Ekseprsi Gen SOD dan GPX pada Kedelai yang

advertisement
5
TINJAUAN PUSTAKA
Cekaman Kekeringan
Istilah cekaman kekeringan pada tanaman atau “drought stress” di artikan
sebagai pengaruh faktor lingkungan abiotik yang menyebabkan kekurangan bahan
tidak tersedianya air secara cukup untuk pertumbuhan tanaman (Hale & Orcut
1987). Cekaman kekeringan dapat terjadi karena beberapa hal yaitu: (1) tingginya
kecepatan evaporasi yang melebihi persediaan air dari tanah ke akar yang akan
mengakibatkan penurunan potensial air, (2) adanya senyawa yang bersifat
osmotik, seperti pada tanah dengan kadar garam tinggi yang dapat menurunkan
absorbsi air oleh akar sehingga terjadi penurunan potensial osmosis (Borges
2003). Sedangkan menurut Hamim (2004), cekaman kekeringan merupakan
pengaruh dari faktor lingkungan yang menyebabkan air tidak tersedia bagi
tanaman, dapat disebabkan antara lain oleh tidak tersedianya air di daerah
perakaran tanaman dan permintaan suplai air yang besar di daerah daun dimana
laju evavorasi melebihi dari laju absorsi air oleh akar tanaman.
Air memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan tanaman. Air
yang diserap oleh tumbuhan digunakan untuk penyusunan bahan-bahan organik,
setiap gram dari bahan organik ini dalam penyusunanya dibutuhkan 500 g air
yang diabsorbsi oleh akar, diangkut ke seluruh bagian tanaman dan kemudian air
akan hilang ke atmosfir. Semua tanaman harus dapat menyeimbangkan antara
proses kehilangan air dan proses penyerapanya, apabila proses kehilangan air
tidak diimbangi dengan penyerapan melaui akar maka akan terjadi kekurangan air
di dalam sel atau jaringan tanaman yang dapat meyebabkan berbagai macam
kerusakan pada banyak proses dalam sel tanaman tersebut. Ketika jumlah air
mulai terbatas, maka tanaman memiliki mekanisme untuk mencegah kehilangan
air dengan melakukan penutupan stomata. Perubahan pada ketahanan mekanisme
stomata sangat diperlukan untuk mengatur pengambilan karbon dioksida untuk
ketersediaan fiksasi selama proses fotosintesis (Taiz & Zeiger 2002). Kebutuhan
air bagi tanaman apabila kurang maka tanaman akan mengalami penurunan
kandungan air relatif daun atau Relative Water Content (RWC), hal ini
menyebabkan nilai potensial air juga akan turun. RWC merupakan gambaran
6
kandungan air relatif daun tanaman dan merupakan parameter ketahanan bagi
tanaman dalam menghadapi kondisi cekaman kekeringan. Proses fotosintesis pada
sebagian besar tanaman akan mulai tertekan bila nilai RWCnya lebih rendah dari
70%, sehingga tanaman memerlukan suatu mekanisme pengaturan dalam
tubuhnya di antaranya dengan melakukan penutupan stomata untuk mengurangi
laju transpirasi (Quilambo 2004).
Respon Tanaman Terhadap Cekaman Kekeringan
Dalam menghadapi cekaman kekeringan, tanaman memberikan respon
yang sangat komplek baik itu dalam bentuk perubahan morfologi, anatomi
maupun aktifitas metabolisme, dan setiap tanaman memberikan respon yang
beragam. Ketika kekeringan semakin meningkat maka tanaman menyesuaikan diri
melalui proses fisiologi yang kemudian diikuti perubahan struktur morfologi
tanaman seperti layu, meningkatkan pertumbuhan akar dan menghambat
pertumbuhan pucuk serta menyebabkan penurunan laju fotosintesis yang
berdampak pada penurunan produksi tanaman (Taiz & Zeiger 2002). Menurut
Meyer dan Boyer (1981), tanaman pada kondisi cekaman kekeringan akan
memberikan respon dengan melakukan mekanisme penyelamatan, yaitu: (a)
tanaman berusaha menghindari cekaman dengan melakukan perubahan struktur
morfologi ataupun anatomi serta meningkatkan efisiensi penggunaan air dengan
cara mengatur laju transpirasi dan (b) meningkatkan toleransi melalui perubahan
proses-proses kimia dalam sel, di antaranya ditandai peningkatan akumulasi
senyawa-senyawa terlarut yang berperan sebagai pengatur tekanan osmotik sel, di
antara senyawa tersebut adalah prolin
Pada saat tanaman di bawah kondisi cekaman kekeringan tetapi energi
cahaya matahari tinggi, maka akan terjadi perubahan-perubahan aktifitas
metabolisme dalam sel tanaman. Hal ini terjadi karena tanaman kelebihan exitasi
energi dan penyaluran energi ke pusat reaksi fotokimia mengalami hambatan.
Pada kondisi seperti ini tanaman akan melakukan fotoproteksi dengan
menghamburkan atau melepaskan energi yang tereksitasi dan sebagian ditransfer
ke oksigen membentuk senyawa-senyawa aktive oxygen spesies (AOS). Dalam
keadaan tersebut laju fotosintesis menurun karena berkurangnya frekwensi
7
pembukaan stomata dan laju pemasukkan karbon dioksida (CO2) ke sisi aktif dari
perangkat fotosintesis juga menurun. Akibatnya kebutuhan ATP maupun senyawa
pereduksi (NADPH) menurun dan laju transfer elektron terhambat, sehingga
tanaman mengalami overreduksi fotosistem (Berkowitz 1998). Overreduksi ini
terjadi karena pembentukan NADPH pada reaksi terang tidak diimbangi oleh
pemakaian NADPH pada saat reaksi gelap akibat konsentrasi CO2 intrasel rendah.
Hal ini menyebabkan terbentuknya senyawa-senyawa Active Oxygen Species
(AOS) yang dapat menyebabkan kerusakan pada sel-sel atau jaringan tanaman
(Aroca et al. 2001).
Cekaman kekeringan dan herbisida paraquat dapat menyebabkan
terbentuknya senyawa-senyawa oksidatif. Akumulasi senyawa oksidatif ini pada
tanaman menyebabkan stress oksidatif. Pembentukan senyawa oksidatif diawali
dengan reduksi oksigen pada membran kloroplas membentuk superoksida (O2-),
yang kemudian diikuti terbentuknya senyawa singlet oksigen (1O2), radikal
hidroksil (OH) dan peroksida hidrogen (H2O2) (Blokhina et al. 2003). Stres
oksidatif akibat cekaman kekeringan yang diberikan pada tanaman strawberri
(Arbutus unedo L.) juga menyebabkan akumulasi senyawa-senyawa AOS (Bosch
SM & Penuelas 2004). Sementara itu hasil penelitian Borsani et al. (2001)
menunjukkan bahwa cekaman kekeringan yang diberikan pada tanaman Lotus
corniculatus menyebabkan stres oksidatif dan terjadi peningkatan ekspresi dari
gen-gen penyandi enzim antioksidan. Overekspresi gen-gen antioksidan (SOD)
juga ditunjukkan pada tanaman Alfalfa transgenik yang mendapat cekaman
kekeringan (McKersie et al. 1996).
Aktive Oksigen Species
Aktive Oxygen Spesies (AOS) atau Reaktive Oxygen Species (ROS)
adalah merupakan senyawa radikal bebas yang sangat berbahaya bagi makhluk
hidup, contohnya seperti radikal superoksida (O2-), singlet oksigen (1O2), radikal
hidroksil (OH) dan peroksida hidrogen (H2O2). Pada tanaman senyawa ini
terbentuk dalam sel melalui beberapa cara, yaitu: (1) produksi fotokimia di
atmosfer akibat dari pencemaran udara, (2) penyumbangan elektron langsung ke
oksigen ketika terjadi fotosintesis terutama pada saat kondisi cahaya yang tinggi
8
dan konsentrasi CO2 pada kloroplas yang rendah, dan (3) respon terhadap kondisi
cekaman seperti suhu tinggi, kekeringan, salinitas, ozon dan serangan mikroba
(Pritchard et al. 2000). Molekul O2- (superoksida) merupakan radikal bebas yang
sangat reaktif. Molekul ini akan berusaha melepaskan elektron bebasnya dan akan
bereaksi dengan H+ membentuk H2O2. Proses selanjutnya peroksida hidrogen ini
bereaksi dengan superoksida membentuk radikal hidroksil (OH). Keberadaan ion
besi dan ion metal lainya juga dapat memacu terbentuknya senyawa senyawa
AOS di dalam tanaman. Ion Fe2+ bila bereaksi dengan peroksida hidrogen akan
membentuk radikal-radikal hidroksil (McKersie & Leshem 1994). Skema dari
mekanisme terbentuknya radikal-radikal bebas adalah sebagai berikut:
O2- +
O2- + H+ Æ H2O2 +
O2- +
H2O2 Æ
Fe3+ +
O2- Æ Fe2+ + O2
Fe2+ +
H2O2 Æ OH + OH + Fe2+
O2
O2
+ OH + OH
Akumulasi dari senyawa-senyawa AOS yang terbentuk ini selanjutnya
akan dapat menyebabkan berbagai macam kerusakan pada sel-sel atau jaringan
tanaman tersebut. Akumulasi yang tinggi dari senyawa AOS telah diamati banyak
terjadi pada tumbuhan yang mendapat cekaman kekeringan, seperti pada gandum
(Sairam et al. 1998), kapas (Gossypium hirsutum L.) (Dalton et al. 1996), kopi
(Coffea canephora) (Lima et al. 2002), tembakau (Nicotina tabacum) (Gupta et
al. 1993), strawberri (Arbutus unedo L.) (Bosch SM & Penuelas 2004), Lotus
corniculatus (Borsani et al. 2001), dan Alfalfa transgenik (McKersie et al. 1996).
Terbentuknya senyawa AOS pada tumbuhan dapat diinduksi pula oleh
peningkatan laju respirasi yang sangat cepat sehingga NADPH terakumulasi di
dalam sel. Akumulasi ini memacu oksidasi NADPH yang pada akhirnya dapat
mengkatalis terbentuknya superoksida (O2-) yang merupakan salah satu dari
bentuk senyawa AOS (Sagi & Fluhr 2006). Melalui berbagai reaksi metabolisme
tanaman, AOS yang terbentuk di antaranya adalah superoksida (O2⎯) akan segera
diubah menjadi peroksida hidrogen (H2O2), dimana H2O2 ini merupakan senyawa
radikal yang dapat menyebabkan kerusakan melalui beberapa cara yaitu memutus
ikatan rantai protein dan bereaksi dengan DNA sehingga menyebabkan mutasi sel
(Sgherri & Navari-Izzo 1995). Terbentuknya H2O2 di kloroplas yang terjadi
9
karena terhambatnya proses fotosintesis menyebabkan tanaman kelebihan energi
elektron yang ditangkap oleh pusat reaksi dan tidak dapat dilepas atau dipantulkan
secara aman sehingga merusak perangkat fotosistem II pada kloroplas dan
membran lipid (Borsani et al. 2001).
Antioksidan
Untuk menghadapi efek negatif dari akumulasi AOS, tumbuhan memiliki
suatu mekanisme sistem pertahanan antioksidan yang efisien, melibatkan baik
enzim-enzim maupun senyawa-senyawa non enzim (Loggini et al. 1999).
Mekanisme pertahanan ini pada dasarnya dapat dikelompokan menjadi tiga, yaitu:
(1) reaksi yang melibatkan metabolit tertentu khususnya asam askorbat dan
glutation, (2) mekanisme penyelamatan AOS yang melibatkan enzim-enzim
seperti superoksida dismutase (SOD), katalase (CAT), glutation peroksidase
(GPX) dan askorbat peroksidase (APX), dan (3) mekanisme yang melibatkan
enzim-enzim untuk regenerasi antioksidan seperti glutation reduktase (GR) dan
monodehidroascorbate reduktase (MDHAR) (Foyer et al. 1997; Noctor & Foyer
1998; Niyogi 1999; Roxas et al. 2000).
Tanaman yang mengalami stress oksidatif karena adanya tekanan dari
lingkungan baik itu berupa cekaman kekeringan, temperatur yang tinggi atau
faktor lain, maka tumbuhan akan menunjukkan overekspresi dari enzim-enzim
yang berperan dalam perlindungan dari tekanan oksidatif tersebut yaitu enzimenzim antioksidan. Pada tanaman tembakau Transgenik (Nicotina tabacum) yang
terinduksi cekaman oksidatif menunjukkan adanya overekspresi dari enzim-enzim
SOD, GPX, APX dan GR terutama pada tanaman tembakau yang masih muda
menunjukkan overekspresi enzim yang lebih besar (Gupta et al. 1993).
Overekspresi dari enzim-enzim tersebut karena berkaitan dengan proses
detoksifikasi
dari
senyawa-senyawa
AOS.
Peningkatan
aktivitas
enzim
antioksidan SOD, APX, GR dan ASA (asam askorbat) juga ditunjukkan pada
tanaman kedelai dari varietas Tidar, Burangrang, Panderman dan kedelai liar yang
mendapat cekaman kekeringan dan paraquat. Aktivitas enzim SOD terus
mengalami peningkatan sejak tanaman terinduksi cekaman kekeringan hingga hari
ke-8 untuk varietas Tidar dan Panderman, sedangkan Burangrang dan kedelai liar
10
penigkatan tersebut terjadi hingga hari ke-10, setelah itu mengalami penurunan
hingga akhir perlakuan yaitu pada fase kritis sebelum titik layu permanen.
Aktivitas SOD meningkat lagi setelah dilakukan pemberian air kembali untuk
recovery. Sedangkan pada perlakuan paraquat puncak peningkatan enzim SOD
terjadi pada 24 jam setelah perlakuan penyemprotan dan kemudian mengalami
penurunan kembali (Violita 2007).
Pada saat energi cahaya matahari tinggi dan tanaman di bawah kondisi
cekaman kekeringan, maka akan kelebihan exitasi energi, tanaman akan
melakukan fotoproteksi dengan menghamburkan atau melepaskan energi yang
tereksitasi dan sebagian ditransfer ke oksigen untuk membentuk singlet oksigen
(1O2). Terhambatnya laju transfer elektron juga berperan penting dalam mereduksi
molekul oksigen dan menghasilkan superoxida (O2-) yang kemudian oleh enzim
SOD akan direduksi menjadi H2O2 dan didetoksifikasi dalam siklus “ascorbat–
glutathion” membentuk H2O. Siklus “ascorbat–glutathion” terlihat pada Gambar 1
(Tausz et al. 2004).
Gambar 1. Mekanisme pertahanan tanaman terhadap cekaman oksidatif,
melibatkan enzim-enzim antioksidan: superoxida dismutase
(SOD), ascorbat peroxidase(APX), dehydroascorbat reductase
(DHAR), glutathion reductase (GR) (Tausz et al. 2004).
Menurut Roxas et al. (2000), H2O2 yang terakumulasi ketika tanaman
terinduksi oleh suatu cekaman akan segera didetoksifikasi untuk membentuk H2O
dengan melibatkan enzim GPX dan APX dalam siklus “ascorbat–glutathion”.
11
Sedangkan enzim GR dan MDHAR (monodehidroascorbate reduktase) berperan
dalam regenerasi dari enzim GPX dan APX, skema detoksifikasi H2O2 menjadi
H2O seperti terlihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Detoksifikasi H2O2 menjadi H2O melibatkan enzim glutation
peroksidase (GPX) dan askorbat peroksidase (APX), serta glutation
reduktase (GR), monodehidroascorbate reduktase (MDHAR) dan
dehidroascorbate reduktase (DHAR) untuk regenerasi enzim GPX
dan APX. (Roxas et al. 2000).
Herbisida Paraquat
Akumulasi senyawa AOS pada tanaman juga dapat diinduksi oleh
senyawa-senyawa herbisida, di antaranya adalah paraquat dan Diuron atau
diklorofenil dimetil urea (DCMU). Herbisida paraquat termasuk kelompok
herbisida bipyridylium, yaitu memiliki dua cincin pyridyl (1,1’-dimetyl-4,4bipyridilyum). Herbisida paraquat dapat menghambat proses transfer elektron
pada pusat reaksi fotosistem I (P700). Paraquat mempunyai daya afinitas yang
lebih tinggi terhadap elektron, sehingga dapat dengan mudah mengikat elektron
yang seharusnya ditransfer untuk membentuk NADPH dari NADP+ pada proses
fotosintesis. Pada keadaan ini paraquat menjadi tidak stabil dan segera
melepaskan elektron tersebut, dan selanjutnya elektron tersebut akan diikat oleh
O2 sehingga terbentuk superoksida (O2-) (Reade & Cobb 2002). Herbisida DCMU
akan menghambat transport elektron dari PS II ke PS I, sedangkan paraquat
menghambat transport elektron pada PS I dalam pembentukkan NADPH. Secara
12
skematik proses pemghambatan oleh DCMU dan paraquat dapat dilihat pada
Gambar 3 (Taiz & Zeiger 2002).
DCMU
Paraquat
P700*
P680*
NADP+
QA
NADPH
QB
Light
P700
P680
H2O
Light
O2
Gambar 3. Proses penghambatan transfer elektron: DCMU menghambat transport
elektron pada PS II (P680) dan herbisida paraquat menghambat
transport elektron pada PS I (P700) (Taiz & Zeiger 2002).
Paraquat merupakan herbisida kontak yang diaplikasikan pada daun. Daun
yang terkena akan layu dan mongering. Peristiwa ini terjadi karena terhambatnya
fotosintesis dengan adanya kerusakan membran kloroplas. Paraquat juga
mempengaruhi pembelahan sel dan perubahan ukuran stomata. Segera setelah
dilakukan penyemprotan, paraquat yang menyentuh daun terabsorbsi oleh daun
sehingga tidak mudah tercuci oleh air hujan. Absorbsi terjadi karena tarikan
anion-anion daun terhadap kation-kation paraquat. Ion paraquat dapat mengalami
reduksi membentuk radikal paraquat dan selanjutnya akan membentuk radikalradikal bebas pada tanaman. Dalam proses ini akan dilepaskan H2O2 yang bersifat
toksis (Asthon & Crafts 1981). Penyemprotan paraquat dapat menurunkan
kandungan klorofil dan protein pada daun sehingga terjadi peningkatan
penghambatan
fotosintesis,
akan
tetapi
perlakuan
paraquat
ini
tidak
mempengaruhi aktifitas rubisco tapi dapat meningkatkan laju fotorespirasi
(Popova et al. 2003).
13
mRNA dan Ekspresi Gen
RNA merupakan polimer ribonukleotida monophospat yang dihubungkan
oleh ikatan phospo diester (Farrel 1993). Terdapat tiga jenis RNA yang
berhubungan dengan ekspresi gen yaitu: ribosomal RNA (rRNA), transfer RNA
(tRNA) dan messenger RNA (mRNA). rRNA yang merupakan 80–85% dari RNA
total dalam sel adalah komponen utama penyusun dari ribosom. tRNA yang
komposisinya sekitar 15–20% bertanggung jawab membawa asam amino tertentu
pada ribosom untuk digunakan dalam proses penyusunan asam amino menjadi
rantai polinukleotida. Sementara mRNA berfungsi sebagai model cetakan dalam
proses penyusunan asam-asam amino menjadi rantai protein pada saat translasi.
Walaupun disandikan oleh sebagian besar gen (sekitar 90% untuk bakteri dan
60% untuk eukariotik), namun proporsi dari mRNA dalam sel adalah paling
sedikit yaitu sekitar 1–2% dalam RNA total. Hal ini disebabkan karena mRNA
tidak berada secara permanen dalam sel, hanya diperlukan selama protein yang
disandikan masih diproduksi (Watson et al. 1987).
Ekspresi gen tidak diterjemahkan secara langsung dalam bentuk protein
tetapi melalui perantara mRNA sebagai pembawa informasi genetik. mRNA
merupakan molekul yang diproduksi sebagai bentuk ekspresi dari suatu gen dan
mengandung informasi yang akan ditranslasikan untuk membentuk suatu protein.
Pada proses translasi, sintesis polipeptida terjadi sesuai dengan arahan dari
informasi genetik yang dibawa oleh mRNA, selama proses ini terjadi perubahan
bahasa dimana basa-basa dari mRNA akan diterjemahkan dalam bentuk urutan
molekul asam amino yang menyusun rantai polipeptida dan merupakan suatu
produk protein (Campbell et al, 2002).
Setiap tipe sel dari suatu organisme tingkat tinggi mampu mengatur
ekspresi gen sesuai dengan kebutuhannya. Apabila semua sel mengekspresikan
gen-gennya secara terus-menerus maka akan terjadi pemborosan energi. Sel
mempunyai mekanisme regulasi untuk menekan ekspresi gen pengkode enzimenzim yang tidak dibutuhkan lalu mengaktifkan kembali pada saat sel
membutuhkan enzim tersebut. Untuk mengatur ekspresi gen dibutuhkan: (1)
mekanisme yang menginduksi dan menghalangi ekspresi suatu gen atau kelompok
gen tertentu, (2) kemampuan untuk mengenali situasi yang dapat mengaktifkan
14
atau menghalangi ekspresi suatu gen atau kelompok gen tertentu. Sel-el dari suatu
organisme multiseluler mampu merespon perubahan kondisi lingkungan hidupnya
(Griffith et al. 1996).
Untuk dapat mengekspresikan potensial genetiknya secara optimal,
tanaman membutuhkan daya dukung lingkungan yang optimal pula. Pada
berbagai kondisi cekaman lingkungan dapat menyebabkan gangguan tanaman
dalam mengekpresikan potensial genetik tersebut, dan dapat menyebabkan
perubahan penting pada ekspresi gen tanaman serta dapat meningkatkan
akumulasi ion-ion organik, sehingga terjadi perubahan pada sintesis protein
dengan mengeluarkan protein baru yang spesifik pada kondisi cekaman tertentu.
Dengan adanya perubahan-perubahan dari proses sintesis protein sehingga
dihasilkan protein-protein baru inilah menyebabkan perubahan ekspresi gen dari
tanaman tersebut (Patakas et al. 2002).
Isolasi RNA Total dan Sntesis cDNA
RNA sangat mudah terdegradasi oleh RNAse sehingga butuh penanganan
khusus dalam melakukan isolasi. RNAse mendegradasi RNA melalui aktifitas
baik eksonuklease maupun endonuklease. RNAse merupakan enzim yang sangat
stabil dan dapat menjadi aktif kembali setelah terdenaturasi. RNAse aktif pada
kisaran pH yang luas dan membutuhkan kofaktor yang sangat sedikit (Farrel
1993). Sebagian besar mRNA eukariot mempunyai urutan asam poliadenilat pada
ujung 3’OH, yang sering disebut ekor poly-A. RNA yang mempunyai sifat ini
dinamakan poly-A+ RNA (Lewin 1994). Keuntungan praktis dengan adanya ekor
poly-A tersebut adalah dapat digunakan untuk mengisolasi mRNA dari RNA total
(mRNA, rRNA dan tRNA) atau memisahkan dengan rRNA maupun tRNA. Hal
ini dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan antara lain kromatografi kolom
oligo-dT selulosa, kromatografi kolom poly-U sepharosa atau dengan partikel
paramagnetic berikatan kovalen dengan oligo-dT. Semua metode yang digunakan
berdasarkan pada perpasangan basa antara residu timidilat (oligo-dT) atau residu
urasilat (poly-U) (Cleaver et al. 1996). Selanjutnya mRNA dilepaskan dari polydT melalui pencucian menggunakan larutan dengan kekuatan ionic rendah
(Darnel 1990).
15
Dari mRNA yang telah diisolasi dapat digunakan untuk membentuk
cDNA, yang merupakan salah satu pendekatan yang dapat dilakukan untuk
mengisolsi gen-gen yang spesifik dari kromosom eukariot (Watson et al. 1987).
cDNA adalah merupakan DNA komplementer dengan mRNA, sehingga pustaka
cDNA merupakan koleksi mRNA yang terdapat dalam sel (Dale 1994). mRNA
yang merupakan transkrip dari gen-gen yang terekspresi, membawa pesan berupa
informasi genetik dari DNA ke dalam bentuk protein (Darnel et al. 1990).
Dengan demikian berbeda dengan DNA genom, cDNA mewakili bagian dari
suatu gen yang terekspresi (Davis et al. 1986).
Download