BAB 2 KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Sebelumnya

advertisement
BAB 2
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Penelitian Sebelumnya (State of the Art)
Tabel 2.1 Tabel State of the Art
No.
Hasil Penelitian
Perbedaan
Judul
Nama
Metode
Penelitian
Peneliti
Yang
Dengan
Digunakan
Penelitian
Skripsi Ini
1.
Representasi
Yolanda Hana Kualitatif,
Adanya
Penelitian
Feminisme
Chornelia,
representasi
Yolanda
feminisme
menelaah
dalam
tentang
pengambilan
feminisme
Kristen Petra
keputusan,
yang
Surabaya-
kekuatan,
2013
kepemimpinan
dalam
“Snow
Film Prodi
Ilmu Semiotika
White Komunikasi,
And
Huntsman”
Analisis
John Fiske.
The Universitas
terdapat
dan dalam
“Snow
Film
White
berdasarkan hal and
yang
the
dilakukan Huntsman”
oleh tokoh-tokoh menggunakan
perempuan
di semiotika John
dalam
“Snow
film Fiske,
White sedangkan
and
Huntsman”
the penelitian
ini
menelaah
tentang
feminisme
dalam
di
Film
“Divergent”
menggunakan
semiotika
7
8
Roland
Barthes.
2.
Penelitian
Budaya Pop dan Pawito, Prodi Kualitatif,
Tayangan
Politik : Analisis Ilmu
Analisis
langsung konser Pawito
Semiotik
Komunikasi,
Semiotika
musik Iwan Fals menelaah
terhadap
FISIP,
Ferdinand
di TRANS TV, tentang budaya
Penampilan
Universitas
de
4
Saussure.
menjadi
Iwan
Fals
di Sebelas
2004 pop dan politik
pesan pada
sebuah
moral
yang tayangan
Surakarta-
ditujukan
bagi konser
2005
para elite politik menggunakan
TRANS TV, 4 Maret,
April 2004
April
dan
para semiotika
Ferdinand
pemimpin
bangsa
musik
de
untuk Saussure,
menjalankan
sedangkan
politik bersih.
penelitian
ini
menelaah
tentang
feminisme
dalam
di
Film
“Divergent”
menggunakan
semiotika
Roland
Barthes.
9
3.
Mistisme
Feni Fasta dan Kualitatif,
Sosok The Devil Penelitian Feni
Simbolik Kartu Christina Arsi Analisis
pada kartu tarot dan
Tarot The Devil Lestari,
sebenarnya
menelaah
(Studi Semiotika Fakultas Ilmu Ferdinand
melambangkan
tentang
Tarot
de
diri
Saussure.
yang jika berada kartu tarot The
“The Komunikasi
Devil” dari Buku Universitas
“Easy
Semiotika
Tarot” Mercu Buana-
Lidia Pratiwi)
manusia pemaknaan
dalam
2012
Christina
keadaan Devil
lemah, terpuruk, menggunakan
dan
dilingkupi semiotika
kegelapan akan Ferdinand
ditampilkan
de
Saussure,
melalui pikiran, sedangkan
perkataan,
penelitian
ini
maupun perilaku menelaah
yang
kepada
buruk tentang
sesama feminisme
makhluk Tuhan.
dalam
di
Film
“Divergent”
menggunakan
semiotika
Roland
Barthes.
4.
Four-Color
Sean
Kualitatif,
Onomatopoeia
Penelitian
Sound:
A.Guynes,
Analisis
adalah
Guynes
A Peircean
Department of Semiotika
pembentukan
menelaah
Semiotics of
American
Charles
sebuah kata dari tentang
Comic Book
Studies,
Sander
suara
Onomatopoeia
University of Peirce.
berhubungan
Massachussets
dengan apa yang dalam
Boston-2014.
dinamakan,
superhero
misalnya
Amerika
“ouch”,
menggunakan
yang penggunaan
onomatopoeia
komik
“hahahaha”, dsb. semiotika
10
Dalam penelitian Charles Sander
Guynes,
Peirce,
onomatopoeia
sedangkan
ternyata
bukan penelitian
merupakan
ini
menelaah
kunci utama dari tentang
sebuah
komik, feminisme
di
melainkan
dalam
onomatopoeia
“Divergent”
menghidupkan
menggunakan
gambar
komik semiotika
yang
terlihat Roland
statis
dan Barthes.
merupakan
bagian
dari
sistem
komik
sebagai
unit
gramatikal yang
terlihat
dengan
gambar.
Onomatopoeia
dalam penelitian
ini
mencirikan
komik-komik
superhero
Amerika
keluaran Marvel
dan DC Comics.
Film
11
5.
Towards a
David
Kualitatif,
Untuk
Social Semiotic
Machin,
Analisis
memahami
Approach of the
Cardiff
dengan
yang
Analysis of
School
of Pendekatan
Emotion in
Journalism,
Sound and
Media
Music
Cultural
dan lirik lagunya dalam
lagu
Studies,
diperlukan
“Billie
Jean”
Cardiff
pemahaman
Michael
University,
akan
United
yang dibuat oleh menggunakan
Kingdom-
si musisi, agar pendekatan
2011
para
Semiotika
and Sosial
dapat Penelitian
apa Machin
ingin menelaah
musisi
tentang
sampaikan
yang
emosi
musik terkandung
melalui
di
semiotik Jackson dengan
pendengar semiotika
lebih sosial,
dapat
menghargai
sedangkan
sumber semiotik penelitian
ini
yang dipilih dan menelaah
sisi
kreativitas tentang
dari
tersebut.
musisi feminisme
dalam
di
Film
“Divergent”
menggunakan
semiotika
Roland
Barthes.
2.2 Landasan Konseptual
2.2.1 Konsep Film
2.2.1.1 Pengertian Film
Gambar bergerak (film) adalah bentuk dominan dari komunikasi
massa visual di belahan dunia ini. Banyak orang menggemari film dan
menontonnya, baik di bioskop, di televisi, atau bahkan melalui film video
laser (Ardianto, dkk., 2014:143). Film merupakan salah satu media
komunikasi massa. Film dapat dikatakan sebagai media komunikasi massa
12
karena merupakan bentuk komunikasi yang menggunakan saluran (media)
dalam menghubungkan komunikator dan komunikan secara massal, dalam
artian memiliki jumlah banyak, tersebar di mana-mana, khalayaknya
heterogen dan anonim, serta mampu menimbulkan efek tertentu (Vera,
2014:91).
Film memiliki definisi yang berbeda di setiap negara, misalnya di
Prancis ada pembedaan antara film dan sinema. “Filmis” artinya
berhubungan dengan film dan dunia sekitarnya, seperti sosial politik dan
kebudayaan. Di Yunani, film dikenal dengan istilah cinema yang berasal dari
singkatan cinematograph (nama kamera dari Lumiere bersaudara). Secara
harfiah, cinematographie berarti cinema (gerak), tho atau phytos adalah
cahaya, sedangkan graphie berarti tulisan atau gambar. Jadi, cinematographie
adalah melukis gerak dengan cahaya. Selain itu, ada istilah lain untuk film
dari bahasa Inggris, yaitu movies. Movies berasal dari kata move yang berarti
gambar bergerak atau gambar hidup. Film menurut Undang-Undang Nomor
33 Tahun 2009 tentang Perfilman pada Bab 1 Pasal 1 adalah karya seni
budaya yang merupakan pranata sosial dan media komunikasi massa yang
dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat
dipertunjukkan (Vera, 2014:91).
Berdasarkan seluruh definisi mengenai film, dapat dilihat bahwa film
adalah media komunikasi massa yang mampu menampilkan gambar bergerak
dengan tema tertentu, menggunakan suara atau tanpa suara, dan dapat
dipertunjukkan.
2.2.1.2 Karakteristik Film
Ardianto, dkk. (2014:145-147) menyebutkan bahwa film memiliki
sejumlah karakteristik, diantaranya, pertama, layar yang luas atau lebar, layar
berukuran luas berguna untuk memberikan keleluasaan pada penonton agar
dapat melihat berbagai adegan yang disajikan di dalam film; kedua,
pengambilan
gambar,
pengambilan
gambar
atau
shot
untuk
film
menggunakan extreme long shot dan panoramic shot, yaitu pemandangan
menyeluruh, ini dilakukan untuk memberikan kesan artistik dan suasana yang
sesungguhnya, agar film menjadi lebih menarik; ketiga, konsentrasi penuh,
menonton film di bioskop dengan ruangan yang kedap suara dan lampu
13
dimatikan, membuat perhatian penonton fokus tertuju pada adegan film,
sehingga penonton [dapat] terbawa suasana dan alur cerita film; keempat,
identifikasi psikologis, konsentrasi penuh saat menonton film di bioskop,
tanpa disadari membuat penonton terlarut dalam penghayatan dan
menyamakan (mengidentifikasikan) dirinya dengan salah satu tokoh dalam
film tersebut, jadi seolah penonton merasa dirinya yang sedang berperan.
2.2.1.3 Unsur Pembentuk Film
Sebuah film dapat terbentuk melalui adanya dua unsur pembentuk
yang saling berinteraksi dan berkesinambungan satu sama lain, yaitu unsur
naratif dan unsur sinematik (Pratista, 2008:1).
FILM
Unsur Naratif
Unsur Sinematik
Gambar 2.1 Unsur pembentuk film (Pratista, 2008:2)
Unsur naratif adalah bahan atau materi yang akan diolah. Unsur naratif
berhubungan dengan aspek cerita atau tema film. Setiap cerita pasti memiliki
beberapa elemen yang membentuk unsur naratif secara keseluruhan, seperti
tokoh, masalah, konflik, lokasi, waktu, dan lainnya. Elemen-elemen tersebut
saling berinteraksi dan berkesinambungan membentuk sebuah jalinan
peristiwa. Jalinan peristiwa tersebut terikat oleh sebuah aturan yaitu hukum
kausalitas atau sebab-akibat (Pratista, 2008:2).
Unsur sinematik adalah cara atau gaya untuk mengolah materi
tersebut (unsur naratif).
Unsur sinematik merupakan aspek-aspek teknis
dalam sebuah produksi film. Unsur sinematik terdiri dari empat elemen
pokok, yaitu mise-en-scene, sinematografi, editing, dan suara. Mise-en-scene
adalah semua hal yang berada di depan kamera. Sinematografi adalah
perlakuan terhadap kamera dan filmnya serta hubungan kamera dengan obyek
yang diambil. Editing adalah transisi sebuah gambar (shot) ke gambar (shot)
14
lainnya. Suara adalah segala hal dalam film yang mampu kita tangkap
melalui indera pendengaran (Pratista, 2008:2).
2.2.1.4 Jenis Film
Film secara umum dibagi menjadi tiga jenis yaitu, film dokumenter
(nyata), film fiksi (rekaan), dan film eksperimental (abstrak),
(Pratista,
2008:4-8).
Dokumenter
(nyata)
Fiksi
(rekaan)
Eksperimental
(abstrak)
Gambar 2.2 Jenis-jenis film (Pratista, 2008:4)
Divergent, termasuk ke dalam jenis film fiksi, yaitu film yang terikat oleh
plot (alur). Film fiksi sering menggunakan cerita rekaan di luar kejadian nyata
serta memiliki konsep pengadeganan yang telah dirancang sejak awal.
Struktur cerita film juga terikat hukum kausalitas. Dalam cerita film fiksi
biasanya terdapat karakter protagonis dan antagonis, masalah dan konflik,
penutupan, serta pola pengembangan cerita yang jelas. Film fiksi ternyata
juga [dapat] diangkat dari kejadian nyata, seperti film biografi yang
menampilkan kisah hidup seorang tokoh.
2.2.1.5 Klasifikasi Film
Dalam mengklasifikasikan film metode yang paling sering digunakan
adalah dengan membaginya berdasarkan genre. Genre secara umum membagi
film berdasarkan jenis dan latar ceritanya. Setiap genre memiliki karakteristik
khas yang membedakan antara satu genre dengan genre lainnya (Pratista,
2008:9-10).
Istilah genre berasal dari bahasa Prancis yang berarti bentuk atau tipe.
Dalam film, genre dapat diartikan sebagai jenis atau klasifikasi dari
sekelompok film yang memiliki karakter atau pola yang sama (khas), seperti
setting, isi dan subyek cerita, tema, struktur cerita, aksi atau peristiwa,
periode, gaya, situasi, ikon, mood, serta karakter. Berdasarkan klasifikasi
tersebut dihasilkan sejumlah genre populer, seperti aksi, petualangan, drama,
15
komedi, horor, western, thriller, film noir, roman, dan sebagainya (Pratista,
2008:10).
Genre memiliki sejumlah fungsi, diantaranya, untuk memudahkan
klasifikasi sebuah film, berdasarkan waktu produksi; sebagai salah satu
strategi marketing yang digunakan oleh industri film; dan sebagai antisipasi
penonton terhadap film yang akan ditonton, misalnya jika penonton ingin
mendapatkan hiburan ringan, maka penonton dapat memilih menonton film
bergenre komedi (Pratista, 2008:10).
2.2.1.6 Struktur naratif dalam film
Setiap film yang pernah dihadirkan pasti memiliki unsur naratif.
Tanpa unsur naratif sebuah film akan sulit untuk dipahami. Naratif adalah
suatu rangkaian peristiwa yang berhubungan satu sama lain dan terikat oleh
logika sebab-akibat (kausalitas) yang terjadi dalam suatu ruang dan waktu.
Hal ini disebabkan karena sebuah kejadian tidak [dapat] terjadi begitu saja
tanpa ada alasan yang jelas (Pratista,2008:33).
Di dalam setiap cerita film terdapat elemen-elemen pokok naratif,
yaitu (Pratista,2008:43-44):
1. Ruang dan Waktu
Sebuah cerita tidak mungkin terjadi tanpa adanya ruang. Ruang
adalah tempat di mana para pelaku cerita bergerak dan beraktivitas. Cerita
dalam sebuah film biasanya terjadi pada suatu tempat atau lokasi dengan
dimensi ruang yang jelas, seperti di rumah si A, di kota B, atau di negara
C, dan sebagainya. Latar cerita [dapat] menggunakan lokasi yang
sebenarnya (nyata) atau fiktif (rekaan).
Sebuah cerita juga tidak mungkin terjadi tanpa adanya unsur waktu.
Ada beberapa aspek waktu yang berhubungan dengan naratif sebuah film,
yaitu:
a. Urutan waktu
b. Durasi waktu
c. Frekuensi waktu
16
2. Karakter atau pelaku cerita (tokoh)
Setiap film cerita biasanya memiliki karakter
(tokoh) utama dan
pendukung. Karakter utama adalah motivator utama yang menjalankan
alur naratif sejak awal hingga akhir cerita. Tokoh utama sering
diistilahkan sebagai pihak protagonis dan karakter pendukung ada yang
berada pada pihak protagonis ataupun pihak antagonis sebagai musuh
atau rival. Karakter pendukung biasanya bertindak sebagai pemicu
konflik atau malah sebaliknya dapat membantu karakter utama dalam
menyelesaikan masalahnya.
3. Permasalahan atau konflik
Permasalahan atau konflik merupakan penghalang yang dihadapi
tokoh protagonis dalam mencapai tujuannya. Permasalahan sering
ditimbulkan oleh pihak antagonis karena memiliki tujuan yang sama atau
berlawanan dengan pihak protagonis. Namun, permasalahan juga [dapat]
muncul tanpa pihak antagonis. Masalah tersebut muncul dari dalam tokoh
utama sendiri yang memuci konflik batin.
4. Tujuan
Tokoh utama dalam sebuah film cerita pasti memiliki
tujuan,
harapan, atau cita-cita. Tujuan tersebut dapat bersifat fisik (materi) atau
non-fisik (non-materi). Tujuan fisik sifatnya jelas dan nyata, sedangkan
tujuan non-fisik sifatnya tidak nyata atau abstrak. Contohnya film
superhero biasanya memiliki tujuan yang jelas, yaitu mengalahkan musuh
untuk menyelamatkan umat manusia; film roman memiliki tujuan untuk
mendapatkan sosok pujaan hatinya; sedangkan film drama dan
melodrama bertujuan non-fisik, seperti mencari kebahagiaan, kepuasan
batin, eksistensi diri, dan sebagainya.
Fokus penelitian Film Divergent dibatasi hanya pada elemen-elemen
pokok unsur naratif film dikarenakan keterbatasan waktu dalam melakukan
penelitian, sehingga agar penelitian ini lebih terfokus dan dapat dianalisis
secara mendalam, maka pembatasan tersebut dilakukan.
2.2.1.7 Fungsi Film
Sebagai media komunikasi massa yang menyajikan konstruksi dan
representasi sosial yang ada dalam masyarakat, film memiliki beberapa
17
fungsi komunikasi diantaranya, pertama, sebagai sarana hiburan, film dapat
memberikan hiburan kepada penontonnya melalui isi cerita film, geraknya,
keindahannya, suara, dan sebagainya agar penonton mendapat kepuasan
secara psikologis; kedua, sebagai penerangan (informatif maupun edukatif),
film dapat memberikan penjelasan kepada penontonnya tentang suatu hal atau
permasalahan, sehingga penonton mendapat kejelasan atau dapat memahami
tentang suatu hal; dan ketiga sebagai propaganda (persuasif), film digunakan
untuk mempengaruhi penontonnya, agar penontonnya mau menerima atau
menolak
pesan,
sesuai
dengan
keinginan
dari
si
pembuat
film
(http://www.academia.edu/9613958/Media_Film_Sebagai_Konstruksi_dan_
Representasi).
2.2.1.8 Awal munculnya film hingga film sebagai kajian semiotika
Hubungan antara film dan masyarakat memiliki sejarah panjang
dalam kajian para ahli komunikasi. Oey Long Hee menyebutkan bahwa film
merupakan alat komunikasi massa kedua yang muncul di dunia dan memulai
pertumbuhannya pada akhir abad ke-19. Film mencapai puncak kejayaannya
diantara Perang Dunia I dan II, lalu merosot tajam setelah tahun 1945, seiring
dengan kemunculan televisi (Sobur, 2013:126).
Garin Nugroho memaparkan bahwa sinema Amerika pasca tahun
1970-an mampu bangkit kembali dan justru dibangkitkan oleh generasi
televisi, yaitu generasi Spielberg dan George Lucas. Generasi Spielberg dan
George Lucas sangat memahami mulai dari masyarakat televisi, bias
kekuatan maupun kelemahan televisi. Mereka mampu menciptakan ritual
sinema yang memanfaatkan kekuatan televisi ke dalam sinema, sehingga
menciptakan sensasi baru. Maka tidak mengherankan bila karya Spielberg
banyak mengadopsi ikon-ikon kartun televisi yang memang sudah akrab bagi
masyarakat, sebut saja film ET karya Spielberg dan film Jaws karya Lucas.
Seiring dengan kebangkitan perfilman, mulailah bermunculan berbagai film
yang mempertontonkan adegan seks, kriminal, dan kekerasan. Kemudian,
berdasarkan munculnya hal tersebut, mulai juga bermunculan berbagai studi
komunikasi massa (Sobur, 2013:126-127).
Film merupakan bidang kajian yang sangat relevan untuk analisis
struktural atau semiotika. Menurut Van Zoest, film dibangun dengan tanda
18
semata-mata. Tanda-tanda itu termasuk berbagai sistem tanda yang bekerja
sama dengan baik untuk mencapai efek yang diharapkan. Berbeda dengan
fotografi statis, rangkaian gambar dalam film menciptakan imaji dan sistem
penandaan. Karena itu, menurut Van Zoest, bersamaan dengan tanda-tanda
arsitektur, terutama indeksikal pada film terutama digunakan tanda-tanda
ikonis, yakni tanda-tanda yang menggambarkan sesuatu. Memang, ciri
gambar-gambar film adalah persamaannya dengan realitas yang ditunjuknya.
Gambar yang dinamis dalam film merupakan ikonis bagi realitas yang
dinotasikannya. Film umumnya dibangun dengan banyak tanda. Hal paling
penting dalam film adalah gambar dan suara: kata yang diucapkan (ditambah
dengan suara-suara lain yang serentak mengiringi gambar-gambar) dan musik
film. Sistem semiotika yang lebih penting lagi dalam film adalah
digunakannya tanda-tanda ikonis, yakni tanda-tanda yang menggambarkan
sesuatu (Sobur, 2013:128).
2.2.2 Semiotika
Semiotika dan semiologi sesungguhnya mengandung pengertian yang sama,
penggunaan salah satu dari kedua istilah tersebut hanya merujuk pada pemikiran
pemakainya, yang bergabung dengan Charles Sander Peirce (tradisi Amerika)
menggunakan istilah semiotika; sedangkan yang bergabung dengan Ferdinand de
Saussure (tradisi Eropa) menggunakan istilah semiologi. Sesuai dengan resolusi yang
diambil oleh komite internasional di Paris pada tahun 1969 dan dikukuhkan oleh
Association for Semiotics Studies pada tahun 1974, semiotics menjadi istilah untuk
semua peristilahan lama semiology dan semiotics (Sobur, 2013:12-13).
Dari asal usul katanya, semiotika berasal dari bahasa Yunani semeion yang
berarti tanda atau seme yang berarti penafsir tanda. Tanda itu sendiri didefinisikan
sebagai suatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain, contohnya asap menandai
adanya api (Sobur, 2013:16).
Kajian semiotika telah membedakan dua jenis semiotika, yaitu (Sobur,
2013:15):
1. Semiotika Komunikasi, menekankan pada teori tentang produksi tanda
yang salah satu diantaranya mengasumsikan adanya enam faktor dalam
komunikasi, yaitu pengirim, penerima kode (sistem tanda), pesan, saluran
komunikasi, dan acuan (hal yang dibicarakan).
19
2. Semiotika Signifikasi, menekankan pada teori tanda dan pemahamannya
dalam suatu konteks tertentu.
Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda.
Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi pada dasarnya hendak mempelajari
bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai berarti
bahwa obyek-obyek tidak hanya membawa informasi, melainkan obyek-obyek itu
hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda.
Suatu tanda menandakan sesuatu selain dirinya sendiri. Makna (meaning) adalah
hubungan antara suatu obyek atau ide dengan suatu tanda (Sobur, 2013:15-16). Oleh
karena itu, makna hanya dapat terwujud manakala obyek dan ide saling terhubung
oleh tanda, melalui sebuah proses representasi.
2.2.3 Representasi
Marcel Danesi mendefinisikan representasi sebagai proses merekam ide,
pengetahuan, atau pesan dalam beberapa cara fisik. Representasi dapat didefinisikan
lebih tepat sebagai kegunaan dari tanda yaitu untuk menyambungkan, melukiskan,
meniru sesuatu yang dirasa, dimengerti, diimajinasikan atau dirasakan dalam
beberapa bentuk fisik (Wibowo, 2013:148).
Menurut Stuart Hall ada dua proses representasi, yaitu (Wibowo, 2013:148):
1. Representasi mental yaitu konsep tentang ‘sesuatu’ yang ada di kepala kita
masing-masing (peta konseptual). Representasi mental masih merupakan
sesuatu yang abstrak.
2. Bahasa berperan penting dalam proses konstruksi makna. Konsep abstrak
yang ada dalam kepala kita harus diterjemahkan dalam ‘bahasa’ yang lazim,
agar kita dapat menghubungkan konsep dan ide-ide kita tentang sesuatu
dengan tanda dari simbol-simbol tertentu.
Representasi biasanya berkaitan dengan subjek tertentu, misalnya sebuah foto
dapat dideskripsikan sebagai representasi X, tetapi bahasa, kode, atau sarana
komunikasi lainnya pun dapat bertindak sebagai sarana representasi (Burton,
2012:139).
Stuart Hall (dalam Burton, 2012) mendeskripsikan tiga pendekatan terhadap
representasi, sebagai berikut:
1. Reflektif: yang berkaitan dengan pandangan atau makna tentang representasi
yang entah di mana ‘di luar sana’ dalam masyarakat sosial kita.
20
2. Intensional: yang menaruh perhatian terhadap pandangan creator atau
produser representasi tersebut.
3. Konstruksionis: yang menaruh perhatian terhadap bagaimana representasi
dibuat melalui bahasa, termasuk kode-kode visual.
Seperti dikatakan oleh Hall (dalam Burton, 2012) bahwa bahasa berperan
penting dalam proses konstruksi makna, karena bahasa digunakan untuk
menghubungkan konsep abstrak yang ada dalam pikiran manusia
agar dapat
dipahami dalam bentuk pemaknaan. Masih menurut Hall (dalam West dan Turner,
2010) bahasa merupakan bagian dari ideologi sebuah budaya, yaitu kerangka berpikir
yang digunakan untuk merepresentasikan, menginterpretasikan, memahami, dan
memaknai keberadaan kita. Melalui budaya terjadi berbagai praktik-praktik sosial
yang menunjukkan produksi dan penyebaran makna serta mempengaruhi ideologi
masyarakat, misalnya di Amerika Serikat umum bahwa orang-orang berkencan
dengan orang yang memiliki ras yang sama atau saling berkunjung selama musim
liburan bagi para keluarga. Oleh karena itu, budaya tidak dapat dipisahkan dari
makna dan juga sebaliknya (West dan Turner, 2010:65-66).
Seiring perkembangan zaman, kini manusia mempelajari makna dalam
budaya melalui media. Media membentuk berbagai makna yang meresap ke dalam
kehidupan manusia tanpa disadari, seperti membentuk standar kesuksesan, impian,
selera; memberi informasi; dan mempersuasi masyarakat tentang produk atau
kebijakan. Media mampu melakukan hal tersebut karena media dipegang oleh
kelompok-kelompok yang memiliki kekuasaan (dominan), sehingga pembentukan
makna yang disampaikan oleh media berkaitan erat dengan kekuasaan (hegemoni).
Contohnya terlihat dalam kebudayaan Amerika Serikat tentang kecantikan, definisi
kecantikan adalah mereka para [perempuan] yang bertubuh langsing dan
berpenampilan menarik, jadi bagi mereka yang tidak sesuai dengan definisi tersebut
akan dianggap tidak cantik (West dan Turner, 2010:66-67).
Hegemoni adalah pengaruh, kekuasaan, atau dominasi dari sebuah kelompok
sosial terhadap yang lain (kelompok yang lebih lemah atau sub-dominan). Hegemoni
memunculkan kesadaran palsu (false consciousness), yaitu sebuah keadaan di mana
individu-individu tidak sadar mengenai dominasi yang terjadi dalam kehidupan
mereka. Kesadaran palsu ini timbul akibat adanya ‘persetujuan’ yang biasanya
diberikan oleh kelompok yang lebih lemah jika mereka mendapatkan ‘hal-hal’ secara
berkecukupan, misalnya kebebasan, kebutuhan material, dan sebagainya. Jadi,
21
kelompok yang lebih lemah secara tidak sadar dipengaruhi oleh kelompok yang
berkuasa akibat ‘persetujuan’ yang diberikan oleh kelompok lemah (West dan
Turner, 2010:67-68).
Stuart Hall mengatakan bahwa makna berubah dari sebuah budaya ke budaya
lain atau dari era ke era selanjutnya. Banyak ideologi budaya dalam masyarakat
saling berkompetisi (theatre of struggle), begitu juga dengan sikap dan nilai di
masyarakat yang mengalami pergeseran. Contohnya sebelum tahun 1920
[perempuan] tidak dapat memberikan hak suara dan sering dianggap sebagai
bawahan serta tunduk pada laki-laki, tetapi setelah adanya amandemen pada bulan
Agustus 1920 bahwa [perempuan] diberi kesempatan untuk memberikan hak suara,
[perempuan] dapat memberikan hak suara mereka dan menduduki jabatan politik
(West dan Turner, 2010:68-70). Dengan adanya pergeseran makna melalui
pergeseran sikap dan nilai-nilai dalam masyararakat, akhirnya memunculkan
gerakan-gerakan yang menentang perilaku hegemoni, salah satunya yaitu feminisme.
2.2.4 Feminisme
2.2.4.1 Munculnya Feminisme
Stratifikasi gender yaitu ketidaksetaraan antara laki-laki dan
perempuan dalam hal akses ke kekuasaan prestise, dan kepemilikan.
Perbedaan antara jenis kelamin dan gender:
-
Jenis kelamin (sex) adalah ciri biologis yang membedakan antara lakilaki dan perempuan. Ciri seksual primer ditandai dengan vagina,
penis, dan organ lain yang berhubungan dengan reproduksi. Ciri
seksual sekunder adalah perbedaan fisik antara laki-laki dan
perempuan yang tidak berhubungan langsung dengan reproduksi dan
biasanya akan terlihat jelas ketika memasuki masa akil balig, seperti
laki-laki akan mengembangkan lebih banyak otot, memperoleh suara
lebih rendah, menumbuhkan lebih banyak bulu badan, dan memiliki
badan yang lebih tinggi; sedangkan perempuan akan membentuk lebih
banyak serat lemak, pinggul lebih lebar, dan payudara lebih besar.
-
Gender adalah ciri sosial (bukan biologis) yang terdiri atas perilaku
dan sikap apapun yang dianggap pantas bagi kaum laki-laki dan
perempuan oleh suatu kelompok. Gender mengarahkan seseorang ke
22
pengalaman kehidupan yang berbeda
berdasarkan atas jenis
kelaminnya.
Jadi, jenis kelamin merujuk pada laki-laki atau perempuan, sedangkan gender
merujuk pada maskulinitas atau feminitas (James M.Henslin, dalam Kamanto
Sunarto, 2007:42).
Di seluruh dunia, gender merupakan pengelompokkan manusia yang utama.
Setiap masyarakat menciptakan rintangan dalam hal ketidaksetaraan akses ke
kekuasaan, kepemilikan,
dan prestise atas dasar jenis kelamin. Sebagai
konsekuensinya, para sosiolog mengklasifikasikan perempuan sebagai suatu
kelompok minoritas (minority group). Istilah ini berlaku bagi kaum perempuan
karena merujuk pada orang yang terdiskriminasi atas dasar ciri fisik atau budaya,
terlepas dari jumlah mereka (James M.Henslin, dalam Kamanto Sunarto, 2007:48).
Patriarkat (patriarchy) menunjukkan bahwa laki-laki yang mendominasi
masyarakat. Hal ini diawali sejak sejarah awal manusia, bahwa kaum perempuan
harus melahirkan anak, karena hanya kaum perempuan yang dapat hamil,
mengandung, melahirkan, dan menyusui, sehingga hal ini akhirnya membuat
kegiatan hidup kaum perempuan menjadi terbatas. Sebagai konsekuensinya,
perempuan mengerjakan tugas yang berhubungan dengan rumah dan pengasuhan
anak yang dianggap merupakan kegiatan yang biasa, rutin, dan sudah seharusnya,
sedangkan laki-laki mengambil alih perburuan binatang besar, berdagang, berperang,
dan tugas lain yang memerlukan kecepatan dan ketidakhadiran di tempat tinggal.
Dikarenakan tugas yang dilakukan oleh kaum laki-laki inilah maka laki-laki menjadi
dominan dan akhirnya mengambil alih masyarakat, sementara perempuan menjadi
warga negara kelas dua yang tunduk pada keputusan laki-laki. Jadi, dominasi lakilaki yang terjadi hingga saat ini merupakan kelanjutan dari sebuah pola masa lalu
sejak awal sejarah manusia (James M.Henslin, dalam Kamanto Sunarto, 2007:5051).
Donovan (dalam
Haryanto, 2012:99) membagi [feminisme] berdasarkan
tahapan era perkembangannya, yakni feminisme gelombang pertama (the first wave)
yang dimulai pada akhir abad 18 hingga awal abad 20; kemudian feminisme
gelombang kedua (the second wave) yang berlangsung kurang lebih dua dekade,
dimulai pada dekade 1960-an hingga 1980-an; dan terakhir feminisme gelombang
ketiga (the third wave) yang dimulai pada dekade 1990 hingga sekarang. Feminisme
gelombang pertama bertujuan untuk memberikan hak suara kepada perempuan;
23
feminisme gelombang kedua bertujuan luas, mulai dari kenaikan upah perempuan
hingga perubahan kebijakan mengenai kekerasan terhadap perempuan; kemudian
feminisme gelombang ketiga memfokuskan tujuan pada tiga aspek utama, seperti
masalah perempuan pada bangsa yang paling sedikit terindustrialisasi, kritik terhadap
nilai yang mendominasi pekerjaan dan masyarakat, dan dihilangkannya hambatan
terhadap cinta dan kesenangan perempuan (James M.Henslin, dalam Kamanto
Sunarto, 2007:51).
Istilah feminisme (feminism) pertama kali diasosiasikan oleh majalah Century
pada musim semi tahun 1914, meskipun sejak tahun 1910-an kata feminisme (yang
berakar dari bahasa Prancis) sudah sering digunakan. Kata feminisme yang berasal
dari bahasa Prancis ini, pertama kali digunakan di negara tersebut pada tahun 1880an, untuk menyatakan perjuangan perempuan menuntut hak politiknya. Pendiri
perjuangan politik perempuan pertama di Prancis, Hubertine Auclort, menggunakan
kata feminisme dan feministe dalam salah satu publikasinya, sehingga sejak saat itu
feminisme tersebar ke seluruh Eropa hingga Amerika Serikat, melalui New York
pada tahun 1906. Gerakan feminisme di New York diwarnai oleh perjuangan
menuntut hak-hak perempuan sebagai warga negara, hak perempuan di bidang sosial,
politik, dan ekonomi. Feminisme pada abad 19, ditandai dengan perjuangan dalam
menuntut hak-hak politik dan hukum, khususnya hak memilih, hak mendapat upah,
dan hak atas hukum lainnya sebagai warga negara. Feminisme pada abad 20, ditandai
dengan
perjuangannya
yang
berkembang
ke
bidang
ekonomi
(https://books.google.co.id/books?id=lIN4wkoTm_gC&pg=PR26&lpg=PR26&dq=d
efinisi+feminisme&source=bl&ots=TTPAVvc5y3&sig=TMNuaPo3bwdqCLBjjTBL
hYjnvJQ&hl=id&sa=X&ei=8n9kVdzuFZG1uQTtn4PwDg&ved=0CCsQ6AEwAQ#
v=onepage&q=definisi%20feminisme&f=false).
Pada perkembangan berikutnya, gerakan feminis lambat laun tumbuh menjadi
sebuah cara pandang ilmiah, yaitu sebuah generalisasi dari berbagai sistem gagasan
mengenai kehidupan sosial dan pengalaman manusia yang dikembangkan dari
perspektif yang terpusat pada [perempuan]. Cara pandang tersebut lalu
bermetamorfosis menjadi sebuah teori yang membahas persoalan [perempuan]
dengan dua cara, pertama, titik tolak seluruh penelitiannya adalah situasi dan
pengalaman [perempuan] dalam masyarakat; kedua, teori ini mencoba melihat dunia
khusus dari sudut pandang [perempuan] terhadap dunia sosial (Ritzer, 2014:377).
24
2.2.4.2 Teori feminis
“Peta” atau tipologi teori feminis modern didasarkan atas pertanyaan
yang paling mendasar, yaitu “Dan apa peran [perempuan]?”. Berdasarkan
pertanyaan tersebut ada empat jawaban yang diperoleh, pertama adalah posisi
dan pengalaman perempuan dalam kebanyakan situasi berbeda dengan yang
dialami laki-laki dalam situasi serupa; kedua, posisi [perempuan] dalam
kebanyakan situasi tak hanya berbeda, tetapi juga kurang menguntungkan
atau tak setara dibandingkan dengan laki-laki; ketiga, situasi [perempuan]
harus juga dipahami, dilihat dari sudut hubungan kekuasaan langsung antara
laki-laki dan [perempuan] , bahwa [perempuan]
“ditindas” (dalam arti
dikekang, disubordinasikan, dibentuk, digunakan, dan disalahgunakan oleh
laki-laki); keempat, [perempuan] mengalami pembedaan, ketimpangan, dan
berbagai penindasan berdasarkan posisi [sosial] mereka dalam susunan
stratifikasi atau vektor penindasan dan hak istimewa, seperti kelas, ras,
etnisitas, umur, status perkawinan, dan posisi global (Ritzer, 2014:390-391).
Tabel 2.2 Ringkasan dari berbagai Teori Feminis
Perbedaan dalam teori-
Variasi mendasar teori
menjawab pertanyaan
feminis-menjawab
yang menjelaskan
pertanyaan deskriptif:
“Mengapa situasi
”Apa peran
[perempuan] seperti
[perempuan]?”
itu?”
Feminisme Kultural
Posisi [perempuan] dan
pengalamannya di dalam
kebanyakan situasi yang
berbeda dengan laki-laki.
Eksistensi dan
Perbedaan Gender
Fenomenologi
• Institusional
• Interaksional
25
Posisi [perempuan]
Feminisme Liberal
dikebanyakan situasi tak
hanya berbeda, tetapi
Marxian, penjelasan
Ketimpangan Gender
juga kurang beruntung
Marx dan Engels,
penjelasan Marxian
atau tak setara dengan
kontemporer
posisi laki-laki.
[Perempuan] ditindas,
tak hanya dibedakan atau
tak setara, tetapi secara
Feminisme
aktif dikekang,
Penindasan Gender
disubordinasikan,
Psikoanalisis
Feminisme Radikal
dibentuk dan digunakan,
dan disalahgunakan oleh
laki-laki.
Pengalaman [perempuan]
tentang pembedaan,
ketimpangan dan
berbagai penindasan
Penindasan Struktural
Feminisme Sosialis
Teori Interseksional
menurut posisi sosial
mereka.
Feminisme dan Post-modernisme
Sumber: Teori Sosiologi Modern (Ritzer, 2014:392)
Divergent akan dianalisis menggunakan feminisme kultural, yaitu teori
feminis yang timbul akibat terjadinya perbedaan gender (gender difference).
Feminisme kultural menekankan pada eksplorasi nilai-nilai sosial dan cara hidup
perempuan yang berbeda dengan laki-laki. Dalam perubahan sosial, cara hidup dan
cara memahami yang ada pada diri [perempuan] dianggap sebagai template yang
jauh lebih sehat untuk mewujudkan masyarakat yang adil, daripada cara hidup dan
cara memahami dalam kultur androsentris pada [laki-laki]. Hal ini dikarenakan
dalam mengatur negara dan masyarakat diperlukan nilai-nilai perempuan, seperti:
kerjasama, perhatian, pasifisme, dan penyelesaian konflik tanpa kekerasan; dan etika
26
perhatian milik perempuan yang berfokus pada pencapaian hasil di mana semua
pihak merasa kebutuhan mereka diperhatikan dan direspon, daripada etika keadilan
milik laki-laki yang cenderung berfokus pada perlindungan kesetaraan hak semua
pihak (Ritzer, 2014:393-395).
2.3 Kerangka Pemikiran
Elemen Pokok Naratif Film
“Ruang dan Waktu”
Representasi
Feminisme
dalam Film
Elemen Pokok Naratif Film
Semiotika
Roland
Barthes
Divergent
“Tokoh”
Makna
Elemen Pokok Naratif Film
“Konflik”
Elemen Pokok Naratif Film
“Tujuan”
Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran penelitian ini menjelaskam bahwa representasi
feminisme di dalam Film Divergent akan dianalisis menggunakan model semiotika
Roland Barthes yang dibatasi hanya pada elemen-elemen pokok naratif film yaitu,
ruang dan waktu, tokoh, konflik, dan tujuan; untuk mengungkap makna tersirat yang
terdapat dalam Film Divergent.
Download