9 BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Tinjauan Umum 2.1

advertisement
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1.
Tinjauan Umum
2.1.1 Sekolah Berkebutuhan Khusus
Pengertian Sekolah
Sekolah atau School berasal dari Bahasa Latin: skhole, scola, scolae
atau skhola yang memiliki arti: waktu luang atau waktu senggang, dimana
ketika itu sekolah adalah kegiatan di waktu luang bagi anak-anak di tengahtengah kegiatan utama mereka, yaitu bermain dan menghabiskan waktu untuk
menikmati masa anak-anak dan remaja. Kegiatan dalam waktu luang itu
adalah mempelajari cara berhitung, cara membaca huruf dan mengenal
tentang moral (budi pekerti) dan estetika (seni). Untuk mendampingi dalam
kegiatan scola anak-anak didampingi oleh orang ahli dan mengerti tentang
psikologi anak, sehingga memberikan kesempatan yang sebesar- besarnya
kepada anak untuk menciptakan sendiri dunianya melalui berbagai pelajaran
di atas.
Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus
Anak Berkebutuhan Khusus diartikan sebagai anak yang memiliki
kelainan fisik, mental, emosi, sosial atau gabungan dari kelainan tersebut
yang sifatnya sedemikian rupa sehingga memerlukan layanan pendidikan
secara khusus. Dalam buku yang berjudul Lexikana Universal Encyclopedia
dijelaskan bahwa Pengertian Anak Luar Biasa atau istilah ketunaan
digunakan untuk menunjukkan adanya kelainanan fisik atau kelemahan
mental yang sekarang lebih sering digunakan untuk menjelaskan adanya
kelemahan, gangguan atau hambatan dalam segi mental, fisik atau emosi
yang begitu berat sehingga mengakibatkan keterbatasan bagi mereka dalam
melakukan aktivitas.
Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus
1.
Tuna Netra
Tunanetra
adalah
individu
yang
memiliki
hambatan
dalam
penglihatan. tunanetra dapat diklasifikasikan kedalam dua golongan yaitu:
buta total (Blind) dan low vision. Definisi Tunanetra menurut Kaufman &
Hallahan adalah individu yang memiliki lemah penglihatan atau akurasi
9
10
penglihatan kurang dari 6/60 setelah dikoreksi atau tidak lagi memiliki
penglihatan. Identifikasi anak yang mengalami gangguan penglihatan yaitu
tidak mampu melihat, tidak mampu mengenali orang pada jarak 6 meter,
kerusakan nyata pada kedua bola mata, sering meraba-raba/tersandung
dijalan, mengalami kesulitan mengambil benda kecil didekatnya, bagian bola
mata yang hitam berwarna keruh, mata bergoyang terus. (Sutjihati Somantri,
2003).
2.
Tuna Rungu
Anak tunarungu adalah anak yang kehilangan seluruh atau sebagian
daya pendengarannya, sehingga mengalami gangguan berkomunikasi secara
verbal secara fisik. Anak tunarungu tidak berbeda dengan anak –anak yang
dapat mendengar pada umumnya, sebab orang akan mengetahui bahwa anak
menyandang ketunaruguan pada saat berbicara, mereka berbicara tanpa suara
atau dengan suara yang kurang atau tidak jelas artikulasinya, atau bahkan
tidak berbicara sama sekali. (Sutjihati Somantri, 2003)
3.
Tuna Grahita
American Association on Mental Deficiency (AAMD) dalam
B3PTKSM, (p. 20) mendefinisikan retardasi mental/tunagrahita sebagai
kelainan yang meliputi fungsi intelektual umum di bawah rata-rata (subaverage), yaitu IQ 84 ke bawah berdasarkan tes individual dan menunjukkan
hambatan dalam perilaku adaptif. (Sutjihati Somantri, 2003)
4. Tuna Daksa
Tunadaksa adalah individu yang memiliki gangguan gerak yang
disebabkan oleh kelainan neuro-muskular dan struktur tulang yang bersifat
bawaan, sakit atau akibat kecelakaan, termasuk celebral palsy, amputasi,
polio, dan lumpuh. (Haekal, 2005)
5. Tuna Laras
Tunalaras adalah individu yang mengalami hambatan dalam
mengendalikan emosi dan kontrol sosial. Individu tunalaras biasanya
menunjukan prilaku menyimpang yang tidak sesuai dengan norma dan aturan
yang berlaku disekitarnya. (Haekal, 2005)
6. Tuna Ganda
Anak tunaganda adalah anak yang memiliki kombinasi kelainan (baik
dua jenis kelainan atau lebih) yang menyebabkan adanya masalah pendidikan
11
yang serius, sehingga dia tidak hanya dapat diatas dengan suatu program
pendidikan khusus untuk satu kelainan saja, melaiankan harus didekati
dengan variasi program pendidikan sesuai kelainan yang dimiliki. (Sutjihati
Somantri, 2003)
Pengertian Sekolah Berkebutuhan Khusus
Maka pengertian dari Sekolah untuk Anak Berkebutuhan Khusus
adalah tempat yang berfungsi memfasilitasi atau mewadahi siswa yang
memiliki kelainan fisik atau mental untuk mendukung aktifitas didalamnya
dalam proses belajar mengajar seperti bermain, bersosialisasi, pembinaan,
pengembangan bakat dan kreatifitas.
Jenis Sekolah Berkebutuhan Khusus atau Sekolah Luar Biasa
Menurut Depdiknas tahun 2008 dalam pelaksanaannya SLB terbagi
atas beberapa jenis sesuai dengan kelainan peserta didik, yaitu:
1.
SLB Bagian A, yaitu lembaga pendidikan yang memberikan pelayanan
pendidikan secara khusus untuk peserta didik yang menyandang kelainan
pada penglihatan (Tunanetra).
2.
SLB Bagian B, yaitu lembaga pendidikan yang memberikan pelayanan
pendidikan secara khusus untuk peserta didik yang menyandang kelainan
pada pendengaran (Tunarungu).
3.
SLB Bagian C, yaitu lembaga pendidikan yang memberikan pelayanan
pendidikan secara khusus untuk peserta didik tunagrahita ringan dan
SLB. Bagian C1, yaitu lembaga pendidikan yang memberikan pelayanan
pendidikan secara khusus untuk peserta didik tunagrahita sedang.
4.
SLB Bagian D, yaitu lembaga pendidikan yang memberikan pelayanan
pendidikan secara khusus untuk peserta didik yang mengalami cacat fisik
(tunadaksa) tanpa adanya gangguan kecerdasan dan SLB D1, yaitu
lembaga pendidikan yang memberikan pelayanan pendidikan secara
khusus untuk peserta didik tunadaksa yang disertai dengan gangguan
kecerdasan.
5.
SLB Bagian E, yaitu lembaga pendidikan yang memberikan pelayanan
pendidikan secara khusus untuk peserta didik yang memiliki kelainan
tingkah laku (tunalaras).
6.
SLB Bagian G, yaitu lembaga pendidikan yang memberikan pelayanan
pendidikan secara khusus untuk peserta didik tunaganda. teori dan
12
praktik.
Berdasarkan Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota
Jakarta nomor 32 tahun 2012 pasal 18 menyebutkan
1.
Kelengkapan prasarana pada Sekolah Luar Biasa (SLB) sekurangkurangnya memiliki :
a. ruang pembelajaran umum
b. ruang pembelajaran khusus
c. ruang penunjang
Ruang pembelajaran umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
meliputi
a. ruang kelas
b. ruang perpustakaan
Ruang pembelajaran khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
meliputi
a) ruang orientasi dan mobilitas (OM) untuk tunanetra (A);
b) ruang bina komunikasi. persepsi bunyi dan irama (BKPBI) untuk
tunarungu (B), terdiri dari
• ruang bina wicara
•
ruang bina persepsi bunyi dan irama
•
ruang bina diri dan bina gerak untuk tunagrahita (C)
•
ruang bina diri dan bina gerak untuk tunadaksa (D)
•
ruang bina pribadi dan sosial untuk tunalaras (E)
•
ruang keterampilan.
Ruang penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi
a)
ruang pimpinan
b)
ruang guru
c)
ruang tata usaha
d)
tempat beribadah
e)
ruang UKS
f)
ruang konseling/assesment
g)
ruang organisasi kesiswaan
h)
toilet
i)
gudang
13
j)
ruang sirkulasi
k)
tempat bermain/olahraga
2.1.2 Sekolah Luar Biasa Tunanetra
Sekolah Luar biasa untuk tunanetra atau yang biasa disebut dengan
SLB-A ini menurut George H.W dalam bukunya “Signage into Law”
mengajarkan bagaimana siswa untuk hidup mandiri melalui latihan
pembelajaran praktis. belajar kemandirian finansial, cara menavigasi situasi
dengan lingkungan yang berbeda, cara hidup dan merawat dirinya sendiri.
Menurut ADA (American Disabilities Act) komponen penting untuk
mendesain SLB-A dengan tujuan melebihi standar yang ada guna untuk
mengembangkan ruang yang lebih nyaman dan mudah di akses meliputi
Accessibility
Fasilitas ini harus mengakomodasi semua individu khususnya untuk
tunanetra.
Audibility
Kemampuan untuk mengontrol jenis kebisingan yang dapat mempengaruhi
pengguna fasilitas dalam belajar. Menggunakan “white noise” dalam arti
suara yang dapat dinikmati dengan digunakan secara efektif berguna untuk
membantu siswa memblokir suara dari lingkungan perkotaan.
Interaction
Para guru dan siswa harus berinteraksi dengan lingkungan, hal ini dilakukan
dengan membuat point of interest yang menciptakan situasi interaksi .
Olfactory
Membuat lansekap dan desain interior yang menciptakan penanda aromatik di
ruang tertentu sehingga dapat membantu dalam pengembangan pemetaan
kognitif dan untuk menciptakan pengalaman yang benar-benar unik.
Safety
Menciptakan lingkungan yang aman di mana guru dan siswa sama-sama
bebas untuk bergerak di lingkungan yang bebas hambatan dan menciptakan
solusi desain terbaik untuk mencegah kebingungan yang mengakibatkan
cedera .
Security
Fasilitas harus menciptakan lingkungan yang aman, melindungi guru dan
siswa dari pengaruh luar. Fasilitas ini harus memberikan rasa aman tanpa
14
menjadi sombong dengan efek dari makhluk dalam "penjara".
Tangible
Fasilitas ini harus memberikan tekstur pada permukaan dalam rangka untuk
menavigasi dengan
sentuhan. Banyak
tekstur
yang
berbeda
dapat
membingungkan, tetapi penggunaan tekstur tertentu untuk pemberitahuan
spesifik seperti " bahaya " atau penunjukan toilet , dan sebagainya .
Sight
Fasilitas ini harus menggunakan warna untuk mewakili ruang yang berbeda
dan membuat jalur yang dapat membantu dalam penunjuk jalan. Penggunaan
cahaya siang hari alami dapat membantu untuk mendefinisikan ruang tertentu
memisahkan mereka dari ruang lain dengan menggunakan tingkat yang
berbeda pencahayaan.
2.1.3 Arsitektur Perilaku
Arsitektur Perilaku dapat diartikan sebagai suatu lingkungan binaan
yang diciptakan oleh manusia sebagi tempat untuk melakukan aktivitasnya
dengan mempertimbangkan segala aspek dari tanggapan atau reaksi dari
manusia itu sendiri menurut pola pikir atau persepsi manusia selaku pemakai.
(Setiawan. B & Haryadi, Arsitektur Lingkungan dan Perilaku)
Sehubungan dengan pengertian di atas maka Arsitektur Perilaku
tersebut membahas tentang hubungan antara tingkah laku manusia dengan
lingkungannya. Hal ini tentunya tidak terlepas dari pembahasan psikologis
yang secara umum didefenisikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari
tingkah laku manusia dengan lingkungan.
Menurut Garden Murphy, psikologi adalah ilmu yang mempelajari
respons yang diberikan oleh makhluk hidup terhadap lingkungannya.
Menurut Amos Rapoport, kajian arsitektur lingkungan berkaitan dengan
karakter manusia yang berbeda-beda, lingkungan terbangun yang membentuk
atau mempengaruhi perilaku manusia yang didalamnya dan interaksi manusia
dengan lingkungannya.
Penyesuaian antara perilaku dengan lingkungannya terbagi atas dua
yaitu :
•
Perubahan perilaku agar sesuai dengan lingkungan. Sifat manusia yang
mampu belajar dari pengalaman, perubahan perilaku agar sesuai dengan
lingkungan akan bisa dilakukan secara bertahap. Dengan kata lain,
15
manusia bisa dididik, dilatih dan belajar sendiri untuk bisa menyesuaikan
diri dengan lingkungan barunya yang masih asing.
•
Perubahan lingkungan agar sesuai dengan perilaku manusia selalu
berusaha untuk memanipulasi lingkungan agar sesuai dengan kondisi
dirinya (keadaan yang diinginkannya). Proses manipulasi lingkungan
tersebut melibatkan tingkah laku mendesain (merancang) lingkungan.
Dlam mendesain bangunan ada dua unsur yaitu kelayakan huni
(habitability) dan alternatif desain.
Perilaku Sebagai Suatu Pendekatan
Pendekatan perilaku menekankan keterkaitan antara ruang dengan
manusia yang memanfaatkan atau menghuni ruang tersebut. Pendekatan ini
menekankan perlunya memahami perilaku manusia atau masyarakat yang
berbeda-beda di setiap daerah dari aspek norma, kultur, dan psikologis
masyarakat. Dengan perbedaan tersebut maka akan tercapai konsep ruang
dengan wujud ruang yang berbeda sesuai dengan pemakai/pengguna ruang
tersebut.
Psikologi Manusia
Psikologi merupakan suatu bidang ilmu kejiwaan yang membahas
tentang tingkah laku manusia sebagai individu pada lingkungan sosialnya.
Psikologi manusia adalah ilmu yang mempermasalahkan mengenai tingkah
laku dan proses yang terjadi tentang tingkah laku tersebut. Maka psikologi
selalu berbicara tentang kepribadian manusia.
Menurut Dr. Sarlito Wirawan Sarwono, manusia sebagai objek yang
paling penting dalam suatu lingkungan binaan memiliki ciri- ciri sebagai
berikut, cenderung untuk selalu mengerti dan bereaksi dengan lingkungannya,
senang untuk mengetahui dan membagi pengetahuannya dengan orang lain
dan selalu kebingungan pada saat tidak memiliki pedoman yang jelas.
Kecenderungan ini merupakan akibat dari adanya proses psikologi
yang terjadi pada setiap individu dalam interaksinya dengan lingkungannya.
Pada lingkungan binaan tersebut manusia memiliki perilaku tertentu karena
didasarkan pada kebutuhan hidup.
Konsep dalam Kajian Arsitektur Lingkungan dan Perilaku
Behavior Setting (seting ruang) mengandung unsur-unsur sekelompok orang
yang melakukan sesuatu kegiatan, aktivitas atau perilaku dari sekelompok
16
orang tersebut, secara konstan atau berkala, dan pada suatu tempat atau
setting tertentu.
Environmental Perception (persepsi tentang lingkungan) interpretasi tentang
suatu setting oleh individu, didasarkan latar belakang budaya, nalar dan
pengalaman individu tersebut.
Perceived Environment (lingkungan
yang terpersepsikan) merupakan
produk atau bentuk dari persepsi lingkungan seseorang atau sekelompok
orang.
Environment Cognition, Image, and Schemata (kognisi lingkungan, citra, dan
skemat) Merupakan suatu proses memahami dan memberi arti terhadap
lingkungan.
Environmental
Learning
(pemahaman
lingkungan)
meliputi
proses
pemahaman yang menyeluruh tentang suatu lingkungan seseorang.
Environmental Quality (kualitas lingkungan) merupakan kualitas lingkungan
yang memenuhi preferensi imajinasi ideal seseorang atau sekelompok orang.
Territory (teritori/wilayah) merupakan batas dimana organisme hidup
menentukan tuntutannya menandai serta mempertahankannya.
Personal Space and Crowding (ruang personal dan keramaian) merupakan
batas yang tidak tampak di sekitar seseorang, dimana orang lain tidak boleh
atau merasa enggan untuk memasukinya. Apabila personal space tidak dapat
dipertahankan akan timbul crowding.
Environmental Pressure and Stress merupakan faktor-faktor fisik yang
menimbulkan rasa tidak enak, kehilangan orientasi, tidak nyaman yang dapat
menyebabkan stress.
2.2
Tinjauan Khusus
2.2.1 Tuna Netra
Pengertian Tunanetra.
Secara umum ketunanetraan atau hambatan penglihatan (visual
impairment) dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori besar, yaitu buta
total (totally blind) dan kurang lihat (Low Vision) (Christopher, 2005: 412).
Seseorang dikatakan menyandang low vision atau kurang lihat apabila
ketunanetraannya masih cenderung memfungsikan indera penglihatannya
dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Sehingga masih dapat membedakan
17
ruang yang ada di sekitarnya, namun membutuhkan usaha dibandingkan
dengan orang biasa lainnya. Oleh sebab itu perbedaan warna yang mencolok
sangat membantu mereka dalam beraktifitas di ruangannya (Adrian R Hill,
2004). Blindness (kebutaan) menunjuk pada seseorang yang tidak mampu
melihat atau hanya memiliki persepsi cahaya (Huebner dalam Siska, 2005:
412). Seseorang dikatakan buta (blind) jika mengalami hambatan visual yang
sangat berat atau bahkan tidak dapat melihat sama sekali. Kadang-kadang di
lingkungan sekolah juga digunakan istilah functionally blind atau
educationally blind untuk kategori kebutaan ini. Penyandang buta total
mempergunakan kemampuan perabaan dan pendengaran sebagai saluran
utama dalam belajar sehingga membutuhkan signage atau penanda untuk
mempermudah mengenal ruangan.
Orang tunanetra mengalami tiga keterbatasan (Lowenfeld, 1948).
Keterbatasan pertama, kontrol lingkungan dan diri dalam hubungannya
dengan lingkungan, dimana hal ini dapat berpengaruh terhadap penerimaan
informasi dalam interaksi sosial. Keterbatasan kedua adalah mobilitas.
Apabila keterbatasan ini tidak ditangani dengan memberikan pelatihan
kepada orang tunanetra, maka orang tunanetra akan menghadapi kesulitan
dalam melakukan interaksi dengan lingkungan. Keterbatasan ketiga adalah
dalam tingkat dan keanekaragaman konsep. Orang tunanetra yang
ketunanetraannya diperoleh sejak lahir akan menghadapi kesulitan ketika
memperoleh konsep-konsep yang baru, seperti perkembangan teknologi,
pakaian, dan perubahan dalam lingkungan.
Karakteristik Tunanetra
a. Karakteristik Perilaku
Perilaku anak tuna netra yang terdiri dati buta total (tidak bisa melihat
sama sekali), buta sebagian atau low vision adalah sebagai berikut
•
Berjalan dengan meraba-raba sekelilingnya.
•
Anak yang mengalami buta total dibantu dengan tongkat untuk berjalan.
Tongkat tersebut diarahkan ke kiri, kanan, atau ke depan untuk
mengetahui apa yang berada di sekelilingnya.
•
Berjalan dengan dituntun oleh orang lain.
•
Daya ingat dan instingnya kuat.
18
•
Mampu merekam sesuatu dengan baik.
•
Indera pendengaran lebih tajam dibandingkan dengan anak yang mampu
melihat.
•
Dapat mendeteksi sesuatu lewat suara atau indera lainnya.
•
Bila pertama kali datang di tempat asing, ia akan mengeksplorasi apa
yang terdapat di tempat tersebut atau di sekelilingnya, kemudian mencoba
merekam dan menggambarkan ‘denah’ ruang di dalam otaknya.
•
Mobilitas dan ruang gerak terbatas.
•
Saat menuju ke suatu tempat jalur yang ditempuh adalah jalur terpendek,
mudah dan terhindar dari bahaya. (Sesilia Gloria, 2009)
Sebenarnya ketunanetraan itu sendiri tidak menimbulkan masalah atau
penyimpangan perilaku pada diri anak, meskipun secara umum berpengaruh
terhadap perilakunya. Sebagai contoh, siswa tunanetra bisa jadi tidak matang
secara sosial, lebih terisolasi, dan mungkin kurang asertif dibandingkan
dengan anak lain (Tuttle, dalam Rossa, 2005:417), dan hal ini terjadi
sepanjang masa kanak-kanak sampai remaja. Anak tunanetra kadang-kadang
dianggap kurang mampu bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan
sehari-hari sehingga orang lain cenderung menolongnya. Hal ini justru
menjadikan mereka lebih pasif dan akan merasa kurang percaya diri saat
bersosialisasi.
b. Karakteristik Kognitif
Lowenfeld (Christopher, 2005: 417) menggambarkan dampak
kebutaan (totally blind) atau kurang lihat (low vision) terhadap perkembangan
kognitif, dengan mengidentifikasi keterbatasan yang mendasar pada anak,
dalam tiga area berikut ini:
1. Tingkat dan keragaman pengalaman.
Bila
seorang
anak
mengalami
hambatan
penglihatan,
maka
pengalaman harus diperoleh dengan mempergunakan indera-indera yang
masih berfungsi, khususnya perabaan dan pendengaran. Tetapi, indera-indera
tersebut
tidak
dapat
sepenuhnya
menggantikan
penglihatan
dalam
memperoleh informasi secara cepat dan menyeluruh, misalnya ukuran,
warna, dan hubungan ruang, yang diperoleh melalui penglihatan. Tidak
19
seperti halnya penglihatan, mengeksplorasi benda dengan perabaan
merupakan proses memahami dari bagian-bagian ke keseluruhan, dan orang
tersebut harus melakukan kontak dengan bendanya selama dia melakukan
eksplorasi tersebut. Beberapa benda terlalu jauh (misalnya bintang, horizon),
terlalu besar (misalnya gunung, awan), terlalu lembut dan kecil (misalnya
serpihan salju, serangga kecil), atau membahayakan (misalnya api, kendaraan
yang bergerak) untuk dipahami melalui perabaan.
2. Kemampuan untuk berpindah tempat (mobilitas).
Penglihatan memungkinkan kita untuk bergerak dengan leluasa dalam
suatu lingkungan, namun kebutaan atau hambatan penglihatan yang parah
akan menghambat gerakan tersebut. Keterbatasan tersebut membatasi
seseorang dalam memperoleh pengalaman dan mempengaruhi hubungan
sosial. Tidak seperti anak-anak lainnya, anak tunanetra harus belajar cara
berjalan dengan aman dan efisien dalam suatu lingkungan dengan
menggunakan berbagai keterampilan dan teknik orientasi dan mobilitas.
3. Interaksi dengan lingkungan.
Penglihatan sangat memungkinkan untuk memperoleh informasi pada
jarak jauh, orang dengan penglihatan normal akan dapat dengan segera dan
langsung mengendalikan lingkungan. Sebagai contoh, saat anda berada di
suatu pesta yang ramai, anda dengan segera bisa melihat ruangan di mana
anda berada, menemukan seseorang atau tempat yang akan anda hampiri, dan
kemudian anda bisa dengan bebas bergerak ke arah tersebut. Orang tunanetra
atau yang mengalami hambatan penglihatan parah tidak memiliki
kemampuan kontrol seperti itu.
c. Karakteristik Akademik
Selain mempengaruhi perkembangan kognitif, ketunanetraan juga
berpengaruh terhadap perkembangan keterampilan akademis, khususnya
dalam bidang membaca dan menulis. Sebagai contoh, saat membaca atau
menulis anda tidak perlu memperhatikan secara rinci bentuk huruf atau kata,
tetapi bagi sebagian besar anak dengan hambatan penglihatan, hal tersebut
tidak bisa dilakukan karena ada gangguan pada ketajaman penglihatannya.
Anak- anak tersebut menggunakan berbagai media dan alat alternatif untuk
membaca dan menulis, sesuai dengan kebutuhannya masing-masing. Mereka
20
mungkin mempergunakan braille atau huruf cetak dengan berbagai alternatif
ukuran. Dengan asesmen dan pembelajaran yang sesuai, anak tunanetra tanpa
kecacatan tambahan dapat mengembangkan keterampilan membaca dan
menulis seperti teman-temannya yang dapat melihat. (Sacks & Silberman,
dalam Cynthia, 2008).
d. Karakteristik Sosial dan Emosional
Perilaku sosial secara khusus dikembangkan melalui observasi
terhadap kebiasaan dan kejadian sosial serta menirunya (Sacks & Silberman,
dalam Cynthia, 2005: 417). Perbaikan terjadi melalui penggunaan perilaku
sosial secara berulang-ulang, dan secara tidak langsung melalui feedback dari
orang yang kompeten secara sosial. Karena tunanetra mempunyai
keterbatasan dalam belajar melalui pengamatan dan peniruan, siswa tunanetra
seringkali mengalami kesulitan dalam melakukan perilaku sosial yang sesuai.
Karena ketunanetraan berdampak pada keterampilan sosial, maka
siswa tunanetra harus mendapatkan pembelajaran langsung dan sistematis,
misalnya dalam bidang pengembangan persahabatan, pengambilan resiko dan
pembuatan keputusan, menjaga kontak mata atau orientasi wajah,
menunjukkan postur tubuh yang meyakinkan, menggunakan gestur dan
ekspresi wajah yang sesuai, mengekspresikan perasaan, menyampaikan pesan
yang tepat saat berkomunikasi, dan menunjukkan keasertifan yang tepat
(Sacks & Silberman, dalam Cynthia, 2008).
2.3.
Novelty
Pengamatan yang telah dilakukan berisi studi banding antar sekolah,
beberapa sudah memenuhi kriteria yang mengacu pada teori ADA akan tetapi
tidak satupun sekolah yang secara lengkap dapat memenuhi kriteria teori
tersebut yang akan dijelaskan pada bab 4. Oleh karena itu sekolah yang akan
di rancang akan memenuhi dari semua kriteria yang disebutkan oleh ADA
atau
American Disability Act
tunanetra.
guna memenuhi semua kebutuhan siswa
Download