PERATURAN DAERAH KABUPATEN PINRANG NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG RETRIBUSI IZIN GANGGUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PINRANG, Menimbang Mengingat : a. bahwa dengan semakin pesatnya pertumbuhan usaha industri di masyarakat, maka untuk mencegah dampak kerugian, bahaya dan gangguan terhadap lingkungan perlu adanya pengendalian dan pengawasan perkembangan tempat usaha; b. bahwa dalam rangka pembinaan dan pengaturan penempatan kegiatan usaha serta menjaga ketertiban, keselamatan dan keamanan umum dan upaya menjaga kelestarian lingkungan hidup perlu diatur melalui pemberian izin gangguan; c. bahwa dengan berlaku efektifnya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, maka Peraturan Daerah yang mengatur tentang Izin Gangguan harus menyesuaikan dengan Undang-Undang tersebut; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b dan huruf c, perlu membentuk Peraturan Daerah Kabupaten Pinrang tentang Retribusi Izin Gangguan. : 1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Sulawesi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1959 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1822); Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokokpokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2013); Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209); Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3274); Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389); Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 16. 17. 18. 19. 20. sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438); Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725); Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4846); Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4866); Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049); Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059); Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4578); Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737); Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2009 tentang Kawasan Industri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 4987); Peraturan Daerah Kabupaten Pinrang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan yang menjadi Kewenangan Pemerintah Kabupaten Pinrang (Lembaran Daerah Kabupaten Pinrang Tahun 2008 Nomor 3); Peraturan Daerah Kabupaten Pinrang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Pokok-pokok Pengelolaan Keuangan Daerah Kabupaten Pinrang (Lembaran Daerah Kabupaten Pinrang Tahunn 2008 Nomor 4); Peraturan Daerah Kabupaten Pinrang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Pemerintah Kabupaten Pinrang (Lembaran Daerah Kabupaten Pinrang Tahun 2008 Nomor 27). Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN PINRANG dan BUPATI PINRANG MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN GANGGUAN DAERAH TENTANG RETRIBUSI IZIN BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan : 1. Daerah adalah Kabupaten Pinrang. 2. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Daerah Kabupaten Pinrang. 3. Bupati adalah Bupati Pinrang. 4. Pejabat adalah Pegawai yang diberi tugas tertentu di bidang retribusi daerah sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. 5. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara (BUMN), atau badan usaha milik daerah (BUMD) dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. 6. Satuan Kerja Perangkat Daerah yang berwenang memproses perizinan, selanjutnya disingkat SKPD yang berwenang memproses izin adalah unsur pembantu Bupati dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan tugas pemerintahan di bidang penyelenggaraan perizinan dan non perizinan di daerah. 7. Gangguan adalah segala perbuatan dan/atau kondisi yang tidak menyenangkan atau mengganggu kesehatan, keselamatan, ketenteraman dan/atau kesejahteraan terhadap kepentingan umum secara terus-menerus. 8. Izin Gangguan yang selanjutnya disebut izin adalah pemberian izin tempat usaha/kegiatan kepada orang pribadi atau badan di lokasi tertentu yang dapat menimbulkan bahaya, kerugian, dan gangguan, tidak termasuk tempat usaha/kegiatan yang telah ditentukan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah. 9. Dampak Lingkungan Hidup adalah pengaruh perubahan pada lingkungan hidup yang disebabkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan. 10. Retribusi Daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan. 11. Retribusi Perizinan Tertentu adalah retribusi atas kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan. 12. Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau Badan yang menurut Peraturan Perundangundangan retribusi diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut atau pemotong retribusi tertentu. 13. Masa Retribusi adalah suatu jangka waktu tertentu yang merupakan batas waktu bagi wajib retribusi untuk memanfaatkan pelayanan Pemrintah Daerah. 14. Surat Ketetapan Retribusi Daerah, yang selanjutnya disingkat SKRD, adalah Surat Ketetapan retribusi yang menentukan besarnya jumlah pokok retribusi yang terutang. 15. Surat Ketetapan Retribusi Daerah Lebih Bayar, yang selanjutnya disingkat SKRDLB, adalah Surat Ketetapan retribusi yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran retribusi karena jumlah kredit retribusi lebih besar daripada retribusi yang terutang atau seharusnya tidak terutang. 16. Surat Tagihan Retribusi Daerah, yang selanjutnya disingkat STRD, adalah Surat untuk melakukan tagihan retribusi dan/atau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda. 17. Surat Keputusan Keberatan adalah Surat Keputusan atas keberatan terhadap SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan, dan SKRDLB yang diajukan oleh wajib retribusi. 18. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan dan mengelola data dan/atau keterangan lainnya dalam rangka pengawasan kepatuhan pemenuhan kewajiban retribusi daerah berdasarkan Peraturan Perundang-undangan Retribusi Daerah. 19. Penyidikan Tindak Pidana Bidang Retribusi Daerah adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disebut Penyidik, untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana dibidang Retribusi Daerah yang terjadi serta menemukan tersangkanya. 20. Pembinaan adalah upaya yang dilakukan oleh Pemerintah dan/atau Gubernur selaku wakil pemerintah di daerah untuk mewujudkan penyelenggaraan otonomi daerah. 21. Pengawasan adalah proses kegiatan yang ditujukan untuk menjamin agar Pemerintah Daerah berjalan secara efisien dan efektif sesuai dengan rencana dan ketentuan Peraturan Perundangundangan. BAB II PERIZINAN Pasal 2 (1) Setiap orang pribadi atau Badan yang melakukan kegiatan usaha di wilayah Daerah wajib memiliki izin dari Bupati atau pejabat yang ditunjuk, kecuali: a. kegiatan yang berlokasi di dalam Kawasan Industri, Kawasan Berikat dan Kawasan Ekonomi Khusus; b. kegiatan yang berada di dalam bangunan atau lingkungan yang telah memiliki izin gangguan; dan c. usaha mikro dan kecil yang kegiatan usahanya di dalam bangunan atau persil yang dampak kegiatan usahanya tidak keluar dari bangunan atau persil. (2) Dalam izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicantumkan persyaratan dan kewajiban untuk melakukan upaya pengendalian dampak lingkungan hidup. (3) Dalam menerbitkan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib : a. memperhatikan rencana tata ruang wilayah; b. mempertimbangkan peran serta masyarakat sekitar tempat usaha; dan c. mempertimbangkan rekomendasi dari pejabat yang berwenang berkaitan dengan usaha dan/atau kegiatan yang dimintakan izin. (4) Tata cara pengajuan izin akan diatur kemudian dalam Peraturan Bupati. BAB III KRITERIA GANGGUAN Pasal 3 (1) Kriteria gangguan dalam penetapan izin terdiri dari: a. gangguan terhadap lingkungan; b. gangguan terhadap sosial kemasyarakatan; dan c. gangguan terhadap ekonomi. (2) Gangguan terhadap lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi gangguan terhadap fungsi tanah, air tanah, sungai, udara dan gangguan yang bersumber dari getaran dan/atau kebisingan. (3) Gangguan terhadap sosial kemasyarakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi terjadinya ancaman kemerosotan moral dan/atau ketertiban umum. (4) Gangguan terhadap ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi ancaman terhadap: a. penurunan produksi usaha masyarakat sekitar; dan/atau b. penurunan nilai ekonomi benda tetap dan benda bergerak yang berada di sekitar lokasi usaha. BAB IV PENYELENGGARAAN PERIZINAN (1) (2) (3) (4) (5) Pasal 4 Pemberian izin merupakan kewenangan Bupati. Pelayanan perizinan diselenggarakan oleh SKPD yang berwenang memproses izin. Penyelenggaraan pelayanan perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi kegiatan perizinan yang proses pengelolaannya dimulai dari tahap permohonan sampai tahap penerbitan Keputusan Bupati tentang Pemberian izin. Keputusan Bupati atas permohonan yang telah memenuhi persyaratan didasarkan pada hasil penilaian yang obyektif disertai dengan alasan yang jelas. Hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan setelah melakukan penelitian dan pemeriksaan teknis yang didasarkan pada analisa kondisi terhadap ada atau tidaknya gangguan sesuai kriteria gangguan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. Pasal 5 Sebelum izin diterbitkan, wajib diumumkan kepada masyarakat. Pasal 6 (1) Jangka waktu penyelesaian pelayanan perizinan ditetapkan paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak diterimanya berkas permohonan dengan lengkap dan benar. (2) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dipenuhi oleh SKPD yang berwenang memperoses izin, permohonan izin dianggap disetujui. BAB V MASA BERLAKU DAN PERUBAHAN IZIN Pasal 7 Masa berlaku izin adalah 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang kembali. Pasal 8 (1) Setiap pelaku usaha wajib mengajukan permohonan perubahan izin dalam hal melakukan perubahan yang berdampak pada peningkatan gangguan dari sebelumnya sebagai akibat dari: a. perubahan sarana usaha; b. penambahan kapasitas usaha; c. perluasan lahan dan bangunan usaha; dan/atau d. perubahan waktu atau durasi operasi usaha. (2) Dalam hal terjadi perubahan penggunaan ruang di sekitar lokasi usaha setelah diterbitkan izin, pelaku usaha tidak wajib mengajukan permohonan perubahan izin. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai permohonan perubahan izin diatur dalam Peraturan Bupati. BAB VI JENIS GOLONGAN USAHA Pasal 9 (1) Jenis golongan usaha dalam penetapan izin terdiri dari : a. golongan I; b. golongan II; c. golongan III; dan d. golongan IV. (2) Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi perusahaan yang bergerak dalam bidang usaha Ekspor Impor, Perdagangan Interseluler Distributor, Agen Tunggal, Pabrik Besar, Bengkel/service Mobil, Ekspedisi, Usaha Pengangkutan, Kontraktor, Perhotelan, Restoran, Bioskop, Jual Beli Bahan Bangunan, Toko Serba Ada, Penjualan Bahan Bakar (SPBU), Leverensir, dan usaha lain yang sejenis. (3) Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi perusahaan yang bergerak dalam bidang usaha pembelian hasil bumi/laut, perkebunan, peternakan, pembuatan perabot rumah tangga/mobiler, penggilingan padi/gabah, penggergajian kayu, toko emas, toko alat-alat elektronik, services motor, penginapan/losmen/wisma, kantorkantor perusahaan, dan usaha lain yang sejenis. (4) Golongan III sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi perusahaan yang bergerak dalam bidang usaha Toko Eceran, Toko (tekstil, pakaian jadi, kerajinan, obat), warung/kios, salon kecantikan, pembakaran batu bata, fotocopy, pencucian mobil, services radio/televisi, usaha penyewaan kaset/VCD/DVD, dan usaha lain yang sejenis. (5) Golongan IV sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi perusahaan yang bergerak dalam bidang usaha tukang cukur, usaha penjualan kebutuhan sehari-hari dan usaha lain yang sejenis. BAB VII NAMA, OBJEK DAN SUBJEK RETRIBUSI Pasal 10 Dengan nama Retribusi Izin Gangguan dipungut Retribusi sebagai pembayaran atas pelayanan pemberian izin tempat usaha/kegiatan yang dapat menimbulkan ancaman bahaya, kerugian dan/atau gangguan oleh Pemerintah Daerah. Pasal 11 (1) Objek Retribusi adalah pemberian izin tempat usaha/kegiatan kepada orang pribadi atau Badan yang dapat menimbulkan ancaman bahaya, kerugian dan/atau gangguan, termasuk pengawasan dan pengendalian kegiatan usaha secara terus menerus untuk mencegah terjadinya gangguan ketertiban, keselamatan, atau kesehatan umum, memelihara ketertiban lingkungan, dan memenuhi norma keselamatan dan kesehatan kerja. (2) Tidak termasuk objek retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tempat usaha/kegiatan yang telah ditentukan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah. Pasal 12 Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Izin Gangguan dari Pemerintah Daerah. BAB VIII GOLONGAN RETRIBUSI Pasal 13 Retribusi Izin Gangguan digolongkan sebagai Retribusi Perizinan Tertentu. BAB IX CARA MENGUKUR TINGKAT PENGGUNAAN JASA Pasal 14 Tingkat Penggunaan jasa diukur berdasarkan perkalian antara Indeks Lokasi (IL), Indeks Gangguan (IG) dan Luas Ruangan Tempat Usaha (LRTU). BAB X PRINSIP DAN SASARAN PENETAPAN TARIF RETRIBUSI Pasal 15 (1) Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin gangguan. (2) Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penerbitan dokumen izin, pengawasan di lapangan, penegakan hukum, penatausahaan, dan biaya dampak negatif dari pemberian izin gangguan tersebut. BAB XI STRUKTUR DAN BESARNYA TARIF RETRIBUSI Pasal 16 (1) Struktur dan besarnya tarif retribusi Izin Gangguan ditetapkan berdasarkan perhitungan sebagai berikut : RIG = IL x IG x LRTU RIG IL IG LRTU = = = = Retribusi Izin Gangguan Indeks Lokasi Indeks Gangguan Luas Ruangan Tempat Usaha (2) Indeks Lokasi (IL) sebagaimana dimaksud pada Pasal 14 ditetapkan sebagai berikut : a. jalan protokol/provinsi =3 b. jalan kabupaten =2 c. jalan desa =1 (3) Indeks Gangguang (IG) sebagaimana dimaksud pada Pasal 14 ditetapkan sebagai berikut : a. perusahaan dengan gangguan besar =3 b. perusahaan dengan gangguan sedang =2 c. perusahaan dengan gangguan kecil =1 (4) Luas Ruangan Tempat Usaha (LRTU) sebagaimana dimaksud pada Pasal 14 ditetapkan sebagai berikut : a. luas ruangan sampai dengan 100 M2 = Rp. 1.000,-/M2 2 b. luas ruangan di atas 100 M = Rp. 500,-/M2 (5) Registrasi dilakukan setiap 1 (satu) tahun dalam rangka pengawasan dan pengendalian perizinan dan tidak ada biaya tambahan. Pasal 17 (1) Tarif retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali. (2) Peninjauan tarif retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian. (3) Penetapan perubahan tarif retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Bupati. BAB XII WILAYAH PEMUNGUTAN Pasal 18 Retribusi yang terutang dipungut di wilayah Daerah. BAB XIII MASA RETRIBUSI DAN SAAT RETRIBUSI TERUTANG Pasal 19 Masa retribusi adalah jangka waktu yang lamanya 5 (lima) tahun atau ditetapkan lain oleh Bupati. Pasal 20 Saat Retribusi terutang adalah pada saat diterbitkannya SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan. BAB XIV TATA CARA PEMUNGUTAN Pasal 21 (1) Retribusi dipungut dengan menggunakan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan. (2) Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa karcis, kupon, dan kartu langganan. (3) Tata cara pelaksanaan pemungutan retribusi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati. BAB XV PENENTUAN PEMBAYARAN, TEMPAT PEMBAYARAN, ANGSURAN, DAN PENUNDAAN PEMBAYARAN Pasal 22 (1) Pembayaran retribusi yang terutang harus dilunasi sekaligus. (2) Pembayaran retibusi daerah dilakukan di kas daerah atau ditempat lain yang ditunjuk sesuai waktu yang ditentukan dengan menggunakan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan. (3) Dalam hal pembayaran dilakukan ditempat lain yang ditunjuk, maka hasil penerimaan retribusi daerah harus disetorkan ke kas daerah selambat-lambatnya 1 x 24 jam atau dalam waktu yang ditentukan oleh Bupati. Pasal 23 (1) Pembayaran retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 diberikan tanda bukti pembayaran. (2) Setiap pembayaran dicatat dalam buku penerimaan. (3) Bentuk isi, ukuran buku dan tanda bukti pembayaran retribusi akan diatur kemudian dalam Peraturan Bupati. Pasal 24 (1) Bupati atas permohonan Wajib Retribusi setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan dapat memberikan persetujuan kepada Wajib Retribusi untuk mengangsur atau menunda pembayaran retribusi, dengan dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan. (2) Ketentuan mengenai tata cara pembayaran, penyetoran, tempat pembayaran, angsuran dan penundaan pembayaran retribusi diatur dalam Peraturan Bupati. BAB XVI SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 25 (1) Dalam hal wajib retribusi tertentu tidak membayar tepat pada waktunya atau kurang membayar, dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan dari retribusi yang terutang yang tidak atau kurang dibayar dan ditagih dengan menggunakan STRD. (2) Penagihan retribusi terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didahului dengan Surat Teguran. (3) Setiap pelaku usaha yang melanggar ketentuan Pasal 2 ayat (1), ayat (2), dan Pasal 8 ayat (1) dapat dikenakan sanksi administrasi berupa : a. peringatan tertulis; b. pembatasan kegiatan/usaha; c. penghentian sementara atau tetap kegiatan/usaha; d. pembekuan izin; e. pencabutan izin; dan f. denda sebesar 3 (tiga) kali jumlah retribusi sebenarnya. BAB XVII KEBERATAN (1) (2) (3) (4) Pasal 26 Wajib retribusi dapat mengajukan keberatan hanya kepada Bupati atau pejabat yang ditunjuk atas SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan. Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan-alasan yang jelas. Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal SKRD diterbitkan, kecuali jika Wajib Retribusi dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya. Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar retribusi dan pelaksanaan penagihan retribusi. Pasal 27 (1) Bupati dalam jangka paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan dengan menerbitkan Surat Keputusan Keberatan. (2) Keputusan Bupati atas keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian, menolak, atau menambah besarnya retribusi yang terutang. (3) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat dan Bupati tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan. Pasal 28 (1) Jika pengajuan keberatan dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran retribusi dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk paling lama 12 (dua belas) bulan. (2) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak bulan pelunasan sampai dengan diterbitkannya SKRDLB. BAB XVIII PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) Pasal 29 Atas kelebihan pembayaran retribusi, Wajib Retribusi dapat mengajukan permohonan pengembalian kepada Bupati. Bupati dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan, sejak diterimanya permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memberikan keputusan. Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah dilampaui dan Bupati tidak memberikan suatu keputusan, permohonan pengembalian pembayaran retribusi dianggap dikabulkan dan SKRDLB harus diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan. Apabila Wajib Retribusi mempunyai utang retribusi lainnya, kelebihan pembayaran retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang retribusi tersebut. Pengembalian kelebihan pembayaran retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya SKRDLB. Jika pengembalian kelebihan pembayaran retribusi dilakukan setelah lewat 2 (dua) bulan, Bupati memberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas keterlambatan pembayaran kelebihan pembayaran retribusi. Tata cara pengembalian kelebihan pembayaran retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur kemudian dalam Peraturan Bupati. BAB XIX PENAGIHAN (1) (2) (3) (4) Pasal 30 Retribusi ditagih dengan menggunakan STRD. Pengeluaran surat teguran / peringatan / surat lain yang sejenisnya sebagai awal tindakan pelaksanaan penagihan retribusi dilakukan segera setelah 7 (tujuh) hari sejak diterimanya SKRD oleh Wajib Retribusi. Dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal surat teguran/peringatan/surat lain yang sejenis, wajib retribusi harus melunasi retribusi yang terutang. Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikeluarkan oleh Bupati atau Pejabat yang ditunjuk. BAB XX KEDALUWARSA PENAGIHAN (1) (2) (3) (4) (5) Pasal 31 Hak untuk melakukan penagihan retribusi menjadi kedaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak saat terutangnya retribusi, kecuali apabila wajib retribusi melakukan tindak pidana di bidang retribusi. Kedaluwarsa penagihan retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh jika : a. diterbitkan surat teguran; atau b. ada pengakuan utang retribusi dari wajib retribusi, baik langsung maupun tidak langsung. Dalam hal diterbitkan Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, kedaluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal diterimanya Surat Teguran tersebut. Pengakuan utang Retribusi secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b adalah Wajib Retribusi dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai utang retribusi dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah. Pengakuan utang Retribusi secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan dari Wajib Retribusi. BAB XXI TATA CARA PENGHAPUSAN PIUTANG RETRIBUSI YANG KEDALUWARSA Pasal 32 (1) Piutang Retribusi yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan penagihan sedah kedaluwarsa dapat dihapuskan. (2) Bupati menetapkan Keputusan Penghapusan Piutang Retribusi Daerah yang sudah kedaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Ketentuan mengenai tata cara penghapusan piutang retribusi yang sudah kedaluwarsa diatur dalam Peraturan Bupati. BAB XXII TATA CARA PEMBERIAN KERINGANAN, PENGURANGAN, DAN PEMBEBASAN RETRIBUSI Pasal 33 (1) Bupati dapat memberikan keringanan, pengurangan, dan pembebasan retribusi. (2) Tata cara memberikan keringanan, pengurangan, dan pembebasan retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur kemudian dalam Peraturan Bupati. BAB XXIII PEMERIKSAAN DAN PENGAWASAN Pasal 34 (1) Bupati berwenang melakukan pemeriksaan dan pengawasan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban retribusi dalam rangka melaksanakan Peraturan Perundang-undangan retribusi. (2) Wajib Retribusi yang diperiksa wajib : a. memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan dengan obyek retribusi yang terutang; b. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang dianggap perlu dan memberikan bantuan guna kelancaran pemeriksaan; dan/atau c. memberikan keterangan yang diperlukan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemeriksaan dan pengawasan retribusi diatur dalam Peraturan Bupati. BAB XXIV PEMANFAATAN Pasal 35 (1) Pemanfaatan dari penerimaan retribusi Izin Gangguan diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan izin gangguan. (2) Alokasi pemanfaatan penerimaan retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain untuk : a. pemeliharaan sarana dan prasarana yang digunakan dalam pelayanan izin gangguan; b. pelayanan administrasi izin gangguan; dan c. insentif pemungutan retribusi. BAB XXV INSENTIF PEMUNGUTAN Pasal 36 (1) Instansi yang melaksanakan pemungutan Retribusi dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu. (2) Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. (3) Tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur kemudian dalam Peraturan Bupati sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan. BAB XXVI KETENTUAN PIDANA Pasal 37 (1) Wajib retribusi yang tidak melaksanakan kewajibannya sehingga merugikan Keuangan Daerah diancam pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak 3 (tiga) kali jumlah retribusi terutang yang tidak atau kurang dibayar. (2) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran. (3) Denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penerimaan negara. BAB XXVII PENYIDIKAN Pasal 38 (1) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu dilingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang retribusi daerah, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana. (2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. (3) Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah : a. menerima, mencari, mengumpulkan dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana dibidang Retribusi Daerah agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lengkap dan jelas; b. meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau Badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana Retribusi Daerah; c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau Badan sehubungan dengan tindak pidana dibidang Retribusi Daerah; d. memeriksa buku, catatan dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana dibidang Retribusi Daerah; e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut; f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana dibidang Retribusi Daerah; g. menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda dan/atau dokumen yang dibawa; h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana Retribusi Daerah; i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; j. menghentikan penyidikan; dan/atau k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang Retribusi Daerah sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. (4) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana. BAB XXVIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 39 Pada saat Peraturan Daerah ini berlaku, Retribusi Izin Gangguan yang masih terutang berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Pinrang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Pemberian Izin Tempat Usaha dan Izin Undang-Undang Gangguan (HO) (Lembaran Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Pinrang Tahun 1997 Nomor 2) masih dapat ditagih selama jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat terutang. Pasal 40 (1) Izin gangguan yang telah dikeluarkan sebelum ditetapkannya Peraturan Daerah ini, masih tetap berlaku sampai batas akhir berlakunya izin dan proses registrasinya disesuaikan dengan Peraturan Daerah ini. (2) Pelaku usaha yang mengajukan permohonan perubahan izin diproses berdasarkan Peraturan Daerah ini. BAB XXIX KETENTUAN PENUTUP Pasal 41 Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Peraturan Daerah ini, sepanjang mengenai teknis pelaksanaannya akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati. Pasal 42 Peraturan Daerah ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Pinrang. Ditetapkan di Pinrang pada tanggal, BUPATI PINRANG, ASLAM PATONANGI Diundangkan di Pinrang pada tanggal 3 Oktober 2011 SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN PINRANG, SYARIFUDDIN SIDE LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PINRANG TAHUN 2011 NOMOR 2011