8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pembangunan Ekonomi Pembangunan bermakna perubahan, yang mengarah pada peningkatan kesejahteraan manusia. Peningkatan standar hidup, perbaikan pendidikan dan kesehatan serta keadilan dalam berbagai kesempatan adalah unsur-unsur yang esensial dalam pembangunan ekonomi. Pendapatan per kapita tanpa disertai dengan adanya transformasi sosial dan struktur ekonomi belum di pandang sebagai pembangunan. Mengukur pembangunan adalah sulit, karena menyangkut aspek-aspek bukan material, sehingga pengukuran pembangunan sering dipersempit dengan pembangunan ekonomi. Todaro (2000), mendefinisikan pembangunan sebagai proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional sebagai akselerasi pertumbuhan ekonomi, pengurangan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan. Sedangkan Budiharso (1988) mendefinisikan pembangunan merupakan suatu usaha untuk menyediakan banyak alternatif yang sahih bagi setiap warga negara untuk mencapai aspirasi yang paling humanistic. Todaro (2000) menyatakan ada tiga tujuan inti dari pembangunan yaitu: (1) Peningkatan ketersedian serta perluasan distribusi berbagai macam barang kehidupan hidup yang pokok seperti pangan, sandang, papan, kesehatan, dan perlindungan, (2) Peningkatan standar hidup yang tidak hanya berupa peningkatan pendapatan tetapi juga meliputi penambahan penyediaan lapangan kerja, perbaikan kualitas pendidikan, serta peningkatan perhatian atas nilai-nilai kultural dan kemanusiaan yang semuanya itu tidak hanya untuk memperbaiki kesejahteraan material melainkan juga menumbuhkan jati diri pribadi dan bangsa yang bersangkutan, dan (3) Perluasan pilihan-pilihan ekonomis dan sosial bagi setiap individu serta bangsa secara keseluruhan, yakni dengan membebaskan mereka dari belitan sikap menghamba dan ketergantungan, bukan hanya terhadap orang atau negara bangsa lain, namun juga terhadap setiap kekuatan yang berpotensi merendahkan nilai-nilai kemanusia mereka. 9 Kuznet dalam Jhingan (1999) mendefinisikan pertumbuhan ekonomi dipandang sebagai kenaikan jangka panjang dari kemampuan suatu negara untuk menyediakan semakin banyak jenis barang ekonomi kepada penduduk dan kemampuan ini tumbuh sesuai dengan kemajuan teknologi dan penyesuai kelembagaan serta ideologis yang diperlukan. Adapun ciri yang menandai pertumbuhan ekonomi dapat dikemukakan sebagai berikut: (1) laju pertumbuhan penduduk dan produk perkapita, (2) peningkatan produktivitas, (3) laju pertumbuhan struktural yang tinggi, (4) urbanisasi, (5) ekspansi negara maju, dan (6) arus modal dan orang antar bangsa atau wilayah. Ciri-ciri pertumbuhan ekonomi modern sebagaimana tersebut di atas adalah saling mengait, semuanya terjalin dalam urusan sebab akibat. Sukirno (1994) menyebutkan bahwa tingkat kegiatan ekonomi suatu perekonomian sangat tergantung pada faktor-faktor produksi yang digunakan, yakni: (1) jumlah barang-barang modal yang tersedia dan digunakan dalam perekonomian, (2) jumlah dan kualitas tenaga kerja yang tersedia dalam perekonomian, (3) jumlah dan jenis kekayan alam yang digunakan, dan (4) tingkat ekonomi. Jhingan (1999) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh dua macam faktor, yaitu: (1) faktor ekonomi, yang meliputi sumberdaya alam, akumulasi modal, organisasi/kelembagaan, kemajuan teknologi, pembagian kerja serta skala produksi, dan (2) faktor non ekonomi, yang meliputi faktor sosial, faktor manusia, faktor politik dan administratif. 2.2. Peran Sektor Pertanian dalam Pembangunan Hampir sebahagian besar negara berkembang, pertanian (dalam arti luas meliputi pertanian tanaman pangan, perkebunan, perikanan, peternakan dan kehutanan), merupakan sektor utama dalam pembangunan ekonomi sedangkan sektor lainnya hanya memberikan sumbangan yang relatif kecil terhadap peningkatan produksi, pendapatan dan kesempatan kerja. Hal ini disebabkan sektor pertanian sangat esensial kotribusinya kepada sektor lain dalam mempercepat pertumbuhan ekonomi Jhingan (1994), menjelaskan bahwa peranan sektor pertanian pada pembangunan ekonomi dalam hal: (1) meningkatkan ketersediaan pangan atau 10 surplus pangan bagi konsumsi domestik, (2) melepaskan kelebihan tenaga kerja kerjanya ke sektor industri, (3) merupakan pasar bagi produk industri, (4) meningkatkan tabungan dalam negeri, (5) meningkatkan perdagangan (sumber devisa), dan (6) memperbaiki kesejahteraan rakyat pedesaan. Johnston dan Mellor dalam Daryanto (2002) juga mengindentifikasikan lima kontribusi sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi. Pertama, sektor pertanian menghasilkan pangan dan bahan baku untuk sektor industri dan jasa. Jika peningkatan pangan dapat dipenuhi secara domestik, peningkatan suplai pangan ini dapat mendorong penurunan laju inflasi dan tingkat upah tenaga kerja, yang pada akhirnya diyakini dapat lebih memacu pertumbuhan ekonomi. Peningkatan kebutuhan pangan yang berasal dari sumber-sumber domestik dapat menghemat devisa yang langka. Disamping itu, banyak sektor industri di negara berkembang yang kelangsungan hidupnya sangat tergantung kepada suplai bahan baku yang berasal dari sektor pertanian. Kedua, sektor pertanian dapat menghasilkan atau menghemat devisa dari ekspor atau produk substitusi. Perolehan devisa dari ekspor pertanian dapat juga membantu negara berkembang untuk membayar kebutuhan impor barang-barang capital dan teknologi untuk memodernisasi dan memperluas sektor non-pertanian. Melalui kontribusi ini, pembangunan sektor pertanian dapat memfasilitasi proses struktural transformasi. Ketiga, sektor pertanian merupakan pasar yang potensial bagi produkproduk sektor industri. Sektor pertanian yang tumbuh dan berkembang sehat dapat menstimulasi permintaan terhadap produk-produk yang dihasilkan oleh sektor industri. Dalam hal ini, sektor pertanian menawarkan potensi konsumsi atau permintaan yang besar terhadap produk-produk sektor industri dan juga inputinput pertanian yang dihasilkan oleh industri, seperti pupuk, pestisida dan peralatan pertanian. Keempat, transfer surplus tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri merupakan salah satu sumber pertumbuhan ekonomi. Perekonomian yang tumbuh dengan cepat dapat menstimulasi terjadinya perpindahan tenaga kerja dalam jumlah yang cukup besar dan kontinyu dari sektor pertanian ke sektor industri yang umumya berlokasi di daerah perkotaan. Akhirnya, sektor pertanian 11 pertanian dapat menyediakan modal bagi sektor-sektor lain (a net outflow of capital for investment in other sector). Bagi negara-negara yang ingin mengindustrialisasikan perekonomiannya, sektor pertanian dapat berfungsi sebagai sumber utama modal investasi. Oleh karena itu industrialisasi yang berhasil memerlukan dukungan yang kuat dari surplus yang dihasilkan pertanian. Dalam Daryanto (2002) menunjukkan banyak bukti empiris yang mendukung pentingnya keterkaitan yang kuat antara sektor pertanian dan keseluruhan pertumbuhan ekonomi. Sebagai misal, World Bank (1982) memperlihatkan korelasi yang positif yang kuat antara pertumbuhan pertanian dan sektor industri. Buatista (1991) juga memperlihatkan adanya keterkaitan yang kuat antara pertumbuhan sektor pertanian dan sektor-sektor lainnya. Ia memperkirakan elastisitas keterkaitan pertumbuhan antara sektor pertanian dan sektor lainnya sebesar 1.3 untuk periode 1961-1984 dan 1.4 untuk periode 19731984. Hal ini berarti pertumbuhan 1 persen nilai tambah sektor pertanian akan menciptakan pertambahan nilai tambah di sektor non pertanian sebesar 1.3 dan 1.4 persen untuk masing-masing periode studi yang yang disebutkan. Data terakhir dari Internasional Food Policy Research Instute (IFPRI) yang diolah dari 42 negara menunjukan bahwa peningkatan produksi pertanian senilai US$ 1 menghasilkan peningkatan pertumbuhan kegiatan ekonomi senilai US$ 2.32 (Clement 1999). Studi ini juga menunjukan apabila sektor pertanian tidak produktif, pertumbuhan secara keseluruhan pada suatu negara akan menurun Daryanto (1995) menemukan efek keterkaitan konsumsi yang diinduksi oleh sektor pertanian menunjukan pengaruh yang lebih besar dibandingkan efek keterkaitan produksi terhadap pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Selanjutnya Syafa’at dan Mardiato (2002) menemukan bahwa sesungguhnya sektor pertanian mempunyai kontribusi yang tinggi dalam pembentukan output nasional. Dilihat dari dua kenyataan tersebut diatas dapat diketahui sektor pertanian Indonesia mempunyai potensi yang besar dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Yodhoyono (2004) menemukan pengeluaran pembangunan yang dicurahkan pemerintah terhadap sektor pertanian memiliki pengaruh terhadap output pertanian yang relatif tinggi. Berbeda dengan dampak pengeluaran 12 pembangunan terhadap output pertanian, pada sektor industri efek yang negatif pada output insdustri. Oleh sebab itu pengeluaran pemerintah untuk sektor pertanian perlu ditingkatkan. 2.3. Otonomi Daerah dan Trasfer Keuangan Pusat ke Daerah 2.3.1. Otonomi Daerah Berdasarkan UU No.22 tahun 1999, otonomi daerah adalah penyerahan wewenang oleh pusat kepada daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang selanjutnya dijelaskan bahwa daerah tersebut disebut daerah dengan kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu, berwenang mengurus kepentingan masyarakat di daerahnya menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan NKRI. Pengertian ini dijelaskan lagi dengan UU No. 25 Tahun 1999 yang menjelaskan tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Dengan demikian otonomi daerah sebagai suatu masyarakat lokal yang mempunyai peranan yang signifikan dalam proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan arah dan tujuan pembangunan masyarakat lokal sendiri. Ritonga (2001) menjelaskan bahwa pada hakekatnya pelaksanaan otonomi daerah merupakan penyerahan kewenangan pemerintahan pusat kepada daerah untuk mengelola potensi yang ada di daerahnya berkenaan yang diikuti dengan penyerahan personil, prasarana, pembiayaan, dan dokumen. Selain itu hubungan keuangan antara pusat daerah yang menyangkut masalah keadilan terwujud dengan alokasi dana bagi hasil dan pemerataan diimplementasikan dengan dana alokasi umum serta pembagian sumberdaya yang ada. Hubungan tersebut dengan kata lain menyangkut pembagian kekuasaan dalam pemerintahan. Hak untuk mengambil keputusan mengenai anggaran pemerintah merupakan unsur yang sangat penting dalam menjalankan kekuasaan. Pada dasarnya ada 3 alasan pokok mengapa diperlukan otonomi daerah tersebut. Pertama, adalah political equality, guna meningkatkan partisipasi politik masyarakat daerah. Hal ini penting artinya untuk meningkatkan demokratisasi dalam pengelolaan negara. Kedua, adalah local accountabilility, guna meningkatkan kemampuan dan tanggung jawab pemerintah daerah dalam 13 mewujudkan hak dan aspirasi masyarakat di daerah. Hal ini sangat penting artinya dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial masing-masing daerah. Ketiga, adalah local responsiviness yaitu meningkatnya respon pemerintah daerah terhadap masalah-masalah sosial ekonomi yang terjadi di daerahnya. Unsur ini sangat penting bagi peningkatan upaya pembangunan dan peningkatan kesejahteraan sosial di daerah. Titik berat penerapan otonomi daerah tersebut dilaksanakan di daerah tingkat kabupaten dan daerah kota, dengan pelimpahan seluruh urusan pemerintah akan diletakkan di daerah, kecuali bidang pertahanan keamanan, hubungan luar negeri, agama, peradilan, dan keuangan/moneter dipegang oleh pemerintahan pusat (Djonas, 1999). Daerah Tingkat Provinsi UU No. 22 Tahun 1999 mendapat label baru sebagai daerah otonom sekaligus administratif. Konsekuensinya provinsi melaksanakan kewenangan pemerintah yang didelegasikan kepada gubernur. Provinsi bukan merupakan pemerintah atasan dari daerah kabupaten dan kota, tetapi dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan terdapat hubungan koordinasi, kerjasama, dan/atau kemitraan dengan daerah kabupaten dan kota dalam kedudukanya masing-masing sebagai daerah otonom. Sementara itu sebagai wilayah administratif, gubernur selaku wakil pemerintah melakukan hubungan pembinaan dan pengawasan terhadap daerah kabupaten dan kota. Mengenai pelaksanaan otonomi daerah menurut UU No. 22 Tahun 1999 dapat dideskripsikan tentang kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom mencakup: 1. Kewenangan bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan daerah kota, seperti kewenangan di bidang pekerjaan umum, perhubungan, kehutanan, dan perkebunan. 2. Kewenangan dalam bidang pemerintahan tertentu, meliputi: a. Perencanaan dan pengendalian pembangunan regional secara makro. b. Pelatihan bidang tertentu, alokasi sumberdaya manusia potensial, dan penelitian yang mencakup wilayah propinsi. c. Pengolahan pelabuhan regional. d. Pengendalian lingkungan hidup e. Promosi dagang dan budaya atau pariwisata. 14 f. Penangan penyakit, menular dan hama tanaman. g. Perencanaan tata ruang propinsi 3. Kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan daerah kabupaten dan kota, dapat ditangani propinsi setelah ada penyertaan dari daerah kabupaten dan kota. Berdasarkan UU No.25 Tahun 1999 yang ditetapkan bahwa penerimaan daerah terdiri atas sumber-sumber: (1) Pendapatan asli daerah, (2) Dana perimbangan yang diwujudkan dalam bentuk bagi hasil pajak dan bukan pajak, (3) Pinjaman daerah dan lain-lain penerimaan sah. Proporsi penerimaan daerah otonom dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Proporsi Bagi Hasil Beberapa Komponen Penerimaan Pemerintah Daerah Sebelum dan Sesudah UU. 25 Tahun 1999 No 1. 2. 3. 4. 5. Jenis Penerimaan Sebelum UU Sesudah UU No. No.25/1999 25/1999 Dati Dati Dati Dati II Pusat Pusat II I I (%) (%) (%) (%) (%) (%) 10 16,2 64,6 - 16,2 64,8 20 16 64 16 64 55 30 15 20 16 64 55 30 15 20 16 32 PBB BPHTB IHH PSDH/IHPH Land rent/ 20 16 64 20 16 Iuran Tetap 6. Royalti Pertam20 16 64 20 16 bangan umum 7. Perikanan 100 20 8. Minyak 100 80 3 9. Gas Alam 100 70 6 10. Dana 100 60 Reboisasi 11 PPh 100 80 8 Sumber: Dari Berbagai Publikasi, Diolah Keterangan: PBB : Pajak Bumi dan Bangunan BPHTB : Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan PSDH : Provisi Sumberdaya Hutan IHH : Iuran Hasil Hutan IHPH : Iuran Hasil Penguasaan Hutan PPh : Pajak Pengahasilan PemeraTaan Kab/kota lainnya + + 32 64 - 64 - 6 12 80 6 12 40 - 12 - 15 Dalam perkembangannya UU 22 Tahun 1999 direvisi dengan ditetapkannya UU No. 32 Tahun 2004 yang merupakan penyempurnaan dari UU Otonomi Daerah sebelumnya. Dalam UU No. 32 Tahun 2004 Provinsi melalui Gubernur diberikan tugas dan wewenang lebih besar dari UU sebelumnya. Tugas dan wewenang itu mencakup: (1) Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintah daerah kabupaten/kota, (2) Koordinasi penyelenggaraan urusan Pemerintahan di daerah provinsi dan kabupaten/kota, dan (3) Koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di daerah provinsi dan kabupaten/kota. Sedangkan UU No 25 tahun 1999 yang direvisi dengan UU No. 33 Tahun 2004 secara umum tidak jauh berbeda dengan UU sebelumnya dalam pengatur perimbangan keuangan antara pusat dan daerah 2.3.2. Transfer Keuangan Pusat Ke Daerah Sistem transfer di Indonesia yang dipakai saat ini adalah hasil evolusi sepanjang kurun waktu 50 tahun (dimulai tahun 1945). Sistem transfer ini mempunyai arti yang sangat penting karena pengeluaran Pemerintahan Daerah sebahagian besar sekitar dua pertiganya dibiayai dari transfer yang diberikan oleh pusat. Dalam perkembangannya, sistem alokasi di Indonesia menjadi komplek karena setiap jenis bantuan yang ada sebenarnya merupakan respon fiskal yang sifatnya pragmatis terhadap tekanan yang muncul. Berbagai literatur ilmu ekonomi publik dan keuangan negara menyebutkan beberapa alasan perlunya dilakukan tranfer pusat ke daerah. Pertama, untuk mengatasi persoalan ketimpangan fiskal vertikal. Di banyak negara pemerintah pusat menguasai sebahagian besar sumber-sumber penerimaan (pajak) utama negara yang bersangkutan. Jadi, pemerintahan daerah hanya menguasai sebahagian kecil sumber-sumber penerimaan negara, atau hanya berwewenang untuk memungut pajak-pajak yang basis pajaknya bersifat lokal dan mobilitas yang rendah dengan karakteristik besaran penerimaan daerah relatif kurang signifikan. Kekurangan sumber penerimaan daerah relatif terhadap kewajibannya ini akan menyebabkan dibutuhkannya transfer dana dari pemerintahan pusat. 16 Kedua, untuk mengatasi persoalan ketimbangan fiskal horizontal. Pengalaman empirik di berbagai negara menunjukan bahwa kemampuan daerah untuk menghimpun pendapatan sangat bervariasi, tergantung kepada kondisi daerah yang bersangkutan yang memiliki sumber daya alam atau tidak, ataupun daerah dengan intensitas kegiatan ekonominya yang tinggi atau rendah. Ini semua berimplikasi kepada besarnya basis pajak di daerah-daerah bersangkutan. Di sisi lain, daerah-daerah juga sangat bervariasi dilihat dari kebutuhan belanja untuk berbagai fungsi dan pelayanan publik. Ada daerah-daerah dengan penduduk miskin, penduduk lanjut usia, dan anak-anak serta remaja yang tinggi proporsinya. Ada pula daerah-daerah yang berbentuk kepulauan luas, di mana sarana-prasarana tranportasi dan infratruktur lainnya masih belum memadai. Sementara di lain pihak ada daerah-daerah dengan jumlah penduduk tidak terlalu besar namun sarana dan prasarananya sudah lengkap. Ini memcerminkan tinggi rendahnya kebutuhan fiskal (fiscal need) dari daerah-daerah bersangkutan. Membandingkan kebutuhan fiskal ini dengan kapasitas fiskal (fiscal capacity) tersebut diatas, maka dapat dihitung kesenjangan atau celah fiskal (fiscal gap) dari masing-masing daerah, yang sejogyanya ditutupi oleh transfer dari pemerintahan pusat Ketiga, terkait dengan butir kedua di atas, argumen lain yang menambahkan pentingnya transfer dari pusat dalam konteks ini adalah kewajiban untuk menjaga tercapainya standar pelayanan minimum di setiap daerah. (Simanjuntak, 2002) Secara umum, terdapat tiga jenis transfer di Indonesia, yaitu subsidi bertujuan untuk mencukupi kebutuhan rutin terutama gaji, bantuan bertujuan untuk memberikan bantuan pembangunan, baik yang bersifat umum maupun khusus, dan DIP (Daftar Isian Proyek). Kedua jenis pertama dapat dikategorikan sebagai bantuan antar tingkat pemerintahan (intergovermental grants) sebab menjadi bagian dari anggaran pemerintahan daerah. Sementara DIP diklasifikasikan sebagai ’in-kind allocation’ sebab walaupun dana mengalir ke daerah, namun tidak termasuk ke dalam anggaran Pemerintahan Daerah (Mahi dan Adriansyah, 2002) 17 Pada era otonomi daerah transfer pusat ke daerah di indonesia berupa dana perimbangan yang terdiri dari dana bagi hasil, dana alokasi umum (DAU), dan dana alokasi khusus (DAK). Untuk menghitung berapa besar transfer pusat ke daerah dihitung dengan metode celah fiskal dengan melihat kapasitas fiskal dan kebutuhan fiskal. Sehingga besarnya transfer pusat di daerah dilihat dari perbandingan kapasitas fiskal dan kebutuhan fiskal. Untuk melihat potensi daerah dilihat dari variabel-varaibel berikut ini: 1. PDRB sektor sumber daya alam (primer) Sektor yang termasuk dalam sumber daya alam ini adalah sektor yang diatur dalam UU No. 25 tahun 1999 untuk dibagi hasilkan ke daerah, yaitu: Kehutanan, Perikanan, Pertambangan, Minyak dan Gas Bumi. Variabel ini dipergunakan untuk memperlihatkan perbedaan potensi daerah kaya dengan miskin sumber daya alam. 2. PDRB sektor industri dan jasa lainnya (non primer) PDRB yang termasuk di dalamnya adalah sektor-sektor yang tidak termasuk ke sektor SDA. Variabel ini diperlukan untuk menunjukan potensi penerimaan suatu daerah dari sumber-sumber yang berasal bukan dari bagi hasil SDA, seperti PAD maupun bagi hasil PBB. 3. Besarnya angkatan kerja Variabel ini untuk menunjukan perbedaan potensi daerah atas sumber manusianya. Suatu daerah yang memiliki sumberdaya manusia yang besar secara relatif akan mimiliki potensi penerimaan yang lebih baik, misalnya potensi penerimaan bagi hasil PPh perorangan dan juga PAD. Sedangkan untuk melihat kebutuhan daerah dilihat dari variabel-variabel berikut : 1. Jumlah penduduk Besarnya penduduk suatu daerah mencerminkan kebutuhan pelayanan yang diperlukan. 2. Luas wilayah Daerah dengan penduduk yang tidak padat, tetapi dengan memiliki cakupan wilayah yang luas membutuhkan pembiayaan yang besar. 3. Indeks harga bangunan 18 Indeks harga bangunan merupakan pencerminan dari kondisi geografis suatu daerah. Makin sulit kondisi geografis suatu negara, maka diperlukan pembiayaan yang lebih besar. Biaya konstruksi akan lebih mahal pada daerah pegunungan maupun daerah terpencil. Oleh karena itu, biaya pelayanan pada daerah dengan kondisi geografisnya yang sulit semacam ini cenderung lebih mahal. 4. Jumlah penduduk miskin Target pelayanan adalah untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Dengan demikian, makin banyak penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan, makin besar kebutuhan pembiayaan suatu daerah (Brodjonegoro dan Pakpahan, 2002) 2.4. Tinjauan Penelitian Terdahulu Sutomo (1995) melakukan penelitian dengan menggunakan analisis sistem neraca sosial ekonomi menemukan salah satu penyebab kemiskinan (rumahtangga) yang spesifik di Provinsi Riau adalah karena adanya kegagalan kelembagaan yang tercermin oleh kebocoran regional. Hal ini menunjukkan bahwa output atau produksi yang dihasilkan oleh berbagai sektor ekonomi (produksi) di provinsi tersebut tidak dapat sepenuhnya dinikmati oleh penduduk disana. Hal tersebut terjadi karena adanya kegagalan kebijakan (policy failure) dalam mengalokasikan nilai tambah atau penduduk atau masyarakat di provinsi tersebut. Karena kegagalan ini, maka nilai tambah yang dihasilkan oleh Provinsi Riau tidak dapat dinikmati oleh penduduk setempat tetapiu justru mengalir ke luar negeri atau luar wilayah sehingga tingkat pendapatan yang sekaligus mencerminkan tingkat kesejahteraan masyarakat menjadi lebih rendah dari pada seharusnya. Yudhoyono (2004) melakukuan penelitian dengan menggunakan analisis ekonometrika menemukan tingkat pengangguran secara nyata dipengaruhi oleh kebijakan fiskal dan desentralisasi. Kebijakan fiskal yang berupa pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur memberikan pengaruh positif bagi pengurangan pengangguran di Indonesia. Semakin besar alokasi dana untuk perbaikan infrastruktur, maka semakin besar penurunan angka pengangguran. Sedangkan 19 angka kemiskinan juga dipengaruhi oleh kebijakan fiskal, pertumbuhan ekonomi, dan tingkat upah. Pengeluaran pemerintah memberikan pengaruh positif bagi upaya-upaya pengurangan angka kemiskinan. Peningkatan pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur secara nyata menurunkan angka kemiskinan diperkotaan, dan untuk pedesaan, pengeluaran pemerintah untuk pertanian yang berpengaruh nyata. Berdasarkan hasil simulasi dari model, diperoleh informasi berupa: (1) peningkatan pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja dan pengurangan kemiskinan yang terjadi lebih besar di sektor non-pertanian, (2) peningkatan pengeluran pemerintah untuk sektor pertanian berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja disektor pertanian maupun disektor non-pertanian, dan (3) peningkatan pengeluaran pemerintah untuk pendidikan dan kesehatan akan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja dan pengurangan kemiskinan di sektor pertanian dan sektor non-pertanian. Dradjat (2003) melakukan penelitian dengan menggunakan analisis ekonometrika menemukan apabila kebijakan pembangunan perkebunan diberlakukan kembali sejak tahun 1994-1998, maka nilai tambah subsektor perkebunan rata-rata naik 0.42 persen. Penerapan kebijakan pembangunan perkebunan tersebut juga berdampak pada kenaikan serapan tenaga kerja dan pangsa serapan tenaga kerja. Serapan tenaga kerja secara rata-rata naik 4.47 persen. Seiring dengan kenaikan serapan tenaga kerja, pangsa serapan tenaga kerja di subsektor perkebunan juga naik 4.22 persen. Serapan tenaga kerja ini dipengaruhi secara positif oleh kebijakan pembangunan perkebunan dan melalui mekanisme simultan oleh luas areal perkebunan. Sedangkan untuk peramalan tahun 2003-2008 penerapan kebijakan pembangunan perkebunan berpengaruh langsung terhadap produktivitas dan serapan tenaga kerja. Penerapan kebijakan pembangunan perkebunan akan berdampak pada kenaikan nilai tambah subsektor perkebunan rata-rata 0.37 persen. Sedangkan untuk serapan tenaga kerja, kebijakan pembangunan perkebunan berdampak naiknya serapan tenaga kerja sebesar 5.37 persen. Pangsa 20 serapan tenaga kerja naik 4.99 persen dan indeks produktivitas tenaga kerja turun 4.38 persen Yunus (1997) melakukan penelitian di Sulawesi Tenggara dan menemukan secara agregat pembentukan struktur output dan nilai tambah bruto di sultra tahun 1995 menunjukan kontribusi sektor pertanian dalam arti luas masih dominan dalam perekonomian wilayah, dimana sektor perkebunan mampu memberikan kontribusi dalam pembentukan output dan nilai tambah bruto terbesar setelah sektor tanaman pangan. Sedangkan kontribusi ekspor menunjukan bahwa sektor perkebunan sangat tinggi peranannya yaitu sekita 31.1 persen dari keseluruhan sektor perekonomian di Sulawesi Tenggara. Dilihat dari nilai multiplier tenaga kerja komoditas perkebunan dapat dikategorikan sebagai sektor pemimpin (leading sector) dalam menyediakan kesempatan kerja di wilayah propinsi Sulawesi Tenggara. Anggraeni (2003) melakukan penelitian di Kabupaten Indragiri Hilir Propinsi Riau menemukan subsektor perkebunan mempunyai peranan yang sangat besar terhadap pembangunan wilayah di kabupaten Indragiri Hilir bila dilihat sumbangannya terhadap PDRB (20.3 persen) dan penyerapan tenaga kerja (147 248 KK). Ketangguhan subsektor perkebunan juga ditunjukan oleh rata-rata pertumbuhan yang positif (16.3 persen) walaupun terjadi krisis ekonomi.