TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi Selaginella Secara umum klasifikasi Selaginella menurut USDA (2009) adalah sebagai berikut: Divisio : Pteridophyta Kelas : Lycopodinae Bangsa : Selaginellales Suku : Selaginellaceae Genus : Selaginella Spesies : Selaginella sp. Selaginella termasuk dalam tumbuhan paku atau pteridophyta yaitu tumbuhan berpembuluh yang menggunakan spora untuk berkembangbiak secara seksualnya (Czeladzinski 2003). Selaginella memiliki perawakan herba, merayap, tegak atau menyebar dengan pola percabangan yang khas. Dalam bahasa Indonesia tumbuhan ini biasa disebut cakar ayam atau paku rane. Selaginella dinamai cakar ayam karena daunnya tersusun di bagian kiri-kanan batang dan cabang, bersisik-sisik seperti sisik kaki ayam (de Winter & Amoroso 2003). Indonesia memiliki sejumlah spesies Selaginella tetapi informasi tentang tumbuhan ini sangat terbatas. Di pulau Jawa ditemukan 18 spesies tersebar dalam 29 lokasi dengan jumlah terbesar di Jawa Barat. Spesies yang umum ditemukan adalah Selaginella plana, S. ornata, S. opaca, dan S. ciliaris, sedangkan S. willdenovii hanya ditemukan di Jawa Barat (Chikmawati & Miftahudin 2008). Secara umum spesies Selaginella menyukai daerah yang cukup lembab yang mendapatkan cahaya matahari pagi dan ternaungi. Spesies Selaginella juga dapat ditemukan di negara Pilipina, Thailand, Semenanjung Malaya, dan kepulauan Solomon (Camus 1997). Selaginella memiliki banyak nama lokal seperti rumput solo, cemara kipas gunung, cakar ayam (Jawa), paku rane (Sunda), Menter (Jakarta), tai lantuan (Madura), usia (Ambon), sikili batu (Minangkabau) (de Winter & Amoroso 2003).. Jenis-jenis Selaginella memiliki banyak kesamaan tetapi umumnya dapat dibedakan berdasarkan bentuk morfologi dan pigmentasinya. Keanekaragaman 5 morfologi dan pigmentasi merupakan karakter utama dalam taksonomi Selaginella (Czeladzinski 2003). Berikut adalah karakteristik S. willdenovii, S. plana dan S. ornata (Chikmawati & Miftahudin 2008). Selaginella willdenovii S. willdenovii merupakan semak dengan tinggi antara 1-2 meter, memanjat, batang utama tegak, bentuk segi empat, coklat kemerahan, licin, cabang dengan sudut 450 terhadap cabang utama. Daun permukaan atas kebiruan, ujung keemasan. Daun tengah persisten, terletak di sudut batang dan cabang ada yang merayap (Gambar 1). Sporofil seragam dan strobili bersegi empat. Sebaran spesies ini di pulau Jawa khususnya Jawa Barat ditemukan di daerah Darmaga, Cibeber, Gunung Wiru, Cangkuang, Danau Lido, dan Cigombong sedangkan di luar Jawa Barat spesies ini tidak ditemukan. S. willdenovii dapat ditemukan pada daerah yang cukup panas pada ketinggian ± 250 m dpl, dibawah pohon damar, diantara semak belukar di hutan, dan dibawah pohon pinus. Gambar 1. Selaginella willdenovii dari Kampus IPB Dramaga Bogor. Selaginella plana S. plana memiliki batang utama tegak, cabang membentuk frond yang cukup besar tumbuh dari batang utama dengan jarak berjauhan, daun dimorfik seluruhnya, warna hijau sedang, sporofil seragam dan strobili bersegi empat (Gambar 2). Ada beberapa variasi yang terlihat diantaranya batang coklat dominan, batang hijau, daun hijau dominan, dan daun coklat. Daerah sebaran di 6 pulau Jawa spesies ini ditemukan di Gunung Wiru, G. Salak, G. Gede, Cibeber, Cibodas, G. Merapi, G. Slamet, G. Sindoro, Pegunungan Sewu, Pegunungan Wilis, G. Argopuro, dan Paninggaran Pekalongan. Spesies ini dapat ditemukan di dekat sawah, di tebing dengan aliran air kecil dibawah tebing, tepi sungai, hutan sekunder, ternaungi, dan terbuka pada ketinggia antara 250–2771 m dpl. Tumbuhan sekitar kelapa, Nephrolepis, suplir, zingiber, keluarga nanas, kelapa, pisang, dan mangga. S. plana dapat tumbuh dengan baik pada tanah lempung liat, batu, dan tanah pasir berbatu. Gambar 2. Selaginella plana dari Kampus IPB Darmaga Bogor. Selaginella ornata S. ornata memiliki batang utama tegak, warna merah hati, kaku, mudah patah, ujung batang keemasan, ada satu akar keluar dari percabangan, daun dimorfik seluruhnya, daun lateral oblong-garis, nampak persisten, warna hijau muda, hijau sedang, dan coklat (merah hati). Sporofil dimorfik, sporofil dari daun di bawah lebih kecil dari bagian atas, strobili datar dan sangat rapat (Gambar 3). Persebaran spesies ini di pulau Jawa dapat ditemukan di daerah G. Wiru, G. Salak, G. Gede, Cibodas, Cibeber, Paninggaran-Pekalongan, G. Slamet, dan G. Argopuro. Di habitatnya S. ornata sering dijumpai dalam jumlah melimpah di banyak wilayah, menyukai tempat yang lembab, terkena matahari dan ternaungi tumbuhan lain dan terbuka, ditebing pinggir jalan dan tebing persawahan dengan 7 sumber air disekitarnya, dan hutan sekunder. Tumbuhan sekitar yang biasa dijumpai adalah S. plana, paku-pakuan lain, harendong, bambu, damar, palm, rumput dan antanan. Spesies ini dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian 250 – 1980 m dpl dengan jenis tanah remah, pasir, berbatu, dan lempung liat. Gambar 3. Selaginella ornata dari Kebun Raya Cibodas Cianjur . Senyawa Bioaktif pada Selaginella Senyawa bioaktif pada tumbuhan dihasilkan dari proses metabolisme sekunder. Zat-zat yang dihasilkan sebenarnya untuk pertahanan dari serangan patogen dan jamur. Hasil penelitian yang dilakukan pada akhir-akhir ini diketahui bahwa senyawa hasil metabolit sekunder dapat dimanfaatkan untuk zat anti kanker, anti inflamasi, penenang, dan berbagai penyakit lainnya. Menurut Rahman et al. (2007) metabolit sekunder utama pada Selaginella adalah biflavonoid yang merupakan dimer flavonoid yang dibentuk dari dua unit flavon atau campuran antara flavon dan flavonon (Gambar 4). Sistem cincin bisiklus dinamai cincin A dan C, sedangkan cincin unisiklus dinamai cincin B. Kedua unit monomer biflavonoid ditandai dengan angka romawi I dan II. Posisi angka pada masing-masing monomer dimulai dari cincin yang mengandung atom oksigen, posisi ke-9 dan ke-10 menunjukkan karbon pada titik penyatuan. Distribusi senyawa ini terbatas pada Selaginellales, Psilotales, dan Gymnospermae (Seigler 1998). 8 Gambar 4. Struktur dasar flavonoid dan biflavonoid. Selain biflavonoid pada spesies tertentu ditemukan alkaloid, fitosterol, saponin, tanin, dan flavonoid lainnya yang kandungan maupun keberadaannya sangat bervariasi. Faktor lingkungan tempat tumbuh seperti iklim, lokasi, tanah, dan metode ekstraksi sangat berpengaruh pada variasi kandungan metabolit sekunder (Nahrstedt & Butterweck 1997). Pada uji fitokimia Selaginella di pulau Jawa menunjukkan bahwa kandungan metabolit sekunder yang ada bervariasi. Pada S. willdenovii, S. plana, dan S. ornata positif mengandung alkaloid, flavonoid, saponin, dan steroid. Senyawa tanin hanya ditemukan pada spesies S. ornata sedangkan hydroquinon tidak ditemukan pada Selaginella (Chikmawati & Miftahudin 2008). Flavonoid merupakan metabolit sekunder yang paling beragam dan tersebar luas. Sekitar 5-10% metabolit sekunder adalah flavonoid dengan struktur kimia dan peran biologi yang beragam (Macheix et al. 1990). Flavonoid merupakan salah satu golongan fenol yang banyak ditemukan pada tumbuhan hijau. Diperkirakan 2% dari seluruh karbon yang difiksasi oleh tumbuhan diubah menjadi flavonoid atau senyawa yang berkaitan dengannya (Markham 1988). Pengujian lebih lanjut menunjukkan bahwa efek sitotoksik ginkgetin dapat menyebabkan kematian sel-sel kanker OVCAR-3, cervical carcinoma (Hela) dan foreskin fibroblast (FS-5) secara berturut-turut dengan 3.0, 5.2, dan 8.3 µg/ml. Pemberian ginkgetin sebanyak 3 µg/ml selama 24 jam menyebabkan terjadinya fragmentasi dan terlepasnya ikatan jalin ganda DNA. Namun pemberian 9 ginkgetin sebanyak 5 µg/ml selama 30 menit menyebabkan peningkatan peroksida hydrogen karena oksidasi spontan ginkgetin (Su et al. 2000). Biflavonoid dari ekstrak S. delicatula yaitu robustaflavon 4’-metil eter dan 2’’,3’’- dihidrorobustaflavon 7,4’-dimetil eter secara signifikan dapat menghambat pertumbuhan sel Raji dan Calu-1 (Lin et al. 2000). Ekstrak etanol S. doederleinii yang bertipe amentoplavon dan heveaflavon bersifat sitotoksik terhadap sel kanker murine L 929 (Lin et al. 1994). Ekstrak air dari S. doederleinii memiliki aktifitas anti mutagenik sedang terhadap sel kanker (Lee et al. 2008). Pemberian ekstrak S. tamariscina dengan pelarut organik secara signifikan menunjukkan efek anti kanker pada kultur sel leukemia HL-60 tetapi tidak mempengaruhi sel limfosit normal. Sedangkan ekstrak air dapat meningkatkan ekspresi gen penekan tumor P53 dan menahan induksi fase G1 pada siklus sel. Ekstrak S. tamariscina dapat menyebabkan fragmentasi DNA dan penggumpalan inti yang keduanya merupakan sifat apoptosis, namun sitotoksisitas terhadap sel kanker leukemia HL-60 tertekan oleh reactive oxygen spesies, termasuk superoksida dismutase dan katalase (Ahn et al. 2006). Biflavonoid yang paling kuat menghambat kanker adalah ginkgetin sedangkan senyawa lain memberikan hasil bervariasi tergantung pada jenis sel kankernya. Aktivitas sitotoksik yang menunjukkan kemampuan dalam menghambat pertumbuhan sel kanker menjadi landasan pengembangan obat anti kanker (Kim & Park 2002). Kanker dan Karsinogenik Kanker termasuk penyebab utama kematian hampir di seluruh dunia yang terus meningkat. Di Indonesia diperkirakan setiap tahunnya terdapat 100 penderita kanker baru dari setiap 100.000 penduduk dan menempati urutan ke 3 penyebab kematian di Indonesia (Nugroho et al. 2000). Kanker adalah suatu kondisi dimana sel telah kehilangan pengendalian dan mekanisme normalnya sehingga mengalami pertumbuhan yang tidak normal, cepat dan tidak terkendali serta bisa menyebar ke seluruh tubuh. Pada keadaan normal pergantian dan peremajaan sel terjadi sesuai kebutuhan melalui proliferasi sel dan apoptosis di 10 bawah pengaruh proto-onkogen dan gen supresor tumor jika tubuh membutuhkannya seperti mengganti sel-sel yang rusak, mati atau dalam proses pertumbuhan. Sedangkan sel-sel kanker akan membelah diri walaupun tidak dibutuhkan oleh tubuh sehingga terjadi kelebihan sel-sel baru (Nugroho et al. 2000). Sifat lainnya adalah mempunyai kemampuan untuk bermigrasi dari tempatnya tumbuh ke jaringan di dekatnya dan membentuk massa pada daerah baru di dalam tubuh. Kanker lebih agresif dari waktu ke waktu dan menjadi letal apabila jaringan atau organ yang diperlukannya untuk bertahan hidup mengalami gangguan (Sofyan 2000). Pertumbuhan jaringan yang berubah menjadi merusak disebut tumor atau neoplasma (pertumbuhan baru). Neoplasma dapat bersifat jinak dan ganas, dan sebutan umum untuk tumor ganas adalah kanker (Becker & Deamer 1991). Sedangkan tumor adalah istilah umum yang digunakan untuk segala pembengkaan atau benjolan yang disebabkan oleh apapun baik oleh pertumbuhan jaringan baru maupun adanya pengumpulan cairan seperti kista atau benjolan yang berisi darah karena benturan. Namun istilah tumor umumnya digunakan untuk menyatakan adanya benjolan yang disebabkan oleh pertumbuhan jaringan baru, tetapi bukan radang. Pembengkakan setempat yang dihubungkan dengan tumor dapat disebabkan oleh adanya proliferasi sel, peradangan, atau infeksi (Zakaria 2001). Kanker payudara adalah kanker pada jaringan payudara dan paling umum diderita kaum wanita. Kaum pria juga dapat terserang kanker payudara, walaupun kemungkinannya lebih kecil dari 1 di antara 1000. Kanker ini tergolong malignan tumor payudara invasif karsinoma atau compact tubular carsinoma dengan ciri sebagai berikut: tersusun dengan struktural yang agak monoton, jaringan kanker tersusun kompak atau padat, jaringan stroma sedikit, bentuk sel bulat sampai oval hingga pleomorfik, butir kromatin kasar, tersebar tidak teratur dan kadang-kadang tampak hiperkromatik, membran inti tidak rata dan ketebalanya tidak sama, anak inti besar dengan jumlah kadang-kadang lebih dari satu dan pleomorfik, terbentuk pseudolobular yang dipisahkan oleh stroma atau jaringan ikat (Zweiten 1984). Kanker dapat disebabkan oleh akumulasi mutasi genetik yang manifestasi penyakitnya memerlukan waktu yang lama. Beberapa faktor penyebab dapat 11 meningkatkan resiko terjadinya kanker seperti bahan karsinogenik (Nugroho et al. 2000) dan faktor genetik memegang peranan penting pada perkembangan sel kanker. Selain itu faktor kebiasaan hidup, usia, keadaan geografis juga ikut berperan dalam timbulnya penyakit kanker (Mariono et al. 2002). Ada tiga penyebab yang diperkirakan oleh sebagian besar studi sebagai pemicu (inisiator) transformasi neoplastik yaitu perubahan genetik dan kromosomal secara abnormal, infeksi oleh virus onkogen dan adanya kontak dengan senyawa karsinogen (Becker & Deamer 1991). Kanker juga dapat disebabkan oleh adanya radikal bebas dan ROS. Radikal bebas dan ROS berikatan dengan asam amino histidin, arginin, dan molekul nukleotida guanin menyebabkan kerusakan DNA termasuk kerusakan rantai oligonukleotida, kerusakan purin dan pirimidin serta ikatan silang DNA-protein. Ikatan senyawa elektrofil dengan molekul DNA menyebabkan mutasi gen dan mengarah pada pembentukan sel yang tidak terkendali atau kanker (Zakaria 2001). Perubahan sel-sel kanker dibentuk dari sel-sel normal dalam suatu proses rumit yang disebut transformasi, yang terdiri dari tahap inisiasi dan promosi. Pada tahap inisiasi terjadi suatu perubahan dalam bahan genetik sel yang memancing sel menjadi ganas. Perubahan dalam bahan genetik sel ini disebabkan oleh suatu agen yang disebut karsinogen yang bisa berupa bahan kimia, virus, radiasi atau sinar matahari, tetapi tidak semua sel memiliki kepekaan yang sama terhadap suatu karsinogen. Kelainan genetik dalam sel atau bahan lainnya yang disebut sel promotor, menyebabkan sel lebih rentan terhadap suatu karsinogen. Bahkan gangguan fisik menahun juga bisa membuat sel menjadi lebih peka untuk mengalami suatu keganasan. Pada tahap promosi, suatu sel yang telah mengalami inisiasi akan berubah menjadi ganas. Sel yang belum melewati tahap inisiasi tidak akan terpengaruh oleh promosi (Cotran et al. 1994). Kanker dapat tumbuh di semua jaringan tubuh, oleh karena itu dikenal berbagai macam jenis kanker berdasarkan sel atau jaringan yang terinfeksi sel kanker. Hal ini juga yang menyebabkan adanya perbedaan kecepatan pertumbuhan maupun reaksi terhadap pengobatannya (Nugroho et al. 2000). Pada umumnya mekanisme anti kanker berdasarkan atas gangguan pada salah satu proses yang esensial yaitu dapat menekan pertumbuhan atau proliferasi sel dengan 12 mengganggu metabolisme sel kanker. Suatu senyawa bioaktif bersifat sitotoksik umumnya bersifat nukleofilik, sehingga dapat memblok reaksi kovalen antara derivat karsinogen yang dielektrofilik dengan DNA (Murakami et al. 1996). Pengobatan kanker pada umumnya sama yaitu salah satu atau kombinasi dari operasi, penyinaran (radioterapi), obat pembunuh sel kanker (sitostatika), meningkatkan daya tahan tubuh dan pengobatan dengan hormon. Hasilnya tentu tergantung dari keadaan pasien dan jenis kanker (Nugroho et al. 2000). Mekanisme karsinogenesis secara umum diawali dari proses detoksifikasi senyawa asing, yang biasa dikenal dengan xenobiotik, di dalam hati oleh enzimenzim detoksifikasi yang terjadi dalam dua tahap. Tahap pertama merupakan aktivasi, yaitu mengkondisikan xenobiotik agar bersifat lebih mudah larut dalam sirkulasi darah sehingga mudah diberi perlakuan pada tahap selanjutnya. Sedangkan tahap kedua yaitu tahap konyugasi yang membuat xenobiotik dapat diekskresikan. Senyawa intermediat dapat terbentuk pada tahap pertama dan bersifat radikal hasil dari penambahan satu oksigen pada senyawa xenobiotik tersebut. Apabila kerja enzim tahap kedua tidak optimal sifat radikal senyawa intermediat dapat menyerang sel atau jaringan normal lainnya (Hodgson & Levi 2000). Dalam terapi kanker dikenal ada target yang ingin dicapai. Target pertama adalah onkogen yang menstimulasi perkembangan sel melalui siklus sel yaitu serangkaian peristiwa meliputi pembesaran sel, replikasi DNA dan pembelahan sel, serta pemindahan set gen yang lengkap pada sel anak. Target kedua adalah gen yang membatasi perkembangan tersebut yang disebut sebagai gen penekan atau supresor tumor. Target ketiga adalah kelompok gen yang mengatur replikasi dan perbaikan dari DNA. Kebanyakan tumor disebabkan oleh terjadinya mutasi pada satu atau lebih dari ketiga target tersebut (Sofyan 2000). Tanaman Herbal dan Antikanker Tanaman herbal yang dijadikan sebagai herbal anti tumor harus mengandung senyawa metabolit sekunder yang bahan aktif mempunyai tiga sifat antara lain: (1) sifat antitoksis yaitu dapat mengeliminasi keganasan racun yang dihasilkan oleh sel-sel tumor, (2) kemampuan sitostatika yaitu dapat dapat 13 menghambat pertumbuhan sel tumor dan melisis sel-sel tumor (Murakami et al. 1996), dan (3) antiangiogenesis yaitu kemampuan untuk memutus pasokan makanan dan oksigen dengan menghentikan aliran darah (Hanahan & Weinberg 2000). Tanaman herbal yang telah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai tanaman anti kanker seperti benalu teh, kedelai, buah merah, mengkudu, tetapi belum banyak yang didukung data ilmiah dan data klinis tentang manfaat tanaman herbal. Hasil penelitian yang dilakukan Lam (2000) menunjukkan bahwa karotenoid dapat menstimulasi sel imun melawan sel tumor. Isoflavon bekerja secara sinergis dengan obat anti kanker seperti tamoxiten, cispasin, dan andriamisin, dan bersifat anti-angiogenesis serta mempertinggi apoptosis sel kanker. Turunan flavonoid seperti isoflavon dari kedelai, flavonol dari bawang putih dan brokoli, flavon dari tanaman hijau, flavavon dari buah jeruk, katekin dari teh dan apel dan proantosianidin dari anggur dan buah cerri dapat merusak sel kanker dan menurunkan kejadian metastasis (Hecht 2000). Menurut BPOM (2005) tanaman yang dijadikan obat dapat dikategorikan dalam beberapa tingkatan yaitu obat tradisional, jamu, obat herbal terstandar, dan fitofarmaka. Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut, yang secara turun-temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Jamu adalah obat tradisional Indonesia. Obat tradisional perlu dilakukan uji praklinik dan standarisasi bahan baku untuk dijadikan obat herbal terstandar. Obat herbal terstandar adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan bahan bakunya telah di standarisasi. Fitofarmaka adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan uji klinik, bahan baku dan produk jadinya telah di standarisasi. Bahan baku adalah sediaan galenik, bahan tambahan atau bahan lainnya, baik yang berkhasiat maupun yang tidak berkhasiat, yang berubah maupun yang tidak berubah, yang digunakan dalam pengolahan obat tradisional, walaupun tidak semua bahan tersebut masih terdapat didalam produk. 14 Selaginella yang oleh masyarakat telah dipercaya aman dan berkhasiat sebagai herbal dengan penelitian praklinis pada mencit C3H untuk mengetahui efek anti tumor kelenjar mamari ini adalah tahapan untuk dijadikan dasar pengembangan Selaginella sebagai obat herbal terstandar dengan memenuhi kriteria diantaranya adalah aman, adanya data penunjang praklinis dan bahan baku yang standar. Untuk pengembangan Selaginella sebagai fitofarmaka memerlukan penelitian lanjutan diantaranya adalah standar bahan baku, stadar dosis, uji klinis pada orang sehat maupun orang sakit (BPOM 2005). .