WADI’AH 1. Hukum wadi’ah Bagi seseorang yang merasa mampu menjaga barang yang dititipkan, maka disunnahkan untuk menerima titipan itu. Pahala yang besar telah menanti bagi si pelaku penerima titipan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: "Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa" [alMaa`idah/5 : 2] "Dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik" [al-Baqarah/2 : 195]. Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : ) "Barang siapa yang menghilangkan kesusahan dari kesusahan-kesusahan dunia yang ada pada seorang mukmin, maka Allah akan menghilangkan kesusahannya dari kesusahan-kesusahan dirinya pada hari Kiamat … dan Allah ada dalam pertolongan seorang hamba, selama hamba tersebut dalam pertolongan saudaranya".1 Transaksi wadi`ah ini merupakan akad yang bersifat jaiz (boleh) dari dua belah pihak. Masing-masing di antara keduanya berhak untuk membatalkan akad yang berlangsung, kapanpun juga. Ridha tidaknya pihak yang dibatalkan tidak ada pengaruhnya. Dan akad ini, secara otomatis terputus, bila salah satu dari keduanya meninggal atau hilang akalnya karena gila atau sakit. 2 Bagi seseorang yang menerima titipan atau amanah ini, wajib untuk menjaganya seperti miliknya sendiri. Karenanya, bila barang titipan itu hilang atau rusak, maka pihak yang dititipi tidak wajib dimintakan ganti atau pertanggungjawabannya, karena ia sebagai orang yang dipercaya oleh si penitip, selama pihak yang dititipi tidak berbuat 1 2 al-Fiqh 'ala Mazahib al-Arba'ah (3/110), al-Mausu'ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah (1/93). al-Fiqh Islami wa-Adillatuhu, 5/4023. 1 lalai dan aniaya dalam penjagaan. Bila terjadi kelalaian dan perbuatan aniaya, maka wajib bagi yang dititipi untuk menggantinya dan bertanggung jawab dengan barang tersebut, karena ia telah merusak harta dan barang orang lain. Oleh karena itu, wajib bagi seseorang yang dititipi untuk menjaga barang titipan tersebut di tempat aman atau yang semestinya, sebagaimana layaknya ia menjaga hartanya sendiri. Beberapa contoh berkaitan dengan keadaan si penyimpan yang harus bertanggung jawab dengan barang yang dihilangkan atau dirusakkannya. Antara lain sebagai berikut:3 Disebabkan oleh kelalaian dalam menjaga barang dengan tidak menyimpannya di tempat yang sewajarnya. Menggunakan barang titipan untuk kepentingan pribadinya. Membawanya ketika safar, padahal tidak diizinkan atau tidak dalam keadaan terpaksa. Merusak penutup dari kantung (tempat) barang yang ada. Menolak untuk menyerahkan simpanan ketika diminta oleh pemiliknya. 2. SYARAT GANTI RUGI? Ketika pemilik barang yang menitipkan mensyaratkan kepada orang yang dititipi untuk bertanggung jawab terhadap kerusakan atau kehilangan, kemudian ia ridha dan menerimanya, atau si penyimpan (yang dititipi) itu mengatakan bahwa ia akan menanggung kerusakan atau kehilangan tersebut, maka bila ternyata dicuri atau rusak tanpa kelalaian dalam menjaganya, maka ia tidak wajib menggantinya, karena persyaratan untuk bertanggung jawab dari orang yang dipercaya/amanah adalah batil. Demikian ini pendapat mayoritas ulama dari empat mazhab yang ada. 4 3. RUSAK DAN HILANGNYA BENDA TITIPAN Jika mustauda’ (orang yang menerima titipan) mengaku bahwa benda-benda titipan telah rusak tanpa adanya unsur kesengajaan darinya, maka ucapannya harus disertai sumpah supaya perkataannya itu kuat kedudukannya menurut hukum. Namun Ibnu Munzir rh berpendapat bahwa orang tersebut di atas sudah dapat diterima ucapannya secara hukum tanpa dibutuhkan adanya sumpah. 3 4 al-Fiqh Islami wa-Adillatuhu, 5/4024-4030. al-Mausu'ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, 7/93. 2 Menurut Ibnu Taimiyah rh, apabila seseorang yang memelihara benda-benda titipan mengaku bahwa benda-benda titipan ada yang mencuri, sementara hartanya yang ia kelola tidak ada yang mencuri, maka mustauda’ tersebut wajib menggantinya. Pendapat Ibnu Taimiyah rh ini berdasarkan pada atsar bahwa Umar ra pernah meminta jaminan dari Anas bin Malik ra ketika barang titipannya yang ada pada Anas bin Malik ra dinyatakan hilang, sedangkan harta Anas ra masih ada. Orang yang meninggal dunia dan terbukti padanya terdapat benda-benda titipan dan benda-benda titipan tersebut tidak ditemukan maka ini menjadi hutang bagi penerima titipan dan wajib dibayar oleh ahli warisnya. Bila seseorang menerima benda-benda titipan sudah sangat lama waktunya sehingga ia tidak lagi mengetahui dimana atau siapa pemiliknya benda-benda tersebut dan sudah berusaha mencarinya namun tidak dapat diperoleh keterangan yang jelas maka bendabenda tersebut dapat digunakan untuk kepentingan Islam. 4. BAGAIMANA BERDAGANG ATAU MEMANFAATKAN HARTA TITIPAN? Bila seseorang yang dititipi menggunakan uang titipan itu untuk mendapatkan keuntungan, maka keuntungan tersebut halal dan menjadi milik orang yang dititipi. 5Namun begitu, bila terjadi kerusakan atau kehilangan dari barang tersebut, maka ia wajib menggantinya karena ia telah menggunakannya untuk kepentingan pribadi, disamping itu, ia telah menyalahkan amanah yang dipercayakan kepadanya. WAKAF 1. Syarat-Syarat Wakaf 1. Syarat-syarat orang yang berwakaf (al-waqif)Syarat-syarat al-waqif ada empat, 5 al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhhu, 5/ 4033. 3 pertama orang yang berwakaf ini mestilah memiliki secara penuh harta itu, artinya dia merdeka untuk mewakafkan harta itu kepada sesiapa yang ia kehendaki. Kedua dia mestilah orang yang berakal, tak sah wakaf orang bodoh, orang gila, atau orang yang sedang mabuk. Ketiga dia mestilah baligh. Dan keempat dia mestilah orang yang mampu bertindak secara hukum (rasyid). Implikasinya orang bodoh, orang yang sedang muflis dan orang lemah ingatan tidak sah mewakafkan hartanya. 2. Syarat-syarat harta yang diwakafkan (al-mauquf)Harta yang diwakafkan itu tidak sah dipindahmilikkan, kecuali apabila ia memenuhi beberapa persyaratan yang ditentukan oleh ah; pertama barang yang diwakafkan itu mestilah barang yang berharga Kedua, harta yang diwakafkan itu mestilah diketahui kadarnya. Jadi apabila harta itu tidak diketahui jumlahnya (majhul), maka pengalihan milik pada ketika itu tidak sah. Ketiga, harta yang diwakafkan itu pasti dimiliki oleh orang yang berwakaf (wakif). Keempat, harta itu mestilah berdiri sendiri, tidak melekat kepada harta lain (mufarrazan) atau disebut juga dengan istilah (ghaira shai‟). 3. Syarat-syarat orang yang menerima manfaat wakaf (al-mauquf alaih) Dari segi klasifikasinya orang yang menerima wakaf ini ada dua macam, pertama tertentu (mu‟ayyan) dan tidak tertentu (ghaira mu‟ayyan). Yang dimasudkan dengan tertentu ialah, jelas orang yang menerima wakaf itu, apakah seorang, dua orang atau satu kumpulan yang semuanya tertentu dan tidak boleh dirubah. Sedangkan yang tidak tentu maksudnya tempat berwakaf itu tidak ditentukan secara terperinci, umpamanya seseorang sesorang untuk orang fakir, miskin, tempat ibadah, dll. Persyaratan bagi orang yang menerima wakaf tertentu ini (almawquf mu‟ayyan) bahwa ia mestilah orang yang boleh untuk memiliki harta (ahlan li al-tamlik), Maka orang muslim, merdeka dan kafir zimmi yang memenuhi syarat ini boleh memiliki harta wakaf. Adapun orang bodoh, hamba sahaya, dan orang gila tidak sah menerima wakaf. Syarat-syarat yang berkaitan dengan ghaira mu‟ayyan; pertama ialah bahwa yang akan menerima wakaf itu mestilah dapat menjadikan wakaf itu untuk kebaikan yang dengannya dapat mendekatkan diri kepada Allah. Dan wakaf ini hanya ditujukan untuk kepentingan Islam saja. 4 4. Syarat-syarat Shigah Berkaitan dengan isi ucapan (sighah) perlu ada beberapa syarat. Pertama, ucapan itu mestilah mengandungi kata-kata yang menunjukKan kekalnya (ta‟bid). Tidak sah wakaf kalau ucapan dengan batas waktu tertentu. Kedua, ucapan itu dapat direalisasikan segera (tanjiz), tanpa disangkutkan atau digantungkan kepada syarat tertentu. Ketiga, ucapan itu bersifat pasti. Keempat, ucapan itu tidak diikuti oleh syarat yang membatalkan. Apabila semua persyaratan diatas dapat terpenuhi maka penguasaan atas tanah wakaf bagi penerima wakaf adalah sah. Pewakaf tidak dapat lagi menarik balik pemilikan harta itu telah berpindah kepada Allah dan penguasaan harta tersebut adalah orang yang menerima wakaf secara umum ia dianggap pemiliknya tapi bersifat ghaira tammah. 6 2. Hukum Menarik Barang Wakaf Harta yang diwakafkan tidak boleh ditarik kembali karena pada hakikatnya akad wakaf adalah memindahkan kepemilikan kepada Allah. Apabila yang menjadi nadhir adalah orang yang mewakafkan (wakif) maka dia diperkenankan memecat orang yang diberi tugas mengelola harta wakaf, tetapi apabila nadhir itu orang yang disyaratkan mengelola oleh wakif maka dia tidakbisa dipecat oleh siapapun karena syarat tidak bisa berubah. Apabila wakif tidak menjabat sebagai nadhir, maka dia tidak bisa menguasakan atau memecat seseorang karena penguasaan dan pemecatan adalah hak hakim. Hak hakim ini di Indonesia dikuasakan pada Kepala KUA sebagaimana ketentuan dalam kompilasi hukum Islam pasal 221. "Sesungguhnya milik dalam pengawasan barang yang diwakafkan adalah berpindah kepada Allah ta'ala, artinya barang yang telah diwakafkan itu telah terlepas dari wewenang (kekuasaan) manusia". "Demikian pula pendapat dari madzhab Syafi'i, nadhir boleh memecat dirinya sendiri (mengundurkan diri), dan wakif yang menjadi nadhir boleh memecat orang yang telah diangkat dan mengangkat orang lain, sebagaimana orang yang telah mewakilkan dapat memecat wakilnya dan mengangkat orang lain. Kecuali apabila wakif mensyaratkan 6 Abdurrahman al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala Mazahib Arba’ah, (Jakarta : Sinar Mas, 2001), 93. 5 seseorang untuk mengawasi wakaf pada saat dia mewakafkan, maka tidak boleh baginya dan tidak pula bagi orang lain memecatnya, meskipun untuk kemaslahatan. Karena sesungguhnya tidak boleh ada perubahan bagi apa yang telah disyaratkan dan karena sesungguhnya dengan pemecatan itu berarti tidak ada lagi pengawasan pada waktu itu. Adapun wakif yang bukan nadhir, tidak sah melakukan pengangkatan dan pemecatan, karena hak mengangkat dan memecat itu ada pada hakim. 3. Hukum Mengganti Barang Wakaf Prinsip-prinsip wakaf diatas adalah pemilikan terhadap manfaat suatu barang. Barang asalnya tetap, tidak boleh diberikan, dijual atau dibagikan. Barang yang diwakafkan tidak boleh diganti atau dijual. Persoalannya akan jadi lain jika barang wakaf itu sudah tidak dapat dimanfaatkan, kecuali dengan memperhitungkan harga atau nilai jual setelah barang tersebut dijual. Artinya, hasil jualnya dibelikan gantinya. Dalam keadaan demikian , mengganti barang wakaf dibolehkan. Sebab dengan cara demikian, barang yang sudah rusak tadi tetap dapat dimanfaatkan dan tujuan wakaf semula tetap dapat,diteruskan,yaitu,memanfaatkan,barang,yang,diwakafkant,adi. Sayyidina Umar r.a. pernah memindahkan masjid wakah di Kuffah ke tempat lain menjadi masjid yang baru dan lokasi bekas masjid yang lama dijadikan pasar. Masjid yang baru tetap dapat dimanfaatkan. Juga Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa tujuan pokok wakaf adalah kemaslahatan. Maka mengganti barang wakaf tanpa menghilangkan tujuannya tetap dapat dibenarkan menurut inti dan tujuan hukumnya. 7 AURAT 1. Batas Aurat Laki-laki Jumhur fuqaha‟ telah bersepakat bahwa aurat bagi kaum laki-laki adalah antara pusar sampai dengan lutut. Namun mereka berselisih apakah pusar dan lutut itu sendiri termasuk aurat ataukah tidak? Meski demikian mereka tidak berselisih bahwa paha adalah aurat. 7 Abdurrahman al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala Mazahib Arba’ah, (Jakarta : Sinar Mas, 2001), 98. 6 Imam Nawawi rahimahullah di dalam penjelasan Shahih Muslim sebagai berikut: “Sesungguhnya paha termasuk bagian dari aurat. Banyak hadits masyhur yang menjelaskan bahwa paha adalah termasuk aurat. Hal itu seperti hadits Anas radhiyallahu „anhu bahwa jika terbukanya paha tanpa unsur kesengajaan serta dalam kondisi darurat masih dapat dimaafkan. Tetapi bila masih ada sarana yang memungkinkan untuk menutupnya, maka hukumnya wajib untuk menutupnya.” 8 2. Batas Aurat wanita adalah wajah dan telapak tangan sebagaimana disebutkan dalam hadits: Hadis riwayat Aisyah r.a, bahwasanya Asma binti Abu Bakar masuk menjumpai Rasulullah dengan pakaian yang tipis, lantas Rasulullah berpaling darinya dan berkata, “Hai Asma, sesungguhnya jika seorang wanita sudah mencapai usia haid (akil balig) maka tidak ada yang layak terlihat kecuali ini,” sambil beliau menunjuk wajah dan telapak tangan. (HR Abu Daud dan Baihaqi). 9 3. Pakaian Ketat Bagi Wanita Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih al „Utsaimin Beliau berkata: "Terdapat dalam Shahih Muslim dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu „anhu, Rasulullah bersabda: "Ada dua golongan dari ahli neraka yang aku belum pernah melihatnya: pertama, suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekorekor sapi yang dipakai untuk memukul manusia; kedua, wanita-wanita yang berpakaian tetapi telanjang lenggak lenggok di kepalanya ada sanggul seperti punduk unta. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan mendapatkan baunya dan sesungguhnya bau surga itu akan didapatkan dari jarak ini dan itu." Maka ucapan Rasulullah, telanjang adalah bahwa mereka memakai pakaian tetapi tidak menutupi yang semestinya tertutup, baik itu karena pendeknya atau tipisnya atau karena ketatnya, di antaranya adalah yang terbuka bagian dadanya, karena yang demikian itu menyelisihi perintah Allah, dimana Allah berfirman: "Dan hendaknya mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya" (QS An Nur: 31) Berkata Al Qurthubi dalam tafsirnya: "Prakteknya adalah hendaknya wanita 8 9 Surtiretna Nina, Anggun Berjilbab, (Bandung : Al-Bayan, 1997), 32-33. Ibid, 34-35 7 memakai kain kerudung untuk menutup dadanya." Di antaranya lagi adalah yang terbelah bagian bawahnya, jika tidak terdapat penutup lagi di dalamnya, jika ada penutupnya tidak mengapa hanya saja jangan sampai menyerupai yang dipakaikan oleh kaum pria. Kepada para walinya kaum wanita hendaknya melarang mereka dari memakai pakaian yang haram dan keluar rumah dengan bertabarrruj (bersolek/berdandan) dan memakai wangi-wangian karena para walinya adalah orang yang bertanggung jawab atasnya pada hari kiamat, pada hari di mana seseorang tidak dapat membela orang lain walau sedikit pun, dan begitu pula tidak diterima syafaat dan tebusan darinya dan tidaklah mereka akan ditolong..10 4. Pakaian yang Islami Adapun tujuan pakaian dalam pandangan Islam ada dua macam; yaitu, guna menutup aurat dan berhias. Ini adalah merupakan pemberian Allah kepada umat manusia seluruhnya, di mana Allah telah menyediakan pakaian dan perhiasan, kiranya mereka mau mengaturnya sendiri. Maka berfirmanlah Allah s.w.t.: "Hai anak-cucu Adam! Sungguh Kami telah menurunkan untuk kamu pakaian yang dapat menutupi aurat-auratmu dan untuk perhiasan." (alA'raf: 26) Barangsiapa yang mengabaikan salah satu dari dua perkara di atas, yaitu berpakaian untuk menutup aurat atau berhias, maka sebenarnya orang tersebut telah menyimpang dari ajaran Islam dan mengikuti jejak syaitan. Inilah rahasia dua seruan yang dicanangkan Allah kepada umat manusia, sesudah Allah mengumandangkan seruanNya yang terdahulu itu, dimana dalam dua seruanNya itu Allah melarang keras kepada mereka telanjang dan tidak mau berhias, yang justru keduanya itu hanya mengikuti jejak syaitan belaka. Untuk itulah maka Allah berfirman: "Hai anak-cucu Adam! Jangan sampai kamu dapat diperdayakan oleh syaitan, sebagaimana mereka telah dapat mengeluarkan kedua orang tuamu (Adam dan Hawa) dari sorga, mereka dapat menanggalkan pakaian kedua 10 Buletin Al Wala wal Bara‟ Edisi ke-4 Tahun ke-1 / 27 Desember 2002 M / 22 Syawwal 1423 H 8 orang tuamu itu supaya kelihatan kedua auratnya." (al-A'raf: 27) "Hai anak-cucu Adam! Pakailah perhiasanmu di tiap-tiap masjid dan makanlah dan minumlah tetapi jangan berlebih-lebihan (boros)." (al-A'raf: 31) Islam mewajibkan kepada setiap muslim supaya menutup aurat, dimana setiap manusia yang berbudaya sesuai dengan fitrahnya akan malu kalau auratnya itu terbuka. Sehingga dengan, demikian akan berbedalah manusia dari binatang yang telanjang. Seruan Islam untuk menutup aurat ini berlaku bagi setiap manusia, kendati dia seorang diri terpencil dari masyarakat, sehingga kesopanannya itu merupakan kesopanan yang dijiwai oleh agama dan moral yang tinggi. 11 LUQOTHOH 1. Pengakuan anak terhadap anak temuan Menurut Sayyid Sabiq yang dimaksud dengan ”al-Laqith” (anak temua) adalah anak kecil yang belum balig, yang ditemukan di jalan atau sesat di jalan dan tidak diketahui keluarganya. Memungut merupakan fardhu kifayah, sama hukumnya memungut barang yang hilang lainnya. Seorang anak kecil yang ditemukan di negara 11 Yusuf Qardhawi Muhammad,Halal dan Haram dalam Islam, (Jakarta : PT. Bina Ilmu, 1993 ), 1-3. 9 Islam, maka dihukum kan sebagai muslim. Orang yang menemukan anak temuan tersebut berkewajiban untuk memberi nafkah, jika ia tidak memiliki harta, maka ia dapat minta bantuan kepada Baitulmal guna digunakan untuk biaya hidup dan biaya lain-lain yang diperlukan anak temuan tersebut. Ahmad Husni mengatakan, sebenarnya hukum Islam telah memberikan perhatian yang serius terhadap anak temuan. Hampir semua kitab fiqih tradiseonal maupun kontemporer menulis tentang lembaga pengakuan anak ini, khususnya kepada anak temuan yang disebut dengan ”laqith”. Demikian juga undang-undang keluarga muslim di negara-negara Islam Timur Tengah telah menetapkan bahwa perlindungan terhadap anak temuan ini merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh orang Islam untuk menyantuninya, jika ia tidak melakukannya maka ia akan berdosa dan dapat dikenakan denda sebagai perbuatan jarimah. Apa yang ditemukan oleh Ahmad Husni ini di Indonesia belum dapat tempat yang wajar, belum ada pengaturan secara luas tentang lembaga masalah anak temuan yang harus diakui sebagai anak kandungnya. Tentang hal ini merupakan satu hal yang sangat tabu dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Peraturan perundang-undangan tentang hukum kekeluargaan di Indonesia belum memberikan forsi yang lengkap dan rinci terhadap lembaga pengakuan anak sebagaimana dalam peraturan-peraturan hukum kekeluargaan di negara muslim lainnya dan juga di beberapa negara yang tergabung dalam Asean. 12 2. Kewajiban orang yang menemukan barang temuan Orang yang menemukan barang wajib mengenal ciri-cirinya dan jumlahnya kemudian mempersaksikan kepada orang yang adil, lalu ia menjaganya dan mengumumkan kepada khalayak selama setahun. Jika pemiliknya mengumumkan di berbagai media beserta ciri-cirinya, maka pihak penemu (harus) mengembalikannya kepada pemiliknya, meski sudah lewat setahun. Jika tidak, maka boleh dimanfa‟atkan oleh penemu. Dari Suwaid bin Ghaflah, ia bercerita : Saya pernah berjumpa Ubay bin Ka‟ab, ia berkata, Saya pernah menemukan sebuah kantong berisi (uang) seratus Dinar, kemudian saya datang kepada Nabi saw (menyampaikan penemuan ini), kemudian Beliau bersabda, “Umumkan selama setahun”. Lalu saya umumkan ia, ternyata saya 12 Riana Kesuma Ayu, Seminar mengenai Luqothoh, 2009. 10 tidak mendapati orang yang mengenal kantong ini. Kemudian saya datang (lagi) kepada Beliau, lalu Beliau bersabda, “Umumkanlah ia selama setahun”. Kemudian saya umumkan ia selama setahun, namun saya tidak menjumpai (pemiliknya). Kemudian saya datang (lagi) kepada Beliau untuk ketiga kalinya, lantas Beliau bersabda, “Jaga dan simpanlah isinya, jumlahnya, dan talinya. Jika suatu saat pemiliknya datang (menanyakannya), (maka serahkanlah). Jika tidak, boleh kau manfaatkan”. Kemudian saya manfa‟atkan. Lalu saya (Suwaid) berjumpa (lagi) dengan Ubay di Mekkah, maka ia berkata, “Saya tidak tahu, (beliau suruh menjaganya selama) tiga tahun atau satu tahun.” 13 Dari „Iyadh bin Hammar ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa mendapatkan barang temuan, maka hendaklah persaksikan kepada seorang atau dua orang yang adil, kemudian janganlah ia mengubahnya dan jangan (pula) menyembunyikan(nya). Jika pemiliknya datang (kepadanya), maka dialah yang lebih berhak memilikinya. Jika tidak, maka barang temuan itu adalah harta Allah yang Dia berikannya kepada siapa yang dikehendaki-Nya.” 14 3. Dhallah berupa kambing dan unta Barangsiapa mendapatkan dhallah (barang temuan) berupa kambing, maka hendaklah diamankan dan diumumkan, manakala diketahui pemiliknya maka hendaklah diserahkan kambing termaksud kepadanya. Jika tidak, maka ambillah ia sebagai miliknya. Dan, siapa saja yang menemukan dhallah berupa unta, maka tidak halal baginya untuk mengambilnya, karena tidak dikhawatirkannya (tersesat). Dari Zaid bin Khalid al-Juhanni ra, ia bercerita: Ada orang Arab badwi datang menemui Nabi saw, lalu bertanya kepadanya tentang barang temuannya. Maka beliau menjawab, “Umumkanlah ia selama setahun, lalu perhatikanlah bejana yang ada padanya dan tali pengikatnya. Kemudian jika datang (kepadamu) seorang yang mengabarkan kepadamu tentang barang tersebut, (maka serahkanlah ia kepadanya). Dan, jika tidak, maka hendaklah kamu memanfaatkan ia.” Ia bertanya, “Ya Rasulullah, lalu (bagaimana) barang temuan berupa kambing?” Maka jawab Beliau, “Untukmu, atau untuk saudaramu, atau untuk serigala.” Ia bertanya (lagi), ”Bagaimana tentang barang 13 Muttafaqun ‟alaih: Fathul Bari V: 78 no: 2426, Muslim III: 135 no: 1723, Tirmidzi II: 414 no: 1386, Ibnu Majah II: 837 no: 2506 dan „Aunul Ma‟bud V: 118 no: 1685 14 Shahih Ibnu Majah no: 2032, Ibnu Majah II: 837 no: 2505, dan ‟Aunul Ma‟bud V: 131 no: 1693 11 temua berupa unta?” Maka raut wajah Nabi saw berubah, lalu Rasulullah bersabda, “Mengapa kamu menanyakan unta? Ada bersamanya terompahnya dan memiliki perut, ia mendatangi air dan memakan rerumputan.” 15 4. Hukum mengambil barang tersebut Pertama:Diambil Seorang muslim boleh mengambil barang yang ditemukannya tercecer di suatu tempat, dengan dua syarat: 1. Tujuannya bukanuntuk memiliki namun untuk menjaganya dari kerusakan, kemusnahan atau kemungkinan jatuh ke tangan yang tidak bertanggung-jawab. 2. Dirinya adalah orang yang punya kemampuan baik secara sifat amanah maupun secara teknis untuk memelihara dan menjaga barang tersebut. 3. Setelah diambil maka segera diumumkan kepada publik bahwa telah ditemukan suatu barang dan kepada pemiliknya untuk segera mengambilnya. Sehingga mengambil barang yang hilang dalam hal ini merupakan amal baik, yaitu menjaga harta milik seorang muslim dari kerusakan dan kepunahan. Apabila dalam waktu satu tahun, pemiliknya tidak segera muncul mengambilnya, maka dia boleh menggunakan barang itu atau memilikinya, namun harus menyiapkan uang pengganti sesuai nilai nominal barang itu. Kedua: Tidak Diambil Sebaliknya, seandainya semua syarat di atas tidak terpenuhi, maka sebaiknya tidak usah diambil saja. Biarlah saudara muslim yang lain yang melakukan pengambilan harta dan barang luqathah. Menggunakan Harta Luqathah Untuk alasan tertentu selama pemilik asli barang temuan itu belum datang mengambil, ada celah untuk boleh memanfaatkannya. Namun yang namanya memanfaatkan bukan berarti memilikinya. Misalnya, bila barang temuan itu termasuk barang yang mudah rusak, seperti makanan yang mudah basi, maka boleh hukumnya untuk dimakan, namun harus disiapkan sejumlah uang untuk menggantinya bila pemiliknya meminta. Sedangkan bila bentuk harta itu adalah uang tunai, boleh saja digunakan untuk 15 Muttafaqun ‟alaih: Fathul Bari V: 80 no: 2427, Muslim III: 1347 no: 2 dan 1722, Tirmidzi II: 415 no: 1387, Ibnu Majah II: 836 no: 2504, dan ‟Aunul Ma‟bud V: 123 no: 1688 12 membayar suatu keperluan, namun dengan syarat bahwa uang itu siap diganti kapan saja saat nantipemiliknya datang. Sumber: 1. Al-Fiqh 'ala Mazahib Arba'ah, Abdurrahman al-Jaziri. 2. Al-Fiqh Islami wa Adilatuhu, Wahbah Zuhaili, Dar al-Fikr. 3. Al-Mulakhas Fiqh, Syaikh Shalih Fauzan, Dar Ibn Fauzi. 4. Majallah Buhuts al-Islamiyah, Maktabah Syamilah. 5. Mausu`ah Fiqh al-Kuwaitiyyah, Multaqa Ahli Hadits, Maktabah Syamilah. 6. Buletin Al Wala wal Bara‟ Edisi ke-4 Tahun ke-1 / 27 Desember 2002 M / 22 Syawwal 1423 H 7. Yusuf Qardhawi Muhammad,Halal dan Haram dalam Islam, (Jakarta : PT. Bina Ilmu, 1993 ), 1-3. 8. Muttafaqun ‟alaih: Fathul Bari V: 78 no: 2426, Muslim III: 135 no: 1723, Tirmidzi II: 414 no: 1386, Ibnu Majah II: 837 no: 2506 dan „Aunul Ma‟bud V: 118 no: 1685 9. Shahih Ibnu Majah no: 2032, Ibnu Majah II: 837 no: 2505, dan ‟Aunul Ma‟bud V: 131 no: 1693 10. Surtiretna Nina, Anggun Berjilbab, Bandung : Al-Bayan, 1997 13