17 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Resiliensi Eko-Sosio Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Pemahaman bahwa kapasitas ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil untuk beregenerasi setelah bencana dan terus menghasilkan sumberdaya alam dan jasa lingkungan bagi manusia tidak bisa lagi diterima. Akan tetapi, resiliensi ekologisosial perlu untuk lebih dipahami pada skala yang lebih luas serta dikelola dan dijaga secara aktif. Pengembangan resiliensi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah hal yang penting mengingat trend perkembangan pemukiman, pemanfaatan sumberdaya dan perubahan lingkungan. Dua per tiga dari bencana pesisir yang tercatat setiap tahun terkait dengan cuaca buruk seperti taufan dan banjir, yang ancamannya tampaknya akan semakin luas karena perubahanperubahan yang disebabkan oleh faktor manusia terhadap iklim bumi dan kenaikan paras muka laut. Berbagai tekanan yang menyebabkan degradasi terhadap terumbu karang seperti pencemaran, sedimentasi, pemutihan karang (coral bleaching), gangguan predator, serta berbagai cekaman lingkungan faktorfaktor ekologi lainya merupakan hal mendasar perlu diterapkanya konsep resiliensi ekologi-sosial (eko-sosio) bagi pengelolaan terumbu karang di pesisir dan pulau-pulau kecil, seperti yang terjadi pada kawasan Teluk Kotania. Resiliensi ekologi-sosial meliputi beragam mekanisme untuk bertahan hidup dan belajar dari kondisi yang berubah secara tiba-tiba. Resiliensi ekologi-sosial adalah kapasitas dari sistem ekologi-sosial yang saling terkait untuk mengabsorbsi gangguan dan perubahan karena terjadinya bencana sehingga tetap mampu mempertahankan struktur dan proses esensial yang ada serta mampu menyediakan umpan balik. Resiliensi merefleksikan tingkat kemampuan adaptif sebuah sistem yang kompleks untuk melakukan pengorganisasian diri (self-organization), sebagai lawan dari kurang terorganisir atau pengorganisasian yang dipaksakan oleh faktor eksternal. Pengembangan resiliensi sistem ekologi-sosial merupakan kunci bagi pembangunan yang keberlanjutan. Namun demikian, pengembangan resiliensi 18 sistem ekologi-sosial di negara-negara berkembang masih sangat diabaikan, sementara resiliensi sangat sesuai untuk digunakan dalam mengkaji pengelolaan keberlanjutan di pesisir khususnya bila dikaji dari aspek perubahan mendadak. Resiliensi berhubungan dengan gabungan dinamika sistem manusia dan lingkungan yang menghindari penekanan atau pemisahan dari faktor lingkungan dan sosial-ekonomi serta mempertimbangkan sepenuhnya kompleksitas dinamika yang ada di dalamnya sehingga sangat sesuai dengan konsep ICM (Integrated Coastal Management) yang merupakan paradigma pengelolaan yang digunakan saat ini. Walaupun saat ini upaya penerapan teori resiliensi dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil belum banyak dilakukan karena masih tergolong kajian yang sangat baru, tetapi berdasarkan alasan yang disebutkan sebelumnya, maka dapat dikatakan bahwa teori resiliensi memiliki potensi yang sangat besar diaplikasikan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil. Perubahan yang terjadi pada ekosistem perairan yang berkaitan dengan resiliensi ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil, dapat ditampilkan pada Tabel 1 dibawah ini. Tabel 1. Contoh perubahan yang terjadi pada ekosistem perairan Ecosystem Type Freshwater System Marine Systems Alternative State 1 Alternative State 2 References Clear water Turbid water Carpenter, 2001 Benthic Vegetation Blue-green algae Scheffer et al., 2001 Oligotrophic macrophytes and algae Cattails and blue green algae Gunderson, 2001 Hard coral Flesh Algae Nistrom et al., 2000 Kelp forest Urchin dominance Seagrass beds Algae and muddy water Estes and Duggins, 1993 Gunderson, 2001 Terumbu karang di wilayah Karibia yang telah mengalami perubahan drastis dalam dua dekade terakhir yaitu dari dominan karang keras menjadi dominan alga lunak. Perubahan diakibatkan oleh kombinasi proses alami (badai dan penyakit) serta faktor manusia (kelebihan tangkap dan peningkatan nutrien). Selanjutnya, 19 kondisi di atas bisa berubah kembali, misalnya bila fungsi fungsi grazing terhadap alga oleh spesies ikan herbivor ditingkatkan dengan mengurangi penangkapan terhadap jenis ikan herbivor dapat meningkatkan kembali resiliensi terumbu karang dengan menyediakan luas permukaan dasar perairan yang cukup bagi kolonisasi kembali oleh larva terumbu karang sehingga bisa kembali ke keadaan yang didominasi oleh karang setelah terjadinya badai (Nystrom and Folke 2001). Disamping itu, perubahan degradasi sumberdaya yang dapat mempengaruhi kondisi resiliensi di wilayah pesisir juga diakibatkan oleh kegiatan overfishing. Tekanan penangkapan ikan terhadap jaring-jaring makanan dapat menyebabkan perubahan yang besar dalam kelimpahan spesies pada berbagai tingkatan tropik. Di Laut Hitam, overfishing berkontribusi terhadap hancurnya perikanan tangkap, meledaknya populasi ubur-ubur, peledakan populasi alga dan rusaknya komunitas bentik. Hal yang sama terjadi di utara Laut Atlantic dan Baltic akibat pemancingan/rekreasi. Dampak industri perikanan tangkap dunia terlihat dari transisi jaring makanan di laut dari ikan-ikan tropik tinggi yang bersiklus hidup panjang menuju ke avertebrata dan plankton berukuran kecil dengan tropik rendah dan siklus hidup pendek yang memakan ikan-ikan pelagis. Selain itu, industri perikanan juga telah menyebabkan reduksi dari kelompok fungsional dari spesies tertentu (mamalia laut, penyu, ikan karang) dan memutus tingkat tropik sehingga ekosistem laut menjadi sangat rentan. Hilangnya kelompok fungsional tersebut menyebabkan berbagai dampak diantaranya eutrofikasi, peledakan populasi alga, penyebaran penyakit, dan masuknya spesies baru di laut. Terganggunya kestabilan sumberdaya perikanan akibat kegiatan eksploitasi yang berakibat degradasi sumberdaya yang lebih luas, sudah tentu akan mempengaruhi kondisi sosial dan ekonomi suatu kawasan. Kondisi ini secara langsung akan mempengaruhi tingkat resiliensi sosial dan ekonomi masyarakat yang memiliki hubungan ketergantungan secara langsung terhadap sumberdaya perikanan di pesisir dan pulau-pulau kecil. Selain itu, badai dan topan yang menimbulkan dampak bagi masyarakat di seluruh dunia, berupa kehilangan tempat tinggal, kematian dalam skala masif, serta dampak tidak langsungnya terhadap ekosistem pesisir seperti terumbu karang, lamun dan mangrove yang mendukung kehidupan sosial dan ekonomi 20 lokal. Saat ini banyak pendapat yang menyatakan bahwa perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia meningkatkan frekuensi badai. Di Karibia, respon terhadap badai dan efektivitasnya tergantung pada resiliensi ekologi-sosial-ekonomi. Sebagai contoh, di Pulau Cayman telah diimplementasikan aksi pada tingkat nasional dan lokal, membangun kesiapsiagaan dan resiliensi komunitas, dan kemudian terjadi tiga kali badai besar, yaitu Gilbert pada tahun 1998, Mitch pada tahun 1998, dan Michelle pada tahun 2000. Resiliensi pulau tersebut kemudian diuji lagi oleh topan Ivan pada tahun 2004, yang menunjukkan peningkatan. Evaluasi terhadap berbagai komponen aksi yaitu adaptasi dan perubahan aturan dan kebijakan terhadap resiko bencana, perubahan kelembagaan, penyiapan sistem peringatan dini, dan pengembangan pengetahuan untuk memobilisasi diri. Selanjutnya pembelajaran sosial, keberagaman adaptasi, dan pengembangan kohesi sosial yang kuat serta mekanisme aksi kolektif menunjukkan peningkatan resiliensi terhadap bencana. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa resiliensi ekologi-sosial terhadap bencana pesisir dapat ditingkatkan dengan melibatkan berbagai tindakan yang membutuhkan agen manusia. Keterbukaan terhadap bahaya juga dapat dikurangi melalui intervensi aturan atau norma dalam pemanfaatan wilayah pesisir. Resilliensi pada sistem ekologis-sosial memiliki berbagai mekanisme untuk menghadapi perubahan dan krisis. Dalam ekosistem, biodiversitas, redundansi fungsional, dan pola spasial semuanya dapat mempengaruhi resiliensi. Biodiversitas memperkuat resiliensi bila spesies atau kelompok fungsional merespon secara berbeda terhadap fluktuasi lingkungan, sehingga penurunan jumlah dalam satu kelompok dikompensasi oleh kenaikan pada kelompok lainnya. Heterogenitas spasial juga akan memperkuat resiliensi bilamana area pengungsian menyediakan sumber-sumber bagi koloni untuk merepopulasi wilayah yang rusak. Sesuai dengan itu, dalam sistem sosial, tatanan dan kerangka pengelolaan dapat menyebarkan resiko melalui pendiversifikasian pola pemanfaatan sumberdaya dengan mendorong dilakukannya kegiatan dan gaya atau pola hidup alternatif, praktek seperti ini akan mempertahankan kelestarian jasa-jasa lingkungan secara berkelanjutan. 21 2.2. Konsep Resiliensi Dalam Kaitan Dengan Sistem Ekologi-Sosial Perspektif mengenai resiliensi pertama kali muncul dari ilmu ekologi pada dekade 60-an dan 70-an dari studi interaksi populasi seperti antara mangsa dan pemangsa dan respon fungsional dalam kaitan dengan teori stabilitas ekologi. Holling (1973) dalam tulisannya mengenai resiliensi dan stabilitas mengilustrasikan adanya beberapa domain stabilitas (multiple stability domains atau multiple basins of attraction) dalam sistem alam, serta domain tersebut berhubungan dengan proses ekologi, kejadian acak (misalnya gangguan), dan heterogenitas berdasarkan skala temporal dan spasial. Holling memperkenalkan resiliensi sebagai kapasitas untuk bertahan dalam sebuah domain pada saat menghadapi perubahan, dan mengajukan teori bahwa resiliensi menentukan persistensi hubungan dalam sebuah sistem dan merupakan ukuran kemampuan sistem tersebut untuk menyerap perubahan keadaan, mengarahkan, dan mempertahankan keadaan variabelnya. Perspektif ini mulai berkembang awal dekade 90-an melalui penelitian mengenai studi interdisiplin biodiversitas, sistem kompleks, rejim hak kepemilikan, interaksi lintas level dan permasalahan kesesuaian antara ekosistem dan institusi, serta dalam hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan sistem sosio-ekonomi. Holling (1973) menuliskan bahwa dalam upaya menjembatani penelitiannya ke tingkat ekosistem melalui kombinasi persamaan predasi dengan berbagai proses yang berhubungan dalam sebuah model populasi, ditemukan adanya keadaan multi-stabil, bentuk non linier dari respon fungsional dan respon reproduksi yang saling berinteraksi membentuk dua keadaan stabil. Keadaan multi-stabil ini merupakan kenyataan yang tidak dapat dihindari yang memiliki konsekuensi besar terhadap teori dan praktek yang ada. Pemahaman bahwa kondisi ekuilibrium tunggal dan stabilitas global yang digunakan selama ini telah menyebabkan fokus ilmu ekologi berfokus pada tingkah laku yang mendekati ekuilibrium dan pada carrying capacity tetap, yang bertujuan meminimalkan variabilitas. Kondisi multi-stabil untuk mengharuskan perhatian pada variabilitas tinggi yang merupakan atribut untuk menjamin keberadaan dan pembelajaran (existence and learning), dimana kejutan dan ketidakpastian yang 22 inheren di dalamnya merupakan konsekuensi yang tak terhindarkan dalam sistem ekologis. Selanjutnya, hasil-hasil penelitian mengenai pengelolaan adaptif sumberdaya dan lingkungan pada ekosistem regional dimana aspek sosial dan teori ekologi digunakan bersama untuk menganalisis bagaimana ekosistem terbentuk dan bertingkah laku, serta bagaimana institusi dan masyarakat yang berasosiasi dengannya diorganisir dan bertingkah laku yang menekankan pentingnya “belajar mengelola perubahan” daripada sekedar “bereaksi terhadap perubahan”. Perspektif tersebut dalam hubungannya dengan teori resiliensi berlawanan dengan pemahaman yang berpusat pada ekuilibrium, strategi command and control yang diarahkan untuk mengontrol variabilitas dari sumberdaya tertentu sebagai perspektif yang mendominasi pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan permasalahan kontemporer. dalam Strategi seperti jangka pendek, ini misalnya cenderung penurunan menyelesaikan hasil panen, keberhasilan mengontrol satu variabel yang seringkali berfluktuasi yang menyebabkan perubahan variabel-variable pada skala temporal dan spasial, misalnya dinamika nutrien dan makanan. Pengelolaan seperti ini menyebabkan praktek budidaya pertanian dan perikanan yang ada dijadikan homogen secara spasial yang rentan terhadap gangguan yang sebelumnya masih mampu diserap (Holling et al., 1998). Perspektif di atas pada awalnya banyak ditentang oleh ilmuwan ekologi, karena lebih mudah mendemonstrasikan pergeseran (shift) antara berbagai keadaan dalam model dibandingkan pada dunia nyata (Holling 1973, May 1977), dinamika non linier dan perubahan equilibrium (domains of attraction) jarang ditemukan dalam kasus-kasus ekologis. Untuk menggambarkan perkembangan teori resiliensi, berikut ini disajikan 3 (tiga) tipe resiliensi yang terkait dengan proses perkembangan tersebut. 1. Tipe Resiliensi Engineering Dalam ilmu ekologi, pendefinisian resiliensi dilakukan berdasarkan penekanan perbedaan antara dua aspek stabilitas. Holling (1973) pertama kali menekankan perbedaan aspek stabilitas tersebut yaitu antara efisiensi di satu pihak 23 dengan persistensi di lain pihak, antara kondisi konstan dengan perubahan, atau antara kepastian dengan ketidakpastian. Resiliensi merupakan kemampuan dari sebuah ekosistem untuk mentolerir perubahan tanpa menyebabkan pengurangan kondisi kualitatifnya. Kemampuan ini dikendalikan oleh seperangkat proses, dimana sebuah ekosistem yang resilient dapat bertahan terhadap perubahan mendadak dan memperbaiki keadaannya sendiri jika diperlukan. Batasan di atas difokuskan kepada efisiensi, kontrol, keadaan konstan, dan kepastian yang semuanya merupakan atribut kondisi optimal. Definisi ini berdasar pada pemahaman lama yaitu kondisi alam yang stabil dan mendekati keadaan keseimbangan tetap, dimana resistensi terhadap gangguan dan kecepatan untuk kembali ke keadaan seimbang digunakan sebagai ukuran. Tipe resiliensi seperti ini disebut Resiliensi Engineering. Pemahaman tipe ini merupakan intisari dari teori ekonomi. Gambar 3. Gambaran besarnya gangguan yang dapat diserap sebelum terjadi perubahan dinamika keseimbangannya secara total (Sumber : Holling, 1973) Penggunaan asumsi ekuilibrium tunggal pada skala sempit dan eksperimentasi jangka pendek terus saja dipakai. Asumsi ini mendominasi arus 24 utama ilmu ekologi dan kemudian dipakai menginterpretasikan resiliensi sebagai waktu yang dibutuhkan untuk kembali ke keadaan semula setelah adanya gangguan yang dinamakan engineering resilience (Holling 1996). Resiliensi ini berfokus pada tingkah laku mendekati ekuilibrium stabil dan laju dimana sistem mendekati kondisi tetap (steady state) setelah perubahan, yaitu kecepatan kembali ke titik ekuilibrium. Resiliensi diestimasi dari jumlah waktu yang dibutuhkan untuk merubah kerusakan ke fraksi tertentu dari kondisi awal. Sebagai catatan, hal di atas hanya dapat diaplikasikan pada sistem linier atau pada sistem non-linier yang memiliki kondisi mendekati ekuilibrium stabil dimana dalam hal ini aproksimasi linier masih dimungkinkan (Ludwig et al 1997). Pandangan ekuilibrium tunggal secara substansial telah mewarnai pengelolaan sumberdaya dan lingkungan kontemporer dengan tujuan untuk mengontrol aliran sumberdaya secara optimal. Interpretasi ini digunakan dalam banyak studi ekologis seperti pada studi pemulihan atau waktu yang dibutuhkan kembali ke keadaan semula (recovery) bagi dominasi karang setelah terjadinya pemutihan. 2. Tipe Resiliensi Ekosistem/Ekologi Pemulihan dipengaruhi oleh frekuensi dan tingkatan gangguan serta oleh heterogenitas spasial dari sistem ekologis. Adanya gangguan dan heterogenitas spasial menyebabkan arah pemulihan (recovery trajectory) menjadi unik dan kompleksitas sistem yang dikombinasikan dengan efek gabungan dapat menyebabkan arah pemulihan hampir tidak mungkin untuk diprediksi (Paine et al 1998). Dengan demikian penggunaan konsep pemulihan dalam sistem yang kompleks dan adaptif mulai ditinggalkan dan digantikan dengan konsep pembaruan, regenerasi, dan reorganisasi setelah adanya gangguan (Bellwood et al 2004), serta penggunaan istilah `rejim` atau `atraktor` sebagai pengganti dari istilah kondisi stabil atau ekuilibrium, karena istilah sebelumnya tidak mempertimbangkan faktor dinamika (Carpenter 2004). Bila sebuah sistem dapat mereorganisasi dirinya yaitu merubah keadaan dari satu domain stabil ke domain stabil lainnya, maka ukuran dinamika ekosistem yang lebih relevan digunakan adalah resiliensi ekologi, yaitu ukuran jumlah perubahan atau gangguan yang diperlukan untuk merubah sistem. Perubahan ini 25 dipengaruhi oleh seperangkat proses dan struktur yang saling menguatkan dari satu keadaan ke keadaan yang lain. Definisi ini berfokus pada persintensi, kemampuan adaptif, variabilitas dan ketidakpastian yang kesemuanya merupakan atribut dari perspektif evolusi dan pembangunan, yang juga sejalan dengan sifat keberlanjutan. Batasan ini ditekankan pada kondisi yang jauh dari keadaan seimbang, dimana ketidakstabilan dapat membalik keadaan sebuah sistem ke rejim keadaan lainnya yaitu domain yang stabil. Dalam konteks ini resiliensi diukur berdasarkan besaran gangguan yang mampu diserap hingga suatu batas dimana sistem tersebut merubah strukturnya melalui pengubahan variabel dan proses yang mengontrolnya. Tipe resiliensi seperti ini disebut Resiliensi Ekologi. Gambar 4. Laju perbaikan dari sebuah kerusakan menuju stabilitas baru yang bergantung pada resiliensi dan resistensi (Sumber: Holling 1973) Resiliensi ekologi lahir dari aplikasi teori matematika dan ekologi sumberdaya pada tingkatan ekosistem, misalnya pada dinamika pengelolaan sistem air tawar, hutan, perikanan, dan padang rumput. Esensi perbedaan kedua aspek stabilitas tersebut yaitu pada pemeliharaan efisiensi fungsi pada resiliensi 26 engineering dengan pemeliharaan eksistensi fungsi pada resiliensi ekologi. Ludwig et al (1997) menyusun dasar matematis untuk membedakan antara perspektif engineering resilience dengan ecological/ecosystem resilience. Selain itu terdapat pula tipe resiliensi dalam sistem sosial yang akan menambah kapasitas manusia untuk mengantisipasi dan merencanakan masa depan, dimana dalam sistem “manusia-alam” resilensi ini disebut sebagai kapasitas adaptif. Pemahaman mengenai sistem kompleks digunakan sebagai penghubung antara ilmu sosial dan ilmu biofisik, dan menjadi penopang beberapa pendekatan terpadu seperti ilmu ekologi-ekonomi dan ilmu keberlanjutan. 3. Tipe Resiliensi Ekologi-Sosial Sistem sosial manusia mungkin dapat memberi kemampuan yang besar untuk menghadapi perubahan dan beradaptasi jika dianalisis hanya melalui lensa dimensi sosial. Akan tetapi adaptasi seperti ini mungkin merupakan harga dari perubahan dalam kapasitas ekosistem untuk mempertahankan adaptasi dan mungkin menghasilkan jebakan atau akhir dari resiliensi sistem sosial–ekologis (Gunderson and Pritchard 2002). Serupa dengan hal tersebut, jika fokus hanya pada sisi ekologis saja sebagai dasar dalam pengambilan keputusan bagi keberlanjutan maka akan mengarah pada kesimpulan yang sempit dan salah. Oleh karena itu resiliensi menekankan pada keterkaitan antara sistem sosial dan ekologis. Berkes et al (2003) menggunakan istilah sistem sosial–ekologis untuk memberi perhatian pada konsep keterpaduan dari manusia dalam alam (humansinnature) dan memberi penekanan bahwa pemisahan antara sistem ekologi dan sosial adalah sesuatu hal yang tidak semestinya dan tidak logis (artificial and arbitrary). Keterkaitan dan masalah kesesuaian sistem sosial dan ekologi pada praktek pengelolaan dihubungkan melalui pemahaman ekologis dengan mekanisme sosial yang melatar belakangi praktek pengelolaan tersebut, pada berbagai kondisi geografis, budaya dan ekosistem. Sistem sosial–ekologi memiliki umpan balik silang yang kuat, dimana dalam hubungannya dengan resiliensi, umpan balik tersebut beserta interaksi lintas skalanya merupakan fokus dari model sistem yang sepenuhnya terintegrasi dari agen dan ekosistem yang memiliki kondisi stabil banyak atau multiple stable 27 states. Resiliensi menyediakan kemampuan untuk menyerap kejutan dan pada saat yang sama mempertahankan fungsinya. Saat terjadi perubahan, resiliensi menyediakan komponen-komponen yang dibutuhkan untuk pembaruan dan pengorganisasian kembali. Dengan demikian penting untuk membedakan antara tingkah laku mendekati ekuilibrium stabil dan kondisi tetap (steady state) global, dengan tingkah laku pada batas domain atraktor yang merupakan suatu keadaan ekuilibrium yang tidak stabil, merefleksikan tingkah laku sistem kompleks adaptif. Definisi Holling (1973) merupakan fondasi yang mendasari perkembangan perspektif resiliensi sistem sosial ekologis yang sesuai dengan dinamika sistem kompleks adaptif. Mempertimbangkan dinamika dan hubungan lintas skala antara perubahan tiba-tiba dan sumber resiliensi, maka resiliensi dari sistem kompleks adaptif bukan sekedar resistensi terhadap perubahan dan konservasi struktur saat ini. Dengan demikian resiliensi merupakan kapasitas sistem untuk menyerap gangguan dan mereorganisasi dan pada saat yang sama mengalami perubahan sehingga mampu mempertahankan secara esensial fungsi, struktur, identitas, dan umpan balik. Kebanyakan studi yang dilakukan dalam resiliensi ekosistem menekankan bagian pertama dari definisi di atas yaitu kapasitas menyerap perubahan atau kapasitas buffer yang memungkinkan ketahanan. Akan tetapi resiliensi bukan hanya menyangkut ketahanan dan kekuatan terhadap gangguan, tetapi juga menyangkut pemahaman bahwa gangguan membuka kemungkinan rekombinasi dari struktur dan proses yang berevolusi, pembaruan sistem dan munculnya arah perubahan yang baru. Dalam konteks ini resiliensi juga menyediakan kapasitas adaptif yang memungkinkan kelanjutan perkembangan, seperti dinamika hubungan adaptif antara keberlanjutan dan perkembangan dalam perubahan. Keduanya harus seimbang, dan bila tidak maka akan mengarah pada kehancuran. Proses adaptif yang berhubungan dengan kapasitas toleransi dan dengan perubahan yang muncul dari pengorganisasian diri dari sistem. Selanjutnya, dinamika setelah gangguan atau pergeseran rejim sangat bergantung pada kapasitas pengorganisasian diri dari sistem adaptif kompleks dimana proses pengorganisasian diri tergambarkan pada skala spasial di bawah dan di atas sistem tersebut (Nystrom and Folke 2001). Oleh karena itu konsep resiliensi dalam 28 hubungannya dengan sistem sosial-ekologi, selain memasukkan kemampuan secara umum untuk bertahan terhadap gangguan, juga memasukkan adaptasi, pembelajaran, dan pengorganisasian diri. Sehingga, kapasitas buffer atau kemantapan hanya merupakan sebagian aspek dari resiliensi. Dalam konteks hubungan manusia dengan alam, resiliensi adalah kapasitas dari keterkaitan sistem ekologi dan sosial untuk mengabsorbsi gangguan yang berasal dari perubahan yang bersifat mendadak, sehingga mampu mempertahankan struktur dan proses yang esensial serta menyediakan umpan balik. Resiliensi merefleksikan derajat kemampuan sebuah sistem kompleks yang adaptif untuk untuk mengorganisasikan diri secara mandiri, serta derajat kemampuan sistem tersebut membangun kapasitas belajar dan beradaptasi. Sebagian dari kapasitas tersebut terdapat pada kemampuan regenerasi dari ekosistem dan kemampuan untuk tetap menghasilkan sumberdaya dan jasa yang esensial bagi kehidupan manusia dan pengembangan masyarakat di dalam perubahan-perubahan yang terjadi (Holling 2001, Berkes et al 2003, Adger et al 2005). Dalam beberapa contoh proses transisi terjadi secara tajam dan cepat, sementara pada kasus lainnya dinamika sistemnya berbalik dari satu atraktor ke atraktor lainnya dengan transisi yang gradual. Hal ini mengilustrasikan bahwa pergeseran kondisi dalam ekosistem akan semakin banyak disebabkan oleh aksi manusia yang menyebabkan erosi resiliensi (Gunderson 2000). Kombinasi dampak top-down, seperti perikanan yang mempengaruhi jaringjaring makanan atau menghilangkan fungsi diversitas biologis bagi terjadinya pengorganisasian diri, dan dampak bottom-up, seperti akumulasi nutrien, erosi tanah atau pembalikan arus air, atau perubahan rejim gangguan seperti tekanan kebakaran dan peningkatan frekuensi dan intensitas badai, yang menggeser kondisi ekosistem (Gunderson and Pritchard 2002) ke kondisi yang kurang diinginkan dengan dampak lanjutan terhadap mata pencaharian dan pembangunan sosial (Folke et al 2004). Kondisi yang kurang diinginkan mengacu pada kapasitasnya untuk tetap menghasilkan sumberdaya dan menyediakan jasa lingkungan untuk pembangunan masyarakat. Kombinasi dampak dari tekanan- 29 tekanan tersebut menyebabkan sistem sosial-ekologi semakin rentan terhadap perubahan yang sebelumnya masih mampu diserap. Carpenter et al (2001) menginterpretasikan resiliensi sosial–ekologi sebagai: 1. Jumlah dari gangguan dimana sebuah sistem masih dapat menyerapnya dan tetap berada dalam kondisi atau domain atraktor yang sama. 2. Derajat hingga sebuah sistem mampu mengorganisir diri (sebagai lawan dari kurang terorganisir, atau diorganisir oleh pihak ekternal). 3. Derajat hingga sebuah sistem dapat membangun dan meningkatkan kapasitas untuk pembelajaran dan adaptasi. Pengelolaan resieliensi sosial-ekologi akan memperbesar kemungkinan bagi keberlanjutan pembangunan dalam lingkungan yang berubah, tidak pasti, beserta kemungkinan terjadi kejutan (Levin et al 1998, Holling 2001). Sebaliknya, kerentanan merupakan kebalikan dari resiliensi, dimana saat suatu sistem sosial atau ekologi kehilangan resiliensinya maka sistem tersebut menjadi rentan terhadap perubahan yang sebelumnya bisa diserap. Dalam sebuah sistem yang resilien, perubahan memiliki potensi untuk menciptakan kesempatan bagi pengembangan kebaruan dan inovasi. Sebaliknya dalam sistem yang rentan perubahan kecil dapat menyebabkan kerusakan besar. Pendekatan resiliensi berhubungan dengan ketahanan menuju keberlanjutan perkembangan dalam perubahan dan bagaimana berinovasi dan bertransformasi ke konfigurasi yang lebih diinginkan. Selanjutnya, ringkasan perkembangan teori resiliensi disajikan pada Tabel 1 mengenai urutan konsep resiliensi berdasarkan karakteristik, fokus dan konteks. Berdasarkan tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa resiliensi merupakan sebuah pendekatan, sebuah pola pikir, yang menyediakan perspektif untuk mengarahkan dan mengorganisir pemikiran, dan dalam konteks yang lebih luas menyediakan konteks penting bagi analisis sistem sosial-ekologis, yang merupakan wilayah ilmu dengan eksplorasi penelitian yang berkembang cepat serta memiliki implikasi kebijakan bagi pembangunan berkelanjutan. 30 Tabel 2. Urutan konsep resiliensi, dari interpretasi yang sempit hingga konteks sosial-ekologis yang lebih luas. Konsep Resiliensi Resiliensi engineering Resiliensi ekologi/ ekosistem, Resiliensi sosial Resiliensi sosial-ekologi Karakteristik Waktu kembali, efisiensi Kapasitas buffer, bertahan terhadap kejutan, menjaga fungsi Hubungan interplay antara gangguan dan reorganisasi, keberlanjutan dan pengembangan Fokus Konteks Pemulihan, kekonstanan Daya bertahan, kemantapan Sekitar kondisi ekuilibrium Ekuilibrium ganda, stabilitas lansekap Kapasitas adaptif, transformabilitas , pembelajaran, inovasi Umpan balik sistem yang terpadu, dinamika interaksi lintas skala Pendekatan resiliensi merupakan salah satu wilayah ilmu (selain penelitian kerentanan, ekologis-ekonomi, ilmu keberlanjutan) yang akan menghasilkan keterpaduan ilmu dan kolaborasi interdisiplin bagi isu-isu fundamental dalam mengatur dan mengelola transisi menuju arah pembangunan yang lebih berkelanjutan yang merupakan tantangan terbesar umat manusia saat ini (Lambin 2005). 2.3. Konsep Resiliensi Ekosistem Terumbu Karang Holling dan Gunderson (2002) memberikan defenisi resiliensi ekosistem sebagai besarnya gangguan yang dapat diterima sebelum system berubah strukturnya dengan berubahnya peubah dan proses yang mengendalikan perilakunya. Dengan mengadopsi definisi Holling, maka Folke et al (2004) memberikan definisi umum resiliensi ekosistem sebagai ukuran besarnya gangguan yang dapat diterima oleh suatu system sebelum terjadi perubahan menjadi suatu kondisi (kestabilan) baru yang berbeda pengendalian struktur dan fungsinya. Holling juga membedakan antara resiliensi ekologis dengan resiliensi rekayasa (engineering), definisi yang pertama merupakan resiliensi ekologis. Resiliensi rekayasa (engineering) merupakan ukuran laju suatu system mencapai keseimbangan setelah gangguan berlalu. Resiliensi rekayasa ini dianggap tidak tepat digunakan untuk ekosistem yang memiliki kondisi keseimbangan yang banyak. Hughes et al (2007) memberikan definisi yang khusus untuk resiliensi terumbu karang yaitu kemampuan terumbu karang untuk menghadapi 31 (mangabsorbsi) gangguan dan membangun kembali sistem yang didominasi karang. Faktor-faktor yang secara teoritis memegang peranan penting di dalam resiliensi terumbu karang meliputi keanekaragaman hayati, skala dan redundansi fungsi ekologis, memori ekologis, dan herbivory. Banyaknya faktor yang terlibat di dalam pengukuran resiliensi menjadikan pengukuran tersebut tidak mudah dilakukan hingga saat ini. Namun sebelum mengkaji keempat faktor resiliensi tersebut, pemahaman tentang perubahan komunitas dan gangguan pada terumbu karang juga sangat penting di dalam pengelolaan. Secara umum faktor-faktor yang berperan penting dalam resiliensi terumbu karang dapat dijelaskan sebagai berikut; 1. Keanekaragaman hayati Keanekaragaman hayati memiliki peran yang sangat penting di dalam menjaga stabilitas ekosistem. Keanekaragaman hayati di tingkat spesies memberikan kekuatan kepada komunitas karang terhadap gangguan pemutihan karang dan pemangsaan oleh Achanthaster plancii dan Drupella. Kedua pemangsa karang tersebut memiliki preferensi terhadap karang jenis Acroporidae dan Pocilloporidae (Moran 1990, Cuming 1999), sehingga dalam intensitas gangguan yang sedang anggota komunitas karang lainnya tidak terganggu oleh pemangsa karang tersebut. Banyak penelitian mengungkapkan bahwa keanekaragaman yang tinggi diperlukan untuk berlangsungnya proses-proses ekologis, namun sebenarnya yang dibutuhkan bukanlah keanekaragaman spesies melainkan keanekaragaman fungsional (Peterson et al 1998). Semakin tinggi keanekaragaman kelompok fungsional pada komunitas karang, semakin tinggi pula tingkat resiliensinya. Kelompok fungsional komunitas karang dapat ditunjukan oleh bentuk tumbuh koloninya. Walaupun masingmasing bentuk tumbuh dapat menyediakan fasilitas yang sama sebagai habitat, tetapi bentuk tumbuh tersebut dapat dianggap mencerminkan derajat kompleksitas habitat yang berbeda-beda, sehingga merupakan kelompok fungsional yang berbeda. Diantara kelompok fungsional tersebut keselingkupan antar fungsi ekologis masih dapat terjadi, misalnya antara karang bentuk massif (CM) dengan karang bentuk sub-masif (CS) dan Acropora submasif (ACS); dan antara karang 32 bercabang (CB) dengan karang Acropora bercabang (ACB) dan Acropora digitate (ACD). Keanekaragaman fungsi ekologis dan keselingkupan antar fungsi keduanya meningkatkan resiliensi ekosistem. Pada komunitas ikan-ikan terumbu karang, keanekaragaman kelompok fungsional tersebut pada dasarnya mencerminkan lima fungsi ekologi yaitu: piscivori (pemangsa ikan), invertivori (pemangsa invertebrate), planktivori (pemangsa plankton), koralivori (pemgnsa karang), dan herbivor (pemakan algae). Fungsi ekologis piscivori diperankan oleh ikan-ikan Lutjanidae, Serranidae, Synodontidae dan Fistulariidae. Ikan-ikan yang melakukan invertivori meliputi family Mullidae, Pomacenthridae, Labridae, Balistidae, Plesiopidae dan Lethrinidae. Ikan-ikan planktivora meliputi family Apogonidae, Syngnathidae, dan Blenniidae. Fungsi ekologi koralivori (pemakan karang) dilakukan oleh Chaetodontidae dan Scraridae. Fungsi herbivore (pemakan algae) diperankan oleh ikan-ikan Pomacenthridae, Acanthuridae, Scaridae, dan Siganidae. Pembagian fungsi ekologis dari famili-famili ikan tersebut tidak bersifat mutlak. Semakin banyak fungsi ekologis yang dapat diidentifikasi semakin mudah penjelasan mekanisme ekologisnya, walaupun semakin sulit penanganan datanya. Walaupun keanekaragaman fungsi ekologis lebih penting dalam resiliensi, keanekaragaman spesies juga dapat digunakan sebagai garansi atau petunjuk singkat tentang resiliensi suatu ekosistem (Bengtsson 2002). Tingginya keanekaragaman spesies merupakan suatu jaminan bahwa fungsi-fungsi ekologis masih akan berjalan ketika gangguan yang mendadak terjadi di masa mendatang, yaitu gangguan yang skala dan intensitasnya belum pernah terjadi sepanjang sejarah ekosistem. Belum diketahui spesies mana yang akan berperan penting menjalankan fungsi ekologis jika terjadi gangguan tersebut, sehingga jalan terbaik untuk menjaga resiliensi adalah menjaga keseluruhan spesies yang ada. Tingginya kekayaan spesies secara umum masih dapat digunakan sebagai indikasi resiliensi ekosistem. 2. Skala dan Redundansi Resiliensi ekologis dihasilkan oleh keanekaragaman fungsi ekologis yang berselingkupan dalam suatu skala dan redudansi spesies antar skala (Peterson et al 1998), sehingga yang lebih penting bukan jumlah spesies melainkan jumlah fungsi 33 ekologis pada komunitas tersebut. Keselingkupan di dalam (intra) skala ditunjukan oleh banyaknya spesies yang menjalankan fungsi ekologis yang sama, misalnya karang berbentuk massif. Koloni karang massif menyediakan habitat yang dapat dihuni oleh ikan-ikan Serranidae dan Lutjanidae yang berukuran besar, karang massif tersebut dapat berasal dari Faviidae, Poritidae, atau yang lainnya, sedangkan masing-masing karang famili karang tersebut terdiri atas banyak spesies. Redudansi antar skala ditunjukan oleh adanya sejumlah spesies dengan ukuran koloni yang berbeda tetapi menjalankan fungsi yang hampir sama. Karang masif kecil dan karang massif besar berfungsi sama sebagai tempat sembunyi ikan-ikan dari pemangsanya dengan skala yang berbeda. Redudansi merupakan faktor penting dari resiliensi ekosistem. Redudansi dapat terjadi pada skala yang sama dan dapat pula terjadi antar skala. Redudansi di dalam skala yang sama terjadi ketika fungsi ekologis dijalankan oleh dua atau lebih spesies yang berbeda tetapi mempunyai skala ukuran hampir sama. Redudansi antar skala terjadi jika fungsi ekologis dari suatu spesies digantikan oleh spesies lain yang berbeda ukuran skalanya dari kelompok fungsional yang sama, misalnya antara penyu dan ikan herbivori dengan bulu babi Diadema antillarum (Jackson 1997). 3. Memori Ekologis Memori ekologi merupakan komposisi dan distribusi organisma serta interaksinya dalam ruang dan waktu, termasuk pengalaman life history dengan fluktuasi lingkungan (Nystrom and Folke 2001). Memori ekologis tersebut terdiri atas tiga komponen, yaitu komponen biologis dan struktur yang selamat dari gangguan (biological and structural legacy), organisme penghubung bergerak (mobile link), dan daerah pendukung (support area). Komponen pertama berfungsi sebagai memori internal, sedangkan komponen kedua dan ketiga berfungsi sebagai memori eksternal di dalam proses reorganisasi dan rekonstruksi ekosistem tersebut setelah gangguan. Di dalam ekosistem terumbu karang, organism penghubung dapat berupa larva biota penghuni terumbu karang yang tersebar sebagai plankton atau juvenile ikan. Di dalam ekosistem yang bersifat terbuka seperti terumbu karang, peranan organism penghbung sangatlah besar. Hanya sebagian kecil larva karang yang 34 diproduksi di suatu terumbu karang akan hidup menetap di habitat induknya. Terumbu karang terdekat yang masih baik kondisinya merupakan daerah pendukung yang menyuplai larva dan hewan ruaya. Peran serta organism penghubung ini membuat connectivity terumbu karang sangat penting di dalam pengukuran resiliensi. Terumbu karang yang dekat satu sama lainnya lebih tinggi resiliensinya daripada yang terisolasi jauh dari terumbu karang lainnya. Terumbu karang yang mengalami gangguan akan cepat pulih jika terumbu terdekatnya masih dalam kondisi baik, atau tidak ikut mengalami gangguan yang sama. Karena itu, jarak antar terumbu karang berpengaruh terhadap tingkat resiliensinya. 4. Herbivori Herbivori merupakan suatu proses ekologis yang sangat penting pada resiliensi ekosistem terumbu karang. Herbivori merupakan satu-satunya mekanisme yang mengendalikan kelimpahan makroalgae. Jika pertumbuhan makroalgae tidak dikendalikan maka komunitas makroalgae akan segera mendominasi terumbu karang (Hughes et al 2007). Dominasi makroalgae berdampak negative pada komunitas karang batu. Herbivori menyediakan ruang kosong untuk penempelan larva karang. Herbivore yang lebih besar tidak hanya mencabik makroalgae tetapi juga memarut dasar terumbu tempat tumbuhnya makroalgae. Bagian kapur terumbu yang terbuka akibat cabikan tersebut akan segera ditumbuhi oleh bakteri dan layak untuk menjadi tempat penempelan larva planula karang. Makin tinggi kelimpahan herbivori menyebabkan resiliensi ekosistem terumbu karang semakin baik. Ikan-ikan herbivora di terumbu karang terdiri atas empat famili, yaitu Achanthuridae, Scaridae, Siganidae dan Kyphosidae. Dari keempat famili tersebut, tiga famili yang pertama merupakan ikan herbivora utama. Russ (1984a) yang melakukan survei herbivori pada sembilan terumbu karang di GBR membatasi ikan herbivora pada famili Achanthuridae, Scaridae dan Siganidae. Di Lizard Island, GBR, dan sekitarnya, kelimpahan ketiga ikan herbivora utama masing-masing adalah Achanthuridae (54%), Scaridae (31%) dan Siganidae (14%) (Meekan and Choat 1997). Di San Blas Islands, Panama, Meekan and Choat juga melaporkan pola yang serupa, walaupun ada satu lokasi dimana Kyphosidae menunjukkan proporsi kelimpahan yang sebanding dengan 35 Achanthuridae, Scaridae dan Siganidae. Di Ambergris Caye, Belize, komposisi biomassa ikan herbivora berbeda dari Lizard Island dan San Blas Islands tersebut dengan Scaridae (65,4%) paling dominan di ikuti oleh Acanthuridae (30,1%) dan Pomacentridae (4,5%) (Williams et al. 2001). Herbivori oleh Pomacentridae bersifat khusus karena teritorial sehingga tidak dibahas bersama dengan herbivori oleh Scaridae, Acanthuridae dan Siganidae. 2.4. Komponen Yang Berperan Penting Dalam Kehidupan Terumbu Karang Terumbu karang hidup pada kondisi karakteristik lingkungan perairan tertentu, dalam pertumbuhannya terumbu karang dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan perairan yang berperan penting bagi pertumbuhan dan perkembangan terumbu karang. Terumbu karang pada umumnya terbatas pada suhu perairan antara 18-360C, nilai optimal antara 26-280C. Hal ini selanjutnya akan di ekspresikan dalam pola distribusi dan keragaman terumbu karang secara latitudinal (Hubbard, 1990). Sensivitas terumbu karang terhadap suhu dibuktikan dengan dampak yang ditimbulkan oleh perubahan suhu akibat pemanasan global yang melanda perairan indonesia pada tahun 1998, yaitu terjadinya pemutihan karang yang diikuti dengan kematian massal mencapai 90-95%. Suharsono (1999) telah mencatat selama peristiwa pemutihan karang tersebut, suhu rata-rata permukaan air sekitar gugusan Pulau Pari Kepulauan Seribu berkisar 2-30C diatas suhu normal. Perkembangan mengenai pengaruh suhu terhadap terumbu karang, lebih lanjut dilaporkan bahwa suhu yang mematikan binatang karang bukan suhu yang ekstrim, namun lebih karena perbedaan perubahan suhu secara mendadak dari suhu alami/normal. Menurut Neudecker (2001), perubahan suhu secara mendadak sekitar 4-60C di bawah atau di atas ambient level dapat mengurangi pertumbuhan karang bahkan mematikannya. Hewan-hewan memanfaatkan karang energi membangun cahaya matahari terumbu yang karang menjadi dengan kunci cara eksistensi pangadangan teori terumbu karang yang modern dan juga bisa jadi untuk semua terumbu karang dalam skala waktu geologi. Cahaya secara ekologi merupakan pembatas dibandingkan semua parameter fisika lingkungan lainnya, oleh sebab itu cahaya dapat menyebabkan adanya pembatasan secara fisik terhadap biogeografi karang secara horisontal. Kepentingan cahaya dari kajian biogeografi dan evolusi 36 adalah terkait dengan evolusi dan proses simbiosis karang dengan zooxanthellae yang berperan dalam pembangunan terumbu karang yang melampaui waktu evolusi itu sendiri. Terkait dengan hal terebut dan dalam peranan cahaya bagi karang, hal ini sinergis dengan faktor sedimentasi yang pengaruhnya dapat menyebabkan rendahnya diversitas karang (Veron, 1995). Mengingat binatang karang (hermatypic atau reef-building corals) hidupnya bersimbiose dengan ganggang (zooxanthellae) yang melakukan proses fotosintesa, maka pengaruh cahaya (illumination) adalah penting sekali. Menurut Kanwisher dan Wainwright (1997) titik kompensasi binatang karang terhadap cahaya adalah pada intensitas cahaya antara 200-700 fluks (umumnya terletak antara 300-500 fluks). Intensitas cahaya secara umum di permukaan laut 2500-5000 fluks. Mengingat kebutuhan tersebut maka binatang karang (coral reefs) umumnya tersebar di daerah tropis. Berkaitan dengan pengaruh cahaya tersebut terhadap pertumbuhan terumbu karang, maka faktor kedalaman juga membatasi kehidupan binatang karang. Pada perairan yang jernih memungkinkan penetrasi cahaya bisa sampai pada lapisan yang sangat dalam, sehingga binatang karang juga dapat hidup pada perairan yang cukup dalam. Sedimentasi merupakan masalah yang umum di daerah tropis, pengembangan di daerah pantai dan aktifitas-aktifitas manusia lainnya, seperti pengerukan, pertambangan, pengeboran minyak, pembukaan hutan dan aktifitas pertanian, yang dapat membebaskan sedimen (terrigenoua sediments) ke perairan pantai atau ke daerah terumbu karang. Sedimentasi juga dapat disebabkan oleh carbonate sedimen, yiatu sedimen yang berasal dari erosi karang-karang, baik secara fisik ataupun biologis (bioerosion). Bioerosi biasanya dilakukan oleh hewan-hewan laut, seperti bulu babi, ikan, bintang laut, dan sebagainya. Pengaruh sedimen terhadap pertumbuhan binatang karang dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Sedimen dapat langsung mematikan binatang karang, yaitu apabila sedimen tersebut ukurannya cukup besar atau banyak sehingga menutuputi polip (mulut) karang. Pengaruh tidak langsumg adalah melalui penetrasi cahaya dan banyaknya energi yang dikeluarkan oleh binatang karang untuk menghalau sedimen tersebut, yang berakibat turunnya laju pertumbuhan karang (Pastorok dan Bilyard 1985, Supriharyono 2000). Lebih 37 lanjut dilaporkan oleh Pastorok dan Bilyard (1985) bahwa beberapa jenis karang, seperti Montastrea cavemosa, Siderastrea radians, S. siderea, dan Diphria strigosa, cenderung paling tahan terhadap kekeruhan, demikian pula terumbu karang di Teluk Fouha Cfan Ylig Guam, ada korelasi antara sedimentasi dengan keanekaragaman dan tutupan karang hidup. Pengaruh sedimentasi terhadap kehidupan karang yang diakibatkan oleh aktifitas pengerukan telah banyak dilaporkan oleh para peneliti. Chansang et al (2001) melaporkan kematian karang di Ko Phuket Thailand, akibat karang menerima sedimen yang cukup tinggi dari perusahaan pengerukan dan pemisahan timah. Lebih lanjut dikatakan di perairan sebelah utara Teluk Bang Tao (pantai barat Ko Phuket) tutupan karang hidup di dekat pantai (reef flat) yang menampung banyak sedimen presentasenya sangat rendah yaitu 3-6%, dibandingkan dengan di daerah tubir (reef edge) 27-34% atau di daerah tubir (reef slope) 26-34%. Demikian pula Brown (1987), yang melakukan penelitian di Semenanjung Laem Pan Wah Ko Phuket, memperoleh keanekaragaman karang yang umumnya rendah di daerah intertidal, dengan tutupan karang hidup sekitar 13-48%. Jenis karang yang dominan di daerah tersebut adalah Porites, Montipora, Acropora, dan Platygyra. Supriharyono (2000) juga melaporkan bahwa di perairan karang Bandengan Jepara Jawa Tengah, yang menerima sedimentasi yang tinggi dari aktifitas pertanian dan aktifitas lainnya di daerah atas terutama pada musim penghujan, tutupan karang di perairan tersebut tercatat relatif rendah di daerah reef flat yaitu sekitar 21-37% dan relatif tinggi di daerah dekat reef edge 50-80% yang letaknya relatif jauh dari garis pantai (150-250 m). Demikian pula dengan jenis-jenis yang dapat bertahan di kedua zona tersebut juga berbeda, yaitu hanya 1-5 spesies di reef flat dan lebih dari 20 spesies di daerah reef edge. Jenis-jenis karang yang dominan adalah Porites lutes, Montipora digitata, Acropora aspera, Acropora pulchra, dan Platygyra spp. Pada umumnya karang yang hidup di daerah yang keruh atau sedimentasinya tinggi menampakan tanda-tanda stress, seperti hilangnya warna, tertutup oleh silt, polyp yang baru mati atau lendir yang berlebihan. Pengaruh sedimentasi terhadap terumbu karang oleh Loya dan Rinkevich (2000) yaitu : (1) menghambat pertumbuhan karang, (2) menghambat planula karang untuk menempelkan diri dan berkembang pada substrat, (3) 38 menghambat persen fotosintesis zooxanthellae, (4) menyebabkan kematian karang apabila menutupi permukaan karang, dan (5) meningkatkan kemampuan adaptasi karang terhadap sedimen. 2.5. Kerusakan Ekosistem Terumbu Karang Soeharsono (1991) menggolongkan penyebab kerusakan terumbu karang kedalam tiga bagian yaitu : (1) kerusakan oleh sebab-sebab biologis seperti adanya kompetisi, predasi, ledakan populasi fitoplankton, (2) kerusakan karang oleh sebab-sebab mekanis seperti adanya arus kuat, sedimentasi, aktifitas vulkanik, perubahan temperatur dan salinitas serta penetrasi sinar matahari, (3) kerusakan karang karena aktifitas manusia seperti; pencemaran minyak, bahan kimia, pengambilan karang untuk keperluan industri dan bangunan, pengeboman, koleksi biota dan lain-lain. Secara umum kerusakan terumbu karang dapat dibagi ke dalam tiga kategori kerusakan yang dapat berakibat peningkatan degradasi terumbu karang. Beberapa faktor penyebab keruskan terumbu karang tersebut adalah : 1. Faktor biologi Dalam kehidupan berasosiasi dengan biota lain, karang akan selalu berkompetisi memperebutkan ruang dengan biota, misalnya algae, karang lunak, sponge dan berbegai biota lainnya yang terdapat di ekosistem terumbu karang. Dalam kompetisi ini karang selalu kalah dengan karang lunak dan algae yang mempunyai kecepatan tumbuh yang tinggi. Karang memakan plankton tetapi karang juga dimakan oleh ikan, moluska, Acanthaster plancii. Menurut Nybakken (1992), predator yang mampu merusak koloni karang dan memodifikasi struktur terumbu karang adalah bintang laut, bulu seribu (Acanthaster plancii), karena mempunya tangan banyak berukuran besar yang memakan jaringan karang hidup. Porter (1972) dalam Nybakken (1992) mengatakan bintang laut mempunyai pilihan makan yaitu spesies karang tumbuh cepat dan mengusai tempat. Nishishira dan Yamazato (1972) dalam Piyakornchana (1981) mengemukakan bahwa Acanthaster plancii lebih suka melekat pada karang batu jenis Acropora dan Pocillopora dibandingkan jenis karang lainnya. Namun Glynn (1976) dalam Sangaji (2003) mengemukakan 39 bahwa karang batu Pocillopora lebih dapat bertahan dari serangan Acanthaster plancii karena bersimbiosis dengan Crustacea dan Polychaeta yang menyelamatkan koloni karang ini. Meningkatnya populasi Acnathaster plancii ini diduga erat kaitannya dengan peningkatan unsur hara yang ada di perairan dan berkurang atau hilangnya predator alami dari Acanthaster plancii yaitu Triton terompet (Charonia tritonis). Parasit yang hidup dalam karang juga banyak, mulai dari bakteri yang menyebabkan penyakit (Ciliata) hingga molusca, crustacea dan cacing. Hubungan antara karang dengan biota secara alami akan berjalan dalam kesetimbangan yang dinamik, artinya biota yang satu akan mengontrol keberadaan dan besarnya populasi biota yang lain sehingga terjadi interaksi yang setimbang. 2. Faktor alam Adanya perubahan cuaca akan berakibat berubahnya pola arus, suhu, gelombang, curah hujan, pasang surut, dan faktor iklim lain. Perubahan faktor alam ini dapat mengganggu keseimbangan biologis yang menyebabkan terganggunya metabolisme karang sehingga karang menjadi lemah dan sensitif terhadap penyakit. Menurut Wells dan Hanna (1992) salah satu penyebab kerusakan karang yaitu terjadi proses pemutihan karang (coral bleaching) yang dapat menyebabkan kematian karang secara massal. Selanjutnya dikatakan bahwa proses pemutihan ini dapat terjadi karena adanya penurunan suhu secara drastis (adanya front, upwelling, dll), surut terendah yang mengakibatkan karang berada pada udara terbuka terlalu lama, pengaruh air tawar misalnya terjadi hujan lebat, tingginya intensitas matahari yang mengakibatkan radiasi sinar ultra violet meningkat serta polusi perairan. Soeharsono (1998) mengatakan bahwa kenaikan suhu air laut pada daerah yang luas dapat menyebabkan karang bleaching yang kadang-kadang diikuti dengan kematian karang. Karang yang hidup di daerah tropis lebih sensitif terhadap kenaikan suhu dibandingkan dengan karang yang di daerah sub tropis. Wells dan Hanna (1992) mengatakan bahwa pemutihan karang disebabkan karena pigmen dalam zooxanthellae berkurang atau bahkan hilang sama sekali dan atau berkurangnya jumlah zooxanthellae di dalam sel binatang karang. 40 Faktor-faktor alam yang menyebabkan kerusakan terumbu karang hampir tidak dapat dicegah ataupun ditanggulangi, yang dapat dilakukan adalah melindungi daerah yang terkena bencana. Salah satu penyebab terjadinya pemutihan karang secara besar-besaran adalah fenomena El-Nino. Fenomena ini adalah peristiwa terjadinya perubahan pola pergerakan air di Pasifik, biasanya terjadi 3 - 5 tahun sekali. Pada kondisi normal angin bertiup dari arah timur dan air dingin menyebar kearah barat menuju Pasifik dari pesisir Amerika Selatan. Selama terjadi fenomena El-Nino, arah angin berubah, angin di wilayah tropis pasifik bertiup dari arah barat dan penyebaran air dingin berubah menjadi hangat (Wells dan Hanna 1992). 3. Faktor aktifitas manusia Kerusakan ekosistem terumbu karang akibat aktifitas manusia dapat dibagi menjadi dua yaitu secara tidak langsung dan secara langsung. Kerusakan secara tidak langsung dapat berupa; penurunan kualitas air yang disebabkan oleh adanya limbah industri, limbah rumah tangga, limbah lahan pertanian, pembukaan lahan hutan dan sebagainya. Sedangkan kerusakan akibat aktifitas manusia secara langsung dapat berupa penambangan karang, pengeboman karang, penangkapan ikan dengan racun (Potasium sianida) dan bahan peledak, penangkapan ikan dengan alat tangkap yang dapat merusak karang. Menurut Sukarno et al (1983) bahwa kegiatan manusia secara langsung dapat menyebabkan bencana kematian di terumbu melalui penambangan batu karang, penangkapan ikan dengan menggunakan peledak dan bahan kimia beracun, penggunaan jangkar dan eksploitasi yang berlebihan terhadap sumberdaya tertentu. Aktifitas manusia di sektor perikanan laut, pariwisata dan perhubungan laut merupakan penyumbang terbesar untuk kerusakan ekosistem terumbu karang. Tanda-tanda kerusakan karang secara umum dapat dilihat dari adanya kerusakan fisik dan fisiologi. Kerusakan fisik dapat dilihat misalnya terangkatnya dari tempat melekat, penyebab kerusakan fisik seperti ledakan bom, badai, tarikan jangkar, dan pembongkaran karang. Sedangkan kerusakan fisiologi biasanya ditandai dengan perubahan warna dari koloni karang. Mula-mula karang menjadi pucat yang kemudian memutih dan sering diikuti dengan kematian, perubahan warna dari normal menjadi putih ini yang disebut bleaching. Pada kerusakan 41 secara fisiologi koloni karang tetap utuh, cabang-cabang masih berdiri teguh namun karangnya menjadi putih atau sudah mati. Penyebab kerusakan fisiologi biasanya adalah penyakit, zat pencemaran, atau yang erat kaitannya dengan proses biologi dan kimiawi (Soeharsono 1998). 2.6. Sistem dan Sistem Dinamik 2.6.1. Sistem Teori sistem dipelopori oleh von Bertalanffy pada tahun 1968, yang memperkenalkan suatu kerangka konsep dan teori umum yang dapat diterapkan pada berbagai bidang ilmu. Kerangka tersebut dikenal dengan nama General System Theory (GST) yang didasari oleh perlunya keahlian generalis dan pendekatan lintas disiplin dalam memahami dunia nyata secara efesien. Sistem adalah suatu gugus dari elemen yang saling berhubungan dan terorganisir untuk mencapai suatu tujuan atau suatu gugus dari tujuan (Manetsch dan Park 1979 dalam Eriyatno 2003). Disiplin akademik dan ilmu pengetahuan mempunyai pandangan masing-masing dan tersendiri atas keutuhan alamiah. Bertentangan dengan keutuhan alamiah tersebut, para ilmuwan di masing-masing disiplin mengembangkan beragam model yang seringkali tidak konsisten, parsial, temporal dan bersifat diskrit (tidak berkesinambungan). Kenyataan yang mendasar dari persoalan aktual adalah kompleksitas, dimana unitnya adalah keragaman. Oleh karena keragaman yang begitu besar tidak mungkin dikaji atau dikendalikan oleh satu atau dua metode spesifik saja. Dalam hal ini, teori sistem mempertanyakan bahwa kesisteman adalah suatu meta konsep atau meta disiplin; dimana formalitas dan proses dari keseluruhan disiplin ilmu dan pengetahuan sosial; dapat dipadukan dengan berhasil (Gigh 1993 dan Carnavayal 1992 dalam Kholil 2005). Disebabkan pemikiran sistem selalu mencari keterpaduan antar bagian melalui pemahaman yang utuh, maka diperlukan suatu kerangka fikir baru yang terkenal sebagai pendekatan sistem (System Approach). Dalam pendekatan sistem umumnya ditandai oleh dua hal, yaitu : 1) mencari semua faktor penting yang dalam mendapatkan solusi yang baik untuk menyelesaikan masalah, dan 2) dibuat suatu model kuantitatif untuk membantu keputusan secara rasional. Untuk 42 dapat bekerja secara sempurna suatu pendekatan sistem mempunyai delapan unsur yang meliputi 1) metodologi untuk perencanaan dan pengelolaan, 2) suatu tim yang multidisipliner, 3) pengorganisasian, 4) disiplin untuk bidang yang non kuantitatif, 5) teknik model matematik, 6) teknik simulasi, 7) teknik optimasi dan 8) aplikasi komputer (Eriyatno 2003). Perilaku sistem diartikan sebagai status sistem dalam suatu periode waktu tertentu, dimana perubahan status sistem tersebut diamati melalui dinamika outputnya. Status sistem dapat berkeadaan transien yaitu adanya perubahan output di setiap satuan waktu atau berkeadaan berkeseimbangan (steady state) yaitu adanya keseimbangan aliran masuk dan keluar. Status sistem juga berkaitan dengan apakah tertutup (closed system) dimana interaksi dengan lingkungan sangat kecil sehingga bisa diabaikan, dan atau terbuka (open system) dimana paling sedikit satu elemennya berinteraksi dengan lingkungannya. Dalam kenyataan sistem tertutup tidak pernah ada, hanya ada dalam anggapan dan kajian analisis (Muhamadi et al 2001). Berdasarkan sifatnya sistem dapat dibagi menjadi dua yaitu sistem dinamik dan sistem statis (Djojomartono dan Pramudya 1983 dalam Kholil 2005). Sistem dinamik memiliki sifat yang berubah menurut waktu, jadi merupakan fungsi dari waktu. Sistem dinamik ditandai dengan adanya ”time delay” yang menggambarkan ketergantungan out put terhadap variabel input pada periode waktu tertentu. Sedangkan sistem statis adalah sistem yang nilai out putnya tidak tergantung pada nilai inputnya. Secara lengkap karakteristik pendekatan sistem adalah : 1) kompleks, dimana interaksi antar elemen cukup rumit, 2) dinamis, dalam arti faktor yang ada berubah menurut waktu dan ada pendugaan ke masa depan, dan 3) probabilistik, yaitu diperlukannya fungsi peluang dalam inferensi kesimpulan maupun rekomendasi (Eriyatno 2003, Kholil 2005). Penyelesaian persoalan melalui pendekatan sistem menekankan pada tiga filosofi dikenal dengan SHE, yaitu Sibernetik (goal oriented), Holistik dan Efektivitas. Sibernetik (goal oriented) artinya dalam penyelesaian permasalahan tidak berorientasi pada problem oriented, tetapi lebih ditekankan pada ”apa tujuan” dari penyelesaian masalah tersebut. Efektivitas maksudnya sebuah sistem yang telah dikembangkan haruslah dapat dioperasikan. Oleh karena itu sistem 43 haruslah merepresentasikan kondisi nyata yang sebenarnya terjadi, dan holistik mengharuskan merepresentasikan penyelesaian permasalahan secara utuh, menyeluruh dan terpadu. 2.6.2. Sistem Dinamik Sistem dinamik (dynamic system) merupakan salah satu teknik HSM yang dapat digunakan dalam rancang bangun sistem (Eriyatno dan Sofyar 2007). Metodologi sistem dinamik dibangun atas dasar tiga latar belakang disiplin yaitu manajemen tradisional, teori umpan balik atau cybernetic, dan simulasi komputer. Prinsip dan konsep dari ketiga disiplin ini dipadukan dalam sebuah metodologi untuk memecahkan permasalahan manajerial secara holistik, menghilangkan kelemahan dari masing–masing disiplin, dan menggunakan kekuatan setiap disiplin untuk membentuk sinergi (Muhamadi et al 2001). Validasi model sistem dinamik pada dasarnya adalah suatu proses membangun kepercayaan pada kegunaan model sebagai alat bantu analisis dan perancangan kebijakan. Dalam proses validasi ini, sebuah model tidak akan dapat dinyatakan valid secara absolut, jika tidak terdapat bukti bahwa model dapat merepresentasikan suatu realita dengan benar-benar mirip secara absolut, sehingga dengan melakukan proses pengujian model sistem dinamik terhadap bukti-bukti empiris akan meningkatkan kepercayaan seseorang terhadap model. Pengujian terhadap model sistem dinamik secara umum dapat dibagi menjadi tiga katagori utama sebagai berikut: Validasi struktur, yaitu pengujian relasi antar variabel yang ada di dalam model, dan disesuaikan dengan keadaan pada sistem yang sebenarnya. Validasi perilaku, yaitu pengujian terhadap kecukupan struktur model dengan melakukan penilaian terhadap perilaku yang dihasilkan model; Validasi implikasi kebijakan, yaitu pengujian terhadap perilaku model terhadap berbagai rekomendasi kebijakan. 2.7. Pendekatan Sistem Dinamik Resiliensi Eko-Sosio Terumbu Karang Masalah pengelolaan ekosistem terumbu karang di Teluk Kotania dengan pendekatan Resiliensi Ekologi-Sosial (RES) bersifat kompleks karena melibatkan banyak indikator variabel resiliensi ekologi dan sosial seperti karakteristik 44 lingkungan perairan dengan berbagai parameter pembatas, kondisi terumbu karang dan berbagai jenis biota yang berasosiasi dengan terumbu karang, mata pencaharian, struktur sosial-budaya masyarakat, partisipasi masyarakat, regulasi kebijakan, pemanfaatan ekosistem terumbu karang, tingkat pendapatan masyarakat, tingkat ketergantungan, kelembagaan, dan faktor eko-sosio lainnya. Hal ini menyebabkan upaya pengelolaan terumbu karang di Teluk Kotania menjadi semakin kompleks. Oleh karena itu dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang di Teluk Kotania perlu pendekatan sistem dengan memperhatikan keterpaduan dan keberlanjutan. Pendekatan kesisteman dengan multidisiplin ilmu merupakan alternatif terbaik bagi penyelesaian masalah pengelolaan terumbu karang yang kompleks tersebut. Hal ini karena melalui pendekatan kesisteman ini akan dapat diidentifikasi kebutuhan para stakeholders, sehingga dapat dicari satu penyelesaian holistik dan terpadu yang dapat memberikan hasil lebih efektif. Dengan mengacu pada tahapan pendekatan sistem (Eriyatno, 2003; Hartisari, 2007), maka secara diagramatis desain tahapan pendekatan sistem dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 5. Gambar 5. Pendekatan sistem RES pengelolaan terumbu karang di Teluk Kotania 45 Pelaksanaan semua tahapan tersebut dalam satu ketentuan kerja merupakan analisis sistem ( Eriyatno 2003 dan Hartisari 2007). Sistem model dinamik merupakan salah satu pendekatan kesisteman yang memiliki beberapa keunggulan antara lain : 1) dapat menyederhanakan model masalah yang kompleks menjadi lebih sederhana, dan 2) adanya umpan balik (feed back) dalam model (Kholil 2005). Dalam pengembangan model dinamik, penggunaan perangkat lunak (software tool) computer sangat diperlukan. Melalui perangkat lunak kita dapat melakukan simulasi terhadap model yang telah dikembangkan untuk melihat trend (pola) sistem pada masa yang akan datang seiring perubahan waktu. Sehingga perubahan (perbaikan) yang diperlukan untuk mendapatkan sistem model yang diinginkan dapat dilakukan. Ada dua jenis perbaikan yang dapat dilakukan : a) perbaikan struktural, yakni dengan melakukan penyempurnaan model (menambah/mengurangi), dan b) perbaikan fungsional, yakni dengan melakukan penyempurnaan unsur-unsur sistem.