
Candrawati (1999) mendapatkan kebutuhan hidup pokok ayam kampung 0–8 minggu
adalah 103.96 kkal/W0.75 dan kebutuhan protein untuk hidup adalah 4.28 g/W0.75/ hari.
Sutama (1991) menyatakan bahwa ayam kampung pada masa pertumbuhan dapat diberikan
pakan yang mengandung energi termetabolis sebanyak 2700 – 2900 kkal dengan protein lebih
besar atau sama dengan 18%. Ayam buras yang dipelihara secara tradisional di pedesaan
mencapai dewasa kelamin pada umur 6 -7 bulan dengan bobot badan 1.4 – 1.6 kg (Supraptini,
1985).
Ayam buras sebagai ayam potong biasanya dipotong pada umur 4 – 6 bulan.
Margawati (1989) melaporkan bahwa berat badan ayam kampung umur 8 minggu yang
dipelihara secara tradisional dan intensif, pada umur yang sama 5 mencapai 1.435,5 g. Aisjah
dan Rahmat (1989) menyatakan pertambahan bobot badan anak ayam buras yang dipelihara
intensif rata rata 373,4 g/hari dan yang dipelihara secara ekstensif adalah 270,67 g/hari.
Rendahnya pertambahan bobot badan pada anak ayam buras yang dipelihara secara ekstensif,
karena kurang terpenuhinya kebutuhan gizi sehingga menghambat laju pertumbuhan.
Dari total energy yang tercerna dari makanan yang dikonsumsi, porsi yang digunakan
untuk maintenance cukup besar, meliputi keperluan untuk metabolism basal dan aktivitas
minimal seperti untuk makan dan minum. Ini menjelaskan bahwa energy untuk pemeliharaan
selalu diperlukan, baik pada masa pertumbuhan maupun produksi (Murtidjo,1994).
Universitas Sumatera Utara
Tabel 4. Kebutuhan Gizi Ayam Kampung
Zat Makanan/ Gizi
Energi Metabolik (kcal/g)
Protein (%)
Fosfor (%)
Kalsium (%)
Sumber: Murtidjo (1994)
0-8
2900
18
0,9
0,7
Umur (Minggu)
8 – 13
13 - 18
2900
2900
15
12
0,6
0,6
0,4
0,4
18 dst
2850
15
3,25
0,5
Kebetuhan Energi dan Protein Ayam Kampung
Sturkie (1976) menyatakan kebutuhan energi untuk unggas dinyatakan dengan energi
termetabolis (ME).Energi termetabolis diperoleh dengan mengurangi energi ransum (GE)
dengan energi ekskreta (feses dan urine). Dari sejumlah energi tersebut tidak seluruhnya
dapat digunakan langsung tetapi masih ada yang hilang dalam bentuk panas (heat increment)
selama proses metabolisme, sehingga yang tinggal yaitu energi netto. Heat increment adalah
banyaknya energy yang hilang dalam bentuk panas yang ditimbulkan oleh banyak faktor lain
selain faktor makanan seperti panas yang hilang melalui proses fermentasi, pencernaan,
penyerapan, pembentukan dan pembuangan energi. Pada saat temperatur lingkungan dingin,
panas yang dihasilkan oleh tubuh (heat increment) akan digunakan untuk maintenance.
Pengukuran energi termetabolis pada ternak unggas dapat menggunakan metode koleksi total
(Sibbald, 1982). Kebutuhan energi termetabolis dipengaruhi oleh genotip, jenis kelamin,
umur dan kondisi
lingkungan. Energi digunakan oleh ayam untuk kebutuhan hidup pokok dan untuk
produksi.Kebutuhan energi untuk hidup pokok meliputi kebutuhan untuk metabolisme basal,
aktivitas, dan pengaturan temperatur/panas tubuh. Kebutuhan energi untuk produksi meliputi
untuk pertumbuhan dan produksi telur, bulu, lemak, dan untuk kerja.
Protein merupakan salah satu nutrien yang perlu diperhatikan baik dalam menyusun
ransum maupun dalam penilaian kualitas suatu bahan. Protein dibutuhkan oleh ayam yang
sedang tumbuh untuk hidup pokok, pertumbuhan bulu dan pertumbuhan jaringan ( Scottet al.,
Universitas Sumatera Utara
1982 ). Wahyu (1992) menyatakan bahwa karkas ayam biasanya mengandung protein 18 %
dalam jaringan tubuhnya dan protein bulu 82 %.Untuk memenuhi kebutuhan protein
sesempurna mungkin, maka asam asam amino essensial harus disediakan dalam jumlah yang
tepat dalam ransum (Anggorodi, 1985).
Beberapa hasil penelitian menggambarkan bahwa kebutuhan zat-zat nutrisi untuk
ayam kampung lebih rendah dibandingkan dengan ayam ras pedaging maupun ras petelur
(Sarwono, 2005).Pemberian ransum komersial ayam ras untuk ayam kampung merupakan
pemborosan, ditinjau baik dari segi teknis maupun ekonomis. Resnawati et al. (1998)
melaporkan bahwa imbangan protein dan energi dalam pakan ayam kampung yang
dibutuhkan selama masa pertumbuhan adalah 14% protein dan 2600 kkal/kg energi
termetabolis. Sedangkan ayam kampung pada periode bertelur membutuhkan protein 17%
dan energi metabolis 3200 kkal/kg ransum (Nataamidjaja, 1988).
Universitas Sumatera Utara
Download