TINJAUAN PUSTAKA Telur Telur merupakan salah satu produk unggas yang mengandung protein cukup tinggi sebesar 12%. Telur terutama kaya akan asam amino esensial seperti lisin, triptofan, dan khususnya metionin yang merupakan asam-asam amino esensial terbatas (Yuwanta, 2010). Komposisi asam amino yang lengkap dengan proporsi yang seimbang tersebut menyebabkan protein telur digunakan secara luas sebagai standar dan bilangan nisbah efisiensi protein (NEP) serta dianggap memiliki nilai biologi 100 (Man, 1999). Pengelompokkan telur berdasarkan bobot minimum yang dijelaskan dalam United States Departement of Agriculture (2000) yakni jumbo (70 gram/butir), besar sekali (63 gram/butir), besar (56 gram/butir), sedang (49 gram/butir), kecil (42 gram/butir), dan kecil sekali (35 gram/butir). Kaewmanee (2010) menyebutkan bahwa sebutir telur itik tersusun atas 10,87% kerabang, 54,73% putih telur, dan 33,94% kuning telur dengan bentuk struktur telur yang berlapis-lapis (Gambar 1). Keterangan: (1) Germinal disc (blastoderm), (2) membran yolk, (3) latebra, (4) lapisan yolk terang, (5) lapisan yolk gelap, (6) kalaza, (7) lapisan encer albumen, (8) lapisan kental albumen, (9) pori-pori, (10) kantung udara, (11) membran kerabang, (12) membran dalam telur, (13) permukaan kerabang yang bergabung dengan lapisan mamilari, (14) kutikula, (15) lapisan bunga karang Gambar 1. Struktur Telur Sumber: Belitz dan Grosch (2009) 3 Kerabang Telur Kerabang telur terdiri atas bagian luar yang ditutupi oleh gelatin (kutikula), garam inorganik, beberapa materi organik dan sedikit air. Rata-rata komposisi protein pada membran kerabang telur ayam sebesar 70%. Bagian kutikula pada kerabang telur diduga mengandung beberapa protein berupa musin (Romanoff dan Romanoff, 1963). Kerabang telur menurut Belitz dan Grosch (2009) terdiri atas kristal kalsium karbonat yang tertanam dalam matriks organik dan kompleks proteinmukopolisakarida dengan perbandingan 50:1, juga sejumlah kecil magnesium karbonat dan fosfat. Suguro et al. (2000) menyebutkan bahwa kandungan kalsium pada kerabang telur sebesar 37,7%. Struktur kerabang telur berdasarkan Belitz dan Grosch (2009) terbagi menjadi empat bagian yakni kutikula, lapisan bersepon (bunga karang), lapisan mamilari, dan pori-pori. Romanoff dan Romanoff (1963) menyebutkan bahwa ukuran pori-pori besar dan kecil pada permukaan kerabang telur itik masing-masing yaitu 0,036 x 0,031 mm dan 0,014 x 0,012 mm, sedangkan pada permukaan kerabang telur ayam ukuran poripori besar dan kecilnya masing-masing yaitu 0,029 x 0,022 mm dan 0,011 x 0,009 mm. Jumlah pori di seluruh bagian kerabang telur bervariasi antara 100-200 pori/cm2, bagian tumpul dari telur memiliki jumlah pori yang lebih banyak serta tebal kerabang yang lebih tipis daripada bagian yang lain. Fungsi pori kerabang telur adalah sebagai tempat pertukaran gas-gas dari dalam dan luar kerabang sehingga membantu respirasi embrio di dalam telur. Putih Telur (Albumen) Romanoff dan Romanoff (1963) menyebutkan, bahwa putih telur terdiri atas putih telur encer bagian luar (23,2%) dengan kadar air sebesar 88,8%, putih telur kental (57,3%) dengan kadar air sebesar 87,6%, putih telur encer bagian dalam (16,8%) dengan kadar air sebesar 86,4%, dan khalazaferous (2,7%) dengan kadar air sebesar 84,3%. Bahan penyusun utama dari putih telur adalah air. Kadar air akan mengalami penurunan dari lapisan luar menuju lapisan dalam putih telur. Putih telur (albumen) selain menjadi sumber protein pada telur (9,7%-10,8%) juga mengandung fraksi gula (0,4%-0,9%), garam mineral (0,5%-0,6%), lemak (0,03%), dan abu (0,5%-0,6%) serta memiliki berat kering sekitar 10,6%-12,1% (Yuwanta, 2010). Protein pada putih telur terdiri atas ovalbumin (54%), konalbumin 4 atau ovotransferin (12%), ovomukoid (11%), ovomusin (3,5%), lisosom atau G1 globulin (3,4%), G2 globulin (4%), G3 globulin (4%), ovoflavoprotein (0,8%), ovoglikoprotein (1,0%), ovomakroglobulin (0,5%), ovoinhibitor (1,5%), sistatin (0,05%), dan avidin (0,05%) (Stadelman dan Cotterill, 1995). Kuning Telur (Yolk) Kuning telur merupakan emulsi lemak dalam air dengan berat kering sebesar 50% yang terdiri atas 65% lipid, 31% protein, dan 4% karbohidrat, vitamin, dan mineral (Belitz dan Grosch, 2009). Susunan kuning telur dari bagian dalam hingga luar menurut Yuwanta (2010) yakni latebra, kuning telur berwarna putih (white yolk) dan berwarna kuning (yellow yolk) yang tersusun secara konsentris berselang seling, serta membran vitelin. Huopalahti et al. (2007) menyebutkan bagian-bagian dari kuning telur berdasarkan bahan kering yaitu terdiri atas 19%-23% granula dan 77%81% plasma. Bagian granula terdiri atas 70% high density lipoprotein (HDL), 16% fosvitin, dan 12% low density lipoprotein (LDL), sedangkan bagian plasma terdiri atas LDL sebanyak 85% dan livetin sebanyak 15%. Bagian granula memiliki ukuran yang seragam dengan diameter 1,0-1,3 µm, sedangkan bagian plasma berupa yolk droplet memiliki ukuran yang bervariasi antara 20-40 µm. Jenis protein yang terdapat pada granula kuning telur yaitu lipovitelin (disusun oleh HDL) dan fosvitin, sedangkan yang terdapat dalam plasma yaitu lipovitelenin (disusun oleh LDL) dan livetin (Belitz dan Grosch, 2009). Lemak kuning telur menurut Yuwanta (2010) tersusun atas komplek lemakprotein dalam bentuk LDL dan lipovitelin dalam bentuk ikatan bebas. Lemak telur terdiri atas 65% trigliserida, 28,3% fosfolipid, dan 5,2% kolesterol. Stadelman dan Cotterill (1995) menyebutkan bahwa kuning telur merupakan sumber utama karbonil jenuh maupun tak jenuh. Substansi Aroma Stadelman dan Cotterill (1995) menyatakan, bahwa telur yang disimpan dapat menyerap flavor dari bahan-bahan makanan di sekitarnya. Telur segar menurut Romanoff dan Romanoff (1963) dapat dibedakan dari telur yang basi ketika digabungkan dengan bahan lain. Bau amis dari telur berhubungan dengan pakan yang diberikan pada unggas. Ward et al. (2009) menjelaskan, ayam petelur yang 5 diberi pakan dengan kanola akan menghasilkan telur yang berbau amis. Timbulnya bau amis disebabkan oleh terakumulasinya trimetilamin pada kuning telur. Trimetilamin (TMA) terbentuk dari degradasi kolin oleh senyawa mikroba. Aroma utama yang ditemukan pada putih dan kuning telur yang dimasak adalah sulfur akibat dari penguapan gas H2S (Stadelman dan Cotterill, 1995). Karakteristik aroma dari telur yang dimasak lebih lanjut dijelaskan oleh Warren et al. (1995) yaitu terdapat 32 senyawa volatil yang dapat diidentifikasi dari telur yang dimasak selama 30 menit pada suhu 100 oC melalui analisis volatil extraction. Senyawa volatil tersebut dibagi menjadi 8 kelas yang terdiri atas 10 aldehid, 2 keton, 5 alkohol, 2 alkana, 1 furan, 1 pirazin, 6 senyawa aromatik, dan 6 asam lemak. Di antara senyawa-senyawa tersebut, pirazin merupakan senyawa yang berkontribusi dalam flavor makanan yang dipanggang. Pengawetan dan Pemasakan Telur Pengawetan menurut Damayanthi dan Mudjajanto (1995) tidak dapat menaikkan mutu suatu bahan pangan. Pengawetan bertujuan untuk memperlama waktu terjadinya penurunan mutu bahan pangan tersebut. Prinsip pengawetan telur utuh adalah untuk mencegah terjadinya penguapan air dan terlepasnya CO2 dari dalam telur serta mencegah masuknya mikroba dari luar melalui pori-pori kerabang. Umumnya pengawetan yang dilakukan pada telur dapat dilakukan dalam bentuk pengawetan telur segar dan telur olahan. Pengawetan dalam bentuk telur segar yakni dengan menutup pori-pori kerabang telur. Pengawetan ini dapat dilakukan antara lain dengan pelapisan telur menggunakan minyak, pelapisan dengan bahan kimia (kalsium karbonat, sodium silikat, vaselin, dan parafin), perendaman dalam larutan kapur dan ekstrak nabati. Pengawetan telur segar juga dapat dilakukan dengan menyimpannya dalam lemari es. Pengawetan dalam bentuk telur olahan yakni dengan menambah bahan-bahan yang mampu untuk mengawetkan makanan seperti garam, gula, dan asam (Syarief dan Halid, 1993). Pengasinan Prinsip pengasinan menurut Damayanthi dan Mudjajanto (1995) adalah (1) memecahkan (plasmolisis) membran sel mikroba, (2) garam mempunyai sifat higroskopis sehingga akan menarik air keluar jaringan yang menyebabkan aw akan 6 menjadi rendah, (3) garam yang berbentuk larutan dapat mengurangi oksigen terlarut, dan (4) ion Cl dari garam bersifat racun bagi mikroorganisme. Gaman dan Sherrington (1992) menjelaskan bahwa klorin digunakan sebagai desinfektan yang mampu membunuh bakteri dengan reaksi sebagai berikut: Cl2 + H2O HCl + HOCl. Asam hipoklorat (HOCl) yang terbentuk akan membunuh bakteri dengan cara oksidasi dan kemudian berubah menjadi asam klorida. Pengasinan menyebabkan terjadinya peningkatan proporsi berat putih telur namun menurunkan proporsi kuning telur. Kadar air baik putih maupun kuning telur menurun secara bertahap seiring meningkatnya kandungan garam dan abu serta lamanya waktu pengasinan (Kaewmanee, 2010). Pemberian garam menurut Belitz dan Grosch (2009) menimbulkan pengaruh pada kelarutan protein. Pemberian yang terlampau sedikit (konsentrasi rendah) akan meningkatkan kelarutan protein (efek salting in) dengan menekan interaksi proteinprotein elektrostatik, sedangkan pemberian garam yang terlampau banyak (konsentrasi tinggi) akan menurunkan kelarutan protein (efek salting out) sebagai hasil dari kecenderungan hidrasi ion garam. Stadelman dan Cotterill (1995) juga menyebutkan bahwa penambahan garam akan meningkatkan koagulasi, beberapa garam menurunkan sejumlah ikatan air pada putih telur. Pengasinan dengan metode pembalutan cenderung lebih banyak menghasilkan eksudasi minyak pada kuning telur daripada dengan metode perendaman. Kekerasan dan keadhesifan kuning telur juga ditemukan lebih tinggi pada pengasinan metode pembalutan, sedangkan metode perendaman ditemukan lebih tinggi di dalam kemampuan retak, daya elastisitas, kelengketan dan daya kunyah. Kadar air putih telur dari metode perendaman sedikit lebih rendah daripada metode pembalutan, kemungkinan besar hal ini dipengaruhi oleh migrasi air dari putih telur menuju air garam jenuh yang diperantarai dengan proses osmosis (Kaewmanee, 2010). Pengasinan tidak hanya mempengaruhi karakteristik fisik, kimia maupun organoleptik dari telur asin, namun juga mempengaruhi nilai gizinya. Nilai gizi dari telur itik asin berbeda dengan telur itik segar (Tabel 1). 7 Tabel 1. Komposisi Kimia Telur Itik Segar dan Telur Itik Asin (Tiap 100 Gram Bahan) Bahan Pangan Telur itik Air (g) 70,8 Protein (g) 13,1 Lemak (g) 14,3 Karbohidrat (g) 0,8 Ca (mg) 56 Vit. A (SI) 1.230 Kalori (Kal) 189 Telur itik asin 66,5 13,6 13,6 1,4 120 841 195 Sumber: Poedjiadi dan Supriyanti (2005) Proses Termal Proses termal (pemanasan) menurut Estiasih dan Ahmadi (2011) dapat menyebabkan perubahan pada karakteristik fisik, kimia maupun nutrisi produk pangan. Perubahan yang terjadi bergantung pada intensitas maupun metode pemanasan, bahan baku, serta perlakuan sebelum pemanasan. Perubahan sifat organoleptik juga dapat terjadi pada proses termal. Perubahan tersebut merupakan akumulasi dari berbagai perubahan yang terjadi selama proses seperti denaturasi protein dan restrukturisasi lemak yang menyebabkan perubahan tekstur dan cita rasa produk. Harris dan Karmas (1989) menyebutkan, bahwa pengolahan dapat menyebabkan penyusutan mineral maksimal 3% pada bahan pangan. Perebusan. Winarno (2008) menyebutkan, perebusan merupakan cara memasak makanan dalam cairan yang sedang mendidih (100 oC). Bahan pangan yang dimasak menggunakan air akan meningkat daya kelarutannya. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Wulandari (1999) menunjukkan bahwa lama perebusan yang efektif digunakan untuk tujuan pengawetan adalah selama 15 menit karena menghasilkan penurunan kadar air dan nilai pH yang paling rendah sehingga proses kebusukan dapat diperlambat. Lama perebusan 15 menit menyebabkan protein putih telur yang terdenaturasi lebih sedikit dibandingkan telur yang direbus selama 30 menit. Selain itu penetrasi air rebusan akan lebih rendah bila telur direbus selama 15 menit. Banyaknya protein yang terdenaturasi mampu meningkatkan kadar air dalam putih telur, sehingga menyebabkan proses pembusukan yang ditimbulkan oleh bakteri dan proses kimia lebih dipercepat. Romanoff dan Romanoff (1963) menambahkan, bahwa perebusan menyebabkan kehilangan berat pada telur sebesar 0,03–0,1 gram. Persentase lemak, nitrogen, fosfor, dan air pada telur yang direbus hampir sama dengan telur segar. Putih telur yang mengalami perebusan selama 20 menit dengan suhu 100 oC memi8 liki daya simpan selama 1,5–3 hari. Keretakan kerabang telur yang terjadi pada proses perebusan menurut Brown (2000) dapat dikurangi dengan cold start method yakni memasukkan telur ke panci perebusan yang berisi air dingin lalu dipanaskan. Pengovenan. Pengovenan adalah proses termal yang menggunakan udara panas. Udara panas tersebut dipindahkan ke bahan makanan melalui tiga cara yakni radiasi, konveksi, dan konduksi (Estiasih dan Ahmadi, 2011). Hasil penelitian Trilaksami et al. (2004) mengenai pengaruh suhu dan lama pengovenan terhadap karakteristik cumi-cumi kertas menunjukkan bahwa suhu mempengaruhi kecerahan produk, semakin tinggi suhu pengovenan menyebabkan semakin rendah nilai kecerahan produk. Hasil penelitian Ayuza (2011) mengenai pengaruh level suhu pengovenan terhadap kadar protein, kadar air, total koloni bakteri, umur simpan, dan nilai organoleptik telur asin menunjukkan bahwa telur asin yang paling baik adalah telur asin yang dioven selama 6 jam pada suhu 90 oC. Perlakuan telur asin tersebut menghasilkan kadar protein 13,47%, kadar air 54,77%, total koloni bakteri 9,22 x 104 CFU/g dengan umur simpan selama 36,20 hari. Winarno et al. (1980) menyebutkan jika pemasakan dengan menggunakan udara panas seperti pengovenan dilakukan pada suhu yang terlalu tinggi, maka hal ini dapat mengakibatkan terjadinya “case hardening” yaitu suatu bagian luar (permukaan) dari bahan sudah kering sedangkan bagian sebelah dalamnya masih basah. Hal ini disebabkan oleh suhu yang terlalu tinggi sehingga bagian permukaan cepat mengering dan menjadi keras, serta akan menghambat penguapan selanjutnya dari air yang terdapat di bagian dalam bahan tersebut. Terjadinya “case hardening” dapat menyebabkan mikroba yang ada di bagian dalam bahan yang masih basah dapat berkembang biak sehingga menimbulkan kebusukan, dan membutuhkan waktu yang lebih lama jika bahan akan direhidrasi. Cara mencegah “case hardening” misalnya dengan membuat suhu pengovenan tidak terlalu tinggi. Perubahan yang terjadi akibat pengovenan adalah pengembangan volume, pembentukan kulit (crust), inaktivasi mikroba dan enzim, koagulasi protein, dan gelatinisasi sebagian pati. Perubahan tersebut disertai dengan pembentukan senyawasenyawa cita rasa dari gula yang mengalami karamelisasi, membentuk pirodekstrin dan melanoidin, serta pembentukan aroma dari senyawa-senyawa aromatik yang 9 terdiri atas aldehid, keton, berbagai ester, asam, dan alkohol (Estiasih dan Ahmadi, 2011). Perubahan yang Terjadi selama Pemasakan Denaturasi Protein Denaturasi merupakan proses yang mengubah struktur molekul tanpa memutuskan ikatan peptida dari protein. Denaturasi dapat disebabkan oleh panas, pH, garam, dan efek permukaan (Man, 1999). Pengertian lain dari denaturasi yang dinyatakan Winarno (2008) yakni modifikasi pada struktur sekunder, tersier, dan kuartener terhadap molekul protein tanpa terjadinya pemecahan ikatan-ikatan kovalen. Struktur primer merupakan susunan asam amino dalam protein yang berbentuk linier. Struktur sekunder merupakan struktur protein yang berbentuk tiga dimensi dengan susunan cabang rantai polipeptida yang saling berdekatan. Struktur tersier merupakan susunan protein yang terdiri atas struktur sekunder yang berbeda bentuknya, sedangkan struktur kuartener merupakan struktur protein yang melibatkan beberapa polipeptida. Denaturasi secara umum bersifat reversible ketika rantai peptida distabilkan dalam keadaan yang tidak terikat oleh agen denaturasi. Denaturasi yang bersifat irreversible terjadi ketika rantai peptida yang tidak terikat distabilkan oleh interaksinya dengan rantai lain (contohnya protein telur selama perebusan) (Belitz dan Grosch, 2009). Reaksi Maillard Muchtadi (1989) menyebutkan bahwa reaksi antara protein dengan gula pereduksi (reaksi Maillard) merupakan sumber utama kerusakan protein selama pengolahan dan penyimpanan. Reaksi Maillard terjadi dalam dua tahap reaksi yakni reaksi awal dan reaksi lanjutan. Reaksi awal ditandai dengan terjadinya kondensasi antara grup karbonil gula pereduksi dan grup amino bebas dari asam amino atau protein. Produk kondensasi tersebut akan berubah menjadi basa Schiff karena kehilangan molekul air dan akhirnya terjadi siklisasi oleh penyusunan kembali Amadori membentuk senyawa 1-amino-1-deoksi-2-ketosa. Senyawa Amadori yang terbentuk merupakan bentuk utama lisin terikat dalam makanan yang masih belum 10 mengubah warna makanan tersebut walaupun secara biologis lisin dalam makanan sudah tidak tersedia. Reaksi Maillard lanjutan dapat terjadi melalui tiga jalur, dua diantaranya dimulai dengan produk amadori, sedangkan yang ketiga dari degradasi Strecker. Reaksi ini akan berakhir dengan pembentukan pigmen berwarna coklat yang disebut melanoidin (Gambar 2). Protein yang telah mengalami reaksi Maillard daya cernanya menurun. Penurunan nilai gizi protein tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: (1) lisin dan sistin rusak akibat bereaksi dengan karbonil atau dikarbonil dan aldehid; (2) penurunan availabilitas semua asam amino termasuk leusin (leusin biasanya stabil), karena terbentuknya ikatan silang antar asam-asam amino melalui produk reaksi Maillard; (3) penurunan daya cerna protein karena tercegahnya penetrasi enzim ke dalam substrat (protein) atau karena tertutupinya sisi protein yang dapat diserang enzim dari ikatan silang tersebut (Muchtadi, 1989). Man (1999) menambahkan, bahwa reaksi Maillard (pencoklatan nonenzimatis) adalah salah satu faktor yang memicu terjadinya kebusukan dalam makanan. Reaksi ini bergantung pada aktivitas air dan mencapai tingkat maksimum pada aw 0,6 hingga 0,7. Pencoklatan nonenzimatis dipengaruhi oleh kadar air produk. Umumnya laju pencoklatan pada aktivitas air < 0,4 berlangsung lambat karena air pelarut tidak mencukupi, dan jika aktivitas air dinaikkan melebihi 0,4 maka laju pencoklatan meningkat sampai maksimum pada aktivitas air 0,65. Aktivitas air yang lebih tinggi menyebabkan laju pencoklatan turun karena pereaksi menjadi encer dan air juga merupakan produk reaksi pencoklatan (Harris dan Karmas, 1989). 11 Gambar 2. Reaksi Pembentukan Melanoidin Sumber: Man (1999) Penurunan dan Perubahan Mutu selama Penyimpanan Kerusakan pada bahan pangan dicirikan oleh adanya penyimpangan yang melewati batas yang dapat diterima secara normal oleh pancaindera atau parameter lain yang biasa digunakan (Damayanthi dan Mudjajanto, 1995). Penurunan mutu bahan pangan meliputi penurunan nilai gizi, penyimpangan warna, perubahan rasa dan bau, adanya pembusukan, dan modifikasi komposisi kimia (Syarief dan Halid, 1993). Indikator kerusakan telur asin menurut Khasanah et al. (2010) terdapat pada parameter aroma. 12 Perubahan Fisik Perubahan fisik yang terjadi selama penyimpanan telur utuh diantaranya yaitu berkurangnya berat terutama disebabkan oleh hilangnya air dari putih telur, juga CO2, NH3, N2, dan H2S; pertambahan ukuran ruang udara; penurunan berat jenis; bercak-bercak pada permukaan kulit telur karena penyebaran air yang tidak merata; penurunan jumlah putih telur kental karena serat glikoprotein ovomusin pecah; penambahan ukuran kuning telur karena perpindahan air dari putih telur ke kuning telur sebagai akibat perbedaan tekanan osmosis; perubahan cita rasa; serta kenaikan pH terutama dalam putih telur yang meningkat dari sekitar pH 7 hingga 10 atau 11 sebagai akibat hilangya CO2 (Buckle, 2007). Penguapan air secara terus menerus melalui kerabang menyebabkan penurunan berat jenis dengan koefisien penurunan harian sekitar 0,0017 g/cm3 (Belitz dan Grosch, 2009). Laju susut air menurut Harris dan Karmas (1989) bergantung pada luas permukaan produk maupun keadaan lingkungannya. Stadelman dan Cotterill (1995) menyebutkan, kelembaban tidak mempengaruhi kualitas putih dan kuning telur namun berpengaruh besar pada hilangnya bobot telur selama penyimpanan. Kelembaban relatif yang dianjurkan untuk menyimpan telur adalah 75%-80%. Perubahan Kimia Nilai pH. Nilai pH merupakan ukuran keasaman atau alkalinitas suatu larutan (Gaman dan Sherrington, 1992). Albumen pada telur segar mengandung bikarbonat dan CO2. Terdapat hubungan antara konsentrasi CO2 bebas dengan pH. Hilangnya CO2 menyebabkan meningkatnya nilai pH pada albumen, nilai pH bergantung pada tekanan parsial dari CO2. Perubahan tekanan CO2 berpengaruh kecil pada pH kuning telur (Stadelman dan Cotterill, 1995). Nilai pH putih telur segar sekitar 7,6-7,9 dan meningkat menjadi 9,7 selama penyimpanan (Belitz dan Grosch, 2009). Buckle et al. (2007) menyatakan bahwa beberapa mikroorganisme khususnya khamir dan kapang mampu memecah asam yang secara alamiah terdapat dalam bahan pangan. Akibatnya terjadi perubahan pH yang memungkinkan tumbuhnya spesies bakteri pembusuk yang sebelumnya terhambat pertumbuhannya. 13 Kadar Air. Labuza (1980) menjelaskan bahwa kadar air dan aktivitas air (aw) berperan dalam laju dari banyak reaksi kimia dan pertumbuhan mikroba dalam makanan. Kadar air dan aktivitas air akan menurun dengan adanya proses pengeringan. Hal ini menyebabkan cairan menjadi lebih pekat serta beberapa komponen bahan pangan membentuk larutan lewat jenuh dan akhirnya mengendap. Laju reaksi yang meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi dalam larutan menyebabkan naiknya laju penyusutan zat gizi (Harris dan Karmas, 1989). Air yang terdapat dalam bahan makanan menurut Winarno (2008) umumnya disebut air terikat. Air terikat dibagi menjadi empat tipe menurut derajat keterikatannya. Tipe pertama (1) yaitu molekul air yang terikat pada molekulmolekul lain melalui suatu ikatan hidrogen berenergi besar. Molekul air membentuk hidrat dengan molekul-molekul lain yang mengandung atom O dan N seperti karbohidrat, protein, dan garam. Air tipe ini tidak dapat membeku pada proses pembekuan tetapi sebagian bisa dihilangkan dengan pengeringan biasa. Tipe kedua (2) yakni molekul air yang membentuk ikatan hidrogen dengan molekul air lain di dalam mikrokapiler. Air jenis ini sukar dihilangkan dan penghilangan air tipe ini akan menyebabkan penurunan aktivitas air, jika air tipe ini dihilangkan seluruhnya maka kandungan air bahan berkisar 3%-7%. Tipe ketiga (3) yakni air yang secara fisik terikat dalam jaringan matriks bahan seperti membran kapiler dan serat. Tipe ini disebut juga air bebas, mudah diuapkan dan dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan mikroba. Kandungan air bahan akan berkisar antara 12%-25% jika air tipe ini diuapkan seluruhnya. Tipe keempat (4) yaitu air yang tidak terikat dalam jaringan suatu bahan atau air murni. Contohnya, air yang menempel pada bahan makanan setelah proses pencucian bahan. Aktivitas Air (aw). Aktivitas air berpengaruh besar terhadap laju dari banyak reaksi kimia dalam makanan dan terhadap laju pertumbuhan mikroba. Kapang dan khamir mulai tumbuh pada kisaran aw 0,7 dan 0,8; sedangkan bakteri tumbuh ketika aw mencapai 0,8 (Man, 1999). Andrade et al. (2011) menyatakan bahwa isotermik sorpsi air menjelaskan mengenai hubungan antara kadar air dan aktivitas air (aw) dalam makanan. Sorpsi isotermik berdasarkan keadaan air dalam bahan pangan menurut Brunauer et al. (1940) dapat diklasifikasikan menjadi lima tipe (Gambar 2). Tipe 1: Langmuir, 14 peningkatan aktivitas air berhubungan dengan peningkatan kadar air. Tipe ini berupa daerah lapisan tunggal (monolayer), air bersifar sangat kuat terikat dan stabil. Tipe 2: sigmodial, memperhitungkan keberadaan lapisan-lapisan air (multilayer). Air tipe ini kurang terikat dibandingkan pada daerah monolayer, dan biasanya terdapat pada ruang kapiler yang kecil. Tipe 3: Flory-Huggins isotermik, kondensasi air pada poripori bahan mulai terjadi (kondensasi kapiler). Tipe 4: menggambarkan adsorpsi bahan hidrofilik hingga tercapai hidrasi maksimum. Tipe 5: adsorpsi multilayer Brunauer-Emmett-Teller (BET). Tipe ini paling tepat diterapkan pada bahan pangan yang mempunyai kisaran aw 0,05-0,45. Gambar 3. Tipe Isotermik Sumber: Brunauer et al. (1940) Perubahan Mikrobiologi Romanoff dan Romanoff (1963) menyebutkan bahwa ada dua kemungkinan munculnya mikroorganisme pada telur yakni bakteri yang berinkorporasi di dalam telur selama pembentukannya yakni di oviduk yang disebut kontaminasi kongenital, serta bakteri yang berpenetrasi melalui kerabang telur dari luar telur atau yang dikenal dengan istilah kontaminsi ekstragenital. Kontaminasi kongenital sering dijumpai pada kuning telur dengan mikroorganisme yakni Salmonella pullorum penyebab penyakit diare, sedangkan mikroorganisme yang ditemukan akibat kontaminasi ekstragenital yaitu Escherichia coli, Eberthella typhi, Salmonella 15 paratyphi, Staphylococcus aureus, Proteus vulgaris, fluorescent organism, Serratia marcescens, dan Pseudomonas aeruginosa. Romanoff dan Romanoff (1963) lebih lanjut menjelaskan bahwa jumlah spora kapang pada kerabang dari telur segar sekitar 200-500 thallus/cm2, jumlah bakteri per kerabang sekitar 35.000 koloni/cm2 ketika diinkubasi pada suhu 37 oC atau 130.000 koloni/cm2 pada 20 oC. Tipe mikroorganisme yang ditemukan pada permukaan kerabang telur antara lain tidak berspora batang (38%), berspora batang (30%), kokus (25%), khamir (4%), dan actinomyces (3%). Biasanya bakteri tidak ditemukan pada kuning telur ataupun putih telur dari 10% telur segar. Tipe mikroorganisme yang sering dijumpai pada telur segar yaitu Basilus dan Mikrokokus. Moats (1980) selanjutnya menyatakan bahwa telur yang tidak mengalami pencucian mengandung kokus gram positif lebih besar daripada yang mengalami pencucian serta mengandung bakteri Aerococcus dan Streptococcus faecalis yang tidak ditemukan pada telur yang mengalami pencucian. Telur yang dicuci dengan air yang lebih dingin dari telur maka dimungkinkan bakteri akan meresap ke dalam pori-pori kerabang telur. Umumnya, pori-pori pada kerabang telur tahan terhadap penetrasi mikroba karena dilengkapi dengan substansi organik berupa musin dan ketika kering dapat menghambat masuknya bakteri atau kapang. Selaput kerabang (shell membrane) berbentuk jalinan serabut yang memungkinkan berperan sebagai filter bagi mikroorganisme yang berhasil masuk melalui pori-pori kerabang. Albumen juga berperan sebagai barier bagi mikroflora, mikroorganisme yang berhasil melewati kerabang maupun selaputnya dapat mati di dalam putih telur (albumen) sebelum mencapai kuning telur. Kemampuan albumen dalam melindungi kuning telur disebabkan oleh adanya kandungan antibakteri pada albumen tersebut (Romanoff dan Romanoff, 1963). Harrungton et al. (1974) menyebutkan, bahwa pada telur asin ditemukan Pseudomonas cepacia, Alcaligenes metalcaligenes, A. recti, Micrococcus leutus, Pasteurella hemolytica, dan Ps. aeruginosa. Lebih lanjut dijelaskan oleh Syarief dan Halid (1993) bahwa pemberian garam pada bahan pangan akan membatasi jumlah dan jenis mikroorganisme yang dapat tumbuh. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya pengurangan aktivitas air bahan pangan, di samping oleh garamnya itu sendiri. Beberapa jenis bakteri toleran terhadap kadar garam tinggi, bahkan tidak dapat 16 tumbuh bila kadar garam pada bahan pangan kurang dari 10%. Persyaratan mutu mikrobiologis telur asin menurut Standar Nasional Indonesia 01-4277-1996 adalah negatif untuk Salmonella dalam satu koloni per 25 gram serta < 10 untuk Staphylococcus aureus dalam satu koloni per gram. Sel vegetatif bakteri, khamir, dan kapang menurut Effendi (2009) mudah terdestruksi oleh pemanasan sekitar 80 oC, demikian pula spora dari khamir dan kapang. Spora dari bakteri umumnya tahan terhadap pemanasan pada 100 oC selama berjam-jam. Daya tahan terhadap kematian dari mikroorganisme dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain: (1) umur dan kondisi mikroorganisme; (2) komposisi medium seperti kadar air, garam dapur, gula, garam-garam nitrit atau nitrat, lemak, dan zat-zat penghambat pertumbuhan mikroorganisme; (3) nilai pH dan aw medium tumbuh; dan (4) suhu pemanasan. Buckle et al. (2007) menyebutkan, bahwa seringkali organisme tumbuh lebih baik pada bahan pangan yang telah dimasak dibandingkan dengan bahan pangan mentah karena zat-zat gizi tersedia lebih baik dan tekanan persaingan dari mikroorganisme lain telah dikurangi. Uji Organoleptik Pengujian organoleptik atau sensori merupakan cara pengujian menggunakan indera manusia sebagai alat utama untuk menilai mutu produk. Penilaian menggunakan alat indera ini meliputi spesifikasi mutu kenampakan, bau, rasa dan konsistensi (tekstur) serta beberapa faktor lain yang diperlukan untuk menilai produk tersebut. Prinsip uji organoleptik adalah menggunakan indera manusia sebagai alat utama untuk menilai mutu produk (Badan Standardisasi Nasional, 2006). Karakteristik sensori seperti tekstur, citarasa, aroma, dan warna dari produk makanan merupakan atribut terpenting bagi konsumen (Theron dan Lues, 2011). Syarat uji organoleptik menurut Soekarto (1985) yaitu adanya contoh (sampel), panelis, dan pernyataan respon yang jujur. Jumlah penilai (anggota panel) menurut Damayanthi dan Mudjajanto (1995) antara lain tergantung dari tipe penilai, khusus untuk panel konsumen jumlah yang diperlukan cukup besar, yaitu dari 30 sampai 1000 orang. Jenis pengujian biasanya mengenai uji kesukaan. Panelis agak terlatih merupakan panelis yang mengetahui sifat-sifat sensorik dari contoh yang 17 dinilai karena mendapat penjelasan atau latihan. Jumlah panelis ini berkisar antara 15-25 orang. Uji hedonik merupakan metode uji untuk mengukur tingkat kesukaan terhadap produk dengan menggunakan lembar penilaian. Berbeda dengan uji hedonik, uji mutu hedonik tidak menyatakan suka atau tidak suka melainkan menyatakan kesan tentang baik atau buruk dengan rentang skala berkisar dari ekstrim baik sampai ke ekstrim jelek. Bentuk pengujian organoleptik lain adalah uji skalar yaitu pengujian yang dinyatakan dalam bentuk besaran skalar atau skala numerik seperti uji skor dan uji penjenjangan (ranking). Uji skor yaitu pemberian angka nilai mutu sensorik terhadap bahan yang diuji pada jenjang mutu atau tingkat skala hedonik; sedangkan dalam uji ranking, sampel yang diuji diurutkan dari yang paling tinggi (urutan pertama) hingga paling rendah (urutan terakhir) (Soekarto, 1985). 18