BAB I PENDAHULUAN 1.1.LATAR BELAKANG Dunia

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.LATAR BELAKANG
Dunia pemasaran sangat pesat perkembangannya beberapa tahun terakhir, hal ini
karena berbelanja bagi sebagian besar orang tidak sekedar hanya untuk memenuhi
kebutuhan mereka semata, namun lebih daripada itu sebagian orang terutama mereka yang
tinggal di kota-kota besar menjadikan kegiatan berbelanja sebagai penyegaran atau
penghilang stres karena padatnya aktivitas sehari-hari. Munculnya fasilitas yang
memudahkan proses berbelanja seperti pusat perbelanjaan di berbagai tempat di kota-kota
besar, banyaknya bank yang bekerja sama dengan sejumlah toko dalam penerbitan kartu
kredit dan pemberian diskon, semakin maraknya iklan di media cetak maupun elektronik
yang sifatnya membujuk dan mengiming-imingi konsumen, dan sebagainya dengan mudah
mempengaruhi perilaku berbelanja seseorang.
Perilaku belanja sebenarnya merupakan hal yang dipengaruhi oleh kognitif seseorang
dan dibatasi oleh jumlah informasi yang diperoleh, perilaku belanja masing-masing
individu berbeda dan pada sebagian orang dipengaruhi oleh kategori produk yang akan
dibeli yaitu produk dengan keterlibatan tinggi dan produk dengan keterlibatan rendah,
dimana proses kognitif akan lebih banyak terjadi pada pengambilan keputusan pembelian
1
untuk produk dengan keterlibatan tinggi, produk seperti ini biasanya dicirikan dengan
harga yang mahal (Assael,1998 hal.28).
Seiring dengan perkembangan zaman dan kebutuhan manusia yang semakin
kompleks dan didukung dengan kemudahan dalam berbelanja membuat perilaku berbelanja
menjadi suatu kebiasaan atau habit (Assael,1998 hal.29). Habitual buying adalah perilaku
berulang dalam membeli sebuah produk atau jasa yang didasarkan karena rasa puas yang
didapatkan seseorang dari produk atau jasa tertentu (Assael 1998). Hal ini merupakan hal
yang lazim saja terjadi, namun jika hal ini dipengaruhi oleh faktor-faktor penyimpangan
psikologi maka hal tersebut dikategorikan sebagai perilaku konsumen yang menyimpang.
Masalah terkait dengan perilaku belanja konsumen yang telah dipaparkan sebelumnya
dapat berdampak positif pada perekonomian sebab transaksi keuangan yang terjadi
semakin besar yang bersumber dari pajak penjualan dan hal tersebut tentu saja membawa
keuntungan besar bagi para pemasar dan produsen (Eckstein,1967) namun disisi lain hal
tersebut justru menimbulkan kerentanan sosial, karena banyak konsumen yang mudah
tergiur berbagai tawaran produk atau jasa, masalahnya tidak semua konsumen yang
terpengaruh untuk berbelanja tersebut memiliki kemampuan yang sama khususnya
kemampuan ekonomi, saat mereka menjadi sangat rentan terpengaruh berbagai penawaran,
maka hal tersebut akan mengarahkan mereka pada perilaku konsumsi yang menyimpang.
Perilaku konsumsi yang menyimpang yang dimaksudkan adalah kebiasaan untuk
berbelanja yang akhirnya akan menimbulkan ketagihan, apalagi dengan sejumlah
kemudahan yang ditawarkan melalui penggunaan kartu kredit (Park dan Burns, 2005).
Masyarakat modern saat ini apalagi bagi mereka yang tinggal di kota-kota besar cenderung
2
mengadopsi gaya hidup hedonis dimana terkadang mereka membeli suatu produk atau jasa
yang tidak mereka butuhkan namun mereka inginkan, sebab dengan memiliki produk atau
jasa tesebut dapat meningkatkan status sosial mereka dalam masyarakat (Roberts, 1998)
sebenarnya perilaku seperti ini tidak
akan dikategorikan sebagai perilaku yang
menyimpang selama hal tersebut tidak mempengaruhi si pelaku secara finansial, namun
saat hal tersebut mempengaruhi kehidupan dan finansial si pelaku maka hal tersebut akan
menjadi sebuah perilaku yang menyimpang (Benson, 2000).
Ditambah lagi dengan pola hidup masyarakat modern dan tingkat aktivitas yang
sangat tinggi, membuat mereka cenderung mudah untuk stres, salah satu pelampiasannya
adalah dengan berbelanja dan keadaan semacam ini yang akan mengarahkan pada
pembelian kompulsif ( compulsive buying) (Hartston, 2012). Pembelian kompulsif dapat
memberikan efek negatif pada kehidupan seseorang, mereka yang mengalami hal ini
cenderung akan memiliki hutang yang banyak, dan mereka akan kesulitan menabung sebab
semua pendapatan yang mereka peroleh akan mereka habiskan untuk membeli sejumlah
barang (Benson, 2000).
Pembelian kompulsif didefinisikan beragam oleh banyak ahli seperti “pembelian
berulang yang kronis” oleh O’Guinn dan Faber, “keasyikan yang berlebihan dan tidak
dapat dikendalikan terkait pengeluaran” oleh Black (Ridgway et al., 2008). Kecenderungan
untuk mengalami perilaku pembelian kompulsif tidak hanya dapat dialami oleh individu
yang sebelumnya telah diidentifikasi memiliki kerentanan psikologis atau pengalaman
masa lalu yang tidak mengenakkan, namun banyak konsumen lain diluar sana yang sama
sekali tidak mengalami riwayat tersebut namun tetap memiliki kecenderungan untuk
menjadi pembeli kompulsif (Chaker, 2003 dalam Ridgway et al.,2008).
3
Perilaku pembelian kompulsif tidak hanya berpengaruh pada masalah finansial si
penderita, pembelian kompulsif juga dapat mengakibatkan penyakit psikologis dan sosial
(O’Guinn dan Faber 1989 dalam Raab et al., 2011). Karena perilaku ini terjadi dari
manifestasi perasaan negatif yang dirasakan digolongkan sebagai perilaku kompulsif (Frost
et al., 1988; McElroy et al., 1994; Schlosser et al., 1994 dalam Faber dan O'Guinn, 2005).
Gangguan psikologis yang dialami oleh seorang pembeli kompulsif adalah ketika ia
menginginkan sebuah barang namun ia tidak mampu untuk membelinya, dorongan untuk
membeli barang tersebut sangat kuat datang dari dalam dirinya sehingga ia tidak mampu
mengendalikan dorongan tersebut maka ia akan menempuh segala macam cara untuk
memenuhi dorongan itu, salah satu cara yang paling sering ditempuh untuk memenuhi
hasrat berbelanja tersebut adalah dengan melakukan pinjaman uang (utang) (Benson,
2000). Ada sejumlah faktor yang dapat membuat seseorang menjadi pembeli kompulsif,
faktor-faktor tersebut bisa merupakan faktor internal atau personal yang berasal dari dalam
dirinya dan faktor eksternal yang berasal dari lingkungan.
Faktor internal atau personal diataranya adalah low self-esteem (penghargaan diri yang
rendah), self-discrepancy (ketidaksesuaian diri) , self-confidence (kepercayaan diri) money
attitude (sikap terhadap uang), ketergantungan pada orang lain, perfeksionisme dan
pencarian kesenangan, sementara faktor eksternal atau lingkungan diantaranya adalah
kepemilikan kartu kredit, pengaruh teman pergaulan dan informasi dari media seperti iklan
(Herabadi et al., 2009; Dittmar, 2005; Friese, 2001; DeSarbo et al., 1996; Roberts dan Jones,
2001; Park dan Burns, 2005). Penelitian terkait pembelian kompulsif telah menjadi topik
dalam perilaku konsumen sejak dua puluh tahun belakangan, topik ini diperkenalkan oleh
4
Faber, O’Guinn, dan Krych tahun 1987 (Ridgway et al., 2008) dan terus meningkat hingga
saat ini.
Seperti yang disebutkan sebelumnya ada sejumlah faktor yang menyebabkan
seseorang menjadi pembeli kompulsif, namun dalam penelitian ini hanya dibatasi pada tiga
faktor yaitu self-discrepancy, money attitude dan nilai materialis. Penelitian pembelian
kompulsif dengan faktor-faktor yang sama memang telah pernah dilakukan oleh beberapa
peneliti sebelumnya seperti self-discrepancy (ketidaksesuaian diri) (Dittmar, 2005; Friese,
2001; Watson et al., 2010), money attitude (sikap terhadap uang) (Roberts dan Jones, 2001;
Lejoyeux et al., 2011; Phau dan Woo, 2008; Durvasula dan Lysonski, 2010) dan nilai
materialis (Roberts et al.,2003; Wang dan Wallendorf, 2006; DeSarbo dan Edwards, 2001;
Dittmar, 2005).
Pada penelitian terkait self-discrepancy dan pembelian kompulsif yang dilakukan oleh
Dittmar (2005) ia menemukan bahwa self-discrepancy berhubungan positif dengan
pembelian kompulsif, sementara pada penelitian terkait self-discrepancy dan pembelian
kompulsif lainnya yang dilakukan oleh Singer (1993) dalam Toates (1996) menemukan
bahwa self-discrepancy tidak memberikan pengaruh yang signifikan pada pembelian
kompulsif. Faktor berikutnya adalah money attitude (sikap terhadap uang), penelitian terkait
money attitude dan pembelian kompulsif juga telah dilakukan oleh beberapa peneliti
sebelumnya, namun beberapa penelitian tersebut dilakukan pada konteks negara-negara
maju seperti Amerika (Roberts dan Jones, 2001), Kanada (Baker dan Hagedorn, 2008),
Australia (Phao dan Woo, 2008) , namun penelitian sejenis ternyata telah lebih dulu
dilakukan di negara berkembang seperti Meksiko (Falicov, 2001), dan kemudian baru-baru
5
ini dilakukan di Cina (Durvasula dan Lysonski, 2010) namun penelitian serupa masih jarang
dilakukan di negara-negara berkembang khususnya Indonesia.
1.2. PENELITIAN TERDAHULU
Penelitian yang membahas mengenai pembelian kompulsif maupun perilaku serta
pengobatan pembelian kompulsif memang telah banyak dilakukan dalam kurun waktu
beberapa dekade belakangan ini, namun seiring dengan perubahan zaman serta pola hidup
masyarakat menjadikan kecenderungan perilaku ini semakin meningkat, sehingga penelitian
dalam bidang ini tetap menjadi topik yang menarik untuk diteliti. Berikut adalah beberapa
penelitian yang berhubungan dengan perilaku pembelian kompulsif
a) Penelitian yang dilakukan oleh Roberts et al. (2003), dimana mereka meneliti mengenai
pengaruh latar belakang keluarga (disrupted family) dan pengaruhnya terhadap nilai
materialisme serta pembelian kompulsif dengan dimediasi oleh family stressors dan family
resources dan status sosial ekonomi sebagai variabel moderasi. Penelitian ini mengambil
sampel siswa dari 5 sekolah negeri di sekitar distrik southwestern, Amerika. Responden
yang dipilih sebanyak 669 orang siswa dengan menggunakan metode survey melalui
kuisioner dan alat analisis structure equation modeling (SEM) penelitian ini menemukan
bahwa family stressors dan family resources me-mediasi hubungan antara latar belakang
keluarga dengan nilai materialisme dan status sosial ekonomi memoderasi hubungan yang
sama, namun pengaruh moderasi dan mediasi tidak berlaku pada hubungan antara latar
belakang keluarga dengan pembelian kompulsif, begitupun hubungan langsung antar
keduanya (latar belakang keluarga-pembelian kompulsif)tidak terbukti signifikan.
6
b) Penelitian yang dilakukan oleh Wang dan Wallendorf (2006), meneliti mengenai
pengaruh nilai materialisme dan pencerminan status terhadap kepuasan produk yang
dikonsumsi. Penelitian ini dilakukan dalam 2 tahapan dengan responden yang berbeda,
dimana pada tahapan 1 responden yang digunakan adalah sebanyak 223 mahasiswa
pemasaran dan tahapan kedua responden dipilih dari konsumen umum sebanyak 270 orang.
Dengan menggunakan metode survey kuisioner pada kedua tahapan dan dianalisis dengan
menggunakan regresi, penelitian ini menemukan bahwa nilai materialis mempengaruhi
kepuasan konsumen terhadap produk yang dikonsumsi, jika produk tersebut mampu
mencerminkan status sosial yang ingin mereka capai maka mereka akan sangat puas
terhadap produk tersebut, namun jika tidak maka mereka akan mencari produk lain yang
dapat memenuhi keinginan mereka.
c) Dittmar (2005) melakukan penelitian mengenai self-discrepancy dan nilai materialisme
terhadap kecenderungan pembelian kompulsif. Penelitian ini dilakukan dalam 3 tahapan
yang berbeda dimana pada tahap 1 dengan responden sebanyak 29 orang wanita dengan
menggunakan mix-methode antara survey kuisioner dengan catatan harian wanita-wanita
tersebut perihal motivasi psikologi mereka, hasrat belanja mereka dan pikiran yang ada di
kepala mereka selama proses perbelanjaan berlangsung, kemudian tahap kedua sampel yang
digunakan 239 orang wanita yang diminta untuk mengisi kuisioner yang dibagikan dan
tahap ketiga yaitu 126 orang mahasiswa tingkat awal di perguruan tinggi. Ketiga studi ini
dianalisis dengan alat analisis yang berbeda yaitu ANOVA (tahap 1), MANOVA (tahap 2)
dan REGRESI (tahap 3) hasil penelitian ini menunjukkan jika self-discrepancy dan nilai
materialisme berpengaruh signifikan pada kecenderungan pembelian kompulsif, namun hal
7
tersebut tidak berlaku bagi responden mahasiswa pria sebab walaupun self-discrepancy
mereka terbukti tinggi namun mereka belum tentu menjadi kompulsif.
d) Penelitian terkait pembelian kompulsif berikutnya dilakukan oleh Park dan Burns (2005)
yang meneliti mengenai pilihan berpakaian dan pengaruhnya terhadap pembelian kompulsif
dengan penggunaan kartu kredit sebagai variabel mediasi. Responden yang digunakan
adalah wanita yang berusi 20 tahun keatas yang tinggal di seputaran kota Seoul, Korea
Selatan. Penelitian ini menggunakan metode survey dengan mendistribusikan sebanyakj 380
kuisioner dan hasilnya 267 yang dapat diolah dengan menggunakan analisisi SEM. Hasil
penelitian ini menemukan bahwa penggunaan kartu kredit terbukti me-mediasi hubungan
antara pilihan berpakaian dengan pembelian kompulsif. Wanita yang memiliki fasilitas kartu
kredit akan menjadi lebih kompulsif saat mereka sangat memperhatikan cara berpakaian
mereka.
e) Penelitian Roberts (1998) meneliti mengenai pengaruh faktor keluarga, faktor psikologi,
faktor sosial dan demografi terhadap pembelian kompulsif. Dengan memilih 300 orang
responden yang merupakan mahasiswa dengan rata-rata usia 21 tahun penelitian survey ini
menemukan bahwa faktor keluara, faktor psikologi dan faktor sosial mempengaruhi
pembelian kompulsif namun demografi terbukti tidak signifikan pengaruhnya terhadap
pembelian kompulsif, penelitian ini menggunakan regresi hirarkikal sebagai alat analisisnya.
f) Penelitian yang dilakukan oleh Mueller et al. (2009) yang meneliti mengenai pengaruh
demografi dan status sosial serta gejala depresi yang ditunjukkan dengan pembelian
kompulsif. Penelitian ini dilakukan terhadap sebanyak 2510 orang yang rentang usianya
antara 14 sampai 93 tahun yang merupakan warga negara Jerman. Dengan menggunakan
meotde survey dan kuisioner sebagai instrumen pengumpulan data, penelitian ini
8
menemukan bahwa demografi dan status sosial tidak berpengaruh signifikan pada pembelian
kompuslif, namun gejala depresi yang ditunjukkan berpengaruh signifikan pada pembelian
kompulsif. Penelitian ini menggunakan Spearman korelasi dan regresi sebagai alat analisis.
g) Roberts dan Jones (2001) melakukan penelitian terkait pembelian kompulsif dikalangan
mahasiswa dengan melihat pengaruh dari sikap mereka terhadap uang (money attitude) dan
dimoderasi oleh kepemilikan kartu kredit. Dengan menggunakan metode survey dan data
yang dikumpulkan dianalisis dengan menggunakan path analysis hasil penelitian tersebut
menemukan hubungan langsung dari tiga dimensi pada money attitude terhadap pembelian
kompulsif dan juga menemukan jika terdapat pengaruh moderasi kepemilikan kartu kredit
pada hubungan ketiga dimensi pada money attitude dengan pembelian kompulsif.
1.3.RUMUSAN MASALAH
Penelitian mengenai faktor yang mempengaruhi pembelian kompulsif memang telah
menjadi topik yang menarik sejak lama namun akan terus berkembang seiring dengan
kebutuhan konsumen dan kemajuan teknologi yang juga semakin berkembang. Penelitian
mengenai perilaku pembelian kompulsif yang banyak diteliti belakangan ini kebanyakan
mengaitkan perilaku pembelian kompulsif dengan faktor-faktor yang hampir sama (
misalnya lihat Dittmar, 2005; Roberts dan Pirog, 2004; O’Guinn dan Faber, 1989), namun
dalam penelitian lain yang dilakukan oleh Roberts dan Jones (2001) yang meneliti mengenai
perilaku pembelian kompulsif dan money attitude serta penelitian yang dilakukan oleh
Durvasula dan Lysonski (2010) yang meneliti mengenai money attitude yang mempengaruhi
sikap materialisme dan kesombongan sama-sama memasukkan variabel baru sebagai faktor
9
yang mempengaruhi pembelian kompulsif yaitu money attitude (sikap terhadap uang) dan
vanity (kesombongan).
Selain itu untuk penelitian terkait self-discrepancy masih ditemukan adanya
ketidaksamaan hasil penelitian, dimana seperti dipaparkan sebelumnya pada penelitian
Dittmar (2005) menyatakan bahwa self-discrepancy
mempengaruhi kecenderungan
pembelian kompulsif, sementara pada penelitian yang lebih dulu yang dilakukan oleh Singer
(1993) menemukan bahwa self-discrepancy tidak serta merta mempengaruhi pembelian
kompulsif. Karena itu peneliti tertarik untuk kembali melakukan penelitian terkait variabel
serupa.
Terkait variabel nilai materialis sebagai variabel independen terbukti berpengaruh
signifikan sebagai salah satu pemicu individu menjadi seorang pembeli yang kompulsif.
Seperti dalam penelitian yang dilakukan oleh Dittmar (2005) yang meneliti mengenai
ketidaksesuaian diri dan nilai materialis yang merupakan faktor pemicu pembelian
kompulsif yang sangat kuat, atau pada penelitian yang dilakukan oleh Muncy dan Eastman
(1998) yang meneliti mengenai nilai materialis yang mempengaruhi etika konsumen, serta
dalam penelitian yang dilakukan oleh DeSarbo dan Edwards (1996) yang mencoba untuk
mengklasterkan antara pembeli kompulsif dan pembeli normal, dan mereka menemukan jika
pembeli kompulsif cenderung lebih materialis dibandingkan dengan pembeli normal.
Dari beberapa penelitian tersebut menempatkan nilai materialis sebagai variabel
independen, namun dalam penelitian kali ini akan mencoba untuk menempatkan nilai
materialis tersebut sebagai variabel moderasi hal ini didasari oleh beberapa penelitian
sebelumnya yang memberikan kemungkinan untuk nilai materialisme di perlakukan sebagai
10
variabel moderasi (Dittmar et al.,1996; Durvasula dan Lysonski, 2010; Baeten, 2010;
Lertwannawit dan Mandhachitara, 2011).
Oleh karena itu untuk menguji apakah self-discrepancy dan money attitude
mempengaruhi pembelian kompulsif seseorang dan apakah nilai materialisme bisa
memoderasi hubungan tersebut, maka peneliti menggabungkan dua model penelitian
terdahulu yaitu model penelitian Dittmar (2005) dan model penelitian Roberts dan Jones
(2001) .
1.4.PERTANYAAN PENELITIAN
a.
Apakah self-discrepancy berpengaruh pada pembelian kompulsif ?
b.
Apakah money attitude berpengaruh pada pembelian kompulsif?
c.
Apakah nilai materialis memoderasi pengaruh antara self-discrepancy
dengan pembelian kompulsif?
d.
Apakah nilai materialis memoderasi pengaruh antara money attitude dengan
pembelian kompulsif?
1.5.TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah untuk :
a.
Untuk menguji pengaruh positif antara self-discrepancy dengan
pembelian kompulsif.
b.
Untuk menguji pengaruh money attitude dengan pembelian kompulsif.
c.
Untuk menguji nilai materialis sebagai pemoderasi pengaruh selfdiscrepancy dengan pembelian kompulsif.
11
d.
Untuk menguji nilai materialis sebagai pemoderasi pengaruh money attitude
dengan pembelian kompulsif.
1.6.MANFAAT PENELITIAN
1.
Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah literatur dan memperluas wawasan
umumnya dalam bidang psikologi dan khususnya dalam bidang pemasaran dan
perilaku konsumen yang terkait pembelian kompulsif, nilai materialis, ketidaksesuaian
diri, dan sikap terhadap uang
2.
Manfaat praktis
Diharapkan penelitian ini dapat memberi masukan bagi para pelaku pasar, manajer
pemasaran dan konsumen itu sendiri mengenai pembelian kompulsif, nilai materialis,
ketidaksesuaian diri, dan sikap terhadap uang.
12
1.7. SISTEMATIKA PENULISAN
Penelitian ini terbagi dalam lima bab yang disusun dengan sistematika penulisan
sebagai berikut
Bab I
: Pendahuluan
Bab I berisi mengenai latar belakang penelitian, tujuan penelitian, pertanyaan
penelitian, kontribusi penelitian, batasan serta sistematika penulisan penelitian.
Bab II
: Landasan Teori dan Pengembangan Hipotesis
Bab II menjelaskan mengenai konsep dan teori yang sejalan dengan tema
penelitian serta memaparkan bukti-bukti empiris dari penelitian-penelitian
sebelumnya. Selain itu bab ini juga akan menjelaskan hipotesis yang diuji
dalam penelitian serta model penelitian.
Bab III
: Metode Penelitian
Bab III menjelaskan mengenai metode penelitian yang terdiri dari definisi
operasional variabel, desain penelitian, populasi dan sampel, teknik
pengambilan sampel, teknik pengumpulan data, instrumen penelitian,
pengujian hipotesis, dan alat serta prosedur analisis yang digunakan.
Bab IV
: Hasil Penelitian dan Pembahasan
Bab
IV
menjelaskan
mengenai
hasil
deskripsi
statistik,
pengujian
multikolinearitas dan pengujian hipotesis serta pembahasan penelitian.
13
Bab V
: Penutup
Bab V ini berisi kesimpulan dari hasil penelitian yang dilaksanakan, impilkasi
penelitian serta rekomendasi untuk penelitian selanjutnya dan keterbatasan dan
kelemahan penelitian ini.
14
Download