MODUL TEKNOLOGI PENGOLAHAN LIMBAH INDUSTRI KULIT Oleh : Dr. Muhammad Irfan Said, S.Pt, M.P Program Studi Teknologi Hasil Ternak Fak.Peternakan Universitas Hasanuddin TEKNOLOGI PENGOLAHAN LIMBAH INDUSTRI KULIT Oleh : Dr. Muhammad Irfan Said, S.Pt, M.P Fenomena yang sering timbul berkaitan dengan permasalahan lingkungan hidup akan senantiasa muncul terus menerus secara serius diberbagai pelosok bumi sepanjang masyarakat di bumi ini tidak sesegera mungkin memikirkan dan mengusahakan keselamatan serta keseimbangan ekosistem lingkungan. Demikian pula yang terjadi di Indonesia, bahwa permasalahan lingkungan hidup menjadi sebuah problem yang seolah-olah seperti dibiarkan menggelembung sejalan dengan meningkatnya intensitas pertumbuhan industri, walaupun industrialisasi tersebut saat ini sedang menjadi sebuah prioritas utama dalam pembangunan. Bila kita amati bahwa sebagian besar korban ataupun kerugian yang timbul justru harus ditanggung oleh masyarakat luas tanpa adanya sebuah kompensasi yang sebanding dari pihak industri tersebut. Industri penyamakan kulit adalah industri yang mengolah kulit mentah menjadi kulit jadi. Industri penyamakan kulit merupakan salah satu industri yang saat ini didorong perkembangannya sebagai penghasil devisa non migas. Potensi industri penyamakan kulit di Indonesia tercermin dari data yang ada, dimana pada tahun 1994 terdapat 586 jumlah perusahaan yang terdiri dari industri kecil sebesar 489 unit dan industri menengah sebesar 8 unit dan sisanya adalah industri besar dengan kapasitas produksi sebesar 70,994 ton (Dirjen industri aneka 1995 dalam Zaenab, 2008). Kulit jadi merupakan kulit yang telah melalui proses pengolahan (penyamakan). Proses penyamakan menggunakan air yang relatif lebih banyak begitu pula dengan beberapa jenis bahan kimia. Berdasarkan hal tersebut menyebabkan bahwa industri ini tentunya akan menghasilkan limbah cair yang mengandung berbagai polutan organik, baik dari bahan baku itu sendiri maupun polutan kimia dari bahan-bahan pembantu yang digunakan selama proses penyamakan berlangsung. Selain itu dihasilkan pula limbah padat berupa hasil 1 pembuangan daging, hasil pembuangan bulu serta lemak. Limbah padat banyak mengandung kapur, garam dan bahan kimia pembantu. Kandungan garam dalam limbah lebih banyak berasal dari sisa hasil penggaraman kulit saat dilakukan proses pengawetan. Sebagian besar industri kulit di Indonesia merupakan industri rumah tangga dan industri kecil yang berkembang di wilayah-wilayah tertentu sehingga membentuk sentra industri. Industri ini mempunyai ciri-ciri yang hampir sama yaitu berkembang dengan modal usaha kecil, teknik produksi yang sederhana, belum mengutamakan faktor kelestarian lingkungan, belum mampu mengolah limbah yang dihasilkan sampai baku mutu yang dipersyaratkan, kesehatan dan keselamatan kerja belum menjadi perhatian. Begitu pula dengan kegiatan riset dan pengembangan juga dapat dikatakan masih sangat minim. Dengan kondisi yang demikian ini maka sebagian besar industri kulit masih harus mendapat uluran tangan dari pihak pemerintah dalam upaya pengembangan usaha, peningkatan teknik produksi untuk meningkatkan kualitas produk, penerapan teknologi proses produksi yang lebih ramah lingkungan dan usaha pengolahan limbah secara tepat guna untuk pelestarian lingkungan. Sebuah instalasi pengolahan air limbah (IPAL) di salah satu industri penyamakan kulit di Yogyakarta secara jelas tampak pada Gambar 1. Gambar 1. Instalasi Pengolah Air Limbah (IPAL) industri penyamakan kulit PT. Adhi Satya Abadi (ASA), Yogyakarta 2 Industri penyamakan kulit menggunakan bahan kimia yang sifatnya berbahaya dan beracun di hampir setiap tahapan proses penyamakan, terutama pada tahapan pra-tanning dan tanning. Bahan-bahan kimia yang digunakan hanya berkisar 70% saja yang terikat pada kulit sedangkan sisanya terdapat dalam bentuk limbah cair maupun limbah padat. Bahan-bahan kimia yang merupakan hasil buangan proses tersebut sangat berpotensi untuk mencemari lingkungan karena sifatnya yang sangat kompleks dan sulit untuk ditangani. Disamping itu limbah yang dihasilkan selama proses pra-tanning dan pasca tanning baik sebagai limbah fleshing, triming, spliting, shaving dan buffing maupun hasil hidrolisis selama proses pra-tanning dapat mengalami proses pembusukan serta dapat menimbulkan gas dan bau yang sangat menyengat. Penanganan limbah membutuhkan teknologi yang maju, peralatan yang mahal, sumber daya manusia yang berkualitas dan biaya tinggi. Penanganan limbah juga tidak menyelesaikan masalah, hanya mengubah dari fase satu ke fase lainnya dan memindahkan dari suatu tempat ke tempat lainnya. Dalam perkembangan selanjutnya, para ahli kimia dan penyamakan kulit selalu berusaha untuk mencari pengganti bahan-bahan kimia yang berbahaya dan beracun ini dengan bahan-bahan alternatif lain yang lebih ramah lingkungan, melakukan evaluasi secara rutin, mengubah, memperbaiki dan memperbarui metode penyamakan agar menjadi lebih efisien, menggunakan kembali, mendaur ulang dan memanfaatkan limbah guna meminimalisir limbah yang dihasilkan. Strategi pengelolaan lingkungan yang bersifat preventif dan terpadu yang diterapkan secara terus menerus pada proses produksi maupun daur hidup produk dengan tujuan untuk mengurangi resiko terhadap manusia dan lingkungan ini dikenal dengan istilah Produksi Bersih (cleaner production). Penerapan Konsep Produksi Bersih Produksi bersih (cleaner production) didefinisikan sebagai segala upaya yang dapat mengurangi jumlah bahan berbahaya, polutan atau kontaminan yang terbuang melalui saluran pembuangan limbah atau terlepas ke lingkungan termasuk emisiemisi yang cepat menguap di udara sebelum didaur ulang, diolah atau dibuang (Erliza Noor, 2006 dalam Triatmojo, 2009). 3 Produksi bersih adalah strategi pengelolaan lingkungan yang sifatnya mengarah pada pencegahan dan terpadu untuk diterapkan pada seluruh siklus produksi (UNIDO, 2002). Produksi bersih merupakan sebuah strategi pengelolaan lingkungan yang bersifat preventif atau pencegahan secara terpadu yang perlu diterapkan secara terus menerus pada proses produksi dan daur hidup produk dengan tujuan mengurangi risiko terhadap manusia dan lingkungan (UNEP, 2003). Hal tersebut memiliki tujuan untuk meningkatkan produktivitas dengan memberikan tingkat efisiensi yang lebih baik pada penggunaan bahan mentah, energi dan air, mendorong performansi lingkungan yang lebih baik, melalui pengurangan sumbersumber pembangkit limbah dan emisi serta mereduksi dampak produk terhadap lingkungan (UNIDO, 2002). Salah satu aplikasi produksi bersih adalah pemanfaatan limbah menjadi produk yang bernilai ekonomi seperti tampak pada Gambar 2. Gambar 2. Pengukuran suhu pada limbah padat dan pemanfaatan produk limbah padat industri penyamakan kulit sebagai bahan flafon atap rumah Produksi bersih berfokus pada usaha pencegahan terbentuknya limbah, yang merupakan salah satu indikator in-efisiensi. Dengan demikian, usaha pencegahan tersebut harus dilakukan sejak awal proses produksi dengan mengurangi terbentuknya limbah serta memanfaatkan limbah yang terbentuk melalui daur ulang. Keberhasilan upaya ini akan menghasilkan penghematan yang besar karena penurunan biaya produksi yang signifikan sehingga pendekatan ini dapat menjadi sumber pendapatan (Anonim, 2007). Istilah produksi bersih mulai diperkenalkan oleh UNEP (United Nations Environment Program) pada bulan Mei 1989 dan diajukan secara resmi pada bulan September 1989 pada seminar The Promotion of Cleaner Production di Canterbury, Inggris dan Indonesia telah sepakat untuk 4 mengadopsi definisi yang disampaikan oleh UNEP tersebut (Indrasti dan Fauzi, 2009). Beberapa kata kunci yang perlu dicermati dalam produksi bersih adalah pencegahan, terpadu, terus-menerus dan mengurangi risiko. Dalam strategi pengelolaan lingkungan melalui pendekatan produksi bersih, segala upaya dilakukan untuk mencegah atau menghindari terbentuknya limbah. Keterpaduan dalam konsep produksi bersih dicerminkan dari banyaknya aspek yang terlibat seperti sumber daya manusia, teknologi, finansial, manajerial dan lingkungan. Strategi produksi bersih menekankan adanya upaya pengelolaan lingkungan secara terus-menerus. Suatu keberhasilan atau pencapaian target pengelolaan lingkungan bukan merupakan akhir suatu upaya, melainkan menjadi input bagi siklus upaya pengelolaan lingkungan berikutnya. Mengurangi risiko dalam produksi bersih dimaksudkan dalam arti risiko keamanan, kesehatan, manusia dan lingkungan serta hilangnya sumber daya alam maupun biaya perbaikan atau pemulihan. Produksi bersih diperlukan sebagai suatu strategi untuk mengharmonisasikan upaya perlindungan lingkungan dengan kegiatan pembangunan atau pertumbuhan ekonomi, mencegah terjadinya pencemaran lingkungan, memelihara dan memperkuat pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang, mencegah atau memperlambat terjadinya proses degradasi lingkungan dan pemanfaatan sumberdaya alam melalui penerapan daur ulang limbah serta memperkuat daya saing produk di pasar internasional (Indrasti dan Fauzi, 2009). Mengapa diperlukan adanya produksi bersih? Industri di Indonesia semakin hari semakin berkembang baik macam maupun jumlahnya, sehingga dihasilkan limbah yang volumenya juga semakin meningkat, karakteristik limbahnya semakin kompleks dan semakin sulit penanganannya, serta membutuhkan dana yang tidak sedikit. Disamping itu penanganan limbah (end of pipe treatment) lebih mahal dibanding dengan pencegahan dari awal. Sebagai contoh penyamakan kulit dengan bahan baku kulit segar lebih cepat prosesnya, lebih sedikit air yang diperlukan serta lebih sederhana limbah yang dihasilkan dibandingkan dengan menggunakan bahan baku kulit garaman. Sudah banyak peraturan yang dibuat untuk mengatur tentang industri dan buangan limbahnya agar lingkungan tidak tercemar, namun hal ini tidak memecahkan masalah karena ternyata masih banyak industri yang membuang limbahnya secara sembarangan. Penanganan limbah hanya memindahkan masalah 5 dari satu tempat ke tempat lainnya. Akhir-akhir ini isu lingkungan menjadi faktor penting dalam persaingan perdagangan global. Perlu antisipasi terhadap Standar Internasional dalam sistem manajemen lingkungan misalnya ISO 14000 dan ecolabelling. Produksi bersih adalah alternatif untuk mewujudkan konsep strategi manajemen lingkungan. Pada banyak negara (Eropa dan Amerika) telah terbukti bahwa penerapan teknologi bersih memberikan hasil yang efektif terhadap pengelolaan lingkungan. Prinsip-prinsip pokok dalam produksi bersih menurut Purwanto (2009) adalah sebagai berikut : 1. Mengurangi atau meminimumkan penggunaan bahan baku, air dan energi, menghindari pemakaian bahan baku beracun dan berbahaya serta mereduksi terbentuknya limbah pada sumbernya 2. Mencegah dari atau mengurangi timbulnya masalah pencemaran dan kerusakan lingkungan serta risikonya terhadap manusia 3. Perubahan dalam pola produksi dan konsumsi berlaku baik terhadap proses maupun produk yang dihasilkan, sehingga harus dipahami betul analisis daur hidup dari produk tersebut 4. Upaya produksi bersih tidak dapat berhasil dilaksanakan tanpa adanya perubahan dalam pola pikir, sikap dan tingkah laku dari semua pihak terkait baik dari pihak pemerintah, masyarakat maupun kalangan dunia (industriawan). Selain itu juga, perlu diterapkan pola manajemen di kalangan industri maupun pemerintah yang telah mempertimbangkan aspek lingkungan. 5. Mengaplikasikan teknologi akrab lingkungan, manajemen dan prosedur standar operasi sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan. Kegiatan-kegiatan tersebut tidak selalu membutuhkan biaya investasi yang tinggi, kalaupun terjadi seringkali waktu yang diperlukan untuk pengembalian modal investasi akan relatif lebih singkat. 6. Pelaksanaan program produksi bersih ini lebih mengarah pada pengaturan sendiri dan peraturan yang sifatnya musyawarah mufakat dari pada pengaturan secara command control. Jadi, pelaksanaan program produksi bersih ini tidak hanya mengandalkan peraturan pemerintah saja, tetapi lebih didasarkan pada kesadaran untuk mengubah sikap dan tingkah laku. 6 Produksi bersih dapat dijadikan sebagai sebuah model pengelolaan lingkungan dengan mengedepankan efisiensi yang tinggi pada sebuah industri, sehingga produksi limbah dari sumbernya dapat dicegah dan dikurangi. Penerapan produksi bersih akan menguntungkan industri karena dapat menekan biaya produksi, adanya penghematan dan kinerja lingkungan sehingga menjadi lebih baik. Penerapan produksi bersih di suatu kawasan industri dapat digunakan sebagai pendekatan untuk mewujudkan Kawasan Industri Berwawasan Lingkungan. Konsep produksi bersih dikembangkan berdasarkan pada empat prinsip utama yaitu : 1. Prinsip kehati-hatian, produsen mempunyai tanggung jawab yang utuh dalam memproduksi suatu barang agar tidak menimbulkan dampak yang merugikan 2. Prinsip pencegahan, didalam proses produksi semua orang yang terlibat penting untuk memahami siklus hidup produk dari pemilihan bahan baku hingga terbentuknya limbah 3. Prinsip demokrasi, diperlukan adanya komitmen dan keterlibatan semua pihak dalam rantai produksi dan konsumsi dan 4. Prinsip holistik, yaitu pentingnya keterpaduan dalam pemanfaatan sumberdaya lingkungan dan konsumsi, sebagai satu daur yang tidak dapat dipisah-pisahkan (Erliza Noor, 2006 dalam Triatmojo, 2009). Disamping manfaat terhadap keselamatan, kesehatan dan lingkungan, teknologi produksi bersih memberi peluang untuk menurunkan biaya produksi dan meningkatkan kualitas produk. Usaha kecil dan mikro mendapat keuntungan dari penerapan produksi bersih melalui penggunaan input dan peralatan yang lebih efisien, memperoleh barang dengan kualitas lebih baik dan pengurangan biaya pengolahan limbah. Pengalaman menunjukkan bahwa dengan pola pendampingan, usaha kecil dan mikro dapat melakukan identifikasi peluang produksi bersih yang menghasilkan keuntungan lebih dengan sedikit bahkan sama sekali tanpa penambahan investasi. Banyak perusahaan yang memperoleh manfaat finansial dan lingkungan yang cukup signifikan setelah menerapkan teknologi produksi bersih ini. Hal ini menunjukkan bahwa produksi bersih merupakan pilihan pertama untuk menyelesaikan masalah-masalah lingkungan yang dihadapi oleh usaha kecil dan mikro (Anonim, 2009 dalam Triatmojo, 2009). 7 Sumber dan Karakteristik Limbah Industri Penyamakan Kulit Parameter-parameter berikut ini penting dalam mendefinisikan daya cemar limbah dari kegiatan penyamakan kulit, yakni : BOD (Biochemical Oxygen Demand), COD (Chemical Oxygen Demand), krom (keseluruhan), minyak dan lemak, sulfida, nitrogen total dan pH. Limbah cair Penggunaan air untuk proses penyamakan kulit dari tahun ketahun terdapat kecenderungan semakin menurun. Di Indonesia, sampai saat ini belum ada penelitian khusus tentang penggunaan air untuk tiap 25 kg kulit, namun berdasarkan pengamatan, pemakaian air bisa mencapai 30-70 l/kg kulit mentah yang diproses. Jumlah kisaran penggunaan air pada setiap proses pada kulit secara ringkas disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Kisaran pemakaian air pada proses penyamakan kulit Macam Proses Kulit besar (hide) samak krom Kulit besar (hide) samak nabati Kulit kecil (skin) Kulit kecil (skin) berbulu tersamak Sumber : Clanfero 1993 dalam Zaenab (2008) Pemakaian air l/kg kulit mentah 30-50 20-40 30-60 50-100 Pengolahan limbah diperlukan untuk mengurangi konsentrasi beberapa zat pencemar dalam limbah cair. Aliran yang mengandung sulfida dapat dioksidasi untuk mengurangi kadar sulfida. Krom hampir selalu berada pada kondisi valensi 3 (trivalent), oleh karena itu tidak perlu dilakukan reduksi untuk membentuk molekul heksavalennya. Aliran yang mengandung krom dapat diendapkan dengan menggunakan tawas, garam besi atau polimer pada pH tinggi. Krom mungkin dapat diperoleh kembali dengan menyaring endapan, melarutkannya dalam asam serta menggunakannya untuk proses penyamakan. Proses pengolahan primer lain meliputi penyaringan, ekualisi dan pengendapan untuk mengurangi BOD dan memperoleh padatan kembali. Pengolahan secara kimia dengan menggunakan tawas, kapur tohor, fero-chlorida atau polielektrolit lebih lanjut dapat mengurangi BOD. Sistem pengolahan secara biologi 8 bekerja efektif. Keragaman laju alir dan kadar limbah mungkin sangat besar, karena itu harus digunakan sistem penyamakan atau sistem laju alir tinggi. Sistem anaerob efektif, tetapi dapat mengeluarkan bau tajam yang dapat mengganggu daerah pemukiman sekitarnya. Sistem-sistem parit oksidasi, kolam aerob, saringan tetes dan lumpur teraktifkan sudah banyak digunakan. Sistem anaerob dan aerob merupakan sistem yang murah dan efektif apabila dirancang dan dioperasikan secara baik serta fasilitas tanah yang cukup tersedia. Apabila diperlukan dapat digunakan suatu sistem untuk menghilangkan tingkat nitrogen yang tinggi. Dalam operasi baru telah digunakan adsorbsi (penyerapan) karbon dan pengayakan mikro untuk mengurangi zat pencemar sampai pada tingkat yang rendah. Dilihat dari asal bahan pencemar, maka sumber dan sifat air limbah industri penyamakan kulit dapat dibedakan atas beberapa tahapan proses yakni sebagai berikut : a. Air limbah proses perendaman (soaking) Air limbah soaking mengandung sisa daging, darah, bulu, garam, mineral, debu serta kotoran lain atau bahkan bakteri antraks. Pada proses perendaman, air limbah cairnya berbau busuk, kotor dengan kandungan SS (Suspended Solid) berkisar 0,05-0,1%. Volume limbah soaking berkisar antara 2,5-4 l/kg kulit, pH 7,5-8. Total solid 8.000- 28.000 mg/l dan kandungan SS 2,5- 4 mg/l. Air limbah soaking juga mengandung garam dan bahan organik lain yang akan mempengaruhi BOD, COD dan SS. b. Air limbah proses pembuangan bulu (unhairing) dan pengapuran (liming) Air limbah dari proses ini berwarna putih kehijauan serta kotor, berbau menyengat, pH air limbah pada proses ini berkisar antara 9-10, mengandung kalsium, natrium disulfida (Na2S), albumin, bulu, sisa daging dan lemak. Kadar SS berkisar 36%. Air limbah pada proses unhairing mengandung Total Solid (TS) 16.000-45.000 mg/l, SS 4.500-6.500 mg/l, BOD 1.100-2.500 mg/l, pH berkisar 10-12,5. Dampak yang ditimbulkan akibat buangan dalam proses tersebut bahwa air limbah ini berpengaruh besar terhadap air, tanah dan udara. Pengaruh terhadap air terutama kadar BOD, COD, SS, alkalinitas, sulfida, N- 9 Organik, N-ammonia. Adanya gas H2S hasil pencemaran ini dapat menyebabkan terjadinya pencemaran udara. c. Air limbah proses pembuangan kapur (deliming) Air limbah pada proses deliming mempunyai beban polutan yang lebih kecil dibanding air limbah hasil proses unhairing dan liming. Air limbah pada proses tersebut mempunyai pH 3-9, TS sebesar 1.200-12.000 mg/l, SS 200-1.200 mg/l dan BOD 1.000-2.000 mg/l. Air limbah tersebut akan menyebabkan pencemaran air berupa BOD, COD, SS dan N-ammonia. Adanya bahan amoniak akan menimbulkan pencemaran udara. d. Air limbah proses pengikisan protein (degreasing) Pada proses ini air limbah yang dihasilkan memiliki nilai COD, BOD, DS dan lemak yang relatif lebih tinggi (UNEP, 2003). e. Air limbah proses pikel (pickling) dan krom (tanning) Air limbah dari proses ini akan mengandung bahan protein, sisa garam, sejumlah kecil mineral dan krom velensi 3 yang apabila tercampur dengan alkali akan terbentuk krom hidroksida, pH berkisar antara 3,5-4, SS berkisar 0,01-0,02 %. Perbedaan antara air limbah pikel dengan penyamakan krom adalah sebagai berikut : 1) Air limbah pikel mempunyai volume 2-3 l/kg kulit, pH 2,9-4, TS 16.00045.000 mg/l, SS 16.000-45.000 mg/l dan BOD 800-22.000 mg/l. 2) Air limbah samak krom menghasilkan volume 4-5 l/kg, pH 2,6-3,2, TS 2.40012.000 mg/l, SS 300-1.000 mg/ l dan BOD 800- 1.200 mg/l 3) Air limbah pikel dan krom akan menimbulkan pencemaran air berupa BOD, COD, SS, DS, asam garam krom dan sisa samak nabati. f. Air limbah gabungan termasuk proses pencucian. Pada buangan air limbah gabungan volume air mencapai volume 30-35 l/kg, pH berkisar antara 7,5-10, TS 10-25 mg/l, SS 1.250-6.000 mg/l dan BOD 2.000- 10 3.000 mg/l. Beban pencemaran air limbah penyamatan kulit dari beberapa tahapan proses secara jelas disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Gambaran besaran beban pencemaran air limbah penyamakan kulit dari beberapa tahapan proses Parameter Jenis air Limbah Soaking Pengapuran Buang bulu Pikel COD (mg/l) 40.576,48 10.964,64 18.555,36 7.454,90 BOD (mg/l) 17.000 3.500 5.800 2.400 S (mg/l) 991,1 448 86,75 147,2 N.NH 3 (mg/l) 207,6 8 16,35 57,68 217,2 8 Lema k (mg/l) 944 632 12.54 7 10.12 0 TSS (mg/l) 31.20 4 4.154 27.08 5 17.08 4 pH 12 12 5 4 Sunaryo dkk., (1993) dalam Zaenab (2008) Limbah padat Didalam proses penyamakan disamping limbah cair, juga menghasilkan limbah padat sebagai hasil samping. Dikatakan hasil samping karena dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, misalnya sebagai bahan makanan, obatobatan, kosmetik, pupuk, kerajinan dan bahan lainnya. Bahan padat yang dimaksud antara lain bulu, sisa trimming, fleshing, sisa split, shaving, buffing dan lumpur. Banyak limbah padat penyamakan kulit dapat dijual sebagai hasil sampingan, yaitu pangkasan bulu, daging dan lain-lainnya. Sebagian besar limbah padat lainnya meliputi sisa bahan organik, babakan nabati dan kulit kayu untuk penyamakan. Lumpur kapur dan lumpur dari pengolahan air limbah bersifat merusak tetapi tidak beracun dan biasanya dapat disebar di atas tanah atau ditimbun dalam tanah. Lumpur dan limbah lain yang mengandung krom lebih berbahaya dan harus di simpan ditempat penimbunan yang aman. 11