BAB II LANDASAN TEORI A. TINJAUAN PUSTAKA 1. Ekowisata A. Pengertian Istilah ekowisata dapat diartikan sebagai perjalanan oleh seorang turis ke daerah terpencil dengan tujuan menikmati dan mempelajari mengenai alam, sejarah dan budaya di suatu daerah dimana pola wisatanya membantu ekonomi masyarakat lokal dan mendukung pelestarian alam (Direktorat Pengembangan Pariwisata, 2009). Ekowisata merupakan perjalanan wisata alam yang alami maupun buatan yang bertujuan untuk menjamin kelestarian alam dan sosial - budaya. Ekowisata menitikberatkan pada tiga hal utama yaitu keberlangsungan alam atau ekologi, memberi manfaat ekonomi, dan dapat diterima dalam kehidupan sosial masyarakat. Kegiatan ekowisata secara langsung dapat memberi akses kepada semua orang untuk melihat, mengetahui, dan menikmati pengalaman alam, intelektual dan budaya masyarakat lokal (Satria, 2009). Ekowisata merupakan pengembangan pariwisata yang ramah lingkungan, mengedepankan konservasi lingkungan, pendidikan lingkungan dan menguntungkan penduduk lokal (meningkatkan perekonomian penduduk lokal). Penyelenggaraan ekowisata pada dasarnya dilakukan dengan kesederhanaan, memelihara keasliaan alam dan lingkungan, memelihara keaslian adat istiadat, kebiasaan hidup atau the way of life, menjaga kelestarian flora dan fauna, serta 5 melestarikan lingkungan hidup sehingga terjadinya suatu keseimbangan antara kehidupan manusia dengan lingkungan alam (Widowati, 2012). B. Prinsip – prinsip Ekowisata Beberapa prinsip utama dalam ekowisata adalah: a. Jumlah pengunjung terbatas atau diatur supaya sesuai dengan daya dukung lingkungan dan sosial-budaya masyarakat. b. Pola wisata ramah lingkungan (nilai konservasi). c. Pola wisata ramah budaya dan adat setempat (nilai edukasi dan wisata). d. Membantu secara langsung perekonomian masyarakat lokal (nilai ekonomi). e. Modal awal yang diperlukan untuk infrastruktur tidak besar (nilai partisipasi masyarakat dan ekonomi) (Direktorat Pengembangan Pariwisata, 2009). Menurut Dalem (2006) sembilan prinsip yang harus diterapkan dalam upaya pengembangan ekowisata yaitu : a. Peka dan menghormati nilai - nilai sosial budaya dan tradisi keagamaan masyarakat setempat. b. Memiliki kepedulian, komitmen dan tangung jawab terhadap konservasi alam dan warisan budaya. c. Menyediakan interpretasi yang memberikan peluang kepada wisatawan untuk menikmati alam dan meningkatkan alam. 6 kecintaannya terhadap d. Edukasi yaitu ada proses pembelajaran dialogis antara masyarakat dengan wisatawan. e. Pengembangannya harus didasarkan atas persetujuan masyarakat setempat melalui musyawarah. f. Memberdayakan dan mengoptimalkan partisipasi serta sekaligus memberikan kontribusi secara kontinyu terhadap masyarakat setempat. g. Mentaati peraturan perundang-undangan yang berlaku h. Secara konsisten memberikan kepuasan kepada konsumen. i. Dipasarkan dan dipromosikan dengan jujur dan akurat sehingga sesuai dengan harapan (pemasaran yang bertanggung jawab). C. Ekowisata Berbasis Edukasi dan Kearifan Lokal Salah satu prinsip pengembangan ekowisata adalah memenuhi aspek pendidikan. Hal ini dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain dengan memberikan informasi menarik seperti nama dan manfaat flora - fauna yang ada di sekitar daerah wisata, yakni manfaat ekologi, ekonomi dan sosial budaya. Kegiatan pendidikan bagi wisatawan ini akan mendorong upaya pelestarian alam dan budaya dimana kegiatan ini dapat didukung oleh alat bantu seperti brosur, leaflet, buklet atau papan informasi (Direktorat Pengembangan Pariwisata, 2009). Ekowisata memberikan banyak peluang untuk memperkenalkan kepada wisatawan tentang pentingnya perlindungan alam dan penghargaan terhadap kebudayaan lokal. Dalam pendekatan ekowisata, pusat informasi menjadi hal yang penting untuk meningkatkan nilai dari pengalaman seorang turis yang dapat memperoleh informasi lengkap tentang lokasi atau kawasan dari segi budaya, 7 sejarah, alam, dan menyaksikan acara seni, kerajinan dan produk budaya lainnya (Direktorat Pengembangan Pariwisata, 2009). Kawasan konservasi seperti kawasan suaka alam atau kawasan hutan lindung merupakan kawasan yang diminati oleh wisatawan ekotour karena memiliki keanekaragaman flora dan fauna, fenomena alam yang indah, objek budaya dan sejarah serta kehidupan masyarakat lokal yang unik. Keseluruhan objek daya tarik wisata ini merupakan sumberdaya yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi sekaligus sebagai sarana pendidikan dan pelestarian lingkungan. Pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungannya serta kepedulian pada masyarakat sekitar pada kawasan-kawasan konservasi harus sejalan dengan visi pengembangan ekowisata yaitu konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistemnya serta pemberdayaan masyarakat lokal. (Flamin dan Asnaryati, 2013). Dalam upaya mencegah kerusakan hutan agar tidak semakin parah, banyak cara dilakukan berbagai negara yang menyadari hutan mereka sudah hampir musnah. Salah satu upayanya adalah mengembangkan ekowisata (ecotourism) sebagai sumber mata pencaharian masyarakat untuk mengurangi tekanan terhadap hutan (Flamin dan Asnaryati, 2013). Masyarakat lokal atau mereka yang bertempat tinggal di sekitar daerah tujuan wisata (DTW) mempunyai peran yang penting dalam menunjang keberhasilan pembangunan ekowisata. Peran serta masyarakat dalam memelihara lingkungan yang menjadi daya tarik utama ekowisata yang tidak dapat diabaikan. Oleh karena itu, upaya memberdayakan masyarakat lokal dengan mengikutsertakan mereka dalam berbagai kegiatan 8 ekowisata merupakan langkah yang tepat sebagai perwujudan pengembangan ekowisata (Nugroho dan Aliyah, 2013). Ekowisata berbasis kearifan lokal merupakan buah dari kecerdasan masyarakat lokal (local genius) dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Masyarakat lokal akan memiliki nilai partisipatif dalam konservasi lingkungan apabila mereka dilibatkan dalam jasa-jasa ekowisata, pemberian informasi dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Kurnianto, 2008). Ekowisata merupakan alternatif yang tepat untuk memberikan manfaat yang layak secara ekonomi dan adil secara etika dan sosial terhadap masyarakat. Masyarakat dapat memanfaatkan alam dan isi nya sesuai dengan kebutuhan dan tetap mengupayakan usaha konservasi (Tanaya dan Rudiarto, 2014). Masyarakat lokal pada umumnya mencerminkan gaya hidup berciri tradisional yang sesuai dengan sumber daya alam yang dimilikinya. Kearifan lokal mampu menerapkan upaya pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan yang dapat mempertahankan keseimbangan ekosistem dan konservasi lingkungan (Basuni, 2012). 2. Kawasan Ekowisata Gunung Lawu Gunung Lawu merupakan gunung tertinggi di Jawa Tengah dengan status gunung tidak aktif. Pada beberapa bagian gunung ditutupi oleh hutan yang luasnya mencapai 15.000 ha. Gunung Lawu adalah gunung yang terletak di perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur dan secara geografi terletak di sekitar 111°15’ BT dan 7°30’ LS. Gunung ini mempunyai ketinggian 3265 mdpl (meter di atas permukaan air laut) (Setyawan, 2001). 9 Hutan gunung Lawu menempati titik sentral dalam daur hidrologi di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ekosistem gunung Lawu pada ketinggian antara 1000 - 3200 m dpl (meter di atas permukaan laut) memiliki suhu udara berkisar 15 - 19°C, kelembaban udara rata – rata 69 – 94 % dan intensitas cahaya rata – rata adalah 2.600 – 108.000 Lux (Ridwan, 2013). Menurut klasifikasi iklim Steenis (1972), kawasan hutan gunung Lawu memiliki curahan hujan tahunan rata-rata 3000-4000 mm per tahun dengan tiga bulan kering (Juli-September) dan termasuk iklim agak basah. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Desember sebesar 520,8 mm dan terendah pada bulan Agustus sebesar 24,4 mm. Topografi gunung Lawu mengkondensasi angin tenggara yang basah menjadi hujan. Hal ini menyebabkan lereng selatan relatif subur dengan vegetasi yang rapat sekalipun musim kemarau. Kecamatan Tawangmangu kabupaten Karanganyar di lereng barat daya memperoleh cukup air untuk pertanian sedangkan Kecamatan Plaosan, Kabupaten Magetan di lereng tenggara yang tanahnya berporous terdapat telaga Sarangan yang luas. Kekayaan geomorfologi Gunung Lawu antara lain berupa mata air/air terjun, gua, sumber air panas dan lubang kawah solfatara (Setyawan, 2001). Gunung Lawu merupakan gunung yang cukup popular untuk kegiatan pendakian. Gunung Lawu memiliki beberapa jalur pendakian diantaranya jalur pendakian Cemoro Sewu yang berada di Kabuapaten Magetan, Jawa Timur. Jalur pendakian Cemoro Kandang, jalur Candi Cetho, jalur Tlogodigo, jalur Tambak di Kabupaten Karanganyar, jalur Cemoro Mencil yang berada di desa Girimulyo Jogorogo dan jalur Ngrambe Kabupaten Ngawi Jawa Timur. Adanya aktifitas 10 pendakian menunjukkan bahwa gunung Lawu merupakan objek kajian ekosiwata yang dapat digali potensinya baik potensi flora – fauna maupun potensi geomorfologi gunung Lawu (Rosadi, 2015). Ekosistem pegunungan seperti gunung Lawu menyimpan banyak jenis tumbuhan. Hutan Jobolarangan (atau dilafalkan masyarakat setempat sebagai Jogolarangan) merupakan kawasan bukit, jurang dan tebing yang sangat kompleks di lereng selatan gunung Lawu. Kawasan ini merupakan salah satu contoh lokasi di gunung Lawu yang ekosistemnya masih alami dan keanekaragaman hayati yang cukup tinggi. Kondisi lingkungan yang ”ekstrim” cenderung ditumbuhi oleh jenis-jenis tumbuhan yang banyak mengandung metabolit sekunder. Disamping itu ekosistem gunung memiliki gradasi suhu, kelembaban dan intensitas cahaya yang mencolok sehingga memungkinkan tingginya keragaman hayati yang tumbuh (Pujiasmanto et al., 2009). Kawasan gunung Lawu memiliki kekayaan berupa keanekaragaman hayati yang tinggi. Penelitian Sutarno et al. (2001) menunjukkan bahwa keanekaragaman flora terestrial gunung Lawu terdiri atas 150 spesies Spermartophyte (Angiorspermae dan Gymnospermae), 77 spesies Cryptogamae (Pteridophyte/paku dan Bryophyte/lumut). Penelitian Budiharjo dan Sutarno (2006) yang mengidentifikasi kekayaan avifauna (burung) gunung Lawu menyebutkan bahwa di kawasan tersebut terdapat 51 jenis burung. Hasil penelitian Marsusi et al. (2001) tentang keanekaragaman anggrek ditemukan 47 spesies, 14 spesies diantaranya merupakan endemik yang memiliki potensi ekonomi tinggi seperti Dendrobium, 11 Pholidota, Coelogyne, Calanthe, dan Eria. Steenis (1972) menyebutkan bahwa terdapat spesies-spesies bersifat endemik di gunung Lawu misalnya jalak Gading (Turdus poliocephalus stresemanni), pohon cemara gunung (Casuarina junghuhniana), pohon rasamala (Altingia exselsa), dan bunga Edelweis (Anaphalis javanica). Gunung Lawu sebagian besar merupakan hutan dataran tinggi yang memiliki banyak potensi yang belum banyak diketahui. Potensi keanekaragaman hayati yang ada di Gunung Lawu merupakan aset bagi pembangunan dan peradaban kehidupan manusia. Penelitian yang jumlahnya masih sedikit baik dari pemerintah maupun di luar pemerintah mengenai keragaman hayati yang ada di gunung Lawu ternyata masih menjadi kendala dalam menginventarisasikan keragaman dan jumlahnya sehingga dapat pula menjadi ancaman bagi keseimbangan ekosistem yang ada di gunung Lawu (Riza, 2003). Beberapa potensi gunung Lawu telah terancam oleh aktivitas antropogenik terutama alih fungsi lahan dan eksploitasi yang berlebihan oleh masyarakat di sekitarnya. Ancaman terhadap potensi gunung Lawu tersebut menyebabkan terjadinya degradasi yang serius terhadap biodiversitas pada hutan di kawasan Lawu. Oleh sebab itu pemberdayaan masyarakat menjadi kunci utama dalam upaya melakukan konservasi biodiversitas gunung Lawu (Pujiasmanto et al., 2010). 3. Faktor Lingkungan Keberadaan tumbuhan di suatu habitat dipengaruhi oleh faktor abiotik dan faktor biotik. Faktor abiotik dapat berupa iklim yang meliputi suhu, intensitas sinar matahari, curah hujan, kecepatan angin, kelembaban udara, keseimbangan 12 energi, topografi, fisiografi, edafit (tanah), geologi dan lain-lain sedangkan faktor biotik yang meliputi segenap tumbuhan dan hewan, interaksi antara organisme, pemangsaan, dekomposer, simbiosis, parasitisme, manusia dan lain-lain. Setiap spesies memiliki tingkat toleransi yang berbeda-beda terhadap faktor-faktor tersebut sehingga dapat mempengaruhi pola distribusi dan kemelimpahan suatu tumbuhan (Ewusie, 1990). A. Ketinggian Tempat Faktor ketinggian merupakan salah satu fator penting adanya persebaran kekayaan spesies (Jiang, 2007). Ketinggian tempat merupakan faktor yang menentukan kelanggengan suatu habitat. Bervariasinya topografi dan ketinggian tempat berpengaruh terhadap sifat dan sebaran komunitas vegetasi (Ewusie, 1990). Kombinasi ketinggian dan kemiringan di gunung membatasi spesies untuk hidup di habitatnya meskipun di ketinggian dan kemiringan sama, perbedaan kecil ketinggian lereng menyebabkan perbedaan iklim mikro. Perbedaan ketinggian tempat akan mempengaruhi keadaan lingkungan tumbuh tumbuhan terutama suhu, kelembaban, intensitas sinar matahari dan keadaan tanah (Steenis, 2010). Perbedaan ketinggian tempat dapat mempengaruhi kondisi unsur – unsur lingkungan seperti suhu udara dan kelembaban udara relatif selama masa hidup tumbuhan. Ketinggian tempat berkorelasi negatif dengan cahaya matahari yang diterima. Semakin tinggi ketinggian suatu tempat, maka intensitas cahaya matahari yang diterima juga semakin rendah. Sementara itu, kelembaban udara berkorelasi positif terhadap ketinggian tempat dimana pada tempat yang lebih tinggi kelembaban udara juga relatif tinggi (Nurnasari dan Djumali, 2011). 13 B. Suhu Udara Suhu udara merupakan salah satu faktor lingkungan paling penting yang membatasi pertumbuhan vegetasi (Gibbs,1950). Secara alami suhu akan turun dengan bertambahnya ketinggian suatu tempat. Suhu rata – rata pada permukaan laut adalah 26,3 °C dan berkurang sebanyak 0,61°C setiap kenaikan tinggi 100 m sehingga menjadi 14,1 °C pada ketinggian 2000 m dan selanjutnya berkurang 0,52°C setiap 100 m. Dengan demikian maka suhu mencapai 0°C pada ketinggian sekitar 4700 m, sejalan dengan kehadiran salju di puncak tertinggi di gunung – gunung di Irian Jaya (Steenis, 2010). Hal ini terjadi karena udara di tempat yang tinggi bersifat lebih renggang sehingga kurang mampu menyimpan panas dibanding udara yang dibawah yang bersifat lebih rapat (Lakitan, 2002). C. Kelembaban Udara Kenaikan kelembaban udara akan diikuti oleh penurunan suhu suatu daerah. Di daerah pegunungan, curah hujan lebih tinggi dengan suhu yang lebih rendah sehingga di daerah pegunungan keadaan tanahnya relatif subur, kaya bahan organik dan unsur hara jika dibandingkan dengan tanah di dataran rendah. (Djayadiningrat, 1990). Kelembaban udara merupakan fungsi dari banyak dan lamanya curah hujan yang dapat membentuk ada atau tidaknya beberapa jenis tumbuhan dan hewan dalam habitat tertentu. Kelembaban di pegunungan naik sejalan dengan bertambahnya ketinggian. Lapisan awan dan gerimis yang terus menerus mencegah kelembaban turun (Ewusie, 1990). Kelembaban udara di hutan pegunungan umumnya cukup tinggi terutama pada malam hari karena adanya penurunan suhu. Hal ini dapat terlihat pada 14 puncak – puncak gunung karena udara yang naik dari daerah rendah mulai dingin pada elevasi yang lebih tinggi. Pada saat kemarau, kelembaban udara di puncak semakin tinggi pada siang hari, akan tetapi pada malam hari udara dapat menjadi sangat kering (Steenis, 2010). D. Intensitas Cahaya Whitten et al. (1996) menyatakan bahwa radiasi ultra violet pada gununggunung di daerah tropik adalah yang paling kuat dibandingkan dengan daerah manapun diatas permukaan bumi. Hal ini disebabkan oleh rendahnya kadar ozon pada lapisan stratosfer (yang menyerap sinar ultraviolet) yang dekat dengan wilayah khatulistiwa sedangkan lapisan atmosfer pada ketinggian rendah lebih padat sehingga mampu untuk menyerap dan memantulkan radiasi. Intensitas cahaya matahari akan meningkat pada bulan – bulan kering (kemarau). Pada bagian timur Jawa, lereng – lereng timur menerima cahaya matahari lebih banyak daripada lereng – lereng barat karena pagi hari umumnya cerah dan sore hari berawan. Jawa terletak pada 7° Lintang Selatan sehingga sisi utara akan menerima lebih banyak cahaya matahari daripada sisi selatan (Steenis, 2010). E. Kecepatan Angin Secara luas kecepatan angin akan mempengaruhi unsur cuaca yang lain seperti suhu, kelembaban udara maupun pergerakan awan. Kecepatan angin adalah kecepatan udara yang bergerak secara horizontal pada ketinggian dua meter diatas permukaan tanah. Perbedaan tekanan udara antara asal dan tujuan angin merupakan faktor yang menentukan kecepatan angin. Kecepatan angin akan 15 berbeda pada permukaan yang ditutup oleh vegetasi pada ketinggian tertentu dan tidak di pengaruhi oleh karakteristik permukaan yang dilaluinya (Gunarsih, 1993). Kecepatan angin yang relatif stabil dan normal sangat membantu dalam penyerbukan tanaman, angin yang membawa serangga penyerbuk akan lebih aktif membantu terjadinya persarian bunga dan pembenihan alamiah. Namun sebaliknya, jika kecepatan angin terlalu tinggi dapat menganggu proses penyerbukan tanaman dan penyebaran hama penyakit tanaman (Tantawi, 2007). F. Tanah Faktor edafik merupakan faktor yang ditentukan oleh kondisi tanah berdasarkan sifat fisika-kimia maupun biologis tanah. Beberapa hal yang menentukan perbedaan kondisi tanah di tempat satu dengan yang lain yaitu : 1. Kelembaban tanah Air dalam tanah akan berubah – ubah jumlahnya sesuai dengan jumlah penambahan air oleh curah hujan atau penambahan air irigasi dan juga akibat faktor cuaca. Penyerapan air oleh tanah akan mempengaruhi kelembaban tanah. Kelembaban tanah akan mempengaruhi kompetisi udara tanah yang akan mempengaruhi aktivitas biota tanah (Jumin, 1989). 2. pH tanah Besarnya pH dapat menunjukkan ketersediaan unsur hara dan mineral dalam tanah. Tanah dengan pH 5-5,5 (strong acidity) tersedia unsur hara nitrogen, pospor, potassium, molibdenum, boron, seng dan cuprum. Unsur yang tidak tersedia belerang, kalsium, magnesium dan besi Pada pH di bawah netral pada umumnya proses nitrifikasi akan terganggu dan pH antara 6,5 – 7,5 merupakan 16 pH yang optimal bagi tersedianya unsur N,P,K, dan unsur hara lainnya yang diperlukan dalam pertumbuhan tanaman (Agustina, 1991). Tanah di gunung dengan naiknya ketinggian akan menjadi lebih asam dan kekurangan mineral tanah (Barbour et al., 1987). Pada penelitian Pujiasmanto et al. (2009) menyatakan bahwa pH tanah di gunung Lawu bersifat masam dengan nilai pH rata – rata 5,0 – 5,5. 3. Kandungan hara Pujiasmanto et al. (2009) menyatakan kandungan hara di daerah gunung pada ketinggian 1000 m dpl lebih tinggi daripada di ketinggian 2000 m dpl. Jenis tanah termasuk jenis tanah andosol dengan kandungan C-organik dan BO (Biological Organic) yang tinggi sedangkan kandungan N total dan K sedang dan kandungan P rendah. Menurut Darmawijaya (1992) sifat fisika kimia dari tanah Andosol memiliki kejenuhan basa rendah, mengandung C dan N tinggi tetapi nisbah C/N rendah, dan kadar P rendah karena terfiksasi kuat. Kandungan K di lembah sungai selalu lebih rendah daripada bukit. Menurut Prasetyo et al. (2006) kendala yang sering dijumpai pada lahan dengan tingkat erosi tinggi adalah rendahnya tingkat kesuburan tanah yang antara lain dicirikan dengan rendahnya ketersediaan unsur hara makro seperti kalium. 17 4. Tumbuhan Famili Asteraceae A. Status Taksonomi Berdasarkan status taksonominya, kedudukan tumbuhan famili Asteraceae dalam taksonomi tumbuhan yaitu : Kingdom : Plantae (tumbuhan) Super Divisi : Spermatophyta (menghasilkan biji) Divisi : Magnoliophyta (tumbuhan berbunga) Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil) Sub Kelas : Asteridae Ordo : Asterales Famili : Asteraceae Famili Asteraceae mempunyai spesies yang cukup banyak sekitar 14.000 spesies dengan kurang lebih 1000 genus yang tersebar ke seluruh dunia. Contohcontoh genus dari famili Asteraceae diantaranya Helianthus, Aster, Porophyllus, Ageratus, Tagetes, Vernonia, Emilia, Blumea, Pluchea, Chrysantemum, Cosmos, Bidens, Eupatorium, Thitonia, Sonchus, Lactuca, Gerbera, Dahlia, Elephantropus, Matricaria, Taraxocum, Artemisia, Chicorium. Adapun anggota dari famili ini diantaranya Ageratum conyzoides, Ageratum houstoniamum, Erechtites valerianifolia, Eupatorium riparium, Eupatorium odoratum, Tegetes erecta, dan berbagai jenis yang lain (Tjitrosoepomo, 2000). B. Morfologi Tumbuhan Tumbuhan famili Asteraceae secara umum memiliki ciri – ciri diantaranya herba, perdu, atau tumbuh – tumbuhan memanjat dan jarang berupa pohon, daun 18 tunggal, letak daun tersebar atau berhadapan, bunga dalam bongkol kecil dengan daun pembalut, sering dalam satu bongkol terdapat dua macam yaitu bunga cakram bentuk tabung dan bunga tepi bentuk pita, buah keras berbiji satu dan pada umumnya biji tumbuh melekat dengan kulit buah (Steenis, 1987). Tumbuhan famili Asteraceae merupakan famili yang paling maju diantara famili sebelumnya adapun kriteria famili ini antara lain habitusnya berupa herba, semak jarang berupa pohon, beberapa spesies getah seperti susu, daun berseling atau berhadapan. Bunga berbentuk cawan atau bongkol, alat reproduksi tumbuhan berupa biseksual atau uniseksual, simetri aktinomorf atau zigomorf dengan jumlah banyak atau sedikit dan tersusun pada involukrum (kapitulum), kaliks mereduksi atau berubah bentuk menjadi pappus, korolla berbentuk tabung, tangkai sari bebas, kepala sari berlekatan, berseling dengan taju-taju mahkota, bakal buah tenggelam dengan satu bakal biji, satu tangkai putik dan dua kepala putik. Buah berbentuk kurung atau batu (Tjitrosoepomo, 2000). C. Habitat dan Distribusi Famili Asteraceae terbesar mencakup aster, daisy dan bunga matahari terdiri dari 1.100 genus dan 20.000 spesies yang terdistribusi secara luas di hampir seluruh habitat kecuali hutan yang rapat dan gelap. Tingkatan dari tanaman pangan yang penting seperti Lactuca sativa (selada) hingga tanaman hias. Karakteristik tipe perbungaan bunga matahari/daisy membuat tumbuhan ini mudah dikenali (Mauseth, 2009). Tumbuhan famili Asteraceae mudah tumbuh di berbagai wilayah dengan kondisi lingkungan yang berbeda. Distribusi famili Asteraceae cukup mendunia mulai dari daerah tropis dan subtropis yaitu dari 19 Afrika Selatan, Afrika Barat sampai Amerika Utara (Adedeji dan Jewoola, 2008). Di daerah padang rumput, Asteraceae tumbuh sebagai tumbuhan liar (Essiett dan Archibong, 2014). Tumbuhan anggota famili Asteraceae dapat ditemui pada ketinggian 0 – 1200 meter dpl (Lawrence, 1955). Tumbuhan famili Asteraceae memiliki adaptasi dan daya kompetisi yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan spesies yang lain. Beberapa spesies tidak membutuhkan persyaratan khusus untuk tumbuh, cepat tumbuh lebat dan mampu memperbanyak diri secara alami dengan mudah (Heyne, 1987). Persebaran tumbuhan famili Asteracee umumnya tumbuh pada habitat yang tidak ternaungi (terbuka), hal ini dikarenakan habitat terbuka memiliki intensitas yang tinggi sehingga memudahkan untuk tumbuh (Fahmi et al., 2012). D. Keanekaragaman Spesies Famili Asteraceae merupakan salah satu takson tumbuhan dengan keanekaragaman jenis yang cukup tinggi. Salah satu jenis tumbuhan yang berlimpah di kawasan gunung Lawu adalah jenis Asteraceae. Eupathorium odoratum dan Eupathorium riparium adalah jenis yang paling banyak ditemui pada vegetasi hutan di gunung Lawu (Heyne, 1987). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Sutarno et al. (2001) tentang keanekaragaman tumbuhan Spermathophyta, beberapa spesies tumbuhan famili Asteraceae yang ditemukan di kawasan hutan Jabolarangan gunung Lawu diantaranya Anaphalis javanica (Bl.), Anaphalis longifolia (Bl.), Adenostema hirsutum (Bl.), Ageratum conyzoides L., Bidens biternata (Lour.) Merr.,Cosmos caudatus, Crassocephalum crepidiodes (Benth.), dan Cromolaena odorata (L.). 20 (a) (b) (d) (c) Gambar 2.1 (Dokumentasi: Syah et al., 2014) : (a). Tithonia diversifolia (b). Anaphalis javanica (c). Sonchus arvensis (d). Spilanthes acmella Kumolo dan Utami (2011) dalam penelitiannya menyatakan di kawasan wana wisata Nglimut Gonoharjo kabupaten Kendal, diperoleh 6 jenis tumbuhan famili Asteraceae yang tumbuh di wana wisata Nglimut yaitu Ageratum conyzoides, Ageratum houstoniamum, Erechtites valerianifolia, Eupatorium riparium, Eupatorium odoratum, dan Tegetes erecta. Jenis dengan jumlah individu paling banyak dan distribusinya tinggi di wana wisata Nglimut adalah 21 Eupatorium odoratum dan Eupatorium riparium, sedangkan jenis tumbuhan famili Asteraceae yang paling jarang adalah Tegetes erecta. Anaphalis javanica yang lebih dikenal denga sebutan edelweis merupakan sejenis perdu yang menjadi salah satu anggota famili astereceae. Tinggi edelweiss secara umum dapat mencapai sekitar empat meter, diameter batang bisa mencapai sebesar pergelangan tangan orang dewasa. Edelweis tumbuh pada daerah yang mempunyai temperatur sekitar 15 – 20 ° C dengan ketinggian antara 2000 – 3600 meter dari permukaan laut (Kayowuan, 2014). Tanaman krisan termasuk golongan Asteraceae dengan bunga sejati yang berbentuk cawan yang dikenal pula dengan sebutan bunga aster atau seruni. Krisan (Dendranthhema grandiflorum (Ramat.) Kitam.) merupakan salah satu Asteraceae yang sangat populer di kalangan masyarakat luas karena banyaknya varietas, bentuk dan warna bunga (Purwanto dan Martini, 2009). Fahmi et al. (2012) dalam penelitiannya menyatakan terdapat 16 spesies famili Asteraceae yang tersebar di Kebun Raya Bogor yaitu A. conyzoides, B. pilosa, E. scaber L, E. sonchifolia, E. sumatrensis, E. ruderalis, P. ruderale, G. parviflora, M. micrantha, S. nodiflora,V. cinerea, S. arvensis, S. iabadicensis, S. indicus, , S. africanus, dan T. procumbens. E. Manfaat Tumbuhan 1. Manfaat Ekologi Peranan tumbuhan Asteraceae merupakan tumbuhan yang sangat berperan dalam kestabilan ekosistem hutan. Tumbuhan famili Asteraceae merupakan tumbuhan penutup lantai tanah karena pada umumnya berupa tumbuhan herba dan 22 perdu. Tumbuhan ini berperan dalam mencegah terjadinya erosi dilereng pegunungan. Tumbuhan Asteraceae berperan dalam mencegah terjadinya erosi karena tumbuhan ini mempunyai empat peran yaitu : a) Menghalangi tumbukan-tumbukan langsung butir-butir hujan sehingga daya tumbuk butir-butir hujan tersebut dapat direduksi. b) Mengurangi kecepatan aliran permukaan dan melindungi pengikisanpengikisan oleh aliran permukaan. c) Mendorong perkembangan biota tanah yang dapat memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah, dan akar-akarnya dapat mempengaruhi kapasitas infiltrasi tanah sehingga aliran air permukaan menjadi berkurang. d) Berperan menambah bahan organik tanah dan resistensi tanah terhadap erosi menjadi bertambah (Heyne,1987). Beberapa spesies Asteraceae memiliki peran ekologi yang cukup penting dalam keberlangsungan ekosistem. Misalnya, tumbuhan Edelweis (Anaphalis javanica) memiliki bunga yang menjadi sumber makanan bagi serangga-serangga tertentu. Kulit batangnya bercelah dan mengandung air sehingga dapat menjadi tempat hidup bagi beberapa jenis lumut dan lichen. Ranting – ranting edelweis yang rapat mengundang burung murai (Turdus sp.) untuk membuat sarang, demikian pula akarnya yang muncul dipermukaan tanah merupakan tempat hidup cendawan tertentu membentuk mikoriza. Hal inilah yang menjadikan edelweis dapat hidup di tanah yang miskin hara (Steenis, 1972). 23 3. Manfaat Ekowisata Kawasan hutan dapat dimanfaatkan untuk penyediaan bibit atau sebagai sumber plasma nutfah untuk dikembangkan/dibudidayakan di luar kawasan hutan, misalnya untuk memperkaya populasi flora melalui budidaya. Kegiatan ini dilakukan dengan tetap menjaga agar tidak merusak kawasan. Disamping itu, kegiatan pengambilan tumbuhan obat, tumbuhan hias dan tumbuhan budidaya tetap difokuskan untuk tujuan penunjang wisata alam (Wuryani dan Purwiyastuti, 2012). Keanekaragaman tumbuhan famili Asteraceae dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Tumbuhan Asteraceae merupakan salah satu anggota penyusun vegetasi lantai tanah di hutan gunung Lawu. Pada periode pembungaan, sebagian besar tumbuhan akan berbunga dan menutupi lantai tanah. Hal ini menjadi daya tarik para wisatawan untuk menikmati pemandangan alam di kawasan hutan gunung Lawu (Rosadi, 2015). 2. Manfaat Farmakalogi Secara umum tumbuhan anggota Asteraceae mempunyai bulu – bulu getah yang beruas – ruas yang merupakan kelenjar minyak yang mengandung senyawa biokimia yang melimpah sebagai antiherbivora diantaranya lakton sesquiterpen, monoterpen, terpenoid, dan saluran getah yang berisi resin poliasitilen. Adanya senyawa biokimia menyebabkan resisten terhadap binatang pemangsa dan menyebabkan iritasi pada kulit pada manusia (Mauseth, 2009). Bunga matahari (Helianthus annuus L., Asteraceae) adalah tumbuhan hias yang terkenal di Amerika Utara, Canada, dan Mexico. Semua bagian dari 24 tumbuhan ini dapat dimanfaatkan mulai dari akar, batang, daun, bunga dan biji. Biji dari bunga matahari dapat dimanfaatkan sebagai penghasil minyak goreng, bahan makanan. Pigment warna pada mahkota bunga dapat dijadikan sebagai bahan pewarna. a. Bunga : antipiretik, hipotensif, menurunkan tekanan darah, mengurangi rasa nyeri (analgetik), nyeri haid (dysmenorrhoe), nyeri lambung (gastric pain), sakit kepala, sakit gigi, sakit perut, tekanan darah tinggi, radang payudara (obat luar), radang persendian (obat luar), kosmetik (mencegah penuaan dini), dan sulit melahirkan. b. Akar : Anti inflamasi, analgesik, antitusif, diuretic, batuk, batu ginjal, bronkhitis, keputihan (leucorrhoe), anti radang, peluruh air seni, pereda batuk, dan menghilangkan nyeri. c. Daun : Anti inflamasi, analgesik, antipiretik, anti radang, mengurangi rasa nyeri, dan anti malaria. d. Biji : Anti dysentery, membangkitkan nafsu makan, lesu, sakit kepala, , disenteri berdarah, merangsang pengeluaran cairan tubuh (hormon, enzym), merangsang pengeluaran campak (measles). e. Sumsum dari batang dan dasar bunga (reseptaculum) : Merangsang energi vital, menenangkan liver, merangsang pengeluaran air kemih, menghilangkan rasa nyeri pada waktu buang air kemih, nyeri lambung, air kemih bedarah (hematuria), ari kemih berlemak (chyluria), kanker lambung, kanker esophagus dan malignant mole (Wojtaszek dan Maier, 2014). 25 Polunin (1990) dalam penelitiannya menyatakan adanya sifat repelen pada jenis Eupatorium odoratum. Sifat ini menimbulkan efek penolakan bagi insekta sehingga tumbuhan ini berpotensi sebagai bioinsektisida. Hasil penelitiannya yang lain menyebutkan bahwa Ageratum conyzoides memiliki potensi besar sebagai obat multiguna karena terbukti sebagai obat melawan berbagai macam penyakit. Hasil penelitian Elena et al. (2009) menyatakan bahwa ekstrak daun Eupatorium riparium efektif menurunkan jumlah larva Aedes aegypty yang berkembang menjadi pupa sehingga dapat mengurangi persebaran penyakit. Ageratum houstonianum memiliki bulu pada daun pelindung bunga serta memiliki bunga tepi yang menjulur keluar. Jenis tumbuhan famili Asteraceae ini memiliki potensi sebagai anti serangga kerena menghasilkan antihormon yang mampu menghambat perkembangan hormon juvenil pada serangga (Steenis, 1972). Chromolaena odorata adalah salah satu anggota Asteraceae yang memiliki manfaat yang dapat mencegah pertumbuhan vektor insecta Periplaneta americana yang bersifat parasit pada manusia (Udebuani et al., 2015). Sphaeranthus amaranthoides (Asteraceae) memiliki potensi yang besar sebagai obat herbal di India. Tumbuhan ini merupakan tumbuhan liar yang dapat berguna sebagai penetral racun (Subhashini dan Poonguzhali, 2014). Kandungan kimia daun dan bunga krisan (Chrysanthemum indicum) mengandung saponin, di samping itu daunnya mengandung alkaloida dan tanin, sedang bunganya juga mengandung minyak atsiri. Selain itu, Bunga krisan berkhasiat sebagai obat sakit bengkak pada mata dan untuk obat luka (Purwanto dan Martini, 2009). 3. Manfaat Ekonomi, Bidang Pertanian dan lain -lain 26 Bunga krisan (Chrysanthymum sp.) merupakan famili asteraceae yang sering dibudidayakan sebagai tanaman hias maupun sebagai bunga potong yang sangat disenangi konsumen di Indonesia karena keindahannya, keragaman bentuk, warna dan mudah dirangkai serta memiliki kesegaran bunga cukup lama, bisa bertahan sampai 3 minggu dan termasuk salah satu komoditi utama tanaman hias (Purwanto dan Martini, 2009). Tagetes erecta merupakan anggota famili Asteraceae yang memiliki potensi yang cukup besar untuk dimanfatkan. Tumbuhan ini memiliki bunga yang indah sehingga banyak ditanam oleh manusia sebagai tumbuhan penghias taman. Tumbuhan ini digunakan sebagai penghalau nematoda perusak perkebunan kentang. (Ashandie, 2007). Edelweis (Anaphalis javanica) ialah salah satu kekayaan alam yang paling dikenal di kawasan gunung Jawa dan merupakan jenis tumbuhan dari suku asteraceae dan digolongkan sebagai tanaman hias karena memunyai bunga yang indah dan menarik. Sifat bunga yang tahan lama dalam keadaan kering sehingga disebut bunga abadi (evelasting flower) sehingga edelweis dapat dijadikan sebagai sumber ekonomi (dapat diperjual-belikan) (Kayowuan, 2014). Di Nigeria, beberapa spesies famili Asteraceae digunakan masyarakat lokal sebagai tanaman obat. Di Uganda dan Meksiko, masyarakat memanfaatkan tumbuhan Asteraceae sebagai bahan campuran penguat rasa pada minuman teh. Masyarakat Filipina menggunakan beberapa spesies tumbuhan Asteraceae sebagai komponen pembuatan minuman anggur. Di daerah padang rumput, Asteraceae 27 tumbuh sebagai tumbuhan liar yang memiliki kemampuan sebagai herbisida (Essiett dan Archibong, 2014). B. Kerangka Berpikir Kerangka berpikir dari penelitian ini adalah tumbuhan famili Asteraceae merupakan salah satu keanekaragaman flora di kawasan gunung Lawu yang memiliki potensi sebagai upaya pengembangan ekowisata berbasis edukasi dan kearifan lokal. Tumbuhan Asteraceae memiliki manfaat secara ekologi, farmakologi, ekonomi, dan berbagai manfaat lain yang penting untuk diketahui sehingga dapat dikelola secara tepat guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam penelitian eksplorasi ini akan di lakukan kajian tentang keanekaragaman dari tumbuhan anggota famili Asteraceae yang terdapat di kawasan jalur pendakian Cemoro Kandang Gunung Lawu Kabupaten Karanganyar dengan metode survey langsung, menentukan distribusi dan kemelimpahan spesies dari tumbuhan anggota Asteraceae berdasarkan ketinggian tempat dengan membagi ke beberapa titik pengambilan sampe serta mengkaji tentang potensi tumbuhan Asteraceae sebagai salah satu upaya pengembangan ekowisata berbasis edukasi dan kearifan lokal melalui survey langsung, kuisioner dan wawancara masyarakat setempat. Dari penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang keanekaragaman tumbuhan famili Asteraceae di kawasan gunung Lawu sehingga upaya konservasi, pemanfaatan dan pengelolaan dapat di optimalkan. Skema kerangka berpikir penelitian gambar 2.2. 28 dapat dilihat pada Kawasan Gunung Lawu Keanekaragaman flora Keanekaragaman fauna Keanekaragaman Tumbuhan Famili Asteraceae Distribusi Kemelimpahan Potensi dan Manfaat Upaya Pengembangan Ekowisata Edukasi Kearifan Lokal Gambar 2.2 Skema kerangka berpikir 29 C. Hipotesis Hipotesis penelitian ini adalah: 1. Banyak keanekaragaman jenis-jenis tumbuhan anggota famili Asteraceae yang dapat ditemukan di kawasan jalur pendakian Cemoro Kandang gunung Lawu Kabupaten Karanganyar. 2. Distribusi dan kemelimpahan spesies dari tumbuhan anggota famili Asteraceae akan menunjukkan hasil yang berbeda pada tiap ketinggian yang berbeda di kawasan jalur pendakian Cemoro Kandang gunung Lawu Kabupaten Karanganyar. 3. Tumbuhan Asteraceae memiliki potensi sebagai upaya pengembangan ekowisata berbasis edukasi dan kearifan lokal. 30