Indonesia mengesampingkan paten obat-obatan HIV Oleh: Matthew Bigg, 13 Oktober 2012 Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah untuk mengesampingkan paten beberapa obat anti HIV, menyoroti tren yang sedang berkembang di negara-negara Asia untuk mengizinkan produksi lokal dari obat generik murah yang memotong penjualan perusahaan obat global. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono secara diam-diam mengeluarkan surat keputusan pada bulan lalu untuk otorisasi penggunaan paten dari tujuh obat HIV/AIDS dan hepatitis C yang dimiliki oleh Merck & Co, GlaxoSmithKline, Bristol-Myers Squibb, Abbott dan Gilead. Badan perdagangan internasional yang mewakili sebagian besar perusahaan obat mengatakan bahwa tindakan ini memberikan “preseden yang negatif”. Masing-masing perusahaan yang terdampak tidak memberikan komentar secara langsung. Surat keputusan ini menyatakan bahwa Indonesia melakukan langkah-langkah ini untuk “memenuhi kebutuhan mendesak terhadap obat antivirus dan antiretrovirus.” Statistik dari situs web UNAIDS menyatakan bahwa pada 2009, sekitar 310,000 orang hidup dengan HIV di Indonesia, negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara. Tingkat prevalensi di antara populasi yang berusia 15-49 tahun adalah 0,2%. Kasus yang tidak terlaporkan menyatakan bahwa angka yang sebenarnya mungkin lebih tinggi. Di bawah aturan Organisasi Kesehatan Dunia, negara anggota mereka diizinkan untuk mengambil langkah untuk mengesampingkan paten ketika negara tersebut menganggap ada kebutuhan untuk melindungi kesehatan masyarakatnya. Presiden Yudhoyono menandatangani surat keputusan tersebut tanpa keriuhan pada 3 September 2012 dan hanya disoroti oleh kelompok Barat yang baru-baru ini melakukan kampanye untuk peningkatan akses terhadap obat-obatan di negara berkembang. Surat keputusan ini mengikuti sebuah keputusan yang dilakukan oleh India pada bulan Maret 2012 yang melucuti perusahaan obat dari Jerman (Bayer) atas hak eksklusifnya terhadap obat-obatan kanker. Pengadilan Tinggi India juga mendengar argumen terakhir dalam sebuah kasus besar terhadap paten obat yang melibatkan obat leukemia Novartis, Glivec, yang dapat mengubah aturan sektor layanan kesehatan negara tersebut dan dapat mengubah peran global mereka sebagai penyedia obat-obatan generik yang murah. Pada saat yang sama, China merombak beberapa hukum kekayaan intelektual mereka untuk mengizinkan produksi lokal dari obat-obatan paten. Hukum paten yang diubah tersebut mengizinkan Beijing untuk menerbitkan lisensi wajib untuk perusahaan yang memenuhi syarat untuk memproduksi versi generik dari obat-obatan paten selama keadaan darurat, atau keadaan yang tidak biasa, atau untuk kepentingan masyarakat umum. Penghematan biaya besar-besaran Jika diimplentasikan dengan penuh, langkah yang diambil oleh Indonesia dapat memperkenalkan kompetisi generik yang luas dan menghasilkan penghematan biaya besar-besaran di negara dengan populasi ke empat terbanyak di dunia ini. Ini bukan pertama kalinya Indonesia telah mengeluarkan perintah kepada pemerintah untuk obat-obatan HIV namun surat keputusan sebelumnya yang dikeluarkan pada tahun 2004 dan 2007 berlanjut lebih jauh dengan mencakup beberapa obat yang lebih modern. “Indonesia telah menetapkan preseden yang penting, bukan hanya untuk orang dengan HIV yang sering mengkampanyekan hal ini di negara ini, namun juga untuk negara lain,” Michelle Childs dari Medecins Sans Frontieres mengatakan. Dokumen ini diunduh dari situs web Yayasan Spiritia http://spiritia.or.id/ Indonesia mengesampingkan paten obat-obatan HIV “Lisensi ini adalah lisensi yang terluas yang diterbitkan oleh pemerintah dan mencerminkan kenyataan bahwa beberapa pilihan pengobatan dibutuhkan,” Childs mengatakan. Kelompok berbasis AS Public Citizen, yang juga mengkampanyekan untuk akses yang lebih luas terhadap obat-obatan di negara berkembang mengatakan bahwa hal ini dapat memperluas akses kepada obat-obatan HIV dan hepatitis Byang lebih baru dan lebih sesuai. Namun, International Federation of Pharmaceutical Manufacturers and Associations yang mewakili perusahaan obat global menyatakan kekhawatiranya terhadap surat keputusan yang memiliki cakupan yang luas ini. Andrew Jenner, direktur inovasi, kekayaan intelektual dan perdagangan mengatakan bahwa negara berkembang memiliki hak untuk mengesampingkan paten dengan mengeluarkan lisensi wajib dalam situasi tertenru namun hal ini harusnya menjadi pilihan terakhir. “Penerbitan lisensi wajib secara sistematis oleh Indonesia menetapkan preseden yang negatif dan dapat mengurangi insentif untuk investasi dalam penelitian dan perkembangan obat-obatan baru, termasuk obat-obatan HIV/AIDS dan hepatitis,” ia mengatakan. “Kami percaya bahwa pendekatan yang dinegosiasikan seperti penurunan harga secara bertahap atau lisensi sukarela, secara umum lebih efektif dan berkesinambungan, baik secara medis atau ekonomi.” Artikel asli: Indonesia acts to over-ride patents on HIV drugs –2–