BAB 2 MITOS DAN JENDER 2.1 MITOS 2.1.1 Pengertian Mitos Secara etimologis, kata mitos berasal dari kata Yunani yang berarti: kata atau ucapan. Mercia Eliade dalam bukunya The Encyclopedia of Religion, mendefinisikan mitos sebagai: 1 “Muthos it’s means of myth is the word for a story concerning gods and superhuman beings. A myth is an expression of the sacred in we world; it reports reality and events from the origin of the word that remain valid for the basis and purpose of all there is.” Mitos dalam tradisi klasik Yunani mengacu pada cerita lisan (tell story). Mitos muncul pertama kali dari dongeng, dimana mitos bergantung pada si pencerita untuk mengulas “fakta” yang berupa peristiwa dan halhal mistis. Adapun klaim mitos mencakup asal-usul alam semesta, untuk mengungkap fakta sejarah, membuat penilaian-penilaian emosional, kepedulian dengan nilai moral, fisik, masalah-masalah ontologism, menjelaskan kebenaran psikologis, menyampaikan kepercayaan, tahayul, ritual, menyampaikan ide-ide sosial dan sastra, memperugunakan simbol, alegori, akal budi, filsafat, dan nilai-nilai etika. Adapun kewenangan menceritakan mitos merupakan hak pada dewa, bukan manusia. Mitos 1 Mercia Eliade, The Encyclopedia of Religion, Macmillan Publishing Compani, 1987), 26. 11 Vol. 10, (New York: Moab-Nuad, adalah cerita ilahi yang diberitahu oleh dewa kepada manusia, dan manusia kemudian menceritakan kepada sesamanya.2 Studi mitos pada masa modern pertama kali diperkenalkan oleh Max Muller dalam bukunya Comparative Mythology. Buku tersebut menerangkan bahwa mitos-mitos berasal dari fenomena-fenomena alam, khususnya epifani-epifani matahari, yang mula-mula hanyalah sebuah nama, nomen, tetapi kemudian dijadikan suatu dewa, nume.3 Karya Muller kemudian menginspirasi tokoh seperti Wilhem Manhardt, James Frazer dan Smith Thompson untuk mengembangkan pendekatan yang sama dalam mengumpulkan dan menglasifikasikan mitos dan cerita rakyat. Mitos dalam fungsi sosial, serta Claude Levi-Strauss dan para strukturalis lainnya seperti Roland Barthes dalam usaha melihat dan menganalisa polapola relasi dan struktur mitos-mitos yang ada. Selain itu, Freud dalam usaha mensejajarkan mitos dengan mimpi, yang ada pada dasarnya merupakan ekpresi dari unconscious wishes, keinginan-keinginan yang tak disadari yang lahir dari kenyataan hidup sehari-hari.4 Patut untuk diperhatikan bahwa sekalipun studi tentang mitologi baru muncul pada abad ke- XIX, tetapi hal tersebut tidak berarti studi ini muncul secara mendadak pada saat itu, studi mitologi secara mendadak, ia telah seakan telah dipersiapkan oleh sejarah, khususnya studi-studi yang dilakukan oleh Plato pada saman Yunani Kuno. 2 Myth, Ancient and Modern Lecture, http://www.enchantress.net/ diunduh pada 29 Oktober 2012 3 Hary P.S. Susanto, Mitos Menurut Pemikiran Mercia Eliade, (Jokjakarta: Kanisius, 1987), 23. 4 Lihat Greek Mythology, http://en. Wikipedia.org//wiki//Greek-mythology 12 Kembali pada pengertian mitos, menurut Bronislaw Malinowski,5 mendefinisikan mitos adalah pernyataan atas suatu kebenaran lebih tinggi dan lebih penting tentang realitas asali, yang masih dimengerti sebagai pola dan fondasi dari kehidupan primitif. Bertolak dari pengertian tersebut Malinowski menempatkan mitos sebagai cerita yang mempunyai fungsi sosial. Menurutnya, suatu mitos adalah suatu kisah tentang masa lampau yang berfungsi sebagai “piagam” untuk masa kini.6 Artinya, kisah tersebut menjalankan fungsi menjustifikasi beberapa pranata yang ada pada masa kini, sehingga dengan demikian, dari kisah tersebut dapat dipakai untuk mempertahankan pranata tersebut. Lebih lanjut, definisi Malinowski mendapat perluasan ketika membaca tulisan Mythologies karya Roland Barthes.7 Dalam karya tersebut Barthes tidak lagi memperhatikan mitos dalam teks-teks kuno seperti yang dikembangkan oleh rezim borjuis, yang bertugas memberikan justifikasi alamiah terhadap nilai-nilai yang dianutnya atas masyarakat lain. Roland Barthes menyebutkan bahwa cara yang dinamis untuk membaca mitos adalah dengan beralih dari pemahaman semiologi kepemahanamn ideologis, dengan cara menghubungkan mitos dengan sejarah, untuk menjelaskan bagaimana mitos itu mewakili kepentingan sebuah masyarakat. Bila mitos dalam pengertian Malinowski sebagai “piagam” sosial dalam menjustifikasi sebuah pranata tertentu, maka 5 Bronislaw Malonowsky, Myth in Primitive Psychology, (Toromto: Funk & Wagnel Publishing, 1954), 305. 6 Peter Burke, Sejarah dan Teori Sosial, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003), 34. 7 Roland Barthes, Membedah Mitos-mitos Budaya Masa, (Yokyakarta: Jalasutra, 2007), 138-139. 13 Barthes, menurut penulis pengertian ini lebih “keras” dari pada pengertian Malinowski dengan mendefinisikan Mitos sebagai bagian dari ideologi politik yang dikembangkan oleh kaum Borjuis untuk memenangkan seluruh keinginannya dalam komunitas sosial.8 Pada bagian lain, Malinowski membedakan secara tegas antara mitos dari legenda dan dongeng. Menurutnya, legenda lebih sebagai cerita yang seolah-olah merupakan kenyataan sejarah, meskipun sang pencerita menggunakannya untuk mendukung kepercayaan-kepercayaan dalam komunitasnya, sebaliknya dengan dongeng juga tidak diyakini sebagai sesuatu yang sungguh terjadi. Dongeng lebih menjadi bagian dari dunia hiburan. Sedangkan mitos, menurutnya merupakan pernyataan atau suatu kebenaran yang tinggi dan penting tentang realitas asali, yang dimengerti sebagai pola dan fondasi dari kehidupan primitif.9 Levi Strauss10 sendiri mendefinisikan mitos sebagai suatu ungkapan simbolis dari konflik-konflik batiniah yang tak terpecahkan pada realitas empiris dan melalui jalur mitos pula mereka mengatasi kontradiksi-kontradiksi yang tak terpecahkan tersebut. Menggunakan jalur mitos sebagai sebuah wujud upaya kognitif dalam menyelesaikan dan memindahkan konflik pada satu bidang, yakni pada tataran empiris (yang tidak terselesaikan) ke bidang lain melalui jalur mitos, sehingga konflik atau kontradiksi tersebut dapat diperantarai (mediated) dan dengan demikian dapat dipecahkan). 8 Ibid., 341. Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 147. 10 Ibid., 77. 9 14 2.1.2 Cara Kerja Mitos Mercia Eliade menyebutkan manusia merupakan makhluk religius (homo religious). Manusia sebagai makhluk religius-yang hidup dalam dunia dan berlangsung sejak jaman arkhais.11 Dunia ini dibagi dalam dua wilayah, yakni wilayah sakral (sacred) dan profan (profane). Pembagian dua wilayah ini pertama-tama muncul karena suatu peristiwa hirofani (hierophany) yang sakral memanifestasikan diri pada manusia.12 Wilayah sakral adalah yang sungguh-sungguh nyata, penuh kekuatan, sumber semua kehidupan energi. Yang kudus adalah yang maha lain, yang transenden, suatu realitas yang bukan milik dunia walaupun dimanifestasikan di dalam dan melalui dunia. Yang kudus juga ambivalen secara esensial; mempesona dan menakutkan sekaligus, penyebab kehidupan dan kematian sekaligus berguna tapi membahayakan, dapat didekati tapi tak terhampiri. Jadi dapat dicatat bahwa dalam yang kudus terdapat pertentangan. Pertentangan itu tidak hanya bersifat internal tetapi juga bersifat eksternal, dalam arti bahwa yang kudus berlawanan dengan yang profan. Wilayah profan merujuk pada hal-hal yang biasa, wilayah urusan sehari-hari, penuh bayang-bayang, bisa hilang, arena urusan manusia.13 Kedua konsep ini – yang kudus dan yang profan - merupakan dua tingkat realitas yang saling bertentangan satu sama lain. 11 Istilah yang dipakai disini adalah istilah arkhais bukan primitif. Istilah primitif dianggap tidak memadai dan mudah sekali menimbulkan salah pengertian. Sehingga dipakai istilah arkhais, istilah ini mau melukiskan suatu masyarakat yang mempunyai ciri-ciri primitive, tradisional, pramodern, ahsitoris, dan pra-historis. 12 Mercia Eliade, Sakral dan Profan, (Yogyakarta: Fajar Utama, 2002), 3-7. 13 Daniel Pals, Seven Theory of Religion, (Yokyakarta: IRCiSOD, 2001), 275-276. 15 Jauh sebelum Eliade, Durkheim juga telah membagi dunia religi ini menjadi dua wilayah yaitu sakral dan profan. Kedua ahli ini sepakat bahwa dalam dunia ini terhadap hakekat “being”. karenanya tidak mengherankan lagi bila dalam masyarakat primitif atau masyarakat yang arkhais membentuk simbol-simbol kesakralan yang dapat dipakai sebagai alat komunikasi dengan yang being itu sendiri. Alat komunikasi tersebut terkandung dalam hal-hal yang profan tetapi kemudian dimaknai sebagai perihal sakral, seperti pohon, batu, binatang dan arwah manusia itu sendiri.14 Keinginan manusia arkhais untuk hidup lebih dekat dengan objek yang sakral inilah yang mendorong setiap manusia untuk menciptakan atau mencari di mana dunia kesakralan tersebut sebagai titik berangat/pedoman/acuan hidup bersama dalam suatu masyarakat. Di sinilah letak esensi kehadiran mitos. Mitos sebagai sebuah wadah dikembangkan dalam rangka mendekatkan diri dengan yang sakral. Menghadirkan mitos dalam kehidupan manusia adalah dalam rangka menghadirkan realitas yang sakral ke dalam dunia profan. Proses menghadirkan dunia sakral ini merupakan nostalgia religius masyarakat arkhais pada kerinduan untuk menghadirkan kesempurnaan yang ada pada masa in illo tempore, yang mana kesempurnaan dan keteraturan tersebut berada. Sekalipun demikian, adalah tidak cukup untuk melukiskan cara kerja mitos hanya dalam hubungan menghadirkan realitas sakral pada 14 Emile Durkheim, The Elementari Forms of The Religious Life, (Yokyakarta: IRCiSOD, 2001), 66-67. 16 dunia profan. Mitos juga dipandang sebaliknya, yakni sisi profan diangkat lebih tinggi dan kemudian dijadikan realitas yang sakral. Bila kita hanya melihat mitos dari kacamata fenomena sacred yang masuk ke dunia profane maka sebenarnya kita telah menghilangkan dimensi sosial dari mitos itu sendiri sehingga memahami mitos tidak hanya berurusan dengan fenomena religius tetapi juga fenomena sosial. Dalam melihat fenomena mitos perlu juga kita melihat secara terbalik, yang mana mitos yang dipahami sebagai media yang cocok bagi upaya menempatkan realitas sosial sebagai yang profan ke dalam kedudukannya yang baru yakni sebagai realitas yang sakral di dalam mana suatu struktur sosial diberi legitimasi. Persaingan yang terjadi diantara sub klen berkaitan dengan geneologi prestise sub klen tertentu di dalam struktur sosial tertentu atau bahkan relasi-relasi kekuasaan yang dibangun di antara mereka ditempatkan dalam struktur yang dapat diterima. Perhatian kedudukan mitos sebagai sarana melalui mana rekayasa struktur dari sub klen penguasa diberi pengesahan. Mitos dalam hal ini telah menjadi alat kekuasaan untuk melegitimasi suatu pertarungan yang tidak fair, perebutan kekuasaan diantara sub-sub klen yang bersaing dalam konteks suatu masyarakat.15 Dengan demikian kita dapat menangkap bahwa fenomena mitos tidak hanya dipandang sebagai fenomena masuknya dunia sakral ke dalam dunia profan tetapi juga dapat sebaliknya mitos juga dapat dipandang sebagai fenomena dunia profan yang masuk ke dalam dunia sakral. 15 Hendrich Ridwan Fanggidae, Tesis Oemau Leo Lilo Sebuah Kajian historis-sosiologis terhadap mitos sumber air di Kalangan masyarakat Ba’a – Rote – NTT, (Salatiga: UKSW, 2002), 25-27. 17 2.1.3 Fungsi Mitos Menurut Eliade sebagaimana yang dikutip oleh Robert P. Borrong dalam bukunya Berakar di dalam Dia dan dibangun diatas Dia,16 fungsi mitos adalah selain sebagai contoh model (paradigma), juga memberikan makna atau nilai bagi kehidupan manusia. Demikian pula dengan Malinowsky17 menjelaskan bahwa fungsi utama mitos dalam suatu masyarakat adalah mengungkapkan, mengangkat dan merumuskan kepercayaan, melindungi dan memperkuat moralitas, menjamin efisiensi dari ritus, serta memberi peraturan-peraturan praksis untuk menuntun manusia berperilaku. Menurutnya, mitos mempunyai fungsi sosial, cerita pada masa lampau yang berfungsi sebagai piagam atau dalam bahasa Max Weber sebagaimana yang dikutip oleh Burke18 sebagai legitimasi. Menurut C.A. van Peursan, mitos dibagi atas tiga fungsi besar, yaitu 1). Menyadarkan manusia bahwa ada kekuatan-kekuatan adikodrati. Mitos tidak memberikan informasi mengenai kekuatan-kekuatan itu, tetapi membantu manusia agar dapat menghayati daya-daya yang mempengaruhi dan menguasai alam dan kehidupan masyarakatnya.2). Memberi jaminan bagi masa kini. Mitos mementaskan kembali suatu peristiwa kejayaan yang dulu pernah terjadi dengan keberhasilan usaha serupa di masa kini. 3). Memberikan keterangan-keterangan memberikan keterangan-keterangan 16 terjadinya dunia, yakni kepada suatu masyarakat tertentu Robert P. Borrong, Berakar di Dalam Dia dan Dibangun diatas Dia,(Jakarta: BPK Gunung Mulya, 2002 ), 181-182. 17 Bronislaw Malinowski, Myth in Primitive Psychology, (Toronto: Funk and Wagnel Publishing, 1954), 101. 18 Peter Burke, Sejarah dan Teori Sosial, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003), 152. 18 mengenai hubungan antara dewa-dewa, kejadian alam semesta, asal-usul kejahatan. 2.1.4 Aspek Waktu Dalam Mitos Jika pada bagian sebelumnya kita melihat bahwa pada manusia arkhais terdapat dua ruang kehidupan, yaitu ruang sakral dan yang profan, maka demikian juga pemahaman mereka mengenai waktu. Eliade menggambarkan bahwa manusia arkhais membagi waktu menjadi 2 jenis yaitu waktu profan dan waktu kudus. Waktu profan adalah waktu biasa dalam peristiwa kehidupan sehari-hari, yang merujuk pada waktu historis. Sedangkan waktu kudus adalah waktu yang diciptakan yang dikuduskan oleh masyarakat arkhais, yang terjadi pada zaman yang dikenal dengan sebutan in lilo tempore atau ab origine.19 Waktu kudus merupakan waktu yang dikaitkan dengan mitos-mitos bukan bagian dari waktu historis kita, tetapi merupakan waktu asal (origo) dari waktu kita. Perbedaan esensi dari waktu kudus dan waktu profan ialah bahwa kudus bersifat reversible (dapat kembali pada waktu lalu), sedangkan waktu profan bersifat nonreversible (waktu yang tidak dapat berbalik kembali). Waktu kudus merupakan waktu mitis yang selalu dihadirkan kembali dalam setiap acara religius. Mengambil bagian dari acara religius berarti keluar dari waktu profan dan masuk ke dalam waktu kudus yang dihadirkan kembali pada acara religius tersebut.20 19 Mercia Eliade, Sakral and Profan (Yokyakarta: Fajar Utama, 2002 ), 65-69. Ahimsa Putra, Stukturalisme, Levi-Strauss. Mitos dan Karya Sastra, (Yogyakarta: Galang Press, 2001), 81-82. 20 19 Terhadap persoalan waktu, Eliade mencatat bahwa terdapat tiga sikap waktu. Yang pertama adalah orang hidup dalam waktu khayalan. Yang kedua ialah orang yang hidup dalam waktu historis (waktu kita), sembari menjalin hubungan keterbukaan dengan waktu agung yang tidak pernah melupakan bahwa waktu historis kita ini adalah tidak nyata, bukan waktu yang sesungguhnya. Yang ketiga adalah orang yang sama sekali menolak dan meninggalkan waktu profan serta hidup dalam waktu kudus. Yang ketiga dipraktekan oleh para yogi. Yang kedua adalah sikap manusia religius. Ia hidup dalam dua jenis waktu sekaligus, yakni waktu kudus dan waktu profan, namun waktu kudus mempunyai peran yang lebih penting dalam hidupnya. Ia akan berusaha untuk mencapai waktu kudus dan menghadirkan waktu kudus tersebut karena menurut mereka waktu tersebut mempunyai hubungan dengan keabadian dan kedamaian.21 Dengan demikian, selanjutnya oleh Levi Strauss mengatakan hal yang sama yakni bahwa mitos juga berada dalam dua waktu sekaligus. Persoalan waktu dalam mitos menjadi double structure, yakni waktu yang bisa berbalik dan waktu yang tidak bisa berbalik. Ini terlihat misalnya dari fakta bahwa mitos selalu merujuk pada peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lalu. Kata-kata “konon dahulu kala…”, “alkisah di zaman dulu…”, dan sebagainya adalah kata-kata yang lazim kita temukan dalam pembukaan sebuah mitos. Tetapi, di pihak lain, pola khas dari mitos merupakan ciri yang membuat mitos tetap relevan dan operasional dalam konteks yang ada sekarang. Pola-pola tertentu yang diungkapkan mitos, 21 Ibid., 21-82. 20 yang dideskripsikan oleh mitos bersifat timeless (tidak terlihat pada waktu), tidak terikat pada waktu atau berada pada reversible time. Polapola ini tidak hanya menjelaskan apa yang terjadi di masa lalu, namun sekaligus juga dapat menjelaskan apa yang tengah terjadi sekarang, dan apa yang akan terjadi di masa mendatang. Menghadirkan waktu kudus yang reversible dan timeless pada kehidupan waktu historis kini juga adalah dalam rangka dalam menghadirkan /memindahkan kesempurnaan kehidupan pada waktu kudus tersebut pada masa historis. 2.1.5 Beberapa Macam Mitos22 1. Mitos Penciptaan Mitos yang menceritakan penciptaan alam semesta yang sebelumnya sama sekali tidak ada. Mitos jenis ini melukiskan penciptaan dunia lewat pemikiran. Sabda, atau usaha (panas) dari seorang dewa pencipta. Mitos ini bermaksud mengungkapkan dunia ini langsung berasal dari dewa pencipta tersebut, tanpa pertolongan siapapun diluar dirinya atau bahan apapun yang sebelumnya sudah ada. 2. Mitos Kosmogonik Adalah kategori mitos yang mengisahkan penciptaan alam semesta, hanya saja penciptaan tersebut menggunakan sarana yang sudah ada, atau dengan perantara. 22 Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 147- 157. 21 3. Mitos Asal-usul Mitos ini mengisahkan asal-mula atau awal dari segala sesuatu, seekor binatang, suatu jenis tumbuhan, sebuah lembaga, dan sebagainya. Mitos asal-usul tersebut keberadaan dunia, tetapi hanya berkisar tentang kemunculan baru dari benda-benda tertentu di dunia. Dengan kata lain, setiap mitos asal-usul menceritakan dan membenarkan suatu situasi yang baru; baru di sini berarti tidak sejak awal mula berada di dunia ini. Mitos asal-usul menceritakan kepada kita bagaimana dunia ini telah diubah, dibuat menjadi lebih kaya atau miskin. Secara struktral, mitos-mitos asal-usul ini lebih menunjuk pada kosmogonik yang menjadi model percontohan bagi setia asal-usul. Mitos asal-usul ini melanjutkan dan melengkapi mitos-mitos kosmogonik. 4. Mitos-mitos Mengenai Para Dewa dan Para Makhluk Adikodrati Pada masyarakat tradisional mitos-mitos jenis ini mengisahkan bahwa setelah selesai penciptaan dunia dan manusia, yang Mahatinggi meninggalkan mereka dan mengundurkan diri ke langit; sedangkan para dewa maupun makluk adikodrati lainnya ada yang melengkapi proses penciptaan tadi. Ada yang ambil bagian atas pemerintahan dunia, ataupun menetapkan tata tertib dunia. Pada beberapa kisah pengunduran Yang Mahatinggi disertai dengan putus hubungan antara langit dan bumi atau dengan pemisahan secara besar-besaran antara surga dan dunia. Pada beberapa kisah lainnya, kedekatan langit pada awal mula, persahabatan serta hubungan erat antara para dewa dan manusia 22 merupakan situasi kebahagiaan yang luar biasa dan merupakan imortalitas manusia. Manusia hidup dalam keselarasan yang sempurna dengan para dewa, dalam persahabatan yang penuh kedamaian dengan pelbagai jenis binatang, dan dalam suka cita abadi. 5. Mitos Antropogenetik (mitos-mitos yang berkaitan dengan kisah terjadinya manusia mitos) Manusia diciptakan oleh Tuhan dari suatu bahan materi, misalnya dari lumpur (pada suku Yoruba di Negeri), atau dari batu (mitos-mitos di Indonesia dan Malaysia), dari tanah (Oceania), atau dari seekor binatang (Asia Tenggara) ada pelbagai variasi atas temannya manusia pertama diciptakan oleh ibu bumi dan bapa langit lewat bersetubuhan suci mereka, atau oleh dewa dengan jenis kelamin ganda, atau di ciptakan dari tanah atau tanaman oleh Tuhan pencipta. 6. Mitos-mitos yang berkenaan dengan transformasi Mitos-mitos ini menceritakan perubahan-perubahan keadaan dunia dan manusia di kemudian hari. 7. Mitos-mitos kepahlawanan Mitos jenis ini menceritakan seorang pelaku ilahi atau memperoleh inspirasi ilahi untuk menyampaikan kepada manusia hal-hal yang menjadi sendi kebudayaan mereka seperti api, organisasi keluarga, hukum dan pemerintah, serta norma-norma moral. Mitos-mitos ini disebut juga sebagai “mitos kepahlawanan kebudayaan”. 23 Kesimpulan: Merupakan suatu cerita yang benar dan cerita ini tersebut merupakan milik mereka yang paling berharga, karena memiliki sesuatu yang suci, bermakna, menjadi contoh atau model tindakan manusia, memberikan makna atau nilai bagi kehidupan saat ini. Selain itu, mitos sebagai cerita mempunyai fungsi sosial, di mana mitos adalah suatu kisah tentang masa lampau yang berfungsi sebagai “piagam” untuk masa kini. Mitos berfungsi sebagai contoh model (paradigma), juga memberikan makna atau nilai bagi kehidupan manusia. Selain itu, fungsi utama mitos dalam suatu masyarakat adalah mengungkapkan, mengangkat dan merumuskan kepercayaan, melindungi dan memperkuat moralitas, menjamin efisiensi dari ritus, serta memberi peraturan-peraturan praksis untuk menuntun manusia berperilaku. Menurutnya, mitos mempunyai fungsi sosial, cerita pada masa lampau yang berfungsi sebagai piagam atau sebagai alat legitimasi. 2.2 JENDER 2.2.1 Konsep Jender Istilah jender berasal dari bahasa Latin (genus), artinya jenis atau tipe. Kemudian istilah ini dipergunakan untuk jenis kelamin (laki-laki atau perempuan). Dalam kamus bahasa Inggris istilah ini juga diberi arti jenis kelamin. Tetapi dalam tulisan ini pemakaian jender yaitu cara memandang, menilai dan menentukan sikap baik laki-laki maupun perempuan dalam masyarakat dan kebudayaan.23 Jender dikembangkan dalam masyarakat dan 23 Marie Claire Barth, Hati Allah Bagaikan Hati Seorang Ibu, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003),10. 24 dapat berubah. Berbicara mengenai jender selalu dikaitkan dengan persoalan hubungan antara laki-laki dan perempuan. Menurut Ann Oakley, jender adalah perbedaan status sosial yang berpangkal pada perbedaan jenis kelamin, yang mana perbedaan status sosial itu dibakukan dalam tradisi dan sistem budaya masyarakat.24 Pembakuan perbedaan sosial itu amat ditekankan oleh Wilson dan Lindsey. Wilson misalnya mengartikan jender sebagai suatu dasar untuk menentukan perbedaan sumbangan laki-laki dan perempuan pada kebudayaan dan kehidupan kolektif yang sebagai akibatnya mereka menjadi berbeda yaitu laki-laki dan perempuan.25 Sementara itu Lindsey mengatakan, bahwa yang termasuk kajian jender adalah semua ketetapan masyarakat perihal penentuan seseorang sebagai laki-laki atau perempuan.26 Jadi jender itu merupakan harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan. Budaya yang biasanya dikaitkan dengan pembahasan jender dan yang mengakibatkan ketidakadilan jender adalah dominasi patriarkal, yaitu suatu sistem dari praktik-praktik sosial dan politik di mana kaum laki-laki menguasai, menindas, dan mengeksploitasi perempuan. Membahas permasalahan jender berarti membahas permasalahan pembagian kerja antara perempuan dan laki-laki dalam kehidupan masyarakat. Dalam pembahasan mengenai jender, termasuk kesetaraan dan keadilan jender dikenal adanya dua aliran atau teori, yaitu teori konsep 24 Linda Lindsay, Jender Roles: A Sociological Perspective. (New Jersey, Prentice Hal,1990). 126 25 Ibid. 26 Ibid. 25 nurture (konstruksi budaya) dan konsep nature (alamiah). Nature dan nurture (teori pemilahan antara laki-laki dan perempuan) juga berpengaruh terhadap keberadaan konsep perbedaan jender antara laki-laki dan perempuan.27 Menurut teori nature (kodrat alam), perbedaan psikologis antara laki-laki dan perempuan di sebabkan faktor biologis atau seks kedua insan.28 Secara biologis antara laki-laki dan perempuan berbeda. Perbedaan biologis itu memberikan indikasi dan implikasi, bahwa di antara kedua jenis kelamin tersebut memiliki peran dan tugas yang berbeda. Ada peran dan tugas yang dapat dipertukarkan. Tetapi ada yang tidak bisa karena memang berbeda secara kodrat alamiahnya. Perempuan dengan kodrat fisik untuk melahirkan tersebut berakibat pada perkembangannya secara psikologis yang di butuhkan untuk mengasuh anak yang dilahirkan, seperti keibuan yang menuntut sikap halus, penyabar, kasih sayang. Maka peran perempuan dibatasi hanya untuk urusan domestik yaitu berkaitan dengan rumah tangga, sebagai ibu mengurus anak-anak dan juga sebagai istri. Sedangkan laki-laki yang digambarkan memiliki fisik yang kuat, berdampak pada psikologis yang tegas dan bahkan kasar serta berperan di sektor publik sekaligus memberi perlindungan pada pihak yang lebih lemah yaitu perempuan.29 27 Anne Hommes, Perubahan Peran Wanita dalam Gereja dan Masyarakat, (Yokyakarta: Kanisius, 1992), 46. 28 Kasiyan, Manipulasi dan Dehumanisasi Perempuan dalam Iklan, (Yogyakarta:Penerbit Ombak,2008), 33. 29 Achmad muthaliin, Bias Jender dalam pendidikan, (Surakarta: Universitas Muhamadiyah Surakarta, 2001), 24. 26 Dalam kehidupan sosial, ada pembagian tugas (division of labour), begitu pula dalam kehidupan keluarga. Talcott Persons dan Bales berpendapat bahwa keluarga adalah unit sosial yang memberikan perbedaan peran suami dan isteri untuk saling melengkapi dan saling membantu satu sama lain. Keharmonisan hidup hanya dapat diciptakan bila terjadi pembagian peran dan tugas yang serasi antara perempuan dan laki-laki, dan hal ini dimulai sejak dini melalui pola pendidikan dan pengasuhan anak dalam keluarga.30 Teori nurture (kebudayaan) merupakan bantahan terhadap teori nature yang berpandangan, bahwa perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang terjadi dalam masyarakat, tercipta melalui proses belajar dari lingkungan, hasil dari proses sosialisasi dan internalisasi pada semua sistem sosial yang ada dalam masyarakat.31 Perbedaan seks antara laki-laki dan perempuan yang berproses melalui budaya dan menciptakan perbedaan jender kemudian menciptakan ideologi jender, tidak menjadi masalah, apabila dasar pemikiran dan pandangan manusia berada dalam kesetaraan. Namun perbedaan tersebut diikuti oleh ketidakadilan jender serta pandangan, bahwa kedudukan laki-laki adalah “diatas” perempuan. Menurut teori nurture, adanya perbedaan perempuan dan laki-laki pada hakikatnya adalah hasil konstruksi sosial budaya sehingga menghasilkan peran dan tugas yang berbeda. Perbedaan tersebut menyebabkan perempuan selalu tertinggal dan terabaikan peran dan 30 31 Ibid., 29. Kasiyan, Manipulasi dan…, 36. 27 konstribusinya dalam hidup berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.32 Keadaan ini membuat perempuan tidak menjadi dirinya sendiri, melainkan menjadi apa yang diinginkan laki-laki sebagai akibat proses belajar dari lingkungan yang disosialisasikan dan mengalami internalisasi pada sistem sosial masyarakat. Akibatnya perempuan melakukan transfertype untuk “mengamankan diri”. Proses mengamankan diri yang dilakukan perempuan tidak jarang harus mengorbankan kaum perempuan itu sendiri, yang tidak mempunyai kekuasaan dan selalu mendapat tempat di bawah kedudukan dan dominasi laki-laki. Dalam proses perkembangannya, disadari ada beberapa kelemahan konsep nurture yang dirasa tidak menciptakan kedamaian dan keharmonisan dalam kehidupan berkeluarga maupun bermasyarakat, yaitu terjadi ketidakadilan jender, maka beralih ke teori nature. Agregat ketidakadilan jender dalam berbagai kehidupan lebih banyak dialami oleh perempuan. 2.2.2 Teori Ketidakadilan Jender Perbedaan jender sesungguhnya tidaklah masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan jender (jender inequalitities). Namun yang menjadi persoalan, ternyata perbedaan jender telah melahirkan berbagai ketidakadilan bagi kaum perempuan. Ketidakadilan jender merupakan 32 Ibid. 28 sistem dan struktur di mana baik kaum laki-laki dan perempuan menjadi korban dari sistem tersebut.33 Adapun bentuk-bentuk ketidakadilan jender yang kemukakan oleh Mansour Fakih:34 1. Marjinalisasi Marjinalisasi merupakan suatu proses peminggiran akibat perbedaan jenis kelamin yang mengakibatkan kemiskinan. Banyak cara yang dapat digunakan untuk memarjinalkan seseorang atau kelompok. Salah satunya adalah dengan menggunakan asumsi jender. Misalnya dengan anggapan bahwa perempuan berfungsi sebagai pencari nafkah tambahan, maka ketika mereka bekerja di luar rumah (wilayah publik), sering kali dinilai dengan anggapan tersebut. Proses marginalisasi, yang merupakan proses pemiskinan terhadap perempuan, terjadi sejak di dalam rumah tangga dalam bentuk diskrimiasi atas anggota keluarga laki-laki dengan anggota keluarga perempuan. Marginalisasi juga diperkuat oleh adat istiadat maupun tafsir keagamaan. Misalnya, banyak di antara suku-suku di Indonesia yang tidak memberi hak kepada kaum perempuan untuk mendapatlan waris sama sekali atau hanya mendapatkan separuh dari jumlah yang diperoleh laki-laki. Demikian juga dengan kesempatan dalam memperoleh pekerjaan, berbeda antara laki-laki dan perempuan, yang akibatnya juga melahirkan perbedaan jumlah 33 Mansour Fakih, Analisis Jender dan Transformasi Sosial, (Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 12. 34 Ibid., 13-21. 29 pendapatan antara laki-laki dan perempuan. Seorang perempuan yang bekerja sepanjang hari di dalam rumah, tidak dianggap bekerja karena pekerjaan yang dilakukan seberapapun banyaknya , dianggap tidak produktif secara ekonomis. Namun seandainya seorang perempuan “bekerja” pun (dalam arti sektor publik) maka penghasilannya hanya dapat dikategorikan sebagai penghasilan tambahan saja sebagai penghasilan seorang suami tetap utama, sehingga dari segi nominal pun perempuan lebih sering mendapatkan jumlah yang lebih kecil dari pada kaum laki-laki. Jika hal tersebut terjadi, maka sebenarnya telah berlangsung proses pemiskinan dengan alasan jender.35 2. Subordinasi Pandangan berlandaskan jender juga ternyata bisa mengakibatkan subordinasi terhadap perempuan. Anggapan bahwa perempuan itu irasional atau emosional berakibat munculnya sikap menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting, Subordinasi berarti suatu penilaian atau anggapann bahwa suatu peran yang dilakukan oleh satu jenis kelamin lebih rendah dari yang lain.36 Telah diketahui, nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, telah memisahkan dan memilah-milah peran jender, laki-laki dan perempuan. Perempuan dianggap bertanggung jawab dan memiliki peran dalam urusan domestik atau reproduksi, sementara laki-laki dalam urusan publik atau produksi. Pertanyaannya adalah apakah 35 Ivan Illich, Matinya Jender, (Yogyakatra: Pustaka Pelajar, 1998), 43 Julia Cleves Mosse, Jender dan Pembangunan, (Yogyakarta: Rifka Anissa Women’s Crisis Center dan Pustaka Pelajar, 1996) , 96. 36 30 peran dan fungsi dalam urusan domestik dan reproduksi mendapat penghargaan yang sama dengan peran publik dan produksi? Jika jawabannya “tidak sama”, maka itu berarti peran dan fungsi publik laki-laki. Sepanjang penghargaan sosial terhadap peran domestik dan reproduksi berbeda dengan peran publik dan reproduksi, sepanjang itu pula ketidakadilan masih berlangsung. Subordinasi karena jender tersebut terjadi dalam segala macam bentuk yang berbeda dari satu tempat ke tempat lain. Salah satu konsekuensi dari posisi subordinasi perempuan ini adalah perkembangan keutamaan atas anak laki-laki. Seorang perempuan yang melahirkan bayi laki-laki akan lebih dihargai dari pada seorang perempuan yang hanya melahirkan bayi perempuan. Demikian juga dengan bayi-bayi yang baru lahir tersebut.Kelahiran seorang bayi laki-laki akan disambut dengan kemeriahan yang lebih besar dibanding dengan kelahiran seorang bayi perempuan. Subordinasi juga muncul dalam bentuk kekerasan yang menimpa kaum perempuan. 3. Stereotip Anggapan bahwa perempuan itu lebih lemah atau ada di bawah kaum laki-laki sudah ada sejak permulaan lahirnya filsafat di dunia barat. Teori ini berganggapan bahwa sudah menjadi “kodrat” wanita untuk menjadi lebih lemah dan karena itu 31 tergantung kepada laki-laki dalam banyak hal untuk hidupnya.37 Bahkan Aristoteles mengatakan bahwa wanita adalah laki-laki – yang – tidak lengkap.38 Demikianlah pendikotomian laki-laki dan perempuan berdasarkan hubungan jender nyata sekali telah mendatangkan ketidakadilan jender bagi perempuan yang termanifestasi dalam berbagai jender perempuan diharuskan untuk patuh pada “kodrat”nya yang telah ditentukan oleh masyarakat untuknya. Karena diskriminasi pula perempuan harus menerima stereotip yang dilekatkan pada dirinya yaitu bahwa perempuan itu irasional, lemah, emosional dan sebagainya sehingga kedudukannya pun selalu subordinat terhadap laki-laki, tidak dianggap penting bahkan tidak dianggap sejarar dengan laki-laki, sehingga perempuan diasumsikan harus selalu menggantungkan diri dan hidupnya kepada laki-laki. Bentuk ketidakadilan jender di atas sebenarnya berpangkal pada satu sumber kekeliruan yang sama, yaitu stereotip jender lakilaki dan perempuan. Stereotip itu sendiri berarti pemberian citra baku atau label/cap kepada seseorang atau kelomok yang didasarkan pada suatu anggapan yang salah.39 Pelabelan umumnya dilakukan dalam dua hubungan atau lebih dan sering kali digunakan sebagai alasan untuk membenarkan suatu tindakan dari satu kelompok atas kelompok lainnya. Pelabelan juga menunjukan 37 Arief Budiman, Pembagian Kerja Secara Seksual, Sebuah Pembahasan Sosiologis tentang Peran Wanita di dalam Masyarakat,( Jakarta, Gramedia, 1985), 54 38 Ibid. 39 Julia Cleves Mosse, Jender dan Pembangunan…, 65. 32 adanya relasi kekuasaan yang timpang atau tidak seimbang yang bertujuan untuk menaklukan atau menguasai pihak lain. Pelabelan negatif juga dapat dilakukan atas dasar anggapan jender. Namun sering kali pelabelan negatif ditimpakan kepada perempuan. 4. Beban Kerja Ganda Beban ganda (double burden) artinya beban pekerjaan yang diterima salah satu jenis kelamin lebih banyak dibandingkan jenis kelamin lainnya. Peran reproduksi perempuan sering kali dianggap peran yang statis dan permanen. Walaupun sudah ada peningkatan jumlah perempuan yang bekerja di wilayah publik, namun tidak diiringi dengan berkurangnya beban mereka di wilayah domestik. Upaya maksimal yang dilakukan mereka adalah mensubsitusikan pekerjaan tersebut kepada perempuan lain, seperti pembantu rumah tangga atau anggota keluarga perempuan lain, seperti pembantu rumah tangga atau anggota keluarga perempuan lainnya. Namun demikian, tanggung jawabnya masih tetap berada di pundak perempuan. Akibatnya mereka mengalami beban yang berlipat ganda. 5. Kekerasan terhadap perempuan Kekerasan (Violence) artinya tindak kekerasan, baik fisik maupun non fisik yang dilakukan oleh salah satu jenis kelamin atau sebuah institusi keluarga, masyarakat atau Negara terhadap jenis kelamin lainnya. Peran jender telah membedakan karakter perempuan dan laki-laki. Perempuan dianggap lebih feminis dan 33 laki-laki maskulin. Karakter ini kemudian terwujud dalam cirri-ciri psikologis, seperti laki-laki dianggap gagah, kuat, berani dan sebagainya. Sebaliknya perempuan dianggap lembut, lemah, penurut dan sebagainya. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan pembedaan itu. Namun ternyata pembedaan karakter tersebut melahirkan tindakan kekerasan. Dengan anggapan bahwa perempuan itu lemah, itu diartikan sebagai alasan untuk diperlakukan semena-mena, berupa tindakkan kekerasan. Kekerasan yang menimpa kaum perempuan termanifestasikan dalam berbagai wujudnya seperti perkosaan, pemukulan, pemotongan organ intim perempuan (penyunatan) dan pembuatan pornografi. Hubungan subordinasi dengan kekerasan tersebut karena perempuan dilihat sebagai objek untuk dimiliki dan diperdagangkan oleh laki-laki, dan bukan sebagai individu dengan hak atas tubuh dan kehidupannya.40 Kesimpulan: Berbicara tengang jender bukan hanya persoalan jenis kelamin, tetapi mengenai peran, kedudukan dan kesempatan yang dimiliki oleh laki-laki dan perempuan. Perbedaan jender yang ada sering melahirkan ketidakadilan jender, di mana dimana terdapat kesempatan (peluang) dan peran yang tidak selaras antara laki-laki dan perempuan pada masyarakat umumnya. Keadilan gender adalah lawan dari ketidak-adilan gender. Konstruksi dan identitas jender dipengaruhi 40 Ibid. 34 oleh budaya dan agama. Budaya mengkonstruksikan perempuan kurang dari lakilaki. Sehingga hal tersebut mempengaruhi identitas jender perempuan dan lakilaki dalam masyarakat. Ketidakadilan jender dalam masyarakat termanifestasikan dalam beberapa bentuk, yaitu: Marjinalisasi: suatu proses peminggiran akibat perbedaan jenis kelamin yang mengakibatkan kemiskinan. Subordinasi: suatu penilaian atau anggapan bahwa suatu peran yang dilakukan oleh satu jenis kelamin lebih rendah dari yang lain. Sterotipe atau Pelabelan Negatif: Pemberian citra baku atau label/cap. Contoh: anggapan bahwa perempuan itu lemah atau ada di bawah kaum laki-laki. Kekerasan: Kekerasan (violence) artinya tindak kekerasan, baik fisik maupun non fisik yang dilakukan oleh salah satu jenis kelamin atau sebuah institusi keluarga, masyarakat atau negara terhadap jenis kelamin lainnya dan yang bentuk ketidakadilan jender yang terkahir adalah beban kerja ganda yaitu beban pekerjaan yang diterima salah satu jenis kelamin lebih banyak dibandingkan jenis kelamin lainnya. 35