BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Prevalensi gagal jantung meningkat secara eksponensial seiring dengan bertambahnya umur. Di negara berkembang, prevalensi gagal jantung mencapai 2%. Di Amerika Utara dan Eropa, risiko seumur hidup untuk menderita gagal jantung adalah satu di antara lima pada usia 40 tahun (Mann, 2012). Di Amerika Serikat, prevalensi tertinggi gagal jantung berada pada umur di atas 80 tahun (20,1%), sedangkan prevalensi terendah berada pada rentang umur 20-39 tahun (0,6%) (Go et al., 2013). Di Indonesia, berdasarkan data dari Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2001, penyakit jantung dan pembuluh darah (PJPD) atau menurut ICD-10 (Internasional Classification of Disease-10) disebut juga dengan penyakit sistem sirkulasi darah (SSD), menduduki peringkat pertama sebagai penyebab kematian umum pada tahun 2000, yaitu sebesar 26,3%. Proporsi kematian semakin meningkat dengan bertambahnya umur dengan peningkatan yang lebih nyata terlihat pada usia 35 tahun ke atas (Tim Surkesnas, 2002). Hasil Pencatatan Dan Pelaporan Rumah Sakit di Indonesia pada tahun 2007 menunjukkan bahwa gagal jantung merupakan kasus ketiga terbanyak dari seluruh PJPD dengan jumlah kasus baru kunjungan rawat jalan sebanyak 38.438 orang (9,88%) dan kunjungan rawat inap sebanyak 18.585 orang (18,23%), sedangkan case fatality rate (CFR) mencapai 13.420 per 100.000 penduduk (Depkes RI, 2009). 1 Populasi (%) 2 Usia (tahun) Pria Wanita Gambar 1. Prevalensi gagal jantung menurut umur dan jenis kelamin di Amerika Serikat tahun 2007-2010 (Go et al., 2013). Terlihat bahwa prevalensi tertinggi berada pada rentang umur di atas 80 tahun (20,1%), sedangkan prevalensi terendah berada pada rentang umur 20-39 tahun (0,6%). Besarnya masalah yang disebabkan oleh morbiditas dan mortalitas dari penyakit gagal jantung ini menekankan pentingnya upaya pencegahan, yang seharusnya dapat dilakukan dengan deteksi dini melalui pemeriksaan sederhana. Karena cakupan kasus jantung yang sudah didiagnosis oleh tenaga kesehatan masih rendah (underdiagnosis), yaitu hanya sebesar 12,5% (Kemenkes RI, 2014), diduga terdapat hambatan dalam kemampuan sebagian besar tenaga kesehatan untuk mendiagnosis penyakit jantung, apakah karena kekurangan penunjang diagnostik ataupun karena kekurangan tenaga ahli di bidang itu. 3 Jika harus mengandalkan alat-alat canggih untuk bisa melakukan diagnosis dan stratifikasi awal, maka hampir sebagian besar pusat kesehatan di wilayah Indonesia tidak dapat melakukan hal tersebut karena tidak meratanya distribusi alatalat kesehatan. Alat–alat kesehatan hanya berpusat di kota-kota besar serta beberapa provinsi tertentu di dekat pusat pemerintahan (Kemenkes RI, 2014). Ditambah lagi jumlah tenaga ahli yang dapat mengoperasikan alat tersebut masih kurang, dapat dilihat dari rasio jumlah dokter spesialis terhadap jumlah penduduk Indonesia yang masih rendah yaitu 8,14 per 100.000 penduduk, jauh tertinggal dibandingkan Malaysia > 60 per 100.000 penduduk dan Singapura 180 per 100.000 penduduk (PERSI, 2011). Tidak bisa dibantah bahwa peran alat-alat canggih seperti ekokardiografi dalam diagnosis penyakit jantung menjadi begitu penting sekarang. Terutama di Indonesia, ekokardiografi telah memainkan peranan yang menakjubkan dan spektakuler dalam revolusi teknik pencitraan jantung, dan dipercaya sebagai suatu keajaiban ilmu pengetahuan kedokteran (Oemar, 2003). Dengan ekokardiografi, dokter dapat mendeteksi setiap abnormalitas pada pergerakan dinding jantung, penebalan otot, dan penyakit perikardium yang melingkupi jantung. Fungsi jantung untuk memompa juga dapat dinilai dengan modalitas ini melalui parameter fraksi ejeksi ventrikel kiri/left ventricular ejection fraction (LVEF). Penentuan LVEF mempunyai arti penting dalam penilaian pasien gagal jantung mengingat LVEF berhubungan erat dengan risiko mortalitas, bahkan pada pasien gagal jantung yang stabil (Curtis et al., 2003). Pasien gagal jantung dengan LVEF yang rendah ditata laksana berbeda dengan LVEF yang lebih tinggi (Aronow, 2006). 4 Penentuan LVEF menggunakan ekokardiografi doppler dua dimensi telah menjadi standar (rekomendasi kelas I level C) dalam diagnosis awal dari gagal jantung (American Heart Association, 2009). Namun sangat disayangkan, standar ini tidak dapat terlaksana di Indonesia karena terbentur dengan ketiadaan fasilitas ekokardiografi di hampir setiap rumah sakit, disebabkan distribusi alat ekokardiografi di Indonesia belum merata, harganya yang mahal, serta masih sedikitnya tenaga yang ahli menggunakannya. Karena itu, estimasi LVEF perlu dilakukan dengan modalitas lain yang lebih sederhana. Penelitian sebelumnya yang dilakukan pada pasien pasca infark miokard menunjukkan bahwa LVEF dapat diestimasi melalui metode alternatif yang lebih mudah dan murah, yaitu hanya dengan elektrokardiografi (EKG) (Chaudhary, 1984). Sebelumnya juga telah dipublikasikan kemampuan kompleks QRS dalam mengestimasi LVEF (Askenazi et al., 1978). Peneliti lain bahkan pernah mengembangkan QRS scoring system untuk penilaian fungsi ventrikel kiri pasca infark miokard akut (Palmeri et al., 1982). Di saat yang hampir bersamaan, beberapa artikel terkait estimasi LVEF oleh parameter klinis yang mudah diukur juga pernah dipublikasikan (Sanford et al., 1982; Mattleman et al., 1983; Cease et al., 1986). Kelemahannya, formula dalam penelitian-penelitian tersebut sulit untuk dihitung secara bed site, sehingga sulit untuk diaplikasikan. Seperti diketahui, saat penelitian-penelitian tersebut dipublikasikan, ekokardiografi baru berkembang, karena baru pertama sekali diperkenalkan sebagai alat pencitraan jantung portabel pada tahun 1971 oleh N. Bom dan Paul Hugen Holtz di Amerika Serikat. Baru pada tahun 1984, Laboratorium Feigenbaum di 5 Universitas Indiana Amerika Serikat menjadi laboratorium digital pertama dengan citra eko yang dapat disimpan di dalam floppy disk (Oemar, 2003). Tidak heran jika dengan langkanya alat ekokardiografi saat itu membuat para peneliti mencoba menciptakan metode alternatif yang lebih mudah dan murah untuk menilai fungsi serta struktur jantung. Kondisi tersebut mirip dengan yang terjadi di Indonesia saat ini, di mana kelangkaan alat ekokardiografi membatasi kemampuan pengukuran LVEF sehingga mengurangi akurasi diagnostik serta kemampuan penilaian prognosis pasien gagal jantung. Masalah ini bisa teratasi jika penelitian yang bertujuan untuk mengestimasi LVEF secara bed site melalui parameter sederhana bisa dikembangkan di Indonesia. B. Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian Besarnya morbiditas dan mortalitas gagal jantung menekankan pentingnya upaya diagnosis dini dan stratifikasi risiko mortalitas. Hal ini dapat dilakukan dengan menentukan nilai LVEF. Namun, keterbatasan alat bantu diagnostik membuat penentuan nilai LVEF ini menjadi sulit. Seperti yang terjadi di sebagian besar wilayah Indonesia, standar pemeriksaan diagnostik yang penting untuk menentukan LVEF seperti ekokardiografi belum tersedia secara merata. Karena itu, dibutuhkan suatu modalitas diagnostik yang mudah dan murah, tetapi tetap valid untuk dipakai di dalam praktik klinik sehari-hari, sehingga dapat membantu upaya diagnosis dan stratifikasi pasien di layanan primer dan sekunder. Sebelumnya di luar negeri telah dilakukan penelitian untuk estimasi nilai LVEF melalui parameter rutin sederhana seperti EKG, chest x-ray, tekanan darah, dan lain-lain. Namun, sulitnya melakukan perhitungan secara bed site membatasi aplikasinya di lapangan. 6 Penelitian ini mencoba mengatasi permasalahan tersebut dengan mengembangkan suatu sistem skoring untuk estimasi LVEF melalui parameter rutin sederhana sehingga lebih mudah untuk diaplikasikan. Pertanyaan penelitian adalah sebagai berikut: 1. Apakah sistem skoring bisa dikembangkan dari parameter rutin sederhana untuk estimasi LVEF? 2. Jika sistem skoring bisa dikembangkan, bagaimana validitasnya secara internal? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan suatu sistem skoring yang dapat digunakan untuk estimasi LVEF melalui parameter rutin sederhana serta menentukan validitasnya secara internal. D. Keaslian Penelitian Sebelumnya, telah dilakukan beberapa penelitian untuk mengestimasi nilai LVEF dengan menggunakan EKG, yaitu Sum of R-wave (ΣR) oleh Askenazi et al. (1978) dan QRS scoring system (Palmeri et al., 1982). Penelitian lain yang juga menggunakan EKG menemukan bahwa pemanjangan interval QT, pelebaran QRS, dan Q-wave pada EKG berhubungan dengan disfungsi ventrikel (Wilcox et al., 2011; Murkofsky et al., 1998; Mattleman et al., 1983). Disamping EKG, parameter klinis lain yang pernah dianalisis yaitu frekuensi denyut jantung, tekanan nadi, lebar dinding dada (thoracic width), volume jantung menurut x-ray (plain film heart 7 volume), rales, edema paru, dan lain-lain (Sanford et al., 1982; Mattleman et al., 1983; Cease et al., 1986). Persamaan regresi Sum of R-wave (ΣR) oleh Askenazi et al. (1978) berkorelasi kuat dengan hasil LVEF yang didapatkan melalui ventrikulografi (r = 0,61). Nilai QRS score > 3 mempunyai sensitivitas 93 % dan sensitivitas 88 % dalam menentukan depresi global ventrikel kiri, dengan korelasinya ke LVEF cukup baik (r = 0,60 – 0,88). Penelitian oleh Sanford et al. (1982) menyelidiki kegunaan dari data anamnesis, pemeriksaan fisik, radiografi dada, dan elektrokardiografi dalam penilaian fungsi ventrikel kiri pada 100 pasien dengan infark miokard akut. Penelitian tersebut menghasilkan model enam-variabel yang mampu mengestimasi LVEF (r = 0,42). Cease et al. (1986) melalui penelitiannya bahkan memperoleh nilai korelasi yang lebih besar (r = 0,73); demikian juga penelitian oleh Mattleman et al. (1983) yang mencapai korelasi r = 0,78. Walaupun korelasi yang didapatkan oleh semua penelitian sebelumnya cukup baik, namun kesulitan dalam memperoleh hasil perhitungan menjadi kendala utama, karena secara praktik, menghitung LVEF melalui persamaan regresi logistik ataupun linear (seperti yang dilakukan dalam penelitian-penelitian di atas) terasa jauh lebih sulit dibandingkan menghitung skor klinis. Sebagaimana yang telah umum diketahui di dunia medis, bahwa skor klinis telah sangat membantu untuk membuat diagnosis, menentukan gradasi, serta memperkirakan prognosis penyakit dengan kelebihan bahwa skor klinis lebih mudah dihitung secara bed site. 8 Belum ada penelitian seperti ini, baik di luar negeri maupun di Indonesia, yang dilakukan untuk estimasi nilai LVEF pada pasien gagal jantung melalui sistem skoring parameter rutin sederhana. Penelitian ini mencoba untuk mengatasi kekurangan dari penelitian sebelumnya, yaitu dengan mengestimasi LVEF melalui parameter rutin sederhana yang dikemas dalam suatu sistem skoring agar lebih mudah dihitung dan lebih aplikatif. E. Manfaat Penelitian 1. Manfaat pada pasien Manfaat penelitian ini pada pasien adalah agar pasien mendapat informasi mengenai kondisi penyakitnya tanpa harus menjalani pemeriksaan yang canggih atau mahal, tetapi tidak mengurangi validitas, sesuai dengan standar ilmiah kedokteran. 2. Manfaat pada peneliti Manfaat penelitian ini terhadap peneliti adalah agar dapat menambah pengetahuan dan pengalaman dalam bidang penelitian ilmiah kedokteran. 3. Manfaat pada institusi Manfaat penelitian ini bagi institusi, dalam hal ini bagian penyakit dalam, adalah dapat digunakan sebagai referensi awal untuk kepentingan penelitian berikutnya dengan metodologi yang lebih baik sehingga kemudian nanti dapat digunakan sebagai alternatif modalitas diagnostik rutin.