Terhadap Kadar Glukosa Darah Tikus Dm

advertisement
5
TINJAUAN PUSTAKA
Murbei
Murbei (Morus alba. L) termasuk marga morus dari keluarga Moraceae
yang mempunyai nama asing mulberry (Inggeris), sangye (China) dan beberapa
nama daerah seperti walot (Sunda), besaran (Jawa), malur (Batak), nagas
(Ambon), tambara mrica (Makassar). Jenis-jenis murbei diklasifikasikan antara
lain dari bentuk dan warna bunga, kuncup, tunas dan daun. Bentuk-bentuk yang
khas dari daun adalah daun berlekuk, dan daun utuh. Daun-daun berlekuk
selanjutnya diklasifikasikan dalam berbagai kategori, tergantung pada jumlah
lekukan. Ada enam jenis murbei yang banyak ditanam dan daunnya digunakan
sebagai pakan ulat sutera di Indonesia yaitu Morus nigra, Morus multicaulis,
Morus australis, Morus alba, Morus alba var macrophylla, dan Morus bombycis.
Dari keenam jenis murbei, jenis morus alba tidak digunakan untuk pakan ulat
sutera, karena jenis ini umumnya ditanam untuk diambil buahnya disamping itu
daun yang dapat dipungut sangat sedikit (Atmosoedarjo et al 2000; Hariana
2007).
Gambar 1. Tanaman murbei (Morus multicaulis)
6
Tanaman murbei dikenal sebagai pakan ulat sutera dalam aktivitas
persuteraan alam. Di lain pihak, daun murbei juga telah diketahui merupakan
ramuan kuno obat tradisional Cina untuk mengobati penyakit diabetes. Daun
murbei juga mengandung asam amino, vitamin A, vitamin B, vitamin C, karoten,
asam folat, mineral dan phytoestrogen. (Hariana 2007).
Berbagai penelitian tentang alkaloid tanaman murbei yang diduga berkaitan
erat dengan efek pengobatan diabetes telah dilakukan, akan tetapi tidak satupun
yang dapat menjelaskan bagaimana mekanisme alkaloid-alkaloid tersebut dapat
mengurangi kadar gula penderita diabetes tersebut. Penemuan tentang senyawa 1deoxynojirimycin (DNJ) yang berhasil diisolasi dari tanaman murbei dan
ditemukan tepatnya terkandung didalam getah tanaman murbei, dimana senyawa
acarbose yang
glukosidase,
mirip dengan glukosa dapat menghambat aktivitas alfa
mengintervensi
proses
hidrolisis
karbohidrat,
menghambat
penyerapan glukosa dan monosakarida-monosakarida yang lainnya. Senyawa
acarbose dan senyawa DNJ, kedua-duanya mempunyai mekanisme kerja yang
sama dalam menurunkan kadar glukosa darah penderita diabetes yaitu
menghambat aktivitas enzim glukosidase yang berfungsi memecah senyawa
polisakarida menjadi monomer-monomer glukosa. (Sofian 2005).
Beberapa penelitian yang dilakukan di India melaporkan bahwa daun murbei
mengandung banyak asam amino yaitu dopamine, DOPAC, kynurenine,
norepinephrine, tryptophan, tyramine, tyrosine, HPAC-4 dan L-DOPA dan serat
kasar yang cukup tinggi (Singhal et al 2001).
Diabetes Mellitus
Menurut Hartono (2006) Diabetes mellitus merupakan kumpulan keadaan
yang disebabkan oleh kegagalan pengendalian gula darah. Kegagalan ini terjadi
karena dua hal yaitu produksi hormon insulin yang tidak memadai atau tidak ada
dan resistensi insulin yang meningkat. Resistensi insulin terjadi pada pintu masuk
di permukaan sel tubuh yang dinamakan reseptor insulin. Reseptor ini
memungkinkan lewatnya glukosa yang dibawa oleh hormon insulin masuk ke
dalam sel. Tidak adanya atau tidak memadainya produksi hormon insulin akan
7
mengakibatkan diabetes melitus tipe 1, terutama ditandai dengan penurunan berat
badan, gejala 3 p (polifagia, polidipsia, poliuria). Dan umumnya ditemukan pada
usia anak-anak hingga remaja. Sedangkan peningkatan resistensi insulin dengan
penurunan kuantitas insulin menyebabkan diabetes tipe 2, yang dicirikan oleh
tubuh yang gemuk dan usia menengah keatas.
Sedangkan menurut Poucell (1999) Diabetes mellitus (DM) merupakan
sindroma multifaktor yang secara metabolik dikarakterisasi dengan terjadinya
keadaan hiperglikemik kronik. Keadaan ini terjadi karena adanya gangguan
terhadap sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Disamping itu
ketidaknormalan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein serta adanya
gangguan hormonal lain seperti glukagon, kortisol dan hormon pertumbuhan.
Klasifikasi
Badan kesehatan dunia (WHO), melalui laporan kedua Expert Committee on
Diabetes mellitus mengelompokkan diabetes menjadi dua kelompok utama, yaitu
Insulin-dependen diabetes mellitus (IDDM) dan Non-insulin-dependent diabetes
mellitus (NIDDM) (WHO 1980). Pada IDDM, pankreas tidak menghasilkan
insulin dalam jumlah yang cukup, sedangkan NIDDM pankreas masih relatif
cukup menghasilkan insulin, tetapi insulin yang ada tidak bekerja secara baik
karena adanya resistensi insulin akibat kegemukan (Dalimartha 2004). Pada tahun
1977, Expert Committee on the Diagnosis dan Classification of Diabetes Mellitus
(ECDCDM) menyepakati klasifikasi baru diabetes mellitus, menjadi DM tipe-1
(yang sebelumnya disebut IDDM atau juvenil diabetes), tipe-2 (sebelumnya
disebut NIDDM atau adult-onset) dan gestational diabetes (Foster-Powel et al.
2002; Rimbawan & Siagian 2004).
Kelompok DM tipe-1 adalah penderita DM yang sangat tergantung pada
suntikan insulin. Kebanyakan penderitanya masih muda dan tidak gemuk.
Gejalanya biasa timbul pada masa kanak-kanak dan puncaknya pada masa akil
baliq (Dalimartha 2004). Sekitar 95 % penderita DM tipe-1 terjadi sebelum usia
25 tahun, dengan prevalensi kejadian yang sama pada pria dan wanita. Individu
yang mengalami DM tipe-1 mempunyai ciri-ciri poliuria, polidipsia, dan
poliphagia. Dalam pengujian glukosa darah, pasien yang mengalami tipe ini
8
apabila diberi 75 g glukosa secara oral dan sebelumnya telah melakukan puasa
selama satu malam, konsentrasi gula darahnya akan meningkat lebih dari 200
md/dl. Sedangkan pada individu normal dengan perlakuan yang sama akan
meningkatkan glukosa darahnya berkisar 140 mg/dl. Tingginya kandungan
glukosa darah dalam tubuh, mengakibatkan laju filtrasi glomerulus terhadap
glukosa menjadi berlebih dan urine akan mengandung banyak glukosa (Champe
& Harvey 1994).
Kelompok DM tipe-2 dicirikan oleh resistensi insulin pada jaringan perifer
dan gangguan sekresi insulin dari sel-β pankreas. DM tipe-2 adalah jenis diabetes
yang paling lazim dan berkaitan dengan riwayat diabetes keluarga, usia lanjut,
obesitas, perubahan pola makan dan aktivitas fisik yang kurang (Willett et al.
2002). Resistensi insulin dan hiperinsulinemia akan menyebabkan kerusakan
toleransi glukosa. Sel-β yang rusak akhirnya menjadi lemah, selanjutnya
mendorong intoleransi glukosa dan hiperglikemia (Mayfield 1998).
Gestational diabetes merupakan klasifikasi operasional, bukan klasifikasi
berdasarkan kondisi fisologis. Diabetes yang diderita oleh wanita sebelum hamil
(pregestational diabetes), wanita yang mengalami DM tipe-1 pada saat hamil,
wanita dan penderita DM tipe-2 yang tidak terdiagnosis dikelompokkan menjadi
gestational diabetes. Kebanyakan wanita penderita gestational diabetes memiliki
homeostatis glukosa yang normal selama paruh pertama (sampai bulan kelima)
masa hamil. Pada paruh kedua masa hamil (antara bulan keempat dan kelima)
mengalami defisiensi insulin relatif. Pada umumnya kadar glukosa darah kembali
normal setelah melahirkan (Lebovitz 1999).
Patofisiologis Diabetes mellitus
Insulin yang disekresi oleh sel-sel β pulau Langerhans pankreas merupakan
salah satu hormon terpenting yang berperan dalam pengaturan kadar glukosa
dalam tubuh. Insulin merupakan suatu hormon polipeptida dan merupakan
kelompok sel yang terdiri dari 1% massa pankreas. Insulin adalah salah satu
hormon terpenting yang mengkoordinasikan penggunaan energi oleh jaringan.
Efek metaboliknya ialah anabolik, seperti sintesis glikogen, triasilgliserol, dan
protein (Champe dan Harvey 1994).
9
Pulau Langerhans merupakan suatu cluster dari kelenjar endokrin yang
tersebar disepanjang eksokrin pankreas dan banyak dilalui kapiler-kapiler darah.
Komposisi selular maupun ukuran dari pulau ini dalam satu pankreas tidak selalu
sama. Pada mamalia, 70 sampai 80% tersusun atas sel-sel β yang mensekresikan
insulin, 15-20% adalah sel-sel α yang memproduksi glukagon, sel δ yang
mensekresikan somatostatin sebesar 5 hingga 10% serta terdapat sel-sel lain
seperti sel PP yang menghasilkan polipeptida pankreatik (Gambar 2 dan 3).
Jumlah maupun ukuran pulau Langerhans tidak selalu sama tergantung pada
kebutuhan fungsional disetiap tingkat perkembangan individu. Perubahan dari
embrio menjadi dewasa diikuti dengan meningkatnya jumlah dari pulau, tetapi
volumenya relatif berkurang. Ketika terjadi perubahan baik jumlah maupun
ukuran yang menyebabkan kebutuhan fungsional suatu individu tidak dapat
terpenuhi maka akan menimbulkan keadaan diabetes (Bonner-Weir dan Smith
1994).
Gambar 2. Anatomi pulau Langerhans (Tortora 1996)
10
Gambar 3. Regulasi normal kadar gula darah (Tortora 1996)
Pada DM tipe-1 dicirikan dengan kekurangan insulin absolut akibat dari
kerusakan sel-β. Kerusakan tersebut disebabkan oleh autoimmun sehingga terjadi
peradangan (insulitis). Proses perusakan ini membutuhkan stimulan dari luar
seperti infeksi virus, rubella atau toksin dan determinan genetik. T-lymphocyte
teraktifkan dan merembes ke pulau Langerhans sehingga menyebabkan suatu
keadaan yang disebut insulitis. Setelah beberapa tahun terserang autoimmun,
terjadi penurunan perlahan-lahan jumlah sel-sel β. Gejala akan nampak secara
tiba-tiba ketika 80-90% sel β telah rusak (Gambar 4). Pada keadaan ini, pankreas
gagal merespon glukosa dari makanan. Terapi insulin dibutuhkan untuk
mengembalikan pengendalian metabolik (Champe & Harvey 1994).
11
Pulau Langerhans Normal
Infeksi (virus) pada sel-sel β
Sekresi interferon α oleh sel-sel β
Predisposisi genetik
Insulitis
Ekspresi MHC oleh sel-sel β
Destruksi sel-sel β
Induksi Autoimun
Defisiensi insulin
Gambar 4. Salah satu kemungkinan tahapan etiologi terjadinya DM tipe-1
(Suyono 2002)
Resistensi insulin merupakan kelainan metabolik yang dicirikan oleh
menurunnya sensitivitas jaringan terhadap insulin (Kendall & Harmel 2002). Men
urut Brody dan Saltiel (1999) resistensi insulin adalah keadaan dimana
konsentrasi insulin yang dihasilkan normal, namun respon biologisnya rendah.
Keadaan ini terjadi karena jaringan gagal merespon insulin secara normal. Pada
DM tipe-2 sering disertai oleh resistensi insulin pada organ sasaran yang
mengakibatkan penurunan responsivitas, baik terhadap insulin endogenous
maupun eksogenous. Sebagai contoh resistensi insulin di hati menyebabkan
produksi glukosa hepatik (glukoneogenesis) tidak terkendali. Pada otot dan
jaringan adiposa, resistensi insulin mengakibatkan penurunan ambilan glukosa
oleh jaringan tersebut (Gambar 5). Resistensi insulin yang berkembang secara
terus menerus akan mengakibatkan sekresi insulin oleh sel-β mengalami
gangguan (Cefalu 2001)
12
Genetik
Resistensi Insulin
Didapat
Hiperinsulinemia
Resistensi Insulin Terkompensasi
(Toleransi glukosa normal)
Genetik
Didapat
Toksisitas glukosa
Asam lemak, dll
Kelelahan sel-sel-β
Diabetes mellitus tipe-2
Gambar 5. Etiologi terjadinya penyakit DM tipe-2 (Suyono 2002)
Diagnosis Diabetes melitus
Kriteria diagnosis diabetes mellitus menurut American Diabetes Association
(ADA) 1998 adalah kadar glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl atau kadar glukosa
puasa ≥ 126 mg/dl.
Diagnosa diabetes mellitus biasanya dibuat dengan mengukur kadar glukosa
puasa (FPG = Fasting Plasma Glucose), kadang-kadang bersama dengan kadar
glukosa setelah makan. Standar untuk glukosa darah puasa (FPG) meningkat pada
semua penderita diabetes kecuali pada penderita diabetes dengan derajat yang
sangat ringan. Kadar glukosa darah plasma yang normal adalah 70-115 mg/dl;
diagnosa dibuat bila dalam 2 kali pemeriksaan yang berbeda ditemukan kadar
glukosa darah puasa (FPG) lebih besar dari 140 mg/dl (kadar dalam darah kapiler
dan darah adalah 120 mg/dl).
Oral Glukosa Tolerance Test (OGTT) menunjukkan kemampuan tubuh
menggunakan sejumlah glukosa dalam jangka waktu yang lama. Walaupun tes ini
masih menjadi konteroversial yang disebabkan tes ini tidak terstandarisasi dengan
baik, akan tetapi OGTT yang tepat dapat digunakan pada mereka dengan kadar
glukosa puasa normal. Pemberian glukosa yang tepat adalah 1 gram/kg berat
13
badan untuk orang dewasa dengan dosis maksimum 100 gram, dan 1,75 gram/kg
berat badan untuk anak-anak yang diberikan dalam bentuk minuman. Glukosa
plasma kemudian diukur sebelum pemberian, kemudian 1 jam, 2 jam, 3 jam, dan
4 sampai 5 jam setelah pemberian glukosa. OGTT dapat digunakan untuk
mendiagnosa diabetes bila kadar glukosa plasma pada saat pemberian glukosa
dan 2 jam sesudah pemberian melebihi 200 mg/dl. (Mayfield 1998).
Komplikasi Diabetes mellitus
Komplikasi akut terjadi jika kadar glukosa darah meningkat atau menurun
tajam dalam waktu relatif singkat. Pada komplikasi akut dapat terjadi
hipoglikemia, yaitu suatu keadaan dengan kadar glukosa darah kurang dari 50
mg/dl dan ketoasidosis diabetik yaitu kadar glukosa darah tinggi tetapi tidak dapat
masuk ke dalam sel karena kekurangan insulin, sehingga kebutuhan energi tubuh
dipenuhi
dengan
meningkatkan
metabolisme
lipid
yang mengakibatkan
menigkatnya asetil-CoA, yang selanjutnya meningkatkan pembentukan badan
keton yang menyebabkan asidosis. Keadaan ini menyebabkan darah menjadi
asam, jaringan tubuh rusak sehingga pasien mengalami koma (Dalimartha 2004;
Ganiswara 1999).
Kondisi hiperglikemik kronis dapat mendorong produksi radikal bebas yang
berlebihan dari proses auto-oksidasi glukosa, progresi protein dan terjadi
perubahan keseimbangan oksidan dan antioksidan tubuh. Pembentukan radikal
bebas yang berlebih pada penderita diabetes dapat memicu penurunan kandungan
antioksidan enzimatik tubuh dan kerusakan jaringan. Hal ini dapat menyebabkan
timbulnya atherosklerosis dan katarak (Szaleczky et al. 1999; Ferrari & Torres
2003).
Pengobatan Diabetes mellitus
Diabetes merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan, tetapi dapat
dikontrol. Untuk mengendalikan penyakit DM, Perkumpulan Endokrinologi
Indonesia (Perkeni) menetapkan empat pilar utama dalam penatalaksanaan DM,
yang meliputi perencanaan diet, latihan jasmani, penyuluhan dan pemberian obat
anti hiperglikemik atau pemberian insulin. Berdasarkan beberapa hasil penelitian
Diabetes Control and Complication Trial ( DCCT) di Amerika dan United
Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS) serta beberapa hasil penelitian
14
lain menunjukkan bahwa dengan pengendalian kadar glukosa darah yang baik
maka resiko terjadinya komplikasi pada penderita DM dapat dicegah dan bahkan
pada hewan percobaan pengendalian kadar glukosa mendekati normal dapat
menghindari resiko terjadinya komplikasi (Hartono 2006).
Untuk mencapai kadar glukosa darah yang mendekati normal langkah
pertama dalam pengelolaan diabetes mellitus adalah perencanaan makan dan
aktifitas fisik (pengelolaan non farmakologis), tetapi kedua hal ini sering gagal
untuk menghasilkan kadar glukosa darah yang diinginkan. Apabila langkah ini
tidak berhasil, dilanjutkan dengan penggunaan obat hipoglikemik (pengelolaan
farmakologis). Ada dua macam obat hipoglikemik, yaitu berupa suntikan dan
berupa tablet yang disebut obat hipoglikemik oral.
A. Hipoglikemik oral
(1) Golongan Sulfonilurea bekerja dengan cara merangsang sel-β pulau
Langerhans untuk pankreas untuk mengeksresikan insulin. Obat golongan
ini tidak berguna bila diberikan pada penderita DM tipe 1, karena pada
penderita DM tipe 1 sel-β pulau Langerhans sudah rusak, sehingga tidak
dapat memproduksi insulin. Obat golongan ini dapat berguna bila
diberikan pada penderita DM tipe 2 (Ganiswara et al. 1999). Obat-obat
yang
termasuk
golongan
sulfonilurea
adalah:
Tolbutamide,
Chlorpropamide, Tolazamide, Acetohexamide sebagai generasi pertama,
sedangkan generasi kedua adalah: Glibenklamide, Glipizide, dan
Glibonuride (Silva 2004).
(2) Golongan Biguanid, derivat biguanid mempunyai mekanisme yang
berlainan dengan derivat sulfonilurea, golongan obat-obat ini bekerja
dengan cara mengurangi resistensi insulin sehingga glukosa dapat
memasuki sel-sel hati, otot dan organ tubuh lainnya. Obat-obat yang
termasuk golongan biguanid
adalah Metformin, Phenformin dan
Buformin (Silva 2004).
(3) Golongan Thiazolidinedion, derivat thiazolidinedion bekerja dengan cara
yang sama dengan derivat biguanid, yaitu dengan mengurangi resistensi
insulin, sehingga glukosa dapat memasuki sel-sel hati, otot dan organ
tubuh lainnya, obat yang termasuk golongan ini adalah Troglitazone.
15
(4) Golongan inhibitor α-Glukosidase, obat ini bekerja dengan cara
menginhibisi secara reversibel kompetitif terhadap enzim hidrolase αmilase pankreatik dan enzim-enzim pencernaan di usus halus seperti
isomaltase, sukrose dan maltase. Enzim-enzim ini berperan pada hidrolisis
karbohidrat makanan menjadi glukosa dan monosakarida lainnya. Pada
penderita DM, inhibisi terhadap enzim ini menyebabkan penghambatan
absorpsi glukosa sehingga menurunkan keadaan hiperglikemia setelah
makan (postpandrial). Obat yang termasuk golongan ini adalah Acarbose
yang dikenal dengan nama dagang Glucobay (Bayer 2004).
Acarbose adalah suatu oligosakarida yang diperoleh dari proses fermentasi
mikroorganisme Actinoplanes utahensis (Gambar 6). Acarbose juga
menghambat enzim α-amilase pankreas yang menghidrolisa tepung dalam
usus halus sehingga menunda penyerapan karbohidrat. Acarbose dapat
digunakan secara kombinasi dengan obat anti diabetik oral lainnya seperti
sulfonilurea, metformin atau insulin untuk meningkatkan kontrol
hiperglikemia, hal ini disebabkan karena acarbose memiliki mekanisme
kerja yang berbeda dengan ketiga golongan antidiabetik oral lainnya
(Bayer 2004).
Gambar 6. Struktur tetrasakarida acarbose dan monosakarida 1-deoxynojirimicyn
(Kanai et al 2001)
16
B Insulin
Insulin merupakan hormon polipeptida yang dihasilkan oleh sel-β dari
pulau Langerhans dan merupakan kelompok sel yang terdiri dari 1% massa
pankreas. Insulin adalah salah satu hormon terpenting yang mengkoordinasikan
penggunaan energi oleh jaringan. Secara fisiologis, fungsi utama insulin adalah
menstimulasi masuknya glukosa ke dalam sel-sel otot dan hati untuk digunakan
sebagai sumber energi atau disimpan dalam bentuk glikogen. Selain itu insulin
juga berperan dalam sintesis protein dan lemak serta menekan produksi glukosa
hepatik. Dalam pengelolaan DM, insulin digunakan untuk terapi penderita DM
tipe-1 tetapi juga tidak jarang digunakan untuk penderita DM tipe-2.
Mekanisme kerja insulin ialah insulin berikatan dengan reseptor spesifik
yang memiliki reaktivitas tinggi pada mebran sel kebanyakan jaringan, termasuk
hati, otot dan adiposa. Ini merupakan tahap pertama aliran reaksi yang akhirnya
menuju kepada susunan aksi biologis yang beranekaragam. Pengikatan insulin
menimbulkan aksi luas. Respon yang paling cepat ialah peningkatan transpor
glukosa ke dalam sel yang terjadi segera setelah insulin berikatan dengan reseptor
membran.
Sesaat setelah glukosa terserap dan masuk ke dalam sistem peredaran darah,
maka glukosa akan segera terdistribusi ke seluruh jaringan tubuh. Dampak
tersebarnya glukosa ke seluruh jaringan tubuh akan meningkatkan keberadaan
insulin pada jaringan tersebut. Mekanisme klasik kerja insulin ini ialah
meningkatkan pemindahan glukosa darah menuju otot dan mencegah proses
glikogenolisis, glukoneogenesis dalam hati dan lipolisis pada jaringan adiposa
(Champe & Harvey 1994; Bessesen 2001).
Hewan Percobaan
Hewan percobaan atau hewan laboratorium adalah hewan yang sengaja
dipelihara dan diternakan untuk dipakai sebagai hewan model untuk mempelajari
berbagai bidang ilmu dalam skala penelitian atau pengamatan laboratorium. Tikus
putih telah diketahui sifat-sifatnya dengan sempurna, mudah dipelihara, relatif
sehat dan peka terhadap pengaruh perlakuan dalam komponen dietnya, sehingga
17
merupakan hewan yang cocok digunakan untuk berbagai penelitian. Galur tikus
putih yang biasa digunakan untuk hewan percobaan di laboratorium adalah Long
Evans, Osborne-Mendel, Sherman, Sparague Dawley, dan Wistar (Malole &
Pramono 1989).
Hewan percobaan untuk diabetes dapat terjadi secara spontan atau dari hasil
induksi eksperimental. Tikus dan kelinci merupakan hewan percobaan yang
paling banyak digunakan untuk maksud diatas. Beberapa strain tikus yang telah
digunakan secara luas sebagai hewan percobaan spontan untuk IDDM diantaranya
NOD (Non-Obes Diabetic) dan Wistar/BB (bio-breeding). Sedangkan hewan
percobaan spontan untuk NIDDM adalah zuckher dan wistar Goto-kakisaki
(Picarel-Blanchot et al. 1996,diacu dalam Andayani 2003).
Diabetes eksperimental pada hewan percobaan dapat terjadi melalui
beberapa cara diantaranya dengan pankreatektomi ataupun menggunakan bahan
kimia diabetogenik seperti aloksan dan streptozotosin dengan dosis yang dapat
menyebabkan kerusakan selektif terhadap sel-sel beta pankreas sehingga
menghasilkan hiperglikemik permanen yang merupakan salah satu etiologi dari
DM tipe-1. Sifat diabetogenik aloksan ataupun streptozotosin dimediasi oleh
senyawa oksigen reaktif yang terbentuk melalui cara yang berbeda pada kedua
bahan tersebut (Rane dan Reddy 2000).
Aloksan
Aloksan merupakan senyawa yang tidak stabil dan bersifat hidrofilik, waktu
paruhnya hanya 1,5 menit pada pH netral dan temperatur 37˚C, dalam suhu lebih
rendah waktu paruhnya menjadi lama. Mekanisme kerja aloksan pada prinsipnya
terjadi melalui beberapa proses yang secara simultan menghasilkan efek
kerusakan pada sel-sel β pankreas. Proses yang dimaksud diantaranya
pembentukan
senyawa
radikal
bebas,
terjadinya
oksidasi
gugus-SH,
penghambatan glukokinase serta adanya gangguan homeostatis kalsium
intraseluler (Szkudelski 2001 ).
Mekanisme kerja aloksan diawali dengan ambilan aloksan ke dalam sel-sel
beta pankreas dan kecepatan ambilan ini akan menentukan sifat diabetogenik
aloksan. Ambilan ini juga dapat terjadi pada hati atau jaringan lain, tetapi jaringan
18
tersebut relatif lebih resisten dibanding pada sel-sel β pankreas. Sifat inilah yang
melindungi jaringan terhadap toksisitas aloksan (Szkudelski 2001 ).
Faktor lain yang sangat dominan menghasilkan sifat diabetogenik aloksan
adalah pembentukan senyawa oksigen reaktif yang terjadi dalam sel-sel β
pankreas. Beberapa penelitian melaporkan bahwa aloksan meningkatkan
konsentrasi kalsium bebas sitosolik dalam sel-sel β pankreas akibat dari beberapa
proses antara lain peningkatan infulk kalsium dari cairan ekstraseluler, mobilisasi
intraseluler, maupun berkurangnya kalsium yang hilang dalam sitoplasma
(Gambar 7). Aloksan lebih umum digunakan untuk menghasilkan model DM
tipe-1. Kemampuan aloksan untuk dapat menimbulkan diabetes juga tergantung
pada jalur penginduksian, dosis, senyawa, hewan percobaan dan status gizinya
(Szkudelski 2001 ).
- SH HS –
Gka
-S–SGki
HA •
Aloksan
Asam Dialurat
O2•
O2
O2•
Fe3+
+
O2•
H2 O2+ O2
Fe2+
OH •
Influk Ca2+ dari ekstraseluler
Mobilisasi Ca2+ dari intraseluler
[ Ca2+ ]
Terbatasnya Ca2+ yang hilang dari sitoplasma
Gambar 7. Mekanisme pembentukan senyawa oksigen reaktif dalam sel pankreas
tikus yang diinduksi aloksan (Szkudelski 2001)
19
Keterangan:
Gka dan Gki masing-masing glukokinase aktif dan inaktif.
HA • radikal aloksan.
[ Ca2+ ] konsentrasi kalsium intraseluler.
Efek Hipoglikemik
Efek bahan aktif dari tanaman umumnya dihasilkan melalui proses ekstraksi
dengan menggunakan beragam pelarut, mulai dari air hingga pelarut organik
seperti heksana, etanol, kloroform, maupun metanol. Beberapa penelitian
melaporkan bahwa bahan aktif yang telah berhasil diidentifikasi dari tanaman
yang menunjukkan efek hipoglikemik antara lain asam 4-hidroksibensoat yang
disarikan dari ekstrak air dalam akar pandanus odorus, laktusin-8-O-metilakrilat
yang disari dari ekstrak kloroform buah Pamentiera edulis, senyawa steroid yang
disarikan dari ekstrak kloroform biji Parkia speciosa (Perez et al 2000).
Berdasarkan penelitian Andayani (2003), aktivitas antihiperglikemik ekstrak
buncis dengan menggunakan pelarut alkohol dan kloroform menunjukkan efek
hipoglikemik yang lebih kuat pada tikus diabetes induksi aloksan dibandingkan
dengan pelarut lain, karena menghasilkan penurunan kadar glukosa darah yang
cukup besar (45 %) yang terjadi satu jam setelah perlakuan. Hal ini diduga karena
kerja bahan aktif melalui stimulasi pada sel-sel β pankreas yang masih tersisa
akan meningkatkan kerja insulin terutama di jaringan periferal. Penelitian Ahmed
et al (1998) yang menguji efek hipoglikemik pada tanaman pare (Momordica
charantia) menduga, bahan aktif yang terkandung pada buah pare dapat
meningkatkan jumlah sel-sel β pankreas. Sedangkan penelitian Sopian (2005)
yang menemukan senyawa acarbose dan senyawa1-deoxynojirimycin (DNJ) yang
mirip dengan glukosa menyatakan bahwa senyawa-senyawa tersebut dapat
menghambat aktivitas enzim alfa glukosidase yang berfungsi memecah senyawa
polisakarida menjadi monomer-monomer glukosa.
Beberapa penelitian mengenai efek hipoglikemik tumbuhan yang diberikan
dalam bentuk sediaan ekstrak menunjukkan adanya perbedaan pola respon
terhadap kadar glukosa darah baik pada hewan maupun pada manusia. (Alarcon
et al 2000).
Download