teknologi pengolahan limbah industri kulit

advertisement
MODUL
TEKNOLOGI PENGOLAHAN LIMBAH
INDUSTRI KULIT
Oleh :
Dr. Muhammad Irfan Said, S.Pt, M.P
Program Studi Teknologi Hasil Ternak
Fak.Peternakan Universitas Hasanuddin
TEKNOLOGI PENGOLAHAN
LIMBAH INDUSTRI KULIT
Oleh : Dr. Muhammad Irfan Said, S.Pt, M.P
Fenomena yang sering timbul berkaitan dengan permasalahan lingkungan
hidup akan senantiasa muncul terus menerus secara serius diberbagai pelosok bumi
sepanjang masyarakat di bumi ini tidak sesegera mungkin memikirkan dan
mengusahakan keselamatan serta keseimbangan ekosistem lingkungan. Demikian
pula yang terjadi di Indonesia, bahwa permasalahan lingkungan hidup menjadi
sebuah problem yang seolah-olah seperti dibiarkan menggelembung sejalan dengan
meningkatnya intensitas pertumbuhan industri, walaupun industrialisasi tersebut saat
ini sedang menjadi sebuah prioritas utama dalam pembangunan. Bila kita amati
bahwa sebagian besar korban ataupun kerugian yang timbul justru harus ditanggung
oleh masyarakat luas tanpa adanya sebuah kompensasi yang sebanding dari pihak
industri tersebut.
Industri penyamakan kulit adalah industri yang mengolah kulit mentah
menjadi kulit jadi. Industri penyamakan kulit merupakan salah satu industri yang
saat ini didorong perkembangannya sebagai penghasil devisa non migas. Potensi
industri penyamakan kulit di Indonesia tercermin dari data yang ada, dimana pada
tahun 1994 terdapat 586 jumlah perusahaan yang terdiri dari industri kecil sebesar
489 unit dan industri menengah sebesar 8 unit dan sisanya adalah industri besar
dengan kapasitas produksi sebesar 70,994 ton (Dirjen industri aneka 1995 dalam
Zaenab, 2008).
Kulit jadi merupakan kulit yang telah melalui proses pengolahan
(penyamakan).
Proses penyamakan menggunakan air yang relatif lebih banyak
begitu pula dengan beberapa jenis bahan kimia.
Berdasarkan hal tersebut
menyebabkan bahwa industri ini tentunya akan menghasilkan limbah cair yang
mengandung berbagai polutan organik, baik dari bahan baku itu sendiri maupun
polutan kimia dari bahan-bahan pembantu yang digunakan selama proses
penyamakan berlangsung.
Selain itu dihasilkan pula limbah padat berupa hasil
1
pembuangan daging, hasil pembuangan bulu serta lemak. Limbah padat banyak
mengandung kapur, garam dan bahan kimia pembantu. Kandungan garam dalam
limbah lebih banyak berasal dari sisa hasil penggaraman kulit saat dilakukan proses
pengawetan.
Sebagian besar industri kulit di Indonesia merupakan industri rumah tangga
dan industri kecil yang berkembang di wilayah-wilayah tertentu sehingga
membentuk sentra industri. Industri ini mempunyai ciri-ciri yang hampir sama yaitu
berkembang dengan modal usaha kecil, teknik produksi yang sederhana, belum
mengutamakan faktor kelestarian lingkungan, belum mampu mengolah limbah yang
dihasilkan sampai baku mutu yang dipersyaratkan, kesehatan dan keselamatan kerja
belum menjadi perhatian. Begitu pula dengan kegiatan riset dan pengembangan juga
dapat dikatakan masih sangat minim. Dengan kondisi yang demikian ini maka
sebagian besar industri kulit masih harus mendapat uluran tangan dari pihak
pemerintah dalam upaya pengembangan usaha, peningkatan teknik produksi untuk
meningkatkan kualitas produk, penerapan teknologi proses produksi yang lebih
ramah lingkungan dan usaha pengolahan limbah secara tepat guna untuk pelestarian
lingkungan.
Sebuah instalasi pengolahan air limbah (IPAL) di salah satu industri
penyamakan kulit di Yogyakarta secara jelas tampak pada Gambar 1.
Gambar 1. Instalasi Pengolah Air Limbah (IPAL) industri penyamakan kulit
PT. Adhi Satya Abadi (ASA), Yogyakarta
2
Industri penyamakan kulit menggunakan bahan kimia yang sifatnya berbahaya
dan beracun di hampir setiap tahapan proses penyamakan, terutama pada tahapan
pra-tanning dan tanning.
Bahan-bahan kimia yang digunakan hanya berkisar 70%
saja yang terikat pada kulit sedangkan sisanya terdapat dalam bentuk limbah cair
maupun limbah padat. Bahan-bahan kimia yang merupakan hasil buangan proses
tersebut sangat berpotensi untuk mencemari lingkungan karena sifatnya yang sangat
kompleks dan sulit untuk ditangani. Disamping itu limbah yang dihasilkan selama
proses pra-tanning dan pasca tanning baik sebagai limbah fleshing, triming, spliting,
shaving dan buffing maupun hasil hidrolisis selama proses pra-tanning dapat
mengalami proses pembusukan serta dapat menimbulkan gas dan bau yang sangat
menyengat.
Penanganan limbah membutuhkan teknologi yang maju, peralatan yang
mahal, sumber daya manusia yang berkualitas dan biaya tinggi. Penanganan limbah
juga tidak menyelesaikan masalah, hanya mengubah dari fase satu ke fase lainnya
dan memindahkan dari suatu tempat ke tempat lainnya. Dalam perkembangan
selanjutnya, para ahli kimia dan penyamakan kulit selalu berusaha untuk mencari
pengganti bahan-bahan kimia yang berbahaya dan beracun ini dengan bahan-bahan
alternatif lain yang lebih ramah lingkungan, melakukan evaluasi secara rutin,
mengubah, memperbaiki dan memperbarui metode penyamakan agar menjadi lebih
efisien, menggunakan kembali, mendaur ulang dan memanfaatkan limbah guna
meminimalisir limbah yang dihasilkan. Strategi pengelolaan lingkungan yang
bersifat preventif dan terpadu yang diterapkan secara terus menerus pada proses
produksi maupun daur hidup produk dengan tujuan untuk mengurangi resiko
terhadap manusia dan lingkungan ini dikenal dengan istilah Produksi Bersih (cleaner
production).
Penerapan Konsep Produksi Bersih
Produksi bersih (cleaner production) didefinisikan sebagai segala upaya yang
dapat mengurangi jumlah bahan berbahaya, polutan atau kontaminan yang terbuang
melalui saluran pembuangan limbah atau terlepas ke lingkungan termasuk emisiemisi yang cepat menguap di udara sebelum didaur ulang, diolah atau dibuang
(Erliza Noor, 2006 dalam Triatmojo, 2009).
3
Produksi bersih adalah strategi pengelolaan lingkungan yang sifatnya
mengarah pada pencegahan dan terpadu untuk diterapkan pada seluruh siklus
produksi (UNIDO, 2002). Produksi bersih merupakan sebuah strategi pengelolaan
lingkungan yang bersifat preventif atau pencegahan secara terpadu yang perlu
diterapkan secara terus menerus pada proses produksi dan daur hidup produk dengan
tujuan mengurangi risiko terhadap manusia dan lingkungan (UNEP, 2003). Hal
tersebut memiliki tujuan untuk meningkatkan produktivitas dengan memberikan
tingkat efisiensi yang lebih baik pada penggunaan bahan mentah, energi dan air,
mendorong performansi lingkungan yang lebih baik, melalui pengurangan sumbersumber pembangkit limbah dan emisi serta mereduksi dampak produk terhadap
lingkungan (UNIDO, 2002). Salah satu aplikasi produksi bersih adalah pemanfaatan
limbah menjadi produk yang bernilai ekonomi seperti tampak pada Gambar 2.
Gambar 2. Pengukuran suhu pada limbah padat dan pemanfaatan
produk limbah padat industri penyamakan kulit
sebagai bahan flafon atap rumah
Produksi bersih berfokus pada usaha pencegahan terbentuknya limbah, yang
merupakan salah satu indikator in-efisiensi. Dengan demikian, usaha pencegahan
tersebut harus dilakukan sejak awal proses produksi dengan mengurangi
terbentuknya limbah serta memanfaatkan limbah yang terbentuk melalui daur ulang.
Keberhasilan upaya ini akan menghasilkan penghematan yang besar karena
penurunan biaya produksi yang signifikan sehingga pendekatan ini dapat menjadi
sumber pendapatan (Anonim, 2007). Istilah produksi bersih mulai diperkenalkan
oleh UNEP (United Nations Environment Program) pada bulan Mei 1989 dan
diajukan secara resmi pada bulan September 1989 pada seminar The Promotion of
Cleaner Production di Canterbury, Inggris dan Indonesia telah sepakat untuk
4
mengadopsi definisi yang disampaikan oleh UNEP tersebut (Indrasti dan Fauzi,
2009).
Beberapa kata kunci yang perlu dicermati dalam produksi bersih adalah
pencegahan, terpadu, terus-menerus dan mengurangi risiko. Dalam strategi
pengelolaan lingkungan melalui pendekatan produksi bersih, segala upaya dilakukan
untuk mencegah atau menghindari terbentuknya limbah. Keterpaduan dalam konsep
produksi bersih dicerminkan dari banyaknya aspek yang terlibat seperti sumber daya
manusia, teknologi, finansial, manajerial dan lingkungan. Strategi produksi bersih
menekankan adanya upaya pengelolaan lingkungan secara terus-menerus.
Suatu
keberhasilan atau pencapaian target pengelolaan lingkungan bukan merupakan akhir
suatu upaya, melainkan menjadi input bagi siklus upaya pengelolaan lingkungan
berikutnya. Mengurangi risiko dalam produksi bersih dimaksudkan dalam arti risiko
keamanan, kesehatan, manusia dan lingkungan serta hilangnya sumber daya alam
maupun biaya perbaikan atau pemulihan. Produksi bersih diperlukan sebagai suatu
strategi untuk mengharmonisasikan upaya perlindungan lingkungan dengan kegiatan
pembangunan atau pertumbuhan ekonomi, mencegah terjadinya pencemaran
lingkungan, memelihara dan memperkuat pertumbuhan ekonomi dalam jangka
panjang, mencegah atau memperlambat terjadinya proses degradasi lingkungan dan
pemanfaatan sumberdaya alam melalui penerapan daur ulang limbah serta
memperkuat daya saing produk di pasar internasional (Indrasti dan Fauzi, 2009).
Mengapa diperlukan adanya produksi bersih? Industri di Indonesia semakin
hari semakin berkembang baik macam maupun jumlahnya, sehingga dihasilkan
limbah yang volumenya juga semakin meningkat, karakteristik limbahnya semakin
kompleks dan semakin sulit penanganannya, serta membutuhkan dana yang tidak
sedikit.
Disamping itu penanganan limbah (end of pipe treatment) lebih mahal
dibanding dengan pencegahan dari awal. Sebagai contoh penyamakan kulit dengan
bahan baku kulit segar lebih cepat prosesnya, lebih sedikit air yang diperlukan serta
lebih sederhana limbah yang dihasilkan dibandingkan dengan menggunakan bahan
baku kulit garaman. Sudah banyak peraturan yang dibuat untuk mengatur tentang
industri dan buangan limbahnya agar lingkungan tidak tercemar, namun hal ini tidak
memecahkan masalah karena ternyata masih banyak industri yang membuang
limbahnya secara sembarangan. Penanganan limbah hanya memindahkan masalah
5
dari satu tempat ke tempat lainnya. Akhir-akhir ini isu lingkungan menjadi faktor
penting dalam persaingan perdagangan global. Perlu antisipasi terhadap Standar
Internasional dalam sistem manajemen lingkungan misalnya ISO 14000 dan
ecolabelling. Produksi bersih adalah alternatif untuk mewujudkan konsep strategi
manajemen lingkungan. Pada banyak negara (Eropa dan Amerika) telah terbukti
bahwa penerapan teknologi bersih memberikan hasil yang efektif terhadap
pengelolaan lingkungan.
Prinsip-prinsip pokok dalam produksi bersih menurut Purwanto (2009)
adalah sebagai berikut :
1. Mengurangi atau meminimumkan penggunaan bahan baku, air dan energi,
menghindari pemakaian bahan baku beracun dan berbahaya serta mereduksi
terbentuknya limbah pada sumbernya
2. Mencegah dari atau mengurangi timbulnya masalah pencemaran dan kerusakan
lingkungan serta risikonya terhadap manusia
3. Perubahan dalam pola produksi dan konsumsi berlaku baik terhadap proses
maupun produk yang dihasilkan, sehingga harus dipahami betul analisis daur
hidup dari produk tersebut
4. Upaya produksi bersih tidak dapat berhasil dilaksanakan tanpa adanya perubahan
dalam pola pikir, sikap dan tingkah laku dari semua pihak terkait baik dari pihak
pemerintah, masyarakat maupun kalangan dunia (industriawan). Selain itu juga,
perlu diterapkan pola manajemen di kalangan industri maupun pemerintah yang
telah mempertimbangkan aspek lingkungan.
5. Mengaplikasikan teknologi akrab lingkungan, manajemen dan prosedur standar
operasi sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan. Kegiatan-kegiatan tersebut
tidak selalu membutuhkan biaya investasi yang tinggi, kalaupun terjadi seringkali
waktu yang diperlukan untuk pengembalian modal investasi akan relatif lebih
singkat.
6. Pelaksanaan program produksi bersih ini lebih mengarah pada pengaturan sendiri
dan peraturan yang sifatnya musyawarah mufakat dari pada pengaturan secara
command control. Jadi, pelaksanaan program produksi bersih ini tidak hanya
mengandalkan peraturan pemerintah saja, tetapi lebih didasarkan pada kesadaran
untuk mengubah sikap dan tingkah laku.
6
Produksi bersih dapat dijadikan sebagai sebuah model pengelolaan
lingkungan dengan mengedepankan efisiensi yang tinggi pada sebuah industri,
sehingga produksi limbah dari sumbernya dapat dicegah dan dikurangi. Penerapan
produksi bersih akan menguntungkan industri karena dapat menekan biaya produksi,
adanya penghematan dan kinerja lingkungan sehingga menjadi lebih baik. Penerapan
produksi bersih di suatu kawasan industri dapat digunakan sebagai pendekatan untuk
mewujudkan Kawasan Industri Berwawasan Lingkungan.
Konsep produksi bersih dikembangkan berdasarkan pada empat prinsip
utama yaitu :
1.
Prinsip kehati-hatian, produsen mempunyai tanggung jawab yang utuh dalam
memproduksi suatu barang agar tidak menimbulkan dampak yang merugikan
2.
Prinsip pencegahan, didalam proses produksi semua orang yang terlibat penting
untuk memahami siklus hidup produk dari pemilihan bahan baku hingga
terbentuknya limbah
3.
Prinsip demokrasi, diperlukan adanya komitmen dan keterlibatan semua pihak
dalam rantai produksi dan konsumsi dan
4.
Prinsip holistik, yaitu pentingnya keterpaduan dalam pemanfaatan sumberdaya
lingkungan dan konsumsi, sebagai satu daur yang tidak dapat dipisah-pisahkan
(Erliza Noor, 2006 dalam Triatmojo, 2009).
Disamping manfaat terhadap keselamatan, kesehatan dan lingkungan,
teknologi produksi bersih memberi peluang untuk menurunkan biaya produksi dan
meningkatkan kualitas produk. Usaha kecil dan mikro mendapat keuntungan dari
penerapan produksi bersih melalui penggunaan input dan peralatan yang lebih
efisien, memperoleh barang dengan kualitas lebih baik dan pengurangan biaya
pengolahan limbah. Pengalaman menunjukkan bahwa dengan pola pendampingan,
usaha kecil dan mikro dapat melakukan identifikasi peluang produksi bersih yang
menghasilkan keuntungan lebih dengan sedikit bahkan sama sekali tanpa
penambahan investasi. Banyak perusahaan yang memperoleh manfaat finansial dan
lingkungan yang cukup signifikan setelah menerapkan teknologi produksi bersih ini.
Hal ini menunjukkan bahwa produksi bersih merupakan pilihan pertama untuk
menyelesaikan masalah-masalah lingkungan yang dihadapi oleh usaha kecil dan
mikro (Anonim, 2009 dalam Triatmojo, 2009).
7
Sumber dan Karakteristik Limbah Industri Penyamakan Kulit
Parameter-parameter berikut ini penting dalam mendefinisikan daya cemar
limbah dari kegiatan penyamakan kulit, yakni : BOD (Biochemical Oxygen
Demand), COD (Chemical Oxygen Demand),
krom (keseluruhan), minyak dan
lemak, sulfida, nitrogen total dan pH.
 Limbah cair
Penggunaan air untuk proses penyamakan kulit dari tahun ketahun terdapat
kecenderungan semakin menurun.
Di Indonesia, sampai saat ini belum ada
penelitian khusus tentang penggunaan air untuk tiap 25 kg kulit, namun berdasarkan
pengamatan, pemakaian air bisa mencapai 30-70 l/kg kulit mentah yang diproses.
Jumlah kisaran penggunaan air pada setiap proses pada kulit secara ringkas disajikan
pada Tabel 1.
Tabel 1. Kisaran pemakaian air pada proses penyamakan kulit
Macam Proses
Kulit besar (hide) samak krom
Kulit besar (hide) samak nabati
Kulit kecil (skin)
Kulit kecil (skin) berbulu tersamak
Sumber : Clanfero 1993 dalam Zaenab (2008)
Pemakaian air l/kg kulit mentah
30-50
20-40
30-60
50-100
Pengolahan limbah diperlukan untuk mengurangi konsentrasi beberapa zat
pencemar dalam limbah cair. Aliran yang mengandung sulfida dapat dioksidasi
untuk mengurangi kadar sulfida. Krom hampir selalu berada pada kondisi valensi 3
(trivalent), oleh karena itu tidak perlu dilakukan reduksi untuk membentuk molekul
heksavalennya. Aliran yang mengandung krom dapat diendapkan dengan
menggunakan tawas, garam besi atau polimer pada pH tinggi. Krom mungkin dapat
diperoleh kembali dengan menyaring endapan, melarutkannya dalam asam serta
menggunakannya untuk proses penyamakan.
Proses pengolahan primer lain meliputi penyaringan, ekualisi dan
pengendapan untuk mengurangi BOD dan memperoleh padatan kembali. Pengolahan
secara kimia dengan menggunakan tawas, kapur tohor, fero-chlorida atau
polielektrolit lebih lanjut dapat mengurangi BOD. Sistem pengolahan secara biologi
8
bekerja efektif. Keragaman laju alir dan kadar limbah mungkin sangat besar, karena
itu harus digunakan sistem penyamakan atau sistem laju alir tinggi. Sistem anaerob
efektif, tetapi dapat mengeluarkan bau tajam yang dapat mengganggu daerah
pemukiman sekitarnya. Sistem-sistem parit oksidasi, kolam aerob, saringan tetes dan
lumpur teraktifkan sudah banyak digunakan. Sistem anaerob dan aerob merupakan
sistem yang murah dan efektif apabila dirancang dan dioperasikan secara baik serta
fasilitas tanah yang cukup tersedia. Apabila diperlukan dapat digunakan suatu sistem
untuk menghilangkan tingkat nitrogen yang tinggi.
Dalam operasi baru telah
digunakan adsorbsi (penyerapan) karbon dan pengayakan mikro untuk mengurangi
zat pencemar sampai pada tingkat yang rendah.
Dilihat dari asal bahan pencemar, maka sumber dan sifat air limbah industri
penyamakan kulit dapat dibedakan atas beberapa tahapan proses yakni sebagai
berikut :
a. Air limbah proses perendaman (soaking)
Air limbah soaking mengandung sisa daging, darah, bulu, garam, mineral,
debu serta kotoran lain atau bahkan bakteri antraks. Pada proses perendaman, air
limbah cairnya berbau busuk, kotor dengan kandungan SS (Suspended Solid)
berkisar 0,05-0,1%. Volume limbah soaking berkisar antara 2,5-4 l/kg kulit, pH
7,5-8. Total solid 8.000- 28.000 mg/l dan kandungan SS 2,5- 4 mg/l. Air limbah
soaking juga mengandung garam dan bahan organik lain yang akan
mempengaruhi BOD, COD dan SS.
b. Air limbah proses pembuangan bulu (unhairing) dan pengapuran (liming)
Air limbah dari proses ini berwarna putih kehijauan serta kotor, berbau
menyengat, pH air limbah pada proses ini berkisar antara 9-10, mengandung
kalsium, natrium disulfida (Na2S), albumin, bulu, sisa daging dan lemak. Kadar
SS berkisar 36%. Air limbah pada proses unhairing mengandung Total Solid
(TS) 16.000-45.000 mg/l, SS 4.500-6.500 mg/l, BOD 1.100-2.500 mg/l, pH
berkisar 10-12,5.
Dampak yang ditimbulkan akibat buangan dalam proses
tersebut bahwa air limbah ini berpengaruh besar terhadap air, tanah dan udara.
Pengaruh terhadap air terutama kadar BOD, COD, SS, alkalinitas, sulfida, N-
9
Organik, N-ammonia. Adanya gas H2S hasil pencemaran ini dapat menyebabkan
terjadinya pencemaran udara.
c. Air limbah proses pembuangan kapur (deliming)
Air limbah pada proses deliming mempunyai beban polutan yang lebih
kecil dibanding air limbah hasil proses unhairing dan liming. Air limbah pada
proses tersebut mempunyai pH 3-9, TS sebesar 1.200-12.000 mg/l, SS 200-1.200
mg/l dan BOD 1.000-2.000 mg/l.
Air limbah tersebut akan menyebabkan
pencemaran air berupa BOD, COD, SS dan N-ammonia. Adanya bahan amoniak
akan menimbulkan pencemaran udara.
d. Air limbah proses pengikisan protein (degreasing)
Pada proses ini air limbah yang dihasilkan memiliki nilai COD, BOD, DS
dan lemak yang relatif lebih tinggi (UNEP, 2003).
e. Air limbah proses pikel (pickling) dan krom (tanning)
Air limbah dari proses ini akan mengandung bahan protein, sisa garam,
sejumlah kecil mineral dan krom velensi 3 yang apabila tercampur dengan alkali
akan terbentuk krom hidroksida, pH berkisar antara 3,5-4, SS berkisar 0,01-0,02
%. Perbedaan antara air limbah pikel dengan penyamakan krom adalah sebagai
berikut :
1) Air limbah pikel mempunyai volume 2-3 l/kg kulit, pH 2,9-4, TS 16.00045.000 mg/l, SS 16.000-45.000 mg/l dan BOD 800-22.000 mg/l.
2) Air limbah samak krom menghasilkan volume 4-5 l/kg, pH 2,6-3,2, TS 2.40012.000 mg/l, SS 300-1.000 mg/ l dan BOD 800- 1.200 mg/l
3) Air limbah pikel dan krom akan menimbulkan pencemaran air berupa BOD,
COD, SS, DS, asam garam krom dan sisa samak nabati.
f. Air limbah gabungan termasuk proses pencucian.
Pada buangan air limbah gabungan volume air mencapai volume 30-35 l/kg,
pH berkisar antara 7,5-10, TS 10-25 mg/l, SS 1.250-6.000 mg/l dan BOD 2.000-
10
3.000 mg/l. Beban pencemaran air limbah penyamatan kulit dari beberapa tahapan
proses secara jelas disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Gambaran besaran beban pencemaran air limbah penyamakan kulit
dari beberapa tahapan proses
Parameter
Jenis air
Limbah
Soaking
Pengapuran
Buang bulu
Pikel
COD
(mg/l)
40.576,48
10.964,64
18.555,36
7.454,90
BOD
(mg/l)
17.000
3.500
5.800
2.400
S
(mg/l)
991,1
448
86,75
147,2
N.NH
3
(mg/l)
207,6
8
16,35
57,68
217,2
8
Lema
k
(mg/l)
944
632
12.54
7
10.12
0
TSS
(mg/l)
31.20
4
4.154
27.08
5
17.08
4
pH
12
12
5
4
Sunaryo dkk., (1993) dalam Zaenab (2008)
 Limbah padat
Didalam proses penyamakan disamping limbah cair, juga menghasilkan
limbah padat sebagai hasil samping. Dikatakan hasil samping karena
dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, misalnya sebagai bahan makanan, obatobatan, kosmetik, pupuk, kerajinan dan bahan lainnya.
Bahan padat yang
dimaksud antara lain bulu, sisa trimming, fleshing, sisa split, shaving, buffing dan
lumpur.
Banyak limbah padat penyamakan kulit dapat dijual sebagai hasil
sampingan, yaitu pangkasan bulu, daging dan lain-lainnya. Sebagian besar limbah
padat lainnya meliputi sisa bahan organik, babakan nabati dan kulit kayu untuk
penyamakan. Lumpur kapur dan lumpur dari pengolahan air limbah bersifat
merusak tetapi tidak beracun dan biasanya dapat disebar di atas tanah atau
ditimbun dalam tanah. Lumpur dan limbah lain yang mengandung krom lebih
berbahaya dan harus di simpan ditempat penimbunan yang aman.
11
Download