TINJAUAN PUSTAKA Ayam Arab Berbagai alasan muncul berkaitan dengan asal-usul penamaan ayam Arab. Beberapa sumber mengatakan bahwa asal mula disebut ayam Arab karena awalnya dibawa dari kepulangan ibadah haji dari tanah Arab. Sumber lain menyebutkan penamaan ayam Arab dikarenakan pejantan ayam Arab memiliki libido (keinginan kawin) yang tinggi dan ayam betinanya memiliki bulu dari kepala sampai leher membentuk jilbab apabila dilihat dari jauh. Ayam ini bukan merupakan ayam asli Indonesia melainkan berasal dari Belgia (Natalia et al., 2005). Ayam Arab yang banyak ditemukan di Indonesia merupakan hasil persilangan dengan berbagai jenis ayam, baik ayam lokal maupun ayam ras (Nataamijaya et al., 2003). Ayam Arab lebih tahan penyakit dan tahan perubahan iklim (Yusdja et al., 2005), sehingga berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia dan juga dapat disilangkan dengan ayam lokal lain untuk memperoleh produksi telur yang lebih tinggi dengan kualitas daging yang lebih baik (Sulandari et al., 2007). Ayam Arab ada dua jenis, yaitu ayam Arab silver (brakel kriel-silver) dan ayam Arab golden (brakel kriel-gold). Dalam perkembangannya di masyarakat ayam Arab silver lebih banyak dikenal dan dibudidayakan dibandingkan ayam Arab golden. Kedua jenis ayam Arab ini dibedakan pada warna bulunya sesuai dengan namanya. Ayam Arab silver mempunyai warna bulu dari kepala hingga leher putih keperakan dan warna bulu totol hitam putih/ lurik hitam putih. Ayam Arab golden memiliki ciri khas warna bulu pada kepala sampai leher merah keemasan dan warna bulu badan totol merah keemasan (Natalia et al., 2005). Ayam Arab merupakan salah satu jenis ayam petelur unggul yang mulai banyak dikembangkan di Indonesia karena memiliki penampilan yang lebih menarik dibandingkan dengan ayam buras biasa, produktivitas telurnya tinggi hampir menyerupai produktivitas ayam petelur ras dan memiliki karakteristik telur yang menyerupai ayam Kampung (Natalia et al., 2005). Ayam Arab merupakan ayam petelur unggul yang digolongkan ke dalam ayam tipe ringan dengan bobot badan umur 52 minggu mencapai 2.035,60 ±115,7 g pada jantan dan 1.324,70 ±106,47 g pada betina (Nataamijaya et al., 2003). Produksi telur ayam Arab yang tinggi yaitu 190-250 butir/tahun dengan bobot telur 30-35 g dan hampir tidak memiliki sifat 3 mengeram sehingga waktu bertelur menjadi lebih panjang (Natalia et al., 2005; Sulandari et al., 2007). Telur ayam Arab berwarna putih karena memiliki gen dominan yang berasal dari ayam ras impor, walaupun di Indonesia telah mengalami perkawinan silang dengan ayam lokal. Bobot telur ayam Arab yaitu 34,24±1,38 g per butir dengan umur pertama bertelur yaitu 168,52±3,20 hari dan produksi telur per periode 6 bulan yaitu 51,41±4,61%. Natalia et al. (2005) menyataan bahwa ayam Arab memiliki daging yang tipis dan kulit yang berwarna hitam sehingga daging ayam Arab kurang disukai konsumen, disamping bobot afkirnya tergolong rendah yaitu hanya mencapai 1,1-1,2 kg. Gambar 1. Ayam Arab Betina (kiri) dan Jantan (kanan) Nataamijaya et al. (2003) menyatakan ayam Arab memiliki sifat kualitatif antara lain memiliki jengger bentuk tunggal tegak bergerigi (Serrated Single Comb) dan berwarna merah dengan ukuran jengger pada betina jauh lebih kecil daripada jantan, pial berwarna merah, memiliki warna bulu lebih homogen dengan warna dasar hitam dihiasi warna putih di daerah kepala, leher, dada, punggung dan sayap, serta berwarna putih pada paruh, kulit, dan sisik kaki. Ayam Arab memiliki tingkah laku diantaranya sangat mudah ketakutan, mempunyai sifat liar, dan mudah terkejut. Karakteristik Genetik Eksternal Karakteristik genetik eksternal disebut juga sifat dari suatu individu ternak yang tampak dari luar atau dengan kata lain yaitu fenotipe. Hal tersebut sesuai dengan Hardjosubroto (1999) yang menyatakan bahwa penampilan suatu individu 4 yang nampak dari luar disebut fenotipe. Warwick et al. (1990) mendefinisikan sifat fenotipe sebagai suatu penampakan luar atau sifat-sifat lain dari suatu individu yang dapat diamati atau dapat diukur. Selanjutnya, Hardjosubroto (1999) menjelaskan bahwa fenotipe ditentukan oleh dua faktor, yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan. Fenotipe individu dapat dibedakan atas yang bersifat kualitatif dan yang bersifat kuantitatif. Sifat kualitatif adalah sifat yang tidak dapat diukur tetapi dapat dibedakan dan dikelompokkan secara tegas, misalnya warna bulu, bentuk jengger, ada tidaknya tanduk atau sebagainya. Sifat ini dikendalikan oleh satu atau beberapa gen dan sedikit atau tidak sama sekali dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Sifat kuantitatif adalah sifat yang dapat diukur, misalnya produksi susu, produksi telur, pertambahan berat badan harian, dan sebagainya. Sifat ini dikendalikan oleh banyak pasang gen dan juga banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Ayam Arab memiliki fenotipe yang seragam, yaitu pada jantan bentuk jengger tunggal, tegak, dan berukuran relatif besar dibandingkan ayam lain serta berwarna terang, jengger betina bersifat sama dengan jantan hanya ukurannya agak lebih kecil (Nataamijaya, 2000). Sifat kualitatif ayam Arab disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Sifat Kualitatif Ayam Arab Sifat Kualitatif Jantan Betina Warna Badan (Bulu) bintik putih/bintik merah bintik putih/bintik merah Warna Kulit hitam hitam Bentuk Jengger tunggal dan tegak, tunggal berukuran kecil berukuran relatif lebih dibanding jantan tapi relatif besar dibanding jenis lebih besar dibanding jenis ayam lain betina lain dan ada yang rebah Warna Jengger merah muda terang merah pucat Warna Kaki hitam hitam Warna Kerabang Telur - bervariasi, yaitu putih, putih kekuningan, dan cokelat Sumber: Natalia et al. (2005) 5 Warna Bulu Warna bulu ayam dipengaruhi oleh adanya pigmen melanin (Crawford, 1990). Pigmen melanin terbagi menjadi dua tipe, yaitu eumelanin yang membentuk warna hitam dan biru pada bulu, dan feomelanin yang membentuk warna merahcokelat, salmon, dan kuning tua (Searle, 1968; Brumbaugh, 1968). Kerja pigmen melanin ini diatur oleh gen I (inhibitor) sebagai gen penghambat produksi melanin dan gen i sebagai gen pemicu produksi melanin sehingga ada dua sifat utama pada sifat warna bulu ayam, yaitu sifat berwarna dan sifat tidak berwarna. Warna bulu putih pada ayam yang membawa gen I (inhibitor) adakalanya resesif terhadap warna bulu lain. Begitu pun warna bulu pada ayam yang membawa gen i (gen pembawa sifat warna) tidak selalu hitam tergantung ukuran dan pengaturan granula pigmen. Sifat inhibitor merupakan sifat dominan tidak lengkap pada heterozigot (Ii) yang ditunjukkan oleh adanya spot dan garis hitam pada bagian bulu ayam saat masih muda dan bulu akan sebagian ataupun sepenuhnya hitam pada ayam dewasa (Hutt, 1949). Pola Warna Bulu Primer Distribusi melanin pada bulu primer akan menimbulkan pola bulu yang disebut pola warna bulu primer. Pola warna ini dipengaruhi oleh faktor pendistribusian dan penghambatan distribusi eumelanin. Warna hitam solid dengan simbol E diekspresikan pada penampilan bulu hitam di seluruh bagian bulu dan biasa terlihat pada permukaan bulu yang dibatasi pada leher, bulu besar sayap, dan ekor (Hutt, 1949). Faktor pendistribusi eumelanin pada lokus E terdiri dari tiga alel, yaitu E (hitam polos), e+ (tipe liar), dan e (columbian) yang setelah diteliti kemudian terdiri dari delapan alel, yaitu Extended black (E)> Birchen (ER)> Dominant wheaten (eWh)> wild type (e+) >Brown (eb)> Speckled (es)> Butterrcup (ebc)> Recessive wheaten (ey) (Crawford, 1990). Smyth (1976) menyatakan kerja alel dari lokus E ini bisa pula dibatasi oleh beberapa alel yang bersifat membatasi distribusi eumelanin pada bulu primer, yaitu alel Db (dark brown), Co (columbian), dan Mh (mahagony). Kerja ketiga alel ini akan berpengaruh bila berinteraksi dengan lokus E pada bagian punggung, sayap, kaki, dan bulu ekor. 6 Pola Bulu Sekunder (Corak Bulu) Distribusi melanin pada bulu sekunder akan menimbulkan pola bulu yang disebut pola bulu sekunder atau istilah lainnya adalah corak bulu. Corak bulu pada ayam ada dua jenis corak, yaitu lurik/burik (barred) dilambangkan dengan gen B dan tidak lurik (non barred) dilambangkan b. Gen pola bulu barred (B) bersifat dominan tidak lengkap dan penampilannya bervariasi yang disebabkan oleh faktor jenis kelamin dan pertumbuhan bulu. Ayam betina gen terkaitnya bersifat hemizigot, sedangkan pada jantan bisa bersifat homozigot atau heterozigot. Kerja gen B ini adalah menghambat deposisi melanin dan akan menimbulkan palang-palang putih pada warna dasar hitam sehingga bulu terlihat hitam bergaris-garis putih (Hutt, 1949). Kerlip Bulu Warna kerlip pada lapisan bulu utama dinamakan kerlip bulu yang terdiri dari kerlip perak (Silver dan dilambangkan dengan gen S) dan emas (dilambangkan dengan gen s). Kerlip bulu ditemukan pada ayam yang berbulu hitam polos sampai yang putih sekalipun, namun kurang terlihat pada ayam yang memiliki gen autosomal merah atau yang memiliki bulu dengan kombinasi warna yang keragamannya sangat kompleks. Gen pembawa sifat kerlip bulu terdapat pada kromosom kelamin (Hutt, 1949). Gen S (silver) dan s (emas) terletak di kromosom sex dan alel ini berguna pada persilangan komersial untuk mengidentifikasi jenis kelamin anak ayam yang baru ditetaskas (Crawford, 1990). Warna Shank Karakteristik warna shank kuning (Co) atau putih (I) disebabkan oleh kurangnya kandungan melanin pada jaringan kulit luar (epidermis); kandungan melanin pada lapisan kulit luar dikontrol oleh gen resesif yang ditandai dengan warna shank hitam (Hutt, 1949). Deposisi melanin pada lapisan dermis kulit cakar ayam menyebabkan dua warna, yaitu warna cakar kuning/putih (gen Id) dan warna cakar hitam (gen id). Dunn (1925) menyatakan bahwa kerja gen Id adalah menghambat deposisi melanin di lapisan dermis kulit sehingga kulit kekurangan melanin dan berwarna kuning atau putih, sedangkan gen yang membawa sifat deposisi melanin pada lapisan dermis adalah gen resesif id yang bisa dalam kondisi homozigot atau hemizigot. 7 Selanjutnya diterangkan bahwa gen dominan Id tidak bersifat dominan penuh, hal ini terlihat jelas pada individu heterozigot yang ternyata memiliki bintik-bintik melanin cukup banyak pada permukaan kulit sehingga warna cakar terlihat bukan hitam, tapi abu-abu. Bentuk Jengger Bentuk jengger menurut Hutt (1949) terbagi dalam 4 bagian yaitu bentuk ros, kapri, tunggal, dan walnut (kemiri). Selanjutnya Hutt (1949) menjelaskan bahwa sifat gen dominan tidak penuh dibawa oleh dua gen R (Ros) dan P (pea/kapri). Kedua gen ini akan muncul ekspresinya jika gen lainnya dalam keadaan resesif homozigot, misalnya R-pp akan berfenotipe jengger berbentuk ros dan rrP- berekspresi jengger bentuk kapri. Apabila dominan R berada bersama-sama dengan dominan P, maka akan menyebabkan jengger berbentuk walnut (Hardjosubroto, 1999). Bentuk jengger walnut memiliki empat kemungkinan genotipe, yaitu PPRR, PpRR, PPRr atau PpRr (Crawford, 1990). Hutt (1949) menyatakan sifat jengger tunggal akan muncul dalam bentuk homozigot resesif rrpp. Selanjutnya dijelaskan oleh Hutt (1949) bahwa bentuk jengger mampu menjelaskan bobot badan yang dimiliki oleh ayam tersebut, karena menurutnya besar jengger sangat berkorelasi positif terhadap bobot hidup ayam, nilai korelasinya mencapai 0,85 sampai 0,96. Protein Darah Darah adalah jaringan cair yang terdiri atas dua bagian, yaitu plasma darah dan sel darah. Darah tersusun atas cairan plasma, garam-garam, bahan kimia lainnya, eritrosit (sel darah merah), dan leukosit (sel darah putih). Plasma darah terdiri atas protein (albumin, globulin dan fibrinogen), lemak dalam bentuk kolesterol, fosfolpid, lemak netral, asam lemak, dan mineral anorganik terutama kalsium, potasium dan iodium. Berat darah pada unggas adalah 8% dari berat tubuh anak ayam umur 1-2 minggu dan 6% dari berat tubuh ayam dewasa (Yuwanta, 2008). Frandson (1992) menyatakan bahwa plasma darah terdiri dari air sebanyak 92% dan zat-zat lain sebanyak 8%. Zat-zat lain itu 90% berupa protein dan 0,9% berupa bahan anorganik, sedangkan sisanya adalah bahan organik yang bukan protein. 8 Protein adalah polimer panjang yang tersusun atas asam-asam amino yang terikat secara kovalen oleh ikatan-ikatan peptida (Stansfield dan Elrod, 2002). Kadar protein plasma pada unggas berkisar antara 30-75 mg/ml. Protein plasma pada hewan vertebrata tingkat tinggi dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu fibrinogen, globulin, dan albumin. Fibrinogen bertanggung jawab dalam proses pembentukan darah. Globulin bertanggung jawab dalam berbagai fungsi, terutama yang berkaitan dengan reaksi kekebalan (imun) dan transfer molekul tertentu seperti hormon, vitamin, dan zat besi. Sementara albumin bertanggung jawab mempertahankan volume plasma (Isnaeni, 2010). Protein darah dihasilkan melalui proses transkripsi DNA (asam dioksiribonukleat) dan translasi RNA (asam ribonukleat). Susunan asam amino dan jumlah protein dalam darah sangat ditentukan oleh gen-gen yang mengkodenya (Stansfield dan Elrod, 2002). Penentuan fraksi-fraksi protein darah dapat digunakan untuk menentukan karakteristik genetik ternak tersebut melalui polimorfisme proteinnya (Warwick et al., 1990). Polimorfisme Protein Darah Polimorfisme merupakan variasi genetik yang terjadi pada tingkat DNA dan protein, serta seringkali terekspresikan dalam bentuk fenotipe-fenotipe yang berbeda pada suatu populasi. Polimorfisme dapat muncul pada tiga tingkatan antara lain pada tingkat kromosom, gen, dan pada restriksi fragmen DNA yang polimorfik (Stansfield dan Elrod, 2002). Harris (1994) menyatakan bahwa jika suatu populasi yang anggota-anggotanya memiliki dua atau lebih fenotipe protein yang dikode oleh dua alel atau lebih pada suatu lokus gen tertentu, maka hal tersebut dikenal dengan istilah polimorfisme. Lebih lanjut dijelaskan bahwa suatu lokus disebut polimorfik apabila frekuensi alel tidak lebih besar dari 0,99. Polimorfisme merupakan hasil utama dari aksi gen yang sangat bermanfaat dalam penelitian biologi dasar, terutama untuk menentukan asal usul ternak, menyusun hubungan filogenetis antar spesies dan bangsa atau kelompok-kelompok dalam spesies. Secara umum diantara jenis protein darah yang sudah diketahui bersifat polimorfik adalah globulin (transferin), albumin, enzim-enzim darah dan hemoglobin (Warwick et al., 1990). Hasil penelitian Wulandari (2008) mengenai analisis elektroforesis protein plasma darah ayam Kedu dengan menggunakan gel poliakrilamid menunjukkan 4 lokus yang bersifat polimorfik diantaranya adalah pre9 albumin (Palb), albumin (Alb), tansferin (Tf), dan post-transferin (Ptf). Pada ayam Kampung ditemukan empat macam lokus protein yang polimorfik yaitu hemoglobin, albumin, post-albumin, dan transferin (Johari, 1999). Polimorfisme Protein Plasma Transferin Transferin memiliki kisaran berat molekul sebesar 85.000 Dalton (Da). Hasil penelitian Johari et al. (2008) pada ayam Kedu menunjukkan bahwa lokus transferin (Tf) dikontrol oleh dua alel, yaitu TfB dan TfC. Pita yang bergerak lebih cepat ke arah kutub positif dinamakan alel B, sedangkan pita yang bergerak lebih lambat dinamakan alel C. Kedua alel tersebut dapat membentuk karakter heterozigot BC. Ismoyowati (2008) melaporkan hasil identifikasi fenotipe atau genotipe lokus transferin pada itik Tegal diperoleh tiga alel atau gen yang kombinasinya membentuk empat macam genotipe yaitu, TfAA, TfAB, TfBB dan TfBC dengan masing-masing frekuensi gen TfA adalah 0,25676, frekuensi gen TfB adalah 0,64865 dan frekuensi gen TfC adalah 0,09459. Genotipe homosigot TfAA memiliki potensi produksi telur paling tinggi dibanding dengan genotipe lainnya (104 butir). Genotipe heterosigot TfAB dengan alel atau gen TfA dominan terhadap alel atau gen TfB, sehingga kombinasi antara keduanya menyebabkan menurunnya potensi produksi telur (87 butir). Genotipe homosigot TfBB memiliki potensi produksi telur paling rendah (84 butir). Genotipe heterosigot TfBC dengan alel atau gen TfC dominan terhadap alel TfB, sehingga kombinasi antara keduanya menyebabkan potensi produksi telur yang lebih tinggi dibanding genotipe TfBB (94butir). Polimorfisme Protein Plasma Albumin Albumin memiliki berat molekul sebesar 69.000 Dalton (Da). Pita albumin terlihat jelas karena albumin memiliki bentuk pita yang sangat tebal jika dibandingkan dengan pita-pita lain. Polimorfisme protein darah ayam Kedu diperoleh 2 alel yaitu B dan C dengan nilai frekuensi gen masing-masing yaitu 0,525 dan 0,475 (Johari et al., 2008). Identifikasi lokus albumin pada itik Tegal diperoleh tiga alel atau gen yang kombinasinya membentuk lima macam genotipe, yaitu Alb AA, AlbAB, AlbAC, AlbBB dan AlbBC dengan frekuensi gen atau alel A yaitu 0,20186, frekuensi gen atau alel B sebesar 0,47205 dan frekuensi gen atau alel C sebesar 0,32609. Genotipe homosigot AlbAA memiliki potensi telur paling tinggi (97 butir). Genotipe heterosigot AlbAB 10 dengan alel atau gen AlbB dominan terhadap alel AlbA, sehingga kombinasi antara keduanya menyebabkan menurunnya potensi produksi telur (85,50 butir). Genotipe heterosigot AlbAC (88 butir) dengan alel atau gen AlbC dominan terhadap alel AlbA, sehingga kombinasi antara keduanya menyebabkan potensi produksi telur yang lebih rendah dibanding genotipe AlbAA. Genotipe homosigot AlbBB memiliki potensi produksi telur paling rendah (80,50 butir). Genotipe heterosigot AlbBC (96 butir) dengan alel atau gen AlbC dominan terhadap alel AlbB, sehingga kombinasi antara keduanya menyebabkan potensi produksi telur yang lebih tinggi dibanding genotipe AlbBB (Ismoyowati, 2008). Elektroforesis Elektroforesis adalah suatu teknik pemisahan molekul selular berdasarkan atas ukurannya dengan menggunakan medan listrik yang dialirkan pada suatu medium yang mengandung sampel yang akan dipisahkan. Teknik ini dapat digunakan dengan memanfaatkan muatan listrik yang ada pada makromolekul, misalnya DNA yang bermuatan negatif. Jika molekul yang bermuatan negatif dilewatkan melalui suatu medium, misalnya gel agarose, kemudian dialiri arus listrik dari satu kutub ke kutub yang berlawanan muatannya, maka molekul tersebut akan bergerak dari kutub negatif ke kutub positif. Kecepatan gerak molekul tersebut tergantung pada nisbah (rasio) muatan terhadap massanya, serta tergantung pula pada bentuk molekulnya (Yuwono, 2005). Yuwono (2005) menyatakan bahwa teknik elektroforesis dapat digunakan untuk analisis DNA, RNA maupun protein. Secara umum, teknik elektroforesis protein kadang-kadang disebut analisis allozyme (Feldhamer et al., 1999). Elektroforesis protein pada dasarnya dilakukan dengan prinsip serupa seperti yang digunakan dalam elektroforesis DNA, namun gel yang digunakan adalah gel poliakrilamid. Protein yang dielektroforesis dapat dianalisis dengan pengecatan menggunakan Coomassie blue. Senyawa ini biasanya ditambahkan bersama-sama dengan sampel. Pengecatan protein dapat juga dilakukan dengan larutan perak nitrat yang lebih sensitif dibanding dengan Coomassie blue (Yuwono, 2005). Teknik elektroforesis merupakan suatu teknik yang relatif sederhana dan cepat, dan dengan demikian banyak genotipe dapat diidentifikasi dengan hanya bekerja satu hari di laboratorium. Elektroforesis tidak hanya digunakan untuk 11 mendeteksi variasi gen dari suatu individu tetapi dapat juga digunakan untuk menduga variasi genetik dalam suatu populasi. Selain itu, hasil elektroforesis terhadap protein dapat digunakan untuk memperkirakan hubungan dalam filogeni (Feldhamer et al., 1999). 12