2. tinjauan pustaka

advertisement
17
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Resiliensi Eko-Sosio Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Pemahaman bahwa kapasitas ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil untuk
beregenerasi setelah bencana dan terus menghasilkan sumberdaya alam dan jasa
lingkungan bagi manusia tidak bisa lagi diterima. Akan tetapi, resiliensi ekologisosial perlu untuk lebih dipahami pada skala yang lebih luas serta dikelola dan
dijaga secara aktif. Pengembangan resiliensi di wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil adalah hal yang penting mengingat trend perkembangan pemukiman,
pemanfaatan sumberdaya dan perubahan lingkungan. Dua per tiga dari bencana
pesisir yang tercatat setiap tahun terkait dengan cuaca buruk seperti taufan dan
banjir, yang ancamannya tampaknya akan semakin luas karena perubahanperubahan yang disebabkan oleh faktor manusia terhadap iklim bumi dan
kenaikan paras muka laut. Berbagai tekanan yang menyebabkan degradasi
terhadap terumbu karang seperti pencemaran, sedimentasi, pemutihan karang
(coral bleaching), gangguan predator, serta berbagai cekaman lingkungan faktorfaktor ekologi lainya merupakan hal mendasar perlu diterapkanya konsep
resiliensi ekologi-sosial (eko-sosio) bagi pengelolaan terumbu karang di pesisir
dan pulau-pulau kecil, seperti yang terjadi pada kawasan Teluk Kotania.
Resiliensi ekologi-sosial meliputi beragam mekanisme untuk bertahan hidup
dan belajar dari kondisi yang berubah secara tiba-tiba. Resiliensi ekologi-sosial
adalah kapasitas dari sistem ekologi-sosial yang saling terkait untuk mengabsorbsi
gangguan dan perubahan karena terjadinya bencana sehingga tetap mampu
mempertahankan struktur dan proses esensial yang ada serta mampu menyediakan
umpan balik. Resiliensi merefleksikan tingkat kemampuan adaptif sebuah sistem
yang kompleks untuk melakukan pengorganisasian diri (self-organization),
sebagai lawan dari kurang terorganisir atau pengorganisasian yang dipaksakan
oleh faktor eksternal.
Pengembangan resiliensi sistem ekologi-sosial merupakan kunci bagi
pembangunan yang keberlanjutan. Namun demikian, pengembangan resiliensi
18
sistem ekologi-sosial di negara-negara berkembang masih sangat diabaikan,
sementara resiliensi sangat sesuai untuk digunakan dalam mengkaji pengelolaan
keberlanjutan di pesisir khususnya bila dikaji dari aspek perubahan mendadak.
Resiliensi berhubungan dengan gabungan dinamika sistem manusia dan
lingkungan yang menghindari penekanan atau pemisahan dari faktor lingkungan
dan sosial-ekonomi serta mempertimbangkan sepenuhnya kompleksitas dinamika
yang ada di dalamnya sehingga sangat sesuai dengan konsep ICM (Integrated
Coastal Management) yang merupakan paradigma pengelolaan yang digunakan
saat ini.
Walaupun saat ini upaya penerapan teori resiliensi dalam pengelolaan
sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil belum banyak dilakukan karena masih
tergolong kajian yang sangat baru, tetapi berdasarkan alasan yang disebutkan
sebelumnya, maka dapat dikatakan bahwa teori resiliensi memiliki potensi yang
sangat besar diaplikasikan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau
kecil. Perubahan yang terjadi pada ekosistem perairan yang berkaitan dengan
resiliensi ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil, dapat ditampilkan pada Tabel 1
dibawah ini.
Tabel 1. Contoh perubahan yang terjadi pada ekosistem perairan
Ecosystem
Type
Freshwater
System
Marine
Systems
Alternative State 1
Alternative State 2
References
Clear water
Turbid water
Carpenter, 2001
Benthic Vegetation
Blue-green algae
Scheffer et al., 2001
Oligotrophic macrophytes
and algae
Cattails and blue green
algae
Gunderson, 2001
Hard coral
Flesh Algae
Nistrom et al., 2000
Kelp forest
Urchin dominance
Seagrass beds
Algae and muddy water
Estes and Duggins,
1993
Gunderson, 2001
Terumbu karang di wilayah Karibia yang telah mengalami perubahan drastis
dalam dua dekade terakhir yaitu dari dominan karang keras menjadi dominan alga
lunak. Perubahan diakibatkan oleh kombinasi proses alami (badai dan penyakit)
serta faktor manusia (kelebihan tangkap dan peningkatan nutrien). Selanjutnya,
19
kondisi di atas bisa berubah kembali, misalnya bila fungsi fungsi grazing terhadap
alga oleh spesies ikan herbivor ditingkatkan dengan mengurangi penangkapan
terhadap jenis ikan herbivor dapat meningkatkan kembali resiliensi terumbu
karang dengan menyediakan luas permukaan dasar perairan yang cukup bagi
kolonisasi kembali oleh larva terumbu karang sehingga bisa kembali ke keadaan
yang didominasi oleh karang setelah terjadinya badai (Nystrom and Folke 2001).
Disamping itu, perubahan degradasi sumberdaya yang dapat mempengaruhi
kondisi resiliensi di wilayah pesisir juga diakibatkan oleh kegiatan overfishing.
Tekanan penangkapan ikan terhadap jaring-jaring makanan dapat menyebabkan
perubahan yang besar dalam kelimpahan spesies pada berbagai tingkatan tropik.
Di Laut Hitam, overfishing berkontribusi terhadap hancurnya perikanan tangkap,
meledaknya populasi ubur-ubur, peledakan populasi alga dan rusaknya komunitas
bentik. Hal yang sama terjadi di utara Laut Atlantic dan Baltic akibat
pemancingan/rekreasi. Dampak industri perikanan tangkap dunia terlihat dari
transisi jaring makanan di laut dari ikan-ikan tropik tinggi yang bersiklus hidup
panjang menuju ke avertebrata dan plankton berukuran kecil dengan tropik rendah
dan siklus hidup pendek yang memakan ikan-ikan pelagis. Selain itu, industri
perikanan juga telah menyebabkan reduksi dari kelompok fungsional dari spesies
tertentu (mamalia laut, penyu, ikan karang) dan memutus tingkat tropik sehingga
ekosistem laut menjadi sangat rentan. Hilangnya kelompok fungsional tersebut
menyebabkan berbagai dampak diantaranya eutrofikasi, peledakan populasi alga,
penyebaran penyakit, dan masuknya spesies baru di laut.
Terganggunya kestabilan sumberdaya perikanan akibat kegiatan eksploitasi
yang berakibat degradasi sumberdaya yang lebih luas, sudah tentu akan
mempengaruhi kondisi sosial dan ekonomi suatu kawasan. Kondisi ini secara
langsung akan mempengaruhi tingkat resiliensi sosial dan ekonomi masyarakat
yang memiliki hubungan ketergantungan secara langsung terhadap sumberdaya
perikanan di pesisir dan pulau-pulau kecil.
Selain itu, badai dan topan yang menimbulkan dampak bagi masyarakat di
seluruh dunia, berupa kehilangan tempat tinggal, kematian dalam skala masif,
serta dampak tidak langsungnya terhadap ekosistem pesisir seperti terumbu
karang, lamun dan mangrove yang mendukung kehidupan sosial dan ekonomi
20
lokal. Saat ini banyak pendapat yang menyatakan bahwa perubahan iklim yang
disebabkan oleh manusia meningkatkan frekuensi badai.
Di Karibia, respon terhadap badai dan efektivitasnya tergantung pada
resiliensi ekologi-sosial-ekonomi. Sebagai contoh, di Pulau Cayman telah
diimplementasikan
aksi
pada
tingkat
nasional
dan
lokal,
membangun
kesiapsiagaan dan resiliensi komunitas, dan kemudian terjadi tiga kali badai besar,
yaitu Gilbert pada tahun 1998, Mitch pada tahun 1998, dan Michelle pada tahun
2000. Resiliensi pulau tersebut kemudian diuji lagi oleh topan Ivan pada tahun
2004, yang menunjukkan peningkatan. Evaluasi terhadap berbagai komponen aksi
yaitu adaptasi dan perubahan aturan dan kebijakan terhadap resiko bencana,
perubahan kelembagaan, penyiapan sistem peringatan dini, dan pengembangan
pengetahuan
untuk
memobilisasi
diri.
Selanjutnya
pembelajaran
sosial,
keberagaman adaptasi, dan pengembangan kohesi sosial yang kuat serta
mekanisme aksi kolektif menunjukkan peningkatan resiliensi terhadap bencana.
Hasil evaluasi menunjukkan bahwa resiliensi ekologi-sosial terhadap
bencana pesisir dapat ditingkatkan dengan melibatkan berbagai tindakan yang
membutuhkan agen manusia. Keterbukaan terhadap bahaya juga dapat dikurangi
melalui intervensi aturan atau norma dalam pemanfaatan wilayah pesisir.
Resilliensi pada sistem ekologis-sosial memiliki berbagai mekanisme untuk
menghadapi perubahan dan krisis. Dalam ekosistem, biodiversitas, redundansi
fungsional, dan pola spasial semuanya dapat mempengaruhi resiliensi.
Biodiversitas memperkuat resiliensi bila spesies atau kelompok fungsional
merespon secara berbeda terhadap fluktuasi lingkungan, sehingga penurunan
jumlah dalam satu kelompok dikompensasi oleh kenaikan pada kelompok lainnya.
Heterogenitas spasial juga akan memperkuat resiliensi bilamana area pengungsian
menyediakan sumber-sumber bagi koloni untuk merepopulasi wilayah yang rusak.
Sesuai dengan itu, dalam sistem sosial, tatanan dan kerangka pengelolaan dapat
menyebarkan resiko melalui pendiversifikasian pola pemanfaatan sumberdaya
dengan mendorong dilakukannya kegiatan dan gaya atau pola hidup alternatif,
praktek seperti ini akan mempertahankan kelestarian jasa-jasa lingkungan secara
berkelanjutan.
21
2.2. Konsep Resiliensi Dalam Kaitan Dengan Sistem Ekologi-Sosial
Perspektif mengenai resiliensi pertama kali muncul dari ilmu ekologi pada
dekade 60-an dan 70-an dari studi interaksi populasi seperti antara mangsa dan
pemangsa dan respon fungsional dalam kaitan dengan teori stabilitas ekologi.
Holling
(1973)
dalam
tulisannya
mengenai
resiliensi
dan
stabilitas
mengilustrasikan adanya beberapa domain stabilitas (multiple stability domains
atau multiple basins of attraction) dalam sistem alam, serta domain tersebut
berhubungan dengan proses ekologi, kejadian acak (misalnya gangguan), dan
heterogenitas berdasarkan skala temporal dan spasial. Holling memperkenalkan
resiliensi sebagai kapasitas untuk bertahan dalam sebuah domain pada saat
menghadapi perubahan, dan mengajukan teori bahwa resiliensi menentukan
persistensi hubungan dalam sebuah sistem dan merupakan ukuran kemampuan
sistem tersebut untuk menyerap perubahan keadaan, mengarahkan, dan
mempertahankan keadaan variabelnya.
Perspektif ini mulai berkembang awal dekade 90-an melalui penelitian
mengenai studi interdisiplin biodiversitas, sistem kompleks, rejim hak
kepemilikan, interaksi lintas level dan permasalahan kesesuaian antara ekosistem
dan institusi, serta dalam hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan sistem
sosio-ekonomi. Holling (1973) menuliskan bahwa dalam upaya menjembatani
penelitiannya ke tingkat ekosistem melalui kombinasi persamaan predasi dengan
berbagai proses yang berhubungan dalam sebuah model populasi, ditemukan
adanya keadaan multi-stabil, bentuk non linier dari respon fungsional dan respon
reproduksi yang saling berinteraksi membentuk dua keadaan stabil. Keadaan
multi-stabil ini merupakan kenyataan yang tidak dapat dihindari yang memiliki
konsekuensi besar terhadap teori dan praktek yang ada. Pemahaman bahwa
kondisi ekuilibrium tunggal dan stabilitas global yang digunakan selama ini telah
menyebabkan fokus ilmu ekologi berfokus pada tingkah laku yang mendekati
ekuilibrium dan pada carrying capacity tetap, yang bertujuan
meminimalkan
variabilitas. Kondisi
multi-stabil
untuk
mengharuskan perhatian
pada variabilitas tinggi yang merupakan atribut untuk menjamin keberadaan dan
pembelajaran (existence and learning), dimana kejutan dan ketidakpastian yang
22
inheren di dalamnya merupakan konsekuensi yang tak terhindarkan dalam sistem
ekologis.
Selanjutnya,
hasil-hasil
penelitian
mengenai
pengelolaan
adaptif
sumberdaya dan lingkungan pada ekosistem regional dimana aspek sosial dan
teori ekologi digunakan bersama untuk menganalisis bagaimana ekosistem
terbentuk dan bertingkah laku, serta bagaimana institusi dan masyarakat yang
berasosiasi dengannya diorganisir dan bertingkah laku yang menekankan
pentingnya “belajar mengelola perubahan” daripada sekedar “bereaksi terhadap
perubahan”.
Perspektif tersebut dalam hubungannya dengan teori resiliensi berlawanan
dengan pemahaman yang berpusat pada ekuilibrium, strategi command and
control yang diarahkan untuk mengontrol variabilitas dari sumberdaya tertentu
sebagai perspektif yang mendominasi pengelolaan sumberdaya alam dan
lingkungan
permasalahan
kontemporer.
dalam
Strategi
seperti
jangka pendek,
ini
misalnya
cenderung
penurunan
menyelesaikan
hasil
panen,
keberhasilan mengontrol satu variabel yang seringkali berfluktuasi yang
menyebabkan perubahan variabel-variable pada skala temporal dan spasial,
misalnya dinamika nutrien dan makanan. Pengelolaan seperti ini menyebabkan
praktek budidaya pertanian dan perikanan yang ada dijadikan homogen secara
spasial yang rentan terhadap gangguan yang sebelumnya masih mampu diserap
(Holling et al., 1998).
Perspektif di atas pada awalnya banyak ditentang oleh ilmuwan ekologi,
karena lebih mudah mendemonstrasikan pergeseran (shift) antara berbagai
keadaan dalam model dibandingkan pada dunia nyata (Holling 1973, May 1977),
dinamika non linier dan perubahan equilibrium (domains of attraction) jarang
ditemukan dalam kasus-kasus ekologis.
Untuk menggambarkan perkembangan teori resiliensi, berikut ini disajikan
3 (tiga) tipe resiliensi yang terkait dengan proses perkembangan tersebut.
1.
Tipe Resiliensi Engineering
Dalam ilmu ekologi, pendefinisian resiliensi dilakukan berdasarkan
penekanan perbedaan antara dua aspek stabilitas. Holling (1973) pertama kali
menekankan perbedaan aspek stabilitas tersebut yaitu antara efisiensi di satu pihak
23
dengan persistensi di lain pihak, antara kondisi konstan dengan perubahan, atau
antara kepastian dengan ketidakpastian. Resiliensi merupakan kemampuan dari
sebuah ekosistem untuk mentolerir perubahan tanpa menyebabkan pengurangan
kondisi kualitatifnya. Kemampuan ini dikendalikan oleh seperangkat proses,
dimana sebuah ekosistem yang resilient dapat bertahan terhadap perubahan
mendadak dan memperbaiki keadaannya sendiri jika diperlukan. Batasan di atas
difokuskan kepada efisiensi, kontrol, keadaan konstan, dan kepastian yang
semuanya merupakan atribut kondisi optimal.
Definisi ini berdasar pada pemahaman lama yaitu kondisi alam yang stabil
dan mendekati keadaan keseimbangan tetap, dimana resistensi terhadap gangguan
dan kecepatan untuk kembali ke keadaan seimbang digunakan sebagai ukuran.
Tipe resiliensi seperti ini disebut Resiliensi Engineering. Pemahaman tipe ini
merupakan intisari dari teori ekonomi.
Gambar 3. Gambaran besarnya gangguan yang dapat diserap sebelum terjadi
perubahan dinamika keseimbangannya secara total (Sumber :
Holling, 1973)
Penggunaan
asumsi
ekuilibrium
tunggal
pada
skala
sempit
dan
eksperimentasi jangka pendek terus saja dipakai. Asumsi ini mendominasi arus
24
utama ilmu ekologi dan kemudian dipakai menginterpretasikan resiliensi sebagai
waktu yang dibutuhkan untuk kembali ke keadaan semula setelah adanya
gangguan yang dinamakan engineering resilience (Holling 1996). Resiliensi ini
berfokus pada tingkah laku mendekati ekuilibrium stabil dan laju dimana sistem
mendekati kondisi tetap
(steady state) setelah perubahan, yaitu kecepatan
kembali ke titik ekuilibrium. Resiliensi diestimasi dari jumlah waktu yang
dibutuhkan untuk merubah kerusakan ke fraksi tertentu dari kondisi awal. Sebagai
catatan, hal di atas hanya dapat diaplikasikan pada sistem linier atau pada sistem
non-linier yang memiliki kondisi mendekati ekuilibrium stabil dimana dalam hal
ini aproksimasi linier masih dimungkinkan (Ludwig et al 1997).
Pandangan
ekuilibrium
tunggal
secara substansial
telah
mewarnai
pengelolaan sumberdaya dan lingkungan kontemporer dengan tujuan untuk
mengontrol aliran sumberdaya secara optimal. Interpretasi ini digunakan dalam
banyak studi ekologis seperti pada studi pemulihan atau waktu yang dibutuhkan
kembali ke keadaan semula (recovery) bagi dominasi karang setelah terjadinya
pemutihan.
2. Tipe Resiliensi Ekosistem/Ekologi
Pemulihan dipengaruhi oleh frekuensi dan tingkatan gangguan serta oleh
heterogenitas spasial dari sistem ekologis. Adanya gangguan dan heterogenitas
spasial menyebabkan arah pemulihan (recovery trajectory) menjadi unik dan
kompleksitas sistem yang dikombinasikan dengan efek gabungan dapat
menyebabkan arah pemulihan hampir tidak mungkin untuk diprediksi (Paine et al
1998). Dengan demikian penggunaan konsep pemulihan dalam sistem yang
kompleks dan adaptif mulai ditinggalkan dan digantikan dengan konsep
pembaruan, regenerasi, dan reorganisasi setelah adanya gangguan (Bellwood et al
2004), serta penggunaan istilah `rejim` atau `atraktor` sebagai pengganti dari
istilah kondisi stabil atau ekuilibrium, karena
istilah sebelumnya tidak
mempertimbangkan faktor dinamika (Carpenter 2004).
Bila sebuah sistem dapat mereorganisasi dirinya yaitu merubah keadaan dari
satu domain stabil ke domain stabil lainnya, maka ukuran dinamika ekosistem
yang lebih relevan digunakan adalah resiliensi ekologi, yaitu ukuran jumlah
perubahan atau gangguan yang diperlukan untuk merubah sistem. Perubahan ini
25
dipengaruhi oleh seperangkat proses dan struktur yang saling menguatkan dari
satu keadaan ke keadaan yang lain. Definisi ini berfokus pada persintensi,
kemampuan adaptif, variabilitas dan ketidakpastian yang kesemuanya merupakan
atribut dari perspektif evolusi dan pembangunan, yang juga sejalan dengan sifat
keberlanjutan.
Batasan ini ditekankan pada kondisi yang jauh dari keadaan seimbang,
dimana ketidakstabilan dapat membalik keadaan sebuah sistem ke rejim keadaan
lainnya yaitu domain yang stabil. Dalam konteks ini resiliensi diukur berdasarkan
besaran gangguan yang mampu diserap hingga suatu batas dimana sistem tersebut
merubah
strukturnya
melalui
pengubahan
variabel
dan
proses
yang
mengontrolnya. Tipe resiliensi seperti ini disebut Resiliensi Ekologi.
Gambar 4. Laju perbaikan dari sebuah kerusakan menuju stabilitas baru yang
bergantung pada resiliensi dan resistensi (Sumber: Holling 1973)
Resiliensi ekologi lahir dari aplikasi teori matematika dan ekologi
sumberdaya pada tingkatan ekosistem, misalnya pada dinamika pengelolaan
sistem air tawar, hutan, perikanan, dan padang rumput. Esensi perbedaan kedua
aspek stabilitas tersebut yaitu pada pemeliharaan efisiensi fungsi pada resiliensi
26
engineering dengan pemeliharaan eksistensi fungsi pada resiliensi ekologi.
Ludwig et al (1997) menyusun dasar matematis untuk membedakan antara
perspektif engineering resilience dengan ecological/ecosystem resilience.
Selain itu terdapat pula tipe resiliensi dalam sistem sosial yang akan
menambah kapasitas manusia untuk mengantisipasi dan merencanakan masa
depan, dimana dalam sistem “manusia-alam” resilensi ini disebut sebagai
kapasitas adaptif. Pemahaman mengenai sistem kompleks digunakan sebagai
penghubung antara ilmu sosial dan ilmu biofisik, dan menjadi penopang beberapa
pendekatan terpadu seperti ilmu ekologi-ekonomi dan ilmu keberlanjutan.
3. Tipe Resiliensi Ekologi-Sosial
Sistem sosial manusia mungkin dapat memberi kemampuan yang besar
untuk menghadapi perubahan dan beradaptasi jika dianalisis hanya melalui lensa
dimensi sosial. Akan tetapi adaptasi seperti ini mungkin merupakan harga dari
perubahan dalam kapasitas ekosistem untuk mempertahankan adaptasi dan
mungkin menghasilkan jebakan atau akhir dari resiliensi sistem sosial–ekologis
(Gunderson and Pritchard 2002). Serupa dengan hal tersebut, jika fokus hanya
pada sisi ekologis saja sebagai dasar dalam pengambilan keputusan bagi
keberlanjutan maka akan mengarah pada kesimpulan yang sempit dan salah. Oleh
karena itu resiliensi menekankan pada keterkaitan antara sistem sosial dan
ekologis.
Berkes et al (2003) menggunakan istilah sistem sosial–ekologis untuk
memberi perhatian pada konsep keterpaduan dari manusia dalam alam (humansinnature) dan memberi penekanan bahwa pemisahan antara sistem ekologi dan
sosial adalah sesuatu hal yang tidak semestinya dan tidak logis (artificial and
arbitrary). Keterkaitan dan masalah kesesuaian sistem sosial dan ekologi pada
praktek pengelolaan
dihubungkan melalui
pemahaman ekologis
dengan
mekanisme sosial yang melatar belakangi praktek pengelolaan tersebut, pada
berbagai kondisi geografis, budaya dan ekosistem.
Sistem sosial–ekologi memiliki umpan balik silang yang kuat, dimana dalam
hubungannya dengan resiliensi, umpan balik tersebut beserta interaksi lintas
skalanya merupakan fokus dari model sistem yang sepenuhnya terintegrasi dari
agen dan ekosistem yang memiliki kondisi stabil banyak atau multiple stable
27
states. Resiliensi menyediakan kemampuan untuk menyerap kejutan dan pada saat
yang sama mempertahankan fungsinya. Saat terjadi perubahan, resiliensi
menyediakan komponen-komponen yang dibutuhkan untuk pembaruan dan
pengorganisasian kembali. Dengan demikian penting untuk membedakan antara
tingkah laku mendekati ekuilibrium stabil dan kondisi tetap (steady state) global,
dengan tingkah laku pada batas domain atraktor yang merupakan suatu keadaan
ekuilibrium yang tidak stabil, merefleksikan tingkah laku sistem kompleks
adaptif.
Definisi
Holling
(1973)
merupakan
fondasi
yang
mendasari
perkembangan perspektif resiliensi sistem sosial ekologis yang sesuai dengan
dinamika sistem kompleks adaptif.
Mempertimbangkan dinamika dan hubungan lintas skala antara perubahan
tiba-tiba dan sumber resiliensi, maka resiliensi dari sistem kompleks adaptif bukan
sekedar resistensi terhadap perubahan dan konservasi struktur saat ini. Dengan
demikian resiliensi merupakan kapasitas sistem untuk menyerap gangguan dan
mereorganisasi dan pada saat yang sama mengalami perubahan sehingga mampu
mempertahankan secara esensial fungsi, struktur, identitas, dan umpan balik.
Kebanyakan studi yang dilakukan dalam resiliensi ekosistem menekankan bagian
pertama dari definisi di atas yaitu kapasitas menyerap perubahan atau kapasitas
buffer yang memungkinkan ketahanan. Akan tetapi resiliensi bukan hanya
menyangkut ketahanan dan kekuatan terhadap gangguan, tetapi juga menyangkut
pemahaman bahwa gangguan membuka kemungkinan rekombinasi dari struktur
dan proses yang berevolusi, pembaruan sistem dan munculnya arah perubahan
yang baru. Dalam konteks ini resiliensi juga menyediakan kapasitas adaptif yang
memungkinkan kelanjutan perkembangan, seperti dinamika hubungan adaptif
antara keberlanjutan dan perkembangan dalam perubahan. Keduanya harus
seimbang, dan bila tidak maka akan mengarah pada kehancuran.
Proses adaptif yang berhubungan dengan kapasitas toleransi dan dengan
perubahan yang muncul dari pengorganisasian diri dari sistem. Selanjutnya,
dinamika setelah gangguan atau pergeseran rejim sangat bergantung pada
kapasitas pengorganisasian diri dari sistem adaptif kompleks dimana proses
pengorganisasian diri tergambarkan pada skala spasial di bawah dan di atas sistem
tersebut (Nystrom and Folke 2001). Oleh karena itu konsep resiliensi dalam
28
hubungannya dengan sistem sosial-ekologi, selain memasukkan kemampuan
secara umum untuk bertahan terhadap gangguan, juga memasukkan adaptasi,
pembelajaran, dan pengorganisasian diri. Sehingga, kapasitas buffer atau
kemantapan hanya merupakan sebagian aspek dari resiliensi.
Dalam konteks hubungan manusia dengan alam, resiliensi adalah kapasitas
dari keterkaitan sistem ekologi dan sosial untuk mengabsorbsi gangguan yang
berasal
dari
perubahan
yang
bersifat
mendadak,
sehingga
mampu
mempertahankan struktur dan proses yang esensial serta menyediakan umpan
balik. Resiliensi merefleksikan derajat kemampuan sebuah sistem kompleks yang
adaptif untuk untuk mengorganisasikan diri secara mandiri, serta derajat
kemampuan sistem tersebut membangun kapasitas belajar dan beradaptasi.
Sebagian dari kapasitas tersebut terdapat pada kemampuan regenerasi dari
ekosistem dan kemampuan untuk tetap menghasilkan sumberdaya dan jasa yang
esensial bagi kehidupan manusia dan pengembangan masyarakat di dalam
perubahan-perubahan yang terjadi (Holling 2001, Berkes et al 2003, Adger et al
2005).
Dalam beberapa contoh proses transisi terjadi secara tajam dan cepat,
sementara pada kasus lainnya dinamika sistemnya berbalik dari satu atraktor ke
atraktor lainnya dengan transisi yang gradual. Hal ini mengilustrasikan bahwa
pergeseran kondisi dalam ekosistem akan semakin banyak disebabkan oleh aksi
manusia yang menyebabkan erosi resiliensi (Gunderson 2000).
Kombinasi dampak top-down, seperti perikanan yang mempengaruhi jaringjaring makanan atau menghilangkan fungsi diversitas biologis bagi terjadinya
pengorganisasian diri, dan dampak bottom-up, seperti akumulasi nutrien, erosi
tanah atau pembalikan arus air, atau perubahan rejim gangguan seperti tekanan
kebakaran dan peningkatan frekuensi dan intensitas badai, yang menggeser
kondisi ekosistem (Gunderson and Pritchard 2002) ke kondisi yang kurang
diinginkan dengan dampak lanjutan terhadap mata pencaharian dan pembangunan
sosial (Folke et al 2004). Kondisi yang kurang diinginkan mengacu pada
kapasitasnya untuk tetap menghasilkan sumberdaya dan menyediakan jasa
lingkungan untuk pembangunan masyarakat. Kombinasi dampak dari tekanan-
29
tekanan tersebut menyebabkan sistem sosial-ekologi semakin rentan terhadap
perubahan yang sebelumnya masih mampu diserap.
Carpenter et al (2001) menginterpretasikan resiliensi sosial–ekologi sebagai:
1. Jumlah dari gangguan dimana sebuah sistem masih dapat menyerapnya dan
tetap berada dalam kondisi atau domain atraktor yang sama.
2. Derajat hingga sebuah sistem mampu mengorganisir diri (sebagai lawan dari
kurang terorganisir, atau diorganisir oleh pihak ekternal).
3. Derajat hingga sebuah sistem dapat membangun dan meningkatkan kapasitas
untuk pembelajaran dan adaptasi.
Pengelolaan resieliensi sosial-ekologi akan memperbesar kemungkinan bagi
keberlanjutan pembangunan dalam lingkungan yang berubah, tidak pasti, beserta
kemungkinan terjadi kejutan (Levin et al 1998, Holling 2001). Sebaliknya,
kerentanan merupakan kebalikan dari resiliensi, dimana saat suatu sistem sosial
atau ekologi kehilangan resiliensinya maka sistem tersebut menjadi rentan
terhadap perubahan yang sebelumnya bisa diserap. Dalam sebuah sistem yang
resilien, perubahan memiliki potensi untuk menciptakan kesempatan bagi
pengembangan kebaruan dan inovasi. Sebaliknya dalam sistem yang rentan
perubahan kecil dapat menyebabkan kerusakan besar. Pendekatan resiliensi
berhubungan dengan ketahanan menuju keberlanjutan perkembangan dalam
perubahan dan bagaimana berinovasi dan bertransformasi ke konfigurasi yang
lebih diinginkan.
Selanjutnya, ringkasan perkembangan teori resiliensi disajikan pada Tabel 1
mengenai urutan konsep resiliensi berdasarkan karakteristik, fokus dan konteks.
Berdasarkan tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa resiliensi merupakan sebuah
pendekatan, sebuah pola pikir, yang menyediakan perspektif untuk mengarahkan
dan mengorganisir pemikiran, dan dalam konteks yang lebih luas menyediakan
konteks penting bagi analisis sistem sosial-ekologis, yang merupakan wilayah
ilmu dengan eksplorasi penelitian yang berkembang cepat serta memiliki
implikasi kebijakan bagi pembangunan berkelanjutan.
30
Tabel 2. Urutan konsep resiliensi, dari interpretasi yang sempit hingga konteks
sosial-ekologis yang lebih luas.
Konsep Resiliensi
Resiliensi engineering
Resiliensi ekologi/
ekosistem,
Resiliensi sosial
Resiliensi sosial-ekologi
Karakteristik
Waktu kembali,
efisiensi
Kapasitas buffer,
bertahan terhadap
kejutan, menjaga
fungsi
Hubungan interplay
antara gangguan dan
reorganisasi,
keberlanjutan dan
pengembangan
Fokus
Konteks
Pemulihan,
kekonstanan
Daya bertahan,
kemantapan
Sekitar kondisi
ekuilibrium
Ekuilibrium
ganda, stabilitas
lansekap
Kapasitas
adaptif,
transformabilitas
, pembelajaran,
inovasi
Umpan balik
sistem yang
terpadu, dinamika
interaksi lintas
skala
Pendekatan resiliensi merupakan salah satu wilayah ilmu (selain penelitian
kerentanan, ekologis-ekonomi, ilmu keberlanjutan) yang akan menghasilkan
keterpaduan ilmu dan kolaborasi interdisiplin bagi isu-isu fundamental dalam
mengatur dan mengelola transisi menuju arah pembangunan yang lebih
berkelanjutan yang merupakan tantangan terbesar umat manusia saat ini (Lambin
2005).
2.3. Konsep Resiliensi Ekosistem Terumbu Karang
Holling dan Gunderson (2002) memberikan defenisi resiliensi ekosistem
sebagai besarnya gangguan yang dapat diterima sebelum system berubah
strukturnya dengan berubahnya peubah dan proses yang mengendalikan
perilakunya. Dengan mengadopsi definisi Holling, maka Folke et al (2004)
memberikan definisi umum resiliensi ekosistem sebagai ukuran besarnya
gangguan yang dapat diterima oleh suatu system sebelum terjadi perubahan
menjadi suatu kondisi (kestabilan) baru yang berbeda pengendalian struktur dan
fungsinya. Holling juga membedakan antara resiliensi ekologis dengan resiliensi
rekayasa (engineering), definisi yang pertama merupakan resiliensi ekologis.
Resiliensi rekayasa (engineering) merupakan ukuran laju suatu system mencapai
keseimbangan setelah gangguan berlalu. Resiliensi rekayasa ini dianggap tidak
tepat digunakan untuk ekosistem yang memiliki kondisi keseimbangan yang
banyak. Hughes et al (2007) memberikan definisi yang khusus untuk resiliensi
terumbu karang
yaitu
kemampuan terumbu
karang untuk menghadapi
31
(mangabsorbsi) gangguan dan membangun kembali sistem yang didominasi
karang.
Faktor-faktor yang secara teoritis memegang peranan penting di dalam
resiliensi terumbu karang meliputi keanekaragaman hayati, skala dan redundansi
fungsi ekologis, memori ekologis, dan herbivory. Banyaknya faktor yang terlibat
di dalam pengukuran resiliensi menjadikan pengukuran tersebut tidak mudah
dilakukan hingga saat ini. Namun sebelum mengkaji keempat faktor resiliensi
tersebut, pemahaman tentang perubahan komunitas dan gangguan pada terumbu
karang juga sangat penting di dalam pengelolaan. Secara umum faktor-faktor
yang berperan penting dalam resiliensi terumbu karang dapat dijelaskan sebagai
berikut;
1. Keanekaragaman hayati
Keanekaragaman hayati memiliki peran yang sangat penting di dalam
menjaga stabilitas ekosistem. Keanekaragaman hayati di tingkat spesies
memberikan kekuatan kepada komunitas karang terhadap gangguan pemutihan
karang dan pemangsaan oleh Achanthaster plancii dan Drupella. Kedua
pemangsa karang tersebut memiliki preferensi terhadap karang jenis Acroporidae
dan Pocilloporidae (Moran 1990, Cuming 1999), sehingga dalam intensitas
gangguan yang sedang anggota komunitas karang lainnya tidak terganggu oleh
pemangsa
karang
tersebut.
Banyak
penelitian
mengungkapkan
bahwa
keanekaragaman yang tinggi diperlukan untuk berlangsungnya proses-proses
ekologis, namun sebenarnya yang dibutuhkan bukanlah keanekaragaman spesies
melainkan keanekaragaman fungsional (Peterson et al 1998).
Semakin tinggi keanekaragaman kelompok fungsional pada komunitas
karang, semakin tinggi pula tingkat resiliensinya. Kelompok fungsional komunitas
karang dapat ditunjukan oleh bentuk tumbuh koloninya. Walaupun masingmasing bentuk tumbuh dapat menyediakan fasilitas yang sama sebagai habitat,
tetapi bentuk tumbuh tersebut dapat dianggap mencerminkan derajat kompleksitas
habitat yang berbeda-beda, sehingga merupakan kelompok fungsional yang
berbeda. Diantara kelompok fungsional tersebut keselingkupan antar fungsi
ekologis masih dapat terjadi, misalnya antara karang bentuk massif (CM) dengan
karang bentuk sub-masif (CS) dan Acropora submasif (ACS); dan antara karang
32
bercabang (CB) dengan karang Acropora bercabang (ACB) dan Acropora digitate
(ACD). Keanekaragaman fungsi ekologis dan keselingkupan antar fungsi
keduanya meningkatkan resiliensi ekosistem.
Pada komunitas ikan-ikan terumbu karang, keanekaragaman kelompok
fungsional tersebut pada dasarnya mencerminkan lima fungsi ekologi yaitu:
piscivori (pemangsa ikan), invertivori (pemangsa invertebrate), planktivori
(pemangsa plankton), koralivori (pemgnsa karang), dan herbivor (pemakan algae).
Fungsi ekologis piscivori diperankan oleh ikan-ikan Lutjanidae, Serranidae,
Synodontidae dan Fistulariidae. Ikan-ikan yang melakukan invertivori meliputi
family Mullidae, Pomacenthridae, Labridae, Balistidae, Plesiopidae dan
Lethrinidae. Ikan-ikan planktivora meliputi family Apogonidae, Syngnathidae,
dan Blenniidae. Fungsi ekologi koralivori (pemakan karang) dilakukan oleh
Chaetodontidae dan Scraridae. Fungsi herbivore (pemakan algae) diperankan
oleh ikan-ikan Pomacenthridae, Acanthuridae, Scaridae, dan Siganidae.
Pembagian fungsi ekologis dari famili-famili ikan tersebut tidak bersifat mutlak.
Semakin banyak fungsi ekologis yang dapat diidentifikasi semakin mudah
penjelasan mekanisme ekologisnya, walaupun semakin sulit penanganan datanya.
Walaupun keanekaragaman fungsi ekologis lebih penting dalam resiliensi,
keanekaragaman spesies juga dapat digunakan sebagai garansi atau petunjuk
singkat tentang resiliensi suatu ekosistem (Bengtsson 2002). Tingginya
keanekaragaman spesies merupakan suatu jaminan bahwa fungsi-fungsi ekologis
masih akan berjalan ketika gangguan yang mendadak terjadi di masa mendatang,
yaitu gangguan yang skala dan intensitasnya belum pernah terjadi sepanjang
sejarah ekosistem. Belum diketahui spesies mana yang akan berperan penting
menjalankan fungsi ekologis jika terjadi gangguan tersebut, sehingga jalan terbaik
untuk menjaga resiliensi adalah menjaga keseluruhan spesies yang ada. Tingginya
kekayaan spesies secara umum masih dapat digunakan sebagai indikasi resiliensi
ekosistem.
2. Skala dan Redundansi
Resiliensi ekologis dihasilkan oleh keanekaragaman fungsi ekologis yang
berselingkupan dalam suatu skala dan redudansi spesies antar skala (Peterson et al
1998), sehingga yang lebih penting bukan jumlah spesies melainkan jumlah fungsi
33
ekologis pada komunitas tersebut.
Keselingkupan di dalam (intra) skala
ditunjukan oleh banyaknya spesies yang menjalankan fungsi ekologis yang sama,
misalnya karang berbentuk massif. Koloni karang massif menyediakan habitat
yang dapat dihuni oleh ikan-ikan Serranidae dan Lutjanidae yang berukuran
besar, karang massif tersebut dapat berasal dari Faviidae, Poritidae, atau yang
lainnya, sedangkan masing-masing karang famili karang tersebut terdiri atas
banyak spesies. Redudansi antar skala ditunjukan oleh adanya sejumlah spesies
dengan ukuran koloni yang berbeda tetapi menjalankan fungsi yang hampir sama.
Karang masif kecil dan karang massif besar berfungsi sama sebagai tempat
sembunyi ikan-ikan dari pemangsanya dengan skala yang berbeda.
Redudansi merupakan faktor penting dari resiliensi ekosistem. Redudansi
dapat terjadi pada skala yang sama dan dapat pula terjadi antar skala. Redudansi
di dalam skala yang sama terjadi ketika fungsi ekologis dijalankan oleh dua atau
lebih spesies yang berbeda tetapi mempunyai skala ukuran hampir sama.
Redudansi antar skala terjadi jika fungsi ekologis dari suatu spesies digantikan
oleh spesies lain yang berbeda ukuran skalanya dari kelompok fungsional yang
sama, misalnya antara penyu dan ikan herbivori dengan bulu babi Diadema
antillarum (Jackson 1997).
3. Memori Ekologis
Memori ekologi merupakan komposisi dan distribusi organisma serta
interaksinya dalam ruang dan waktu, termasuk pengalaman life history dengan
fluktuasi lingkungan (Nystrom and Folke 2001). Memori ekologis tersebut terdiri
atas tiga komponen, yaitu komponen biologis dan struktur yang selamat dari
gangguan (biological and structural legacy), organisme penghubung bergerak
(mobile link), dan daerah pendukung (support area). Komponen pertama
berfungsi sebagai memori internal, sedangkan komponen kedua dan ketiga
berfungsi sebagai memori eksternal di dalam proses reorganisasi dan rekonstruksi
ekosistem tersebut setelah gangguan.
Di dalam ekosistem terumbu karang, organism penghubung dapat berupa
larva biota penghuni terumbu karang yang tersebar sebagai plankton atau juvenile
ikan. Di dalam ekosistem yang bersifat terbuka seperti terumbu karang, peranan
organism penghbung sangatlah besar. Hanya sebagian kecil larva karang yang
34
diproduksi di suatu terumbu karang akan hidup menetap di habitat induknya.
Terumbu karang terdekat yang masih baik kondisinya merupakan daerah
pendukung yang menyuplai larva dan hewan ruaya. Peran serta organism
penghubung ini membuat connectivity terumbu karang sangat penting di dalam
pengukuran resiliensi. Terumbu karang yang dekat satu sama lainnya lebih tinggi
resiliensinya daripada yang terisolasi jauh dari terumbu karang lainnya. Terumbu
karang yang mengalami gangguan akan cepat pulih jika terumbu terdekatnya
masih dalam kondisi baik, atau tidak ikut mengalami gangguan yang sama.
Karena itu, jarak antar terumbu karang berpengaruh terhadap tingkat resiliensinya.
4. Herbivori
Herbivori merupakan suatu proses ekologis yang sangat penting pada
resiliensi ekosistem terumbu karang. Herbivori merupakan satu-satunya
mekanisme yang mengendalikan kelimpahan makroalgae. Jika pertumbuhan
makroalgae tidak dikendalikan maka komunitas makroalgae akan segera
mendominasi terumbu karang (Hughes et al 2007). Dominasi makroalgae
berdampak negative pada komunitas karang batu. Herbivori menyediakan ruang
kosong untuk penempelan larva karang. Herbivore yang lebih besar tidak hanya
mencabik makroalgae tetapi juga memarut dasar terumbu tempat tumbuhnya
makroalgae. Bagian kapur terumbu yang terbuka akibat cabikan tersebut akan
segera ditumbuhi oleh bakteri dan layak untuk menjadi tempat penempelan larva
planula karang. Makin tinggi kelimpahan herbivori menyebabkan resiliensi
ekosistem terumbu karang semakin baik.
Ikan-ikan herbivora di terumbu karang terdiri atas empat famili, yaitu
Achanthuridae, Scaridae, Siganidae dan Kyphosidae. Dari keempat famili
tersebut, tiga famili yang pertama merupakan ikan herbivora utama. Russ (1984a)
yang melakukan survei herbivori pada sembilan terumbu karang di GBR
membatasi ikan herbivora pada famili Achanthuridae, Scaridae dan Siganidae. Di
Lizard Island, GBR, dan sekitarnya, kelimpahan ketiga ikan herbivora utama
masing-masing adalah Achanthuridae (54%), Scaridae (31%) dan Siganidae
(14%) (Meekan and Choat 1997). Di San Blas Islands, Panama, Meekan and
Choat juga melaporkan pola yang serupa, walaupun ada satu lokasi dimana
Kyphosidae menunjukkan
proporsi
kelimpahan
yang sebanding
dengan
35
Achanthuridae, Scaridae dan Siganidae. Di Ambergris Caye, Belize, komposisi
biomassa ikan herbivora berbeda dari Lizard Island dan San Blas Islands tersebut
dengan Scaridae (65,4%) paling dominan di ikuti oleh Acanthuridae (30,1%) dan
Pomacentridae (4,5%) (Williams et al. 2001). Herbivori oleh Pomacentridae
bersifat khusus karena teritorial sehingga tidak dibahas bersama dengan herbivori
oleh Scaridae, Acanthuridae dan Siganidae.
2.4. Komponen Yang Berperan Penting Dalam Kehidupan Terumbu Karang
Terumbu karang hidup pada kondisi karakteristik lingkungan perairan
tertentu, dalam pertumbuhannya terumbu karang dipengaruhi oleh beberapa faktor
lingkungan perairan yang berperan penting bagi pertumbuhan dan perkembangan
terumbu karang. Terumbu karang pada umumnya terbatas pada suhu perairan
antara 18-360C, nilai optimal antara 26-280C. Hal ini selanjutnya akan di
ekspresikan dalam pola distribusi dan keragaman terumbu karang secara
latitudinal (Hubbard, 1990). Sensivitas terumbu karang terhadap suhu dibuktikan
dengan dampak yang ditimbulkan oleh perubahan suhu akibat pemanasan global
yang melanda perairan indonesia pada tahun 1998, yaitu terjadinya pemutihan
karang yang diikuti dengan kematian massal mencapai 90-95%. Suharsono (1999)
telah mencatat selama peristiwa pemutihan karang tersebut, suhu rata-rata
permukaan air sekitar gugusan Pulau Pari Kepulauan Seribu berkisar 2-30C diatas
suhu normal. Perkembangan mengenai pengaruh suhu terhadap terumbu karang,
lebih lanjut dilaporkan bahwa suhu yang mematikan binatang karang bukan suhu
yang ekstrim, namun lebih karena perbedaan perubahan suhu secara mendadak
dari suhu alami/normal. Menurut Neudecker (2001), perubahan suhu secara
mendadak sekitar 4-60C di bawah atau di atas ambient level dapat mengurangi
pertumbuhan karang bahkan mematikannya.
Hewan-hewan
memanfaatkan
karang
energi
membangun
cahaya
matahari
terumbu
yang
karang
menjadi
dengan
kunci
cara
eksistensi
pangadangan teori terumbu karang yang modern dan juga bisa jadi untuk semua
terumbu karang dalam skala waktu geologi. Cahaya secara ekologi merupakan
pembatas dibandingkan semua parameter fisika lingkungan lainnya, oleh sebab itu
cahaya dapat menyebabkan adanya pembatasan secara fisik terhadap biogeografi
karang secara horisontal. Kepentingan cahaya dari kajian biogeografi dan evolusi
36
adalah terkait dengan evolusi dan proses simbiosis karang dengan zooxanthellae
yang berperan dalam pembangunan terumbu karang yang melampaui waktu
evolusi itu sendiri. Terkait dengan hal terebut dan dalam peranan cahaya bagi
karang, hal ini sinergis dengan faktor sedimentasi yang pengaruhnya dapat
menyebabkan rendahnya diversitas karang (Veron, 1995).
Mengingat binatang karang (hermatypic atau reef-building corals) hidupnya
bersimbiose dengan ganggang (zooxanthellae) yang melakukan proses fotosintesa,
maka pengaruh cahaya (illumination) adalah penting sekali. Menurut Kanwisher
dan Wainwright (1997) titik kompensasi binatang karang terhadap cahaya adalah
pada intensitas cahaya antara 200-700 fluks (umumnya terletak antara 300-500
fluks). Intensitas cahaya secara umum di permukaan laut 2500-5000 fluks.
Mengingat kebutuhan tersebut maka binatang karang (coral reefs) umumnya
tersebar di daerah tropis. Berkaitan dengan pengaruh cahaya tersebut terhadap
pertumbuhan terumbu karang, maka faktor kedalaman juga membatasi kehidupan
binatang karang. Pada perairan yang jernih memungkinkan penetrasi cahaya bisa
sampai pada lapisan yang sangat dalam, sehingga binatang karang juga dapat
hidup pada perairan yang cukup dalam.
Sedimentasi
merupakan
masalah
yang umum
di
daerah
tropis,
pengembangan di daerah pantai dan aktifitas-aktifitas manusia lainnya, seperti
pengerukan, pertambangan, pengeboran minyak, pembukaan hutan dan aktifitas
pertanian, yang dapat membebaskan sedimen (terrigenoua sediments) ke perairan
pantai atau ke daerah terumbu karang. Sedimentasi juga dapat disebabkan oleh
carbonate sedimen, yiatu sedimen yang berasal dari erosi karang-karang, baik
secara fisik ataupun biologis (bioerosion). Bioerosi biasanya dilakukan oleh
hewan-hewan laut, seperti bulu babi, ikan, bintang laut, dan sebagainya.
Pengaruh sedimen terhadap pertumbuhan binatang karang dapat terjadi
secara langsung maupun tidak langsung. Sedimen dapat langsung mematikan
binatang karang, yaitu apabila sedimen tersebut ukurannya cukup besar atau
banyak sehingga menutuputi polip (mulut) karang. Pengaruh tidak langsumg
adalah melalui penetrasi cahaya dan banyaknya energi yang dikeluarkan oleh
binatang karang untuk menghalau sedimen tersebut, yang berakibat turunnya laju
pertumbuhan karang (Pastorok dan Bilyard 1985, Supriharyono 2000). Lebih
37
lanjut dilaporkan oleh Pastorok dan Bilyard (1985) bahwa beberapa jenis karang,
seperti Montastrea cavemosa, Siderastrea radians, S. siderea, dan Diphria
strigosa, cenderung paling tahan terhadap kekeruhan, demikian pula terumbu
karang di Teluk Fouha Cfan Ylig Guam, ada korelasi antara sedimentasi dengan
keanekaragaman dan tutupan karang hidup. Pengaruh
sedimentasi
terhadap
kehidupan karang yang diakibatkan oleh aktifitas pengerukan telah banyak
dilaporkan oleh para peneliti. Chansang et al (2001) melaporkan kematian karang
di Ko Phuket Thailand, akibat karang menerima sedimen yang cukup tinggi dari
perusahaan pengerukan dan pemisahan timah. Lebih lanjut dikatakan di perairan
sebelah utara Teluk Bang Tao (pantai barat Ko Phuket) tutupan karang hidup di
dekat pantai (reef flat) yang menampung banyak sedimen presentasenya sangat
rendah yaitu 3-6%, dibandingkan dengan di daerah tubir (reef edge) 27-34% atau
di daerah tubir (reef slope) 26-34%.
Demikian pula Brown (1987), yang melakukan penelitian di Semenanjung
Laem Pan Wah Ko Phuket, memperoleh keanekaragaman karang yang umumnya
rendah di daerah intertidal, dengan tutupan karang hidup sekitar 13-48%. Jenis
karang yang dominan di daerah tersebut adalah Porites, Montipora, Acropora, dan
Platygyra. Supriharyono (2000) juga melaporkan bahwa di perairan karang
Bandengan Jepara Jawa Tengah, yang menerima sedimentasi yang tinggi dari
aktifitas pertanian dan aktifitas lainnya di daerah atas terutama pada musim
penghujan, tutupan karang di perairan tersebut tercatat relatif rendah di daerah
reef flat yaitu sekitar 21-37% dan relatif tinggi di daerah dekat reef edge 50-80%
yang letaknya relatif jauh dari garis pantai (150-250 m). Demikian pula dengan
jenis-jenis yang dapat bertahan di kedua zona tersebut juga berbeda, yaitu hanya
1-5 spesies di reef flat dan lebih dari 20 spesies di daerah reef edge. Jenis-jenis
karang yang dominan adalah Porites lutes, Montipora digitata, Acropora aspera,
Acropora pulchra, dan Platygyra spp. Pada umumnya karang yang hidup di
daerah yang keruh atau sedimentasinya tinggi menampakan tanda-tanda stress,
seperti hilangnya warna, tertutup oleh silt, polyp yang baru mati atau lendir yang
berlebihan.
Pengaruh sedimentasi terhadap terumbu karang oleh Loya dan
Rinkevich (2000) yaitu : (1) menghambat pertumbuhan karang, (2) menghambat
planula karang untuk menempelkan diri dan berkembang pada substrat, (3)
38
menghambat persen fotosintesis zooxanthellae, (4) menyebabkan kematian karang
apabila menutupi permukaan karang, dan (5) meningkatkan kemampuan adaptasi
karang terhadap sedimen.
2.5. Kerusakan Ekosistem Terumbu Karang
Soeharsono (1991) menggolongkan penyebab kerusakan terumbu karang
kedalam tiga bagian yaitu : (1) kerusakan oleh sebab-sebab biologis seperti
adanya kompetisi, predasi, ledakan populasi fitoplankton, (2) kerusakan karang
oleh sebab-sebab mekanis seperti adanya arus kuat, sedimentasi, aktifitas
vulkanik, perubahan temperatur dan salinitas serta penetrasi sinar matahari, (3)
kerusakan karang karena aktifitas manusia seperti; pencemaran minyak, bahan
kimia, pengambilan karang untuk keperluan industri dan bangunan, pengeboman,
koleksi biota dan lain-lain.
Secara umum kerusakan terumbu karang dapat dibagi ke dalam tiga kategori
kerusakan yang dapat berakibat peningkatan degradasi terumbu karang. Beberapa
faktor penyebab keruskan terumbu karang tersebut adalah :
1. Faktor biologi
Dalam kehidupan berasosiasi dengan biota lain, karang akan selalu
berkompetisi memperebutkan ruang dengan biota, misalnya algae, karang lunak,
sponge dan berbegai biota lainnya yang terdapat di ekosistem terumbu karang.
Dalam kompetisi ini karang selalu kalah dengan karang lunak dan algae yang
mempunyai kecepatan tumbuh yang tinggi. Karang memakan plankton tetapi
karang juga dimakan oleh ikan, moluska, Acanthaster plancii.
Menurut Nybakken (1992), predator yang mampu merusak koloni karang
dan memodifikasi struktur terumbu karang adalah bintang laut, bulu seribu
(Acanthaster plancii), karena mempunya tangan banyak berukuran besar yang
memakan jaringan karang hidup. Porter (1972) dalam Nybakken (1992)
mengatakan bintang laut mempunyai pilihan makan yaitu spesies karang tumbuh
cepat dan mengusai tempat. Nishishira dan Yamazato (1972) dalam
Piyakornchana (1981) mengemukakan bahwa Acanthaster plancii lebih suka
melekat pada karang batu jenis Acropora dan Pocillopora dibandingkan jenis
karang lainnya. Namun Glynn (1976) dalam Sangaji (2003) mengemukakan
39
bahwa karang batu Pocillopora lebih dapat bertahan dari serangan Acanthaster
plancii
karena
bersimbiosis
dengan
Crustacea
dan
Polychaeta
yang
menyelamatkan koloni karang ini. Meningkatnya populasi Acnathaster plancii ini
diduga erat kaitannya dengan peningkatan unsur hara yang ada di perairan dan
berkurang atau hilangnya predator alami dari Acanthaster plancii yaitu Triton
terompet (Charonia tritonis).
Parasit yang hidup dalam karang juga banyak, mulai dari bakteri yang
menyebabkan penyakit (Ciliata) hingga molusca, crustacea dan cacing. Hubungan
antara karang dengan biota secara alami akan berjalan dalam kesetimbangan yang
dinamik, artinya biota yang satu akan mengontrol keberadaan dan besarnya
populasi biota yang lain sehingga terjadi interaksi yang setimbang.
2. Faktor alam
Adanya perubahan cuaca akan berakibat berubahnya pola arus, suhu,
gelombang, curah hujan, pasang surut, dan faktor iklim lain. Perubahan faktor
alam ini dapat mengganggu keseimbangan biologis yang menyebabkan
terganggunya metabolisme karang sehingga karang menjadi lemah dan sensitif
terhadap penyakit.
Menurut Wells dan Hanna (1992) salah satu penyebab
kerusakan karang yaitu terjadi proses pemutihan karang (coral bleaching) yang
dapat menyebabkan kematian karang secara massal. Selanjutnya dikatakan bahwa
proses pemutihan ini dapat terjadi karena adanya penurunan suhu secara drastis
(adanya front, upwelling, dll), surut terendah yang mengakibatkan karang berada
pada udara terbuka terlalu lama, pengaruh air tawar misalnya terjadi hujan lebat,
tingginya intensitas matahari yang mengakibatkan radiasi sinar ultra violet
meningkat serta polusi perairan.
Soeharsono (1998) mengatakan bahwa kenaikan suhu air laut pada daerah
yang luas dapat menyebabkan karang bleaching yang kadang-kadang diikuti
dengan kematian karang. Karang yang hidup di daerah tropis lebih sensitif
terhadap kenaikan suhu dibandingkan dengan karang yang di daerah sub tropis.
Wells dan Hanna (1992) mengatakan bahwa pemutihan karang disebabkan karena
pigmen dalam zooxanthellae berkurang atau bahkan hilang sama sekali dan atau
berkurangnya jumlah zooxanthellae di dalam sel binatang karang.
40
Faktor-faktor alam yang menyebabkan kerusakan terumbu karang hampir
tidak dapat dicegah ataupun ditanggulangi, yang dapat dilakukan adalah
melindungi daerah yang terkena bencana. Salah satu penyebab terjadinya
pemutihan karang secara besar-besaran adalah fenomena El-Nino. Fenomena ini
adalah peristiwa terjadinya perubahan pola pergerakan air di Pasifik, biasanya
terjadi 3 - 5 tahun sekali. Pada kondisi normal angin bertiup dari arah timur dan
air dingin menyebar kearah barat menuju Pasifik dari pesisir Amerika Selatan.
Selama terjadi fenomena El-Nino, arah angin berubah, angin di wilayah tropis
pasifik bertiup dari arah barat dan penyebaran air dingin berubah menjadi hangat
(Wells dan Hanna 1992).
3. Faktor aktifitas manusia
Kerusakan ekosistem terumbu karang akibat aktifitas manusia dapat dibagi
menjadi dua yaitu secara tidak langsung dan secara langsung. Kerusakan secara
tidak langsung dapat berupa; penurunan kualitas air yang disebabkan oleh adanya
limbah industri, limbah rumah tangga, limbah lahan pertanian, pembukaan lahan
hutan dan sebagainya. Sedangkan kerusakan akibat aktifitas manusia secara
langsung dapat berupa penambangan karang, pengeboman karang, penangkapan
ikan dengan racun (Potasium sianida) dan bahan peledak, penangkapan ikan
dengan alat tangkap yang dapat merusak karang. Menurut Sukarno et al (1983)
bahwa kegiatan manusia secara langsung dapat menyebabkan bencana kematian
di terumbu melalui penambangan batu karang, penangkapan ikan dengan
menggunakan peledak dan bahan kimia beracun, penggunaan jangkar dan
eksploitasi yang berlebihan terhadap sumberdaya tertentu. Aktifitas manusia di
sektor perikanan laut, pariwisata dan perhubungan laut merupakan penyumbang
terbesar untuk kerusakan ekosistem terumbu karang.
Tanda-tanda kerusakan karang secara umum dapat dilihat dari adanya
kerusakan fisik dan fisiologi. Kerusakan fisik dapat dilihat misalnya terangkatnya
dari tempat melekat, penyebab kerusakan fisik seperti ledakan bom, badai, tarikan
jangkar, dan pembongkaran karang. Sedangkan kerusakan fisiologi biasanya
ditandai dengan perubahan warna dari koloni karang. Mula-mula karang menjadi
pucat yang kemudian memutih dan sering diikuti dengan kematian, perubahan
warna dari normal menjadi putih ini yang disebut bleaching. Pada kerusakan
41
secara fisiologi koloni karang tetap utuh, cabang-cabang masih berdiri teguh
namun karangnya menjadi putih atau sudah mati. Penyebab kerusakan fisiologi
biasanya adalah penyakit, zat pencemaran, atau yang erat kaitannya dengan proses
biologi dan kimiawi (Soeharsono 1998).
2.6. Sistem dan Sistem Dinamik
2.6.1. Sistem
Teori sistem dipelopori oleh von Bertalanffy pada tahun 1968, yang
memperkenalkan suatu kerangka konsep dan teori umum yang dapat diterapkan
pada berbagai bidang ilmu. Kerangka tersebut dikenal dengan nama General
System Theory (GST) yang didasari oleh perlunya keahlian generalis dan
pendekatan lintas disiplin dalam memahami dunia nyata secara efesien.
Sistem adalah suatu gugus dari elemen yang saling berhubungan dan
terorganisir untuk mencapai suatu tujuan atau suatu gugus dari tujuan (Manetsch
dan Park 1979 dalam Eriyatno 2003). Disiplin akademik dan ilmu pengetahuan
mempunyai pandangan masing-masing dan tersendiri atas keutuhan alamiah.
Bertentangan dengan keutuhan alamiah tersebut, para ilmuwan di masing-masing
disiplin mengembangkan beragam model yang seringkali tidak konsisten, parsial,
temporal dan bersifat diskrit (tidak berkesinambungan). Kenyataan yang mendasar
dari persoalan aktual adalah kompleksitas, dimana unitnya adalah keragaman.
Oleh karena keragaman yang begitu besar tidak mungkin dikaji atau dikendalikan
oleh satu atau dua metode spesifik saja. Dalam hal ini, teori sistem
mempertanyakan bahwa kesisteman adalah suatu meta konsep atau meta disiplin;
dimana formalitas dan proses dari keseluruhan disiplin ilmu dan pengetahuan
sosial; dapat dipadukan dengan berhasil (Gigh 1993 dan Carnavayal 1992 dalam
Kholil 2005). Disebabkan pemikiran sistem selalu mencari keterpaduan antar
bagian melalui pemahaman yang utuh, maka diperlukan suatu kerangka fikir baru
yang terkenal sebagai pendekatan sistem (System Approach). Dalam pendekatan
sistem umumnya ditandai oleh dua hal, yaitu : 1) mencari semua faktor penting
yang dalam mendapatkan solusi yang baik untuk menyelesaikan masalah, dan 2)
dibuat suatu model kuantitatif untuk membantu keputusan secara rasional. Untuk
42
dapat bekerja secara sempurna suatu pendekatan sistem mempunyai delapan unsur
yang meliputi 1) metodologi untuk perencanaan dan pengelolaan, 2) suatu tim
yang multidisipliner, 3) pengorganisasian, 4) disiplin untuk bidang yang non
kuantitatif, 5) teknik model matematik, 6) teknik simulasi, 7) teknik optimasi dan
8) aplikasi komputer (Eriyatno 2003).
Perilaku sistem diartikan sebagai status sistem dalam suatu periode waktu
tertentu, dimana perubahan status sistem tersebut diamati melalui dinamika
outputnya. Status sistem dapat berkeadaan transien yaitu adanya perubahan output
di setiap satuan waktu atau berkeadaan berkeseimbangan (steady state) yaitu
adanya keseimbangan aliran masuk dan keluar. Status sistem juga berkaitan
dengan apakah tertutup (closed system) dimana interaksi dengan lingkungan
sangat kecil sehingga bisa diabaikan, dan atau terbuka (open system) dimana
paling sedikit satu elemennya berinteraksi dengan lingkungannya. Dalam
kenyataan sistem tertutup tidak pernah ada, hanya ada dalam anggapan dan kajian
analisis (Muhamadi et al 2001). Berdasarkan sifatnya sistem dapat dibagi menjadi
dua yaitu sistem dinamik dan sistem statis (Djojomartono dan Pramudya 1983
dalam Kholil 2005). Sistem dinamik memiliki sifat yang berubah menurut waktu,
jadi merupakan fungsi dari waktu. Sistem dinamik ditandai dengan adanya ”time
delay” yang menggambarkan ketergantungan out put terhadap variabel input pada
periode waktu tertentu. Sedangkan sistem statis adalah sistem yang nilai out
putnya tidak tergantung pada nilai inputnya. Secara lengkap karakteristik
pendekatan sistem adalah : 1) kompleks, dimana interaksi antar elemen cukup
rumit, 2) dinamis, dalam arti faktor yang ada berubah menurut waktu dan ada
pendugaan ke masa depan, dan 3) probabilistik, yaitu diperlukannya fungsi
peluang dalam inferensi kesimpulan maupun rekomendasi (Eriyatno 2003, Kholil
2005).
Penyelesaian persoalan melalui pendekatan sistem menekankan pada tiga
filosofi dikenal dengan SHE, yaitu Sibernetik (goal oriented), Holistik dan
Efektivitas. Sibernetik (goal oriented) artinya dalam penyelesaian permasalahan
tidak berorientasi pada problem oriented, tetapi lebih ditekankan pada ”apa
tujuan” dari penyelesaian masalah tersebut. Efektivitas maksudnya sebuah sistem
yang telah dikembangkan haruslah dapat dioperasikan. Oleh karena itu sistem
43
haruslah merepresentasikan kondisi nyata yang sebenarnya terjadi, dan holistik
mengharuskan merepresentasikan penyelesaian permasalahan secara utuh,
menyeluruh dan terpadu.
2.6.2. Sistem Dinamik
Sistem dinamik (dynamic system) merupakan salah satu teknik HSM yang
dapat digunakan dalam rancang bangun sistem (Eriyatno dan Sofyar 2007).
Metodologi sistem dinamik dibangun atas dasar tiga latar belakang disiplin yaitu
manajemen tradisional, teori umpan balik atau cybernetic, dan simulasi komputer.
Prinsip dan konsep dari ketiga disiplin ini dipadukan dalam sebuah metodologi
untuk memecahkan permasalahan manajerial secara holistik, menghilangkan
kelemahan dari masing–masing disiplin, dan menggunakan kekuatan setiap
disiplin untuk membentuk sinergi (Muhamadi et al 2001).
Validasi model sistem dinamik pada dasarnya adalah suatu proses
membangun kepercayaan pada kegunaan model sebagai alat bantu analisis dan
perancangan kebijakan. Dalam proses validasi ini, sebuah model tidak akan dapat
dinyatakan valid secara absolut, jika tidak terdapat bukti bahwa model dapat
merepresentasikan suatu realita dengan benar-benar mirip secara absolut, sehingga
dengan melakukan proses pengujian model sistem dinamik terhadap bukti-bukti
empiris akan meningkatkan kepercayaan seseorang terhadap model. Pengujian
terhadap model sistem dinamik secara umum dapat dibagi menjadi tiga katagori
utama sebagai berikut:

Validasi struktur, yaitu pengujian relasi antar variabel yang ada di dalam
model, dan disesuaikan dengan keadaan pada sistem yang sebenarnya.

Validasi perilaku, yaitu pengujian terhadap kecukupan struktur model
dengan melakukan penilaian terhadap perilaku yang dihasilkan model;

Validasi implikasi kebijakan, yaitu pengujian terhadap perilaku model
terhadap berbagai rekomendasi kebijakan.
2.7. Pendekatan Sistem Dinamik Resiliensi Eko-Sosio Terumbu Karang
Masalah pengelolaan ekosistem terumbu karang di Teluk Kotania dengan
pendekatan Resiliensi Ekologi-Sosial (RES) bersifat kompleks karena melibatkan
banyak indikator
variabel resiliensi ekologi dan sosial seperti karakteristik
44
lingkungan perairan dengan berbagai parameter pembatas, kondisi terumbu
karang dan berbagai jenis biota yang berasosiasi dengan terumbu karang, mata
pencaharian, struktur sosial-budaya masyarakat, partisipasi masyarakat, regulasi
kebijakan,
pemanfaatan
ekosistem
terumbu
karang,
tingkat
pendapatan
masyarakat, tingkat ketergantungan, kelembagaan, dan faktor eko-sosio lainnya.
Hal ini menyebabkan upaya pengelolaan terumbu karang di Teluk Kotania
menjadi semakin kompleks. Oleh karena itu dalam pengelolaan ekosistem
terumbu karang di Teluk Kotania perlu pendekatan sistem dengan memperhatikan
keterpaduan dan keberlanjutan.
Pendekatan kesisteman dengan multidisiplin ilmu merupakan alternatif
terbaik bagi penyelesaian masalah pengelolaan terumbu karang yang kompleks
tersebut. Hal ini karena melalui pendekatan kesisteman ini akan dapat
diidentifikasi
kebutuhan para stakeholders,
sehingga dapat
dicari
satu
penyelesaian holistik dan terpadu yang dapat memberikan hasil lebih efektif.
Dengan mengacu pada tahapan pendekatan sistem (Eriyatno, 2003; Hartisari,
2007), maka secara diagramatis desain tahapan pendekatan sistem dalam
penelitian ini disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5. Pendekatan sistem RES pengelolaan terumbu karang di Teluk Kotania
45
Pelaksanaan semua tahapan tersebut dalam satu ketentuan kerja merupakan
analisis sistem ( Eriyatno 2003 dan Hartisari 2007).
Sistem model dinamik merupakan salah satu pendekatan kesisteman yang
memiliki beberapa keunggulan antara lain : 1) dapat menyederhanakan model
masalah yang kompleks menjadi lebih sederhana, dan 2) adanya umpan balik
(feed back) dalam model (Kholil 2005). Dalam pengembangan model dinamik,
penggunaan perangkat lunak (software tool) computer sangat diperlukan. Melalui
perangkat lunak kita dapat melakukan simulasi terhadap model yang telah
dikembangkan untuk melihat trend (pola) sistem pada masa yang akan datang
seiring perubahan waktu. Sehingga perubahan (perbaikan) yang diperlukan untuk
mendapatkan sistem model yang diinginkan dapat dilakukan. Ada dua jenis
perbaikan yang dapat dilakukan : a) perbaikan struktural, yakni dengan melakukan
penyempurnaan model (menambah/mengurangi), dan b) perbaikan fungsional,
yakni dengan melakukan penyempurnaan unsur-unsur sistem.
Download