Studi Jender terhadap Ungkapan Makna Ina Mana Lali Ai yang

advertisement
BAB 2
MITOS DAN JENDER
2.1 MITOS
2.1.1 Pengertian Mitos
Secara etimologis, kata mitos berasal dari kata Yunani yang
berarti: kata atau ucapan. Mercia Eliade dalam bukunya The Encyclopedia
of Religion, mendefinisikan mitos sebagai: 1
“Muthos it’s means of myth is the word for a story concerning gods
and superhuman beings. A myth is an expression of the sacred in
we world; it reports reality and events from the origin of the word
that remain valid for the basis and purpose of all there is.”
Mitos dalam tradisi klasik Yunani mengacu pada cerita lisan (tell
story). Mitos muncul pertama kali dari dongeng, dimana mitos bergantung
pada si pencerita untuk mengulas “fakta” yang berupa peristiwa dan halhal mistis. Adapun klaim mitos mencakup asal-usul alam semesta, untuk
mengungkap fakta sejarah, membuat penilaian-penilaian emosional,
kepedulian dengan nilai moral, fisik, masalah-masalah ontologism,
menjelaskan kebenaran psikologis, menyampaikan kepercayaan, tahayul,
ritual, menyampaikan ide-ide sosial dan sastra, memperugunakan simbol,
alegori, akal budi, filsafat, dan nilai-nilai etika. Adapun kewenangan
menceritakan mitos merupakan hak pada dewa, bukan manusia. Mitos
1
Mercia Eliade, The Encyclopedia of Religion,
Macmillan Publishing Compani, 1987), 26.
11
Vol. 10, (New York: Moab-Nuad,
adalah cerita ilahi yang diberitahu oleh dewa kepada manusia, dan
manusia kemudian menceritakan kepada sesamanya.2
Studi mitos pada masa modern pertama kali diperkenalkan oleh
Max Muller dalam bukunya Comparative Mythology. Buku tersebut
menerangkan bahwa mitos-mitos berasal dari fenomena-fenomena alam,
khususnya epifani-epifani matahari, yang mula-mula hanyalah sebuah
nama, nomen, tetapi kemudian dijadikan suatu dewa, nume.3 Karya Muller
kemudian menginspirasi tokoh seperti Wilhem Manhardt, James Frazer
dan Smith Thompson untuk mengembangkan pendekatan yang sama
dalam mengumpulkan dan menglasifikasikan mitos dan cerita rakyat.
Mitos dalam fungsi sosial, serta Claude Levi-Strauss dan para strukturalis
lainnya seperti Roland Barthes dalam usaha melihat dan menganalisa polapola relasi dan struktur mitos-mitos yang ada. Selain itu, Freud dalam
usaha mensejajarkan mitos dengan mimpi, yang ada pada dasarnya
merupakan ekpresi dari unconscious wishes, keinginan-keinginan yang tak
disadari yang lahir dari kenyataan hidup sehari-hari.4
Patut untuk diperhatikan bahwa sekalipun studi tentang mitologi
baru muncul pada abad ke- XIX, tetapi hal tersebut tidak berarti studi ini
muncul secara mendadak pada saat itu, studi mitologi secara mendadak, ia
telah seakan telah dipersiapkan oleh sejarah, khususnya studi-studi yang
dilakukan oleh Plato pada saman Yunani Kuno.
2
Myth, Ancient and Modern Lecture, http://www.enchantress.net/ diunduh pada 29
Oktober 2012
3
Hary P.S. Susanto, Mitos Menurut Pemikiran Mercia Eliade, (Jokjakarta: Kanisius,
1987), 23.
4
Lihat Greek Mythology, http://en. Wikipedia.org//wiki//Greek-mythology
12
Kembali pada pengertian mitos, menurut Bronislaw Malinowski,5
mendefinisikan mitos adalah pernyataan atas suatu kebenaran lebih tinggi
dan lebih penting tentang realitas asali, yang masih dimengerti sebagai
pola dan fondasi dari kehidupan primitif. Bertolak dari pengertian tersebut
Malinowski menempatkan mitos sebagai cerita yang mempunyai fungsi
sosial. Menurutnya, suatu mitos adalah suatu kisah tentang masa lampau
yang berfungsi sebagai “piagam” untuk masa kini.6 Artinya, kisah tersebut
menjalankan fungsi menjustifikasi beberapa pranata yang ada pada masa
kini, sehingga dengan demikian, dari kisah tersebut dapat dipakai untuk
mempertahankan pranata tersebut.
Lebih lanjut, definisi Malinowski mendapat perluasan ketika
membaca tulisan Mythologies karya Roland Barthes.7 Dalam karya
tersebut Barthes tidak lagi memperhatikan mitos dalam teks-teks kuno
seperti yang dikembangkan oleh rezim borjuis, yang bertugas memberikan
justifikasi alamiah terhadap nilai-nilai yang dianutnya atas masyarakat
lain. Roland
Barthes menyebutkan bahwa cara yang dinamis untuk
membaca mitos adalah dengan beralih dari pemahaman semiologi
kepemahanamn ideologis, dengan cara menghubungkan mitos dengan
sejarah, untuk menjelaskan bagaimana mitos itu mewakili kepentingan
sebuah masyarakat. Bila mitos dalam pengertian Malinowski sebagai
“piagam” sosial dalam menjustifikasi sebuah pranata tertentu, maka
5
Bronislaw Malonowsky, Myth in Primitive Psychology, (Toromto: Funk & Wagnel
Publishing, 1954), 305.
6
Peter Burke, Sejarah dan Teori Sosial, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003), 34.
7
Roland Barthes, Membedah Mitos-mitos Budaya Masa, (Yokyakarta: Jalasutra, 2007),
138-139.
13
Barthes, menurut penulis pengertian ini lebih “keras” dari pada pengertian
Malinowski dengan mendefinisikan Mitos sebagai bagian dari ideologi
politik yang dikembangkan oleh kaum Borjuis untuk memenangkan
seluruh keinginannya dalam komunitas sosial.8
Pada bagian lain, Malinowski membedakan secara tegas antara
mitos dari legenda dan dongeng. Menurutnya, legenda lebih sebagai cerita
yang seolah-olah merupakan kenyataan sejarah, meskipun sang pencerita
menggunakannya untuk mendukung kepercayaan-kepercayaan dalam
komunitasnya, sebaliknya dengan dongeng juga tidak diyakini sebagai
sesuatu yang sungguh terjadi. Dongeng lebih menjadi bagian dari dunia
hiburan. Sedangkan mitos, menurutnya merupakan pernyataan atau suatu
kebenaran yang tinggi dan penting tentang realitas asali, yang dimengerti
sebagai pola dan fondasi dari kehidupan primitif.9
Levi Strauss10 sendiri mendefinisikan mitos sebagai suatu
ungkapan simbolis dari konflik-konflik batiniah yang tak terpecahkan pada
realitas empiris dan melalui jalur mitos pula mereka mengatasi
kontradiksi-kontradiksi yang tak terpecahkan tersebut. Menggunakan jalur
mitos sebagai sebuah wujud upaya kognitif dalam menyelesaikan dan
memindahkan konflik pada satu bidang, yakni pada tataran empiris (yang
tidak terselesaikan) ke bidang lain melalui jalur mitos, sehingga konflik
atau kontradiksi tersebut dapat diperantarai (mediated) dan dengan
demikian dapat dipecahkan).
8
Ibid., 341.
Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 147.
10
Ibid., 77.
9
14
2.1.2 Cara Kerja Mitos
Mercia Eliade menyebutkan manusia merupakan makhluk religius
(homo religious). Manusia sebagai makhluk religius-yang hidup dalam
dunia dan berlangsung sejak jaman arkhais.11 Dunia ini dibagi dalam dua
wilayah, yakni wilayah sakral (sacred) dan profan (profane). Pembagian
dua wilayah ini pertama-tama muncul karena suatu peristiwa hirofani
(hierophany) yang sakral memanifestasikan diri pada manusia.12
Wilayah sakral adalah yang sungguh-sungguh nyata, penuh
kekuatan, sumber semua kehidupan energi. Yang kudus adalah yang maha
lain, yang transenden, suatu realitas yang bukan milik dunia walaupun
dimanifestasikan di dalam dan melalui dunia. Yang kudus juga ambivalen
secara esensial; mempesona dan menakutkan sekaligus, penyebab
kehidupan dan kematian sekaligus berguna tapi membahayakan, dapat
didekati tapi tak terhampiri. Jadi dapat dicatat bahwa dalam yang kudus
terdapat pertentangan. Pertentangan itu tidak hanya bersifat internal tetapi
juga bersifat eksternal, dalam arti bahwa yang kudus berlawanan dengan
yang profan. Wilayah profan merujuk pada hal-hal yang biasa, wilayah
urusan sehari-hari, penuh bayang-bayang, bisa hilang, arena urusan
manusia.13 Kedua konsep ini – yang kudus dan yang profan - merupakan
dua tingkat realitas yang saling bertentangan satu sama lain.
11
Istilah yang dipakai disini adalah istilah arkhais bukan primitif. Istilah primitif dianggap
tidak memadai dan mudah sekali menimbulkan salah pengertian. Sehingga dipakai istilah arkhais,
istilah ini mau melukiskan suatu masyarakat yang mempunyai ciri-ciri primitive, tradisional,
pramodern, ahsitoris, dan pra-historis.
12
Mercia Eliade, Sakral dan Profan, (Yogyakarta: Fajar Utama, 2002), 3-7.
13
Daniel Pals, Seven Theory of Religion, (Yokyakarta: IRCiSOD, 2001), 275-276.
15
Jauh sebelum Eliade, Durkheim juga telah membagi dunia religi ini
menjadi dua wilayah yaitu sakral dan profan. Kedua ahli ini sepakat bahwa
dalam dunia ini terhadap hakekat “being”. karenanya tidak mengherankan
lagi bila dalam masyarakat primitif atau masyarakat yang arkhais
membentuk simbol-simbol kesakralan yang dapat dipakai sebagai alat
komunikasi dengan yang being itu sendiri. Alat komunikasi tersebut
terkandung dalam hal-hal yang profan tetapi kemudian dimaknai sebagai
perihal sakral, seperti pohon, batu, binatang dan arwah manusia itu
sendiri.14
Keinginan manusia arkhais untuk hidup lebih dekat dengan objek
yang sakral inilah yang mendorong setiap manusia untuk menciptakan
atau mencari di
mana dunia kesakralan
tersebut
sebagai
titik
berangat/pedoman/acuan hidup bersama dalam suatu masyarakat. Di
sinilah letak esensi kehadiran mitos. Mitos sebagai sebuah wadah
dikembangkan dalam rangka mendekatkan diri dengan yang sakral.
Menghadirkan mitos dalam kehidupan manusia adalah dalam rangka
menghadirkan realitas yang sakral ke dalam dunia profan. Proses
menghadirkan dunia sakral ini merupakan nostalgia religius masyarakat
arkhais pada kerinduan untuk menghadirkan kesempurnaan yang ada pada
masa in illo tempore, yang mana kesempurnaan dan keteraturan tersebut
berada.
Sekalipun demikian, adalah tidak cukup untuk melukiskan cara
kerja mitos hanya dalam hubungan menghadirkan realitas sakral pada
14
Emile Durkheim, The Elementari Forms of The Religious Life, (Yokyakarta:
IRCiSOD, 2001), 66-67.
16
dunia profan. Mitos juga dipandang sebaliknya, yakni sisi profan diangkat
lebih tinggi dan kemudian dijadikan realitas yang sakral. Bila kita hanya
melihat mitos dari kacamata fenomena sacred yang masuk ke dunia
profane maka sebenarnya kita telah menghilangkan dimensi sosial dari
mitos itu sendiri sehingga memahami mitos tidak hanya berurusan dengan
fenomena religius tetapi juga fenomena sosial.
Dalam melihat fenomena mitos perlu juga kita melihat secara
terbalik, yang mana mitos yang dipahami sebagai media yang cocok bagi
upaya menempatkan realitas sosial sebagai yang profan ke dalam
kedudukannya yang baru yakni sebagai realitas yang sakral di dalam mana
suatu struktur sosial diberi legitimasi. Persaingan yang terjadi diantara sub
klen berkaitan dengan geneologi prestise sub klen tertentu di dalam
struktur sosial tertentu atau bahkan relasi-relasi kekuasaan yang dibangun
di antara mereka ditempatkan dalam struktur yang dapat diterima.
Perhatian kedudukan mitos sebagai sarana melalui mana rekayasa struktur
dari sub klen penguasa diberi pengesahan. Mitos dalam hal ini telah
menjadi alat kekuasaan untuk melegitimasi suatu pertarungan yang tidak
fair, perebutan kekuasaan diantara sub-sub klen yang bersaing dalam
konteks suatu masyarakat.15
Dengan demikian kita dapat menangkap bahwa fenomena mitos
tidak hanya dipandang sebagai fenomena masuknya dunia sakral ke dalam
dunia profan tetapi juga dapat sebaliknya mitos juga dapat dipandang
sebagai fenomena dunia profan yang masuk ke dalam dunia sakral.
15
Hendrich Ridwan Fanggidae, Tesis Oemau Leo Lilo Sebuah Kajian historis-sosiologis
terhadap mitos sumber air di Kalangan masyarakat Ba’a – Rote – NTT, (Salatiga: UKSW, 2002),
25-27.
17
2.1.3 Fungsi Mitos
Menurut Eliade sebagaimana yang dikutip oleh Robert P. Borrong
dalam bukunya Berakar di dalam Dia dan dibangun diatas Dia,16 fungsi
mitos adalah selain sebagai contoh model (paradigma), juga memberikan
makna atau nilai bagi kehidupan manusia. Demikian pula dengan
Malinowsky17 menjelaskan bahwa fungsi utama mitos dalam suatu
masyarakat adalah mengungkapkan, mengangkat dan merumuskan
kepercayaan, melindungi dan memperkuat moralitas, menjamin efisiensi
dari ritus, serta memberi peraturan-peraturan praksis untuk menuntun
manusia berperilaku. Menurutnya, mitos mempunyai fungsi sosial, cerita
pada masa lampau yang berfungsi sebagai piagam atau dalam bahasa Max
Weber sebagaimana yang dikutip oleh Burke18 sebagai legitimasi.
Menurut C.A. van Peursan, mitos dibagi atas tiga fungsi besar,
yaitu 1). Menyadarkan manusia bahwa ada kekuatan-kekuatan adikodrati.
Mitos tidak memberikan informasi mengenai kekuatan-kekuatan itu, tetapi
membantu manusia agar dapat menghayati daya-daya yang mempengaruhi
dan menguasai alam dan kehidupan masyarakatnya.2). Memberi jaminan
bagi masa kini. Mitos mementaskan kembali suatu peristiwa kejayaan
yang dulu pernah terjadi dengan keberhasilan usaha serupa di masa kini.
3).
Memberikan
keterangan-keterangan
memberikan keterangan-keterangan
16
terjadinya
dunia,
yakni
kepada suatu masyarakat tertentu
Robert P. Borrong, Berakar di Dalam Dia dan Dibangun diatas Dia,(Jakarta: BPK
Gunung Mulya, 2002 ), 181-182.
17
Bronislaw Malinowski, Myth in Primitive Psychology, (Toronto: Funk and Wagnel
Publishing, 1954), 101.
18
Peter Burke, Sejarah dan Teori Sosial, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003), 152.
18
mengenai hubungan antara dewa-dewa, kejadian alam semesta, asal-usul
kejahatan.
2.1.4 Aspek Waktu Dalam Mitos
Jika pada bagian sebelumnya kita melihat bahwa pada manusia
arkhais terdapat dua ruang kehidupan, yaitu ruang sakral dan yang profan,
maka demikian juga pemahaman mereka mengenai waktu. Eliade
menggambarkan bahwa manusia arkhais membagi waktu menjadi 2 jenis
yaitu waktu profan dan waktu kudus. Waktu profan adalah waktu biasa
dalam peristiwa kehidupan sehari-hari, yang merujuk pada waktu historis.
Sedangkan waktu kudus adalah waktu yang diciptakan yang dikuduskan
oleh masyarakat arkhais, yang terjadi pada zaman yang dikenal dengan
sebutan in lilo tempore atau ab origine.19 Waktu kudus merupakan waktu
yang dikaitkan dengan mitos-mitos bukan bagian dari waktu historis kita,
tetapi merupakan waktu asal (origo) dari waktu kita. Perbedaan esensi dari
waktu kudus dan waktu profan ialah bahwa kudus bersifat reversible
(dapat kembali pada waktu lalu), sedangkan waktu profan bersifat nonreversible (waktu yang tidak dapat berbalik kembali). Waktu kudus
merupakan waktu mitis yang selalu dihadirkan kembali dalam setiap acara
religius. Mengambil bagian dari acara religius berarti keluar dari waktu
profan dan masuk ke dalam waktu kudus yang dihadirkan kembali pada
acara religius tersebut.20
19
Mercia Eliade, Sakral and Profan (Yokyakarta: Fajar Utama, 2002 ), 65-69.
Ahimsa Putra, Stukturalisme, Levi-Strauss. Mitos dan Karya Sastra, (Yogyakarta:
Galang Press, 2001), 81-82.
20
19
Terhadap persoalan waktu, Eliade mencatat bahwa terdapat tiga
sikap waktu. Yang pertama adalah orang hidup dalam waktu khayalan.
Yang kedua ialah orang yang hidup dalam waktu historis (waktu kita),
sembari menjalin hubungan keterbukaan dengan waktu agung yang tidak
pernah melupakan bahwa waktu historis kita ini adalah tidak nyata, bukan
waktu yang sesungguhnya. Yang ketiga adalah orang yang sama sekali
menolak dan meninggalkan waktu profan serta hidup dalam waktu kudus.
Yang ketiga dipraktekan oleh para yogi. Yang kedua adalah sikap manusia
religius. Ia hidup dalam dua jenis waktu sekaligus, yakni waktu kudus dan
waktu profan, namun waktu kudus mempunyai peran yang lebih penting
dalam hidupnya. Ia akan berusaha untuk mencapai waktu kudus dan
menghadirkan waktu kudus tersebut karena menurut mereka waktu
tersebut mempunyai hubungan dengan keabadian dan kedamaian.21
Dengan demikian, selanjutnya oleh Levi Strauss mengatakan hal
yang sama yakni bahwa mitos juga berada dalam dua waktu sekaligus.
Persoalan waktu dalam mitos menjadi double structure, yakni waktu yang
bisa berbalik dan waktu yang tidak bisa berbalik. Ini terlihat misalnya dari
fakta bahwa mitos selalu merujuk pada peristiwa-peristiwa yang terjadi
pada masa lalu. Kata-kata “konon dahulu kala…”, “alkisah di zaman
dulu…”, dan sebagainya adalah kata-kata yang lazim kita temukan dalam
pembukaan sebuah mitos. Tetapi, di pihak lain, pola khas dari mitos
merupakan ciri yang membuat mitos tetap relevan dan operasional dalam
konteks yang ada sekarang. Pola-pola tertentu yang diungkapkan mitos,
21
Ibid., 21-82.
20
yang dideskripsikan oleh mitos bersifat timeless (tidak terlihat pada
waktu), tidak terikat pada waktu atau berada pada reversible time. Polapola ini tidak hanya menjelaskan apa yang terjadi di masa lalu, namun
sekaligus juga dapat menjelaskan apa yang tengah terjadi sekarang, dan
apa yang akan terjadi di masa mendatang. Menghadirkan waktu kudus
yang reversible dan timeless pada kehidupan waktu historis kini juga
adalah dalam rangka dalam menghadirkan /memindahkan kesempurnaan
kehidupan pada waktu kudus tersebut pada masa historis.
2.1.5 Beberapa Macam Mitos22
1. Mitos Penciptaan
Mitos yang menceritakan penciptaan alam semesta yang
sebelumnya sama sekali tidak ada. Mitos jenis ini melukiskan
penciptaan dunia lewat pemikiran. Sabda, atau usaha (panas) dari
seorang dewa pencipta. Mitos ini bermaksud mengungkapkan dunia ini
langsung berasal dari dewa pencipta tersebut, tanpa pertolongan
siapapun diluar dirinya atau bahan apapun yang sebelumnya sudah ada.
2.
Mitos Kosmogonik
Adalah kategori mitos yang mengisahkan penciptaan alam semesta,
hanya saja penciptaan tersebut menggunakan sarana yang sudah ada,
atau dengan perantara.
22
Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 147-
157.
21
3. Mitos Asal-usul
Mitos ini mengisahkan asal-mula atau awal dari segala sesuatu,
seekor binatang, suatu jenis tumbuhan, sebuah lembaga, dan
sebagainya. Mitos asal-usul tersebut keberadaan dunia, tetapi hanya
berkisar tentang kemunculan baru dari benda-benda tertentu di dunia.
Dengan
kata
lain,
setiap
mitos
asal-usul
menceritakan
dan
membenarkan suatu situasi yang baru; baru di sini berarti tidak sejak
awal mula berada di dunia ini. Mitos asal-usul menceritakan kepada
kita bagaimana dunia ini telah diubah, dibuat menjadi lebih kaya atau
miskin. Secara struktral, mitos-mitos asal-usul ini lebih menunjuk pada
kosmogonik yang menjadi model percontohan bagi setia asal-usul.
Mitos
asal-usul
ini
melanjutkan
dan
melengkapi
mitos-mitos
kosmogonik.
4. Mitos-mitos Mengenai Para Dewa dan Para Makhluk Adikodrati
Pada masyarakat tradisional mitos-mitos jenis ini mengisahkan
bahwa setelah selesai penciptaan dunia dan manusia, yang Mahatinggi
meninggalkan mereka dan mengundurkan diri ke langit; sedangkan
para dewa maupun makluk adikodrati lainnya ada yang melengkapi
proses penciptaan tadi. Ada yang ambil bagian atas pemerintahan dunia,
ataupun menetapkan tata tertib dunia. Pada beberapa kisah pengunduran
Yang Mahatinggi disertai dengan putus hubungan antara langit dan
bumi atau dengan pemisahan secara besar-besaran antara surga dan
dunia. Pada beberapa kisah lainnya, kedekatan langit pada awal mula,
persahabatan serta hubungan erat antara para dewa dan manusia
22
merupakan situasi kebahagiaan yang luar biasa dan merupakan
imortalitas manusia. Manusia hidup dalam keselarasan yang sempurna
dengan para dewa, dalam persahabatan yang penuh kedamaian dengan
pelbagai jenis binatang, dan dalam suka cita abadi.
5. Mitos Antropogenetik (mitos-mitos yang berkaitan dengan kisah
terjadinya manusia mitos)
Manusia diciptakan oleh Tuhan dari suatu bahan materi,
misalnya dari lumpur (pada suku Yoruba di Negeri), atau dari batu
(mitos-mitos di Indonesia dan Malaysia), dari tanah (Oceania), atau dari
seekor binatang (Asia Tenggara) ada pelbagai variasi atas temannya
manusia pertama diciptakan oleh ibu bumi dan bapa langit lewat
bersetubuhan suci mereka, atau oleh dewa dengan jenis kelamin ganda,
atau di ciptakan dari tanah atau tanaman oleh Tuhan pencipta.
6. Mitos-mitos yang berkenaan dengan transformasi
Mitos-mitos ini menceritakan perubahan-perubahan keadaan dunia
dan manusia di kemudian hari.
7. Mitos-mitos kepahlawanan
Mitos jenis ini menceritakan seorang pelaku ilahi atau memperoleh
inspirasi ilahi untuk menyampaikan kepada manusia hal-hal yang
menjadi sendi kebudayaan mereka seperti api, organisasi keluarga,
hukum dan pemerintah, serta norma-norma moral. Mitos-mitos ini
disebut juga sebagai “mitos kepahlawanan kebudayaan”.
23
Kesimpulan:
Merupakan suatu cerita yang benar dan cerita ini tersebut merupakan milik
mereka yang paling berharga, karena memiliki sesuatu yang suci, bermakna,
menjadi contoh atau model tindakan manusia, memberikan makna atau nilai bagi
kehidupan saat ini. Selain itu, mitos sebagai cerita mempunyai fungsi sosial, di
mana mitos adalah suatu kisah tentang masa lampau yang berfungsi sebagai
“piagam” untuk masa kini.
Mitos berfungsi sebagai contoh model (paradigma), juga memberikan
makna atau nilai bagi kehidupan manusia. Selain itu, fungsi utama mitos dalam
suatu masyarakat adalah mengungkapkan, mengangkat dan merumuskan
kepercayaan, melindungi dan memperkuat moralitas, menjamin efisiensi dari
ritus, serta memberi peraturan-peraturan praksis untuk menuntun manusia
berperilaku. Menurutnya, mitos mempunyai fungsi sosial, cerita pada masa
lampau yang berfungsi sebagai piagam atau sebagai alat legitimasi.
2.2 JENDER
2.2.1 Konsep Jender
Istilah jender berasal dari bahasa Latin (genus), artinya jenis atau
tipe. Kemudian istilah ini dipergunakan untuk jenis kelamin (laki-laki atau
perempuan). Dalam kamus bahasa Inggris istilah ini juga diberi arti jenis
kelamin. Tetapi dalam tulisan ini pemakaian jender yaitu cara memandang,
menilai dan menentukan sikap baik laki-laki maupun perempuan dalam
masyarakat dan kebudayaan.23 Jender dikembangkan dalam masyarakat dan
23
Marie Claire Barth, Hati Allah Bagaikan Hati Seorang Ibu, (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2003),10.
24
dapat berubah. Berbicara mengenai jender selalu dikaitkan dengan
persoalan hubungan antara laki-laki dan perempuan.
Menurut Ann Oakley, jender adalah perbedaan status sosial yang
berpangkal pada perbedaan jenis kelamin, yang mana perbedaan status
sosial itu dibakukan dalam tradisi dan sistem budaya masyarakat.24
Pembakuan perbedaan sosial itu amat ditekankan oleh Wilson dan Lindsey.
Wilson misalnya mengartikan jender sebagai suatu dasar untuk menentukan
perbedaan sumbangan laki-laki dan perempuan pada kebudayaan dan
kehidupan kolektif yang sebagai akibatnya mereka menjadi berbeda yaitu
laki-laki dan perempuan.25 Sementara itu Lindsey mengatakan, bahwa yang
termasuk kajian jender adalah semua ketetapan masyarakat perihal
penentuan seseorang sebagai laki-laki atau perempuan.26 Jadi jender itu
merupakan harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan.
Budaya yang biasanya dikaitkan dengan pembahasan jender dan yang
mengakibatkan ketidakadilan jender adalah dominasi patriarkal, yaitu suatu
sistem dari praktik-praktik sosial dan politik di mana kaum laki-laki
menguasai, menindas, dan mengeksploitasi perempuan.
Membahas permasalahan jender berarti membahas permasalahan
pembagian kerja antara perempuan dan laki-laki dalam kehidupan
masyarakat. Dalam pembahasan mengenai jender, termasuk kesetaraan dan
keadilan jender dikenal adanya dua aliran atau teori, yaitu teori konsep
24
Linda Lindsay, Jender Roles: A Sociological Perspective. (New Jersey, Prentice
Hal,1990). 126
25
Ibid.
26
Ibid.
25
nurture (konstruksi budaya) dan konsep nature (alamiah). Nature dan
nurture (teori pemilahan antara laki-laki dan perempuan) juga berpengaruh
terhadap keberadaan konsep perbedaan jender antara laki-laki dan
perempuan.27
Menurut teori nature (kodrat alam), perbedaan psikologis antara
laki-laki dan perempuan di sebabkan faktor biologis atau seks kedua
insan.28 Secara biologis antara laki-laki dan perempuan berbeda. Perbedaan
biologis itu memberikan indikasi dan implikasi, bahwa di antara kedua
jenis kelamin tersebut memiliki peran dan tugas yang berbeda. Ada peran
dan tugas yang dapat dipertukarkan. Tetapi ada yang tidak bisa karena
memang berbeda secara kodrat alamiahnya. Perempuan dengan kodrat fisik
untuk melahirkan tersebut berakibat pada perkembangannya secara
psikologis yang di butuhkan untuk mengasuh anak yang dilahirkan, seperti
keibuan yang menuntut sikap halus, penyabar, kasih sayang. Maka peran
perempuan dibatasi hanya untuk urusan domestik yaitu berkaitan dengan
rumah tangga, sebagai ibu mengurus anak-anak dan juga sebagai istri.
Sedangkan laki-laki yang digambarkan memiliki fisik yang kuat,
berdampak pada psikologis yang tegas dan bahkan kasar serta berperan di
sektor publik sekaligus memberi perlindungan pada pihak yang lebih lemah
yaitu perempuan.29
27
Anne Hommes, Perubahan Peran Wanita dalam Gereja dan Masyarakat, (Yokyakarta:
Kanisius, 1992), 46.
28
Kasiyan, Manipulasi dan Dehumanisasi Perempuan dalam Iklan, (Yogyakarta:Penerbit
Ombak,2008), 33.
29
Achmad muthaliin, Bias Jender dalam pendidikan, (Surakarta: Universitas
Muhamadiyah Surakarta, 2001), 24.
26
Dalam kehidupan sosial, ada pembagian tugas (division of labour),
begitu pula dalam kehidupan keluarga. Talcott Persons dan Bales
berpendapat bahwa keluarga adalah unit sosial yang memberikan perbedaan
peran suami dan isteri untuk saling melengkapi dan saling membantu satu
sama lain. Keharmonisan hidup hanya dapat diciptakan bila terjadi
pembagian peran dan tugas yang serasi antara perempuan dan laki-laki, dan
hal ini dimulai sejak dini melalui pola pendidikan dan pengasuhan anak
dalam keluarga.30
Teori nurture (kebudayaan) merupakan bantahan terhadap teori
nature yang berpandangan, bahwa perbedaan antara laki-laki dan
perempuan yang terjadi dalam masyarakat, tercipta melalui proses belajar
dari lingkungan, hasil dari proses sosialisasi dan internalisasi pada semua
sistem sosial yang ada dalam masyarakat.31 Perbedaan seks antara laki-laki
dan perempuan yang berproses melalui budaya dan menciptakan perbedaan
jender kemudian menciptakan ideologi jender, tidak menjadi masalah,
apabila dasar pemikiran dan pandangan manusia berada dalam kesetaraan.
Namun perbedaan tersebut diikuti oleh ketidakadilan jender serta
pandangan, bahwa kedudukan laki-laki adalah “diatas” perempuan.
Menurut teori nurture, adanya perbedaan perempuan dan laki-laki
pada hakikatnya adalah hasil konstruksi sosial budaya sehingga
menghasilkan peran dan tugas yang berbeda. Perbedaan tersebut
menyebabkan perempuan selalu tertinggal dan terabaikan peran dan
30
31
Ibid., 29.
Kasiyan, Manipulasi dan…, 36.
27
konstribusinya dalam hidup berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.32
Keadaan ini membuat perempuan tidak menjadi dirinya sendiri,
melainkan menjadi apa yang diinginkan laki-laki sebagai akibat proses
belajar dari lingkungan yang disosialisasikan dan mengalami internalisasi
pada sistem sosial masyarakat. Akibatnya perempuan melakukan transfertype untuk “mengamankan diri”. Proses mengamankan diri yang dilakukan
perempuan tidak jarang harus mengorbankan kaum perempuan itu sendiri,
yang tidak mempunyai kekuasaan dan selalu mendapat tempat di bawah
kedudukan dan dominasi laki-laki. Dalam proses perkembangannya,
disadari ada beberapa kelemahan konsep nurture yang dirasa tidak
menciptakan kedamaian dan keharmonisan dalam kehidupan berkeluarga
maupun bermasyarakat, yaitu terjadi ketidakadilan jender, maka beralih ke
teori nature. Agregat ketidakadilan jender dalam berbagai kehidupan lebih
banyak dialami oleh perempuan.
2.2.2 Teori Ketidakadilan Jender
Perbedaan jender sesungguhnya tidaklah masalah sepanjang tidak
melahirkan ketidakadilan jender (jender inequalitities). Namun yang
menjadi persoalan, ternyata perbedaan jender telah melahirkan berbagai
ketidakadilan bagi kaum perempuan. Ketidakadilan jender merupakan
32
Ibid.
28
sistem dan struktur di mana baik kaum laki-laki dan perempuan menjadi
korban dari sistem tersebut.33
Adapun bentuk-bentuk ketidakadilan jender yang kemukakan oleh
Mansour Fakih:34
1. Marjinalisasi
Marjinalisasi merupakan suatu proses peminggiran akibat
perbedaan jenis kelamin yang mengakibatkan kemiskinan. Banyak
cara yang dapat digunakan untuk memarjinalkan seseorang atau
kelompok. Salah satunya adalah dengan menggunakan asumsi
jender. Misalnya dengan anggapan bahwa perempuan berfungsi
sebagai pencari nafkah tambahan, maka ketika mereka bekerja di
luar rumah (wilayah publik), sering kali dinilai dengan anggapan
tersebut.
Proses marginalisasi, yang merupakan proses pemiskinan
terhadap perempuan, terjadi sejak di dalam rumah tangga dalam
bentuk diskrimiasi atas anggota keluarga laki-laki dengan anggota
keluarga perempuan. Marginalisasi juga diperkuat oleh adat istiadat
maupun tafsir keagamaan. Misalnya, banyak di antara suku-suku di
Indonesia yang tidak memberi hak kepada kaum perempuan untuk
mendapatlan waris sama sekali atau hanya mendapatkan separuh dari
jumlah yang diperoleh laki-laki. Demikian juga dengan kesempatan
dalam memperoleh pekerjaan, berbeda antara laki-laki dan
perempuan, yang akibatnya juga melahirkan perbedaan jumlah
33
Mansour Fakih, Analisis Jender dan Transformasi Sosial, (Yokyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010), 12.
34
Ibid., 13-21.
29
pendapatan antara laki-laki dan perempuan. Seorang perempuan
yang bekerja sepanjang hari di dalam rumah, tidak dianggap bekerja
karena pekerjaan yang dilakukan seberapapun banyaknya , dianggap
tidak produktif secara ekonomis. Namun seandainya seorang
perempuan “bekerja” pun (dalam arti sektor publik) maka
penghasilannya hanya dapat dikategorikan sebagai penghasilan
tambahan saja sebagai penghasilan seorang suami tetap utama,
sehingga dari segi nominal pun perempuan lebih sering mendapatkan
jumlah yang lebih kecil dari pada kaum laki-laki. Jika hal tersebut
terjadi, maka sebenarnya telah berlangsung proses pemiskinan
dengan alasan jender.35
2. Subordinasi
Pandangan
berlandaskan
jender
juga
ternyata
bisa
mengakibatkan subordinasi terhadap perempuan. Anggapan bahwa
perempuan itu irasional atau emosional berakibat munculnya sikap
menempatkan
perempuan
pada
posisi
yang
tidak
penting,
Subordinasi berarti suatu penilaian atau anggapann bahwa suatu
peran yang dilakukan oleh satu jenis kelamin lebih rendah dari yang
lain.36 Telah diketahui, nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, telah
memisahkan dan memilah-milah peran jender, laki-laki dan
perempuan. Perempuan dianggap bertanggung jawab dan memiliki
peran dalam urusan domestik atau reproduksi, sementara laki-laki
dalam urusan publik atau produksi. Pertanyaannya adalah apakah
35
Ivan Illich, Matinya Jender, (Yogyakatra: Pustaka Pelajar, 1998), 43
Julia Cleves Mosse, Jender dan Pembangunan, (Yogyakarta: Rifka Anissa Women’s
Crisis Center dan Pustaka Pelajar, 1996) , 96.
36
30
peran dan fungsi dalam urusan domestik dan reproduksi mendapat
penghargaan yang sama dengan peran publik dan produksi? Jika
jawabannya “tidak sama”, maka itu berarti peran dan fungsi publik
laki-laki. Sepanjang penghargaan sosial terhadap peran domestik dan
reproduksi berbeda dengan peran publik dan reproduksi, sepanjang
itu pula ketidakadilan masih berlangsung.
Subordinasi karena jender tersebut terjadi dalam segala
macam bentuk yang berbeda dari satu tempat ke tempat lain. Salah
satu konsekuensi dari posisi subordinasi perempuan ini adalah
perkembangan keutamaan atas anak laki-laki. Seorang perempuan
yang melahirkan bayi laki-laki akan lebih dihargai dari pada seorang
perempuan yang hanya melahirkan bayi perempuan. Demikian juga
dengan bayi-bayi yang baru lahir tersebut.Kelahiran seorang bayi
laki-laki akan disambut dengan kemeriahan yang lebih besar
dibanding dengan kelahiran seorang bayi perempuan. Subordinasi
juga muncul dalam bentuk kekerasan yang menimpa kaum
perempuan.
3. Stereotip
Anggapan bahwa perempuan itu lebih lemah atau ada di
bawah kaum laki-laki sudah ada sejak permulaan lahirnya filsafat
di dunia barat. Teori ini berganggapan bahwa sudah menjadi
“kodrat” wanita untuk menjadi lebih lemah dan karena itu
31
tergantung kepada laki-laki dalam banyak hal untuk hidupnya.37
Bahkan Aristoteles mengatakan bahwa wanita adalah laki-laki –
yang – tidak lengkap.38 Demikianlah pendikotomian laki-laki dan
perempuan berdasarkan hubungan jender nyata sekali telah
mendatangkan
ketidakadilan
jender
bagi
perempuan
yang
termanifestasi dalam berbagai jender perempuan diharuskan untuk
patuh pada “kodrat”nya yang telah ditentukan oleh masyarakat
untuknya. Karena diskriminasi pula perempuan harus menerima
stereotip yang dilekatkan pada dirinya yaitu bahwa perempuan itu
irasional,
lemah,
emosional
dan
sebagainya
sehingga
kedudukannya pun selalu subordinat terhadap laki-laki, tidak
dianggap penting bahkan tidak dianggap sejarar dengan laki-laki,
sehingga perempuan diasumsikan harus selalu menggantungkan
diri dan hidupnya kepada laki-laki.
Bentuk ketidakadilan jender di atas sebenarnya berpangkal
pada satu sumber kekeliruan yang sama, yaitu stereotip jender lakilaki dan perempuan. Stereotip itu sendiri berarti pemberian citra
baku atau label/cap kepada seseorang atau kelomok yang
didasarkan pada suatu anggapan yang salah.39 Pelabelan umumnya
dilakukan dalam dua hubungan atau lebih dan sering kali
digunakan sebagai alasan untuk membenarkan suatu tindakan dari
satu kelompok atas kelompok lainnya. Pelabelan juga menunjukan
37
Arief Budiman, Pembagian Kerja Secara Seksual, Sebuah Pembahasan Sosiologis
tentang Peran Wanita di dalam Masyarakat,( Jakarta, Gramedia, 1985), 54
38
Ibid.
39
Julia Cleves Mosse, Jender dan Pembangunan…, 65.
32
adanya relasi kekuasaan yang timpang atau tidak seimbang yang
bertujuan untuk menaklukan atau menguasai pihak lain. Pelabelan
negatif juga dapat dilakukan atas dasar anggapan jender. Namun
sering kali pelabelan negatif ditimpakan kepada perempuan.
4. Beban Kerja Ganda
Beban ganda (double burden) artinya beban pekerjaan yang
diterima salah satu jenis kelamin lebih banyak dibandingkan jenis
kelamin lainnya. Peran reproduksi perempuan sering kali dianggap
peran yang statis dan permanen. Walaupun sudah ada peningkatan
jumlah perempuan yang bekerja di wilayah publik, namun tidak
diiringi dengan berkurangnya beban mereka di wilayah domestik.
Upaya maksimal yang dilakukan mereka adalah mensubsitusikan
pekerjaan tersebut kepada perempuan lain, seperti pembantu rumah
tangga atau anggota keluarga perempuan lain, seperti pembantu
rumah tangga atau anggota keluarga perempuan lainnya. Namun
demikian, tanggung jawabnya masih tetap berada di pundak
perempuan. Akibatnya mereka mengalami beban yang berlipat
ganda.
5. Kekerasan terhadap perempuan
Kekerasan (Violence) artinya tindak kekerasan, baik fisik
maupun non fisik yang dilakukan oleh salah satu jenis kelamin atau
sebuah institusi keluarga, masyarakat atau Negara terhadap jenis
kelamin lainnya. Peran jender telah membedakan karakter
perempuan dan laki-laki. Perempuan dianggap lebih feminis dan
33
laki-laki maskulin. Karakter ini kemudian terwujud dalam cirri-ciri
psikologis, seperti laki-laki dianggap gagah, kuat, berani dan
sebagainya. Sebaliknya perempuan dianggap lembut, lemah,
penurut dan sebagainya. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan
pembedaan itu. Namun ternyata pembedaan karakter tersebut
melahirkan
tindakan
kekerasan.
Dengan
anggapan
bahwa
perempuan itu lemah, itu diartikan sebagai alasan untuk
diperlakukan
semena-mena,
berupa
tindakkan
kekerasan.
Kekerasan yang menimpa kaum perempuan termanifestasikan
dalam
berbagai
wujudnya
seperti
perkosaan,
pemukulan,
pemotongan organ intim perempuan (penyunatan) dan pembuatan
pornografi. Hubungan subordinasi dengan kekerasan tersebut
karena perempuan dilihat sebagai objek untuk dimiliki dan
diperdagangkan oleh laki-laki, dan bukan sebagai individu dengan
hak atas tubuh dan kehidupannya.40
Kesimpulan:
Berbicara tengang jender bukan hanya persoalan jenis kelamin, tetapi
mengenai peran, kedudukan dan kesempatan yang dimiliki oleh laki-laki dan
perempuan. Perbedaan jender yang ada sering melahirkan ketidakadilan jender, di
mana dimana terdapat kesempatan (peluang) dan peran yang tidak selaras antara
laki-laki dan perempuan pada masyarakat umumnya. Keadilan gender adalah
lawan dari ketidak-adilan gender. Konstruksi dan identitas jender dipengaruhi
40
Ibid.
34
oleh budaya dan agama. Budaya mengkonstruksikan perempuan kurang dari lakilaki. Sehingga hal tersebut mempengaruhi identitas jender perempuan dan lakilaki dalam masyarakat.
Ketidakadilan jender dalam masyarakat termanifestasikan dalam beberapa
bentuk, yaitu: Marjinalisasi: suatu proses peminggiran akibat perbedaan jenis
kelamin yang mengakibatkan kemiskinan. Subordinasi: suatu penilaian atau
anggapan bahwa suatu peran yang dilakukan oleh satu jenis kelamin lebih rendah
dari yang lain. Sterotipe atau Pelabelan Negatif: Pemberian citra baku atau
label/cap. Contoh: anggapan bahwa perempuan itu lemah atau ada di bawah kaum
laki-laki. Kekerasan: Kekerasan (violence) artinya tindak kekerasan, baik fisik
maupun non fisik yang dilakukan oleh salah satu jenis kelamin atau sebuah
institusi keluarga, masyarakat atau negara terhadap jenis kelamin lainnya dan
yang bentuk ketidakadilan jender yang terkahir adalah beban kerja ganda yaitu
beban pekerjaan yang diterima salah satu jenis kelamin lebih banyak
dibandingkan jenis kelamin lainnya.
35
Download