BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Anemia Pada Ibu Hamil 2.1.1 Definisi

advertisement
5
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Anemia Pada Ibu Hamil
2.1.1 Definisi
Anemia dalam kehamilan adalah kondisi ibu dengan kadar hemoglobin di
bawah 11 gr% pada trimester I dan III atau kadar hemoglobin < 10,5 gr% pada
trimester II ( Depkes RI, 2009 ). Anemia adalah kondisi dimana sel darah merah
menurun atau menurunnya hemoglobin, sehingga kapasitas daya angkut oksigen
untuk kebutuhan organ-organ vital pada ibu dan janin menjadi berkurang. Selama
kehamilan, indikasi anemia adalah jika konsentrasi hemoglobin kurang dari 10,50
sampai dengan 11,00 gr/dl (Varney, 2006 ).
Hemoglobin ( Hb ) yaitu komponen sel darah merah yang berfungsi
menyalurkan
oksigen ke seluruh tubuh, jika Hb berkurang, jaringan tubuh
kekurangan oksigen. Oksigen diperlukan tubuh untuk
bahan
bakar proses
metabolisme. Zat besi merupakan bahan baku pembuat sel darah merah. Ibu hamil
mempunyai tingkat metabolisme yang tinggi misalnya untuk membuat jaringan
tubuh janin, membentuknya menjadi organ dan juga untuk memproduksi energi
agar ibu hamil bisa tetap beraktifitas normal sehari – hari ( Sin sin, 2010 ). Fungsi
Hb merupakan komponen utama eritrosit yang berfungsi membawa oksigen dan
karbondioksida. Warna merah pada darah disebabkan oleh kandungan Hb yang
merupakan susunan protein yang komplek yang terdiri dari protein, globulin dan
satu senyawa yang bukan protein yang disebut heme. Heme tersusun dari suatu
6
senyawa lingkar yang bernama porfirin yang bagian pusatnya ditempati oleh
logam besi (Fe). Jadi heme adalah senyawa-senyawa porfirin-besi, sedangkan
hemoglobin adalah senyawa komplek antara globin dengan heme ( Masrizal,
2007).
Anemia Defisiensi besi adalah anemia yang terjadi akibat kekurangan zat
besi dalam darah, artinya konsentrasi hemoglobin dalam darah berkurang karena
terganggunya pembentukan sel-sel darah merah akibat kurangnya kadar zat besi
dalam darah. Jika simpanan zat besi dalam tubuh seseorang sudah sangat rendah
berarti orang tersebut mendekati anemia walaupun belum ditemukan gejala-gejala
fisiologis. Simpanan zat besi yang sangat rendah lambat laun tidak akan cukup
untuk membentuk sel-sel darah merah di dalam sumsum tulang sehingga kadar
hemoglobin terus menurun di bawah batas normal, keadaan inilah yang disebut
anemia gizi besi ( Masrizal, 2007). Menurut Evatt dalam Masrizal ( 2007) anemia
defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan oleh berkurangnya cadangan besi
tubuh. Keadaan ini ditandai dengan menurunnya saturasi transferin, berkurangnya
kadar feritin serum atau hemosiderin sumsum tulang. Secara morfologis keadaan
ini diklasifikasikan sebagai anemia mikrositik hipokrom disertai penurunan
kuantitatif pada sintesis hemoglobin. Defisiensi besi merupakan penyebab utama
anemia. Wanita usia subur sering mengalami anemia, karena kehilangan darah
sewaktu menstruasi dan peningkatan kebutuhan besi sewaktu hamil.
Anemia defisiensi zat besi (kejadian 62,30%) adalah anemia dalam
kehamilan yang paling sering terjadi dalam kehamilan akibat kekurangan zat
besi. Kekurangan ini disebabkan karena kurang masuknya unsur zat besi dalam
7
makanan, gangguan reabsorbsi, dan penggunaan terlalu banyaknya zat besi.
Anemia Megaloblastik (kejadian 29,00%), dalam kehamilan adalah anemia yang
disebabkan karena defisiensi asam folat. Anemia Hipoplastik (kejadian 8, 0%)
pada wanita hamil adalah anemia yang disebabkan karena sumsum tulang kurang
mampu membuat sel-sel darah merah. Dimana etiologinya belum diketahui
dengan pasti kecuali sepsis, sinar rontgen, racun dan obat-obatan. Anemia
Hemolitik (kejadian 0,70%), yaitu anemia yang disebabkan karena penghancuran
sel darah merah berlangsung lebih cepat, yaitu penyakit malaria ( Wiknjosastro,
2005 ; Mochtar, 2004 ).
2.1.2 Penyebab anemia pada ibu hamil
Penyebab anemia umunya adalah kurang gizi, kurang zat besi, kehilangan
darah saat persalinan yang lalu, dan penyakit – penyakit kronik (Mochtar, 2004).
Dalam kehamilan penurunan
kadar hemoglobin yang dijumpai selama
kehamilan disebabkan oleh karena dalam kehamilan keperluan zat makanan
bertambah dan terjadinya perubahan-perubahan dalam darah : penambahan
volume plasma yang relatif lebih besar daripada penambahan massa hemoglobin
dan volume sel darah merah. Darah bertambah banyak dalam kehamilan yang
lazim disebut hidremia atau hipervolemia. Namun bertambahnya sel-sel darah
adalah kurang jika dibandingkan dengan bertambahnya plasma sehingga terjadi
pengenceran darah. Di mana pertambahan tersebut adalah sebagai berikut :
plasma 30%, sel darah 18%, dan hemoglobin 19%. Pengenceran darah dianggap
sebagai penyesuaian diri secara fisiologi dalam kehamilan dan bermanfaat bagi
wanita hamil tersebut. Pengenceran ini meringankan beban jantung yang harus
8
bekerja lebih berat dalam masa hamil, karena sebagai akibat hipervolemia
tersebut, keluaran jantung (cardiac output) juga meningkat. Kerja jantung ini
lebih ringan apabila viskositas darah rendah. Resistensi perifer berkurang pula,
sehingga tekanan darah tidak naik (Wiknjosastro, 2005 ).
Selama hamil volume darah meningkat 50 % dari 4 ke 6 L, volume
plasma meningkat sedikit menyebabkan penurunan konsentrasi Hb dan nilai
hematokrit. Penurunan ini lebih kecil pada ibu hamil yang mengkonsumsi zat
besi. Kenaikan volume darah berfungsi untuk memenuhi kebutuhan perfusi dari
uteroplasenta. Ketidakseimbangan antara kecepatan penambahan plasma dan
penambahan eritrosit ke dalam sirkulasi ibu biasanya memuncak pada trimester
kedua ( Smith et al., 2010 ).
Pola makan adalah pola konsumsi makan sehari-hari yang sesuai dengan
kebutuhan gizi setiap individu untuk hidup sehat dan produktif. Untuk dapat
mencapai keseimbangan gizi maka setiap orang harus menkonsumsi minimal 1
jenis bahan makanan dari tiap golongan bahan makanan yaitu Karbohidrat,
protein hewani dan nabati, sayuran, buah dan susu.( Bobak, 2005 ). Seringnya ibu
hamil mengkonsumsi makanan yang mengandung zat yang menghambat
penyerapan zat besi seperti teh, kopi, kalsium ( Kusumah, 2009 ). Wanita hamil
cenderung terkena anemia pada triwulan III karena pada masa ini janin
menimbun cadangan zat besi untuk dirinya sendiri sebagai persediaan bulan
pertama setelah lahir ( Sin sin, 2008). Pada penelitian Djamilus dan Herlina
(2008) menunjukkan adanya kecendrungan bahwa semakin kurang baik pola
9
makan, maka akan semakin tinggi angka kejadian anemia. Hasil uji statistic juga
menunjukkan kebermaknaan (p > 0.05).
Faktor umur merupakan faktor risiko kejadian anemia pada ibu hamil.
Umur seorang ibu berkaitan dengan alat – alat reproduksi wanita. Umur
reproduksi yang sehat dan aman adalah umur 20 – 35 tahun. Kehamilan diusia <
20 tahun dan diatas 35 tahun dapat menyebabkan anemia karena pada kehamilan
diusia < 20 tahun secara biologis belum optimal emosinya cenderung labil,
mentalnya belum matang sehingga mudah mengalami keguncangan yang
mengakibatkan kurangnya perhatian terhadap pemenuhan kebutuhan zat – zat
gizi selama kehamilannya. Sedangkan pada usia > 35 tahun terkait dengan
kemunduran dan penurunan daya tahan tubuh serta berbagai penyakit yang sering
menimpa diusia ini. Hasil penelitian didapatkan bahwa umur ibu pada saat hamil
sangat berpengaruh terhadap kajadian anemia
(Amirrudin dan Wahyuddin,
2004).
Ibu hamil yang kurang patuh mengkonsumsi tablet Fe mempunyai risiko
2,429 kali lebih besar untuk mengalami anemia dibanding yang patuh konsumsi
tablet Fe (Jamilus dan Herlina 2008 ). Kepatuhan menkonsumsi tablet Fe diukur
dari ketepatan jumlah tablet yang dikonsumsi, ketepatan cara mengkonsumsi
tablet Fe, frekuensi konsumsi perhari. Suplementasi besi atau pemberian tablet
Fe merupakan salah satu upaya penting dalam mencegah dan menanggulangi
anemia, khususnya anemia kekurangan besi. Suplementasi besi merupakan cara
efektif karena kandungan besinya yang dilengkapi asam folat yang sekaligus
dapat mencegah anemia karena kekurangan asam folat (Depkes, 2009).
10
Konsumsi tablet besi sangat dipengaruhi oleh kesadaran dan kepatuhan ibu
hamil. Kesadaran merupakan pendukung bagi ibu hamil untuk patuh
mengkonsumsi tablet Fe dengan baik. Tingkat kepatuhan yang kurang sangat
dipengaruhi oleh rendahnya kesadaran ibu hamil dalam mengkonsumsi tablet
besi, inipun besar kemungkinan mendapat pengaruh melalui tingkat pengetahuan
gizi dan kesehatan. Kepatuhan ibu hamil mengkonsumsi tablet besi tidak hanya
dipengaruhi oleh kesadaran saja, namun ada beberapa faktor lain yaitu bentuk
tablet, warna, rasa dan efek samping seperti mual, konstipasi (Simanjuntak,
2004).
Pemeriksaan Antenatal adalah pelayanan kesehatan bagi ibu hamil dan
janinnya oleh tenaga profesional meliputi pemeriksaan kehamilan sesuai dengan
standar pelayanan yaitu minimal 4 kali pemeriksaan selama kehamilan, 1 kali
pada trimester satu, 1 kali pada trimester II dan 2 kali pada trimester III. Dengan
pemeriksaan antenatal kejadian anemia pada ibu dapat dideteksi sedini mungkin
sehingga
diharapkan
ibu
dapat
merawat
dirinya
selama
mempersiapkan persalinannya. Namun dalam penelitian
hamil
dan
Amirrudin dan
Wahyuddin ( 2004 ) menyatakan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara
pemeriksaan ANC dengan kejadian anemia pada ibu hamil.
Paritas adalah jumlah anak yang telah dilahirkan oleh seorang ibu baik
lahir hidup maupun lahir mati. Seorang ibu yang sering melahirkan mempunyai
risiko
mengalami
anemia
pada
kehamilan
berikutnya
apabila
tidak
memperhatikan kebutuhan nutrisi. Karena selama hamil zat – zat gizi akan
terbagi untuk ibu dan untuk janin yang dikandungnya. Berdasarkan hasil analisis
11
didapatkan bahwa tidak terdapat hubungan antara paritas dengan kejadian anemia
pada ibu hamil, ibu hamil dengan paritas tinggi mempunyai risiko 1.454 kali
lebih besar untuk mengalami anemia dibanding yang paritas rendah ( Djamilus
dan Herlina, 2008)
Jarak kelahiran yang terlalu dekat dapat menyebabkan terjadinya anemia.
Hal ini dikarenakan kondisi ibu masih belum pulih dan pemenuhan kebutuhan zat
gizi belum optimal, sudah harus memenuhi kebutuhan nutrisi janin yang
dikandung ( Wiknjosastro, 2005; Mochtar, 2004). Jarak kelahiran mempunyai
risiko 1,146
kali lebih besar terhadap kejadian anemia ( Amirrudin dan
Wahyuddin, 2004)
2.1.3 Gejala anemia pada ibu hamil
Ibu hamil dengan keluhan lemah, pucat, mudah pingsan, dengan tekanan
darah dalam batas normal, perlu dicurigai anemia defisiensi besi. Dan secara
klinis dapat dilihat tubuh yang pucat dan tampak lemah (malnutrisi). Guna
memastikan seorang ibu menderita anemia atau tidak, maka dikerjakan
pemeriksaan kadar Hemoglobin dan pemeriksaan darah tepi. Pemeriksaan
Hemoglobin dengan spektrofotometri merupakan standar ( Wiknjosastro, 2005).
Proses kekurangan zat besi sampai menjadi anemia melalui beberapa
tahap: awalnya terjadi penurunan simpanan cadangan zat besi dalam bentuk fertin
di hati, saat konsumsi zat besi dari makanan tidak cukup, fertin inilah yang
diambil. Daya serap zat besi dari makanan sangat rendah, Zat besi pada pangan
hewan lebih tinggi penyerapannya yaitu 20 – 30 % sedangkan dari sumber nabati
1-6 %.
Bila terjadi anemia, kerja jantung akan dipacu lebih cepat untuk
12
memenuhi kebutuhan O2 ke semua organ tubuh, akibatnya penderita
sering
berdebar dan jantung cepat lelah. Gejala lain adalah lemas, cepat lelah, letih, mata
berkunang kunang, mengantuk, selaput lendir , kelopak mata, dan kuku pucat
(Sin sin, 2008).
2.1.4 Derajat anemia pada ibu hamil dan penentuan kadar hemoglobin
Ibu hamil dikatakan anemia bila kadar hemoglobin atau darah merahnya
kurang dari 11,00 gr%. Menururt Word Health Organzsation (WHO) anemia
pada ibu hamil adalah kondisi ibu dengan kadar Hb < 11 % . Anemia pada ibu
hamil di Indonesia sangat bervariasi, yaitu: Tidak anemia : Hb >11 gr%, Anemia
ringan
: Hb 9-10.9 gr%, Anemia sedang : Hb 7-8.9 gr%, Anemia berat
: Hb
< 7 gr% ( Depkes, 2009 ; Shafa, 2010 ; Kusumah, 2009 ).
Pengukuran Hb yang disarankan oleh WHO ialah dengan cara cyanmet,
namun cara oxyhaemoglobin dapat pula dipakai asal distandarisir terhadap cara
cyanmet. Sampai saat ini baik di Puskesmas maupun di Rumah Sakit masih
menggunakan alat Sahli. Dan pemeriksaan darah dilakukan tiap trimester dan
minimal dua kali selama hamil yaitu pada trimester I dan trimester III ( Depkes ,
2009; Kusumah, 2009 ).
Metoda Cyanmethemoglobin ini cukup teliti dan dianjurkan oleh
International Committee for Standardization in Hemathology (ICSH). Menurut
cara ini darah dicampurkan dengan larutan drapkin untuk memecah hemoglobin
menjadi cyanmethemoglobin, daya serapnya kemudian diukur pada 540 mm
dalam kalorimeter fotoelekrit atau spektrofotometer. Cara penentuan Hb yang
banyak dipakai di Indonesia ialah Sahli. Cara ini untuk di lapangan cukup
13
sederhana tapi ketelitiannya perlu dibandingkan dengan cara standar yang
dianjurkan WHO (Masrizal, 2007).
2.1.5 Prevalensi anemia kehamilan
Diketahui bahwa 10% - 20% ibu hamil di dunia menderita anemia pada
kehamilannya. Di dunia 34 % terjadi anemia pada ibu hamil dimana 75 % berada
di negara sedang berkembang (WHO, 2005 dalam Syafa, 2010). Prevalensi
anemia pada ibu hamil di Negara berkembang 43 % dan 12 % pada wanita hamil
di daerah kaya atau Negara maju ( Allen, 2007 ). Di Indonesia prevalensi anemia
kehamilan relatif tinggi, yaitu 38% -71.5% dengan rata-rata 63,5%, sedangkan
di Amerika Serikat hanya 6% ( Syaifudin, 2006). Di Bali prevalensi anemia pada
ibu hamil tahun 2007 yaitu 46,2 % (Ani dkk, 2007)
Di RSUD Wangaya Kota
Denpasar ibu hamil aterm dengan anemia 25,6 % ( CM. RSUD Wangaya, 2010).
Tingginya prevalensi anemia pada ibu hamil sebagian besar penyebabnya adalah
kekurangan zat besi yang diperlukan untuk pembentukan hemoglobin (Saifudin,
2006 dan Saspriyana, 2010).
Kematian ibu akibat anemia di beberapa Negara berkembang berkisar 27
per kelahiran hidup ( KH ) di India, dan 194 per 100 000 kelahiran hidup di
Pakistan ( Allen, 2007 ). Menurut WHO 40% kematian ibu di negara berkembang
berkaitan dengan anemia dalam kehamilan. (Saifudin, 2006 dan Saspriyana,
2010). Sedangkan di Kota Denpasar tahun 2008 kematian ibu 42 per KH dan
20 % disebabkan oleh karena anemia (Profil Kesehatan Kota Denpasar , 2008 ).
Masalah yang dihadapi pemerintah Indonesia adalah masih tingginya prevalensi
anemia pada ibu hamil dan sebagian besar penyebabnya adalah kekurangan zat
14
besi untuk pembentukan haemoglobin. Keadaan kekurangan zat besi pada ibu
hamil akan menimbulkan gangguan atau hambatan pada pertumbuhan baik sel
tubuh maupun sel otak janin ( Depkes , 2009) .
2.1.6 Transfer zat besi ke janin
Menrut Allen ( 2007) Transfer zat besi dari ibu ke janin di dukung oleh
peningkatan substansial dalam penyerapan zat besi ibu selama kehamilan dan
diatur oleh plasenta. Serum fertin meningkat
pada umur kehamilan 12 – 25
minggu, Kebanyakan zat besi ditransfer ke janin setelah umur kehamilan 30
minggu yang sesuai dengan waktu puncak efisiensi penyerapan zat besi ibu.
Serum transferin membawa zat besi dari sirkulasi ibu untuk transferin reseptor
yang terletak pada permukaan apikal dan sinsitiotropoblas plasenta, holotransferin
adalah endocytosied ; besi dilepaskan dan apotransferin dikembalikan ke sirkulasi
ibu. Zat besi kemudian bebas mengikat fertin dalam sel – sel plasenta yang akan
dipindahkan ke apotransferrin yang masuk dari sisi plasenta dan keluar sebagai
holotransferrin ke dalam sirkulasi janin. Plasenta sebagai transfortasi zat besi dari
ibu ke janin. Ketika status gizi ibu yang kurang, jumlah reseptor transferrin
plasenta meningkat sehingga zat besi lebih banyak diambil oleh plasenta dan
ditransfortasi untuk janin serta zat besi yang berlebihan untuk janin dapat dicegah
oleh sintesis plasenta fertin.
2.1.7 Pengaruh anemia terhadap kehamilan
Anemia dalam kehamilan memberi pengaruh kurang baik bagi ibu, baik
dalam kehamilan, persalinan, maupun nifas dan masa selanjutnya. Penyulitpenyulit yang dapat timbul akibat anemia adalah : keguguran (abortus), kelahiran
15
prematurs, persalinan yang lama akibat kelelahan otot rahim di dalam
berkontraksi (inersia uteri), perdarahan pasca melahirkan karena tidak adanya
kontraksi otot rahim (atonia uteri), syok, infeksi baik saat bersalin maupun pasca
bersalin, serta anemia yang berat (<4 gr%) dapat menyebabkan dekompensasi
kordis. Hipoksia akibat anemia dapat menyebabkan syok dan kematian ibu pada
persalinan (Wiknjosastro, 2005; Saifudin, 2006 ).
Pengaruh anemia pada kehamilan. Risiko pada masa antenatal: berat
badan kurang, plasenta previa, eklamsia, ketuban pecah dini, anemia pada masa
intranatal dapat terjadi tenaga untuk mengedan lemah, perdarahan intranatal,
shock, dan masa pascanatal dapat terjadi subinvolusi. Sedangkan komplikasi
yang dapat terjadi pada neonatus : premature, apgar scor rendah, gawat janin
(Anonim,”tt”). Bahaya pada Trimester II dan trimester III, anemia dapat
menyebabkan terjadinya partus premature, perdarahan ante partum, gangguan
pertumbuhan janin dalam rahim, asfiksia intrapartum sampai kematian, gestosis
dan mudah terkena infeksi, dan dekompensasi kordis hingga kematian ibu
(Mansjoer dkk., 2008 ).
Bahaya anemia pada ibu hamil saat persalinan, dapat menyebabkan
gangguan his primer, sekunder, janin lahir dengan anemia, persalinan dengan
tindakan-tindakan tinggi karena ibu cepat lelah dan gangguan perjalanan
persalinan perlu tindakan operatif (Mansjoer dkk., 2008). Anemia kehamilan
dapat menyebabkan kelemahan dan kelelahan sehingga akan mempengaruhi ibu
saat mengedan untuk melahirkan bayi ( Smith et al., 2010 ).
16
Bahaya anemia pada ibu hamil saat persalinan: gangguan his-kekuatan
mengejan, Kala I dapat berlangsung lama dan terjadi partus terlantar, Kala II
berlangsung lama sehingga dapat melelahkan dan sering memerlukan tindakan
operasi kebidanan, Kala III dapat diikuti retensio plasenta, dan perdarahan post
partum akibat atonia uteri, Kala IV dapat terjadi perdarahan post partum sekunder
dan atonia uteri. Pada kala nifas : Terjadi subinvolusi uteri yang menimbulkan
perdarahan post partum, memudahkan infeksi puerperium, pengeluaran ASI
berkurang, dekompensasi kosrdis mendadak setelah persalinan, anemia kala nifas,
mudah terjadi infeksi mammae ( Shafa, 2010 ; Saifudin, 2006)
Hasil penelitian oleh Indriyani dan Amirudin ( 2006) di RS Siti Fatimah
Makasar menunjukkan
bahwa faktor risiko anema ibu hamil < 11 gr %
mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian partus lama. Ibu yang
mengalami kejadian anemia memiliki risiko mengalami partus lama 1,681 kali
lebih besar dibandingkan dengan ibu yang tidak anemia tapi tidak bermakna
secara statistik. Ini diduga karena terjadi ketidakseragaman pengambilan kadar Hb
dan pada kontrolnya ada yang kadar Hb nya diambil pada trimester 1 dan bisa saja
pada saat itu ibu sedang anemia. Ibu hamil yang anemia bisa mengalami gangguan
his/gangguan mengejan yang mengakibatkan partus lama. Kavle et al, ( 2008)
pada penelitianya menyatakan bahwa perdarahan pada ibu setelah melahirkan
berhubungan dengan anemia pada kehamilan 32 minggu. Kehilangan darah lebih
banyak pada anemia berat dan kehilangan meningkat sedikit pada wanita anemia
ringan dibandingkan dengan ibu yang tidak anemia .
17
Pertumbuhan plasenta dan janin terganggu disebabkan karena terjadinya
penurunan Hb yang diakibatkan
karena selama hamil volume darah 50 %
meningkat dari 4 ke 6 L, volume plasma meningkat sedikit yang menyebabkan
penurunan konsentrasi Hb dan nilai hematokrit. Penurunan ini akan lebih kecil
pada ibu hamil yang mengkonsumsi zat besi. Kenaikan volume darah berfungsi
untuk memenuhi kebutuhan perfusi dari plasenta dan untuk penyediaan cadangan
saat kehilangan darah waktu melahirkan. Selama kehamilan rahim, plasenta dan
janin memerlukan aliran darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan nutrisi
(Smitht et al., 2010 ).
Pertumbuhan janin yang lambat, kekurangan gizi pada janin, kelahiran
prematur dan berat badan bayi lahir yang rendah, yaitu sebesar 38,85%,
merupakan penyebab kematian bayi. Sedangkan penyebab lainnya yang cukup
banyak terjadi adalah kejadian kurangnya oksigen dalam rahim (hipoksia
intrauterus) dan kegagalan nafas secara spontan dan teratur pada saat lahir atau
beberapa saat setelah lahir (asfiksia lahir), yaitu 27,97%. Hal ini menunjukkan
bahwa 66,82% kematian perinatal dipengaruhi pada kondisi ibu saat melahirkan.
Jika dilihat dari golongan sebab sakit, kasus obstetri terbanyak pada tahun 2005
adalah disebabkan penyulit kehamilan, persalinan dan masa nifas lainnya yaitu
56,09% ( Depkes, 2009 ).
Budwiningtjastuti dkk. ( 2005) melakukan penelitian anemia pada ibu
hamil tri wulan III dan pengaruhnya terhadap kejadian rendahnya Scor Apgar,
didapatkan hasil bahwa ibu hamil dengan anemia < 11 gr % meningkatkan risiko
rendahnya scor Apgar. Demikian pula penlitian yang dilakukan di kabupaten
18
Labuan Batu oleh Simanjuntak ( 2008 ) meneliti hubungan anemia pada ibu
hamil dengan kejadian BBLR didapatkan 86 (53 %)
anemia dari 162 kasus.
Dan yang melahirkan bayi dengan BBLR 36.0 %. Hasil penelitian Karafsahin et
al. (2007) menunjukkan bahwa ibu hamil dengan anemia , empat kali lebih
berisiko
melahirkan bayi premature dan 1.9 kali berisiko melahirkan bayi berat
lahir rendah (BBLR) dari pada ibu hamil yang tidak anemia.
2.1.8 Pencegahan dan penanganan anemia pada ibu hamil
Pencegahan anemia pada ibu hamil dapat dilakukan antara lain dengan
cara: meningkatkan konsumsi zat besi dari makanan, mengkonsumsi pangan
hewani dalam jumlah cukup, namun karena harganya cukup tinggi sehingga
masyarakat sulit menjangkaunya. Untuk itu diperlukan alternatif yang lain untuk
mencegah anemia gizi besi, memakan beraneka ragam makanan yang memiliki
zat gizi saling melengkapi termasuk vitamin yang dapat meningkatkan penyerapan
zat besi, seperti vitamin C. Peningkatan konsumsi vitamin C sebanyak 25, 50, 100
dan 250 mg dapat meningkatkan penyerapan zat besi sebesar 2, 3, 4 dan 5 kali.
Buah-buahan segar dan sayuran sumber vitamin C, namun dalam proses
pemasakan 50 - 80 % vitamin C akan rusak. Mengurangi konsumsi makanan yang
bisa menghambat penyerapan zat besi seperti : fitat, fosfat, tannin ( Wiknjosastro,
2005 ; Masrizal, 2007).
Penanganan anemia defisiensi besi adalah dengan preparat besi yang
diminum (oral) atau dapat secara suntikan (parenteral). Terapi oral adalah dengan
pemberian preparat besi : fero sulfat, fero gluconat, atau Na-fero bisitrat.
Pemberian preparat 60 mg/hari dapat menaikkan kadar Hb sebanyak 1 gr% per
19
bulan. Sedangkan pemberian preparat parenteral adalah dengan ferum dextran
sebanyak 1000 mg (20 ml) intravena atau 2×10 ml secara intramuskulus, dapat
meningkatkan hemoglobin relatif cepat yaitu 2gr%. Pemberian secara parenteral
ini hanya berdasarkan indikasi, di mana terdapat intoleransi besi pada traktus
gastrointestinal, anemia yang berat, dan kepatuhan pasien yang buruk. Pada
daerah-daerah dengan frekuensi kehamilan yang tinggi dan dengan tingkat
pemenuhan nutrisi yang minim, seperti di Indonesia, setiap wanita hamil haruslah
diberikan sulfas ferosus atau glukonas ferosus sebanyak satu tablet sehari selama
masa kehamilannya. Selain itu perlu juga dinasehatkan untuk makan lebih banyak
protein dan sayur-sayuran yang mengandung banyak mineral serta vitamin
(Sasparyana, 2010 ; Wiknjosastro 2005).
Kenaikan volume darah selama kehamilan akan meningkatkan kebutuhan
Fe atau Zat Besi. Jumlah Fe pada bayi baru lahir kira-kira 300 mg dan jumlah
yang diperlukan ibu untuk mencegah anemia akibat meningkatnya volume darah
adalah 500 mg. Selama kehamilan seorang ibu hamil menyimpan zat besi kurang
lebih 1.000 mg termasuk untuk keperluan janin, plasenta dan hemoglobin ibu
sendiri.
Kebijakan nasional yang diterapkan di seluruh Pusat Kesehatan
Masyarakat adalah pemberian satu tablet besi sehari sesegera mungkin setelah
rasa mual hilang pada awal kehamilan. Tiap tablet mengandung FeSO4 320 mg
(zat besi 60 mg) dan asam folat 500 µg, minimal masing-masing 90 tablet. Tablet
besi sebaiknya tidak diminum bersama teh atau kopi, karena akan mengganggu
penyarapannya ( Depkes RI, 2009). Menurut Shafa (2010) kebutuhan Fe selama
20
ibu hamil dapat diperhitungkan untuk peningkatan jumlah darah ibu 500 mgr,
pembentukan plasenta 300 mgr, pertumbuhan darah janin 100 mgr.
Sloan et al. ( 1992) ; cook & Redy ( 1996), dan Yp ( 1996) dalam Galegos
(2000) membuktikan bahwa suplemen zat besi dapat meningkatkan kadar
hemoglobin selama
kehamilan. Sedangkan Brien et al. ( 1999) menyatakan
dengan suplemen Fe dibuktikan serum feritin lebih meningkat secara signifikan
disamping itu serum besi lebih tinggi ditemukan pada kelompok pemberian Fe
dibandingkan kelompok kontrol.
2.2 Plasenta
2.2.1 Definisi
Plasenta merupakan
organ multifungsi yang menyediakan oksigen,
homeostasis cairan, nutrisi dan sinyal endokrin bagi janin selama dalam
kandungan sampai terjadinya persalinan. Perfusi plasenta yang tidak adekuat
merupakan hal yang fundamental dalam terjadinya PJT (pertumbuhan janin
terhambat). Gangguan perfusi plasenta yang akan menyebabkan hipoksia
intraplasenta akan mengakibatkan berkurangnya transfer oksigen dan nutrien dari
ibu ke janin sehingga oksigenasi dan pertumbuhan janin akan terganggu.
Kenyataan ini menandai adanya kerusakan endotel atau disfungsi endotel pada
sirkulasi uteroplasenta akibat dari hipoksia intraplasenta (Koesoemawati,2002).
Plasenta adalah organ yang sangat penting untuk menjaga kelangsungan
kehamilan . karena plaseta berperan untuk pertukaran O2 dan transfer nutrisi
dalam pertumbuhan janin. Struktur dan fungsi plasenta akan sangat menentukan
pertumbuhan janin. Untuk pertumbuhan janin dibutuhkan penyaluran zat asam,
21
asam amino, vitamin dan mineral dari ibu ke janin dan pembuangan CO2 serta
sisa metabolisme janin ke peredaran darah ibu ( Wiknjosastro, 2005 ; Saifudin,
2006).
2.2.2
Anatomi plasenta
Plasenta berbentuk bundar dengan diameter 15 – 20 cm dan tebalnya 2.5
cm, berat plasenta bervariasi sesuai dengan berat bayi lahir yaitu 1/6 dari berat
bayi lahir
(Simkin dkk, 2008 ; Rianti dan Resmisari, 2009). Tali pusat
berhubungan dengan plasenta dan insersinya di tengah atau insersio sentral. Bila
agak ke pinggir disebut insersi lateralis dan kalau di pinggir disebut insersi
marginalis.. Plasenta umumnya terbentuk lengkap pada umur kehamilan 16
minggu . Letak plasenta umumnya di depan atau di belakng dinding uterus agak
ke atas keatas rahim / fundus uteri. Hal ini fisiologi karena permukaan korpus
utei lebih luas sehingga lebih banyak tempat untuk berimplantasi ( Mochtar,
2004).
Plasenta terdiri dari tiga bagian menurut Wiknjosastro ( 2005) ; Mochtar
(2004 ) yaitu :
Bagian janin ( foetalportion) teridiri dari korion frotundum dan villi. Villi
yang matang teridri dari villi korialis, ruang – ruang intervillier ; darah ibu yang
berada di ruang intervilier berasal dari arteri spiralis yang berada di desidua
basalia. Pada systole darah disemprotkan dengan tekanan 70 – 80 mm Hg ke
dalam ruang intevillier sampai mencapai lempeng korionik ( chorionic plate)
pangkal dari kotiledon . Darah tersebut membajiri semua villi korialis dan kembali
perlahan-lahan ke pembuluh balik ( vena) di desidua dengan tekanan 80 mm Hg.
22
Pada permukaan janin diliputi oleh amnion, di bawah lapisan amnion berjalan
cabang pembuluh darah tali pusat.
.
Bagian maternal, terdiri dari desidua kompakta yang terbentuk dari
beberapa lobus dan kotiledon yang terdiri dari 15-20 kotiledon. Desidua basalis
pada pasenta matang disebut lempeng korionik, dimana sirkulasi uteoplasental
berjalan ke ruang intervilli melalui tali pusat. Pertukaran terjadi melalui sinsitial
membran. Darah ibu mengalir di seluruh plasenta diperkirakan meningkat dari
300 ml tiap menit pada kehamilan 20 minggu sampai 600 ml tiap menit pada
kehamilan 40 minggu. Seluruh ruang intervilier mempunnyai volume lebih kurang
150 -200 ml. Permukaan semua villiaris diperkirakan seluas 11 meter pesegi,
dengan demikian pertukaran zat terjamin.
Tali Pusat merentang dari pusat janin ke plasenta bagian permukaan janin.
Pajangnya rata-rata 50-55 cm dengan diameter 1 – 2.5 cm , dan terdiri dari 2 arteri
umbilikalis dan 1 vena umbilikalis dan satu jelly warton.
2.2.3
Fungsi plasenta
Adapun fungsi plasenta adalah sebagai alat memberi makan pada janin,
(Nutritif ), sebagai alat yang mengeluarkan sisa metabolisme ( ekskresi), sebagai
alat memberi zat asam ( O2 ) dan mengeluarkan CO2 ( respirasi), sebagai alat
membentuk hormone, sebagai alat menyalurkan antibody ke janin, dan plasenta
dapat pula dilewati kuman- kuman dan obat tertentu (Wiknjosastro, 2005).
Menurut Bobak ( 2005 ) fungsi plasenta sebagai berikut :
Sebagai kelenjar endokrin yang memproduksi empat hormone yang yang
diproduksi di sinsisium, diperlukan untuk mempertahankan kehamilan : a).
23
Hormon protein, human chorionic gonadotropin ( hCG ) dapat dideteksi pada
serum ibu pada hari ke 8 – 10 setelah konsepsi. Hormon ini menjadi dasar tes
kehamilan. Hormon ini berfungsi mempertahankan fungsi korpus luteum ovarium,
menjamin suplai estrogen dan progesterone yang kontinyu untuk mempertahankan
kehamilan.b). Human plasental laktogen ( hPL ) suatu substansi sejenis hormone
yang menstimulasi metabolisme ibu dan digunakan untuk menyuplai nutrient yang
dibutuhkan untuk perkembangan janin. Hormon ini meningkatkan transportasi
glukosa melalui membrane plasenta dan merangsang perkembangan payudara
untuk mempersiapkan laktasi, .c). Estriol, pengukuran kadar estriol merupakan
suatu uji klinis
pertumbuhan.
untuk mengetahui fungsi plasenta, d). Estrogen, merangsang
uterus dan aliran uteroplasetal. Estrogen juga menyebabkan
proliferasi jaringan kelenjar payudara, merangsang kontraksi miometrium, dan
produksinya meningkat pada akhir kehamilan sebagai salah satu penyebab awtitan
persalinan.
Fungsi metabolik yaitu sebagai fungsi respirasi, nutrisi, eksresi dan
penyimpanan. Oksigen berdifusi dari darah ibu melalui membrane plasenta ke
dalam darah janin, sedangkan karbondioksida berdifusi kearah yang berlawanan.
Dengan demikian plasenta berfungsi sebagai paru-paru janin. Air, karbohidrat,
protein, lemak dan vitamin berpindah dari suplai darah ibu melalui membrane
plasenta ke dalam darah janin untuk menyediakan nutrisi. Janin membutuhkan
nutrien dalam kadar lebih tinggi demikian pula glukosa, Mekanisme yang dipakai
untuk memudahkan melekul yang lebih besar seperti albumin dan gamma
globulin,
melalui
membran
plasenta.
Mekanisme
ini
memindahkan
24
immunoglobulin ibu yang memberi janin imunitas pasif dini. Produk limbah
metabolic menembus membrane plasenta dari darah janin ke dalam darah ibu, dan
ginjal ibu akan mengekskresikannya.
Banyak virus yang dapat menembus membran plasenta dan akan
menginfeksi janin. Demikian pula beberapa obat dapat menmbus membrane
plasenta yang dapat membahayakan janin seperti alkohol, kefein, nikotin dan
substansi toksik lain, seperti asap rokok dan obat – obatan, mudah menembus
plasenta. Fungsi plasenta bergantung pada tekanan darah ibu yang menyuplai
sirkulasi.
Pemeriksaan plasenta diharuskan pada setiap setelah persalinan secara
makroskopik ( Koesoemawati, 2002 ). Pemeriksaan plasenta
informasi penting tentang apa yang telah
menunjukkan
terjadi pada janin. Berat plasenta
mencerminkan fungsi dan perkembangan plasenta
yang berkorelasi dengan
faktor ibu yaitu : usia ibu, usia kehamilan, riwayat DM dan Preeklamsia, lama
persalinan, faktor janin : berat badan lahir, apgar score yang rendah, gawat janin.
Dan faktor lain yang mempengaruhi berat plasenta adalah paritas ibu yang tinggi
dan berat badan ibu ( Asgharnia et al., 2007).
Berat plasenta yang tidak proporsional dapat terjadi karena kondisi ibu
seperti : anemia, merokok, social ekonomi rendah. Sebaliknya berat plasenta yang
kecil tidak proporsional dapat menunjukkan pasokan gizi yang kurang ke plasenta
atau hipoksia yang menyebabkan gangguan fungsi plasenta ( Robert et al., 2008).
Pasokan nutrisi yang kurang ke plasenta atau hipoksia akan dapat mengganggu
pertumbuhan plasenta dan janin. Kegagalan fungsi plasenta akibat gangguan
25
oksigenasi dapat menyebabkan permasalahan pada pertumbuhan janin, seperti
kelahiran premature, hipoksia, asfiksia, berat badan lahir rendah ( Wiknjosastro,
2005). Bakker et al. dalam Agharnia et al., (2007) menyatakan bahwa besar
ukuran plasenta dapat menunjukkan tekanan darah tinggi dikemudian hari baik
pada bayi laki maupun perempuan. Berat plasenta yang normal adalah rata-rata
500 gram.
2.2.4
Faktor yang berhubungan dengan berat plasenta
Berat plasenta beruhubungan dengan beberapa faktor penting dan
kelahiran neonatus. Berat plasenta merupakan suatu peringatan yang terkait
dengan pertumbuhan plasenta selama kehamilan. Faktor – faktor yang
berhubungan dengan berat plasenta yaitu usia, paritas, penyakit, pendapatan,
status gizi, merokok ( Robert et al., 2008 ; Asgharnia et al, 2007). Adapun
faktor – faktor yang berhubungan dengan berat plasenta sebagai berikut :
Usia ibu saat hamil > 35 tahun merupakan salah satu factor risiko tinggi
ibu hamil. Banyak wanita yang menunda usia kehamilan bahkan sampai usia 40
tahun, dengan alasan tertentu seperti alasan pendidikan, alasan professional,
pekerjaan, ekonomi ( Gilbert et al.,
1999
dalam Aghamohamaidi A and
Noortarijor M., 2011). Apabila kehamilan diatas usia 35 tahun dapat
mempegaruhi kondisi ibu, usia ibu hamil > 35 tahun memiliki hubungan yang
signifikan dengan preeklamsia, kelahiran bayi
premature, berat badan lahir
rendah dan seksio sesarea. Penyakit hypertensi dapat menyebabkan preeklamsia,
dan akan mempengaruhi
pertumbuhan plasenta yaitu hypertropi plasenta
(Aghamohammadi dan Noortarijor, 2011 ). Kehamilan Usia ibu lebih dari 35
26
tahun akan memepengaruhi vaskularisasi yang berkurang pada desidua atau atrofi
desidua akibat penurunan fungsi dari system reproduksi oleh karena
bertambahnya usia, sehingga aliran darah ke plasenta tidak cukup maka akan
terjadi gangguan oksigenasi yang akan mempengaruhi fungsi plasenta dan
pertumbuhan janin (Wiknjosastro, 2005 ).
Umur seorang ibu berkaitan dengan alat – alat reproduksi wanita. Umur
reproduksi yang sehat dan aman adalah umur 20 – 35 tahun. Kehamilan diusia <
20 tahun dan diatas 35 tahun dapat menyebabkan anemia karena pada kehamilan
diusia < 20 tahun secara biologis belum optimal emosinya cenderung labil,
mentalnya belum matang sehingga mudah mengalami keguncangan yang
mengakibatkan kurangnya perhatian terhadap pemenuhan kebutuhan zat – zat
gizi selama kehamilannya. Sedangkan pada usia > 35 tahun terkait dengan
kemunduran dan penurunan daya tahan tubuh serta berbagai penyakit yang sering
menimpa diusia ini. Hasil penelitianya didapatkan bahwa umur ibu pada saat
hamil sangat berpengaruh terhadap kajadian anemia
(Amiruddin dan
Wahyuddin, 2004). Ibu hamil dengan anemia akan berhubngan dengan fungsi
plasenta karena terjadi gangguan penyaluran O2 dan zat makanan dari plasenta ke
janin .Plasenta menunjukkan adanya hipertropi, kalsifikasi dan infark sehingga
fungsinya tergangg. Hal ini menyebabkan
gangguan pertumbuhan janin
(Wiknjosastro, 2005 ). Penelitian Asgharnia et al., (2007) menunjukkan berat
plasenta lebih tinggi pada usia >35 tahun dan lebih rendah pada usa < 19 tahun.
Paritas adalah jumlah anak yang dikandung dan dilahirkan oleh ibu. Pada
ibu dengan paritas yang tinggi, vaskularisasi yang berkurang atau perubahan
27
atropi pada desidua akibat persalinan yang lampau sehingga aliran darah ke
plasenta tidak cukup, hal ini akan dapat mengganggu fungsinya yang akan
berdampak pada pertumbuhan janin. Paritas dikatakan tinggi bila seorang
ibu/wanita melahirkan anak keempat atau lebih ( Wiknjosastro, 2005 ). Wanita
dengan paritas yang tinggi lebih memungkinkan melahirkan berat plasenta yang
lebih atau hipertrophy dibandingkan dengan nulipara ( Robert et al., 2008 ).
Penyakit dapat mengganggu proses fisiologis metabolisme dan pertukaran
gas pada janin. Preeklampsia ialah penyakit dengan tanda-tanda hipertensi, edema
dan proteinuria yang timbul karena kehamilan. Eklampsia adalah kelainan akut
pada wanita hamil, dalam persalinan yang ditandai dengan kejang dan koma.
Kondisi tersebut dapat mempengaruhi plasenta dan uterus karena aliran darah ke
plasenta menurun sehingga terjadi gangguan fungsi plasenta. Secara fisiologis
akan terjadi penurunan aliran darah ke plasenta mengakibatkan gangguan fungsi
plasenta. Pada hipertensi yang agak lama dapat mempengaruhi perkembangan
janin, sehingga mudah terjadi partus premature,
pada hipertensi yang lebih
pendek dapat tejadi gawat janin sampai kematian karena kekurangan oksigenasi.
Pada preeklamsia perubahan plasenta terjadinya spasmus arteriola spiralis desidua
dengan akibat menurunnya aliran darah ke plasenta. Pada preeklamsia yang jelas
adalah atropi sinsitium, pada hipertensi menahun terutama terdapat perubahan
pada pembuluh darah, dan stroma. Arteria spiralis mengalami kontriksi dan
penyempitan akibat arterosis akut ( Wiknjosastro, 2005). Ibu yang hipertensi dua
kali berisiko memproduksi pertumbuhan berat plasenta ( Robert et al., 2008 )
28
Pre-eklampsi dan eklampsi. Pada pre-eklampsi terjadi spasme pembuluh
darah disertai dengan retensi garam dan air. Jika semua arteriola dalam tubuh
mengalami spasme, maka tekanan darah akan naik, sebagai usaha untuk
mengatasi kenaikan tekanan perifer agar oksigen jaringan dapat dicukupi. Maka
aliran darah menurun ke plasenta dan menyebabkan gangguan pertumbuhan janin
dan karena kekurangan oksigen terjadi gawat janin ( Mochtar, 2004 ).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa berat plasenta pada ibu hamil dengan
preeklamsia lebih tinggi dibandingkan ibu hamil dengan Diabetes Militus
(Asgharnia et al., 2007 ).
Anemia pada ibu hamil adalah suatu keadaan yang menunjukkan kadar
hemoglobin (Hb) di dalam darah lebih rendah dari nilai normal yaitu 11 g/100 ml.
Kehamilan memerlukan tambahan zat besi untuk meningkatkan jumlah sel darah
merah dan membentuk sel darah merah janin dan plasenta. Selama hamil volume
darah meningkat 50 % dari 4 ke 6 L, volume plasma meningkat sedikit
menyebabkan penurunan konsentrasi Hb dan nilai hematokrit. Penurunan ini
lebih kecil pada ibu hamil yang mengkonsumsi zat besi. Kenaikan volume darah
berfungsi untuk memenuhi kebutuhan perfusi dari uteroplasenta ( Smith et al.,
2010 ). Penelitian lain yang dilakukan tentang efek dari jenis dan jangka waktu
anemia terhadap berat plasenta dan histology villi di Nigeria ditemukan 32
(30%) ibu anemia dari 100 orang ibu hamil. Berat plasenta meningkat tidak
tergantung pada type anemia. Pada villi plasenta ditemukan insiden fibrosa dari
400 villi, 100 vlli yang fibrosis. Dari penelitiannya dinyatakan bahwa berat
29
plasenta menjadi meningkat pada anemia, histological villi fibrosis yang menjadi
cirri khas dari plasenta pada anemia ( Agboola, 1979).
Sedangkan Robert et al., melaksanakan penelitian di 12 Rumah Sakit di
Amerika Serikat tahun 2008 tentang faktor risiko ibu (umur, pendidikan,
pendapatan, perokok atau tidak dan anemia ) terhadap pertumbuhan plasenta,
dengan pertumbuhan ketebalan plasenta serta area chorionic plasenta.ditemukan
21.5 % anemia pada ibu hamil dari 34.345 ibu hamil dan lebih memungkinkan
akan mengalami hiperttropik plasenta yang akan mempengaruhi berat plasenta.
Infeksi dalam kehamilan. Kehamilan tidak mengubah daya tahan tubuh
seorang ibu terhadap infeksi, namun keparahan setiap infeksi berhubungan dengan
efeknya terhadap janin. Infeksi mempunyai efek langsung dan tidak langsung
pada janin. Efek tidak langsung timbul karena mengurangi oksigen darah ke
plasenta, sehingga dapat mengganggu fungsi plasenta Efek langsung tergantung
pada kemampuan organisme penyebab menembus plasenta dan menginfeksi janin,
sehingga dapat mengakibatkan kematian janin dalam kandungan (Wiknjosastro,
2005 ). Plasenta dengan infeksi malaria akan dapat melahirkan BBLR karena
fungsi plasenta terganggu sehingga berat plasenta kecil. Malaria pada ibu sering
bermanifestasi pada ibu hamil dan melahirkan BBLR
yang berisiko
meningkatkan morbiditas dan mortalitas ( Fried, et al., 1998 ).
Gizi yang kurang akan menyebabkan pertumbuhan janin terganggu baik
secara langsung maupun oleh nutrisi yang kurang ataupun tidak langsung akibat
fungsi plasenta terganggu. Status gizi dan nutrisi ibu sangat berpengaruh pada
pertumbuhan plasenta dan janin. Wanita yang kurus dan kehilangan berat badan
30
ataupun mempunyai pertambahan berat badan sangat rendah selama hamil , maka
akan menggunakan protein tubuhnya untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri
dan janin.
Pengaruh terbesar adalah ibu yang memiliki berat badan rendah
sehingga cadangan nutrisi juga sedikit ( Setiawan dan Dasuki, 1995 ). Dengan
demikian akan terjadi kompetisi antara ibu, janin dan
plasenta untuk
mendapatkan nutrisi dan hal ini akan berpengaruh terhadap pertumbuhan plasenta
serta janin yang akan berdampak pada berat lahir bayi dan berat plasenta.
Pendapatan
ibu hamil
yang rendah akan terkait dengan pemenuhan
kebutuhan nutrisi saat kehamilan. Asupan nutrisi yang kurang pada ibu hamil
akan berpengaruh terhadap pertumbuhan plasenta dan janin. Ibu rumah tangga
yang berpendapatan < $ 5000 pertahun , 20 % memiliki pembatasan pertumbuhan
ketebalan plasenta dan > 19-20% menunujukkan hipertropi plasenta
yang
berpengaruh terhadap berat plasenta dibandingkan ibu rumah tangga yang
berpendapatan > $ 5000 ( Robert et al., 2008 ).
Asap rokok berdampak pada pertumbuhan janin oleh karena beberapa
bahan rokok seperti nikotin, CO2 dan polycyclic aroamatic hydrocarbons
diketahui dapat menembus plasenta yang dapat mempengaruhi terngganggunya
fungsi plasenta ( Asgharnia et al., 2007 ).
2.2.5
Cara pengukuran plasenta
Plasenta yang diukur harus memenuhi syarat sebagai berikut : plasenta
lahir secara utuh, dan merupakan plasenta yang lengkap memiliki tali pusat yang
mengandung dua arteri dan satu vena. Plasenta berbentuk hampir bulat dengan
ketebalan yang tidak merata, sehingga diambil satu ukuran dengan jangka sorong
31
yang dianggap mewakili tebal plasenta. Diameter plasenta diukur dengan meteran,
pengukuran berat plasenta menggunakan timbangan Lion Star berkapasitas 2 kg
dengan sensitifitas 10 g dalam keadaan plasenta masih hangat setelah dilahirkan
dan belum dicuci serta sebelum ditimbang jarum timbangan menunjukan angka
ketelitian nol, catat berat pasenta
pada angka yang telah ditunjukkan jarum
timbangan dengan teliti ( Anonim,(“tt”) ).
2.3 Berat Badan Lahir
2.3.1 Definisi berat badan lahir
Berat badan merupakan ukuran antropometrik yang terpenting,dipakai
pada setiap kesempatan memeriksa kesehatan anak pada semua kelompok umur.
Berat badan merupakan hasil peningkatan/penurunan dari tulang, otot, lemak,
cairan tubuh. Berat badan dipakai sebagai indikator terbaik pada saat ini untuk
mengetahui keadaan gizi dan tumbuh kembang anak ( Sistiarini, 2008 ).
Pada umumnya bayi dilahirkan setelah dikandung 37 – 42 minggu masa
gestasi. Berat bayi lahir yang normal rata-rata adalah antara ≥ 2500 – 4000 gram,
dan bila di bawah atau kurang dari 2500 gram (sampai 2499 gram) dikatakan
Berat Badan Lahir Rendah ( BBLR ). Berat badan bayi lahir adalah berat bayi saat
lahir yang ditimbang segera setelah lahir. Pengukuran berat badan bayi lahir
dapat dilakukan dengan menggunakan timbangan yang relatif murah, mudah dan
tidak memerlukan banyak waktu. Berat badan bayi lahir dapat diklasifikasikan
menjadi 2 yaitu berat badan lahir rendah dan berat badan lahir normal (BBLN ),
(Wiknjosastro, 2005 ; Sistiarini, 2008 ).
32
Klasifikasi bayi menurut umur kehamilan dibagi dalam 3 kelompok yaitu
bayi kurang bulan adalah bayi dengan masa kehamilan kurang dari 37 minggu
(259 hari), bayi cukup bulan adalah bayi dengan masa kehamilan dari 37 minggu
sampai dengan 42 minggu (259 -293 hari), dan bayi lebih bulan adalah bayi
dengan masa kehamilan mulai 42 mg atau lebih ( Wiknjosastro, 2005 ;
Koesoemawati, 2002 ).
BBLR adalah neonatus dengan berat badan lahir pada saat kelahiran
kurang dari 2500 gram ( sampai 2499 gram). Dahulu bayi ini dikatakan premature
kemudian disepakati disenut Low birth weigth infant atau Berat Bayi Lahir
Rendah. Karena bayi tersebut tidak selamanya prematur atau kurang bulan tetapi
dapat cukup bulan maupun lebih bulan.
(Bobak, 2005 ; Wikjosastro, 2005;
Depkes, 2009 ).
Dari pengertian di atas maka bayi dengan BBLR dapat dibagi menjadi 2
golongan, yaitu : a). Prematur murni adalah neonatus dengan usia kehamilan
kurang dari 37 minggu dan mempunyai berat badan sesuai dengan berat badan
untuk masa kehamilan, atau biasa disebut neonatus kurang bulan sesuai masa
kehamilan, b). Dismaturitas atau Kecil untuk masa kehamilan adalah bayi lahir
dengan berat badan kurang dari berat badan sesungguhnya untuk masa kehamilan.
Hal ini karena janin mengalami gangguan pertumbuhan dalam kandungan dan
merupakan bayi yang kecil untuk masa kehamilan ( KMK ), (Wiknjosastro, 2005)
Bayi berat lahir rendah merupakan faktor kecenderungan peningkatan
terjadinya infeksi, kesukaran mengatur nafas tubuh sehingga mudah untuk
menderita hipotermia. Selain itu bayi dengan Berat Bayi Lahir Rendah mudah
33
terserang komplikasi tertentu seperti
ikterus, hipoglikomia
yang dapat
menyebabkan kematian. Kelompok bayi berat lahir rendah yang dapat di
istilahkan dengan kelompok resiko tinggi, karena pada bayi berat lahir rendah
menunjukan angka kematian dan kesehatan yang lebih tinggi dengan berat bayi
lahir cukup. Angka kejadian di Indonesia sangat bervariasi antara satu daerah
dengan daerah lain. Riskedas 2007, mendata berat badan bayi baru lahir 12 bulan
terakhir. Tidak semua bayi diketahui berat badan hasil penimbangan waktu baru
lahir. Dari bayi yang diketahui berat badan hasil penimbangan waktu baru lahir,
berdasarkan SKRT dan Riskedas 2007 bahwa 11,5 % lahir dengan berat badan
kurang dari 2500 gram atau BBLR ( Depkes , 2009).
Pertumbuhan janin normal berkembang dan tergantung pada beberapa
faktor yaitu : faktor janin diantaranya kelainan janin, faktor etnik dan ras
diantaranya disebabkan oleh faktor genetik dan lingkungan, serta faktor kelainan
kongenital yang berat pada bayi sehingga seringkali mengalami retardasi
pertumbuhan sehingga berat badan lahirnya rendah. Selain itu faktor ibu juga
mempengaruhi pertumbuhan janin diantaranya : jenis kehamilan ganda ataupun
tunggal, serta keadaan ibu. Faktor plasenta juga mempengaruhi pertumbuhan
janin yaitu besar dan berat plasenta, tempat melekat plasenta pada uterus, tempat
insersi tali pusat, kelainan plasenta. Kelainan plasenta terjadi karena tidak
berfungsinya plasenta dengan baik sehingga menyebabkan gangguan sirkulasi
oksigen dalam plasenta. Lepasnya sebagian plasenta dari perlekatannya dan posisi
tali pusat yang tidak sesuai dengan lokasi pembuluh darah yang ada di plasenta
34
dapat mengakibatkan terjadinya gangguan aliran darah plasenta ke bayi ( Huliah,
2006 ).
2.3.2 Faktor yang mempengaruhi berat badan lahir
Berat badan lahir merupakan hasil interaksi dari berbagai faktor melalui
suatu proses yang berlangsung selama berada dalam kandungan. Faktor-faktor
yang dapat mempengaruhi berat badan lahir adalah : a). Faktor Internal, yaitu
meliputi umur ibu, jarak kelahiran, paritas, kadar hemoglobin, status gizi ibu
hamil, pemeriksaan kehamilan, dan penyakit pada saat kehamilan.b).
Faktor
Eksternal, yaitu meliputi kondisi lingkungan, dan tingkat sosial ekonomi ibu
hamil.c).
Faktor penggunaan sarana kesehatan yang berhubungan frekuensi
pemeriksaan antenatal ( Bobak, 2005 ).
Faktor yang secara langsung atau internal mempengaruhi berat badan
lahir antara lain sebagai berikut :
Usia Ibu hamil. Umur ibu erat kaitannya dengan berat badan lahir. Pada
umur yang masih muda, perkembangan organ-organ reproduksi dan fungsi
fisiologinya belum optimal. Hamil usia remaja , karena pada kelompok usia ini
kebutuhan nutrisi dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan dirinya
sendiri dan juga untuk janinya dan plasenta. hal ini akan dapat mempengaruhi
berat badan bayi saat dilahirkan. Selain itu emosi dan kejiwaannya belum cukup
matang, sehingga pada saat kehamilan ibu tersebut belum dapat menanggapi
kehamilannya . Kehamilan dibawah umur 20 tahun merupakan kehamilan berisiko
tinggi, lebih tinggi di bandingkan dengan kehamilan pada wanita yang cukup
umur ( Wiknjosastro, 2005 ).
35
Selain itu semakin muda usia ibu hamil, maka anak yang dilahirkan akan
semakin ringan. Meski kehamilan dibawah umur sangat berisiko tetapi kehamilan
diatas usia 35 tahun juga tidak dianjurkan, sangat berbahaya. Mengingat mulai
usia ini sering muncul penyakit salah satu seperti hipertensi yang akan
menyebabkan preeklamsia dan eklamsia. Pre-eklampsi dan eklampsia. Pada preeklampsi terjadi spasme pembuluh darah disertai dengan retensi garam dan air.
Jika semua arteriola dalam tubuh mengalami spasme, maka tekanan darah akan
naik, sebagai usaha untuk mengatasi kenaikan tekanan perifer agar oksigen
jaringan dapat dicukupi. Maka aliran darah menurun ke plasenta dan
menyebabkan gangguan pertumbuhan janin dan karena kekurangan oksigen
terjadi gawat janin yang akan berdampak pada berat bayi lahir (Mochtar, 2004).
Ibu dengan katagori umur berisiko ( < 20 tahun dan > 35 tahun ) mempunyai
peluang untuk melahirkan BBLR dibandingkan dengan ibu yang umurnya tidak
berisiko ( Sistiarini, 2008 ).
Paritas dan jarak kelahiran. Paritas adalah jumlah anak yang dikandung
dan dilahirkan oleh ibu. Pada ibu dengan paritas yang tinggi, vaskularisasi yang
berkurang atau perubahan atropi pada desidua akibat persalinan yang lampau
sehingga aliran darah ke plasenta tidak cukup, hal ini akan dapat mengganggu
fungsinya yang akan berdampak pada pertumbuhan janin ( Wiknjosastro, 2005 ).
Ibu dengan paritas > 4, melahirkan bayi dengan BBLR 20,2% (Simanjuntak,
2009).
Menurut anjuran yang dikeluarkan oleh badan koordinasi keluarga
berencana ( BKKBN ) jarak kelahiran yang ideal adalah 2 tahun atau lebih, karena
jarak kelahiran yang pendek akan menyebabkan seorang ibu belum cukup untuk
36
memulihkan kondisi tubuhnya setelah melahirkan sebelumnya. Jarak kehamilan
yang pendek cenderung akan menguras nutrisi ibu dari kehamilan dan hilangnya
darah selama melahirkan, juga selama laktasi yang dapat menguragi nutrisi ibu
melaui pemberian Asi. Sehingga ibu hamil ini cenderung menderita status gizi
kurang sampai buruk yang dapat berkorelasi dengan berat lahir bayi, dan sering
melahirkan bayi berat badan lahir rendah
( Syaifudin, 2006 ). Sistiarni, ( 2008 )
juga menyatakan jarak kelahiran < 2 tahun memilki peluang untuk melahirkan
BBLR 5,11 kali dibandingkan dengan ibu yang melahirkan anak dengan jarak > 2
tahun.
Kadar Hb < 11 gr %. Kadar Hb ibu hamil sangat mempengaruhi berat bayi
yang dilahirkan. Seorang ibu hamil dikatakan menderita anemia bila kadar
hemoglobinnya dibawah 11 gr/dl. Hal ini jelas menimbulkan gangguan
pertumbuhan hasil konsepsi, sering terjadi immaturitas, prematuritas, cacat
bawaan, atau janin lahir dengan berat badan yang rendah
(Depkes,
Keadaan ini disebabkan karena kurangnya suplai oksigen dan
nutrisi
2009).
pada
placenta yang akan berpengaruh pada fungsi plasenta terhadap pertumbuhan
janin. Hasil pnelitian Hilli AL. (2009) menyatakan adanya hubungan yang linier
antara anemia ibu hamil dengan berat badan bayi lahir. Berat badan bayi lahir
rendah dtemukan pada ibu hamil dengan anemia berat, sementara berat badan
lahir masih dalam batas normal pada ibu hamil dengan anemia ringan dan anemia
sedang meskipun lebih rendah dibandingkan dari ibu hamil tidak anemia.
Status Gizi Ibu Hamil. Status gizi ibu pada waktu pembuahan dan selama
hamil dapat mempengaruhi pertumbuhan janin yang sedang dikandung. Selain itu
37
gizi ibu hamil menentukan berat bayi yang dilahirkan, maka pemantauan gizi ibu
hamil sangatlah penting dilakukan. Gizi yang kurang akan menyebabkan
pertumbuhan janin terganggu baik secara langsung maupun oleh nutrisi yang
kurang ataupun tidak langsung fungsi plasenta terganggu. Status gizi dan nutrisi
ibu sangat berpengaruh pada pertumbuhan janin. Wanita yang kurus dan
kehilangan berat badan ataupun mempunyai pertambahan berat badan sangat
rendah selama hamil,
maka akan menggunakan protein tubuhnya untuk
memenuhi kebutuhan dirinya sendiri dan janin. Pengaruh terbesar adalah ibu yang
memiliki berat badan rendah, sehingga cadangan nutrisi juga sedikit. Dengan
demikian akan terjadi kompetisi antara janin dan ibu untuk mendapatkan nutrisi
dan hal ini akan berpengaruh terhadap pertumuhan janin yang akan berdampak
pada berat lahir bayi ( Anonim,(“tt”).
Penyakit pada saat kehamilan yang dapat mempengaruhi berat bayi lahir
diantaranya adalah Diabetes melitus (DM), cacar air, dan penyakit infeksi
TORCH (Toxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus dan Herpes ). Penyakit DM
adalah suatu penyakit dimana badan tidak sanggup menggunakan gula
sebagaimana mestinya, penyebabnya adalah pankreas tidak cukup memproduksi
insulin/tidak dapat menggunakan insulin yang ada. Bahaya yang timbul akibat
DM diantaranya adalah bagi ibu hamil bisa mengalami keguguran, persalinan
prematur, bayi lahir mati, bayi mati setelah lahir ( kematian perinatal) karena bayi
yang dilahirkan terlalu besar lebih dari 4000 gram dan kelainan bawaan pada bayi.
Penyakit infeksi TORCH adalah suatu istilah jenis penyakit infeksi yaitu
Toxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus dan Herpes. Keempat jenis penyakit ini
38
sama bahayanya bagi ibu hamil yaitu dapat menganggu janin yang dikandungnya.
Bayi yang dikandung tersebut mungkin akan terkena katarak mata, tuli,
Hypoplasia (gangguan pertumbuhan organ tubuh seperti jantung, paru-paru, dan
limpa). Bisa juga mengakibatkan berat bayi tidak normal, keterbelakangan mental,
hepatitis, radang selaput otak, radang iris mata, dan beberapa jenis penyakit
lainnya ( Bobak, 2005 ).
Ibu yang mengalami penyakit memilki risiko melahirkan BBLR 2,91 kali
dibandingkan dengan ibu hamil yang tidak mengalami penyakit selama hamil
seperti : hipertensi, hipotensi, preeklammsi, eklamsi, kekurangan energy protein,
TBC ( Tuberculosis), jantung, dan anemia ( Sistiarini, 2008).
Faktor-faktor yang mempengaruhi berat bayi lahir secara tidak langsung/
eksternal dapat dijelaskan sebagai berikut : Faktor lingkungan yang meliputi
kebersihan dan kesehatan lingkungan serta ketinggian tempat tinggal. Kebersihan
lingkungan yang kurang akan dapat berdampak pada kesehatan ibu hamil yang
merupakan kelompok rentan terhadap penyakit. Lingkungan yang kurang bersih
dapat menyebabkan penyakit infeksi misalnya herpes, diare yang
dapat
menganggu petumbuhan janin yang dikandungnya ( Bobak, 2005 ). Kehamilan
pada daerah dataran ketinggian akan dapat terjadi gangguan transportasi oksigen
dan menyebabkan kapilerisasi sitotrofoblas sebagai respon terhadap hipoksia.
Hipoksia pada plasenta menyebabkan perubahan pembentukan vili berupa
percabangan angiogenesis berlebihan, sehngga plasenta akan mengalami
kegagalan sirkulasi uteroplasenta yang berpengaruh terhadap terganggunya
pertumbuhan janin ( Huliah, 2008 ).
39
Faktor sosial ekomi meliputi jenis pekerjaan, tingkat pendidikan dan
pengetahuan ibu hamil sebagai berikut :
Beban kerja ibu hamil adalah kondisi yang ditandai dengan pekerjaan
yang banyak dan berat, kegiatan ini meliputi : pekerjaan rumah tangga, pertanian,
mengurus anak, menimba air dan mencari kayu bakar. Kegiatan ini menyebabkan
pengeluaran energy tinggi sehingga akan berpengaruh terhadap berat badan ibu
selama hamil yag berkontribusi untuk melahirkan BBLR. ( Anonim, (“tt”) ).
Wanita dalam keluarga dan masyarakat yang berpendidikan tinggi
cenderung lebih memperhatikan kesehatan diri dan keluarganya, sedangkan
wanita dengan tingkat pendidikan yang rendah, menyebabkan kurangnya
pengertian mereka akan bahaya yang dapat menimpa ibu hamil maupun bayinya.
Pendidikan ibu juga akan berpengaruh terhadap prilaku ibu dalam pencarian
pelayanan kesehatan pemeriksaan antenatal, lebih dari 90 % wanita yang
berpendidikan minimal Sekolah Dasar telah mencari tempat pelayanan kesehatan
pemeriksaan antenatal (Fibriani, 2007). Pengetahuan kesehatan reproduksi
menyangkut pemahaman tentang pentingnya pemeriksaan kehamilan, penyuluhan,
tanda dan cara mencegah kelahiran BBLR .
Pemeriksaan kehamilan, bertujuan untuk mengenal dan mengidentifikasi
masalah yang timbul selama kehamilan, sehingga kesehatan selama ibu hamil
dapat terpelihara dan yang terpenting ibu dan bayi dalam kandungan akan baik
dan sehat sampai saat persalinan. Pemeriksaan kehamilan dilakukan agar kita
dapat segera mengetahui apabila terjadi gangguan / kelainan pada ibu hamil dan
jain yang dikandung, sehingga dapat segera ditolong tenaga kesehatan (Depkes,
40
2009 ). Kwalitas pemeriksaan antenatal yang kurang baik lebih berisiko
melahirkan BBLR 5,85 kali dibandingkan dengan ibu hamil yang kwalitas
pemeriksaan kehamilannya baik ( Sistiarini, 2008).
2.3.3 Cara pengukuran berat badan bayi baru lahir
Berat badan bayi baru lahir yang ditimbang sesuai cara penimbangan bayi
baru lahir menurut Bobak ( 2005 ) yaitu : 1) Periksa timbangan bayi dalam
kondisi baik atau tidak rusak . 2) Sebelum ditimbang, jarum menunjukkan
ketelitian angka nol (0). 3) Bayi ditimbang dengan posisi ditidurkan tanpa kain
atau pakaian bayi. 4) Catat berat badan bayi baru lahir pada angka yang telah
ditunjukkan jarum timbangan dengan teliti.
Alat ukur berat badan bayi baru lahir yang dipergunakan adalah timbangan
bayi merk Seca dengan ketelitian 0,01 kg ( Widodo et al., 2005 ).
2.4 Hubungan Anemia pada Ibu Hamil dengan Berat Badan Lahir
Anemia adalah kondisi dimana sel darah merah menurun atau menurunnya
hemoglobin, sehingga kapasitas daya angkut oksigen untuk kebutuhan organorgan vital pada ibu dan janin menjadi berkurang ( Depkes RI, 2009 ). Anemia
dalam kehamilan memberi pengaruh kurang baik bagi ibu maupun janin yang
dikandung. Terhadap janin
meningkatkan risiko kelahiran berat badan lahir
rendah. Pertumbuhan janin dipengaruhi oleh karena gangguan suplai O2 dari
plasenta ke janin. Terganggunya fungsi plasenta pada anemia kehamilan akan
menyebabkan terganggunya pertumbuhan janin intra uterin dan kelahiran berat
badan lahir rendah (Wiknjosastro, 2005; Robert, 2008).
41
Pertumbuhan janin tergantung pada nutrisi yang baik dari ibu ke janin oleh
karena itu dibutuhkan perfusi uterus yang baik sehingga akan berpengaruh
terhadap kelahiran berat badan bayi . Selama kehamilan rahim, plasenta dan janin
memerlukan aliran darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan nutrisi (Smitht
et al., 2010 ). Pada
ibu hamil dengan anemia terjadi
gangguan penyaluran
oksigen dan zat makanan dari ibu ke plasenta dan janin, yang mempengaruhi
fungsi plasenta. Fungsi plasenta yang menurun dapat mengakibatkan gangguan
tumbuh kembang janin (Cunningham et al., 2005). Ibu hamil dengan anemia
sangat berhubungan dengan berat badan lahir. Hasil penelitian Hilli. (2009)
menyatakan adanya hubungan yang linier antara anemia ibu hamil dengan berat
badan bayi lahir. Berat badan bayi lahir rendah dtemukan pada ibu hamil dengan
anemia berat, sementara berat badan lahir masih dalam batas normal pada ibu
hamil dengan anemia ringan dan anemia sedang meskipun lebih rendah
dibandingkan dari ibu hamil tidak anemia.
Penelitian oleh Simanjuntak ( 2008 ) yang meneliti hubungan anemia pada
ibu hamil dengan kejadian BBLR didapatkan 86 (53 %) anemia dari 162 kasus,
dan yang melahirkan bayi dengan BBLR 36.0 %. Hasil penelitian Karasahin et al.
(2006) juga menunjukkan bahwa ibu hamil dengan anemia , empat kali lebih
berisiko
melahirkan bayi premature dan 1.9 kali berisiko melahirkan bayi berat
lahir rendah (BBLR).
42
2.5 Hubungan Anemia pada Ibu Hamil dengan Berat Plasenta Lahir
Plasenta adalah organ yang sangat penting untuk menjaga kelangsungan
kehamilan, karena plasenta berperan untuk pertukaran O2 dan transfer nutrisi
dalam pertumbuhan
janin. Struktur dan fungsi plasenta akan menetukan
pertumbuhan janin, oleh karena janin mendapat nutrisi dari plasenta. Berat
plasenta yang tidak proporsional, hipertropi plasenta dapat terjadi oleh karena
kondisi ibu dengan anemia ( Robert, 2008).
Pertumbuhan plasenta dan janin terganggu disebabkan karena terjadinya
penurunan Hb yang diakibatkan
karena selama hamil volume darah 50 %
meningkat dari 4 ke 6 L, volume plasma meningkat sedikit yang menyebabkan
penurunan konsentrasi Hb. Pada ibu hamil dengan anemia akan terjadi hipoksia
sehingga menyebabkan gangguan pasokan O2 dan nuritrisi ke plasenta.
Kekurangan nutrisi pada placenta berpengaruh terhadap fungsi plasenta sebagai
nutritif, oksigenasi, dan ekskresi. Selama kehamilan rahim, plasenta dan janin
memerlukan aliran darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan nutrisi (Smitht
et al., 2010 ). Anemia pada ibu hamil juga mengakibatkan terjadinya gangguan
plasenta seperti hipertropi, kalsifikasi, dan infark, sehingga terjadi gangguan
fungsinya. Hal ini dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan janin
(Wiknjosastro, 2005). Berat plasenta pada ibu hamil dengan anemia adalah lebih
tinggi tanpa tergantung dengan jenis anemianya. Berat plasenta meningkat tidak
tergantung pada type anemia. Dari penelitiannya dinyatakan bahwa berat plasenta
menjadi meningkat pada anemia, histological villi fibrosis yang menjadi ciri khas
dari plasenta pada ibu hamil dengan anemia ( Agboola, 1979).
43
Sedangkan Robert et al., melaksanakan penelitian di 12 Rumah Sakit di
Amerika Serikat tahun 2008 tentang factor risiko ibu
terhadap pertumbuhan
plasenta, dengan pertumbuhan ketebalan plasenta serta area chorionic plasenta,
ditemukan 21.5 % anemia pada ibu hamil dari 34.345 ibu hamil dan lebih
memungkinkan akan mengalami hipertropik plasenta yang akan mempengaruhi
berat plasenta.
2.6 Perbedaan Berat Berat Badan Lahir dan Berat Plasenta Lahir pada Ibu
Hamil Aterm Dengan Anemia dan Tidak Anemia
Plasenta memegang peranan penting dalam perkembangan janin dan
kegagalan fungsi plasenta dapat mengakibatkan ganngguan pertumubuhan janin
dan berat badan janin.
Fungsi dan struktur plasenta sangat menentukan
pertumbuhan janin. Berat plasenta saling berkorelasi positif dengan ukuran bayi
dan ada hubungan yang signifikan secara statistik antara berat plasenta dengan
berat badan lahir bayi ( Asgharnia et al., 2008 ). Berat plasenta relatif lebih besar
pada bayi aterm dibandingkan bayi premature. Berat plasenta berkorelasi dengan
berat bayi lahir rendah yaitu rata rata berat plasenta 469 gram dan pada bayi aterm
502,4 gram ( Jaya et al., 1994)
Fungsi Plasenta pada Ibu hamil dengan anemia akan terganggu yang
berpengaruh terhadap pertumbuhan janin dan berat badan lahir bayi. Suplai darah
pada anemia ibu hamil berkurang ke plasenta dan janin, sehingga mengakibatkan
hipoksia ( berkurangnya oksigen ke jaringan ), berkuragnya aliran darah ke
uterus akan menyebabkan aliran oksigen dan nutrisi ke plasenta dan ke janin
terganggu ( Karasahin, 2007 ; Robert et al., 2008 ). Hipoksia yang terjadi pada
44
plasenta akibat anemia ibu hamil menyebabkan terganggunya fungsi plasenta
sebagai nutritive, oksigenasi, dan ekskesi. Hasil
analisis morfologis plasenta
menunjukkan adanya kalsemia dan infark sehingga fungsi plasenta terganggu,
selain itu juga terjadi hipertropi plasenta yang menyebabkan gangguan
pertumbuhan janin intra uterin dan kelahiran bayi berat badan lahir rendah
(Wiknjosatro, 2005 ; Robert et al., 2008 ).
Anemia pada ibu hamil berkorelasi dengan kejadian berat badan lahir
rendah, telah banyak dilaporkan dari beberapa penelitian. Risiko tinggi kelahiran
premature berkorelasi dengan kekurangan zat besi saat hamil ( Allen, 2007 ).
Ada hubungan yang signfikan antara aemia pada ibu hamil dengan kejadian
BBLR dan kelahiran premature ( Hussein, et al., 2009 ).
Hilli ( 2009 ) menyatakan bahwa ada hubungan linier antara anemia pada
ibu hamil dengan berat bayi baru lahir. Berat bayi baru lahir rendah ditemukan
pada ibu anemia berat, sementara berat badan bayi yang masih dalam batas
normal ditemukan pada ibu hamil dengan anemia yang ringan dan sedang
walaupun lebih rendah dibandingkan berat badan bayi dari ibu hamil tidak
anemia. Hasil ini sesuai dengan yang ditemukan pada studi yang dilakukan oleh
Singla et al dalam Hilli (2009 ) juga menyatakan bahwa berat lahir bayi, berat
plasenta
secara signifikan berkurang pada ibu hamil dengan anemia berat.
Maisyaroh ( 2009 ) pada hasil penelitiannya menunjukkan bahwa ada perbedaan
yang bermakna antara berat badan bayi lahir pada ibu hamil dengan anemia dan
tidak anemia ( p < 0,05 ).
45
Anemia pada ibu hamil berpengaruh terhadap berat plasenta namun tidak
tergantung pada jenis anemia dan durasi anemia. Ibu hamil dengan anemia
menunjukkan perbedaan berat plasenta yang signifikan antara anemia mikrositik
yaitu 540,5 gram dan anemia makrositik rata – rata 592, 1 gram. ( Agboola,
1979). Berat plasenta yang tidak proporsional disebabkan karena kondisi ibu
seperti anemia dan pasokan gizi yang kurang atau hipoksia yang dapat
menyebabkn terganggunya fungsi plasenta. Ibu hamil dengan anemia 40 % lebih
memungkinkan mengalami plasenta hipertropi dibandingkan ibu hamil tidak
anemia yang akan mempengaruhi berat plasenta ( Robert et al., 2008 ).
Download