BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di era globalisasi saat

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di era globalisasi saat ini, Indonesia masih menghadapi masalah rendahnya
derajat kesehatan yang serius, antara lain masih tingginya Angka Kematian bayi
(AKB) yang dijadikan indikator dalam menilai derajat kesehatan masyarakat.
Masalah tingginya AKB di Indonesia terlihat pada Hasil Survei Demografi dan
Kependudukan Indonesia (SDKI) tahun 2012 menyebutkan, AKB tahun 2012
sebesar 32 per 1.000 Kelahiran Hidup (KH) mengalami penurunan dibandingkan
AKB tahun 2007 yaitu 34 per 1.000 KH, dengan target tahun 2015 sebesar 23 per
1.000 KH. 60% dari kematian bayi terjadi pada umur dibawah 1 bulan atau pada
periode neonatus. Dari kematian neonatus yang berusia satu bulan tersebut, dua
pertiganya merupakan kematian neonatus dengan usia kurang dari satu minggu,
sedangkan dua pertiga dari jumlah neonatus yang meninggal pada usia kurang dari
satu minggu tersebut, meninggal pada 24 jam pertama kehidupan (Depkes RI,
2009).
Dalam laporan World Health Organization (WHO) yang dikutip dari State of
The World’s Mother 2007 dikemukakan bahwa sebesar 36% dari kematian
neonatus disebabkan oleh penyakit infeksi, diantaranya sepsis, pneumonia, tetanus
dan diare. Sebesar 27% kasus disebabkan oleh bayi kurang bulan dan berat badan
lahir rendah, 23% kasus disebabkan oleh asfiksia, serta sebesar 7% disebabkan
oleh kelainan bawaan (WHO, 2007).
Melihat data tersebut, maka diperlukan langkah nyata dalam upaya
pencegahan yang dilakukan dalam usaha untuk mengurangi menurunkan kejadian
kematian neonatus antara lain pemberian kekebalan pada bayi baru lahir terhadap
penyakit infeksi melalui ASI eksklusif. Pemberian ASI secara eksklusif selama
enam bulan akan membantu mencegah penyakit pada bayi. Hal ini disebabkan
karena adanya antibodi penting yang ada dalam kolostrum dan Air Susu Ibu
(ASI), selain itu ASI juga selalu aman dan bersih sehingga sangat kecil
kemungkinan bagi kuman penyakit untuk dapat masuk dalam tubuh bayi
(Kamalia, 2005).
ASI eksklusif adalah air susu ibu yang diberikan kepada bayi sampai berusia
enam bulan tanpa diberikan makanan dan minuman, kecuali obat dan vitamin.
WHO merekomendasikan agar ASI eksklusif diberikan kepada bayi yang baru
lahir sampai usia enam bulan untuk mencapai pertumbuhan, perkembangan, dan
kesehatan yang optimal. Bayi dapat diberikan makanan tambahan setelah berusia
enam bulan berupa Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) dan tetap melanjutkan
pemberian ASI sampai usia dua tahun (WHO, 2011). ASI sebagai makanan bayi
yang paling sempurna, mudah dicerna dan diserap karena mengandung enzim
pencernaan.ASI juga dapat mencegah terjadinya penyakit infeksi karena
mengandung zat penangkal penyakit yaitu immunoglobulin.ASI bersifat praktis,
mudah diberikan kepada bayi, murah, serta bersih.ASI mengandung rangkaian
asam lemak tak jenuh yang sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan
otak (Roesli, 2008).
Keberhasilan ASI eksklusif sangat ditentukan oleh Inisiasi Menyusu Dini
(IMD).IMD adalah membiarkan kontak kulit bayi dengan kulit ibunya. Bayi
akanmelakukan gerakan dan mencari puting ibu, memasukkan puting ibu pada
mulutnya secara benar dan menghisapnya dalam satu jam pertama kehidupan.
Hisapan bayi pada puting susu ibu dapat merangsang pengeluaran hormon
prolaktin dan hormon oksitosin. Hormon prolaktin berfungsi merangsang produksi
ASI dan hormon oksitosin membuat kontraksi yang membantu pengeluaran
plasenta dan mengurangi perdarahan dan merangsang hormon lain yang
membantu ibu lebih tenang, rileks, mencintai bayi dan perasaan bahagia.
Rangsangan awal terhadap pengeluaran hormon oksitosin sangat mempengaruhi
keberhasilan menyusui selanjutnya (Depkes, 2007).
Hubungan IMD dengan keberhasilan ASI eksklusif telah dibuktikan melalui
beberapa penelitian yang dapat disimpulkan bahwa bayi yang mulai menyusu dini
dalam satu jam pertama akan meningkatkan ASI eksklusif dan lama menyusui.
Bayi yang dilakukan teknik IMD segera setelah lahir mampu menyusu lebih baik,
sedangkan 50% bayi yang tidak dilakukan teknik IMD tidak mampu menyusu
dengan baik(Juliastuti, 2012; Syafiq dan Fika, 2003; Yuko Nakao, 2008).
Salah satu faktor yang mempengaruhi dalam pelaksanaan IMD adalah
dukungan tenaga kesehatan yang adekuat. Fasilitas pelayanan kesehatan dan
tenaga kesehatan yangdiberikan mulai dari pusat pelayanan primer hingga pusat
pelayanan tersier, dari rumah sakit tingkat nasional hingga posyandu dan polindes
di tingkat RT/RW/kelurahan/desa perlu terus meningkatkan sosialisasi dan
penerapan pelaksanaan program IMD (Meiyana, 2010).
Menurut hasil penelitian Astuti (2012) berhasil tidaknya IMD di sarana
pelayanan kesehatan, rumah bersalin dan rumah sakit sangat bergantung pada
petugas kesehatan seperti dokter dan bidan yang secara langsung membantu
persalinan. Jika tenaga kesehatan tidak mempunyai kesadaran, keahlian dan
pengetahuan mengenai IMD maka tidak akan terlaksana program IMD. Di
samping faktor dari tenaga kesehatan, kondisi kesehatan ibu juga berpengaruh
terhadap keberhasilan IMD, jika kondisi ibu lemah maka program IMD tidak
dapat terlaksana (Depkes, 2009).
Penelitian oleh Nuryanti pada tahun 2011 tentang praktek pelaksanaan IMD
yang dilakukan di RSIS Siti Khadijah Muhammadiyah cabang Makassar yang
menyatakan bahwa dari 40 persalinan hanya sembilan responden (22,5%) yang
melakukan praktek IMD, sedangkan 31 responden (77,5%) tidak melakukan IMD.
Alasan dari 31 responden tersebut tidak melakukan IMD yaitu dua responden
dengan bayi lahir patologis(6,0%) delapan responden mengalami pendarahan
(26,0%) dan 21 responden lainnya tidak melakukan IMD karena petugas yang
tidak melaksanakannya. Berdasarkan hasil penelitian tersebut diketahui bahwa
semua responden mengambil keputusan ingin melaksanakan IMD pada saat
pertolongan persalinannya nanti.Namun pada kenyataannya hanya sembilan
responden saja yang melaksanakan praktik IMD. Dari data tersebut disimpulkan
bahwa pelaksanaan IMD itu sendiri tergantung pada bidan yang membantu pada
saat proses persalinan (Nuryanti, 2011).
Berdasarkan data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun
2012, sebagian besar poses persalinan di Provinsi Bali di tolong oleh tenaga medis
baik dokter, bidan atau tenaga paramedis lainnya. Berdasarkan penolong
persalinan, bidan merupakan tenaga medis yang paling banyak membantu proses
persalinan di Provinsi Bali pada tahun 2012 sebesar 55,45%, disusul oleh dokter
kandungandengan persentase sebesar 40,69% (BPS, 2013).
Pelaksanaan IMD saat ini menjadi rangkaian langkah dalam Asuhan
Persalinan Normal (APN) yang diterbitkan oleh Depkes tahun 2008.Maka dari itu,
salah satu kunci utama keberhasilan IMD terletak pada penolong persalinan,
karena dalam menit-menit pertama setelah bayi lahir peran penolong persalinan
sangat dominan. Bidan sebagai ujung tombak dari pembangunan kesehatan yang
berhubungan langsung dengan pelayanan kesehatan masyarakat dan menolong ibu
dalam melahirkan sampai sang ibu dapat merawat bayinya dengan baik. Bidan
juga diakui sebagai tenaga profesional yang bertanggung jawab dan bekerja
sebagai mitra perempuan dalam memberikan dukungan yang diperlukan, asuhan
dan nasihat selama kehamilan, periode persalinan dan post partum, melakukan
pertolongan persalinan dibawah tanggung jawabnya sendiri dan memberikan
asuhan pada bayi baru lahir dan bayi, sehingga tenaga kesehatan mempunyai andil
sangat besar terhadap tercapainya program IMD (Retna dkk, 2009).
Berdasarkan data yang didapatkan dari BPS Kabupaten Badung tahun
2013.penolong kelahiran pertama di Kecamatan Kuta ditolong oleh bidan 33,55%
setelah dokter kandungan, namun dokter kandungan melakukan pertolongan
persalinan di Rumah Sakit bersama tim yang bertugas pada saat itu, sedangkan
bidan yang melakukan praktek mandirinya melakukan tugas mandiri terhadap ibu
hamil
sampai
ibu
nifas
(BPS
Badung,
2013).Berdasarkan
Permenkes
129/Menkes/SK/II/2008 tentang standar pelayanan minimal rumah sakit
menyatakan tenaga kesehatan yang berwewenang untuk melakukan pertolongan
persalinan dalam praktek mandiri adalah dokter spesialis kebidanan dan
kandungan, dokter umum terlatih APN serta tenaga bidan.
Berdasarkan data yang didapat dari BPS Kecamatan Badung tahun 2013,
Kecamatan Kuta Selatan, Kuta Utara dan Kuta memiliki praktek bidan paling
banyak dibandingkan dengan Kecamatan Mengwi, Abiansemal dan Petang yaitu
61 BPM dan semua bidan sudah pernah mengikuti pelatihan IMD. Bidan Praktek
Mandiri (BPM) yang tersebar di setiap Desa/Kelurahan sangat membantu
masyarakat dalam menjaga kesehatan bayi dengan melakukan sosialisasi kepada
ibu hamil tentang pelaksanaan program IMD, sehingga dapat meningkatkan
kesehatan masyarakat di masa datang (BPS Badung, 2013).
Sampai saat ini Dinas Kesehatan Kabupaten Badung belum mempunyai data
secara kualitas yang dapat menjelaskan tentang pelaksanaan bidan dalam
pelayanan kesehatan ibu dan anak khususnya pelaksanaan IMD di Kecamatan
Kuta Selatan, Kuta Utara dan Kuta, tetapi secara kuantitas dapat dilihat dari angka
cakupan ASI eksklusif setiap enam bulan yaitu bulan Pebruari sampai Agustus
tahun 2013 sebesar 67,61%, hal ini masih dibawah sasaran yang ditetapkan
pemerintah pusat yakni 80% pada tahun 2013 (BPS Badung, 2013).
Penelitian yang berhubungan dengan pelaksanaan IMD yang dilakukan di
luar negeri antara lainpenelitian di Nigeria tentang hambatan IMD pada ibu
bersalin menunjukkan bahwa bayi yang tidak mendapatkan IMD sebanyak 73%
karena ibu melahirkan melalui operasi caesar.Penelitian di Nepal tentang
hubungan IMD dengan kematian bayi baru lahir juga menunjukkan rendahnya
cakupan IMD mengakibatkan kematian bayi sebanyak 34%.Penelitian yang
dilakukan di Filipina pada bayi 0-2 bulan, menunjukkan bahwa risiko kematian
karena diare lebih tinggi pada bayi yang tidak menyusu.Penelitian di New York
City Hospital tentangfaktor yang mempengaruhi keberhasilan IMD menunjukkan
bahwa selama kurun waktu tahun 1979 sampai dengan tahun 1996 cakupan IMD
di rumah sakit dari 29 % meningkat menjadi 58% (Alikor, 2006; Luke C.
Mullany, 2008; K.D Rosenberg, 2008).
Penelitian yang dilakukan di Indonesia antara lain penelitian tentang faktor
yang berhubungan dengan kinerja bidan di RSIA Budi Kemuliaan Jakarta
dipengaruhi oleh umur bidan, lama kerja, pendidikan, pengetahuan, sikap dan
pelatihan. Penelitian sejenis juga dilakukandi Kota Pekanbaru tentang faktor yang
berhubungan dengan pelaksanaan bidan dalam mendukung program IMD
menunjukkan bahwa variabel yang berhubungan dengan pelaksanaan bidan dalam
mendukung program IMD adalah pendidikan, pekerjaan, pelatihan dan
pengetahuan, sedangkan variabel pelatihan merupakan variabel
yang paling
dominan yang mempengaruhi pelaksanaan bidan dalam program IMD. Penelitian
tentang pelaksanaanbidan dalam pelaksanaan IMD di Puskesmas Batua Makassar
menunjukkan bahwa karakteristik bidan dalam pelaksanaan program IMD
dipengaruhi oleh umur, lama kerja, pendidikan, pengetahuan dan sikap (Setiarini,
2012; Mardiah, 2011; Yuntas dkk, 2012).
Menurut kajian penulis, perbedaan hasil penelitian tersebut lebih banyak
disebabkan oleh karena perbedaan metode yang digunakan seperti karakteristik
sampel, tempat fasilitas pelayanan yang digunakan, perbedaan subjek penelitian,
jenis dan jumlah variabel, perbedaan jenis dan alat ukurnya.
Penelitian tentang pelaksanaan program IMD oleh bidan belum pernah
dilakukan di Kabupaten Badung.Tiga Kecamatan dari Kabupaten Badung yaitu
Kecamatan Kuta Utara, Kuta Selatan dan Kuta memiliki jumlah BPM paling
banyak dibandingkan dengan tiga kecamatan lainnya yaitu 61 BPM dan semua
bidan di kecamatan tersebut sudah pernah mengikuti pelatihan IMD. Penolong
kelahiran pertama di Kecamatan Kuta adalah bidan yaitu sebesar 33,55%, bidan
setelah dokter kandungan, bidan memberikan pelayanan secara komprehensif dari
pemeriksaan kehamilan sampai perawatan bayi dan ibu. Pentingnya IMD untuk
menyukseskan ASI eksklusif sehingga dapat mencegah kematian bayi. Peraturan
Menteri Kesehatan (Permenkes) No 450/2004 tentang IMD sudah menegaskan
bahwa setiap bidan harus mendukung dan mengkampanyekan program IMD,
namun pada kenyataannya program tersebut kurang berhasil.
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti dengan 10 bidan yang
mempunyai BPM mengenai pelaksanaan IMD di Kecamatan Kuta Selatan, Kuta
Utara dan Kuta, hanya 50% bidanmelaksanakan IMD dalam pertolongan
persalinan. Meskipun para bidan di BPM telah mendapat pelatihan tentang IMD
serta telah disosialisasikan, namun belum semua bidan melaksanakan IMD pada
setiap pertolongan persalinannya, dengan alasan waktu untuk IMD lama,
permintaan keluarga untuk segera memindahkan bayi ke ruangan, pasien tidak
merasa nyaman bayi berada di atas perut ibu. Dari hasil observasi juga diketahui
bahwa, setelah bayi lahir, bayi langsung dibersihkan, ditimbang, diberi suntikan
hepatitis, baru setelah itu bayi diberikan kepada ibu untuk disusui. Padahal
penimbangan dan pemberian suntikan hepatits pada bayi dapat ditunda setelah
IMD selesai. Hal ini menandakan bahwa bidan sendiri masih memiliki
pengetahuan yang kurang dan adanya sikap yang tidak mendukung dengan
pelaksanaan IMD.
Dengan demikian maka perlu diteliti “hubungan antara pengetahuan dan
sikap dengan karakeristik sosial demografi bidan dalam pelaksanaan program
Inisiasi Menyusu Dini di Bidan Praktek Mandiri Kabupaten Badung”.
1.2 Rumusan Masalah
Dari
uraian
di
atas
dapat
dirumuskan
masalah
penelitian
yaitu,
“Bagaimanakahhubungan antara pengetahuan dan sikap dengan karakeristik sosial
demografi bidan dalam pelaksanaan program Inisiasi Menyusu Dini di Bidan
Praktek Mandiri Kabupaten Badung Tahun 2015”?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan dan sikap dengan
karakeristik sosial demografi bidan dalam pelaksanaan program Inisiasi Menyusu
Dini di Bidan Praktek Mandiri Kabupaten Badung.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian ini untuk mengetahui hubungan:
a. Pengetahuan bidan dalam pelaksanaan program IMD di BPM Kabupaten
Badung.
b. Sikap bidan dalam pelaksanaan program IMD di BPM Kabupaten Badung.
c. Umur bidandalam pelaksanaan program IMD di BPM Kabupaten Badung.
d. Lama bekerja sebagai BPM dalam pelaksanaan program IMDdi BPM
Kabupaten Badung.
e. Pekerjaan bidan dalam pelaksanaan program IMD di BPM Kabupaten
Badung.
f. Jumlah tenaga bidan dalam pelaksanaan program IMD di BPM Kabupaten
Badung.
g. Jumlah persalinan dalam pelaksanaan program IMD di BPM Kabupaten
Badung.
h. Supervisi dengan dalam pelaksanaan program IMD di BPM Kabupaten
Badung.
i. Faktor yang paling dominan berpengaruhdalam pelaksanaan program
IMDdi BPM Kabupaten Badung.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis/Akademik
a. Menambah wawasan dan pengetahuan pembaca tentang hubungan
antara pengetahuan dan sikap dengan karakeristik sosial demografi
bidan dalam pelaksanaan program Inisiasi Menyusu Dini di Bidan
Praktek Mandiri Kabupaten Badung.
b. Sebagai acuan yang dapat digunakan untuk penelitian sejenis dan lebih
spesifik lagi tentang pelaksanaan program IMD.
1.4.2 Manfaat Praktis
a. Manfaat bagi masyarakat khususnya ibu menyusui
Diharapkan
masyarakat
dapat
meningkatkanpengetahuannya,
memperbaiki persepsi yang keliru dan keluarga dapat memberi
dukungan yang baiki kepada ibu bayi sehingga pelaksanaan program
IMD dapat dilaksanakan dengan baik.
b. Manfaat bagi tenaga kesehatan khususnya bidan
Sebagai masukan dalam melaksanakan program IMD, khususnya di
Kabupaten Badung.
c. Bagi program
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai sumber
informasi untuk pengambilan keputusan dalam pembuatan kebijakan
(program yang berkaitan dengan IMD), dengan kegiatan pelatihan,
sosialisasi kepada bidan dan kader agar informasi yang berhubungan
dengan pelaksanaan IMD sampai kemasyarakatan.
Download