5 BAB II LANDASAN TEORI A. TINJAUAN PUSTAKA 1. Ekowisata A

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
A. TINJAUAN PUSTAKA
1. Ekowisata
A. Pengertian
Istilah ekowisata dapat diartikan sebagai perjalanan oleh seorang turis ke
daerah terpencil dengan tujuan menikmati dan mempelajari mengenai alam,
sejarah dan budaya di suatu daerah dimana pola wisatanya membantu ekonomi
masyarakat lokal dan mendukung pelestarian alam (Direktorat Pengembangan
Pariwisata, 2009).
Ekowisata merupakan perjalanan wisata alam yang alami maupun buatan
yang bertujuan untuk menjamin kelestarian alam dan sosial - budaya. Ekowisata
menitikberatkan pada tiga hal utama yaitu keberlangsungan alam atau ekologi,
memberi manfaat ekonomi, dan dapat diterima dalam kehidupan sosial
masyarakat. Kegiatan ekowisata secara langsung dapat memberi akses kepada
semua orang untuk melihat, mengetahui, dan menikmati pengalaman alam,
intelektual dan budaya masyarakat lokal (Satria, 2009).
Ekowisata merupakan pengembangan pariwisata yang ramah lingkungan,
mengedepankan
konservasi
lingkungan,
pendidikan
lingkungan
dan
menguntungkan penduduk lokal (meningkatkan perekonomian penduduk lokal).
Penyelenggaraan ekowisata pada dasarnya dilakukan dengan kesederhanaan,
memelihara keasliaan alam dan lingkungan, memelihara keaslian adat istiadat,
kebiasaan hidup atau the way of life, menjaga kelestarian flora dan fauna, serta
5
melestarikan lingkungan hidup sehingga terjadinya suatu keseimbangan antara
kehidupan manusia dengan lingkungan alam (Widowati, 2012).
B. Prinsip – prinsip Ekowisata
Beberapa prinsip utama dalam ekowisata adalah:
a. Jumlah pengunjung terbatas atau diatur supaya sesuai dengan daya dukung
lingkungan dan sosial-budaya masyarakat.
b. Pola wisata ramah lingkungan (nilai konservasi).
c. Pola wisata ramah budaya dan adat setempat (nilai edukasi dan wisata).
d. Membantu secara langsung perekonomian masyarakat lokal (nilai
ekonomi).
e. Modal awal yang diperlukan untuk infrastruktur tidak besar (nilai
partisipasi
masyarakat
dan
ekonomi)
(Direktorat
Pengembangan
Pariwisata, 2009).
Menurut Dalem (2006) sembilan prinsip yang harus diterapkan dalam
upaya pengembangan ekowisata yaitu :
a. Peka dan menghormati nilai - nilai
sosial
budaya
dan
tradisi
keagamaan masyarakat setempat.
b. Memiliki kepedulian, komitmen dan tangung jawab terhadap konservasi
alam dan warisan budaya.
c. Menyediakan interpretasi yang memberikan peluang kepada wisatawan
untuk menikmati
alam
dan
meningkatkan
alam.
6
kecintaannya
terhadap
d. Edukasi yaitu ada
proses
pembelajaran dialogis antara masyarakat
dengan wisatawan.
e. Pengembangannya
harus didasarkan atas persetujuan masyarakat
setempat melalui musyawarah.
f. Memberdayakan dan
mengoptimalkan
partisipasi serta sekaligus
memberikan kontribusi secara kontinyu terhadap masyarakat setempat.
g. Mentaati peraturan perundang-undangan yang berlaku
h. Secara konsisten memberikan kepuasan kepada konsumen.
i. Dipasarkan dan dipromosikan dengan jujur dan akurat sehingga sesuai
dengan harapan (pemasaran yang bertanggung jawab).
C. Ekowisata Berbasis Edukasi dan Kearifan Lokal
Salah satu prinsip pengembangan ekowisata adalah memenuhi aspek
pendidikan. Hal ini dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain dengan
memberikan informasi menarik seperti nama dan manfaat flora - fauna yang ada
di sekitar daerah wisata, yakni manfaat ekologi, ekonomi dan sosial budaya.
Kegiatan pendidikan bagi wisatawan ini akan mendorong upaya pelestarian alam
dan budaya dimana kegiatan ini dapat didukung oleh alat bantu seperti brosur,
leaflet, buklet atau papan informasi (Direktorat Pengembangan Pariwisata, 2009).
Ekowisata memberikan banyak peluang untuk memperkenalkan kepada
wisatawan tentang pentingnya perlindungan alam dan penghargaan terhadap
kebudayaan lokal. Dalam pendekatan ekowisata, pusat informasi menjadi hal
yang penting untuk meningkatkan nilai dari pengalaman seorang turis yang dapat
memperoleh informasi lengkap tentang lokasi atau kawasan dari segi budaya,
7
sejarah, alam, dan menyaksikan acara seni, kerajinan dan produk budaya lainnya
(Direktorat Pengembangan Pariwisata, 2009).
Kawasan konservasi seperti kawasan suaka alam atau kawasan hutan
lindung merupakan kawasan yang diminati oleh wisatawan ekotour karena
memiliki keanekaragaman flora dan fauna, fenomena alam yang indah, objek
budaya dan sejarah serta kehidupan masyarakat lokal yang unik. Keseluruhan
objek daya tarik wisata ini merupakan sumberdaya yang memiliki nilai ekonomi
yang tinggi sekaligus sebagai sarana pendidikan dan pelestarian lingkungan.
Pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungannya serta kepedulian pada
masyarakat sekitar pada kawasan-kawasan konservasi harus sejalan dengan visi
pengembangan
ekowisata
yaitu
konservasi
keanekaragaman
hayati
dan
ekosistemnya serta pemberdayaan masyarakat lokal. (Flamin dan Asnaryati,
2013).
Dalam upaya mencegah kerusakan hutan agar tidak semakin parah, banyak
cara dilakukan berbagai negara yang menyadari hutan mereka sudah hampir
musnah. Salah satu upayanya adalah mengembangkan ekowisata (ecotourism)
sebagai sumber mata pencaharian masyarakat untuk mengurangi tekanan terhadap
hutan (Flamin dan Asnaryati, 2013). Masyarakat lokal atau mereka yang
bertempat tinggal di sekitar daerah tujuan wisata (DTW) mempunyai peran yang
penting dalam menunjang keberhasilan pembangunan ekowisata. Peran serta
masyarakat dalam memelihara lingkungan yang menjadi daya tarik utama
ekowisata yang tidak dapat diabaikan. Oleh karena itu, upaya memberdayakan
masyarakat lokal dengan mengikutsertakan mereka dalam berbagai kegiatan
8
ekowisata merupakan langkah yang tepat sebagai perwujudan pengembangan
ekowisata (Nugroho dan Aliyah, 2013).
Ekowisata berbasis kearifan lokal merupakan buah dari kecerdasan
masyarakat lokal (local genius) dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitar.
Masyarakat lokal akan memiliki nilai partisipatif dalam konservasi lingkungan
apabila mereka dilibatkan dalam jasa-jasa ekowisata, pemberian informasi dan
dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Kurnianto, 2008). Ekowisata
merupakan alternatif yang tepat untuk memberikan manfaat yang layak secara
ekonomi dan adil secara etika dan sosial terhadap masyarakat. Masyarakat dapat
memanfaatkan alam dan isi nya sesuai dengan kebutuhan dan tetap
mengupayakan usaha konservasi (Tanaya dan Rudiarto, 2014). Masyarakat lokal
pada umumnya mencerminkan gaya hidup berciri tradisional yang sesuai dengan
sumber daya alam yang dimilikinya. Kearifan lokal mampu menerapkan upaya
pemanfaatan
keanekaragaman
hayati
secara
berkelanjutan
yang
dapat
mempertahankan keseimbangan ekosistem dan konservasi lingkungan (Basuni,
2012).
2. Kawasan Ekowisata Gunung Lawu
Gunung Lawu merupakan gunung tertinggi di Jawa Tengah dengan status
gunung tidak aktif. Pada beberapa bagian gunung ditutupi oleh hutan yang
luasnya mencapai 15.000 ha. Gunung Lawu adalah gunung yang terletak di
perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur dan secara geografi terletak di
sekitar 111°15’ BT dan 7°30’ LS. Gunung ini mempunyai ketinggian 3265 mdpl
(meter di atas permukaan air laut) (Setyawan, 2001).
9
Hutan gunung Lawu menempati titik sentral dalam daur hidrologi di
Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ekosistem gunung Lawu pada ketinggian
antara 1000 - 3200 m dpl (meter di atas permukaan laut) memiliki suhu udara
berkisar 15 - 19°C, kelembaban udara rata – rata 69 – 94 % dan intensitas cahaya
rata – rata adalah 2.600 – 108.000 Lux (Ridwan, 2013). Menurut klasifikasi iklim
Steenis (1972), kawasan hutan gunung Lawu memiliki curahan hujan tahunan
rata-rata 3000-4000 mm per tahun dengan tiga bulan kering (Juli-September) dan
termasuk iklim agak basah. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Desember
sebesar 520,8 mm dan terendah pada bulan Agustus sebesar 24,4 mm. Topografi
gunung Lawu mengkondensasi angin tenggara yang basah menjadi hujan. Hal ini
menyebabkan lereng selatan relatif subur dengan vegetasi yang rapat sekalipun
musim kemarau. Kecamatan Tawangmangu kabupaten Karanganyar di lereng
barat daya memperoleh cukup air untuk pertanian sedangkan Kecamatan Plaosan,
Kabupaten Magetan di lereng tenggara yang tanahnya berporous terdapat telaga
Sarangan yang luas. Kekayaan geomorfologi Gunung Lawu antara lain berupa
mata air/air terjun, gua, sumber air panas dan lubang kawah solfatara (Setyawan,
2001).
Gunung Lawu merupakan gunung yang cukup popular untuk kegiatan
pendakian. Gunung Lawu memiliki beberapa jalur pendakian diantaranya jalur
pendakian Cemoro Sewu yang berada di Kabuapaten Magetan, Jawa Timur. Jalur
pendakian Cemoro Kandang, jalur Candi Cetho, jalur Tlogodigo, jalur Tambak di
Kabupaten Karanganyar, jalur Cemoro Mencil yang berada di desa Girimulyo
Jogorogo dan jalur Ngrambe Kabupaten Ngawi Jawa Timur. Adanya aktifitas
10
pendakian menunjukkan bahwa gunung Lawu merupakan objek kajian ekosiwata
yang dapat digali potensinya baik potensi flora – fauna maupun potensi
geomorfologi gunung Lawu (Rosadi, 2015).
Ekosistem pegunungan seperti gunung Lawu menyimpan banyak jenis
tumbuhan. Hutan Jobolarangan (atau dilafalkan masyarakat setempat sebagai
Jogolarangan) merupakan kawasan bukit, jurang dan tebing yang sangat kompleks
di lereng selatan gunung Lawu. Kawasan ini merupakan salah satu contoh lokasi
di gunung Lawu yang ekosistemnya masih alami dan keanekaragaman hayati
yang cukup tinggi. Kondisi lingkungan yang ”ekstrim” cenderung ditumbuhi oleh
jenis-jenis tumbuhan yang banyak mengandung metabolit sekunder. Disamping
itu ekosistem gunung memiliki gradasi suhu, kelembaban dan intensitas cahaya
yang mencolok sehingga memungkinkan tingginya keragaman hayati yang
tumbuh (Pujiasmanto et al., 2009).
Kawasan gunung Lawu memiliki kekayaan berupa keanekaragaman hayati
yang
tinggi.
Penelitian
Sutarno
et
al.
(2001)
menunjukkan
bahwa
keanekaragaman flora terestrial gunung Lawu terdiri atas 150 spesies
Spermartophyte (Angiorspermae dan Gymnospermae), 77 spesies Cryptogamae
(Pteridophyte/paku dan Bryophyte/lumut). Penelitian Budiharjo dan Sutarno
(2006) yang mengidentifikasi kekayaan avifauna (burung) gunung Lawu
menyebutkan bahwa di kawasan tersebut terdapat 51 jenis burung. Hasil
penelitian Marsusi et al. (2001) tentang keanekaragaman anggrek ditemukan 47
spesies, 14 spesies diantaranya merupakan endemik yang memiliki potensi
ekonomi
tinggi
seperti Dendrobium,
11
Pholidota,
Coelogyne,
Calanthe, dan Eria. Steenis (1972) menyebutkan bahwa terdapat spesies-spesies
bersifat endemik di gunung Lawu misalnya jalak Gading (Turdus poliocephalus
stresemanni), pohon cemara gunung (Casuarina junghuhniana), pohon rasamala
(Altingia exselsa), dan bunga Edelweis (Anaphalis javanica).
Gunung Lawu sebagian besar merupakan hutan dataran tinggi yang
memiliki banyak potensi yang belum banyak diketahui. Potensi keanekaragaman
hayati yang ada di Gunung Lawu merupakan aset bagi pembangunan dan
peradaban kehidupan manusia. Penelitian yang jumlahnya masih sedikit baik dari
pemerintah maupun di luar pemerintah mengenai keragaman hayati yang ada di
gunung Lawu ternyata masih menjadi kendala dalam menginventarisasikan
keragaman dan jumlahnya sehingga dapat pula menjadi ancaman bagi
keseimbangan ekosistem yang ada di gunung Lawu (Riza, 2003).
Beberapa potensi gunung Lawu telah terancam oleh aktivitas antropogenik
terutama alih fungsi lahan dan eksploitasi yang berlebihan oleh masyarakat di
sekitarnya. Ancaman terhadap potensi gunung Lawu tersebut menyebabkan
terjadinya degradasi yang serius terhadap biodiversitas pada hutan di kawasan
Lawu. Oleh sebab itu pemberdayaan masyarakat menjadi kunci utama dalam
upaya melakukan konservasi biodiversitas gunung Lawu (Pujiasmanto et al.,
2010).
3. Faktor Lingkungan
Keberadaan tumbuhan di suatu habitat dipengaruhi oleh faktor abiotik dan
faktor biotik. Faktor abiotik dapat berupa iklim yang meliputi suhu, intensitas
sinar matahari, curah hujan, kecepatan angin, kelembaban udara, keseimbangan
12
energi, topografi, fisiografi, edafit (tanah), geologi dan lain-lain sedangkan faktor
biotik yang meliputi segenap tumbuhan dan hewan, interaksi antara organisme,
pemangsaan, dekomposer, simbiosis, parasitisme, manusia dan lain-lain. Setiap
spesies memiliki tingkat toleransi yang berbeda-beda terhadap faktor-faktor
tersebut sehingga dapat mempengaruhi pola distribusi dan kemelimpahan suatu
tumbuhan (Ewusie, 1990).
A. Ketinggian Tempat
Faktor ketinggian merupakan salah satu fator penting adanya persebaran
kekayaan spesies (Jiang, 2007). Ketinggian tempat merupakan faktor yang
menentukan kelanggengan suatu habitat. Bervariasinya topografi dan ketinggian
tempat berpengaruh terhadap sifat dan sebaran komunitas vegetasi (Ewusie,
1990). Kombinasi ketinggian dan kemiringan di gunung membatasi spesies untuk
hidup di habitatnya meskipun di ketinggian dan kemiringan sama, perbedaan kecil
ketinggian lereng menyebabkan perbedaan iklim mikro. Perbedaan ketinggian
tempat akan mempengaruhi keadaan lingkungan tumbuh tumbuhan terutama
suhu, kelembaban, intensitas sinar matahari dan keadaan tanah (Steenis, 2010).
Perbedaan ketinggian tempat dapat mempengaruhi kondisi unsur – unsur
lingkungan seperti suhu udara dan kelembaban udara relatif selama masa hidup
tumbuhan. Ketinggian tempat berkorelasi negatif dengan cahaya matahari yang
diterima. Semakin tinggi ketinggian suatu tempat, maka intensitas cahaya
matahari yang diterima juga semakin rendah. Sementara itu, kelembaban udara
berkorelasi positif terhadap ketinggian tempat dimana pada tempat yang lebih
tinggi kelembaban udara juga relatif tinggi (Nurnasari dan Djumali, 2011).
13
B. Suhu Udara
Suhu udara merupakan salah satu faktor lingkungan paling penting yang
membatasi pertumbuhan vegetasi (Gibbs,1950). Secara alami suhu akan turun
dengan bertambahnya ketinggian suatu tempat. Suhu rata – rata pada permukaan
laut adalah 26,3 °C dan berkurang sebanyak 0,61°C setiap kenaikan tinggi 100 m
sehingga menjadi 14,1 °C pada ketinggian 2000 m dan selanjutnya berkurang
0,52°C setiap 100 m. Dengan demikian maka suhu mencapai 0°C pada ketinggian
sekitar 4700 m, sejalan dengan kehadiran salju di puncak tertinggi di gunung –
gunung di Irian Jaya (Steenis, 2010). Hal ini terjadi karena udara di tempat yang
tinggi bersifat lebih renggang sehingga kurang mampu menyimpan panas
dibanding udara yang dibawah yang bersifat lebih rapat (Lakitan, 2002).
C. Kelembaban Udara
Kenaikan kelembaban udara akan diikuti oleh penurunan suhu suatu
daerah. Di daerah pegunungan, curah hujan lebih tinggi dengan suhu yang lebih
rendah sehingga di daerah pegunungan keadaan tanahnya relatif subur, kaya
bahan organik dan unsur hara jika dibandingkan dengan tanah di dataran rendah.
(Djayadiningrat, 1990). Kelembaban udara merupakan fungsi dari banyak dan
lamanya curah hujan yang dapat membentuk ada atau tidaknya beberapa jenis
tumbuhan dan hewan dalam habitat tertentu. Kelembaban di pegunungan naik
sejalan dengan bertambahnya ketinggian. Lapisan awan dan gerimis yang terus
menerus mencegah kelembaban turun (Ewusie, 1990).
Kelembaban udara di hutan pegunungan umumnya cukup tinggi terutama
pada malam hari karena adanya penurunan suhu. Hal ini dapat terlihat pada
14
puncak – puncak gunung karena udara yang naik dari daerah rendah mulai dingin
pada elevasi yang lebih tinggi. Pada saat kemarau, kelembaban udara di puncak
semakin tinggi pada siang hari, akan tetapi pada malam hari udara dapat menjadi
sangat kering (Steenis, 2010).
D. Intensitas Cahaya
Whitten et al. (1996) menyatakan bahwa radiasi ultra violet pada gununggunung di daerah tropik adalah yang paling kuat dibandingkan dengan daerah
manapun diatas permukaan bumi. Hal ini disebabkan oleh rendahnya kadar ozon
pada lapisan stratosfer (yang menyerap sinar ultraviolet) yang dekat dengan
wilayah khatulistiwa sedangkan lapisan atmosfer pada ketinggian rendah lebih
padat sehingga mampu untuk menyerap dan memantulkan radiasi.
Intensitas cahaya matahari akan meningkat pada bulan – bulan kering
(kemarau). Pada bagian timur Jawa, lereng – lereng timur menerima cahaya
matahari lebih banyak daripada lereng – lereng barat karena pagi hari umumnya
cerah dan sore hari berawan. Jawa terletak pada 7° Lintang Selatan sehingga sisi
utara akan menerima lebih banyak cahaya matahari daripada sisi selatan (Steenis,
2010).
E. Kecepatan Angin
Secara luas kecepatan angin akan mempengaruhi unsur cuaca yang lain
seperti suhu, kelembaban udara maupun pergerakan awan. Kecepatan angin
adalah kecepatan udara yang bergerak secara horizontal pada ketinggian dua
meter diatas permukaan tanah. Perbedaan tekanan udara antara asal dan tujuan
angin merupakan faktor yang menentukan kecepatan angin. Kecepatan angin akan
15
berbeda pada permukaan yang ditutup oleh vegetasi pada ketinggian tertentu dan
tidak di pengaruhi oleh karakteristik permukaan yang dilaluinya (Gunarsih, 1993).
Kecepatan angin yang relatif stabil dan normal sangat membantu dalam
penyerbukan tanaman, angin yang membawa serangga penyerbuk akan lebih aktif
membantu terjadinya persarian bunga dan pembenihan alamiah. Namun
sebaliknya, jika kecepatan angin terlalu tinggi dapat menganggu proses
penyerbukan tanaman dan penyebaran hama penyakit tanaman (Tantawi, 2007).
F. Tanah
Faktor edafik merupakan faktor yang ditentukan oleh kondisi tanah
berdasarkan sifat fisika-kimia maupun biologis tanah. Beberapa hal yang
menentukan perbedaan kondisi tanah di tempat satu dengan yang lain yaitu :
1. Kelembaban tanah
Air dalam tanah akan berubah – ubah jumlahnya sesuai dengan jumlah
penambahan air oleh curah hujan atau penambahan air irigasi dan juga akibat
faktor cuaca. Penyerapan air oleh tanah akan mempengaruhi kelembaban tanah.
Kelembaban tanah akan mempengaruhi kompetisi udara tanah yang akan
mempengaruhi aktivitas biota tanah (Jumin, 1989).
2. pH tanah
Besarnya pH dapat menunjukkan ketersediaan unsur hara dan mineral
dalam tanah. Tanah dengan pH 5-5,5 (strong acidity) tersedia unsur hara nitrogen,
pospor, potassium, molibdenum, boron, seng dan cuprum. Unsur yang tidak
tersedia belerang, kalsium, magnesium dan besi Pada pH di bawah netral pada
umumnya proses nitrifikasi akan terganggu dan pH antara 6,5 – 7,5 merupakan
16
pH yang optimal bagi tersedianya unsur N,P,K, dan unsur hara lainnya yang
diperlukan dalam pertumbuhan tanaman (Agustina, 1991). Tanah di gunung
dengan naiknya ketinggian akan menjadi lebih asam dan kekurangan mineral
tanah (Barbour et al., 1987). Pada penelitian Pujiasmanto et al. (2009)
menyatakan bahwa pH tanah di gunung Lawu bersifat masam dengan nilai pH
rata – rata 5,0 – 5,5.
3. Kandungan hara
Pujiasmanto et al. (2009) menyatakan kandungan hara di daerah gunung
pada ketinggian 1000 m dpl lebih tinggi daripada di ketinggian 2000 m dpl. Jenis
tanah termasuk jenis tanah andosol dengan kandungan C-organik dan BO
(Biological Organic) yang tinggi sedangkan kandungan N total dan K sedang dan
kandungan P rendah. Menurut Darmawijaya (1992) sifat fisika kimia dari tanah
Andosol memiliki kejenuhan basa rendah, mengandung C dan N tinggi tetapi
nisbah C/N rendah, dan kadar P rendah karena terfiksasi kuat. Kandungan K di
lembah sungai selalu lebih rendah daripada bukit. Menurut Prasetyo et al. (2006)
kendala yang sering dijumpai pada lahan dengan tingkat erosi tinggi adalah
rendahnya tingkat kesuburan tanah yang antara lain dicirikan dengan rendahnya
ketersediaan unsur hara makro seperti kalium.
17
4. Tumbuhan Famili Asteraceae
A. Status Taksonomi
Berdasarkan status taksonominya, kedudukan tumbuhan famili Asteraceae
dalam taksonomi tumbuhan yaitu :
Kingdom
: Plantae (tumbuhan)
Super Divisi
: Spermatophyta (menghasilkan biji)
Divisi
: Magnoliophyta (tumbuhan berbunga)
Kelas
: Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub Kelas
: Asteridae
Ordo
: Asterales
Famili
: Asteraceae
Famili Asteraceae mempunyai spesies yang cukup banyak sekitar 14.000
spesies dengan kurang lebih 1000 genus yang tersebar ke seluruh dunia. Contohcontoh genus dari famili Asteraceae diantaranya Helianthus, Aster, Porophyllus,
Ageratus, Tagetes, Vernonia, Emilia, Blumea, Pluchea, Chrysantemum, Cosmos,
Bidens,
Eupatorium,
Thitonia,
Sonchus,
Lactuca,
Gerbera,
Dahlia,
Elephantropus, Matricaria, Taraxocum, Artemisia, Chicorium. Adapun anggota
dari famili ini diantaranya Ageratum conyzoides, Ageratum houstoniamum,
Erechtites valerianifolia, Eupatorium riparium, Eupatorium odoratum, Tegetes
erecta, dan berbagai jenis yang lain (Tjitrosoepomo, 2000).
B. Morfologi Tumbuhan
Tumbuhan famili Asteraceae secara umum memiliki ciri – ciri diantaranya
herba, perdu, atau tumbuh – tumbuhan memanjat dan jarang berupa pohon, daun
18
tunggal, letak daun tersebar atau berhadapan, bunga dalam bongkol kecil dengan
daun pembalut, sering dalam satu bongkol terdapat dua macam yaitu bunga
cakram bentuk tabung dan bunga tepi bentuk pita, buah keras berbiji satu dan
pada umumnya biji tumbuh melekat dengan kulit buah (Steenis, 1987).
Tumbuhan famili Asteraceae merupakan famili yang paling maju diantara
famili sebelumnya adapun kriteria famili ini antara lain habitusnya berupa herba,
semak jarang berupa pohon, beberapa spesies getah seperti susu, daun berseling
atau berhadapan. Bunga berbentuk cawan atau bongkol, alat reproduksi tumbuhan
berupa biseksual atau uniseksual, simetri aktinomorf atau zigomorf dengan jumlah
banyak atau sedikit dan tersusun pada involukrum (kapitulum), kaliks mereduksi
atau berubah bentuk menjadi pappus, korolla berbentuk tabung, tangkai sari
bebas, kepala sari berlekatan, berseling dengan taju-taju mahkota, bakal buah
tenggelam dengan satu bakal biji, satu tangkai putik dan dua kepala putik. Buah
berbentuk kurung atau batu (Tjitrosoepomo, 2000).
C. Habitat dan Distribusi
Famili Asteraceae terbesar mencakup aster, daisy dan bunga matahari
terdiri dari 1.100 genus dan 20.000 spesies yang terdistribusi secara luas di hampir
seluruh habitat kecuali hutan yang rapat dan gelap. Tingkatan dari tanaman
pangan yang penting seperti Lactuca sativa (selada) hingga tanaman hias.
Karakteristik tipe perbungaan bunga matahari/daisy membuat tumbuhan ini
mudah dikenali (Mauseth, 2009). Tumbuhan famili Asteraceae mudah tumbuh di
berbagai wilayah dengan kondisi lingkungan yang berbeda. Distribusi famili
Asteraceae cukup mendunia mulai dari daerah tropis dan subtropis yaitu dari
19
Afrika Selatan, Afrika Barat sampai Amerika Utara (Adedeji dan Jewoola, 2008).
Di daerah padang rumput, Asteraceae tumbuh sebagai tumbuhan liar (Essiett dan
Archibong, 2014). Tumbuhan anggota famili Asteraceae dapat ditemui pada
ketinggian 0 – 1200 meter dpl (Lawrence, 1955).
Tumbuhan famili Asteraceae memiliki adaptasi dan daya kompetisi yang
lebih tinggi bila dibandingkan dengan spesies yang lain. Beberapa spesies tidak
membutuhkan persyaratan khusus untuk tumbuh, cepat tumbuh lebat dan mampu
memperbanyak diri secara alami dengan mudah (Heyne, 1987). Persebaran
tumbuhan famili Asteracee umumnya tumbuh pada habitat yang tidak ternaungi
(terbuka), hal ini dikarenakan habitat terbuka memiliki intensitas yang tinggi
sehingga memudahkan untuk tumbuh (Fahmi et al., 2012).
D. Keanekaragaman Spesies
Famili Asteraceae merupakan salah satu takson tumbuhan dengan
keanekaragaman jenis yang cukup tinggi. Salah satu jenis tumbuhan yang
berlimpah di kawasan gunung Lawu adalah jenis Asteraceae. Eupathorium
odoratum dan Eupathorium riparium adalah jenis yang paling banyak ditemui
pada vegetasi hutan di gunung Lawu (Heyne, 1987).
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Sutarno et al. (2001)
tentang keanekaragaman tumbuhan Spermathophyta, beberapa spesies tumbuhan
famili Asteraceae yang ditemukan di kawasan hutan Jabolarangan gunung Lawu
diantaranya Anaphalis javanica (Bl.), Anaphalis longifolia (Bl.), Adenostema
hirsutum (Bl.), Ageratum conyzoides L., Bidens biternata (Lour.) Merr.,Cosmos
caudatus, Crassocephalum crepidiodes (Benth.), dan Cromolaena odorata (L.).
20
(a)
(b)
(d)
(c)
Gambar 2.1 (Dokumentasi: Syah et al., 2014) :
(a). Tithonia diversifolia
(b). Anaphalis javanica
(c). Sonchus arvensis
(d). Spilanthes acmella
Kumolo dan Utami (2011) dalam penelitiannya menyatakan di kawasan
wana wisata Nglimut Gonoharjo kabupaten Kendal, diperoleh 6 jenis tumbuhan
famili Asteraceae yang tumbuh di wana wisata Nglimut yaitu Ageratum
conyzoides, Ageratum houstoniamum, Erechtites valerianifolia, Eupatorium
riparium, Eupatorium odoratum, dan Tegetes erecta. Jenis dengan jumlah
individu paling banyak dan distribusinya tinggi di wana wisata Nglimut adalah
21
Eupatorium odoratum dan Eupatorium riparium, sedangkan jenis tumbuhan
famili Asteraceae yang paling jarang adalah Tegetes erecta.
Anaphalis javanica yang lebih dikenal denga sebutan edelweis merupakan
sejenis perdu yang menjadi salah satu anggota famili astereceae. Tinggi edelweiss
secara umum dapat mencapai sekitar empat meter, diameter batang bisa mencapai
sebesar pergelangan tangan orang dewasa. Edelweis tumbuh pada daerah yang
mempunyai temperatur sekitar 15 – 20 ° C dengan ketinggian antara 2000 – 3600
meter dari permukaan laut (Kayowuan, 2014).
Tanaman krisan termasuk golongan Asteraceae dengan bunga sejati yang
berbentuk cawan yang dikenal pula dengan sebutan bunga aster atau seruni.
Krisan (Dendranthhema grandiflorum (Ramat.) Kitam.) merupakan salah satu
Asteraceae yang sangat populer di kalangan masyarakat luas karena banyaknya
varietas, bentuk dan warna bunga (Purwanto dan Martini, 2009). Fahmi et al.
(2012) dalam penelitiannya menyatakan terdapat 16 spesies famili Asteraceae
yang tersebar di Kebun Raya Bogor yaitu A. conyzoides, B. pilosa, E. scaber L, E.
sonchifolia, E. sumatrensis, E. ruderalis, P. ruderale, G. parviflora, M.
micrantha, S. nodiflora,V. cinerea, S. arvensis, S. iabadicensis, S. indicus, , S.
africanus, dan T. procumbens.
E. Manfaat Tumbuhan
1. Manfaat Ekologi
Peranan tumbuhan Asteraceae merupakan tumbuhan yang sangat berperan
dalam kestabilan ekosistem hutan. Tumbuhan famili Asteraceae merupakan
tumbuhan penutup lantai tanah karena pada umumnya berupa tumbuhan herba dan
22
perdu. Tumbuhan ini berperan dalam mencegah terjadinya erosi dilereng
pegunungan. Tumbuhan Asteraceae berperan dalam mencegah terjadinya erosi
karena tumbuhan ini mempunyai empat peran yaitu :
a) Menghalangi tumbukan-tumbukan langsung butir-butir hujan sehingga
daya tumbuk butir-butir hujan tersebut dapat direduksi.
b) Mengurangi kecepatan aliran permukaan dan melindungi pengikisanpengikisan oleh aliran permukaan.
c) Mendorong perkembangan biota tanah yang dapat memperbaiki sifat fisik
dan kimia tanah, dan akar-akarnya dapat mempengaruhi kapasitas infiltrasi
tanah sehingga aliran air permukaan menjadi berkurang.
d) Berperan menambah bahan organik tanah dan resistensi tanah terhadap
erosi menjadi bertambah (Heyne,1987).
Beberapa spesies Asteraceae memiliki peran ekologi yang cukup penting
dalam keberlangsungan ekosistem. Misalnya, tumbuhan Edelweis (Anaphalis
javanica) memiliki bunga yang menjadi sumber makanan bagi serangga-serangga
tertentu. Kulit batangnya bercelah dan mengandung air sehingga dapat menjadi
tempat hidup bagi beberapa jenis lumut dan lichen. Ranting – ranting edelweis
yang rapat mengundang burung murai (Turdus sp.) untuk membuat sarang,
demikian pula akarnya yang muncul dipermukaan tanah merupakan tempat hidup
cendawan tertentu membentuk mikoriza. Hal inilah yang menjadikan edelweis
dapat hidup di tanah yang miskin hara (Steenis, 1972).
23
3. Manfaat Ekowisata
Kawasan hutan dapat dimanfaatkan untuk penyediaan bibit atau sebagai
sumber plasma nutfah untuk dikembangkan/dibudidayakan di luar kawasan hutan,
misalnya untuk memperkaya populasi flora melalui budidaya. Kegiatan ini
dilakukan dengan tetap menjaga agar tidak merusak kawasan. Disamping itu,
kegiatan pengambilan tumbuhan obat, tumbuhan hias dan tumbuhan budidaya
tetap difokuskan untuk tujuan penunjang wisata alam (Wuryani dan Purwiyastuti,
2012).
Keanekaragaman tumbuhan famili Asteraceae dapat menjadi daya tarik
tersendiri bagi wisatawan. Tumbuhan Asteraceae merupakan salah satu anggota
penyusun vegetasi lantai tanah di hutan gunung Lawu. Pada periode pembungaan,
sebagian besar tumbuhan akan berbunga dan menutupi lantai tanah. Hal ini
menjadi daya tarik para wisatawan untuk menikmati pemandangan alam di
kawasan hutan gunung Lawu (Rosadi, 2015).
2. Manfaat Farmakalogi
Secara umum tumbuhan anggota Asteraceae mempunyai bulu – bulu getah
yang beruas – ruas yang merupakan kelenjar minyak yang mengandung senyawa
biokimia yang melimpah sebagai antiherbivora diantaranya lakton sesquiterpen,
monoterpen, terpenoid, dan saluran getah yang berisi resin poliasitilen. Adanya
senyawa biokimia menyebabkan resisten terhadap binatang pemangsa dan
menyebabkan iritasi pada kulit pada manusia (Mauseth, 2009).
Bunga matahari (Helianthus annuus L., Asteraceae) adalah tumbuhan hias
yang terkenal di Amerika Utara, Canada, dan Mexico. Semua bagian dari
24
tumbuhan ini dapat dimanfaatkan mulai dari akar, batang, daun, bunga dan biji.
Biji dari bunga matahari dapat dimanfaatkan sebagai penghasil minyak goreng,
bahan makanan. Pigment warna pada mahkota bunga dapat dijadikan sebagai
bahan pewarna.
a. Bunga : antipiretik, hipotensif, menurunkan tekanan darah, mengurangi
rasa nyeri (analgetik), nyeri haid (dysmenorrhoe), nyeri lambung (gastric
pain), sakit kepala, sakit gigi, sakit perut, tekanan darah tinggi, radang
payudara (obat luar), radang persendian (obat luar), kosmetik (mencegah
penuaan dini), dan sulit melahirkan.
b. Akar : Anti inflamasi, analgesik, antitusif, diuretic, batuk, batu ginjal,
bronkhitis, keputihan (leucorrhoe), anti radang, peluruh air seni, pereda
batuk, dan menghilangkan nyeri.
c. Daun : Anti inflamasi, analgesik, antipiretik, anti radang, mengurangi rasa
nyeri, dan anti malaria.
d. Biji : Anti dysentery, membangkitkan nafsu makan, lesu, sakit kepala, ,
disenteri berdarah, merangsang pengeluaran cairan tubuh (hormon,
enzym), merangsang pengeluaran campak (measles).
e. Sumsum dari batang dan dasar bunga (reseptaculum) : Merangsang energi
vital,
menenangkan
liver,
merangsang
pengeluaran
air
kemih,
menghilangkan rasa nyeri pada waktu buang air kemih, nyeri lambung, air
kemih bedarah (hematuria), ari kemih berlemak (chyluria), kanker
lambung, kanker esophagus dan malignant mole (Wojtaszek dan Maier,
2014).
25
Polunin (1990) dalam penelitiannya menyatakan adanya sifat repelen pada
jenis Eupatorium odoratum. Sifat ini menimbulkan efek penolakan bagi insekta
sehingga tumbuhan ini berpotensi sebagai bioinsektisida. Hasil penelitiannya yang
lain menyebutkan bahwa Ageratum conyzoides memiliki potensi besar sebagai
obat multiguna karena terbukti sebagai obat melawan berbagai macam penyakit.
Hasil penelitian Elena et al. (2009) menyatakan bahwa ekstrak daun Eupatorium
riparium efektif menurunkan jumlah larva Aedes aegypty yang berkembang
menjadi pupa sehingga dapat mengurangi persebaran penyakit.
Ageratum houstonianum memiliki bulu pada daun pelindung bunga serta
memiliki bunga tepi yang menjulur keluar. Jenis tumbuhan famili Asteraceae ini
memiliki potensi sebagai anti serangga kerena menghasilkan antihormon yang
mampu menghambat perkembangan hormon juvenil pada serangga (Steenis,
1972). Chromolaena odorata adalah salah satu anggota Asteraceae yang memiliki
manfaat yang dapat mencegah pertumbuhan vektor insecta Periplaneta americana
yang bersifat parasit pada manusia (Udebuani et al., 2015).
Sphaeranthus amaranthoides (Asteraceae) memiliki potensi yang besar
sebagai obat herbal di India. Tumbuhan ini merupakan tumbuhan liar yang dapat
berguna sebagai penetral racun (Subhashini dan Poonguzhali, 2014). Kandungan
kimia daun dan bunga krisan (Chrysanthemum indicum) mengandung saponin, di
samping itu daunnya mengandung alkaloida dan tanin, sedang bunganya juga
mengandung minyak atsiri. Selain itu, Bunga krisan berkhasiat sebagai obat sakit
bengkak pada mata dan untuk obat luka (Purwanto dan Martini, 2009).
3. Manfaat Ekonomi, Bidang Pertanian dan lain -lain
26
Bunga krisan (Chrysanthymum sp.) merupakan famili asteraceae yang
sering dibudidayakan sebagai tanaman hias maupun sebagai bunga potong yang
sangat disenangi konsumen di Indonesia karena keindahannya, keragaman bentuk,
warna dan mudah dirangkai serta memiliki kesegaran bunga cukup lama, bisa
bertahan sampai 3 minggu dan termasuk salah satu komoditi utama tanaman hias
(Purwanto dan Martini, 2009).
Tagetes erecta merupakan anggota famili Asteraceae yang memiliki
potensi yang cukup besar untuk dimanfatkan. Tumbuhan ini memiliki bunga yang
indah sehingga banyak ditanam oleh manusia sebagai tumbuhan penghias taman.
Tumbuhan ini digunakan sebagai penghalau nematoda perusak perkebunan
kentang. (Ashandie, 2007). Edelweis (Anaphalis javanica) ialah salah satu
kekayaan alam yang paling dikenal di kawasan gunung Jawa dan merupakan jenis
tumbuhan dari suku asteraceae dan digolongkan sebagai tanaman hias karena
memunyai bunga yang indah dan menarik. Sifat bunga yang tahan lama dalam
keadaan kering sehingga disebut bunga abadi (evelasting flower) sehingga
edelweis dapat dijadikan sebagai sumber ekonomi (dapat diperjual-belikan)
(Kayowuan, 2014).
Di Nigeria, beberapa spesies famili Asteraceae digunakan masyarakat
lokal sebagai tanaman obat. Di Uganda dan Meksiko, masyarakat memanfaatkan
tumbuhan Asteraceae sebagai bahan campuran penguat rasa pada minuman teh.
Masyarakat Filipina menggunakan beberapa spesies tumbuhan Asteraceae sebagai
komponen pembuatan minuman anggur. Di daerah padang rumput, Asteraceae
27
tumbuh sebagai tumbuhan liar yang memiliki kemampuan sebagai herbisida
(Essiett dan Archibong, 2014).
B. Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir dari penelitian ini adalah tumbuhan famili Asteraceae
merupakan salah satu keanekaragaman flora di kawasan gunung Lawu yang
memiliki potensi sebagai upaya pengembangan ekowisata berbasis edukasi dan
kearifan lokal. Tumbuhan Asteraceae memiliki manfaat secara ekologi,
farmakologi, ekonomi, dan berbagai manfaat lain yang penting untuk diketahui
sehingga dapat dikelola secara tepat guna meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.
Dalam penelitian eksplorasi ini akan di lakukan kajian tentang
keanekaragaman dari tumbuhan anggota famili Asteraceae yang terdapat di
kawasan
jalur pendakian Cemoro Kandang
Gunung Lawu
Kabupaten
Karanganyar dengan metode survey langsung, menentukan distribusi dan
kemelimpahan spesies dari tumbuhan anggota Asteraceae berdasarkan ketinggian
tempat dengan membagi ke beberapa titik pengambilan sampe serta mengkaji
tentang potensi tumbuhan Asteraceae sebagai salah satu upaya pengembangan
ekowisata berbasis edukasi dan kearifan lokal melalui survey langsung, kuisioner
dan wawancara masyarakat setempat. Dari penelitian ini diharapkan dapat
menambah pengetahuan tentang keanekaragaman tumbuhan famili Asteraceae di
kawasan gunung Lawu sehingga upaya konservasi, pemanfaatan dan pengelolaan
dapat di optimalkan. Skema kerangka berpikir penelitian
gambar 2.2.
28
dapat dilihat pada
Kawasan Gunung Lawu
Keanekaragaman flora
Keanekaragaman fauna
Keanekaragaman Tumbuhan
Famili Asteraceae
Distribusi
Kemelimpahan
Potensi dan Manfaat
Upaya Pengembangan Ekowisata
Edukasi
Kearifan Lokal
Gambar 2.2 Skema kerangka berpikir
29
C. Hipotesis
Hipotesis penelitian ini adalah:
1. Banyak keanekaragaman jenis-jenis tumbuhan anggota famili Asteraceae
yang dapat ditemukan di kawasan jalur pendakian Cemoro Kandang
gunung Lawu Kabupaten Karanganyar.
2. Distribusi dan kemelimpahan spesies dari tumbuhan anggota famili
Asteraceae akan menunjukkan hasil yang berbeda pada tiap ketinggian
yang berbeda di kawasan jalur pendakian Cemoro Kandang gunung Lawu
Kabupaten Karanganyar.
3. Tumbuhan Asteraceae memiliki potensi sebagai upaya pengembangan
ekowisata berbasis edukasi dan kearifan lokal.
30
Download