pendahuluan - IPB Repository

advertisement
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Reformasi politik yang terjadi pada tahun 1998 membuka keran baru
dalam konteks ketatanegaraan dan pembangunan nasional di Indonesia.
Pembangunan yang pada masa Orde Baru mengusung sentralisasi bergeser
menjadi desentralisasi. Momentum otonomi daerah yang dilegalisasi melalui UU
No. 32 Tahun 2004 menjadi tonggak peralihan kebijakan tersebut. Dari sinilah
kemudian agenda pembangunan nasional yang diidealisasikan mengakar ke
bawah, mengedepankan kearifan lokal dan mengusung kepentingan masyarakat
disemaikan. Dalam konteks ini pembangunan daerah diarahkan untuk
kesejahteraan rakyat yang sebesar-besarnya.
Dalam perjalanannya saat ini, kebijakan otonomi daerah yang sudah
memasuki lebih dari satu dasawarsa telah memunculkan dialektika pembangunan
nasional. Struktur sosial dan organisasi sosial birokrasi ketatanegaraan berubah,
terdistribusikan dari pusat ke daerah. Kepemimpinan politik pun sudah berpindah
dari pusat menuju daerah. Namun, pertanyaannya sudahkah implementasi dari
otonomi daerah dengan kebijakan desentralisasinya tersebut mampu
mengintrodusir pembangunan yang berkeadilan. Sudahkah kebijakan tersebut
menyejahterakan masyarakat atau hanya memindahkan kekuasaan plus
kesejahteraan elit dari tingkat pusat ke raja-raja kecil di daerah. Kedua pertanyaan
tersebut menjadi proposi penting yang sering muncul dalam wacana dan
penelitian tentang demokratisasi-desentralisasi, yang dalam kurun 2005-2007
melalui Pilkada telah berlangsung 282 kali pemilihan kepala daerah di tingkat
kabupaten/kota (Sudiarto: 2011).
Terkait hal itu, mengutip beberapa penelitian, seperti Abrori (2003), Choi
(2007), Buehler (2007), Yusoff (2010), dan Alamsyah (2010) menjelaskan bahwa
desentralisasi di Indonesia pasca Orde Baru telah memunculkan “orang-orang
kuat lokal”. Mereka memasuki berbagai aspek kehidupan di daerah dan memberi
pengaruh signifikan terhadap perubahan di tingkat lokal. Dalam konteks ini,
kebijakan otonomi-desentralisasi tidak hanya membuka ruang baru bagi sirkulasi
elit lokal dalam kancah politik pembangunan saat ini, namun juga mempengaruhi
munculnya oligarki kekuasaan dan politik kekerabatan/ kekeluargaan di dalam
ruang demokratisasi. Salah satu elit lokal yang menjadi “orang kuat lokal”
tersebut adalah “jawara”.
Kemunculan jawara sebagai elit lokal memiliki sejarah sendiri dan selalu
berupaya untuk beradaptasi dengan konteks sosial, politik, dan ekonomi yang
berubah-ubah. Menurut Ekadjati (1995: 223-224) kemunculan jawara sebagai elit
lokal tak lepas dari sifat legendaris dan kharismatis yang melekat pada diri jawara
yang lambat laun menjadikan kelompok masyarakat ini dipandang sebagai sebuah
lembaga adat dan mereka dipandang sebagai kelompok elit dalam stratifikasi
sosial masyarakat Banten (Ekadjati, 1995: 223-224). Sebagai kelompok sosial
yang telah dipandang menjadi sebuah elit lokal, tentunya kelompok jawara
memiliki sumber kekuasaan. Dalam konteks budaya lokal, sumber kekuasaan
2
yang dimiliki jawara dapat menjadi faktor integrasi dan dapat pula menjadi faktor
konflik. Keduanya tidak dapat dilepaskan dari empat hal, yakni kesaktian,
keberanian, kepemimpinan informal, dan perintah (Sunatra, 1997: 217).
Dalam konteks kekinian, sumber kekuasaan Jawara tidak hanya ditentukan
dan identitik dengan kesaktian semata, namun dapat juga berupa pengakuan
simbolisasi identitas kejawaraan dan faktor penguasaan ekonomi, termasuk di
dalamnya penguasaan jaringan, dan posisi-posisi penting dalam bidang bisnis.
Alamsyah (2010) dalam kajiannya tentang Bantenisasi Demokrasi menguraikan
bahwa dominasi kekuasaan politik Jawara di Serang telah menjadi kekuatan
politik, ekonomi, dan sosial yang khas. Dari tingkat propinsi hingga desa-desa
kekuasaan pemerintahan didistribusikan dan dipegang oleh jawara. Identitas
jawara menjadi instrumen dan ciri penting dari peta politik demoktatisasi lokal
yang tumbuh di Banten pasca-Soeharto. Dalam konteks ini menurut Alamsyah
(2010) telah terjadi proses polarisasi Bantenisasi kekuasaan politik jawara.
Sementara itu, kajian Hidayat (dalam Nordholt dan Klinken 2009: 267303) berupaya menjelaskan kekuasaan dari keluarga X (penguasa Banten),
menguraikan bagaimana keluarga ini meraih dan mengkonsolidasikan
kekuasaannya pasca-Soeharto. Kombinasi antara jaringan sosial, politik uang,
intimidasi, penguasaan atas proyek-proyek pembangunan pemerintah adalah
beberapa faktor yang memungkinkan keluarga X dapat meraih dan
mengkonsolidasikan kekuasaannya. Tuan Besar, begitu istilah yang diberikan
Hidayat untuk orang paling berkuasa dalam keluarga X, berperan besar dalam
mengendalikan sepak-terjang keluarga ini. Tuan Besar tak memiliki kekuasaan
formal – non governing elite, tetapi ia berperan penting dalam mengendalikan
pemerintahan lokal di belakang layar, yang dikonseptualisasikan Hidayat sebagai
shadow-state (Hidayat dalam Nordholt dan Klinken 2009: 303).
Kajian lainnya dilakukan oleh Abrori (2003), yang menjelaskan bahwa
Keberadaan jawara sebagai elit sosial berpengaruh dan cenderung mendukung
kebijakan-kebijakan pemerintah pusat maupun daerah. Orientasi politik jawara
memperlihatkan perilaku yang tidak lepas dari kepentingan ekonomi. Untuk itu,
mereka berusaha mempertahankan legitimasi kepemimpinan mereka. Pengejaran
nilai ekonomi dan adanya otoritas tradisionalnya itu menjadi semakin kuat karena
mereka mampu menguasai lembaga-lembaga strategis di bidang ekonomi dan
politik, seperti Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Daerah, Kadin Daerah
dan lain sebagainya (ekonomi) dan wakil gubemur, walikota, lurah, dan kepala
desa (politik), serta beberapa organisasi kepentingan lainnya. Dengan penguasaan
tersebut perilaku politik jawara akhirnya mendapat legitimasi struktural.
Sementara itu, mereka pun kuat secara internal karena mendapatkan dukungan
dari anak buahnya yang mudah dimobilisasi. Pola hubungan mereka yang bersifat
patrimonial menjadikan anak buah terikat dengan pemimpin jawara. Jawara pun
berusaha menjalin hubungan baik dengan elit-elit lain, seperti birokrat, partai dan
militer. Hubungan ini bersifat simbiosis yang sangat menekankan keuntungan
bagi masing-masing pihak. Dengan budaya politik, otoritas tradisional,
penguasaan
pada
lembaga-lembaga
strategis,
legitimasi
struktural,
patrimonialisme pemimpin, dan hubungan simbiosis dengan elit lain, kekuasaan
jawara adalah sangat kuat untuk konteks politik lokal.
Dengan kekuasaannya itu, mereka berusaha mengontrol terhadap lembagalembaga yang dikuasainya, terhadap lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang
3
berseberangan dengannya dan terhadap kelompok-kelompok kritis. Kekuasaan
yang dipegang oleh segelintir jawara dengan jaminan kekuatan fisik (magi dan
persilatan) dan kemampuan ekonomi, mereka sebenarnya menerapkan sistem
pemerintahan oligarki. Sistem ini semakin tumbuh subur karena selain mendapat
dukungan dari mitra-mitranya, juga karena pola interaksi yang mereka
kembangkan adalah model patrimonial di mana ketua jawara diakui sebagai
patronnya. Dengan model ini, upaya kontrol (pengawasan) terhadap lembagalembaga berseberangan dan kelompok-kelompok kritis menjadi sangat efektif
karena para jawara, dengan partisipasi bentuk kaula partisipan, mudah untuk
memobilisasi massa yang mereka miliki. Dengan sistem pemerintahan yang
menganut sistem oligarki dan kondisi Banten yang demikian, maka perkembangan
demokrasi dan civil society di Banten menjadi persoalan yang sangat serius. Pada
tingkat tertentu, proses yang berlangsung malah memunculkan terjadinya
decivilisasi yang membuat masyarakat Banten tidak berdaya, tidak mandiri, tak
tercerahkan, dan dikuasai oleh ketakutan menyuarakan hak individunya.
Dari beberapa kajian tersebut, terdapat beberapa “kekosongan analisa”
yang menjadi celah dan titik signifikansi kebaruan kajian ini. Baik Alamsyah,
Hidayat, maupun Abrori, pertama, gagal melihat aspek-aspek kesejarahan jawara
secara komprehensif, di mana akar keberadaan jawara berada di pedesaan dan
salah satunya berawal dari pesisir. Kedua, dalam penelusuran penulis hampir tidak
ada satupun literatur mengkaji tentang elit jawara di pesisir Tangerang – padahal
kejawaraan di Tangerang memiliki ciri yang unik antara persinggungan budaya
Banten, Betawi, dan China. Ketiga, Alamsyah, Hidayat, dan Abrori fokus melihat
kepemimpinan jawara pada konteks makro, dan meninggalkan analisis pada
konteks mikro. Keempat, pilihan wilayah pesisir menjadi penting sebab
masyarakat pesisir merupakan kelompok yang paling marginal sekaligus
merupakan basis massa jawara.
Keempat hal di atas menjadi poin penting yang signifikan dan relevan
untuk dikaji lebih mendalam. Oleh karena itu, pada titik inilah, tulisan ini
bermaksud untuk mengisi “kekosongan-kekosongan kajian dan analisa” tentang
kepemimpinan jawara di pedesaan pesisir Tangerang pada masa desentralisasi,
seperti yang nampak kosong pada kajian Alamsyah, Hidayat, dan Abrori.
Permasalahan Penelitian
Secara empiris pedesaan pesisir merupakan ruang sosial yang signifikan
pada era desentralisasi sebagai lokus kajian sosiologi pedesaan. Terlebih lagi bagi
pedesaan pesisir Tangerang yang merupakan pinggiran dari kawasan metropolitan
Jakarta. Keberadaannya tidak hanya dilihat dari potensi sumberdaya alam yang
dimiliki, tetapi juga dilihat sebagai instrumen politik negara. Pada posisi ini secara
keseluruhan, ruang sosial pesisir Tangerang memiliki dinamikanya yang
mendalam sebagai produk kontestasi negara, pasar, dan masyarakat yang menetap
di area tersebut. Dalam konteks ini, peran signifikan desentralisasi-otonomi
pesisir berkelitkelindan dengan dinamika kepemimpinan kuasi pemerintahan
lokal, elit lokal, dan kemunculan orang kuat lokal dalam hal ini “Jawara”.
4
Kekuasaan jawara sebagai orang kuat lokal dalam prosesnya hadir dan
beradaptasi dengan konteks sosial, ekonomi, dan politik. Otoriterianisme dan
industrialisasi (pembangunan) menjadi titik penting yang mengubah posisi jawara
dari sekedar buruh, petani, petambak, nelayan, dan penjaga keamanan (security
informal), non pemerintahan (non-governing), kelas yang dikuasai (the rulled
class) menjadi kepanjangan tangan rezim yang hidup dari rente proyek-proyek
pemerintah dan pemodal swasta. Pola relasi sosial jawara dengan jaringannya dari
patron-klien menjadi hubungan fungsional yang kemudian bersifat pragmatisopportunis. Dengan posisinya tersebut, pada masa otoritarianisme jawara dan
keturunannya mengakumulasi beragam sumberdaya yang dimilikinya tersebut
sebagai modal untuk meraih dan mengkonsolidasikan kekuasaannya pada masa
desentralisasi.
Sumber kekuasaan jawara diperoleh melalui basis ekonomi, di samping
pola lama yaitu melalui kharisma/citra, keturunan, dan jaringan yang disesuaikan
dengan iklim demokrasi-desentralisasi. Karena tumbuh dan ditopang oleh rente
dari proyek-proyek pemerintah dan pemodal swasta, maka kekuasaan jawara lebih
banyak ditujukan untuk menguasai sektor-sektor strategis dan melayani pemodal.
Posisi yang strategis tersebut dalam konteks geopolitik Tangerang semakin
menjadikan posisi jawara kian mapan dan signifikan. Dalam kenyataan ini, politik
pembangunan dan kebijakan jawara sebagai pemimpin di pedesaan pesisir
Tangerang perlu ditinjau dan di analisa. Apakah kedekatannya dengan pemerintah
pusat, pemerintah daerah, dan pemodal membawa perbaikan dan signifikansi bagi
pembangunan masyarakat pesisir Tangerang, atau sebaliknya politik
pembangunan semakin membuat masyarakat pesisir tak berdaya.
Berdasarkan uraian di atas, maka ada tiga pertanyaan yang akan dijawab
dalam penelitian ini:
1. Bagaimana konteks historis, sosial, dan jaringan jawara di Pedesaan
Pesisir Tangerang?
2. Bagaimana otonomi daerah dan desentralisasi memungkinkan munculnya
kepemimpinan dan konsolidasi kekuasaan jawara di Pedesaan Pesisir
Tangerang yang semula non governing elite (the rulled class) menjadi
governing elite (the rulling class)?
3. Bagaimana gaya kepemimpinan, program kebijakannya, dan implikasi
kepemimpinan terhadap kesejahteraan masyarakat di pedesaan pesisir
Tangerang?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan penelitian di atas, maka
tujuan yang akan dicapai penelitian ini ialah:
1. Mengkaji konteks historis, sosial, dan jaringan jawara di pesisir
Tangerang;
2. Menganalisa kemunculan kepemimpinan jawara yang semula non
governing elite (the rulled class) menjadi governing elite (the rulling
class);
5
3. Mengkaji gaya kepemimpinan, program kebijakannya, dan implikasi
kepemimpinan terhadap kesejahteraan masyarakat di pedesaan pesisir
Tangerang.
Kegunaan Penelitian
Kegunaan atau signifikansi dari penelitian ini secara umum diharapkan
dapat menambah khasanah keilmuan tentang dinamika otonomi daerahdesentralisasi yang ternyata mampu membuka ruang bagi munculnya
kepemimpinan entitas lokal “jawara” menjadi elit baru dipanggung demokratisasi
Indonesia. Dinamika otonomi-desentralisasi ini secara lebih kongkret akan dilihat
dari kepemimpinan dan politik pembangunan yang dilakukan oleh Jawara dalam
setting desa – memiliki pengaruh signifikan bagi berlangsungnya hegemoni
jawara di Banten – tingkat propinsi. Selain itu, secara khusus tulisan ini dapat
menjadi bahan diskusi tentang:
a. Kajian awal mengenai kepemimpinan jawara di pedesaan pesisir
Tangerang.
b. Sudut pandang otonomi daerah-desentralisasi dan ruang sosial pedesaan
pesisir Tangerang yang merupakan penyangga ibukota Jakarta, menjadi
kekhasaan dialektika kejawaraan di Tangerang dalam tarik-menarik
kontestasi Negara (Jakarta) dan Banten.
c. Membaca dan memahami realitas sistem bantenisasi birokrasi yang
berwajah oligarki-monarkhi kejawaraan dan politik kekerabatan, yang
ironisnya hadir dalam ruang demokratisasi Indonesia.
d. Membangun tesis tentang adanya gejala theatrical leadership
(kepemimpinan teater) di pedesaan pesisir Tangerang khususnya, dan
Banten pada umumnya. Teathrical leadership ialah suatu epifenomena di
mana dalang kepemimpinan adalah orang tua; tokoh utamanya sebagai
pemimpin adalah anak, menantu, suami, istri, keponakan, panggungnya
adalah desa, banten; penulis skenarionya para pemodal; sementara rakyat
sebagai pemilih adalah penonton; sistem politiknya, politik
keluarga/kekerabatan; pemerintahannya, oligarki; dan demokrasinya,
demokrasi kontekstual/bantenisasi demokrasi.
Download