IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Pertumbuhan Bobot dan Biomassa Benih Ikan Gurame Seperti diperlihatkan pada Tabel 1, pertumbuhan harian (GR) dan laju pertumbuhan spesifik (SGR) benih ikan gurame adalah tidak berbeda secara statistik (P>0,05) antar perlakuan dan kontrol. Nilai biomassa benih ikan gurame yang diberi perlakuan A relatif lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya dan kontrol. Perbedaan biomassa tersebut terkait dengan bobot rataan yang sedikit lebih tinggi (P>0,05) pada perlakuan A (larva ikan gurame diberi nauplii Artemia yang diperkaya dengan bakteri mengandung rHP tanpa dilisis, dan cacing sutera tanpa diperkaya rHP; 1,943 g/ekor), sementara jumlah ikan pada akhir penelitian tidak berbeda dibandingkan dengan kontrol. Tabel 1. Pertumbuhan harian (growth rate), laju pertumbuhan spesifik (spesific growth rate), kelangsungan hidup (survival rate), dan biomassa benih ikan gurame yang diberi nauplii Artemia dan cacing sutera yang diperkaya atau tanpa diperkaya dengan rHP dan kontrol. pakan alami mengandung dan tidak mengandung rHP sebagai kontrol Parameter Perlakuan Kontrol GR (gram/hari) SGR (%) SR (%) Biomassa (gram) A B 0,038±0,003 a 7,810 ±0,216 a 7,804 ±0,573 a 7,72±0,155 a 100 ± 0 b 99 ± 1,4 b 89± 4,2 a 91 ± 1,4 a 170,50 192,31 172,88 173,95 7,524 ±0,294 a 0,039 ±0,002 a C a 0,034±0,000 a 0,039±0,005 Keterangan: GR, SGR, SR, dan biomassa merupakan nilai rataan dari 2 ulangan. Perlakuan A: larva ikan gurame diberi nauplii Artemia yang diperkaya dengan bakteri mengandung rHP tanpa dilisis, dan cacing sutera tanpa diperkaya rHP; perlakuan B: larva ikan gurame diberi nauplii Artemia yang diperkaya dengan bakteri mengandung rHP tanpa dilisis, dan cacing sutera tanpa diperkaya rHP; perlakuan C: larva ikan gurame diberi Artemia yang diperkaya dengan bakteri mengandung rHP tanpa dan cacing sutera diperkaya dengan bakteri mengandung rHP hasil lisis. Analisis statistik disajikan pada Lampiran 2, 3 dan 4. Huruf superskrip yang berbeda pada baris yang sama adalah berbeda nyata (P<0,05). Huruf superskrip yang sama pada baris yang sama adalah tidak berbeda nyata (P>0,05). 4.1.2 Kelangsungan Hidup Kelangsungan hidup benih ikan gurame yang diberi perlakuan A (99%) dan kontrol (100%) lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan perlakuan C (91%) dan B (89%). Dengan demikian pemberian rHP di cacing diduga mempengaruhi kelangsungan hidup benih ikan gurame (Gambar 1). Ikan mulai mengalami kematian pada minggu ke-2 pada perlakuan B dan jumlah ikan mati terus bertambah hingga akhir pemeliharaan. Kematian ikan juga terjadi pada perlakuan C dimana penurunan tingkat kelangsungan hidup yang signifikan terjadi pada Kelangsungan hidup (%) minggu ke-6 hingga minggu ke-8 (Gambar 1) . 102 100 98 96 94 92 90 88 86 84 82 1 2 3 4 5 6 7 8 Minggu keGambar 1. Rataan kelangsungan hidup benih ikan gurame kontrol (), perlakuan Artemia diperkaya rHP dan cacing sutera tidak diperkaya (■), Artemia dan cacing sutera diperkaya rHP (▲), Artemia diperkaya rHP dan cacing sutera diperkya rHP hasil lisis (x), Artemia yang diperkaya rHP pada minggu 1( ), sedangkan cacing sutera pada minggu ke-2 hingga minggu ke-4 ( ) ikan dipelihara selama 8 minggu. 4.2 Pembahasan Pertumbuhan bobot mutlak dan biomassa benih ikan gurame yang diberi Artemia diperkaya rHP dan cacing sutera tidak diperkaya adalah sekitar 13% lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol yang tidak diberi dengan rHP. Hal ini menunjukkan bahwa Artemia dapat digunakan sebagai pembawa rHP untuk memacu pertumbuhan benih ikan gurame. Peningkatan pertumbuhan yang diperoleh pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan Putra (2011) yang menggunakan metode perendaman. Perbedaan hasil yang signifikan tersebut diduga karena perbedaan efektivitas metode dan perbedaan rHP yang digunakan. Putra (2011) menggunakan rHP ikan gurame, sedangkan pada penelitian ini menggunakan rHP ikan mas. Selain itu, pada penelitian ini lama waktu 11 pengkayaan Artemia adalah 30 menit. Peningkatan lama waktu pengkayaan diduga dapat memaksimalkan rHP yang terkandung dalam Artemia dan selanjutnya pertumbuhan benih ikan gurame menjadi lebih tinggi. Penambahan pemberian rHP pada cacing sutera tidak memberikan efek lebih baik dibandingkan dengan pemberian rHP pada Artemia saja. Hal ini menunjukkan bahwa Artemia bisa menjadi agen pembawa rHP ke larva/benih ikan. Artemia bersifat non selective filter feeder sehingga mampu memakan apapun yang terdapat disekitarnya yang berukuran <50 mikron (Isnansetyo & Kurniastuty, 1995). Penggunaan Artemia sebagai pembawa protein rekombinan berupa vaksin telah dilaporkan oleh Lin et al. (2007) jumlah maksimal bakteri yang terkandung dalam setiap Artemia dengan lama pengkayaan 2 jam adalah 105 sel. Pengkayaan Artemia yang sama atau mendekati lama waktu perlakuan Lin et al. (2007) diduga dapat memaksimalkan kadar rHP dalam tubuh Artemia. Menurut Lin et al. (2007) kelebihan menggunakan Artemia yaitu (1) Artemia merupakan starter pakan alami bagi larva ikan sehingga diharapkan vaksin atau rHP dalam tubuh Artemia cepat masuk ke dalam tubuh larva/benih, (2) terdapat dua bio-layer yaitu dinding sel E. coli dan kulit ari Artemia yang melindungi dari enzim gastrointestinal sehingga vaksin/ rHP dapat masuk ke dalam usus ikan, (3) kuantitas antigen dalam E. coli rekombinan 1000 kali lipat lebih besar dibandingkan dengan E. coli alami, sehingga meningkatkan antigen di setiap Artemia. Pertumbuhan benih ikan gurame yang diberi perlakuan rHP hingga minggu ke-5 meningkat tajam. Namun pada minggu ke-6, bobot rata-rata benih ikan gurame yang diberi perlakuan B, dan C hampir sama dengan kontrol. Dengan demikian diduga bahwa bobot ikan perlakuan rHP akan tetap lebih tinggi daripada kontrol bila ikan dipelihara lebih lanjut. Hal yang sama telah dilaporkan oleh Moriyama dan Kawauchi (1990) bahwa peningkatan rata-rata bobot benih ikan salmon meningkat setelah pemberian larutan rHP dihentikan. Kelangsungan hidup ikan pada perlakuan cacing sutera diperkaya dengan rHP lebih rendah dibandingkan perlakuan cacing sutera yang tidak diperkaya dengan rHP dan kontrol. Hal ini diduga karena pemberian rHP pada cacing dapat memberikan efek toksik pada ikan, diduga cacing dapat mengkonversi protein dari 12 bakteri menjadi zat anti nutrien. Selain itu, jumlah total rHP yang tinggi pada perlakuan Artemia dan cacing diperkaya rHP diduga juga mejadi penyebab rendahnya kelangsungan hidup benih ikan gurame. Mekanisme penyerapan rHP ke dalam tubuh ikan telah di teliti oleh beberapa peneliti, yaitu rHP masuk melalui insang (perendaman), dan usus (melalui oral). rHP diketahui masuk melalui insang sesuai pendapat Sherwood & Harvey (1986) dalam Moriyama & Kawauchi (1990) bahwa pemberian gonadotropin releasing hormone (GnRH) terlihat berpengaruh pada plasma ikan mas setelah pemberian melalui insang. Smith (1982) dalam Moriyama & Kawauchi (1990) menyatakan bahwa ditemukan radiolabeled-BSA pada insang dan epidermis ikan rainbow trout setelah perendaman dalam larutan dan diduga bahwa yang memungkinkan masuknya larutan tersebut yaitu melalui insang. Dengan demikian mekanisme masuknya rGH dengan metode perendaman diduga juga melalui insang, sedangkan masuknya rHP melalui usus, diduga ada atau sebagian besar rHP tidak tercerna dan berhasil diserap oleh usus,, karena di usus terdapat reseptor GH yaitu GHR. GHR di usus meningkat, selanjutnya rHP didistribusikan melalui pembuluh darah menuju organ target. rHP akan direspons dengan meningkatkan nafsu makan, dan sekresi HP (Meutia, 2005). Dengan demikian mekanisme masuknya rHP melalui pakan alami diduga melalui usus. Pada penelitian ini digunakan metode pemberian rHP melalui pakan alami yaitu Artemia. Metode ini dipercaya sebagai salah satu metode aplikatif yang dapat diterapkan dengan mudah oleh pembudidaya, karena pemberian rHP melalui pakan memiliki beberapa keuntungan antara lain: dapat mengurangi tingkat stres pada ikan, dapat dilakukan secara masal, ekonomis, serta penanganan lebih mudah dibandingkan dengan metode yang lain. Pada penelitian ini peningkatan pertumbuhan yang diperoleh masih relatif rendah. Oleh karena itu, penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk mendapat hasil yang lebih baik. 13